Edisi190

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: - Mengkaji Aktivitas, Menimbang

-

Bobot Senirupa Riau dari Masa ke Masa oleh Dantje S Moeis Sulalat al-Salatin Adikarya Akalbudi Melayu oleh Muhammad Haji Salleh

Cerita-pendek Terjemahan:

Menimbang Sayang Ibu oleh Bertolt Brecht Sajak: Syafrizal Sahrun Tari: M. Yazid

Sang Maestro Tari Zapin Senirupa:

Senirupa Islam di Indonesia (Seni Lukis Kaligrafi Islam) Tokoh: Muhammad Haji Salleh

Anugerah Sagang 2014 Rehal:

Uhibbuka Fillah Perjalanan Menggapai Cinta Sejati

190 - JULI 2014 www.majalahsagang.com

halaman KULITi


halaman KULI KULITii LIITi L Ti


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 190 JULI 2014 tahun XVI

Kulit depan: Lukisan karya Henri Matisee (1905) "Women With Hat"

Daftar Isi Pusara Kasih ......................................2 Esei - Mengkaji Aktivitas, Menimbang Bobot Senirupa Riau dari Masa ke Masa oleh Dantje S Moeis ..............................3 - Sulalat al-Salatin Adikarya Akalbudi Melayu oleh Muhammad Haji Salleh ................7 Cerita-pendek Terjemahan Menimbang Sayang Ibu oleh Bertolt Brecht ..............................27 Sajak - Syafrizal Sahrun ..................................43 Tari M. Yazid Sang Maestro Tari Zapin ....................47 Senirupa Senirupa Islam di Indonesia (Seni Lukis Kaligrafi Islam) ................52 Tokoh Muhammad Haji Salleh ......................56 Anugerah Sagang 2014................. 60 Rehal Uhibbuka Fillah Perjalanan Menggapai Cinta Sejati.....62

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Pusara Kasih MEMASUKI bulan puasa, hampir semua umat muslim Melayu Riau pulang-kampung dengan tujuan bermacam-macam. Mungkin meminta ampun dan maaf kepada orangtua, mengunjungi kaum-kerabat, rindu sudah lama tak pulang kampung, berlimau (mandi berlimau), yang semuanya dapat disebut dengan berziarah. Apakah ziarah? Arti sesungguhnya adalah “kunjungan” (dari bahasa Arab), misalnya kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap suci, ke tempat kaum-kerabat, ke tempat guru suluk (yang sudah meninggal-dunia maupun yang masih hidup), dan pengertian yang sebagian orang memahaminya dengan makna ziarah kubur. Tujuannya adalah sebagai ingatan, baik ingatan pribadi maupun ingatan kolektif; meneguhkan iman untuk menyucikan diri. Kubur disebut juga dengan pusara atau pesara. Di atasnya dibuat batu nisan yang ditulis nama yang meninggal, tanggal lahir dan tanggal kematian beserta tahunnya, dan yang lengkap sampai kepada hari lahir dan hari meninggaldunianya. Selain tulisan nama, tanggal lahir dan tanggal kematian beserta tahunnya, di batu nisan, biasa juga ditulis kalimat kenangan, terutama berbentuk sajak, tulisan singkat tentang orang yang meninggal-dunia pada batu nisan orang yang dikubur, atau kalimat berbentuk puisi, yang disebut dengan epitaph (epitaf). Epitaf tertua di Indonesia dalam bahasa dan huruf Melayu terdapat di Minje Tujoh (Aceh), setelah Batu Tersilah di Terengganu pada abad ke-14 (tepatnya 1300 Masehi) yang menurut terjemahan C Hoykaas sebagai: Setelah Hijrah Nabi kekasih yang telah wafat/ tujuh ratus delapan puluh satu tahun/ bulan Zulhijjah empat belas hari Jumaat/ raja iman rahmat Allah dari baginda/ dari keluarga Barubasa mempunyai hak atas Kedah dan Pasai/ menaruh di luat dan darat semua/ masuklah baginda dalam surga Tuhan. Hasan Junus mencatat epitaph pada pusara halaman 2

seorang penyair Portugal Luís de Camões: Aqui jaz Luís de Camões: Príncipe dos poetas de seu tempo: Viveu pobre e miseravelmente, a assim morreu o anno MDLXXIX (Di sini berkubur Luis de Camoes: Raja penyair di zamannya: Hidupnya miskin dan menderita, dan demikianlah ia meninggal-dunia tahun MDLXXIX). Ahmad Baqi (alm), pencipta lagu bernuansa Islami, pimpinan Orkes Gambus El-Surayya Medan, menciptakan sebuah lagu yang sangat terkenal terutama di kampung sepanjang aliran Rokan, yang berjudul Pusara Kasih. Kalau bersendirian mendengar lagu ini, alamat airmata akan jatuh menetes. Bait-bait lagu tersebut sebagai: Di bawah lambaian pohon selasih/ Di lingkung alam samar redup/ Di sana kiranya wahai kekasih/ Tempat istirahat di akhir hidup// Sunyi dusun sejak kau tinggalkan/ Sepi tepian sejak kau pergi/ Rumput bersusun di tengah laman/ Alam keliling menghiba hati// Betung yang rampak lampai di hulu/ Kinilah rebah ke tepian/ Kampung yang nampak ramai dahulu/ Kini hanya tinggal kenangan// Sentana daku menutup mata/ Pintaku teman mohon sampaikan/ Agar jasadku dibawa serta/ Pusara kasih mohon rangkaikan// Mohon siramkan setitik air/ Taburkan atasnya bunga rampai/ Pahatkan nisan serangkum syair/ Keluh pujangga kasih tak sampai. Hari raya tiba, semua orang merindukan pulang ke kampung, mengunjungi orang-tua, mengunjungi sanak-saudara, kaum-kerabat, sahabat waktu kecil. Lepas sembahyang subuh hari raya dipotong ketupat dibuat lontong dan dimakan bersama-sama keluarga; pergi ke tanahlapang memakai baju baru untuk sembahyang. Namun, jika tak ada duit untuk pulang kampung berhari raya, baiklah dengarkan kembali lagu Ahmad Baqi, Pusara Kasih, biar lepas rindu pada kampung halaman, tetapi jika titik airmata janganlah salahkan saya. Selamat Hari Raya 1435 Hijriyah, mohon maaf lahir batin.


Esei

Mengkaji Aktivitas, Menimbang Bobot

Senirupa Riau dari Masa ke Masa oleh Dantje S Moeis

ulis ulisan ini telah mengalami sedikit penyempurnaan. sedik Sebelum Sebelumnya dibacakan dalam bentuk kertas kerja dari penulis, sebagai nara sumber pada “Dialog Senirupa sempena Pameran Ekspresi Rupa Riau�, Pekanbaru 11 Juni 2014, Taman Budaya Provinsi Riau bekerja sama dengan Pembina Film dan Seni, Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Riau, setelah berlalunya masa kejayaan senirupa tradisional, dalam artian tersendatnya proses kreativitas dalam upaya

pengembangan dan pengkayaan bentuk, merespon perkembangan zaman yang hingga kini masih mampu dilakukan tak lain adalah, bertahan untuk kepentingankepentingan hanya bersifat peruntukan terbatas, walau tetaplah menjadi salah satu penyumbang besar bagi pembentukan identitas kultur budaya Melayu Riau. Tak dapat dipungkiri bahwa lajunya pengembangan bentuk karya senirupa tradisional Jawa, terutama dalam bentuk batik yang cenderung terus-menerus mampu merespon zaman, ditambah lagi dengan

halaman 3


sinergitas positif antara pemerintah daerah dan seniman pelaku, yang membuahkan hasil telah diakui pula secara internasional akan keberadaanya oleh United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Bertolak belakang keadaannya dengan di daerah ini, minimnya peran pemerintah daerah dalam upaya mengurus serta memberi rangsangan, seakan turut memalapkan atau meredupkan semangat para seniman perupa Riau untuk terus berkutat menggarap seni ini dan apabila hal ini menular kepada percabangan seni lain, tentu akan berakibat buruk pada perkembang seni secara keseluruhan sebagai bahagian dari kebudayaan di Riau. Tentulah partisipasi aktif dan iklim berkesenian dengan rasa kesadaran akan sukar tercapai. Setelah era malap yang tak diinginkan itu, terlihat animo seniman di Riau lebih banyak tertuju pada penggarapan karya-karya senirupa modern. Pada awal-awal kemerdekaan hingga ke era konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah yang bermuara pada pemberontakan dan kondisi ekonomi yang sulit, hingga terbentuknya Provinsi Riau menjelang tahun enam-puluhan, terjadi hambatan pembacaan sejarah aktivitas sekaligus evaluasi bobot terhadap penilaian karya perupa di kawasan Riau yang menjadi bahagian Provinsi Sumatera-Tengah masa itu. Namun angin segar di segala lapangan kehidupan terlihat, setelah terbentuknya provinsi Riau. Dan dari sinilah dapat dimulai kembali pembacaan, penilaian dan sejarah perkembangan senirupa Riau. Terkait dengan hal timbangan bobot, untuk mendapat prediket yang benar-benar sebagai seniman yang menghasilkan karya

halaman 4

“berisiâ€?, dan ini saya yakini dapat dijadikan bahagian dari acuan para penyelenggara dalam pemberian anugerah-anugerah bagi seniman yang ada di Riau ini. Adapun tahapan yang harus dilalui oleh orang-orang yang benar-benar berkeinginan menjadi seniman terutama seniman senirupa, sesuai konteks tulisan ini adalah: Mempelajari Karya-karya Senirupa Tahap ini merupakan wahana pembelajaran baik secara individu maupun bersama bagi para calon perupa dengan memilih dan mempelajari bentuk, gaya dan teknik dari karya-karya perupa, baik yang belum punya nama maupun yang sudah sangat populer. Kesimpulannya adalah, pada tahapan ini seseorang bakal seniman harus terus berupaya mengasah dirinya hingga sampai ke tahap mahir menggambar, mengenal berbagai macam media sesuai dengan peruntukan menggambar. Para perupa Riau masa lalu, kebanyakan berhenti dan merasa puas dengan apa yang ia dapatkan pada tahapan ini. Karena mereka merasa sudah mampu menyalin bentuk, gaya (aliran) dan teknik dari karyakarya perupa mapan dan ditunjang lagi pada kecenderungan masyarakat masa itu untuk minta dibuatkan (diduplikasikan) lukisan dengan contoh yang mereka berikan atau memberikan foto untuk digambar dan kondisi seperti ini, secara finansial memang lumayan menguntungkan. Pada tahapan ini pada dasarnya mereka belum mencapai taraf berkemampuan menghasilkan karya yang dalam bahasa Sanskerta, disebut çilpa (seni). Sebagai kata sifat, çilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-çilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau


dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam karya yang artistik. Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, terdapat istilah-istilah ars, artes, dan artista. Ars adalah teknik, kiat atau kemampuan. Ars inilah yang kemudian berkembang menjadi I’arte (Italia), I’art (Prancis), elarte (Spanyol), dan art (Inggris). Membahas Karya-karya Senirupa Pemahaman tentang betapa pentingnya proses dialektika, korelasi sosial yang didapat dari berbagai diskusi sesama perupa, lintas disiplin maupun upaya memaknai fenomena yang ada di setiap saat, namun ruang intelektual ini kurang dimanfaatkan oleh sebahagian besar perupa Riau dari dahulu, bahkan hingga kini. Dengan tertatih-tatih ada beberapa di antara mereka memaksakan diri memberi muatan pesan atau muatan lain pada karyanya, namun terlihat mentah dan secara individual terlihat kekeringan ide, seakan menutup ruang pembahasan dengan pihak lain pada tahap gagasan. Medan sosial seni rupa, merupakan sesuatu hal yang penting untuk dipahami bagi perupa dan merupakan pokok bahasan yang perlu dilakukan terus menerus, agar karya yang dilahirkan dapat dijadikan pertanda zaman yang terus bergerak dengan dinamikanya sendiri-sendiri. Berkait dengan masalah tempat dan pola pikir yang “anti-kemapanan” dalam mengkaji masalah seni rupa dengan berbagai jenis karya seni rupa dan seluk-beluknya, akhirnya takkan terlepas dan sampai pula pada medan kajian seni yang lain atau apa yang disebut dengan art world. Kritikus seni rupa Sanento Yuliman (alm) sering menggunakan istilah

“medan sosial seni” untuk memadankan istilah art world. Medan bahasan senirupa ini mengaitkan hubungan antara berbagai pihak-pihak yang ada dalam rangkaian besar senirupa. Hal ini cukup penting dikaji sebab bagaimanapun juga karya seni dan senimannya tidak dapat berdiri sendiri. Apalagi bila karya seni tersebut dipamerkan, ia tak bisa lepas dari nilai-nilai yang lain. Secara singkat pengertian art world adalah semacam “jaringan” organisasi sosial yang mendukung dan berpartisipasi dalam melahirkan karya seni yang berkualitas. Sebagai contoh saja misalnya, jika melihat perkembangan seni rupa di Indonesia, jaringan atau art world yang telah terbentuk selama ini sesungguhnya telah dinilai lengkap, di sana ada seniman, karya seni, kolektor, art dealer, editor jurnal/ media massa, kritikus, sejarawan, (direktur) museum, galeri, dewan kesenian, taman budaya, balai lelang, ruang (komunitas) seni, lembaga dokumentasi, dan kurator. Seni rupa yang akan menjadi pijakan dalam pembahasan adalah seni rupa yang “plural”, senirupa yang berkembang di masa kini dan kadang-kadang memiliki kecenderungan pemikiran dan media yang progresif. Memiliki kekhasan mulai yang biasa sampai yang luar biasa, sehingga mereka (perupa) terkadang hanya membutuhkan ruang yang berbatas hingga tak berbatas, dari ruang kecil (dan maya) sampai yang membutuhkan ruang besar (dan global). Lebih dari 20 tahun sebelumnya, Sanento Yuliman (1941-1992) menulis dalam katalogus pameran Seni Rupa Baru Indonesia, bahwa tak mungkin lagi kini kita menikmati karya-karya yang disajikan lewat ritme garis, nuansa warna, dan beragam bentuk

halaman 5


ketika karya seni rupa bukan lagi susunan liris unsur kesenirupaan. Dengan kata lain, karya senirupa pada perkembangan setelah senirupa modern sesungguhnya seperti hendak menggeser sang rupa ke samping dan di tempat itu ditaruhlah mungkin itu tema, cerita, wacana, dan lain sebagainya. Dan untuk mencapai itu, tentulah diperlukan pembahasan-pembahasan yang berulang-ulang kali hingga sampai pada taraf kematangan. Pemuatan Narasi Simbolik dalam bentuk metaphora-rupa dari sebuah cerita, atau peristiwa dalam sebuah karya senirupa, kini seakan merupakan sebuah keharusan sebagai konsep karya yang kemudian terbaca pada karya senirupa yang dilahirkan. Mencipta Karya Senirupa Landasan yang penting bagi sebuah penciptaan karya senirupa tentulah tertuju pada kreativitas dalam berbagai aspek. Perupa Riau di era senirupa modern yang berorientasi pada penciptaan, sejauh pengamatan saya untuk kota Pekanbaru jumlahnya tidaklah terlalu banyak, namun selalu ada dan begitu juga di kota-kota lain di Riau, yang karena berbagai faktor belum terpantau. Kreativitas yang dimaksud di sini adalah kreativitas yang bersangkutan dengan karya seni. Banyak cara untuk menemukan kreativitas, misalnya dalam penggunaan media, bahan, alat, dan teknik yang berbeda dari yang sebelumnya. Kreativitas juga bisa didapat dengan menampilkan bentukbentuk baru atau memadukan unsur baru dengan yang lama. Hal yang juga tak dapat diabaikan adalah, terjadinya Hibridasi Budaya dan

halaman 6

Identitas Dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat translokal, yang tidak cukup jika dipahami dalam term tempat, tetapi lebih tepat jika dikonsepsikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, seperti mempersepsikan kebudayaan sebagai sites of crisscrossing travellers (lalu-lalang perjalanan). Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa kita pada pemahaman, bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pencampuran berbagai kebudayaaan dan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut hibriditas (penyilangan) dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh proses hibridasi. Kemudian mungkin dan lazim terjadi sebuah bentuk kreolisasi pada karya, sekaligus memberikan cara berfikir alternatif, yang berbeda dengan konsep imperialisme kultural, yang menganggap Barat mendominasi budaya Timur. Karena kenyataannya konsumen Dunia Ketiga tidaklah pasif, melainkan menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbol-simbol yang mereka konsumsi dari produk budaya barat. Sebagai penutup, saya katakan bahwa kertas kerja yang saya buat ini adalah, sebagai ungkapan rasa cinta saya, rasa ingin saya agar senirupa di Riau dapat berkembang, sejalan dengan lajunya perkembangan senirupa di wilayah lain dan untuk itu perlu dilakukan secara terus menerus evaluasi agar menuju ke kesempurnaan (Toujours ĂĄ la perfection) ***


Esei

Sulalat al-Salatin

Adikarya Akalbudi Melayu oleh Muhammad Haji Salleh

Wabihi nasta ina billahi Walau pun kritikan sastera meletakkan dasar yang rasional untuk penilaian sesebuah karya namun begitu dalam ruang gerak bidang ini kita dibenarkan merasa ghairah, merasa terkesan oleh pencapaian besar sebuah adikarya, secara yang istimewa dan/atau menyentuh diri secara peribadi. Tetapi pembacaan karya sastera adalah suatu tindakan yang masih berpijak pada tanah kenyataan yang cukup pejal tanah sastera yang tua dan bertradisi kukuh seni yang bersandarkan bahasa dan pengkisahan. Maka dengan izin kritikan sastera ini saya memerikan gumpalan pengalaman saya sewaktu menikmati sastera Melayu, mungkin dengan palitan ironi bahawa hal ini saya lakukan setelah mempelajari sastera Inggeris, Jepun dan China. Dengan rasa

bahawa saya sedang berdiri di depan rimba rahasia fikiran leluhur maka sebagai seorang pembaca Melayu, betapa pun saya terpisah dari akar ini, dan juga sebagai seorang pengarang yang menghadapi pendahulunya, saya berdiri kagum. Inilah suatu pengalaman bandingan, bukan saja dengan sastera barat tetapi juga dengan karya-karya timur atau Afrika lainnya. Pengalaman ini cenderung mengatakan dalam seluruh sastera berbahasa Melayu tiada sebuah karya pun yang menawan, mengesan-ghairahkan seintens Sulalat al-Salatin/Sejarah Melayu. Saya melalui suatu pengalaman agung membaca sebuah karya agung, yang sering saya bandingkan dengan membaca Shakespeare atau Goethe atau Ramayana. Sebuah karya yang baik kekal lama dalam halaman 7


diri pembacanya dan malah bangsa yang menciptanya. Dan yang dialami bukan saja suatu pengalaman estetik yang sublim tetapi juga pengalaman perasaan dan akaliah yang bermakna, dan (untuk menggunakan istilah Robert Frost) `membijaksanakan.’ Rasa tertawan, ghairah, dan dibijaksanakan ini menyerbu secara serentak, dari berbagai sudut dan peringkat sekaligus, dan bukanlah suatu kesan yang simpel atau berdimensi tunggal. Karya-karya besar seperti Sulalat al-Salatin, mengikut pandangan Timothy Reiss (1992:5), memberi kepuasan daripada empat sudut, iaitu epistemologi, estetik, moral dan politik. Kita dipuaskan oleh pemindahan ilmu dan maklumat, oleh pengalaman keindahan karya itu, kesan kesimpulan moral serta makna politiknya. Karya yang lebih besar akan mengesan secara lebih kompleks, tetapi juga lebih menyeluruh dan kuat. Dari sudut lain pula, sebagai pengkagum bahasa, saya ditawan oleh kebolehan Tun Seri Lanang membancuh bumbu dasarnya untuk menghidangkan kita dengan pesta bahasa yang nikmat. Sebagai seorang yang mencari sudut pandangan, akar konsep dan keunikan sastera Melayu maka dalam karya ini saya dihadiahkan berbagai bayangan teori sastera oleh mukadimah dan modus operandinya, oleh kata-kata dan konsepnya. Sebagai seorang penyair dan pengamal sastera saya bersyukur dapat contoh unsur-unsur puisi dan struktur karya yang istimewa. Pemerian dan mot justnya memuncakkan rasa cemburu saya. Sebagai seorang yang sesekali diminta menulis tentang kejayaan sastera Melayu karya maka saya melihat Sulalat al-Salatin sebagai berada di atas sebuah bukit besar seni, kerana keunikan dan keistimewaannya. Dalam mukadimahnya Sulalat al- Salatin,

