Shirvano Insight Vol. 2 No. 3: Urban Sanctuaries

Page 1

Urban Sanctuaries

Jogja Planning Galery: Natas, Nitis, Netes H.16 Railside Eats & Treats H.20 Masjid Baabul Khoirot: Spiritual & Community Needs H.24 An Interview: Wenie M. D. (PUPLA Project) H.30

Volume 2 Nomor 3 Periode Juli-September 2023 ISSN 2986-4135
2 Table of content Editorial Team Letter From Editorial Team What and Why The Third Place: A Place that Connects Me with Others Current Event Unveiling Modern Third Place: Is it Truly Exclusively Inclusive? Other Facts Third Places and Its Success Story TABLE OF CONTENT 14 10 8 2 4 6
INTRODUCTIoN
Sumber: Alex Simpson | Unsplash

28

Digest Competition Natas, Nitis, Netes: The Philosophical Axis of Yogyakarta at the Jogja Planning Gallery

Digest Project 1 Railside Eats and Treats

Digest Project 2 Masjid Baabul Khoirot: A Place Where Your Spiritual and Community Needs Are Accommodated

Opinions Street Experiment sebagai Bentuk Tactical Urbanism: Studi Kasus Citayam Fashion Week

From their perspective

An interview: Third Place Wenie Martin Dahlia Inisiator PUPLA Project

3
16 20 24 30 Digest OPinions
ISSN 2986-4135 3

editorial team

Adviser Retas Aqabah Amjad

Editor

Fadhila Nur Latifah Sani Prisca Bicawasti Budi Sutanty

Writers Diaz Tri Cahantoro

Fadilla Giffariny Amuna
 Hasna Munifah Prisca Bicawasti Budi Sutanty

Layouter Arie Rusmayanti

4
Email contact@shirvano.co.id Website shirvano.co.id Published by Instagram @shirvanoconsulting @lifeatshirvano LinkedIn
Consulting Youtube
Consulting
SHIRVANO
Shirvano
| Archdaily
Sumber gambar: SIURA Studio

Sumber : Eugenia Clara | Unsplash

5 ISSN 2986-4135

Letter From Editorial Team

Third Place

Hai Shirvamates! Berjumpa kembali dalam buletin Shirvano Insight Volume 2 No 3! Topik yang diangkat pada edisi kali ini adalah atau sering dikenal sebagai public meeting place. Tempat ini umumnya digunakan sebagai meeting point untuk berkumpul, berinteraksi, berbagi cerita, merayakan keberhasilan, dan merajut jaringan sosial secara inklusif.

Meskipun tempat ini banyak ditemui di sekitar kita, namun apakah Shirvamates sadar bahwa tempat bertemu tidak hanya sebatas di restoran, kafe, mall, dan sejenisnya? Kami mengajak Shirvamates untuk kembali menjelajah keberagaman dan keunikan berbagai macam jenis yang menjadi oase di tengah hiruk pikuk aktivitas sehari-hari.

Third Place

Third Place

karakteristikkunci utama

Third Place

Bersama-sama, kita akan menelaah kembali proses konseptualisasi hingga tersusun dan dalam sebuah public meeting place yang dapat membentuk budaya berkumpul antar sesama manusia untuk tumbuh bersama-sama. Terbentuknya juga bisa terjadi secara organik dari adanya pola aktivitas masyarakat seperti dalam kasus Citayam Fashion Week yang akan dibahas dalam edisi ini.

pengalaman Shirvano

Jogja Planning Gallery, Area komersial

Masjid Baabul Khoirot

Sayembara

Ibu Wenie

Martin Dahlia

Tentunya, kita juga akan membahas dalam mendesain Third Place dalam berbagai macam tipologi bangunan. Seperti pada sebuah museum yang menyediakan taman depan yang luas sebagai area publik untuk berkumpul. di stasiun hub transportasi sebagai tempat pelancong untuk singgah dan beristirahat. Serta serambi tempat ibadah yang menjadi tempat berkumpulnya komunitas. Pengalaman Shirvano dalam proses perencaan dan perancangan juga dilengkapi dengan opini dari Shirvanians yang memiliki pengalaman serupa. Akhir edisi ini ditutup dengan perspektif dari sebagai tenaga pendidik dan praktisi yang mendampingi terbentuknya Third Place pada

Kamal Muara dan Rusunawa Merunda.

Kami berharap edisi ini dapat kembali mengajak Shirvamates menelaah keberadaan di sekitar kita! Terima kasih telah setia bersama Shirvano Insght. Jangan ragu untuk berbagi pandangan dan pemikiran dengan kami – kami sangat menghargainya. Nantikan Shirvano Insight edisi berikutnya dengan berbagai topik yang menarik!

Third Place

Selamat

6
7
Sumber : Nerea Marti Sesarini | Unsplash

The Third Place: A Place that Connects Me with Others

Kita semua pasti seringkali mengunjungi tempat-tempat umum seperti kafe, taman, ruang terbuka hijau, bar, perpustakaan, dan tempat umum lain yang sering didatangi oleh segelintir manusia lainnya. Tanpa kita sadari, kita telah bersanding dengan yang namanya third place.

It's Neutral Ground.

Adanya kebebasan bagi seseorang untuk mengunjungi ataupun tidak mengunjungi tempat tersebut. Konsekuensi juga tidak berlaku apabila seseorang tidak datang dalam jangka waktu yang lama sehingga kedatangannya selalu disambut dan dengan tempat tersebut. merasa "welcome"

Third place, "tempat ketiga", awal 1990-an oleh Ray Oldenburg revolusi industri , first place (rumah)second place (tempat bekerja).

kata yang sudah tidak terlalu asing bagi setiap orang.Merujuk pada istilah third place pertama kali muncul pada pada bukunya The Great, Good Place1. Adanya sebuah ‘third place’ bermula pada di Amerika Serikat yang mana para pekerja mencoba memenuhi kebutuhan bersosialisasinya di suatu tempat yang berbeda dari dan Third place menjadi tujuan utama bagi mereka setelah penat dengan pekerjaan yang telah dilakukannya.

Third place sendiri didefinisikan sebagai suatu

tempat

untuk berkumpul, bercengkrama, dan mengenal satu sama lain dalam tujuan tertentu.

Third place menjadi sebuah tempat yang dirasa mampu memanusiakan manusia dalam memahami kebutuhan dasarnya, termasuk kebutuhan untuk bersosialisasi satu sama lain. Third place pun lebih banyak dikenal sebagai

tempat bersosialisasi baik dengan orang yang dikenal maupun orang asing dengan pembahasan yang diminati2.

Ray Oldenburg pun mendefinisikan 8 karakteristik dari sebuah third place, sehingga sebuah tempat dapat dijuluki menjadi third place:

Conversation is the Focus.

Hal utama yang dilakukan "komunikasi". di third place adalah Komunikasi yang dimaksud ialah percakapan ringan yang menarik dan mendukung setiap orang untuk ikut serta dalam lingkar komunikasi yang diciptakan. Setiap orang harus memiliki kesempatan untuk mengutarakan ide dan juga mimpi mereka masing-masing sehingga memiliki hak yang sama dalam berbicara.

It's a Levelling Place. They are Accessible and Accommodating.

tidak memperdulikanhierarki para pendatangnya.

Third place tingkat

Justru dengan mendatangi third place, seseorang seharusnya bisa merasa

nyaman

Dengan begitu, sense of

tanpa adanya syarat untuk mengunjungi tempat tersebut.

commonality thrives atau rasa kebersamaan di antara para pengunjungnya bisa lebih dirasakan oleh satu sama lain.

akses yang mudah dijangkau oleh semua orang.

Third place harus memiliki

Bukan third place namanya kalau orang yang ingin berkunjung harus melewati jalanan yang jauh, menggunakan transportasi khusus, bahkan ada reser vasi. Lebih baik kalau third place berada di wilayah yang banyak dilalui oleh orang-orang dan kapanpun bisa didatangi.

8
Writer: Diaz Tri Cahyantoro WHAT AND WHY Sumber : Mason Dahl | Unsplash

There are Regulars.

Memiliki pengunjung tetap adalah salah satu hal terbaik dari adanya third place. Kedatangan kembali pengunjung biasanya terjadi karena tempat tersebut memiliki atmosfer yang disukai oleh pengunjung sehingga akan lagi dan lagi datang ke tempat yang biasanya didatanginya.

They Keep a Low Profile.

Kenyamanan menjadi satu yang wajib ditemui di dalam third place. Setiap orang yang datang harus merasakan rasa nyaman karena berada di tempat yang mendukung bersama dengan orang-orang yang tidak mencoba untuk mengatur orang lainnya.

It Has a Playful Atmosphere. It's a Home Away From Home.

Saat memasuki third place, seseorang harus mulai merasakan adanya sehingga bisa bercengkrama dan tidak merasa sendiri dari hiruk pikuk persoalan yang telah dilalui sebelumnya.

kenaikan suasana hati

Rasa memiliki mungkin akan timbul apabila third place yang didatanginya dapat menjadi tempat yang disenangi. Seseorang harus merasa 'lebih baik' setelah menghabiskan waktu di third place kesukaannya3.

