e-NAFIRI GKY BSD | MAR 2021 | TH18

Page 1


Pembaca ‘Nafiri’ terkasih, Orang bilang, tahun 2020 adalah tahun virus dan tahun 2021 adalah tahun vaksin. Tak bosanbosannya hingga kini kita mendengar berbagai kabar mengenai pandemi sampai ‘ulang tahun’ virus yang kesatu ini. Tentunya kita berharap pandemi ini segera berlalu dan kita tidak perlu bermasker ria lagi. Namun, kiranya cerita dan berita tentang virus tidak menghilangkan sukacita kita akan kebangkitan Kristus. Jangan lupa, kita sebentar lagi akan merayakan Jumat Agung dan Paskah. Kisah Jumat Agung adalah “Long Walk to Death”. Kisah itu berbeda dengan kisah para pahlawan. Tujuannya pun berbeda. Apa bedanya? Rubrik “Enlightenment” mengungkapkannya untuk kita semua. Apa konspirasi dusta yang sengaja dilakukan oleh para pemuka agama Yahudi terhadap Yesus? Apakah strategi mereka ini bisa bertahan? Mari kita simak dalam rubrik “Fokus”. Tak hanya mengenai Paskah. Kita ikut waswas mendapat kabar, “Pak Boen kena Covid, masuk rumah sakit.” Dan sejak saat itu berhari-hari


yang kita dengar adalah permohonan dukungan doa untuk Pak Boen—yang keadaannya cukup memburuk. Bagaimana pula proses penyembuhannya? Penasaran? Kita ikuti kisahnya dalam rubrik “Kesaksian”. Iman yang berjalan dalam tidur. Apa maksudnya? Tidur sambil beriman? Iman sambil tidur? Mengapa Rollo May, seorang penulis eksistensial—meski bukan seorang Kristen, membuat kita memikirkan kembali kondisi iman kita. “When people feel threatened and anxious they become more rigid and when in doubt they tend to become dogmatic; and they lose their own vitality?” Yuk, kita renungkan dalam rubrik “Perspektif”. Masih banyak tulisan-tulisan menarik yang dapat kita nikmati: yaitu “Pastoral Notes”, “Kesaksian”, “Potret”, “Thought”, “Perspektif”, “Teropong”, “View Point”, “English Corner”, “Event Notes”, “Capture”, “Leadership Spot”, “Parenting”, dan lain-lain. Tidak semuanya serba serius: ada cerita jenaka di “Taman Ketawa”, ada komik “Sentilan Ucil”, ada juga karikatur “Bang Arif”. Mari kita nikmati semua dalam edisi yang terbit mingguan secara digital ini. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Salam, Redaksi


Penasihat Pdt Gabriel Kadarusman Gofar Pembina GI Feri Irawan Majelis sub. bid. Literatur Yahya Soewandono Pemimpin Redaksi Humprey Wakil Pemimpin Redaksi Maya Marpaung Editor Pingkan Abigail Palilingan, Titus Jonathan Proof Reader Sarah Amanda Palilingan, Yati Alfian Creative Design Arina Renata Palilingan, Christina Citrayani, Glory Amadea Juliani Agus, Nerissa, Novita C Handoko Illustrator Ricky Pramudita, Shannon Ariella, Thomdean Fotografer Yahya Soewandono, Tim Dokumentasi GKY BSD Penulis Anton Utomo, Edna C Pattisina, Elasa Noviani, Elizabeth Wahyuni, Erwin Tenggono, Hendro Suwito, Lily Ekawati, Liany Suwito, Lislianty Lahmudin, Maya Marpaung, Sarah Amanda Palilingan, Thomdean, Titus Jonathan Kontributor Andreas K Wirawan, Firdaus Salim Alamat Redaksi Sub bidang literatur GKY BSD Jl. Nusaloka E8/7 BSD Tangerang Telp/ Fax: 021-5382274 Email: nafiri@gkybsd.org

Kirimkan KRITIK, SARAN, SURAT PEMBACA dan ARTIKEL anda ke alamat redaksi ataupun lewat e-mail di atas


Pdt. Gabriel Goh: Prioritaskan Relasi yang Makin Erat dengan Tuhan, Lebih dari pelayanan Kita

/ Elasa Noviani


Dalam rubrik “Suara Gembala” kali ini Nafiri (NF) menampilkan gembala jemaat GKY BSD: Pendeta Gabriel Goh (GG) untuk diwawancarai. Berikut perbincangan tim Nafiri lewat Zoom dengan beliau. NF: Setelah bersama jemaat GKY BSD selama dua tahunan, apakah Bapak melihat ada hal urgen yang harus dikerjakan di gereja kita? Dan apakah ada visi dan misi khusus yang Tuhan taruh dalam hati Bapak untuk jemaat ini, selain visi utama GKY menjadi “Gereja yang Mulia dan Misioner”? GG: Ada dua hal yang sangat penting untuk dikerjakan oleh gereja saat ini, yaitu: 1. Fokus dalam menjangkau next generation. Dalam perubahan zaman yang cenderung discouraging terhadap iman Kristen ini, generasi muda kita menghadapi tantangan yang sangat besar. Tidak mudah membuat mereka beriman dan setia kepada Tuhan. GKY BSD berada dalam lokasi yang sangat strategis dimana keluarga-keluarga muda datang dan setiap tahun ada puluhan ribu bahkan ratusan ribu mahasiswa yang


pindah ke area ini untuk study. Jadi ini merupakan ladang yang sangat luas dan berpotensi untuk dikerjakan. 2. Fokus kepada hidup kerohanian jemaat yang autentik. Banyak gereja di seluruh dunia mempraktikkan kehidupan beragama yang penuh dengan kepalsuan. Kita tidak ingin hal ini terjadi di dalam gereja kita. Karena itu kita perlu mengajar jemaat untuk mempraktikkan kehidupan Kristen yang autentik: tidak memakai topeng, tidak jaim, dan mempunyai komitmen yang kuat terhadap kekudusan. Sehingga hidup kita berdampak dan menjadi berkat bagi orang lain. Mengenai visi misi khusus yang Tuhan berikan, saya sangat rindu agar setiap jemaat mempunyai accountable friends dan berada dalam accountable community. Sebenarnya platform tersebut sudah ada di dalam CGF (Caring Group Fellowship), Dobar (doa bareng), Kelas Turbo, dan sebagainya asalkan dipraktikkan dengan sungguh-sungguh. Artinya begini: Ketika bertemu; kita tidak hanya berbicara mengenai aktivitas, program, dan pelayanan. Kita tidak hanya berbicara


tentang hal-hal yang umum dan bersifat dangkal. Tetapi diharapkan kita juga punya sebuah relasi yang lebih dalam dengan beberapa orang dalam komunitas tersebut. Sehingga kita bisa saling menguatkan dan saling mengingatkan untuk berjalan dengan Tuhan. Idealnya setiap jemaat punya sahabat rohani yang dapat dipercaya untuk menjadi tempat curhat yang nyaman. Sahabat itu juga boleh dengan leluasa dan berterus terang mengingatkan kita, seperti menanyakan:

“Apakah kamu masih hidup berjalan dengan Tuhan?” “Bagaimana dengan saat teduhmu?” “Apakah masih hidup dalam kekudusan?” “Bagaimana implementasi komitmen yang lalu?”


Sebaliknya kalau dia ada pergumulan, dia juga bisa sharing kepada kita, dan bisa saling mendoakan. Accountable community semacam ini akan menolong umat Tuhan untuk terlindungi dari berbagai godaan yang bisa merontokkan iman kita. NF: Apa program-program utama yang ingin dilaksanakan khususnya dalam situasi pandemi saat ini? Dan mengapa hal itu penting? GG: Program utama gereja seperti kebaktian umum, kebaktian doa, seminar pembinaan, dan lain-lain; puji Tuhan tetap bisa berjalan dengan baik. Walaupun jemaat beribadah secara online, diharapkan tetap bisa mengalami sebuah perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Selain itu ada dua program utama yang diadakan khusus dibentuk untuk masa pandemi: 1. Renungan Audio Awalnya saya bergumul ketika diusulkan oleh majelis untuk menjalankan program ini, sebab sudah begitu banyak renungan


yang tersedia secara online, untuk apa kita menambah lagi? Selain itu, waktu yang dibutuhkan cukup panjang. Saya pribadi membutuhkan 4–5 jam untuk menyusun kata-kata, mempersiapkan dan mengedit rekamannya; agar mencapai target waktu 6–7 menit. Tetapi kemudian kami disadarkan bahwa ada suatu kebutuhan bagi jemaat untuk mendengar secara langsung suara hamba Tuhannya, dan itu menciptakan kedekatan. Selain itu, ada juga feedback bahwa renungan singkat tersebut memberkati dan banyak jemaat yang membagikannya ke orang lain. Hal ini sangat membesarkan hati. 2. Kawan doa Ini adalah program doa pastoral. Rekanrekan hamba Tuhan setiap hari diminta untuk menelepon jemaat dan mendoakan. Ketika jemaat merasa diperhatikan, bahkan menyadari bahwa ada yang peduli dan mau mendoakan mereka; maka jemaat akan merasa sangat dikuatkan. Bersyukur semua rekan-rekan hamba Tuhan sangat berkomitmen untuk melakukan hal ini dari sejak awal pandemi sampai sekarang.


Selain itu ada program pertemuan komunitas secara online yang dilakukan oleh masing-masing CGF. Komunitas sangat penting untuk saling menopang di antara jemaat. NF: Bagaimana Bapak melihat kondisi jemaat GKY BSD selama masa pandemi ini? Baik secara fisik maupun sisi kerohaniannya? GG: Jumlah kehadiran jemaat cukup baik walau dengan ibadah online seperti ini. Memang mungkin banyak yang mencoba online ke tempat lain. Bagi saya kalau memang tujuannya untuk belajar sesuatu di tempat lain tentu tidak menjadi masalah. Sebaliknya kita juga menemukan ada juga orang-orang dari tempat lain yang mengikuti kebaktian kita.


Hal fisik lain adalah mengenai persembahan. Menurut laporan memang ada penurunan, tapi kita sangat bersyukur oleh belas kasihan Tuhan segala kebutuhan pelayanan tetap tercukupi. Dari sisi rohani, dalam suasana pandemi, ternyata tingkat kepedulian antar jemaat tetap sangat baik. Ada anggota CGF yang isolasi mandiri, menceritakan bahwa dia merasa sangat diperhatikan, karena tiba-tiba mendapat banyak kiriman makanan dari saudarasaudara seiman. Demikian juga yang sedang berduka, mendapat penghiburan dari sesama jemaat. Selain itu pengadaan pelatihan Evangelical Explosion (EE) online baru-baru ini menunjukkan semangat penginjilan yang luar biasa. Menurut pengalaman, biasanya banyak partisipan yang berhenti di tengah jalan. Tetapi dalam EE online kali ini, sebagian besar peserta mengikutinya sampai akhir. Ada juga yang langsung mempraktikkan dengan membagikan Injil kepada keluarga. Hal ini tentu sangat menguatkan hati. NF: Apa sebenarnya isu utama dari kehidupan jemaat karena pandemi ini?


Bagaimana gereja meresponsnya? GG: Yang paling sering didengar: adanya jemaat yang sangat kesulitan secara ekonomi, ada yang terkena PHK, atau mengalami dampak pandemi yang sangat berat terhadap usahanya. Ada juga yang bergumul karena meningkatnya konflik dalam rumah tangga, yang lain bergumul masalah pendidikan anak. Ternyata beban sekolah online tidak lebih ringan daripada ketika face to face. Anak-anak overload karena PR yang sangat banyak. Selain itu, kami rindu agar jemaat senantiasa berjalan dengan Tuhan di dalam relasi pribadi yang autentik. Kita sering mengira bahwa kita sedang bertumbuh karena suasana kebaktian; musikmusik yang mengajak kita untuk bersemangat memuji Tuhan, dan persekutuan dengan saudara-saudara seiman. Namun, dalam keadaan dimana kita tidak bisa bersekutu secara fisik, sebenarnya kita sedang ditempatkan oleh Tuhan dalam kondisi yang hanya ada kita dan Dia saja di situ. Mungkin tidak ada musik-musik dan persekutuan yang membuat suasana


bersemangat. Apakah masih ada spiritualitas yang sejati yang menolong kita tetap bisa mengalami Tuhan dan berjumpa dengan Tuhan secara pribadi? Ini menjadi PR gereja untuk mengajarkan kepada jemaat memiliki true relationship dengan Tuhan. Sebenarnya kuncinya kembali kepada hal-hal dasar untuk membangun kehidupan rohani yang autentik: yaitu dengan setia membaca firman Tuhan, berdoa, dan hati yang terus melekat kepada Tuhan. NF: Apa kontribusi gereja untuk masyarakat umum di tengah pandemi ini sehingga ‘garam dan terang-nya’ dapat dirasakan?


GG: Untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita atau bahkan yang membenci kita, kita perlu mengajak jemaat untuk mempunyai hati yang besar, yang berani menghadapi segala tantangan; sambil tetap menjadi berkat bagi lingkungan kita. Yang juga sangat penting adalah untuk tetap hidup dalam integritas yang sejati. Ketika pandemi berdampak kepada keadaan ekonomi, mungkin muncul godaan untuk berkompromi dalam hal integritas, padahal kita adalah saksi Kristus, jadi jangan sampai hidup kita mempermalukan nama Tuhan. Selain itu bidang pelayanan diakonia juga menolong jemaat dan masyarakat secara berkala: misalnya membagikan sembako, dan kebutuhan dasar lain. Saya sangat bersyukur untuk hati tim diakonia yang setia dalam melayani Tuhan. NF: Mengenai ibadah dengan online streaming, apa tantangan yang dihadapi? Apakah ke depan akan terus meng-improve cara ibadah seperti ini sehingga jemaat bisa tetap memperoleh berkat?


GG: Tantangannya, mungkin ada jemaat yang tidak fokus, karena online maka bisa pindah-pindah channel. Saya pernah ingatkan bahwa sebuah ibadah adalah sebuah intensi kita untuk menyembah, memuji, dan berjumpa dengan Tuhan; jadi sangat penting bagi jemaat untuk mengikutinya dari awal sampai akhir. Yaitu lewat lagu-lagu yang dinyanyikan, doa, dan firman Tuhan yang diberitakan. Yang saya maksud, kalau misalnya kita menyanyikan satu dua lagu, lalu pindah channel, dengar khotbah 5–10 menit, loncat channel lain; itu bukanlah ibadah. Kemungkinan jemaat yang sudah lebih dewasa, lebih stabil dalam pengertian ini. Namun, mungkin tidak demikian dengan anak-anak dan remaja; mereka adalah generasi yang lebih sulit untuk berkonsentrasi. Bersyukur para pembina, pembimbing, dan guru-guru Sekolah Minggu memperhatikan mereka dengan sungguhsungguh. Tetapi kita tetap membutuhkan dukungan keluarga untuk ikut mengontrol hal ini.


