Majalah Sagang Edisi 183

Page 1

No. 183 DESEMBER 2013 tahun XVI www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir) Cham

Esei

- Langkah Awal yang Semestinya Dalam Penyelamatan Khasanah Musik Melayu Riau oleh Hukmi S.Sn., M.Hum

- Junaidi dan Esai yang Tak Sudah oleh Zulfadhli Cerita-pendek Terjemahan

Di Sebuah Kota Asing oleh Tamim Ansary Cerita-pendek

- Kutukan Jeruji Besi oleh Pangki T Hidayat

- Kunang-kunang dan Hujan

Sajak

- Indra KS - Trisfianon - Putu Gede Pradipta Syair

Syair Perahu Hamzah Fansuri Sajak Terjemahan

Jaroslav Seifert

Rehal

- Ziarah Neruda pada Kesunyian La rosa separada - Pelangi Itu Indah Memaknai Cinta, Persahabatan Dan Masa Depan

oleh Husen Arifin halaman ha h ala ama an KU KULITi K UL LIITi Ti


"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK

Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 183 DESEMBER 2013 tahun XVI

Jaroslav Seifert Lahir 23 September 1901 dan meninggal 10 Januari 1986, Seorang penyair Ceko dan peraih penghargaan Nobel Kesusastraan 1984.

Esei - Langkah Awal yang Semestinya Dalam Penyelamatan Khasanah Musik Melayu Riau oleh Hukmi S.Sn., M.Hum ....................3 - Junaidi dan Esai yang Tak Sudah oleh Zulfadhli .........................................9 Cerita-pendek - Kutukan Jeruji Besi oleh Pangki T Hidayat ......................... 12 - Kunang-kunang dan Hujan oleh Husen Arifin ................................. 17 Cerita-pendek Terjemahan Di Sebuah Kota Asing oleh Tamim Ansary .............................. 21 Sajak - Indra KS .............................................. 28 - Trisfianon .............................................35 - Putu Gede Pradipta .............................. 41 Syair Syair PerahuHamzah Fansuri ...........46 Sajak Terjemahan Jaroslav Seifert ....................................54 Rehal - Ziarah Neruda pada Kesunyian La rosa separada / The Separate Rose Pablo Neruda ............................. 60 - Pelangi Itu Indah Memaknai Cinta, Persahabatan Dan Masa Depan ..........63 Ilustrasi Ilustrasi halaman 12,17 dan 22 karya Purwanto

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


tajuk

Menafsir Sejarah ADA pendapat dalam menafsirkan sejarah, yakni pandangan yang menyatakan bahwa L’histoire se repète jamais (Sejarah Tak Pernah Berulang Kembali). Menurut Hasan Junus (alm), pendapat ini “dapat mengarahkan orang ke arah nostalgia rindu dendam yang muaranya nanti sikap chauvinistic yang cenderung bermuara pada ultra nasionalistik”. Namun dalam pandangan yang lain diperlukan pengamatan terhadap sejarah yang disebut present meaning, yaitu memberikan makna kekinian pada passasse sejarah yang oleh kita yang hidup pada masa kini dan di sini membuat tafsir baru, kemudian yang terpenting meneladaninya. Yang terjadi perbedaan dalam mengamati sejarah adalah tafsir mengenai sejarah itu. Bagi orang Melayu Riau tentulah para wira Melayu Riau-lah yang dapat dikatakan sebagai pahlawan, dan di lain pihak juga terjadi tafsir yang terbalik bahwa wira Melayu Riau itu mereka sebut sebagai pembangkang atau lawan dari pahlawan. Pada kisah yang lain tentang kerajaan Siak Sri Indrapura misalnya, akan terdapat banyak perbedaan pandangan atau lebih tepatnya perbedaan tafsir, mulai dari awal berdirinya sampai kepada passasse “orang Arab” yang menjadi sultan atau mungkin dalam tafsir yang lain disebut “kudeta” atau mungkin saja “mengambil alih kekuasaan” dari keturunan Raja Kecik? Walupun pada tafsir lain yang “lembut” dapat sebagai terbukanya orang Melayu kepada para pendatang, walaupun sebagai Raja? Jika topiknya sebagai perebutan kekuasaan, tak pedulilah pendatang, adik-beradik atau saudara, maka betullah Shakespeare yang mengatakan bahwa semakin dekat tali darah, semakin banyak darah tertumpah. Catatan sejarah bukanlah hanya tulisan halaman 2

atau cerita masa lampau saja, akan tetapi peristiwa satu tahun yang lampau akan tetap menjadi catatan atau cerita yang akan dikenang atau menjadi present meaning sebagai suatu “sejarah”. Sejarah yang dipandang sebagai tafsir baru dan diamati sebagai “makna kekinian” akan menjadi Aufklärung sebagaimana abad ke-8 M di Eropa yang menjadi abad pencerahan, yang memberi kepercayaan kepada akalbudi manusia, sehingga abad itu menjadi abad penemuan besar di bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya. Sekarang penghujung 2013, abad ke-21, ketika tajuk ini ditulis. Sebagai pembaruan, paling kurang dari yang sebelumnya cukup banyaklah terjadi di sini (Riau). Namun, yang dimaksud pembaruan tidaklah sama dengan penemuan. Akan tetapi sebagai pembaruan, kearifan lokal (wisdom local) sudah dilakukan oleh para pendahulu orang Melayu Riau, terutama pada beberapa bidang seni. Sebut saja “zapin”, biarpun mendapat pengaruh dari Arab, tetapi kearifan lokal muncul di dalamnya, seperti ada gerak siku-keluang, anak ayam patah, meniti batang, dan gerak-gerak lainnya dalam tari zapin Melayu Riau itu tidak akan kita dapati di negeri asalnya, Arab. Sekarang, untuk menyambut tahun baru Masehi 2014 ini, hal yang tidak seharusnya terjadi adalah masa yang akan datang dikalahkan oleh masa yang lampau. Karena itu setiap orang (seniman, budayawan) mempunyai hak yang sama untuk membuat pembaruan bahkan penemuan. Jika tidak, maka betullah pandangan yang menyatakan “sejarah tak pernah berulang kembali”, maknanya zaman Aufklarung itu tidak akan terulang kembali. Apakah kita percaya? Jika tidak, mari kita buktikan.


esei

Langkah Awal yang Semestinya Dalam Penyelamatan Khasanah Musik Melayu Riau oleh Hukmi S.Sn., M.Hum.

I Kita sebagai bangsa Melayu yang bersebaran di Nusantara ini telah mencoba untuk mengintrospeksi diri dalam kancah peradaban dunia. Kesadaran akan ketertinggalan dari bangsa lain telah pula memotivasi diri bahwa kita harus dapat bersaing dengan mereka, sehingga kita tidak mudah digilas oleh roda zaman. Usahausaha ini misalnya pada skala regional dan lokal telah dicoba dijalankan, dengan berbagai program yang secara teoretis

cukup strategis. Tidak bosan-bosannya dari kita untuk melakukan rutinitas budaya, dan mencoba saling mendengar dan mencari jalan keluar tentang apa-apa yang hendak dikedepankan terhadap kebudayaan kita. Misalkan saja pada hari ini, kita dari berbagai delegasi negara yang berbangsa Melayu mencoba kembali membicarakan ke-Melayu-an tersebut melalui bincang musik. Musik merupakan salah satu cabang

halaman 3


seni yang biasa dijumpai di berbagai aktivitas budaya masyarakat, baik yang terkait dengan aktivitas ritual maupun terkait dengan aktivitas yang profan atau hiburan semata. Fungsi strategis musik bagi kehidupan manusia telah lama disadari, hal ini terbukti sudah misalnya, seni dimanfaatkan juga dalam upacara pengobatan, perburuan, dan juga terkait dengan penjelajahan dunia transedental. Dalam kehidupan modern sekalipun, musik masih menunjukkan akan signifikansinya bagi perkembangan suatu peradaban manusia. Musik juga dapat dianggap memiliki daya perekat bagi suatu integritas dan integral dari suatu komunitas atau bangsa. Bahkan kemajuan dari suatu budaya musik ikut menunjang marwah dan jati diri dari suatu bangsa tersebut. Hal inilah barangkali yang membuat sejarah dari perkembangan musik akhirnya mendapat perhatian yang cukup dalam, yang selalu dipikirkan, yang tidak terbatas hanya oleh senimannya tetapi juga para filosof, budayawan, dan ilmuan. Jadi artinya, musik tidak hanya dalam persoalan dunia spritual semata, namun juga terkait dengan persoalan mental dan perkembangan kepribadian dari manusia itu sendiri sebagai manusia berbudaya. Berkaitan dengan itu maka sekarang ini salah satu bagian dari identitas dari suatu bangsa, musik ikut berperan memberi corak, sehingga perkembangan dan kemunduran akan budaya musik selayaknya pula dapat menjadi tolok ukur dari keeksistensian peradaban bangsa itu sendiri. Lalu sejauh manakah perkembangan budaya musik kita yang dapat dibicarakan sebagai musik berdasarkan ke-Melayuan itu? Dan apa langkah awal yang

halaman 4

semestinya dilakukan? Di sinilah nanti saya kemukakan dari beberapa pengamatan saya mengenai perkembangan musik kita, dan coba diperbandingkan dengan apa yang telah berlaku bagi masyarakat Jawa dalam budaya musik mereka. II Tradisi orang Timur umumnya diwarisi secara oral, namun demikian dengan adanya serbuan dari budaya yang lebih kuat biasanya tradisi selalu menghadapi kepayahan yang luar biasa dalam mempertahankan diri. Hal ini misalnya terbukti bagaimana sukarnya orang Nias di masa kolonial menghadapi kehendakpaksaan misionaris agar mereka (orang Nias) meninggalkan budaya musik mereka yang dianggap bertentangan dengan konsep agama monoteis si tuan penjajah. Serbuan dan desakan asing juga dihadapi oleh beberapa budaya di berbagai tempat di masa kolonial, misalnya saja di kalimantan, di beberapa pulau kecil di Pantai Barat Sumatera dan lainlainnya. Serbuan itu cukup ampuh dan mampu memerosotkan musik tradisi di tempat tersebut. Tetapi bertolak belakang dengan itu, ada suatu keheranan seorang etnomusikolog yang bernama Mantle Hood mengenai kemanjuran dari oral traidisi bagi perkembangan kebudayaan musik masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah. Terbukti saja bahwa masyarakat Jawa dengan serangan dari beberapa budaya besar dunia mampu berkreasi dan selalu mengadakan penyempurnaan kebudayanya, dan bahkan dari unsurunsur yang khas dari ke-Jawa-an itu mampu bertahan dengan baik. Hingga saat ini misalnya kita terbuai oleh keeksotisan laras selendro dan pelog dari orkestrasi


gamelan mereka. Apa yang menarik dan dapat disimpulkan dari kemanjuran akan kebertahanan karakteristik suatu tradisi ini? Berdasarkan dari pengamatannya (Mantle Hood) dapatlah kiranya disimpulkan, bahwa kemanjuran sistem oral tradisi dalam pewarisan budaya ini tidak lain adalah didukung oleh sistem budaya yang begitu merekat dalam kehidupan mereka. Kemantapan ini tidak hanya terbatas pada peristiwa budaya yang meliputi berbagai ritual yang teramat kompleks, namun juga kemampuan orang Jawa dalam memformulasikan kebudayaannnya pada tataran filosofis. Sekalipun “dogmatis�, namun ini juga yang dapat meletakkan elemen dasar dari estetikasi musik Jawa itu sendiri. Perlu dipahami, bahwa orang Jawa sangat istimewa dalam hal penghayatan, yang mana akhirnya filosofi-estetis ini begitu meresap dalam pribadi orang Jawa. Tentulah ngejawani ini akhirnya juga mempengaruhi dalam sisitem penggenarasiannya kepada yang lebih muda dan relatif berjalan dengan baikwalau secara oral sekalipun. Selanjutnya sejarah memperlihatkan bagaimana peranan kerajaan Jawa begitu besar andilnya dalam perkembangan kebudayaan Jawa. Sistem kekuasaan keraton sentris yang menjadikan kebudayaan sebagai bentuk keeksistensian para raja dan kebesaran bangsawanbangsawan Jawa juga berperan besar dalam pelestarian musik Jawa. Sebagai contoh bahwa gamelan dan wayang kulit merupakan bentuk seni klasik Jawa yang puncak estetikanya merupakan hasil dari pemeliharaan istananya. Bisa disepakati juga bahwa ritual yang sangat kental dan kompleks dengan pola agrarisnya, resitasi