Lalu, bagaimana cara kita T hird place terbaik adalah Pada praktiknya, setiap orang akan memiliki kriteria tersendiri dalam menentukan tempat mana yang terbaik menjadi third place sehingga bisa memenuhi kebutuhan dasar dirinya sendiri. Berikut ini adalah tempat-tempat yang bisa disebut sebagai third place:

memilih third place terbaik bagi diri kita? third place yang mudah diakses .

Kunci utama sebuah third placemenemukan tempat yang mampu menyambut diri kita. adalah T hird place seharusnya menjadi tempat yang membuat seseorang merasa nyaman berada di tempat tersebut, bebas berbagi cerita, ambience yang menyenangkan, juga tidak merasa terpaksa untuk berada di tempat tersebut

Seiring berjalannya waktu, third place telah mengalami beberapa perubahan, baik dalam konsep maupun strategi dikembangkannya third place itu sendiri. T hird place menjadi kebutuhan tersendiri bagi setiap orang di tengah kesibukan dan rasa penat yang melanda. Terlebih, semakin banyaknya suatu tempat dikategorikan sebagai third place menjadikan setiap orang memiliki kesempatan yang lebih besar untuk mengunjungi third place tersebut.

Namun, semakin banyaknya third place yang ada di sekitar kita, semakin banyak pula pihak-pihak yang mencoba dengan membuatnya menjadi ladang bisnis sehingga third place menjadi tempat yang tidak bebas lagi. Alhasil, semakin banyak kafe, taman, maupun tempat-tempat umum lainnya yang kurang bisa dikategorikan sebagai third place lagi karena konsepnya yang sudah beralih menjadi

memanfaatkan

keadaan profit oriented oleh segolongan tertentu

Gimana menurutmu? Apakah tempat sedemikian rupa masih bisa dikatakan sebagai third place?

Baca sampai akhir Shirvano Insight Volume 2 Nomor 3

ini,
9 B. Smith, T he third place: W hat is it & how does it relate to coffee shops? Perfect Daily Grind, 15 Juni 2021. [Online]. https: //perfectdailygrind.com/2021/06/the-third-place/ E. Torres, “W hat Is A T hird place? (And Here s W hy You Should Have One), T he Good Trade, 23 Juni 2023 [Online]. https //www.thegoodtrade.com/features/third-place-community-spaces/ J. Harbinger, “W hy You Need a T hird Place (And How to F ind One), T he Jordan Harbinger Show, 2 April 2018. [Online]. https: //www.jordanharbinger.com/why-you-need-a-third-place-and-how-to-find-one/ P erpustakaan C a f e G ym Bar P la z a P sat R ekreasi T anan Bermain A lam T er b uka Sumber : Unsplash Sumber : Unsplash Sumber Unsplash Sumber : Unsplash Sumber : Unsplash Sumber Unsplash Sumber : Unsplash Sumber : Unsplash
ya!

Unveiling Modern Third Place: Is it Truly Exclusively Inclusive?

The Role of Third Place in Shaping The Community

Pernahkah, atau malah, seringkah, kamu merasa lelah dengan aktivitas sehari-hari yang berputar di antara rumah dan kantor saja? Lalu, pernahkah di dalam keseharian yang monoton tersebut kamu mampir ke sebuah tempat, bisa jadi cafe maupun perpustakaan atau taman, yang membuatmu nyaman dan betah bertahan berjam-jam

hingga menjadi tempat langgananmu?

Selamat! bisa jadi kamu telah menemukan third place-mu. Lalu, apakah kamu juga merasa, ketika kamu berada di tempat tersebut, kamu merasa seolah terhubung dengan tempat tersebut maupun orang-orang yang juga menjadikan tempat tersebut sebagai tempat langganannya?

Why Does Third Place Need to be Inclusive?

Ruang ketiga memiliki peran sebagai ruang publik yang unik untuk interaksi sosial, menciptakan suasana yang ramah, spontan, membangun komunitas, dan mengekspresikan emosi. Ruang ketiga juga berfungsi sebagai sarana untuk tetap terhubung dengan realitas melalui hubungan personal yang dekat di luar rumah dan tempat kerja1.

Bagi kita sebagai seorang individu, ruang ketiga berperan sebagai tempat pelarian dari tuntutan sehari-hari baik di rumah maupun di tempat kerja. Tempat ini memberikan tanpa kekakuan kebijakan maupun eksklusivitas keanggotaan klub atau organisasi. Bagi komunitas secara keseluruhan, tempat ketiga

perasaan inklusivitas dan kebersamaan yang terkait dengan partisipasi dalam aktivitas sosial kelompok,

dapat memperkuat ikatan komunitas melalui interaksi sosial.

Ruang ketiga juga perlu untuk dapat memberikan perasaan keamanan dan perlindungan dengan akses publik yang memadai dan mendorong interaksi yang terbuka dan terlihat2. Seperti yang dikatakan

Oldenburg sendiri bahwa, Ruang ketiga tidak lebih dari sekadar tempat kumpul publik yang informal”3.

CURRENT EVENT
10 Sumber :
| Unsplash
Ross Sneddon

Apabila mengacu pada karakteristik ruang ketiga berdasarkan Buku The Great Good Place (1989) dari Ray Oldenburg4, banyak hal yang menitikberatkan bahwa ruang ketiga perlu menjadi ruang yang mudah diakses dan digunakan oleh siapa saja, seperti dari sisi aksesibilitas dan akomodasi menuju ruang tersebut.

Lalu bagaimana langkah-langkah yang perlu diterapkan agar ruang ketiga dapat menjadi ruang yang inklusif?

It’s all about LOCATION

Aksesibilitas dan konektivitas terhadap lokasi dengan berbagai moda transportasi maupun jalur pejalan kaki, menjadi hal yang paling penting untuk menciptakan ruang ketiga yang inklusif. Jika lokasinya tidak dekat dan tidak mudah dijangkau orang-orang akan mudah untuk meninggalkan ruang ketiga tersebut.

Keep it COMFORTABLE

Pastikan untuk memperhatikan kenyamanan orang-orang dengan menawarkan beragam pilihan skala dan variasi tempat duduk yang menarik bagi individu maupun orang banyak. Menyediakan variasi memastikan bahwa semua orang merasa diterima dengan baik dan dapat menggunakan ruang tersebut sesuai keinginan mereka. Selain itu, pencahayaan yang cukup, termasuk sinar matahari alami dan teduh saat siang hari, serta cahaya buatan saat malam hari, dapat mempengaruhi seberapa nyaman orang merasa dalam ruang tersebut.

Facilitate all kinds of COMMUNICATION

Oldenburg menggambarkan percakapan sebagai aktivitas utama dalam tempat ketiga. Percakapan jaman sekarang tidak terbatas pada berbicara dengan orang yang duduk di sebelah Anda; namun dapat juga berarti melakukan panggilan video. Sehingga tersedianya fasilitas wifi menjadi poin plus bagi ruang ketiga.

Engage in the COMMUNIT Y PLANNING, PROGRAMMING, AND PARTNERSHIP

Untuk mencapai hal ini, kita harus bertanya: Untuk siapa kita merancang tempat ini? Dan siapa yang lebih baik untuk ditanya daripada masyarakat itu sendiri?

Pada akhirnya, meskipun dengan mempertimbangkan semua aspek desain yang tepat, pemrograman dapat menjadi faktor penentu dalam membuat semua orang merasa diterima dengan baik. Buat pilihan dengan masukan dari masyarakat lokal. Dan jangan lupa: Beberapa ruang yang tidak diprogramtempat untuk menjadi diri sendiri, apa adanya - juga sangat penting

Sumber gambar (background): Random Institute | Unsplash

15
5 . Oldenburg, R., & Brissett, D. (1982). The third place. Qualitative Sociology, 5(4), 265–284. doi:10.1007/bf00986754 2 Soukup, C. (2006). Computer-mediated communication as a virtual third place: building Oldenburg s great good places on the world wide web. New Media & Society, 8, 421 - 440. 3 Jeffres, L. W., Bracken, C. C., Jian, G., & Casey, M. F. (2009). The impact of third places on community quality of life. Applied Research in Quality of Life, 4 333 345. doi:10.1007/s11482 009-9084 8 4 Oldenburg, R. (1989). The Great Good Place: Cafés, Coffee Shops, Community Centers, Beauty Parlors, General Stores, Bars, Hangouts, and how They Get You Through the Day. Paragon House Publishers 5 Robinson, N. (2020, December). 4 Steps to Creating Inclusive, Anti-Racist Third Spaces. planning.org. Retrieved August 2, 2023 from https: //www.planning.org/planning/2020/dec/tools-how-to/ 11 1 2 3 4 Sumber : Karolis Vaiciulis | Unsplash

Third Place Nowadays

Ruang ketiga kini tidak hanya terbatas pada ruangan tertutup atau indoor. Cafe yang banyak dijadikan sebagai tempat ketiga pun kini banyak yang sudah mulai menyediakan ruang outdoor untuk para pengunjungnya. Memang pada awalnya Ruang Ketiga (Third Place) berkesan buruk dan identik dengan budaya konsumtif. Istilah Third Place hanya mengarah kepada tempat-tempat hangout seperti kafe dan bar. Padahal istilah Third Place juga mengarah pada ruang-ruang terbuka kota, seperti taman kota, plaza, dan sidewalk dimana masyarakat dapat menghabiskan waktu untuk berkumpul dengan saudara atau teman-teman sambil menikmati suasana kota. Oleh Karena itu Third Place juga disebut sebagai a public meeting place6.

