Radar Sulbar

Page 16

RADAR SULBAR

SABTU, 5 MEI 2012

BUDAYA

9

Daya Tarik Rumah Adat Mamasa EDITOR: Muhammad Ridwan Alimuddin

Sama seperti rumah tradisional di Kalumpang (Mamuju), di Mamasa atau kerajaan-kerajaan Kondo Sapata, secara lokal rumah juga disebut “banua”. Rumah adat (dan rumah biasa) di Mamasa berdasarkan kepercayaan lama masyarakat setempat didirikan selalu menghadap ke utara. Rumah adat dimaksud banyak persamaannya dengan rumah adat Toraja yang disebut tongkonan. Sampai awal taun 90-an, setidaknya hanya ada tiga buah rumah adat di daerah tersebut yang masih relatif berdiri baik, masing-masing di Orobua, di Tawalian dan di Rante Buda, masing-masing berturut-turut berumur kurang lebih 400 tahun, 300 tahun, dan 300 tahun. Yang di Rante Buda sudah pernah direnovasi. Rumah adat di Orobua, sejak dahulu paling sering digunakan sebagai tempat menyelenggarakan Rambu Saratu atau musyawarah adat yang melingkupi wilayah Kondosapata yaitu daerah-daerah Tawalian, Osango, Balla, Malabo, Sindagamanik, dan Orabua. Rumah adat di Orobua, karena peranannya itu sering digelari/memperoleh ungkapan Tongkambi dua randanna lalan bungin anne neqallo, maksudnya ‘yang senantiasa harus menyiapkan bahan-bahan atau peralatan musyawarah dan upacara serta makanan untuk dikonsumsi berupa babi atau kerbau’. Perkembangan arsitektur rumah adat di Pitu Ulunna Salu melalui empat proses dan tahap sebagai berikut. Pertama, Banua Pendoko Dena (rumah berbentuk seperti sarang burung pipit; bentuknya agak bundar bahannya diambil dari lingkungan sendiri seperti rumput, dedaunan, bambu, dan kayu; lantai langsung dengan tanah. Kedua, Banua Lantang Aqpa (rumah dengan bentuk persegi empat panjang, berdinding empat terbuat dari bambu atau kayu yang langsung ditancapkan ke dalam tanah; dinding dan atap dari bambu, kayu, dan rumput; sekarang masih ditemukan di Mamasa tapi sudah berfungsi sebagai kandang ternak). Ketiga, Banua Tamben (kayu rumah ini dibuat berselang-seling pada semua sisinya; tidak mempunyai tiang, kecuali bubungan tempat mengatur atap; pada mulanya atapnya dari alang-alang, dan berikutnya ada yang dari bambu). Keempat, Banua Toloq. Toloq ‘tusuk’ (itulah bentuk yang sekarang; dinamakan banua toloq karena antar tiang yang semuanya dilubangi dihubungkan dengan pattoloq; banua toloq bentuknya seperti perahu layar). Deskripsi pembangunan dan bangunan rumah adat di Mamasa sebagai berikut. Pertama adalah persiapan. Langkah pertama, diselenggarakan musyawarah antara anggota keluarga untuk menyepakati dan menetapkan bentuk dan macam rumah yang akan dibangun. Dasar penentuan dan lain-lain yang berhubungan dengan rumah adat tetap berpedoman pada peraturan bangunan yang telah ditetapkan menurut ajaran atau paham kepercayaan nenek moyang. Dalam musyawarah ditentukan dan ditunjuk seorang yang menjadi penanggung jawab pengadaan atau pembangunan rumah, mulai dari pengumpulan bahan ramuan sampai rampungnya pembangunan rumah. Yang ditunjuk ialah oknum yang paling tua dan paham seluk beluk rumah dan adat, dan waktu yang baik untuk memulai pembangunan rumah. (Biasanya dipilih awal bulan purnama atau malam pertama terbitnya bulan sampai malam ke-15 dan tepat hari pasar, yaitu hari Selasa). Tempat mendirikan rumah umumnya dipilih di sekitar tempat kerja yang dekat sumber air bersih, di atas tanah ketinggian dan datar, berderet dari timur ke barat, dan harus menghadap ke utara. Didepannya didirikan sebuah lumbung padi yang disebut alang menghadap ke selatan. Rumah dan lumbung selalu dibangun berhadapan, sebagai