SAYYIDUL AYYAM EDISI IX | MARET 2016

Page 1

EDISI IX| MARET 2016

SAYYIDUL YYAM

RINI SUGIANTO ANIMATOR INDONESIA DI KANCAH DUNIA

WONDER WOMAN


In This Issue 5 Fokus|Wanita 9 Dialog|Esensi Peran Wanita 15 Hot Topic|Mitos Ibu Hamil 19 Sosok|Rini Sugianto 25 Cerpen|Penantian 35 Resensi|Film Coet Nja’ Dhien 39 Galeri|Indonesian Day at ENSAF 41 Lifestyle|Wanita Masa Kini 45 Puisi|Memori 47 Pojok|Teror

1 EDISI IX//MARET 2016


09

41

15

19

SAYYIDUL YYAM meet the team PPI Maroko Director of Content Agus G. Ahmad Executive Editor Azhari Mulyana Project Manager Rumaisah Murobbiyah

Office Manager Fakih Abd. Aziz

Interns Aniq Nawawi, Basyir Arif, Arif Afandi, Sarah Lathoiful, Arif Fadhila, Fahruddin, M. Sajid

Executive Assistant Rendika Agustianto Account Strategist Layyinah Nur CH. Creative Director Risky Muhammad H.

Contact 10, Sect. D Nouveau Kouass Yacoub El-Mansour 10050 Rabat ppimaroko@gmail.com

EDISI IX//MARET 2016

2


Publisher’s Note WANITA selalu menjadi sesuatu yang tak bosan untuk dibicarakan, sebagai bahan obrolan di sela-sela minum kopi atau di mana pun, kapan pun. Dalam satu kata singkat, wanita itu menarik. Tentu yang saya maksud menarik dalam arti positif. Mungkin ini juga ada kaitannya dengan “hukum sebab-akibat”, karena wanita yang cenderung lebih banyak berbicara diban­ dingkan pria, sebagai timbal-baliknya wa­ nita juga yang lebih banyak dibicarakan. Dalam bahasa Indonesia, wanita juga disebut “perempuan”. Menurut bahasa Sans­ kerta, akar kata perempuan berasal dari kata “empu” yang biasa digunakan untuk mengungkapkan arti mulia dan berilmu tinggi. Seakar juga dengan kata “puan”, yang merupakan sapaan hormat bagi kaum hawa. Yang saya coba sampaikan di sini, menurut terminologi kata perempuan sendiri, wanita dalam pandangan bangsa Indonesia--dan tidak berlebihan jika--dianggap sebagai makhluk mulia. Atau mungkin ini merupakan cita-cita leluhur kita, untuk mengenyahkan dogma bahwa wanita merupakan makhluk yang lemah dan tak berdaya. Mereka yang di­ ciptakan Tuhan hanya sebagai pendam­ ping dan penghibur Adam di surga maupun

anak cucunya di dunia. Padahal, lebih dari itu, wanita diciptakan untuk mengisi kekosongan hati pria. Kekosongan hati yang sering kita sebut dengan “kesepian”. Yah, wajar jika kita--dan saya sendiri sebagai seorang pria--tak pernah jenuh mengobrol tentang wanita. Wanita sudah mendarah daging di urat nadi kehidupan, kehidupan sendiri dititipkan melalui rahim wanita, dicekoki darah dagingnya di dalam sana. Ketika kehidupan terlahir, seorang wanita diangkat ke derajat yang jauh lebih tinggi lagi, ibu. Saya selalu penasaran dengan jawaban yang akan diberikan wanita ketika dihadapkan antara kehidupan janin atau kehidupannya sendiri. Mungkin hasrat ini baru bisa terpenuhi jika menjadi dokter, bukan berarti saya mengharapkan hilangnya sebuah kehidupan, ini semata-mata hanya rasa ingin tahu. Tapi, saya selalu kembali ke jawaban yang sama berulang-ulang: seorang wanita akan terus berjuang demi kehidupan sang anak dan kehidupannya sendiri, karena wanita diciptakan sebagai pendamping, itu juga berlaku untuk anak yang ia kandung. Mungkin ini hanya asumsi pribadi, namun juga sebuah kepercayaan kepada sosok wanita.

Selamat membaca,

Agus G. Ahmad @goesghulam

3 EDISI IX//MARET 2016


“Be yourself; everyone else is already taken” Oscar Wilde

Don’t forget visit us in facebook fanspage: PPI Maroko and our instagram: @ppimaroko and our twitter: @ppimorocco|Official Website: www.ppimaroko.com

EDISI IX//MARET 2016

4


SayyidulAyyam

FOKUS

photo by: Amrullah WD

Wanita

dan Hal-Hal Lain Yang Tak Pernah Selesai

Saat Adam diciptakan dan ditempatkan di surga beserta keindahaan dan ke­ nya­ manannya, dia merupakan manusia pertama yang menikmati­ kenikmatan surgawi dengan segala fasilitas VVIP-nya. Akan tetapi, ke­ puasan mendapatkan pasangan–Hawa–menjadi puncak dari anugerah yang Allah berikan kepada Abul Basyar “Bapak Manusia” itu.

5 EDISI IX//MARET 2016


Keberadaan Hawa sebagai partner dan pasangan bagi Adam menjadi qarar (keputusan) dari Allah bahwa kehidupan makhluk berlangsung dalam keberpasangan dengan berbagai keutamaan dan kekurangan di kedua pihak, namun tidak menafikan keberadaan salah satu­nya.

Kodrat wanita sebagai pasangan pria seringkali disalah artikan sebagai pembagian kasta dalam kelas kehidupan, padahal baik pria maupun wanita memiliki relnya sendiri dalam menyu­ suri jalur hidupnya.

Kesadaran seperti ini menjadi dasar akan keharmonisan kehidupan manusia dari mulai lingkup terkecil dalam berkumpul hingga yang terbesar, namun dalam dialognya dengan peradabaan manusia terlebih di era postmodern seperti sekarang ini, banyak yang salah kaprah dalam memahami ide keberpasangan ini.

Hal ini menjadi stigma yang membuat mereka merasa terkucilkan meski oleh para “pejuang”nya. Dahulu peran wa­ nita ‘katanya’ hanya sebatas ibu rumah tangga, nyatanya mereka masih da­ pat berkiprah dalam bidangnya sendiri, bahkan tak sedikit yang namanya ha­rum di deretan para pahlawan. Tanpa perlu embel-embel dan seremonial mereka turun urun bersama para pria, berjuang demi kemerdekaan bangsa.

Penguasaan dan kepahaman akan hak dan kewajiban masing-masing individu yang tidak sama, seringkali kabur saat dibenturkan dengan nilai yang baru dari lingkungan yang berbeda, keniscayaan ini memang menjadi garis kepastian yang tidak bisa ditolak.

Jadi, membenturkan ide kemandirian dengan hak asasi adalah bentuk kekeliruan belaka, menjadi wani­ ta artinya menjadi pribadi yang bermanfaat–tentu­nya dalam kadar­nya­ masing-masing–tanpa harus membandingkannya de­ngan pria.

Pemahaman yang konferhensif akan suatu masalah menjadi suatu tuntutan dalam menyikapai berbagai hal di era sekarang ini.

Rifqi Maula, Lc. MA.

Alumnus S2 Universitas Hassan II - Casablanca

EDISI IX//MARET 2016

6



Tari Ondel-Ondel Indonesian Day at ENSAF


ESENSI

Peran Wanita Yang Dilematis

9 EDISI IX//MARET 2016


DIALOG

SayyidulAyyam

“A woman is the full circle. Within her is the power to create, nurture and transform.” Mariechild

photo by: M. Tanzil Furqan

Wanita; ia adalah seorang yang tidak pernah memiliki jeda untuk diper­ bincangkan. Pembahasan tentang­ nya ti­ dak pernah menemui kata usai. Keberadaannya di dunia seolah selalu menimbulkan kontroversi dari berbagai aspek. Baik dalam ranah peran, posisi, hingga emansipasi. Semuanya masih menjadi topik yang tidak pernah dingin untuk dibahas. Ia tidak jarang menjadi tema dan bahan khusus dalam sebuah dialog atau diskusi. Salah satunya adalah tentang eksistensi peran wanita ketika sudah berumah tangga.