Fenomena Tempat Ketiga (third place) berdampak pada penggunaan ruang luar kota (void) yang pada awalnya dari penggunaan ruang dalam (indoor) mulai beralih ke ruang luar (outdoor). Yang semula mall dan kafe menjadi ruang favorit yang beralih ke ruang-ruang luar, seperti taman, jalan, sidewalk, hingga atap bangunan (roof top). Keberadaan jalan yang awalnya sebagai elemen fisik kota dengan fungsi sebagai jalur sirkulasi, kini mengalami transformasi menjadi Tempat (place) yang mengakomodir aktivitas sosial, seni budaya, komunitas, dan ekonomi, baik itu terencana maupun tidak terencana. Begitu juga dengan taman kota, yang semula dianggap sebagai ruang terbuka kota menjadi ruang berkumpul dan rekreasi7.

Exclusively Inclusive?

Menilik kembali ke tahun 2022, kehadiran Citayam Fashion Week yang berlokasi di Kawasan TOD Dukuh Atas, Jakarta, menjadi fenomena menarik yang ‘menggemparkan’ Indonesia. Kehadiran anak muda dari pinggiran kota Jakarta yang meramaikan kawasan ini menjadi tempat hangout lengkap dengan agenda adu outfit yang ciamik, membuat kawasan ini muncul menjadi ruang ketiga yang tidak direncanakan sebelumnya. Zebra cross pada kawasan ini menjadi saksi nyamannya pemuda-pemudi

SCBD (Sudirman-CitayamBojong-Depok) memanfaatkan ruang kota menjadi ajang mengekspresikan diri mereka melalui fashion show

santai, casual, dan apa adanya.

Kawasan yang dulu terkenal akan eksklusivitasnya karena dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi tempat perkantoran elit, siapa sangka dapat menjadi ruang ketiga bagi anak-anak muda yang justru banyaknya berasal dari daerah penyangga Ibu Kota Jakarta. Hal ini secara langsung dapat membuktikan bahwa

faktor kemudahan aksesibilitas serta faktor kenyamanan dan fasilitas yang memadai

terutama pada ruang terbuka publik berperan penting dalam terbentuknya sebuah ruang ketiga. Namun fenomena ini juga sejatinya dapat menjadi pembelajaran dan cerminan pada tiap-tiap daerah untuk lebih memperhatikan kebutuhan dan hak masyarakat akan ruang publik yang mudah diakses, nyaman, dan aman untuk semua pihak.

12
yang
6 Larice, M., & Macdonald, E. (2007). The urban design reader. Routledge. 7  Jaya, M. A. (2018). Transformasi Tempat Ketiga (third place) dari Ruang Dalam (indoor) Menuju Ruang Luar (outdoor): Studi Kasus Kota Palembang. Jurnal Arsir Universitas Muhammadiyah Palembang, 2(1), 58–60. Sumber : Robbi | Unsplash Sumber : Leah Kelley | Pexels

Citayam Fashion Week yang menjadi highlight dari kegiatan berkumpulnya anak-anak muda di kawasan Dukuh Atas tersebut sempat menghadapi krisis dengan rencana akan didaftarkannya nama tersebut sebagai Hak Kekayaan Intelektual oleh salah seorang selebriti. Rencana ini tentunya menuai respon negatif dari berbagai pihak karena dinilai merusak keunikan dan citra inklusif dari Citayam Fashion Week itu sendiri. Selain itu pendaftaran HAKI atas Citayam Fashion Week juga dicurigai dapat menguntungkan sebelah pihak padahal kegiatan kegiatan fashion show tersebut terbentuk secara organik dan atas inisiatif sendiri dari pemuda-pemudi SCBD (Sudirman-Citayam-Bojong-Depok).

Krisis yang dihadapi CItayam Fashion Week baru merupakan salah satu contoh dari komersialisasi dan privatisasi atas ruang terbuka publik yang menyimpan potensi besar untuk menjadi third place bagi semua lapisan masyarakat. Ruang terbuka publik yang seharusnya bersifat inklusif malah terebut akibat keserakahan pribadi dan dijadikan ladang cuan eksklusif yang hanya dapat dinikmati sebagian kalangan. Peran pemerintah menjadi krusial untuk bisa menghadirkan ruang-ruang publik yang inklusif, layak, nyaman, dan mudah dijangkau masyarakat dengan berbagai moda transportasi, khususnya transportasi umum, agar tidak ada lagi drama yang terjadi seperti pada kasus Citayam Fashion Week. Pemerintah juga harus tegas dalam membuat aturan dan batasan dari ruang publik tersebut agar semua pihak dapat merasa nyaman dalam menggunakannya.

13
Situasi Kegiatan
Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Citayam_fashion_week.jpg
Citayam Fashion Week Situasi di sekitar Sudirman Sumber: Rafael Antatya | Unsplash Sumber: Rafael Antatya | Unsplash

Third Places and Its Success Story

Introduction kafe-kafe di Prancis, beer gardens di Jerman dan Amerika, serta pub di Inggris.

Istilah third place yang pertama kali diperkenalkan pada 1990 oleh Ray Oldenburg melalui buku The Great, Good Place1 menyebutkan bahwa fenomena third place juga tercatat dalam sejarah sejak dahulu contohnya antara lain

Lantas, hal apa saja yang dapat dipelajari dari sejarah maupun success story banyak third place di dunia?

A Place Where the Geniuses were a Regular: Café de Flore

Salah satu kafe tertua di Prancis yang telah berdiri sejak 1880  ini, merupakan saksi sejarah sekaligus sebagai bukti bahwa sejak dahulu, third place telah menjadi  tempat untuk memenuhi kebutuhan bersosialisasi manusia. Terletak tepat di ujung jalan Boulevard SaintGermain dan Rue Saint-Benoît serta dilayani oleh stasiun Saint-Germain-des-Prés pada jalur 4 Paris Metro menjadikan kedai kopi ini masih populer sebagai tempat tujuan tak hanya bagi kalangan selebriti untuk sekedar hang out, tetapi juga orang biasa atau bahkan sebagai destinasi wisata menarik bagi para turis.

Selama lebih dari 50 tahun,

Café de Flore menjadi titik temu bagi pembahasan sastra, perdebatan filosofis, maupun tempat dimana mimpi-mimpi artistik dilahirkan 2

Letaknya berdekatan dengan gereja Saint-Germain-desPrés yang sekitarnya seringkali terkait dengan kelompok tertentu sekaligus menjadi benteng bagi kelompok The French Action. Café de Flore kemudian menjadi tempat bagi Charles Maurras dalam menyusun pengambilalihan kekuasaan. Buletin perdana The French Action bahkan ditulis di lantai pertama Café de Flore.

Menjelang akhir Perang Dunia I Café de Flore mulai menarik keberadaan seniman untuk datang. Guillaume Apoillionaire pada 1917 menghabiskan hari-harinya di sana. Selain menulis buku-buku yang akan dirilis selanjutnya ia juga mengajak teman senimannya untuk datang dan berdiskusi: André Breton, Paul Réverdy, Louis Aragon, dan Paul Éluard. Di sinilah Revolusi Surealis atau aliran Surealisme dimulai, sebuah gerakan budaya seni penulisan.

Penulis dan filsuf terkenal lainnya seperti Georges Bataille, Robert Desnos, Léon-Paul Fargue, Raymond

Queneau, hingga Pablo Picasso merupakan pelanggan tetap Café de Flore. Perdana Menteri Tiongkok, Zhou

Enlai, juga diketahui sebagai pelanggan tetap selama masa tinggalnya di Prancis pada tahun 1920-an.

14
OTHER FACTS
1 Conti, A. 2022 Do Yourself a Favor and Go Find a Third Place Available: https:// www.theatlantic.com/family/archive/2022/04/third-places-meet-new-people-pandemic/629468/ 2 Gastronomos. Café de Flore The most mythical of Paris coffee shops. Available: https:// gastronomos.fr/en/restaurants/paris-en/cafe-de-flore-the-most-mythical-of-paris-coffee-shops/ Café de Flore Sumber : wethepeoplestyle.com Café de Flore Sumber : Cyril Jayant (2015) | fineartamerica.com

The Humble yet Fun Place to Meet: Angkringan

Angkringan merupakan warung kecil yang menawarkan makanan tradisional jawa dalam porsi kecil dengan harga yang relatif murah

mengaksesnya dengan berjalan kaki,

Tempat populer bagi kalangan muda di Yogyakarta untuk bertemu sejak awal 1980-an ialah angkringan3. . Di samping itu, tata letak dan suasana yang tercipta juga menimbulkan kesan sederhana. Kesederhanaan inilah yang kemudian menjadikan angkringan populer bagi kalangan muda untuk  bertemu tanpa membedakan latar belakang mereka pada era ini.  Hingga pada akhir 1980-an, angkringan masih populer bagi kalangan muda. Angkringan kemudian menjadi tempat berkumpul pagi para mahasiswa sebab jumlahnya yang tersebar di banyak tempat menjadikan mahasiswa dapat sekaligus tata letaknya yang cenderung terbuka, dengan seat type dan seat orientation yang beragam sehingga lebih fleksibel dan menjadikan semakin banyak orang dapat ikut datang, berkumpul, dan berdiskusi.