simbol/gambaran sumi isteri, atau lambang kesatuan dan keutuhan. Kedua tentang bahan. Bahan ramuan yang dibutuhkan ialah (1) kayu uru matindro yaitu kayu yang sudah lama terpendam dalam tanah yang akan digunakan untuk dinding dan lantai rumah, (2) kayu nangka, untuk ariri posi ‘tiang pusat’ (kayu yang akan dijadikan ariri posi ‘tiang pusat’ harus diperhatikan tidak boleh rebah posisinya, ujungnya tidak boleh ke bawah, cara membawanya harus selalu pada posisi berdiri, puncaknya harus selalu ke atas mulai dari pengambilannya sampai pada pemasangannya sebagai tiang pusat), (3) kayu sendana, untuk tiang tulak somba dan lantai, (4) kayu tarian, untuk dijadikan balok-balok, (5) kayu cemara, untuk kasau, (6) kayu pinang, untuk reng, (7) bambu, untuk bubungan dan atap dengan cara membelah-belah kecil sesuai ukuran tertentu, (8) ijuk, untuk menjadi atap (kalau tidak menggunakan bilah-bilah bambu), dan (9) batu gunung, untuk alas tiang rumah. Ketiga, tentang tata cara mendirikan Rumah. Sebelum diolah bahan-bahan lebih dahulu dikelompokkan atas tiga, yaitu (1) kelompok sulluk banua ‘tiang rumah’, (2) kelompok kale banua ‘ramuan yang membalut rumah’, dan (3) kelompok papa banua ‘atap rumah.’ Sesudah dikelompokkan, bahanbahan diolah dan dilakukan kegiatan manamben (mengukur, memotong, melicinkan, membelah-belah bambu untuk atap). Pembuatan tiang dimulai membuat tiang garompang ‘tiang induk’, tiang alla ‘tiang di antara tiang garompang, ariri posi, tiang baira ‘penyangga atap.’ Semua tiang itu berbentuk segi delapan. Membentuknya digunakan kapak kecil, diukur dengan depa atau jengkal si pemilik. Kemudian dibuat roroan ‘sulur’ yang membentuk empat persegi panjang, sama dengan pembuatan tiang. Adapun nama-nama rangka berikut urutan pemasangannya sebagai berikut. (1) alas tiang, (2) tiang, (3) roroan, (4) ayoka, (5) penambu lentong (jenis tiang), (6) kalahka, (7) pettaqdakan, (8) pacaq, (9) panggosokan, (10) sangkinan rinding, (11) reassak, (12) sambo rinding (13) pananggok (14) rinding angin, (15) indo para, (16) telang para, (17) ula-ula para, (18) rinding para, (19) kayu boko, (20) rampanan, (21) pamiring bundai, (22) pamiring longa, (23) sambo topong, (24) pumpang longa, (25) pumpang pue-pue, (26) kasau (27) reng, (28) atap, (29) bubungan, (30) daun pintu, (31) daun jendela, (32) tangga, dan (33) ukiran. Pemasangan rangka dilakukan dalam tiga tahap yaitu (1) pemasangan rangka bawah (kolong); mengatur batu sebagai alas tiang, lalu meletakkan tiang di atasnya, dan memasang semua balok yang ada di ujung deretan tiang, (2) rangka bagain tengah (badan); memasang kayu panggosokkan, sangkinan rinding, papan dinding, balok penutup papan dinding; memasang balok yang akan menahan bagian kanan dan kiri rumah, dan (3) rangka bagian atas (atap); memasang tiang-tiang untuk meletakkan balok-balok rumah, kayu bokok; memasang lindo para berbentuk segi tiga yang terdapat di muka dan belakang rumah; mendirikan tiang penopang bagian rumah yang menjulang ke depan dan belakang rumah; memasang atap yang terdiri atas dua lapisan (lapisan atas yang disebut muane papa ‘suami atap’ dan lapisan bawah yang disebut baine papa ‘isteri atap’; kemudian memasang bubungan rumah, dan yang terakhir adalah mengukir. Keempat mengenai tenaga pelaksana. Dikerjakan oleh tenaga ahli yang tahu dan memahami seluk beluk adat istiadat tradisional yang ada hubungannya dengan rumah, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap adat yang berlaku. Tenaga ahli dimaksud ialah Tominaa, Tomanarang, dan Tukang.