halaman 8

versi awal atau yang dapat disebut versi pra-Gowa atau Pasir Raja, (untuk mengelak penggunaan nama Shellabear dan Raffles yang mengedit atau mengumpul, dan nama mereka tidak pula membayangkan tempat atau negeri penulisannya) yang amat langka dan amat menjelaskan itu, karya ini memerikan dirinya sebagai karya yang oleh pengarangnya di`…himpunkan daripada segala riwayat orang tuha-tuha dahulu kala…’ Inilah metodologi atau pendekatan penyelidikan/ pengumpulan yang dipilih pengarang untuk mendapatkan maklumat dan kisahnya, dan seterusnya menjadi rangka struktur yang membina karya ini (Tun Seri Lanang, 1997: 4). Sementara itu dalam versi yang dibawa pulang dari Gowa, atau yang saya namakan versi Batu Sawar, yang sudah ditambah dengan santun mukadimah sastera IslamParsi, sebahagiannyca bercontohkan Bustan al-Salatin, karya ini dilihat pula sebagai `mutiara segala ceritera dan cahaya segala peri umpamanya.’ (Abdul Samad, 19798:3). Bahawa karya ini diminta untuk `diperbaiki,’ oleh Yang Dipertuan di Hilir (Raja Abdullah), untuk dikarang semula, juga menyatakan betapa pentingnya karya asalnya ini. Inilah karya yang dipenuhi maklumat tentang berbagai-bagai hal - daripada salasilah hinggalah kepada peperangan, senibina, adat istiadat serta undang-undang, yang oleh Reiss disebut sebagai fungsi epistemologi. Inilah salah satu sebab yang memperakukannya kepada kepada Raja di Hilir Johor dan seluruh bangsa Melayu pada masa itu dan seterusnnya pada masa setelah itu. Dalam tradisi Melayu tindakan ini adalah suatu tindakan kritikan, dan boleh dianggap sebagai suatu cebisan kritikan sastera awal orang Melayu terhadap karya ini, yang disanjung sebagai salah sebuah yang terbaik,


tersohor dari antara beberapa karya lainnya. Di dalamnya terbayang bukan saja genius pengarangnya tetapi juga genius sastera serta bangsa yang menciptanya. Selain dalam Sulalat al-Salatin, genius ini, pada pendapat saya, terlihat hanya dalam pantun dan peribahasa Melayu. Malah Hikayat Hang Tuah yang amat traumatis kesannya kepada bangsa Melayu tidak sekuat atau sedalam kesan atau pencapaiannya. Walau pun Abdullah Munsyi jarang positif tentang orang Melayu, tetapi beliau cukup memuji Sulalat al-Salatin. Jadi terdapat suatu julat pengiktirafan serta pemujian terhadap karya, dari zaman kerajaan Johor pasca-Melaka hinggalah kepada zaman Abdullah dan zaman kita hari ini. Merintis Sejarah Dalam pengenalan kepada Sulalat alSalatin (1997) ini sayapernah memperlihatkan betapa besar jumlah naskhah karya ini dan hakikat bahawa kita dapat menemuinya di seluruh dunia, dari Kuala Lumpur ke Jakarta dan London, dari St Petersberg ke Leiden dan Manchester. Penyalinan yang begitu sering adalah suatu cara mengiktiraf karya itu, juga suatu pernyataan kritikan terhadap kenyataan karya. Komentar sastera di zaman tradisional disebut secara lisan dan malangnya menjadi senyap setelah kata yang diucapkan itu berakhir. Pada hari ini kita tidak dapat mendengarnya lagi dan tidak dapat mengutip atau menilainya. Sementara itu penerimaan terhadap karya ini bukan saja terlihat di dalam negeri sahaja - di Malaysia dan Indonesia, tetapi kita disedarkan kepada hakikat betapa ramai peminat dan pengkajinya yang berasal dari England, Perancis, Belanda, Jerman dan China.

Dalam bandingan dengan bangsa-bangsa Melayu orang-orang Eropah lebih terbiasa serta teradat untuk menurunkan pandangan dan pendapat mereka tentang karya-karya sastera mereka sendiri atau yang ditemui luar dari sempadan bangsa dan negara mereka. Oleh yang demikian pegawaipegawai Inggeris, pengkaji Belanda serta Perancis, yang datang ke Tanah Melayu dan Kepulauannya sering menurunkan catatan mereka tentang karya yang merkea sukai. Di antara yang dikagumi mereka ialah Sejarah Melayu - Sulalat al-Salatin. Penulis yang terawal mencatat pendapat tentang kitab ini ialah Petrus van der Vorm, seorang pelayar Belanda yang mengumpul dan menerbitkan sebuah perbendaharaan kata Melayu, Collectanea Malaica Vocabularia of Malaische Woordboekameling (1707-08). Roolvink dalam (Brown, (1970:xvii-xviii) mengutip beliau, Finally, it must be said that any one interested in the Malay language ought to study the work ‌ not only on account of the language but also because of the contents which inform us about the descent of the Malay kings and the princes of the Malay kingdom and the fortunes of the Malay kingdom till the coming of the Portuguese. Pengiktirafan kepentingan dari sudut bahasa dan isinya ini diulang atau disambung oleh ramai pengkaji lainnya. Ternyata buku ini bukan saja membantu pembaca menikmati contoh bahasa yang baik tetapi

halaman 9


juga sejarah yang cukup lengkap tentang Melaka dan tanah jajahannya, terutama dalam situasi di mana tiada banyak buku yang membentang sejarah bangsa Melayu secara menyeluruh. John Leyden dari England pula merasa karya ini penting sehingga beliau telah menyediakan sebuah terjemahan Inggeris untuknya (1821). Raes telah memberi pengantar kepadanya, dan buku itu diterbitkan setelah meninggalnya Leyden. Seterusnya di Perancis, di antara pengkaji yang sebenarnya tidak banyak hubungan kolonial dengan bangsa Melayu, Dulaurier tidak ketinggalan pula menyalinnya ke dalam bahasa Perancis dalam tahun 1849, sebagai sebahagian daripada Collections de principales Chroniques Malayes, Kumpulan Karya-karya sejarah Melayu terpenting (Paris 1849-1856). Hans Overbeck, pelayar Jerman, yang juga pernah datang ke Alam Melayu, telah mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Jerman pada tahun 1938, dan karya itu dinamakan Malaiische Chronik, Sejarah Melayu, (1938). Nampaknya terjemahan Leyden kurang beredar dan pada pandangan C.C. Brown kurang memuaskan. Oleh yang demikian beliau telah menterjemahkannya semula, kali ini berdasarkan naskhah Raes MS Malay 18 yang tersimpan di Royal Asiatic Society, London, dan berlandaskan transkripsi Winstedt (1970). Pegawai kolonial dan pengkaji yang inign mencari rahsia serta ilmu tentang orang Melayu akan menemuinya di halamannya. Di sana tergambar bayangan dan contoh cara berfikir, bertindak, menulis dan menghadapi seni yang cukup unik. Di sinilah juga dilihat konsep-konsep pentadbiran, kerajaan, sejarah, ilmu, diplomasi, kewiraan, agama yang mendasari bangsa itu, dari awal

halaman 10

hingga zaman pasca-Melaka. Sekiranya dikumpul dan dicantumkan unsur-unsur ini maka dapat dilihat garis kasar dan halus apa yang mungkin disebut sebagai ‘jati diri’ bangsa Melayu. Walau mitos berjalinan dengan fakta, seni bergandingan dengan logika, namun inilah kenyataan bangsa yang berteraskan cara berfikir dan imaginasinya sendiri. Tun Seri Lanang menulis dari suatu tradisi sastera Melaka yang membawakan pengalaman dunia luas. Unsur-unsur India sudah sering disebutkan dan agak jelas kelihatan. Tetapi di samping itu unsur Jawa, Parsi, Arab dan malah Portugis dapat kita lihat dalam istilah, bahasa, gaya atau struktur penyususnan bab dsb. Kita dapat bersetuju dengan Winstedt bahawa pengarang ini mengetahui bahasa-bahasa Jawa, Arab dan Parsi (1969: 154) Ada bukti yang cukup pejal untuk pendapat ini. Bahasa Jawa digunakan dalam geguritan khusus tentang Hang Tuah, mukadimah jenis Parsi digunakan di awal karya dan seterusnya kutipan Arab dari Quran, hadith dan peribahasa menjadi kebiasaan karya ini. Tun Seri Lanang adalah seorang manusia yang berilmu dan terdapat beberapa sudut kesarjanaan pada tulisan dan pengetahuan beliau. Karya ini sebenarnya adalah suatu puncak intelektual bangsa Melayu. Dalam kehidupannya juga Tun Seri Lanang bukanlah manusia biasa, tetapi seorang bendahara yang berat dan besar tanggungjawabnya. Beliau manusia publik, walau pun dalam bukti karyanya kita lihat juga sudut peribadi yang baik dan halus. Beliau juga lahir dan wujud pada zaman pasca-Melaka yang cukup canggih, yang tidak sedikit menjadi manfaat hubungan istana serta negara dengan negara-negara


luar. Semua ini bercantum untuk menjadikan beliau manusia pengarang yang luar biasa ini. Genius Tun Seri Lanang dapat ditemui dalam bakat besarnya, dalam tebaran persoalan yang luas dan tema besar yang universal dan peribadi, julat watak dan pelakon sejarah yang dimasukkan ke dalam Sulalat al-Salatin dan akhir sekali bahasa yang istimewa terlentur untuk berbagai persoalan, suasana dan situasi. Bakat sebagai dasar Genius Mungkin dari awalnya lagi Tun Seri Lanang sudah terkenal sebagai orang yang pandai berkisah, yang mempunyai suara bercerita yang baik dan mungkin juga selalu dirujuk dalam hal sejarah dan sastera, kerana beliau mengetaui hal-hal ini, berbading dengan pegawai-pegawai istana lainnya. Bakat sastera beliau pasti sudah terjelma sebelum beliau dilantik menjadi bendahara. Mungkin sewaktu beliau belasan tahun beliau sudah selalu mendengar tukang cerita lainnya, cuba mengikut mereka dalam gaya dan sebutan. Di dunia sastera bertulis juga beliau pasti sudah melihat beberapa orang penyalin/pengarang membongkok di atas meja rendah, sambil bersila untuk menulis/ menyalin karya-karya disukai pada masa itu. Beliau pun sudah beberapa kali mencobanya. Inilah cara biasa seorang anak muda dilatih secara tidak rasmi, dan Tun Seri Lanang pun kemungkinan besar mengikut alur latihan yang agak sama. Kerana untuk menulis di peringkat dan kehalusan karya seperti yang kita saksi pada Sulalat al-Salatin ini sudah tentu pengarang ini harus melatihkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk suatu jangka waktu yang cukup panjang. Melihat, mendengar, meniru, mengucap

cerita dan berkisah adalah cara dia berlatih. Hasilnya menunjukkan bahawa Tun Seri Lanang adalah seorang yang amat pintar, dan lebih dari itu, adalah seorang yang bijaksana. Dengan kecerdasan alamiah dan perasaan halus serta dalam, beliau telah dapat menangkap dan melukis kembali gerak suara, suasana hati kekasih dan kelicikan politik yang mejalar di atas dan di bawah lantai istana. Beliau juga adalah manusia mulia, bersih, menyanjung dan memperjuangkan manusia dan masyarakat yang baik dan utuh. Dalam waktu sebelum penyerangan Portugis kita lihat bagaimana beliau menangkap jaringan tipis korupsi dalam bahagian akhir sejarah Melaka, yang seterusnya meruntuhkan segala yang baik dan mulia yang telah dibina oleh beberapa generasi sebelumnya. Manusia ditelan kerakusan dan Bendahara Seri Maharaja sendiri terjebak oleh wang pemberian Raja Mendeliar, yang dewasa ini dapat kita baca sebagai rasuah. Kata Bendahara, dengan tanpa banyak bicara, `Baiklah, tuan hamba memberi hamba, hamba ambil.’ (Tun Seri Lanang, 1977:160). Kata hati, kemuliaan diri dan maruah seorang bendahara tercicir sewaktu beliau menerima emas itu. Cerita ini berakhir dengan sedih, kerana cerita ditambah kepada kenyataan, musuh dikumpul dan rancangan dibesarkan, dan akhirnya Bendahara dihukum bunuh oleh Sultan Mahmud kerana dituduh hendak menderhaka. Gambaranya diturunkan dengan tanpa banyak komentar. Peristiwa dibenarkan oleh pengarang untuk berhujah sendiri, dengan cara yang malah lebih berkesan. Inilah di antara pemecah Melaka. Bakat besar sastera ini berintikan keupayaan menangkap kehidupan, memilih daripada deretan peristiwa yang panjang

halaman 11


dengan wawasan dan mata perenung, dan untuk mengolahnya kembali dalam susunan baru di kertas atau suara, dengan bantuan estetika dan kekuatan bahasanya. Pengarang mempunyai peribadi dan pandangan yang selalu menilai, dalam maksud akal yang evaluative - dengan cara langsung atau tidak langsung. Beliau mengambil ukuran nilai agama dan Melayu sebagai landasan. Diambil juga istiadat dan peraturan yang digunakan luas sebagai ukuran. Pengarang menilai dengan kata hati seorang penulis yang sesekali memisahkan dirinya dan berdiri di luar istana untuk menilai istana itu. Inilah suatu situasi yang cukup menyulitkan sesiapa saja, terutama kerana yang dikisahkan itu aialah leluhurnya sendiri, dan yang menjadi penaungnya juga adalah rajanya dan mengikut salasilahnya juga bersaudara dengannya. Namun, nampaknya beliau dapat membebaskan diri daripada raung keluarga dan terus berperanan sebagai pengarang yang lebih bebas dan lebih berlandaskan kebenaran dan keadilan - nilai-nilai yang beliau anggap penting untuk masyarakatnya. Kata hatinya bukan saja bersifat moralistik tetapi menilai juga di bidang politik, yang tampaknya tidak diperkirakan sebagai terpisah dari etika Melayu. Pandangan beliau tentang kuasa juga berbagai-bagai, tetapi umumnya berlandasakan ukuran moral. Pada suatu sudut beliau menyokong raja yang sah - seperti menyebelah Raja Kasim yang menjadi nelayan setelah adindanya dipilih menjadi Raja Melaka, kerana beliau berhak merebut kembali haknya, dan Melaka tidak harus dikuasai oleh Rokan. Namun demikian apabila seseorang raja melanggar batas-batas yang dianggap suci maka beliau membenarkan orang seperti

halaman 12

Tun Biajit (Tun Seri Lanang, 1997:157), mangsa Sultan Mahumud, yang bermukah dengan isterinya, `menimang lembing’ dan memarahi sultan. Sultan dilukiskan sebagai mengaku kesalahannya: Maka segala hamba raja itu hendak gusar. Maka titah baginda,`Jangan kamu sekalian amarah, kerana katanya itu benar. Sebab sedia salah kita padanya, hukumnya patut dibunuhnya oleh dia. Hamba Melayu tidak mau durhaka mengubah setianya, maka demikian itu lakunya.’ Lukisan tentang Sultan Mahmud yang lama bertakhta itu mempunyai berbagai jalur dan warna, dibentang dalam berpuluh peristiwa dan perbuatannya. Pada pandangan saya cara ini melambangkan tandanya Tun Seri Lanang cukup saksama, dan selalu menilai dengan kritis. Sultan Mahmud dihukum seperti dalam episod di atas, atau dalam episod Tun Fatimah, yang dibunuh ayahnya dan suaminya, dan dia sendiri dipaksa menjadi isteri kepada sultan. Namun begitu juga dia hampir-hampir dipuji di mana dirasakan perlu, seperti dalam episod setersunya (Tun Seri Lanang: 1997:209) Ada pun akan Tun Fatimah sangat percintaannya akan bapanya. Selama ia diperisteri Sultan Mahmud Syah,

terlalu oleh

jangankan ia tertawa, tersenyum pun ia tiada penah. Maka baginda turut

masyghul,

terlalu

sangat


menyesal diri baginda. Hatta maka Sultan Mahmud Syah pun membuangkan kerajaan baginda. Maka anakanda baginda itu, Sultan Ahmad dirajakan baginda. Cukup jelas kelihatan bahawa Tun Seri Lanang mempunyai piawai keadilan yang tinggi, dan lebih luas daripada itu mempunyai piawai budaya yang sama tersohornya. Dia sendiri menjadi lambang seorang manusia yang hidup dalam suatu tamadun yang bangga dengan pencapaiannya dan yakin pula dengan apa yang dicapainya. Gaya yang muncul dari keyakinan diri, tamadun dan kematangan peribadi ialah yang anggun, terhormat dan mulia. Walau pun manusia harus dinilai perlakuannya tetapi sebagai seorang pengarang Tun Seri Lanang melihat bahannya dengan daya imaginasi yang amat subur, yang membenarkan, dalam lingkungan tradisinya, imaginasi itu mencipta dan menghias, mencari strategi dan rupa pengkisahan yang berkesan tetapi indah. Dalam tulisannya tercantum unsur dialognya dengan sastera lama Melayu dan sastera Islam (termasuk dari India). Cerita Raja Culan turun ke Aftab al-Ard adalah bayangan imaginasi seorang genius. Kita harus membacanya bukan sebagai mitos kosong tetapi sebagai alegori seorang manusia yang sudah menakluki seluruh dunia dan ingin meneroka dunia lainnya, dan ingin juga terus menaklukinya. Sementara itu dunia di bawah laut itu terkurung oleh sempadannya dan hidup dengan nikmat kejahilannya. Raja negeri itu mendengar dengan takjub. Setelah diperkenalkan kepada Raja Culan beliau bertanya, `Adakah dunia lain dari dunia kami ini?’ Dalam

soalan Raja Aftab al-Ard terdengar juga jawapan Hamlet kepada Horatio dalam Hamlet Shakespeare,`There are more things in heaven and earth, Horatio,/Than are dreamt in your philosophy.’ Manusia hanya dapat menguasai atau memimpi secebis kenyataan dan khayalan. Di luarnya dunia dan cakerawala masih luas. Cerita di bawah laut ini dikayakan imaginasi, diperkuatkan oleh alegori cakerawala manusia yang tak terbatas. Begitu juga cerita Singapura dilanggar todak dan kisah Puteri Gunung Ledang diabadikan di peringkat mitos dan alegori, yang tidak berjejak kepada kenyataan kasar tetapi berterbangan dengan makna yang lebih sarwa jagat dan dapat dinikmati oleh berbagai golongan manusia dan zaman. Kita telah saksikan bagaimana Tun Seri Lanang amat cekap menangkap persoalan besar dalam gerak sejarah yang lebar. Tetapi ada suatu lagi cabang bakatnya yang sama mengkagumkan, iaitu menemukan episod kecil yang membawa makna besar, yang menyentuh manusia seluruhnya. Episod begini, biasanya dilakar dengan cara yang agak sederhana, cukup cepat beralih arus dan berubah jadi tragedi, seperti dalam cerita bendahara membunuh diri kerana pintu ditutup sewaktu dia akan datang mengadap raja. Atau kita dapat lihat episod Raja Zainal Abidin, saudara Mahmud Syah yang baik paras,`seorang pun tiada taranya pada zaman itu, baiknya tiada bercela lagi, kelakuannya pun terlalu baik, sedap manis, pantas, pangas.’ Zainal yang tampan dimusnahkan oleh rupanya sendiri kerana dicintai oleh berbagai-bagai wanita dan oleh itu sultan telah murka akan dia.

