KPK POS Edisi 150

Page 9

KPK POS

9

E D I S I 150 23 - 29 MEI 2011

POLITIK

Pemekaran Jangan Aspirasi Segelintir Orang DR. H.Muhamad Yusuf Harahap, M.Si dosen ekonomi Pasca Sarjana USU serta tim peneliti/ kajian akademik usulan Pemekaran Provinsi Sumatera Tenggara mengatakan secara konseptual, pemekaran itu bagus. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dari sisi geografis, Provinsi Sumatera Utara memang sangat luas. Sehingga saat sulit bagi pemimpin di Sumut untuk menjangkau seluruh daerah di Sumatera Utara. Namun melakukan pemekaran harus memenuhi ketentuan dan aturan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Seperti PP No 78 tahun 2007 yang merupakan turunan dari undang-undang No 32 tahun 2004. Disitu jelas dinyatakan harus ada kajian akademis terlebih dahulu kajian akademis yang bertujuan untuk melihat kemampuan daerah tersebut. Idealnya daerah yang dimekarkan harus mampu membiayai dirinya sendiri. Jangan sampai setelah dimekarkan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia, tidak mampu dimaksimalkan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut. Jika itu yang terjadi maka tujuan pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat, malah yang terjadi sebaliknya. Kalau saya lihat dari ketiga usulan provinsi tersebut, menurut laporan DPRD hanya Provinsi Sumatera Tenggara yang memenuhi ketentuan adanya penelitian dan kajian akademisyang lengkap. Dalam persyaratan kajian akademis harus memuat nodel rejen dan homogenis rejen, homogenita rejen atau persetujuan dan kemauan dari aparat-aparat daerah dan rakyat yang ingin dimekarkan. Jika masih ada daerah yang mengatakan masuk dan menolak bergabung ke provinsi yang akan dimekarkan, maka belum bisa diambil rekomendasi persetujuan

mekarkan. Karena itu tidak baik pemekaran itu dipaksakan. Soal Provinsi Tapanuli alias Protap, Yusuf mengaku tidak bisa berkomentar banyak, karena memang ia tidak mengetaui secara persis. Meskipun berdasarkan pemberitaan media, m a s i h ada konflik di beberapa kabupaten kota yang

pemekaran. Untuk itu kita meminta DPRD dan Pemprovsu harus bijak bijak melihat hal itu. Artinya jangan sampai pemekaran hanya melihat aspirasi segelintir orang saja. Coba lihat hasil kajian akademik provinsi Sumatera Tenggara, ada kesamaan pemahaman buat pemekaran provinsi. Di Sumatera Tenggara terdapat 6000 lebih desa, dan seluruh element sudah menyepakati pemakaran. Sumatera Tenggara memiliki luas 1/3 dari seluruh wilayah Sumut, memiliki kurang lebih luas wilayah 27 ribu hektar. Memiliki potensi mineral seperti hasil penelitian mahasiswa ITB, di Paluta ditemukan tambang emas yang belum tergali. Dengan adanya potensi ini, tinggal membujuk investor mengembangkannya. Jika tetap bersatu dengan Sumut, akan lebih sulit investor menanamkan investasinya. Kemudian terkait pemekaran Nias, kita tidak bisa menerkanerka. Apalagi sepengetahuan saya, Nias belum melakukan kajian akademik terkait sumber daya alam dan potensi lain yang dapat mendukung perekonomian rakyat nantinya setelah di

tidak ingin bergabung dengan Protap. Pada posisi seperti, kata Yusuf sangat riskan untuk digodok di tingkat pemerintah pusat.(TIE)

