Edisi204

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei:

Bahasa Melayu Zaman Islam, Portugis dan Inggeris Cerita-Pendek:

Peri Bermata Biru oleh Puntadewa dan Senja yang Kelabu oleh Marzuli Ridwan Al-Bantany

Sajak:

Alfa Anisa dan ShNA Sajak Terjemahan:

Federico Garcia Lorca Suluh:

Unsur Puisi pada Mantra Tokoh:

Nicolรกs Guillen Rehal:

Menengok ke Belakang

204 - SEPTEMBER 2015

www.majalahsagang.com halaman KULITi


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers

Daftar Isi

SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 204 l SEPTEMBER 2015 l tahun XVII

n Membaca Hermeneutik Ricoeur .......... 2 n Esei Bahasa Melayu Zaman Islam, Portugis dan Inggeris............................ 3 n Cerita-pendek - Peri Bermata Biru oleh Puntadewa ...12 - Senja yang Kelabu oleh Marzuli Ridwan Al-Bantany ......18 n Sajak - Alfa Anisa .......................................... 29 - ShNA ................................................. 37

Kepala Orang Cerdik, 85 x 103 cm, mixed media (2000), karya gigih wiyono. sumber int,

n Sajak Terjemahan Federico Garcia Lorca ......................... 43 n Suluh Unsur Puisi pada Mantra.................... 48 n Tokoh Nicolás Guillen .....................................57 n Rehal Menengok ke Belakang ....................... 62

Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk Membaca Hermeneutik Ricoeur Aul Ri Ricoeur, filsuf Perancis (19132005), diduga bahwa filsafatnya mengarah kepada hermeneutik, yakni interpretasi. Menurut Ricouer, filsafat merupakan interpretasi terhadap interpretasi. “filsafat pada dasarnya adalah sebuah hermeneutik, yaitu kupasan tentang makna yang tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna.” Hermeneutik dan interpretasi berkaitkelindan dengan simbol (tanda), dan satu dari simbol itu adalah bahasa. Interpretasi membedah makna yang tersembunyi. Kata, dalam bahasa merupakan simbol. Simbol (tanda) diperlukan tafsir. Menurut Ricoeur, penafsiran yang patut dan tepat seharusnya membuat jarak terhadap obyek tafsiran, yang disebut oleh Ricoeur sebagai “perjuangan melawan distansi kultural”. Untuk tidak pengertian terlalu sempit, Ricoeur mengembangkannya dengan memberi “perhatian kepada teks”. Untuk membatasi dan mempersempit ruang lingkup hermeneutik, diperlukan teks sebagai penghubung bahasa symbol (tanda). Karena itu, menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutik ialah memberi pemahaman interpretasi dan hubungannya terhadap teks. Membaca teks, melakukan “dekontekstualisasi” ( ‘pembebasan’ Tugas utama perlakuan kepada teks adalah: intensi atau maksud, situasi kultural dan kondisi pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Karena itu, “dekontekstualisasi” dari teks melepaskan diri dari pengarangnya, dan “rekontekstualisasi” teks membuka diri untuk dibaca dari sudut mana saja. Karena

halaman 2

itu, teks tidak hanya dibaca secara harfiah, tetapi menggali “dalaman” (ruang yang tidak kelihatan) dari teks, terutama tiga tugas utamanya, yakni “tentang pengarang dengan situasi dan konteks kebudayaan dan orang-orang sezamannya beserta tujuan dan kepada siapa tulisan itu hendak diberikan”. Karena itu juga, membaca teksteks ke-Melayu-an keberaksaraan atau ketidakberaksaraan (oral-tradition, literacy) tidak cukup hanya dengan membaca teks secara harfiah (tekstual), tetapi diperlukan hermeneutik dan interpretasi tentang pengarang, situasi dan konteks zaman, serta tujuan teks itu disampaikan. Versi penyalinan teks (naskah lama Arab-Melayu) atau penyalinan teks pada oral-tradition, juga harus mendapat pengkajian dan perhatian terhadap penafsiran (interpretasi) selain dari makna harfiah. Apalagi simbol (tanda) dari kata, kalimat, dan bahasa yang hanya dipakai dalam “teks” tempatan, yang jika ditafsirkan tidak akan sama dengan penafsiran yang dilakukan oleh makna teks tempat (asal) sipenafsir yang berbeda dengan tempat teks (kata, bahasa, simbol) yang akan ditafsirkan. Suatu hari, sahabat saya Jhon Kobet, mengatakan akan membuat tafsiran-tafsiran hermeneutik dan interpretasi teks-teks alam Melayu (oral-tradition, literacy), tidak hanya sebagai tafsiran harfiah, tetapi tafsiran sebagaimana yang diketengahkan oleh Paul Ricoeur, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Nietzsche, Freud, Jacques Derrida (asisten Ricoeur), berdasarkan teori semiotik Roland Barthes, bahkan pembacaan Taslim Datuk Mogek Intan, dan datuk-datuk lainnya di alam Melayu. ***


Esei

Bahasa Melayu Zaman Islam, Portugis dan Inggeris

erkemb erkembangan bahasa telah melalui tiga periodisasi, iaitu zama zaman purba, zaman kuno dan zaman klasik. Setiap zaman tersebut mempunyai m pengaruh yang kuat terhadap bentuk Bahasa Melayu. Dalam topik ini anda telah mengimbas kembali tentang jenis bahasa yang lahir dalam periodisasi tersebut. Topik ini pula akan membicarakan pengaruh luar terhadap Bahasa Melayu khususnya pengaruh bahasa dari Eropah (Portugis dan Inggeris) dan juga kesan perkembangan agama Islam yang tersebar luas di Alam Melayu melalui perdagangan saudagar dari Tanah Arab. Agama Islam telah memberikan kesan yang penting terhadap Bahasa Melayu kerana kedudukan Bahasa Melayu sebagai bahasa ilmu diperkukuhkan oleh faktor tersebut.

halaman 3


Bahasa Melayu Zaman Kedatangan Islam Islam telah membawa huruf Arab dalam penulisan Bahasa Melayu dan berkembang menjadi bahasa yang kaya dengan pelbagai istilah baharu yang dipinjam daripada perbendaharaan kata Bahasa Arab dan Parsi. Bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar dalam penulisan yang berkaitan dengan falsafah, kesusasteraan, keagamaan dan dijadikan bahasa pengantar dalam kegiatan dakwah Islam. Magellan telah mengatakan bahawa Bahasa Melayu telah menjadi bahasa lingua franca di alam Melayu dari Aceh hingga ke kepulauan Maluku. Bahasa Melayu juga telah menjadi baku melalui penggunaannya dalam kitab-kitab agama Islam yang dibaca oleh penduduk di alam Melayu. Pada zaman kedatangan Islam juga, Bahasa Melayu telah berkembang dalam pelbagai bidang yang sebelum ini ditulis dalam bahasa Jawa. Melalui peminjaman daripada Bahasa Arab, banyak istilah bidang teologi, falsafah dan tasawuf dikembangkan dalam Bahasa Melayu. Bahasa Melayu menjadi bahasa rasmi dalam kerajaankerajaan di alam Melayu. Surat-surat raja Melayu pada abad ke-16 ditulis dalam Bahasa Melayu kepada Raja Portugis. Dengan demikian raja-raja daripada kerajaan Aceh juga menggunakan Bahasa Melayu dalam urusan diplomatik untuk berhubung dengan kerajaan asing. Kedatangan Islam pada akhir abad ke-13 telah mempengaruhi keseluruhan cara hidup masyarakat di Asia Tenggara khususnya alam Melayu. Zaman ini telah memberikan ciri baru kepada Bahasa Melayu, iaitu bentuk Bahasa Melayu Klasik. Pengaruh agama Islam bukan sahaja kelihatan dari aspek

halaman 4

sosio budaya malah seluruh kehidupan termasuklah unsur budaya yang penting, iaitu bahasa. Abad ke-13 hingga abad ke-14 merupakan zaman peralihan di alam Melayu. Apabila kita memperkatakan tentang pengaruh Islam terhadap Bahasa Melayu, terdapat tiga buah kerajaan Islam yang penting: kerajaan Samudera-Pasai, kerajaan kesultanan Melaka dan kerajaan Islam Aceh.

Kerajaan Samudera-Pasai Menurut Amat Juhari Moain (1994), apabila kerajaan Samudera-Pasai didirikan di Sumatera Utara, pengembangan Bahasa Melayu semakin aktif. Kerajaan Samudera Pasai (Rajah 2.1) dikenali juga sebagai Samudera, Pasai dan Samudera Darussalam atau Sumatera. Kerajaan ini terletak di Aceh dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Perkataan “Samudera” berasal daripada perkataan Sanskrit, iaitu Samundra atau Samandara, yang membawa pengertian “lautan”. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai, Merah Silu dikatakan ternampak seekor semut sebesar kucing. Baginda menangkap dan memakannya lalu menamai tempat itu sebagai “Samandara”. Kesultanan Samudera Pasai adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Merah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 dan berakhir dengan dikuasai oleh Portugis pada tahun 1521. Nama lainnya ialah Malik al Salih, Merah Silu, Merah Silau, Mara Silu dan Muerah Silu. Setelah mangkat, baginda digantikan oleh Sultan Mahmud Malik Az-Zahir. Ahli Pelayaran Maghribi bernama Ibnu Batuta sempat mengunjungi Pasai pada


1346 Masihi. Ketika di China, Ibnu Batuta mendapati kapal Pasai berlabuh di China untuk membayar ufti. Inskripsi Cina mencatatkan kerajaan Pasai menghantar ufti ke China setiap tahun. Sultan Pasai dikatakan pernah mengirim utusan ke Quilon, benua kecil India (Keling) pada 1282 kerana urusan diplomasi dan perdagangan. Pada zaman kegemilangannya, kerajaan Pasai merupakan pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang daripada pelbagai negeri seperti China, India, Arab, Siam, Parsi dan lain-lain. Kerajaan ini juga menggunakan mata wang yang dinamakan dirham. Banyak karya sastera Melayu telah dilahirkan misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai. Zaman ini diikuti pula oleh perkembangan zaman Melaka. Tokoh-tokoh tempatan juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan. Kebanyakan usaha mereka berkisar tentang agama dan sastera. Pada zaman ini juga, banyak karya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Golongan cendekia Pasai menjadi pakar rujuk dalam bidang keagamaan. Abad ke-13 juga merupakan permulaan Bahasa Melayu Klasik yang berkembang sewaktu zaman pemerintahan kerajaan Melayu Pasai. Bahasa Melayu Klasik merupakan kesan langsung pengaruh agama Islam yang berkembang dengan pesat bertunjangkan tulisan Jawi yang menggunakan aksara Arab. Ragam bahasa persuratan inilah yang menjadi bukti wujudnya Bahasa Melayu Klasik. Tradisi persuratan Melayu Klasik juga merupakan asas kepada kemunculan Bahasa Melayu baku khususnya dari segi tatabahasa yang lahir dalam penulisan klasik sebagai sumber korpus data. Hikayat Raja-Raja Pasai dianggap hasil kesusasteraan Melayu, mengisahkan

masyarakat Melayu dan menggunakan Bahasa Melayu (tulisan Jawi). Namun demikian, tidak dapat dipastikan tarikh awal hikayat ini ditulis kerana pada masa itu tradisi menceritakan semula cerita orang lain (seperti yang dilakukan pada cerita lisan) berlaku dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Perhatikan bahagian awal petikan Hikayat Raja-Raja Pasai yang berikut ini: “Alkisah peri mengatakan cerita raja yang pertama masuk agama Islam ini Pasai; maka adalah diceriterakan oleh orang yang empunya cerita ini, negeri yang di bawah angin ini, Pasailah yang pertama membawa iman akan Allah dan akan Rasulullah. Maka ada raja dua bersaudara seorang namanya Raja Ahmad dan seorang namanya Raja Muhammad. Adapun yang tua Raja Ahmad. Maka baginda kedua bersaudara itu hendak berbuat negeri di Samarlanga. “ Teks ini ditulis dalam Bahasa Melayu menggunakan tulisan tangan huruf Jawi pada lembaran-lembaran berbentuk buku. Penyelidik menyatakan teks asal ditulis sekitar 1360 Masihi kerana sezaman dengan buku tasauf Durru al Mazlum /Darul Mazlum karya Maulana Abu Ishak. Hikayat Raja-Raja Pasai terbahagi kepada tiga bahagian: Pembukaan dan Pengislaman Pasai, Pasai di bawah pemerintahan Sultan Ahmad Perumudal Perumal dan Peluasan Kekuasaan Majapahit. Hikayat RajaRaja Pasai tergolong dalam genre sastera sejarah. Karya sastera sejarah biasanya menceritakan pembukaan negeri, corak organisasi pentadbiran, keadaan sosial budaya dan corak politiknya. Cerita ini termasuklah kewujudan sesebuah negeri, perkembangannya, zaman keemasan, zaman kekalahan dan keruntuhan. Oleh itu, Hikayat Raja-Raja Pasai bukanlah sebuah

halaman 5


buku teks sejarah yang murni. Sebaliknya, unsur mitos dan legenda diterapkan dalam bahan sejarah yang memerlukan interpretasi yang mendalam untuk mengetahui objektif dan tujuan pengarang istana ini. R.O. Winstedt menjangka Hikayat Raja-Raja Pasai selesai ditulis pada abad ke-15, Amin Sweeney berpendapat abad ke14, dan A.H. Hill mengatakan antara tahun 1383 M hingga 1390 M manakala Hooykaas mendakwa bahawa Hikayat ini dikarang sekitar tahun 1350 M. Pada bahagian akhir Hikayat Raja-Raja Pasai yang diusahakan oleh R. Jones (1987) tercatat: Tamat Hikayat Raja Pasai. Selamat sempurna yang membaca dia dan segala yang menengarkan dia, istimewa yang menyuratkan dia, dipeliharakan Allah subhanahu wataala apalah kiranya dari dunia datang ke akhirat, berkat syafaat Nabi Muhammad mustafa, sallallahu alaihi wasaalam. Tamat hari Isnin, kepada hari dua puluh sa, kepada bulan Muharam, sanat za Hijratul Nabi 1230 Sangking Kyai Suradimanggala, bupati sapu (pu) nagari Demak nagari Bagor, warsa 1742. Tarikh yang tercatat pada bahagian akhir Hikayat Raja Pasai ini bukanlah bermakna penulisan pertama cerita tersebut, melainkan merupakan salinan daripada beberapa salinan cerita yang terdahulu. Penyalinan ini juga memperlihatkan bahawa ketika itu kesusasteraan Melayu tersebar luas di seluruh Nusantara. Karya ini merupakan bukti terbaik bagi mengkaji perkembangan Bahasa Melayu pada zaman kerajaan Aceh.

Kerajaan Kesultanan Melaka Zaman penting bagi Bahasa Melayu ialah pada zaman Kerajaan Melayu Melaka. Zaman ini bermula pada abad ke-13. halaman 6

Kesultanan Melayu Melaka (Rajah 2.2) diasaskan oleh Parameswara, seorang putera Srivijaya beragama Hindu yang berasal dari Palembang antara tahun 1400 hingga tahun 1403. Pada awalnya Melaka bukanlah sebuah kerajaan yang beragama Islam. Hal ini berubah pada tahun 1414 apabila Parameswara berkahwin dengan puteri dari Pasai. Beliau menukarkan namanya kepada Megat Iskandar Shah. Agama Islam dijadikan sebagai agama rasmi Kesultanan Melayu Melaka oleh Sultan Muzaffar Shah. Pemerintahannya itu berkembang dengan pesat dan menjadi sebuah pelabuhan yang terpenting di kepulauan Melayu pada abad ke-15 dan ke-16. Tambahan pula, Melaka merupakan tempat perdagangan rempah dengan berfungsi sebagai pintu kepada negeri-negeri rempah untuk memasarkan rempah mereka. Ini dapat digambarkan menerusi Duarte Barbosa yang berkata, “Sesiapa yang menguasai Melaka, dia dapat menguasai perdagangan dunia” (He who is lord of Malacca has his hand on the throat of Venice.) Faktor-fakor yang menyumbang kepada Melaka menjadi sebuah negeri yang maju adalah kerana pelabuhannya terlindung daripada ancaman Monsun Barat Daya dan Monsun Timur Laut. Pedagangpedagang dari Jawa, Arab, India, China dan lain-lain dapat berlindung di Melaka sehinggalah keadaan selamat untuk mereka ke laut semula. Semasa pemerintahan Parameswara, ramai orang Cina menetap di Melaka, berdekatan kawasan Bukit Cina yang mempunyai ‘feng shui’ yang terbaik pada masa itu. Pemerintahan Kesultanan Melayu Melaka berterusan selama lebih kurang satu abad sehinggalah Melaka tewas di tangan penjajah Portugis pimpinan Alfonso


de Albuquerque pada 24 Ogos 1511. Sultan Mahmud Shah merupakan sultan yang terakhir Kesultanan Melayu Melaka

tulang belakang kepada perkembangan Melaka ke mercu kekuasaannya di kepulauan Melayu.

