3 - 203 Merek Rokok Diproduksi di Batam

Page 38

media

38

gadget

C

EDISI III, Minggu III Februari 2013

arver yang diperankan sangat apik oleh Jonathan Pryce ini berkata, ”Saat berusia 16 tahun, saya bekerja pada sebuah koran di Hongkong. Ini koran picisan. Tapi redakturnya mengajarkan saya satu pelajaran penting. Katanya, kunci menciptakan berita besar bukan pada pertanyaan siapa (who), atau apa (what) atau kapan (when). Tapi mengapa (why). Dialog ini berbalas hingga berbuah pertarungan antara Bond dan Carver. Dan, lagi-lagi ditutup sebuah dialog lagi. Kali ini Bond yang berucap, ”Kau lupa pada aturan utama media massa, Elliot! Beri masyarakat apa yang mereka inginkan! Kutipan inilah yang sering saya kutip pada jurnalis-jurnalis baru Batam Pos. Saya cuma ingin agar mereka bisa menghasilkan berita hebat, berita yang prudent, berita yang tak hanya kulit namun bersisi dan bernutrisi. Untuk itu perlulah skeptis dalam memandang sebuah persoalan, dengan patokan dont trust anyone. Perbanyak bertanya mengapa, perbanyak mereferensi, agar berita yang dihasilkan tak salah nalar. Manusia bisa saja keliru menduga, tapi wartawan haram hukumnya melakukan itu. Kredibilitas adalah harga mati. Inilah harga diri bagi jurnalis. Bila ini hilang, maka hilang juga maruahnya sebagai wartawan, terlebih lagi media tempat dia bernaung. Saat ini sering kali kita lihat jurnalis tak menguasai masalah. Belum lama ini saya dengar sebuah berita di radio, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengumpulkan kadernya untuk menandatangani pakta integritas. Saat itu wartawan radio bersangkutan melakukan wawancara live dengan seorang pengamat politik. Namun pertanyaan yang meluncur mengejutkan. Dia bertanya, ”Bagaimana menurut pendapat bapak tentang adanya fakta integritas ini?” Yang benar adalah ”pakta integritas”, bukan ”fakta integritas.” Pakta dan fakta itu berbeda. Fakta adalah kenyataan atau sesuatu yg benar-benar ada atau terjadi. Sedangkan pakta adalah perjanjian. Pertanyaan ini menandakan si reporter tak paham persoalan, dan saya rasa itu bukan salah ucap, sebab dilakukan berulang-ulang. Penyakit semacam ini sering terjadi. Dalam perjalanan sebagai jurnalis, banyak wartawan yang tak mengerti hal yang dia tulis. Maka jadilah berita yang dihasilkan kurang mendalam, bahkan cenderung dibohongi narasumber. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ada wartawan di Batam mengutip mentahmentah omongan seorang pejabat yang mengatakan jalan rusak di depan perumahan ”A” telah diaspal dan siap dilalui kendaraan. Kemudian ucapan si pejabat dan terbit di media bersangkutan. Keesokan harinya, media tersebut panen komplain dari pembacanya. Karena jalan yang maksud ternyata belumlah diaspal. Malah kerusakannya kian parah. Dan banyak lagi contoh lain yang membuat berita kurang dalam, salah, sesat, dan sebagainya, akibat keteledoran bahkan malasnya wartawan menelaah informasi yang datang. Saat ini, di era jejaring sosial di mana kian majunya teknologi komunikasi dan informasi, jurnalis dan media khususnya, sudah tak bisa sembarangan lagi merilis sebuah berita. Publik sudah kian pandai dan kritis dalam mengawasi. Dengan cepat mereka mengetahui udang di balik keyboard, atau apakah media ini adalah buzzer atau wartawannya adalah spin doctor. Untuk itu kehati-hatian dalam mencari, mengumpulkan dan menyebarkan informasi mutlak diperlukan sehingga bisa terhindar dari sikap ”pars pro toto” alias paham sedikit tapi sudah merasa paham semuanya lalu menvonis. (m riza fahlevi)

&

life


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.