Tominaa adalah perancang yang bertugas membimbing berdasarkan adat yang berlaku. Tomanarang adalah ahli/ arsitek yang menjadi ketua/pemimpin. Tukang adalah tenaga pembantu/anggota pekerja. 5. Konstruksi Rumah. Garis besar susunan atau strukturnya terdiri atas (1) Konstruksi Bawah, (2) Konstruksi Tengah (Badan Rumah), dan (3) Konstruksi Atas (Atap). Konstruksi bawah meliputi tangga (diletakkan di sebelah timur rumah dengan cara membuatkan tempat tersendiri dengan dua buah tiang yang dapat menghubungkan langsung untuk memasuki pintu rumah; jumlah anak tangga selalu ganjil), landasan tiang rumah (menggunakan batu gunung yang tidak ditanam ke dalam tanah, diletakkan begitu saja di atas tanah, dan di atasnya tiang rumah diletakkan), dan ariri ‘tiang’ (penahan badan rumah yang dihubung-hubungkan dengan balok (sulur atau roroan) yang dimasukkan ke dalam tiang-tiang; di antara tiang terdapat posi ‘pusat’ sebagai tiang utama di tengah bangunan rumah). Di depan dan belakang rumah terdapat tulak sumba (tempat menggantungkan atau memasang tanduk(-tanduk) kerbau). Konstruksi Tengah (Badan Rumah) meliputi (1) sali ‘lantai’ (bahannya dari kayu sendana atau kayu aru yang dipasang melintang berhimpit rapat kecuali beberapa bagian di tengah ruang di lantai tersebut), (2) lonta ‘ruang’ (rumah adat yang terdiri empat ruang disebut Banua Patang Lonta ‘Rumah Empat Ruang’ dengan konstruksi ruang yang bertangga-tangga mulai dari bawah ke atas, yang paling rendah bagian utara dan paling tinggi di selatan; ruang-ruang itu ialah (a) inan kabusungan tempat menyimpan barang atau bendabenda pusaka; inan kabusungan rumah adat di Orobua: 2,09x3,34 meter, (b) sumbung berfungsi sebagai tempat tidur; sumbung rumah adat di Orobua: 2,06x3,43 meter, (c) sali tangnga berfungsi sebagai tempat atau pusat kegiatan di rumah; rumah adat di Orobua: 2,90x3,43 meter, dan (d) sali iring berfungsi tempat menerima tamu; sali iring rumah adat di Orobua: 2,74x3,43 meter. Setiap ruang mempunyai pintu. Inan kabusungan dan sali iring tidak mempunyai daun pintu. Sumbung dan sali tangnga mempunyai daun pintu, dan (3) rinding ‘dinding’ (dalam penempatan dinding terdiri atas dua bentuk yaitu vertikal dan miring; vertikal, dinding yang mengelilingi rumah dan diukir, dan miring, dinding yang condong ke muka atau ke belakang; sudut atas dinding berakhir pada pangoton ‘kayu bubungan’ yang disokong dengan tiang penyokong atap bubungan tulak sumba; dinding dibuat dari kayu uru matindro; papan dinding tidak menggunakan paku atau pengikat melainkan menggunakan sistem alur yang dalam istilah lokal disebut siamma; pada dinding rumah adat di Mamasa terdapat empat buah jendela yang terletak di muka dan di belakang rumah. Konstruksi bagian atas (atap) rumah adat di Mamasa dibuat dari bambu yang dibelah-belah. Kerangka atapnya sebagai berikut. (1) Rampanan (kayu tempat mengatur atap, 2 buah). (2) Pamiring budai (terpasang pada rampanan, 4 buah). (3) Pamiring longa (tempat mengatur atap longa, 4 buah). (4) Sambo topong, berbentuk bundar, 2 buah. (5) Karo, terpasang pada rampanan dan sambo topong dan tempat memasang reng. (6) Reng, tempat mengikat atap. (7) Pumpang tulak, kayu yang melintang di bagian muka longa sebagai penopang tulak sumba. Bubungan atap rumah adat yang mirip perahu layar di daerah ini, bagian depan selalu lebih tinggi dari pada yang bagian belakang. 6. Ukiran (Ornamen). Di Mamasa, ukiran atau ornamen dikenal dengan istilah passura. Passura khas Mamasa yang dijumpai pada rumah adat di Mamasa bukan sekedar hiasan belaka, karena ukiran itu sarat makna dan simbol-simbol religi. Ukiran Mamasa terdiri atas empat dasar, yaitu (1) paqbura allo (bentuknya menyerupai matahari), (2) paqtedong (bentuknya menyerupai kerbau), (3) paqmanuq londong (bentuknya menyerupai ayam jantan), dan (4) paqsussuq (merupakan garis-garis lurus). Keempat dasar ukiran itu telah dikembangkan oleh pengukir tradisional Mamasa kurang lebih 100 macam ukiran sampai saat ini, baik ukiran pada rumah maupun pada kerajinan-kerajinan lainnya. Peralatan yang digunakan mengukir disebut piso. Piso ada tiga macam, yaitu (1) passussuq, untuk membuat alur, (2) paqsoso, untuk mengupas, dan (3) paqgarriq, untuk membuat garis. Rumah adat Mamasa, dalam proses pembuatannya menggunakan alat pengukur pengganti meter dengan sangdaqkan ‘jengkal’, sangtaqpungkale ‘hasta’, dan sangdaqpa ‘depa.’ Dengan empat dasar (paqbura allo, paqtedong,