dan teater boneka, gamelan, adalah elemen-elemen seni yang dapat berintegral dalam suatu peristiwa budaya mereka yang secara bersamaan. Memang teramat naif rasanya, peranan istana ini juga mampu mengetengahkan “mitos-mitos� mengenai kedudukan setiap elemen dari musik mereka itu, namun hal ini tampak sangat strategis dalam pelestrian musik tersebut. Sekalipun demikian, hal yang dapat dianggap sebagai indikasi dari suatu bangsa yang berperadaban tinggi, tampak pula pada bagaimana orang Jawa telah mencoba menerap sistem penulisan dalam pendokumentasian budaya musik mereka yang bahkan meliputi bentuk penotasian dari gending-gending tersebut. Misalnya saja telah diwujudkan penulisan nada-nada musik yang dimulai dengan penotasian andha, rante, dan akhirnya kepatihan. Setelah kenasionalan terwujud dan kehidupan modern mewarnai kehidupan bangsa Indonesia, beberapa kota di Jawa merespons peradaban itu dengan tetap berupaya dalam pelestarian tradisi. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi seni didirikan, dan tentu pula kajian-kajian tentang kebudayaan juga berkembang cukup baik. Kajian-kajian ini tidak hanya terbatas pada aktivitas bermusiknya dan bentuk dari suatu komposisi saja, tetapi juga telah mencapai pada bentuk yang mendasar, yakni pencatatan tentang bahan atau materi dari instrumen musik mereka serta juga pencatatan skala modus atau interval dari laras-larasnya. Jadi sekalipun bentuk penggenerasian secara oral tradisi cukup manjur dalam pelestarian budaya musik masyarakat Jawa, namun peranan pendokumentasian tertulis mengenai skala modus atau interval, serta komposisi bahan alat telah pula menyempurnakan

halaman 5


pelestarian dan ketahanan budaya musik Jawa itu sendiri. Demikianlah kilasan tentang upaya masyarakat Jawa dalam pelestarian dan pengembangan musik mereka. Selanjutnya saya akan berbicara mengenai musik Melayu dalam konteks ke-Riau-an. Hal ini bukanlah hendak mempersempit wilayah ke-Melayu-an tersebut, namun lebih dikarenakan daya gerak dan penglihatan saya yang teramat terbatas, juga secara empirik saya belum melakukan penjelajahan budaya di negeri Melayu lainnya. Pada saat ini bersamaan program pengembangan kebudayaan Melayu Riau, ternyata telah memberi ruang yang luas bagi seniman untuk dapat berkreasi dalam bidang musik. Terkait dengan ketradisian Melayu yang masih berpijakan pada budaya yang lebih akrab dengan kebudayaan yang berkembang di istana, maka pemunculan musik yang dianggap menjadi “ikon� ke-Riau-an masih berkisar hanya pengekplorasian yang seolaholah kisarannya pada budaya pusat saja. Memang zapin telah menjadi andalan masyarakat Riau sebagai keciriannya secara nasional, akan tetapi harus dipahami bahwa potensi budaya di Riau itu bersebaran di berbagai tempat, dan musik-musik yang ada cukup beragam. Jikapun kebudayan yang berpijakan pada budaya istana atau pesisir itu dapat berbicara secara luas, akan tetapi juga pengerjaannya dalam kajian dan telaah instrumen secara akustika belum dapat dibanggakan. Kita tidak dapat tahu dengan sesungguhnya tentang persoalan akustika yang fundamental dari sebuah instrumen nafiri, misalnya. Bagaimana perkembangannya secara akustika, apakah ada perubahan? Dan apakah nafiri yang

halaman 6

sekarang ini banyak digunakan oleh seniman kontemporer saat ini dapat dijadikan acuan dasar sebagai kekhasan dari budaya musik masyarakat yang menggunakannya? Hal ini masih kabur rasanya, dan ini belum ditilik oleh peneliti, sekalipun oleh mereka yang berasal dari perguruan tinggi seni. Memanglah kita tidak dapat secara tiba-tiba berbuat seperti yang telah dilakukan oleh masyarakat Jawa terhadap musiknya. Bila diamati perjalanan sejarah, maka ketradisian kita—tentunya juga musik—mengalami keterputusan baik dalam penggenerasian mapun dalam pengkajian. Hal ini tentu juga sedikit banyaknya dikarenakan cara kita memamandang budaya musik itu sebagai bagian budaya tidaklah begitu prinsipil sekali seperti halnya etnis Jawa memandang musik mereka. Dikarenakan inilah maka tampak pula ketertinggalan kita dalam mentransformasikannya serta mendudukkan bentuk keestetikaan musik kita khususnya secara musikologis. Kesadaran akan ketertinggalan ini selayaknya kita mulai melakukan telaahtelaah yang diawali dengan penelitian mendasar, yakni yang difokuskan pada sistem tuning dari laras musik. Dari kerja ini nantinya diharapkan akan diketahui sistem modus musik atau tangga nadatangga nada yang terdapat di dalam budaya musik Melayu Riau. Mari kita mengamati sekilas tentang Riau. Melayu Riau memiliki beberapa sub-etnis yang banyak bersebaran di berbagai tempat atau wilayah kultur yang khas. Suku-suku atau sub-etnis itu bisa saja kita telusuri misalnya dari sungaisungai yang membelahi kawasan Riau menjadi beberapa tempat perkembangan


kebudayaanya, dan juga dari wilayah lainnya dari beberapa gugusan pulau yang ada di sekitarnya. Walaupun corak budaya itu menunjukkan persamaannya, tentulah secara spesifik lagi memiliki perbedaannya. Bila kita sepakat akan hal ini, tentu juga memberi pengertian secara bersama bahwa perbedaan itu juga berlaku dalam budaya musik dari setiap sub-etnis yang ada. Misalkan saja, kebudayaan yang ada di pesisir dan pulau-pulau akan berbeda pula dengan kebudayaan yang ada di pedalaman. Yang ada di muara akan tampak berbeda pula dengan apa yang ada di pangkal hulu sungai. Atau yang ada di kota (metropolis) akan berbeda pula dengan yang ada di pinggiran (periferi). Dugaan ini semakin termafhumi, misalnya: masyarakat Kampar di sekitar hulu (Bangkinang, Kampar dan sekitarnya) memiliki instrumen calempong; dalam bentuk yang tampak serupa misalnya masyarakat Rokan mamiliki celempong yang banyak digunakan dalam ensambel Gondang Bu(r)ogong; ada juga instrumen yang ada dalam musik Rarak di Kuantansingingi; dan berbagai musik lainnya yang terlibat dalam ritual pengobatan pada masyarakat suku yang ada di pedalaman. Corak-corak budaya di darat atau di pedalaman ini tentunya akan tampak berbeda pula dengan yang ada di pesisir yang relatif lebih banyak mendapat pengaruh asing. Misalnya saja orang pesisir sangat akrab dengan biola, nafiri, bahkan diatonis Eropa seperti akordion. Kekentalan kediatonisan ini akhirnya dapat membedakan karakteristik nada yang diproduksi instrumennya dengan apa yang ada di wilayah darat atau pedalaman. Sekali pun dari mereka itu menggunakan bentuk instrumen yang sama, dikarenakan ciri khas dari rasa musikal itu berbeda, akhirnya

dapat juga mengetengahkan warna nada yang berbeda pula. Misalnya, ketika alunan biola lagu yang khas dari pertunjukan randai akan nampak berbeda sekali dengan alunan biola yang ada pada lagu joget Melayu. Perbedaan itu bukan hanya dalam persoalan nyanyian atau jenis lagunya saja, tetapi juga karena warna produksi nada itu sendiri yang sangat khas dari masingmasing permainan instrumen. Apa yang membuat kekhasan dari nada-nada itu? Tentulah menurut saya itu dilatarbelakangi pengalaman musikal, yang dapat ditelusuri secara sederhana dari produksi nada instrumen yang khas dari budaya setempat. Artinya, marilah kita mencoba untuk menelusuri lebih jauh perbedaan nada dari setiap tut-tut akordion yang ada dengan nada dari benjolan-benjolan permukaan instrumen calempong, celempong yang ada di pedalaman. Bedakan juga misalnya nada yang diproduksi oleh nafiri dengan serunai atau bansi yang ada di darat. Seterusnya dan seterusnya mengenai perbedaan itu. Pekerjaan untuk mengidentifikasi setiap nada itu dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur frekuensi setiap nada dan mencari ukuran cent dalam jarak antar nada (interval) yang banyak digunakan peneliti musik khususnya para etnomusikolog. Setelah diketahui ferkuensi tiap nada dan centuasinya dalam jarak nada atau interval, maka lakukan penelitian lanjutan mengenai unsurunsur yang terkandung dari bahan alat atau instrumen tersebut. Artinya berapa kadar perunggunya (jika itu terbuat dari perunggu) berapa kadar besi atau kuningannya, dan lain-lain. Instrumen juga dapat diukur besar-kecilnya, ketebalan, serta volume yang ada. Jika langkah ini dilakukan, berarti juga seorang peneliti

halaman 7


telah mencoba untuk mencari dasar-dasar skala atau sistem tuning dari nada-nada musik yang ada. Pendokumentasian ini sangat berperan untuk mencari skala dalam suatu tangga nada musik, serta dapat menelusuri teknologi pembuatannya. Perwujudan suatu penelitian awal dalam musik, yang mencakupi di setiap kantongkantong budaya yang ada di Riau tersebut, nantinya akan memperlihatkan setiap kekayaan unsur musikal yang ada di setiap budaya musik yang ada. Dalam bayangaan kita, misalnya, bahwa ada tangga nada pentatonik khas Rokan, Kampar, Kuantan, dan juga di daerah pesisir. Akhirnya sebuah penyelamatan akan warisan budaya musik akan lebih mudah diwujudkan. Penyelamatan ini tentu berguna sekali bagi seniman tradisi maupun kontemporer dalam mengeksplorasi bunyi atau nada musik. III Saat ini dalam konteks ke-Riau-an telah mencoba mencanangkan suatu program yang luhur yakni Riau sebagai pusat dari kebudayaan Melayu se-Asia Tenggara, yang termaktub dalam visi Riau 2020. Progaram ini sekurang-kurangnya telah memperlihatkan itikat baik itu, terutama dapat dilihat dengan telah berdirinya perguruan tinggi seni di Pekanbaru, adanya beberapa LSM yang bergerak pada pengkajian dan pengembangan kebudayaan, serta juga selalu diadakannya hajatan-hajatan yang berkaitan dengan kebudayaan. Beberapa dari canangan itu memang dapat mengikutsertakan budaya musik sebagai bagian yang diarahkan pada kemajuan budaya, namun dalam realitanya saat ini musik kita masih harus diteliti untuk dikaji dan sosialisasi berbagai kantongkantong budaya masih harus dimunculkan

halaman 8

ke khalayak luas. Pengkajian yang diawali dalam wilayah akustika musik dirasakan sebagai keperluan yang sangat mendesak. Hal ini bukan saja persoalan serangan budaya musik asing yang begitu deras atau persoalan dilematisasi dari era globalisasi, namun juga melihat bahwa para seniman-seniman atau lokal jenius yang kita miliki sebagai aset budaya Melayu semakin lama semakin berkurang. Kekayaan lokal itu perlu didokumentasikan agar kita dapat mempelajarinya kembali dan dapat berkreasi dalam corak yang sangat khas yakni musik Melayu yang sesunguhnya. Ketercapaian ini tentulah membawa perkembangan musik Melayu itu secara nyata dan ikut pula memertabatkan tamadun alam Melayu Nusantara melalui musik Melayu Riau. ***

KEPUSTAKAAN Handout Mata Kuliah “Musik Nusantara�, yang disampaikan oleh Prof. I Made Bandem, pada Program Pascasarjana Ilmu Humaniora, Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada, 2002. Handout Mata Kuliah “Pengkajian Seni Pertunjukan�, yang disampaikan oleh Prof. Dr. RM Soedarsono, pada Program Pascasarjana Ilmu Humaniora, Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada, 2002. Palgunadi, Bram. Serat Kandha Karawitan Jawi. Bandung: Ganesa, Institut TeknologiBandung, 2002. Rai S, I Wayan. Metode Penelitian Laras (Tuning System) Musik Tradisi Nusantara: Sebuah Model, dalam Selonding: Jurnal Etnomusikologi Indonesia. Yogyakarta: Masyarakat Etnomusikologi Indonesia, vol. 1, no. 1, 2001.


esei

Junaidi dan Esai yang Tak Sudah oleh Zulfadhli

unaidi, menjadi sebuah nama yyang tak bisa dilepaskan dengan tradisi menulis tentang kemelayuan dengan semangat akademik, pada saat ini. Ia rajin menghasilkan karya berupa tulisan yang dibakukannya dengan mencetak buku. Sebagai figur muda, ia bersemangat. Memiliki banyak energi untuk menerjang kejumudan perilaku penikmat budaya awal yang banyak mengisi ruang-ruang tepian, sebaliknya Junaidi mengambil sikap tegas, ke tengah.

