MEDISINA EDISI 6

Page 24

spesial topik

NO PHARMACIST NO SERVICES Endang Kumalawati

“Apoteker tidak selalu ada di apotek.” “Biasanya datang sebulan sekali (untuk menandatangani laporan narkotik dan mengambil honor)”. “Kalau pasien memerlukan apoteker, sering tidak ada di tempat. Kalau dokter perlu apoteker, sama saja (tidak ada di tempat, pen.)”. “Asisten apoteker harus berupaya, bekerja, dan berfikir keras sendiri terhadap semua pekerjaan perapotekan”. Mungkin itulah yang dipikirkan masyarakat. Masih banyak komentar tentang peran apoteker di apotek. Mengapa sampai terjadi persepsi demikian ? Diskusi tentang apotek dan apoteker yang pernah diselenggarakan BPD-ISFI (Badan Pengurus Daerah Ikatan Sarjana Farmasi) Propinsi Jawa Barat banyak mengungkap hal tersebut. Bahkan dalam upaya mengembalikan peranan apoteker di apotek, masalah ini pernah dibahas pada pertemuan GP-Farmasi Bandung. ISFI lewat edarannya yang maksudnya

24

adalah sama dengan ”no pharmacist no services” mendorong agar para apoteker hendaknya lebih banyak hadir di apotek. Bahkan diperlukan apoteker pendamping bagi Apoteker Pengelola Apotek yang pekerjaannya merangkap, para PNS misalnya. Apotek tidak dapat berkembang Nasib apoteker memang sangat menyedihkan. Kerja keras menempuh pendidikan selama bertahun-tahun hampir tidak ada artinya. Imbalan dan penghargaan yang diterima sangatlah minim. Banyak hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, kebanyakan apotek adalah “milik” pihak lain, sedang apoteker hanyalah orang bayaran. Akibatnya, segala kebijakan apotek menjadi “monopoli” wewenang PSA (Pemilik Sarana Apotek), termasuk pengadaan obat-obatan. Kedua, adalah pandangan Pemilik Sarana Apotek (PSA)

yang kurang positif terhadap apoteker, sehingga karena dianggap sebagai orang bayaran sehingga tidak memiliki kuasa apa-apa. Implikasinya: imbalan tidak layak, pembagian pendapatan juga tidak layak, lebih jauh bahkan peranannya dianggap “sepele”. Ironis memang. Mengapa sampai apotek di Indonesia tidak dapat berkembang (sebagai ajang karya apoteker dan juga sebagai entitas bisnis) ? Dari pengamatan penulis ada 4 (empat) hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, daya beli masyarakat menurun akibat tingkat pendapatan yang rendah, sehingga mereka mencari sehat dengan murah lewat pengobatan alternatif. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat meningkat sehingga cenderung mengobati sendiri (self medication) dengan langsung ke toko obat atau toko-toko obat alternatif ; (3) Merebaknya dispensing, yakni satu paket pemeriksaan kesehatan sekaligus dengan

MEDIA INFORMASI FARMASI INDONESIA/EDISI 6/JANUARI-APRIL 2009


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.