paqmanuq londong, dan paqsussuq), ragam hias ukiran rumah adat di Mamasa adalah sebagai berikut. (1) Paqdandan Bodu (bentuknya seperti sirih; diukir pada dinding bahagian depan yang dimaksudkan sebagai penghormatan kepada dewa). (2) Kabonga (ukiran berbentuk kepala kerbau yang diukir pada dinding depan dan belakang rumah; simbol kekuasaan, kekayaan, kemakmuran hidup keluarga pemilik rumah, dan mungkin mengandung maksud kepercayaan lama di Mamasa). (3) Katiq (berbentuk kepala ayam jantan yang sedang berkokok; diukir pada dinding di muka dan belakang rumah yang jumlahnya masing-masing tiga buah; ditempatkan di atas ukiran kabonga). (4) Paqsalaqbi, menyerupai pagar. (5) Paqgugang, menyerupai keris. (6) Paqsussuq. (7) Paqtedong. (8) Paqmanuq londong, dan (9) Paqbare allo. Setiap ukiran pada akhir penyelesaiannya selalu diberi warna atau cat yang hanya terdiri atas mariri ‘kuning’, malotong ‘hitam’, mararang ‘merah’, dan mabusa ‘putih.’ Arti/maksud warna pada rumah adat di Mamasa ialah (1) warna merah dan putih merupakan lambang kehidupan manusia (darah dan tulang), dan secara khusus warna merah mengandung kekuatan pencegah roh jahat pada rumah dan penghuninya, (2) warna kuning, lambang kemuliaan dn ketahanan, dan (3) warna hitam, juga lambang kemuliaan sekaligus lambang kegelapan, dan secara khusus memiliki kekuatan magi atau gaib. Tulisan ini adalah ringkasan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati pada tahun 1994, “Studi Arsitektur Rumah Adat Mamasa di Kec. Mamasa Kabupaten Polmas.” (*)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.