Buletin TPA

Page 1

Buletin Soeara Pena

Edisi PJTD LPM aL-Millah IAIN Ponorogo

DEPTHNEWS

TPA Mrican: Dari O ve rl oa d hingga Pengolahan Sampah yang Kurang Optimal

FEATURES

TPA Mrican: Fasilitas Sehari

2

2020

Cerpen

Fasilitas Sehari

1


SUSUNAN REDAKSI BULETIN SOEARA PENA PJTD 2020 Diterbitkan Oleh: LPM aL-Millah IAIN Ponorogo Pelindung: Allah SWT Pemimpin Umum: Umi Ula Romadhoni Pemimpin Redaksi: Dendy Pramana Putra Sekretaris: Aliffanda Nur Fitriandini Editor: Tim Editor Layouter: Irfan Staff Redaksi: Afri, Putri, Rian, Titah Jl. Pramuka 156 Ronowijayan, Siman, Ponorogo Email: lpmalmillah@gmail.com Contact Person: 085706483201

2

SALAM REDAKSI

S

Salam Persma!!! yukur Alhamdulillah kami sanjungkan kehadirat Allah SWT karena atas izin dan ridho-Nya, kami dapat melaksanakan PJTD (Pelatihan Jurnalistik Tingkat Dasar) dan dapat menerbitkan buletin PJTD LPM aL-Millah 2020. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada segenap crew dan pihak lainnya yang telah turut andil dalam terselenggaranya kegiatan PJTD ini. Edisi kali ini hadir dengan bahasan mengenai Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Mrican yang berada di Desa Mrican, Kecamatan Jenangan, Ponorogo. Dimana seluruh sampah yang ada di Kabupaten Ponorogo dikumpulkan di situ, sehingga tak heran jika lokasi TPA nya bak gunung sampah. Kami berharap dengan terbitnya buletin ini, kita semua dapat mengambil pelajaran dari issu yang diangkat. Kami menyadari bahwa buletin ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapan kritik dan saran konstruktif dari pembaca. Terima kasih. Selamat membaca‌!!!


Depth News

TPA Mrican: Dari Overload Hingga Pengolahan Sampah yang Kurang Optimal

S

ampah masih menjadi permasalahan yang berkaitan erat dengan lingkungan. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kegiatan ekonomi dan perluasan daerah pemukiman menyebabkan bertambah pula jumlah sampah yang dihasilkan tiap harinya. Apabila sampah tidak dikelola secara optimal, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan yang akan terus berlanjut. Sampah yang menumpuk di tempat penampungan, apabila tidak dikelola dengan baik maka akan memperburuk kondisi lingkungan di sekitarnya. Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Mrican merupakan satu-satunya TPA di Kabupaten Ponorogo. TPA yang terletak di Desa Mrican, Kecamatan Jenangan ini menampung sampah-sampah dari beberapa kecamatan serta kantor dinas dari Ponorogo yang langsung dikirim ke

TPA. Hal ini mengakibatkan TPA Mrican menerima kurang lebih 50 ton sampah setiap harinya. Hingga tahun 2018, sampah yang ada di TPA Mrican sudah menumpuk melebihi kapasitas (overload) karena luas lahan TPA Mrican hanya dua hektare. Luas lahan TPA Mrican yang hanya dua hektare sendiri disebabkan karena masyarakat menolak untuk menjual tanah di sekitar TPA tersebut. “Sementara itu masyarakat tidak mau menjual tanah, selain itu anggaran belum bisa. Anggaran itu ada aturannya, apa pemerintah daerah mampu? Padahal pembelian lebih dari satu hektare itu tidak boleh, itu yang beli harus pusat, tanah satu hektare aja tidak ada, jadi pembelian tanah itu sulit,� ungkap Adi Purnomo, Kepala Desa Mrican. Mengenai perluasan lahan, Suminto, salah satu petugas di TPA mengatakan Buletin soeara pena edisi PJTD