Muhim Nailul Ulya

Mahasiswi S1 Universitas Imam Nafie - Tangier

EDISI IX//MARET 2016

10


Perbedaan peran seorang wanita akan terlihat kentara ketika ia terlepas dari status pelajar dan menginjak status barunya sebagai seorang istri. Ketika ia telah menyandang status barunya, di sana ia dituntut untuk mengekang peran­ nya dalam status pendamping hidup.

anak-anaknya di rumah, apakah pendidikan yang ia peroleh akan berakhir begitu saja? Atau, haruskah ia membagi dirinya yang satu menjadi dua; artinya sukses dalam karir dan rumah tangganya? Ironisnya, tidak sedikit dari mereka yang beranggapan bahwa tidak ada gunanya memperoleh pendidikan tinggi jika kodrat wanita hanyalah duduk terdiam di rumah, dengan menjalankan segala aktivitas sebagai ibu rumah tangga mulai dari hal yang berkaitan dengan sandang, pangan, dan papan. Hal ini sangat memprihatikan me­ ngingat seorang wanita adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Terlebih para wanita menjadi tolok ukur kemajuan sebuah negara, maka sangat diperlukan sekali pendidikan yang tinggi baginya.

Masing-masing wanita memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menentukan masa depannya. Sekalipun sebagian dari mereka memiliki latar belakang yang sama. Misalnya; wanita yang telah memperoleh pendidikan tinggi hingga doktoral, ada yang ingin meniti karirnya dengan menjadi dosen, ada pula yang ingin menginjak ranah politik. Ada juga wanita yang memperoleh gelar sarjana, namun ingin menjadi ibu rumah tangga sukses dengan terus mengikuti perkembangan du­nia pendidikan. Setiap oknum memiliki orientasi yang tidak selalu sama dalam Dari sini, peran wanita menjadi sangat menentukan dunianya. dilematis. Wanita yang memilih untuk menjadi istri sejati, bisa dibilang buJika seorang wanita telah memilih du­ kan lah hal yang tidak sulit. Ia memiliki nianya dengan berkecimpung dalam tanggung jawab besar. Mulai dari menkarirnya, apakah lantas ia terlepas dari didik anak, baik tata krama maupun tanggung jawab utamanya sebagai se- akademiknya, hingga mengurus rumah orang istri? Atau jika ia memilih hakikat dengan segala atributnya. Ia tidak ha­ perannya sebagai ibu yang mendidik nya sebatas duduk tanpa pekerjaan.

11 EDISI IX//MARET 2016


Justru dengan mendidik anaknya, ia juga dituntut untuk mengikuti perkemba­ ngan dunia pendidikan dan akademik. Di sisi lain, wanita yang berkarir pun memiliki peran yang tak kalah sulit. Ia tidak bisa terlepas dari kewajibannya sebagai istri dan ibu rumah tangga. Tapi justru di sinilah, seorang wanita yang sesungguhnya menjalankan dua perannya sekaligus. Peran ‘dalam’ sebagai ibu yang mengasihi dan mendidik buah hati­ nya, peran luar sebagai wanita yang ikut serta membangun negara, baik melalui pendidikan, politik, bisnis, dan lain sebagainya. Wanita karir yang sesungguhnya adalah yang dapat memerankan kedua perannya dengan seimbang. Jika berat sebelah, alangkah lebih baiknya ia menitik beratkan esensi perannya sebagai wanita yang bertugas menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Seperti yang dikatakan oleh Eleanor Roosevelt, “A woman is like a tea bag, you can’t tell how strong she is until you put her in hot water”. Seorang wanita layaknya kantong teh, kamu tidak bisa mengatakan seberapa kuat dia sampai kamu memasukkannya ke dalam air panas. Dengan inilah, keistimewaan wanita akan terlihat ketika ia sukses dalam menjalankan kedua porsi tersebut. Ia mendapat berbagai pelajaran dari du­nia kemudian menyalurkan kepada para penerusnya. Hingga terbentuk lah generasi yang kelak menjadi seperti yang ia harapkan. Tentunya, generasi yang diharapkan ini dihasilkan oleh wanita-wanita cerdas yang bertindak selaku seorang ibu. Ibu yang mempu menempatkan dirinya sebagai guru di rumah, sekaligus teman bagi sang buah hati tercinta. Buah dari kasih sayang seorang ibu.

EDISI IX//MARET 2016

12



Master of Ceremony Indonesian Day at ENSAF


SayyidulAyyam

HOT TOPIC

PEREMPUAN

Hamil Dilarang Keluar Rumah Saat Gerhana Antara Mitos dan Agama

15 EDISI IX//MARET 2016


HOT TOPIC

SayyidulAyyam

BEBERAPA minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 9 Maret 2016. Gerhana Matahari Total (GMT) melintasi wilayah Indonesia. Peristiwa alam langka ini dapat disaksikan di beberapa provinsi di Tanah Air. Kehadirannya mengundang antusiasme masyarakat Indonesia yang sangat luar biasa. Mereka beramai-ramai keluar rumah untuk melaksanakan shalat Gerhana berjamaah, atau sekedar menyaksikan serta mengabadikan detik-detik momen bersejarah ini.

photo by: Amrullah WD

Berdasarkan rekam jejak, Gerhana Matahari Total pernah beberapa kali mampir di Indonesia, yaitu pada tahun 1983, 1984, 1988, dan 1995. Setelah Gerhana yang berlangsung kemarin, diperkirakan GMT kembali akan me足 ngunjungi Indonesia pada tahun 2023 nanti.

Herdiansyah Amran, Lc.

Mahasiswa Pasca Sarjana Univ. Cadi Ayyad - Marrakech

EDISI IX//MARET 2016

16


Gerhana matahari merupakan salah satu fenomena alam yang luar biasa. oleh karena itu sejak zaman dahulu hingga saat ini, banyak cerita atau mitos yang berkembang di berbagai belahan dunia seputar peristiwa gerhana matahari. Salah satu dari sekian banyak mitos tersebut--dan cukup masyhur di Indonesia--yang dahulu berasal dari India, bahwa perempuan yang sedang mengandung (hamil) dilarang keluar rumah saat gerhana matahari berlangsung, hal ini karena ditakutkan anaknya nanti terlahir cacat. Mitos ini tentu tidak bisa diterima oleh akal sehat manusia. Sampai saat ini belum ada bukti ilmiah (medis) yang telah membuktikan bahwa gerhana matahari berpengaruh bagi ibu hamil dan jabang bayinya. Secara agama, Islam sangat menentang perkara-perkara berbau mitos, takhayul atau khurafat. Di antara­ nya seputar gerhana. Baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Hal ini bisa ditelusuri dari riwayat-riwayat hadis berikut:

bulan terjadi bukan karena me­ninggal atau hidupnya (lahirnya) seseorang. Maka jika kamu menyaksikannya (gerhana matahari atau bulan) maka shalat dan berdoalah kepada Allah Swt’.” Riwayat lain dari Abu Bakrah menceri­ takan, “Ketika kami bersama Rasulullah SAW, lalu terjadilah gerhana matahari. Maka Nabi SAW berdiri dengan me­ ngenakan selendangnya lalu masuk ke dalam masjid, kami pun masuk (masjid mengikuti beliau). Kemudian Beliau shalat dua rakaat bersama kami hingga matahari kembali nampak. Lalu Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari atau bulan tidak terjadi karena kematian seseorang. Maka apabila kalian menyaksikan peristiwa kedua­ nya terjadi, shalat dan berdoalah hingga selesai gerhana tersebut’.”

Al-Mughirah bin Syu’bah meriwayatkan, “Telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah SAW di hari meninggalnya Ibrahim (putra Rasulullah). Lalu orang-orang (saat itu) berasumsi bahwa peristiwa gerhana matahari tersebut terjadi karena sebab meninggalnya Ibrahim. Lalu Rasulullah SAW bersabda, Dan riwayat dari Abu Mas’ud menyam­ ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan paikan bahwa Nabi Muhammad bersab-

17 EDISI IX//MARET 2016


da, “Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena matinya salah seorang manusia, tetapi kedua­ nya merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Apabila kalian menyaksikannya maka laksanakanlah shalat.”

an dan ke-Maha Kuasa-an Allah SWT. Sejatinya, peristiwa-peristiwa tersebut merupakan cara Allah SWT untuk menakuti hamba-hambanya agar mau kembali dan memohon ampun kepada­-Nya.