Dia penikmat, peminat kebudayaan tapi tak pasif meminta diterjemahkan, melainkan dirinya hadir membuat pemaknaan sendiri. Karena bahasanya identik sebagai kalimat seorang akademikus, mungkin-menyebabkan panggungnya tidaklah seluas budayawan-sastrawan yang bergerak di bidang berbeda. Dia tidak terlalu piawai membina hubungan personal dalam waktu singkat, barangkali karena itu ia menemukan kekuatannya pada menulis. Pena, seperti pendapat Farid Gaban, adalah

halaman 9


senjata untuk memerdekakan bangsa. Junaidi menulis beberapa buah buku, saya tak tahu berapa persis jumlahnya di luar daripada buku yang beredar di pasaran, atau sejumlah buku yang saya miliki sebagai hadiahnya namun pasti koleksi tersebut tetap terus bertambah. Mengacu bagaimana ia tetap tunak menerjemahkan kegelisahan-nya tentang dunia ke-Melayuan, dari satu medium ke medium lain lewat berbagai perfektif jabatan yang dimilikinya. Ia adalah sebuah esay yang tak sudah. Beberapa tahun lampau saya sempat bersinggungan dengan beliau, tulisan kecil ini meneropong kenangan saya terhadap sosok Junaidi yang pada penghargaan Sagang 2013 tergolong sebagai salahseorang nominator Seniman/Budayawan Pilihan, dia tak menang, memang. Namun perannya tetaplah gemerlap. Saya teringat, sekitar empat tahun lalu mewawancarainya untuk sebuah berita di tabloid Daulat Riau. Setelah itu, saya masih berkesempatan untuk wawancara lagi dengan topik yang tidak jauh dari Melayu. Saat itu bertepatan pula dengan sebuah kegiatan budaya, sejumlah seniman mendeklamasikan puisi. Puluhan mahasiswanya semangat duduk menyimak kegiatan di halaman kantor dekan Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. “Kalau boleh saya juga ingin kuliah di sini,” pintaku. “Silakan, tapi harus serius. Karena ada juga wartawan yang kuliah tapi jarang masuk,” lebih kurang begini jawaban Junaidi saat itu. Saya lantas bermimpi menjadi salahsatu bagian dari mahasiswa itu, yang berani mendentangkan puisi, berpantun-lagu melayu. Saya semangat dan memberikan balasan buku pada Dekat FIB Unilak ini sebuah novel saya yang kebetulan menjadi

halaman 10

nominasi lima besar anugerah Novel Ganti Award, Kehilangan Jembalang. Impian menjadi sarjana sastra itu kandas, tak kesampaian, tidak ada lagi kontak dengan pak Dekan, sampai Sagang 2013 menyentak saya bahwa Dr Junaidi yang waktu itu tampak bersahaja, ternyata dianggap sebagai figur penting dalam aspek sastrawan-budayawan Melayu masa kini dan mendatang, meskipun mungkin buku karyanya tidak lah mengalir deras lagi belakangan ini, apalagi dia sempattentu sibuk-sebagai salah-satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Riau. Peranan Junaidi menyemarakkan ingatan orang tentang Melayu, berangkat dari kesadaran tentang pentingnya meninggikan khazanah Melayu ke dalam nilai-nilai akademis. Sehingga apa yang dimaknai sebagai kebudayaan tidaklah sesuatu yang berada di ruangan idea, atau terletak di anjangsana semu. Melainkan bisa diterjemahkan, diinterpretasi, dan dirumuskan. Dilembagakannya secara resmi, benderang dalam guratan-guratan kalam. Dalam gerak nyata, Junaidi tidak segan membawa atribut Melayu itu dalam berbagai kegiatan. Ia juga mengalang anak-anak muda, mahasiswa untuk ‘”Mari, Bangga Melayu’” terlepas apakah hal itu efektif atau tidak ia barangkali tak memikirkannya. Di tangannya juga, digulirkan beasiswa dalam bentuk kuliah gratis di jurusan Sastra Melayu di Fakultas Ilmu Budaya, hingga tamat. “Pemerintah Provinsi Riau menyadari bidang bidang kebudayaan Sastra Melayu harus dilestarikan. Adapun caranya dengan memberikan dukungan dengan wujud pembebasan biaya kuliah hingga tamat,”


kata Junaidi. Ia juga sosok yang merancang dan merumuskan muatan Lokal Budaya Melayu di Propinsi Riau, selain itu tetap aktif dalam diskusi dan seminar tentang kebudayaan Melayu, tak hanya di Riau, tapi juga luar propinsi dan luar negeri (Malaysia).

Saya membayangkan sekali lagi, sosok ini memberikan banyak manfaat yang lebih luas pada dunia Kemelayuan di Riau secara khusus di masa mendatang. Pencanangan program beasiswa jurusan Sastra Melayu itu sebuah langkah besar dalam peradaban otentik kita pada saat ini, terlebih bila hal serupa dapat menjangkau hingga ke segenap kabupaten/kota yang ada. ***

Zulfadhli (Penerima Sagang, karya Jurnalistik 2012/ wartawan Riau Pos - Rohil)

halaman 11


cerita-pendek

Kutukan Jeruji Besi oleh Pangki T Hidayat halaman 12


ak sepatah katapun keluar dari mulut Parjo, mungkin lidahnya kelu melihat dua polisi sedang memborgol tangannya. Parjo dituduh oleh perempuan bernama Parti, telah menghamilinya dan tidak mau bertanggung jawab. Perempuan bernama Parti itu memang benar-benar hamil, perutnya terlihat lebih besar dari perut perempuan normal lainnya. Baju yang dikenakannya juga baju yang biasa dikenakan oleh ibu-ibu yang sedang hamil. Sebelum kejadian penangkapan itu, beberapa hari yang lalu Parti pernah bertandang ke rumah Parjo. Dia menangis sejadi-jadinya, menceritakan segala yang dialaminya ketika Parjo menginap di rumahnya. Namun, Parjo sama sekali tidak percaya pada Parti. Parjo malah menuduh Parti hanya ingin memerasnya saja. Semua orang di Wonojoyo ini juga tahu siapa Parti sebenarnya, dia dulu adalah seorang pelacur, bekas anak buah Nirmolo, seorang germo yang pernah sukses membangun tempat pelacurannya di Wonojoyo. Bagi Parjo, sekalipun benar dirinya yang membuat Parti hamil, tapi tak mungkin dia bisa menerima Parti sebagai istrinya. Masyarakat tak akan sudi mempunyai Bupati yang memiliki istri seorang bekas pelacur, apa lagi Parjo sekarang juga sudah memiliki istri. Kala itu Parti hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Tak ubahnya seorang pengemis, Parti terus memohon pada Bupati Parjo agar mau mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Namun, Parti tidak bisa berbuat banyak. Apa yang bisa dilakukan seorang mantan pelacur, selain hanya bisa meminta belas kasih atas ulah bupati yang terhormat itu. Parjo memang benar-benar tidak sudi memiliki istri bekas pelacur. Mimik mukanya terlihat sangat mengerikan ketika memandang Parti. Kulit mukanya memerah, dahinya berlipat-lipat, dan keringat mengucur dari dahinya. Terlihat amarah yang begitu dahsyat diraut muka Parjo, seakan ingin memakan Parti mentah-mentah. *** Empat tahun berjalan, kepemimpinan Bupati Parjo layak untuk diacungi jempol. Gagasannya untuk membawa Wonojoyo jauh dari kemaksiatan sedikit demi sedikit mulai terealisasi. Satu per satu pabrik mulai berdiri di wilayah Wonojoyo, tak ketinggalan pula home industri yang mulai menjamur sejak Bupati Parjo memberikan suntikan dana ke masyarakat melalui Koperasi Usaha Rakyat yang didirikannya. Meski begitu, masih ada segelintir orang yang tinggal dipinggiran Wonojoyo, tak sudi untuk mendukung program yang digalang Bupati Parjo. Mereka adalah para perempuan paruh baya yang enggan untuk meninggalkan dunia pelacuran. Bagi mereka,

halaman 13


Parjo adalah ancaman, dan patut untuk dibinasakan. Menjelang akhir kepemimpinannya, tentu saja serangan-serangan terhadap bupati Parjo semakin gencar. Tahun depan, rakyat Wonojoyo akan kembali melakukan pemilihan umum untuk memilih kepala daerah mereka. Meski Parjo sudah menjadi bupati, namun tahun depan dia berencana untuk kembali maju dalam pemilukada. Selama pelacuran masih ada, meski hanya setitik noda, dia akan terus berperang. Bagi Parjo, menjadi bupati merupakan cara yang efektif untuk meluluh lantahkan sisa-sisa kemaksiatan yang ada di Wonojoyo, terutama terkait prostitusinya. Namun, beberapa orang secara terang-terangan menentang dan enggan memiliki bupati seperti Parjo lagi. Salah satunya, Nirmolo, perempuan paruh baya yang tinggal dipinggiran Wonojoyo. Nirmolo bukan tanpa alasan membenci Parjo, sumber pundi-pundi kekayaannya lenyap tak bersisa oleh gusuran satpol PP. Dulu, Nirmolo memiliki sebuah hotel lengkap dengan para wanita penghibur di dalamnya. Semenjak Parjo menjadi bupati, sedikit demi sedikit sumber penghasilan Nirmolo hilang tak berbekas. Sampai pada akhirnya, Nirmolo hanya mampu membuka sebuah warung kopi kecil di pinggiran Wonojoyo. Nirmolo tahu, tahun depan Parjo akan kembali maju dalam pemilukada bupati Wonojoyo. Jika kembali terpilih, maka dapat dipastikan kehidupan Nirmolo tidak akan lebih baik dari tahuntahun sebelumnya. Warung kopi yang didirikannya di pinggiran kota, lambat laun juga pasti akan kena gusur karena tidak memiliki ijin mendirikan bangunan. Tak mudah bagi Nirmolo untuk menerima nasibnya yang sekarang. Dendamnya pada bupati Parjo, laksana bom waktu yang siap meletus kapan saja. Sampai suatu ketika Nirmolo kembali bertemu dengan mantan anak buahnya dulu ketika dia masih jaya, yakni Parti. Tak jauh beda dengan Nirmolo, Parti juga menaruh dendam yang sama pada Parjo. Kehidupa yang serba bergelimangan harta pada masa lalu, kini tinggal kenangan bagi Parti. “Parti, Parti ya kamu?, anak buahku dulu?�, tanya Nirmolo. Parti bukannya tak mengenali bekas bosnya dulu itu, hanya saja dia malu untuk menatap wajah Nirmolo. Parti enggan mengangkat wajahnya, karena sedang membawa karung besar beserta tongkat untuk mengais barang-barang bekas yang masih layak dijual kembali. Untuk menyambung hidupnya sekarang, Parti bekerja sebagai pemulung yang setiap harinya berkeliling dari sudut kota ke sudut kota yang lainnya untuk mengumpulkan besibesi bekas, maupun kardus-kardus bekas. “Mami, iya ini aku, Parti�, jawab Parti lirih. Parti memang selalu memanggil Nirmolo dengan sebutan mami, karena panggilan itulah yang diucapkan gadis-

halaman 14


gadis penghibur lain dihotel milik Nirmolo dulu. “Apa kabarnya dirimu Parti, apakah sekarang kamu menjadi pemulung?�. Seperti sahabat lama yang tidak pernah berjumpa, kemudian mereka duduk di bawah pohon algur yang rindang, mereka berbincangbincang tentang kehidupan mereka setelah sumber penghasilan mereka dihancurkan bupati Parjo. Sampai kemudian, Nirmolo mencetuskan ide untuk membalas dendam kepada Parjo. Tentu saja Parti juga sangat ingin membalas dendam pada bupati yang dianggap laknat oleh mereka berdua itu, namun Parti tidak tahu bagaimana caranya?. Bagaimana bisa seorang pemulung dan pemilik warung kopi pinggiran kota bisa menghancurkan Parjo, seorang bupati yang dipuja oleh rakyatnya?. Kemudian, Nirmolo menceritakan pada Parti kalau dia masih menyimpan sedikit harta sisa-sisa kejayaan dulu. Uang itu rencananya untuk menyulap Parti menjadi wanita yang cantik seperti dulu. Nirmolo bukannya bodoh, dia tahu, sekuat dan sehebat apapun laki-laki, dihadapan wanita yang cantik nyatanya akan bertekuk lutut juga. Jika Parti setuju, maka Nirmolo akan meminta dukungan tambahan dari Kerto, orang yang akan menjadi lawan politik Parjo di pemilukada mendatang. Tak ada alasan bagi Parti untuk menolak ajakan Nirmolo, baginya jika bupati Parjo lengser, maka taraf hidupnya akan naik. Tak perlu susah-susah menjadi pemulung lagi, dia bisa saja menjadi mucikari bersama Nirmolo nantinya. *** Wanita memang makhluk yang paling sempurna, dia begitu pandai menggunakan akal dan tubuhnya untuk menakhlukan lakilaki. Bahkan, Bupati Wonojoyo yang dikenal seorang yang taat agama, pada akhirnya juga terjerumus masuk perangkap Parti. Entah dengan siapa Parti benar-benar hamil, semua orang tahu Parti bukan perempuan baik-baik, tetapi beberapa bulan yang lalu Parjo memang pernah tidur ditempat Parti. Parti bekerja sama dengan supir pribadi Parjo, menaruh bius pada botol minuman yang biasa diminum Parjo. Setelah Parjo tertidur, supir itu membawa Parjo kerumah Parti. Dia menelanjangi Parjo sedemikian rupa, dan menidurkannya disamping Parti yang juga tidak mengenakan sehelai pakaianpun. Setelah kejadian itu, Parjo selalu dirundung duka setiap harinya, memikirkan benar tidaknya dia telah melakukan dosa besar itu. Jawabanpun akhirnya muncul, setelah beberapa bulan berselang Parti muncul dengan keadaan perutnya yang membesar. Sekali dua kali Parti bertandang ke rumah dinas Parjo untuk meminta pertanggung jawaban. Namun, Parjo tidak sudi untuk bertanggung jawab atas hal yang belum tentu kebenarannya

halaman 15


itu. Sampai akhirnya, Parti melaporkan Parjo ke polisi atas tuduhan pemerkosaan. Dalam hati, Nirmolo dan Parti tentu bersuka cita melihat bupati Wonojoyo itu diborgol tangannya dan digelandang oleh polisi. Namun, sesaat sebelum Parjo dimasukkan kedalam mobil polisi, dia berucap lirih pada Parti. “Aku tidak akan lama dipenjara, aku akan bebas dan mengutukmu selamanya mendekam di balik jeruji besi!�. Parjo pun berlalu diiringi sirine mobil polisi yang meraung-raung.