Kendala lain misalnya faktor teknis: kadang-kadang ada masalah internet, audio, pencahayaan, dan lain-lain. Bersyukur tim teknis selalu standby, dan bekerja dengan sungguh-sungguh. Kalaupun nanti kita sudah bisa beribadah onsite, fasilitas online akan tetap kita buka. NF: Bagaimana keadaan rekan-rekan hamba Tuhan di GKY BSD, Pamulang, dan Alam Sutera. Apakah mereka suka ‘curhat’ mengenai persoalan yang mereka hadapi dalam melayani jemaat di masa krisis ini? Apa nasihat Bapak kepada mereka? GG: Saya bersyukur karena pada umumnya rekan-rekan cukup terbuka. Beberapa rekan cenderung mudah untuk sharing, sedangkan


yang lain memang secara kepribadian tidak mudah untuk curhat, walau mereka semua tetap sangat accountable. Nasihat saya tergantung kasusnya. Kadang mereka sharing mengenai rencana ke depan, ada yang sharing tentang gesekan dengan rekan hamba Tuhan atau dengan pengurus. Namun, secara umum saya selalu mengingatkan bahwa kita semua sedang dalam tahap pertumbuhan, walaupun kita sudah mempunyai identitas yang sangat jelas yaitu: Kita adalah anak Tuhan dan dikasihi dengan kasih yang tak terbatas, dimana hal itu seharusnya sudah cukup, tetapi dalam perjalanan waktu kita masih tetap bergumul dengan tantangan yang ada. Saya suka memakai contoh dari pengalaman saya: Misalnya kalau saya sedang khawatir, saya selalu ingat untuk menempatkan rasa aman dan harga diri kita di dalam Tuhan dan hanya di dalam Tuhan, jangan di tempat lain. Ketika kita melayani dan mendapat pujian, thanks God, tetapi kadang tidak ada yang memuji, it’s OK. Kita harus mempunyai servant heart dan pastoral heart. Sebab sejatinya semua hamba


Tuhan adalah gembala bagi domba-domba yang dilayani. Semua hamba Tuhan perlu memberikan kasih dan perhatian pastoral yang sungguh-sungguh merangkul dan menguatkan jemaat. Jemaat memang memerlukan pengajaran yang sehat, tetapi lebih dari itu, jemaat juga membutuhkan pelayanan yang timbul dari hati. NF: Apa pesan khusus yang ingin Bapak sampaikan kepada seluruh jemaat GKY BSD, untuk menjalani tahun 2021 dengan lebih baik? GG: Ada beberapa pesan yang ingin saya sampaikan: 1. Bagi seluruh jemaat, “Fear not!” Ada banyak ayat di dalam Alkitab yang berbunyi, “Jangan takut …,” maka seharusnya kita sebagai orang percaya tidak perlu khawatir ataupun takut melewati masa-masa pandemi ini. Khawatir adalah hal yang manusiawi; saya sendiri kadang terbesit rasa khawatir misalnya waktu diminta melayani untuk


mendoakan keluarga jemaat yang sedang di ICU karena terkena Covid-19, namun segera saya ingat: Di mana Tuhan memanggil, pasti Dia akan melindungi; semua ada di dalam kedaulatan-Nya. Bagi saya, saat menjalankan pelayanan seperti itu merupakan momen yang kritis dan sangat berharga. Sebab firman Tuhan nyata. 2. Bagi para aktivis, “Jangan tempatkan harga diri di dalam kesibukan pelayanan, melainkan prioritaskan relasi pribadi dengan Tuhan.” Di masa pandemi ini saya sering mendengar beberapa aktivis merasa tidak sedang melakukan pelayanan apa-apa, sementara hanya hamba Tuhan saja yang sibuk melayani.


Saya ingin mengingatkan bahwa keberhargaan kita di dalam Tuhan bukan dari apa yang kita lakukan bagi Tuhan, melainkan karena apa yang Tuhan Yesus sudah lakukan bagi kita. Jadi ketika kita sedang tidak bisa melayani, bukan berarti kita kurang berharga di mata Tuhan. Ingat, yang Tuhan cari dari kita adalah: Apakah hati kita sedang berubah menjadi seperti Kristus? Tuhan lebih menghargai hati kita yang bertumbuh di dalam relasi yang makin erat dengan Dia, bahkan hal ini seharusnya menjadi prioritas, lebih penting dari pada semua pelayanan kita. Tuhan menikmati hati kita yang murni dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Nikmati masa-masa beribadah di rumah dengan relasi yang sejati dengan Tuhan, sampai tiba waktunya kita boleh kembali melayani Tuhan secara langsung, maka waktu itu Tuhan boleh menerima kembali pelayanan kita yang datang dari sebuah hati yang tulus. ***



/ Maya Marpaung

Lauw Eng Boen:

Hidup Ini adalah Kesempatan Menjalankan Tugas Tuhan


Tidak sedikit dari kita yang ikut waswas ketika mendapat kabar, “Pak Boen kena Covid, masuk rumah sakit.” Dan sejak saat itu berhari-hari lamanya, yang kita dengar adalah permohonan dukungan doa untuk Pak Boen yang keadaannya memburuk. Usia Pak Boen yang tidak lagi muda membuat kita tidak berani untuk berharap banyak. Sudah terlalu banyak berita tentang korban-korban virus mematikan ini, bahkan tempat pemakaman sampai penuh dan harus membuka lahan baru sesegera mungkin. Namun setelah beberapa waktu berjalan, betapa kagetnya kita ketika melihat di grup jemaat terdapat foto Pak Boen di pintu keluar rumah sakit bersama tenaga kesehatan rumah sakit. Wah, sang bapak yang selalu setia melayani di gereja kita sudah boleh pulang ke rumah. Luar biasa.


“Bagaimana sih Pak, perasaan Bapak ketika dikonfirmasi bahwa Bapak positif terkena virus Covid-19?” “Ya, saya pikir ya lebih baik saya dirawat ya, karena bahaya untuk orang rumah kalau saya pulang.” “Waktu di ruang isolasi, bagaimana tuh Pak rasanya? Banyak yang cerita mencekam sekali suasananya.” “Ya, sepi aja ya.”

Memang luar biasa ketenangan bapak yang satu ini. Bu Nelly, Sharon, dan Dustin kemudian bercerita tentang perjuangan fisik dan mental keluarga dalam menjalani perawatan sang suami dan ayah melawan virus Covid-19. Awalnya, Pak Boen tidak merasakan gejala klasik dari seseorang yang terpapar virus ini. Tes antigen dan pemeriksaan awal pun tidak secara jelas mengarah ke infeksi virus. Baru setelah pemeriksaan yang lebih mendalam, dokter ahli penyakit dalam memastikan bahwa Pak Boen harus dirawat karena adanya penurunan fisik


yang disebabkan oleh infeksi virus Covid-19. Sampai sejauh ini, pelayan gereja yang sering menyambut jemaat di pintu masuk gereja ini pun tidak merasakan sakit yang berarti. Baru setelah beberapa hari di ruang isolasi, kondisi Pak Boen menurun dengan cepat dan Pak Boen dipindahkan ke ruang ICU. Pihak rumah sakit pun menelepon Ibu Nelly untuk meminta keluarga mengusahakan transfusi plasma konvalesen. Pencarian donor yang tidak mudah, proses pengolahan plasma darah yang tidak singkat, dan berbagai prosedur yang memakan waktu sungguh berlawanan dengan kebutuhan Pak Boen untuk segera mendapat transfusi plasma. Tekanan yang bertubi-tubi ini tentu sangat berat bagi keluarga. Ibu Nelly bercerita bahwa tiba-tiba dirinya menangis dengan keras di depan petugas PMI. Jalan mulai terbuka ketika sekonyong-konyong, seorang petugas PMI menyatakan dengan lantang, “Sediaan ada nih, Bu!” Dan dengan perkataan itu, maka Pak Boen mendapat transfusi yang dibutuhkannya. Apakah keadaan langsung berjalan mulus? Ternyata tidak. Di waktu yang hampir bersamaan dengan dimasukkannya transfusi plasma yang pertama, kondisi Pak Boen menurun drastis hingga pihak rumah sakit memutuskan untuk mengistirahatkan tubuh pasien. Hal ini penting agar semua obat-obatan dapat bekerja dengan lebih baik. Reaksi yang diharapkan terjadi di hari kedua setelah transfusi pun tidak terjadi,


sehingga transfusi kedua harus ditunda. Pihak dokter meminta agar seluruh keluarga berdoa meminta mukjizat Tuhan. Kita semua tahu ini bukanlah pertanda baik. Di hari ketiga setelah masuknya transfusi pun, keadaan Pak Boen belum juga membaik. Dokter terus meminta keluarga untuk berdoa. “Kami hanya bisa berharap dengan waswas. Kami berdoa semalaman meminta belas kasihan Tuhan. Kami masih mau bersamasama sebagai satu keluarga.” Sharon si sulung terus mengingatkan bahwa Tuhan yang telah menolong mereka dalam proses mendapatkan transfusi yang sulit, Tuhan juga yang pasti akan menolong papa terkasih. Pada saat itu, Bu Nelly sempat terpikir untuk menyiapkan jas dan sepatu suaminya— mempersiapkan keadaan yang terburuk—, “Saya tidak tidak tahu lagi harus berpikir apa.” Dustin menegur sang ibu, mengingatkan agar terus berharap. Kita hanya bisa membayangkan betapa gelap dan lambatnya waktu di depan mereka pada saat itu.


Di hari keempat sejak kritis, telepon dari pihak rumah sakit mengejutkan ketiga anggota keluarga yang sudah sangat lelah. Dokter kepala ICU memberitahukan bahwa tiba-tiba pagi itu keadaan Pak Boen membaik, semua indikator menunjukkan peningkatan, dan Pak Boen sadar dalam keadaan baik. Dokter menceritakan bahwa tenaga kesehatan di ICU bersorak-sorai melihat mukjizat ini dan transfusi plasma kedua pun dapat diberikan.

“Apa yang Bapak pikirkan ketika bapak bisa sadar di hari keempat itu, Pak?” tanya saya. “Yah, saya pikir sih, Tuhan ada rencana dan tugas lain buat saya. Tapi saya belum tau juga nih Bu,” ujar Pak Boen sambil tertawa ringan.

Saya yang tadinya ikut merasa tercekam mendengar sharing dari keluarga ini menjadi rileks setelah mendengar pernyataan tulus dari Pak Boen.


Setelah keluar dari ICU dan kembali ke ruang isolasi, suasana roller coaster masih menyelimuti keluarga ini. Efek pasca-Covid mulai menyerang: mulai dari kekentalan darah yang tinggi, gula darah yang sangat rendah, dan tubuh yang sangat lemah membuat Pak Boen masih menempati ruang isolasi selama dua minggu. Keluarga bersyukur ketika akhirnya pihak rumah sakit menyatakan sang ayah aman untuk menjalani isolasi mandiri di rumah. “Sekarang rasanya bagaimana, Pak?” tanya saya lagi. “Ya baik saja Bu, saya enggak merasa ngap, biasa saja”. Sangat mungkin proses penyembuhan berjalan lancar karena ketenangan Pak Boen dalam menjalani satu demi satu perbaikan tubuh yang ada. Saya sangat mengagumi ketenangan sang ayah dan Sharon, kegigihan Bu Nelly dan Dustin sebagai satu keluarga yang sangat kompak. Semua saling mendukung, saling melengkapi. Saatsaat doa tidak pernah lepas dari cerita mereka. Tidak ada satu saat pun dimana mereka saling menyalahkan, apalagi menyalahkan Tuhan. Terima kasih Pak Boen, Bu Nelly, Sharon, dan Dustin untuk kesaksian yang luar biasa sebagai satu keluarga. Tuhan memberkati kehidupan kalian, dengan tugas baru yang disediakan untuk Pak Boen dan keluarga.


Pandemi belum berlalu; lutut kita harus terus bertelut meminta belas kasihan Tuhan untuk pasien-pasien, tenaga kesehatan, dan usaha pemerintah dalam memberikan vaksin kepada masyarakat luas. ***

Ir. Lauw Eng Boen Istri : Nelly Iskandar Anak : • Sharon Regina, S.Sn. • Dustin Pradipta, S.Kom. —

Lauw Eng Boen pernah menjadi Majelis GKY BSD periode 2006–2009 dan periode 2009–2012. Sebelumnya pernah sebagai Koordinator Kebaktian sekitar tahun 2005.


Long Walk to

Death – RENUNGAN JUMAT AGUNG –

/ Titus Jonathan


Jumat Agung bukan sekadar kisah tentang penderitaan dan kematian Kristus, tetapi suatu encouragement, suatu niat untuk menjalani penderitaan secara sadar, dan tekad untuk menyongsong kematian demi sebuah mandat. Mandat itu sudah disahkan dan tak bisa dicabut, sebuah mandat untuk mati.

Beberapa kali dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem, Yesus sudah mengatakan tentang penderitaan, kehinaan dan kematian yang harus Ia hadapi itu. “Mari kita berangkat ke Yerusalem, dan di sanalah Aku akan menanggung hinaan, persekusi oleh para imam, tuntutan mati, dan disalibkan,” kata-Nya kepada muridmurid-Nya. Tidak ada tokoh yang begitu firmed dalam menyikapi penderitaan dan kematian yang ia tahu bakal dialaminya.


Seseorang biasanya sangat firmed untuk mengejar cita-cita dan meraih sukses, lalu berusaha dengan segenap daya dan upaya agar apa yang didambakannya tercapai. Seorang panglima perang selalu memiliki tekad untuk memenangkan perang, bukan untuk mati. Dan setelah berbagai pertempuran di medan laga, pada akhirnya ia ingin pulang ke rumah membawa kemenangan. Pulang dengan tetap hidup, bukan pulang tinggal nama. Dalam bukunya “Long Walk to Freedom”, Nelson Mandela mengisahkan perjalanan hidupnya untuk meraih kemerdekaan bagi bangsanya. Dan itu adalah sebuah perjalanan panjang yang ia lalui dalam berbagai derita, termasuk mendekam selama 27 tahun di balik jeruji penjara. Tetapi Mandela rela menjalani semuanya karena ada satu tujuan, yaitu mengecap manisnya kemerdekaan negerinya. Ia ingin tetap hidup ketika bendera bangsanya dikibarkan ke atas langit dan lagu kebangsaannya dikumandangkan dengan gegap-gempita.


