10 budaya 30 sept

Page 1

10

MINGGU, 30 SEPTEMBER 2012 / 14 DZULQAIDAH 1433 H

Galeri

Cerpen Anak

Raksasa Petir

Puisi-puisi Mohamad Chandra

Subuh yang Angkuh - Rendy keberangkatan kita di puisi memikul perjanjian awal... telunjuk tak menenun detik dengan menit anggur dengan pahit percakapan kita tersisa dari ilusi ajali dan janji biti-biti matamu serupa Hitler hidup atau menjadi hitam tanganmu punggung awan lidah laut selatan sajak yang perawan bibirmu pori-pori laut ujung langit yang berbukit tapi di kota lautan api yang tersisa hanya kita dan sebait puisi Rendy, aku tak tuntas menuliskanmu... 2012

Di Tangan Kanan Bahkan di langit arang kabut mulai anyir doa menjadi belerang musafir pada engkau yang menjadi Khidir mimpi-mimpi itu serupa elektron serupa jarum suntik di tangan penambang besi dan pembawa cangkul kenapa mesti perempuan yang kaureguk airmatanya? di tangan kanan kau dan puisi tersimpan sebagai hakikat kebahagian di senja yang mengigau rumputan tiba-tiba bapa bernyanyi: hanya kematian diukur dengan helaan nafas aku dan arloji itu saling mengundang nafas yang tertahan memisahkan rindu-rindu tersimpan o, bapa yang magis akhirnya harus kubunuh cahaya-cahaya itu kuziarahi darah malam sebelum nisfu menjadi nafsu 2012

Dingin Baja - langit cekung telaga selalu menyisakan amis pada karat belati, di pangkal paha sangatlah beku okulus ini semenjak warna tsabit sehitam aswad di bawah

Oleh SAEFUL BADAR INI cerita kakek tentang Raksasa Petir Penguasa Hujan. “Raksasa Petir itu bulat dan besar bergulung-gulung. Dia tak memiliki anggota tubuh yang lain, kecuali bagian kepala saja. Ia terdiri dari segumpal api atau lebih tepatnya berupa bola api raksasa. Kedua matanya senantiasa melotot, besar-besar. Lidahnya senantiasa terjulur panjang dan merah dengan mengucurkan liur yang mengepulkan uap, panas banget tentu saja. Taringnya panjang dan tajam dengan gigi-giginya yang sebesar kampak. Dia suka muncul begitu saja dari langit yang jauh, bila hujan deras turun ke bumi, terutama jika di bumi banyak dilihatnya anak-anak yang tengah bermain hujan-hujanan!” Kakek berhenti sejenak, menyeruput kopi hangat yang dihidangkan ibu untuknya, menghisap rokok kretek dan mengepulkan asapnya ke udara. Kemudian lanjutnya, “Tiap kali hujan deras turun, raksasa itu selalu siap-siap untuk turun ke bumi! Diawali dengan kilatan bunga api yang muncul beruntun di angkasa, kemudian suara petir yang menggelegar memekakkan telinga! Pada saat itulah dia biasanya muncul, melibas semua benda yang dilintasinya. Bila yang dilibasnya itu benda mati, maka ia akan menjadi hangus berkeping-keping. Bila makhluk hidup, maka ia akan mati dan tentu saja dibuat hangus juga. Uih, pokoknya mengerikan deh!” Begitulah cerita kakek pada Eka ketika beberapa hari yang lalu kakek berkunjung ke rumah cucunya itu. Waktu itu hujan deras turun. Dan seperti biasanya Eka sudah bersiap-siap untuk gabung dengan teman-temannya sekampung, bermain hujan-hujanan, berkejar-kejaran dengan kawan-kawannya dalam hujan. Tentu dengan tubuh yang bugil. Berkali-kali ibu selalu melarang Eka untuk main hujan-hujanan, tapi berkalikali pula Eka selalu tak menghiraukannya. “Kamu suka panas dingin malam harinya kalau habis hujan-hujanan!” lengking Ibu. “Kalau sudah begitu, bukan kamu saja yang susah! Tapi juga ibu, ayah, dan kakak-kakakmu!” Tapi Eka sudah membuka T-Shirtnya, membuka singletnya, celana pendek dan celana dalamnya. Melemparnya ke atas sofa di depan televisi. Dan ketika

arah angin membentangkan kain luka seperti asmaNya yang selalu fana kepada siapa harus aku wariskan dingin baja ini? setelah lama menjadi manusia di dalam, kau selalu mengatakan: angin ini hanyalah model lumut yang lain resepsi ini tak ada yang fasih selain Dia yang maha lirih 2012

