SKMA Edisi September-Oktober 2016

Page 1

Media edia Aesculapius PERANGKO BERLANGGANAN KP JAKARTA PUSAT 10000 NO. 3/PRKB/JKP/DIVRE IV/2014

Surat Surat Kabar Kabar

Kedokteran Kedokteran dan dan Kesehatan Kesehatan Nasional Nasional Terbit Sejak 1970

Harga Harga Rp3.000,00 Rp3.000,00

No. 04 06 l XLVII XLVI l lJuli-Agustus September-Oktober 2014 2016

ISSN ISSNNo. No.0216-4966 0216-4966

Kontak Kami

ma info

info obat

advertorial

Diagnosis dan Tata Laksana Bagi Penderita Hipotiroid Subklinis   halaman 2

Brivarasetam, Tata Laksana Terbaru untuk Epilepsi halaman 4

Operasi Bariatrik: Masih Ada Harapan untuk Obesitas

halaman 5

@MedAesculapius @mediaaesculapius beranisehat.com

Sudah Sejahterakah Residen Indonesia? Status residen sebagai peserta didik menimbulkan pro dan kontra mengenai adanya pemberian insentif selama masa pendidikan di rumah sakit.

M

eskipun masih tergolong sebagai mahasiswa, residen telah memiliki kapasitas sebagai seorang dokter. Kehadirannya di rumah sakit bukan hanya sebagai peserta didik yang pasif menerima ilmu, melainkan juga sebagai pemberi layanan kesehatan. Oleh karena itu, sejatinya residen juga memiliki hak terhadap rumah sakit untuk diperhatikan kesejahteraannya. Mengenai hak tersebut, Indonesia telah mengaturnya dalam Undang-Undang RI No. 20 tentang Pendidikan Kedokteran. Dalam pasal 31 ayat 1 secara jelas disebutkan bahwa setiap mahasiswa memiliki hak untuk memperoleh insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran lainnya. Hal ini berlaku untuk mahasiswa program dokter layanan primer serta dokter dan dokter gigi spesialissubspesialis. Selain itu, juga disebutkan bahwa setiap mahasiswa tersebut berhak atas waktu istirahat. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah RI No. 93 Tahun 2015, pasal 31 ayat 1 UU RI No. 20 bukan satu-satunya yang mewajibkan RS pendidikan untuk memperhatikan kesejahteraan residennya, terutama melalui pemberian insentif. Hal ini yang mendorong Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo (RSCM) untuk mulai memberikan insentif kepada residennya. “Mulai semester ini pemberian insentif residen kami berlakukan. Tujuannya adalah menjalankan amanah undang-undang, terutama PP No. 93 Tahun 2015” ujar Dr. dr. C. H. Soejono, SpPD, K-Ger, MEpid, FACP, FINASIM, selaku Direktur Utama RSCM. Atas dasar kepedulian terhadap kesejahteraan residen, pihak manajemen RSCM juga menghimbau setiap departemen untuk memperhatikan kebutuhan istirahat residennya. Hal ini dinilai penting sebab

berhubungan langsung dengan keselamatan pasien. Namun, dalam pengaturannya secara rinci, Soejono membebaskan masingmasing program studinya. Antara Beban Kerja dan Kesejahteraan Residen Residen memiliki waktu pribadi yang terbilang sedikit akibat jam kerja dan tuntutan akademis yang tinggi. Padahal, selayaknya manusia, ada kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi. Ditambah lagi dengan biaya pendidikan yang tidak terbilang murah, tidak sedikit residen yang memutuskan untuk mencari sumber penghasilan tambahan. Melakukan praktik di rumah sakit lain dengan terpaksa dilakoni, meski harus menyita waktu istirahat di akhir pekan atau setelah pulang dari RS pendidikan. “Hal ini terasa sulit, terutama di tahun pertama karena kegiatannya padat dan kami harus follow up bangsal,” ujar dr. Reza selaku residen sebuah departemen di FKUI-RSCM. Selain itu, di tahun pertama, satu orang residen dapat memiliki kewajiban jaga malam

sebanyak 9-11 kali per bulan ditambah kewajiban kerja standar RSCM pukul 07.3015.30 WIB. Sejak semester ini, residen tahun pertama di departemen tersebut mendapatkan insentif sekitar Rp1.500.000,00 per bulan. Insentif akan bertambah sesuai dengan tingkatan residen, yaitu Rp2.500.000,00 untuk tingkat dua, Rp3.500.000,00 untuk tingkat tiga, dan seterusnya. Nominal insentif yang diberikan juga bergantung pada absensi, kelengkapan dalam menuliskan status pasien, dan ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas.

“Dalam hal ini, kami merasa adil sebab performa kerja kami juga turut dinilai. Jika kinerjanya bagus, insentifnya akan diberikan secara gabriella/MA utuh,” tutur Reza. Pemberian insentif dengan nominal tersebut, meski tidak tergolong banyak, menurut Reza cukup membantu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Daripada tidak diberikan sama sekali, seperti ini lebih baik. Setidaknya bisa memenuhi kebutuhan

Teropong Nasib Residen di Negara Lain

I

nsentif finansial menjadi salah satu motivasi penting bagi tenaga kesehatan, termasuk dokter yang sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Sebelum dikeluarkannya UndangUndang RI No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dokter residen harus mencari cara agar dapat membiayai pendidikan spesialis sekaligus menghidupi keluarga di tengah padatnya waktu belajar dan bekerja di RS Pendidikan. Berbeda dengan Indonesia, dokter residen di negara-negara lain menerima insentif dari pemerintah. Rata-rata upah yang diterima oleh residen di Amerika Serikat tahun 2016 adalah $56,500 atau sekitar 740 juta rupiah. Dokter residen di India menerima Rs55.000

(sekitar 10 juta rupiah) per bulannya. Di Malaysia, dokter yang baru mengikuti program magang menerima 4100 RM per bulan atau sekitar 15 juta rupiah. Jumlah tersebut bertambah seiring dengan semakin tinggi tingkatan residensinya. Di lain pihak, dokter di Papua Nugini, Vietnam, Kamboja, Vietnam, dan Thailand mengalami ketidakpuasan kerja, bahkan beberapa diantaranya sampai bermigrasi karena rendahnya upah yang diberikan. Meskipun demikian, negara-negara tersebut berusaha mengompensasinya dengan memberikan keuntungan dan kemudahankemudahan bagi tenaga kesehatannya. Di Thailand, sebagai contohnya, dokter yang bekerja di daerah terpencil akan

mendapatkan beberapa keuntungan, seperti peningkatan upah hingga tiga kali dari upah yang biasa didapatkan. Berbanding jauh dengan keadaan yang ada di Indonesia, pemberian insentif bagi residen baru mulai diberlakukan, walaupun belum seluruh rumah sakit pendidikan. Besar harapan semua kalangan agar Indonesia mengejar sistem yang telah berjalan di beberapa negara tetangga. “Dengan pemberian insentif ini, diharapkan timbul jiwa profesionalisme dari para dokter muda dan mendorong mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam proses pendidikannya,” ujar dr. Setyo Widi Nugroho, SpBS. farah, abdi, levina

makan dalam sebulan.” ucapnya. Selain itu pemberian insentif ini tentu dapat meringankan sebagian beban residen yang telah berkeluarga. Untuk selanjutnya, Reza berharap besaran insentif dapat ditingkatkan lagi. Selain itu, ia juga berharap ada pihak yang berkenan membuat aturan baku mengenai waktu batas jam kerja residen setiap pekannya, baik dari pihak pemerintah maupun RS pendidikan. Hal ini, tentunya secara tidak langsung memengaruhi waktu istirahat residen. “Waktu istirahat residen belum ada yang mengatur sehingga berbedabeda di setiap departemen. Sebaiknya hal ini ditentukan dengan jelas, sebab memengaruhi kinerja kami dan keselamatan pasien” ujar Reza. Tantangan dan Harapan Pemberian Insentif Residen Aturan mengenai pemberian insentif kepada residen nantinya juga tercantum dalam Standar Nasional Pendidikan Kedokteran (SNPK) yang sedang dirancang oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) RI. “Residen sebagai komponen yang memberikan pelayanan kepada pasien memang sudah sepantasnya mendapatkan insentif. Pemberian insentif kepada residen sudah menjadi standar yang baku di seluruh dunia. Semua residen di dunia bukannya membayar, tapi dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan,” tutur dr. Setyo Widi Nugroho, Sp.BS, selaku anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) bidang Kesejahteraan Dokter, Advokasi, dan Monev Terapan JKN untuk Masyarakat... bersambung ke halaman 7

Pojok MA “Semua residen di dunia dibayar bukannya membayar, dibayar atas pekerjaan yang mereka lakukan” – Setyo Widi Nugroho Kalau tidak dibayar cocoknya jadi superman, bukan residen