Tetapi kisah Jumat Agung adalah “Long Walk to Death”. Kisah itu berbeda dengan kisah para pahlawan. Tujuannya pun berbeda. Yesus tidak melawan Romawi agar bendera bangsa-Nya boleh dikibarkan, dan kemudian memerintah sebagai pemimpin bangsa. Bukan itu direction-nya. Ia menerima peran sebagai tokoh yang harus mati di akhir cerita. Dan skenarionya sudah tertulis semua oleh nubuat para nabi ratusan tahun sebelumnya. Maka ketika Ia berjalan ke Yerusalem, setiap langkah-Nya adalah komitmen, yaitu komitmen menyongsong kematian. Heran.


Untuk tujuan kematian, ada Seseorang yang mengerjakannya dengan niat yang maksimal. Dan Ia mengerjakan itu semua bukan untuk kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi justru untuk yang memusuhi-Nya, yang melawan-Nya, yang mengkhianati-Nya, yang menyangkal-Nya, pendosa yang kotor dan rusak,... kita. “Makanan-Ku adalah melakukan pekerjaan yang diberikan oleh Bapa kepada-Ku,” kata-Nya ketika muridmuridNya bertanya soal makanan. Ia harus mengecap kematian untuk memberikan kehidupan. Betapa paradoks. Hal ini aneh, tidak masuk akal, dan menjadi bahan tertawaan oleh dunia. Maka dalam kisah yang penuh derita itu, hingga “The end” tak ada panji-panji yang dikibarkan untuk menandai sebuah kemenangan yang tercapai. Di penghabisan kisah itu pun, ketika Ia berkata, “Sudah selesai ....” dan lantas menyerahkan nyawa-Nya, tak ada iring-iringan manusia membawa peti mati dalam prosesi penghormatan terakhir. Hembusan nafasNya yang penghabisan kali hanya disambut oleh suasana mencekam, karena gempa bumi dan bunyi guruh yang menggelegar.


Dan Ia pun mati dengan kepala tertunduk, berlumuran darah hingga genangan darah itu menutupi seluruh tubuh-Nya. Tidak cukup, itu pun masih ditambah pula dengan air dan darah yang muncrat dari lambung-Nya ketika prajurit Romawi menikam-Nya. Ia mati mengenaskan; tergantung di palang kayu, di antara penjahat-penjahat, di antara hujan caci maki dan hujat, dan ditunggui oleh burung-burung nazar yang siap menyambar bangkai-bangkai itu sebagai santapan yang lezat. Bagi kebanyakan orang, tak ada sepenggal episode pun dalam rangkaian ceritanya yang layak dibanggakan. Orang tak sudi mengulang cerita itu bahkan untuk mengingatnya pun tidak.


Apa keindahan dari sebuah kisah yang tokohnya babak belur, carut-marut, lebam-memar-bengkak hingga bentuknya saja sudah tidak seperti manusia yang sewajarnya manusia? “Seperti banyak orang akan tertegun melihat dia – begitu buruk rupanya, bukan seperti manusia lagi, dan tampaknya bukan seperti anak manusia lagi” (Yesaya 52: 14)

Dan bukan hanya soal tubuh yang hancur-hancuran, tetapi adegan demi adegan yang Ia perankan selama perjalanan itu, betapa Ia benar-benar menjadi “A man of sorrow”, yang sangat menderita tanpa diberi hak untuk melawan walau hanya dengan jentikan jari-Nya. Ia digambarkan begitu lemah, bagaikan domba yang kelu di hadapan orang-orang yang mengguntingi bulunya. “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kita pun dia tidak masuk hitungan.” (Yesaya 53: 3)


Benarkah tak ada gunanya untuk mengingat kisah tragis ini? Bagi dunia barangkali itu adalah kisah yang absurd. Dunia lebih tertarik mengingat Alexander The Great, Julius Caesar, Napoleon Bonaparte, Gandhi, Roosevelt, atau pun Stan Lee, yang untuk menonton karyanya orang rela menunggu berjam-jam di depan gedung bioskop demi Spider-Man, Black Panther atau Captain America. Tetapi kisah Jumat Agung sesungguhnya bukan kisah tentang power atau kepahlawanan yang heroik, melainkan kisah tentang kasih. Dan jika kita bisa melihat di manakah kita berada, dalam cerita itu, sebenarnya kita dibawa-Nya masuk, untuk melihat sedalam apakah kasih yang ingin Ia tunjukkan. Kasih itu Ia nyatakan melalui gelapnya lorong kematian yang Ia lalui – hanya untuk satu tujuan yang sulit dipahami, yaitu mengeluarkan kita yang terbelenggu di sana, di lorong gelap itu. Mulut-Nya yang kelu membuat-Nya tak perlu mengatakan sedalam apa kasihNya kepada kita. Ia cukup merentangkan tangan-Nya di atas kayu salib. Kasih yang maksimal itu memang tak tergantikan


dengan kata-kata apapun. Kisah kasih itulah yang membuat kita ingin selalu mengingatnya, bukan hanya setahun sekali, tetapi sepanjang hayat dikandung badan. Karena kisah kasih itu kita ada sebagaimana adanya kita sekarang. Itulah kasih yang melampaui segala akal, yang tidak bisa dipahami kecuali dengan memandang kepada salib. Salib yang mengerikan itu Ia rasakan sebagai wujud keindahan kasih yang Ia lakukan dengan setulus hati dan segenap niat. Inilah paradoks, ketika Ia mengambil tempat mengerikan yang harusnya diperuntukkan untuk kita agar kita memperoleh tempat yang mulia milik-Nya.


Kasih yang melampaui segala akal itu membuat niat-Nya begitu firmed untuk berangkat ke Yerusalem, untuk secara sadar rela mengalami segala luka dan menyongsong kematian. Ia tak pernah melihat luka-Nya karena Ia melihat kita. Perjalanan-Nya benar-benar adalah long walk to death. Di sanalah Ia merebut tempat kita di kayu salib, agar kita tidak terluka •

“I have found a paradox, that if you love until it hurts, there can be no more hurt, only more love.” –Mother Teresa


The Passion of Jesus Christ Penulis: John Piper

/ Andreas Wirawan


Kisah kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah turun ke dalam dunia, untuk menderita di kayu salib— lambang kehinaan di zamanNya—mati demi menebus dosa manusia, merupakan isu yang sentral dan sangat penting. Tidak terhitung artikel dan buku yang membahas hal ini. Begitu banyak pertemuan atau seminar yang mempercakapkan dan mengupasnya lebih dalam. Gereja di seluruh dunia tiap tahun memperingati dan merayakannya dalam momen Jumat Agung dan Paskah. Sebagai pengikut Yesus dan murid-muridNya, kita wajib mengetahui dan memahami sehingga dapat merespons dengan selayaknya atas apa yang telah Yesus Kristus kerjakan. John Piper dalam bukunya ini mengulas lima puluh alasan/tujuan—bukan sebab—dari apa yang Yesus kerjakan di kayu salib. Sebagai sampel kita akan melihat tiga saja, yang sudah dipersingkat karena keterbatasan ruang. 1. Untuk menunjukkan kekayaan kasih dan anugerah Allah bagi orang berdosa. Besarnya kasih Allah ditunjukkan; pertama melalui pengorbanan-Nya untuk menyelamatkan


orang berdosa. Dan kedua, besarnya ketidaklayakan kita dalam menerima keselamatan dari-Nya. Pengorbanan yang dilakukan Bapa dan Anak sangatlah besar—bahkan tidak terkira, jika mempertimbangkan jarak antara Allah dan manusia. Tapi Allah memilih berkorban untuk menyelamatkan kita. Hanya ada satu penjelasan mengapa Allah berkorban bagi kita. Bukan karena kita, melainkan karena, “... menurut kekayaan kasih karunia anugerah-Nya” (Efesus 1: 7). 2. Untuk pengampunan dosa-dosa kita. Semua dosa serius, karena melawan Allah. Kemuliaan-Nya dilanggar ketika kita mengabaikan, melawan, menghina, atau menghujat Dia. Keadilan-Nya tidak mengizinkanNya membebaskan kita. Kemuliaan Tuhan yang dilanggar oleh dosa kita harus dipulihkan di dalam keadilan sehingga kemuliaan-Nya bersinar semakin terang. Inilah alasan mengapa Kristus menderita dan mati. “Di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa ...” (Efesus 1: 7). Pengampunan bagi kita dibayar dengan nyawa Kristus. Karena itu kita menyebutnya keadilan. Oh, betapa indahnya


berita bahwa Allah tidak lagi menuntut kita atas pelanggaran-pelanggaran kita! Dan betapa indahnya Kristus yang darah-Nya membenarkan semua tindakan Allah tersebut. 3. Untuk memampukan kita hidup bagi Kristus, dan bukan bagi diri kita sendiri. Pada intinya, 2 Korintus 5: 15 ingin mengatakan bahwa Kristus mati bagi kita agar kita hidup bagi Dia. Kristus mati bukan supaya kita bisa membantu-Nya, tapi supaya kita bisa melihat dan menikmati keindahan-Nya yang tak terkira. Dia mati untuk membebaskan kita dari kesenangan yang sesat dan memesona kita dengan kesenangan dari keindahan-Nya. Melalui cara ini, kita dikasihi, dan Dia dihormati. Keduanya bukan tujuan yang berlawanan, melainkan satu. Kristus mati dan bangkit agar kita bisa melihat dan memuliakan Dia. Ini merupakan pertolongan terbesar dalam dunia, inilah kasih. Marilah kita tak jemu-jemu dan terus berusaha dengan giat untuk memahami apa yang Allah kerjakan di kayu salib. Bacalah buku ini sebagai salah satu bukti keseriusan kita dalam keinginan memahami Allah. Kiranya kasih-Nya yang tak terkira menggugah kita makin mencintai Dia, dan makin hidup demi hormat dan kemuliaan Allah Tritunggal. Amin. ***


HIDUP

SETELAH

PANDEMI

/ Erwin Tenggono


Pandemi Covid-19 telah berulang tahun; obrolan mengenai tantangan setelah pandemi dari berbagai kalangan baik dunia pendidikan, bisnis, dan pegawai menjadi bagian dari kehidupan. Setiap saat saya ditanya, saya juga tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Kecuali memberikan pandangan dan pemikiran dari apa yang saya alami melalui pekerjaan, usaha, dan buku-buku yang saya baca. Pandemi Covid hanyalah satu bagian kecil dari perubahan yang akan terjadi setelah pandemi atau kita sering sebut dengan “new normal”, dua isu besar yang terus berjalan yakni Industri 4.0 dan juga generation gap dalam kepemimpinan. Ketiga hal ini menjadi satu kesatuan dalam kita merespons apa yang akan terjadi setelah pandemi ini . Laporan McKinsey Global Institute pada bulan Februari 2021 memberikan sinyal kuat bahwa bisnis setelah pandemi akan banyak mengalami perubahan dalam perilaku bertransaksi dan menjalani kehidupan karena pandemi telah banyak merubah perilaku, cara kita bekerja, dan menjalani kehidupan termasuk berbisnis.


Namun, pada kesempatan lain saya banyak terlibat diskusi yang kadang kala cukup melelahkan—di kala banyak orang masih melihat bahwa tidak akan ada perubahan. Dan membenarkan banyak hal bahwa yang telah dilakukan akan tetap berjalan baik. Saya pribadi tidak pernah bertentangan dalam hal ini karena saya percaya bahwa setiap orang berhak mempunyai pandangan atas apa yang telah dia lakukan dan kerjakan. Apalagi kalau teman-teman yang dahulu sukses, kadang kala percaya cara mereka sukses adalah yang terbaik. Dan umumnya semakin sulit dirubah cara berpikirnya. Tertawa dan bersenda gurau dan berkata, “Hati-hati loh,


kita ini udah tua; sukses masa lalu tidak menjamin kesuksesan masa depan. Cara dan strategi telah berubah banyak.” Itulah respons yang sering saya lakukan.

CNBC Indonesia pada bulan Februari 2021 menuliskan merger Gojek dan Tokopedia yang akan menjadikan nilai valuasi harga perusahaannya adalah 560 triliun rupiah. Kedua perusahaan ini berumur hanya 10–11 tahun. Dan keduanya telah mendapatkan persetujuan dari Bursa Efek Indonesia akan IPO segera. Saya mencoba melihat IHSG market cap dengan angka yang ada. Saat ini hanya satu nama yaitu BCA, yang berada di atas harga itu. Bukankah ini tanda perubahan dan harus kita cermati? Peter Drucker, seorang mahaguru manajemen berkata, “A time of Turbulence


is a dangerous time, but its greatest danger is a temptation to deny reality.” Ya, godaan yang membuat kita untuk tidak mau mengakui kenyataan bukanlah hal yang mudah. Semua pilihan ada di tangan kita dalam melihat situasi saat ini. Duduk diam ataukah kita mengambil momen untuk berpikir dan ‘mereset’ semua dalam diri kita. Agar kita bisa menjadi lebih baik setelah pandemi ini. Seperti apa yang dituliskan dan diserukan Nabi Yeremia dalam Yeremia 29: 11–13: “Sebab Aku ini mengetahui rancanganrancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati.”


Kita percaya rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera penuh harapan, tetapi biarlah kita berseru dan berdoa juga kepada Tuhan untuk memberikan hikmat pada kita agar dimampukan melihat realitas dan juga dimampukan untuk menentukan langkah apa yang terbaik yang harus kita lakukan selama pandemi inil untuk menyongsong waktu ke depan di kala pandemi telah berakhir.

Tuhan Yesus memberkati.


JUST AS I AM Himne ini sering kita dengar di kebaktian-kebaktian besar, terutama pada kebaktian kebangunan rohani (KKR). Contohnya: pada KKR pendeta Billy Graham, himne ini selalu dinyanyikan saat panggilan altar dan doa peneguhan. Himne ini juga kita persembahkan pada Tuhan di ibadah Jumat Agung kita. Syairnya yang sederhana dan kuat tentang dosa, pengampunan, dan keselamatan dapat mewakili kebutuhan manusia untuk datang dan menyambut belas kasihan Tuhan.