3


Depth News

bahwa kendalanya mengenai ketidakcocokan harga antara masyarakat (pemilik lahan) dengan pemerintah. “Soal perluasan tanah, permasalahannya adalah antara masyarakat dan pemerintah. Masyarakat meminta harga jual tinggi, namun daerah menyesuaikan SOP,” ungkap Suminto. Menurut Sukimin salah satu pemilik sepetak lahan di sekitar TPA mengatakan, ia tidak mau menjual tanah tersebut karena masih dipakai untuk memenuhi kebutuhan. “Mbiyen nate disuwun TPA, kulo sering dipanggil teng kelurahan, kalih tiyang sepah boten angsal disadhe mergo damel pangan, (Dulu pernah diminta TPA, saya sering dipanggil ke kelurahan, oleh orang tua tidak boleh dijual karena untuk pangan),” kata Sukimin. Selain itu, penyebab lain dari penumpukan sampah yaitu pengelolaan limbah sampah di TPA Mrican sendiri yang menggunakan sistem Control Landfill atau dengan cara ditimbun tanah. Hal itu seperti yang dikatakan oleh Riza Budi Mubarok selaku Kepala UPTD Pengelolaan Sampah TPA Mrican. “Sistem pengelolaannya Control Landfill, yakni secara umum setelah (sampah yang tidak bisa diolah) ditimbun di TPA, baru ditutup dengan tanah,” kata Riza saat terhubung melalui via telepon. TPA Mrican yang telah beroperasi lebih dari 20 tahun, dengan luas lahan yang kurang luas, ditambah pemilihan metode Control Landfill yang menyebabkan

4

Buletin soeara pena edisi PJTD

pengolahan sampah kurang optimal. Hal tersebut mengakibatkan sampah menggunung mencapai tinggi kurang lebih 10 meter dan membuat kapasitas TPA menjadi berlebih (overload). Untuk metode pengelolaan sampah organik dan anorganik berbeda, untuk sampah organik diolah menjadi kompos dan bio metana, prosesnya dilakukan dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sebelum dikirim ke TPA, serta hasil pengolahan digunakan untuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) yang membawahi seksi pertamanan Kabupaten Ponorogo. “Sebelum masuk TPA, di TPS juga ada. Jadi, untuk sampah-sampah organiknya sebagian untuk kompos, kemudian hasil komposnya digunakan untuk keperluan dinas kami sendiri,” jelasnya. Sedangkan untuk pengolahan bio metana dilakukan dengan cara memasang paralon di gunungan sampah sebelum ditimbun dengan tanah, agar nantinya gas itu dapat diambil dan disalurkan kepada masyarakat di sekitar. “Sebelum ditimbun kita pasang paralon-paralon untuk menangkap gas metan-nya, nanti kita salurkan tapi kita saring dulu, baru nanti bisa digunakan untuk disalurkan ke masyarakat,” imbuhnya. Selain itu, sampah anorganik yang dibawa ke TPA ada yang bisa diolah kembali dan ada yang tidak. “Sampah itu ada yang bisa digunakan kembali dan ada yang bisa didaur ulang. Sampah yang dibawa ke DK (Dinas Kebersihan)


Depth News

itu sampah yang tidak bisa digunakan kembali. Jadi, sampah yang ditimbun di TPA itu, ya mungkin sebagian kecil ada organik dan anorganik,” tambahnya. Menurut Simpeniati salah seorang warga yang mendapat manfaat gas metana, penyaluran gas ke rumah warga hanya dilakukan pada saat peresmian bersama Bupati Ponorogo saja. “Kurang lebih sudah mati selama satu tahun. Cuma waktu peresmian, saya sama bapak difoto, dinyalakan biogasnya. Habis itu, ya sudah,” ungkapnya. Riza Budi menjelaskan bahwasannya pemanfaatan gas metana tersebut memang tidak difungsikan lagi karena ada kebocoran, serta perbaikannya masih dalam proses pembinaan. Maka, tidak bisa dipastikan karena harus menunggu pembinaan terlebih dulu. “Tergantung pembinaan dulu, jadi, kalau (keadaan TPA) kita belum aman, kita belum bisa memastikan untuk kapan kita menyalurkan kembali,” jelas kepala UPTD pengelolaan sampah di TPA Mrican tersebut. Selain itu, ada air lindi yang dihasilkan dari tumpukan sampah. Menurut Riza, air lindi tersebut telah diproses sebelum dialirkan ke sungai. “Air lindi kita salurkan ke kontrol lindi itu, kemudian setelah keluar dari situ airnya menjadi bersih. Setelah bersih kita salurkan ke sungai lagi,” imbuhnya. Meski demikian, hal tersebut masih saja mencemari air sungai di sekitar, terlebih saat musim hujan. Adi Purnomo