Islam mulai bertapak melalui kerajaan Melayu Melaka dan berjaya membina empayar yang luas; dan meningkatkan kemajuan dan perkembangan Bahasa Melayu di rantau ini. Bahasa Melayu telah digunakan dalam pentadbiran dan aktiviti perdagangan serta menjadi lingua franca para pedagang. Bahasa Melayu juga telah menjadi alat penyebaran agama Islam ke seluruh kepulauan Melayu. Bahasa Melayu juga telah mendapat bentuk tulisan baru, iaitu tulisan Jawi. Perbendaharaan kata juga telah bertambah dengan wujudnya keperluan untuk mengungkapkan idea-idea yang dibawa oleh peradaban Islam.

Pada tahun 1459, Sultan Mansur Shah (1459 - 1477) menaiki takhta. Disebabkan kedudukannya yang strategik, Melaka menjadi sebuah pangkalan luar yang penting bagi kapal-kapal. Bagi mengeratkan hubungan diplomatik dengan Melaka, Maharaja China telah menganugerahkan anaknya Puteri Hang Li Po dengan tujuan untuk dikahwinkan dengan Sultan Mansur Shah. Untuk menyambut Hang Li Po, Sultan Mansur Shah juga menghantar Tun Perpateh Puteh dengan segolongan pengiring ke negeri China untuk mengiringnya. Hang Li Po tiba di Melaka pada tahun 1458 bersamasama 500 orang pengiring. Salah satu kesan kebudayaan yang berpunca daripada peristiwa ini ialah wujudnya kelompok kaum Peranakan, iaitu hasil daripada perkahwinan campur di antara pendatang Cina dengan penduduk tempatan. Kaum Peranakan ini juga dikenali sebagai orang Baba dan Nyonya pada hari ini.

Iskandar Shah mangkat pada tahun 1424 dan diwarisi oleh anaknya, Sri Maharaja, yang mengambil gelaran “Sultan Muhammad Shah” (1424-1444). Pada kemangkatannya dalam tahun 1444, beliau diganti oleh putera bongsunya, Raja Ibrahim. Raja Ibrahim kemudian dibunuh dan dimakamkan dengan gelaran “Sultan Abu Syahid”. Raja Kassim menaiki tahta pada tahun 1445 dan memakai gelaran “Sultan Muzaffar Shah” (1445-1459) menaiki takhta dan mengisytiharkan Islam sebagai agama rasmi negeri. Pendakwahpendakwah Islam dihantar oleh Sultan ke seluruh Kepulauan Melayu seperti Jawa, Borneo dan Filipina. Sebahagian besar penduduk Asia Tenggara pada ketika itu beragama Hindu. Semasa pemerintahannya, pihak Siam membuat serangan pertama ke atas Melaka pada tahun 1447 tetapi ditewas tidak jauh dari Muar. Pada tahun 1456, Tun Perak menjadi bendahara dengan gelaran “Bendahara Paduka Raja”. Beliau berkhidmat di bawah empat Sultan dan merupakan

Semasa pemerintahan Sultan Mansur Shah, empayar Melaka mencapai kemuncak kuasanya dan terdiri daripada Semenanjung Tanah Melayu, Singapura dan sebahagian besar Sumatera. Pesaing utama Melaka ialah Siam di utara dan Majapahit di selatan. Majapahit kemudiannya tumbang pada kurun ke-15. Siam pula telah menyerang Melaka sebanyak tiga kali tetapi kesemua cubaan serangan tersebut telah gagal. Prosa dalam Bahasa Melayu yang terkenal ialah Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu. Keagungan Kesultanan Melaka jelas tergambar di dalam Sejarah Melayu oleh Tun Seri Lanang, sebuah karya dalam Bahasa Melayu yang sangat tinggi

halaman 7


nilainya disusun pada tahun 1612. Prosa ini mengungkapkan beberapa genre Melayu, iaitu pantun, syair puisi, gurindam dan seloka. Terdapat sekurang-kurangnya 29 versi tetapi versi yang paling mashyur adalah versi Shellabear. Menurut pengenalan Sejarah Melayu naskah Shellabear, Yang diPertuan Raja di Hilir Sultan Abdullah Mu’ayat Syah ibni’l Sultan Abdul Jalil Syah telah mengutuskan Seri Nara Wangsa Tun Bambang untuk memerintah Bendahara Paduka Raja Tun Muhammad@Mahmud (Tun Sri Lanang) pada hari Khamis, 12 Rabiul Awal 1021 bersamaan 13 Mei 1612 agar menyunting salinan Sejarah Melayu yang dibawa oleh Orang Kaya Sogoh dari Goa/ Gowa, India. Sejarah Melayu Sulalatus Salatin dianggap penting kerana karya ini memberikan perincian tentang adat istiadat kerajaan, susunan raja Melayu dan sejarah kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep Sejarah Sahih China. Dikatakan bahawa pada setiap pertukaran dinasti di China, sejarah Dinasti sebelumnya akan ditulis dan disimpan di arkib negara tersebut. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu) merupakan satu karya sejarah mengenai kebangkitan, kegemilangan dan kejatuhan zaman Kesultanan Melayu Melaka yang ditulis oleh beberapa orang pengarang Melayu. Ketika Feringgi (Portugis) menakluk Melaka, salinan Sejarah Melayu telah dibawa ke Goa. Pada kemuncak kerajaan Melayu Melaka, terdapat beberapa karya kesusasteraan yang dipengaruhi oleh tulisan Arab seperti Hikayat Muhamad Ali Hanafiah, Hikayat Amir Hamzah, dan Hikayat Nabi Bercukur. Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Ali Hanafiah telah memberi semangat serta kekuatan kepada orang

halaman 8

Islam untuk menentang musuh di medan peperangan. Kerajaan Melayu-Melayu telah menggunakan Bahasa Melayu dalam sistem pentadbirannya. Kejatuhan Melaka menyebabkan era kerajaan Melayu berakhir di Tanah Melayu Melaka. Namun begitu kegemilangan Bahasa Melayu diteruskan oleh kerajaan Aceh dan seterusnya kerajan Johor-Riau. Kerajaan Johor-Riau merupakan warisan kerajaan Melayu-Melaka telah berusaha untuk mengembalikan kegemilangan kerajaan Melaka. Walaupun kerajaan MelayuMelaka tewas ditangan Portugis pada tahun 1511, hal ini tidak bermakna hilangnya pengaruh Bahasa Melayu. Malah, Bahasa Melayu semakin berkembang ke persisiran Sumatera, khususnya di Palembang dan Aceh yang menggantikan Melaka sebagai pusat kebudayaan dan keintelektualan Melayu. Hikayat Muhammad Hanafiah merupakan antara teks Melayu terawal. Hikayat ini mengisahkan kisah percintaan dan mengandungi kandungan mengenai aspek emosi, nilai kebudayaan dan nilai sosio politik. Hikayat ini sudah dikenali sejak zaman Kesultanan Melayu Melaka pada abad ke-16. Hikayat ini juga dikenali sebagai ‘hikayat perang’ kerana hampir keseluruhan isi hikayat penuh dengan kisah peperangan. Hikayat ini mengisahkan peristiwa yang berlaku sewaktu Sayidina Ali dipilih menjadi khalifah dan pemberontakan dilancarkan oleh Muawiyah terhadapnya. Setelah Ali dibunuh oleh seorang pengikut Khawarij, Muawiyah dilantik sebagai Khalifah. Sebelum meninggal dunia, Muawiyah melantik puteranya bernama Yazid sebagai raja. Dalam masa pemerintahannya, Yazid merancang pembunuhan terhadap dua putera Ali, iaitu


Hasan dan Husin. Sebelum itu, berlaku beberapa peristiwa yang menyebabkan Yazid iri hati dan berdendam dengan kedua-dua mereka. Dengan menggunakan tipu helah, dia akhirnya berjaya membunuh kedua-dua putera Sayidina Ali itu. Apabila Muhammad Hanafiyyah, saudara Hasan dan Husin yang menjadi Amir di negeri Baniar mendapat berita kematian saudaranya dan putera Husin bernama Ali Asghar atau kemudiannya dipanggil Zain al-Abidin dan ahli keluarga Rasulullah s.a.w ditawan, dia menyiapkan satu angkatan tentera dan menyerang Yazid. Yazid berjaya dikalahkan oleh Muhammad Hanafiyyah dan Yazid terbunuh apabila dia terjatuh ke dalam telaga api. Zain al-Abidin kemudiannya dilantik sebagai raja. Pada suatu hari, apabila Muhammad Hanafiyah mendapat tahu terdapat pengikut Yazid sedang berhimpun di dalam sebuah gua, dia menyerang mereka. Tanpa menghiraukan suara ghaib yang melarangnya beberapa kali supaya jangan keterlaluan, dia terus membunuh musuhnya, sehinggalah akhirnya pintu gua tertutup dan dia terkurung. Hikayat Amir Hamzah daripada Naskah A - DBP MSS 4, Dewan bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur. Hikayat Amir Hamzah menceritakan perihal kegagahan dan keperwiraan seorang pejuang Islam, iaitu Amir Hamzah, pada zaman sebelum dan awal kebangkitan Islam. Ia ditulis kemungkinannya dari awal abad ke-16. Menurut pendapat orang-orang yang ahli dalam lapangan kesusasteraan, Hikayat Amir Hamzah ialah salinan daripada bahasa Parsi sungguh pun dalam bahasa ‘Arab ada juga hikayat yang demikian. Hikayat Amir Hamzah adalah merupai sebuah buku yang tebal mengandungi 90 bab; di dalamnya

meriwayatkan kisah keberanian dan kegagahan Sayyidina Hamzah mengepalai tentera Islam dalam peperangan menentang tentera-tentera kafir. Seperti yang tersebut di dalam riwayatnya bahawa Amir Hamzah ialah bapa saudara kapada Nabi Muhammad s.a.w iaitu putera kepada Abdul Mutalib. Amir Hamzah di-katakan mulai menerima agama Islam sesudah dua tahun Rasulullah menerima walinya yang pertama dan telah bersama-sama mengikut Nabi Muhammad berhijrah (berpindah) ke Madinah. Amir Hamzah adalah terkenal sebagai pahlawan Islam yang terbilang; keberanian dan jasa-jasanya di medan-medan perang terutama sekali dalam peperangan Badar amatlah besar ertinya di sisi sejarah perkembangan agama Islam. Sayyidina Hamzah telah tewas tatkala melawan orangorang kafir Makkah yang banyak bilangannya di kaki bukit Uhud, dekat Madinah. Maka kerana itulah riwayat Amir Hamzah sentiasa di-kenang oleh umat Islam; dan di dalam hikayatnya banyak pula diadakan tokok tambah oleh pengarangnya. Kesimpulannya, kerajaan Kesultanan Melaka telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan Bahasa Melayu melalui pentadbiran, perkahwinan, ekonomi, perdagangan dan ruang lingkup kehidupan masyarakat di Melaka dan kawasan jajahannya. Kejatuhan Melaka tidak bermakna pupusnya Bahasa Melayu di rantau ini kerana kemunculan Aceh sebagai kuasa yang menggantikan kerajaan Melaka telah memberikan kesan yang besar terhadap pengembangan Bahasa Melayu di rantau ini.

Kerajaan Aceh Kejatuhan kerajaan Melayu Melaka kepada Portugis membawa kebangkitan

halaman 9


Aceh di bawah kepimpinan Sultan Ali Mukayat Syah (1514-1528), Sultan Salehuddin (1528-1537), Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568), Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), Sultan Seri Alam (1576), Sultan Muda (1604-1607) dan Sultan Mahkota Alam (1604-1607). Semua serangan Portugis dapat ditangkis oleh sultan-sultan Aceh ini. Zaman keemasan kerajaan Aceh telah menjadikan Bahasa Melayu semakin berkembang luas dan menjadi bahasa rasmi negara. Aceh menjadi pusat perkembangan ilmu khususnya perbincangan ilmiah tentang ilmu tasauf dan akidah Islam dan wadahnya ialah Bahasa Melayu. Kerajaan Aceh memberi perlindungan kepada pedagang yang berniaga di bawah kekuasaan Aceh. Surat raja Aceh (Sultan Alauddin Shah) kepada Harry Middleton ditulis dalam Bahasa Melayu pada tahun 1601 semasa kapal tersebut berlabuh di pelabuhan Aceh. Perkataan-perkataan telah ditransliterasikan daripada huruf Jawi kepada huruf Rumi memperlihatkan sebahagian besar Bahasa Melayu yang digunakan dalam surat ini dikatakan serupa dengan Bahasa Melayu sekarang. Terdapat beberapa perkataan yang mengalami perubahan, misalnya sarwa=segala; sekalian=seluruh; pertuha=pertua/ketua; ta’kluk=takluk; Inglitir=Inggeris; kapitan=kapten; memeli=membeli; suhbat=sahabat; meli berjual=berjual-beli dan lain-lain. Bahasa yang hampir sama juga kelihatan dalam surat kebenaran berniaga daripada raja Aceh kepada James Lancester bertarikh 1602. Pada abad ke-16 juga kerajaan Aceh banyak berutus surat dan juga mengikat perjanjian dengan kerajaan Belanda. Kitab Thamaratul Matlub fi Anuaril Qulub memuatkan pelbagai surat dan perjanjian

halaman 10

antara raja-raja Melayu dengan raja-raja Bugis dengan Belanda, serta natara Belanda dengan Inggeris. Banyak karya serta kitab diterbitkan di pulau ini, seperti kitab “Al-Hakim” oleh Tajuddin Abdul Fadzil Ahmad ibn Abdul Karim (1863 M) dan “Sabil Al-Hidayat” oleh Sayyed Aluwi Ba’aluwi (1899 M). Hasil penulisan yang terkenal dan terpenting dalam dunia persuratan Melayu ialah karya Raja Ali Haji, iaitu “Bustan Al-Katibin” (1857 M), “Pengetahuan bahasa” (1859 M), “Salasilah Melayu dan Bugis” (1865 M) dan “Tuhfat Al-Nafis” (1865 M). Di Aceh juga, terdapat penulis tempatan yang telah menarik pembaca untuk menghayati Islam. Palembang dan Aceh telah menggantikan Melaka sebagai pusat keintelektualan Melayu. Antara tokoh-tokoh di Aceh ialah: a. Sheikh Nuruddin Al-Raniri (“Bustanul Salatin”) b. Shamsuddin Al-Sumaterani (“Mirat AlMukmin”) c. Abdul Rauf Singkel (“Mirat Al-Tullab”) d. Hamzah Fansuri (“Syair Perahu”) Di Palembang pula terdapat Abdul Samad Al-Falembani dengan kitab “Hikayat Al-Salakin”. Selain daripada Aceh dan Palembang, beberapa tokoh juga timbul di tempat-tempat lain. Di Brunei, Pengiran Syahbandar Muhammad Salleh (Pengiran Indera Muda) telah menghasilkan “Syair Rakis”, manakala di Banjarmasin pula terkenal dengan Arshad Al-Banjari dengan kitab “Sabil Al-Muhtadin”. Sheikh Mohd Ismail Daud Al-Fatani di Pattani pula menghasilkan “Matla’al Badrain” dan “Furu’ Al-Masail”. Hamzah Fansuri merupakan penulis zaman ini yang sangat terkenal. Beliau


dikatakan berasal dari Barus, Sumatera dan suka mengembara ke pelbagai tempat untuk menambah pengetahuannya. Antaranya ialah Makkah, Baghdad, Pahang dan Kudus di Pulau Jawa. Beliau menguasai bahasa Arab dan Parsi di samping Bahasa Melayu yang menjadi bahasa ibundanya. Hamzah Fansuri menghasilkan karyanya pada masa Sultan Iskandar Mahkota Alam yang memerintah Aceh pada tahun 16061636M. Karya ciptaannya merupakan prosa dan syair dicipta pada awal abad ke17. Hamzah Fansurilah yang mula-mula memperkenalkan bentuk syair dalam Bahasa Melayu. Antara prosanya yang terkenal ialah Asrarul fi bayan Ilm al-Suluk wal-Tawhid, al-Muntahi dan Sharabul-Ashiqin atau Zinatul-Muwahiddin. Syairnya pula ialah Syair Dagang, Syair Jawi fasal fi bayan Ilm al-Suluk wal-tawhid dan Syair Perahu. Syamsuddin Pasai yang menjadi ulama istana Aceh pada masa pemerintahan Mahkota Alam (1607-1636) terkenal sebagai pengikut Hamzah Fansuri. Karyanya menyentuh bidang tasauf. Antara karyanya yang terkenal ialah Mir’at al-Mukmin, Mir’at al-Muhakkihin, Mir’at al-Qulub, Kitab Siri al-Arifna dan Kitab fi Dhikrda’ira kab al-Kansayna. Seorang lagi tokoh pada zaman ini ialah Abdul Rauf Singkel yang menghasilkan kitab Mir’at a’t-Tullab fi Tashli Makrifat al-Ahkam a’sh Shariyyah li Malik a’l-Wahhab, Umdat al-Muhtajia, terjemahan tafsir Baidhawi dan autobiografi.