Lesson Learned

Dari kedua tempat di atas, diketahui setidaknya dua hal yang dapat dipelajari:

1) Letak

Strategis.

Café de F lore yang berada di pusat kota serta berada di area padat aktivitas, menjadikannya ramai tak hanya oleh orang yang berlalu lalang melewatinya dalam melakukan aktivitas keseharian, tetapi juga menjadi tujuan untuk berkumpul dan berdiskusi berbagai kalangan sebab letaknya yang mudah diakses oleh banyak orang. Keberhasilannya di masa lampau dalam menghadirkan tempat ketiga dan melahirkan banyak pemikiran, menjadikan unsur historisnya sangat menarik dan menguatkan identitas-nya sebagai third place yang kemudian dapat lebih banyak menarik pengunjung termasuk wisatawan.

Berbeda dengan kelas-kelas perkuliahan, di angkringan mahasiswa tak perlu takut untuk mengeluarkan gagasannya4. Selain high degree of freedom, angkringan juga jauh lebih fleksibel dalam menerima kedatangan mahasiswa untuk berdiskusi dibanding kampus mengingat kampus memiliki jam kerja dan akan tutup di waktu malam. Angkringan berhasil menawarkan waktu tidak terbatas bagi mahasiswa untuk menajamkan pikirannya lewat interaksi sosial yang terjadi di dalamnya. Penelitian Affandi dan Iskhak (2015), menunjukkan terdapat dua golongan utama mahasiswa yang rajin ngopi di angkringan4 diantaranya:

Mahasiswa Aktivis. Mahasiswa Akademik.

Golongan ini memanfaatkan angkringan sebagai tempat diskusi isu-isu sosial politik hingga koordinasi rencana kegiatan. Kebutuhan interaksi antar manusia untuk bergurau juga terpenuhi khususnya diantara teman sebaya.

Umumnya mereka datang secara individu atau dalam kelompok untuk memesan minuman/makanan yang dihabiskan sembari menyelesaikan tugas yang mereka perlu kerjakan. Dengan datangnya mereka ke angkringan tak hanya kewajiban mengerjakan tugas mereka yang terpenuhi, tetapi juga kebutuhan interaksi sosial.

2) Kebebasan, fleksibilitas, dan detail .

Dalam kasus angkringan, salah satu alasan utama kalangan muda datang ke angkringan ialah kebebasannya untuk berpendapat dan berdiskusi. Di samping itu, fleksibel dan selalu ada menjadi hal penting sehingga angkringan menjadi tujuan berkumpul mahasiswa kapan saja sebab jam bukanya yang fleksibel. Hal inilah yang kemudian tidak ditawarkan oleh banyak tempat, bahkan termasuk ruang-ruang kelas di kampus. Dalam mendukung keberlangsungan diskusi, fleksibilitas angkringan tak hanya soal waktu, tetapi juga hingga terbukanya angkringan pada jumlah massa baik itu sedikit maupun banyak sebab kondisinya yang cenderung

terletak pada area terbuka baik itu duduk maupun lesehan sederhana menjadikannya lebih terbuka untuk menerima banyak jumlah maupun banyak kalangan.

15
3 Manifesty, O., and Afif, N. 2018. From Angkringan to Coworking Space: The Emergence of New Social Spaces for Young People. Available: https://www.researchgate.net/profile/OdiliaManifesty/publication/332446329_From Angkringan to_Coworking Space The_Emergence of_New Social Spaces for Young People/links/5cb5e50f299bf120976a9cfe/FromAngkringan-to-Coworking-Space-The-Emergence-of-New-Social-Spaces-for-Young-People.pdf  Affandi, M., and Iskhak, B. 2015. Fenomena Mahasiswa Ngopi di Angkringan 99. Paradigma: 1-7 Angkringan Sumber: V isiting Jogja

Philosophical Axis of Yogyakarta at the Jogja Planning Gallery

Legenda:

a. Gunung Merapi

b. Tugu Pal Putih

c. Pasar Gedhe

d. Alun-Alun Lor/Utara

e. Masjid Gedhe Kauman

f. Area nDalem Keraton

g. Alun-Alun Kidul/Selatan

h. Panggung Krapyak

i. Laut Selatan

Komplek Depan Kerato Komplek Inti Kerato Komplek Belakang Keraton

Ilustrasi Topografis Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningkrat

Sumber: Balas Cagar Budaya Provinsi D.I. Yogyakarta, 2017

Daerah Istimewa Yogyakarta atau yang sering disebut Jogja merupakan salah satu provinsi yang diistimewakan di Indonesia berdasarkan tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan undang-undang tersebut, Jogja memiliki keistimewaan dalam menjalankan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

UU No. 13

Pada praktiknya, Jogja yang kaya akan budaya menawarkan banyak hal yang bisa dinikmati oleh

tempat, makanan, kesenian, sosial, dan juga adat istiadat

yang sudah melekat khas dengan karakter Jogja itu sendiri. Sebagai bentuk pelestarian kebudayaan yang ada, pemerintah senantiasa melakukan pengembangan demi yang dimiliki, termasuk salah satunya membangun beberapa museum yang menyajikan banyak hal mengenai Yogyakarta.

menjaga

sumbu filosofis Kraton

Salah satu keistimewaan Jogja terbentuk dari tata kotanya yang berorientasi pada Sumbu filosofis tersebut terbentang dari

Gunung Merapi, meliputi Tugu Golong Gilig/Pal Putih –Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak, hingga ke

18 Satuan Ruang Strategis Kasultanan

Sumbu filosofis ini juga merupakan dan

18 Satuan Ruang Strategis Kasultanan dan Kadipaten merupakan satuan ruang Tanah Kasultanan yang memiliki kriteria tertentu mulai dari filosofis, sejarah, adat, saujana, dan/atau cagar budaya. Kesemuanya memiliki pengaruh yang penting terhadap pelestarian kebudayaan, kepentingan sosial, kesejahteraan masyarakat sekitar, dan juga kelestarian lingkungan kawasan Yogyakarta1. 18 Satuan Ruang Strategis (SRS) Tanah Kasultanan terdiri dari kawasan-kawasan berikut ini:

Peta Persebaran 18 Satuan Ruang Strategis (SRS) Tanah Kasultanan

Sumber: Sikoper DIY | Google Maps

16 a b c 1 2 3

hubungan manusia

Satuan ruang tersebut ditata berdasarkan filosofi yang mendalam mengenai

dengan Tuhan dan alam.

sangkan paraning dumadi linggayoni

F ilosofi ini dikenal sebagai dan tergambarkan dalam simbol dan yang mencerminkan

perjalanan hidup manusia sejak lahir sampai

menghadap Yang Maha Kuasa.

Letaknya yang strategis menjadikan kawasan

tersebut banyak dikunjungi oleh orang-orang baik

lokal maupun interlokal, termasuk wisatawan dari

mancanegara yang penasaran tentang keindahan

Yogyakarta. Banyaknya tempat yang bisa

dikunjungi menjadikan Yogyakarta memiliki jumlah

third place yang melimpah dan menjadi idaman

bagi banyak orang. Konsep third place yang tidak

hanya melulu berupa kafe, bar, dan lain sebagainya

menjadikan Yogyakarta tempat yang pas untuk

bersantai ria. Berdasarkan survei yang dilakukan

Jakpat pada Juni 2022 dengan melibatkan lebih dari

1.100 responden,

yang ingin dikunjungi saat musim

liburan setelah Bali (26,8%) dan Raja Ampat (9,8%)2.

etalase yang

menyajikan kebudayaan lampau

Jogja

Melalui nilai-nilai luhur karakteristik kebudayaan yang dimiliki, pemerintah ingin membuat serta menampilkan visi pembangunan di masa mendatang bertajuk Sebagai sebuah museum, tempat ini akan  memberikan pengalaman khas Yogyakarta bagi setiap pengunjungnya. Selain itu, adanya Jogja Planning Gallery juga dapat menjadi

Planning Gallery. ruang promosi bagi para pelaku seni dan kerajinan lokal, tempat wisata edukasi, serta menjadi representasi kebudayaan DIY

sendiri.

Dibangunnya Jogja Planning Gallery di sumbu filosofis kawasan koridor Malioboro diharapkan dapat menambah wawasan kepustakaan tentang budaya bagi pengunjung atau masyarakat lokal. Serta menjadi third place dimana pengunjung dapat mengunjungi tempat ini sebagai ruang bebas yang memenuhi kebutuhan sosial masyarakat, seperti bercengkrama dan bersosialisasi dengan orang lain.

pendapa, pringgitan, dan dalem, galeri yang

grapyak

pendapa

pringgitan

Terinspirasi dari gaya arsitektur rumah jawa yang terdiri dari 3 bagian yaitu, Jogja Planning Gallery ini bertujuan menjadi (ramah). Ketiga bagian rumah ini memiliki filosofi dan fungsinya masing-masing. Bagian adalah bagian pertama yang berfungsi sebagai tempat penerima tamu atau mengadakan sebuah pertemuan. Selanjutnya, bagian kedua berupa yang digunakan sebagai penghubung antara pendapa dengan omah yang biasanya dipakai untuk bermain wayang. Sementara itu, adalah bagian utama berbentuk persegi atau persegi panjang yang berfungsi sebagai tempat tinggal penghuni.