Kepada Kemarau - dan sepasang gerimis tegak di tiang-tiang langit retak di dalam nafas yang tak tuntas setelah berlari panjang kau tak lagi pulang katamu, pintu malam dan awan maghrib sangatlah basah, berembun seperti kematian yang rabun di tiang-tiang langit retak seakan tubuh gempalmu tak lagi menyisakan sesal bagai bokong kemarau di sisa gerimis yang parau tapi kusaksikan seluruh gerimis ini menyulam tasbih yang tak lazim riwayat tuhan tentang pengakuan abid yang tak iman 2012

Mohamad Chandra, lahir di Pagerageung, Tasikmalaya, 17 April 1993. Menulis puisi dan esai.Sempatmondok di beberapapesantren: Ponpes Miftahussalam, Tasikmalaya; Latifaturrahmah, Tasikmalaya; dan Pondok Pesantren Perguruan KH. Zainal Musthafa Sukamanah, Tasikmalaya. Kini melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung pada Jurusan Seni Teater. Puisinya diterbitkan di media massa Surat KabarPriangan dan terkumpul dalam antologibersama: 62 PenyairJawa Barat Terkini (Komunitas Malaikat, 2012), Antologi 2 Bahasa (Indonesian Poets, Diverse, 2012). Bergiat di Komunitas Sastra Buah Batu (KSBB) STSI Bandung dan Komunitas Celah Celah Langit (CCL), Ledeng, Bandung.

Redaksi menerima tulisan untuk halaman budaya. Cerpen, Esai, atau laporan budaya maksimal dua setengah halaman kuarto (letter), spasi tunggal. Puisi minimal 6 sampai 10 judul. Belum dipublikasikan di media lain. Tulisan dikirim lewat email ke alamat: radar.tasikmalaya@gmail.com dan sanggarsastratasik@yahoo.co.id Kritik dan saran juga bisa dikirim ke alamat tersebut.

Diasuh oleh Saeful Badar, Sanggar Sastra Tasik (SST)

berlari lewat ruang depan, Kakek menjawil tangan dan merangkul tubuhnya yang kerempeng abis itu. “Dari pada hujan-hujanan, ayo lebih baik dengarkan cerita kakek tentang Raksasa Petir!” kata Kakek yang kebetulan tengah duduk-duduk sambil menikmati kopi hangat buatan ibu. Awalnya Eka tentu saja meronta-ronta dalam rangkulan kakek. Apalagi ketika matanya menangkap Enur, Arul, Agung, Defri, Iful, dan beberapa kawannya yang lain sudah saling berkejaran di halaman. Mereka ada yang telanjang bulat, ada juga yang pakai celana dalam dan singlet saja. Kadang menari-nari dengan kaki menyepak-nyepak air hujan yang menggenang hingga bercipratan ke manamana. Riuh rendah suara mereka. Tak kalah dengan riuhnya suara hujan yang menimpa bagian belakang rumah yang beratapkan seng. Sesekali ada pula mereka memanggil-manggil nama Eka. “Uuh, Kakek! Kan asyik, Kek, main hujan-hujanan itu?” sungut Eka setengah menangis. “Dengar, Eka! Apa kata ibumu tadi? Kamu suka panas dingin, suka meriang malam harinya kalau kamu habis hujanhujanan? Oh, itu bahaya! Bahaya sekali, Nak! Sebab itu artinya, kamu sudah terkena tiupan angin Raksasa Petir! Masih untung sebetulnya cuma terkena tiupannya saja. Coba kalau diterkam, ngek. Begini. Wah kamu bisa mati! Tubuhmu