22

JULI-AGUSTUS 2016

DARI KAMI Salam sejahtera bagi kita semua, Tidak lama ini banyak beredar kabar mengenai nasib kesejahteraan residen yang sejatinya adalah seorang dokter dalam pelayanannya di rumah sakit. Bekerja siang dan malam demi menuntut ilmu dan mencapai hasil pelayanan maksimal setiap harinya secara profesional dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini tentu perlu diberikan insentif. Akan tetapi, realita di lapangan berbicara lain. Tanggapan serta argumen mengenai hal ini dari berbagai pihak, yaitu Direktur Utama RSCM, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan dari residen sendiri diangkat menjadi topik utama pada edisi kali ini. Selain itu, semakin tingginya angka penyakit jantung bawaan menimbukan kekhawatiran tersendiri. Deteksi dini penyakit tersebut ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap prognosis ke depannya. Keterlambatan dalam diagnosis utamanya pada bayi baru lahir yang dinilai normal atau proses adaptasi, padahal telah mengalami penyakit jantung bawaan. Simak pemaparan secara komprehensif dari Dr. dr. Najib Advani, SpA(K), M.Med (Paed) pada rubrik MA Klinik. Ilmu kedokteran senantiasa berkembang menyesuaikan dengan kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran, salah satunya dalam tata laksana epilepsi. Brivarasetam sebagai analog levetirasetam, diharapkan mampu menyempurnakan penatalaksanaan epilepsi. Informasi mengenai brivarasetam dikemas telah lengkap dalam rubrik Info Obat. Menjadi seorang dokter tentu penuh dengan segala aspek kemanusiaan dalam merawat pasien. Dr. Temmy Sunyoto, MPH, salah satu anggota Medicines Sans Fronteries (MSF) yang bergerak dalam layanan kemanusiaan tanpa pandang bulu. Kisah inspiratif pada rubrik Suka Duka ini akan menggugah selera baca Anda. Kata siapa menjadi dokter tidak dapat menjalankan lagi hobi yang telah dijalani karena kesibukan di tempat praktik? Kisah berikut datang dari dokter yang sekaligus petenis. Berbagi kebersamaan, celoteh bersama rekan yang menginspirasi kita semua dalam rubrik Senggang. Akhir kata, kami mengucapkan selamat membaca edisi September-Oktober 2016 ini dan semoga bermanfaat! Ferry Liwang Pemimpin Redaksi

MA FOKUS

S

Residen Seperti Bukan Manusia

ulit dibayangkan ada profesi yang bekerja pagi hingga sore hari, bahkan terkadang dilanjutkan dengan jaga malam beberapa kali dalam seminggu. Istilah rumah sakit sepertinya lebih cocok dengan rumah kedua atau bahkan telah menggantikan rumah sesungguhnya bagi mereka. Menuntut ilmu selama beberapa tahun, berusaha memberikan pelayanan kesehatan terbaik, harus senantiasa bersikap profesional dan empati kepada semua pasien dan keluarga pasien walaupun belum sempat beristirahat. Akan tetapi, belum semua profesi tersebut mendapatkan kesejahteraan insentif yang sesuai dengan tanggung jawab mereka. Residen, itu sebutan bagi dokter yang mengabdikan hidupnya untuk memperdalam ilmunya terhadap spesialisasi tertentu. Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran Pasal 31 ayat 1 secara jelas tertulis setiap mahasiswa memiliki hak untuk memperoleh insentif di rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran lainnya. Namun, kenyataannya berbeda. Masih banyak institusi yang belum menjalankan amanah kesejahteraan tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika pada beberapa tahun yang lalu masih terdengar kabar residen yang berusaha membuka praktik di tempat lain pada malam hari setelah pulang dari institusi tempatnya menuntut ilmu demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian, masalah kesejahteraan residen ini perlu perhatian khusus karena menyangkut kinerja dan prestasi dari rumah sakit itu sendiri. Permasalahan menjadi kompleks apabila dihubungkan dengan perbandingan jumlah residen yang diterima dengan anggaran yang tersedia dari pihak rumah sakit. Di satu sisi, pihak rumah sakit membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang jumlah relatif banyak, tetapi di pihak lain anggaran belum sempat disisihkan untuk insentif tersebut. Terkait anggaran rumah sakit tentu tidak terlepas dari sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Banyaknya ketertundaan pembayaran kepada pihak rumah sakit, minimnya biaya yang dibayarkan, serta meningkat tajamnya jumlah pasien yang menggunakan JKN menjadi masalah tersendiri.

KLINIK

MEDIA

AESCULAPIUS

MA INFO

Diagnosis dan Tata Laksana Bagi Penderita Hipertiroid Subklinis Hipertiroid subklinis terkadang dinilai sulit dalam diagnosis, tata laksana karena sesuai etiologinya.

H

ipertiroid subklinis adalah keadaan saat serum thyroid stimulatin hormone (TSH) mengalami penurunan dengan kadar triiodothyronine (T3) dan thyroxine (T4) tetap berada pada batas normal. Hipertiroid dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya Penyakit Graves (PG), Toxic adenoma (TA), toxic multinodular goitre., hormone replacement therapy, endogeneous subclinical hyperthyroidism atau akibat penggunaan beberapa obat. Menurut tingkat keparahannya, hipertiroid subklinis dapat dibagi menjadi dua. Pada derajat 1, kadar serum TSH berada dalam rentang 0.1 – 0.39 mU/l, sedangkan derajat 2 ditandai dengan kadar serum TSH yang sangat rendah, yaitu dibawah 0.1 mIU/l. Menurut European Thyroid Association (ETA), langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menerapkan tata laksana pada pasien hipertiroid subklinis terdiri atas tiga tahap, yaitu diagnosis hipertiroid subklinis (SHyper), mencari etiologi dari SHyper, serta melihat risiko dan komplikasi dari SHyper yang kemudian dilanjutkan dengan penanganan yang sesuai. Tahap 1 perlu dilakukan sesegera mungkin, sedangkan tahap 2 dilaksanakan atas dasar preferensi pasien sebab pertimbangan keuntungan dan risiko belum diketahui bagus/MA secara pasti. Dalam menegakkan diagnosa SHyper, diketahui serum T4 dan T3 bebas masih terdeteksi normal atau diujung batas normal. Hasil tersebut dapat membedakan diagnosis SHyper dengan overt hyperthyroidism. Pada overt hyperthyroidism, konsentrasi serum T3 dan T4 jauh lebih tinggi karena kerja kelenjar tiroid berlangsung berlebihan dalam memproduksi T3. Pemeriksaan kerja kelenjar tiroid yang akurat sangat penting dalam diagnosis SHyper. Perlu dibedakan antara penurunan kadar TSH yang disebabkan oleh penggunaan obat (glukokortikoid, dopamin, analog somatostatin), kehamilan, penyakit non-tiroid seperti euthyroid sick syndrome, atau penyakit yang menyerang hipotalamus dan hipofisis. Langkah kedua adalah mencari etiologi dari

MEDIA AESCULAPIUS

SHyper yang dapat dilakukan dengan menggunakan scintigraphy dan uji ambilan iodin radioaktif dalam 24 jam guna membedakan SHyper yang disebabkan oleh konsumsi iodin dengan Shyper akibat faktor lainnya. Pada SHyper yang disebabkan oleh nodular goiter, dapat dilakukan ultrasonografi. Sementara itu, SHyper yang dipicu oleh penyakit autoimun dapat dilakukan pengukuran kadar reseptor antibodi TSH. Setelah mengetahui etiologi dari hipertiroid subklinis, dokter menentukan langkah penanganan yang sesuai. Untuk memastikan penanganan yang sesuai untuk setiap kasus SHyper, perlu dilihat sisi penyakit (derajat keparahan, status penyakit) dan juga sisi pasien itu sendiri. SHyper yang disebabkan oleh penyakit penyerta (misalnya PG) harus mendapat penanganan secara medis terlebih dahulu agar titik permasalahannya teratasi. Untuk itu, follow-up fungsi tiroid dalam tiga bulan sekali disarankan bagi penderita muda SHyper akibat PG. Akan tetapi, dalam beberapa kasus tertentu, pasien dapat sembuh tanpa menerima obat apapun. Untuk tingkat keparahan nya, menurut American Journal of Clinical Endocrinologist, derajat 1 SHyper lebih disarankan untuk dilakukan monitoring secara khusus. Penanganan medis berupa penggunaan obat anti-tiroid (carbimazole atau methimazole) lebih dianjurkan bagi penderita SHyper derajat 2 atau pasien hipertiroid subklinis yang berusia 65 tahun keatas. Sementara itu, penanganan bedah lebih diutamakan bagi pasien yang memiliki keganasan dan tidak disarankan untuk pasien yang tidak menunjukkan manifestasi (asimptomatik). RAI (radioactive iodine) dapat diberikan pada semua jenis pasien, kecuali pasien yang asimptomatik. RAI merupakan penanganan yang paling dianjurkan untuk penyakit jantung akibat hipertiroid. RAI dan bedah dianjurkan apabila penanganan obat untuk PG gagal dilakukan. Untuk pengobatan simptomatik, dapat digunakan beta-blocker yang dapat memperbaiki fungsi tiroid dan mengurangi efek dari hipertiroid pada jantung. camilla

Pelindung: Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis M. Met. (Rektor UI), Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) (Dekan FKUI) Penasihat: Dr. Arman Nefi, S.H., M.M. (Direktur Kemahasiswaan UI), dr. Akhmadu Muradi, Sp.B(K)V, Ph.D (Koordinator Kemahasiswaan FKUI) Staf Ahli: Seluruh Kepala Bagian FKUI/RSUPNCM, Prof. Dr. Ma’rifin Husein (CHS), dr. Muki Reksoprodjo, dr. Boen Setiawan, dr. Sudarso, dr. E. Oswari, DPH, Prof. Dr. Arjatmo Tjokronegoro, PhD, dr. Hapsara, DPH (Kemenkes RI), dr. Fahmi Alatas, Prof. dr. Marwali Harahap, SpKK, Prof. Dr. Umar Fahmi Achmadi, MPH Pembantu Khusus: Seluruh Alumni Aesculapius dan Media Aesculapius