Konsep arsitektur bagi para penghuni. Adanya area publik berupa pendapa yang bisa disebut sebagai third place seringkali digunakan sebagai tempat berkumpul serta mengadakan berbagai pertemuan. Konteks bahwa first place adalah area dalem (tempat tinggal) dan second place adalah ruang luar berupa tempat kerja seperti kantor, sawah, kebun, pasar, dan lain sebagainya menjadikan pendapa sebagai sarana menghilangkan rasa bosan yang dirasakan.

rumah jawa pada dasarnya mengakomodasi terbentuknya third place

15
Sumber : Jogja Planning Gallery 2021| Shirvano Consulting
Available: http://www.sipr.jogjaprov.go.id/sikoper/tarupedia/detail/srs-tanah-kasultanan. [Diakses 13 Agustus 2023]. 2 M. A. Rizaty, “7 Destinasi Wisata Lokal yang Paling Diminati Warga, bali Juara,’ Katadata Media Networks, 23 Juni 2022. [Online]. Available: https://
[Diakses 3 Agustus 2023]. 17
1 Sistem Informasi Komunikasi Penataan Ruang, “Satuan Ruang Strategis (SRS) Tanah Kasultanan,” Sistem Informasi Komunikasi Penataan Ruang. 23 agustus 2021.
[Online].
databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/23/7-destinasi-wisata-lokal-yang-paling-diminati-warga-bali-juara.
itu
dalem

Tentang Natas, Nitis, Netes

Desain Jogja Planning Gallery yang ditawarkan ini mengangkat konsep Natas, Nitis, Netes, manusia berasal dari Tuhan, hidup bersama Tuhan, dan nantinya akan kembali kepada Tuhan.

sebuah pitutur Jawa yang mengingatkan kita bahwa

Para pendahulu atau sesepuh kita berusaha memberikan pesan untuk memahami posisi diri sendiri sehingga mampu mengetahui apa yang seharusnya dilakukan.

Kita berasal dari mana, kini berada di mana, dan nanti kita akan di mana.

Konsep ini pada dasarnya menjelaskan mengenai apa yang ada di

masa lampau, masa kini, dan masa mendatang yang mengedepankan nilai-nilai luhur (andhap asor).

Natas, Nitis, Netes akan menjadi pedoman bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya tujuan dalam hidup.

Mudahnya akses dalam mengunjungi Jogja Planning Gallery juga menjadi salah satu alasan mengapa tempat ini bisa dikatakan sebagai third place. Mengingat bahwa kunci utama dari third place adalah ‘yang mudah diakses oleh siapapun’. Adanya sirkulasi pedestrian bagi para pejalan kaki menjadi sebuah kelebihan yang bisa dirasakan oleh para pengunjungnya.

Berada di tengah kota, akses menuju tempat-tempat strategis dari Jogja Planning Gallery juga dirasa dekat dan mudah. Dekat dengan stasiun kereta dan shelter Trans Jogja  menjadikan Jogja Planning Gallery bisa dijangkau dengan transportasi umum, terlebih adanya rencana pembangunan LRT akan menjadikannya semakin mudah diakses sehingga masyarakat akan semakin nyaman dan variatif dalam mengakses Jogja Planning Gallery ini.

Desain Jogja Planning Gallery  nantinya akan memiliki berbagai segmen. Halaman depan yang luas bisa digunakan tidak hanya oleh para pengunjung galeri, tetapi juga oleh masyarakat luas.

Penempatan Jogja Planning Gallery Dengan pohon-pohon dan kolam bermaksud untuk menghadirkan suasana yang sejuk. Berbagai macam tumbuhan digunakan di taman ini, mulai dari big tree, small tree, feature plant, shrub, dan juga ground cover.

taman di depan

18
Sumber
Consulting | 2021
: Shirvano

hilir (Netes)

Hulu (Natas)

Taman di depan Jogja Planning Gallery ini merepresentasikan bagian hulu (natas) & hilir (netes). menandakan awal mula yang baik dan alami, ditandai dengan adanya elemen hijau dan biru melalui pohon-pohon serta kolam sehingga menciptakan kesan yang alami serta damai.  Sementara itu, menjadi tempat berkumpul utama sekaligus titik akhir pengalaman ruang selubung kota (galeri utama). Ruang taman yang menyediakan lawn, seating area, dan levelling step bisa dinikmati oleh para pengunjung yang ingin menikmati sajian museum maupun yang datang untuk bertemu dan bersosialisasi satu sama lain.

Untuk mengalami keseluruhan pengalaman filosofis Natas, Nitis, Netes, pengunjung dapat masuk ke dalam ruang selubung kota. Di dalam galeri ini, pengunjung akan dimanjakan dengan display perjalanan perkembangan Yogyakarta, dari masa lalu, masa kini, hingga rencana di masa depan.

Kawasan baru yang bisa dijadikan third place ini akan memberikan daya tarik tersendiri bagi para pengunjung dan masyarakat setempat. Selain bisa melihat bagaimana perkembangan kebudayaan yang ada di Yogyakarta, pengunjung bisa menjadikan museum seperti Jogja Planning Gallery sebagai third place yang pastinya akan memberikan kebermanfaatan yang besar bagi siapapun yang mengunjunginya. Bertambahnya third place juga akan menguntungkan kawasan sekitaran Jogja Planning Gallery, seperti masyarakat bisa membuka usaha souvenir khas

Yogyakarta di sekitar Jogja Planning Gallery, kawasan tambahan untuk parkir, membuka rumah makan, atau hanya sekadar membuka warung kelontong yang menyediakan makanan ringan bagi para pengunjungnya.

Sebagai masyarakat yang nantinya akan mengunjungi Jogja Planning Gallery ini, gimana pendapat kamu tentang pembangunan Jogja Planning Gallery yang bisa juga menjadi konsep third place bagi masyarakat umum? Atau mungkin punya gambaran sendiri tentang bentang budaya yang dijadikan third place?

19
Sumber : Shirvano Consulting | 2021

DIGEST PROJECT 1

Railside Eats and Treats

Ruang yang terjangkau oleh siapa saja dan terkoneksi oleh berbagai moda transportasi merupakan salah satu modal utama terbentuknya sebuah third place. Third place yang kerap dijadikan tempat ‘pelarian’ untuk dijadikan tempat bersantai dari kejenuhan rutinitas sehari-hari, keberadaannya akan semakin powerful apabila dipasangkan dengan tersedianya fasilitas penunjang tenant makanan atau bahkan coffee shop. Proyek kali ini merupakan penggabungan dari dua hal powerful penunjang sebuah third place yaitu aksesibilitas terhadap moda transportasi umum dalam kasus ini yakni stasiun, dan area komersial berupa kedai makanan.

Site Context

Secara kontekstual, lokasi site ini terbilang berada di lokasi yang sangat strategis dan terkoneksi dengan berbagai fasilitas publik mulai dari masjid, pasar, hingga stasiun. Lahan yang akan difungsikan sebagai area komersil ini

memanfaatkan lahan parkir yang sudah tidak terpakai

dengan luas kurang lebih sekitar 1.688 meter persegi. Lokasi tapak juga menempati area yang relatif ramai dan dekat dengan area pemukiman warga dengan lalu lintas yang cenderung lancar namun padat pada jam-jam tertentu. Akses menuju lokasi site dapat diraih dari jalan besar satu arah, dan didukung oleh transportasi umum berupa angkutan kota. Dengan lokasinya yang strategis dan langsung terkoneksi dengan stasiun, bangunan komersil ini memiliki potensi yang kuat untuk dapat dimanfaatkan sebagai area komunal yang menjadi ruang ketiga bagi masyarakat yang tinggal dan beraktivitas di sekitarnya.

Reference

Dalam proses pengembangan desainnya, bangunan ini banyak mengacu pada referensi bangunan serbaguna (mixed use) yang menggabungkan beberapa fungsi pada satu bangunan. Bangunan yang dijadikan referensi pun relatif memiliki fasad yang ‘terbuka’ sehingga tidak terkesan privat dan eksklusif. Peletakan aksesibilitas seperti tangga dan seating plan dari bangunan-bangunan tersebut pun dibuat apa adanya dan seolah menjadi elemen yang ikut menyambut pengunjung. Seating plan yang diterapkan pada bangunan tersebut pun banyak dijadikan acuan untuk menghadirkan area komunal namun tetap nyaman dan dapat dipergunakan secara maksimal baik untuk pengunjung dari tenant maupun untuk kegiatan nongkrong yang sifatnya lebih casual.