halaman 13


Bakat bahasa Tun Seri Lanang menganugerahkan `anak cucunya’ sejumlah kata, baris dan citra, yang kekal dalam bahasa Melayu (dan imaginasi bangsa ini), yang diwarisi dari Sulalat alSalatin. Kata-kata dan frasa seperti `hak rasanya,’ `sebicara’ `kerincangan,’ `junun,’ `gantal dan lekat’ dan `berbuang-buangkan’ memperkayakan khazanah naratif kita. Kata dan frasa yang tepat menyampaikan maknanya ini pasti diciptakan berkat bakatnya, dan digunakan dalam adunan situasi serta keperluan. Tetapi di antara hal-hal yang sulit untuk disampaikan ialah perasaan manusia, terutama apabila dibentangkan dalam ruang episod yang terbatas. Tetapi syukurlah kerana Tun Seri Lanang adalah tukang dan ahli dalam seni episod dan vignette, yang dalam ruang kecil dapat memunculkan perasaan seseorang watak dengan cara yang cukup berkesan, bukan saja yang jelas, tetapi juga jaluran-jaluran temaramnya, termasuk rasa merajuk, jengkel, ironi dan sinis, yang terkenal payah itu. Misalnya dalam episod Seri Nara al-Diraja dititah untuk menangkap wakil Raja Siam di Pahang (Tun Seri Lanang , 1997:17-110), yang bernama Maharaja Sura, anak buah Seri Nara agak tidak sabar kerana ketua mereka masih memburu kerbau liar di tepi sungai sementara yang diburu sudah jauh ke hadapan. Di suatu pihak mereka takut tujuan mereka tidak tercapai dan dimurkai Raja Melaka, di pihak lainnya mereka juga agak takut dengan ketua mereka yang hadir di pasir dan seperti tidak menghiraukan titah ini. Cerita berputar kembali apabila kita diberitahu bahawa strategi Seri Nara Diraja yang agak misterius itu cukup berkesan dan Maharaja Sura dapat ditangkap kerana waktu

halaman 14

tindakan disesuaikan dengan tepat sekali. Banyak episod karya ini adalah bentangan halus dan kompleks situasi dan perasaan manusia. Inilah pencapaian besar Tun Seri Lanang yang mengekalkan seni dan ceritaceritanya dalam khazanah anak cucunya. Tebaran Persoalan Seorang pembaca bukan Melayu yang berasal Melaka (dan Johor) akan cepat sedar akan perspektif karya yang berpusatkan kepada kerajaan Melaka dan bangsa Melayu. Inilah tumang penting dan karya ini tidak berubah arah atau kesetiaannya walau pun Melaka telah kalah dan raja mengungsi jauh ke Sumatera. Pandangan dan kecenderungan dapat kita sebut sebagai etnosentrik, yang berpusarkan bangsanya, dengan penuh setia dan rasa benar. Dalam pandangan dan rangka inilah pengarang menakluki aliran sejarah, mengabadikan waktu yang bergerak pantas dan cepat menghilang itu. Oleh kerana bentuknya berlandaskan sejarah, dan ruang waktu cukup lebar, bergandingan dengan ruang geografi yang sama luasnya, maka halhal yang dimasukkan ke dalam karya ini juga amat rencam dan berbagai-bagai. Oleh itu kita saksikan bahawa pengarang memulakan dari awal lagi - asal usul kejadian alam, dengan pujian kepada Allah s.w.t. dan salawat terhadap nabi Muhammad, sebelum menyentuh benang salasilah rajaraja Melayu. Setelah permulaan ini negeri diperikan pengarang yang memantau bagaimana manusia memulakan masyarakat dan negeri serta memperkembangkannya. Zaman perkembangannya memenuhi sebahagian besar dari karya ini, tetapi beliau tidak lupa untuk memberi ruang kepada gerak kehancurannya, yang juga harus


diketahui pembaca semasa dan selepas zamannya. Dalam berbuat demikian Tun Seri Lanang secara langsung atau tidak langsung mentakrif bangsa, nilai dan jatidiri Melayu, kerana yang dipersoalkan adalah inti pergerakan, fikiran, perasaan, hasrat bangsa itu. Tapi sastera/sejarah memeriksa juga perjalanan kehidupan dan perlakuan manusia. Sejarah dalam pandangan hidup Tun Seri Lanang dan orang Melayu tidak hanya bercerita tetapi juga menghukum, membuat kesimpulan dan dengan agak langsung, menilai dan menghukum, dan dengan itu menyampaikan makna moralnya. Pengarang menggalur asal-usul raja Melayu, daripada Iskandar Zukarnain hinggalah kepada Sultan Mahmud di zaman pascaMelaka, di Kampar. Sebenarnya pengarang tidak hanya menurunkan kembali apa yang diceritakan kepadanya, tetapi sebagai pengarang yang besar wawasannya beliau masuk ke gelanggang sejarah dan berdialog dengan zamannya, dengan nilainya, dengan hasrat dan harapan bangsa itu dan akhirnya dengan masa depan. Bingkai geografinya ialah Kepulauan Melayu, tetapi karya ini tidak sempit, kerana segala hubungan bangsa-bangsa di daerah Melayu ini dengan dunia luar juga dijelaskan dan diperikan, dalam rangka fikiran bahawa inilah suatu daerah penting dan hubungan dengan bangsa dan budaya luar yang besar adalah salah satu syarat untuk menumbuhkannya. Pengarang karya ini hidup dalam dunia akaliah yang lebar. Yang terkuat adalah agama, tetapi berserta dengannya terdapat dunia pemikiran sastera, pentadbiran, undang-undang dan juga adat istiadat. Pengarang harus mengetahui dengan cukup

mendalam hal-hal begini kerana beliau seorang yang pasti menjadi rujukan mereka yang ingin penjelasan, tambahan pula beliau bendahara, intelektual terpenting dalam istana Melayu di Johor. Kita menyebut sebelum ini bahawa sekiranya dicantumkan berbagai-bagai unsur dan sudut unik karya ini maka kita akan dapat mengumpul maklumat yang cukup jelas tentang jatidiri Melayu, yang dewasa ini amat dicari, kerana semua bangsa sedang ditenggelamkan oleh gelombang tsunami arus penduniaan - globalisasi. Untuk terus wujud sesuatu bangsa itu bukan saja perlu wajah dan jasad tapi juga jiwa atau akalbudi yang mengakarkannya kepada negara, tanah, bahasa dan budaya. Inilah dunia samar jatidiri, dan di seblaiknya pula ruang besar akalbudi. Wanita yang dipingit dan diingini lelaki dan raja, keghairahan beragama, adat istiadat yang menjadi ritual kerajaan, keprihatinan pegawai dan pemerhati, rasa bangga menggunakan bahasa yang halus dan patut, pengorbanan untuk Melaka dalam melawan musuh, dan segala perasaan yang halus bangsa itu - semuanya diperikan dalam berbagai cara, situasi dan jalur warnanya. Dalam jala besar sejarah dan naratif karya ini ditangkap visi dan mimpi bangsa Melayu, yang mulanya kecil dan terpisah jauh di sudut pulau dan semenanjung, tetapi akhirnya disatukan dan berdiri megah dengan negara-negara lain, termasuk China dan Benua Keling (sebahagian dari India). Dalam beberapa episod ceritanya mimpi ini dapat bermula dari seorang manusia, tetapi akhirnya dikembang sehingga menjadi mimpi negara, seperti yang kita saksikan pada Tun Perak, Hang Tuah dan Hang Kasturi. Suatu hal yang sering kita perhatikan

halaman 15


dalam cerita-cerita Sulalat al-Salatin ini ialah apa yang dinamakan sebagai `contact and collusion.’ Manusia dipertemukan, berbaik, bekerja sama, tetapi kadangkadang berlaku perselisihan pendapat dan arah. Namun begitu Tun Seri Lanang tidak selalu muram, kerana dalam karyanya sering dicari penyelesaian antara wataknya. Ini politik dan perasaan manusia, rasa dan kuasa dibenarkan mengalir bersama. Namun begitupengarang memperlihatkan suatu kesedaran sejarah yang panjang dan terlibat. Pada dasarnya karya ini adalah sejarah raja-raja Melayu Melaka dan jajajahannya, yang dijalinkan melalui sebuah salasilah. Beliau cuba menangkap sejarah sebagai pengalaman bangsa yang tidak dilukis hanya sebagai peristiwa kosong, tetapi dianggap sebagai hasil langsung dari perlakuan dan perbuatan manusia itu. Oleh yang demikian ada akibat dan kesannya. Jadi setiap peristiwa bermakna, menjadi tangga kepada suatu rumah makna, dalam hubungan sebab-akibat yang cukup penting. Menyusun peristiwa tidak terpisah daripada perbuatan menyusun makna untuk dijadikan kesimpulan tentang kehidupan. Tun Seri Lanang melihat sejarah sebagai seorang moralis Melayu, dengan dasar yang agak simpel dan diyakini - perbuatan yang baik akan dibalas baik, dan perbuatan yang jahat bukan saja akan merosakkan diri seseorang tetapi juga memusnahkan negaranya. Inilah suatu pendekatan moral terhadap sejarah dan manusia - yang dapat dipandang sebagai lebih filosofis and berakar kepada pandangan hidup orang Melayu, dalam agama-agama Hindu dan Islam. Rumusan dari pengalaman luas ini terserlah dalam dunia kebangsaan (Melaka),

halaman 16

manusia kebangsaan yang penuh imaginasi dan perasaan bangga-bangsa. Jatidiri bangsa dapat dilihat dalam cara berfikir, cara berperasaan dan cara berbuat. Bahasa yang menangkap semua ini bersama membayangkan jatidiri ini pula. Yang amat dipentingkan dalam adikarya ini juga ialah kedatangan dan penyebaran agama Islam di Kepulauan Melayu, yang bermula di pantai Barat Sumatera dan seterusnya menyebar hinggalah ke pulaupulau lainnya. Walau pun sejarah pusat dipentingkan, dan inilah sudut pandangan Melaka, namun ada juga negeri-negeri yang sama kuat seperti Pasai dan Majapahit, yang diberikan ruang dan fokus. Oleh yang demikian kita melihat raja-raja negeri ini dan kejayaannya diberi tempat yang hak. Pengarang memperlihatkan betapa Melaka menghormatinya. Misalnya dalam kutipan berikut (Tun Seri Lanang, 1997:61-62) disebut tentang cara menyambut surat dari Pasai, Jikalau seperti surat dari Pasai dijemput dengan selengkap alat kerajaan - nafiri, nagara, payung putihdua berapit. Gajah dikepilkan di ujung balai, kerana raja dua buah negeri itu sama, jikalau tuan muda sekali pun berkirim salam juga. Apakah dalam baris-baris ini ada sedikit dekonstruksi terhadap pusat, terhadap pandangan etnosentrik? Sekiranya boleh maka sekali lagi Sulalat al-Salatin juga dapat dianalisa dari sudut teori terbaru dekonstruksi. Sebagai kesimpulan, pembaca sedar bahawa Tun Seri Lanang menyukai bukan saja tema-tema sarwa jagat tetapi juga yang menyentuh hati kecil manusia kerdil. Beliau prihatin terhadap semua jenis pengalaman, dari yang gembira kepada yang sengsara.


Pergerakan besar mendapat tempatnya di samping yang kecil, tapi bermakna. Dalam peristiwa dirumus maksud dan makna sejarah. Di akhirnya beliau cuba membayangkan kemungkin bangsa, mimpi besar bangsa Melayu, usaha, kejayaan dan dan kegagalannya. Tema-tema Besar Sekiranya kita pantau kerja-kerja genius sastera dunia kita akan menemui hakikat bahawa mereka amat pandai memilih tema, dan dalam pemilihan ini mereka mencari yang lebih besar dan sarwa jagat sifatnya, yang akhirnya juga melampaui sesuatu zaman. Persoalan cinta antara dua darjat kita temui dalam Shakespeare melalui Romeo dan Julia; dalam karya-karya Goethe kita disedarakn kepada kerumitan kesengsaraan anak muda yang sedang mengenali hidup. Dr Faustus menghujah makna ilmu yang dicari tanpa batas etika. Dalam Ramayana pula kita dibawa ke pentas pertempuran antara baik dan jahat, serta kesucian seorang wanita. Tema-tema ini diulang kembali sepanjang sejarah manusia, dalam berbagai bentuk. Oleh yang demikian kita juga lihat Laila dan Majnun, Love Story, Uda dan Dara dalam tiga buah budaya yang amat berlainan, dan masih dikarang hari ini cerita yang mengisahkan masalah ini. Yang menjadi arus Sulalat al-Salatin ini ialah gerak nasib manusia dalam sejarah, gerak naik-turun bangsa, jalur-jalur zaman yang mewarna manusia dan kerajaan. Maka banyak pula kemungkinan tema penting dilatardepankan. Dan Tun Seri Lanang tidak melepaskan peluang untuk membentangkan tema sejagat kerana beliau merasakan bahawa pengarang yang penting harus dapat menangkap persoalan

penting dalam berbagai situasi manusia. Oleh yang demikian beliau menggali makna dari perselisihan di antara dua kumpulan Melayu, Tun Perak dan Seri Nara al-Diraja, dan seterusnya sebelum kekalahan Melaka di antara Bendahara Seri Maharaja dan Laksamana. Makna mujarad kemenangan dan kekalahan dilukiskan dengan garis besar serta halus. Yang dialami dalam gelanggang besar sebuah negeri juga digandingkan peristiwa yang lebih individu sifatnya dengan makna perbadi pengalaman ini. Tema yang sering diulang dalam Taj alSalatin dan Bustan al-Salatin, dan yang sering merundung kerajaan Melayu keadilan dan kekejaman - diulang pula dalam adikarya ini. Dari episod Sang Rajuna Tapa, kepada penjajahan Melaka, dan tidak lupa kepada sifat maharajalela Sultan Mahmud Syah, kekejaman Melayu dirangkai dalam banyak bab karya ini. Semua yang saya sebut ini adalah tema besar, agak samar dan mujarad, yang menarik pengkaji seperti kita. Tetapi Sulalat al-Salatin juga menangkap imaginasi pembaca biasa dengan cerita kesetiaan Hang Tuah, dan derhaka Hang Kasturi, kecantikan Tun Fatimah yang hampir mengorbankan dirinya sendiri, hak wanita dan hak orang Aslian dsb. Sulalat al-Salatin telah memulakan sejumlah tema Melayu dan juga team sarwa jagat, dan kerana kebenarannya maka pengarang-pengarang setelahnya, terutama pada kurun kedua puluh, telah merasakan betapa Tun Seri Lanang bukan saja berdialog dengan zamannya tetapi juga dengan anak cucunya di kurun kedua puluh ini. Maka tema-tema ini (dan ceritanya) telah dikitar kembali dalam berbagai buah buku, drama, sajak dan cerpen. Kepadanya ditambah bakat pengarang berkenaan dan

halaman 17


juga tafsiran khusus dirinya dan zamannya.

tiada akan besar bangsa

A.Samad Ahmad, yang akhirnya menjadi pengkaji Sulalat al-Salatin yang penuh dedikasi dan ghairah, menulis buku yang mendapat ilham dari karya sejarah ini, malah karyanya tersebar luas dan digunakan di sekolah, misalnya Laksamana Tun Tuah dan Zaman Gerhana. Seterusnya dalam bentuk lain kita saksikan Dang Anum yang mendasarkan ceritanya kepada episod Sang Rajuna Tapa dan Singapura dilanggar todak.

yang tiada kasihkan bahasanya

Pengarang esei ini sendiri menulis sebuah buku sajak yang diilhamkan oleh berbagai tema dalam Sulalat al-Salatin. Buku itu berjudul Sajak-sajak Sejarah Melayu. Tafsiran penyair dari awal lagi telah dicantumkan kepada dasar asalnya. Misalnya ditulis sebuah sajak pendek yang bermula dengan mengutip dari bab kedua puluh empat, yang berbunyi seperti berikut: `Maka kata pula Raja Pahlawan, “Lain surat, lain dibaca; remuk hati di Tanah Pasai, jangan mati di Tanah haru; jikalau dimakan anjing Pasai pun biarlah sebab sepatah ini.”’ Kepada seseorang penyair persoalan bahasa, kebenaran dan juga kesetiaan terhadap makna amat penting sekali. Maka dengan ghairah Raja Pahlawan diciptakan sebagai memarahi sikap Pasai yang tidak menghormati tulisan dalam kiriman Sultan Melaka, cih, pasai yang tiada sayang pada bahasa, pada rasa dan hati yang dikandunginya. ayat dilengkungkan dengan pembacaan, makna dipindahkan kepada kehendak.

halaman 18

tiada kebenaran pada manusia yang tidak dapat melihat kenyataan. biar kusampaikan juga makna surat di sini dengan keris dan amuk baru kenyataan harus dihantarkan juga kepada pasai yang leka. Bakat besar Tun Seri Lanang tidak sedikit menumbuhkan daunnya di zaman kita ini. Pengarang moden mengutipnya untuk membawakan makna kontemporer dengan tafsiran semasa. Inilah yang dilakukan oleh Taufik Ikram Jamil dari Riau dan akan dilakukan oleh suatu siri televisyen di Malaysia, yang saya difahamkan, akan terbit tidak lama lagi. Terjalin dalam tema manusia dan drama hidupnya ialah pemerian istiadat, undangundang Melaka dalam perlaksanaan. Seni bina istana yang melambangkan kemakmuran dan keunikan Melaka dilukis berus halus (Tun Seri Lanang, 1997,101): Besar istana itu tujuh belas ruang, ruangnya tiga-tiga depa, besar tiangnya sepemeluk, tujuh pangkat, kemuncaknya pun tujuh. Pada antara itu diberinya berko’. Maka pada segala ko’ itu diberi gajah menyusu(dan pada gaja menyusu) itu diberinya bubungan melintang; sekalinnya bersayap layang-layang dan


sayap layang-layangnya itu semuanya berukir‌

bentuk dan cara-cara raja dan pegawai mendapatkan kuasa ini dan bergaduh atau bersatu untuk mengekalkannya.

Tapi sayangnya istana ini di terbakar dan dibina kembali suatu kompleks yang lengkap dan lebih megah. Cukup menarik bahawa istana itu juga membayangkan simbol penyatuan jajahan Melaka kerana tukang yang membinanya dibawa dari beberapa pulau di Selat Melaka dan Sumatera (Tun Seri Lanang, 1997:103):

Terjalin rapuh di antaranya ialah masalah hak wanita.Walau sering wanita dianggap sebagai barang dan hiasan lelaki, namun sesekali hak wanita dilatardepankan. Biasanya watak-watak yang agak kuatlah yang merebut kuasa ini kerana jarang sekali kuasa diserahkan oleh lelaki. Tun Fatimah yang menggugurkan anaknya dengan Sultan Mahmud sebagai protes terhadap kekejaman baginda membunuh suami dan ayahnya dan memaksanya menjadi isterinya. Tiada protes yang lebih agung dari meniadakan zuriat dari jurai yang dianggap mulia dan bermula daripada Iskandar Zukarnain. Akhirnya Sultan telah berjanji akan merajakan anaknya sekiranya Tun Fatimah terus menjaga kandungannya. Inilah hak yang diperjuangkan oleh seorang mangsa raja lelaki yang tidak dapat mengekang diri atau perasaannya. Seterusnya episod Puteri Gunung Ledang juga boleh dibaca sebagai protes wanita yang biasanya dianggap tidak berkuasa. Dalam permintaan Puteri itu, sebagai hantarannya disyaratkan darah anak raja sendiri. Apakah ini dapat dibaca sebagai ejekan raja yang selalu merasakan dia akan mendapat apa saja yang dihajati, dan begitu kaya dia dapat menyediakan segala-galanya? Pengarang ini seperti berkata bahawa masih ada orang yang tidak boleh dibeli dan ada syarat yang tidak mungkin dipenuhkan, walau pun oleh Raja besar Melaka. Keduadua peristiwa ini boleh dibaca sebagai unsur feminis awal dalam karya Melayu. Sebab itu juga karya ini diperkirakan besar, kerana banyak hal boleh ditemui di dalamnya, termasuk unsur-unsur yang dapat ditafsirkan dari sudut aliran pemikiran terbaru, yang

‌ maka orang Ungar{an} dan Orang berbuat istana, sertanya orang Bentan Karangan beramu akan dia, orang Pancur Serapung berbuat balairung, orang Buru balai mendapa, orang Syoyar berbuat dia balai itu, balai apit pintu yang di kiri itu, orang Sayung berbuat dia kandang, orang Apung berbuat dia danu gajah, orang Merbau berbuat dia penaggahan, orang Sawang berbuat dia danu permandian, orang Tungkal berbuat dia danu mesjid, orang Tentai berbuat dia pintu pagar istana, orang Muar berbuat dia kota wang. Bangsa Melayu adalah bangsa yang ghairah dengan politiknya. Masalah kekuasaan, siapa yang menjadi raja dan berkuasa, puak dan penyokong menjadi persoalan abadi. Sulalat al-Salatin memberi ruang yang luas dan bersambungan kepada

halaman 19


tidak pun terbayangkan oleh pengarang asalnya. Beberapa nilai juga mendasari karya ini kesetiaan rakyat kepada raja, dan janji bahawa raja tidak mengaibkan rakyatnya, betapa pun besar kesalahannya. Kesetiaan menemui berbagai wajah dan penyempurnaannya. Pengaiban juga tidak kurang leluasanya, dari penyulaan anak Sang Rajuna Tapa yang ternyata tidak bersalah, hinggalah kepada Tun Fatimah yang menjadi mangsa lelaki. Sama pentingnya ialah keadilan. Sering tema ini diulang di sepanjang karya besar ini, kerana sering pula kebenaran dikesampingkan untuk dibenarkan hasrat atau kerakusan raja atau pegawainya. Jadi pengarang mengulangkan situasi yang berbagai-bagai ini untuk menggarisbawahi betapa petingnya nilai ini untuk kelangsungan bangsa, manusia dan raja serta negeri. Sulalat al-Salatin juga menyanjung ilmu dan orang berilmu. Dalam sebuah episod Sultan harus meninggalkan gajahnya dan berjalan ke rumah gurunya sebagai pelajar biasa, kerana dalam bidang ilmu tiada yang lebih tinggi dari guru, walau pun dia seorang sultan negeri yang besar. Begitu juga mereka yang pandai dalam bidang ini dihormati dan dijadikan `makhdum’, kadhi dsb. Pembaca (khususnya pegawai) sering diajar bagaimana menjadi pentadbir yang baik, suatu lagi masalah yang nampaknya amat mengganggu kerajaan Melayu. Jadi bendahara dan raja sering berpesan kepada pegawai dan anak cucunya, kadang-kadang dengan nafas terakhir mereka, supaya berlaku adil kepada rakyat dan terus menjaga mereka dengan baik, kerana mereka menjadi akar kepada pohon negara. Tanpa rakyat tidak mungkin wujud raja atau pentadbir.