Al-Attas, karya keagamaan yang tertua dalam Bahasa Melayu ialah terjemahan Bahasa Melayu al-Nasafi, iaitu ‘Aqa’id. Karya ini mengemukakan pernyataan masalah tentang kewujudan hakikat benda, hakikat ilmu, teori cakerawala, hakikat Tuhan dan diri manusia. Karya ini merupakan asas pengilmuan dalam Bahasa Melayu yang kemudiannya dikembangkan oleh penulis lain. Analisis kedua terhadap kitab ini dilakukan oleh Asmah Haji Omar yang telah memberikan maklumat tentang Bahasa Melayu abad ke-16 dan seterusnya sejarah evolusi Bahasa Melayu. Pertemuan kitab ini merupakan jambatan hubungan perkembangan Bahasa Melayu antara abad ke-14 dengan abad ke-17.*** (Red.Int. berbagai sumber)

7

Pada masa itu juga di Johor terdapat beberapa hasil penulisan seperti “Hikayat Negeri Johor” dan “Kitab Pemimpin Johor”. Kerajaan Melayu Johor-Riau terus menjadi pusat pengembangan Bahasa Melayu sehingga menjadi bahasa persatuan di seluruh Nusantara. Menurut Syed Naquib

halaman 11


Cerita-pendek

Peri Bermata Biru oleh Puntadewa Puntadewa (Agus Hiplunudin), lahir di Lebak Banten, 5 Januari 1986. Alumni FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekarang lagi menempuh Sekolah Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Jurusan Ketahanan Nasional.

halaman 12


ernahkah engkau mendengar cerita tentang perempuan peri? Ya, aku yakin tentunya pernah. peremp Pernahkah engkau melihatnya? Ya, tentunya pernah Pernahka pula, namun yang engkau lihat bukanlah peri sungguhan melainkan peri-p peri-perian yang engkau saksikan dalam tayangan si sinema elektronik lekt nik dalam dala layar kaca. Engkau jangan tertawa apalagi hingga terbahak, jujur aku pernah bertemu dengan perempuan peri secara langsung. Namun aku tak mau bersumpah sebab menurutku bila aku bersumpah, itu tandanya aku telah mengklem bahwa engkau tak mempercayai apa yang kukatakan, dan aku yakin engkau mempercayai apa yang kukatakan ini. Waktu itu hujan gerimis datang bertandang pada sore hari yang cerah, kuperhatikan angkasa raya di sana terdapat lengkung pelangi menggurat langit, kata ibuku sewaktu aku kecil bahwa pelangi tersebut merupakan jalan untuk para peri atau bidadari, dulu aku percaya-percaya saja, namun seiring usia dan kedewasaan kini aku tak lagi mempercayainya. Namun kali ini menurutku benar-benar aneh, lengkung pelangi itu dari atas menukik pada sebuah curug atau air terjun yang terdapat di dalam hutan desaku. Iseng-iseng aku ikuti arah lengkung pelangi itu dan sesampainya di air terjun yang kutuju, bukan main terkesiapnya aku, seorang perempuan molek gemulai sedang mandi di sana. Barangkali ia adalah peri, demikian gumam hatiku. Teringat kembali dongeng dari ibuku semasa kukecil dulu, bahwa bila peri lagi mandi ia akan menaggalkan selendangnya, dan bila selendang itu diambil oleh seorang laki-laki maka ia akan dijadikan suaminya, namun bila yang mengambil selendang tersebut perempuan maka akan dijadikannya sebegai saudara, dulu aku amat mempercayai dongeng ibuku itu, namun sekarang tidak sama sekali. Namun, fakta di depan mataku, tampak olehku sebuah selendang sutera putih bersinar tergeletak pada sebuah batu hitam di pinggir kubangan air terjun, aku mengendap-endap seperti kucing yang hendak mencuri pepes ikan mujair, menghampiri selendang sutera itu. mungkin peri itu terlalu asyik membersihkan seluruh tubuhnya dengan batu ruruan hingga ia tak menyadari bahwa selendangnya telah diambil seorang pencuri. Bukan main terkejutnya sang peri sebab selendangnya sudah tak ada ditempat, ia mengedarkan pandangan kesekelilingnya, lalu ia bicara dengan lembutnya, suaranya halus berirama, menggetarkan jiwa siapa saja yang mendengarnya; “Siapakah yang mengambil selendangku?� tanyanya berbauran dengan gemerecik air terjun yang terjatuh ke kubangan.

halaman 13


“Barang siapa yang mengembalikan selendangku, apapun permintaannya akan kukabulkan,” pernyataannya mengandung gagasan tunggal yang amat mengesankan. Aku pun segera muncul dari sebuah onggokan batu hitam tempat persembunyianku. Pasang mataku langsung beradu pandang dengan pasang mata sang peri, mata itu begitu biru indah tiada duanya, dan aku langsung jatuh cinta pada pasang matanya itu. “Kembalikan selendangku,” pintanya. “Tapi berjanji dulu, bahwa engkau tak akan mengingkari janyji,” kataku. “Pantang bagi penghuni kayangang mengingkari kata yang telah terucap,” tegasnya. “Benarkah?” basa-basi ragu. Peri bermata biru itu tak menjawab tanyaku, ia hanya mengangguk lembut sambil tersenyum memperlihatkan lekuk bibirnya yang menawan serupa ranum bunga mawar yang sedang mekar merekah dan lesung pipinya yang khas serupa batu safir yang mengilat indah. Kusodorkan selendang sutera miliknya itu, tangan lencir gemulainya menyambut uluran tanganku. “Apa yang kau pinta dariku?” tanyanya. “Aku ingin memperistrimu,” jawabku tergagap. “Sungguh?” tenyanya lagi menegaskan. “Aku tak ragu,” aku lebih tegas lagi. “Sebelum engkau menikahi diriku, baiknya kau mendengarkan ceritaku terlebih dahulu,” ujar peri itu sambil memegang pergelangan tangan kananku, ia menyjayaku menuju pada sebuah batu ceper kurang lebih setinggi satu meter dengan diameter kurang lebih satu meter pula dan kami duduk berhimpitan di sana, sungguh pengalaman ini pengalaman terindah dalam hidupku. Lalu perempuan peri itu mulai bercerita; *** Dulu pada sebuah dusun telah hidup seorang bujang baik hati lagi perangainya. Ia membantu orang-orang tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kegemarannya menolong orang lain itu, hingga tak terpikirkan olehnya tuk hidup berumah tangga seperti orang kebanyakan, seiring waktu yang terus-menerus beranjak tanpa dapat dihentikan, pria itu menjadi bujang tua. Suatu waktu pria penolong tersebut, terkena penyakit cacar yang

halaman 14


ganas, wajah tampannya berubah buruk rupa, malangnya penyakit cacar yang dideritanya menular pada siapa saja yang dekat dengan dirinya, karena cacar tersebut kian mewabah, akhirnya para warga bersepakat tuk mengusir sang bujang tua dari dusun tersebut, terusirlah ia, dicaci dan dimaki, dilempari batu dan pentungan, ia diperlakukan layaknya babi hutan yang tersesat ke dalam pemukiman penduduk. Akhirnya bujang tua baik hati tersebut hidup seorang diri di dalam hutan perawan ujung dusun. Kayangan berguncang karena penderitaan sang bujang tua. Diutuslah aku turun ke bumi tuk menemuinya, bertemulah aku dengan dirinya, dan ia langsung jatuh cinta pada diriku. Satu permintaan kusodorkan padanya, dan ia meminta tuk menjadikan aku sebagai istrinya, akhirnya aku menikah dengannya, orang-orang menulis kisah cintaku dengan dirinya dalam sebuah cerita pendek berjudul “Bujang Tua yang Menikah Dengan Peri Bermata Biru” akhirnya kami resmi jadi pengantin, dan melakukan senggama sebagaimana suami istri. Sungguh aku tak tega melihat keadaannya, setelah tujuh kali kami bercinta, tubuh ia menjadi kering kerontang layaknya pria berumur delapan puluh tahun, dan ia mati sebelum waktunya. Memang benar apa yang diceritakan dalam cerpen-cerpen itu, bahwa lelaki yang bercinta dengan peri akan menemui ajalnya setelah tujuh kali bersenggama, dalam keadaan tubuhnya menua sebab sari hayati atau sumbur nyawanya terserap oleh sang peri. Pertanyaanku apakah engkau bersedia mengalami nasib serupa dengan bujang tua yang kuceritakan tadi? Demikian tutur peri bermata biru, membuat aku terperangah, rasa was-was mulai menggelayuti pikiran dan perasaanku. *** “Bagaimana menurutmu?” tanya peri bermata biru sambil tersenyum. Saat itu aku tak kuasa berkata-kata. Sempat kubayangkan betapa nikmatnya bercinta dengan perempuan seindah peri bermata biru kendati nyawa sebagai taruhannya. “Ku peringatkan pada engkau bahwa kehidupan ini lebih berarti dari apapun, jangan sampai kenikmatan sesaat membuat dirimu menderita,” tutur peri itu, ia seperti mendengar bisik batinku. “Lalu?” tanyaku dalam kebuntuan. “Baiklah. Bila engkau tak bersedia menukar nyawamu dengan kenikmatan bercinta. Kuberi kesempatan pada engkau tuk meminta satu permintaan lagi,” katanya bernada penuh kebijaksanaan.

halaman 15


Seberkas cahaya menyemburat dalam benakku, kini terpikirkan olehku, barangkali dengan kekayaan aku dapat meraih segalanya, bila aku ingin bercinta dengan perempuan cantik tinggal beli, bila aku ingin rumah, mobil, atau apapun yang aku inginkan tinggal beli. “Aku minta kekayaan,” kataku tegas tiada keraguan dalam hati. “Baiklah. Bila engkau meminta kekayaan. Namun, sebelum kukabulkan keinginanmu itu, baiknya engkau simak ceritaku ini.” Peri bermata biru itu mulai bercerita kendati tanpa kuminta; *** Suatu waktu pada sebuah kampung, seorang pemuda miskin jatuh cinta pada gadis kaya raya. Oh sungguh tak sepadan, celoteh orangorang. Dan pemuda miskin itu menjadi bahan gunjingan, olok-olokan, serta tawaan orang-orang, dan barang tentu cintanya ditolak sang gadis, dan tentunya pinangannya dihina dinakan oleh kedua orangtua sang gadis. Pemuda itu terluka hati, rasa dendam menguasai dirinya, celakanya kebencian pemuda itu bukan hanya pada sang gadis dan kedua orangtuanya, melainkan pula membenci seluruh penduduk kampung yang meremehkannya. Aku kembali datang bertandang dari kayangan menuju bumi menemui si pemuda yang sakit hati itu. Kutawarkan sebuah permintaan padanya, namun ia minta dua permintaan; “Pertama aku ingin kaya raya tuk membuktikan diriku pada perempuan sombong dan kedua orangtuanya yang mata hartaan itu, bahwa aku mampu. Dan permintaanku yang kedua aku ingin semua warga kampung terserang wabah penyakit,” pintanya meluap-luap. “Baiklah kukabulkan keinginanmu, dengan satu syarat kau menjadi makhluk terkutuk,” kataku tegas. “Aku sanggup,” jawab pemuda itu lebih tegas dari perkataanku. Akhirnya pemuda itu menjadi seorang berharta, kekayaannya tiada duanya di kampung itu. Gadis yang menampik cintanya dulu dinikahinya dan setelahnya dicampakan begitu saja dan kedua orang kaya mata hartaan tersebut dijadikannya bujang diperlakukan layaknya seorang budak belian. Sesuai dengan perjanjian selang satu tahun lelaki muda itu mati, mati karena suatu perjanjian, dan arwahnya tidak kembali pada Tuhan, melainkan arwahnya menjadi budak bagi bangsa peri, dan setelah kiamat nanti ia akan masuk neraka disatukan dengan para

halaman 16


makhluk terkutuk lainnya, kekal abadi di sana. Tujuh hari setelah kematian lelaki muda tersebut. Penyakit aneh mewabah di perkampungan itu, sakit sore mati malam, malammalamnya ketawa pagi-pagi telah menjadi bangkai. Para perawan bertelanjang bulat pada tengah malam mengelilingi rumahnya demi menangkal wabah penyakit, namun keesokan harinya perawan itu malah mati mengenaskan. Para dukun membakar dupa, para pemuka agama memanjatkan doa di rumah-rumah peribadahan, namun penyakit tak urung mewabah, terus-menerus memakan korban. Begitulah manusia, bila hatinya tersakiti, kendati bersekutu dengan iblis ia akan bersedia, demi melampiaskan nafsu amarah yang bersarang dalam hatinya yang hitam dan kelam penuh dendam dan kebencian. Tutur peri bermata biru itu, sambil tersenyum matanya dikerlingkan padaku. *** Setelah mendengar pitutur dari peri bermata biru, aku kembali terhenyak, lidahku kelu tak dapat digerakan. “Bagaimana menurutmu?� tanyanya. Sesaat aku terdiam sebab tak sanggup berkata-kata. “Ambisi dalam hatiku telah sirna,� jawabku pada akhirnya. Tiba-tiba gerimis kembali membibis, namun kali ini bukan air yang turun dari langit, namun gerimis kali ini gerimis cahaya serupa pelangi, kemudian cahaya itu melengkung para bolis dari angkasa menuju ke arah peri bermata biru. Dan peri itu berdiri, kakinya yang lencir putih berisi serupa bulir padi meniti tangga cahaya menuju kayangan, meninggalkanku tanpa beban, sedangkan aku duduk terpuruk mengenangkan dirinya. Oh peri bermata biru, akankah kita bertemu lagi? Kau jangan tertawa, ceritaku tadi mungkin kau anggap lelucon, ini sungguh-sungguh terjadi, dan peri bermata biru itu, barakangkali akan kau sua di air terjun, di sungai, di hotel, bahkan di rumah dan tempat perbelanjaan, dan kebanyakan orang yang bertemu dengan peri bermata biru itu, mereka akan tergoda oleh bujuk rayunya, hingga mereka rela menukar kenikmatan sesaat dengan penderitaan abadi, atau bahkan peri bermata biru itu akan mengubah mereka menjadi makhluk terkutuk serupa iblis. ***

7 halaman 17


Cerita-pendek

Senja yang Kelabu oleh Marzuli Ridwan Al-Bantany Marzuli Ridwan (Marzuli Ridwan Al-Bantany), lahir di Bantan Air, Bengkalis, 16 September 1977. Alumni mahasiswa IAIN Susqa Pekanbaru (2002). Seorang Jurnalis dan anggota PWI Bengkalis. Selain itu juga tercatat sebagai salah seorang guru honor di MA Al-Huda Penampi, Bengkalis.