Pemimpin Umum: Hardya Gustada. PSDM: Vanya Utami Tedhy, Indah Lestari, Sukma Susilawati, Zharifah Fauziyyah, Fatira Ratri Audita, Hiradipta Ardining. Pemimpin Produksi: Anyta Pinasthika. Wakil Pemimpin Produksi: Meutia Naflah Gozali. Tata Letak dan Cetak: Gabriella Juli Lonardy. Ilustrasi dan Fotografi: Herlien Widjaja. Staf Produksi: Edo Rezaprasga, Annisaa Yuneva, Arief Dimas Dwiputro, Eiko Bulan Matiur, Rosyid Mawardi, Selvi Nafisa Shahab, Andrew John, Aditya Indra, Nobian Andre, Vanya Utami Tedhy, Zharifah Fauziyyah, Dhiya Farah, Kartika Laksmi, Robby Hertanto, Dinarda Ulf Nadobudskaya, Fatira Ratri Audita, Dinda Nisapratama, Skolastika Mitzy, Bagus Radityo Amien, Dewi Anggreni Kusumoningrum, Arlinda Eraria Hemasari. Pemimpin Redaksi: Ferry Liwang. Wakil Pemimpin Redaksi: Puspalydia Pangestu. Redaktur Desk Headline: Rifka Fadhilah. Redaktur Desk Klinik: Irma Annisa. Redaktur Desk Ilmiah Populer: Hiradipta Ardining. Redaktur Desk Opini & Humaniora: Tommy Toar. Redaktur Desk Liputan: Shierly Novitawati. Reporter Senior: Amajida Fadia Ratnasari, Paulina Livia Tandijono, Nabila Aljufri, Herdanti Rahma Putri, Patria Wardana Yuswar, Berli Kusuma, Fidinny Hamid, Rusfanisa, Yasmina Zahra Syadza, Nadia Zahratus Sholihat, Andy William, Sukma Susilawati, Edwin Wijaya, Elva Kumalasari, Jihaan Hafirain, Jimmy Oi Santoso, Raditya Dewangga. Reporter Junior: Camilla Sophi, Phebe Anggita Gultom, Teuku Abdi Zil Ikram, Farah Vidiast, Veronika Renny, Clara Gunawan, Levina Putri, Salma Suka Kyana Nareswari. Pemimpin Direksi: Tania Graciana. Finansial, Sirkulasi, dan Promosi: Wilton Wylie Iskandar, Diadra Annisa Setio Utami, Dwitya Wilasarti, Indra Wicaksono, Fahmi Kurniawan, Nurul Istianah, Laksmi Bestari, Faya Nuralda Sitompul, Jevi Septyani Latief, Heriyanto Khiputra, Catharina Nenobais, Dyah Ayu, Novitasari Suryaning Jati, Rahma Maulidina Sari, Aisyah Aminy Maulidina, Felix Kurniawan, Elizabeth Melina, Koe Stella Asadinia, Al Syarif Hidayatullah, Tiara Grevillea. Buku: Indah Lestari, Fildzah Hilyati, Elvina J. Yunasan, Apri Haryono Hafid, Fadhli Waznan, Tiroy Junita, Husain Muhammad Fajar Surasno, Nadira Prajnasari Sanjaya, Roberto Bagaskara Indy Alamat : Media Aesculapius BEM IKM FKUI. Gedung C lantai 4, Rumpun Ilmu Kesehatan, Kampus UI Depok. E-mail: medaesculapius@gmail.com, Rek. 157-00-04895661 Bank Mandiri Cabang UI Depok, website: beranisehat.com Alamat Redaksi/Sirkulasi : Media Aesculapius PO BOX 4201, Jakarta 10042, Harga Langganan: Rp 18.000,00 per enam edisi gratis satu edisi (untuk seluruh wilayah Indonesia, ditambah biaya kirim Rp. 5.000,00 untuk luar Jawa), fotokopi bukti pembayaran wesel pos atau fotokopi bukti transfer via Bank Mandiri dapat dikirim ke alamat sirkulasi. MA menerima kiriman naskah dari pembaca untuk rubrik MA Klinik (khusus untuk dokter dan staf pengajar), Asuhan Keperawatan (khusus untuk perawat dan mahasiswa keperawatan) Sepuki, Suma, Suduk, Kolum, Arbeb, Kesmas, Seremonia, dan Konsultasi (berupa pertanyaan). Kirimkan email permohonan penulisan ke medaesculapius@gmail.com dan kami akan mengirimkan spesifikasi rubrik yang Anda minati.

Kirimkan kritik dan saran Anda:

redaksima@yahoo.co.id

Website Media Aesculapius

beranisehat.com

Dapatkan info terbaru kami: @SKMAesculapius


MEDIA

KLINIK

AESCULAPIUS

JULI

JULI-AGUSTUS 2016

3

MA KLINIK

Temukan Secara Dini Penyakit Bawaan: Jantung Sehat, Anak Kuat Penyakit jantung merupakan momok bagi masyarakat saat ini. Menderita penyakit itu dirasa bagai bersentuhan dengan maut. Bayangkan bila vonis tersebut diberikan pada bayi yang tak berdosa.

P

enyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit atau kelainan jantung yang sudah ada sejak lahir. Penyakit tersebut berbeda dengan penyakit jantung didapat yang manifestasinya baru timbul lama setelah lahir, bahkan biasanya terjadi saat pasien menginjak usia dewasa. Angka kejadian PJB di seluruh dunia berkisar 0,81% dari kelahiran hidup. Diagnosis dini dan penanganan segera terutama beberapa saat setelah kelahiran pada PJB yang berat atau kritis perlu dilakukan untuk mengurangi morbiditas maupun mortalitas sehingga memperbaiki prognosis. PJB dibagi atas dua kelompok besar, yaitu PJB sianotik dan nonsianotik. Gejala PJB sianotik dan nonsianotik sama sekali tidak bersinggungan, namun secara umum PJB sianotik lebih berat daripada nonsianotik. Ada dua jenis PJB nonsianotik, yaitu lesi dengan pirau kiri ke kanan dan lesi obstruktif. Pada lesi dengan pirau terjadi aliran darah dari kiri ke kanan, misalnya duktus arteriosus persisten, defek septum atrium, defek septum ventrikel, defek septum atrioventrikular, dan anomali aliran vena pulmonalis. Sementara itu, pada lesi obstruktif dapat ditemukan penyempitan, contohnya stenosis katup pulmonal, stenosis katup aorta, serta koarktasio aorta. Pada PJB sianotik terjadi pirau kanan ke kiri sehingga timbul gejala sianosis. Contoh PJB sianotik antara lain tetralogi Fallot (PJB sianotik tersering), atresia trikuspid, atresia pulmonal, transposisi arteri besar, dan trunkus arteriosus.

Secara umum, gejala PJB pada neonatus bervariasi, mulai dari tanpa gejala hingga gejala berat, termasuk gagal jantung. Pada pemeriksaan fisik, bising jantung tidak selalu dijumpai. Mengingat pentingnya diagnosis dini PJB kritis, maka dokter harus dapat mendiagnosis atau setidaknya mencurigai kemungkinan adanya PJB kritis tersebut segera setelah lahir. Pada PJB nonkritis seperti defek septum ventrikel yang kecil, sedikit keterlambatan diagnosis mungkin tidak akan banyak memengaruhi kondisi bayi. Perlu dilakukan penapisan berdasarkan trias gejala untuk mengeksklusi PJB kritis pada neonatus, yaitu sianosis, penurunan perfusi sistemik, dan takipnea. meutia/MA

Sianosis Umumnya, sianosis tidak tampak segera setelah lahir. Riwayat kelahiran pun bisa saja menunjukkan hasil baik dengan skor Apgar dalam rentang normal. Sianosis dapat terlihat secara kasat mata atau melalui alat pulse oximetry. Sekitar 20% neonatus dengan PJB kritis baru terdiagnosis setelah dipulangkan karena

gejala sianosis mungkin belum tampak. Hal ini dapat membawa konsekuensi yang fatal. Oleh karena itu, skrining saturasi dengan pulse oximetry sekarang secara rutin sangat dianjurkan walaupun neonatus tidak dicurigai menderita PJB. Metode tersebut murah dan mudah digunakan. Pengukuran dilakukan pada tangan dan kaki kanan saat usia 24 jam setelah kelahiran. Jika saturasi ≼95%, kondisi oksigenasi dalam batas normal (tidak perlu tindakan). Saturasi sebesar 90%-94% dikatakan meragukan sehingga perlu diulang setelah 12 jam. Sementara itu, saturasi <90% diartikan tidak normal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Sianosis tanpa distres pernapasan hampir selalu disebabkan oleh kelainan jantung karena penyakit paru yang menimbulkan sianosis biasanya akan memberi gejala distres pernapasan. Penurunan perfusi sistemik Perfusi sistemik yang inadekuat tidak khas untuk PJB, namun merupakan salah satu gejala tersering, baik pada PJB neonatus dengan lesi obstruktif, maupun gangguan miokardium akibat sepsis, anemia, polisitemia, atau asidosis metabolik. Gejala yang dilihat pada pasien dapat bervariasi, mulai dari nadi lemah, akral dingin, pucat, susah minum, hipotensi, dan asidosis metabolik.

Takipnea Takipnea hanya terjadi pada PJB dengan aliran darah ke paru yang meningkat (pirau kiri ke kanan). Takipnea ditentukan dari frekuensi serta pola pernapasan (distres pernapasan). Gejala ini tidak muncul langsung setelah lahir. Akan tetapi, jika takipnea terjadi segera setelah lahir tanpa sianosis dan tanda serta gejala penurunan perfusi sistemik, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kelainan paru. Setelah melakukan skrining dan didapat kecurigaan adanya PJB, perlu adanya konsultasi bersama dokter ahli jantung anak yang biasanya akan melakukan ekokardiografi. Pada kasus PJB nonkritis, rujukan ke pusat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi tidak harus segera dilakukan. Sebaliknya, apabila kondisi kritis, maka konsultasi maupun rujukan harus dilakukan secepat mungkin karena keterlambatan dapat mengarah pada konsekuensi yang fatal. veronika

Narasumber: Dr. dr. Najib Advani, Sp.A(K), M.Med (Paed)

Kirimkan pertanyaan Anda seputar medis ke redaksima@yahoo.co.id. Pertanyaan Anda akan dijawab oleh narasumber spesialis terpercaya.