halaman 20

Oleh itu nilai-nilai dasar Melayu yang kekal ditekankan. Manusia Melayu diajak menjadi manusia moral, berkata hati, berbudi bahasa dan setia membangunkan negerinya. Julat Watak dan Pelakon Sejarah Sulalat al-Salatin melibatkan dirinya bukan saja dengan persekitaran alamiah, tetapi secara lebih besar lagi dengan manusianya. Karya yang amat peka ini menyusup di bawah permukaan kata dan perbuatan. Pengarang menyelam masuk ke lautan kehidupan untuk menggambarkan berbagai-bagai watak dan pelakon sejarah. Beliau menangkap garis-garis sepunya manusia, persamaan yang mendalam di antara mereka. Oleh yang demikian kita dibayangkan dengan bermacam-macam situasi di mana manusia mengejar kuasa, dan mengatur usaha mengekalkannya dan juga memberi makna kepada kuasa itu. Pengarang melihat ke dalam apa yang dipanggil Reiss (1992:4) sebagai hal-hal kekal lagi mendalam tentang manusia `deep permanancies of human beings.’ Karya-karya besar seperti Genji Monogatari, Odysseus, Mahabharata serta King Lear dan La Galigo membawakan sejumlah watak atau pelakon sejarah yang cukup ramai dan mengesankan. Setiap watak penting ini dilukiskan dengan warnanya sendiri dan disalut oleh keunikan peribadinya. Inilah yang membuat wataknya kekal dalam ingatan pembaca serta bangsanya. Demikianlah kita mengingati Odysseus yang mengembara jauh dengan keberanian dan kepimpinan. Demikian juga kita mengingati Genji dan kekasihkekasihnya. Mahabaharata termuat sarat dengan perselisihan dua puak yang saling


bersaingan dan bermusuh-musuhan. King Lear pula terkenal kerana bukan saja watak raja itu yang menuntut kasih dari anaknya dan merajuk setelah tidak tercapai tujuannya, tetapi juga kelainan ketiga anaknya, dari Cordelia yang lembut hinggalah Regan yang keras tegar, dan kering dari kasih sayang. Dalam Sulalat al-Salatin, seperti juga Hikayat Hang Tuah, kita dihadiahkan dengan sejumlah watak yang amat mengesankan, dari kalangan raja, melalui bendahara, temenggung, hinggalah kepada perwira, mufti dan batin masyarakat Aslian. Kita mengingati mereka kerana walau pun mereka muncul dalam jumlah yang besar namun demikian setiapnya dilengkapkan dengan sifat-sifat kekhasannya sendiri, atau apa yang disebut dengan particularity. Tun Perak terkenal dengan kebijaksanaan dan logikanya yang luarbiasa, Raja Zainal Abdidin pula tampan dan menjadi penunggang kuda yang romatis, melalui lorong pasar dan kampung, Seri Wak Raja yang berkahwin sewaktu beliau agak tua cukup gembira dengan penyelesaian masalah yang menganugerahkannya seorang bekas isteri raja yang terkenal cantik. Seterusnya kit a menemui Maharaja Sura dari Pahang, yang kehilangan kerajaannya setelah dia tidak mempedulikan gajah kesayangannya, Batin Singapura, Patih Ludang yang dibunuh anak buahnya walau pun setelah mendapat persetujuan Sultan, mungkin kerana dia orang Aslian, Sultan Alauddin dan gerakan keamanan Melaka, Raja Maluku yang pandai bermain sepak raga dan senjata, Raden Surabaya/Patih Adam yang menggemparkan negeri dengan mengepung rumah Seri Nara Diraja untuk mengambil Tun Minda, isteri yang dijanjikannya dalam gurauan beberapa tahun sebelum itu. Semuanya dilukis dengan

palitan cat yang khusus, dengan situasi dan wataknya sendiri. Ada keuinkan kepada cara dan lakuan mereka. Oleh yang demikian kita dapat dengan mudah menyimpannya dalam diri dan pengalaman sastera kita. Dari antara berpuluh watak ini kita menemui wira bangsa Melayu, yang kadangkadang mencapai peringkat mitos, dan menjadi kekasih negara untuk berbagaibagai zaman. Watak Tun Perak yang mempunyai logikanya sendiri, Sultan Alauddin yang gagah lagi berani, Sultan Mahmud yang lama memerintah, Gajah Mada yang licik dan penuh tipu helah, dan malah Hang Isak Pantas yang cepat bekerja, Badang yang mencapai kuasa jasmaniah luar biasa dari muntah halimunan adalah di antara wakak yang kekal dalam imaginasi bangsa Melayu. Tetapi terdapat juga beberapa orang anti-wira seperti Tun Mai Ulat Bulu yang mengejek orang Arab yang mencari kepentingan sendiri, Megat Seri Rama yang cepat mencarut, Makhdum Sadar Jahan yang bertaubat tidak mahu mengajar Tun Mai kerana dia memulang paku buah keras dengan mengejek caranya menutur bahasa Melayu, Mi Duzul yang rabun yang menyangka kambing sebagai musuhnya, Hang Hasan Cengang yang tidak mahu berhenti makan sewaktu bersuapansuapan di pelamin, kerana katanya, dia mengeluarkan belanja yang banyak, Bendahara Seriwa Raja yang pelaram yang cukup melucukan. Yang luar biasa tentang perwatakan Sulalat al-Salatin ini ialah jalinan berbagai jenis watak - daripada yang serius, kepada yang lucu, ironis, gagah, setia, pencarut, pemain sepak raga, pahlawan yang setia dan pemberontak, penjaga gajah, ayam dsb. Jadi kita dianugerahkan dengan suatu julat

halaman 21


yang nampaknya memuatkan amat banyak jenis manusia. Mungkin di suatu pihak lain kita bertemu Mi Duzul, Hang Hasan dan manusia sejenisnya dalam konteks kegilagila bahasa, dan membawakan kelucuan yang kadang-kadang cukup canggih seninya. Namun begitu semuanya terbina dalam tradisi lucu imaginasi bangsa. Mereka tahan dalam hakisan waktu kerana dicerita dengan bakat besar dan teknik naratif yang tahan ulangan. Seperti tema diulang tafsir, ditulis tentangnya oleh beberapa zaman maka watak-watak ini, khususnya yang diangkat ke taraf mitos, juga diulang tafsirkan, kerana mereka juga membawa watak bangsa Melayu, keunikan dan kebijaksanaan, walau pun logikanya mungkin aneh untuk masyarakat umumnya. Setengah daripada mereka menjadi contoh, diangkat menjadi lambang negara. Sulalat al-Salatin bukanlah hanya sebuah sejarah bangsa tetapi sebagai sub-plotnya kita dibawa melalui suatu lorong-lorong kecil perisitwa bangsa Melayu dan bangsa-bangsa yang berhubungan. Sementara banyak unsur sejarah yang dapat dianggap sebagai berunsur sejarah karya ini juga memasukkan unsur-unsur fiksi dan pembesaran yang mengasyikkan. Karya ini melukis bangsa Melayu di banjaran kejayaannya. Pengarang melukis pencapaian bangsanya, sewaktu bangsa berada di puncak sejarah. Oleh yang demikian diceritakan tentang kebolehan dan kemungkinannya, kekuatan dan kehalusannya. Mereka ditempatkan di tengah kota kosmopolitan atau di anak sungai untuk mentadbir negeri. Mereka harus berhadapan dengan berbagai-bagai jenis penduduk dan pendatang, semuanya

halaman 22

dengan budaya dan caranya. Oleh yang demikian kita dibawa kepada suatu padang sejarah yang luas dan pelbagai. Bahasa Perasa dan Pemikir Dalam pengenalan kepada Sejarah Melayu yang dieditnya, Abdullah Munsyi (1959, edisi Gunung Agung: 13) mengatakan bahawa `jikalau engkau belajar akan kitab ini sampai engkau faham sekali akan bahasanya dan ertinya ‌ engkau telah pandai akan bahasanya ‌ barang siapa yang tiada mengendahkan bahasanya seperti kelakuan orang Melayu itu, maka itulah tinggal dalam bodoh dan menjadi bangsa yang kecil adanya. Maka jikalau engkau hendak mengetahui akan sebabnya barang siapa yang membuangkan bahasanya itu maka akan menjadi bangsa kecil dan hina, maka inilah sebabnya.’ Karya ini dianggap sebagai contoh bahasa yang halus, yang harus dikaji, walau pun isinya `sia-sia.’ Abdullah yang jarang dapat menurunkan kata-kata baik tentang raja dan orang-orang Melayu nampaknya melihat suatu sudut halus sastera Melayu, di sini seperti yang dibayangkan oleh adikarya bangsa itu. Sifat yang utama karya ini ialah keunggulannya, kehalusan melukis watak atau nasib manusia. Kata-katanya terpilih dan suaranya merdu dan prihatin. Lihat, misalnya, bahagian permulaan bab XIX (Tun Seri Lanang, 1997:140) yang menceritakan Pahang dan Tun Teja: Alkisah maka tersebutlah perkataan Sultan Mahmud Syah, Raja Pahang yang tua itu telah mangkatlah. Maka anak baginda Sultan `Abdul Jamal kerajaan


menggantikan ayahanda baginda. Adapun akan Bendahara Pahang tatkala itu Seri Amar Wangsa alDiraja gelarnya akan dia, beranak seorang perempuan, Tun Teja Ratna Menggala namanya, terlalu baik parasnya. Dalam Tanah Pahang seorang pun tiada samanya pada zaman itu; pada barang lakunya sedap manis, tiada berbagai. Itulah sebabnya maka diikatkan orang nyanyi, demikian bunyinya, Tun Teja Ratna menggala, Pandai membelah lada sulah; Jika tuan tidak percaya, Mari bersumpah kalam Allah. Walau pun kata-kata ini disusun dari pemerian sastera lama tetapi cara Tun Seri Lanang memberi rentak dan memaniskannya dengan pantun itu amat berkesan sekali. Suasana pemeriannya ringan dan riang, serta disulami sopan santun sastera. Inilah suatu bahasa yang matang, yang telah pun digunakan oleh beratus pengarang, untuk suatu jangka waktu yang cukup panjang. Kita menyimpul bahawa yang kita baca ini adalah hasil dari pengalaman yang telah masak oleh ujian. Tun Seri Lanang yakin dengan bahasanya. Bahasa ini pula yakin akan strukturnya. Pengarang dapat berubah daripada pemerian istana Pahang yang lebih rasmi bentuknya, kepada pemerian kecantikan peribadi seorang puteri. Setelah itu beliau menutup dengan pantun yang separuh berbahasa lisan dan separuh berbahasa istana.

Tetapi di tempat lain kita diberikan berbagai-bagai bukti betapa sedarnya pengarang ini kepada kekayaan budaya dunia dan juga sumbangan yang dapat diberikan kepada bahasa Melayu. Telah kita sebutkan contoh-contoh kata asing yang digunakan seperlunya, dengan sedikit rasa keinginan mempamerkan kebolehannya (yang boleh dimaafkan), kerana pada perasaan saya, tidak berlebihan atau secara menjolok. Sering pula pengarang harus lama duduk mencari kata dan strategi naratif untuk melakarkan persoalan baru. Misalnya peperangan Melayu-Portugis memerlukan kata-kata baru untuk istilah senjata dan kapal. Begitu juga istilah khusus untuk bahagian-bahagian istana dan persoalan agama dan tafsir. Sulalat al-Salatin hidup, malah berdrama di depan kita. Walau pun pada dasarnya karya ini harus memeri keadaan dan perjalanan waktu, namun dalam strategi pengkisahan yang digunakan bukan sahaja naratif ceritaan, tetapi watak-watak dibenrakan berkata, berperasaan dan berbalahan. Pertemuan dan percakapan watak melakonkan persoalan, atau memberi suara yang lebih nyaring kepada gagasan pengarang, tetapi karya ini mendapat nadi daripada perasaan watak dan rentak katakata mereka. Dalam naskhah aslinya kita tidak akan menemukan tanda berhenti atau koma, namun demikian kita dapat mencipta kembali patah-patah frasa dan rentak rhetorikanya. Dialog membayangkan kenyataan suara dan manusia dengan lebih berkesan daripada pemerian langsung. Oleh yang demikian kita diberikan peluang untuk mendengar suara pelakonpelakon di halaman kertas baru, walau pun

halaman 23


suara yang kita dengarkan itu adalah ciptaan baru yang kita dasarkan kepada pemerian dan pengalaman kita sendiri. Namun begitu kesan karya ini dihidupkan oleh penciptaan kembali terhadap cerita dan wataknya. Kenyataan juga ditangkap melalui cerita dalam cerita, seperti sebuah teleskop kisah yang boleh dimasukkan ke dalam yang lebih awal atau yang lebih besar. Jarang kita dengar/baca yang dibuatbuat dalam Sulalat al-Salatin. Hampir setiap halaman mempersembahkan bahasa yang cukup sederhana tetapi tepat dan patut. Pengarang bukan saja tahu dirinya tetapi tahu juga bahasa yang sesuai dan dapat digunakan dalam berbagai-bagai keadaan. Seterusnya bahasanya tidak berpusat kepada dirinya, walau dirinya penting. Watak-wataknya dibenarkan meneruskan kehidupan sasteranya, dan pengarang menghormati mereka. Ruang yang sesuai diperuntukkan kepada mereka. Salah sebuah teori tentang bahasa sastera ialah bahawa bahasa ini adalah sesuatu yang dianehkan. Walau apa pun takrif aneh yang mungkin diberikan, saya merasakan bahawa bukanlah tujuan utama pengarang untuk menganehkan bahasa atau peristiwanya. Tetapi oleh kerana bakat yang tajam pandangannya melihat peristiwa dari sudut yang agak berlainan maka seluruh wajah pengalaman atau peristiwa menjadi sedikit berlainan dari biasa. Tetapi keanehan ini jugalah yang memberikan kita pengalaman sastera yang agak berlainan dan memuaskan pengalaman estetik kita. Kita telah beberapa kali menyebut tentang kias dan ibarat yang digunakan dalam cerita todak melanggar Singapura, Puteri Gunung Ledang dan Raja Culan. Selain dari cara berkisah, ini juga adalah cara

halaman 24

menggunakan bahasa. Dalam episod-episod ini teknik bahasa yang mengapungkan cerita di atas kenyataan juga terlibat dalam seluruh naratifnya. Melalui teknik dan bahasa ini, akhirnya makna di seberang waktu dapat dicapai sebagai legenda dan mitos. Sulalat al-Salatin diperakui ramai sebagai kaya dengan imaginasi bahasa. Bentuk wacana untuk menggambarkan hidup yang kompleks dengan watak dan peristiwa bebagai-bagai mengalir dan berubah dengan keperluan. Oleh yang demikian kita mempunyai mukadimah dari contoh Parsi, bahasa salasilah yang cepat bergerak, patah-patah kalimat cepat mengulang gantian generasi. Tetapi dalam pemerian wanita cantik atau hutan bahasa ini lebih beralun dan mungkin ditambah dengan `nyanyi,’ bentuk pantun yang disukai ramai, dan sempurna untuk bercerita. Di tempat lain terlihat pula bahasa tafsir al-Quran, atau bahasa ilmiah yang dikuatkan dengan peribahasa dan kutipan dari buku lama. Inilah bahasa yang amat lentur dan dapat diubah untuk berbagai-bagai keperluan dan keadaan. Sulalat al-Salatin juga cukup luar biasa kerana menggunakan berbagai-bagai bentuk dan jalur ucapan dalam wacananya. Berdasarkan suatu prosa teras kelasik kurun ke-16 dan 17 kita lihat bahawa pengarang cuba melaksanakan tugasnya untuk menulis sebuah sejarah bangsa itu. Pengarang ini kemungkinan telah belajar, atau sekurang-kurangnya, berkongsi tradisi sasteranya dengan Hikayat Rajaraja Pasai. Walau pun kelihatan bersahaja wacana yang digunakan Tun Seri Lanang adalah suatu campuran berbagai jalur ekspresi yang dimatangkan oleh kegunaan dan aliran waktu. Oleh yang demikian kita


menemui naratif sejarah sebagai terasnya, di sepanjang 31 bab versi awal (atau Pasir Raja) dan 34 bab (versi Batu Sawar). Bentuk itu terbukti luwes, dapat digunakan untuk sejarah dan digabungkan dengan wacana bentuk lainnya, dan pada dasarnya sudah tercipta, walau pun dalam bentuk yang lebih mudah. Dari dasar inilah Tun Seri Lanang membina naratifnya. Beliau memasukkan, di suatu pihak, naratif rasmi, yang dekat kepada sejarah, dan di suatu pihak lainnya, yang tidak rasmi, yang membawakan episod yang dekat kepada cereka. Namun begitu di antara wacana sejarah dan wacana peribadi/ cereka ini terjalin wacana kecil humor serta tragedi, yang membenarkan pengarang menjangkau daerah pengalaman yang luas dan dalam. Akhir sekali wacana yang menyediakan simbol dan citra untuk wacana bangsa itu adalah bahasa yang padat, halus, luwes, tepat, tetapi boleh beralun, berperasaan dan sesekali taksa untuk keperluan kritikan dan ejekan. Genre Sejarah Melayu Karya-karya Melayu terkenal kerana genrenya yang bercampuran. Sulalat al-Salatin juga meneruskan wajah dan struktur campuran ini. Walau berdasaran sejarah, seperti sudah disentuh sebelum ini, kadang-kadang sejarah meringan dan cereka mengambil alih. Dalam bahagianbahagian begini karya berkomunkasi dengan pembacanya melalui kekuatan cereka, dengan watak yang bertindak di pentas cerita. Untuk menawan pembacanya pantun/nyanyian ditambah. Dialog dibenarkan menjadi teras kepada drama antara manusia. Episod digunakan sebagai unit cerita, yang akhirnya bercantum menjadi keseluruhan

yang utuh. Tetapi semua unit cerita ini disimpulkan oleh simpai moral dalam tradisi lama Asia. Khalayak Khalayak karya ini sudah melalui hampir empat kurun. Kita tidak dapat melukis khalayak sebelum zaman kita, melainkan yang kita alami sendiri beberapa puluh tahun ini. Tapi oleh kerana persoalannya beraneka ragam dan strategi naratifnya juga berbagai-bagai maka khalayak sasarannya juga berbagai-bagai pula. Cerita Singapura dilanggar todak sendiri boleh dibaca sebagai cerita raja yang bodoh, atau cerita aneh ikan yang melanggar pantai oleh khalayak anak-anak. Tetapi untuk orang di perguruan tinggi, tafsirannya boleh dibawa kepada kerajaan dan pentadbiran yang anti-intelektual dan yang mengongkong perkembangan bangsanya, kerana yang pintar dan dapat menyelamatkan bangsa itu dimusnahkan oleh orang yang takut akan kuasanya dirampas. Ini juga dapat dibaca sebagai wacana politik tentang pergeseran dan pengekalan kuasa. Sulalat al-Salatin kaya dengan makna dan di dalamnya lapisan makna. Oleh yang demikian kitab ini boleh dibaca dari beberapa sudut, dari yang mudah kepada yang rumit dan berjaringan, serta misterius. Khalayak buku ini boleh umum, dan boleh juga khusus. Yang mencari salasilah akan mendapat maklumat dari sini, begitu juga yang inginkan sejarah kepulauan Melayu, kedatangan Islam, perkembangan Melaka, peraturan, ritual dan adat istiadat, cerita tentang raja-raja, pentadbiran, peperangan dsb. Yang berminat kepada agama ditawarkan hal-hal agama, termasuk tafsir dari Durr

halaman 25


Manzum, cara berlagak kadhi berketurunan Arab, raja berhari raya, dan cara sesuai belajar agama dsb.

Bibliografi

Ramai yang menyanjungi bahasa Sulalat al-Salatin, oleh yang demikian inilah medan bahasanya yang cukup luas dan penuh dengan hidangan berbagai-bagai.

Tambling, Jeremy What is Literary Language? Milton Keynes, Open University Press.

Karya ini begitu beraneka sasaran dan minatnya, maka permintaannya juga berbagai-bagai. Setiap generasi dapat membacanya dan mengalami dari sudut zamannya, dan juga cara berfikirnya. Kita masih ingat lagi pada tahun-tahun sebelum 1950an beberapa bab daripada kitab ini dibaca sebagai pelajaran bacaan untuk anak-anak sekolah. Tetapi bab yang sama boleh juga dijadikan bahan untuk teori sebuah disertasi doktoran. Kekayaan karya ini juga memajmukkan khalayaknya. Teksnya menawarkan pengalaman untuk setiap pembaca yang sudi membacanya dan menghadiah makna kepada setiap seseorangnya. Akhir sekali khalayak ditawarkan suatu pengalaman estetik yang sublim, yang halus dan menawan. Demikianlah genius Sulalat al-Salatin.

halaman 26

Reiss, Timothy J 1992 The Meaning of Literature. Ithaca, Cornell University Press.