Pangki T Hidayat Lahir di Kulon Progo, 25 tahun yang lalu. Alumni jurusan S.1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta. Pernah bekerja sebagai, bag. ESDM PT Basuki Graha Fabrikatama, Cikarang, Account OďŹƒcer Bank Himpunan Saudara Yogyakarta. Penulis selalu menyempatkan waktu untuk menulis artikel/ opini maupun cerpen dengan berbekal pada background pendidikan yang dimiliki dan pengalaman kerja utama maupun kerja sosial yang pernah dijalani. Beberapa cerpen pernah dipublikasikan di Jawa Pos, Lampung Post, Riau Pos, dan sebagainya.

halaman 16


cerita-pendek

Kunang-kunang dan Hujan oleh Husen Arifin

erempuan muda yang setiap harinya update status facebook itu mulai payah. Selalu merasa kalah oleh dirinya sendiri dalam kesunyian. Wajahnya mulai kuyup oleh airmata. Tampak seuntai doa mengalir dari bibirnya yang tak selesai. Ada ketidaknyamanan yang pantas ia pendam. Serasa kelelahan yang akut. Dimana ia tak mampu lagi mengerami seorang diri. Ia butuh seorang lelaki minimal seusia dengannya untuk menjadi pendamping.

halaman 17


Keseharian paling monoton, katanya. Bagaimana cara melepaskan diri dari mimpi buruk semalam? Sementara hatinya terguncang karena tidak mendapati dirinya sukses seperti perempuan sosialita di kota. Terpuruk dan terpuruk, rasanya ia ingin ambruk tertimbun setumpuk batu besar dan tubuhnya remuk. Biarlah, karena hatinya mulai galau. Kemudia ia menggumam, tak ada lelaki yang bertanggung jawab di dunia ini. Semua lelaki buruk membuatku suntuk. Setiap aku lihat status terbaru di dinding facebook hanya membuatku muak. Lelaki dimana-mana telah menjelma raksasa besar dan tak ubahnya musuh abadi. Betapa nestapanya perempuan muda bernama Anggun. Hariharinya diisi dengan rokok duabelas batang dan kopi di kamar sambil menyelesaikan sikripsi. Sesekali ia keluar menuju warung terdekat untuk membeli sebungkus nasi. Usia duapuluh tiga tahun sekarang sama halnya membakar diri dalam asap rokok yang mematikan. Ia telah berjanji akan terus menghisap rokok apabila tak ada lelaki yang benar-benar mencintainya. *** Hidupku bagaikan sinetron yang diperankan oleh gadis buruk rupa, ujarnya. Sedangkan tubuhnya mulai lunglai. Anggun mengingat peristiwa tahun kemarin di kota Malang. Ketika Anggun harus mencintai lelaki senja berprofesi dosen di perguruan tinggi, dimana Anggun wajib menjadi pelayanan intelektual. Setiap hari tak ada jeda untuk berdiskusi, berdiskusi dan berdiskusi. Persoalan politik, politik, politik. Tak ada yang berubah dari awal mula perkenalan sampai ke jenjang pelaminan. Urusan ranjang hanya tiga bulan sekali itu pun kalau mau. Padahal Anggun sudah berkelana cari busana yang bergairah agar lelakinya mau menggauli di malam purnama. Ternyata sia-sia saja rencananya hambar dan hatinya hampir beku. Keinginan memanjakan lelaki tak ada lagi. Di dadanya nyaris seperti batu. Apalah arti dari pernikahan bila suami tak beri nafkah bathin? Gumam Anggun. “Aku ingin kamu bersikap tegas,� pintanya di malam ke sembilan puluh hari pernikahan. “Tegas untuk apa? Maaf aku sedang sibuk mengirimkan surat kepada mahasiswaku. Nanti saja ya!� jawab suaminya yang masih fokus di lembaran di tempat meja. Terlalu sakit kamu buat aku begini, keluhnya.

halaman 18


Dengan ketidakjelasan hubungan ini, Anggun menolak untuk memperjuangkan hubungan pernikahan. Anggun menggugat cerai suaminya. Karena Anggun tak pernah mendapatkan apa-pa dari hubungan yang dibina. Padahal Anggun sudah rela jauh dari orang tua. Bila kemudian suami hanya bercinta dengan buku-buku kesayangannya. Anggun mulai membangun hidupnya di apartemen. Anggun tak mau lagi mengenal lelaki seperti update status yang basi. Lelaki itu tak memberikan harapan apa-apa, selain kesedihan yang terus menerus dan membuat Anggun terdiam termangu di sudut kamar. *** Pada malam yang purnama, Anggun menghabiskan sisa rokoknya, sikripsinya hampir final. Ketika Anggun melihat beranda facebook. Ada seorang lelaki yang mengajaknya berkenalan lewat inbox. Basa basi banget, keluhnya. Anggun pilih tak mengonfirmasi pertemanan. Aku sudah terlalu sakit karena lelaki, imbuhnya di hati. Jam sepuluh malam ini Anggun berencana ke kafe. Harapannya dapat berjumpa lelaki parlente dan membuahi malam panjang di ranjang. Memang nafsu lelaki kadang seperti hantu, suka muncul di tengah malam, kata Anggun. “Kamu mau kemana?” tiba-tiba lelaki itu mau menegurnya. “Iya. Aku mau ke kafe, sebentar,” “Malam ini aku butuh kamu.” Hanya karena butuh saja lelaki itu mengajak Anggun. Kesibukan sebagai dosen yang mengurusi mahasiswa. Malam ini lelaki itu ingin menunda kepergian Anggun. Dasar kuda tua, aku selalu sukar menebak kemauanmu itu, keluh Anggun. “Tak perlu kamu ke kafe. Seperti kunang-kunang saja,” Celetuk lelaki tambun itu. “Kunang-kunang itu perempuan yang lupa pada tubuhnya. Ia hanya berikan kepuasan demi nafsu.” Telinga Anggun makin perih. Padahal Anggun ke kafe untuk melepas lelah. Dimana sikripsi yang dikejar deadline pengajuan ujian pendadaran, malah lelaki itu membuat suasananya jadi tak bergairah. “Tapi aku ingin ke kafe.” “Lebih baik ada di rumah, menemaniku.” “Kamu lebih sibuk dengan mahasiswamu.” “Tidak sayang. Kamu jangan berkecil hati. Sebab aku tak ingin kamu tahu bahwa menjadi dosen adalah karir yang pengecut. Lihatlah aku. Harta yang banyak tak memberimu kebahagiaan.” Dug! Dada Anggun berdetak kencang.

halaman 19


Seperti salju yang menggenangi malam hari. Ada apa lelaki itu tersadar dari tidur panjangnya? Anggun pun tak tahu. Bukankah dulu dia sering membiarkan aku pulang malam dan darimana pun aku pergi tak pernah hirau akan kedatanganku? Seolah-olah kini lelaki itu menjadi malaikat dan ingin bertaubat. Sungguh Anggun merasakan ada hal berbeda dan suasananya makin kentara. Lelaki itu bersolek seperti perkenalan pertama setelah chatting di facebook. “Kamu merubah sikapmu begitu cepat,” sela Anggun di ruang tamu. “Karena waktu pun demikian.” Jawabnya. “Semudah itukah?” “Tidak. Sebab aku kini mulai menyadari bahwa cinta bukanlah hal yang dilandasi oleh keputusasaan.” “Karena cintamu pada profesimu? Bukan cintamu kepadaku, kan?” “Lihatlah aku,” pada saat itu, Anggun lebih dekat dengan lelaki tambun. Tubuh Anggun didekapnya erat. “Aku ingin meyakinkanmu. Maka tak ada alasan lagi aku tak setia padamu.” Tambahnya di hadapan Anggun. Sedangkan hati Anggun belum sepenuhnya terjaga menjadi perempuan yang bercinta di balik perubahan lelakinya secepat itu. “Mungkin aku lebih baik menjadi kunang-kunang,” seru Anggun seketika. “aku tak biasa menerima perubahanmu secara tiba-tiba.” Sementara lelaki tambun itu terdiam, melepaskan dekapan, lalu duduk di dekat Anggun dengan ratapan ke bawah. “Aku dipecat sebagai dosen.” Keluhnya. Padahal Anggun ingin beranjak ke kafe. Anggun berdiri di depan pintu. “Lalu, bersediakah kamu menjadi perempuan yang kucintai seperti dulu?” tanya lelaki itu. Anggun mengambil rokok di saku celana, dan meniupnya sepanjang malam. Tubuhnya telah ia berikan kepada kesunyian. Dan Anggun telah berselimut bersama lelaki tambun. Tubuhnya kerlap-kerlip seperti kunang-kunang. Di luar hujan turun tiba-tiba. *** Husen Arifin Lahir di Probolinggo 28 Januari 1989. Karya-karyanya dimuat media lokal dan nasional juga dalam kumpulan puisi dan cerpen bersama: 100 Puisi Terbaik Indonesia-Tionghoa (INTI) DKI (2007), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Trowulan (2010), Menolak Lupa (2010), Lelaki yang Dibeli (2011), dan Narasi Tembuni (2012), dan sebagainya. Pernah meraih penghargaan dalam Lomba Cerpen Tingkat Nasional IPB (2011), Lomba Cerpen Islami Se-Jawa Timur di ITS (2011).

halaman 20


cerita-pendek terjemahan

Di Sebuah Kota Asing oleh Tamim Ansary

ku tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi di penjara, hanya bentuk dan perasaanku tentang tempat itu saja yang dapat kuingat. Langit-langit yang rendah, dengan bau lembab, mata-mata sendu para penghuni penjara yang perlahan-lahan menjadi buta karena terbiasa hidup di kegelapan. Aku juga ingat keributan di lorong-lorong: lima ratus percakapan terjadi dalam sekali waktu, denting sendok-sendok logam yang berbenturan dengan piring logam, racauan dan dentingan yang menyatu namun tak pernah berujung. Dalam bilik sel, setiap siang dan malam, kau bisa mendengar suara dinding yang dikikis dengan sendok logam. Sebenarnya tembok kokoh itu tak bisa dilubangi dengan sendok aluminium, namun kami tetap saja berusaha mengikisnya. Cara itu sudah seperti ritual keagamaan bagi kami, cara untuk meyakini ada kehidupan setelah keluar dari penjara. Para sipir tidak pernah menyita peralatan logam kami kecuali jika dapur kekurangan peralatan. Mereka hanya mondar-mandir di sepanjang lorong, menyeret-nyeret langkah mereka seperti bayi kurus. Aku pasti telah ratusan kali membuat rencana melarikan diri dengan lusinan teman yang berbeda, dan aku tak ingat satu pun dari mereka. Suatu malam, aku sedang bersama dua pria yang tak kukenal ketika tiba-tiba satu dari sejuta tembakan itu terdengar, dan kami bertiga terlonjak kaget. Hal selanjutnya yang kami ketahui, kami berjalan terhuyung-huyung melintasi lapangan yang beku dibawah sinar purnama, sementara anjing-anjing polisi memimpin pengejaran di bagian jalan yang lain, mengikuti aroma yang salah sampai mereka melolong nyaring di kejauhan. halaman 21


Untuk beberapa saat, kami berjalan terpincang-pincang bersisian, tak mendengar apapun selain dentingan rantai di kaki kami dan derak salju beku yang terinjak kaki kami. Aku ingat kemudian berhenti di sebuah rumah kosong dan menemukan peralatan toko di lantai bawah tanahnya, dan kami menangis tersedu-sedan setelah berhasil memecahkan rantai yang selama ini membelenggu kami. Kami mencuri beberapa pakaian, mengambil uang tunai yang tersimpan, dan melanjutkan perjalanan, berjalan hingga kami tersesat dan terus berjalan. Hari berganti menjadi malam dan setiap kota tampak serupa. Dari arah hutan, aku bisa mendengar gema derap kaki tiada henti saat sedang melarikan diri, dan mendengar detak jantung sendiri. Malam ketika kami tiba di kota ini, Joe bahkan tidak ingin berhenti untuk minum bir, tapi kami semua menginginkannya, sehingga dia tidak punya pilihan lain. Di dalam bar, musik melantun dari kotak musik besar dari perak. Sekelompok koboi duduk di sebuah meja besar, minum dan tertawa. Kami tidak memilih duduk di pojok karena akan terlihat mencurigakan. Karenanya, kami tidak membuka kancing jaket dan