Ketiga riwayat hadis di atas (yang hampir sama redaksi tata bahasanya) me­ rupakan bantahan Nabi Muhammad terhadap mitos-mitos yang berkembang di masyarakat jahiliyyah yang saat itu masih meyakini bahwa bintang-bintang dapat menyebabkan terjadinya perubahan di bumi, berupa kematian atau kerusakan. Rasulullah menyampaikan bahwa keyakinan itu sama sekali tidak benar (bathil). Matahari dan bulan merupakan makhluk ciptaan ­Allah SWT yang selalu berotasi pada orbitnya sebagai wujud kepatuhan mereka kepada Penciptanya, Allah SWT.

Oleh karena itu, Nabi Muhammad me­ ngajarkan kepada kita umat Islam bagaimana cara menyikapi fenomena alam berupa gerhana matahari atau bulan tersebut; yaitu dengan mendirikan shalat, memperbanyak doa, dan bersedekah. Bukan malah melakukan kesyirikan dengan meyakini mitos-mitos khurafat yang jauh dari tuntunan syariat tersebut.

Jadi, mitos bahwa seorang ibu hamil tidak boleh keluar rumah saat gerhana, dan beberapa mitos lainnya seputar gerhana sama sekali tidak bisa diterima secara ‘aqliy (akal manusia/sains) Gerhana matahari dan bulan merupa- dan naqliy (teks-teks Kitab dan Hadis). kan sebagian dari tanda-tanda ke-Esa- Wallahu A’lam. Allah berfirman, “Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” “Di antara tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.”

EDISI IX//MARET 2016

18


SayyidulAyyam

SOSOK

19 EDISI IX//MARET 2016


RINI SUGIANTO Animator Indonesia di Kancah Dunia

EDISI IX//MARET 2016

20


SIAPA sih yang tak kenal film animasi Tintin (The Adventure of Tintin : The Secret of The Unicorn)? Film yang diangkat dari serial komik karangan Herge bercerita tentang jurnalis berjambul khas dan kocak yang keliling dunia untuk mengejar potongan puzzle yang mengarah pada harta karun dalam miniatur kapal Unicorn. Dan sedikit info, rute perjalanan Tintin juga mampir ke Tangier (salah satu kota di Maroko) loh. Nah, setelah dikorek lebih dalam, siapa sangka animator salah satu film animasi yang cukup bergengsi ini me­rupakan putra-putri Indonesia. Mereka adalah Sindharmawan Bachtiar, Rini Sugianto, dan Eddy Purnomo. Karena 8 Maret kemarin dunia merayakan Hari Perempuan Internasional, mari kita ambil cerita animator wanitanya, sebagai topik untuk menyambut perayaan kesuksesan wanita Indonesia dan memotivasi kita supaya lebih bersemangat dalam berkarya untuk bangsa dan negara. Setelah berbincang santai melalui social media dengan wanita bernama lengkap Rini Triyani Sugianto ini, ia sempat berbagi cerita untuk kita seputar pengalaman luar biasanya. Berbekal “pantang menyerah, biarpun kelihatanya susah, kalau ada kemauan pasti ada jalan”, Rini Sugianto bisa ikut dalam penggarapan film animasi “The Adventure of Tintin: The Secret of The Unicorn”. RINI SUGIANTO berkecimpung dalam dunia animasi sejak 2005, berbekal ilmu dari kuliah di Academy of Arts San Fransisco, California, ia memulai karirnya. Memang karena sejak kecil Rini sudah suka baca komik Tintin, dan momennya bertepatan ketika Weta Digital Studio mencari animator untuk penggarapan film Tintin. Akhirnya Rini Sugianto mulai menjalin kontrak dengan Weta Digital Studio dan resmi menjadi animator film “The Adventure of Tintin” yang di dalamnya Rini berkontribusi membuat 70 klip.

21 EDISI IX//MARET 2016


Walaupun bisa dikatakan sukses dalam meniti karirnya sebagai animator kelas internasional, tak dapat ia pungkiri bahwa semuanya tak lepas dari proses yang sangat panjang. “Prosesnya kan selama 13 tahun. Dari sekolah, magang, kerja di company-company kecil sampai akhirnya seperti sekarang. Ada up and downnya. Long proses ya,” papar Rini. Setelah perjalanan yang begitu panjang, akhirnya Rini dapat sampai ke Weta Digital Studio tempat ia bekerja saat ini. Perlu diketahui, Weta Digital Studio jugalah yang memproduksi film “Avatar, King Kong, The Lords of The Ring, dan X-Men: First Class”. Dan sekarang ia sedang sibuk mengerjakan project animasi “Ninja Turtle 2” sebagai lanjutan dari serial animasi “Teenage Mutant Ninja Turtle”.

mencoba feature animation Dreamwork atau Pixar.

se­perti

Mempunyai hobi yang bisa menghasilkan penghasilan adalah kebahagiaan tersendiri untuknya, karena hidup adalah perjuangan, maka tidak ada kata menyerah dalam perjuangannya.

Di sela kesibukannya yang padat, ia selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga, walaupun Berkecimpung dengan detail animasi harus mengambil cuti di antara project yang membuatnya harus lembur dan yang harus diselesaikan. bercapek-capek ria tidak membuat Rini mundur dari dunia animasi, malah “Ya agak repot sih. Kadang mau gak semakin mendorongnya untuk te­ rus mau mesti ambil libur between project. maju. Karena ke depannya Rini i­ ngin Dan disempet-sempetin,” ungkapnya.

EDISI IX//MARET 2016

22


Untuk mengisi waktu sebagai hiburan, Rini terkenal menggemari climbing, apalagi ditemani oleh anjing kesayangan­ nya, Kali. Katanya, berkat anjing kesayangan ini memudahkanya saat membuat animasi anjing Tintin. Rini yang sekarang tinggal di Orange County, California ini terus berkecimpung dalam hobinya membuat animasi dan juga fotografi. Sesekali juga ia se­ ring mengikuti marathon. Terakhir Rini berpesan, “Temukan passion kamu, dan jangan menyerah untuk mencapai goal kamu. Bakalan selalu ada up and down perjalanannya, tapi kalau kamu benar-benar menyukai apa yang kamu kerjakan, there is always a way to make it work!” Bagi yang ingin mampir untuk mengunjungi website portofolio atau pun blog pribadinya bisa dilihat di: http://www.triyani.com/ (website portofolio Rini Sugianto) atau http://www.vilenanimation.blogspot.com/ ( personal blog Rini Sugianto). Rini Sugianto dapat dihubungi melalui email: velin13@yahoo.com

Fadhila Rahma Salsabila

Mahasiswi S1 Univ. Sidi Mohammed Ben Abdellah - Fes

23 EDISI IX//MARET 2016


Tari Pasembahan Indonesian Day at ENSAF


PENANTIAN JIKA KAU BERHARAP sebuah kisah cinta yang memikat, rumit dan kompleks, maaf, aku bukan orang seistimewa itu. Aku bukan tokoh Romeo dalam drama tragedi­nya Shakespeare, ataupun Jack Skellington yang dicintai Sally habis-habisan di film “The Nightmare Before Christmas”. Jika terpaksa ingin menuliskan sebuah kisah cinta dengan tokoh utama “aku” di dalamnya, mungkin kau akan membaca dongeng sebelum tidur, kisah cinta sederhana, dan sebelum habis bercerita, kau sudah terlelap dipeluk malam. Yah, semoga kau tidur nyenyak mende­ ngar kisah ini. Sementara itu, sekarang aku masih sibuk bertengkar dengan mata kuliah yang kian mencekik sepanjang hari. Aah, betapa dulu hidup sangat menyenangkan, bermain petak umpet, menghitung satu sampai sepuluh tanpa tahu teman menunggu di belakang punggung. Mungkin menyebalkan ketika harus berjaga lagi, menghitung satu sampai sepuluh lagi, tapi tetap saja terasa menyenangkan. Kala itu tak ada batasan gender, bahkan temanku Anita larinya lebih kencang dari pria ma­ napun di kampung, dan terkadang aku ikut bermain rumah-rumahan di halaman belakang, atau bermain lompat tali dengan teman-teman wanita, yang teriakan­ nya

