Tadabbur Qur'an Bagi Muslim - Zainal Abidin Mustofa

Page 1

Tadabbur Qur‟an Bagi Muslim *) Zainal Abidin

zay.abidin@gmail.com

Pendahuluan Al-Qur‟an adalah sumber ilmu dan hikmah yang tak pernah habis digali. Beribu tafsir ditulis, beribu kajian digiatkan, beribu seminar digelar; namun beribu misteri masih tetap tersembunyi. Al-Qur‟an adalah samudera yang menyimpan berjuta mutiara. Semakin dalam diselami, semakin indah dan beragam mutiara ditemukan. Bukan berarti bahwa Al-Qur`an adalah kitab elitis yang hanya diperuntukkan bagi atau hanya bisa disentuh oleh kalangan tertentu yang memiliki ketinggian ilmu dan kedalaman spiritualitas. Setiap orang yang berkemauan, seawam apapun dia, atas izin Allahsubhânahu wata‟âla, dapat mengambil hikmah dan merengkuh manfaat dari Al-Qur`an. Al-Qur`an adalah kitab terbuka. “Ini adalah kitab yang

Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang berakal mengambil pelajaran” (Shaad: 29).

Al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk (huda) bukan saja bagi orang yang bertaqwa (Al-Baqarah: 2), tapi juga bagi semua manusia (Al-Baqarah: 185). Adapun tafsir Al-Qur`an, secara etimologis berarti penjelasan. Sedangkan dalam pengertian terminologisnya, tafsir adalah ilmu yang berisi pembahasan tentang Al-Qur‟an dari segi pemahaman terhadap maksud dan kehendak Allah sebatas kemampuan manusia. Definisi ini menyiratkan satu pengertian yang penting, yaitu bahwa kebenaran tafsir adalah kebenaran yang tidak bersifat mutlak, karena yang mutlak benar hanyalah kebenaran Ilahi yaitu kebenaran Al-Qur‟an itu sendiri. Sedangkan mufasir, sejauh-jauh yang bisa dilakukannya adalah berusaha sungguh-sungguh dengan ketulusan hati dan dengan mengerahkan segala perangkat yang diperlukan, untuk mendekati kebenaran Ilahi yang mutlak tadi. Ada tiga sumber dalam penafsiran Al-Qur`an. Pertama, adalah Al-Qur`an itu sendiri dan penjelasan Rasulullah SAW. Masalahnya, tidak semua ayat ada penjelasannya dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist. Belum lagi bila diingat bahwa hadis-hadis Rasulullah SAW juga menghadapi problema kesahihan dan kemutawatiran.Kedua, adalah akal pikiran manusia. Penafsiran berdasarkan pemikiran manusia ini bersifat relatif dan bisa tak terbatas. Oleh karena itu sangat wajar jika terjadi perbedaan antara satu penafsir dengan penafsir lainnya, bahkan tidak jarang terjadi kontroversi. Ketiga, adalah isyarat yang diterima oleh penafsir dari Allah. Penafsiran ini bersifat sangat subjektif. Kalau penafsiran berdasarkan akal pikiran saja bisa menimbulkan kontroversi, apalagi penafsiran berdasarkan isyarat. Oleh karena itu para ahli ulumul Qur`an menetapkan batasan-batasan yang sangat ketat. Perbedaan sumber penafsiran, perbedaan pendekatan dan metode, ditambah lagi dengan perbedaan spesialisi atau keahlian penafsir, minat dan kecenderungannya, sangat wajar jika melahirkan penafsiran yang berbeda-beda, yang dari satu sisi menunjukkan keluasan dan keindahan Al-Qur`an, tapi dari sisi lain bisa menimbulkan kontroversi. -----------------------------

*) Akan disampaikan pada Pengajian Fatayat NU Sendangagung Kec. Sendangagung Kab. Lampung Tengah Prov. Lampung, 1 Juni 2016.

1


Tadabbur Qur‟an Perintah Allah yang pertama kepada Nabi Muhammad shallallahu „alaihi wasallam adalah iqra`- bacalah!. Termasuk di dalamnya membaca Al-Qur`an yang sering disebut sebagai ayat-ayat qauliyah. Membaca Al-Qur`an bermacam-macam bentuk dan tingkatannya. Membaca Al-Qur`an tanpa pemahaman adalah kenyataan umum di kalangan umat Islam terutama yang bukan penutur bahasa Arab. Di dalam bahasa Arab ada tiga kata yang berkaitan dengan kegiatan membaca Al-Qur`an, yaitu qirâ`ah, tilâwah dan tartîl.