SUMUT

“Secara prinsif, kita setuju pemekaran. Namun ada atauran yang harus dilengkapi dan diikuti calon provinsi yang akan dimekarkan” PERSETUJUAN yang diberikan DPRD Sumut terhadap pemekaran tiga calon provinsi baru di Sumatera Utara, ternyata mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang menilai, disetujui pemekaran akan membawa angin segar dan perubahan leih baik pada pelayanan pemerintahan, serta bagian dri upaya melakukan percepatan perwujudkan kesejahteraan masyarakat. Ada juga yang menilai persetujuan pemekaran tersebut tidak lebih dari bagi-bagi kekuasaan dan jabatan. Argumentasi yang dimunculkan karena memang dari sekian banyak pemerakan yang ada, masih lebih banyak yang tidak berhasil dari pada yang berhasil merealisasikan tujuan dan hakikat dari pemekaran tersebut. Suasana Dachi SH, anggota DPRD Sumut dari Fraksi Hanura yang juga salah satu deklarator dan tim Pansus Pemekaran Provinsi Nias menyebutkan usulan pemekaran terlah melaluai tahapan sesuai amanah PP Nomor 78 tahun 2007. Seluruh anggota Pansus telah bekerja maksimal dengan mengikuti seluruh tahapan yang tercantum dalam PP tersebut. Dikatakannya, Provinsi Nias jika dilihat dari sisi pontensi yang dimiliki sangat banyak. Mulai dari pontesi hasil laut dan pertanian. Bahkan kata Dachi yang menjadi anggota DPRD Sumut dari dapil 7, bahwa pontensi tersebut belum digali secara maksimal. “Inilah salah satu alasan kuat diusulkannya pemekaran Provinsi Nias. Perlu diketahui Nias merupakan daerah terisolir dan jauh dari perhatian pemerintahan Provinsi Sumatera Utara,”katanya. Jika sejak dulu, lanjut Dachi, Pemerintah Provinsi memberikan perhatian kepada kepulauan Nias, dapat dipastikan saat ini sudah berkembang dengan pesat dan maju. Atas dasar minimnya perhatian itulah, maka digagas pemekaran Provinsi Nias. Dengan dimekarkan, potensi alam dihara-

pakan dapat tergali dengan baik. Ke depan dipastikan Nias akan lebih maju. Fakta lain sebut Dachi, selama ini Nias dibiarkan begitu saja. Bahkan urusan administrasi pembangunan pabrik pengolahan bahan baku menjadi bahan jadi, juga dipersulit. Bayangkan saja seluruh hasil dari Nias hanya dikirim berupa bahan mentah. Misalkan hasil laut dikirim ke Tebing Tinggi dan Tanjung Balai untuk diolah menjadi bahan jadi. Jika di Nias didirikan pabrik pengolahan ikan, dapat dipastikan APBD daerah itu akan jauh lebih baik. Manfaat lain bisa menyerap tenaga kerja, yang berujung pada tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat Nias dapat meningkat. Dibagian lain Amsal Nasution, Sekretaris Fraksi PKS dari dapil 6 mengungkapkan hal berbeda. Katanya prinsip kita setuju dengan pemekaran, namun untuk pemekaran ini ada atauran yang harus dilengkapi dan diikuti calon provinsi yang akan di mekarkan. Aturan ini dibuat pemerintah untuk memastikan pemekaran berguna bagi rakyat. “Jadi secara perinsip kita setuju, secara realisasi masih banyak yang harus di lengkapi. Dari ketiga usulan pemekaran, Provinsi Sumatera Tenggara yang paling siap dan lengkap. Tapi untuk dibawa ke sidang paripurna DPRD Sumut untuk mendapat persetujuan belum layaklah,”katanya. Lebih lanjut dijelaskan, sebelum dibawa ke sidang paripurna, harus terlebih dahulu dilakukan kajian berupa penelitian. Persetujuan DPRD, DPD, sdan kepala daerah lalu dibawa ke Gubernur, kemudian dibentuk tim 9 (Tim Kajian Daerah). Tim inilah yang kemudian ditugaskan melakukan mengkaji untuk mengetahui layak atau tidak dilakukan pemekaran. Jika dianggap layak barulah disetujui gubernur, setelah itu diajukan ke DPRD untuk disetujui. Seperti itulah proses yang kami pahami berdasarkan PP No 78 Tahun 2007. Untuk Sumatera Tenggara pemekaran ini akan membawa kearah lebih baik. Berdasarkan laporan Menteri Dalam Negeri dari seluruh pemekaran hanya 15% lah yang berhasil, selebihnya gagal. Memang pada akhirnya dikembalikan kepada kita, mau ikut yang berhasil atau gagal. Kita berharap jika ada provinsi atau daerah yang gagal dalam pemekaran, pemerintah berani harus berani membuat keputusan untuk digabungkan kembali ke provinsi atau kabupaten/kota induk. Terkait paripurna pemekaran tiga 3 provinsi kemarin, kita melihat tahapan yang dilakukan pansus dan anggota dewan yang hadir belum layak secara aturan. Masalahnya kita tidak mau disebut fraksi anti pemekaran, namun kita juga gak mungkin menyetujui yang secara undang-undang belum dianggap lengkap.(TIE/MH)