macam kucing kawin. Tapi, ketika melihat saudaraku yang lain sudah berseragam putih abu-abu, terlintas di benak bahwa saat dewasa nanti akan lebih menyenangkan, dengan uang saku yang lebih banyak tentunya. Aah, sekarang aku berkutat di depan laptop dengan bahan ujian yang menumpuk. Ku kira saat dewasa akan bersenang-senang, namun di dahiku jelas tertulis kata ‘membosankan’. “Di sana jam berapa ya?” kalimat itu yang selalu muncul di sela-sela spasi tugas ini. Ketika jarak sudah berdampak sampai ke perbedaan jam, mungkin itu yang orang bilang LDR ‘Long Distance Relationship’. Dan sekarang, aku sedang terjebak dalam lingkaran ini. Sungguh sial. Kalau bukan karena kemajuan teknologi, mungkin akan lebih menyakitkan lagi, jarak dan waktu akan menghimpit badan sampai tulang-belulang hancur, dengan tarif ‘International Roaming’ yang menggunung, mengerikan! Beruntung sekarang bukan zaman merpati pos dan perangko, jarak seakan terlipat sekian mil lebih dekat. Bahkan aku bisa mendengar suaranya sebelum beranjak tidur, dengan tarif minimal. Kesenangan masa kecil itu kembali hadir

Oleh: Agus G. Ahmad

25 EDISI IX//MARET 2016


lewat suaranya. Dia--akan kubisikkan namanya pelan--Zulfa. Sudah tujuh tahun sejak aku berjumpa dengannya, seakan baru kemarin.

kin bu Nining, wali kelas VII C. Sementara yang lain hanya kenal sebagian, aku terlalu malas untuk ikut campur dan terlihat mencolok di mata teman-teman. Satu tahun itu buku menjadi teman duduk paling nyaman, Kisah ini berawal dari tahun 2007. Aku baru menyenangkan dan tak banyak bicara. lulus Sekolah Dasar. Tahun yang sama ketika ayah menawarkan pilihan untuk me- TAHUN 2008 neruskan sekolah di luar kota, nun jauh Pengumuman kenaikan kelas. Rasa gudi ujung sana, satu hari satu malam jika gupku sudah hilang semenjak awal masuk ditempuh dengan kereta api. Aku setuju, toh dulu. Sekarang yang tertinggal hanya rasa ada mbak yang kuliah di sana. Kata ayah, bosan. Namaku dipanggil untuk maju ke nanti aku akan dititipkan kepada bibi. Yah, depan saat upacara, bersama belasan anak aku mengiyakan, mungkin de­ngan meran- lain yang menerima penghargaan bintang tau ini akan lebih dekat menuju ‘dewasa’, kelas. Rata-rata perempuan, hanya dua mungkin. Dan begitulah sampai akhirnya orang laki-laki yang menyempil di antara aku resmi terdaftar di salah satu Sekolah mereka. Daripada merasa malu, aku le­bih Menengah Pertama di Malang. Aku tinggal merasa aneh di depan sini, diperhatikan di asrama, tak jauh dari sekolah, hanya berpasang-pasang mata. Bintang pelabutuh sepuluh menit berjalan kaki. Asrama jar dipegang oleh murid teladan, Dwi naputra ini bersebelahan langsung dengan manya, lagi-lagi perempuan. “Aah, kapan asrama putri. Tapi jangan berharap untuk upacara selesai?” aku bergumam dalam mengintip, ketatnya penjagaan di sini ha- hati. Setelah itu sekolah libur dua minggu. nya setingkat di bawah penjara Azkaban. Saat kembali aku sudah dilantik menjadi ‘Mata-mata nakal’ akan langsung diring­ pengurus OSIS, sungguh merepotkan Takus dan ditendang keluar. Wajar jika anak- hun kedua aku berada di kelas yang sama anak jadi semangat sekolah, karena hanya dengan Dwi. Anak-anak bilang itu kelas ketika itu mereka mendapat kesempatan pilihan, bagiku itu hanya kelas di bawah bersua dengan kaum Hawa. Aku? Yah, ju- tangga yang terisolasi, dengan penduduk­ jur saja, aku bahkan tak hafal nama-nama nya yang mayoritas perempuan. Bahkan di perempuan sekelas. Yang ku ingat mung- antara sekian banyak itu aku tak tertarik

EDISI IX//MARET 2016

26


satu pun. Sudah tengah semester, aku belum bergaul baik dengan teman-teman. Begitu pun dengan wali kelas. Pak Yono jarang sekali tersenyum, semua anak di kelas ter­kesan takut. Dalam seminggu dua kali kami berjumpa, sungguh sial. Dan dari semua guru, pak Yono yang paling sering bertanya. Dari setiap jawaban yang salah, pak Yono juga yang paling sering marah. Benar-benar tahun yang berat. Hari itu pak Yono masuk seperti biasa, dengan kemeja biru tua dan tas kulitnya. “Yang di belakang maju! Bangku kosongnya diisi!” Pak Yono mengernyitkan dahi. Yang pindah ke bangku kosong itu akan semakin dekat dengan meja guru, jelas akan dirugikan, semua menghaningkan cipta di tempatnya masing-masing. Sebelum aku sempat berdoa, pak Yono sudah lebih dulu menudingkan jari telunjuknya ke arah Farid, teman sebangkuku, sial! Tak habis akal, Farid mengerlingkan mata, ditunjuknya bangku kosong di belakang barisan perempuan. Aah, masih ada tempat kosong di situ rupanya, dan lagi tak terlalu dekat dengan meja guru. Kami berdua tersenyum dan langsung evakuasi

27 EDISI IX//MARET 2016

ke tempat yang aman itu, licik. Pelajaran dimulai, aku tak begitu memperhatikan, ngantuk. Lagipula aku dan Farid tepat di belakang bangku perempuan, tidur pun tak kan ketahuan. Hoah. Di depan kami ini siapa ya? Oh ya, aku ingat, sebelah kanan itu Rahma, pa­ rasnya lumayan cantik dengan wajah kecil dan kulit putihnya, banyak teman-temanku yang naksir, padahal dia cerewet­nya minta ampun, suaranya melengking, mungkin bisa sampai delapan oktaf. Sementara yang samping, tepat di depanku, anak-anak biasa memanggilnya Zulfa. Dia juga lumayan, kulitnya sawo matang, tak secantik Rahma memang, tapi manisnya mungkin yang nomor satu di kelas ini. Aku baru sadar dua orang di depan kami adalah siswi popu­ler di kalangan laki-laki. Selama ini aku tak begitu peduli, bukan berarti aku tak suka perempuan atau semacamnya, hanya saja, tak ada waktu untuk memikirkan itu. Hoah, mataku semakin berat, pelajaran­ nya semakin membosankan, tidur sajalah. Gelap, semakin gelap. “Kamu, coba jawab, berapa Provinsi yang ada di Indonesia?” Pak Yono menunjuk ke arah kami, sorot matanya menusuk, tiba-tiba kantukku lenyap. Sebelum men-


jawab, aku baru sadar pak Yono bukan menunjukku, tapi Zulfa. Dari belakang sini aku bisa lihat raut wajahnya yang bingung, mendadak pucat. Ini kan pertanyaan gampang, mungkin akan ada hiburan setelah ini, sudah lama aku tak lihat pak Yono marah-marah. Setidaknya begitu pikirku.

tang, keraguan dalam suaranya semakin hilang. Dalam hati aku senang, dia percaya kepadaku.

Awalnya, aku kira ini akan jadi menyenangkan, tapi setelah aku lihat wajah Zul­ fa yang berubah dari bingung ke takut, tak hanya pucat, manisnya ikut memudar. Sepertinya aku keliru.

“Ke-kenapa pak?” raut wajahnya kembali bingung, bibirnya bergetar pelan. Bola matanya tampak sedikit melirik ke belakang, ke arahku. Aah, tatapan itu, seakan dia bilang, “Kamu bohong?”