halaman 18


ore itu matahari hampir tenggelam di upuk Barat, Amat baru saja pulang dari menangkap ikan di laut bersama anak lelaki sul sulungnya, Harun. Dengan langkah sedikit tergopohgopoh dan da sambil berlari-lari kecil ia berseru memanggil istrinya. “Leha…, Leha…, tengoklah abang dah balik ni, bawe hasil tangkapan kita hari ini. Ade ikan parang, senangin, gerut, bawal dan macammacam lagi. Awak masaklah sedap-sedap ye, abang nak ke rumah Pak Long sekejap, mengantarkan pesanan die tadi pagi,” kata Amat dengan bahasa Melayu-nya yang amat kental sambil meletakkan sekarung kecil ikan yang baru dijaringnya di depan pintu dapur rumah dan terus bergegas ke rumah Pak Long yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumahnya itu. Istrinya yang sejak selepas Ashar tadi duduk menganyam tikar di ruangan tengah rumah, bangun dan segera menemukan anak sulungnya Harun. “Run, nak dimasak ape ikan-ikan ini Run ?, dimasak pindang ajelah ye nak !,” kata Emak Harun. “Boleh juge tu Mak, tapi sebagiannye lagi dibuat sambal belade lah ye Mak,” jawab Harun tersenyum-senyum sambil menyeka keringat yang terus mengalir di keningnya. Tak berapa lama setelah itu Harun-pun segera merapikan jaringjaringnya yang putus yang dibawa dari menjaring ikan di laut dan meletakkannya di tempat biasa ia meletakkannya, lalu bergegas ke perigi di belakang rumah membersihkan badannya karena sudah hampir seharian penuh tak mandi. Sesudah shalat Maghrib, mereka sekeluarga, Amat berserta istri, Harun dan dua adiknya yang lain yang masih kecil bersama-sama santap malam sambil bergurau senda dan berbual-bual bertanyakan sesuatu. “Bang, macam mane tadi di laut, aman-aman saje kan ?, Leha khawatir, kalau-kalau terjadi lagi perkelahian antar nelayan macam tempoh hari,” tanya Leha pada suaminya. “Tak ade yang perlu dikhawatirkan Leha, yang penting niat kite ikhlas semata-mata mencari rezeki Allah, insaallah kite dilindungiNya,” jawab Amat singkat sambil terus mengunyah-nguyah makanannya dan berkalikali minta ditambahkan lauk oleh istri tercintanya itu. Sebagai seorang istri, wajar kalau Leha mengkhawatirkan keadaan suaminya yang dalam kesehariannya menjaring ikan di laut untuk menghidupi keluarganya dan bagi membiayai perkuliahan Anisa, putri keduanya yang saat ini sedang duduk di semester IV di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Pekanbaru. halaman 19


Kekhawatiran Leha rasanya sangat beralasan, karena akhir-akhir ini perkelahian antar sesama nelayan sering kali terjadi dan selalu menimbulkan korban jiwa. Maklumlah pertikaian antar kelompok nelayan hingga hari ini belum juga dapat diselesaikan dan masih terus berlangsung, sehingga tak mengherankan jika dalam masa sebulan, ada saja aksi perkelahian dan konflik yang terjadi antar sesama nelayan tersebut. Meskipun suaminya bukanlah termasuk golongan dari kedua nelayan tersebut, namun Leha tetap mengkhawatirkan diri suami dan anaknya jika ada hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. “Bukannye ape Bang, Leha macam tak sedap hatilah kalau abang pergi melaut. Pikiran Leha di rumah akhir-akhir ini kadang-kadang tak tentu arah dan selalu tak tenang dibuatnye, asik memikirkan abang bedue beranak,” ulas Leha sambil menatap tajam wajah suaminya. “Sudahlah, tentang abang dan Harun tak usah dirisaukan sangat, tahulah kami menjage diri nanti. Awak berdoa saje semoga tak terjadi ape-ape dengan kami,” ujar Amat meyakinkan istrinya. Di malam yang dingin itu sambil ditemani terangnya sinar cahaya bulan purnama dan merdunya suara pungguk, membuat kampung nelayan di sebuah dusun kecil di utara Kampung Nyiur itu menjadi sunyi senyap tanpa terdengar lagi suara hiruk pikuk anak-anak muda yang sejak senja tadi asik bercengkerama dan bersenda gurau sesama sendiri, semuanya sudah terlelap tidur di peraduan masing-masing karena keletihan seharian bekerja. Dan kala itu malampun semakin larut, yang masih terdengar hanyalah suara-suara jangkrik bersahut-sahutan memecah keheningan dan kebekuan malam. *** Seperti hari-hari biasanya, di sungai, para nelayan terlihat sudah banyak yang mulai bertolak ke laut. Pak Itam, Musa, Awang, Karim, Ujang, Abu dan beberapa nelayan yang lain pagi-pagi lagi sudah meninggalkan dermaga yang hanya terbuat dari batang nibung itu. Tetapi Amat dan anaknya Harun masih terlihat santai-santai saja sambil membereskan semua peralatan yang hendak dibawa untuk pergi menjaring. “Run, semuenye dah dikau siapkan ?, tengok betul-betul jangan sampai ade yang tertinggal pulak, begitu juge dengan bekal yang Emak engkau siapkan tadi. Hari ini kite balik agak malam mungkin, pasalnye kite menjaring sedikit jauh dari tempat biase. Dikau sendiripun tahukan, akhir-akhir ini ikan di laut kite tu sudah agak berkurang,”

halaman 20


kata Amat sembari melepaskan ikatan tambatan tali perahunya yang diikat di sebuah batang pohon kedabu di pinggir sungai itu. Setelah itu merekapun segera bertolak menuju laut. Dengan penuh keyakinan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih pada hari itu, Amat dan anak sulungnya melaju ke laut memecah derunya ombak Selat Malaka dengan perahu pompongnya yang hanya berkekuatan 40 PK. Namun dengan penuh harapan, keduanya mencoba mengadu nasib demi mencari sesuap nasi. Sambil menebarkan jaring di tengah laut, Amat dan Harun sesekali tampak berbual-bual dan bergurau-senda seadanya. Terkadang mereka juga mendiskusikan berbagai masalah yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat, terlebih lagi menyangkut kehidupan dan perekonomian keluarga mereka. “Hidup ini memang banyak cobaan dan rintangannye Run. Kalau kite tak bersabar dan terus berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik, maka sampai kapanpun kite tak akan pernah menjadi orang yang berhasil. Kite perlu berusahe dengan sekuat tenage, ikhtiar dan selalu memohon kepada Allah. Ingat itu pesan ayah tau...!!,� kata Amat mengingatkan anak lelaki satu-satunya itu seraya mengajarkannya tentang makna dan arti kehidupan. Harun hanya mengangguk-angguk dan tersenyum mendengarkan nasehat ayahnya itu. Memang Harun dulu pernah bersekolah di salah satu sekolah menengah di desanya, tetapi sayang dia tak sempat menamatkannya, hal itu dikarenakan keluarganya tidak mampu untuk membiayai persekolahannya, dan juga disebabkan oleh keinginan dan kemauannya yang sangat keras untuk membantu meringankan beban keluarga. Sebagai anak tertua, Harun merasa terpanggil hati nuraninya untuk membantu keluarga, yakni dengan membantu ayahnya pergi melaut mencari rezeki. Sedangkan ibunya hanya mampu membantu ayahnya dengan mengambil upah dari membuat tikar yang terbuat dari daun pandan. Tetapi syukurlah, adiknya Anisa masih bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni di perguruan tinggi, karena Anisa merupakan seorang anak yang pintar dan dia juga sering mendapatkan bantuan berupa Beasiswa. *** Malam itu jam dinding di rumah Leha sudah menunjukkan pukul 9 malam. Makan malam yang sudah sejak Maghrib tadi disiapkannya, sepertinya sudah mulai mendingin, tetapi suami dan anaknya belum juga pulang. Leha menjadi resah dan semakin risau memikirkan kedua

halaman 21


insan yang disayanginya itu tak jua kunjung tiba. Sementara kedua anaknya yang masih kecil, sudah sejak selesai isya’ tadi tidur di ruang tengah rumah. Tak seperti biasanya, paling lambat-pun suaminya sampai ke rumah sekitar pukul 7 malam. Tetapi entah mengapa malam itu suaminya juga belum pulang. “Kemanelah perginye suami dan anak aku ni agaknye. Dah jam sembilan lewat ni belum jugak sampai ke rumah,” tanya Leha dalam hati seorang diri, dan sesekali dia juga menjengah keluar melalui jendela kamar yang sengaja tak ditutupnya itu, kalau-kalau terlihat suaminya pulang. Rasa risau seakan semakin membuncah di pikiran Leha di mala itu. Apatah lagi ketika ia menuangkan segelas air putih. Namun entah mengapa tiba-tiba segelas air putih yang dituangnya dan akan dipegang itu, seketika lepas dari genggamannya dan jatuh dah pecah di atas lantai. “Ya Allah... apekah pertandenye ini ???” gumam Leha. Di malam itu sebagian besar para nelayan di kampung Leha sudah banyak yang pulang ke rumah dan mulai beristirahat, tetapi Pak Itam, Awang dan suami Leha serta anaknya tak diketahui kemana perginya mereka, padahal menurut keterangan Ujang dan teman-temannya yang lain, perahu Amat, Pak Itam dan Awang tadi terlihat sama-sama beriring bergerak pulang, dan jarak antara perahu Ujang dengan ketiganya tadi tidak begitu terlalu jauh, hanya sekitar 3 mil. “Iye Pak Long, tadi perahu Amat, Pak Itam dan Awang berade di belakang kami, tak jauh juge lah tu. Tetapi mengape mereka tak sampai-sampai jugak, padahal kami sudah sejak senje tadi sampai,” kata Ujang kepada Pak Long yang kebetulan baru balik dari surau karena ada musyawarah dengan pengurus-pengurus surau mengenai kelanjutan pembangunan surau di desanya. “Kalau betul kata kau itu Jang, mungkin ade sesuatu yang terjadi pade mereke tak ?. Begini sajelah…, sebaiknye kalian cepat-cepat menyusul kembali ke laut sebelum air surut, dan jangan lupe pulak…, ajak juge beberape orang buat temankan dikau tu Jang…,” perintah Pak Long sedikit menyimpan perasaan cemas, dan itu terpancar di raut wajahnya yang sudah berkedut-kedut itu. Ujang dan beberapa temannya bergegas menuju laut. Namun tiba-tiba terdengar suara… “Tolong...!!!, tolong…..!!!,” pekikan minta tolong terdengar sayup-sayup dari arah hilir sungai (kuala) memecah keheningan malam di kampung nelayan itu. Ujang bersama-beberapa temannya mulai mendengar suara orang meminta tolong dari hilir sungai, “Cube pelankan sikit suare mesin pompong ni, aku macam mendengar suare orang minta tolong dari arah sane tu….,” kata Ujang halaman 22


sambil menunjukkan arah suara minta tolong itu datang. “Iye bang Ujang, akupun tadi macam mendengar juge suare itu, tapi rasenye suare itu tak jauh sangat dari sini bang. Cepat-cepat kite ke sane yuk…,” sahut Bidin membenarkan. Hasan yang memegang kemudi di belakang setelah mendapat perintah supaya menambah kecepatan pompong, lalu tancap gas dengan sekencang-kencangnye menuju arah suare itu datang. Dengan perasaan was-was Ujang, Bidin, Hasan, Atan, Umar, dan tiga orang temannya yang lain, ikut menyuluh ke kiri dan kanan sungai dengan lampu picit (senter) yang sengaja dibawa mereka, mana tahu suluhan mereka itu menemukan orang yang minta tolong tadi. “Bang…, bang Ujang…!!!, itu yang tergeletak di sesai sane macam jasad seorang manusia lah,” “Betul…betul..., cube kite turun dan tengokkannye,” balas Ujang membenarkan kata-kata Hasan sambil memerintahkan Bidin, Atan dan Umar untuk melihat dari dekat. Dengan menggunakan senter, Bidin segera turun ke sesai pinggiran hilir sungai itu, lalu... “Ya Allah…. , inikan Harun, anak Pak Cik Amat. Astaghfirullahal ‘Azim ape dah jadi ni…, tengok…., di keningnye ade luke memar, cepat…cepat…, kite angkat die ke motor,” kata Bidin sambil meminta Hasan, Atan dan Umar turun untuk membawa jasad Harun yang sudah lemah terkulai itu ke atas motor pompong milik Ujang. “Ape yang sudah terjadi Run, mane ayah engkau, Pak Itam dan Awang serta para pembantunya itu…?,” serangkai pertanyaan itu ditujukan Ujang kepada Harun, namun Harun masih diam membisu dan belum dapat menjawabnya, karena tak berdaya keletihan berenang dan terbawa arus gelombang ke tepian. Wajah Harun-pun tampak semakin pucat sekali. Sesudah minum segelas air putih yang diberikan Hasan, di atas pompong yang hanya diterangi cahaya sebuah lampu neon 40 watt, sambil menangis Harun mulai sedikit berkata-kata dan mencoba menjelaskan apa yang baru saja dihadapi bersama dua pemilik perahu lainnya tadi di tengah laut ketika hendak pulang. “Begini Pak Cik…, ketika azan Maghrib berkumandang dan sewaktu kami sedang di perjalanan pulang tadi, secara tak disangkasangka datang dua motor besar melanggar dan merapat ke motor kami. Kami tak tahu dari mane asalnye mereka,” jelas Harun dengan sedikit terbatuk-batuk. “Teruskan Run, setelah itu ape yang terjadi,” tanya Ujang tak sabar mengetahui apa seterusnya yang terjadi pada diri Harun anak

halaman 23


kemanakannye itu. Harun-pun kembali menceritakan, dimana setelah kedua motor besar tadi merapat, para awak motor itu langsung menaiki pompong milik ayahnya serta dua pompong lainnya milik Pak Itam dan Awang. Para Awak motor itu dengan wajah beringas dan kejam memukul serta menganiaya dirinya dan semua orang yang ada di dalam ketiga pompong tersebut, termasuk ayahnya sendiri tak terelakkan juga dari amukan penjahat itu. “Kami semua sebenarnye sempat juge melawan dengan kekuatan yang kami ade Pak Cik, tetapi karena mereka mempunyai senjata, kami tak mampu melawan dan pasrah saje,” kenang Harun. Harun masih ingat sebelum dirinya terjatuh ke air setelah sebuah benda tumpul menghantam keningnya karena hendak melawan, dia sempat melihat ayahnya, Pak Itam dan Awang serta kedua anak buah kapal diikat dengan tali dan dipaksa masuk ke dalam motor “Lanun” itu. Harun berusaha melawan, tetapi untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, di tengah hiruk pikuk dan dengan gelombang yang agak besar di kala itu, seorang “penjahat laut” melayangkan pukulan keras dengan sebuah kayu bulat tepat di kening kiri Harun dan memaksa dirinya terjatuh ke laut, kemudian tenggelam hilang terbawa arus gelombang. “Setelah itu saye tak tahu lagi ape yang terjadi pade ayah, Pak Itam dan Awang, mungkin mereke sudah…..,” sebut Harun terputus-putus dan menangis sejadi-jadinya. “Sudahlah Run, kite berdoa saje semoga tak terjadi ape-ape dengan ayah engkau dan yang lainnye itu. Besok hari kite same-same mencari di mane keberadaan mereka,” kata Ujang menenangkan perasaan anak saudaranya yang sedang galau itu. Tengah malam itu juga, Harun yang sudah ditemukan lemas tergeletak di pinggir pantai dekat hilir sungai lalu dibawa pulang ke rumah, sedangkan untuk pencarian dan mengetahui keberadaan ayahnya, Amat, Pak Itam, Awang serta nasib kedua anak buah yang lain, disepakatilah dilakukan esok hari saja mengingat hari sudah semakin larut malam. *** Di teras rumah Leha terlihat orang sudah ramai berkumpul, Pak Long, termasuk beberapa pemuda dan jiran-jiran sebelah rumahnya. Sedangkan di dalam rumah sudah ada neneknya, Mak Jah, dan Mak cik Sanah yang sejak pukul 10 tadi menemani dan menenangkan perasaan Leha karena merisaukan suami dan anaknya tak pulang-