Tun Seri Lanang 1997 Sulalat al-Salatin. Muhammad Haji Salleh, editor. Kuala Lumpur, Yayasan Karyawan dan Dewan Bahasa dan Pustaka. 1970 Sejarah Melayu or Malay Annals. Diterjemahdan diberi nota oleh C.C.Brown. Kuala Lumpur, Oxford University Press. Zalila Sharif dan jamilah Haji Ahmad, ed.1993 Kesusasteraan Melayu Tradisional. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka. Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Diselenggarakan A.Samad Ahmad. Kuala Lumpur, Dewan Bahasa dan Pustaka.***


Cerita-pendek Terjemahan

Menimbang Sayang Ibu oleh Bertolt Brecht Bertolt Brecht (18981956), Salah seorang tokoh puncak drama abad dua puluh. Lahir di Augsburg, Jerman. Belajar sains dan pengobatan, ia menemukan bahwa minat sebenarnya adalah pada teater. Di Amerika Serikat karya kolaborasinya bersama Kurt Weill mendapat sukses luar biasa. Sedang di Indonesia sebuah karyanya, “Opera Kecoa�, juga pernah dipentaskan. Cerita pendek di atas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh, Yony Allen Frida dari teks berbahasa Inggris.

halaman 27


et etika Perang Tiga Puluh Tahun berkecamuk, seseorang yang bernama Zingli asal Swiss beragama Protestan, memiliki sebuah bisnis penyamakan kulit terbesar di kota Augsburg yang berada di luar wilayah kerajaan k dalam daerah Lech. Ia menikahi seorang wanita Augsburg dan mereka mendapat seorang putera. Ketika orangorang Katolik menyerbu kota itu, kawan-kawannya mengajak untuk segera mengungsi. Namun entah tersebab keluarga kecilnya atau sayang meninggalkan usahanya, ia berkeberatan berangkat ketika masih ada waktu. Iapun masih tetap di situ saat para prajurit kerajaan menyerang kota. Petang ketika terjadi penjarahan, ia bersembunyi di dalam lubang tempat penyimpanan kulit yang telah disamak yang terletak di halaman rumahnya. Sementara, istrinya sudah siap berangkat dengan anak mereka menuju ke tempat keluarganya di tepi kota, namun wanita itu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengepak barangbarangnya yang berupa bajubaju, perhiasan, dan perabotan ranjang. Maka terjadilah ketika tibatiba dilihatnya melalui sebuah lobang jendela di lantai pertama satu regu tentara kerajaan yang sedang berusaha menerobos masuk ke dalam halaman, ia sangat ketakutan dan menjatuhkan semua barangnya lalu melarikan diri melalui pintu belakang. Dengan demikian anaknyapun tertinggal di dalam rumah. Balita itu terbaring di dalam ayunannya di pendopo rumah yang luas dan asyik bermain dengan sebuah bola kayu yang digantungkan dari langitlangit dengan seutas benang. Hanya seorang gadis pembantu yang masih tinggal di rumah. Saat itu ia sedang sibuk dengan pancipanci dan periukperiuk tembaga di dapur ketika terdengar suara ributribut di jalanan. Iapun berlari cepat ke sebuah jendela, dari sana terlihat para tentara yang sedang melempar berbagai macam barang rampasan ke jalanan dari lantai pertama rumah seberang. Lalu ia berlari ke pendopo dan baru saja hendak mengambil si kecil dari ayunannya ketika terdengar hantaman keras di pintu depan yang terbuat dari kayu eik. Sang gadis dicekam kepanikan dan berlari ke atas tangga. Pendopo itupun dipenuhi para prajurit yang mabuk, mereka membanting apa saja sampai berkepingkeping. Mereka tahu bahwa saat itu sedang berada di rumah seorang Protestan. Sungguh suatu keajaiban bagi Anna, sang gadis pembantu, ia tetap tak diketemukan selama terjadi penggeledahan dan penjarahan itu. Setelah para serdadu tadi enyah, dengan buruburu Anna segera keluar dari lemari

halaman 28


tempat persembunyiannya tadi dan mendapati si kecil yang berada di pendopo juga dalam keadaan selamat. Iapun lalu mengangkatnya dan berjalan mengendapendap menuju ke halaman. Ketika itu malam tiba, namun cahaya merah dari rumah sebelah yang terbakar menerangi halaman itu. Dan dengan ngeri iapun bisa menyaksikan mayat majikannya. Para tentara tadi telah menyeret pria itu dari lubang persembunyiannya kemudian membantainya. Baru kini gadis itu menyadari betapa berbahayanya kalau sampai tertangkap di jalanan bersama anak Protestan tersebut. Dengan berat hati dibaringkannya lagi sang balita ke dalam ayunannya, memberinya susu dan mengayunayunkannya hingga tertidur. Kemudian ia pergi mencari jalan ke wilayah lain di kota itu di mana kakak perempuannya yang telah menikah tinggal. Pada sekitar pukul sepuluh malam dengan ditemani suami kakaknya, gadis itu berjalan berjejaljejal di antara gerombolan serdadu yang sedang merayakan kemenangan mereka untuk pergi ke pinggiran kota dan mencari Nyonya Zingli, ibu anak tadi. Mereka mengetukngetuk pintu sebuah rumah yang bagus, dan setelah agak lama barulah pintunya dibuka sedikit. Seorang pria tua berperawakan kecil, paman Nyonya Zingli, menjulurkan kepalanya. Dengan terengahengah Anna memberitahu bahwa Tuan Zingli telah meninggal tapi anaknya masih selamat di rumah itu. Lakilaki tua tersebut memandangnya dengan dingin dan mengatakan bahwa keponakan perempuannya sudah tidak lagi berada di situ, sedangkan dirinya sendiri cuci tangan terhadap anak jadah Protestan tersebut. Setelah berkata demikian iapun kembali menutup pintu. Ketika mereka beranjak, kakak ipar Anna memperhatikan sebuah gorden bergerakgerak dari salah satu jendela dan merasa yakin bahwa Nyonya Zingli berada di sana. Tampaknya perempuan itu tidak merasa malu sedikitpun tidak mengakui anaknya sendiri. Anna dan kakak iparnya berjalan berdampingan dalam kebisuan untuk beberapa saat. Kemudian ia menyatakan bahwa ia akan kembali ke tempat penyamakan kulit tadi dan mengambil si kecil. Kakak iparnya, seorang pria yang terpandang, terperanjat mendengarnya dan berusaha mencegah gagasan yang berbahaya ini. Memangnya orangorang itu apanya dia? Bahkan selama ini diapun tidak pernah mendapatkan perlakuan yang layak dari mereka. Anna mendengarkannya sampai selesai berbicara dan berjanji tidak akan melakukan tindakan yang gegabah. Meski demikian, ia harus singgah secepatnya ke tempat penyamakan itu untuk melihat apakah sang balita membutuhkan sesuatu. Dan ia ingin pergi sendiri.

halaman 29


Ia berkeras melaksanakan niatnya. Di tengahtengah pendopo yang porakporanda si kecil terbaring dengan damai dan lelap dalam tidurnya. Dengan hatihati Anna duduk di sisinya dan memandanginya. Ia tidak berani menyalakan lampu, namun rumah sebelah masih terbakar dan dari cahayanya gadis itu dapat memandang sang balita dengan agak jelas. Di lehernya yang mungil terdapat tahi lalat kecil. Ketika ia memandangi si kecil yang sedang menarik napas dan mengisap jempolnya yang mungil selama beberapa saat, kirakira satu jam, ia menyadari bahwa ada semacam perasaan berat untuk meninggalkan anak itu. Dengan enggan iapun bangkit dan menyelimuti si kecil dengan lembut dengan menggunakan alas sepreinya, kemudian membopongnya dan membawanya pergi dari situ. Ia berjalan mengendapendap seperti seorang pencuri. Setelah berkonsultasi lama dengan kakak perempuan dan iparnya, dua pekan kemudian ia membawa anak tadi ke desa di Daerah Grossaitingen, di mana kakak lakilaki tertuanya tinggal sebagai petani. Tanah pertanian di sana adalah milik istrinya, yang karena itu ia nikahi. Sesuai kesepakatan semula bahwa langkah terbaik adalah tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kakak lakilakinya tersebut tentang jati diri anak itu, sebab mereka tidak percaya kepada istri yang masih muda itu dan tidak tahu bagaimana sikapnya nanti dalam menerima tamu kecil yang sangat berbahaya ini. Anna mencapai desa itu sekitar tengah hari. Kakak lakilaki dan istrinya serta para pekerja sedang berada di meja makan. Ia tidak disambut dengan buruk, namun setelah sekilas melihat sikap kakak ipar perempuannya yang baru, ia memutuskan untuk memperkenalkan balita itu sebagai anaknya sendiri. Mulanya mereka agak ragu sampai ia menjelaskan bahwa suaminya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik di desa tetangga yang agak jauh dan mengharap agar istri dan anaknya sementara berada di situ dulu selama beberapa pekan. Hati wanita petani itupun akhirnya bisa diluluhkan dan si kecil bisa diterima dengan wajar. Lepas tengah hari ia menemani kakak lakilakinya mengumpulkan kayu. Saat mereka berdua duduk di atas tumpukan potongan kayu, Anna pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dia dapat melihat kesulitan pada diri kakaknya. Posisi pria itu di tanah pertanian ini masih belum kuat dan ia menghargai Anna karena telah menjaga lidahnya waktu di depan istrinya tadi. Adalah jelas bahwa pria tersebut tidak menganggap istrinya memiliki kelapangan hati terhadap anak Protestan itu. Ia meminta sandiwara ini terus dilanjutkan. Meskipun demikian, tidaklah mudah ketika waktu terus bergulir.

halaman 30


Anna ikut bantubantu ketika mereka panenan dan mengasuh ‘anaknya’ di selasela itu. Dengan rutin ia bolakbalik dari ladang ke rumah ketika yang lainnya sedang istirahat. Si kecilpun tumbuh besar dan montok, ia tertawa tergelakgelak ketika melihat Anna dan berusaha mengangkat kepalanya. Namun kemudian datanglah musim dingin dan sang kakak ipar pun mulai bertanyatanya tentang suami Anna. Bagi Anna sendiri tidak ada masalah tinggal di tanah pertanian itu, ia bisa ikut bantubantu. Masalahnya adalah bahwa para tetangga sudah mulai curiga tentang siapa ayah dari ‘anaknya’ Anna itu, sebab lakilaki tersebut tak pernah datang menjenguk keadaan anaknya. Kalau Anna tidak dapat mencarikan seorang ayah bagi anaknya, maka tak lama lagi tanah pertanian itu akan menjadi bahan pergunjingan. Pada suatu hari ahad pagi sang petani mempersiapkan kudanya dan berteriak memanggil Anna agar ikut dengannya untuk mengambil seekor anak sapi dari desa tetangga. Ketika mereka sedang duduk terguncangguncang di perjalanan, sang kakak memberitahukan kepadanya bahwa ia telah menemukan seorang suami untuknya. Pria yang dimaksud adalah seorang pemilik gubuk yang ketika mereka berdua bertandang ke gubug jeleknya itu, hampir tak dapat mengangkat kepalanya yang tak terawat dari selimut kumalnya. Ia bersedia menikahi Anna. Sementara ibunya, seorang perempuan berkulit pucat, berdiri di pinggiran dipan. Perempuan tua itu akan mendapat imbalan atas jasanya kepada Anna. Tawarmenawar itupun selesai dalam waktu sepuluh menit, lalu Anna dan kakaknya pun bisa melanjutkan perjalanan dan membeli anak sapi mereka. Pernikahannya pun dilangsungkan pada akhir pekan itu juga. Ketika pendeta sedang melaksanakan upacara pernikahan, lakilaki yang tengah sekarat tadi tak sekalipun melihat ke arah Anna. Kakaknya tidak ragu lagi bahwa adiknya nanti akan mendapat sertifikat kematian dalam waktu beberapa hari saja. Lalu suami Anna tersebut, ayah dari si bocah, akan mati di suatu tempat di sebuah desa dekat Augsburg di tengah perjalanan menemui istrinya dan tak seorangpun akan punya pikiran lain jika sang janda tinggal di rumah kakak lakilakinya. Anna pulang dengan rianggembira dari pernikahannya yang ganjil tersebut, di mana tidak terdengar loncenglonceng gereja atau adanya pita kuning, pengiring pengantin, dan tamutamu undangan. Sebagai jamuan pernikahan ia menyantap sepotong roti dengan seiris daging babi di atas meja makan. Setelah itu ia berjalan bersama kakaknya ke peti kayu di mana si kecil berada dan yang kini sudah punya nama.

halaman 31


Diselempitkannya kain penutupnya lebih rapat dan tersenyum kepada kakaknya. Sertifikat kematian itu pasti akan tiba. Akan tetapi tak ada berita dari perempuan tua tadi pada pekan berikutnya dan setelahnya. Di tanah pertanian itu Anna telah memberitahukan bahwa suaminya sedang dalam perjalanan ke tempatnya. Ketika ia ditanyai kenapa lakilaki tersebut sampai sekarang belum datangdatang juga, ia mengatakan bahwa pasti salju yang tebal menyulitkan perjalanannya. Namun setelah tiga pekan berikutnya berlalu, kakaknya yang sangat kebingungan berangkat ke desa dekat Augsburg. Ia pulang kembali ketika malam telah larut. Anna masih terjaga dan berlari ke pintu saat didengarnya bunyi roda di pekarangan. Ia memperhatikan betapa lambannnya sang petani melepas ikatan kudanya dan ketegangan pun menyelinap di hatinya. Pria itu membawa berita buruk. Tadi ketika berkunjung ke pondok dilihatnya lakilaki yang dulu sekarat itu sedang asyik duduk di depan meja makan dengan berpakaian santai dan tengah menikmati santapan malamnya dengan lahap. Ia benarbenar telah pulih. Sang petani tidak melihat ke wajah Anna ketika ia meneruskan ceritanya. Pemilik gubuk tadi, yang singkat kata bernama Otterer, dan ibunya samasama takjub atas perubahan yang terjadi dan barangkali belum memutuskan tentang apa yang akan dilakukan. Otterer tidak menunjukkan kesan yang tidak menyenangkan. Ia hanya bicara sedikit, tapi langsung ke pokoknya. Ketika sang ibu menyesali bahwa kini ia telah dibebani oleh seorang istri yang tak dikehendaki dan seorang bocah asing, ia menyuruh ibunya itu diam. Sementara ia terus melahap kejunya dengan santai sepanjang percakapan dan masih terus makan saat sang petani beranjak pulang. Di harihari berikutnya Anna punya banyak masalah. Di selasela pekerjaan rumah tangganya ia mengajari si kecil berjalan. Ketika bocah itu dilepas oleh kerabatnya dan berjalan tertatihtatih kepadanya dengan membentangkan kedua lengan kecilnya, Anna menahan isaknya dan mendekapnya eraterat ketika mengangkatnya. Suatu ketika ia pernah bertanya kepada kakaknya, “Seperti apa sih lakilaki itu?� Dulu ia hanya melihatnya ketika terbaring di atas ranjang kematian dan kemudian pada sore itu di bawah cahaya lilin yang remangremang. Kini baru ia tahu bahwa suaminya itu seorang pria pekerja keras berusia lima puluh tahunan. Tak lama setelah itu, ia pun menjumpainya. Dengan penuh

halaman 32


kerahasiaan seorang pedagang keliling menyampaikan pesan kepadanya bahwa seorang kenalan ingin bertemu dengannya pada tanggal tertentu, di waktu tertentu, dekat desa tertentu, di sebuah tempat di mana terdapat jalan setapak yang menuju ke Landsberg. Maka pasangan pengantin itupun bertemu di tengahtengah jalan yang menghubungkan desa mereka, di tempat terbuka yang diselimuti salju. Anna tidak menyukai pria itu. Giginya kecilkecil berwarna abuabu. Ia memandangi Anna dari atas ke bawah, padahal wanita itu terbungkus rapat di dalam bulu domba yang tebal dan tak banyak yang bisa dilihat, lalu mengucapkan sakramen pernikahan. Dengan ketus ia mengatakan kepada pria itu bahwa ia harus berpikir lagi dan bahwa lakilaki itu harus menyuruh beberapa orang pedagang dan tukang daging yang melewati Grossaitingen untuk memberitahukan kepadanya di depan kakak ipar perempuannya bahwa pria itu akan segera datang sekarang dan bahwa kemarinkemarinnya ia telah jatuh sakit di perjalanan. Otterer mengangguk dengan santai. Pria itu lebih tinggi satu kepala darinya dan terusmenerus menatap ke leher kirinya selama mereka berbicara sehingga membuatnya jengkel. Namun pesan itu tak pernah datang, dan Anna pun menimbangnimbang untuk meninggalkan saja tanah pertanian itu bersama si kecil dan mencari kerja jauh ke selatan, barangkali ke Kempten atau Sonthofen. Hanya karena resiko di jalan raya yaitu terlalu banyak perbincangan dan kenyataan bahwa saat itu sedang di tengahtengah musim dingin yang mengurungkan niatnya. Tapi sekarang keberadaannya di tanah pertanian itu semakin sulit. Kakak iparnya mengajukan pertanyaanpertanyaan bernada curiga kepadanya tentang suaminya saat mereka sedang berada di meja makan di depan semua pekerja ketika sedang makan malam. Pada suatu ketika saat ia sudah keterlaluan yaitu sambil memandang bocah itu sekilas kemudian berseru dengan perasaan iba yang dibuatbuat, “Oh, anak yang malang!� Anna pun memutuskan untuk pergi apapun resikonya, tapi ketika itu si kecil jatuh sakit. Ia terbaring gelisah di peti kayunya dengan wajah yang merah dan mata sembab. Anna pun mengawasinya terusmenerus setiap malam dengan perasaan cemas. Ketika si kecil mulai pulih lagi dan senyumannya pun kembali, terdengar ketukan di pintu pada suatu pagi dan Otterer pun masuk ke dalam. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali Anna dan si kecil. Mereka

halaman 33


berdua berdiri mematung beberapa saat tanpa kata, kemudian Otterer menyatakan bahwa dari pihaknya ia telah mempertimbangkan, dan datang kemari untuk menjemput mereka. Sekali lagi ia mengingatkan ke sakramen pernikahan. Anna menjadi marah. Secara tegas meski dengan pelan ia mengatakan bahwa tidak terpikir olehnya untuk hidup bersama lakilaki tersebut. Ia mau menikahinya hanya sematamata demi anak itu dan tidak menginginkan apapun darinya kecuali memberikan namanya untuk dia dan anak itu. Sementara Anna menyebut anak itu Otterer melirik sekilas ke peti kayu di mana si kecil sedang mendegukdeguk tanpa ada niatan sama sekali untuk mendekatinya. Hal ini membuat Anna makin benci kepadanya. Pria itu menyampaikan beberapa hal; Anna hendaknya mempertimbangkan lagi, di rumahnya ada sedikit makanan dan ibunya bisa tidur di dapur. Beberapa saat kemudian sang kakak ipar perempuan pun masuk ke dalam, menyapa sang suami dengan rasa ingin tahu dan mengundangnya makan malam. Lakilaki itu baru saja duduk di depan meja ketika ia menyapa sang petani dengan sebuah anggukan yang acuh tak acuh, tapi juga tidak berpurapura kalau dia tidak mengenalnya atau mengingkari kalau sudah kenal. Atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh ipar perempuannya, hanya dijawabnya dengan singkatsingkat saja tanpa pernah mengalihkan pandangan dari piringnya. Dikatakannya bahwa ia mendapat sebuah pekerjaan di Mering dan Anna bisa bergabung bersamanya. Namun ia tidak lagi menyarankan untuk ikut saat itu juga. Selama lepas tengah hari ia menghindari untuk kumpulkumpul bersama kakak ipar lakilaki dan temantemannya, namun justru membelah kayu sendirian di belakang rumah, padahal tak seorangpun yang memintanya. Setelah makan malam di mana pria itu sekali lagi ambil bagian dengan diam, kakak ipar perempuannya sendiri yang mengantarkan kasur bulu ke kamar Anna agar suaminya bisa bermalam di sana. Namun justru karena itu, entah kenapa, ia malahan bangkit dengan canggung dan menggerutu bahwa ia mesti pulang malam itu. Sebelum pergi, ia menatap dengan pandangan kosong ke peti tempat si kecil terbaring, namun tidak mengatakan apapun dan tidak pula menyentuhnya. Malam itu Anna jatuh sakit dan menderita demam sampai beberapa pekan. Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan lesu, hanya sesekali ketika menjelang tengah hari, saat demamnya agak reda, ia merangkak ke peti si kecil dan menyelempitkan selimutnya. Pada pekan ke empat dari sakitnya, Otterer memacu keretanya

halaman 34


memasuki pekarangan dan membawa pergi Anna serta bocah itu. Anna membiarkan saja tanpa berkata sepatahpun. Agak lama barulah ia memperoleh kembali kekuatannya karena hanya menyantap sop encer di gubug itu. Tapi pada suatu pagi ketika ia memperhatikan betapa si kecil nampak demikian kotor dan terabaikan maka iapun memutuskan untuk bangkit. Si kecil menyambutnya dengan senyum akrabnya, yang oleh kakak lakilakinya selalu dikatakan seperti senyumannya Anna. Bocah itu terus tumbuh dan kini merangkak ke seluruh ruangan dengan cepatnya, memukulmukulkan telapak tangannya di atas lantai dan menjeritjerit kecil tiap kali jatuh tertelungkup. Anna memandikannya di bak kayu dan memperoleh kembali kepercayaan dirinya. Beberapa hari kemudian, bagaimanapun juga, ia tidak dapat tinggal di gubug itu lebih lama lagi. Ia membungkus si kecil dengan sedikit selimut, membawa sepotong roti dan keju di dalam tasnya lalu minggat. Ia bermaksud mencapai Sonthofen, tapi tak berhasil berjalan jauh. Kedua lututnya masih sangat lemah sementara jalan raya masih licin dan sebagai dampak peperangan, masyarakat di desadesa sangat sensitif dan mudah curiga. Pada hari ketiga pengembaraannya, salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah selokan dan setelah berjamjam mengkhawatirkan keadaan si kecil, iapun dibawa ke sebuah tanah pertanian di mana ia bisa berlindung di gudang. Si kecil merangkakrangkak di antara kakikaki sapi dan hanya tertawatawa saja ketika Anna berteriakteriak dengan cemas. Pada akhirnya ia harus mengatakan kepada orangorang di tanah pertanian itu tentang nama suaminya dan lakilaki itupun membawanya kembali ke Mering. Mulai sekarang ia tidak lagi berusaha melarikan diri dan pasrah menerima nasibnya. Ia bekerja keras. Sungguh sulit memperoleh suatu hasil dari sebidang tanah yang kecil dan menjaganya agar tetap berjalan. Meski demikian lakilaki itu tidak berlaku buruk kepadanya dan si kecil juga bisa makan sekenyangkenyangnya. Lagi pula kakak lakilakinya pun kadangkadang berkunjung sambil membawakan aneka bingkisan. Dan suatu ketika Anna bahkan bisa memperoleh sebuah mantel mungil yang dicelup warna merah untuk si kecil. Menurutnya mantel itu sangat pantas untuk anak seorang saudagar kulit. Seiring irama waktu ia semakin menikmati dan mengalami banyak kesenangan dalam mengasuh si kecil. Maka beberapa tahun pun