“Kok bisa?” pak Yono masih mencerca Zul­ fa dengan pertanyaan lain. Pertanyaan yang ambigu.

“33,” tanpa disadari aku sudah berbisik pelan di belakang punggungnya. Ia tampak terkejut, mungkin seperti mendapatkan wahyu dari Tuhan, mana ku tahu?

“Kok bisa 128? Ada empat perwakilan di tiap daerah. Kalau jumlah provinsi 33 seharusnya ada 132 total DPD.” Pak Yono sudah macam jaksa di pengadilan, yang mendakwa tersangka dengan hukuman “33, p-pak!” Zulfa mengulangi dengan penjara seumur hidup. Zulfa sebagai terkeras. Jawabannya terbata-bata seperti sangka hanya bungkam, kepalanya tersedang mengeja. tunduk. Mungkin sudah saatnya pengacara angkat suara. “Lalu, berapa jumlah Dewan Perwakilan Daerah sekarang?” Pak Yono semakin “Karena pada pemilu tahun 2004, provinsi mengejar. Sulawesi Barat baru disahkan bulan Oktober. Sementara pemilu serentak dilaksa­ “128,” aku kembali berbisik lirih, terpaksa nakan bulan April. Jadi provinsi Sulawesi badan agak ku condongkan ke depan. Barat belum ada DPD sampai sekarang pak!” tiba-tiba suaraku pecah, kali ini bu“Hmm, 128 pak!” suara Zulfa semakin lan- kan lirih lagi, tapi sudah menggema di da-

EDISI IX//MARET 2016

28


lam kelas. Aku juga tak habis pikir. Kenapa aku harus ikut campur? Yah, mungkin waktu itu aku hanya ingin melihat kepala­ nya kembali terangkat, senyumnya kembali merekah. Dan lagi aku tak ingin dianggap pembohong. Lalu bel istirahat berdering, usai sudah jam mencekam ini. Setelah pak Yono keluar kelas, bernafas menjadi lebih ringan. “Terima kasih ya.” Zulfa memalingkan wajah ke belakang, senyumnya lebar sekali, gigi sulungnya tampak mengintip dari balik senyum itu. Kenapa juga aku merasa senang? Bahkan tak sempat berucap ‘sama-sama’. “Kamu duduk di sini terus aja Fan, biar kita aman.” Zulfa masih tetap tersenyum, lalu tertawa bersama Rahma, aah, ternyata dia tahu namaku, Ifan. Aku sudah se­ ring dipanggil dengan nama itu, tapi ketika ia menyebut namaku, kenapa jantung ini berdegup lebih cepat? Entah bagaimana raut wajahku. Aku merasa ingin melihat senyum itu tiap hari, tawa kecilnya, tahi lalat di hidungnya, dan mendengar suara­ nya. Sekolah tak begitu membosankan sejak hari itu. Pergaulan dengan teman-teman di

29 EDISI IX//MARET 2016

kelas pun semakin baik. Aku mulai membuka diri. Tapi, mungkin itu semua hanya alasan untuk bisa mengobrol dengannya. Tiap mencatat pelajaran di papan tulis, mataku selalu gagal fokus ke bangku di depan itu. Ada apa sebenarnya? Aku pun tak tahu. Dulu rasanya tak ada waktu untuk memikirkan perkara macam ini. Menurut bacaan di Internet, pada fase remaja anakanak akan mulai menyukai lawan jenis, tapi mereka salah mengartikannya dengan ‘cinta’, maka muncul istilah ‘cinta monyet’. Mungkin aku salah satu dari sekian banyak monyet-monyet ini. Yah, itu akan terjawab seiring berjalannya waktu. TAHUN 2009 Pengumuman kenaikan kelas. Tahun ini tahun terakhir aku memakai celana biru. Sudah tiga tahun ini semenjak aku meninggalkan ibu kota, dan mungkin sudah lebih dewasa pula. Tahun kedua aku tak pernah dipanggil maju ke depan lapangan, yang berdiri di depan sana lagi-lagi Dwi, berturut-turut menjadi bintang pelajar, sungguh wanita yang tangguh. Yah, daripada itu, aku lebih menunggu namaku dipanggil olehnya. Bahkan saat upacara mataku tetap tertuju ke Zulfa, walaupun ia bukan murid berprestasi yang berjejer di depan sana. Cinta monyet ini, kapan akan hilang?


Tahun terakhir aku berharap dapat satu kelas dengan Zulfa, naif sekali. Ternyata Tuhan berkehendak lain, namaku terselip di daftar kelas IX F, sementara namanya ada di kelas IX E. Tetap saja aku harus bersyukur pada Tuhan, yang telah menempatkanku di kelas sebelahnya.

pas hujan. Acap kali aku terbawa ke masa lalu, mendengar ucapan ‘terima kasih’nya dulu. Perasaan ini, mungkin hanya lubang kecil itu yang tahu, ku simpan sendiri dalam diam. Aku baru sadar, ter­ nyata aku tak lebih dewasa, justru terjebak di antara monyet-monyet dalam cintanya.

Beruntung kelas kami hanya dipisahkan dengan sekat kayu. Sekatnya bisa dibuka sewaktu-waktu, lalu tiga kelas yang berjejer itu akan menjadi sebuah aula besar untuk wisuda. Mungkin aku tak sekelas, namun ada banyak jalan menuju Roma, kan? Di tahun terakhir aku selalu duduk di bangku paling belakang, tepat di depan sekat pemisah itu. Sekat kayu ini rasanya seperti tembok Berlin, memisahkanku dengan­ nya. Beruntung sekat itu tak sekokoh yang dibayangkan, ada lubang kecil bekas paku di tiap bagian papannya. Dari lubang kecil itu, aku memandang dunia ini lebih luas.

Tahun ketiga di SMP, aku lebih mesra de­ ngan sekat kayu. Berkas nafasku sudah berkali-kali mampir di sekitar lubang kecil­ nya. Libur semester ganjil aku beranikan diri menyapa Zulfa lewat pesan singkat. Zaman itu aku belum boleh memegang handphone sendiri, terpaksa aku me­ minjam handphone milik bibi yang me­ nganggur. Batas pesan tiap harinya hanya sampai seratus, sebisa mungkin aku membatasi pesan-pesan yang tak penting. Aku tak bisa jujur kepada diri sendiri, kepada Zulfa, dan lagi mungkin ini hanya sekedar perasaan yang mampir sejenak. Aku pun tahu, dia adalah kekasih temanku, dan Setahun sekelas dengan Zulfa, aku sudah sudah seharusnya aku untuk sadar diri. paham ‘koordinat’ tempat duduk favorit- Semoga ini memang hanya cinta monyet, nya. Tepat di depan, paling depan, ber­ seperti uap air, yang terlihat sejenak kemuhadapan langsung dengan guru. Tiap kali dian menghilang. Tahun berganti, aku dan ada kesempatan, aku selalu menilik lewat dia lulus bersama. Kabarnya ia mendaftar lubang kecil itu, mengintip senyumnya yang ke sekolah lain, jauh dari sini, mungkin sumasih sama. Kilau matanya yang mencat- dah waktunya mengucapkan selamat tingat pelajaran di papan bagai pelangi sele- gal, hari-hari sekolah yang menyenangkan.

EDISI IX//MARET 2016

30


TAHUN 2010 Masa Orientasi Siswa, warna abu-abu ini enak juga dipandang. Sudah lewat dua tahun, tapi rasanya baru kemarin aku membocorkan jawaban ke Zulfa. Perasaan ini kenapa tak kunjung hilang? Aah, topi idiot ini merepotkan saja! Aku seperti badut sirkus, dengan mantel plastik. Beginikah orientasi?

Mazidah. “Zul-Zulfa?” tanpa sadar aku bergumam pelan.