Qirâ`ah artinya membaca secara umum, baik dalam arti mengubah lambang tulis menjadi bunyi maupun membaca pemahaman. Yang pertama menjadi dasar atau landasan bagi yang kedua. Meskipun tujuan membaca pada dasarnya adalah yang kedua yakni untuk memahami isi bacaan, tapi dalam prakteknya banyak juga yang melakukan kegiatan membaca terbatas pada pengertian pertama. Contoh kongkritnya adalah membaca Al-Qur`an tanpa pemahaman. Sedangkan tilâwah artinya juga membaca, tapi pada tingkat yang lebih tinggi dari qirâ`ah. Karena tilâwah mempersyaratkan beberapa hal, yakni (1) pemahaman terhadap apa yang dibaca, (2) mengikuti isi bacaan, yang baik ditiru yang buruk dihindari, yang wajib dilaksanakan yang haram ditinggalkan, dan (3) objek bacaannya adalah Al-Qur`an. Selain Al-Qur`an digunakan qirâ`ah bukan tilâwah. Adapun tartîl yang secara etimologis bermakna tertib, urut, dan teratur, juga digunakan khusus untuk Al-Qur`an. Secara terminologis tartîl adalah membaca Al-Qur`an secara berurutan, dengan bacaan yang baik dan benar, disertai pemahaman dan penghayatan terhadap makna ayat-ayat yang dibacanya. Yang sering menjadi pertanyaan adalah, apakah membaca Al-Qut`an tanpa pemahaman mendapatkan pahala. Jawabannya bisa dirujuk kepada sabda Nabi shallallahu „alaihi wasallam dalam hadis riwayat Imam Turmudzi “Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah Ta‟ala maka dia memperoleh kebaikan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan Alif-lâm-mîm itu satu huruf tapi alif satu huruf, lâm satu huruf dan mîm satu huruf”. Dalam hadis riwayat Imam Muslim beliau bersabda “Yang mahir membaca Al-Qur`an bersama para rasul yang mulia, sedangkan yang membaca Al-Qur`an dengan terbata-bata dan susah-payah mendapatkan pahala dua kali lipat”. Dari dua hadis ini dapat disimpulkan bahwa membaca Al-Qur`an meskipun tanpa memahami maknanya tetap mendapatkan penghargaan dari Allah berupa pahala dan kebaikan, karena merupakan salah satu bentuk ta‟abbud atau ritual peribadatan. Namun demikian, orang beriman hendak tidak cukup berpuas diri dengan memperoleh pahala dari membaca Al-Qur`an sebagai ta‟abbud. Al-Qur`an diturunkan bukan hanya sebagai sarana untuk mengumpulkan pahala. Al-Qur`an adalah pedoman hidup bagi semua manusia (hudan lin-nâs), dan khususnya bagi orang-orang beriman (hudan lilmuttaqîn). Agar fungsional sebagai pedoman hidup, maka Al-Qur`an harus dipahami isi kandungannya. Oleh karena itu akan lebih besar nilai dan kebaikannya, jika selain membaca Al-Qur`an sebagai bentuk ritual peribadatan, hendaknya juga ada usaha untuk memahami maknanya, menghayati dan merenungkan pesan-pesannya, untuk dibawa ke dalam realitas kehidupan, baik secara individul maupun sosial. Jika kemampuan bahasa Arab menjadi kendala, Terjemah dan Tafsir Al-Qur`an berbahasa Indonesia bisa dimanfaatkan. Namun perlu disadari bahwa terjemah Al-Qur`an bukan lah Al-Qur`an. Di dalam terjemah dan tafsir sudah terkandung pendapat dari penerjemah dan penafsir. Dan terjemah Al-Qur`an tidak akan mampu merepresentasikan semua keunggulan Al-Qur`an baik dari segi bahasanya maupun maknanya. Dan pembaca terjemah Al-Qur`an tidak akan memperoleh kenikmatan rasa dan kepuasan spiritual seperti yang didapatkan oleh pembaca Al-Qur`an dalam bahasa aslinya. Membaca Al-Qur`an lit-ta‟abbud semata-mata sebagai ibadah, yang tanpa memahami maknanya pun sudah mendapatkan pahala. Kemudian membaca Al-Qur`an untuk memahami maknanya, memahami pesan-pesan Allah di dalamnya. Ada ayat-ayat yang begitu jelas dan tegas maknanya, dan dengan mudah ditangkap pesannya. Misalnya, firman Allah “qul huwallahu ahad” (Katakanlah, Dialah Allah yang Esa). Makna dan pesan ayat ini sudah jelas bagi siapa pun yang membacanya. Tapi ada juga