/ Maya Marpaung


JUST AS I AM

Just as I am - without one plea, But that Thy blood was shed for me, And that Thou bidst me come to Thee, -O Lamb of God, I come! Just as I am - and waiting not To rid my soul of one dark blot, To Thee, whose blood can cleanse each spot, -O Lamb of God, I come! Just as I am - though toss’d about With many a conflict, many a doubt, Fightings and fears within, without, -O Lamb of God, I come! Just as I am - poor, wretched, blind; Sight, riches, healing of the mind, Yea, all I need, in Thee to find, -O Lamb of God, I come!


JUST AS I AM

Just as I am - Thou wilt receive, Wilt welcome, pardon, cleanse, relieve; Because Thy promise I believe, -O Lamb of God, I come! Just as I am - Thy love unknown Has broken every barrier down; Now to be Thine, yea, Thine alone, -O Lamb of God, I come! Just as I am - of that free love The breadth, length, depth, and height to prove, Here for a season, then above, -O Lamb of God, I come


Sang penulis, Charlotte Elliott, adalah seorang penulis sajak humoris yang terkenal selama masa mudanya. Namun, pada usianya yang ke-32 tahun, ia menderita penyakit serius yang membuatnya cacat seumur hidup. Seorang pendeta dan hymnologist yang merupakan pembimbing rohani Charlotte, César Malan, menasihatinya untuk mengganti kemarahan dan konflik batinnya dengan kedamaian serta iman yang sederhana kepada Tuhan. Sejak hari itu, dia mengubah bakat sastranya untuk menulis himne. Pada tahun 1834, Elliott pindah dari London ke Brighton dan tinggal bersama saudara lakilakinya, Pendeta Henry Venn Elliott. Suatu hari ketika semua orang di keluarganya pergi ke bazar gereja untuk mengumpulkan dana untuk sekolah amal; Elliott ditinggalkan sendirian, terkurung oleh penyakitnya. Meskipun tertekan dengan perasaan tidak berguna dan kesepian, dia mengingat pesan, “Datanglah kepada Kristus sebagai dirimu sendiri,” yang dia terima dari César Malan selama periode tergelap dalam hidupnya. Dia kemudian mengatasi kesusahannya dengan menulis himne ini.


Pengulangan baris pendek, “o Lamb of God, I come / oh Anak Domba Allah, aku datang,” adalah komitmen untuk hidup yang berpusat pada Yesus. Hymnologist J.R. Watson mencatat bahwa ada struktur yang indah dalam himne ini—dari mulai kesadaran dan kepasrahan diri ‘just as I am’ hingga klimaks penyerahan diri dari syair ‘o Lamb of God, I come!’” Orang tidak ‘cukup baik’ atau ‘tidak cukup baik’ untuk datang kepada Yesus. Melalui inisiatif Tuhanlah setiap orang dapat datang kepada Yesus melalui pengampunan, janji, dan kasih-Nya yang disebutkan terus menerus di himne ini. Sama seperti Charlotte; kita dapat menghadapi ‘konflik’, ‘keraguan’, ‘pertempuran’ dan ‘ketakutan’; tetapi seseorang dapat menemukan ketenangan di dalam Sang Domba Paskah. ***


TAMAN KETAWA

Kue Pernikahan Seorang desainer kue pernikahan diminta untuk membubuhkan tulisan pada kue yang dipesan yang diambil dari kutipan 1 Yohanes 4: 18, “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barang siapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” Sayangnya, pada hari-H ketika kue pesanan datang dan nampang di tempat resepsi, kedua mempelai yang memesan kue baru menyadari kalau si desainer kue ternyata salah dalam memberikan kutipan. Tulisan di kue pernikahan berbunyi, “Sebab engkau

sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar.“ (Yohanes 4: 18).


Besuk Orang Sakit

Beberapa perempuan dari komisi

pemerhati memutuskan untuk berkunjung ke rumah teman mereka, Marta yang sedang terbaring sakit di tempat tidur. Setelah beberapa lama berkunjung dan berbincang-bincang sejenak, tibalah saatnya untuk pamit pulang dan berdoa. Kata Maria, “Kita akan selalu berdoa untuk kesembuhanmu ....” “Wah iya tentu terima kasih atas perhatiannya.... Sebetulnya sudah banyak juga yang datang mendoakan sih ... tapi sayangnya belum ada yang berusaha juga .... Inget kan ‘ora et labora’? Nah,

selama ini belum ada yang bantu mencuci piring dan baju-baju kotor saya di belakang …. Tolong ya sekalian,” jawab Marta.

Tangga Yakub*

Setelah selesai mengajar, Pak Gogy si guru sekolah minggu bertanya ke murid-muridnya. “Nah anak-anak, bagaimana? Apakah ada yang mau bertanya?” Hening sejenak, lalu dari bangku belakang Benny angkat tangan, “Anu Pak …. Kan malaikat bisa terbang ya, kenapa mereka mesti turun ke bumi pakai tangga ya? Buat apa dong mereka punya sayap?” Hening sejenak. Pak Gogy memutar otak. Lalu katanya, “ Ya ... pertanyaan yang bagus …. Ayo, anak-anak! Siapa yang bisa bantu jawab pertanyaan Benny?” (*Kejadian 28: 10–12)


Hadiah Seorang ibu rumah tangga yang baru saja memenangkan undian berhadiah satu miliar datang menemui pendetanya untuk memohon bantuan. “Pak Pendeta, mohon maaf saya mau membuat pengakuan. Saya baru memenangkan undian berhadiah dan ternyata saya mendapatkan uang sejumlah satu miliar rupiah… tapi saya tidak berani mengaku ke suami saya…. Aduh, bagaimana ini apakah Bapak bisa tolong saya? Tolonglah, Pak... saya takut penyakit jantungnya kumat kalau langsung saya beritahu dapat uang sebesar itu…. Mungkin kalau Bapak yang beritahu dia bisa lebih tenang?” “Hmmm…. Baiklah, Bu… tapi Ibu juga harus janji jangan begini lagi ya….” Akhirnya pak pendeta berkunjung ke rumah ibu itu dan menemui suaminya di teras. “Pak, bagaimana bila seandainya Bapak menang undian berhadiah satu juta rupiah? Tentu senang sekali, bukan?” “Yah, lumayan sih, Pak…. Tapi, kebutuhan keluarga saya cukup besar. Sepertinya saya masih harus kerja keras lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya,” jawab si suami. “Bagaimana kalau menang sepuluh juta?” tanya pak pendeta lagi. Jawaban ini tidak juga memuaskan si suami dan ia hanya berkomentar yang kurang lebih sama dengan jawaban mulamula. Pendeta dengan sabar menaikkan jumlah hadiahnya ke seratus juta dan akhirnya menjadi satu miliar rupiah.


“Yah, Pak... kalau saya benar dapat uang satu M, setengahnya saya berikan ke Bapak deh…. Pasti, Pak!” balas si suami. Pak pendeta tiba-tiba kena serangan jantung dan si suami segera memanggil ambulans.

“Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: Semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” (1 Korintus 2: 9)

Drama Paskah Bu Endah sedang sibuk melatih anakanak sekolah minggunya untuk acara drama Paskah nanti. Semua anak sudah mendapat peran, tinggal si Anton yang paling kecil belum mendapat peran. “Bu, saya mau jadi batu aja …” kata Anton. “Waduh … jadi batu??? Tapi enggak ada di naskah nih .... Kenapa kamu mau jadi batu?” tanya Bu Endah penasaran. “Kayaknya asyik juga jadi yang pertama melihat dan memberi jalan buat Tuhan Yesus keluar dari kuburan ….” ***

( Adaptasi dari buku Holy Humor karya Cal dan Rose Samra)


PARENTING

jujur

e k

-an

: BERANI APA ADANYA

/ Charlotte Priatna

Sebelum melatih anak untuk jujur, kita sebagai orang tua harus lebih dulu jujur. Kejujuran berarti menceritakan apa adanya, tidak dilebih-lebihkan, tidak dikurangi supaya mendapat kesan tertentu, atau ditutuptutupi. Anda tidak boleh memakai topeng. Apapun resikonya, kita harus tetap jujur.


Kebohongan itu ibarat bau busuk yang tidak akan bisa ditutupi. Suatu waktu akan kelihatan, dan Anda tidak akan bisa berkelit lagi. Jadi, bohong adalah pura-pura. Di surat Roma 12:9 tertulis, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” Saat seseorang purapura baik, berarti ia tidak sungguh-sungguh baik. Kebohongan tidak bisa berjalan di dalam ketulusan. Hanya orang yang jujur dipimpin oleh ketulusannya. Marilah kita hidup apa adanya, tidak perlu menjadi orang lain. Be Yourself! Ketika kita bisa bersyukur kepada Tuhan atas apa yang Dia berikan dalam hidup kita, dan kita menerima itu dengan rasa syukur, Anda tidak perlu menutupi hal itu, karena Anda menerima diri Anda apa adanya. Ketika Tuhan ada di hadapan kita, tidak ada satu pun yang bisa kita sembunyikan, karena semua


terbuka di mata Tuhan. Mungkin kita bisa membohongi orang lain, tapi tidak bisa membohongi Tuhan, ataupun diri sendiri. Jadi, ketika kita menghormati kehadiran Tuhan, maka kita akan jujur, terlebih dulu kepada Tuhan, diri kita, baru kepada sesama. Orang yang jujur lurus jalannya, tidak berliku-liku, tidak menelikung, tidak menyeleweng. Jadi ketika orang jujur kepada orang lain, dasarnya adalah ketika dia jujur kepada diri sendiri. Itulah integritas. Saat ini integritas mahal sekali harganya, karena sulit menemukan orang yang berani jujur, berani menyatakan kebenaran, berani mengakui kesalahan. Ketika orang bisa mengakui apa yang ia lakukan sekalipun salah, bukankah yang diperoleh adalah hormat atau respect? Tapi ketika Anda menutupi, defense, berkelit, orang tidak akan menghormati Anda.

Jujur adalah pilihan. Kita memilih untuk berkata jujur, bersikap jujur, dan bertindak jujur.


Menanamkan Nilai Kejujuran dalam Diri Anak Pada Amsal 20:11 tertulis: “Anakanak pun sudah dapat dikenal dari pada perbuatannya, apakah bersih dan jujur kelakuannya.” Dari kecil anak-anak sudah kelihatan apakah mereka jujur atau bohong. Ketika mereka berbohong, itu sebenarnya adalah latihan. Mulai dari bohong kecil, besar, kemudian mencuri bahkan menipu. Ada perbedaan ketika anak berbohong dan ketika anak menipu. Untuk menipu, mereka harus pintar, karena harus tricky. Contoh, ketika saya meninggalkan lima permen di meja, di situ ada seorang anak; dan saat saya kembali, permen itu tinggal empat. Saat saya bertanya apakah dia memakan permen itu, jawabnya tidak. Itu dia berbohong. Akan lebih menakutkan ketika ia makan permen,


mengganti isinya dengan batu, kemudian membungkusnya kembali. Sementara saya tidak tahu bahwa sebenarnya permen itu sudah hilang satu. Itulah menipu. Ketika seorang anak pintar tapi tidak takut Tuhan, tidak hormat kepada Tuhan; bagaimana ia akan takut dan hormat kepada Anda, orang tuanya? Mengapa anak-anak lebih memilih bohong daripada jujur? Karena ketika mereka jujur, Anda memarahi mereka. Kalau Anda mau mereka jujur, hargai kejujuran mereka, dan teguhkan dengan pujian.


Kita harus ajarkan kepada anak-anak: ketika ia berani jujur sekalipun tidak mujur, tidak apa-apa. Karena paling tidak dia sudah menang. Menang atas dirinya, ia berani melawan kebohongan dan rasa takut dalam dirinya. Orang yang jujur dipimpin oleh hati yang tulus, sehingga jalannya lurus, dan hidupnya mulus. Mari ajarkan anak untuk jujur. Ketika dia jujur maka dia lulus dari ujian-ujian kehidupan ini •

Disarikan oleh Lislianty Lahmudin dari Youtube Sekolah Athalia


Iman yang Berjalan dalam Tidur [ “A Sleepwalking Faith” ]

/ Firdaus Salim


Sebagian besar dari kita mungkin menyangka bahwa kita telah memiliki jati diri dengan cara meraih berbagai impian yang kita cita-citakan. Melalui profesi yang kita capai, usaha yang berhasil, dan pencapaian-pencapaian lainnya; kita berpikir bahwa kita telah meraih apa yang benar-benar kita impikan. Namun tanpa disadari, sesungguhnya mungkin kita bukan sedang meraih impian atau cita-cita kita sendiri. Kita hanya memenuhi keinginan dan ekspektasiekspektasi orang lain atas diri kita. Keinginan dan ekspektasi orang lain atas diri kita itu begitu tertanam di dalam diri kita sehingga kita mengira bahwa semua impian itu adalah impian kita sendiri. Akhirnya, kita menghabiskan waktu seumur hidup mengejar berbagai cita-cita tanpa pernah berani bertanya mengapa. Hidup kita sebetulnya didorong oleh hal-hal eksternal di luar diri kita (outer-directed) ketimbang dijalani dengan betul-betul memeriksa diri kita sendiri (innerdirected). Impian-impian tersebut, tanpa disadari, adalah impian-impian fiktif yang kita jalani di dalam keadaan ‘tertidur’.


Begitu pula yang dapat terjadi di dalam kehidupan iman kita. Banyak dari kita yang menjalani kehidupan beriman namun mungkin dalam keadaan ‘tertidur’. Dari luar, seseorang dapat terlihat beriman dan rajin berdoa karena banyak kekhawatiran dalam hidupnya. Di tengah masa yang penuh dengan ketidakpastian ini, ia memperlakukan firman Tuhan secara hyperpragmatic. Firman Tuhan menjadi penyedia solusi praktis atas kebutuhan-kebutuhan diri sendiri. Di tengah-tengah kekhawatirannya, imannya pun menjadi sangat dogmatik. Pokoknya, bersama Tuhan pasti Dia menjawab. Pokoknya, Tuhan pasti membuka jalan. Pokoknya, … dan lainlain. Tanpa disadari, Tuhan menjadi sebuah alat gratifikasi bagi kebutuhan-kebutuhan diri yang tidak terpenuhi yang didorong oleh berbagai faktor eksternal. Ia menciptakan sosok Tuhan yang dogmatik yang sesuai dengan keinginannya sendiri sehingga ia menutup diri kepada sosok Tuhan yang sesungguhnya. Apa yang dituliskan oleh Rollo May, seorang penulis eksistensial—meski bukanlah seorang Kristen, layak membuat kita memikirkan kembali kondisi iman kita. “When people feel threatened and anxious they become more rigid and when in doubt they tend to become dogmatic; and they lose their own vitality.” 1 (Ketika orang-orang merasa terancam dan gelisah, mereka menjadi dingin dan di dalam keraguan mereka cenderung menjadi dogmatik dan akibatnya mereka kehilangan vitalitas mereka).