bisa hangus, bisa jadi debu!” kata Kakek yakin. Eka teringat, berkali-kali ia terkena demam dan sakit kepala yang hebat manakala habis hujan-hujanan bersama kawan-kawannya itu. Ia ingat pula, semalaman tak bisa tidur karena meriang yang tak reda-reda. Ibu dan ayah tentu saja dibuat bingung olehnya. Semalaman mereka tak memicingkan mata, karena Eka merintih-rintih tak hentihentinya. “Atau Eka mau diterkam Raksasa Petir itu sekalian? Eka mau mati? Eka mau membuat Ibu, Ayah, Kak Runi dan Kak Elid sedih? Ayo, hujan-hujanan sana kalau begitu!” Kakek melepaskan Eka dari rangkulannya. Tentu saja Eka jadi merinding. Ngeri. Nggak kebayang dia harus mati, dibungkus kain kafan, dimasukkan ke dalam lubang kuburan, ditimbuni dengan tanah merah yang basah. Uh, pasti pengap banget! Lagi, pasti deh ketemu uka-uka di sana. Ukauka, seperti yang ada di tv itu. Hii! Emang seperti apa sih Raksasa Petir itu? Ketika Eka sudah berpakaian kembali atas bujukan Kakek, barulah Kakek mengajaknya duduk-duduk di teras depan. Dan berceritalah kakeknya itu. “Raksasa Petir itu akan datang dan selalu akan datang tiap kali hujan turun. Itu pula sebabnya, kenapa selalu tak jarang muncul petir kalau hari lagi hujan!” ujar Kakek.

Esai

Penyair Tasik dan Kegairahan Menulis Oleh YUSRAN ARIFIN

lampu ia yang bernama tiada kukunjungi resepsi terlupakan yang tak pernah kualfakan

Drawing : Acep Zamzam Noor

“Tapi kok Eka nggak pernah ngeliat Raksasa Petir itu, Kek?” Ragu-ragu Eka memberanikan diri menyanggah cerita kakeknya. Seingatnya, kalau hujan ya hujan saja, kalaupun sesekali ada petir ya petir saja juga. Nggak pernah ada raksasanya segala. “Jangan salah! Raksasa Petir itu memang jarang-jarang, bahkan nyaris nggak pernah memperlihatkan dirinya! Tapi dia memang selalu mengincar kita! Maksud kakek, dia selalu mengawasi kita dari langit sana. Lebih-lebih kalau hujan begini! Dan baru dia akan turun dan akan memperlihatkan dirinya kalau dilihatnya banyak anak-anak yang suka membantah pada ibu atau ayahnya!” terang kakek pula. Eka mengangguk-angguk sambil memandangi wajah kakeknya yang tua. Sementara itu, hujan semakin deras saja. Suaranya semakin mengguruh. Jarijari hujan yang kerap bersicepat turun dari langit. Tempiasnya bercipratan ke tempat Eka dan kakeknya duduk-duduk di teras. Ketika angin bertiup lumayan kencang, bersamaan dengan itu kilat mulai menyambar-nyambar. Lalu sebuah ledakan yang menggelegar. Eka sudah nggak berpikir lagi untuk meluncur ke dalam hujan. Dia malah berlari ke dalam rumah. Tubuhnya nyungsep di sofa, ditutupi oleh setumpuk cucian yang belum sempat diberesi oleh ibu dan kakak-kakaknya. Kak Runi dan Kak Elid memang belum pulang, mereka sekolah sore. Sementara Ibu masih sibuk memasak sendirian. Dan ayah belum pulang dari pekerjaannya membengkel mobil. Pasti raksasa itu datang. Pasti, pikir Eka. Oalah, kasihan sekali teman-teman! Siapakah gerangan yang kena terkam raksasa itu? Apakah Arul, Enur, Agung, Defri? Atau siapa? Tuhan, jangan seorang pun dari mereka diterkam raksasa itu! Kasihan, kasihan! Diam-diam Eka berdoa dalam hatinya. Dan hujan semakin deras. Kilat dan petir semakin kerap bersahut-sahutan. Eka sudah nggak berani lagi membayangkan keadaan temantemannya di luar sana, walaupun soraksorai mereka belum juga lenyap dari pendengarannya. Sampai kemudian segalanya tak terdengar lagi. Ya, Eka tertidur di Sofa. Kakek menatapnya sambil gelenggeleng kepala. Ibu yang sejak tadi sibuk memasak di dapur, sempat pula melihat Eka. Dia menghela nafas lega. (*)