Setelah mengikuti upacara, sudah waktunya siswa-siswi angkatan baru untuk mencari kelasnya masing-masing, enam lembar kertas terpampang di jendela kantor. Ribut sekali, semua saling berdesak-desakan. Ku tunggu antriannya me­ ngurai baru mulai mencari namaku, Ifan Vadila. Hmm, tahun ini banyak juga yang mendaftar. Aku ada di kelas X 1, beberapa teman satu asrama juga tercantum di sini. Karena penasaran, aku melihat-lihat daf­ tar kelas yang lain. Sekilas tak ada yang menarik perhatian, hanya beberapa nama yang memang sudah terkenal dan tak a­­ sing di telinga. Ifady, bocah pintar yang wisuda kemarin memborong tujuh piala penghargaan di sekolahnya, dan juga ada Dwi, teman sekelasku dulu, yang tiga tahun selalu mendapat juara umum. Tunggu, ada satu nama lagi yang aku yakin sangat mengenalnya. Kenapa dia ada disini? Zulfa

Tahun-tahun di SMA aku mulai aktif di berbagai kegiatan, mulai teater, OSIS, sampai paduan suara. Untuk paduan suara itu, aku ikut karena ada Zulfa di sana. Mungkin ia tak tahu aku selalu mengikutinya dari belakang, berharap jika sewaktu-waktu ia kesulitan, aku dapat ‘meng­ ulurkan tangan’ seperti dulu. Seringkali aku tampil di acara sekolah, padahal dulu pa­ling benci naik ke atas panggung. Yah, entahlah, hanya saja rasanya menyenangkan ke­tika ia tersenyum melihat penampilanku. Tanggal 11 September, selalu sibuk membungkus kado untuknya. Tak pernah tercantum nama pengirim di sana, cukup tahu bahwa ia menerima. Terkadang ku titipkan ke teman dekatnya, atau meninggalkannya di bawah meja kelasnya. Selalu sembunyi-sembunyi, selalu rahasia. Cukup senang hanya menjadi ‘Secret Admirer’. Dan akhirnya, peran di balik layar terbong-

31 EDISI IX//MARET 2016

Tampaknya Tuhan belum selesai dengan kisahku dan dia. Kami kembali bertemu, meskipun dia di kelas yang jauh, cukup tahu bahwa aku ada di satu sekolah yang sama dengannya, itu sudah membuatku bahagia. Terima kasih Tuhan.


kar, tanda tangan yang sering ku tinggalkan di kertas kadonya berhasil terlacak. Tiba-tiba ia mengirimkan ucapan terima kasih lewat facebook. Nostalgia sekali.

Enam tahun aku mengenal Zulfa. Perasaan ini masih sama. Selepas SMA aku akan melanjutkan kuliah di negeri yang jauh. Sudah waktunya berpamitan dengan Zulfa. Enam tahun sungguh waktu yang singkat. Sekarang ia sudah tak lagi berhubungan Apa aku sudah tumbuh dewasa? Semoga dengan temanku, sudah lama sejak ia pu- saja. tus. Aku mulai bertukar surat dengan­nya, biasanya selipan kertas di dalam pulpen. “Kamu mau nunggu?” Lalu aku mulai sering meng­ hubunginya tiap liburan. Mengantarkannya sampai ke “Jangan lama-lama.” halte, lalu menunggu sampai bis datang. Saat bersamanya, aku lebih se­ ring diam. “Mungkin, tiga tahun.” Tak ada kata romantis, tak pernah terucap ‘sayang’, ‘cinta’ atau apa pun itu. Tak ada “Hmm,” kontak fisik, bergandengan tangan pun tak sempat. Kami bukan sedang berpacaran, “Kalau terlalu lama, aku gak nyuruh kamu tapi mungkin sudah sa­ ling mengerti satu nunggu. Cuma, kalau nanti kamu ketemu sama lain. Aah, mungkin ada satu kena­ orang lain, semoga orang itu lebih baik dari ngan romantis, kala itu hujan deras, pani­ aku. Dan, jangan lupa dikabarin.” Setengah tia MOS pulang terlambat dari sekolah, hati aku berkata seperti itu. Zulfa duduk termasuk aku dan Zulfa. Bajunya basah membelakangi. Kami berdua dipisahkan terciprat air, tampak sekali giginya meng- tembok yang dingin. Aku menghela nafas geretak karena kedinginan. Saat itu pula berat, mencoba mengatur kata. aku menggantungkan jaketku di punggungnya, lalu meninggalkannya di dalam “Biar aku yang menunggu.” kelas, tanpa sepatah kata terucap. Sedikit ‘klise’ memang. Aku hanya bisa tersenyum Kami berpisah di bulan September. Aku tak mengingatnya. sempat mengirim kado perpisahan. Hanya pesan singkat lewat SMS. “Aku akan TAHUN 2013 segera pulang”.

EDISI IX//MARET 2016

32


TAHUN 2014 “Di sana jam berapa ya?” Tahun ketujuh, kami lewati batas jarak dan waktu. Aku mulai jarang menghubungi­ nya karena sibuk dengan kuliah. Sesekali memang sempat menelepon, sekedar ingin mendengar sua­ranya. Terkadang juga sedih ketika mendengar suaranya tampak berat dan sedang sakit, sedangkan aku di sini tak bisa membantu apa-apa selain berdoa. TAHUN 2015 Banyak kiriman gambar lewat BBM bertebaran. Suaranya berisik sampai harus ku mati­ kan ‘notifikasi’nya. Sekarang aku sedang duduk di pojok caffe, Café Noir ‘kopi hitam’ di depanku belum sempat ku seruput. Gambar yang banyak dikirim itu memperlihatkan foto Zulfa dengan seorang laki-laki tampan di sampingnya, berbagi cincin yang serasi. Aah, selesai juga penantian yang panjang ini. Kini ia sudah dipersunting lebih dulu. Dan aku sedang asyik bercumbu dengan segelas kopi. Senyumnya masih manis seperti waktu itu, tahi lalatnya belum berpindah tempat, dan gigi sulungnya masih mengintip di sela bibirnya. Aah, aku ingat ia pernah bilang sedang dekat dengan seseorang. Sekarang aku tahu dengan siapa. Bertahun-tahun ini ternyata aku masih seorang monyet yang bermain-main dengan cintanya. Kemudian tenggelam dalam segelas kopi hitam. Aah, aku masih belum dewasa. Kenapa orang dewasa masih bisa menangis seperti anak kecil? Entah. Mungkin cinta yang tak berbalas seperti ini, satu langkah menuju kedewasaan, semoga saja.

TAMAT

33 EDISI IX//MARET 2016


BAKIAK Indonesian Day at ENSAF


SayyidulAyyam

RESENSI

35 EDISI IX//MARET 2016


TJOET NJA’ DHIEN “Hijrah kali ini erat hubungannya dengan keyakinan. Berjuang melawan penjajah merupakan bagian dari keimanan.”

1988

EDISI IX//MARET 2016

36


Aceh Raya di Sumatera Utara di bawah kontrol Belanda terus bergejolak pada paruh kedua abad ke-19. Seorang wanita dari Aceh, Tjoet Nja’ Dhien, adalah istri dari pejuang perlawanan, Teuku Umar. Setelah kematian sang suami, ia terus melawan Belanda dan membawa Aceh bersama-sama menuju kebebasan. Film ini menggambarkan kehidupan Tjoet Nja’ Dhien sebagai pahlawan terkenal dari perang kemerdekaan Indonesia. Sebuah karya dari tahun 1980-an bioskop Indonesia, yang sampai saat ini masih berada di puncak genre film sejenisnya di Indonesia. Film besutan sutradara Eros Djarot ini memenangkan Piala Citra di ajang Festival Film Indonesia 1988. Tjoet Nja’ Dhien berhasil menyabet tujuh penghargaan pada ajang tersebut. Mulai dari pemeran wanita terbaik, sutradara terbaik, skenario asli terbaik, cerita asli terbaik, tata sinematografi terbaik, tata artistik terbaik, sampai tata musik terbaik. Bukan tanpa alasan, mereka yang merupakan angkatan 80-an pasti tahu bagaimana film ini--kala itu--menjadi buah bibir masyarakat, baik Indonesia maupun dunia.

tidak lolos dalam pencalonan nominasi. Tetapi tetap saja merupakan sebuah prestasi yang luar biasa.