Werk 12 karya MVRDV dan N-V-O Architekten sebagai Referensi Desain Sumber: Ossip van Duivenbode | archdaily.com

The Commons karya Departement of Architecture

Sumber: Ketsiree Wongwan | archdaily.com

20

Building Mass Transformation

Meskipun berfungsi sebagai bangunan komersil, pengembangan desain dari bangunan ini tetap dibuat dengan semaksimal mungkin. Seperti massa bangunan yang dibuat merespon bangunan publik di sekitarnya dengan memberi ruang sirkulasi yang cukup menuju stasiun dan mengatur penempatan massa bangunan sehingga tidak menghalangi visibilitas terhadap sarana umum seperti stasiun dan masjid. Massa bangunan untuk kegiatan utama yaitu komersial dibuat dan satu sama lain. Tidak lupa, kehadiran area hijau untuk area outdoor maupun semi outdoor juga tetap menjadi prioritas untuk dapat menghadirkan yang maksimal, sambil menambah nilai estetika serta mendukung kegiatan di bangunan yang nyaman, sejuk, dan asri.

ramah dalam merespon kondisi kontekstual site modularsaling terintegrasi area resapan

Transformation Design

15

Program Ruang & Denah

Untuk pembagian denah dan program ruang, bangunan ini akan terbagi menjadi dua lantai, dengan dantetap fokus terhadap penyediaan Namun pada lantai satu, area parkir akan ikut mengimbangi proporsi ruang tenant, dan pada lantai dua dan akan ikut menjadi area penting yang menyediakan beragam seating area bagi tenant, serta berperan sebagai ruang komunal bagi pengunjung. Tenant utama yaitu restoran, dengan kebutuhan ruang paling luas akan berada di lantai satu, sedangkan kedua tenant lainnya yang merupakan coffee shop dan tenant ice cream akan berada di lantai dua, dengan mini stage dan seating plan outdoor yang akan didesain relatif lebih kasual dan santai.

lantai satu dua ruang tenant sebagai kegiatan komersil. area outdoormini stage

Sumber : Shirvano Consulting | 2023 22

Interior & Eksterior

Lantai dua bangunan yang menjadi pusat dari kegiatan komunal tidak hanya difasilitasi dengan seating area yang memadai, namun juga didukung dengan dihadirkannya berbagai macam dan

tanaman rindang sebagai peneduhtanaman hias yang menambah estetika.

Sehingga pengunjung yang berkegiatan di lantai dua yang mulai dari sekedar menyeruput kopi, makan es krim ataupun ngobrol-ngobrol santai ini pun semakin dibuat nyaman dan betah. Penggunaan dan yang selaras dengan kehadiran elemen vegetasi yang telah banyak dihadirkan.

material bata ekspos dan parket kayu juga menambah kesan naturalsuasana alami

23 Sumber : Shirvano Consulting | 2023

Masjid Baabul Khoirot: A Place Where Your Spiritual and Community Needs Are Accommodated

Masjid Baabul Khoirot: A Context

Masjid Baabul Khoirot berlokasi di wilayah permukiman padat Lebak Bulus, Jakarta Selatan yang mayoritas dihuni oleh pemeluk agama islam yang taat. Terletak pada area pemukiman dengan kondisi sosial budaya yang beragam menjadikan

masjid tidak hanya sebagai sarana peribadatan, tetapi juga sebagai tempat menimba ilmu agama, pelayanan kesehatan, mewadahi aktivitas kemasyarakatan, hingga taman bermain.

Di samping itu, dominasi suku betawi yang merupakan penduduk DKI Jakarta yang kemudian bercampur dengan etnis pendatang lainnya seperti Jawa, Melayu, Bugis, Bali, Makassar, Sunda, dll menciptakan kondisi sosial budaya unik di wilayah tsb.

Desain masjid berupaya mengimplementasikan konsep Ecomunity Mosque dengan yakni: tiga pilar utama dalam mentransformasikan ruangnya

alam

Design to Enhance Funct ion

Lantas selain konsep yang berupaya diterapkan, hal lain apa yang menarik dari Masjid Baabul Khoirot dan identitasnya sebagai third places? Shirvano melakukan pendekatan melalui desain arsitektur yang kemudian menjadikan konsep tak lagi hanya sebagai teori tetapi sesuatu yang dapat langsung dirasakan. Pada dasarnya, desain dan arsitektur bukan hanya soal estetika, tetapi juga upaya konkrit dalam menciptakan ruang ruang fungsional dan efisien yang dapat meningkatkan kualitas hidup.

E-Masjid: Masjid yang melampaui zamannya

Zonasi

Rencana Zonasi Masjid Sumber: Shirvano Consulting | 2021

Dalam konteks third places, Masjid Baabul Khoirot berupaya menghadirkan ruang interaksi bagi banyak aktivitas masyarakat dan upaya ini dibuktikan dengan keseriusannya dalam menerapkan konsep Community yang menjadikan masjid sebagai ruang temu bagi masyarakat untuk berkegiatan.

Zona Masjid Zona Ruang Komunal.

Masjid direncanakan memiliki dua zonasi utama yaitu dan Keduanya memiliki fungsi berbeda di mana Zona Masjid diperuntukkan bagi kegiatan utama yakni peribadatan, sedangkan Zona Ruang Komunal berfungsi sebagai wadah aktivitas masyarakat yang mana di dalamnya terbagi lagi atas dua fungsi sebagai serambi dan RTH.

Zona Ruang Komunal inilah yang kemudian sesuai dengan karakteristik third places yang berupaya diwujudkan oleh Masjid Baabul Khoirot. Nantinya, serambi dan RTH diharapkan dapat menjadi ruang yang dapat mengakomodasi masyarakat tidak hanya dalam urusan ibadah, namun juga ruang temu interaksi rembug bagi masyarakat luas.

2
DIGEST PROJECT
Eco-logy: Masjid yang merespon
1
2
Com munity: Masjid sebagai Community Center
3
24

Site Plan Masjid

Sumber: Shirvano Consulting | 2021

Detailed Design

Di samping merupakan visualisasi desain untuk zona masjid yang utamanya diperuntukkan bagi kegiatan peribadatan maupun pembelajaran agama. Terdiri atas 2 lantai yang memisahkan laki-laki di lantai 1 dan perempuan di lantai 2. Pencahayaan terutama di siang hari bersumber dari cahaya matahari langsung yang sesuai dengan konsep ecology dimana efisiensi energi diusahakan sebaik mungkin. Selain itu, sirkulasi udara cukup baik mengingat banyak bukaan langsung ke area luar.

Site Plan

Melanjutkan pembahasan RTH pada sub-bab sebelumnya, berdasarkan site plan dapat dilihat bahwa komposisi ruang hijau cukup dominan terutama pada zona luar yang direncanakan berfungsi sebagai RTH. Desain ini cukup sesuai dengan konsep yang diusung sebab RTH dapat memperluas area resapan, artinya masjid berupaya merespon alam melalui upaya water harvesting dan water management. Dalam konteks third places, RTH disini tak hanya berfungsi dalam merespon alam, tetapi juga memungkinkan masyarakat untuk bertemu dan berinteraksi di dalamnya dengan nyaman.

Desain Masjid

ecology

Sumber: Shirvano Consulting | 2021

Serambi masjid didesain dengan pertimbangan utama yakni fungsinya sebagai ruang komunal bagi masyarakat untuk berinteraksi. Pada dasarnya, ruang serambi terkoneksi langsung dengan area luar masjid sehingga memberikan kesan inklusif dimana ruang ini terbuka bagi siapa saja yang ingin berkegiatan di dalamnya tanpa sekat atau pembatas tertentu. Inklusif disini juga termasuk pada penyediaan jalur khusus penyandang difabel yang bisa dilihat pada gambar di atas. Artinya, Masjid Baabul Khoirot berupaya memberikan akses sebaik mungkin tanpa terkecuali dari berbagai elemen jamaah di masyarakat.

Elemen RTH di sini unik sebab tak hanya memenuhi tujuannya sebagai instrumen dalam merespon alam, tetapi atas intervensi desain yang baik, desain RTH melalui pemilihan vegetasi dan pengaturan landscaping menjadikan visual bangunan jauh lebih menarik. Masjid Baabul Khoirot bukan hanya menyediakan ruang peribadatan yang nyaman melalui ruang hijau dan ruang komunalnya, melainkan juga dapat dengan mudah menarik perhatian masyarakat untuk datang dan berkegiatan di dalamnya sebab estetika visualnya yang menarik.

25

Current Use

Diresmikan pada 15 Oktober 2022 lalu

oleh Gubernur DKI Jakarta menjabat saat itu, Anies Baswedan, terhitung telah sembilan bulan Masjid Baabul Khoirot beroperasi hingga tulisan ini terbit. Kemudian bagaimanakah implementasi desain bagi kehidupan masyarakat sekitar masjid? Apakah tujuan desain tercapai? Apakah masjid betul-betul dapat menghadirkan third place seperti yang direncanakan? Selanjutnya, tulisan ini juga akan mengajak pembaca untuk turut mengulik bagaimana penggunaan masjid saat ini.

Tempatnya nyaman, selalu ramai dan meriah oleh jama’ah saat ada acara keagamaan

Dari ulasan-ulasan yang ada, di samping merupakan beberapa yang menunjukkan bahwa . Mengutip ulasan dari dari salah satu pengulas pada laman Google Maps

Masjid Baabul Khairat sukses menjadi third place bagi masyarakat sekitar ataupun pengunjung

“..seiring perkembangan zaman, tempat ibadah di desain modern sehingga tetap mendapat suasana khusyuk.”

Ulasan ini menggambarkan bagaimana desain visual masjid sangat menarik bagi peninjau sekaligus membuktikan konsep e-Masjid pada poin technology dan modern. Berikut merupakan beberapa current use bersumber dari unggahan masyarakat luas yang menunjukkan bagaimana keadaan saat ini dengan rencana awal.

siapa yg sangka tempat yg pertama kali saya lihat sebagai guest house ini ternyata adalah masjid?