Gairah para penulis Tasikmalaya yang relatif konstan, ternyata telah membuat orang takjub. Ungkapan tidak mengada-ada disampaikan penyair Ahda Imran dalam diskusi di Majelis Sastra Bandung, bulan Agustus 2012. Kenapa ini terjadi? Kenapa hanya gencar menulis dalam Bahasa Insonesia saja, tidak sekaligus dengan Bahasa Sunda, yang merupakan bahasa keseharian para penyair Tasikmalay? JIKA kemudian gairah tersebut dihubungkan dengan kuantitas (puisi dan cerpen) yang muncul di media (cetak) baik lokal, regional, maupun nasional mungkin relatif benar adanya. Bisa dibuktikan dengan dimuatnya tulisan mereka di Kompas, Horison, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Buletin Jejak, Lampung Post, Bali Post, Majalah Syir’ah, Aksara, Radar Tasikmalaya dan Kabar Priangan, juga yang beredar di internet. Dan yang tidak kalah pentingnya, diundangnya beberapa penyair Tasikmalaya ke beberapa pertemuan penyair tingkat nasional, bahkan internasional. Tasikmalaya hampir tiap tahun melahirkan penyair. Terlepas dari embelembel kualitas ataupun tetek-bengek penamaan lainnya. Sejak Acep Zamzam Noor dan Saeful Badar dengan SST-nya melakukan “gerakan”, telah bermunculan penyair-penyair tangguh yang cukup diperhitungkan di peta kepenyairan nasional. Sebut saja Sarabunis Mubarok, Nazarudin Azhar, Nina Minareli, Ratna Ayu Budiarti, Mira Lismawati, Bode Riswandi, Jun Nizami, dsb. Ada beberapa sebab yang bisa ditarik ke ruang ini, mengapa itu bisa terjadi. Walaupun mungkin, ini merupakan telaah sederhana, akan tetapi diharapkan menjadi satu jawaban yang bisa dianggap sedikit penting. Anggaplah sebagai pemantik, atau sermacam “ventilasi” bagi angin perdebatan untuk kemudian bisa dikembangkan ke arah yang lebih ahéng. Penyair manapun yang baik, kehadirannya mula pertama adalah sebagai seorang penyair. (Goenawan Mohammad). Ia terlepas dari berbagai atribut yang disandangkan para pengamat. Apakah sebagai penyair liris, penyair pamflet, penyair mbeling, penyair eseis atau istilah-istilah lain yang terkadang memuakkan. Sebagai penyair Pujangga Baru, sebagai Angkatan 45, sebagai Angkatan 66 atau sebagai penyair modern. Bahkan untuk dikatakan bukan penyair sekali pun tidak lagi menjadi penting. Esensi penyair adalah karya estetiknya. Bukan embel-embel tengik yang terkadang menyesatkan.