mengatakan, “Yang merugikan itu contohnya masalah air. Air sungainya ketika musim kemarau memang tidak mengalir, tapi ketika musim hujan kan ada airnya, ya jadi tercemar. Kelihatannya (air lindinya) meresap, jadi mengalir ke sungai begitu,” kata Adi Purnomo. Salah satu kunci agar pengelolaan sampah bisa optimal ialah pemilahan sampah dengan membagi antara organik dan anorganik. Sampah anorganik dapat didaur ulang atau dapat diolah, tidak dapat terdegradasi secara alami, namun dapat menghasilkan nilai ekonomi. Untuk sampah organik sendiri dapat terdegradasi dan umumnya tetap ditinggal di tempat. Pengelolaan sampah yang benar diperlukan adanya keterpaduan dari berbagai aspek, mulai hulu sampai hilir. Namun dalam hal ini, TPA Mrican sendiri dalam pengolahan sampah organik dan anorganik masih sulit, ditambah lagi meskipun pemerintah telah memfasilitasi, sampah tetap tercampur. “Seumpama antara organik dan anorganik sudah terpilah dengan baik, mungkin pengolahannya bisa maksimal. Tapi kan urutannya terlalu panjang, dari pihak masyarakat sampai ke pemerintah. Pemerintah pun harus memfasilitasi. Tapi kadang sudah difasilitasi, namun akhirnya sampah tetap tercampur,” kata Suminto. Penulis: Putri, Rian Reporter: Afri, Putri, Rian, Titah

Buletin soeara pena edisi PJTD

5


Feature

Menelisik Sisi Lain TPA Mrican Features oleh Afrina Dwi Utami

Pagi yang cerah menyapa, suasana hati yang menggembirakan menambah semangat kami melakukan perjalanan. Sekitar pukul 09.00 WIB aku dan kawanku antusias melajukan motor menuju lokasi. Jalanan beraspal dengan lubang di kiri dan kanan menambah keasikan. Semilir angin sepoi-sepoi menemani sepanjang perjalanan. Sawah hijau terbentang menambah indah pemandangan. Rumah-rumah penduduk berjejer rapi dalam pandangan. Saking asiknya sampai kebablasan, hingga melewatkan belokan. Merasa sadar kami pun putar balik, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan. Kemudian memasuki lokasi yang disambut dengan portal bertuliskan “TPA Mrican�. Disambut juga dengan jalan menanjak dan juga menurun. TPA (Tempat Pemrosesan

6

Buletin soeara pena edisi PJTD

Akhir) ini berada di Desa Mrican, Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo. Di sebelah kanan terdapat kantor yang menyapa, juga taman yang menyita perhatian. Terdapat juga bilik-bilik tempat pengumpulan sampah. Di sebelah kiri terdapat tempat pengolahan kompos. Pemandangan sampah sudah terlihat dimana-mana. Truk-truk sampah dari berbagai kecamatan berlalu lalang untuk membuang. Semakin masuk ke lokasi TPA, terlihat pula tumpukan sampah tinggi menjulang. Nampak seperti bukit yang menawan, lantaran permukaannya yang tertutupi tanah telah ditumbuhi rerumputan. Bahkan, bau tak sedap khas sampah tidak tercium sama sekali. Akan tetapi semakin ke barat, tidak ditemukan pemandangan serupa. Justru semerbak


Feature

bau tak sedap menyengat indera penciuman. Hanya nampak tumpukan sampah yang mengenaskan. Terpintas di benak kami, apa pihak TPA kurang maksimal dalam mengolah dan memanfaatkan tumpukan sampah atau ada sesuatu yang luput dari pandangan mata. Rasa penasaran semakin menyelimuti benak kami. Kudongakkan kepala menatap hamparan pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Di bagian timur TPA, terdapat instalasi pengolahan lumpur tinja. Selesai menelusuri kami putuskan memarkirkan motor di depan instalasi pengolahan lumpur tinja tersebut. Kami berjalan kaki menyusuri jalan yang dilalui truk–truk pengangkut sampah. Bertemulah dengan beberapa petugas yang menjaga pos retribusi. Disambut baik oleh beberapa petugas, salah satu dari mereka menyapa dengan ramah memperlihatan senyuman menawan. “Acara apa, mbak?” Tanya bapak berbaju kuning, yang memperkenalkan diri sebagai Suminto. Dirasa mendapat respon baik dan tak mau menyia-nyiakan kesempatan, kami pun memulai perbincangan. “Mau melihat-lihat TPA pak. Mau penelitian,” jawab Titah, salah satu rekanku yang berkacamata, berlagak sok meyakinkan. Tak perlu menunggu lama kami sudah merasa akrab. Pak Suminto yang ramah langsung berinisiatif menjelaskan tanpa kami perlu bertanya banyak. Di tengah suasana angin kencang terus