halaman 24


pulang. Sementara itu di rumah Atun, istri Pak Itam dan di rumah Esah kakaknya Awang Busu, juga mengalami hal yang sama. Mereka pun turut merisaukan ketidakpulangan ketiga penjaring ini. “Mak Cik Leha…, Nenek…., tengoklah ni, Harun dah balik bersame dengan Pak Cik Ujang,” seru Udin, saudara sepupu Harun memberitahukan kepulangan Harun. Leha dan Neneknya bergegas melihat Harun ke teras, ternyata Leha hanya menemukan anaknya Harun pulang sendirian dengan badan basah dan penuh lumpur. Sambil berurai air mata dan terisak-isak, Leha bertanya kepada anaknya, “Run, kenape engkau balik sendirian, ape yang terjadi…?, ayahmu mane nak…?,” “Kami…, kami…., kami Mak….” kata Harun terbata-bata. “Ape-ape hal naiklah dulu ke rumah, nanti biar Ujang ceritekan semuanye,” Pak Long menjawab pertanyaan Leha yang sejak tadi seakan terpaku saja di depan pintu rumah melihat Harun pulang. Melihat Harun dalam keadaan tak seperti biasanya, Leha lantas memeluk tubuh anaknya itu rapat-rapat sambil mencium dan mengusap-usap kepala Harun, sementara Harun hanya terdiam membisu dan sedikit menggeletar tubuhnya. Ketika itu juga, tangis Leha-pun seakan tak terbendung lagi, pilu dan sedih menjadi satu. Sesampainya ke atas rumah, Ujang menceritakan semua yang baru saja dialami Harun bersama ayahnya dan dua pompong lainnya di tengah laut tadi. Leha yang mendengar kabar yang baru diceritakan Ujang, sangat terkejut dan seperti tak percaya. Tetapi Leha hanya pasrah dan terus menangis tak sanggup menahan sedih. “Sabar lah Leha…., bang Amat engkau tu insaallah dalam keadaan selamat. Kite berdoa sajelah,” nasihat Mak Jah kepada menantunya seraya membersihkan luka di kening cucunya dengan kain yang dibasahai air hangat-hangat suam. Orang ramai yang sejak tadi datang dan memenuhi ruangan tengah rumah Leha malam itu turut bersedih atas nasib yang dialami Harun dan ayahnya serta dua pompong lainnya. Namun mereka tak dapat berbuat apa-apa, hanya sekedar turut merasakan apa yang dirasakan oleh Leha dan juga keluarga Pak Itam dan Awang. Suasana sangat mencekam di rumah Leha malam itu, memang benar-benar dirasakan. Satu-satu pengunjung yang datang mohon pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Cuma yang tinggal, Mak Jah, Mak Cik Sanah, Ujang serta beberapa kerabat dekat lainnya. *** Sudah hampir seminggu peristiwa itu terjadi. Namun sampai detik

halaman 25


itu juga, Amat, Pak Itam, Awang serta dua orang pembantu lainnya belum juga diketahui nasibnya. Padahal usaha pencaharian sudah dilakukan dan juga sudah sampai kemana-mana. Jangankan mereka berlima, perahu pompongnya saja yang digunakan untuk pergi melaut tidak ditemui. Pokoknya usaha pencaharian terus dilakukan, bahkan aparat keamanan laut juga turut dikerahkan untuk membantu mencari, namun hasilnya masih nihil. “Dah merate-rate tempat kite cari mereka, tapi sampai hari ini kite belum juge menemukannye. Kasihan mereka tu…, kemane agaknye ye…!!!,” kata Bidin pada Atan dan kawan-kawannya di warung Tok Kasim samping sekolah SD yang bangunannya baru saja selesai diperbaiki itu. “Entahlah Din, akupun sebetulnye heran juge. Tapi kalau menurut firasat aku ni…, Pak Cik Amat, Pak Itam, Awang dan budak berdue tu…, aku rase dah diculik oleh penjahat, dan perahu pompongnye dibawe sekali,” jawab Atan berandai-andai. “Aku rase macam tu jugelah Tan…., tetapi…. siape pelakunye dan di mane mereka berade sekarang….,” kata Bidin, sembari dibenarkan oleh kawan-kawannya yang lain. Tak berapa lama mereka asik bercakap-cakap dan minum-minum kopi pada petang Kamis di warung Tok Kasim yang sederhana lagi tampak asri itu, mereka dikejutkan oleh seorang lelaki separuh baya yang berlari-lari dari arah laut sambil memekik ketakutan. “Tolong…., tolong…., tolong aku….” kata lelaki itu. Sepontan, mendengar kata-kata yang diucapkan lelaki itu, Bidin, Atan dan semua orang yang berada di sekitar warung Tok Kasim berhamburan keluar dan menjumpai lelaki yang berlari bagaikan dikejar harimau itu. “Ade ape Pak Malik…, berlari-lari dan meminta tolong ni…?” tanya Bidin keheran heranan. Dengan nafas terengap-engap Pak Malik berkata “Aku….., aku….., tadi…., tadi…. selepas balik menyondong ikan di laut, aku…., aku…. menemukan sosok manusia di semaksemak bakau di tepi pantai dalam keadaan terlungkup,” “Ape… Pak Malik….?, Pak Malik menemukan mayat di pantai…?. Kalau begitu mari kite semue ke sane…” Bidin segera mengajak kawankawannya, dan Pak Malik pun ikut serta untuk menunjukkan di mana tempat ia menjumpai mayat itu. Sedangkan Atan pergi memberitahu Pak Long, Ujang dan beberapa orang tua di kampung itu. Bidin bersama Pak Malik, Karim, dan beberapa orang kawannya yang lain segera ke pantai untuk melihat mayat siapa yang baru

halaman 26


ditemukan Pak Malik. Dengan langkah agak terburu-buru dan dengan seribu pertanyaan, mereka pun sampai ke pantai. “Pelan-pelan baringkan dia…, Innalillahi wainna ilaihi rajiun…., ini mayat siape Pak Malik…?,” tanya Bidin kepada Pak Malik. “Entahlah Din, aku tak kenal, sebab wajah dan sekujur tubuhnya sudah membengkak dan tak dapat dikenali lagi,” jawab Pak Malik tak dapat mengenali mayat siapakah itu. “Sebaiknye kite bawe saje dulu ke darat, nanti di sane baru kite tanyekan, mane tahu orang kampung ade yang kenal dengan mayat ini,” kata Pak Malik lagi. Akhirnya, pada senja menjelang Maghrib, mayat yang baru ditemukan itu segera dibawa ke darat diusung dengan tandu yang sengaja sudah disiapkan sejak tadi. Di Mesjid orang kampung sudah ramai berkumpul untuk shalat Maghrib sekaligus melihat mayat siapa yang baru saja dibawa dari pantai itu. “Entahlah Din, aku pun tak tahu mayat siape ini, pasalnye seluruh tubuhnya sudah membengkak dan wajahnye tidak dikenali lagi,” kata Imam Mesjid. Tak lama kemudian datanglah Harun, Pak Long, Leha dan ibu mertuanya. Kedatangan mereka untuk memastikan siapa sebenarnya mayat itu. Leha dengan perasaan cemas memandang dan melihat dengan seksama siapa mayat yang kini berada di hadapanya itu. Tiba-tiba saja Leha menangis tersedu-sedu. “Ya Allah…., ini adalah mayat abang Amat, Mak…, Leha kenal dari cincin yang dipakai di jari kirinye itu Mak…,” ucap Leha sambil memeluk rapat tubuh ibu mertuanya itu lalu menumpahkan segala kesedihannya. Sepontan mendengar ucapan Leha, Harun pun ikut menangis sejadi-jadinya. Beberapa warga yang hadir saat itu pun turut menangis tak kuasa menahan haru. “Sabarlah Leha…, ikhlaskan saje kepergian abang Amat engkau ni. Ini semua sudah takdir dari Allah nak…” kata Mak Jah seraya menyuruh agar jasad anak kandungnya segera dibawa pulang ke rumah. Malam itu juga, sebaik saja selesai menunaikan shalat Magrib, orang-orang kampung dan semua keluarga dekat Leha berkumpul di rumahnya untuk mengurusi jenazah Amat. Sebagiannya lagi ada yang membaca surat Yasin, mengaji dan lain sebagainya. Sedangkan untuk pengebumian jenazah Amat dilakukan keesokan paginya. ***

halaman 27


Di samping jendela kamar Leha sore itu, dirinya sedang termenung seorang diri mengenangkan suaminya yang telah meninggal dunia akibat dari kekejaman dan keberingasan penjahat laut. Meskipun sudah hampir sebulan peristiwa kelabu itu terjadi, namun sampai detik itu juga siapa sebenarnya yang melakukan perbuatan keji itu belum diketahui. Begitu juga dengan Pak Itam, Awang dan dua orang pembantu setianya, tidak diketahui bagaimana nasib mereka. Justru dengan kehilangan mereka ini, keluarga yang ditinggalkan semakin bertambah sedih. Tetapi keluarganya hanya bisa pasrah dan bersabar sambil berharap agar nelayan yang hilang ini segera kembali. “Mak…., janganlah emak terlalu memikirkan kepergian Ayah. Tak sanggup rasenya Harun melihat emak asik termenung setiap hari,” pinta Harun membujuk ibunya. “Emak risau tentang nasib dirimu dan adik-adikmu Run…., siape yang akan membiayai kuliah Anisa… ?, dan belanja kite sehari-hari…?. Duit yang mak dapat dari membuat tikar itupun tak seberape, buat makan kite saje rasenye macam tak cukup…, emak sedih Run…,” Leha mengutarakan semua keperihan hatinya pada Harun. Harun-pun hanya terdiam membisu. Memang setelah peristiwa yang memilukan itu terjadi, Harun tidak lagi pergi melaut, karena takut dan masih trauma. Tetapi untunglah Neneknya yang tinggal dengan Pak Ciknya Ujang sedikit membantu dan meringankan beban yang dihadapi keluarga Leha. “Mak janganlah kuatir…, Harun akan cube membantu emak dan juge Anisa. Kalau tak ade aral melintang, mulai esok luse Harun akan kerje di perabot milik apek Shang di ujung kampung kite ni. Semalam dah kami bicarekan semuanye,” kata Harun. Ibu Harun mendengar kata-kata yang diucapkan anaknya itu lalu tersenyum sambil menangis. Iapun memeluk anak lelaki yang akan menjadi tulang punggung keluarganya itu dengan erat. Sore nan cerah itu, mataharipun mulai terbenam, rumah Leha yang sederhana itu kembali menampakkan serinya. Babak baru kehidupan yang penuh kegembiraan akan diraih kembali oleh Leha dan anak-anaknya meskipun tanpa suami di sisinya. Namun dengan ketegaran dan semangat baru yang dimiliki, mereka mencoba meraih masa depan yang lebih cerah lagi. ***

7 halaman 28


Sajak

Alfa Anisa Sembahyang Senja Tanah Warisan Kudatangi Rumahmu Sajak kepada Teman Tiba-Tiba Masa Lalumu Singgah Di Museum Malam di Stasiun Tugu Kampung Bicabbi* (1)

Alfa Anisa (Anisa AlďŹ Nur Fadilah). Lahir di Blitar, 28 Maret 1995. Mahasiswi program ilmu komunikasi di Universitas Islam Balitar, sekarang menjadi salah satu wartawan di media online. Dan beberapa karyanya tersebar di media massa.

halaman 29


Sembahyang Senja

Orang-orang saling bersiap bertapa # di saat senja usai bertegur sapa Semburat keemasan mulai raib # ditelan malam yang mencari nasib Lalu aku menyelipkan doa di lipatan langit # sebab lembar hidupku mulai terjangkit Kuletakkan lafadz-lafadz paling hening # di pucuk sore yang paling bening Sambil kutiup harapan di rongga dada # khusyuk mengirimkan doadoa sederhana Matahari hampir terlelap dalam gelap # sinar bulan menyala dengan tergagap Sebelum sembahyang senja ini padam # sebab ayat-ayat sore kembali karam Pada lautan rindu di penghujung waktu # hingga doa-doa tertampung dikubangan restu Dan pada petuah ibu segalanya harus digugu # menumbuhkan lugu, membuang ragu Blitar, 14 Juli 2015

halaman 30


Tanah Warisan

daun-daun kering berjatuhan # berkenalan dengan aroma tanah warisan kebencian tiba-tiba tercium semerbak # menangkap doa-doa yang luluh lantak di rumah tua orang-orang beradu kata-kata # mengutuk segala doadoa dan sepasang mata mengintip di balik purnama # membaca keresahan dari raut muka demi hari yang selalu berganti # orang-orang semakin mengerti saling berebut isi bumi # menguasai seluruh muasal datangnya rezeki Blitar, Juli 2015

halaman 31


Kudatangi Rumahmu

kudatangi rumah kunomu itu # bersinarkan bulan yang piatu mengetuk pintu serupa irama lagu # dan aku terpaku padamu yang berdiri lugu tiba-tiba angin malam melintas # sedang kita masih bertatapan cemas menyembunyikan segala kesalahan # saling melempar kesenyapan kudatangi rumah kunomu itu # menyelipkan rindu dari sepanjang waktu binatang malam mengucapkan salam # sebelum suaraku tenggelam dan karam di bawah remang-remang sinar lampu # kususun sapaan paling malumalu dan kita takzim melantunkan kalimat # terbata-bata mengucap kata paling khidmat di meja tuamu segala jajanan kuno tersaji # aku ingin segera mencicipi dari toples bermotif lenggak lenggik # hingga toples berbentuk antik kuminum segelas air sirup # yang kauhidangkan dengan sepasang mata redup sembari membuka lembar cerita yang habis # merampungkan khilaf yang telah terkikis Blitar, Juli 2015

# Puisi bergaya nadhoman, atau pagar kenabian.

halaman 32


Sajak kepada Teman : Qowi Rosyidah aku menemukanmu di dalam laci yang dihuni sunyi menampung hiruk pikuk seorang diri lalu meraba setiap urat kayu dengan jari jemari paling suci bibirmu menyusun sabda-sabda paling akur, mengheningkan segala syukur dan kenangan menduga-duga senyumanmu yang tinggal separo lengkung purnama menanti pertemuan selanjutnya yang masih berdiam dalam rencana Blitar, 14 Juli 2015

Di Museum : khalilurahman Di museum, kita memasuki lorong-lorong waktu Menyusuri ragam tawa, luka, darah, dan air mata Lalu kita petik jerit tangis orang-orang dengan kepiluan Sambil memutar masa lalu yang telah terlelap candu Dan kita percaya pada bekas jejak doa-doa sederhana Menyusun lembar cerita semakin terbaca Blitar, 15 Juli 2015

halaman 33


Tiba-Tiba Masa Lalumu Singgah

Tiba-tiba masa lalumu singgah seketika urat nadiku mengalirkan denyut cemburu bertualang ke cabang-cabang hati yang malu-malu memasuki pintu cerita yang belum ada restu sedang kau masih takzim mendekap masa lalu dengan senyuman lugu Tiba-tiba masa lalumu singgah hingga ingin kupotong secuil masa lalu yang tak sengaja muncul dari lembar kisah abu-abu sebab mengenangmu seperti membikin asa yang kadangkala berdusta Tiba-tiba masa lalumu singgah padahal kenangan tak lagi berkarib pada ingatan yang mendekam di kepala sebab masa lalu sudah terlalu berdebu menghuni janji yang tak lagi digugu Blitar, 15 Juli 2015

halaman 34


Malam di Stasiun Tugu

Malam di stasiun tugu, separuh bulan memerangkap hening datang dari peron-peron berpagut sunyi bersembunyi diantara suara-suara tangisan dan mengundang luka di rongga dada Aku menepi dari bisingnya lalu lalang orang-orang dari peluit panjang yang mengabarkan awal perpisahan dari air mata yang tersendat-sendat dan rindu-rindu semakin tunduk menjadi doa yang rimbun Malam di stasiun tugu, aku menyelinap pada degup jantungmu yang tersimpan rahasia kesetiaan peluit panjang mulai menggema, lengkingnya tembus sampai ke dada dan selamat tinggal kuucapkan dengan air mata yang tercipta dari sisa kata-kata Blitar, 2015

halaman 35


Kampung Bicabbi* (1)

mentari datang dari ujung lautan sinarnya berjumpalitan di atap-atap rumah ombak laut masih khidmat menjaring rindu dari para perantau yang kepulangannya ditunggu-tunggu sedangkan kail-kail semakin koyak menangkap sisa percakapan nelayan yang telah luluh-lantak aku menyelinap pada sayap-sayap peri pagi yang sedang merayakan hening di tepi pantai sambil melantunkan lafadz-lafadz kesunyian dari kesederhanaan hidup para nelayan angin pagi bergerak dalam pusaran langit meluluhlantakan daun-daun kelapa yang mengering di dermaga ini, puluhan sampan menepi dari pagi yang belia menidurkan diri sejenak dari karang-karang, ombak di lautan dari badai sangar semalaman kampung ini tercipta dari kesederhanaan para nelayan yang bergelayut manja di kaki-kaki langit keramahan berjajar rapi di muka pintu menyambut doa-doa lugu dan kampung ini menyimpan benih-benih senyuman yang menumbuhkan letupan rindu di rongga dada Blitar, Juni 2015 * Bicabbi :

nama kampung di daerah Dungkek, Sumenep, Pulau Madura.