TIPS DAN TRIK

Langkah Aman dan Nyaman Pemasangan Pipa Nasogastrik Walaupun tidak dapat menelan atau mengolah makanan secara oral, pasien tetap dapat mendapatkan asupan gizi yang adekuat melalui pipa nasogastrik

B

eberapa gangguan sistem pencernaan dapat menyebabkan pemberian nutrisi tidak dapat dilakukan secara normal (oral). Salah satu pilihan agar pasien tetap mendapatkan terapi nutrisi yang adekuat dengan menggunakan pipa nasogastrik (NGT). Akan tetapi, pemasangan pipa NGT berpotensi menjadi problem bagi tenaga kesehatan (nakes) karena ketidaknyamanan pasien. Sebelum dilakukan proses pemasangan, nakes perlu menyiapkan setiap alat yang dibutuhkan, seperti pipa NGT, air sebagai lubrikan, micropore untuk fiksasi, handuk, spuit, dan stetoskop. Selanjutnya, pasien diminta duduk tenang dengan kepala sedikit ditundukkan. Apabila pasien tidak sadar, posisikan pasien dalam keadaan supinasi. Pilihlah ukuran pipa NGT yang cocok dengan usia pasien. Untuk pasien dewasa, pipa yang dipakai berukuran 1618 French, sedangkan untuk anak berkisar 12 French. Ukuran pipa tidak boleh terlalu besar maupun terlalu kecil karena dapat menyulitkan saat proses pemasangan pipa. Pastikan selalu inform consent sebelum memulai prosedur untuk mendapatkan persetujuan pasien. Tidak hanya itu, proses ini penting untuk mengajak pasien bersikap kooperatif.

Pertama, letakkan handuk di bagian dada pasien. Kemudian, lakukan pemeriksaan lubang hidung pasien dan tentukan lubang hidung yang tidak terdapat oklusi sehingga pipa NGT dapat dipasang. Selanjutnya, melakukan pengukuran dimulai dari puncak hidung ke arah telinga menuju ke bawah di antara processus xyphoideus dan gaster. Setelah mendapatkan pengukuran yang tepat, pipa NGT dilubrikasi menggunakan air sepanjang kurang lebih 30 cm. Pemberian gel sebagai lubrikasi tidak disarankan karena dapat menyulitkan proses pemasukkan pipa NGT ke dalam saluran pencernaan. Ketika hendak memasukkan pipa, sebaiknya diberikan mitzy/MA aba-aba sehingga pasien tidak kaget. Saat pipa NGT sudah sampai di nasofaring, minta pasien untuk membantu menelan (dapat diberikan air putih dengan sedotan agar pasien dapat

minum) sehingga proses berjalan lebih cepat dan nyaman. Ketika sudah mencapai batas yang ditentukan, dengan menggunakan syringe yang terisi udara kira-kira 60 ml, uji apakah pipa NGT telah berada di tempat yang tepat melalui auskultasi pada atas umbilikus sambil memasukkan udara dengan cepat. Jika berada di tempat yang tepat, akan terdengar bunyi letupan. Fiksasi untuk pipa NGT dilakukan di sisi kiri atau kanan pipi pasien sehingga tidak menghalangi pandangan atau pernapasan. Apabila ketika proses pemasangan pasien mengalami gangguan pernapasan, mengalami perdarahan di daerah hidung, atau terjadi resistensi yang tinggi, maka proses pemasukkan pipa NGT harus segera dihentikan dan dilakukan tata laksana terhadap dampak yang ditimbulkan. Secara umum, prosedur pemasangan NGT mudah dilakukan apabila merujuk pada tata cara yang tepat dengan mengutamakan kenyamanan pasien. phebeanggita

PENAWARAN JASA Media Aesculapius selalu setia membantu Anda dalam hal jurnalistik dan sastra. Kami menyediakan jasa: 1.

Terjemahan Kami menyediakan jasa terjemahan Indonesia-Inggris/Inggris-Indonesia untuk jurnal dan textbook. Harga disesuaikan dengan materi dan waktu pengerjaan. Info lebih lanjut, hubungi: Koe Stella (081282411321)

2.

3.

Media partner

Ingin acara Anda terpublikasi secara luas? Kami menyediakan jasa media partner untuk acara Anda. Info lebih lanjut, hubungi: Aisyah Aminy M. (08111813801) Ingin punya KSK IVmu sendiri? Dapatkan KSK IV di toko buku kesayangan Anda! Harga KSK IV (2 jilid): Rp 240.000,00* *harga tergantung masing-masing toko buku

Info lebih lanjut, hubungi: TIroy Junita (081283671059)


42

Ilmiah Populer

JULI-AGUSTUS 2016

MEDIA

AESCULAPIUS

KESMAS

Indonesia dan FCTC: Mengapa Belum Ratifikasi? Indonesia termasuk satu dari delapan negara di dunia yang belum meratifikasi FCTC. Mengapa demikian?

S

udah menjadi rahasia umum bahwa rokok adalah penyebab utama berbagai penyakit mematikan. Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan satu dari sepuluh kematian disebabkan oleh rokok. Pada tahun 2013, data dari Tobacco Control Support Centre (TCSC) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) melaporkan 1.741.727 kematian akibat rokok. Indonesia menduduki peringkat pertama untuk negara dengan jumlah perokok terbanyak di ASEAN. Terlebih lagi, 41% remaja usia 13-15 tahun dilaporkan merokok pada tahun 2014 di Indonesia, yang sekali lagi, menjadikan Indonesia juaranya jumlah remaja perokok di ASEAN. Tidak kalah menyedihkan, 30% anak Indonesia dibawah 10 tahun sudah merokok pada tahun 2009. Dunia internasional telah mengupayakan berbagai cara menekan jumlah perokok. Pada tahun 2003, negara-negara anggota WHO menyetujui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Hingga awal tahun 2015, 187 negara telah menandatangani FCTC — meninggalkan Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia yang belum menyetujui FCTC. Dengan mantapnya hasil studi tentang bahaya rokok terhadap kesehatan, mengapa Indonesia tetap menolak menandatangani FCTC? Terdapat berbagai alasan atas penolakan FCTC tersebut. Pertama, pemerintah tidak menginginkan munculnya dampak negatif bagi perekonomian Indonesia dikarenakan pendapatan negara melalui cukai rokok dapat mencapai lebih dari 100 triliun rupiah per tahunnya. Dengan penandatanganan

bagus/MA

FCTC, hal ini dikhawatirkan akan mematikan industri rokok dan mengancam pekerjaan petani tembakau dan pekerja lainnya yang berkaitan dengan industri rokok. Kedua, perdagangan rokok ilegal di dunia yang mencapai 10% pada tahun 2012 menyebabkan kerugian sebesar 320 trilliun rupiah, yang dianggap merupakan dampak dari ratifikasi FCTC. Ketiga, pemerintah mengkhawatirkan adanya paksaan mengikuti kepentingan

asing, sebagaimana yang dikutip dari website resmi Kementerian Perindustrian bahwa pengambilan kebijakan internasional rentan dijadikan instrumen pengganti kolonialisme. Berdasarkan pasal 17 FCTC yang berbunyi “Negara penanda tangan perlu saling bekerja sama atau dengan organisasi nasional dan internasional yang kompeten, untuk mempromosikan alternatif ekonomi yang memungkinkan untuk

pekerja tembakau, dan jika diperlukan, individu penjual tembakau.� Pasal tersebut menjelaskan FCTC tidak melarang produksi rokok, tetapi mengendalikannya dan mendukung pembentukan alternatif untuk pekerja industri rokok, sehingga tidak perlu merugikan perekonomian negara. Bahkan, dengan penandatanganan FCTC, harga cukai rokok Indonesia yang meningkat selain dapat mencegah rokok dari jangkauan anak, juga dapat meningkatkan penerimaan negara. Kerugian negara untuk penanganan masalah kesehatan yang diakibatkan konsumsi rokok dapat ditekan. Dari segi kesehatan, tentu tidak dapat dipungkiri FCTC sangat diperlukan untuk mengerem pembunuh utama di Indonesia ini. Tentunya kesejahteraan masyarakat memiliki keterkaitan yang erat dengan derajat kesehatan sehingga menurunnya jumlah perokok dan berbagai penyakit mematikan dapat dicegah dan masyarakat hidup semakin sejahtera Pemerintah perlu membuat keputusan terbaik bagi rakyatnya, bukan untuk perusahaan tembakau atau kepentingan segelintir orang saja. Walaupun terdapat argumen kontra dari ratifikasi FCTC, pemerintah diberikan kesempatan untuk menjaga hak dan derajat kesehatan rakyatnya serta berkolaborasi dengan negara lain mengenai pengendalian industri tembakau. Sebaiknya pemerintah meninjau ulang tentang pentingya ratifikasi FCTC dan segera membuat keputusan yang tepat untuk kepentingan orang banyak. salmakyn

INFO OBAT

Brivarasetam, Tata Laksana Terbaru untuk Epilepsi Obat antiepilepsi terus berkembang selama beberapa dekade terakhir. Akan tetapi, berbagai efek samping yang muncul mengganggu kepatuhan minum obat penderita. Apakah kehadiran obat baru dapat memecahkan masalah ini?