halaman 22


duduk di sebelah meja para koboi, untuk menunjukkan bahwa kami tidak sedang menyembunyikan sesuatu. Ruangan itu beraroma bir yang menyengat dan pengap oleh asap rokok. Kotak musik itu mendentingkan, “Your cheating heart…” Seorang wanita gemuk yang mengenakan pantalon nilon berwarna kuning mendatangi kami. Sebuah lampu gantung kuning merefleksikan bayangan setiap gumpalan pada wajahnya. “Pesan apa, anak-anak?” “Beri mereka salah satu yang ada disini, Tillie,” teriak salah seorang koboi yang sudah mabuk, dan teman-temannya menyahut, “Yah!” Wanita itu meletakkan gelas dengan kasar di meja kami, dan salah satu koboi meletakkan tangannya di pundak Joe yang kecil. “Tak seorang pun meninggalkan tempat ini tanpa mabuk, mengerti, teman?” Dia nyengir lebar. “Harap…” Joe baru akan berbicara tapi Harry memelototinya. Kami tidak boleh menolak persahabatan dari orang lain disini, itu akan mencurigakan. Aku menahan Joe di tempat duduknya. “Minumlah, Joe, teman kita ini yang mentraktir!” Joe tertawa dan menuang seluruh isi gelasnya ke tenggorokannya sementara para koboi berteriak-teriak, “Hajar! Hajar!” sambil memukul-mukul meja. Saat kami akan pergi, mereka berteriak,”Hei, pelayan. Kita biarkan saja anak-anak ini pergi? Gembok kunci itu!” Mabuk membuat mereka sejinak anak anjing. Hal terakhir yang kuingat pada malam itu adalah kami berdansa diatas meja dengan gelas di tangan masing-masing sambil bernyanyi,”Sonuva gun, gonna’ have some fun, in the bayou.” Sementara di dalam kepalaku, aku bisa mendengar suara anjing polisi datang. Keesokan paginya mereka memberi kami sarapan bubur jagung dan melimpahi kami dengan keramahtamahan. Sial, mereka benarbenar menyukai kami! Tanpa kami ketahui, ternyata kami sudah dipesankan kamar hotel. Ketika beberapa penduduk kota ingin mengundang kami makan malam, Harry ingin menolaknya tapi Joe memberinya pengertian. “Memangnya kenapa?” “Mereka tahu siapa kita,” gerutu Harry. “Mereka sedang mempermainkan kita.” “Penahanan ini memang sangat buruk,” sahut Joe. “Jika mereka tahu siapa kita,” sahutku, “lebih baik kita tidak membiarkan mereka tahu bahwa kita tahu akan hal itu.” Karenanya kini kami tak ingin ambil pusing tentang masalah ini. Kami pergi ke alun-alun tempat berdansa setiap Jumat malam. Harry bahkan kini mulai diminta berdansa di depan.

halaman 23


Kami sendiri tak sadar bahwa kami memiliki bakat ini. Keluarga Brown mengundang Harry untuk makan malam Thanksgiving. Lalu kami semua mendapat undangan dari keluarga Smith untuk menghadiri makan malam setiap minggunya, dan apa lagi yang bisa kami katakan? Joe bahkan terpeleset satu kali ke sebuah sekolah menengah, dan tanpa sepengetahuan kami, mereka menyuruhnya mengajar di Sekolah Minggu. “Brengsek! Ini sudah keterlaluan!” umpat Joe. “Kita harus segera pindah.” “Tak bisa,” jawab Harry. “Akan terlihat mencurigakan.” Dialah orang pertama diantara kami yang mempunyai rumah. Laura membantu kami pindah. Dia adalah putri Tillie, dengan rambut pirang yang dikepang, rok dari kain genggam, dan tungkai kaki yang seolah dapat menjangkau ruang bawah tanah kalau saja tidak ada lantai. Kadang-kadang dia membawakan kami kue pai jika kami sedang di halaman. Setiap panen tiba, keluarganya mengundang kami untuk makan malam Thanksgiving. Aku duduk dengan tenang menanti makanan seperti anak kecil yang menunggu diberi biskuit. Dua puluh lima percakapan terjadi bersamaan di sekitar meja makan. Mereka berbaur dalam kebisingan tak menentu yang bercampur dengan denting sendok dan piring porselin. Aku bisa mendengar dengan jelas gema keras di dadaku, suara itu masih ada. Saat kubuka mataku, aku melihat Tillie sedang memandangiku dan hatiku ingin meledak. Dia memalingkan wajahnya. Dan saat itulah aku sadar bahwa dia tahu. Dia berujar, “Makan, Willie, kau belum makan sedikit pun!” dan semua tertawa, namun dia sedang berpura-pura. Dibalik tawa besar itu dia dingin dan tenang, dengan pandangan tajam. “Permisi,” ujarku. “Kurasa aku kekenyangan.” Aku meninggalkan kursiku, meluncur pulang. Kedua temanku yang lain menyusulku beberapa menit kemudian. “Tillie tahu,” ujarku. Aku ingin seseorang mengatakan padaku bahwa aku hanya mengimajinasikan sesuatu, tapi Harry justru mendukungku, “Aku juga merasakannya.” Aku merasakan sakit yang lain. “Apa yang harus kita lakukan?” “Cabut!” jawab Harry. “Kabur!” imbuh Joe. “Inilah saatnya, Bung.” “Tapi kau punya rumah, Harry! Aku punya Laura. Bagaimana kita bisa pergi?” “Jika ini antara penjara dan sesuatu yang lain,” kata Harry. “Aku memilih kejahatan yang lebih kecil.” Sebelum aku bisa membantah, seseorang mengetuk pintu.

halaman 24


Wajah Tillie Brown muncul di pintu terpantul dari cahaya obor. “Nah, disini kalian rupanya,” dia terkekeh, tapi sesaat setelah tawanya itu, aku mendengar desing masam kebohongan. “Kalian tak berpikir untuk melarikan diri, bukan?” Joe menjadi pucat. “Aku ada satu dua hal yang ingin kukatakan pada kalian, anakanak. Jika kalian tahu apa yang kumaksud.” Tillie mengedipkan mata. “Aku sudah lama memperhatikan kalian. Aku mengawasi kalian.” Karena kami tetap tak bersuara, dia melanjutkan. “Kau begitu manis pada putriku, benar kan, Willie? Kau pikir dia siap untuk pria sepertimu? Siapkah?” Dia meraih telepon. Aku tak bisa berkata atas kengerian ini. Kami telah menunggu lama. Dia sedang menghubungi melalui telepon. Saat itulah Joe memukulnya dengan tongkat yang terletak di dekat perapian. Dia memukulkan kait tumpul itu tepat di tengkoraknya. Ujungnya menancap di dahinya. Aku tak pernah sekaget ini. Bukan berarti karena aku buronan maka aku sudah berubah. Jauh di dalam hatiku, bagaimanapun, bersamaan dengan rasa kagetku, kurasa aku merasa lega. Paling tidak keraguan itu sudah berakhir. Kami tahu apa yang akan kami lakukan selanjutnya. Aku bergegas ke kamar tidur dan menjejalkan pakaian secukupnya untuk kami bertiga ke dalam tas. Namun saat aku baru saja meraih gagang pintu depan, bel pintu berbunyi dan seketika aku berhadapan dengan petugas UPS. “Paket untuk Tillie Brown,” katanya. “Dia tidak tinggal disini.” “Aku tahu,” jawabnya sambil tertawa, “tapi aku melihatnya masuk kesini tapi dia tidak keluar.” “Akan kusampaikan paketnya.” “Maaf, Nak. Pesanan khusus. Harus diserahkan langsung ke tangan yang bersangkutan.” “Mmm.., dia sedang di kamar mandi saat ini, jadi…” Di belakangku, entah bagaimana, pada saat yang sama, Harry nyeplos, “Dia di rumah sekarang, dia di rumah sekarang!” “Lho, jadi mana yang benar,” tanya petugas UPS sambil menyipitkan matanya curiga. “Dia sedang di kamar mandi atau di rumah? Katakan, apa yang sebenarnya terjadi disini? Sebaiknya aku masuk dan melihat ke dalam.” Petugas UPS itu mulai masuk ke dalam. Sumpah aku sudah melupakan senjata. Tapi entah bagaimana tiba-tiba benda itu sudah ada dalam genggamanku. Pada jarak sedekat itu, dia praktis menjadi hancur. Aku bersumpah pada Tuhan,

halaman 25


aku tidak bermaksud melakukan itu. Aku bersumpah pada Tuhan, aku merasa sakit jiwa saat darahnya terciprat ke obor. Saat berikutnya, aku duduk disana dengan pistol panas di tanganku dan teman-temanku mencengkeram lenganku. “Sekarang kita berdua telah melakukannya dan habislah kita,” ujar Joe serak. “Klub Pembunuh.” “Dan aku sepertinya akan bergabung,” balas Harry. Tetangga kami baru keluar dari rumahnya. Dia pasti telah melihat semuanya, karena kini dia berdiri disana mematung dengan ketakutan dan menyesal, berharap dia tidak pernah datang melihat semuanya. Dia berbalik namun sudah terlambat. “Memang seharusnya begitu.” Harry meniup asap bekas letusan pistolnya dan berkata, “Ayo bergegas! Jika kita beruntung, tak seorang pun bisa menemukan mayat-mayat ini hingga kita sudah lima puluh mil jauhnya.” Satu hal yang harus kujelaskan. Kami bertiga sudah berkomitmen menjadi pembunuh, namun Harry memang yang terburuk diantara kami. Aku membunuhnya karena itulah hal terbaik yang dilakukan. Tak seorangpun mengharapkan dirinya. Aku menembaknya langsung ke jantung dan dia mati tanpa mengerang sedikitpun. Itulah yang terbaik. “Panggil polisi!” bentakku. “Nanti kita katakan Harry ngamuk dan menembak mereka semua. Untung kita bisa menghentikannya sebelum dia membunuh lebih banyak lagi. Benar kan, Joe? Benar? Kau berada di pihakku, kan? Joe?” Joe tertawa miring. “Aku hanya ingin bertahan hidup,” jawabnya. “Betul sekali! Ini akan membuat kita berdua bertahan hidup. Kau akan lihat nanti, oke?” Dia tak punya pilihan lain. Kami adalah tim, dia dan aku. Itu terjadi sudah lama sekali, tentu saja. Aku akhirnya menikahi Laura pada tahun yang sama. Dia mencintaiku karena telah membalas kematian ibunya. Joe juga menikah, dan mereka tinggal di pinggir kota. Kami tidak lagi saling mengunjungi. Semuanya berjalan dengan baik, kurasa. Namun setiap malam, aku masih mendengar gonggongan anjing-anjing polisi berlari melewati rawa, tapi hanya aku yang dapat mendengarnya. Aku berdoa di gereja, dan ikut dansa Jumat malam di alun-alun. Aku harap Laura dapat memahaminya. Semua yang kulakukan adalah yang terbaik untuk kami. Aku selalu mencoba menekan kejahatanku, mengingat keadaan. Tak seorang pun dari kita bisa memilih keadaan. Asal tahu saja, dia bisa menerima cerita tentang apa yang kami katakan pada polisi, tapi itu tak cukup. Tak cukup bagiku dia mencintaiku dan tidak

halaman 26


menyalahkanku. Aku ingin dia memaafkanku. Tapi bagaimana dia bisa memaafkanku jika aku tidak mengakui apa yang tidak aku lakukan? Setiap kali kami duduk sambil sarapan, aku nyaris tak bisa membayangkan apa yang akan dikatakannya atas detak jantungku. Aku sering berpikir kami memang hidup bersama saat ini, namun jika aku memandangnya aku sadar aku salah. Kami sesungguhnya hidup sendiri-sendiri.***

Tamim Ansary adalah penulis dan pembicara publik asal Amerika Serikat berdarah Afganistan. Dia menulis buku West of Kabul, East of New York, sebuah buku yang diterbitkan beberapa saat setelah peristiwa serangan teroris 11 September 2001. Dia juga seorang kolumnis untuk ensiklopedia situs Encarta, dan penulis buku Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes. Dia juga merupakan fasilitator dari San Francisco Writers Workshop, pertemuan penulis lepas tertua yang masih terus dilaksanakan sampai saat ini di Amerika Serikat. Novelnya The Widow’s Husband (terbit pada musim semi 2009 oleh penerbit Public Affairs Books) memenangkan Penghargaan 2010 Northern California untuk kategori non-fiksi umum. Karya cerpen dengan judul asli Town of Strangers, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Febby Fortinella Rusmoyo, lahir di Pekanbaru, 14 Februari 1982; alumnus UIN Suska Riau, bekerja di UIN Suska Riau, dan pernah belajar di Sekolah Menulis Paragraf, domisili Pekanbaru. Karya-karyanya pernah dimuat di Riau Pos dan puisinya termuat dalam buku “Rahasia Hati: Antologi Penyair Muda Riau 2010� yang ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.(red.)

halaman 27


sajak

Indra KS Penjual Mendoan Sepongkor Nira Perempuanku Hujan Senja Hari Kota Tua Waktu Senja Sebuah Sejarah Buli-buli Sejarah yang Mengetok Dinding Facebookku Topeng Layanglayang Sampai Dekat

Indra KS Lahir di desa Tanggeran pada 5 Oktober 1989. Tulisannya terpublikasikan di Banjarmasin Post, Riau Pos, Padang Ekspres dan sebagainya. Puisi-puisinya juga tergabung dalam antologi : Jembatan Sajadah (UmaHaju Publisher, 2012), Ayat-ayat Ramadhan (AGP: 2012), dan lain-lain. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP). Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Pena Mas. halaman 28


Penjual Mendoan penjual mendoal mengaduk tepung dengan air mata hujan di tengah malam dan sebungkus tempe telah bertelanjang lalu rebah ke dalam adonan suara kecipak minyak panas telah siap mengoyak hati yang memar sebab seribu mata panah telah nancap di dasar tubuhmu setelah matang mendoan dijajakan seorang wanita di pinggir jalan yang melobang