Begitu pun, menjadi tidak penting lagi, apakah sebagai penyair Tasikmalaya, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, atau penyair Indonesia? Apa lagi jika nama tempat atau idiom lokal, atau mitosmitos lokal yang ditulis kemudian sengaja dijadikan semacam identitas, bahwa penyair atau penulis tersebut adalah warga lokal tersebut. Sebab bisa saja idiom lokal tertentu, nama tempat, atau mitos kemudian menarik pelancong (penyair) untuk kemudian menuliskannya dalam karya-karyanya. Dalam puisi, misalkan. Seperti Acep Zamzam Noor yang banyak menuliskan idiom serta nama-nama tempat di Italia. Tidak penting lagi, apakah menjadi penyair itu diinginkan atau tidak diinginkan. Sebab sebutan penyair adalah atribut, efek dari serangkaian perbuatan yang terus-menerus dari proses yang panjang. Bisa saja, bagi sebagian orang, julukan panyair menjadi beban, menjadi tak bermakna atau yang dipersetankan. Atau bisa saja dianggap sebagai kutukan? Tapi bisa saja sebaliknya, sesuatu yang membanggakan atau yang mesti di-nacis-kan? Yang paling hakikat dihikmati penyair dalam hidupnya adalah, bagaimana keluar dan membebaskan diri dari tekanan dan ketertarikan obyek yang menyergapnya. Lalu masuk lebih jauh ke dalam, lantas berjibaku dengan proses yang tidak mudah, tidak sederhana dan panjang. Bahkan saking panjangnya, tidak sedikit, sebelum menemukan jawaban dari prosesinya, si penyair terlanjur “mati”. Sulit dibayangkan, tanpa adanya ketertarikan membaca peristiwa, baik di dalam maupun di luar dirinya, ia mampu menulis dengan baik. Karena penulis yang baik, pasti adalah seorang pembaca yang baik. Terlalu banyak menulis tanpa membaca, hanya akan membuat diri menjadi kosong (Sapardi Joko Damono). Maka bagi penyair membaca adalah modal pokok yang sangat berharga dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Turunannya adalah, tertarik, gelisah, membaca, merenungkan, menyimpulkan, memaknai lalu menuliskan. Proses penulisan sendiri bisa dikatakan proses pembebasan dari tekanan dan tegangan. Penyair adalah orang yang menulis puisi. Sebutan penyair hanyalah efek dari perbuatan dan pergulatannya. Terlepas dari keinginan atau tidak adanya keinginan untuk jadi atau tidak jadi penyair. Siapa pun bisa menjadi penyair. Siapapun boleh bercita-cita dan menginginkan jadi penyair. Namun yang akan menjadi penyair adalah mereka yang bersungguh-sungguh mencintai, mau belajar dan bekerja keras sebagai penyair. Menurut Saini KM, penyair tidak dilahirkan dari keinginan (saja). Ia lahir dari

keterpanggilan. Lahir dari mencintai, menyenangi, membaca, menghapal, lalu menulis puisi dan terlibat di dalam diskusi-diskusi sastra yang kemudian aktif dan tertarik mengapresiasi dan berdiskusi tentang kesenian lainnya. Apa pun nama yang disandangkan kepadanya, ia akan tetap menulis puisi selama ia mampu. Penyair menulis puisi bukan karena dibebani atau diberkahi kehormatan oleh masyarakat sebagai penyair. Ia akan tetap menulis, selama ada gairah, waktu luang dan bakat. Karena modal dasar seorang penulis (penyair) adalah adanya faktor tersebut. Sulit dibayangkan jika elemen-elemen di atas tadi tidak tersedia. Apa lagi bakat, meski absurd, mutlak tak bisa ditiadakan. Karena bakatlah yang akan sangat berpengaruh, menjadi pembeda yang mencolok terhadap kualitas, antara penyair yang satu dengan yang lainnya. Penyair yang baik adalah penyair yang dilahirkan dari tradisi. Ia tidak sertamerta muncul secara simsalabim atau melompat dari Planet lain atau dari negri Antah-Berantah. Chairil Anwar adalah penyair yang dilahirkan dari tradisi. Tradisi baca yang baik. Sejak usia belasan tahun ia telah membaca karyakarya Dunia yang bagus. Menerjemahkan karya Marshman, yang kemudian sangat berpengaruh terhadap gaya kepenulisannya. Bahkan banyak tuduhan, ada beberapa tulisan Chairil kemudian diyakini hasil dari plagiasi. Chairil tidak bertradisi terhadap kepenyairan yang tengah berkembang di negrinya. Makanya gaya Chairil, secara umum tidak sejalan dengan yang ada di Indonesia yang tengah suntuk dengan gaya pantun. Karena keluar dari tradisi Indonesia, kemudian mengembangkan gaya yang tengah berkembang di luar Indonesia. Ia kemudian dinobatkan sebagai pelopor Angkatan 45. Dinobatkan sebagai pembaharu bagi perkembangan puisi Indonesia. W.S Rendra juga bertradisi. Ia kemudian terpengaruh dengan Tembang Dolanan. Sutarji Calzoum Bahri, juga bertradisi. Dan ia sangat banyak dipengaruhi oleh mantra. Acep Zamzam Noor juga bertradisi dengan baik. Sejak usia remaja, sejak duduk di bangku SMP, ia telah berkenalan dengan Amir Hamzah, Chairil Anwar, Abdul Hadi WM. Juga penyair-penyair Timur-Tengah, semisal Emre, Sanna’i, Al-Halaj, Jalalaudin Rummi, Fariduddin Attar, Robi’ah Al Addawiyyah, atau Mohamad Iqbal (Pakistan), Rebindranat Tagore (India), dll. Kembali kepada gairah penulis Tasikmalaya. Sejak adanya gerakan duet Acep-Badar, sebelumnya belum ditemukan adanya gerakan sekuat ini, Tasikmalaya nyaris tak pernah mati. Dari mulai pertemuan pada setiap hari Jum’at siang di SST, membacakan, membedah