Rutinitas yang Mekanis

Sebagai umat Kristiani, kita berisiko melewati perayaan seperti Paskah hanya secara normatif. Kita mungkin menjalaninya di dalam sebuah rutinitas yang mekanis (a mechanical existence). Paskah dirayakan karena sudah menjadi agenda rutin gereja, sebagai sebuah bentuk konformitas keagamaan. Perayaan tersebut menjadi sebuah 2 automaton. Iman seperti inilah yang menjadi kekhawatiran dari seorang teolog Katolik bernama Karl Rahner. Ia meyakini bahwa banyak iman umat Kristiani adalah iman yang didikte, dogmatik, tetapi tidak hidup. Ia mengatakan demikian secara khusus mengenai Paskah,

“Kehidupan ini menghendaki kita berharap akan kebangkitan... tetapi di manakah tawa ini, di manakah air mata yang murni akan sukacita dari penebusan? Bagaimanakah Paskah dimengerti oleh kita orang-orang Kristen yang sebenarnya tidak mengerti apa itu Paskah? Dalam arti tertentu; kita mengalami sebuah bentuk sukacita Kristen yang kosong, kerinduan akan sukacita, 3 keinginan yang kosong ....”


Dari kalangan Reformed, iman yang demikian juga dikhawatirkan oleh Jonathan Edwards, seorang penulis Kristen di abad kedelapan belas. Menurut Edwards; hidup sebagai seorang Kristen pada intinya bukanlah untuk mematuhi suatu kumpulan aturan moral atau ikut-ikutan mengklaim doktrin yang benar, memperjuangkan etika yang benar, secara pasif menerima pengampunan dosa, datang ke gereja, memberi kepada orang miskin, mengucapkan doa yang benar, menjadi orang baik dari keluarga yang baik-baik. Menurut Edwards, tidak satu pun dari hal-hal tersebut mendefinisikan kehidupan Kristen. Semua ketaatan, pemberian, kebaikan, kemurahan hati, doa, beserta seluruh pembacaan Alkitab; apabila dilakukan tanpa merasakan keindahan ilahi (divine beauty), maka semua hal tersebut merupakan kehampaan.4


“Magnetic Beauty”

Apakah itu keindahan ilahi? Seorang teolog dan filsuf Jonathan Edwards mengatakan bahwa esensi kehidupan Kristen yang utama adalah mengenal Tuhan sebagai sebuah sosok yang indah yang seakan-akan menarik diri kita seperti sebuah magnet ke arah-Nya (“magnetic beauty to which we are drawn”). Sosok Tuhan membuat orang-orang percaya tertarik menuju kepadaNya (“pulled toward Him”). Sosok Tuhan yang indah membuat orang tersebut tidak dapat memalingkan wajahnya dari-Nya. Keindahan Tuhan inilah yang orang tersebut lihat, nikmati, dan tularkan kepada orang di sekelilingnya; yang membuatnya terus ingin mencari Tuhan dan mencintai-Nya. Ia menikmati Tuhan bukan melalui berkat-berkat-Nya, namun menikmatiNya di dalam diri-Nya sendiri. Ketika cinta akan Tuhan ini hadir, maka cinta kita kepada Tuhan akan menjadi bergairah (restless). Mencintai Tuhan dengan kasih dari Tuhan yang demikian adalah kenikmatan terbesar yang seseorang dapat terima di dalam eksistensinya di dunia ini. Sebaliknya, ketidakhadiran cinta atau kerinduan akan Tuhan yang demikian adalah sebuah 5 penderitaan.


Kita perlu terbangun dari iman kita yang ‘tertidur’, yang mekanis, yang merupakan sebuah automaton, yang tidak pernah diselidiki, yang tidak pernah diperiksa lebih lanjut, yang hanya didorong secara impulsif oleh berbagai kebutuhan eksternal kita. Rahner mendorong agar di dalam ‘kesakitan’ iman kita inilah, kita boleh mulai curiga seperti apakah sukacita Paskah itu sesungguhnya. Lalu, kita memintanya kepada Tuhan. Di dalam perenungan akan Paskah, kita menunggu sukacita Paskah itu hadir. Kita memohon dan menunggu dengan sabar hingga Allah memasukkannya ke dalam hati kita sebagai rahmat-Nya. Hanya itulah yang memungkinkan kita untuk bersukacita dengan sebuah sukacita yang identik dengan Paskah. Ketika sukacita Paskah itu hadir; ketika sosok Kristus yang tersalib dan begitu buruk (Yesaya 52: 14) menjadi sosok yang indah membuat kita tidak dapat melakukan apa pun selain dari memandang wajah-Nya, menginginkanNya, dan menikmati keberadaan-Nya bersama kita di dalam kesendirian kita; maka iman kita terbangun dari ’tidurnya’. ***


Firdaus Salim adalah seorang lulusan di bidang international business, berkarir sebagai konsultan perdagangan dan ekspor-impor, sekaligus menjadi pembelajar di bidang teologi dan spiritualitas.

1. May R. Man’s Search for Himself. WW Norton & Company Inc. New York. 2009. ch.6. 2. May R. Man’s Search for Himself. WW Norton & Company Inc. New York. 2009. ch.7. 3. Rahner K. Risen Victorious from the tomb. in The Great Church Year: The Best of Karl Rahner’s Homilies, Sermons, and Meditations, Raffelt A (ed). Crossroad Publishing Co. New York. 1994. hal.175-72 4. Ortlund DC. Edwards on the Christian Life: Alive to the Beauty of God. Crossway. Wheaton IL. 2014. hal.6 5. Ortlund DC. Edwards on the Christian Life: Alive to the Beauty of God. Crossway. Wheaton IL. 2014. hal.80


/ GI. Feri Irawan

Dua Kesaksian yang Bertolak Belakang Refleksi atas Catatan Kebangkitan Yesus Dalam Injil Matius 28: 1–20


D

alam sebuah peradilan dibutuhkan saksi sebagai alat pembuktian kebenaran atas sebuah kasus. Namun, tidak semua saksi yang diajukan adalah saksi mata langsung yang mengungkap kebenaran, melainkan ada saksi palsu yang dipakai untuk mengelabui peradilan dengan dusta. Tidak terkecuali apa yang terjadi dalam kisah peradilan Yesus Kristus di hadapan pemuka-pemuka agama Yahudi hingga mereka memutuskan bahwa Yesus layak diajukan ke Pontius Pilatus untuk sebuah hukuman mati.


M

enariknya, setelah berhasil dengan misi untuk menghukum mati Yesus, para pemuka agama Yahudi itu masih harus melanjutkan dengan kesaksian palsu lainnya. Dalam dua perikop yang dicatat dalam Matius 28, terlihat sebuah kontras dimana ada dua kubu kesaksian yang bertolak belakang. Pada ayat 11–15 ada kubu pemuka agama yang mau tidak mau harus mengembangkan kesaksian palsu, dan di ayat 16–20 ada kubu dari para murid dengan kesaksian yang benar. engapa lagi-lagi para pemuka agama Yahudi itu perlu menyebarkan kesaksian palsunya? Matius 28: 1–10 menjadi latar belakangnya, dimana dalam ayat 4, Alkitab mencatat peristiwa kebangkitan Yesus ini ditandai oleh fenomena yang luar biasa, yaitu gempa di sekitar kuburan, batu yang besar penutup kubur terguling, dan kehadiran sosok malaikat yang membuat para serdadu yang menjaga kubur itu menjadi ketakutan. Jelas, para serdadu sebenarnya merupakan saksi mata peristiwa yang tidak biasa ini. Apalagi berita kebangkitan ini disampaikan sendiri secara langsung oleh malaikat Tuhan.

M


R

espons dari para serdadu adalah mereka melaporkan peristiwa kebangkitan Yesus kepada imam-imam kepala Yahudi. Namun, dalam ayat 11 dan selanjutnya mencatat respons ketakutan yang dialami oleh imamimam kepala. Respons itu ditanggapi dengan mereka sengaja menyuap para serdadu yang menjaga kubur Yesus untuk mengatakan bahwa Yesus tidak bangkit, melainkan mayat Yesus dicuri oleh murid-muridNya. Terlihat jelas, demi menyelamatkan legitimasi jubah keimaman, mereka berani melanggar Taurat dengan menebar dusta. Demi menyelamatkan muka yang tercoreng, justru kebenaran sengaja dibungkam. Para ’imam’ dan ’pemuka agama’, termasuk yang ada di zaman sekarang pun, berada dalam potensi yang sama sebagaimana pemuka agama Yahudi masa itu. Dalam kondisi terjepit, sangat mungkin pemimpin-pemimpin agama membuat skenario dusta, asal muka mereka terselamatkan lewat dusta itu di hadapan orang banyak. Terkadang, kebobrokan dan dusta baru terkuak setelah bertahun-tahun bahkan setelah pemuka agama tersebut meninggal dunia.


T

idak heran, Yesus pada masa itu seringkali mengecam perilaku dan kemunafikan para pemuka agama Yahudi. Yesus bahkan pernah katakan, “Turutilah ucapan mereka, tetapi jangan turuti tingkah laku mereka.” Konspirasi dusta inilah yang sengaja dilakukan oleh para pemuka agama Yahudi, demi menutupi ketakutan mereka akan fakta kebangkitan Yesus. Mereka menebar dusta dan menjadikan para serdadu yang disuap sebagai saksisaksi dusta. Tetapi, apakah strategi ini bisa bertahan? Tentu saja kebenaran tidak akan mungkin bisa dibungkam. Allah akan tetap menyatakan kebenaran itu meskipun dibungkam. Kontras dengan tindakan para pemuka agama Yahudi yang menebar saksi dusta, para murid justru diberi pesan untuk menyampaikan kesaksian akan kebenaran kebangkitan-Nya kepada dunia hingga ke ujung bumi. Dalam pesan terakhir yang dikenal dengan istilah Amanat Agung, Yesus memulainya dengan kata kerja, “Pergilah ....” Pergi; bukan untuk tujuan menghindar, bersembunyi, ataupun melarikan diri; tetapi justru kata “pergi” ini menunjuk pada pengutusan


para murid untuk menjadi saksi kebenaran akan Yesus Kristus, Anak Allah, Juru Selamat, dan Penebus Dosa yang mati dan bangkit mengalahkan kematian. Sampai kini, di abad ke-21 ini, Allah sengaja tetap membiarkan dusta dan kebenaran itu bersanding. Ini pun diizinkan Allah dan jangan heran, karena hal ini sudah dinubuatkan oleh Yesus sendiri, “Penyesatan itu akan semakin hebat!” Tetapi panggilan orang percaya sebagai pengikut Kristus sudah jelas. Tuhan Yesus berpesan agar menjadikan semua bangsa murid-Nya. Meski dunia berusaha membungkam kebenaran dengan mengembangkan teori konspirasi dusta yang meyakinkan banyak orang bebal, panggilan setiap orang Kristen tetap sama sampai selamanya—yaitu sebagai saksi kebenaran untuk membungkam dusta dan mencelikkan mata hati orang bebal menjadi orang yang percaya dan diselamatkan.

Selamat merayakan Paskah 2021! Selamat menjadi saksi dengan menebar kebenaran akan Yesus yang telah bangkit!


Melihat

Tuhan

Dalam Bencana

Mamuju

/ Liany Dianita Suwito


“Gempa, Kak!!! Gempa!!! Cepat keluar …!!!!” Itulah teriakan teman saya dengan panik dari teras rumahnya. Lantai saat itu terasa seperti ditumbuk turun dengan kekuatan besar. Posisi saya yang saat itu sedang duduk di lantai dan bersandar di tembok pun oleng dan seperti mendadak jatuh ke bawah. Teriakan teman saya akhirnya menyadarkan saya. Segera saya berusaha berdiri dan bergegas ikut keluar dari rumah. Tetangga-tetangga di sekitar rumahnya pun berteriak-teriak panik merasakan gempa susulan yang entah sudah ke berapa kalinya dalam dua minggu itu. Beruntung, tidak ada rumah yang roboh saat itu. Hanya gempa tadi menambah retakan-retakan di banyak tempat— termasuk di rumah teman saya dimana saya beraktivitas selama berada di Mamuju, ibukota Sulawesi Barat.


Gempa-gempa yang terjadi sudah membuat retak dan bahkan memisahkan tembok belakang dengan tembok ruang tengah di rumah teman saya. Sedikit lagi hentakan agak keras tentu sudah dapat merobohkan tembok itu. Gempa tadi nyatanya hanyalah gempa kecil—yang juga menjadi salah satu gempa susulan di Mamuju. Itu terjadi berselang sekitar sepuluh hari dari gempa berkekuatan 6,2 SR pada tanggal 15 Januari 2021 yang meluluhlantakkan ratusan bangunan di Mamuju dan Majene, dua kota utama di provinsi ini.


Termasuk di antara bangunan yang rusak parah adalah toko-toko yang menjual kebutuhan sehari-hari bagi warga. Kerusakan itu juga menimpa toko-toko yang menyediakan kebutuhan untuk satwa. Toko-toko yang rusak itu pun tutup karena banyak bangunannya yang sudah tidak layak huni. Berdasarkan pemberitaan ada seratus lima korban jiwa dalam bencana ini— bencana yang mungkin paling signifikan sejak daerah ini diresmikan sebagai provinsi baru di akhir 2004. Dan berselang beberapa hari setelah gempa ini, tim dari lembaga kami pun berangkat ke Mamuju untuk melakukan asesmen dan pemberian bantuan. Membutuhkan Bantuan Sudah lebih dari satu tahun ini saya bekerja di lembaga sosial. Lembaga ini tidak secara langsung membantu manusia, tetapi justru membantu hewan. Biasanya, sudah cukup banyak bantuan untuk manusia kalau sedang terjadi bencana. Bantuan itu bisa dari pemerintah atau dari banyak lembaga sosial yang lain.