Era SBY Lebih Kejam Dibanding Era Soeharto PASCA ditumbangkannya rezim Soeharto pada era 98 dan lahirnya era reformasi, hampir seluruh anak negeri ini menilai era 32 tahun dipimpin Soeharto rakyat sangat menderita. Indikator yang digunakan, pengusa saat ini tidak berpihak pada demokrasi, terjadi pelanggaran HAM berat, pemberedelan media massa, korupsi dan tidak tegaknya hukum. Saat ini era reformasi sudah dipimpin 4 Presiden RI, mulai dari Bj Habibie, Alm Adurrahman Wahid alias Gusdur, Megawati dan sekarang Susilo Bambang Yduhoyono (SBY). Namun faktanya, apa yang terjadi pada era orde baru juga terjadi pada era saat ini. Banyak juga WNI mati sia-sia karena diteror yang dilahirkan pemerintahan SBY bernama program konversi minyak tanah ke gas termasuk terorisme. Kemiskinan dan kebodohan serta gizi buruk berjubel karena tingginya biaya pendidikan, mahalnya biaya berobat dan rendahnya perekonomian masyarakat. Sedihnya lagi barang kebutuhan warga seringkali hilang, sehingga meskipun punya uang tapi tidak ada barang yang akan dibeli. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Indo Barometer menunjukan bahwa publik menilai kehidupan di era Soeharto jauh lebih baik daripada era Presiden Susilo Bambang Yudhono (SBY). Sikap publik ini juga menjadi fakta saat ini popularitas SBY terjun bebas. Namun mantan tahanan politik di era Soeharto, Sri Bintang Pamungkas,

12 'PRESTASI' ORDE BARU 1.

Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.565 2. Sukses program transmigrasi. 3. Sukses program Keluarga Berencana (KB). 4. Sukses memerangi buta huruf. 5. Sukses swasembada pangan. 6. Menekan angka pengangguran. 7. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). 8. Sukses Gerakan Wajib Belajar. 9. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh. 10. Stabilitas keamanan dalam negeri. 11. Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia. 12. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.

mengingatkan kesimpulan survei tersebut, bukan berarti publik merindukan sosok seperti Soeharto. Tapi menjadi bukti era SBY jauh lebih kejam dibanding Orde baru. "Era Soeharto saja ditolak publik apalagi era SBY. Di era Soeharto orang masih bisa simpan duit, sekarang sudah tidak bisa," kata Bintang, baru-baru ini. Menurut mantan Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia ini, orang mati di era SBY selama enam tahun, jauh lebih banyak daripada era Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. "Ada 15 ribu orang mati bunuh diri dalam tiga tahun terakhir ini karena ekonomi. Pelanggaran HAM di era Soeharto karena berbeda pendapat, lalu ditangkap tanpa atau dengan proses hukum. Di era SBY, orang ditembak mati atau dibunuh dengan bom bunuh diri dengan tuduhan teroris," kata Bintang.

