6 minute read

Rekomendasi

Sebagaimana bahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara klaim pemerintah dengan kenyataan yang terjadi di Tanah Papua, terutama dalam hal perbaikan tata kelola kehutanan (termasuk mencegah deforestasi dan pembukaan lahan gambut). Selain itu, belum ada perlindungan yang sungguh-sungguh terhadap hak masyarakat adat.

Salah satu faktor utama yang teridentifikasi adanya hubungan yang kuat dan konflik kepentingan antara aktor swasta dan pemerintah pada sektor sumber daya alam. Hal ini berpotensi menimbulkan distorsi di tataran pengambil kebijakan dan regulator, melemahkan penegakan hukum, dan menjadikan korupsi semakin mengakar. Situasi ini semakin menguntungkan elit dan oligarki dengan mengorbankan perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Agenda reformasi dan langkahlangkah progresif seperti kebijakan moratorium dan satu peta akan gagal.

Untuk keluar dari situasi tersebut di atas, perlu upaya sistematis menggunakan instrumen hukum dan kebijakan untuk mengontrol hubungan antara aktor politik, pengusaha, dan pejabat publik. Di samping itu, perlu aksi nyata dari pemerintah pusat hingga daerah untuk mencabut izin-izin bermasalah, termasuk memberlakukan sanksi yang tegas jika terbukti melanggar.

Pemerintah Indonesia

• Pemerintah Indonesia harus menerapkan dan memperkuat regulasi mengenai keterbukaan pemilik manfaat korporasi, dan memberikan sanksi bagi korporasi yang tidak patuh. Terutama bagi korporasi di sektor sumber daya alam. Selain itu, menjamin penyediaan akses publik untuk informasi ini.

Selain itu menerapkan larangan dan sanksi yang tegas kepada perusahaan dan pengendali jika menggunakan pemegang saham nominee.

• Pemerintah harus mempercepat implementasi kebijakan satu peta (one map policy), serta menjamin ketersediaan peta konsesi yang dapat diakses publik melalui platform online.

• Pemerintah harus menerapkan keterbukaan informasi seutuhnya sesuai mandat Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Di antaranya dengan membuka salinan dokumen izin dan dokumen pendukung lainnya, termasuk

AMDAL secara online, sehingga bisa diakses oleh publik.

• Pemerintah harus meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan yang mengatur proses perizinan. Serta melakukan harmonisasi regulasi/ kebijakan yang diterbitkan oleh kementerian sektoral, dan untuk urusan lintas kementerian diatur dalam aturan setingkat peraturan presiden atau di atasnya. Regulasi yang dibentuk harus memberi kewenangan pada pemerintah untuk melakukan evaluasi atau mencabut izin yang tidak aktif, tersangkut kasus korupsi, atau perubahan prioritas konservasi.

• Pemerintah harus menindak tegas perusahaan/orang yang teridentifikasi melakukan praktik makelar izin. Seperti mendirikan perusahaan dengan tujuan memperoleh izin untuk kemudian dijual kembali. Sebab praktik ini akan menghambat penerapan persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Padiatapa/FPIC). Untuk mencegah praktik ini salah satunya perlu ada transparansi proses perizinan dan informasi pemilik manfaat akhir korporasi.

• Pemerintah harus mencabut Undang-Undang Cipta Kerja serta turunannya yang melemahkan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan memperkuat persyaratan AMDAL.

• Pemerintah harus memastikan analisis dampak lingkungan menggunakan standar penelitian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengevaluasi setiap potensi dampak proyek. Pada tahapan ini juga wajib mengevaluasi dampak sosial secara utuh. Hasil analisis tersebut wajib ditinjau oleh mitra bestari (peer review). Dalam mengeluarkan keputusan untuk melanjutkan izin atau tidak harus benar-benar melihat aspek kelestarian keragaman hayati dan perlindungan lingkungan hidup. Khusus Tanah Papua, belum banyak penelitian yang mengungkap mengenai keragaman hayati dan biodiversitas, ketika pembangunan tetap dilakukan maka dampaknya tidak akan diketahui.

• Mempercepat pengakuan hak-hak masyarakat adat dengan memasukan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat.

• Pemerintah harus berhenti membuat rencana untuk perkebunan pangan secara top-down di Tanah Papua dan sebaliknya memberikan ruang bagi orang Papua untuk menyusun strategi yang memprioritaskan ketahanan pangan dan kesejahteraan ekonomi mereka sendiri – pendekatan yang tidak bertentangan dengan peningkatan produksi pangan untuk konsumsi yang lebih luas. Juga harus diakui bahwa karena sejarah panjang dan berkelanjutan akan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer di Tanah Papua dan trauma dan kebencian yang terus berlanjut sebagai akibatnya, tidak dapat diterima bagi militer untuk terlibat dalam produksi pangan atau kegiatan sipil lainnya.