Padahal pada saat terjadi bencana seperti gempa di Sulawesi Barat ini, cukup banyak hewan yang juga terdampak oleh bencana dan sangat membutuhkan bantuan. Beruntung, salah satu relawan kami— yang juga seorang dokter hewan di Dinas Pertanian dan Peternakan—sedang bertugas di Mamuju. Dia dan kawankawannya membuka posko untuk satwa, sehingga kami pun ikut bergabung dan tinggal di sekitar lingkungan posko itu. Kami, beberapa relawan yang datang dari Yogyakarta dan dari basecamp rehabilitasi orang utan yang dibuka lembaga kami di daerah Berau, Kalimatan Timur, ikut bergabung membantu. Kami ikut menyalurkan bantuan untuk anjing, kucing, dan hewan-hewan ternak— khususnya hewan-hewan yang ditinggalkan oleh para pemiliknya yang sementara mengungsi. Melalui posko ini, kami membagikan pakan gratis bagi anjing, kucing, dan satwasatwa lainnya. Dokter juga melakukan pengobatan dan operasi gratis untuk satwa yang sakit atau mengalami cedera.


Pada sore hari, kami melanjutkan kegiatan dengan berkeliling di sekitar kota untuk melakukan street feeding bagi hewanhewan yang terlantar. Kami juga melakukan monitoring di sekitar perumahan untuk melakukan pengecekan bila ada hewanhewan peliharaan yang terjebak di dalam rumah dan perlu pasokan makanan dan air minum. Hal ini kami lakukan karena untuk makan sehari-hari saja warga masih sangat bergantung pada sumbangan dan pemberian dari lembaga sosial ataupun bantuan pemerintah. Bahkan cukup banyak penduduk yang mengungsi ke luar kota


meninggalkan rumah, harta, dan satwasatwa peliharaan mereka. Setidaknya dengan membagikan pakan untuk anjing dan kucing mereka, kami dapat ikut meringankan beban pikiran mereka. Pergi Menjauh Namun beraktivitas di daerah yang sedang rawan gempa bukanlah hal mudah. Kami harus selalu waspada dan sigap. Suatu kali, di sore hari saat melakukan street feeding, tiba-tiba gempa susulan yang cukup besar terjadi. Saya dan teman-teman pun segera pergi menjauh ke daerah yang lebih tinggi agar lebih aman. Posisi Kota Mamuju persis di tepi laut. Kota ini sebagian berupa tanah datar yang tepat berada di antara laut dan perbukitan sehingga bila terjadi tsunami bisa berakibat fatal bagi para penduduk yang tinggal di sekitar pantai. Selama kurang lebih dua minggu di Mamuju kami juga tidak tinggal di dalam rumah, sama seperti para warga. Ini karena gempa susulan terus menghantui dan bisa terjadi kapan saja. Setiap malam kami memilih untuk beristirahat di dalam


tenda yang dipasang di halaman bangunan posko. Kami hanya masuk ke dalam bangunan untuk mandi dan mengisi daya listrik perangkat-perangkat elektronik kami saja. Bahkan rasa paranoid selalu mengintai ketika kami ke kamar mandi sehingga tidak ada dari kami yang berani berlama-lama di dalam kamar mandi. Untungnya, hal-hal ini tidak membuat saya menyesal mengajukan diri untuk berangkat bergabung dengan tim mitigasi bencana di Mamuju. Memang sejak kecil saya sudah cukup sering mendengar tentang bencana karena ayah saya dulu bekerja cukup lama di lembaga sosial kemanusiaan. Lembaga ini sering ikut terjun menyalurkan bantuan kalau ada bencana besar terjadi di Indonesia. Itu sebabnya, begitu terjadi bencana di Sulawesi Barat, saya langsung tergerak terjun ke lapangan menjadi relawan. Ini bukan berarti saya merasa tidak takut, apalagi merasa jemawa. Namun, ini lebih karena saya percaya kalau Tuhan selalu ada untuk menolong di mana pun saya berada.


Saya percaya apa pun yang terjadi— baik ataupun buruk—adalah bagian dari perjalanan yang ada dalam kendali Tuhan. Dan nyatanya pengalaman ini justru membukakan hati dan pikiran saya. Saya belajar untuk melihat bahwa Tuhan tidak pernah tidur dan Dia selalu ada, bahkan dalam masa-masa penuh keputusasaan sekalipun. Bila saya melihat kembali selama di lapangan, setiap hari ada ratusan orang yang rela datang ke posko hanya untuk mengambil satu kantong makanan anjing atau kucing untuk peliharaan mereka. Padahal, bisa jadi mereka sendiri belum tentu tahu apa yang akan mereka makan pada hari itu.


Bahkan hingga posko tutup di sore hari, orang-orang masih datang dan memohon untuk mendapatkan makanan untuk anjing atau kucing mereka yang kelaparan. Dan yang membuat saya makin terharu, ada di antara mereka yang ternyata tergerak hatinya untuk memungut dan merawat belasan kucing terlantar akibat ditinggal atau dibuang oleh pemiliknya. Hati yang Besar Melihat dan mengalami sendiri situasi seperti ini selama dua minggu di Mamuju akhirnya mematahkan banyak pemikiran skeptis saya mengenai manusia. Sebelumnya, saya merasa banyak manusia yang cenderung egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Tetapi, ternyata masih banyak manusia yang memiliki hati yang besar dan punya kepedulian di luar sana. Mereka bahkan mau mengorbankan dirinya untuk orang dan makhluk hidup lainnya.


Dan di sinilah, di ujung barat Sulawesi, saya merasakan kehadiran Tuhan yang begitu nyata melalui orang-orang yang saya temui. Sesungguhnya, sadarkah kita bahwa untuk merasakan kehadiran Tuhan, kita tak perlu jauh-jauh dan repot-repot pergi menuju daerah-daerah terpencil ataupun tempat yang rawan bencana. Nyatanya Tuhan bisa kita temukan di mana saja. Di mana pun dan dalam keadaan apa pun—susah ataupun senang, penuh duka ataupun bahagia—Dia tak pernah meninggalkan kita anak-anakNya. Bisa tidur dengan tenang tanpa rasa waswas saja sudah merupakan anugerah besar dari Tuhan. Bayangkan bila kita tinggal di daerah rawan bencana dimana untuk mandi dan tidur saja kita tak bisa tenang. Satu-satunya jalan untuk mencapai kedamaian hidup adalah dengan menyerahkan kembali hidup kita dalam tangan Tuhan dan memohon tuntunanNya. Dan inilah tugas kita untuk lebih peka dalam melihat dan merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap lini kehidupan.


Jadi maukah hari ini kita belajar untuk melihat kasih Tuhan yang sesungguhnya selalu nyata dalam hidup kita?

Loving Savior,

thank You that You’re always

present in the storm. - Our Daily Bread -



Mengenang

Berpulangnya

Papa Maryanti/Dede dan Hidayat Family


Yesaya 55: 8–9, “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu.”


Tanggal 5 Februari 2021 pukul 13.20 merupakan momen yang tidak akan pernah saya lupakan. Saat itu saya menerima telepon dari ruang perawatan rumah sakit bahwa tim dokter telah mengupayakan segalanya namun papa kami, Herman Hidayat, sudah meninggal dunia. Saya segera telepon mama untuk mengabarkan kabar tersebut dan mama langsung menangis histeris di ujung telepon. Saya hanya bisa mencoba menghibur dan menenangkan dari jauh. Namun, tak lama kemudian, mama kembali menjadi sosok yang luar biasa tegar dan kuat—seperti yang kami kenal sebelumnya. Di kala kedukaan seperti ini, seharusnya kami anak-anak yang menghibur dia. Tetapi, dia yang malah menelepon anaknya satu per satu dan menghibur kami serta mengatakan bahwa papa sudah dibawa Tuhan Yesus ke surga— ke tempat yang tidak ada lagi sakit dan penderitaan. Tiga minggu lebih papa berjuang melawan penyakit Covid-19 yang ‘merajalela’ dalam tubuhnya—hingga membuat dia harus menggunakan tabung


oksigen untuk alat bantu pernapasan sampai akhir hidupnya. Papa bukan orang yang suka mengeluh; saat sakit pun dia paling tidak mau dirawat di rumah sakit karena dia merasa tubuhnya masih sehat. Saya masih ingat waktu wisuda cici saya dia sebenarnya sedang sakit malaria. Tetapi, dia tetap mengupayakan diri datang ke acara wisuda tersebut, walau setelah itu dia akhirnya lemas dan harus dibawa ke rumah sakit. Dokter menyarankan untuk rawat inap, namun dia tetap minta pulang dan istirahat di rumah. Tapi waktu mendengar kabar papa harus opname di rumah sakit di Samarinda— yang masuk zona kuning Covid-19—pada tanggal 21 Januari 2021, saya sangat kaget karena itu berarti papa sudah tidak bisa menahan sakitnya hingga akhirnya harus diopname di rumah sakit. Mama dan Hanny langsung berangkat ke Samarinda untuk mendampingi papa, walaupun tidak bisa mendampingi secara langsung karena protokol kesehatan. Kami video call dengan papa dan dia masih mengatakan bahwa dirinya sehat—padahal tabung oksigen


sudah terpasang di hidungnya. Singkat cerita, karena satu dan lain hal, kami berupaya untuk memindahkan papa ke rumah sakit yang lebih lengkap peralatannya untuk mendukung pengobatan papa. Di Samarinda, kami tidak punya kenalan, teman, apalagi keluarga. Namun sungguh ajaib pertolongan Tuhan, seluruh pihak ikut membantu kami dengan sangat baik dan tulus. Hampir dua hari kami bergumul dan berupaya; kami sungguh merasakan penyertaan Tuhan luar biasa— membukakan jalan untuk setiap proses kepindahannya. Kami mendapatkan dukungan dari petugas ambulans, pihak-


pihak ketiga, dan perawat pendamping yang sangat baik dan helpful. Seluruh peralatan yang dibutuhkan—seperti: tabung oksigen—tersedia tepat waktu, bahkan Tuhan sediakan rumah sakit terbaik di Samarinda dengan peralatan yang lengkap melalui bantuan Pak Erwin Tenggono. Papa akhirnya dipindahkan ke sana dan dia mendapatkan perawatan yang sangat baik dan intensif. Para perawat dan dokter juga sangat baik dan informatif. Kami juga sangat bersyukur dan berterima kasih kepada seluruh keluarga besar, hamba Tuhan, teman, kolega; semua sangat perhatian dan mendoakan papa. Selama papa di rumah sakit; kami hanya bisa berkomunikasi melalui WhatsApp, video call, atau chat dengan pihak rumah sakit. Setiap kali kami WhatsApp, video call, papa selalu menunjukkan semangat untuk sembuh: dengan rajin minum obat, makan walaupun sedikit, latihan napas walaupun kondisi fisiknya memang semakin hari semakin lelah karena sesak napas. Itu yang membuat kami juga kuat dan yakin bahwa


papa pasti bisa sembuh. Seluruh obat, perawatan, suplemen, bahkan stem cell juga telah diberikan ke papa. Namun, Tuhan punya rancangan yang berbeda. Papa akhirnya dinyatakan meninggal dunia.

2 Timotius 4: 7, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”

Sedih, gundah, hati terkoyak; sungguh tidak bisa membayangkan perjalanan hidup tanpa sosok papa. Papa yang humoris— yang sangat sayang sama keluarga— setiap kali pulang dari Kalimantan selalu berkumpul bersama. Selalu berusaha


untuk mengunjungi keluarga besar setiap kepulangannya ke Tangerang. Kami sungguh bersyukur Tuhan berikan papa dalam kehidupan kami yang sementara di dunia ini. Demikian banyak hal yang telah papa ajarkan dalam hidup kami. Ketekunannya dalam bekerja dan beribadah; kasih sayang untuk keluarga, saudara, rekan kerja; hati yang lembut dan penuh pengampunan, kemurahan hati bagi sesama, dan masih banyak hal lainnya. Sesaat setelah papa meninggal, saya mendapat ucapan-ucapan belasungkawa dan cerita bagaimana papa selama hidup sangat memberkati mereka. Atasannya selama bekerja sudah menganggapnya seperti keluarga dan menceritakan bahwa pekerjaannya selalu dikerjakan dengan sangat baik dan tidak pernah ada komplain dari manajemen. Rekan-rekan kerjanya merasa sangat kehilangan karena canda tawa dan rasa tanggung jawab papa yang sangat kuat selama bekerja. Saudarasaudara dari keluarga besar juga sangat kehilangan karena selama ini papa sangat penuh perhatian, sering berkunjung, dan berbincang akrab dengan mereka.


Papa sangat memberkati mereka dengan kebaikan dan ketulusan hatinya membantu anggota keluarga lain saat dia masih hidup. Papa sudah menyelesaikan misinya di dunia ini dan Tuhan sudah membawanya ke tempat yang jauh lebih baik di surga. “Till we meet again in heaven, Pa.”

😊

Yohanes 14: 1, “Jangan gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.”


Sungguh anugerah Tuhan semata, kami sekeluarga dengan bantuan berbagai pihak serta dukungan doa dari teman-teman dan keluarga besar, bisa mengusahakan perawatan yang terbaik untuk pengobatan papa—seperti halnya juga papa selalu mengusahakan yang terbaik bagi kami: istri, anak-anak, dan cucu-cucunya. Kami yakin rencana Tuhan luar biasa atas hidup papa dan keluarga kami. Walaupun hingga saat ini kepergian papa masih belum sepenuhnya bisa kami terima dalam akal sehat: Bagaimana papa yang tampak sehat-sehat saja ternyata tiba-tiba pergi meninggalkan dunia ini. Kami masih bertanya-tanya: Apa hal baik yang bisa dipetik dari kejadian ini? Namun, seperti Tuhan Yesus berkata kepada para murid sesaat sebelum Yesus meninggalkan dunia ini, “.... Janganlah gelisah,” namun, percayalah kepada Allah dan percayalah juga kepada Yesus. Kami dengan segala keterbatasan pemahaman kami, juga mau tetap beriman dan percaya pada pimpinan Tuhan karena Dialah Gembala yang baik.


Kiranya damai sejahtera Tuhan menyertai kita semua. Dalam hidup yang singkat ini; kiranya kita semua bisa melayani Tuhan di mana pun Dia menempatkan kita, dalam profesi apa pun untuk menjadi berkat bagi banyak orang.

Tuhan memberkati.