Sepongkor Nira air yang netes dari seikat manggar perlahan tenggelam pada ruas-ruas bambu membawa kabar lembut pada bapak yang selalu memeluk gelugu ketika terbentur lelah sepongkor nira endapkan kekosongan yang memendam harapan

halaman 29


Perempuanku hatimu runtuh oleh tajam mataku yang nusuk sampai ke pangkal hati kaulah perempuanku yang terlambat datang untuk mencecap madu jiwaku tak seperti aku yang renangi bening telaga di luas tubuhmu tanpa sedikitpun masa lalu

Hujan Senja Hari hujan telah hanyutkan harapan seorang bapak di senja hari ia hanya dapat menampung genangan luka di dadanya padahal ia begitu rindu pada hujan tapi bukan pada senja hari

halaman 30


Kota Tua rumah yang berlumut itu masih tegak di pundak sejarah padahal serayu telah berikan luka saat arus hanyutkan sebilah tugu di tengah kota jalan yang dulu dipenuhi lelampu kini hanya sisakan lobang yang berserak di atas nisan orang-orang berselimut sunyi pada rerimbun gulma yang tumbuh di beranda kota tua yang piatu

Waktu Senja senja yang basah oleh butiran hujan ngalirkan memoar kamu aku yang layu sebelum tunas sempat menggelar sayap hijaunya

halaman 31


Sebuah Sejarah sejarah yang sembunyi di pundakku perlahan luber dan ngalir ke matamu yang cemburu

Buli-buli saat malam kepakkan selendang hitam di bawah keremangan lelampu daun-daun kabarkan sunyi tak ada bulan di matamu sebab kau bukanlah seekor punguk yang bertahta di dahan tak berdaun dari kejauhan derik sayapmu mulai terdengar sayup-sayup membuka mata yang lama samadi di bawah rerimbun pohon nangka

halaman 32


Sejarah yang Mengetok Dinding Facebookku kembang yang pernah kulukis di hatimu pagi ini hadir bersama sejarah saat aku menatap jendela dan sudut sofa sejarah tentang kehangatan yang masih nampak lengket pada sisa ingatanku permainan kamu aku begitu sempurna hingga cahaya tak dapat sinari dua anak hawa yang nafasnya tertahan pada sepi dan jiwaku hujani tubuhmu begitu pagi itulah sejarah yang hadir di ingatanku pagi ini karena kamu ketok dinding facebookku

Topeng batas rindu kau aku adalah pertemuan yang selalau basah pada sudut kursi ruang tamu karena kau selalu saja suguhkan merah jambu untuk hidangan pembuka dalam perjamuan paling kuldi ruang tamu jadi bisu hanya terdengar sayup-sayup suara TV dan detak jantung yang semakin kencang bersama pompaan nafas putus-putus dalam penghabisan aku sibuk pandangi cahaya pada wajahmu tak kau sadari topengmu terlepas dan kulihat gulita di wajahmu

halaman 33


Layanglayang angin berhembus bersama tarian pohonpohon yang bahagia melihat datangnya batas hujan lalu terbangkan layanglayang nuju langit biru diiringi syair riang bocahbocah pirang yang kemarau karena mereka begitu suka menantang puncak matahari layang-layang yang diterbangkan adalah doa paling harap pada angin agar sayapnya tak berat sebelah

Sampai Dekat kau terus saja bersalawat sejak angin pertamakali membuka pintu semesta yang sembari tadi bisu serupa penantang angin, kau terus tegak bersama awan yang berjalan lambat di bawah sayap matahari sampai senja menggelar kelir oranye kau tetap bersalawat hingga kunangkunang datang memancarkan titiktitik cahaya pada bumi yang mulai gulita kini tak hanya suaramu yang kudengar merdu tapi lampu warnawarnimu mulai nampak indah pada sela bintangbintang yang kalah indah menurutku tak terasa malam telah lebur bersama kokok ayam tapi masih kudengar salawatmu sampai dekat matahari terbit

halaman 34


sajak

Sajak-sajak Trisfianon (Sisi lain dari Ibu)

Trisfianon seorang yang gemar menulis sajak sejak masih remaja, berpendidikan alumnus akademi bahasa asing sekarang beralamat di jalan Mangga Sukajadi Pekanbaru.

Buat memperingati hari Ibu, majalah budaya “Sagang� bulan ini memuat beberapa sajak yang ditulis oleh seorang perempuan bernama Trisfianon yang menurutnya menulis sajak merupakan bahagian dari kehidupan yang dilakoninya sejak masih belia, beberapa puluh tahun lalu. Kegiatan ini sempat terhenti karena berbagai alasan. Namun gejolak hati ingin menulis sajak kembali tak dapat dibendung. Sebagai ungkapan rasa, sempena

memperingati hari Ibu tahun ini (22 Desember 2013), Anon panggilan seharihari Trisfianon coba melihat sosok ibu dari sudut yang lebih objektif. Ungkapan yang tak biasa dilakukan banyak orang tersebut disampaikan Anon melalui sajak-sajaknya yang agak berbau kontroversial walaupun Anon adalah seorang perempuan, baginya seorang Ibu tidaklah sesempurna seperti yang dikatakan banyak orang. (Redaksi)

halaman 35


Yang Paling Mulia Ibumu, ibumu, ibumu! Harus tiga kali disebutkan begitu Sesuai perintah agama sejak dahulu Agar dirinya dimuliakan selalu Walau dia suka menyakiti perasaanmu menganaktirikan dirimu menafikan keberadaanmu meremehkan kemampuanmu menggunjingkan kejelekanmu memecah-belah sesamamu Ibumu, ibumu, ibumu! Ratusan kalipun boleh diulangi itu Untuk dijejali ke dalam pikiran yang beku Agar diteladani oleh seluruh anak cucu Walau dia suka membatasi ruang gerakmu memata-matai kegiatanmu menghalangi pergaulanmu mempersulit urusanmu mematahkan semangat hidupmu menghancurkan masa depanmu Ibumu, ibumu, ibumu! Bagaimanapun hormati dia selalu Anggaplah utang-budi atas kelahiranmu Walau bukan permintaan dan bukan maumu

halaman 36


Panggilan Ibu Duh, panggilan itu terlalu mulia untukku Aku sama-sekali tak cocok dipanggil begitu Aku tak memiliki kemuliaan seorang ibu : Yang bisa menertibkan suara-suara yang gaduh Yang bisa mendamaikan situasi yang ricuh Yang bisa menjernihkan suasana yang keruh Yang bisa membuat keadaan menjadi teduh Yang bisa mendekatkan hati yang jauh Bukan sebaliknya, yang dekat justru menjauh Bahkan yang sudah akrab berubah menjadi musuh Duh, aduh, aduh, betapa rusuh dan rapuh!

Tahu Diri Aku bersyukur Belum terlanjur Menjadi ibu Karena keangkuhanku keegoisanku Tak layak ditiru Untung aku tahu diri Dan cepat menyadari Bahwa tak layak diteladani Andai semua wanita seperti aku Sadar ketidak-patutan sebagai ibu Mungkin dunia ini tentram selalu

halaman 37


Dalam Naungan Ibu (kata Oedipus)

Di bawah pengaruh mutlak ibuku Aku bagaikan seorang bocah dungu Yang hanya bergerak bila disuruh Sebab aku adalah anak yang patuh Di bawah pengaruh mutlak ibuku Aku dibiasakan bersikap canggung dan kaku Menganggap semua orang berpendapat keliru Sedang yang benar hanyalah pendapat ibu Di bawah pengaruh mutlak ibuku Aku terpaksa harus selalu diam membisu Pola pikirku dibatasi ucapan ibu Dan masa depanku pun semakin buntu Di bawah pengaruh mutlak ibuku Langkahku tersendat dipenuhi ragu Karena aku harus setia menunggu Perintah wajib dari ibuku

halaman 38


Di Luar Rencana Keikhlasan seorang ibu Tak pernah tergurat di wajahmu Tiap-kali berinteraksi denganku Kelembutan kasih sayang ibu Tak pernah terlihat dari sikapmu Tiap-kali berdekatan denganku Kesabaran seorang ibu Tak pernah tersirat di suaramu Tiap-kali berbicara denganku Bahkan tulus dan beningnya kalbu Tak pernah tercermin di matamu Tiap-kali memandang padaku Maka bolehkah aku tau rencanamu Tentang kelahiran dulu itu? Ow, pastinya bukan rencana ibu

halaman 39


Aku Bukan Seorang Ibu Aku bukan seorang ibu Tapi selalu ada bayi di dekatku Yang sudi memamerkan tingkahnya yang lugu Yang rela dicium pipinya yang lucu Atau menyumbangkan tangisnya yang merdu Aku bukan seorang ibu Tapi selalu ada suara bocah memanggilku Yang minta tolong dibuatkan susu Yang minta tolong dibacakan buku Yang minta tolong dinyanyikan lagu Aku bukan seorang ibu Tapi bocah-bocah di sekelilingku Selalu bermanja-manja kepadaku Ohoy‌., cerianya hidupku!

halaman 40


sajak

Putu Gede Pradipta Fragmen Hujan Kaki Riwayat Benih Di Kafe Layang-layang

Putu Gede Pradipta Menetap di Denpasar. Sekali waktu bergiat di Competer dunia maya. Buku puisinya bertajuk Telaga (Penerbit Ebook, Juli 2012)

halaman 41


Fragmen Hujan Sayu mata hujan dikawal gerimis menembus kabut menuju rerimbun rambut hitam itu. Seorang perempuan membuka perlahan payung hitamnya hendak berlindung dari kuyup hujan yang kian berusaha mulai mengurung.

Kaki Semenjak mengawali lintas waktu Sudah kuterima setiap luka tempuh Dan menjadi kian tabah melangkah

halaman 42


Riwayat Benih Inilah benih paling manjur sekaligus jujur terbekal doa sebelum dikubur. Alangkah senang memanjat syukur tanpa membedakan arah tanah dan langit yang sama-sama telah menaungi. Ia tumbuh sejalan musim mencecap manis cahaya matahari menghirup udara berembun pagi. Semoga kelak tumbuh subur di lambung tanah gembur.

halaman 43


Di Kafe Kafe yang kerap terbuka bila larut malam Sekilas sepasang meja kayu tersedia di dalam Di meja pertama kau sedang duduk sendiri Bagaikan menunggu dengan begitu anggun Matamu menahan pejam, bibirmu bergetar Dan terucaplah doa-doa yang panjang itu Telah sejam hingga hilang wangi tubuhmu Matamu akhirnya terbuka melirik ke jendela Begitu lekas seorang pelayan menyuguhkan Menu-menu yang sejenak kau pesan di benak Sepotong rasa sakit yang hilang bersama waktu Secangkir kenangan yang mengambangkan luka Sedangkan di meja kayu kedua yang letaknya Agak berjauhan dari jangkauan kedua matamu Ada yang segan bila harus lebih lama menunggu Yaitu sepasang bayangan lelaki masa silam Diam-diam telah memesan dirimu sejam lalu

halaman 44


Layang-layang Ia membuat layang-layang dari sehimpun daun kering yang dikumpulkan dari taman sebuah kota yang sedang menjalani musim gugur pertama. Namun, daun-daun kering yang disusunnya menjadi layang-layang segera habis terbakar ketika memulai terbang dan musim kemarau tiba-tiba datang.

halaman 45


syair

Syair Perahu karya Hamzah Fansuri

SYAIR PERAHU

merupakan salah satu karya Hamzah Fansuri, seorang penyair ternama yang dilahirkan pada akhir abad ke-16 di Barus atau Pancur, Tepatnya pada tahun 1726, Francois Valentijn dalam bukunya Oud en Nieuw Oost-Indie (Hindia Timur Lama dan Baharu) pada bab mengenai Sumatera, menyebut Hamzah Fansuri sebagai seorang penyair yang dilahirkan di Fansur (Pancur). Syair Perahu merupakan salah satu dari jenis-jenis syair yang berkenaan dengan agama karya Hamzah Fansuri yang hidup pada pertengahan kurun yang kedua Masehi ke XVI di negeri Acheh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Syair-syair Hamzah Fansuri merupakan karangan mistik Islam yang berhakikat makrifat jami’a bainahuma, yakni ilmu yang melingkupi dan menghubungkan wujud fenomenal/wahmi dan wujud kesegalaan.

halaman 46

Tulisannya menghuraikan tasawuf klasik secara eksplisit dan signifikan, diperkemas dalam bahasa Melayu seperti “Asrarul Arifin Fi Bayani Ilmis Suluk wat-Tauhid”, “Syaraabul Asyiqin”, dan “Al-Muntahi”. Betapa banyak perbendaharaan kosa kata Melayu yang ditambahnya selain melakukan pembaharuan di bidang logika dan mantiq yang bertalian dengan pemikiran dalam masalah bahasa. Keberhasilan Hamzah Fansuri dengan syair-syairnya keagamaan tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai seorang sufi yang telah mengelana mencari makrifat (uniomystika) ke Kudus, Banten, Siam, Semenanjung Melayu, India, Persia, dan Tanah Arab. Berbagai buku tasawuf dari sufi terkemuka dengan mudah ia kuasai kerana kemahirannya dalam berbahasa Melayu, Urdu, Persia, dan Arab. Dan tak sedikit pula sajak-sajak para sufi terkemuka Persia seperti Ibnu Arabi, Al-Hallaj, Jalaluddin