E

pilepsi merupakan suatu kejang yang terjadi lebih dari satu kali yang mengganggu aktivitas normal otak. Kejang yang terjadi secara singkat menyebabkan gangguan kesadaran dan menyebabkan tremor tidak terkontrol serta mengganggu emosi penderita. Tipe kejang pada pasien epilepsi bermacam-macam dan penderita dapat mengalami satu atau lebih tipe kejang. Administrasi obat antiepilepsi diketahui mampu menghilangkan kejang pada 75% penderita. Akan tetapi, kepatuhan terhadap konsumsi obat menurun ketika efek samping muncul. Sebanyak

25% pasien cenderung menghentikan proses pengobatan sebelum dosis efektif obat tercapai. Tujuan obat antiepilepsi antara lain modulasi hipereksitabilitas pada neuron dan memberi efek pada sinaps vesikel protein 2A. Obat dengan nama generik levetirasetam merupakan salah satu obat yang dapat memenuhi target tersebut. Kemudian, berkembanglah brivarasetam pada awal tahun 2016, yang baru saja diumumkan oleh Food and Drug Administration (FDA). Brivarasetam merupakan obat tambahan terhadap tata laksana standar karena respon pasien terhadap pengobatan kejang berbedabeda. Dengan hadirnya brivarasetam, pasien memiliki pilihan terapi yang lain. Brivarasetam merupakan analog dari levetirasetam yang memiliki efek selektif terhadap sinaps vesikel protein 2A, suatu protein yang berperan dalam neurotransmisi melalui regulasi siklus vesikel sinaps normal dan pelepasan neurtransmiter. Berdasarkan studi oleh FDA, obat ini secara efektif menurunkan frekuensi kejang epilepsi ketika diadministrasikan bersama obat lain dan obat ini 10 sampai 30 kali lebih poten dibandingkan analog terdahulunya. Selain itu, dibandingkan dengan levetirasetam, A dewi/M obat ini secara

signifikan menekan kejang motorik dengan dosis yang jauh lebih sedikit. Terlebih lagi, brivarasetam lebih mudah menembus sawar darah otak sehingga waktu latensinya lebih pendek. Alhasil, efek yang ditimbulkan lebih cepat pada kondisi gawat darurat seperti status epileptikus. Obat yang cepat diabsorbsi melalui administrasi oral ini tersedia di dalam tiga bentuk, antara lain tablet 10, 25, 50, 75, atau 100 mg; solusio yang dapat ditelan 10 mg; dan injeksi intravena 10 mg. Besarnya dosis diatur sesuai keparahan kejang dan efek samping yang ditimbulkan. Absorbsi obat ini berbanding lurus dan tergantung dosis serta tidak dipengaruhi oleh makanan. Volume distribusi brivaracetam mendekati jumlah total cairan tubuh, yaitu 0,5 L/kg dan terikat secara lemah dengan protein plasma sehingga waktu paruh obat ini cukup panjang, yakni delapan hingga sembilan jam. Brivarasetam mengalami metabolisme yang luas menjadi senyawa inaktif melalui hidrolisis dari grup asetamid. Hidrolisis tersebut membentuk metabolit asam yang dibuang melalui urine. Obat yang diberikan selama dua kali sehari ini, dieksresi melalui urine sebanyak 95% dengan fraksi yang tidak berubah sebesar 8-11%. Pada percobaan pemberian pada pasien dengan gangguan hati, waktu paruh brivarasetam yang tergantung keparahan gangguan hati, meningkat menjadi 17,4 jam. Pajanan terhadap obat ini juga meningkat

menjadi 50-60% pada pasien dengan gangguan sel hati sehingga dosis harian maksimum perlu dikurangi. Sementara itu, pada pasien dengan gangguan ginjal tidak memerlukan dialisis pada konsumsi 200 mg secara oral. Brivarasetam merupakan obat yang aman karena efek samping ringan hingga sedang serta tidak memengaruhi kepatuhan. Ketika diberikan dalam dosis 20-150 mg, obat ini cenderung dapat ditoleransi dan jarang meneyebabkan pasien putus obat. Efek samping yang terjadi juga bersifat sementara dan dapat menurun. Efek samping yang paling utama terjadi pada pasien dewasa adalah sedasi, kelelahan, dan pusing, gejalagejala yang menunjukkan gangguan pada sistem saraf pusat. Jika dikonsumsi lebih dari 600 mg setiap harinya, gangguan pada atensi, kontrol motorik, dan kesadaran dapat terjadi. Akan tetapi, dosis setinggi apapun tidak akan menimbulkan gangguan pada jantung. Efek samping bivarasetam yang tergantung dosis ini tidak dipengaruhi oleh jumlah asupan makanan. Cukup dikonsumsi dua kali sehari, konsentrasi bivarasetam di plasma menurun sehingga efek samping juga menurun. Dengan demikian, obat ini merupakan alternatif yang baik bagi penderita epilepsi karena efek samping minimal. Namun, obat ini belum masuk ke Indonesia, sehingga harga obat ini relatif masih tinggi. claragunawan


MEDIA

Ilmiah Populer

AESCULAPIUS

JULI

JULI-AGUSTUS 2016

5

ADVERTORIAL

Operasi Bariatrik: Masih Ada Harapan Untuk Obesitas Ketika perubahan gaya hidup, pola makan, serta obat-obatan tidak ampuh lagi menangani obesitas, prosedur ini mungkin menjadi jawabannya.

O

besitas masih menjadi masalah bagi sebagian besar populasi di dunia. Kombinasi dari gaya hidup yang tidak baik, makan berlebihan, hormonal, dan kelainan genetik berkontribusi menyebabkan obesitas. Kondisi ini disebabkan oleh ketidakseimbangan energi di dalam tubuh, sehingga terjadi penumpukan lemak yang berlebihan. Untuk populasi Asia, seseorang baru dapat dikatakan mengalami obesitas apabila indeks massa tubuh (IMT) mencapai ≥25 kg/m2. Penatalaksanaan obesitas memiliki bermacam pilihan, yaitu perubahan gaya hidup, aktivitas fisik, pola makan, terapi farmakologi, dan intervensi bedah. Jika dengan perubahan gaya hidup dan pola makan, serta konsumsi obat penurun berat badan tidak berhasil, perlu dipertimbangkan intervensi bedah. Operasi bariatrik adalah jenis operasi yang dilakukan untuk obesitas yang tidak dapat ditolong dengan pendekatan perubahan gaya hidup atau farmakologi. Operasi bariatrik dapat dilakukan dengan teknik restriksi yang meliputi bedah untuk mengecilkan ukuran lambung sehingga mengurangi kemampuan tubuh dalam mengonsumsi makanan, Terdapat 3 macam operasi bariatrik yang umum nya dilakukan, yakni gastric banding, sleeve gastrectomy dan gastric

bypass. Gastric banding adalah jenis operasi yang dilakukan dengan memasang cincin pada lambung dan membuatnya menjadi lebih kecil sehingga kemampuan untuk menampung makanan jadi lebih sedikit. Ukuran lambung bisa disesuaikan dengan mengisi banding dengan cairan salin, bisa dikencangkan atau dikendorkan sesuai kebutuhan. Tindakan ini, tidak seperti tipe operasi lain, tidak menganggu penyerapan nutrisi karena struktur lambung tidak dikurangi, hanya dikecilkan. Keuntungan lain prosedur ini adalah membantu pengurangan lemak hingga 40%- 50% dan juga memerlukan lebih sedikit waktu pulih di rumah sakit karena tidak invasif. Dengan alasan yang sama, gastric banding memiliki tingkat mortalitas dan komplikasi yang lebih sedikit dibanding jenis operasi lainnya. Namun, operasi ini berisiko banding yang menggeser atau mengalami erosi di sebagian pasien. Penurunan badan dari operasi ini juga lebih lambat dibanding operasi lain. Jenis operasi bariatrik kedua yang dapat dilakukan adalah sleeve gastrectomy. Operasi ini juga termasuk metode restriktif. Berbeda dengan gastric banding, pada operasi ini lambung akan dipotong sebesar 75-80% sehingga lambung akan berbentuk tubular dan lebih kecil. Prosedur ini menghasilkan 2 efek, yaitu pengurangan jumlah makanan yang dapat dikonsumsi akibat lambungnya

mengecil, dan efek kedua, yang paling utama, adanya perubahan hormon pada sistem pencernaan yang berpengaruh pada kontrol rasa lapar, kenyang, dan gula darah. Sleeve gastroctomy dan gastric banding memiliki tingkat efektivitas yang sama dalam menurunkan berat badan (>50%). Keuntungan lain dari tipe ini adalah tidak adanya benda asing yang diletakkan di dalam tubuh sehingga risiko infeksi dan waktu penyembuhan di rumah sakit lebih sedikit. Defisiensi vitamin dan mineral, serta prosesnya yang irreversible terkadang menjadi risiko prosedur ini. Prosedur yang terakhir adalah gastric bypass yang sejatinya adalah standar baku dalam pembedahan pada obesitas. Sesuai namanya, gastric bypass meliputi 2 tahap. Pertama, lambung dibagi menjadi 2 bagian, kemudian sebagian kecil usus halus dipotong, dan sisa usus disambungkan dengan sebagian dari lambung. Lalu, sisa dari usus yang lain disambungkan dengan sisa lambung sehingga enzim yang diperlukan tetap tersedia. Prosedur ini dapat mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi dan penurunan berat yang signifikan (60-80%).

meutia/MA

Oleh karena bersifat sangat invasif, risiko komplikasi cukup besar dan waktu penyembuhan di rumah sakit yang paling lama. Komplikasi tersebut antara lain defisiensi vitamin B12, asam folat, zat besi dan kalsium apabila tidak disertai dengan asupan gizi yang sesuai anjuran dokter. camilla

ARTIKEL BEBAS

Benarkah Stres Meningkatkan Berat Badan?