halaman 35


berlalu. Namun suatu hari ketika ia pergi membeli sirup ke desa dan sekembalinya mendapati bocah itu sudah tidak berada lagi di pondoknya dan suaminya pun menceritakan padanya bahwa tadi ada seorang wanita berpakaian elok singgah dengan kereta kudanya dan membawa si kecil. Anna pun terhuyunghuyung menuju tembok dengan histeris. Dan sore itu juga dengan tidak membawa apapun kecuali sebungkus makanan ia pergi ke Augsburg. Pertama kali yang dikunjunginya di kota kerajaan itu adalah tempat penyamakan kulit. Di sana ia tidak diijinkan masuk dan tidak bisa melihat si kecil. Kakak perempuan dan iparnya siasia saja menghibur Anna. Ia pergi mengadu kepada para penguasa dan tak dapat menahan dirinya untuk berteriak bahwa anaknya telah dicuri. Bahkan ia pun bertindak lebih jauh lagi sampaisampai mengisyaratkan bahwa orangorang Protestan telah mencuri anaknya. Tapi kemudian dia tahu bahwa kini jaman telah berubah dan perdamaian telah berlaku antara orangorang Katolik dengan Protestan. Hampir saja usahanya tidak akan mencapai hasil apaapa kalau tidak karena sepotong keberuntungan yang datang membantunya. Kasusnya diserahkan kepada seorang hakim yang sungguh luar biasa. Ia adalah hakim Ignaz Dollinger yang tersohor di seluruh Swabia karena kekasaran dan pengetahuannya yang luas. Dikenal oleh para anggota dewan Bavaria yang sengketa hukum mereka dengan Kota Kerajaan diselesaikan dan diputuskan olehnya. Sebagai ‘orang tolol dari Latin ini’ tapi dikenang oleh masyarakat dalam sebuah balada yang panjang. Dengan ditemani oleh kakak perempuan dan ipar lakilakinya, Anna pergi menghadapnya. Seorang lakilaki tua yang pendek tapi sangat gendut duduk di antara setumpuk dokumen di sebuah ruangan kecil yang sama sekali tanpa hiasan dan mendengar seluruh pengaduannya dengan sangat singkat. Lalu ia menulis sesuatu, setelah itu menggeram; “Jalan ke sana dan cepatlah!� Dan dengan telapak tangannya yang kecil tapi gemuk ia menunjuk ke sebuah tempat di ruangan itu di mana cahaya bisa masuk melalui sebuah jendela sempit. Selama beberapa menit ia mempelajari wajah Anna dengan cermat, lalu menyuruhnya pergi dengan sebuah dengusan. Pada hari berikutnya ia mengirim seorang petugas untuk menjemput Anna, dan ketika wanita itu masih berada di ambang

halaman 36


pintu ia sudah berteriak: “Kenapa engkau tidak bilang saja bahwa kau sedang mengincar tempat penyamakan kulit itu beserta kekayaan yang ada bersamanya, ha?!” Anna bersikeras mengatakan bahwa yang diinginkannya adalah si kecil. “Jangan cobacoba berpikir bahwa kau bisa menyerobot tempat penyamakan kulit itu!” teriak sang hakim. “Kalau anak haram jadah itu memang milikmu, maka harta tadi akan jatuh ke tangan para kerabat Zingli!” Anna mengangguk tanpa melihat ke arahnya, lalu berkata: “Anak itu tidak membutuhkan tempat penyamakan kulit itu.” “Dia anakmu?!” tanya sang hakim membentak. “Ya,” jawab Anna dengan lembut. “Kalau aku dapat memeliharanya sampai bisa berkatakata, sejauh ini ia hanya tahu tujuh.” Sang hakimpun batukbatuk dan membereskan dokumendokumen di mejanya. Kemudian ia berkata lebih pelan meskipun dengan nada yang masih menyakitkan: “Kau menginginkan anak bengal itu sementara perempuan jalang yang punya lima rok sutera itu juga menginginkannya. Namun yang diinginkan si bocah adalah seorang ibu sejati.” “Ya,” sahut Anna dan iapun menatap sang hakim. “Selesai denganmu,” geramnya. “Sidang dilangsungkan hari sabtu.” Pada hari sabtu jalan utama dan halaman di luar balai kota sampai dengan Menara Perlach disemuti oleh massa yang ingin mengikuti jalannya sidang atas anak Protestan tersebut. Kasus yang luar biasa ini telah menimbulkan kegemparan hebat sejak awalnya. Dan di rumahrumah serta di kedaikedai minum pun terjadi perdebatanperdebatan seru mengenai siapa sesungguhnya ibu yang asli dan yang palsu. Lebih dari itu, si tua Dollinger telah dikenal luas karena proses persidangannya yang sederhana serta ucapanucapan sengit dan ungkapanungkapan bijaknya. Pengadilannya lebih populer daripada pertunjukan dan pasar malam. Dengan demikian maka bukan hanya penduduk Augsburg saja yang bergerombol di luar balai kota, tidak sedikit para pemilik tanah pertanian yang datang dari desadesa sekitarnya. Jum’at adalah hari pasaran dan untuk mengantisipasi pengadilan besok, mereka menginap di kota itu. Pendopo di mana Hakim Dollinger biasa mendengarkan

halaman 37


argumentasi persidangan disebut Pendopo Keemasan. Terkenal di seluruh Jerman sebagai satusatunya balai yang seukuran itu yang tanpa pilarpilar. Langitlangitnya digantungkan dari kasok dengan rantairantai. Hakim Dollinger duduk, ia seperti segumpal daging bundar kecil, di depan sebuah gerbang logam yang tertutup sepanjang sebuah tembok. Terlihat seutas tali tambang sebagai pembatas publik membentuk lingkaran. Tapi sang hakim duduk di atas lantai terbuka dan tak ada meja di depannya. Ia telah membuat tatanan seperti ini sejak bertahuntahun yang lalu, dia sangat percaya dalam hal penataan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai. Di dalam lingkaran tali tadi terdapat Nyonya Zingli beserta kedua orang tuanya, dua orang kerabat Tuan Zingli yang baru saja datang dari Swiss dengan penampilan mereka yang necis seperti orang kaya dan Anna Otterer bersama kakak perempuannya. Seorang perawat yang membopong si kecil nampak berdiri di sisi Nyonya Zingli. Masingmasing orang, para pihak yang bersengketa dan para saksi, berdiri. Hakim Dollinger biasa berkata bahwa sidang akan lebih cepat kalau para pesertanya berdiri. Tapi barangkali juga dia menyuruh mereka berdiri agar bisa menyembunyikan dirinya dari publik, dengan begitu seseorang hanya dapat melihatnya kalau berjinjit dan melongokkan kepalanya. Ketika proses persidangan itu dimulai terjadilah satu insiden kecil. Ketika Anna melihat bocah itu, spontan ia memekik dan melangkah maju dan anak itupun berusaha pergi arahnya. Ia merontaronta sekuat tenaga dan menjeritjerit di dalam gendongan sang perawat. Sang hakim memerintahkan agar ia dibawa keluar dari balai itu. Selanjutnya iapun memanggil Nyonya Zingli. Wanita itupun maju ke depan dengan berisik dan bercerita sambil sesekali menyeka matanya dengan sapu tangan kecil bagaimana ketika para serdadu kerajaan itu merenggut sang putra dari tangannya waktu terjadi penjarahan. Pada malam yang sama si gadis pembantu datang ke tempat ayahnya dan melaporkan bahwa si kecil masih berada di rumah, barangkali dengan harapan untuk memperoleh imbalan. Namun ketika salah seorang tukang masak ayahnya diutus ke penyamakan, ia tidak menemukan anak itu. Dan iapun lalu menduga bahwa orang ini, maksudnya Anna, telah membawanya dalam rangka supaya bisa memeras sejumlah uang dengan suatu cara atau apalah nantinya. Tak diragukan bahwa cepat atau lambat pada akhirnya dia akan datang dengan suatu permintaan sebelum melepaskan anak itu. Hakim Dollinger memanggil dua orang kerabat Tuan Zingli dan halaman 38


menanyai mereka apakah mereka telah mencari tahu tentang keadaan Tuan Zingli saat itu dan bagaimana jawaban Nyonya Zingli. Mereka bersaksi bahwa Nyonya Zingli telah memberitahu kepada mereka bahwa suaminya telah terbunuh dan bahwa wanita itu telah mempercayakan puteranya kepada seorang gadis pembantu di mana ia akan mendapat pemeliharaan yang baik. Mereka berbicara tentang Nyonya Zingli dengan cara yang sangat tidak bersahabat yang tentu saja tidaklah aneh karena kekayaan itu akan jatuh ke tangan mereka kalau Nyonya Zingli sampai kalah dalam perkara ini. Untuk membuktikan kebenaran mereka sang hakim beralih kembali kepada Nyonya Zingli dan ingin tahu darinya kenapa dengan mudahnya ia tidak kehilangan lehernya saat serangan itu dan mengabaikan anaknya. Nyonya Zingli menatapnya dengan kedua bola mata birunya yang pucat seakanakan keheranan dan berkata dengan nada pedih bahwa ia tidak mengabaikan anaknya. Hakim Dollinger menyeka lehernya dan menanyainya dengan penuh selidik apakah wanita itu percaya bahwa tak ada ibu yang sampai hati mengabaikan anaknya. Ya, ia yakin akan hal itu, jawab wanita tadi dengan tegas. Lalu apakah ia percaya, tanya sang hakim lebih jauh, bahwa seorang ibu yang meskipun begitu telah melakukannya, harus didera punggungnya tanpa memandang berapapun banyaknya rok yang dia pakai? Nyonya Zingli tidak menjawab dan sang hakim pun memanggil sang mantan gadis pembantu, Anna. Iapun melangkah dengan cepat dan dengan suara pelan mengatakan kembali apa yang pernah dikatakannya pada pemeriksaan awal sebelumnya. Namun ia berbicara dengan seakanakan juga sambil mendengarkan pada saat yang bersamaan, dan sesekali melirik ke pintu besar di mana si kecil tadi dibawa, seolaholah ia khawatir balita itu masih menjeritjerit. Anna bersaksi bahwa meskipun ia telah mengunjungi rumah paman Nyonya Zingli pada malam itu, ia tidak kembali lagi ke tempat penyamakan kulit karena takut terhadap tentaratentara kerajaan dan karena khawatir atas keadaan anak tidak sahnya yang dititipkan bersama orangorang baik di desa tetangga Lechhausen. Si tua Dollinger dengan kasar memotong pembicaraannya dan menghardik bahwa pada akhirnya ada juga seseorang di kota itu yang punya perasaan seperti takut. Ia senang menemukan kenyataan itu, yang membuktikan bahwa setidaknya ada seseorang di kota itu yang punya perasaan semacam itu saat itu. Tentu saja tidak lucu

halaman 39


bagi seorang saksi bahwa ia hanya mempedulikan anaknya saja, tapi di sisi lain sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan yang terkenal, bahwa darah lebih kental daripada air. Dan seorang ibu akan berusaha keras mencuri demi anaknya meski hal ini sangat dilarang oleh hukum. Kemudian iapun menyampaikan salah satu pelajaran yang bijak dan tajam mengenai kekejian orangorang yang menipu pengadilan sampai wajah mereka hitam, dan setelah melantur sedikit tentang para petani yang mencampur air pada susu sapinya dan dewan kota yang memungut pajak terlalu tinggi kepada para petani, yang mana hal tersebut tentu saja tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus ini, ia menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap para saksi telah selesai dan tidak berhasil menarik kesimpulan. Kemudian ia jeda dalam waktu lama dan memperlihatkan tandatanda menyerah. Tampak seolaholah ia berharap ada seseorang yang bisa memberikan saran bagaimana caranya untuk mencapai penyelesaian. Orangorang pun saling melihat satu sama lain dengan bingung dan beberapa dari mereka mengangkat lehernya agar bisa melihat sekilas hakim yang tidak berdaya itu. Namun di balai itu suasananya tetap hening, hanya terdengar suara kerumunan orang yang berada di jalan di bawah sana. Kemudian sambil mendesah sang hakim berbicara lagi. “Ini bukan untuk menentukan siapa ibu kandung sesungguhnya,� katanya. “Anak itu harus dikasihani. Kita semua pernah mendengar tentang para ayah yang mengelak dari tanggung jawabnya dan tidak mau menjadi ayah, namun para bajingan! Tapi di sini terdapat dua orang ibu yang samasama menuntut. Sidang pengadilan telah mendengarkan mereka selama selayaknya, yakni masingmasing lima menit penuh, dan sidang pengadilan pun telah diyakinkan oleh argumenargumen mereka berdua. Namun, sebagaimana telah dikatakan tadi, kita masih harus memikirkan tentang si kecil yang harus mendapatkan seorang ibu. Oleh sebab itu harus dibuktikan, tidak cukup hanya dengan ocehan, siapakah ibu anak ini yang sesungguhnya.� Dan dengan suara kesal dipanggilnya seorang petugas kemudian menyuruhnya membawa sebatang kapur. Petugas itupun pergi dan mengambilnya. “Gambarlah sebuah lingkaran yang cukup besar dengan kapur itu di atas lantai agar bisa muat untuk tiga orang berdiri di dalamnya!�

halaman 40


perintah sang hakim selanjutnya. Petugas itupun berjongkok dan menggambar lingkaran tadi dengan kapur seperti yang diperintahkan. “Sekarang bawa anak itu kemari!” lanjutnya. Bocah itupun dibawa masuk. Ia menangis lagi dan berusaha pergi ke arah Anna. Si tua Dollinger tidak mempedulikan tangisan itu dan sematamata hanya memberikan instruksinya dengan suara yang agak lebih keras. “Ujian yang sebentar lagi akan dilaksanakan,” ujarnya, “kutemukan dalam sebuah buku kuno dan tampaknya sangat baik. Secara sederhana, ide dasar dari ujian dengan lingkaran kapur ini adalah bahwa ibu yang sesungguhnya akan diketahui dari kecintaannya kepada sang anak. Di sinilah kekuatan dari cinta tadi harus diuji. Petugas, letakkan bocah itu ke dalam lingkaran kapur tad!” Sang petugas pun mengambil anak yang masih menangis tadi dari tangan sang perawat dan membawanya ke dalam lingkaran tersebut. Sang hakim melanjutkan sambil berpaling kepada Nyonya Zingli dan Anna: “Kalian berdua masuklah dan berdiri di dalam lingkaran itu juga. Masingmasing memegang salah satu lengan si kecil dan kalau aku berkata: Ya! tarik sekuatkuatnya anak itu keluar dari lingkaran. Siapa saja di antara kalian yang paling kuat cintanya, pastilah juga akan menarik dengan kekuatan yang lebih besar dan dengan demikian akan membawa anak itu ke sisinya.” Balai itupun menjadi gempar. Para penonton berjinjit dan memperingatkan orangorang yang berdiri di depan mereka. Namun mendadak terjadi keheningan lagi ketika kedua wanita tersebut melangkah masuk ke dalam lingkaran dan masingmasing memegang sebelah tangan si kecil. Bocah itupun juga langsung terdiam, seperti mengerti apa yang sedang dipertaruhkan. Ia memalingkan wajah mungilnya yang berlinang air mata kepada Anna. Lalu sang hakimpun memberikan abaabanya: “Ya…!” Dan dengan sekali sentakan kuat Nyonya Zingli merenggut si kecil keluar dari lingkaran. Pana dan tak percaya, pandangan mata Anna mengikutinya. Karena khawatir kalau sampai si kecil cedera bila kedua lengannya yang mungil itu disentak serentak ke dua arah yang berbeda, Anna segera melepasnya. Si tua Dollinger berdiri. “Nah, akhirnya kita tahu!” serunya, “siapa ibu yang sesungguhnya. halaman 41


Ambil si kecil dari sundal itu. Ia akan mencabikcabiknya sampai hancur dengan darah dingin!� Dan iapun lalu mengangguk kepada Anna dan segera meninggalkan balai itu untuk menyantap sarapan paginya. Dan pada pekanpekan berikutnya para petani, yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, secara tak langsung memperbincangkan bagaimana saat sang hakim sambil mengedip menghadiahkan si kecil kepada wanita dari Mering itu. ***

halaman 42


Sajak

Syafrizal Sahrun Sebelum Subuh Kunjungi Saja Aku Lewat Doa Sebelum Subuh Aku Dengar Langkahmu Menjauh

Syafrizal Sahrun Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut. Beberapa karya puisi dan esai sastra di muat pada koran Lampung Post, Haluan Kepri, Majalah Sagang dan sebagainya. Puisinya juga di muat pada Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin, dan Menguak Tabir.

halaman 43


Sebelum Subuh Ada keberanian yang muncul dari kecemburuan Sehingga apa saja dihalalkan demi menebus kekecewaan Kambing hitam dikorbankan, kambing putih enggan datang Lalu azan subuh berbunyi Handponmupun kuderingi

Kunjungi Saja Aku Lewat Doa

Aku memang telah pergi Melintasi satu pemikiran dan pemikiran lain Dari satu rasa ke rasa lainnya Dari satu kecupan hingga pendurhakaan Oh ya, lihatlah tampangku di tembok sana Tembok tinggi yang kau susun dari kerangka-kerangka manusia masa lalu Yang dindingnya kau cat dengan darah orang-orang masa datang Di situlah tampangku kau pajang Empat lengan sebagai bingkai Engkau pernah melukisku bukan? Saat aku termenung di dalam kepalamu Membelai-belai otakmu karena aku jenuh jadi batu

halaman 44


Berikanlah aku senyummu yang seterus terang pungguk pada rembulan Jangan kau selipkan diantaranya sembilu, duri atau belati Jangan bunuh aku lagi Sebab itupulalah aku pergi Bukan untuk menjauh Tapi untuk memekapmu lebih lekap Kepergian tak sekedar keluar Aku tahu, kau selalu mencariku Selalu memanggil-manggil namaku Tapi sayang, sudah kukatakan aku telah pergi Kunjungi saja aku lewat doa Jika rindu telah mendera Maka aku akan muncul dari segenap tiada.

halaman 45


Sebelum Subuh Aku Dengar Langkahmu Menjauh

sebelum subuh aku dengar langkahmu menjauh udara tipis dan pekat malam berseteru detak jantungmu melompati risau ibu dalam kelambu hanya sebuah kepergian antara kebosanan dan suka cita bahkan mungkin sebab kecintaan yang mendalam kau memilih untuk lenyap dalam sekali ketukan bukan aku tak mau menyapa atau sekedar basabasi untuk bertanya bukankah seruan telah kau hadang dengan ketulian ini sebuah pilihan kecintaan takkan bisa hilang rindupun telah kau tau akan jadi ilalang dipadangmu yang kesepian tapi kenapa ini jadi penawar sebelum subuh aku dengar langkahmu menjauh detik-detik luruh jejakmu menjadi ratapan di setiap perjumpan dalam ingatan orang-orang yang kehilangan

halaman 46


Tari

M. Yazid Sang Maestro Tari Zapin int

a z i d di lahir Bengkalis Beng tahun 1925, dan sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR). Belajar menari zapin sejak umur delapan tahun dari ayahnya sendiri yang juga penari, Tomel. Saat remaja, dia menambah ilmu lagi dari beberapa guru lain, seperti Muhammad Nur, Ares, dan Cik Muhammad. Saat permulaan belajar, pertengahan tahun 1930-an, Yazid muda harus sembunyisembunyi. Maklum, Belanda sudah masuk ke Bengkalis dan melarang setiap kerumunan

yang di curigai bakal memicu perlawanan t e r h a d a p p e m e r i n t a h kolonial. Situasi itu berlanjut hingga masa kedudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Yazid leluasa mengasah keterampilan menari dan menambah pengetahuan seluk-beluk zapin. Tahun 1950an, nama Yazid mulai popular di wilayah Bengkalis bersama lima penari lain. Mereka keluar-masuk kampung untuk meramaikan berbagai hajatan rakyat. Perkembangan zapin semakin mencuat saat pemerintah

halaman 47


daerah

tak jadi, dan bunga depan. Masing-masing ragam punya arti dan ditarikan khusus.