/ Hendro Suwito

Di Balik Roti Khoe Pek Goan dan Enting-Enting Salatiga


Dua hari berturut-turut di paruh kedua Maret 2021, ada makanan ringan mampir ke rumah kami. Yang pertama paket dari Agus Wibowo kawan persekutuan saat kuliah di Salatiga. Isinya kerupuk gendar, siomai frozen, dan enting-enting gepuk cap Klenteng dan 2 Hoolo (KDH). Yang kedua diantar sendiri oleh sobat istri saya Fenny yang baru pulang kampung ke Garut. Isinya roti bagelen dan biskuit merek Khoe Pek Goan (KPG). Enting-enting KDH sudah saya kenal sejak kuliah di Salatiga tahun 1978. Roti KPG baru saya kenal, padahal kami pernah beberapa kali rekreasi ke daerah Garut. Yang membuat saya tercengang adalah tulisan di kemasan roti KPG: Anno 1885 – Nostalgic Taste. Wow! Sudah ada sejak tahun 1885! Seratus tiga puluh enam tahun lalu! Luar biasa. Sepertinya ini produsen roti tertua di Indonesia yang masih eksis hingga sekarang. Bisa jadi yang sekarang mengelola adalah generasi kelima atau keenam. Roti bagelennya terasa manis, gurih, lembut di mulut. Ketika saya telusuri lewat internet, produk KPG sekarang cukup beragam walaupun kata ‘jadul’ Biskwit Bagelen masih dipertahankan di kemasannya yang sudah makin modern. Tampilan tokonya juga sudah jauh berubah sejalan dengan perubahan zaman. Selain roti dan biskuit bagelen, toko KPG juga menawarkan roti john, snack-snack lain, dan juga kopi—baik untuk dinikmati di tempat atau dibeli dalam bentuk bubuk dalam kemasan.


Sejauh ini, kita lebih familier dengan roti bagelen Abadi di Bandung. Ternyata, dalam penelusuran, penulis menemukan bahwa roti Abadi punya akar yang sama dengan KPG. Katanya, roti bagelen Abadi dirintis oleh salah satu cucu Khoe Pek Goan pada tahun 1940-an.

Juru Kunci Enting-enting Klenteng dan 2 Hoolo juga sudah sangat populer sebagai oleh-oleh dari Salatiga. Ketika saya googling sejarahnya, enting-enting ini sudah mulai diproduksi tahun 1929 untuk kudapan tamu kelenteng Hok Tek Bio. Tahun 1930 enting-enting ini mulai dijajakan untuk masyarakat dan disukai orang Belanda yang tinggal di Salatiga. Sejarahnya terbentang sembilan puluh tahun lebih! Siapa yang merintis? Khoe Tjong Hook yang saat itu menjadi juru kunci kelenteng. Ternyata marganya juga Khoe. Tjong Hook semula membuat enting-enting dengan bentuk bulat dan dibungkus dengan daun bambu kering. Keahliannya diwariskan kepada dua anaknya. Semula masing-masing anaknya memproduksi enting-enting secara terpisah. Yang satu memakai merek Klenteng dan yang satu lagi memakai merek 2 Hoolo. Pada tahun 1960-an, mereka sepakat bergabung dan menamakan produknya Klenteng dan 2 Hoolo. Bentuknya diubah jadi seperti prisma segitiga dan dibungkus kertas. Bentuk, rasa,


dan kemasannya nyaris tidak berubah hingga sekarang. Rasanya manis dan gurih di lidah. Apakah Khoe Pek Goan masih ada hubungan saudara dengan Khoe Tjong Hook? Penulis belum menemukan adanya hubungan kekerabatan di antara mereka.

Beda Tipis Iseng-iseng, saya jadi keterusan menelusuri Go Kiem Liong—adiknya Go Kiem Sing, engkong saya. Kiem Liong juga sudah memproduksi roti bagelen Probitas di Magelang lama sekali; sejak saya lahir sudah ada. Pada lembar sejarah Probitas ternyata disebutkan kalau adiknya engkong saya ini sudah membuat roti bagelen sejak 1930. Beda tipis umurnya dengan enting-enting KDH di Salatiga. Rintisan Kiem Liong kemudian dilanjutkan oleh putranya Go Wie Tjong dan terus berlanjut pada keturunan berikutnya. Bisa jadi pimpinan yang sekarang sudah generasi keempat setelah Kiem Liong. Engkong saya Go Kiem Sing sebenarnya juga memproduksi roti di Blora jauh sebelum dia meninggal pada usia relatif muda di tahun 1950. Dari sembilan anaknya, hanya ibu saya Go Giok Nio yang mewarisi keahliannya. Dia memproduksi roti dan kue basah sebagai home industry waktu kami masih tinggal di desa dekat Blora tahun 1950-an hingga pertengahan 1960-an. Ibu saya bahkan mendapat julukan “Nyah (Nyonya) Roti” di


desa. Sayang keahliannya tidak berlanjut hingga generasi kami—anak-anaknya. Yang mengundang tanda tanya dari penelusuran di dunia maya adalah toko roti yang dianggap paling tua di Indonesia. Sejumlah tulisan justru sama-sama menyebut toko roti Go di Purwokerto sebagai toko roti tertua. Roti Go sudah mulai diproduksi tahun 1898—123 tahun lalu! Toko ini dirintis oleh Go Kwe Ka bersama istrinya Oei Pak Ke Nio. Tetapi, jika sejarah Khoe Pek Goan memang valid, toko roti tertua di Indonesia sebenarnya ya roti Khoe Pek Goan di Garut yang lebih tua tiga belas tahun daripada Roti Go. Tanda tanya yang muncul di benak saya: Apakah Go Djeng Ge, kakek buyut saya yang bermigrasi dari China ke Pulau Jawa pada akhir 1800-an masih ada hubungan saudara dengan Go Kwe Ka yang merintis Roti Go di Purwokerto? Kurun waktu migrasinya sama. Sama-sama marga Go dan sama-sama dekat dengan dunia roti. Misteri yang rasanya tak akan pernah terungkap.

Sangat Relevan Apa yang bisa kita pelajari dari kisah-kisah keluarga di atas, baik yang berhasil terus eksis hingga sekarang seperti Khoe Pek Goan, Roti Go, Probitas, atau enting-enting Klenteng dan 2 Hoolo? Atau yang gagal seperti bisnis engkong dan ibu saya?


Kalau kita tarik pada pesan yang ada dalam Alkitab, ayat di Ulangan 6: 6–7 rasanya cukup relevan sebagai acuan.

Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anakanakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.

Tentu saja konteks ayat-ayat ini sebenarnya diturunkan oleh Tuhan agar bangsa Israel menjadi bangsa yang selalu takut dan hormat pada Tuhan—karena jika mereka terus memegang titah Tuhan hingga anak cucunya maka hidup mereka akan dilimpahi dengan berkat. Pendiri toko roti KPG, Roti Go, Probitas, dan enting-enting KDH tanpa sadar telah menerapkan nilai-nilai yang diajarkan oleh ayat-ayat ini: yaitu dengan mengajarkan keterampilan mereka tentang mengolah roti dan enting-enting kepada anak-anaknya dan terus berlanjut kepada cucucucu, bahkan hingga buyut-buyut mereka. Tentunya bukan hanya keterampilan olah roti atau enting-enting saja; tetapi juga seluk-beluk pengelolaan bisnis, pengelolaan SDM, ketekunan, kelenturan dalam berbagai keadaan, semangat pantang menyerah, dan jeli menyikapi perubahan zaman.


Kita semua sebagai para orang tua dari anakanak kita perlu belajar dari ayat di Ulangan ini, dan mungkin juga dari nilai-nilai dari keberhasilan Khoe Pek Goan, Go Kwe Ka, Go Kiem Liong, dan Khoe Tjong Hook. Kita ditantang untuk rajin dan tak kenal lelah memanfaatkan tiap kesempatan untuk mengajarkan iman percaya pada Tuhan dan kepedulian kita pada sesama kepada anakanak dan cucu-cucu kita. Sudah sepatutnya kita dengan tekun mendampingi; agar mereka bisa sepenuhnya mewarisi semua keberadaan kita sepanjang hidupnya nanti. Hanya dengan adanya pewarisan keteguhan iman dan kebesaran hati untuk mengasihi sesama seperti itu, mereka akan mampu meneruskan nilai-nilai yang sama kepada generasi-generasi selanjutnya. Nah … kalau Anda ke Bandung dan mampir ke toko roti Abadi, atau ke Khoe Pek Goan di Garut, Roti Go di Purwokerto, atau Probitas di Magelang; jangan lupa mampir untuk menikmati roti dan biskuit yang sudah jadi legenda ini. Dan tentunya sambil mengingat masih ada tugas mulia yang harus terus dikerjakan, yaitu: mewariskan iman kita pada Kristus dan kepedulian pada sesama, kepada anak-anak, atau cucu-cucu kita. ***


Berjumpa dengan Kristus dan Salib-Nya ~ Ibadah Jumat Agung: 2 April 2020 ~

/ Pdt. Gabriel Goh


~ Filipi 3: 10–11 ~ “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati.”

Ada beberapa tingkatan perjumpaan kita dengan Kristus yang tersalib: 1. Perjumpaan di Depan Salib-Nya Di level ini, orang datang pada Kristus untuk kepentingan dan kebutuhan pribadinya. Misalnya: ketika Yesus mengadakan mukjizat lima roti dan dua ikan. Jikalau perjumpaan kita hanya sampai di sini, maka hal tersebut sangat berbahaya; sebab itu merupakan iman yang narsistik—Tuhan Yesus hanya menjadi ‘sapi perah’. Motif kita mengikuti-Nya adalah motif yang egois.


~Yohanes 6: 15 (TB) ~ “Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” Dalam perikop tersebut—setelah menyaksikan mukjizat lima roti dan dua ikan—orang-orang hendak memaksa Yesus menjadi raja karena Yesus dianggap dapat memenuhi kebutuhan makanan mereka secara ajaib. Bukankah hal ini ironis? Karena, seorang raja seharusnya memimpin, mengatur, dan sudah seharusnya dipatuhi oleh rakyatnya; akan tetapi raja tersebut malah dipaksa-paksa oleh rakyatnya. Kita tentu tidak senang jika orang datang mencari kita hanya karena ‘ada maunya’. Kita merasa dimanfaatkan, dimanipulasi, dan dieksploitasi. Sayangnya, lebih dari lima puluh persen relasi seringkali seperti itu.


2. Berjumpa Yesus di Dalam Salib-Nya Di tahap ini kita merasakan empati terhadap apa yang Yesus alami bagi kita. Kita mencoba memahami the pain and agony (rasa sakit dan penderitaan) yang Yesus alami demi menebus dosa kita. Mari kita renungkan: Pada saat kita mengalami penderitaan apakah kita melihat cermin (diri sendiri) atau jendela (dimensi lain: Yaitu melihat karya keselamatan yang Tuhan kerjakan)? Jika kita melihat jendela, maka kita akan melihat Tuhan dalam penderitaan kita. Tetapi kalau kita hanya sekadar terharu pada kebaikan Tuhan, itu adalah respon alamiah. Manusia juga bisa berbuat baik yang menimbulkan rasa haru—tidak perlu Tuhan.


3. Berjumpa Yesus di Belakang Salib-Nya Di tahap ini kita mempertanyakan, “Why, mengapa Tuhan melakukan itu?” ~ Efesus 3: 18–19 (TB) ~ “Aku berdoa, supaya kamu bersamasama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.” Di tahap ini kita mengagumi dan menghasrati keindahan Kristus. Sama seperti anak-anak muda zaman now yang mengagumi dan mengidolakan aktor atau artis tertentu—mereka ingin meniru idolanya dalam segala hal. Misalnya: mereka ingin wajahnya glowing seperti idolanya sehingga membeli produk perawatan wajah yang dibintangi oleh aktris yang diidolakan. Bahkan ada yang rela melakukan operasi plastik hingga miliaran rupiah—demi meniru wajah idolanya.


Pertanyaannya: Apakah mungkin kita manusia yang berdosa ini memiliki hasrat ingin serupa dengan Kristus? ~ Yeremia 13: 23 (TB) ~ “Dapatkah orang Etiopia mengganti kulitnya atau macan tutul mengubah belangnya? Masakan kamu dapat berbuat baik, hai orangorang yang membiasakan diri berbuat jahat?”

Kita sungguh membutuhkan mukjizat Allah! “Karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Filipi 2: 13)


Renungan Ketika kita berjumpa dengan Tuhan dan merasa hati kita hancur, kita memahami betapa jahatnya diri kita kepada Tuhan dan sesama. Apakah kita sadar betapa besar kasih karunia-Nya bagi kita dan mau memberikan juga kasih karunia kepada sesama kita?

~ Markus 12: 30–31 (TB) ~ “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.”


Kiranya kita semua bertumbuh dalam perjumpaan kita dengan Kristus dan perjumpaan itu menghasilkan perubahan dalam relasi kita dengan sesama•

Khotbah terinspirasi dari: buku “Perjumpaan dengan Salib Kristus” (2012) Karya Pdt. Yohan Candawasa. Khotbah disarikan oleh Elizabeth Wahyuni.


/ Anton Utomo

Dua Belas Orang Biasa


Ketika ingatan warga Yerusalem lambat laun mulai memudar terhadap peristiwa penyaliban seorang tokoh ‘pemimpin umat’ beberapa puluh tahun sebelumnya, seorang sejarawan terkenal Yahudi menuliskan sepotong informasi di buku catatannya—yang kelak menjadi manuskrip yang sangat berharga. Josephus—nama sejarawan itu— menulis bahwa pernah hidup seorang bijak yang dihukum mati oleh Pontius Pilatus. Kemudian ia menambahkan bahwa ‘Sekte Yahudi’—yang dipimpin Yesus Sang Mesias yang disalib itu—kini banyak diikuti orang Yahudi dan Yunani. Josephus menulis sekitar akhir abad pertama, berarti lebih dari setengah abad setelah peristiwa penyaliban Yesus. Sejatinya, seperti yang juga disampaikan pemimpin Farisi Gamaliel, sebuah ‘sekte’ atau kelompok perlawanan akan hancur dengan sendirinya saat pemimpinnya mati. Bila yakin itu bukan karya Tuhan sendiri, para pemimpin mahkamah agama Yahudi tidak perlu cemas akan perkembangan gerakan mereka. Apalagi, Yesus hanya punya dua belas orang murid inti yang sebagian besar adalah nelayan dan orang-orang sederhana.