menerpa, Pak Suminto dengan duduk santai menjelaskan beberapa permasalahan yang ada di TPA. Nampaknya, sudah banyak orang seperti kami yang beliau temui dengan tujuan yang sama. Terlihat dari kepiawaian dalam penyampaiannya yang menyenangkan. Selanjutnya bapak berbadan tinggi itu melanjutkan ceritanya tentang tidak maksimalnya pengolahan sampah di TPA Mrican. “Pengolahan sampah organik dan anorganik disini itu tidak maksimal, masih sulit. Karena dari asalnya sudah tercampur. Tapi kalau dampak pencemaran air, sepertinya tidak mbak. Soalnya sumber airnya kan kurang lebih lima puluh meter di bawah tanah. Paling ya polusi udara ini, udaranya jadi bau sama mencemari tanah pastinya,” ungkap Pak Suminto. Pa k S umi nto j uga memberi keterangan terkait kabar perluasan lahan. Beliau menerangkan bahwa sulit terjadi kesepakatan lantaran harga dari pemerintah tak sesuai dengan keinginan masyarakat pemilik lahan. Beliau juga menambahkan sebenarnya lahannya juga sudah diperluas, namun bukan membeli dari masyarakat melainkan lahan milik TPA itu sendiri. Selain itu, menurut beliau sebenarnya kurang ideal kalau dilihat dari volume sampah yang masuk setiap harinya. Merasa sudah mendapatkan informasi yang cukup, kami bergegas undur diri. Menyusuri jalan yang tadi dilewati menuju tempat dimana motor terparkir. Buletin soeara pena edisi PJTD

7


Feature

Sesampainya di tempat parkir motor kami tak bergegas pulang. Layaknya orang kampungan, kami justru takjub melihat bego yang keluar dari area pembuangan sampah. Ukurannya benar-benar besar ketika dilihat dari dekat, sampai tanah disekitarnya bergerak seperti gempa. Hari berikutnya kami, memutuskan kembali ke TPA Mrican. Aku dan Titah, rekan berkacamataku, berboncengan memacu kembali motor menuju TPA. Mataku menatap seorang laki-laki berbaju kuning lusuh di bilik pengumpulan sampah. Sepasang kakiku membawa rasa penasaran ini untuk menghampiri orang tersebut. Kami pun memulai perbincangan dengan seorang pemulung yang ternyata berasal dari Desa Mangunsuman. Pak Marseni namanya, ia sangat ramah saat kami ajak bicara, padahal ia sedang sibuk memilih sampah. Beliau menuturkan bahwa memulung bukanlah mata pencaharian utama, melainkan hanya sambilan di sela-sela kesibukan bertani. Beliau tidak memiliki jadwal tetap untuk berangkat memulung sampah, akan tetapi biasanya beliau selesai memulung antara pukul 12.00-13.00 WIB. Tidak banyak hasil yang didapat Pak Merseni dalam memulung di TPA Mrican. Dalam seminggu ia bisa mengumpulkan sekitar 10 Kg sampah. Beliau juga mengungkapkan bahwa penghasilannya dalam sehari tidak menentu. Harga yang dipatok pengepul pun cukup rendah, hanya 600 rupiah perkilonya. Sehingga satu

8

Buletin soeara pena edisi PJTD

kali setor kepada pengepul, Pak Marseni hanya bisa mendapatkan uang sebesar Rp. 10.000-15.000. Setelah berbincang cukup lama, Pak Marseni nampak biasa saja dengan keadaan sampah tersebut. Tidak ada yang mengganggu kekhawatirannya selama mencari rezeki di TPA ini. “Sehat-sehat saja tidak ada kendala, bertahan, sudah biasa seperti ini. Lumayanlah penghasilan,� ujarnya tampak terbiasa dengan situasi ini. Seusai perbincangan singkat antara kami dengan Pak Marseni, kami memutuskan mengakhiri perjalanan di TPA Mrican. Matahari semakin menampakkan sinarnya. Sambil mengendarai motor, aku termenung dengan sesekali memandang awan. Ternyata terlepas dari sekelumit masalah dan kurang idealnya TPA Mrican saat ini, masih ada beberapa sisi positif bagi masyarakat sekitar. Khususnya bagi para pemulung yang bisa mengambil sampah-sampah tertentu untuk dijual kembali kepada pengepul. Hal ini tentunya dapat meningkatkan sektor ekonomi masyarakat sekitar meskipun hanya sedikit hasilnya. Perjalanan ini terasa melelahkan namun begitu berkesan hingga sulit dilupakan. Walaupun sampah sering disepelekan, namun ada nilai manfaat dibaliknya.