Rumi, Al-Bustami, Maghribi, Nikmatullah, Abdullah Talil, Abdul Qadir Jailani, Iraqi, Sa’di, dan lain-lain itu ia kutip dalam bahasa aslinya, lalu ia terjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Syair yang dihasilkannya menunjukkan bahawa dirinya sangat terpengaruh dan terilhami oleh Ibnu Arabi, tokoh aliran wujudiyyah. Kedudukan Hamzah Fansuri begitu penting sekali karena dialah penyair pertama yang menulis bentuk syair dalam bahasa Melayu empat abad silam. Sumbangan besarnya bagi bahasa Melayu adalah asas awal yang dipancangkannya terhadap peranan bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam sesudah bahasa Arab, Persia, dan Turki Utsmani. Hamzah Fansuri banyak mendapat asupan ilmu di Zawiyah/Dayah Blang Pria Samudera/Pasai, Pusat Pendidikan Tinggi Islam yang dipimpin oleh Ulama Besar dari Persia, Syekh Al-Fansuri, nenek moyangnya Hamzah. Kemudian Hamzah Fansuri mendirikan Pusat Pendidikan Islam di pantai Barat Tanah Aceh, iaitu Dayah Oboh di Simpang kiri Rundeng, Aceh Singkil. Kedalaman ilmu yang dimiliki telah mengangkatnya ke tempat kedudukan tinggi dalam dunia sastera Nusantara. Prof Dr Naguib Al-Attas menyebut “Jalaluddin Rumi”nya Kepulauan Nusantara, yang tidak terbawa oleh arus roda zaman. Penyair sufi, sajak-sajak Hamzah Fansuri penuh dengan rindu-dendam, luapan emosi cinta kepada kekasihnya, Al-Khaliq, Allah Yang Maha Esa. Rindunya dengan sang Khaliq menjadikannya sebagai Insan Kamil hatta tiada lagi pembatas antara dia dan Khaliqnya, karena jiwa telah menyatu ke dalam diri kekasih yang dirindukannya, seperti makna implisit dalam hadits Qudsi riwayat Thabrani :

”Hambaku selalu menghampiriKu dengan ibadah-ibadah yang sunat sehingga Aku cinta kepadanya. Bila demikian, Aku menjadi pendengarannya yang dipergunakannya untuk mendengar, pemandangannya yang dipergunakan untuk memandang, lisannya untuk berbicara dan hatinya untuk berpikir.” Oleh kerana itu dalam karya tulis Hamzah Fansuri seakan-akan mendengar dengan telinga Khaliqnya, memandang dengan mata Khaliqnya, berbicara dengan lisan Khaliqnya. Tentu saja hal ini sangat sukar dimengerti dan difahami oleh orang yang tidak banyak membaca dan mendalami buah pikiran dan filsafat Ulama Tasawuf atau penyair sufi. Cakerawalanya yang sejauh ufuk langit telah menghangatkan syair-syair padat dan berisi penuh dengan butir-butir filsafat, tetapi menawan hati untuk menguak makna yang terkandung. Di antara karyanya yang ekstentik itu adalah Syair Burung Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Burung Unggas, Syair Perahu dan Bismilllahir Rahmanir Rahim. Menurut A.Hasjmy, meskipun ia menganut falsafah Tuhan (Wahdatul Wujud), ia menolak faham hulul, faham keleburan seleburleburnya dengan Tuhan. Ulama dan pujangga Islam Nusantara tersohor Hamzah Fansuri meninggal pada akhir pemerintahan Sulthan Iskandar Muda Meukuta Alam (1607-1636 M) Selain “Syair Perahu”, Hamzah Fansuri juga menciptakan karya-karya dalam bentuk syair seperti: 1. Syair Burung Pingai 2. Syair Burung Pungguk 3. Syair Dagang 4. Syair Sidang Fakir (DSM. Red.2013 dari berbagai sumber)

halaman 47


Syair Perahu Hamzah Fansuri Inilah gerangan suatu madah mengarangkan syair terlalu indah, membetuli jalan tempat berpindah, di sanalah i’tikat diperbetuli sudah Wahai muda kenali dirimu, ialah perahu tamsil tubuhmu, tiadalah berapa lama hidupmu, ke akhirat jua kekal diammu. Hai muda arif-budiman, hasilkan kemudi dengan pedoman, alat perahumu jua kerjakan, itulah jalan membetuli insan. Perteguh jua alat perahumu, hasilkan bekal air dan kayu, dayung pengayuh taruh di situ, supaya laju perahumu itu Sudahlah hasil kayu dan ayar, angkatlah pula sauh dan layar, pada beras bekal jantanlah taksir, niscaya sempurna jalan yang kabir. Perteguh jua alat perahumu, muaranya sempit tempatmu lalu, banyaklah di sana ikan dan hiu, menanti perahumu lalu dari situ. Muaranya dalam, ikanpun banyak, di sanalah perahu karam dan rusak, karangnya tajam seperti tombak

halaman 48


ke atas pasir kamu tersesak. Ketahui olehmu hai anak dagang riaknya rencam ombaknya karang ikanpun banyak datang menyarang hendak membawa ke tengah sawang. Muaranya itu terlalu sempit, di manakan lalu sampan dan rakit jikalau ada pedoman dikapit, sempurnalah jalan terlalu ba’id. Baiklah perahu engkau perteguh, hasilkan pendapat dengan tali sauh, anginnya keras ombaknya cabuh, pulaunya jauh tempat berlabuh. Lengkapkan pendarat dan tali sauh, derasmu banyak bertemu musuh, selebu rencam ombaknya cabuh, La ilaha illallahu akan tali yang teguh. Barang siapa bergantung di situ, teduhlah selebu yang rencam itu pedoman betuli perahumu laju, selamat engkau ke pulau itu. La ilaha illallahu jua yang engkau ikut, di laut keras dan topan ribut, hiu dan paus di belakang menurut, pertetaplah kemudi jangan terkejut. Laut Silan terlalu dalam, di sanalah perahu rusak dan karam, sungguhpun banyak di sana menyelam, larang mendapat permata nilam. Laut Silan wahid al kahhar,

halaman 49


riaknya rencam ombaknya besar, anginnya songsongan membelok sengkar perbaik kemudi jangan berkisar. Itulah laut yang maha indah, ke sanalah kita semuanya berpindah, hasilkan bekal kayu dan juadah selamatlah engkau sempurna musyahadah. Silan itu ombaknya kisah, banyaklah akan ke sana berpindah, topan dan ribut terlalu ‘azamah, perbetuli pedoman jangan berubah. Laut Kulzum terlalu dalam, ombaknya muhit pada sekalian alam banyaklah di sana rusak dan karam, perbaiki na’am, siang dan malam. Ingati sungguh siang dan malam, lautnya deras bertambah dalam, anginpun keras, ombaknya rencam, ingati perahu jangan tenggelam. Jikalau engkau ingati sungguh, angin yang keras menjadi teduh tambahan selalu tetap yang cabuh selamat engkau ke pulau itu berlabuh. Sampailah ahad dengan masanya, datanglah angin dengan paksanya, belajar perahu sidang budimannya, berlayar itu dengan kelengkapannya. Wujud Allah nama perahunya,

halaman 50


ilmu Allah akan [dayungnya] iman Allah nama kemudinya, “yakin akan Allah” nama pawangnya. “Taharat dan istinja’” nama lantainya, “kufur dan masiat” air ruangnya, tawakkul akan Allah jurubatunya tauhid itu akan sauhnya. Salat akan nabi tali bubutannya, istigfar Allah akan layarnya, “Allahu Akbar” nama anginnya, subhan Allah akan lajunya. “Wallahu a’lam” nama rantaunya, “iradat Allah” nama bandarnya, “kudrat Allah” nama labuhannya, “surga jannat an naim nama negerinya. Karangan ini suatu madah, mengarangkan syair tempat berpindah, di dalam dunia janganlah tam’ah, di dalam kubur berkhalwat sudah. Kenali dirimu di dalam kubur, badan seorang hanya tersungkur dengan siapa lawan bertutur? di balik papan badan terhancur. Di dalam dunia banyaklah mamang, ke akhirat jua tempatmu pulang, janganlah disusahi emas dan uang, itulah membawa badan terbuang. Tuntuti ilmu jangan kepalang,

halaman 51


di dalam kubur terbaring seorang, Munkar wa Nakir ke sana datang, menanyakan jikalau ada engkau sembahyang. Tongkatnya lekat tiada terhisab, badanmu remuk siksa dan azab, akalmu itu hilang dan lenyap, (baris ini tidak terbaca) Munkar wa Nakir bukan kepalang, suaranya merdu bertambah garang, tongkatnya besar terlalu panjang, cabuknya banyak tiada terbilang. Kenali dirimu, hai anak dagang! di balik papan tidur telentang, kelam dan dingin bukan kepalang, dengan siapa lawan berbincang? La ilaha illallahu itulah firman, Tuhan itulah pergantungan alam sekalian, iman tersurat pada hati insap, siang dan malam jangan dilalaikan. La ilaha illallahu itu terlalu nyata, tauhid ma’rifat semata-mata, memandang yang gaib semuanya rata, lenyapkan ke sana sekalian kita. La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,

halaman 52


sekalian makhluk ke sana berpindah, da’im dan ka’im jangan berubah, khalak di sana dengan La ilaha illallahu. La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan, siang dan malam jangan kau sunyikan, selama hidup juga engkau pakaikan, Allah dan rasul juga yang menyampaikan. La ilaha illallahu itu kata yang teguh, memadamkan cahaya sekalian rusuh, jin dan syaitan sekalian musuh, hendak membawa dia bersungguh-sungguh. La ilaha illallahu itu kesudahan kata, tauhid ma’rifat semata-mata. hapuskan hendak sekalian perkara, hamba dan Tuhan tiada berbeda. La ilaha illallahu itu tempat mengintai, medan yang kadim tempat berdamai, wujud Allah terlalu bitai, siang dan malam jangan bercerai. La ilaha illallahu itu tempat musyahadah, menyatakan tauhid jangan berubah, sempurnalah jalan iman yang mudah, pertemuan Tuhan terlalu susah.

halaman 53


sajak-terjemahan

Jaroslav Seifert TERKADANG KITA terikat . . . Tarian Betina Berbaju-dalam TAHUN 1934 Sebuah AKHIR LAGU

Jaroslav Seifert Lahir 23 September 1901 dan meninggal 10 Januari 1986, Seorang penyair Ceko dan peraih penghargaan Nobel Kesusastraan 1984. Nobel Committee (dikutip dari halaman belakang buku The Poetry of Jaroslav Seifert, Catbird Press, 1998) menyebut puisi-puisi Jaroslav Seifert sebagai, “Diberkahi dengan kesegaran, sensualitas, dan keahlian yang kaya, memberikan citra semangat, membebaskan, gigih dan fleksibilitas manusia .... Dia memunculkan dunia lain dibandingkan dengan tirani dan kehancuran - dunia yang ada, baik di sini dan sekarang ... salah satu yang ada di mimpi kita dan kehendak kita dan hati kita “. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Marilyn Yonita dari teks berbahasa Inggris pada buku “The Selected Poetry of Jaroslaf Seifert translated from Czech to English by Ewald Osers"

halaman 54


TERKADANG KITA terikat . . . Kadang-kadang kita terikat oleh kenangan dan tidak ada gunting yang bisa memotong sulit melalui topik tersebut. Atau tali ! Anda melihat House of Artists di jembatan sana? Beberapa langkah sebelum jembatan itu gendarme menembak mati pekerja yang sedang berjalan di depan saya. Saya hanya berusia dua puluh pada saat itu , tapi setiap kali saya melewati tempat itu memori datang kembali ke saya . Dibutuhkan tangan saya dan bersama-sama kita berjalan ke gerbang kecil dari pemakaman Yahudi , yang telah berjalan dan dilalui dari senapan mereka . Tahun-tahun beralih dengan pasti, terhuyung-huyung langkah dan saya dengan mereka . tahun terbang hingga waktu masih berdiri.

halaman 55


Tarian Betina Berbaju-dalam Selusin baju-dalam betina jelas pada garis, bunga renda di payudara seperti mawar pada jendela katedral Gothic. Tuhan, melindungi Engkau dan aku dari segala kejahatan. Selusin betina berbaju-dalam, itulah cinta, bermain di rumput yang diterangi matahari gadis tak berdosa, tiga belas, baju jantan, perkawinan itu, berakhir dengan zinah dan tembakan pistol. Angin yang mengalir melalui baju-dalam, itulah cinta, bumi kita ditiup oleh angin sepoi : selusin tubuh longgar. Mereka selusin betina terbuat dari udara dan cahaya menari di rumput hijau, lembut angin adalah wujud tubuh mereka, payudara, pinggul, lesung pipit ada di perut membuka cepat , oh mataku .

halaman 56


Tidak ingin mengganggu tarian mereka Aku pelan menyelinap di bawah lutut baju-dalam , dan ketika salah satu dari mereka jatuh Aku rakus dihirup melalui gigi dan menggigit payudara nya . cinta , yang kita hirup dan makan , kecewa , cinta kita yang mimpi yang bersemangat pada , cinta , bahwa naik turunnya kami seperti anjing : tidak ada namun total dari kesemua . Di zaman kami semua serba listrik klub malam bukan pembaptisan namun kemarahan dan cinta dipompa ke dalam batin kami . Aku berdosa Magdalena, jangan menangis : Cinta romantis telah menghabiskan baranya . Iman , sepeda motor , dan harapan .