karya dan diskusi yang kemudian dinamakan sebagai laboratorium. Dialog interaktif di Radio RSPD dan Martha F.M, serta pembacaan puisi, baik oleh pengasuh atau pun langsung, sering dibacakan oleh penyairnya. Kemudian pementasan dan diskusidiskusi di Komunitas Azan, yang rutin diadakan setiap bulan. Baik pembacaan puisi, pementasan teater, pementasan tari, musik bahkan pementasan kesenian tradisional. Dan tidak lupa, sesudahnya selalu digelar diskusi-diskusi yang diikuti, baik oleh penyair, calon penyair pelajar, mahasiswa, buruh bangunan, santri, pengusaha, juga pembantu rumah-tangga Munculnya Koran lokal; Harian Pagi Radar Tasikmalaya dengan Lembar Budayanya yang diasuh oleh Saeful Badar. Di samping itu, ada juga Kabar Priangan yang rutin memuat karya penulis-penulis pemula, baik cerpen, puisi maupun esai. Lomba demi lomba diadakan, baik yang tingkat lokal maupun yang regional, yang dimotori oleh SST. Setelah energi Acep-Badar sedikit agak mengendur karena berbagai halangan, ternyata Tasikmalaya tidak kehilangan tempat pergesekan untuk mengasah kepenulisan. Masih ada yang kemudian muncul dengan format yang hampir senafas dengan apa yang dilakukan oleh Azan, adalah Komunitas Cermin. Juga yang tak kalah penting dan sedang panas-panasnya melakukan gerakan penyebaran ”virus”, adalah Beranda 57 (Bode Riswandi). Baik SST, Komunitas Azan, Komunitas Cermin, Beranda 57, RSPD, Radio Martha F.M, Koran Radar, serta Kabar Priangan, adalah sangat berarti dan sangat berpengaruh besar terhadap gairah penulisan para penulis Tasikmalaya. Walaupun mungkin, itu semua bukanlah satusatunya sebab. Akan tetapi, semua yang diperbuatnya telah menciptakan iklim yang baik dan sangat membantu banyak terhadap pergulatan dan perkembangan kepenyairan di Tasikamalaya. Dari gerakan yang terekam dengan kurang baik ini, dipastikan, untuk sementara mayoritas kegiatan tadi merupakan kegiatan yang berorientasi pada tulisan berbahasa Indonesia. Walaupun geliat minat penulis terhadap karya-karya berbahasa Sunda itu ada, namun tidak segencar bahasa Indonesia. Semisal yang dilakukan Panglawungan Pangarang Kiwari. Atau kegiatan Lomba Baca Sajak Basa Sunda, yang rutin diadakan oleh SMA Pasundan 2. Maka wajar, kalau penulisan berbahasa Sunda tidak segencar Bahasa Indonesia. (*) Penulis adalah penyair, tinggal di Tasikmalaya. Tulisan ini disampaikan untuk melengkapi materi pada pengajian sastra di Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.