Dengan semangat memperkuat seni tradisi demi mencari pijakan identitas lokal, pemerintah daerah Bengkalis pun mendorong pendirian sanggar seni tradisi dan membuka kesempatan untuk tampil pada acara-acara resmi. Nama Yazid sangat populer di Bengkalis karena hampir setiap hajatan penting yang berbau Zapin selalu menampilkan dia. Saat pergelaran Zapin berkampung sebagai rangkaian festival Semarak Zapin Serantau di Meskom, suatu malam akhir Agustus 2007, Yazid juga didaulat untuk tampil. Dengan iringan syair Bunga Cempaka, lelaki sepuh itu memukau ratusan penonton yang berjubel di pinggiran jalan. Yazid lincah saja memainkan kaki sembari sedikit menggoyang-goyangkan tangan. Suatu kali, dia maju beberapa langkah, lalu mundur lagi.

Tarian Yazid yang sudah sepuh itu mewakili gerak Zapin klasik yang halus. Penghayatan yang mendalam dan kelembutan tariannya mencerminkan kesantunan budaya Melayu lama. Semakin tua penari, gerakannya semakin anggun. Punggung yang bungkuk sedikit dan lengkung kaki yang tidak tegap, justru pas untuk membawakan tari Zapin yang penuh kehalusan dan harmoni. Untuk mempercepat perkembangan seni tradisi itu, tahun 1998 dia ikut mendirikan Sanggar Yarnubih, kependekan dari nama tiga tokoh Zapin, yakni Yazid, Muhammad Nur, dan Ebih. Lewat kelompok ini, kiprah Yazid semakin menonjol. Dia turut mentas di Riau, Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, serta di Johor dan Malaka, Malaysia.

pusat menggerakkan otonomi pertengah tahun 1990-an.

Pada titik-titik tertentu, dia malah diam sejenak seperti mengambil jeda, tetapi kemudian bergerak lagi dengan santai, tanpa terasa janggal. Gerakan yang mengalir lembut memperlihatkan jiwa Yazid yang menyatu dengan lantunan syair dan iringan musik yang rancak-mendayu, hasil perpaduan antara petikan gambus dan tepakan marwas. Setiap pergeseran anggota badan seperti sumber dari dalam hati, bukan hasil hafalan yang instant. Begitulah, Zapin memang sudah menjadi bagian kehidupan sehari-harinya. Di Bengkalis, Yazid dikenal sebagai satu-satunya penari sepuh yang rajin naik panggung. Kakek dari 27 cucu dan 17 cicit itu masih lihai memainkan puluhan ragam pokok atau variasi gerak yang unik. Ada ragam yang disebut alif sembah, pusing sekerat, ekor patin, pecah lapan, siku sekeluang, tukar kaki, ayam patah, pusing

halaman 48

Perjuangan Yazid berhasil memperkuat regenerasi Zapin di Meskom. Saat ini ada enam sanggar di kampung yang berjarak sekitar 15 kilometer dari kota Bengkalis itu. Kini, kampung Meskom dikenal sebagai salah satu taman pertumbuhan Zapin klasik yang kental dengan nuansa kerakyatan. Zapin penting untuk menanamkan identitas budaya Melayu kepada anak-anak muda. Nilai-nilai adat dan agama Islam yang terkandung dalam syair-syair Zapin bisa menjadi peringatan agar kita tetap bertindak benar. Maestro tari zapin asal Pulau Bengkalis ini wafat pada hari Kamis petang, 23 Swptember 2010 di Rumah sakit Grand Hospital, kota Bengkalis akibat penyakit tifus. Dimakamakan keesokan harinya, Jumat, 24 September 2010 di Pemakaman Masjid Alhadi Taqwa, Desa Teluk Latak, Bengkalis.


Sang maestro ini meninggalkan tujuh anak dan 36 cucu. Sedang istrinya, Asnah binti Usman telah mendahuluinya dua bulan sebelum kepergiannya. Menurut Ahmad, anak Yazid, sepanjang hidupnya, almarhum telah mendapatkan berbagai penghargaan dari tingkat nasional, provinsi hingga kabupaten. Hanya saja, perhatian padanya, semasa hidup, terbilang minim. Tokoh zapin yang begitu sederhana dan tabah menghadapi kehidupan itu memberikan banyak pencerahan di sini, bahkan bangsa ini. Menurutnya, almarhum akan selalu dikenang, bersama karya-karya terbaiknya hingga akhir zaman.

wakil presiden, pada 23 Juli 2010. Waktu itu kondisi juga sudah sakit-sakitan. Uang itu bisa mengobati penyakit istrinya, dari duit penghargaan itu. Namun 25 Juli istrinya meninggal. M Yazid menjadi simbol kebangkitan tari zapin di Indonesia. Bahkan kampung Meskum (Bengkalis) yang dibinanya, dikenal sebagai Kampung Zapin karena warga kampung tersebut menggiatkan zapin dari kanak-kanak hingga orang tua.

Para pakar zapin Riau seperti Nurdin (Siak) dan M Yazid bin Tomel adalah pakar zapin yang menciptakan gerak aneh atau tidak biasa. Pernah dimanfaatkan oleh ASKI Padangpanjang (Sumbar), mengajar di sana dan ilmu itu sudah dicatat di sana. Begitulah orang lain menghargai kesenian. Bahkan banyak seniman semasanya mengatakan, pemerintah tak pernah menghargai itu dari Tengku Nurdin hingga M Yazid. Almarhum sendiri pernah mengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR). Berdedikasi cukup baik hingga akhir hayatnya dan tak pernah bicara budget saat meneruskan ilmunya yang mahal tersebut.

Seni Pertunjukan merupakan sebagian dari kenyataan dalam dunia kesenian Indonesia. Dalam kebanyakan kasus, ia hidup dalam lingkungan dua alam budaya. Di satu pihak ia ditumbuhkan oleh suatu kebudayaan tertentu, yang dalam konteks kenasionalan Indonesia, ini disebut kebudayaan daerah yang mempunyai sejumlah ciri khas yang dibina lewat keajegan tradisi. Di pihak lain, ia juga disadur dan dibentuk kembali oleh kebutuhan suatu hamparan kebudayaan yang lebih luas, yang tidak semata-mata menganut citarasa tradisi asalnya (Sedyawati, 1981: 39 ). Pertumbuhan dan perkembangan seni pertunjukan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, tidak lepas dari pertumbuhan dan perkembangan kehidupan kesenian dan kebudayaan Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang melahirkan kesenian sangat beragam yang bersumber dari kelainan budaya etnik setempat.

Bahkan Tom Ibnur (tokoh tari Indonesia) mengatakan, M Yazid mendapat gelar maestro zapin di penghujung usianya. M Yazid adalah guru, tokoh dan sosok tak tergantikan. M Yazid membanggakan Melayu. M Yazid, menyemai, menumbuhkan dan memelihara zapin tanpa pamrih karena kecintaan yang mendalam. Kesadarannya akan pentingnya khazanah Melayu sebagai warisan yang sangat berharga ke masa depan. Penghargaan yang diberikan langsung

Selanjutnya untuk mengenal lebih jauh lagi tentang zapin, kami turunkan tulisan Muslim, S.Kar., M.Sn (Dosen pengajar pada Fakultas Sendratasik Universitas Islam Riau).

Zapin adalah salah satu jenis tari tradisional yang terdapat dan berkembang dalam masyarakat Melayu, seperti di Riau, Deli, Jambi, Malaysia, dan Brunei. Di Riau

halaman 49


tari ini hidup dan berkembang hampir di sebahagian besar daerah Riau terutama di daerah pesisir (pantai). Omar Amin Hoesin menyatakan, Islam yang sampai ke Indonesia telah membawa pengaruh tentang tari. Perkataan tari yang berasal dari Arab “Tar” semula asal nama sebuah alat musik Islam, sedangkan buku tentang tarian Islam yang pertama ditulis oleh al Farabi, dengan judul “kitab al raqsh wa’l – zafn” (Kitab Tarian dan Gerak Kaki) (1981:466), sedangkan Tengku Lukman Sinar, mengutip pendapat Hamzah Ahmad dalam majalah Tempo (No. 44 9 Desember 1984) menyatakan Zapin lahir tahun ke 6 masa ketika terjadi gencatan senjata dengan orang-orang kafir Mekah. Dengan demikian dapat diketahui, seiring dengan usaha pedagang Arab dalam mengembangkan agama Islam di daerah-daerah yang dipengaruhi Melayu, mereka juga telah meninggalkan kesenian Zapin di daerah-daerah yang dikunjungi, dan selanjutnya Zapin mengalami proses akulturasi dengan budaya Melayu setempat, seperti yang terdapat saat ini, terutama di wilayah Indonesia dan Malaysia. Sesuai dengan keterangan di atas, diyakini Zapin adalah ragam seni tari yang berasal dari etnis Arab, dan dalam perkembangannya terkait dan berbaur dengan budaya masyarakat yang dikunjunginya, seperti Malaysia, Brunei, Deli, Jambi, Riau, dan daerah kawasan Melayu lainnya. Situasi perkembangan ini menyebabkan munculnya gaya dan karakter tari yang saling memiliki perbedaan dan kekhasan pada daerahdaerah di atas. Penerimaan masyarakat Melayu di Kesultanan Siak terhadap agama Islam dan proses akulturasi antara budaya Melayu

halaman 50

dengan budaya Arab ditandai pula dengan dilakukannya perkawinan puteri Siak (Melayu) Tengku Embong Badariah dengan keturunan Said (Arab), yakni Said Ali, yang kemudian berhasil memerintah sebagai Sultan Siak dengan gelar Sultan Assyaidis Ali Abdul Jalil Syaifuddin (1784 – 1810). Secara historis dahulu sebelum Zapin berkembang di daerah asalnya Siak Sri Indrapura, Gambus dan Zapin sering dipertunjukkan di lingkungan istana, walaupun pertunjukan itu tidak pernah dibatasi untuk lingkungan istana sendiri. Menurut Moh.Anis Md Nor, setelah revolusi anti istana tahun1945 di Sumatera, Zapin tetap akrab di kalangan masyarakat pada umumnya. Hal ini menunjukkan tradisi telah meraih simpati dari masyarakat bahkan sebelum terjadinya penurunan kekuasaan dan derajat Sultan di Sumatera Timur, Zapin kemudian menjadi tradisi rakyat bersamaan dengan hilangnya kekuasaan kerajaan Melayu (1993:27). Penyelidikan dalam sejarah Zapin menunjukkan bahwa tarian ini juga merupakan hiburan golongan aristokrat pada zaman Kesultanan Riau Lingga seawal kurun ke-16. Bentuk ini berkembang di bawah naungan istana Riau Lingga, dan sampai saat ini penari Zapin di Pulau Penyengat masih lagi terdiri daripada golongan aristokrat(1993:27). Sebagai jenis seni tari tradisional, tari Zapin saat ini tampak hidup dan berkembang hampir di sebahagian besar daerah Riau, terutama daerah pantai (Riau Kepulauan), dan di bekas pusat-pusat pemerintahan kerajaan Melayu seperti di Siak Sri Indrapura, Pulau Penyengat, Daik Tembelan dan pulaupulau di sekitar laut Cina Selatan. Said Mahmud Umar yang menyatakan tari


Zapin di Siak dikembangkan antara lain oleh ayah beliau Sayed Umar yang berasal dari Yaman. Amrin Sabrin, dkk dalam Deskripsi Tari Zapin menjelaskan pula bahwa semenjak masa pemerintahan Sultan Asysyaidis Syarif Ali dahulu, tari Zapin telah berkembang dan melahirkan beberapa generasi sampai saat ini, mulai dari Encik Kundun yang melahirkan generasi Wan Hasan, Penghulu Nambul dan Sayed Abu Bakar. Selanjutnya generasi ketiga tokoh di atas menurunkan generasi antara lain Hasan Yusuf, Jambul Musa, Wan Amran, dan selanjutnya mereka melahirkan generasi T.S. Kadir, Wan Nazar dan lain-lain. Perkembangan tari Zapin di Siak ditandai pula dengan lahirnya organisasi GASIB (Gabungan Siak Baru) yang bergerak dalam melestarikan kesenian daerah Siak yang telah pula melahirkan tokoh tari Zapin seperti Tengku Nurdin, Amin B.S, Sulung dan lain-lain. Tokoh-tokoh Zapin ini masih hidup sampai sekarang walau dalam usia yang sudah lanjut. Begitu tingginya perhatian masyarakat Melayu terhadap tari Zapin di Siak terutama pada sekitar tahun60-an, maka tidaklah mengherankan pada masa keemasan itu bagi generasi muda di Siak merasa malu kalau tidak mampu menarikan tari Zapin. Dengan mengikuti perkembangan Zapin seperti yang diterangkan di tas, tampak bahwa tari Zapin sejak awal berkembangnya

di Siak telah melahirkan empat turunan generasi. Dalam pewarisan dari generasi ke generasi tentu saja takkan terlepas dari pengembangan-pengembangan sesuai dengan karakter dan penafsiran masingmasing tokoh Zapin di zamannya masingmasing. Hal ini juga diakui oleh informan, bahwa tari Zapin yang berkembang sekarang jauh berbeda dari Zapin yang semula berkembang di Siak Sri Indrapura, baik dari segi penari, gerakan angkat kaki dan ayunan tangan. Pada masa sebelum tahun 60-an tidak dibiasakan wanita untuk menari dihadapan khalayak ramai, karena itu dianggap tidak sopan. Gerak angkat kaki Zapin yang semula berkembang di istana Siak, tidak begitu tinggi, dan tari kurang bertenanga, begitu pula halnya dengan ayunan tangan tidak boleh melebihi sebatas tinggi bahu. Namun dalam perkembangannya dewasa ini aturanaturan dan kebiasaan itu tidak lagi mengikat. Sudah dijelaskan, sejak masa pemerintahan Sultan Siak ke VII hubungan antara Siak dengan Pekanbaru sudah begitu dekat. Dikarenakan kehidupan di kota Pekanbaru terasa lebih menjanjikan daripada di Siak terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan dan perhubungan, telah mendorong masyarakat Siak untuk melakukan urbanisasi di kota termasuk juga dari kalangan seniman-seniman Zapin.*** (DASMO.Red. dari berbagai sumber)

halaman 51


Senirupa

int

Senirupa Islam di Indonesia (Seni Lukis Kaligrafi Islam) halaman 52


gama Islam masuk ke Indonesia abad VII Masehi yang dibawa oleh para saudagar Arab yang datang pertama kali di Indonesia datan lewat pesisir utara Sumatera. Dari sinilah terbentuk cikal bakal komunitas muslim yang ditengarai dengan pendirian Kerajaan Islam pertama di Aceh. Selanjutnya hampir semua corak seni budaya masyarakat Arab mempengaruhi budaya Indonesia, yang mencakup semua aspek bentuk kesenian, seni suara, musik, sastra, lukis, arca, tari, drama, arsitektur dan lain-lain. Seni kaligrafi menduduki posisi yang amat penting. Seni kaligrafi merupakan bentuk seni / budaya Islam yang pertama ditemukan di Indonesia dan menjadi aset budaya Islam terdepan hingga kini. Kaligrafi Islam dibedakan menjadi dua yaitu tulisan dan lukisan. Lukisan kaligrafi terbagi menjadi dua yaitu murni dan bebas, yang pertama i menggunakan bentuk huruf baku biasanya dibuat oleh lulusan pondok pesantren, sedangkan yang kedua tidak menggunakan huruf baku yang dikerjakan oleh seniman akademik. Aneka bentuk lukisan kaligrafi mengandung dua elemen, fisioplastis dan ideoplastis. Elemen fisioplastis berupa penerapan estetis menyangkut unsur-unsur rupa, bentuk, garis, warna, ruang, cahaya dan volume. Elemen ideoplastis meliputi semua masalah langsung/tidak yang berhubungan erat dengan isi atau cita perbahasaan bentuk. Diangkatnya kaligrafi sebagai tema sentral dalam melukis, menjadi sejarah penting terbentuknya lukisan kaligrafi Indonesia. Lukisan kaligrafi sangat diperhitungkan dalam kancah seni rupa Indonesia ketika muncul pendalaman-pendalaman spiritual, penghayatan, perenungan yang mengarah ke kedalaman kemanusiaan dan keTuhanan. Sadali dan AD Pirous layak dicatat sebagai

pelopor lukisan kaligrafi Islam Indonesia tahun 1960-an. Selanjutnya seni lukis kaligrafi berkembang pesat dengan tokoh seni Amri Yahya di Yogya, yang menggunakan medium batik, di Surabaya Amang Rahman menciptakan surealisme dengan mengambil kekuatan kaligrafi Islam. Momentum penting pameran seni rupa (seni lukis kaligrafi Islam) mulai marak di dalam maupun di luar negeri, antara lain pada tahun 1975 pameran lukisan kaligrafi pertama pada MTQ Nasional XI di Semarang, pameran pada Muktamar pertama media masa Islam sedunia tahun 1980 di senayan Jakarta, pada MTQ Nasional XII di Banda Aceh tahun 1981, kemudian pada pameran kaligrafi Islam Balai Budaya Jakarta tahun Hijriyah 1405 (1984), disusul pada MTQ XVI di Yogyakarta tahun 1991. Sambutan masyarakat yang mayoritas Islam terhadap pameran-pameran itu tak diragukan. Momentum penting lainnya ketika diselenggarakan festifal Istiglal I (1991) dan II (1995) dengan tema utama seni lukis kaligrafi Islam, yang melibatkan para perupa di antaranya AD. Pirous, Amri Yahya, Hendra Buana, Salamun Kaulam, dan Syaiful Adnan. Mereka menampilkan aneka bentuk, gaya dan ragamnya dari tulisan hingga lukisan, dari ekspresi hingga transendensi illahi. Kaligrafi dengan menggunakan Huruf Arab di Indonesia menjadi seni yang benarbenar baru karena tidak berpijak pada bentuk seni tradisi lokal dari masa sebelumnya, hal ini tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada tulisan, dari bukti yang ada menunjukkan adanya berbagai aksara seperti aksara Bugis, aksara Jawa, aksara Sunda dan lainnya. yang dipakai terbatas untuk pemakaian praktis untuk prasasti, pengumuman , kitab-kitab sastra, kitab keagamaan. berbeda dengan kaligrafi Arab selain digunakan untuk

halaman 53


keperluan praktis juga untuk estetik. Kaum muslim telah membuat kaligrafi tidak hanya untuk membentuk tulisan tangan yang indah tetapi juga untuk mendisiplinkan jiwa. Menarik sebuah garis dari kanan kekiri yang merupakan arah penulisan kaligrafi arab, bergerak dari pinggir menuju ke hati yang terletak di sebelah kiri tubuh. seorang kaligrafer menyadari bahwa dengan konsentrasi pada penulisan kata-kata dalam bentuk indah seakan -akan membawa kepingan jiwa yang tercerai berai kembali bersatu kepusatnya ini merupakan sisi spritualitas kaligrafi. Dari segi pemakaian jelas perbedaan antara aksara Arab dan aksara yang dipakai di Indonesia. Karakteristik yang lain adalah adanya pertautan antara aksara Arab dan Agama Islam,sebagai contoh ragam hias dan motif dari era seni Hindu dibubuhkan tulisan Arab dianggap sebagai Seni islam. Berbeda dengan huruf Palawa yang datang dari India, pemakaiannya terbatas hanya dikalangan golongan agama dan bangsawan. Huruf Arab tersebar disemua lapisan masyarakat bahkan huruf ini diadopsi dan dipergunakan dalam pemakaian bahasa Melayu dan bahasa lainnya yang dikenal dengan tulisan Pegon atau dikenal dengan tulisan Arab Melayu. Naskah-naskah yang berhuruf arab ini sudah ditemukan pada abad ke14 pemakaiannya sudah meluas dimana -mana tetapi naskah-naskah Islam banyak juga yang ditulis dengan aksara jawa,sunda, bugis sehingga terlihat bahwa antara aksara arab dan aksara nusantara tetap hidup berdampingan. Berbeda dengan huruf arab dibelahan dunia lain ,di Indonesia kaligrafi tidak berkembang mungkin karena pemakaiannya baru pada membaca saja belum pada tulisan indah walaupun ada juga

halaman 54

kaligrafi yang dibuat di Indonesia. seperti kaligrafi Islam yang dibuat pada kertas,kain, kaligrafi yang diukir, kaligrafi pada kaca. Kaligrafi pada kertas berkaitan dengan Al Ouran yang ditulis tangan dengan jenis tulisan khat Naskhi dan khath Thuluth, dengan ubahan yang disebut khat Hindi. Setelah terdapatnya Al Quran yang dicetak diperkirakan awal abad 20 secara tidak langsung mengurangi jumlah ahliahli kaligrafi, sehingga menjadi langka. Aksara arab ini juga dipakai untuk menulis hikayat, cerita dan lainya yang umumnya memperlihatkan persamaan dengan gaya Khath Farisi. Huruf arab melayu banyak digunakan untuk surat-menyurat antara kesultanan Islam indonesia dengan Portugis,Inggris,Belanda. Selain pada kertas ada juga yang dibuat pada kain dengan teknik membatik, tentu saja untuk keperluan khusus sebagai ikat kepala ,bendera yang pada saat ini menjadi media ekspresi seperti lukisan batik. Tulisan yang diukir dikenal sebagai epigrafi di indonesia dibagi 2 yaitu tulisan yang diukir pada nisan dan yang diukir pada kayu sebagai hiasan. Kaligrafi arab pada nisan telah ditemukan dari abad 11 di leran,Gresik berasal dari makam Fatimah Binti Maimun dengan tulisan khath kufah. Kaligrafi pada nisan adalah yang terbanyak ditemukan di Indonesia sehingga dapat dibagi 2 jenis. Jenis pertama yang memperlihatkan pengenalan mendalam terhadap corak kaligrafi seperti khath Thuluth, Kufah yang berasal dari Gujarat ,India seperti yang terdapat di Samudra Pasai ,makam putri Nahrisah(abad 15) dan makam Maulana malik Ibrahim,Gresik (abad 15). Jenis kedua seniman ukir nisan kurang atau tidak mengenal gaya kaligrafi Islam seperti Makam