7

halaman 36


Sajak

ShNA Kepada Septiana Putri Sholikah Memanjakan Diri Find The God (Ke)luar Danau Amin

ShNA nama pena dari Shoimatun Nur Azizah. lahir di Klaten, 11 Februari 19 tahun yang lalu. Ak!f di beberapa grup kepenulisan setahun terakhir. pernah menjuarai FTS Most Powerfull Love. Beberapa antologinya: Bangsa Bayangan, Belajar Pada Semut, Asmara Dalam Kata, Senja Tak Berpelangi, dll.

halaman 37


Kepada Septiana Putri Sholikah

tarik aku ke lingkaran sabarmu kurung egoku di sana biar koarnya tak lagi sia. tenggelamkanku di kolam saudara ajari renang tahan arus universal jauh dari pusaran ababil mengingat anak-anak labil. yang berontak sekitar otak menarik hilir mudik jalan-jalan antara lubang dan gelombang dorong aku ke tegar jurang pikirmu biar bocah-bocah di pikirku takut dan terbirit pergi sebab tak betah tinggal di ranah yang belum jadi usia mereka merekah. pukul aku kuat-kuat dalam semangatmu yang tahan karat dan keras suara kereta lewat biar api diri merah nyala bara bakar gelora, cita, cinta dan sanak sepupunya sebab katamu pikirkan ruangku dan bangunan-bangunan yang menyusunnya hingga jadi aku yang aku, bukan aku yang direka-reka ke dalam sebuah citra kehendak mereka yang tak suka bukan karena ocehan aku ada tapi karena kasih sayang dan tanggung jawab dua orang yang menginginkanku mendewasa 2015

halaman 38


Memanjakan Diri : Puisi aku memanjakan diri dengan krim-krim puisi mengoleskannya ke kulit ari ternadi ia vitamin bagi jiwa yang kurang gizi obat bagi wajah patah hati saat menelan tablet-tablet puisi ada semacam hormon yang mencerna bahagia secara sederhana sesederhana mengunyah postingan-postingan kekata legit hingga terbawa ke langit-langit imaji di ujung sengit semut-semut di kaki tak jarang mandi puisi dari mengkal pepaya sosial media beragam rasa campur serupa es aneka buah rasa bubur tak mau kalah turut meluncur dari tepian diksi pemula aku piknik imajinasi bersama puisi fantasi fantastik gratis coba masuki otak senior junior jalan-jalan dari gang cinta sampai ke rumah budaya kontras agama sampai ke putik tangkai puas menjelajahi pikiran insan-insan hingga pejam peluk puisi ternyaman Klt, 2015

halaman 39


Find The God

naik turun bukit di puncak dadaku ia semangat jalan-jalan sekitar kalbu sampai lelah di lembah nurani menipis asa melemah kadar nafsu taat iman ia yang sering terdengar ketika penuhi pinta adzan ketika hati bangun dari tidur pulasnya pada sesama iman, ia datang bergetar-getar dari ritual akal yang tak terjamah setan menjaga diri meski di tempat sunyi ia tak pernah rindu nikmat bermaksiat turun menuruni lembah nafsu ia perjalanan wajar untuk sebuah tangga baru tangga tempat ruh istirahat dari renta jasad Pengkol, July

halaman 40


(Ke)luar

(ke)luar dari sangkar menatap hutan liar mendengar. kicau teman-teman. baru juga kawan lama yang setia. menjaga kalbu lebih tepatnya pergi dari tempat mengurung diri takut pada burung-burung yang hobi bersarang di warung kopi mengobral kabar. kabur dibawa angin sepoi (ke)luar karena muak dengan segala komentar jalak bukan ajak. patuk-patukan. tapi bawa kepala pada elok semesta. pada kursi kebesaranNya melongok alam. tajam bebas. lepas. dari jeruji sunyi yang mengikat hati terbang mencari sinar membuang gulita yang mengakar menakar noda pada cakaran usia : mengais terang siang 2015, Pengkol

halaman 41


Danau Amin

naik punggung putri duyung keliling danau hingga pusaran asa. ikan-ikan teriak aman dayu dayung perahu sampai tepi mimpi, kata kura-kura. semoga melompat ke batuan ingin loncat-loncat di antara liar buaya-buaya dan bahaya angsa di seberang berkoar, cepat. menggenggam nampan cita-cita harap kering segala dosa usai basah jelajah danau amin di altar belakang rumahMu mungkin? 120715

7

halaman 42


Sajak-terjemahan

Federico Garcia Lorca Senandung Untuk Mercedes yang Ma! Kasida Mawar Gacela Souvenir Asmara Gacela Cinta Sia-sia Kasida Tangan Tak Tergapai Sumber, Federico Garcia Lorca, “PoĂŠsies III. 1926- 1936, Edi!ons Gallimard, Paris, 1954. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia Maria Tritynela

halaman 43


Senandung Untuk Mercedes yang Mati

demikianlah kau pun tidur di sampan kayu tepi tebing anak raja puteri putih tak tertanding! tidur dalam malam yang dalam, tubuh bumi dan salju! tidur dalam fajar warna putih! tidurlah! dan demikianlah kau pun kian hanyut lelap di sampan kabut tipis dan mimpi sepanjang tebing!

Kasida Mawar

mawar tak mengejar fajar: hampir abadi di dahannya, hal lain yang disasar mawar tak memburu ilmu dan bayang: dihalang jasad dan angan hal lain yang dipegang. mawar tak mengejar mawar, tak beranjak dari langit hal lain yang bangkit

halaman 44


Gacela Souvenir Asmara

jangan bawa kenanganmu biarkan ia sendiri di hatiku gemetar pepohonan cĂŠri putih dalam martir bulan januari sebaris tembok mimpi buruk memisahkan aku dari maut setangkai lili langka kupersembahkan bagai hadiah bagi hati yang beku di taman saban malam, mataku ibarat dua ekor anjing perkasa sepanjang malam mengepung meronda pojok demi pojok dan segala bisa angin terkadang bagaikan kembang tulip kengerian dialah kembang tulip duka karena pagi beku musim dingin sebaris tembok mimpi buruk memisahkan aku dari maut kabut menyelimut keheningan lembah kelabu tubuhmu di bawah lengkung perjumpaan dahulu belukar racun sekarang menghutan tapi tinggalkan untukku kenanganmu biarkan sendiri ia di situ di kalbuku

halaman 45


Gacela Cinta Sia-sia

malam menolak tiba kau pun tak datang sedang aku tak bisa menjelang tapi aku na’ berangkat juga kendati pelipisku mesti disengat matahari bak kalajengking. dan kemudian kau menyusul datang dengan lidah dibakar hujan garam siang menolak datang kau luput dari pandang sedang aku juga terhalang tapi aku akhirnya datang juga menyerahkan ke anyelir tunanetraku yang cedera malam dan siang menolak datang akhirnya aku mati untukmu dan kau pun mati untukku

halaman 46


Kasida Tangan Tak Tergapai

tak ada lain yang kuingini kecuali satu tangan, tangan ini sebuah tangan luka inipun jika mungkin terjadi tak ada lain yang kuingini kecuali satu tangan, tangan ini kendatipun ribuan malam tiada ranjang kumiliki tangan itu adalah kembang leli putih warna kapur tangan itu adalah merpati tertambat di hatiku, tangan itu adalah pengawal malam kematianku yang tegas melarang bulan masuk menyerbu tak ada lain yang kuingini kecuali tangan, tangan ini yang kujadikan minyak hari-hari dan sprei putih kematianku. tak ada lain yang kuingin kecuali tangan, tangan ini untuk menyangga sebuah sayap kematianku. selebihnya berlalu warna merah cacat muka pun sudah tak bernama, bintang kekal. selebihnya adalah yang lain: angin duka, sedangkan dedaunan berhamburan melayang

7

halaman 47


Suluh

Unsur Puisi pada Mantra Mantra bisa diartikan sebagai susunan kata yang berunsur puisi (seperti rima dan irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2001).

alam ssastra Melayu lama, kata lain untuk mantra adalah serapah, tawar, sembur, jampi, ser cuca, cuca puja, puja seru dan d tangkal. Mantra termasuk dalam genre sastra lisan yang populer di masyarakat Melayu, sebagaimana pantun dan syair. Hanya saja, penggunaannya lebih eksklusif, karena hanya dituturkan oleh orang tertentu dan untuk kepentingan tertentu saja, seperti pawang, bomoh (dukun), kemantan dan batin. Menurut orang Melayu, pembacaan mantra diyakini dapat menimbulkan kekuatan gaib untuk membantu meraih tujuan-tujuan tertentu.

halaman 48

Secara umum, mantra dapat dibagi ke dalam empat jenis berdasarkan tujuan pelafalannya, yaitu: (1) Mantra untuk pengobatan; (2) Mantra untuk ‘pakaian’ atau pelindung diri; (3) Mantra untuk pekerjaan; (4) Mantra adat-istiadat. Dari segi bentuk, mantra sebenarnya lebih sesuai digolongkan ke dalam bentuk puisi bebas, yang tidak terlalu terikat pada aspek baris, rima dan jumlah kata dalam setiap baris. Dari segi bahasa, mantra biasanya


menggunakan bahasa khusus yang sukar dipahami. Adakalanya, dukun atau pawang sendiri tidak memahami arti sebenarnya mantra yang ia baca; ia hanya memahami kapan mantra tersebut dibaca dan apa tujuannya. Dari segi penggunaan, mantra sangat eksklusif, tidak boleh dituturkan sembarangan, karena bacaannya dianggapa keramat dan tabu. Mantra biasanya diciptakan oleh seorang dukun atau pawang, kemudian diwariskan kepada keturunan, murid ataupun orang yang ia anggap akan menggantikan fungsinya sebagai dukun. Kemunculan dan penggunaan mantra ini dalam masyarakat Melayu, berkaitan dengan pola hidup mereka yang tradisional dan sangat dekat dengan alam. Oleh sebab itu, semakin modern pola hidup masyarakat Melayu dan semakin jauh mereka dari alam, maka mantra akan semakin tersisihkan dari kehidupan mereka. Berikut ini satu contoh mantra yang sering dibaca oleh suku Laut ketika mereka melempar pancing ikan ke dalam air dan unsur-unsur puitik (poetryimage) serta pengesampingan makna dari kata, yang nyata tergambar dari beberapa mantra lain yang kami paparkan pada tulisan ini:

gaib yang mampu melindungi pemakainya. Jadi, bisa disimpulkan bahwa, pembacaan mantra pada benda tertentu yang akan dijadikan tangkal merupakan bagian dari cara untuk mentransformasikan energi atau kekuatan ke dalam benda tersebut. Selanjutnya, kekuatan yang terkandung dalam benda tersebut akan melindungi pemakainya Tangkal atau penangkal ini merupakan bagian dari upaya orang Melayu untuk mengatasi tantangan ke dalam dan ke luar yang mereka hadapi, dan jenisnya cukup banyak di antaranya: (1) Penahan atau penguat; (2) Pelindung; (3) Penunduk (4) Pemanis dan pengasih (5) Pembenci. Berikut ini beberapa contoh mantra pelindung diri: 1. Mantra Penahan atau Penguat a. Mantra Pengeras Badan Ya man, ya ras, ya Malik Ya kuserahkan kepada kamu

Air pasang telan ke insang; Air surut telan ke perut;

b. Mantra Penahan Kulit

Renggutlah!;

Kejang aku kejang rungkup

Biar putus jangan rabut.

Kejang tunjang tengah laman Kebal aku kebal tutup

Mantra untuk ’Pakaian’ atau Pelindung Diri Mantra yang digunakan untuk menjaga diri sering juga disebut penangkal, tangkal atau azimat, biasanya dibacakan pada benda tertentu. Setelah pembacaan mantra, benda tersebut diyakini akan memiliki kekuatan

Terkucap kulit tak berjalan Terkunci terkancing tak mara c. Mantra Kuat Tenaga Bismillahirrahmanirrohim Hai besi bangunlah engkau si raja besi

halaman 49


Yang bernama si ganda bisa

Perabun pelias peliseh

Engkau duduk di kepala jantungku

Perabun pelias peliseh

Bersandar di tiang arasy

Sekalian jin dan syetan seteru lawanku

Kuminta tinggalkan insanku

Berkat lailaha illallah

Kuminta rendah insan sekalian

Muhammadarrasulullah

Berkat aku memakai wujud kodrat sayyidina ali

b. Disegani Orang

Bujur lalu melintang patah

Bismillahirrahmanirrahim

Lalu juga kehendak Allah

Batu bertitik batu berdenting

Berkat lailaha illallah

Tiga batu dacing

Muhammadarrasulullah

Mulut terpempan gigi terkancing Kau..(sebut nama orangnya)..

d. Mantra “Pengering� Olahraga

tak boleh berlebih kata padaku

(membuat lawan bermain gentar)

Durhaka engkau lebih-lebih

Bismillahirrahmanirrohim

kepada Allah

Assalamualaikum...mualaikum salam

Berkat kalimat lailaha illallah

Harimau datang mayat semua menanti

Muhammadarrasulullah

Mayat datang harimau semua menanti Berkat lailaha illallah Muhammadarrasulullah

c. Tangkal Jaga Rumah Bismillahirrahmanirrahim Imat-imat katemu itu

e. Mantra Pengeras Tendangan

Mitu melion kate Allah

Bismillahirrahmanirrohim

To badanda berkata-kata

Auzubilla minannar arrim

Tak hendak kau datang

Mufaiza hatal ya rasulullah iza

memijak halaman rumahku

kital maut

Karene telah ade penjaga pintu

Mim kepalaku, bahuku nun

Berdurhake kau kepade Allah

Pusatku dal

Bila hendak membinase rumahku

Kakiku alam-tubuhku

Berkat kalimat laihaillallah

Aku kasih Allah

Muhammadarrasulullah

2. Mantra Pelindung a. Pelimun

d. Tangkal Bajang (Hantu Jembalang) Bismillahirrahmanirrahim

Bismillahirrahmanirrahim

Anak gang anggu bukan kau

Perabun pelias peliseh

punya anak

halaman 50


Aku punya anak

c. Mantra Penunduk

Aku tau anak

Gempa ali gempa gempita

Kau bujang nas beranak

Dang sari gajah berlenggang

Batu ampar tengah air

Sah aku anak harimau yang garang

Aku tau asal kau bajang

Batu congkol hatiku

Sah aku menawar bajang sianu itu

Nibung kering tulangku

Berkat kalimat lailahaillallah

Berkat doa baginda Ali

Muhammadarrasulullah

Gentar bumi gentar langit

3. Mantra Penunduk a. Mantra Pelemah Asal

d. Mantra Penunduk Hantu Laut Hai hai, anak datuk laut

Bismillahirrahmanirahim

Nyalah engkau, pergilah

Assalamualaikum

Jikalau engkau tidak pergi

Badan engkau bernama tanah

Aku pukul dengan ijuk tunggal

Tanah mekhayal darah

Dengan ijuk pusaka

Engkau bernama darah muharrap

Aku sekal kepalamu dengan sengkalan

Urat engkau bernama mahdini

Aku tau asalmu jadi

Tatkala bapak engkau

Dari kun fayakun

mengandung darah putih

Berkat kalimat laihaillallah

Tatkala ibu engkau

Muhammadarrasulullah

mengandung darah merah

Pua-pua adanya

Cih menguceh Mani asal engkau menjadi

e. Mantra Penunduk Buaya

Berkat lailaha illallah

Hai si jambu rakai

Muhammadarrasulullah

Sambutlah Pekiriman putri

b. Mantra Pelemah

Runduk di gunung

Bismillahirrahmanirrahim

Ledang

Rebah ramu engkau berdiri ramu aku

Embacang masak sebiji bulat

Rebah syarak engkau

Penyikat tujuh penyikat

berdiri syarak aku

Pengarang tujuh pengarang

Aku mengambil baja sejengkal

Diorak dikembang jangan

dalam diri engkau

Kalau kau sambut

Berkat lailaha illallah

Dua hari jalan ketiga

Muhammadurrasulullah

Ke darat kau dapat makan

halaman 51


Ke laut kau dapat aku

Matahari dan cahaya

Aku tau asal kau jadi

Cahaya bulan dan cahaya aku

Tanah liat asal kau jadi

Cahaya bintang cahaya aku

Tulang buku tebu asal kau jadi

Cahaya matahari cahaya aku

Darah kau gila, dada kau upih

Cahaya Allah cahaya Muhammad Berkait la ilahaillallah

f. Mantra Penghalau Setan

Muhammadarrasulullah

Bismillahirrahmanirahim Hantu raya jembalang raya

b. Pelembut Hati

Datang engkau dari hutan raya

Yatim aku mati tasauf kata Allah (3x)