R

Apakah stres emosional akan memengaruhi berat badan Anda? Bagaimana hal tersebut dapat terjadi?

asanya kalau lagi stres, berat badan saya cenderung turun deh,” ujar X seorang mahasiswa kedokteran. “Berbeda dengan saya, ketika stres, berat badan saya cenderung meningkat,” ucap Y seorang mahasiswa kedokteran lainnya. Lantas, bagaimanakah stres dapat memengaruhi berat badan seseorang? Setiap orang mungkin memiliki istilah “bad day” dalam hidupnya atau menjalani satu minggu yang berat dan penuh tantangan dengan perasaan tidak bersemangat, cemas, dan stres. Ketika mengalami rasa cemas dan stres, terjadi beberapa perubahan fisiologis dalam tubuh manusia, salah satunya adalah gangguan pola makan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa orang yang mengalami stres akut mengalami perubahan pola makan. Sebanyak 40% diantaranya merasa pola makan meningkat, sedangkan 40% lainnya menurun dan sisanya merasa tidak mengalami perubahan pola makan. Beragamnya hasil yang didapatkan ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor stres spesifik yang dimanipulasi, durasi stres, tingkat stres emosional yang dialami, dan pemilihan jenis makanan ketika mengalami stres. Ternyata, stres ringan dapat menyebabkan peningkatan nafsu makan sedangkan ketika diberikan stres lebih berat, napsu makan cenderung menurun. Mekanisme perubahan berat badan saat stres Ketika mengalami stres, tubuh cenderung untuk merespons agar dapat mempertahankan keseimbangan tubuh. Saat seseorang mengalami stres akut, terjadi aktivasi saraf simpatis yang menyebabkan pengeluaran katekolamin (adrenalin dan noradrenalin). Komponen lain yang beperan saat stres adalah aksis hipotalamus-

hipofisis. Stres memicu pengeluaran CRF aktif sehingga menyebabkan perubahan (corticotropin releasing factor) oleh nukleus metabolisme glukosa, terjadinya resistensi paraventrikularis hipotalamus dan memicu insulin, dan memengaruhi neuropeptida hipofisis anterior untuk mengeluarkan ACTH serta hormon yang berpengaruh terhadap (adenocorticotropic hormone) yang memicu napsu makan. Noradrenalin dan CRF produksi glukokortikoid yaitu kortisol atau yang dihasilkan dapat menurunkan napsu kortikosteron dari korteks adrenal. Adanya makan, sedangkan kortisol yang stres akut yang memicu aktifnya saraf diproduksi dapat simpatis beserta diproduksinya meningkatkan hormon glukokortikoid napsu makan memicu perubahan selama masa perilaku, otonom, pemulihan dari dan sistem stres. endokrin. Hal tersebut Jenis Makanan menyebabkan dan Stres peningkatan Ketika tekanan darah, mengalami stres, curah jantung, tubuh akan merespons trigliserida, dan untuk mengembalikan meningkatnya kejadian keadaan homeostasis glukoneogenesis. melalui pelepasan respons Selain itu, akibat lain fisiologis. Saat yang ditimbulkan terjadi stres, salah dari stres satu hal yang akut adalah terganggu adalah menurunnya nafsu perilaku makan. makan. Tingginya Pemilihan jenis kadar glukokortikoid makanan merupakan akan memberikan umpan salah satu faktor penting balik negatif kepada dalam meningkatnya hipotalamus sehingga napsu dan berat badan. arlin/MA CRF dan ACTH tidak lagi Sebuah penelitian diproduksi dan efek stres dari kedua hormon menemukan bahwa dalam tersebut tidak ditimbulkan. kondisi stres, orang cenderung memilih Jika mengalami stres berulang dan tidak makanan yang lebih menyenangkan dengan terkontrol, aksis hipotalamus-hipofisis dapat cita rasa yang enak tanpa memedulikan mengalami ketidakseimbangan. Akibatnya, jumlah kalori yang terkandung dalam terjadi gangguan keseimbangan energi dan makanan tersebut. Ketika stres, orang-orang napsu makan. Dalam kondisi stres kronik, cenderung memilih makanan dengan kadar aksis hipotalamus-hipofisis akan selalu lemak dan gula yang tinggi seperti makanan

cepat saji, makanan ringan, dan makanan dengan kalori tinggi. Terdapat penelitian yang meneliti konsumsi makanan tinggi lemak, gula, dan aktivitas aksis hipotalamus-hipofisis. Ternyata makanan dengan cita rasa yang enak dapat menurunkan aktivitas aksis hipotalamushipofisis. Pada penelitian tersebut ditemukan mencit yang diberikan stres selama 5 hari berturut-turut mengonsumsi makanan dengan cita rasa yang enak lebih banyak dibandingkan kelompok mencit yang tidak mendapat intervensi stres. Mengonsumsi makanan dengan cita rasa enak dan tinggi lemak dapat meningkatkan distribusi lemak daerah abdomen. Ternyata kondisi stres dapat meningkatkan napsu makan dan berat badan Anda secara signifikan! Cegah sebelum Terlambat! Ada beberapa langkah praktis yang dapat diterapkan untuk mencegah diri Anda mengalami kenaikan berat badan hingga obesitas akibat stres. Beberapa langkah tersebut diantaranya sadari tanda-tanda diri Anda mengalami stres seperti rasa cemas atau iritabilitas, sebelum makan tanyakan pada diri Anda mengapa Anda makan apakah lapar atau tidak, jangan menunda sarapan, pelajari aktivitas yang dapat membuat Anda relaks seperti yoga, peregangan, maupun pemijatan, ikuti olahraga secara teratur, memiliki jam tidur cukup dan yang terakhir mendapatkan dukungan dari keluarga atau orang tua. Ternyata stres yang tidak terkontrol dapat memengaruhi perilaku makan Anda hingga berakibat pada obesitas. Jika saat ini Anda merasa stres atau cemas perhatikan bagaimana perilaku makan Anda untuk menghindari dampak obesitas yang terjadi. phebeanggita


62

OPINI & HUMANIORA

JULI-AGUSTUS 2016

MEDIA

AESCULAPIUS

SUKA DUKA

Dr. Temmy Sunyoto, MPH: Relawan Dokter Lintas Batas Menjadi seorang relawan di bidang kemanusiaan dan kesehatan telah membuat dokter yang saat ini menetap di Belgia merasa lebih “manusia”

D

r. Temmy Sunyoto, MPH merupakan salah satu anggota Medicines Sans Fronteries (MSF), suatu organisasi kemanusiaan dikenal dengan Doctors Without Borders atau istilah bahasa Indonesia Dokter Lintas Batas. Layanan kemanusiaan MSF diberikan kepada orang yang membutuhkan tanpa membedakan suku, afiliasi politik, dan agama. Bergabung dengan MSF merupakan pilihan yang diambil oleh Temmy saat lulus Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1997. Hal ini terinspirasi oleh dosen tempat menimba ilmu yang mengatakan bahwa kehidupan dokter bukan hanya soal pendidikan spesialis dan praktik klinik, melainkan banyak hal di luar sana yang dapat mengembangkan wawasan seorang dokter. Pada saat yang bersamaan, MSF turut hadir. Saat itu, Temmy langsung berminat untuk mendaftar pada MSF Belgia, walaupun saat mendaftar, dibutuhkan usaha keras untuk meyakinkan orang tuanya. Dokter yang awalnya ditugaskan di Merauke pada tahun 2004 ini melakukan kontribusi kesehatan berupa pelaksanaan obat antiretrovirus. Di sana, Temmy ikut berkontribusi membentuk panduan TB dan HIV. Pada tahun yang sama pula, saat bencana tsunami terjadi di Aceh, MSF sebagai responden pertama melakukan respon cepat. Sejak saat itu, Temmy semakin yakin atas pilihannya bergabung MSF. Mengunjungi berbagai benua untuk menjadi pelayan kesehatan adalah

pengalaman berharga baginya. Pada tahun 2006-2009, Temmy bertugas di Sudan Selatan, India, Indonesia, Kenya, Somalia, dan Etiopia. “Menjadi dokter di MSF merupakan pengalaman sangat menarik karena saya tidak hanya menjalankan tugas sebagai dokter, tetapi juga mendapat pengalaman di daerah yang berbeda kebudayaan, bekerja dengan tim dari berbagai budaya, dan saya merasa lebih memiliki rasa kemanusiaan,” tutur Temmy ketika ditanya hal yang didapat sebagai anggota MSF. Berbagai tantangan dalam menjalankan misi kemanusiaan harus dihadapi Temmy. Pada saat misi pertama di Sudan, daerah yang sedang dalam perbaikan pasca-konflik, Temmy dan tim mendapat tugas di rumah sakit untuk memberikan layanan kesehatan dan melatih petugas lokal. Selama enam bulan mereka tidur di tenda ditemani hujan, banjir, dan hewan. “Diperlukan mental yang kuat saat kami ditempatkan di daerah tegang,” ujar Temmy. “Akan tetapi, ketika kami memiliki perasaan bahwa daerah tersebut tidak aman, kami dapat memilih untuk mundur. Keamanan merupakan hal yang utama,” tambahnya. Selain berbagai tantangan yang telah dihadapi, dokter berkepribadian ramah ini menambahkan MSF tidak hanya bertugas di daerah konflik, tetapi juga berperan menangani kondisi penyakit di mana beberapa penyakit menular terkadang dilupakan, terutama di daerah yang tidak memiliki layanan kesehatan dan hanya

bergantung terhadap organisasi kemanusiaan. Menurutnya, anggota MSF harus mampu bekerja di berbagai bidang seperti pelayanan medis dan manajemen tim. Selain menjadi anggota MSF, Temmy juga tertarik bidang epidemiologi dan kesehatan publik terutama bidang penyakit tropis. Oleh karena itu, pada tahun 2009, Temmy mengambil program magister di kesehatan publik. Berbagai riset di bidang infeksi tropis disampaikannya kepada pembuat kebijakan di negara yang membutuhkan bantuan MSF. “Selain mengobati dan melakukan aksi cepat, dokter MSF dapat melakukan advokasi kepada pemerintah negara yang kami rasa membutuhkan bantuan kami,” ujar dokter yang saat ini sedang mengambil program doktoral di Belgia. Meninggalkan keluarga di Indonesia merupakan risiko berat yang harus diambil. Namun, Temmy selalu menganggap MSF bukan suatu pekerjaan, melainkan suatu gaya hidup. “Dengan menjadi dokter di MSF, saya merasa alasan saya menjadi dokter terpenuhi melalui MSF. Hal ini disebabkan saya merasa tidak cocok jika saya dihargai berdasarkan

jumlah pasien yang datang berobat,” ungkap Temmy yang tidak pernah menyesali keputusannya menjadi anggota MSF. claragunawan