MasyaAllah, emang ya seiring perkembangan zaman, tempat ibadah dapat didesain semodern itu dan yang ke sana pun tetap mendapat suasana khusyuknya.

Diketahui dari gambar di atas, zona masjid sebagaimana direncanakan menjadi ruang peribadatan berhasil memenuhinya. Kegiatan ibadah tak hanya soal sembahyang lima waktu, tetapi hingga pembelajaran dan pendalaman dalam forum seperti terlihat pada gambar. Artinya, masjid sukses dalam menghadirkan tempat ibadah yang dapat menggenapi kebutuhan spiritual  masyarakat. Mengutip ulasan dari Kopi Hitam pada laman Google Maps

“..anak anakku senang main dan betah beribadah disana.”

Ulasan ini menunjukkan bahwa Masjid Baabul Khoirot berhasil menghadirkan ruang ibadah bagi berbagai segmen usia.

Gambar di atas cenderung didominasi oleh kelompok usia dewasa, sedangkan berdasarkan ulasan tersebut, anak-anak pun turut meramaikan dan nyaman untuk beribadah di masjid.

Ketiga ulasan di atas cukup merepresentasikan bagaimana serambi mempertemukan masyarakat dari berbagai elemen dengan satu tujuan yakni menghidupkan masjid. Hidup disini dapat hadir dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Maasjid Baabul Khairat, “..selalu ramai dan meriah saat acara keagamaan,”.

- Brenda Laurel

a design isn't finished until someone is using it
Pengguna 1 Pengguna 3 Masjid yang nyaman, asri dan penuh keramahan. Betah berlama lama Pengguna 4 Estetik, Nyaman, Indah, anak”Ku jadi senang main di masjid dan betah beribadah di sana. Pengguna 2
Ulasan Masjid Pada Laman Google Maps
 Sumber : Google Maps | 2023 Current
Sumber
Current
Sumber
26
Use Zona Masjid
: Unggahan Google Maps | 2023
Use Serambi Masjid
: Unggahan Google Maps | 2023

Current Use RTH Masjid

Sumber: Unggahan Google Maps | 2023

Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa

RTH digunakan oleh masyarakat baik itu dalam memenuhi kebutuhan ibadah ataupun kebutuhan komunitas.

Pada pelaksanaan hari besar umat islam seperti Sholat Idul Fitri, jamaah yang datang membludak sehingga tidak semua dapat diakomodasi oleh zona masjid. Oleh karenanya, RTH Masjid kemudian dapat difungsikan khususnya bagi jamaah perempuan untuk tetap bisa melaksanakan ibadah di area tersebut dengan nyaman di lingkungan yang asri. Di samping itu, kebutuhan komunitas untuk berkumpul juga dapat diakomodasi oleh RTH. Dapat dilihat bagaimana kumpulan pemuda menggunakan area RTH sebagai tempat berkumpul yang kemudikan diabadikan dalam gambar di atas. Ini kemudian berkaitan dengan desain RTH yang memiliki intervensi landscaping menjadikan masjid memiliki daya tarik tersendiri sebab visual estetikanya yang sangat baik. Hal menarik lainnya adalah artinya Masjid Baabul Khoirot tak hanya menarik kehadiran kelompok dewasa untuk beribadah, kelompok anak-anak untuk belajar agama dan bermain, tetapi juga kelompok muda untuk berkumpul dan diskusi. Mengutip dari ulasan Ahmad Kurtubi “Masjid yang nyaman, aman, dan penuh keramahan. Betah berlama-lama.”

Sumber : Shirvano Consulting | 2023

Lesson Learned

Dari Masjid Baabul Khoirot bisa kita pelajari bahwa desain yang baik bukan hanya semata-mata sebagai visualisasi rencana, melainkan sebagai tools bagi sebuah bangunan untuk dapat menacapai tujuan utamanya. Dalam hal ini, Desain dengan visual estetika yang baik juga dapat meningkatkan rasa nyaman bagi siapapun di dalamnya untuk beraktivitas, dibuktikan dengan Masjid Baabul Khoirot yang berupaya menghadirkan estetika melalui intervensi landscaping menjadikannya menarik bagi berbagai kalangan usia serta membuat siapapun di dalamnya menjadi betah untuk berkegiatan.

desain Masjid Baabul Khoirot membantu mengantarkan masjid sampai ke tujuan dimana masjid bukan lagi semata-mata hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga ruang temu atau bahkan pusat kegiatan bagi masyarakat yang dapat menebarkan manfaat melalui penggunaan tiap-tiap ruangnya.

Jadi, apakah menurutmu Masjid Baabul Khoirot telah sukses menciptakan third places di masyarakat melalui bangunan tempat ibadah?

Design is not just what it looks and feels like. Design is how it works.
27
- Steve Jobs

Urbanism: Studi Kasus Citayam Fashion Week

Citayam Fashion Week di Jalan Tanjung Karang, kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, sempat ramai diperbincangkan sebagai pro dan kontra. Komunitas yang memprakarsai kegiatan tersebut dikenal sebagai komunitas SCBD (Sudirman Citayam Bojonggede, dan Depok) dari pinggiran Kota Jakarta yang ingin mengekspresikan diri dengan mengenakan pakaian nyentrik di fasilitas umum pusat kota1. Polres Jakarta Pusat mengklaim fenomena tersebut mengganggu ketertiban lalu lintas di jalur penyeberangan pejalan kaki karena aktivitas fashion catwalk dan parkir kendaraan yang tidak tertata2.

Jika kita bisa melihat fenomena ini dari perspektif desain perkotaan, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi area sekitar melalui Lydon et al. menjelaskan bahwa

Pendekatan ini dapat menciptakan mobilitas yang lebih sehat dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Salah satu format tactical urbanism yang paling terkenal adalah Menurut Bartolini, street experiment adalah

street experiment. perubahan sementara yang disengaja dalam penggunaan dan regulasi keseluruhan badan jalan serta untuk mengeksplorasi perubahan sistematis dalam mobilitas perkotaan4.

Pendekatan ini cepat dan murah untuk diterapkan dibandingkan dengan pekerjaan pembangunan perkotaan yang masif. Namun, Sicignano mengatakan ada beragam pendapat dan kritik terkait pengurangan area tempat parkir dan jalur lalu lintas5. Hal ini dikarenakan street experiment cenderung

“for people”

Greater Metropolitan Area (Tactical Urbanism di Costa Rica dengan desain yang penuh warna pada jalan yang biasanya berwarna abu-abu dan menjemukan) 28

tactical urbanism. tactical urbanism muncul sebagai solusi bottom-up, berbiaya rendah, dan praktis untuk masalah perencanaan tata Citayam Fashion Week di Jalan Tanjung Karang, Dukuh Atas Sumber: Media Indonesia | 2022 1   T. J. Post, Tapping potential young voters from the Citayam Fashion Week phenomenon, The Jakarta Post, Jul. 19, 2022. Available: https: //www.thejakartapost.com/opinion/2022/07/19/ tapping-potential-young-voters-from-the-citayam-fashion-week-phenomenon.html. [Accessed: Aug. 05, 2023] 2   Y. Baskoro, Citayam Fashion Week Becomes Internet Sensation, Jakarta Globe, Jul. 23 2022. Available: https: //jakartaglobe.id/vision/citayam-fashion-week-becomes-internet-sensation

ruang Costa M. Lydon and A. Garcia, Tactical Urbanism. Washington, DC: Island Press/Center for Resource Economics, 2015 doi: https: //doi.org/10.5822/978 1 61091 567 0 L. Bertolini, From streets for traffic to streets for people : can street experiments transform urban mobility?, Transport Reviews, vol. 40, no. 6, pp. 1–20, May 2020, doi: https: // doi.org/10.1080/01441647.2020.1761907 G. Sicignano, LONGREAD MILAN BEFORE AND AFTER: CITYWIDE PLACEMAKING The City at Eye Level, May 20, 2022. Available: https: //thecityateyelevel.com/stories/longread-milanbefore-and-after-citywide-placemaking/

Tactical
Street Experiment sebagai Bentuk
OPINIONS
Rica’s
3. Sumber: Media Indonesia | 2022
mengambil lahan parkir dan area lain yang tidak berorientasi pada pejalan kaki. Terkait hal ini, dia kembali menambahkan bahwa menurut pemantauan dan pengamatan di fasilitas publik perkotaan, area yang dirancang
digunakan lebih intens dan lebih dicintai oleh penggunanya daripada ruang yang didominasi oleh mobil.

merubah penggunaan ruas jalan menjadi ruang publik interaktif.

Salah satu dari empat jenis street experiment yang dapat diterapkan di Jalan Tanjung Karang adalah Beberapa ide yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

Ubah persimpangan di Jalan Tanjung Karang menjadi plaza dengan mewarnai jalan dan menambahkan street furniture yang menarik seperti planter box atau bollard. Tindakan ini dapat dilaksanakan oleh warga sekitar dan komunitas terkait sebagai event gotong royong. Hal ini dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dari ruang publik itu sendiri.