Dengan polesan Eros Djarot, dan juga peran yang ciamik dari Maria Christie sebagai lakon Cut Nyak Dhien, film epos ini menjadi salah satu film Indonesia terbaik. Slamet Rahardjo (yang merupakan kakak dari sang sutradara, dan seorang aktor senior Indonesia) juga turut meramaikan film Tjoet Nja’ Dhien sebagai Teuku Umar. Kedua peran ini dimainkan dengan sangat apik oleh mereka, membuat filmnya terasa Setahun kemudian, film berdurasi 150 lebih hidup. menit ini menjadi film Indonesia pertama yang diputar di Festival Film Cannes, Tak dapat dipungkiri bahwa wanita juga Prancis. Membuka sejarah baru bagi berperan penting dalam mewujudkan dunia sineas tanah air. Dan sempat kemerdekaan Indonesia. Di antara juga diikutsertakan dalam ajang Aca­ mereka adalah Cut Nyak Dhien yang demy Awards ke-62 pada 1990, untuk diangkat kisahnya dalam film ini. kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. Walaupun sayangnya, mahakarya itu Dengan latar belakang masa koloni-

37 EDISI IX//MARET 2016


al Belanda menduduki Indonesia, film Tjoet Nja’ Dhien mengisahkan perjua­ ngan seorang Cut Nyak Dhien mengusir penjajah dari kampungnya. Pentingnya sikap patriotik pada bangsa yang dapat dijadikan contoh atau teladan dari seorang Cut Nyak Dhien sangat banyak sekali. Di balik kodratnya sebagai seorang wanita, Cut Nyak Dhien memiliki semangat juang dan kegigihan yang begitu luar biasa yang mungkin jarang kita temukan di za­man sekarang. Nilai penting dalam patriot­ isme dapat menanamkan rasa cinta kita kepada bangsa sendiri, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi bangsa Indonesia.

yang sebelum­nya ditolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakan Cut Nyak Dhien untuk ikut bertempur dalam medan perang, akhir­ nya mereka berdua menikah. Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899 tertembak oleh peluru, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dhien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun, keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh.

Hal-hal strategis yang dilakukan Cut Nyak Dhien dalam mempertahankan Cut Nyak Dhien akhirnya menggantiwilayah Aceh di antaranya adalah, ke- kan posisi sang suami menjadi seorang tika ia menerima lamaran Teuku Umar, pemimpin untuk melawan Belanda.

TJOET NJA’ DHIEN

EDISI IX//MARET 2016

38


INDONESIAN DAY AT ENSA - FES KBRI Rabat bekerjasama dengan PPI Maroko mengadakan Hari Indonesia di Ecole Nationale des Sciences AppliquĂŠes (ENSA) Fes. (Rabu, 30 Maret 2016)

Insight of Indonesia: Economic, Politic and Social Perspective Teman-teman Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Maroko menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya.


Indonesia say hello! to Morocco Menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu kebangsaan Maroko bersama Bapak Duta Besar dan para penonton.


SayyidulAyyam

LIFE STYLE

photo by: Amrullah WD

Wanita Masa Kini

Menjadi Wanita Cerdas dan Berprestasi

Wanita, makhluk spesial yang diciptakan Tuhan dengan desain yang begitu unik dan spesifikasi yang istimewa dan baik, secara fisik maupun psikologis, yang tak terhitung berapa banyak orang yang mendefinisikannya, dan mengulasnya dari berbagai sudut pandang, juga tak dapat dipungkiri bahwa wanita dan ibu adalah dua sosok yang saling terikat satu sama lain. Tanpa adanya seorang ibu, tak mungkin kita bisa melihat dunia ini.

41 EDISI IX//MARET 2016


Tak dapat dipungkiri bahwa kesuksesaan dan kehebatan seseorang tak pernah lepas dari doa dan dukungan seorang ibu yang hebat pula di belakangnya. Pun kesuksesan seorang suami, pasti ada suatu peran ‘istimewa’ istri di belakangnya, maka tak ayal jika pepatah berkata, “Di balik kesuksesan pria, selalu ada wanita hebat di belakangnya.” Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, wanita adalah perempuan dewasa atau kaum putri dewasa, dan menurut K.H. Ahmad Dahlan wanita merupakan aset umat dan bangsa, tidak mungkin membangun peradaban umat manusia apabila para wanita hanya dibiarkan berdiam diri di dapur dan rumah saja. Intinya, begitu banyak definisi dan arti dari wanita, namun semua arti dan definisi itu bersumber pada satu kesimpulan, bahwa wanita adalah sosok yang sangat hebat terlepas dari segala kekurangan yang dimilikinya. Wanita masa kini memang sudah jauh berbeda dengan wanita zaman dulu. Dalam norma, segi pandang dan pemikiran tentunya, wanita zaman dulu identik dengan taatnya mengikuti tradisi dari para pendahulunya, dan dihantui rasa takut jika melanggarnya, disebabkan karena kurang majunya teknologi dan terbatasnya informasi. Sedangkan wanita masa kini, seiring laju perkembangan zaman dan teknologi, mereka lebih menggunakan logikanya, tak lagi mudah percaya dengan tradisi dan kepercayaan para pendahulunya, dan lebih memilih untuk mencari kebenarannya terlebih dahulu, berbekal teknologi canggih dan kemajuan pemikiran mereka. Berbicara tentang wanita masa kini, menimbulkan berbagai pertanyaan. Wanita masa kini itu yang seperti apa sih? Apakah yang bergaya hidup bak sosialita? Atau yang mengikuti model-model hijabers? atau wanita yang selalu ‘kekinian’ dengan perkembangan teknologi dan selalu mengikuti perubahan gaya hidup di sekitarnya? Wanita masa kini atau dalam istilahnya wanita modern adalah wanita yang mampu mengikuti perkembangan zaman, akan tetapi ia mempunyai prinsip yang kuat

EDISI IX//MARET 2016

42


agar tak terlalu larut dalam era kekini­ an, mampu mengambil sisi positif­nya, atau mampu memfilter dan memilah serta memilih mana yang harus diikuti dan meninggalkan begitu saja sesuatu yang bertolak belakang de­ ngan prinsipnya. Semisal beredarnya isu dan pro kontra tentang persamaan gender, seorang wanita kekinian atau modern dituntut untuk bisa menyikapi hal itu dengan mengambil sisi positifnya, dengan tanpa meninggalkan kewajiban sesungguhnya dia sebagai seorang wanita. Setelah kita tahu apa itu wanita masa kini, bisakah kita para kaum wanita menjadi wanita masa kini yang cerdas dan berkelas? Yang dimaksud, berarti tahu batasan-batasan tentang mana yang harus dianut, yang punya prioritas dalam hidupnya, dan konsisten dalam menjalani setiap prosesnya, bukan menjadi wanita yang asal-asalan alias ngawur dalam mengambil langkah, dan selalu tergesa-gesa dalam menentukan sebuah keputusan. Serta menjadi wanita berkelas yang berakhlak, mampu menempatkan serta membawa diri, mampu membaca situasi dan menghargai dirinya sendiri sebagai wanita,

43 EDISI IX//MARET 2016

dan mampu mengkondisikan dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan sekitarnya. Dengan berbagai kompetensi-kompetensi yang dimilikinya itu, mampu menjadikan seorang wanita mempunyai sikap yang sopan, berpakaian sopan, mampu berbicara dengan sopan dan baik, mempunyai prinsip yang kuat, tahu cara bersikap yang sesuai dengan apa yang sedang dihadapi, tahu waktu yang tepat di mana dan kapan ia ha­rus berbicara halus dan harus berbicara tegas, lebih peduli, open minded atau terbuka, mandiri, dan masih banyak lagi. Dalam pandangan Islam, akan lebih mulia lagi jika seorang wanita muslimah mampu mengikuti perkembangan za­ man, serta tetap berpegang teguh pada agamanya, sehingga ia tidak menjelma menjadi seorang wanita muslimah modern yang dengan santainya meninggalkan dan lalai akan ajaran dan batasan agamanya. Na’udzubillah min dzaalik. Memang, pada era seperti ini menjadi muslimah yang tangguh tidaklah mudah, tetapi asal kita tahu, kita boleh


menempatkan diri, asal tetap seiring dengan syariat. Jangan sampai kita keluar dari batas-batas koridor Islam, dan mudah terpengaruh oleh mode Barat beserta fashion dan model kehidupannya yang tak layak diterapkan, jadilah muslimah cerdas dan berkelas menurut cara dan gayamu sendiri, serta tetap mencampurkan nilai-nilai Islam di dalamnya, sehingga apa yang menjadi tanggung jawab wanita pada era sekarang dapat tercapai, mendidik generasi, memberi contoh pada masyarakat serta mengikuti perkembangan zaman tanpa harus takut akan ketertinggalan. Karena dalam Al-Qur’an dan Hadis sudah banyak membahas tentang seluk-beluk wanita, tinggal bagaimana saja kita melakukannya di kehidupan sehari-hari, dimulai dari hal-hal kecil hingga perlahan-lahan melakukan hal yang besar. Selamat mencoba kawan.