RESENSI

Lorenzo’s Oil: Kisah Kegigihan Orang Tua Pasien ALD Sejak awal abad ke-20, industri perfilman Hollywood telah mengangkat cerita kesuksesan karir dokter dan peneliti. Namun, Lorenzo’s Oil memberikan kesan yang berbeda dengan pasien — bukan dokter, sebagai pahlawan utama dari kisah perjuangan melawan penyakit yang diderita

L

orenzo’s Oil didasarkan pada kisah nyata Lorenzo, anak dari Augusto dan Michaela, yang didiagnosis penyakit ALD (adrenoleukodystrophy) pada umur lima tahun. Pada waktu itu, belum ada obat yang dapat menyembuhkan ALD. Dokter memperkirakan Lorenzo hanya dapat hidup tidak lebih dari dua tahun setelah waktu diagnosis. Tidak pasrah terhadap prognosis yang diberikan dokter, Augusto dan Michaela, yang dua-duanya tak memiliki latar belakang kedokteran sama sekali, memulai perjuangannya mencari pengobatan untuk Lorenzo. Sepanjang film, audiens diajak mengikuti jalan pikiran kedua orang tua Lorenzo selama mendalami penyakit ALD dan berusaha mencari pengobatan untuk anaknya. Mereka mempelajari bahwa gejala yang dialami Lorenzo ada karena sumbatan di pembuluh darahnya oleh saturated very long chain fatty acid (VLCFA). Augusto menjadi pengunjung

rutin perpustakaan kedokteran, hingga lama-lama datang ke perpustakaan hanya menggunakan baju tidurnya. Ia kemudian digambarkan menyusun klip kertas untuk memudahkannya mengerti aspek biokimia penyakit tersebut. Berdasarkan ilmu yang mereka pelajari, tercetus ide untuk menggunakan asam oleat dan asam erusat demi mengurangi produksi VLCFA. Walaupun mengalami berbagai tantangan dari dunia kedokteran, mereka gigih membentuk sendiri berbagai simposium dan diskusi dengan para ahli. Kegigihan mereka berbuah hasil dengan kadar VLCFA Lorenzo yang menurun setelah diberikan pengobatan tersebut, hingga akhirnya Lorenzo dapat hidup sampai umur 30 tahun — jauh di atas prognosis awal dokter. Atas keberhasilan legendaris inilah campuran asam oleat dan asam erusat dikenal sebagai Lorenzo’s Oil. Meski film ini sangat brilian dalam menyampaikan ceritanya, terdapat pula

efek negatif yang ditimbulkan setelah film tersebut tayang. Dengan kesembuhan Lorenzo yang dramatis, hal ini tentu memberikan harapan bagi orang tua dan penyandang penyakit ALD lainnya. Namun, Lorenzo’s Oil yang diresepkan pada saat itu untuk pasien ALD ternyata hasil yang didapatkan tidak seperti yang diharapkan di film. Studi menunjukkan Lorenzo’s Oil ternyata hanya efektif terhadap pasien ALD asimptomatik. Mengapa Lorenzo yang memiliki ALD simptomatik dapat sembuh dengan Lorenzo’s Oil pun masih menjadi misteri. Di samping efek harapan palsu yang diberikan dari film Lorenzo’s Oil, film ini menginspirasi banyak dokter, peneliti, bahkan pasien dan keluarga pasien di luar sana yang juga memiliki penyakit lain yang belum ditemukan obatnya sampai saat ini. Lorenzo’s Oil tetap merupakan salah satu film inspiratif yang legendaris dan tidak ada bandingnya. salmakyn

Judul

: Lorenzo’s Oil

Sutradara

: George Miller

Tahun

: 1992

Produksi

: Universal Pictures


MEDIA

AESCULAPIUS

Liputan

JULI

JULI-AGUSTUS 2016

7

SEPUTAR KITA

Generasi Pemuda Indonesia Darurat Narkoba Tingginya angka adiksi narkoba pada generasi muda Indonesia mulai mengkhawatirkan. Bagaimanakah masa depan Indonesia selanjutnya?

K

asus narkoba di Indonesia semakin hari semakin meningkat. Hingga November 2015, Badan Narkotika Nasional mencatat jumlah pengguna narkoba sebesar 5,9 juta orang yang naik signifikan dibandingkan pertengahan tahun lalu, yaitu 4,2 juta. Tingginya angka narkoba ini membawa Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI, FACP selaku guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) memberikan kuliah guru besar bertajuk “Masalah Narkoba pada Remaja.” Seminar ini membahas mengenai dampak medis narkoba bagi remaja, keterkaitan antara kecerdasan dan moral bangsa, dan peran tenaga medis menghadapi permasalahan. Kuliah guru besar itu diadakan pada Selasa, 20 September 2016 oleh Dekanat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Memulai seminar dengan memaparkan peningkatan prevalensi pengguna narkoba sekaligus jenis narkoba yang semakin beragam, Samsuridjal menambahkan jenis narkoba yang tersebar di Indonesia kini mulai beragam mulai dari heroin, opiat, hingga kanabis yang saat ini menjadi favorit pengguna narkoba. Mayoritas pengguna narkoba merupakan narapidana yang berada di penjara. Tingginya penggunaan narkoba juga berhubungan masalah perilaku hingga akhirnya harus bolak-balik jeruji besi. Tidak hanya orang dewasa, tetapi juga remaja mulai menghadapi hal yang sama. Tercatat sebagian

besar remaja yang mendekam di balik jeruji besi mengonsumsi narkoba berjenis ganja dan amfetamin. Dalam seminar yang bertempat di Aula Rumpun Ilmu Kesehatan UI Depok tersebut, Samsuridjal menekankan bahaya utama konsumsi narkoba yakni adiksi. Adiksi atau kecanduan tidak ditemukan oleh semua remaja. “Mengapa ada seseorang yang mengalami adiksi, tetapi orang lain tidak

INFO SPESIALISTIK

Program Pendidikan Spesialis Kulit dan Kelamin FKUI Ingin memperdalam ilmu bidang kulit dan kelamin, apa saja yang perlu dipersiapkan?

P

rof. dr. Kusmarinah, Sp.KK(K), selaku Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, menjelaskan beberapa persyaratan dan serangkaian tahap yang dibutuhkan sebelum mengikuti program spesialisasi. Persyaratannya adalah memiliki SIP (Surat Izin Praktek) dan STR dengan pengalaman kerja minimal 1 tahun, lulus S1 kedokteran dengan IPK minimal 2,75, serta telah mengikuti tes kesehatan jasmani dan rohani yang dilakukan oleh MPK FKUI meliputi pemeriksaan umum, rontgen, dan tes buta warna. Setelah persyaratan dilengkapi, peserta harus mendaftar program spesialis pada laman https://penerimaan.ui.ac.id program S2 dan mengikuti tes yang dilaksanakan oleh FKUI program S1, yaitu berupa Tes Potensi Akademik (TPA) dan tes bahasa inggris. Apabila nilai peserta mencukupi, maka berlanjut ke tahap berikutnya yaitu tes spesifik yang dilaksanakan oleh departemen, meliputi tes seleksi akademis, tes psikologis, MMPI, dan wawancara, serta uji kemampuan telaah jurnal kedokteran bidang dermatologi dan venereologi. Namun, tes spesifik tersebut tidak selalu dilaksanakan berurutan. “Tahun lalu kami menerima 6-7 pendaftar di satu semester,” ujar Kusmarinah saat ditanya kuota penerimaan sebelumnya. Lama pendidikan spesialis kulit kelamin adalah 7 semester. Semester I dimulai dengan pembekalan dasar bersama peserta pendidikan dokter spesialis departemen lain. Lalu pada semester II dilakukan pembekalan

spesifik yang berisi diskusi kelompok kecil sambil bekerja di poliklinik umum membahas kasus penyakit kulit yang umum. Di semester III sampai VI, mahasiswa berkesempatan memperdalam dengan magang ke beberapa divisi, seperti Divisi Tumor dan Bedah Kulit, Dermatologi Kosmetik, Alergi Imunologi, Dermatomikologi, Infeksi Menular Seksual, Dermatologi Anak, Morbus Hansen, Patologi Anatomi, dan Dermatologi Umum. Di semester VII, atau tahap mandiri, mahasiswa diharapkan mampu bertanggung jawab sebagai chief resident yang membantu juniornya dan menggantikan staf pengajar jika diperlukan. Di akhir periode pendidikan, mahasiswa diminta membuat tesis sebagai syarat kelulusan. camilla