• Pemerintah harus memastikan menerapkan semua mandat moratorium sawit dengan melakukan evaluasi berbasis capaian sebagai dasar untuk memperpanjang kebijakan terkait moratorium sawit. Selain itu memberikan arahan teknis kepada setiap kementerian atau lembaga negara. Salah satunya dengan menetapkan tenggat waktu dan sanksi yang tegas apabila melewati tenggat waktu setiap arahan dalam implementasi moratorium.

• Pemerintah segera melakukan pengakuan masyarakat adat dan penetapan wilayah adat sesuai dengan mandat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/

PUU-X/2012. Dan menangguhkan penerbitan izin baru di Tanah Papua hingga proses pengakuan dan penetapan wilayah adat tersebut selesai.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian

• Selaku koordinator evaluasi izin kelapa sawit yang diamanatkan oleh Instruksi

Presiden mengenai Moratorium Kelapa Sawit, Kementerian Koordinator

Bidang Perekonomian harus memastikan evaluasi dilakukan secara menyeluruh dan terukur.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

• Harus melakukan evaluasi terhadap izin hutan tanaman industri PT Merauke

Rayon Jaya, dan mencabut izin perusahaan tersebut jika terbukti melanggar dan mengakomodir masukan dari masyarakat adat.

• Memeriksa pemanfaatan hasil hutan kayu yang berasal dari lokasi izin perkebunan sawit, dan mencabut izin usaha industri hasil hutan kayu PT Tulen

Jayamas Timber Industries karena tidak adanya AMDAL dan izin lingkungan yang diwajibkan secara hukum.

• Memulai penataan zonasi kawasan hutan secara menyeluruh dengan tujuan memastikan perlindungan hukum yang lebih kuat untuk hutan primer, lahan gambut dan area ekologis penting lainnya dibandingkan yang saat ini disediakan oleh Moratorium Hutan. Semua kawasan hutan primer dan lahan gambut yang tersisa harus diklasifikasikan kembali sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi, dan oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk eksploitasi komersial. Sejalan dengan upaya yang dilakukan oleh industri kelapa sawit dan industri lainnya menuju tujuan nol deforestasi, zonasi baru ini juga harus bertujuan untuk memastikan hutan sekunder alami dan kawasan kaya spesies lainnya (seperti sabana dan lahan basah di bagian selatan Provinsi Papua) juga tidak boleh dikonversi menjadi pertanian komersial atau kehutanan industri.

• Melakukan revisi menyeluruh peta moratorium hutan, dengan memasukkan kembali kawasan hutan yang telah dikeluarkan dari peta moratorium hutan, kecuali dapat dibuktikan pada kawasan itu tidak ditemukan gambut atau hutan primer.

• Mengevaluasi dan menginventarisasi pelepasan kawasan hutan yang masih memiliki tutupan hutan untuk dikembalikan statusnya sebagai kawasan hutan atau kawasan konservasi.

Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

• Penerbitan hak guna usaha (HGU) hanya dilakukan bagi perusahaan yang telah memperoleh izin dari masyarakat adat/pemilik tanah adat, yang diperoleh dengan mengikuti proses padiatapa secara lengkap dan telah diuji kebenarannya oleh BPN dan pihak independen lainnya;

• Mencabut izin dan HGU yang teridentifikasi bermasalah dan mengalokasikan sebagai wilayah masyarakat adat.

• Mematuhi putusan Mahkamah Agung RI tentang keterbukaan informasi publik yang menyatakan HGU dapat diakses oleh publik.

Pemerintah Provinsi Papua

• Memperkuat perlindungan kawasan dengan nilai konservasi tinggi (HCV) dan stok karbon tinggi (HCS).

• Mempercepat proses pengakuan wilayah adat dan hutan adat di seluruh

Provinsi Papua.

• Mencabut izin lama, tidak aktif atau bermasalah, dan merekomendasikan pengembalian kawasan yang sebelumnya dialokasikan untuk perkebunan menjadi kawasan hutan dan/atau ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem

Esensial (KEE).

• Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan mengarusutamakan perlindungan ekologi Papua dan masyarakat adat Papua.

Bupati dan DPRD Kabupaten

• Melakukan pemetaan wilayah adat dan identifikasi potensi ekonomi masyarakat adat secara partisipatif di kabupaten masing-masing dan mengusulkan/melakukan penetapan wilayah adat;

• Menerbitkan Peraturan Daerah pengakuan masyarakat hukum adat sesuai mandat Putusan MK No. 35 Tahun 2012, dan aturan turunan UU Otonomi

Khusus;

• Membentuk regulasi daerah mengenai pedoman Padiatapa;

• Melakukan pendampingan bagi masyarakat adat untuk pengembangan ekonomi lokal.

Donor dan mitra internasional

• Donor dan mitra internasional harus menerapkan kriteria yang ketat dan jelas dengan menempatkan kebijakan pada kerangka hukum yang koheren untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan hutan di indonesia harus dijalankan dengan efektif untuk mencapai tata kelola hutan yang baik dan menurunkan deforestasi untuk mencegah krisis iklim kedapan.