Kembalilah engkau ke hutan raya

Roh kalam kawah kali-kali

Engkau jangan bertemu

Aku buang darah gemuruh

anak sidang manusia

Aku naik darah berani

Jika bertemu anak sidang manusia Tunduk engkau tujuh kali kepada aku

c. Pengasih Bini

Umat Muhammadlah yang sebenarnya

Salatu salamu alisa isa wamumni

Berkat kata laihaillallah

Aku ambil hidup engkau

Muhammadarrasulullah

Sampai mati akulah tuhan engkau Akulah nabi engkau di dunia ini

g. Mantra Agar Menang Allah kata salah

d. Bedak Pemanis

Muhammad kata silih

Bedak olak olek

Jibrail kata fana

Mari pakai ujung gunting Kupakai bedak di luar kulit

h. Mantra Penunduk Anjing

Mesra dalam daging

patah ranting ditendang kuda

Dengan berkat doa lailaha illallah

mulut terkancing mata buta

Muhammadarrasulullah

puh! e. Peseri Muka 4. Mantra Pemanis dan Pengasih a. Pemanis Minyak

Sirih senggang kuning Naik belukar muda

Tuang minyak kutuang

Muka aku bagai anak

Kutuang di tapak tangan

mambang kuning

Bukan aku minyak seorang

Berkat aku memakai doa

Aku minyak bulan bintang

setandang muda

halaman 52


Matahari tidak berseri

Jong sengkang kemudi sengkang

Seri naik ke tubuhku

Tarik layar kembang sena

Bulan tidak bercahaya

Urat yang kendur sudah kutegang

Cahaya naik ke mukaku

Urat yang putus sudah kusambung

Caha Allah caha Muhammad

Teguh Allah, tegang Muhammad

Caha baginda Rasulullah

Sendi anggota baginda Ali Tulang gajah, tulang mina

5. Mantra Pembenci

Ketiga dengan tulang angsa

Mantra-mantra jenis ini sebenarnya juga berkembang di masyarakat, namun tidak terlalu banyak karena penggunaannya yang tidak baik.

Patah tulang berganti sendi

Mantra Pengobatan Berkembangnya mantra-mantra dalam sistem pengobatan Melayu berkaitan erat dengan persepsi mereka terhadap makna penyakit. Menurut mereka, penyakit tidak hanya disebabkan oleh faktor-faktor nyata, tapi terkadang juga disebabkan oleh faktor/ hal yang tidak nyata atau gaib. Dalam konteks ini, keberadaan mantra berfungsi sebagai pemutus hubungan antara penyakit dengan faktor gaib yang menjadi penyebabnya. Selain itu, pembacaan mantra juga diyakini dapat memperkuat keampuhan dan efektiďŹ tas obat, sehingga proses pengobatan yang berlaku selalu diawali dengan pembacaan mantra pada obat-obat yang akan diminum. Orang yang berwenang atau memiliki otoritas untuk membaca mantra adalah dukun atau bomoh yang telah mendapat kepercayaan dari masyarakat. Berikut ini beberapa contoh mantra yang sering dibaca oleh orang Melayu, sesuai dengan penyakit yang diderita: 1. Mantra untuk merawat tulang yang patah.

Badan jangan rusak binasa Berkat sidi kepada guru Sidi menjadi kepada aku La ilaha illallah, Muhammadar Rasulullah 2. Mantra ketika meramu obat Bismillahirrahmanirrahin Bilang-bilang topi ayiar Den lantiang jo tana buku Solang tulang lai cayiar Kok kunun dagiang nan sabuku Kobual Allah kobual Muhammad kobual bagindo Rasulullah Barokat guru aku dan doaku barokat lailahaillallah Artinya: Bismillahirrahmanirrahim Bilang-bilang tepi air Aku lempar dengan tanah baku Sedangkan tulang dapat cair Apalagi daging yang sebuku Makbul Allah makbul Muhammad makbul baginda Rasulullah Berkat guru aku dan doaku, berkat Lailahaillallah

Bismillahi Rahmanir Rahim

halaman 53


3. Mantra penutup luka Mantra ini dibaca untuk menutup luka, ataupun untuk mencegah berlanjutnya pendarahan pada luka Bismillahirrahmanirrahim Poli terpoli Besi meluka Besi menangkal Coba besi merusakkan Engkau durhaka kepada Allah Coba engkau membinasakan daging Engkau durhaka kepada Allah Tertutup terkunci Tertanggal terpakai Berkat doa la haula wala quwwata Illa billahil aliyyil azhim

5. Mantra sakit perut 1 Bismillahirrahmanirrahim Meghinju megheijun megheceu Meghiceu suruh lari Meghiceu nakal Meghinju meghinju suruh lari Pergilah ke tempat kau suke Jangan lagi di sini Berkat la ilaha illallah Muhammadarrasulullah 2 Bismillah Lotong kekah ijuk tali Aku menawar kembung segah Kentut jadi Malam senak mudik ke limbung

4. Mantra penawar racun (bisa) Mantra ini disebut juga dengan mantra penawar, biasanya dibaca untuk menyembuhkan seseorang dari penyakit yang disebabkan sesuatu yang berbisa, seperti serangga, ular, racun ataupun sakit karena bisa lainnya. Orang Melayu percaya, melalui pembacaan mantra ini, kekuatan bisa (racun) akan hilang sehingga orang yang terkena bisa tersebut dapat segera sembuh. Bismillahirrahmanirrahim Bismillah aku menawar racun Aku tau asal racun Anak lidah asam racun Seri manik yang menawar Jin semlut yang punya tawar Berkat lailahaillallah

halaman 54

Si maru rumah mak encik Lantas turun ke kaki Turun bisa Naik tawar Aku menawar bisa perut Lotong kekah ijuk tali Aku menawar kembung segah Kentut jadi

Mantra untuk Pekerjaan Mantra jenis ini bertujuan untuk mempermudah pekerjaan, biasanya dibaca ketika akan memulai pekerjaan. Mantra pekerjaan jumlahnya lebih sedikit dibanding mantra pakaian dan pelindung diri, dan terkadang, terjadi juga tumpang tinding antara kedua jenis mantra ini, sehingga mantra pelindung diri dipakai untuk mempermudah pekerjaan. Sebagai contoh, seseorang sering membaca mantra ‘pemanis’


dengan harapan orang lain akan senang kepadanya, sehingga pekerjaan jadi mudah dan lancar. Pekerjaan yang dibacakan mantra biasanya berkaitan dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, seperti bercocok tanam, berburu, berniaga, melaut dan lain sebagainya.

Buah padi menghijau

Dalam pandangan hidup orang Melayu, ada keyakinan bahwa tanah, air, matahari, bulan, tanaman, binatang, jin dan makhluk/ benda lainnya memiliki semangat (spirit). Untuk itu, diperlukan pembacaan mantra agar semangat benda atau makhluk tersebut tetap positif bagi manusia. Berikut ini contoh beberapa mantra tersebut.

Menih mah benih

Berkat lailaha illallah Muhammadarrasulullah 4 Aku tahu asal berau Belaki benih berau mah berau Berau hitam berau putih Berau-berau laki bini Sah aku menawar belaki benih Berkat lailaha illallah Muhammadarrasulullah 2. Mantra untuk Tanaman Jagung

1. Mantra Semangat Padi

Bismillahirrahmanirrahim

1

Hacutalla hicu hicu

Nur cahaya munallah

Kuserah pada Adam

Nur cahaya mun putih

Bawa antala boa

Name semangat tapak kebun

Jauhkan jagungku dari berau

Berkat lailaha illallah

Berkat kalimat lailaha illallah

Muhamadarrasulullah

Muhammadarrasulullah

2 Bulat batu kubula bulat

3. Mantra Menanam Benih

Bulat batang padi

Bismillahi

Aku tahu asal kau ulat

Assalamualaikum nabi Tab

Mate beras mate kau menjadi

Yang memegang bumi

Berkat lailaha illallah

Aku menumpangkan anakku

Muhammadarrasulullah

Seri Gading Gemala Gading

3

Di dalam enam bulan angka ketujuh

Hai dayang hijau

Aku datang mengambil balik

Lemah lembut asal kau menjadi yang ikut

Dengan lailaha illallahu

Panjang kuku

Kur semangat

Panjang kaki

Kuur semangat

Panjang tangan Sah aku menawar

halaman 55


4. Mantra Pengusir Hama Tikus

Aku sedekah hati quran

Bismillahirrahmanirrahim

Berhentilah topan badai taung

Aku tau asal engkau tikus tuk sitimuna

ribut gelimut

Itulah asal tuk nek kau

Berkat lailaha illallah

Kau jangan padiku

Muhammadarrasulullah.

Kutawar pada pisang tujuh biji Ambillah di tunggul ini Berkat kalimat lailaha illallah Muhammadarrasulullah 5. Mantra Pengusir Babi Batu berita batu berani Ketiga batu belubang Butak mata tanggal gigi

Teks mantra di atas menurut masyarakat Melayu lama, akan menjadi mangkus dan sangkil (efektif) apabila dilengkapi dengan persyaratan-persyaratan tertentu, yang sengaja tidak kami cantumkan. Karena tulisan ini hanya sebagai telaah teks sastra lama dan bukan untuk kepentingan di luar itu.*** (Red. Int. dan dari berbagai sumber)

Babi itu tiada akan melawan Nabi babi itu nabi Yusuf Asal jadi dari bumi Jihin yang menguatkannya jihin buhok Yang berkuda padanya Saih Idris 6. Mantra Puseng Angin Mantra ini dibaca jika seorang nelayan atau pelaut menghadapi angin yang datang dari depan, sering disebut dengan angin sakal. Untuk membalikkan angin tersebut, maka dibaca mantra ini: Bismillahirrahmanirrahim Watul ijabah kurawana Berkat lailaha illallah Muhammadarrasulullah 7. Mantra Penahan Gelombang Assalamualaikum nabi Khidir Aku tau pegangan engkau Air laut air darat

halaman 56

7


Tokoh

Nicolás Guillen icolás Cristóbal Guillen BatistaLahir di Camagüey 10 Batist Juli 1901 dan meninggal di H av a n a 16 Juli 1989 (umur 88), aliran Puisi Subyek Hitam puisi (Poesía negra), seorang penyair Kuba, yang juga wartawan, aktivis politik, dan penulis. Ia dikenang sebagai penyair nasional Kuba . Ia belajar hukum di Universitas Havana , tetapi karir hukum ditinggalkannya dan bekerja sebagai seter dan wartawan. Puisinya diterbitkan di berbagai majalah dari awal tahun 1920-an; Koleksi pertamanya, Motivos de son (1930) sangat dipengaruhi oleh pertemuannya tahun itu dengan penyair Afrika-Amerika, Langston Hughes . Dia menarik unsur musik anak-anak dalam puisinya, yang diterbitkan Hindia Barat, Ltd, pada tahun 1934, dan sebagai koleksi pertama Guillen dengan implikasi politik. Diktator Kuba Gerardo Machado rezim yang digulingkan pada tahun 1933, tetapi represi politik tetap intensif. Setelah dipenjara pada tahun 1936, Guillen bepergian ke Spanyol untuk Kongres Penulis dan Seniman, dan meliput Perang Saudara Spanyol sebagai reporter majalah. Setelah kembali ke Kuba, dia menolak visa untuk masuk ke Amerika Serikat namun pada tahun berikutnya, ia melakukan perjalanan secara luas selama dekade berikutnya di Amerika Selatan, Cina dan Eropa. Pada tahun 1953, setelah berada di Chili, ia menolak masuk kembali ke Kuba dan menghabiskan

masa lima tahun di pengasingan. Dia kembali setelah suksesnya revolusi Kuba tahun 1959. Dari 1961 ia menjabat lebih dari 25 tahun sebagai presiden Unión Nacional de Escritores de Cuba, Persatuan Penulis Nasional Kuba. Penghargaannya meliputi Hadiah Stalin katagori perdamaian pada tahun 1954, International Botev Prize 1976, dan pada tahun 1983 dia adalah pemenang perdana Kuba Prize Nasional bidang Sastra . Awal kehidupan Nicolás Guillen Batista, anak tertua dari enam anak (tiga anak laki-laki dan tiga perempuan) dari Argelia Batista y Arrieta dan Nicolás Guillen y Urra, keduanya adalah dari ras campuran , keturunan Afrika-Eropa. Ayahnya telah berjuang untuk kemerdekaan sebagai militer berpangkat letnan. Ketika anak pertamanya Nicolás lahir, ayah bekerja sebagai wartawan salah satu koran lokal yang baru diterbitkan. Dia memperkenalkan anaknya kepada musik Afro-Cuban ketika ia masih sangat muda. Guillen y Urra pemilik Partido Libertad dan mendirikan koran harian, La Libertad, untuk mengekspresikan pandangan mereka. Pasukan pemerintah dibunuh ayah Guillen untuk memprotes kecurangan pemilu dan menghancurkan mesin cetak, di mana Nicolás dan saudara yang sudah bekerja. Argelia dan anakanaknya berjuang secara finansial. Nicolás dan saudara-saudaranya menghadapi rasisme diskriminatif di Kuba mirip dengan

halaman 57


yang dialami Hitam Amerika di Amerika Serikat Selatan. Karya sastra Guillen,yang menarikdari nyaadalahdarah campuran Afrika dan Spanyol keturunan dan pendidikan untuk menggabungkan pengetahuan tentang bentuk sastra tradisional dengan pengalaman langsung dari pidato, legenda, lagu, dan lagu-lagu dari Afro-Kuba puisi volume pertamanya, Motivos de son. Itu segera diakui sebagai mahakarya dan banyak ditiru. Pada tahun 1920, ketika suara Afro-Kuba dan instrumen yang mengubah dunia musik Kuba, budaya Afro-Cuban mulai dinyatakan dalam seni dan juga sastra. Awalnya, puisi Afro-Kuba, atau puisi “negrista”, diterbitkan oleh Kuba Eropa seperti Emilio Ballagas, Alejo Carpentier , dan José Tallet. Tidak sampai tahun 1930-an Guillen akan mengajukan banding dalam hal sastra dengan mengekspresikan accountt pribadi dari perjuangan, mimpi, dan tingkah h laku dari Afro-Kuba. ik, Guillen menjadi juru suara politik, dan tidak puas dengan penggambaran an yang indah dari kehidupan sehari-harii k masyarakat miskin. Dia mulai mengutuk penindasan mereka dalam volume puisinyaa d Sóngoro cosongo bersama West Indies Ltd Guillen juga menulis Cantos para soldadoss y sones turistas para, yang mencerminkan an komitmen politiknya berkembang. Guillen n mungkin wakil paling terkenal dari “ Poesíaa negra “(“ puisi hitam “), yang mencoba untuk uk membuat sintesis antara unsur budaya hitam am dan putih, “puitis mestizaje “. Karakteristik k untuk puisinya adalah penggunaan kataakata onomatopoetic (“Sóngoro Cosongo”,”, “Mayombe- bombe “) yang mencoba untuk k meniru suara drum atau irama dari anak ak

halaman 58

. Silvestre Revueltas komposisi simfoni ‘s Sensemayá didasarkan pada puisi Guillen dengan nama yang sama, dan menjadi pekerjaan komposer yang terkenal. Guillen kemudian menjadi diakui oleh banyak kritikus sebagai yang paling berpengaruh dari para penyair Amerika Latin yang berurusan dengan tema Afrika dan menciptakan lagu Afrika dan irama tari dalam bentuk sastra. Guillen membuat tanda internasional dengan publikasi Motivos de son ( 1930). Karya ini terinspirasi oleh kondisi kehidupan Afro-Kuba dan musik pop anak-anak. Karya ini terdiri dari delapan puisi pendek menggunakan bahasa sehari-hari dari Afro Kuba. Koleksi menonjol dalam dunia sastra karena menekankan dan menegakkan pentingnya budaya AfroCuban sebagai genre yang valid dalam literatur Kuba. Puisi Terpilih dari Nicolás Guillen, Angel Aguier, mengacu pada Motivos de son, menulis bahwa Para ‘anak,’ tarian gairah lahir dari pertemuan Negro-putih di bawah langitt Karibia di mana kata-kata dan musik rakyat at berujung pada lagu, adalah substansi dasar ar dari unsur puisi yang intuitif. Guillen merasa sa sebagai ekspresi dari Kuba. Semangat. Dia secara khusus memilih anak sebagai penciptaan seni campuran dari dua pacuan yang membentuk populasi Kuba. Kutipan ini menetapkan bagaimana anak, seperti genre musik yang mendalam saat at itu, memprakarsai perpaduan budaya Kubaa hitam dan putih. Penggabungan Guillen tentang genre ke dalam tulisan-tulisannya, dilambangkan dan menciptakan jalur untuk fusi budaya yang sama dalam literatur Kuba.


