4 minute read

Kegagalan memantau pemilik manfaat

Foto udara menunjukkan pembukaan lahan dengan ekskavator untuk perkebunan di hutan primer di konsesi kelapa sawit PT Megakarya Jaya Raya di Kabupaten Boven Digoel. Sejak perusahaan ini mendapatkan izin lokasi pada tahun 2007, tidak ada transparansi tentang pemilik manfaatnya. 19 Des, 2017. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

523 Penggunaan nominee agreement untuk menyembunyikan pemilik manfaat sebenarnya dinyatakan batal demi hukum dalam Pasal 33 UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dapat diakses di https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39903/uu-no-25tahun-2007), namun hal tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dapat diakses di https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39965/uu-no-40-tahun-2007).

Profil registrasi badan hukum Indonesia tersedia untuk dibeli secara online. Meskipun dokumen tersebut menyebutkan nama pemegang saham perusahaan (pemilik sah), dari dokumen tersebut tidak selalu dapat diketahui siapa yang pada akhirnya mengendalikan perusahaan (pemilik manfaat atau beneficial ownership). Beberapa perusahaan dimiliki oleh perusahaan asing dalam yurisdiksi kerahasiaan yang tidak mensyaratkan pengungkapan informasi pemegang saham, sehingga tidak mungkin untuk mengidentifikasi pemilik manfaatnya. Dalam kasus lain, pemilik sah yang tercantum dalam profil adalah warga negara Indonesia, tetapi ada alasan untuk mencurigai bahwa adanya perjanjian pinjam nama (nominee arrangement), yang memiliki perjanjian kontrak dengan pemilik manfaat untuk bertindak sebagai pemilik perusahaan. Kontrak semacam itu dinyatakan batal demi hukum di bawah UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tetapi tidak ada sanksi yang dikenakan bagi perusahaan yang memilih untuk menggunakan nominee. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menetapkan informasi perusahaan apa yang harus dipublikasikan tidak mengatur pengaturan nominee, dan oleh karena itu tidak ada persyaratan tentang pengungkapannya.523

Kedua teknik untuk menyembunyikan pemilik manfaat perusahaan ini sangat umum di sektor perkebunan Indonesia. Investigasi sebelumnya oleh Greenpeace dan organisasi lain telah mengungkapkan bagaimana kedua teknik tersebut digunakan untuk menciptakan 'perusahaan bayangan' – di mana dapat ditemukan bukti yang menghubungkan mereka dengan grup bisnis terkenal. Banyak dari operator perkebunan terbesar di Indonesia menunjukkan hubungan yang kuat dengan perusahaan secara publik tidak mereka akui sebagai bagian dari grup mereka. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan bahwa mereka sebenarnya adalah pemilik manfaat sebenarnya.524 Penggunaan perusahaan semacam itu dapat menjadi cara bagi kelompok produsen tidak bermoral untuk menyiasati persyaratan keberlanjutan perusahaan konsumen minyak sawit, yang mensyaratkan penerapan standar yang sama oleh semua perusahaan yang tergabung dalam grup perusahaan asal mereka.

Beberapa perusahaan yang disebutkan dalam laporan ini diduga menyembunyikan pemilik manfaatnya, karena mereka menjalankan sistem perizinan dan/atau saat mengoperasikan perkebunan – lihat Studi Kasus 1, 3, 4 dan 8.

Menghindari persyaratan keberlanjutan bukan satu-satunya kekhawatiran yang ada dengan digunakannya perusahaan bayangan: penyembunyian pemilik manfaat dapat digunakan oleh perusahaan untuk menghindari pembayaran pajak, dan mempersulit mengikuti jejak uang juga dapat memfasilitasi pencucian uang.

Untuk memastikan kepatuhan terhadap rekomendasi dari Financial Action Task Force, 525 sebuah organisasi internasional dengan misi pemberantasan pencucian uang, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang mewajibkan semua perusahaan untuk mendaftarkan pemilik manfaatnya.526 Indonesia mengajukan keanggotaan Financial Action Task Force pada tahun 2017.527 Pada Juni 2019, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengeluarkan Permenkumham No.15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi yang mengatur rincian praktis dari skema tersebut, termasuk pengoperasian sistem pendaftaran Beneficial Ownership secara online, dan menetapkan hak publik untuk mengakses informasi ini.528 Ini akan menjadi langkah maju yang berguna untuk mengurangi potensi korupsi di sektor-sektor yang diketahui memiliki risiko korupsi tinggi, seperti sektor perkebunan. Hal ini akan menjelaskan sejauh mana sebenarnya kepentingan bisnis masing-masing grup perusahaan juga akan memperkuat pergerakan untuk rantai pasokan bebas deforestasi, dan memungkinkan penegakan nyata kebijakan pemerintah lainnya, seperti batas wilayah perkebunan yang dapat dikontrol oleh satu grup perusahaan.

524 Lihat Greenpeace (2018a,b) dan Chain Reaction Research (2018). 525 FATF (2012-2020) 526 Presiden Republik Indonesia (2018c) 527 Herbert Smith Freehills (2018) 528 Permenkumham No. 15 Tahun 2019 (Kementerian Hukum dan HAM (2019))

Meskipun inisiatif ini disambut baik, implementasinya diperkirakan masih lemah. Perusahaan memiliki waktu satu tahun setelah Perpres No. 13/2018 ditetapkan untuk memberikan informasi Beneficial Ownership. 529 Namun, setelah dua tahun pemerintah melaporkan bahwa hanya 8,3% perusahaan yang memberikan informasi yang dibutuhkan.530 Hal ini tidak mengherankan – meskipun baik Perpres No 13/2018 maupun Permenkumham No. 15/2019 menyebutkan bahwa sanksi dapat diterapkan kepada perusahaan yang tidak patuh, dan keduanya tidak menjelaskan secara spesifik apa yang seharusnya diterapkan.531 Sejauh ini belum ada tanda-tanda instansi pemerintah yang melakukan verifikasi data Beneficial Ownership sebagaimana tergambar secara sangat umum dalam Lampiran I Peraturan Menteri 2019. Jika tidak ada verifikasi yang lebih kuat dan mekanisme penegakan hukum, peraturan tersebut kemungkinan besar tidak akan efektif.

Salah satu faktor yang berpotensi membantu mendorong kepatuhan terhadap pengungkapan Beneficial Ownership adalah ketentuan dalam Perpres No. 13/2018 dan Permenkumham No. 15/2019 bahwa perusahaan harus mengajukan rincian Beneficial Ownership sebelum atau dalam waktu tujuh hari sejak memperoleh izin usaha. Namun, persyaratan ini tampaknya tidak akan berdampak banyak pada penerapan persyaratan pengungkapan pemilik manfaat secara keseluruhan kecuali jika dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur setiap jenis izin usaha, dan diberikan kedudukan hukum yang lebih kuat melalui undangundang yang disetujui oleh parlemen. Omnibus Law, dengan reformasi luas pada sistem perizinan, menawarkan kesempatan untuk melakukan hal ini, tetapi istilah 'pemilik manfaat' tidak muncul satu kali pun dalam undang-undang tersebut, sehingga semakin meragukan keseriusan Indonesia dalam menangani masalah ini.

529 Ie, sampai 5 Maret 2019. 530 Suparman F (2020) 531 Pasal 24 Perpres No. 13/2018 menyatakan bahwa perusahaan yang tidak patuh dengan persyaratan mendaftarkan penerima manfaat dapat diberi sanksi, tapi tidak dijelaskan apa sanksinya.