Sita Yulia Agustina

Mahasiswi S1 Universitas Imam Nafie - Tangier

EDISI IX//MARET 2016

44


SayyidulAyyam

PUISI

MEMORI Malam itu Ada bayanganmu di cakrawala Samar dan menghitam Aku tak mengerti bagaimana kau datang dan pergi Hilang entah kemana Seperti angin sejuk yang tiba-tiba berubah jadi badai Tahukah kau? Jika masih ada yang merelakan air matanya untukmu Pastilah itu kesemuan Atau kebodohan yang sia-sia Karena tak ada lagi yang akan mengharapkanmu dan menginginkanmu tuk kembali Memang benar aku masih menunggumu Menunggu untuk melihatmu terluka dan terbuang Bukan karenaku atau karenanya Akan tetapi karna dirimu sendiri Kamu tak akan penah mengerti akan semua ini Hati yang dulu kau buatnya tersenyum Hati yang dulu kau buatnya selalu menunggumu Dan sekarang kau telah membuat hati itu menangis Karena apa yang telah kau lakukan Telah kau torehkan sejarah kelam

45 EDISI IX//MARET 2016


Di hati ini Tak kan bisa terhapus oleh sang waktu Dimana setiap kesalahan Tak dapat di bayar hanya dengan kata: maafkan aku Masa lalu adalah sebuah memori Memori yang akan selalu melekat di otak kita Entah itu kesedihan atau kebahagiaan Waktu pun akan terus berlalu Hari demi hari akan aku lewati Semua akan berlalu begitu saja Aku sadar bahwa kamu Adalah salah satu memori di hidupku Memori yang akan selalu tersimpan di hidupku Selamat tinggal memori Kau akan selalu tersimpan di sini Di hati ini dan jiwa ini.

Monica Syarifa Lu’lu’a Al Hajiri

Mahasiswi S1 Universitas Imam Nafie - Tangier

EDISI IX//MARET 2016

46


SayyidulAyyam

POJOK

TEROR BEBERAPA bulan yang lalu, media dihebohkan dengan berita bom di Jakarta. Bukan sekedar kabar burung, karena memang benar ledakan terjadi di daerah Sarinah. Meski pun ledakannya--seperti yang tampak di internet--tak lebih ngeri dari letusan petasan bocah-bocah kampung, atau percikan kembang api tahun baruan.

pakai helm. Sekali lagi, malaikat maut geleng-geleng. Entah goblok atau memang mentalnya yang kuat. Satu hal yang pasti, gembar-gembor “hidup di ibu kota keras bro!” bukan sekedar bualan belaka. Bukan #PrayForJakarta yang menjadi trending topic, justru hashtag #KamiTidakTakut yang meramaikan twitter besoknya. Sadis!

Bahkan, yang lebih ngeri justru kelakuan warga ibu kota yang seakan tak takut mati. Jamal, si penjual sate tetap khu­syuk mengipas satenya yang masih setengah matang. Dan pelanggannya dengan lahap masih menghabiskan sisa tusukan daging di piringnya. Tak ayal bom yang terjadi tak seberapa jauhnya dari tempat mereka mangkal malah jadi bahan tontonan menarik dan langka. “Kapan lagi makan sate seru begini?”. Malaikat maut mungkin gentar untuk mengambil nyawa mereka, dan justru geleng-geleng dibuatnya.

Satu kata yang hilang dalam berita bom Jakarta kemarin adalah, TEROR. Karena itu lebih pas memilih kata “pelaku pemboman“ daripada “teroris”. Mereka lupa-atau memang tidak tahu--bahwa bangsa ini dibangun di atas mental baja warisan leluhurnya yang seorang kapiten, masih untung yang dibom Jakarta, bayangkan jika di Madura? Hutang darah akan mereka tagih sampai lunas, sampai titik darah penghabisan. Jadi, bom yang kemarin itu tak lebih dari sekedar gertakan belaka. Yang jelas, peristiwa yang seperti itu tak cukup hebat agar bisa dibilang teror di negeri ini.

Baku tembak antara polisi dan pelaku pemboman tak bisa dihindarkan. Satuan petugas berlindung di balik mobil, mengintip sedikit, mengintai dari belakang sana, menunggu kesempatan untuk melepas tembakan. Dor! Dan warga sekitar justru ramai melingkar di tengah tembak-tembakan tadi, tanpa pelindung, bahkan tak

Teror yang sesungguhnya justru datang bukan dari sekelompok militan yang terlatih, malah menjelma dalam diri seorang warga negara Indonesia yang hidup di sebuah kampung. Namanya sudah dikenal di seantero Indonesia. Dia bisa disanding-

Oleh: Agus G. Ahmad

47 EDISI IX//MARET 2016


kan de­ ngan “dia yang tak boleh disebut mengguncang Indonesia memang hanya namanya” dalam film Harry Potter. Teror hal-hal yang berbau mistis dan supranatuitu bernama Sumanto. ral, macam Kolor Ijo dan demit-demit yang lain. Sudah lebih dari satu dekade sejak kasus­ nya terungkap pada 2003. Namun namanya Sosok Sumanto mungkin hanya lahir sekali masih harum sampai sekarang, dari masa dalam seratus tahun. Sosok yang mewa­kili ke masa. Sumanto tak membunuh orang, nama dari orang-orang sejenisnya, mereapalagi sampai meledakkan ibu kota. Ia ka yang memakan manusia. Maka jika hanya mencuri mayat seorang nenek dan kita berbicara tentang kanibal, kita selalu menyantapnya, perilaku yang biasa dise- merujuk kepada Sumanto, dan cukuplah but dengan kanibalisme. Ko­ non katanya, hanya de­ngan Sumanto seorang. Dan tanmakan daging manusia dapat membuat­ pa sadar, Sumanto sendiri sudah menjadi nya terbang ke awang-awang. Sontak saja kambing hitam dari kesalah pahaman ma­ semua geger, beritanya jadi topik utama syarakat kita. Ia berada di te­ngah lingkaran waktu itu, siapa coba yang tak kenal Su- arus opini publik yang terus menyeretnya manto? Kalau saja ia mau jadi artis karbi- menuju kematian. Tenggelam dalam captan mungkin laku. Sayang Sumanto kebu- cap negatif yang akan terus melekat pada ru digiring ke penjara, dan baru kembali dirinya. Cap yang diberikan oleh orangmenghirup udara bebas di tahun 2006. orang sekampungnya, yang terlalu takut untuk meyakini Sumanto sudah berubah Meski sudah keluar dari penjara, Sumanto dan terlanjur percaya bahwa Sumanto tak sepenuhnya bebas. Ia ditolak pulang masih sama seperti yang dulu. ke kampungnya oleh warga, teror yang ia tinggalkan masih membekas. Bahkan Teror itu bernama Sumanto. Teror yang setelah lebih dari 10 tahun. Teror yang tak berharap untuk pulang. Teror yang rindu bisa dibuat oleh para pelaku pemboman orang tua. Teror yang masyarakat buat. Sarinah kemarin. Salah satu berita bah- Ternyata, teror yang sebenar-benarnya kan menulis headline, “Sumanto Bebas, adalah kepercayaan masyarakat. KeperIbu-Ibu Was Was”. Ngeri! Beginilah teror cayaan seperti ini, entah baik atau buruk? yang sesungguhnya. Teror yang sanggup Yang jelas, selalu ada yang dirugikan.

EDISI IX//MARET 2016

48


website: www.ppimaroko.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.