Bukan Rindu Orba Dibagian lain Tubagus Hassanuddin, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di DPR, punya pendapat lain soal hasil survei Indo Barometer. Menurutnya, yang lebih tepat memaknai fenomena ini adalah warga sesungguhnya menginginkan orde yang lebih baik dari reformasi ini. Itu bisa diartikan, Pemerintahan SBY gagal meningkatkan kinerjanya. "Ibu saya kalau disuruh memilih masa Belanda, Orde Baru, atau reformasi. Jawabannya memilih zaman Belanda karena giginya masih utuh," kata Hassanuddin di Jakarta. Hassanuddin sendiri mengaku tak tahu kuisoner yang diberikan kepada masyarakat, sehingga ada kesimpulan Orde Baru lebih baik dari era reformasi. Namun, dari hasil keliling ke masyarakat

yang ada adalah kekecewan pada kinerja pemerintah. Sementara itu, Haris Azhar, Koordinator Eksekutif Nasional KontraS, menegaskan rezim SBY gagal mengimplementasikan membangun kedewasaan demokrasi dengan konten membangun kesejahteraan rakyat, keberpihakan pada masyarakat kecil, serta membangun keadilan. "Secara manajerial tidak ada panutan. Yang muncul hanya satu janji dari satu sesi ke sesi lain," katanya. Padahal, rezim SBY, kata Haris, diuntungkan oleh rezim transisi B.J. Habibie, Gus Dur, dan Megawati yang mendorong dan membangun aturan dan institusi yang menopang demokrasi. "Kegagalan SBY hari ini adalah gagal menggunakan instrumen itu. Modal hukumnya sudah ada," kata Haris Haris menegaskan, secara manajerial dan leadership pun tidak jadi panutan. Harusnya sebagai Presiden SBY muncul dan dijadikan satu modal. Semisal Nilson Mandela, walaupun hanya sekali jadi presiden, tapi punya agenda politik yang jelas membangun bangsa bersama dan berwarna. Perangkat dan aturan hukumnya bekerja sampai ke bawah. Dibagian lain Wakil Ketua MPR RI, Lukman Hakim Syaifuddin menilai survei Indo Barometer yang menyatakan orde baru lebih baik dari pada reformasi, perlu dikoreksi. Sebab, cakupannya terlalu luas, dan tidak spesifik hal apa yang membandingkan kedua era tersebut. "Perlu diklarifikasi. Konteksnya apa, menghendaki orba dalam hal apa? Dari

kepemimpinannya kah atau masalahmasalah internal atau apa. Saya tidak tahu yang dipotret aspek mana," ujar Lukman yang juga Ketua DPP PPP saat menjadi pembicara Seminar 4 Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, serta peluncuran buku Islam, Nasionalisme dan Masa Depan Negara Bangsa Indonesia, di DPR RI,(18/5). Menurut Lukman, membandingkan era Orde baru dengan Reformasi, justru tidak apple to apple atau seimbang. Sebab, konteks ketika Orba dengan reformasi, sangat berbeda. "Kepemimpinan, masalah dan situasi kondisi (Orba dengan Reformasi, red) beda," katanya. Lebih lanjut, dikatannya kalau saat era Soeharto, menjadi pemimpin sangat mudah. Tidak akan ada yang berani secara frontal melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan seseorang. "Zaman Soeharto kalau akan menjadi pemimpin mudah, tidak ada oposisi yang berani. Kalau sekarang era reformasi, demokratisasi yang besar tidak mudah," katanya. Dari survei yang melibatkan 1.200 orang itu, 36,54 persen responden dari seluruh Indonesia memilih Soeharto, lalu Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 20,9 persen, Soekarno dengan 9,8 persen, Megawati dengan 9,2 persen, B.J. Habibie dengan 4,4 persen, dan Abdurrahman Wahid dengan 4,4 persen. Sayangnya, Indo Barometer tak mencantumkan peta wilayah publik terhadap presiden yang mereka sukai. Apakah mayoritas publik yang memilih Soeharto berada di Jawa atau Sumatera atau Indonesia Timur. (BBS/MH)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.