Gamaliel sepenuhnya benar. Petrus, Andreas, Yohanes, Yakobus, dan beberapa murid lainnya hanyalah para nelayan yang berasal dari desa kecil di tepi Danau Galilea. Murid-murid yang lain juga bukan orang terpelajar pada masanya. Mungkin hanya Matius si pemungut cukai yang biasa memegang kertas dan pena, itu pun lebih banyak untuk menulis angka ketimbang huruf dan kata. Jadi, bagaimana ‘sekte’ yang bermula dari 12 orang yang ‘sangat biasa’ ini bisa berkembang menjadi 2,3 miliar jiwa pengikut Kristus saat ini? Bagaimana pengabar Injil mula-mula ini berkarya dan bagaimana akhir hidup mereka? Mari kita ikuti riwayat beberapa dari mereka, terutama yang kisahnya tidak tertulis jelas di Alkitab tapi jejaknya tampak nyata dalam bentuk gereja dan relik/ peninggalan yang masih ada sampai sekarang.

Murid-Murid di Lingkaran Dalam Empat nelayan asal desa Betsaida di Kapernum adalah murid-murid pertama Yesus. Andreas yang sebelumnya adalah murid Yohanes Pembaptis, mengajak saudaranya Simon (Petrus) menemui Yesus yang sedang berjalan menyusuri tepi Danau Galilea dan kemudian memanggil mereka berdua. Tak berapa lama, Yesus juga menemui dua bersaudara, Yohanes dan Yakobus, yang juga sedang menjala ikan di danau yang sama. Keempat murid dua bersaudara inilah yang kemudian kita kenal menjadi murid-murid terdekat


Yesus. Mereka kerap hadir di saat-saat penting dalam pelayanan Yesus di tanah Israel. Pelayanan dan akhir hidup mereka relatif jelas, walaupun tidak semuanya tercatat dalam Alkitab.

Petrus yang kelak menjadi pemimpin gereja awal mengakhiri hidup sebagai martir di Roma. Menurut tradisi, ketika dijatuhi hukuman mati dengan disalib, ia minta disalib dengan kepala di bawah karena merasa tak pantas menyamai Tuhannya. Yakobus yang mati dipenggal Herodes adalah satu-satunya murid yang akhir hidupnya diberitakan Alkitab (Kisah Para Rasul 12: 1). Saudaranya, Yohanes, adalah satu-satunya murid yang kematiannya karena sebab alamiah: bukan dibunuh atau dihukum mati. Setelah dibebaskan dari pembuangan di Pulau Patmos, konon ia pergi ke Efesus dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Bagaimana dengan Andreas? Murid yang rendah hati dan tampaknya


seringkali lebih memberikan kesempatan kepada saudaranya untuk tampil ini, ternyata menjelajah begitu banyak tempat dan dicintai banyak umat di berbagai belahan bumi. Gereja Ortodoks Timur menganggap Andreas adalah kepala gereja pertama—sama seperti Petrus bagi gereja Katolik Roma. Tiga negara mengangkat Andreas sebagai santo pelindung mereka: Rusia, Skotlandia, dan Yunani. Bahkan bendera Skotlandia sampai saat ini disebut “Salib Andreas” yang serupa huruf X—sesuai tradisi gereja yang mempercayai Andreas mati sebagai martir dengan disalib di atas palang kayu serupa huruf X. Sama seperti Petrus, ia minta tidak disalib seperti Tuhan Yesus karena merasa tak layak.

Tomas Si Peragu


Tomas, yang dipanggil juga Didimus (artinya ‘kembar’), mendapatkan julukan peragu karena pernah tak mempercayai kebangkitan Yesus. Tak dijelaskan dalam Injil apakah ia sempat mencucukkan jarinya ke lubang bekas paku saat Yesus kemudian menemuinya. Tapi yang jelas jawaban Tomas selanjutnya, ”Ya Tuhanku dan Allahku!” menjadi pengakuan iman umat Allah sepanjang zaman. Tomas Peragu lantas berubah drastis setelah kejadian itu. Ia tak ragu-ragu mengabarkan Injil ke tempat terjauh dibandingkan murid-murid lainnya. Para ahli sekuler masih berdebat apakah Tomas benar-benar pergi sampai ke India, mengingat di masa itu transportasi masih sangat terbatas. Namun, bukti-bukti yang masih ada sampai saat ini sulit dibantah. Contohnya, tujuh gereja yang didirikan Tomas di India masih ada sampai sekarang. Kemungkinan besar Tomas memanfaatkan Jalur Sutra dan Jalur Rempah yang dipakai para saudagar kapal pada masa itu. Entah berapa bulan

Perangko India bergambar Tomas


waktu yang dibutuhkan Tomas untuk melakukan pelayanan sampai ke Pantai Malabar—di sebelah barat anak benua India—pada tahun 52. Selama di India ia mendirikan berbagai gereja dengan beragam komunitas yang berbasis keluarga. Sampai saat ini banyak nama keluarga di daerah tersebut yang bisa ditelusuri sampai ke masa Tomas membaptis leluhur mereka. Menurut cerita tradisi, pada tahun 72, seorang bangsawan/raja di daerah Madras/Chennai sangat marah saat mendapati sang ratu dan anakanaknya mengikuti ajaran Tomas, sehingga ia memerintahkan para pengawalnya menyergap Tomas di sebuah bukit dan membunuhnya. Sebuah tikaman tombak mengakhiri hidup Tomas di atas bukit yang kemudian dinamakan Bukit Santo Tomas sampai saat ini. Jenazahnya kemudian dikubur di Mylapore, di pantai timur India. Di atas kuburnya, tertulis dalam huruf besar: ‘My Lord and my God’.


Bartolomeus Putra Bangsawan Bila ada murid Kristus yang berdarah ‘bangsawan’ mungkin hanya Bartolomeus orangnya. Sesuai tradisi Yahudi, Yesus kerap disebut anak Daud; sedangkan Bartolomeus yang bernama lain Natanael ini disebut anak Talmai. Talmai adalah raja Gesur, salah satu mertua dari raja Daud. Yesus sendiri menyebut Bartolomeus sebagai “seorang Israel sejati yang tidak ada kepalsuan di dalamnya”. Dengan tradisi kuat menjaga prinsip hidup yang telah diteladani dari Kristus, Bartolomeus berjalan jauh membawa Injil ke Armenia (dekat Turki sekarang), hingga kelak menjadi negara (kerajaan) Kristen pertama di dunia. Ketika berhadapan dengan ancaman siksaan yang menakutkan, Bartolomeus tetap bergeming, tak gentar sedikit pun. Kisahnya bermula saat Raja Armenia, Polymius yang bertobat menerima Kristus dan menjadi pengikut Kristus. Saudara Polymius, Pangeran Astyages, tak bisa menerima keputusan kakaknya. Sebagai negara taklukan Romawi, ia takut ancaman dari kaisar Romawi bila Armenia


menjadi negara Kristen. Kemudian, ia menangkap Bartolomeus dan menyiksanya—memaksa untuk mengingkari imannya. Karena tetap bertahan, akhirnya Bartolomeus dikuliti hidup-hidup, kemudian kepalanya dipenggal. Di masa selanjutnya, keteguhan hati Bartolomeus ini terus dikenang dan menjadi sumber kekuatan bagi para misionaris Kristen. Uniknya, pada abad keenam belas, pelukis terkenal Michael Angelo di salah satu lukisan paling terkenalnya yang berjudul The Last Judgement menggambarkan Bartolomeus membawa ‘lembaran kulit’ yang mirip mantel menggantung di tangan kirinya. Lukisan ikonik itu dilukis dengan indahnya di dinding barat Sistine Chapel, Vatican, dan terus dikagumi pengunjung sampai sekarang.

Biara Santo Bartolomeus di Armenia


Last Judgement di Vatican


Tadeus dan Simon Orang Zelot

Bukan hanya nelayan, Yesus juga memilih murid-murid dari kalangan pejuang nasionalis yang fanatik. Mereka terbiasa menggunakan senjata untuk membunuh penjajah Romawi dan orang Yahudi pengkhianat bangsanya. Tadeus yang disebut juga Yudas (bukan Iskariot) awalnya seorang pejuang kemerdekaan Israel, demikian juga Simon orang Zelot. Tadeus pernah bertanya kepada Yesus, ”… apa sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?” Tampak kerinduan Tadeus untuk memperkenalkan Yesus sebagai Raja yang berkuasa, bukan Juru Selamat yang menderita. Jawaban Yesus menegaskan bahwa kekerasan tak akan pernah bisa menggantikan cinta kasih.


Di kemudian hari—bersenjatakan iman dan kasih—Tadeus mengiringi Bartolomeus sampai ke Armenia. Gereja Armenia mengangkat Tadeus dan Bartolomeus sebagai santo pelindung mereka. Menurut tradisi, Tadeus mati sebagai martir di Ararat (Turki sekarang). Sebatang anak panah menembus jantungnya. Akhir hidup Simon orang Zelot masih menjadi perdebatan sampai saat ini, namun ia diketahui mengabarkan Injil ke Mesir dan Persia, tempat ia mengakhiri pelayanannya sebagai martir.

Murid-Murid Lainnya Murid Yesus lainnya adalah Filipus, Matius, Yakobus anak Alfeus, dan Matias yang menggantikan Yudas Iskariot. Filipus berasal dari Betsaida, kota yang sama dengan Petrus dan Andreas. Kemungkinan besar ia juga seorang nelayan. Perjalanan misi Filipus tercatat ke Phyrgia di Asia Kecil dan berakhir sebagai martir di Hierapolis. Sebelum dihukum mati dengan digantung, ia sempat berpesan agar tubuhnya dibungkus dengan papirus dan bukan dengan kain linen seperti Yesus, karena merasa tak layak disamakan dengan Tuhannya. Matius juga salah satu murid yang berjalan jauh mengabarkan kabar keselamatan. Selain tercatat sebagai penulis Injil, ia dikenang sebagai pengabar Injil ke Afrika dan hidupnya berakhir di Ethiopia


saat dihukum mati oleh penguasa setempat. Yakobus anak Alfeus mengabarkan Injil ke tanah Palestina dan Mesir. Menurut kisah tradisi, ia mati digergaji di Mesir. Murid terakhir yang dipilih para murid lainnya adalah Matias. Ia diperkirakan telah menjadi pengikut Kristus sebelumnya, menjadi rombongan yang turut dalam pelayanan Yesus selama tiga setengah tahun, walaupun bukan termasuk dua belas murid. Ia tercatat mengabarkan Injil ke Kaspia dan Kapadokia di Asia Kecil dan mengakhiri pelayanannya ketika dihukum mati di sana.

Orang Biasa Melakukan Hal Luar Biasa di Tangan Allah Saat Yesus disalib hanya tersisa satu murid yang bertahan menyaksikan di Golgota. Kesebelas lainnya tercerai-berai dalam ketakutan yang mencekam. Murid yang dianggap paling berani telah berbohong sampai tiga kali demi menyelamatkan nyawanya. Bahkan seorang murid lainnya bunuh diri dalam penyesalan karena telah menjual Gurunya. Seperti prediksi sejarawan Yahudi dan Romawi, tampaknya seperti tak ada harapan bagi kekristenan? Ternyata semua berubah drastis hanya dalam lima puluh hari. Selama empat puluh hari setelah kebangkitan, Yesus kerap menemui para muridNya. Membangkitkan kembali harapan dan semangat mereka, dan puncaknya adalah di


hari ke lima puluh, saat Roh Kudus turun ke atas mereka. Si penakut menjadi pemberani, pemarah menjadi peramah, pedang digantikan firman Allah. Para murid yang mulanya mau menjadi pengikut Kristus karena beragam motivasi pribadi (kekuasaan, kekayaan, kebebasan) kini dibentuk menjadi duta-duta Kristus yang pertama. Pengorbanan mereka sebagai martir tak pernah sia-sia. Kelak, di Yerusalem Baru, nama mereka akan diabadikan, seperti tertulis di Wahyu 21: 14,

”Dan tembok kota itu mempunyai dua belas batu dasar dan di atasnya tertulis kedua belas rasul Anak Domba itu.”

Sumber

1. Twelve Ordinary Men,John F.MacArthur Jr.,Penerbit Immanuel 2. https://www.learnreligions.com/the-apostles-701217 3. https://www.bibleinfo.com/en/questions/who-were-twelve-disciples 4. https://en.wikipedia.org/wiki/Bartholomew_the_Apostle 5. https://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_the_Apostle 6. https://www.worldatlas.com/articles/who-were-the-twelve-disciples- apostles-of-jesus.html












Quote 2 Zaman /Anton Utomo/

“Dalam cara kita memiliki segala sesuatu itu kita membayar hutang kita dengan melayani sesama kita dan dengan itu kita memuliakan nama Tuhan.”

- T.B. Simatupang


T.B. Simatupang T.B. Simatupang (28 Januari 1920 – 1 Januari 1990) adalah pahlawan nasional. Beliau diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia menggantikan Jenderal Soedirman yang wafat pada tahun 1950. Dalam judul autobiografi singkatnya Saya adalah Orang yang Berhutang; seakan tidak hentihentinya T.B. Simatupang bertanya, apa lagi yang dapat ia berikan untuk Tuhan. Ia menutup autobiografinya dengan perenungan bahwa segala sesuatu adalah milik kita, tetapi pada akhirnya semua yang kita miliki adalah milik Allah. T.B. Simatupang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara. Setelah tidak aktif lagi di dunia kemiliteran—dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal—Pak Sim mendedikasikan dirinya dalam pelayanan kerohanian. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Dewan Gereja-Gereja Asia, dan Ketua Dewan Gereja-Gereja Sedunia.


Beliau juga merintis dan kemudian diangkat menjadi Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (PPM). Dia meyakini bahwa Indonesia sangat membutuhkan pemimpinpemimpin berintegritas yang menguasai ilmu manajemen, baik dalam perusahaan maupun di tengah kehidupan masyarakat.


Pdt. Stefanus Theopilus “Saya pernah berkata kepada seorang ibu seperti ini, ‘Agama saya berbeda dengan Ibu dan saya tidak mau mencampurinya. Tapi agama saya mengajarkan untuk menyayangi orangorang lain meskipun mereka berbeda. Dan agama saya juga mengajarkan untuk membangun negara. Jadi, ayo kita berjalan bersama mencapai tujuan ini.’ Jadi kerja sama di situ, bukan di agama.” Pdt. Stefanus Theopilus, pada saat ditanya apakah bisa komunitas Kristen bekerja sama dengan komunitas agama lain. (Nafiri, edisi Desember 2018)


Terima kasih sudah membaca! Sampai jumpa di edisi berikutnya...

#DiRumahAja


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.