islam Tralaya,Trowulan bekas ibukota Majapahit,membuktikan bahwa pada masa majapahit telah hidup masyarakat Islam. selain nisan ukiran kaligrafi juga dibuat pada kayu yang diukir pada bagian atas pintu, mimbar, mihrab.Ukiran pada kayu lebih bebas dan menunjukkan perpaduan antara pra islam dan Islam. Lukisan kaca dengan tema kaligrafi arab,terdapat di jawa timur,jawa tengah,madura,sumatra barat,yang paling menarik adalah lukisan kaligrafi kaca cirebon dimana tema -tema pra islam masih dipakai sampai saat ini seperti tema wayang, binatang khayal. Islamisasi di Indonesia

berjalan dengan damai sehingga bentuk tokoh masa pra islam dapat digambarkan untuk tema-tema keIslaman misal bentuk ganesha yang bertuliskan syahadat. selain itu ada juga menggambarkan macan dikenal sebagai macan ali ada juga yang berbentuk kabah. Kaligrafi di Indonesia pada masa lalu jarang diterapkan dimasjid tetapi sekarang masjid yang baru dibangun banyak sekali menerapkan kaligrafi islam sebagai dekorasi. Perkembangan kaligrafi tidak hanya sampai masjid saja tetapi kini banyak dijadikan tema-tema lukisan modern yang dikenal sebagai lukisan kaligrafi.*** (Red. INT. dan dari berbagai sumber)

halaman 55


Tokoh

Muhammad Haji Salleh int

ro Dr. Muhammad Haji Salleh rof. merupakan salah seorang penulis m Malaysia yang telah dianugerahkan Mal gelaran Sasterawan Negara 1991. Beliau juga telah memenangi Anugerah Penulis S.E.A. pada tahun 1997. Pada 2008, beliau dinobat sebagai Tokoh Akademik Negarta. Beliau pernah menjadi Presiden Persatuan Penterjemah Malaysia (1978-1982) dan banyak menterjemah puisi berbahasa Melayu ke bahasa Inggeris. Beliau juga menjadi sidang editor jurnal Tenggara, anggota Lembaga Pengelola Dewan Bahasa dan Pustaka, dan anggota Panel Anugerah Sastera Negara. Prof. Dr. Muhammad Haji Salleh dilahirkan pada 26 Mac 1942 di Taiping, Perak. Kini beliau menetap di Taman Sekamat, 43000 Kajang, Selangor.

halaman 56


Beliau mendapat pendidikan awal di High School Bukit Mertajam ,Bukit Mertajam, Maktab Melayu Kuala Kangsar dan Malayan Teachers College, Brinsford Lodge, England (1963). Setelah itu, beliau menuntut di Universiti Malaya, Singapura (1970) dan mendapat Ijazah Sarjana Sastera. Beliau kemudiannya melanjutkan pengajian ke Universiti Michigan, Amerika Syarikat di mana beliau mendapat Ph. D (1977). Kerjayanya bermula sebagai seorang guru di Trade School Butterworth pada tahun 1960 dan kemudiannya meneruskan perkhidmatan perguruannya di beberapa buah sekolah hinggalah menjadi tutor, pensyarah, pensyarah kanan dan seterusnya menjawat beberapa jawatan akademik di universiti tempatan dan antarabangsa. Beliau juga pernah mencatat sejarah sebagai profesor termuda yang pernah dilantik ke jawatan itu pada tahun 1979 ketika berusia 37 tahun. Sekembalinya ke Malaysia, beliau berkhidmat di Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Malaysia. Selama 42 tahun, beliau pernah bertugas di USM,UKM dan UM. Beliau pernah dijemput mengajar di Amerika Syarikat, Brunei, Jerman dan Belanda sebagai profesor pelawat dan menerima ‘fellowship’ dari beberapa buah universiti di Amerika Syarikat, Jepun serta Belanda. Beliau pernah dilantik sebagai Profesor Tamu di bawah rancangan Fulbright-Hays (1977) dan mengajar di North Carolina State University, Raleigh, Amerika Syarikat (1977 - 1978) ; pensyarah di Jabatan Persuratan Melayu ; Timbalan Dekan Fakulti Sains Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, UKM ; Pengarah Institut Bahasa, Kebudayaan Kesusasteraan Melayu. Kemudian menjadi

Profesor Kesusasteraan sewaktu berusia 36 tahun (1978). Muhammad menjadi “Asian Scholar in Residence” di University Michigan. Dalam tahun 1992-1993, beliau dipilih menjadi Fullbright Visiting Reseacher, di University of California, Berkeley ; menyandang Kerusi Pengajian Melayu di Universiti Leiden, Netherlands (1993-1994). Fokus penulisan beliau ialah puisi dan kritikan sastera dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggeris serta membawa sastera Malaysia menyeberang ke benua Asia, Eropah dan Amerika Syarikat. Beliau mengkagumi penyair meminati penyair Chairil, Subagio Sastrowardojo (Indonesia) , T.S. Eliot dan Pablo Neruda. Beliau telah mencetus penubuhan dua pusat kajian Melayu iaitu di Universiti Islam Riau dan Universiti Jambi. Sajak dan kritikan sastera beliau diterjemah ke dalam 12 bahasa termasuk bahasa Belanda, China, Denmark, Ibrani, Itali, Jepun, Jerman, Korea, Rusia, Sepanyol, Thai , Vietnam ,Portugis dan Perancis. Teks sastera klasik yang dikajinya ialah Hikayat Isma Yatim, Sulalat-as-Salatin dan Hikayat Hang Tuah dan lain-lain yang menonjolkan jati diri Melayu. Pelbagai anugerah telah diterimnya .Antaranya beliau memenangi “Hadiah Sastera Asean” di Jakarta. Beberapa buah puisinya telah memenangi Hadiah Karya Sastera (1971) ; Hadiah Sastera Asean bahagian puisi dengan kumpulan puisi beliau Perjalanan Si Tenggang II (1977). Profesor Dr Muhammad telah menghasilkan 15 koleksi puisi, 5 buah antologi sastera Malaysia dan 12 buku kritikan/teori dalam bahasa Melayu dan bahasa Inggeris. Hasil terjemahannya termasuklah 11 buku bahasa Melayu ke bahasa Inggeris.

halaman 57


Karya puisi 1. Himpunan Sajak (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1969, 139 hlm. 2. Sajak-sajak Pendatang, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1973, 62 hlm. 3. Buku Perjalanan Si Tenggang II, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1975, 74 hlm. 4. Ini Juga Duniaku, Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn. Bhd., 1977, 83 hlm. 5. Times and Its people, Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd., 1978, 80 hlm. 6. The Travel Journals of Si Tenggang II, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979, 72 hlm. 7. Pilihan Puisi Baru Malaysia – Indonesia (Peny.), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, 314 hlm. 8. Puisi-puisi Nusantara (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 294 hlm.; Sajak-sajak dari Sejarah Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka 1981, 88 hlm.; Tinta Pena (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1981, 631 hlm.; Dari Seberang Diri, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1982, 70 hlm.; Antologi Puisi ASEAN (antologi bersama), Denpasar: Yayasan Sanggar Seniman Muda Bali, 1983, 85 hlm.; Lagu Kehidupan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1983, 302 hlm.; Bintang Mengerdip (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 75 hlm.; 100 Sajak Malaysia (antologi bersama), Kuala Lumpur. TraTra Publishing & Trading Sdn. Bhd.,

halaman 58

1984, 141 hlm.; Bunga Gerimis (antologi bersama), Petaling Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1986, 132 hlm.; Puisirama Merdeka (antologi bersama), Kuala Lumpur: PENA, 1986, 141 hlm.; Kumpulan Puisi Malaysia/Malaysian Poetry 19751985 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaia, 1988, 167 hlm.; Puisi Baharu Melayu 1961 – 1986 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990, 941 hlm.; Suara Rasa (Voice From Within) (antologi bersama), Kuala Lumpur: Maybank, 1993, 228 hlm.; Beyond the Archipelago, Athens: Center of International Studies, Ohio University, 1995, 243 hlm.; Rupa Kata (antologi bersama), Ipoh: Yayasan Kesenian Perak, 1996, 122 hlm.; Sebuah Unggun di Tepi Danau, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1996, 259 hlm. Kajian : Tradition and Change in Contemporary Malay-Indonesian Poetry, Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1977, 190 hlm.; Selection from Contemporary Malaysian Poetry (Peny.), Kuala Lumpur: Penerbitan Universiti Malaya, 1978, 118 hlm.; Pengalaman Puisi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, 85 hlm.; An Anthology of Contemporary Malaysian Literature, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 413 hlm.; The Mind of The Malay Author, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991, 178 hlm.; Syair Tentang Singapura Abad Kesembilan Belas, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, 127 hlm.; Sulalatus al-Salatin (Sejarah Melayu), Kuala Lumpur: Yayasan Karya Agung, 1997, 338 hlm. Esei/Kritikan : Kritikan Sastera di Malaysia (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan,


1974, 187 hlm.; Bahasa Kesusasteraan dan Kebudayaan (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1976, 338 hlm.; Kesarjanaan Melayu (antologi bersama), Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, 1977, 368 hlm.; Penulisan Kreatif (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980, 92 hlm.; Imej dan Citacita: Kertas Kerja Hari Sastera 1980 (antologi bersama), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1981, 87 hlm.; Cermin Diri, Petaling

Jaya: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1986, 208 hlm. Terjemahan : Teori Kesusasteraan: Satu Pengenalan/Terry Eagleton, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988, 264 hlm.; Salju Musim Bungal Yukio Mishima, Kuala Lumpur: Yayasan Penataran Ilmu, 1990, 624 hlm. Pada 2008, beliau menerima anugerah Tokoh Akademik Negara 2008 daripada Menteri Pengajian Tinggi, Datuk Seri Mohamed Khaled Nordin di Hotel Royale Chulan, Kuala Lumpur.*** (Red.dari berbagai sumber)

halaman 59


Anugerah Sagang

Anugerah Sagang 2014 Yayasan Sagang tahun 2014 ini kembali akan memberikan Anugerah untuk Seniman/Budayawan Pilihan, Buku pilihan, Karya Non-Buku Pilihan, Institusi/Lembaga Seni-Budaya Pilihan, Seniman/Budayawan Serantau Pilihan, Karya Jurnalistik Budaya Pilihan dan Karya Penelitian Budaya Pilihan. Bersempena dengan ini kami menjemput Tuan dan Puan untuk berpartisipasi ikut mengusulkan calon dengan kriteria sebagai berikut: I. Seniman/Budayawan pilihan Sagang 1. Berdomisili di daerah Riau 2. Memiliki karya yang dapat diandalkan (berkualitas) 3. Memiliki karya yang berpengaruh 4. Memiliki dedikasi (tunak) sebagai seniman/budayawan 5. Mengirimkan biodata riwayat hidup, khususnya sebagai Seniman/ Budayawan II. Buku pilihan Sagang 1. Penulis berdomisili di Riau 2. Berupa buku sastra maupun buku yang membahas tentang seni budaya melayu, diutamakan melayu riau 3. Mengirimkan biodata riwayat hidup, khususnya sebagai penulis. III. Karya Non-buku Pilihan Sagang 1. Karya seniman/budayawan yang berdomisili di Riau 2. Karya berhubungan dengan seni-budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau. 3. Bentuk karya bisa berupa karya musik (dalam bentuk pita kaset atau piringan VCD/laser), teater, koreografi, seni rupa, dll. 4. Mengirimkan biodata riwayat berkesenian.

halaman 60


IV. Institusi atau Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang 1. Berada di daerah Riau 2. Bergerak di bidang seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau 3. Karya pengabdiannya dinilai memperkaya kehidupan kesenian/ kebudayaan Melayu 4. Mengirimkan biodata riwayat aktivitas institusi/lembaga V. Seniman Serantau Pilihan Sagang 1. Berdomisili di luar daerah Riau 2. Sejak lama memiliki perhatian terhadap seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau 3. Memiliki karya yang berhubungan dengan seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau 4. Mengirimkan biodata riwayat hidup VI. Karya Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang 1. Berbentuk laporan jurnalistik (feature) tentang Melayu riau, diutamakan Melayu Riau 2. Sudah diterbitkan/disiarkan di media cetak maupun elektronik (surat kabar harian, mingguan, tabloid, majalah, televisi dan media internet) yang diterbitkan/disiarkan dimanapun 3. Wartawan aktif yang dibuktikan dengan kartu pers yang masih berlaku atau surat keterangan dari pemimpin redaksi tempat yang bersangkutan bekerja. 4. Mengirimkan karya berupa bukti terbit (kliping) atau rekaman tayang untuk media elektronik 5. Mengirimkan biodata riwayat hidup VII. Karya penelitian Pilihan Sagang 1. Peneliti berdomisili di Riau 2. Hasil penelitian berkaitan dengan seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau 3. Hasil penelitian sudah dipublikasikan 4. Mengirimkan biodata riwayat hidup, khususnya sebagai peneliti Para seniman/budayawan, buku, karya non-buku, institusi/lembaga, seniman/ budayawan serantau, karya jurnalistik budaya, dan karya penelitian budaya yang diusulkan atau yang mencalonkan diri, dapat segera mengirimkan usulan beserta data yang diperlukan ke panitia Anugerah Sagang 2014, paling lambat 31 Agustus 2014, dengan alamat: Gedung Riau Pos Group, Lantai 2, Jalan Soebrantas, Km 10.5, Pekanbaru. Untuk konfirmasi hubungi Rike/Nirwana Telp (0761) 64633, 64631.

halaman 61


Rehal

Uhibbuka Fillah Perjalanan Menggapai Cinta Sejati Judul buku

: Uhibbuka Fillah (Aku Mencintaimu Karena Allah)

Penulis

: Ririn Rahayu Astuti Ningrum

Tahun terbit

: Cet-1 2014

Penerbit

: Wahyu Qalbu

Jumlah halaman : 304 halaman

ikisahk ikisahkan bahwa Salman AlFarisi, seorang sahabat nabi, pernah mengajukan lamaran pada se seorang perempuan. Saat datang ke d k rumah h gadis itu Salman ditemani sahabatnya, Abu Dardak. Setelah menanyai anaknya, orang tua si gadis memberi jawaban. Rupanya gadis itu menolak lamaran Salman,

halaman 62

ISBN

: 979-795- 825-6

Resensi oleh

: Zurnila Emhar Ch

namun jika Abu Dardak yang melamarnya, gadis itu menerima. Dengan kebesaran hati, Salman Al-Farisi menyambut senang berita itu. Dia menyerahkan mahar dan nafkah yang telah disiapkannya pada Abu Dardak. Salman pun menyaksikan pernikahan mereka. (hal.78) Berkaca pada kisah tersebut, Dana


berangkat menuju Paciran untuk mencari seseorang yang namanya pun dia tidak tahu. Seseorang itu selalu disebut Aini dengan panggilan ‘Kakak’. Dia kakak kelas Aini waktu SMP dan berasal dari Yogyakarta. (hal. 16) Aini adalah gadis yang telah menawan hati Dana sejak pertama kali bertemu saat masa orientasi siswa SMA. Dana merasa beruntung karena Aini bersahabat dengan Rini, teman sekelasnya. Dari Rini, Dana bisa tahu lebih banyak tentang Aini. Bertiga mereka menjalin persahabatan. Untuk menarik perhatian Aini, Dana rajin mengikuti taklim, mengaji, mendengarkan nasyid dan puasa sunnah. Sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kelak usaha menarik perhatian ini justru menjadi kebiasaan dan mengubah Dana sepenuhnya. Setelah menamatkan pendidikan SMAnya, Dana melanjutkan ke ITS Surabaya, mengambil jurusan teknik informatika. Jauh sebelum wisuda Dana telah bekerja sebagai konsultan IT freelance. Sementara Aini dan Rini kuliyah di Universitas Brawijaya namun di jurusan yang berbeda. Selama itu komunikasi mereka tetap terjaga. Pada tahun ketujuh sejak mereka berkenalan, Dana datang ke Malang untuk melamar Aini. Namun di luar dugaannya, Aini ternyata menyimpan cinta masa lalunya. Saat SMP Aini pernah mengikat janji dengan kakak kelasnya yang dipanggilnya ‘Kakak’. Dia masih meyakini laki-laki itu kelak akan datang padanya memenuhi janji sekalipun Aini tidak tahu di mana sosok itu kini berada. “Ibarat selembar kertas putih, Kakak yang pertama kali mengguratkan lukisan indah dengan tinta emas. Lukisan itu tidak terhapus, meski kertas itu telah lusuh terhela laku masa...” (hal. 145)

Keputusan Aini tidak terpatahkan, sekalipun dia dan ‘Kakak’-nya telah lama putus komunikasi. Baginya sebuah janji harus ditepati. Logika Rini pun tidak sanggup menggoyahkannya. “Kakak tidak seperti itu. Suratnya tak datang lagi, aku tidak tahu mengapa. Namun itu tidak melindapkan setitik pun rasa percayaku kepadanya. Aku yakin dia sedang menyibukkan diri dengan kebaikan untuk bekal kami kelak bersama arungi samudera.” (hal. 146) Tidak seperti kebanyakan orang yang patah hati, Dana sama sekali tidak menjauhi Aini. Dia memang terluka. Tapi dia juga merasa tertantang untuk mencari siapa lakilaki yang disebut Aini ‘Kakak’. Laki-laki yang telah membuat wajah Aini nampak sendu beberapa tahun terakhir. Berbekal petunjuk sekolah Aini, mulailah Dana berpetualang. Dia ingin melihat Aini kembali tersenyum. Perjalanan Dana ke Paciran, mengunjungi pesantren dan SMP tempat Aini bersekolah hanya memberinya satu nama; Hasan. Dalam perjalanan Dana menelusuri jejak Hasan, novel ini menyuguhkan keindahan Pantai Utara, Tanjung Kodok yang telah berubah menjadi Wisata Bahari Lamongan dan suasana pesantren-pesantren di daerah tersebut yang menenangkan. Pengembaraan Dana juga membawa pembaca menyusuri Keraton Yogyakarta dan kehidupan masyarakat di sekelilingnya. Novel Uhibbuka Fillah ini menyajikan silang sengkarut cinta yang rumit. Sekalipun akhirnya Dana bertemu Hasan di Surabaya, ternyata tidak mudah menyambung lagi tali kasihnya dengan Aini. Sebelum Hasan indekos di tempat kos Dana, dia telah lebih dahulu melamar Atiqa, seorang anak nelayan

halaman 63


dari Gresik.

Selamat Idul Fitri 1435 H

Sebelum membawa Hasan kepada Aini, Dana sempat bertanya, “Kenapa kau ingkar janji? Jika kau berniat pergi, tak bisakah kau katakan padanya agar dia tak perlu lagi menanti?� (hal. 188) Rupanya kisah hidup yang dialami Hasan semasa SMA-nya cukup tragis. Kebangkrutan orang tuanya dan meninggalnya sang ayah membuat Hasan putus sekolah. Tanggung jawab sebagai anak pertama membuatnya lupa pada Aini. Ternyata pertemuan kembali Hasan dan Aini bukanlah akhir cerita novel ini. Hasan tidak bisa meninggalkan Atiqa begitu saja. Sekalipun gadis itu telah mengikhlaskannya kembali pada Aini. (hal. 245)

Taqabbalallahu minna wa Minkum wa ja'alana minal' aidin wal faizin

Pimpinan dan Karyawan

Cinta Hasan pada Atiqa adalah panggilan hati seorang dewasa dalam mencari pendamping hidup. Dan cintanya terhadap Aini adalah cinta kanak-kanak yang tidak jelas akan dibawa ke mana. Dan kisah kasih yang disampaikan Hasan padanya, membuat Aini depresi dan stroke. (hal. 243) Perjalanan cinta memang tidak pernah bisa ditebak. Para pencinta hanya berusaha menjalaninya sebaik mungkin agar cinta membawanya pada kebaikan. Kisah cinta empat orang yang diceritakan dengan alur maju mundur ini berakhir dengan kejutan. Namun lebih dari ending yang ditawarkan, novel ini telah menjabarkan perjalanan menuju keindahan dalam keikhlasan mencintai seseorang. ***

halaman 64

Mengucapkan Selamat Idul Fitri 1435 H Mohon Maaf Lahir dan Batin


halaman lxv


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.