halaman 57


TAHUN 1934 Kebahagiaan pemuda menyenangkan untuk diingat . Hanya sungai yang tak berusia . Kincir angin telah runtuh , angin berubah-ubah yang bersiul , tak peduli . Sebuah tepi jalan lintas selalu menyentuh . Sebuah karangan bunga jagung seperti sarang burung tanpa pundak Kristus , dan kodok menghujat di alang tersebut . Kasihanilah kami ! Waktu yang pahit telah datang ke tepi sungai manis , dua tahun pabrik-pabrik telah berdiri kosong dan anak-anak belajar bahasa kelaparan di lutut ibu mereka . Dan masih di lingkar tawa mereka di bawah pohon willow sedih diam di piala perak . Semoga mereka memberi kita usia tua bahagia dari masa kanak-kanak kita memberi mereka !

halaman 58


Sebuah AKHIR LAGU Dengarkan: sedikit perihal hendele. Kemarin dia pulang ke aku dan dia sudah berusia dua puluh empat. Anggun seperti gadis Sulam. Dia mengenakan bulu tupai abu-abu dan topi kecil yang lucu dan lehernya dia diikat syal warna pucat asap. Hendele, bagaimana ini cocok untuk anda! Saya berpikir bahwa anda sudah mati dan sementara itu anda telah tumbuh lebih indah. Saya senang anda telah datang! Bagaimana anda salah, sahabat! Aku sudah mati dua puluh tahun, dan sangat baik kau tahu itu. Aku hanya datang untuk bertemu anda.

halaman 59


rehal

ZIARAH NERUDA PADA KESUNYIAN La rosa separada / The Separate Rose

Pablo Neruda Copper Canyon Press, 2005

i balik setiap aktivitas melancong senantiasa terdapat hasrat untuk menjelajah yang belum terjamah, hasrat untuk mencari yang otentik, yang asli, dan di balik hasrat tersebut senantiasa terdapat asumsi orientalis bahwa tempat kita bertolak telah rusak oleh peradaban, modernitas, dan “kemajuan�, sementara kemurnian diharapkan ada di tempat yang kita tuju.

halaman 60

Karena itu kita merengut melihat tempat eksotis yang ternyata tak sesuai bayangan: alih-alih warga asli dengan kegiatan adatnya, berkerumunlah para penjual menjajakan pulsa hingga Coca Cola, jejakjejak dari peradaban yang kita hindari itu. Padahal, justru kedatangan para pelancong inilah yang pertama kalinya membuat suatu daerah perawan bersentuhan dengan modernitas. Inilah ironi dan paradoks


pelancongan: “Ketika gelombang turis melewati kawasan yang tadinya tak tersentuh, perekonomian lokal akan merombak diri mengantisipasi pengunjung yang akan datang. Sikap antimaterialis yang awalnya membuat orang-orang mencari tempat-tempat eksotik malah membuat semakin banyak kawasan itu terserap ke dalam perekonomian global.” (Joseph Heath dan Andrew Potter, Radikal Itu Menjual: Budaya Perlawanan atau Budaya Pemasaran? [Jakarta: Antipasti, 2009]) Asumsi seperti itu pulalah yang bisa kita baca dari La rosa separada, buku puisi Pablo Neruda yang mengisahkan pengalaman emosionalnya berkunjung ke Pulau Paskah pada Januari 1971. Saat itu kesehatan Neruda mulai memburuk, dan di Cile suasana tengah memanas ketika Presiden sosialis terpilih Salvador Allende melakukan konsolidasi politik untuk menghapus pelan-pelan rezim konservatif kapitalis yang dibeking Amerika Serikat. Neruda berharap bisa kabur dari riuh dan penat itu, menuju pulau paling barat dalam yurisdiksi Cile, dan mungkin juga pulau paling eksotis dan misterius dalam imajinasi umat manusia, dengan deretan batu-batu bergambar muka orang setinggi 7 sampai 9 meter yang belum diketahui pasti bagaimana cara mengukirnya atau menyeretnya dari sisi dalam pulau (sumber batu) ke pinggir pantai tempat batu-batu itu diberdirikan. Neruda tiba bersama istri ketiganya, merasa diri sebagai “penziarah”, “kesatria asing, datang mengetuk pintu-pintu hening.” Tapi ia tahu ironi yang terkandung dalam tindakan melancong itu, ia tidak berpretensi sebagai penyair yang menyepi

mencari ilham, melainkan “sama seperti guru dari Kolombia, pengusaha dari Philadephia, pedagang dari Paysandú, yang menabung peraknya untuk datang kemari.” Llegamos de calle diferentes, de idiomas desiguales, al Silencio Kami semua datang lewat jalan yang berlainan, dengan bahasa yang tak seimbang, pada Kesunyian Dalam menulis buku ini Neruda memakai dua rujukan selain pengamatannya sendiri, yakni tulisan-tulisan “ilmiah” Romo Sebastian Englert yang selama puluhan tahun melakukan kerja misionaris di sana, serta hikayat-hikayat setempat yang dituturkan secara lisan tentang asal muasal pulau yang bernama asli Rapa Nui itu. Alkisah, kepulauan Melanesia adalah “kepulauan angin kelamin, dicipta lantas dilipatgandakan oleh sang bayu.” Dewa Angin membuat tiga upaya membentuk patung-patung raksasa (moai) yang menghuni Rapa Nui. Patung pertama terbuat dari pasir lembab, ia membentuknya dan dengan riang merusaknya. Patung kedua terbuat dari garam dan laut yang garang merobohkannya sambil berdendang Tapi patung ketiga buatan Dewa Angin adalah moai dari granit, dan yang ini bersitahan Namun bukan penuturan ulang hikayat setempat itu yang buat saya menarik dari buku Neruda ini, melainkan bagaimana ia memahami posisinya sebagai “turis”. (Tentang cara Neruda menafsirkan mitos-

halaman 61


mitos Pulau Paskah, Luz Elena Zamudio telah membuat satu kajian utuh soal itu: Una interpretación mítica de La rosa separada de Pablo Neruda [Mexico City: Universidad Autónoma Metropolitana, 1988]). Neruda sadar ia bertolak ke Pulau Paskah, “ibu pertiwi tanpa suara”, untuk mencari sesuatu yang tak pernah ia hilangkan di sana—sesuatu yang sesungguhnya hilang di tempatnya bertolak, namun dicarinya di tempat yang ia tuju, sebab ia merasa es la verdad del prólogo (“kebenaran ada di dalam prolog”), kebenaran ada di asal yang paling awal. A la Isla de Pascua y las presencias salgo, saciado de puertas y calles, a buscar algo gue allí no perdí Ke Pulau Paskah dan kehadirankehadiran itu aku bertolak, muak pada jendela-jendela dan jalanan mencari sesuatu yang tak pernah kuhilangkan di sana Dan apa yang dicarinya di sana? sino un vacío oceánico, una pobre pregunta con mil contestaciones de labios desdeñosos. hanya kesuwungan seluas samudera, sebuah pertanyaan mengenaskan dengan seribu jawaban di bibir yang mengejek Namun Neruda sang turis akhirnya tahu, ziarah ini cuma sementara, menetap berlama-lama di Kesunyian juga bukan pilihan baginya, “cahya terlalu cerlang, terlalu banyak batu dan air”

halaman 62

como todos miré y abandoné asustado la limpia claridad de la mitología, las estatuas rodeadas por el silencio azul. seperti semuanya melihat dan menyerah ketakutan cahaya terang mitologi, patung-patung terbungkus kesunyian biru. Dan sang turis? selalu ingin pergi lebih jauh, terus menerus tidak tahu yang hendak diperbuatnya di pulau, apakah ia mau atau tidak mau menetap atau kembali, pergilah ia dengan kesedihannya ke tempat lain lagi, kembali ke duka lara aslinya, kebimbangannya antara musim dingin dan musim panas. Sebagaimana karya Neruda sebelum ini, Aún (1969), buku ini awalnya juga dicetak luks dan terbatas di Paris (1972) sebanyak 99 eksemplar saja. Tak banyak yang mengetahui keberadaan karya ini dan itu sebabnya penerbit sebesar Seix Barral pun membuat kekeliruan dengan menyebutnya sebagai Obra postuma atau “karya anumerta” ketika menerbitkannya pasca wafatnya Neruda pada 1973. Wajib baca untuk para penyuka puisi umumnya dan Pablo Neruda khususnya.*** (red. sumber INT.)


rehal

PELANGI ITU INDAH MEMAKNAI CINTA, PERSAHABATAN DAN MASA DEPAN

Judul buku : Penulis : Tahun terbit : Penerbit : Jumlah halaman : Resensi oleh :

Pelangi Itu Indah Yoyon Indra Joni Februari 2013 Diva Press, Jogjakarta 384 halaman Zurnila Emhar (Zech)

srul dituntut segera wisuda oleh neneknya. Tuntutan itu membuatnya hengkang dari grup band Excellent yang didirikannya. Anehnya, band tersebut justru makin bersinar setelah ditinggalkannya dan berganti nama menjadi Rambun Pamenan. Selama kuliyah Asrul tidak pernah membuka hati pada wanita. Dia masih dibayang-bayangi Laura, kekasihnya semasa SMA. Tetapi di luar kendalinya dia malah ditaksir Dian yang menjadi incaran sahabatnya, Awal. Hal ini membuat persahabatan Asrul dan Awal menjadi kurang harmonis. Dalam situasi demikian, Ikal yang baru lulus S1 Biologi di UGM datang ke Padang. Bersama Asrul, Awal, Rizal, dia membuka Bimbingan Belajar (Bimbel) Prima

Intelektual Muda. Semenjak awal berdirinya bimbel, ujian demi ujian tidak berhenti mendatangi mereka. Hari pertama pembukaan bimbel gagal (padahal sudah mengundang band Rambun Pemenan yang sedang top) karena demo. Hari berikutnya Asrul dan kawankawan malah masuk penjara. Hingga

halaman 63


akhirnya bimbel itu harus menyerah pada keadaan ketika gema melanda. Bangunannya roboh. Dan mereka tidak memiliki dana lagi untuk membangunnya. Sementara itu Dian semakin terangterangan menunjukkan rasa sukanya pada Asrul. Sedangkan Asrul malah tertarik pada Wulan, teman Dian. Pada akhirnya Asrul, Awal dan Rizal menjadi guru berkat AKTA IV mereka. Sedangkan Ikal yang terang-terangan menolak S-2 ke luar negeri demi mengabdi pada negeri sendiri membuka ladang gambir di kampungnya. Tema yang diangkat novel ini sebenarnya menarik. Hanya saja konfliknya tidak tajam. Cinta masa lalu yang dikatakan membelenggu Asrul juga tidak jelas gambarannya. Tokoh-tokoh orang dalam novel ini hanya mengungkapkan kalau Asrul adalah orang yang berdarah-darah karena cinta tersebut. Bahkan sang cinta lama tersebut baru diungkapkan pada bab 10. Namanya Laura. “Ya, dia sudah menikah. Aku ulangi lagi. Laura sudah menikah.kini, ia sudah di Belanda. Jangan salahkan siapa-siapa. Artinya, ia bukan jodohmu...� (hal. 191) Selain Laura, ada nama Rena yang saya temukan sebanyak tiga kali dalam novel ini. Saya menebak, Rena juga masa lalu Asrul. Tak ada penjelasan dan gambaran pasti tentangnya. Rena hadir dalam kilasan-kilasan ini; Kemudian, perhitungan lain yang fatal adalah aku terlalau larut dalam pikiran akan hilangnya seseorang yang sudah mengubah makna cinta itu, Rena. Sehingga aku tidak berdaya. (hal. 231) Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Dulu, bertahun-tahun berlalu, aku larut dalam bentuk kesalahan yang

halaman 64

hampir sama. Aku tidak tegas. Rena. Itulah kesalahanku. (hal. 339) Hal yang agak mengganggu saya dari novel ini adalah adanya pengulanganpengulangan kalimat. Pernyataan bahwa Asrul tengah berdarah-darah karena cinta lama sangat mudah ditemui. Diungkapkan dengan susunan kata yang nyaris sama. Kalimat ini seperti kalimat wajib dalam percakapan tokoh-tokohnya. Dalam novel ini juga banyak devinisi cinta versi masingmasing tokoh yang diuraikan dengan panjang lebar. Selain itu, Asrul cs sepakat menolak seorang calon siswa bimbel yang bernama Mardian Shaliha. Alasannya karena Awal sangat sensitif dengan segala hal berbau ‘Dian’. Menurut saya ini berlebihan mengingat mereka adalah kaum intelek dan butuh siswa untuk bimbel yang baru didirikan. Yang membuat saya mengacungkan jempol pada novel karangan Yoyon Indra Joni ini adalah semangat dan perjuangan Asrul cs untuk mempertahankan bimbel. Ikal menjadi tukang ampelas besi dari pagi sampai petang. Asrul mengajar di tempat yang cukup jauh dari kos mereka. Awal menjadi tukang cuci piring. Penghasilannya mereka gunakan untuk membiayai bimbel Prima Intelektual Muda.***


www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat

Pusat Penjualan Pekanbaru

: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau

: Jl Inpress No 2

Dumai

: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171

Batam

: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996

Tanjung Pinang

: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039

Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi

: Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar halaman lxv


halaman lxvi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.