Cerpen

Fasilitas Sehari Oleh: Titah Gusti Prasasti

Sore yang cerah mengantarkan Ali untuk bersepada keliling desa. Angin sepoi-sepoi menyentuh lembut wajahnya. Tidak terasa, Ali sampai di pertigaan jalan dekat sebuah TPA terbesar di kabupatennya. Di ujung jalan itulah sahabat karibnya, Dzawin tinggal di rumah sederhana. “Wah sudah sampai sini, rasanya sayang kalau tidak mampir ke rumah Dzawin,” batinnya. Ali pun segera mengayuh sepedanya menuju pelataran rumah Dzawin. “Assalamualaikum, Win!” sapanya agak lantang di teras rumah Dzawin. “Waalaikumusalam,” jawab seseorang sambil membuka pintu, Dzawin muncul sambil tersenyum lebar. Sudah lama berteman, tentu saja Dzawin hafal sekali pemilik suara yang melontarkan salam. “Wah, Ali. Tumben jalan-jalan sampai sini,” ucapnya basa-basi sambil terus memamerkan senyum lebarmya. “Hehe. Boleh mampir gak, nih? Kalau enggak, aku pulang lho!” ancam Ali sambal pura-pura hendak menuntun sepedanya menuju ke jalan. “Boleh lho gitu aja marah, haha. Sini Li, Ayo ngopi,” ujar Dzawin Sekilas tidak terlihat ada hal aneh di pekarangan rumah Dzawin, akan tetapi ketika dilihat dengan seksama, ada pipa-pipa terpasang rapi yang mengarah ke dapur. “Pipa air? Tapi kok dipasang vertikal setinggi itu? Aneh.” Tanya Ali dalam hati. Buletin soeara pena edisi PJTD

9


Cerpen

Tak lama, Dzawin keluar membawa nampan berisi dua cangkir kopi panas, dengan kepulan asap, ditemani setoples biskuit super enak buatan ibunya. Agar tidak terus menerus larut dalam rasa penasaran, Ali pun menanyakan perihal pipa pada tuan rumah. “Win, pipa apa sih itu? Kok masangnya vertikal gitu? Kalau air, memangnya kuat naik?” tanya Ali penuh penasaran sambil menunjuk rangkaian pipa. Dzawin menatap pipa sekilas, lalu menjawab Ali. “Sadar aja sih Li ada yang baru di rumahku. Itu pipa gas dari TPA Li,” “Wah, biogas, ya? Lumayan dong, Win. Jadi hemat sekaligus ramah lingkungan, hehe.” sahut Ali penuh antusias. Setelah menyeruput kopi yang masih mengepul, Dzawin menghela napas panjang. “Yahhh kalau kenyataanya begitu sih bagus Li,” ujarnya. “Kenyataannya, gas dari TPA cuma nyala sekali waktu peresmian. Kayaknya cuma formalitas ketika pejabat kesini, deh. Haham,” lanjut Dzawin disertai tawa. “Memangnya sudah tidak berfungsi lagi, Win?” tanya Ali lagi, tambah penasaran. Dzawin tersenyum, teman semasa SMA-nya satu ini memang paling semangat kalau sudah penasaran. Cocok sekali dengan identitasnya sekarang sebagai anggota pers di kampus. “Minum dulu, Li. Kebiasaan kalau penasaran jadi super heboh,” kata Dzawin sambil menunjuk cangkir kopi milik Ali yang belum disentuh sama sekali. Ali terkekeh sambil mengangkat cangkirnya, lalu meminum isinya sedikit-sedikit dengan sesekali di tiup-tiup. Masih panas rupanya. “Soal biogas, udah lama nggak nyala. Habis acara kan, ya sudah, selesai. Ndak usah terlalu berharaplah, Li,” Ucapnya. Sekali lagi, diseruputnya kopi hitam. Ali menyimak dengan khidmat sambil menikmati biskuit buatan ibu Dzawin. “Ya, wong cilik mana tahu soal beginian. Dikasih bersyukur, kalau ditarik lagi, ya gimana Li. Gratisan sih, haha.” Lanjut Dzawin disusul gelak tawa mereka berdua. Ali berdecak heran, sekaligus merasa sedih. Ternyata, hari ini masih banyak pemberian fasilitas sekadar formalitas. Habis dokumentasi, proyek tidak dilanjutkan lagi. Yah, wong cilik bisa apa?

10

Buletin soeara pena edisi PJTD


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.