Mengadakan aktivitas yang menarik, seperti melanjutkan kegiatan Citayam Fashion Week disertai pameran UMKM yang tertata rapi dan dijaga kebersihannya

Transformasi ini dapat diimplementasikan selama 2 minggu sekali sembari dievaluasi secara berkala. Dalam jangka panjang, tranformasi sementara ini bahkan bisa berubah menjadi permanen. Bagian penting dari street experiment adalah keterlibatan publik. Dalam hal ini, semua pemangku kepentingan (Pemerintah Daerah, Komunitas Sudirman Citayam Bojonggede, dan Depok (SCBD), penduduk sekitar, perancang kota, ahli transportasi, dan akademisi) harus terlibat. Riset mendalam terkait analisis lalu lintas juga penting untuk menciptakan street experiment yang berhasil.

The Plaza Program (Upaya Kota New York yang dipimpin oleh Departemen Transportasi untuk menciptakan ruang publik berkualitas tinggi)

Sumber: NYC Department of Transportation (DOT ) | 2009

Street experiment di Jalan Tanjung Karang dapat mengubah

Jalur untuk mobil akan diubah ukurannya, ruang parkir akan digeser, dan jalur untuk pejalan kaki serta pesepeda akan lebih luas, sehingga area untuk beraktivitas lebih aman dan nyaman untuk semua moda perjalanan

Persimpangan Jalan di Milan, Italy (Mengubah persimpangan dan segmen jalan menjadi area menarik bagi publik. Persimpangan ini dulunya berbahaya, terutama bagi para murid yang menyeberang jalan)

Sumber: The City at Eye Level | 2022

Visualisasi Ide Sumber: Veronica Mandsari | 2023
lebih
menarik
lingkungan menjadi
aktif dan
29
Veronica Mandasari Senior Urban Designer Shirvano Consulting
AFTER AFTER BEFORE BEFORE

An interview:

Third Place

Interviewer: Fadhila Nur Latifah, Prisca Bicawasti B. S., dan Fadilla Giffariny Amuna

Transcriber: Prisca Bicawasti B. S.

“Indikator keberhasilan sebuah permukiman menurut saya ya kebahagiaan masyarakat,”

Q: Apakah istilah third place ideal digunakan di Indonesia?

A:

“Third place hanyalah sebuah istilah,”

ungkap Mbak Weni

Terminologi ini datang dari negara barat yang memiliki arti public meeting space, namun nyatanya budaya di Indonesia sudah menerapkan fungsi third place sebagai ruang berkumpul atau guyub. Area ini tercermin pada bangunan vernakular yang umumnya memiliki sebuah tempat yang bisa digunakan bersama sama

“Sebenarnya kita engga pernah membawa budaya apapun ke Indonesia, karena third place itu memang sudah ada,”

tutupnya.

Q: Apakah tantangan dalam merancang third place?

Q: Apakah ada contoh third place yang berhasil di Indonesia?

A: Jujur saya amazed dengan desain Tebet Ecopark,”

ujarnya

Di luar dari polemik pro kontra Tebet Ecopark, keberadaan taman kota ini berhasil mengundang banyak masyarakat untuk merasakan sejuknya pepohonan hijau di tengah hiruk pikuk ibu kota

One satrio juga menarik, warna baru retail shop, yang biasanya one entr y gate, ini benar benar open access,”

lanjutnya.

Q: Boleh diceritakan singkat tentang proyek third place PUPLA Project?

A:

Ruang publik erat kaitannya dengan kepentingan pemilik bagi kelompok tertentu seperti pemerintah, perancang, atau kelompok masyarakat tertentu. Dibutuhkan sinergi aktif yang menyatukan beberapa kepentingan antar kelompok . Tantangan dalam merancang juga ditemui dalam membentuk sebuah third place yang inklusif.

“Pemikiran kecil seperti penambahan ramp sebagai akses vertikal,”

jelasnya.

Mbak Wenie juga memberikan contoh sebuah TOD (Transit Oriented Development) yang dibangun atas dukungan banyak belah pihak baik dari kementerian, kelompok keahlian, dan pihak swasta. Namun sayangnya, hal kecil seperti konektivitas sirkulasi ramp tidak menerus dari satu lokasi ke lokasi yang lain. Sehingga fungsi dari ramp sendiri menjadi kurang berguna. Sumber : Pupla

A: PUPLA Projects memiliki dua pengembangan area yang bertemakan third place antara lain Kamal Muara dan Rusunawa Marunda. Proyek di Kamal Muara berada di Marunda, Jakarta Utara. PUPLA Project mengolah kembail sebuah tempat menjadi ruang publik bersama. Salah satu lokasi yang diolah adalah di sekitar masjid, karena memiliki karakteristik paling fleksibel di area ini. Selain menjadi tempat ibadah, lingkungan masjid dapat juga difungsikan sebagai area berkumpul untuk penyuluhan, senam, dan parkir motor wisatawan Pulau Seribu saat weekend. Selanjutnya area tersebut diolah PUPLA menjadi ruang terbuka dan bermain bagi anak anak seperti ular tangga dan maze. Meskipun terlihat sederhana, tetapi banyak manfaat yang dirasakan.

30
FROM THEIR PERSPECTIVE
| Instagram
Project

“Area ular tangga dan maze bener-bener nggak ada satu pun yang beradi parkir di situ, Warganya juga seneng, dibilang, wah sekarang saya gampang ya kalau cari anak saya, karena saya taku mainnya tuh pasti di sana (di area ular tangga dan maze),”

Ucap Mbak Wenie memperagakan ucapan ibu-ibu Kamal Muara.

Pada proyek Rusunawa, PUPLA Project mengolah lahan yang kurang aktif di 4 klaster rusunawa dengan 2 880 unit hunian. Proyek ini terletak di perbatasan wilayah Jakarta Utara, Jawa Barat, dan Laut Jawa. Umumnya penghuni rusunawa merupakan masyarakat terdampak relokasi permukiman kumuh atas adanya program pembangunan. Mbak Wenie dan tim membuat visioning ruang komunal yang bisa direalisasikan pada area rusunawa.

Q: Bagaimana kondisi karakteristik di Kamal Muara dan Rusunawa Marunda?

A: Jika dilihat secara mendalam, Kamal Muara memiliki beberapa area yang berpotensi menjadi ruang kumpul bersama. Namun pada keseharian, area tersebut digunakan masyarakat untuk melakukan pekerjaan nyungkil kerang. ucap

“Ruang kosong yang kita sebut sebagai third place, akhirnya dia terkonversi menjadi second place. Karena dijadikan tempat bekerja untuk mereka bersama-sama mencari uang,”

Mbak Wenie. Sejatinya tempat tersebut tidak bisa menjadi third place yang digunakan untuk bermain, lantaran limbah kerang hijau menumpuk di area tersebut dan bertambah setiap harinya.

Sementara di proyek Rusunawa Marunda, masyarakat setempat menginginkan adanya sebuah ruang bermain di ruang yang kurang berfungsi. Area ini menjadi istimewa saat Marunda masuk menjadi salah satu destinasi wisata unggulan di Jakarta dengan adanya Rumah Si Pitung dan Masjid Al Alam yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Masyarakat setempat memiliki kemauan yang kuat untuk menciptakan hal-hal baru. Dengan kolaborasinya dengan kelompok ahli, masyarakat Marunda memiliki sebuah marketplace lokal untuk membeli dan mengantar barang; sistem pengolahan sampah, taman, kebun sayur, hingga hidroponik sendiri; serta penyulingan air hujan.

Q: Apakah metode pendekatan yang digunakan dalam membuat third place dengan masyarakat Kamal Muara dan Rusunawa Marunda?

A: “Jadi metode yang dikembangkan sebetulnya participatory discussion, banyak pihak yang dilibatkan,” jawabnya. Tidak hanya masyarakat, namun PUPLA sendiri melakukan open collaborator dari berbagai background pengalaman dan pendidikan sehingga mendapatkan ide pengembangan yang  beragam. Saat berdialog dengan warga, PUPLA tidak melakukan diskusi secara formal namun dikemas secara menaik melalui permainan untuk anak-anak dan ibu-ibu serta aktivitas guyub bareng dengan kelompok bapak-bapak.

Marunda?

A:

Melalui eksekusi experimental, Mbak Wenie dan tim mendapatkan pengalaman berharga yang menjadi evaluasi di penerapan berikutnya.

“Bisa gak sih kalau kita benarbenar cuman langsung convert ruang ekonomi yang biasanya jadi parkiran (untuk wisatawan Pulau Seribu), langsung di-convert jadi public space buat anak-anak bermain. Berhasil nggak sih? Coba aja langsung bikin, kalau gagal ya nggak apa-apa,”

jelas Mbak Wenie. Kendati tempat bermain anak hanya aktif beroperasional dalam kurun waktu 6 bulan, hal ini membuat PUPLA Project semakin kenal dekat dengan warga. Serta mendapatkan temuan baru bahwa tidak bisa sebuah tempat langsung mengalami perubahan fungsi yang drastis. Bagi Mbak Wenie kegagalan bukanlah hal yang harus disesali, namun ada fakta baru dimana adanya sebuah pola dari solusi yang memiliki limitasi seperti usia atau durasi aktif.

“Kita harus bikin ruang yang fleksibel, ya, terhadap perkembangan zaman, misalkan”

tutupnya.

Sumber: Pupla Project | Instagram
31
Sumber: Pupla Project | Instagram

Volume 2 Nomor 3

Periode Juli-September 2023

Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.