Prof. dr. Kusmarinah, Sp.KK(K) Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

mengalami adiksi? Hal tersebut ternyata berhubungan dengan faktor genetik,” terang Samsuridjal. Konsultan Alergi Imunologi FKUI/RSCM ini menjelaskan bahwa orang yang memiliki reseptor dopamin yang tinggi di otak cenderung tidak suka diberi stimulan (tidak mengalami adiksi), sedangkan orang memiliki sedikit reseptor dopamin cenderung merasa nyaman dan mudah mengalami adiksi. Tidak hanya berhubungan dengan

faktor genetik, lingkungan berperan penting dalam perilaku adiksi terhadap narkoba. Seseorang yang dijauhi di lingkungannya dan merasa sendiri akan lebih mudah mengalami adiksi dibandingkan dengan mereka yang memiliki hubungan baik dengan lingkungannya. Faktor lingkungan lain yang berperan adalah kekerasan fisik dan seksual, teman yang menggunakan narkoba, dan kondisi stres. Kabar baiknya, adiksi narkoba ternyata dapat disembuhkan walau hingga kini masih menjadi masalah yang masih sulit untuk ditangani. Sekitar 70% pengguna narkoba apabila dapat ditangani dengan baik dapat sembuh dari kondisi kecanduan tersebut. Salah satu usaha di bidang medis untuk menangani adiksi adalah penggunaan obat agonis opiat untuk pengguna adiksi heroin yang telah terbukti dapat mengurangi angka adiksi. Menurut Samsuridjal, tugas tenaga medis tidak hanya melaksanakan upaya kuratif, tetapi juga preventif dan promotif dengan mengajak masyarakat menolak penggunaan narkoba. “Pendidikan moral penting diberikan pada orang Indonesia untuk membangun masyarakat yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga cerdas secara moral. Dengan demikian, kasus narkoba ke depannya dapat diturunkan demi masa depan Indonesia lebih baik,” tutup Samsuridjal. phebeanggita

Sudah Sejahterakah...

sambungan dari halaman 1

...Widi juga menambahkan bahwa dengan adanya pemberian insentif kepada residen, maka rumah sakit pendidikan harus bisa menghitung jumlah residen yang diterima dan anggarannya dengan baik. Namun, jumlah residen di Indonesia sangat banyak jika dibandingkan dengan negara lain. “Kalau di luar negeri, residen Bedah Saraf paling banyak 15 orang, sementara di Indonesia rata-rata 50 residen” ujar Widi. Oleh karena itu, Widi juga menyarankan agar rumah sakit pendidikan bekerja sama juga dengan rumah sakit jejaring dalam hal pemberian insentif ini. Sebab kenyataannya, dokter spesialis di Indonesia masih kurang. Widi berharap, pemberian insentif ini dapat berjalan secara berkesinambungan. Menurutnya, dengan adanya pemberian insentif kepada residen, maka mentalitasnya adalah bekerja. “Mereka sudah bekerja, bukan hanya belajar. Maka timbul jiwa profesionalismenya dan akan mendorong mereka untuk lebih bertanggung jawab dalam proses pendidikannya” tutup Widi. farah, abdi, levina

Saya yang bertandatangan di bawah ini, Nama: Pekerjaan: Alamat Lengkap (untuk pengiriman):

FORMULIR BERLANGGANAN

Telepon/HP: Email: memohon untuk dikirimi Surat Kabar Media Aesculapius selama kurun waktu (beri tanda silang): 1. Enam edisi (GRATIS 1 edisi): Rp18.000,00 2. Dua belas edisi (GRATIS 2 edisi): Rp36.000,00 Biaya kirim ke luar pulau Jawa Rp5.000,00 per enam edisi. Cara pembayaran: 1. Wesel pos ke Redaksi MA FKUI 2. Transfer ke rekening Media Aesculapius di BNI Capem UI Depok No. 0006691592 Mohon untuk menyertakan bukti pembayaran baik bukti transfer maupun fotokopi wesel pos dengan formulir berlangganan ke MA.

( ) Nama Lengkap


82

JULI-AGUSTUS 2016

Liputan

MEDIA

AESCULAPIUS

SEREMONIA

Ngeteh Sore: Upaya Melek Hukum untuk Dokter

Kelestarian Hayati Indonesia Tanggung Jawab Kita Semua

anyta/MA

salmakyn/MA

D

alam rangka memperingati Hari Konservasi Alam Nasional, Yayasan Badak Indonesia melakukan aksi kampanye dengan membawa spanduk dan berbagai atribut lainnya pada Minggu, 14 Agustus 2016, di Bundaran Hotel Indonesia. Tujuan dari kampanye adalah meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya menjaga kelestarian hayati di Indonesia. Aksi tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Tahun Keanekaragaman Hayati sepanjang tahun 2016 yang dikoordinasikan oleh kementrian lingkungan dan kehutanan. salmakyn

N

geteh Sore diadakan pada tanggal 15 September 2016 dengan tujuan meningkatkan kesadaran IKM FKUI terhadap isu di sekitarnya. Dengan tema “Dokter Sadar Hukum”, acara yang diadakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut diselenggarakan oleh BEM IKM FKUI bekerja sama dengan Asian Lawyer Students’ Association Universitas Indonesia. Sebanyak 129 peserta yang hadir terbagi menjadi dua kelompok, yaitu pro dan kontra, mendiskusikan ada-tidaknya kasus malpraktik dalam pemicu yang diberikan dengan dipimpin oleh dua orang moderator. claragunawan

SENGGANG

Bola dan Raket Bagaikan Pendamping Hidup dan Profesi Tak kenal, maka tak sayang, begitu kenal jadi tak pernah kenyang.

salmakyana/MA

H

ampir tiga dekade mengisi waktu luang dengan olahraga tenis lapangan tidak membuat sosok berikut ingin mencari hobi berbeda. Dia adalah dr. H. Nanang Sugianto, MMRS. Gerakannya dalam mengejar bola dan tekniknya dalam membalas pukulan lawan masih mantap. “Sudah sejak mahasiswa saya suka berolahraga, tetapi baru sejak

dokumentasi pribadi

tahun 1989 saya mulai belajar tenis secara otodidak,” ungkapnya mengawali cerita. Saat itu, ia ditugaskan untuk pertama kali di suatu puskesmas di lereng Gunung Ijen, Banyuwangi. Rasa suka akan tenis lapangan yang kian lama kian besar mendorong Nanang belajar bersama pelatih ketika dipindahtugaskan ke daerah lain. Sudah lebih dari 26 tahun hobi ini mengiringi profesinya sebagai dokter, namun

Nanang mengaku tidak pernah bosan. Dari hobi ini, ia mengenal banyak sekali teman-teman baru, baik dari profesi yang sama, maupun bukan. “Saking seringnya saya bermain di banyak klub, orang-orang sampai mengira saya bukan dokter,” ujarnya lalu tertawa. Teman-teman Nanang juga bertambah ketika ia bermain bersama petenis lainnya dari luar kota. Berkat itu, ia banyak dipercaya sebagai koordinator kegiatan klub tenis lapangan ketika mengadakan kunjungan ke luar daerah. Pada tahun 2006, Nanang mengikuti Diklat Pimpinan tingkat II. Dalam acara tersebut Nanang mengusulkan kegiatan tambahan berupa perlombaan tenis lapangan. Ide ini tercipta ketika ia melihat banyaknya dokter dengan hobi serupa, kira-kira 40 orang jumlahnya. Dalam perlombaan itu, Nanang terpilih menjadi pemain terfavorit dan menerima piala penghargaan yang masih berkesan hingga kini. Nanang berusaha menularkan hobinya itu dengan menghimpun para dokter yang menyukai tenis lapangan ketika ia menjadi Ketua IDI Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2003-2005. Meskipun memiliki awal yang baik karena memiliki cukup banyak jumlah anggota, himpunan tersebut akhirnya bubar karena banyak anggota melepaskan diri dari hobi bermain tenis. Anggota yang tersisa kemudian bergabung di klub-klub lainnya. Walaupun demikian, Nanang tidak berkecil hati dan tetap kangen pada tenis

lapangan di tengah kesibukannya. Di samping untuk mencari hiburan dan membina hubungan sosial dengan banyak orang, Nanang menggunakan hobi bermain tenis untuk membina kebersamaan sebagai pasangan dengan sang istri yang kebetulan berhobi sama. Ketika ia dan sang istri bermain tenis lapangan bersama dalam permainan ganda, Nanang menyadari bahwa momen itu adalah kesempatan bagi mereka untuk memahami dan saling melengkapi kekurangan satu sama lain. Pemahaman yang terbangun dari permainan akhirnya terbawa dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya pada istri, melainkan juga terhadap orang lain yang dihadapinya. Keuntungan lain yang didapatkan Nanang dengan bermain tenis adalah mempratikkan hidup sehat secara langsung. Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia medis dengan hobi olahraga, Nanang jadi tidak ragu lagi dalam menyarankan hidup sehat pada pasien-pasiennya karena perilakunya yang dapat dijadikan contoh. “Kita ini di dalam Kode Etik Kedokteran diminta untuk merawat kesehatan pribadi. Tidak mungkin kita melayani pasien dalam kondisi yang kurang baik. Oleh karena itu, sesibuk apapun, harus tetap ingat berolahraga, apalagi orang-orang medis yang sudah tahu benar alasannya.” veronika


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.