Pendekatan yang unik Guillen yang menggunakan anak dalam puisinya dinyatakan dalam bukunya Sóngoro consongo (1931). Dalam karya ini, Karyakarya Guillen termasuk puisi yang menggambarkan kehidupan Kuba dan menekankan pentingnya budaya Afro-Kuba dalam sejarah Kuba. Sóngoro consongo menangkap esensi dari budaya Afro-Kuba dan cara bahwa orang-orang menghadapi situasi pribadi mereka. Puisi Guillen ini, “La Cancion del Bongo”, dari Sóngoro consongo, merupakan perpaduan dari Afrika Barat dan gaya sastra Hispanik, memberikan kontribusi untuk visi yang unik sastra.

Lagu Bongo Aku lebih baik bersama laut, menanggapi, saat aku berkata. Ada yang mengatakan: Sekarang, yang lain mengatakan: Di sini aku pergi. Tapi aku lonceng kuda pendusta, namun suara aku yang mendalam, panggilan ke hitam dan putih, Anak sama menari, cueripardos dan almiprietos Darah lebih dari matahari, dia yang ada di luar pada malam hari, dan

itu di dalam gelap. Disini yang terbaik adalah laut, menanggapi, ketika aku sebut. Di negeri ini, Mulata Afrika dan Inglés (Santa Barbara di satu sisi, di Chango), selalu kehilangan nenek, Ketika buat beberapa hadiah Castilla dan ada Judul dengan kerabat di Bondo: Ini diam, teman, dan undian untuk membuktikan, karena kami datang dari jauh, dan kami berjalan berpasangan. Disini yang terbaik laut, menanggapi ketika aku menelepon. Beberapa mungkin mendapatkan satu penghinaan, tidak di dalam hati; Beberapa kekuatan meludahi aku di depan umum, ketika satu sendiri Aku Ciuman ... saat itu, kita mengatakan: Compadre, dan Anda akan bertanya kepadaku Maaf, dan Anda akan makan dari ajiaco ku, dan aku setuju, dan Anda menampar rok kulit, dan Anda akan menari satu suara aku, dan lengan-jalan dan akan anda kemanakan aku: dan Anda akan datang dari bawah ke atas, Bahwa disini yang tertinggi adalah aku! Puisi ini, seperti banyak di Sóngoro consongo, menggabungkan suara berirama anak. Puisi memiliki irama yang menggunakan penandaan stres

halaman 59


dan tanpa tekanan suku kata dalam ketukan kuat dan lemah, bukan hanya jumlah suku kata. Dellita L. Martin mengatakan bahwa “La Cancion del Bongo” berdiri sebagai puisi karena “itu adalah satu-satunya untuk menunjukkan hal yang menyakitkan dan meningkatkan kesadaran Guillen tentang konflik rasial di Kuba”. Langston Hughes dan Nicolás Guillen Pada tahun 1930 José Antonio Fernández de Castro, penerbit harian Havana, Diario de la Marina, dan yang pertama untuk menerjemahkan Amerika Langston Hughes puisi ‘s untuk Spanyol, mengatur agar dua penyair Langston Hughes dan Nicolás Guillen untuk bertemu. Langston Hughes. Dia adalah seorang Kuba putih dari keluarga bangsawan yang mencintai hitam Kuba. Dia adalah seorang wartawan, diplomat, dan seorang teman untuk seniman Kuba. Pada bulan Februari 1930, Langston Hughes melakukan perjalanan ke Kuba untuk kedua kalinya, pada misi dua minggu untuk menemukan seorang komposer hitam untuk berkolaborasi pada opera rakyat. Dia telah diberi surat pengantar untuk José Antonio Fernández de Castro, pintu untuk dunia seni Kuba. Pada saat ini puisi Hughes ‘lebih dikenal dengan Kuba daripada Guillen, sehingga kedatangan Amerika telah menciptakan kegemparan di komunitas artistik. Bulan berikutnya, pada tanggal 9 Maret 1930, Guillen diterbitkan “Conversación con Langston Hughes”, sebuah artikel yang menggambarkan pengalamannya bertemu Hughes di Havana. Kuba diharapkan seorang pria hampir putih, tinggi dan kekar berusia empat puluhan dengan bibir tipis dan bergaya Inggris bahkan lebih tipis dari kumis. Sebaliknya

halaman 60

mereka melihat seorang pria cokelat sedikit dua puluh tujuh tahun tanpa kumis. Guillen menulis bahwa Mr. Hughes “parece justamente un mulatico cubano” - tampak seperti blasteran Kuba. Guillen secara khusus diambil dengan Hughes ‘kepribadian yang hangat dan antusiasme untuk’ ‘musik anak, yang ia dengar dari forays malam ke kabupaten marinao Kuba yang diselenggarakan oleh Fernandez de Castro. Hughes dikatakan menjadi hit dengan soneros. Antusiasme untuk musik Kuba terinspirasi Guillen. Hughes segera melihat kesamaan antara ‘anak’ dan blues, sebagai tradisi musik rakyat yang bentuknya didasarkan pada struktur panggilan-dan-respon dari musik Afrika. Selain itu, ia gembira tentang kemungkinan sebagai basa organik untuk puisi formal. Menurut penulis biografi Arnold Rampersad , Hughes menyarankan untuk Guillen bahwa ia membuat ritme dari ‘anak’ pusat untuk puisinya, sebagai Amerika telah menggunakan elemen blues dan jazz. Hughes menarik tidak hanya inovasi ritmis dari tradisi musik rakyat ini, tetapi menggunakan mereka sebagai sarana untuk mengekspresikan protesnya terhadap ketidakadilan rasial. Kedua penyair bersama kemarahan terhadap rasisme, namun Hughes terkesan Guillen dengan jenis tertentu nya kesadaran rasial. Meskipun penyair Kuba telah menyatakan kemarahan melawan rasisme dan imperialisme ekonomi, ia belum melakukannya dalam bahasa terinspirasi oleh pidato Afro-Kuba, lagu, dan tarian. Dia telah lebih peduli dengan protes daripada merayakan kekuatan dan keindahan Afro Kuba. Dalam beberapa minggu pertemuan Hughes, Guillen cepat menulis delapan puisi


yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya. Puisi barunya yang dihasilkan kontroversi dan mendirikan ketenaran Guillen sebagai salah satu penyair utama dari Négritude gerakan, yang membentang Amerika. Pada tanggal 21 April 1930, Guillen mengirim Hughes hasil inspirasi, bukunya puisi Motivos de Son. Penulis menulis di sampul dalam, “Al poeta Langston Hughes, querido amigo Mío. Afectuosamente, Nicolás Guillen “. Meskipun Hughes tidak menemukan komposer Afro-Cuban untuk bekerja dengan, ia menciptakan persahabatan yang langgeng dengan Guillen; itu didasarkan pada saling menghormati dan keyakinan tentang ketidaksetaraan ras mereka.

budaya Marxis dialektika. Pada tahun 1953, ia dicegah oleh Fulgencio Batista pemerintah dari masuk kembali Kuba setelah perjalanan ke Chili dan harus menghabiskan lima tahun di pengasingan.

Puisi dan politik

Nicolás Guillen meninggal pada tahun 1989 pada usia 87 dari penyakit Parkinson. Ia dimakamkan di Pemakaman Colon, Havana.

Diktator Kuba Gerardo Machado rezim digulingkan pada tahun 1933, tetapi represi politik di tahun-tahun berikutnya meningkat. Pada tahun 1936, dengan editor lain dari Mediodía , Guillen ditangkap atas tuduhan yang dibuat-buat, dan menghabiskan beberapa waktu di penjara. Pada tahun 1937 ia bergabung dengan Partai Komunis dan membuat perjalanan pertamanya ke luar-negeri, menghadiri Kongres Penulis dan Artis di Spanyol. Selama perjalanannya di negeri ini, ia menutupi Perang Saudara Spanyol sebagai reporter majalah. Guillen kembali ke Kuba melalui Guadeloupe . Dia berdiri sebagai Komunis dalam pemilihan lokal tahun 1940. Tahun berikutnya ia menolak visa untuk masuk ke Amerika Serikat, tetapi ia melakukan perjalanan secara luas selama dua dekade berikutnya di Amerika Selatan, Cina dan Eropa.

Setelah revolusi Kuba tahun 1959, Guillen disambut kembali oleh Fidel Castro , presiden baru. Pada tahun 1961 ia diangkat sebagai presiden Unión Nacional de Escritores de Cuba, Uni Nasional Kuba Writers ‘, melayani selama lebih dari 25 tahun. Ia terus menulis puisi menggugah dan menyentuh menyoroti kondisi sosial, seperti “Problemas de Subdesarrollo “dan” Dos Niño “(Dua Anak). Dia dianggap penyair nasional Kuba, yang menarik dari sejarah multikultural dan penduduk untuk inspirasi.

Legacy dan kehormatan Pada tahun 1954 Guillen dianugerahi Hadiah Stalin Perdamaian (itu kemudian berganti nama untuk Lenin di bawah deStalinisasi ). 1976, ia dianugerahi Hadiah Botev Internasional. Pada tahun 1983 dia adalah pemenang perdana Kuba Prize Nasional Sastra . Keponakannya membuat film (eksperimental) Kuba, Nicolás Guillen Landrián (1938-2003).*** (red. berbagai sumber)

7

Puisi Guillen yang sedang semakin menjadi dijiwai dengan isu-isu lintas-

halaman 61


Rehal

Menengok ke Belakang

halaman 62

Judul

:

Seni Rupa Modern Indonesia Esai-esai Pilihan

Penyun!ng

:

Aminudin TH Siregar Enin Supriyanto

Penerbit

:

Nalar, Jakarta

Cetakan

:

Pertama, November 2006

Tebal

:

xxii+336 halaman


APAN seni rupa modern Indonesia layak ditengara? Ada dua jawa jawaban berbeda. Trisno Sumardjo (dan Rivai Apin) menyatakan, bahwa seni rupa modern Indonesia Indo si di dimulai lai dari S. Sudjojono melalui pendirian Persagi (Persatuan Ahli-Ahli Gambar Indonesia), 1938. Sebaliknya, Dan Suwaryono, meyakini titik itu berawal dari Raden Saleh. Bagi Sumardjo, S. Sudjojono adalah orang Indonesia pertama yang dengan sadar memahami hakikat seni, tepatnya seni lukis, dengan teknik dan langgam baru serta visi sesuai dengan semangat zaman. S.S. 101, demikianlah ia menyebut dirinya, membuka halaman baru dalam sejarah seni lukis Indonesia, lanjut Sumardjo. Pendapat Dan Suwaryono lain lagi. Kritikus ini menyakini, sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia ialah Raden Saleh. Ia pelukis Indonesia pertama yang mengekspresikan gagasan dan pemikirannya dengan cara Barat; melukis secara realistis dalam corak renaisans dengan mengambil teknik dan gaya baru. Adanya ‘unsur antarhubungan dan antarpengaruh sebagai kenyataan historis dalam sejarah seni lukis Indonesia kontemporer’ membuktikan bahwa ‘seni lukis Indonesia modern berpangkal tolak dari Raden Saleh dan bukan dari S. Sudjojono’. Penyair Rivai Apin, dalam suatu kesaksiannya, menyatakan bahwa S. Sudjojono yang membalikkan iklim kepenyairan pada kedudukannya semula, yakni ‘bahwa suatu lukisan adalah juga suatu pengertian’. Seni rupa modern adalah suatu pengertian, tandas Rivai Apin. Yang dimaksud dengan ‘pengertian’ adalah sebuah kesadaran (individu) memahami

sang ‘aku’. Sebelumnya, kesadaran itu belum ada dan masih terpengaruh kolektivisme ragam tradisi. Kolektivisme itu ternyata telah mematikan cita-cita serta bakat perseorangan, karena memaksanya menganut sistem tata-tertib, tata susila dan pendidikan yang diperlukan oleh minoriteit yang berkuasa. Inilah latar pemikiran Apin yang menandai adanya kesadaran ke’aku’an sebagai penanda lahirnya seni lukis (atau rupa) modern Indonesia. Perbincangan tentang titik berangkat seni rupa modern Indonesia, sedikit-banyak, tercermin dari polemik pemikiran di atas. Diskursus itu termasuk yang tergabung dalam satu buku kumpulan tulisan, dari berbagai sumber, bertajuk “Seni Rupa Modern Indonesia” yang disunting oleh Aminudin TH Siregar dan Enin Supriyanto. Dalam keyakinan Aminudin TH Siregar, sangat mungkin perkembangan seni rupa modern kita bisa dilacak dari esai-esai yang bertebaran di koran atau majalah lama kita. Inilah keunikan sejarah seni rupa modern kita. *** Suatu kali, seseorang berkebangsaan Belanda, J. Hopman, menulis artikel berjudul ‘Toekomst van der Beeldende Kunst in Indonesie’ (Masa Depan Seni Rupa di Indonesia) di majalah berbahasa Belanda Uitzicht, edisi Januari 1947. Setelah melihat sebuah pameran di Batavia Kunstkring (pameran Persagi kedua, menurut kritikus Sudarmadji), Hopman menuliskan pendapatnya, “Seni lukis itu belum ada dan untuk sementara waktu dia juga tidak ada…. Belum dapat dikatakan bahwa seni lukis Indonesia sudah ada.” Sontak saja sangkalan itu disergap oleh S. Sudjojono. Dalam artikel “Kami Tahu

halaman 63


Ke Mana Seni Lukis Indonesia Akan Kami Bawaâ€? (Majalah Revolusioner No. 4 dan 5), juru bicara Persagi itu meradang â€œâ€Ś tentang bagaimana seni lukis Indonesia yang akan datang kita bangsa Indonesia cukup cakap untuk mengaturnya sendiri‌. Dan kalau sekarang bangsa Belanda yang di Uitzicht mau utik-utik tentang hal itu, kita tidak butuh campur tangan mereka. Mereka tidak pernah dalam tempo kurang lebih 350 tahun membuktikan, bahwa mereka cakap juga di dalam soal ini.â€? *** Dinamika seni rupa Indonesia tercermin jelas dalam kumpulan esai ini. Menurut penyunting, tulisan-tulisan berasal dari sejumlah majalah dan koran yang terbit tahun 1930an dan kurun 1940-1970an. Esai tertua bertarikh 1041 dan termuda 1976. Namun ada beberapa yang tidak bertahun. Esai-esai itu tidak diurutkan berdasarkan rentang sejarahnya (urutan waktu), namun dititikberatkan pada sebuah pemahaman. Dengan begitu, kilah penyunting, buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku sejarah, namun (hanyalah) bahan pengantar bagi perbincangan seni rupa modern Indonesia. Ada 40 artikel dengan isu beragam dalam buku ini. Boleh dikata semuanya masih punya relevansi gagasan, penetrasi politik, dan dampak sosial pada isu-isu kreativitas atau produksi estetik para seniman kita. Ini buku sangat baik untuk menyegarkan ingatan siapa saja yang terlibat dalam medan sosial seni Indonesia. Akan lebih lengkap jika buku ini diimbuhi indeks dan bahan bacaan lanjutan untuk memudahkan dan meluaskan pemahaman atau kajian. Riwayat para penulis perlu diketengahkan guna menunjukkan ketokohannya.

halaman 64

Kedua penyunting dikenal sebagai kurator seni rupa andal. Selain itu, Aminudin TH Siregar adalah pengajar di FSRD-ITB Bandung dan Enin Supriyanto adalah redaktur majalah C-Arts. (Internet.Tubagus P. Svarajati)

7


halaman lxv


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.