2


ayat yang untuk memahami maksudnya diperlukan penjelasan. Penjelasan itu bisa dari ayat lain dalam Al-Qur`an, bisa dari Nabi shallallahu „alaihi wasallam, bisa dari para sahabat yang hidup semasa dengan Nabi, bisa juga dari pemikiran manusia. Inilah yang kemudian disebut dengan tafsir. Sebagai contoh, ayat ihdina ash-shirâtal mustaqîm (tunjukilah kami jalan yang lurus). Frasa ashshirâtal mustaqîm masih menimbulkan pertanyaan bagi pembaca, oleh karena itu dijelaskan oleh ayat sesudahnya shirâthal ladzîna an‟amta „alaihim ghairil maghdhûbi „alaihin waladh-dhâllin (jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat). Siapa orang yang dimurkai dan orang yang sesat, masih menjadi pertanyaan bagi para sahabat, maka Nabi shallallahu „alaihi wasallam menjelaskan “yang dimurkai adalah kaum Yahudi dan yang sesat adalah umat Nasrani”. Ketika Allah bersumpah dengan menyebut “wat-tîn, waz-zaitûn, wathûrisînînwa hâdzalbaladil amîn”, Ibnu Abbas tokoh tafsir dari kalangan sahabat menjelaskan bahwa attînwaz-zaitûn (pohon Tin dan Zaitun) adalah simbol dari Nabi Isa (agama Nasrani). Thûrisînîn (bukit Tursina) adalah simbol dari Nabi Musa (agama Yahudi). Sedangkan hâdzal-baladil amîn (negeri yang aman yaitui Mekah) adalah simbol dari Nabi Muhammad (agama Islam). Setelah lewat masa Nabi dan para sahabat, lahirlah tafsir-tafsir baru berdasarkan pemikiran manusia yang menambah luasnya cakrawala pemahaman terhadap teks-teks Al-Qur`an. Di dalam Al-Qur`an tidak ada perintah secara eksplisit untuk menafsirkan Al-Qur`an. Yang ada justru perintah untuk tadabbur Al-Qur`an. Sebagai contoh dalam surat Muhammad ayat 24 {Maka Apakah mereka tidak mentadabbur Al Quran ataukah hatimereka terkunci? Muhammad}. Dalam berbagai terjemahan Al-Qur`an bahasa Indonesia, tadabbur diartikan “memperhatikan”. Namun dalam pengertian yang lebih dalam, tadabbur tidak sekedar memperhatikan tapi merenungkan secara mendalam atau melihat jauh kebelakang yang tampak. Kalau tafsir pada umumnya membedah internal teks, yaitu menjelaskan makna ayat, menganalisis huruf, kata, kalimat, melihat konteks, asbabun nuzul, hubungan antar ayat. antar surat, dan sejenisnya. Maka tadabbur melihat apa yang ada dibelakang teks, dibalik teks, behind dan beyond the text.

Tadabbur dengan demikian memiliki beberapa dimensi, antara lain sebagai berikut. Pertama,

tadabbur tidak berhenti pada makna hakiki, makna lahiriah, tapi menembus ke makna majazi, makna yang tersembunyi. Dimensi ini melahirkan istilah ta`wil yang pada perkembangan terakhir menjadi bagian dari ilmu tafsir. Kedua, tadabbur membawa ayat Al-Qur`an ke dalam relalitas eksternal, atau kehidupan nyata pada setiap zaman. Sebagai misal, ketika membaca kisah-kisah Al-Qur`an mengenai kaum „Ad, Tsamud, Ashhabul ukhdud dan lain-lain yang dibinasakan oleh Allah; sementara tafsir sibuk dengan penjelasan mengenai data-data waktu, tempat, asal usul dan rincian peristiwa, maka tadabbur mencari inti pesan dari kisah-kisah tersebut dan membawanya ke dunia nyata saat ini, untuk menjadi pelajaran. Dengan demikian, Al-Qur`an benar-benar berperan sebagai pelita yang membimbing manusia ke jalan keselamatan. Ketiga, tadabbur membawa pembaca Al-Qur`an kepada perenungan individual. Setiap ayat yang dibacanyadirasakan seperti baru turun dan ditujukan kepadanya. Ketika membaca ayat “innamal mu`minûna ikhwatun” {sesungguhnya orang-orang beriman itu mesti bersaudara}, segera bertanya kepada diri sendiri “sudahkah aku mengamalkan persaudaraan dengan saudara-saudara seiman”? Ketika menyimak ayat “alam ya`ni lilladzîna âmanû an takhsya‟a qulûbuhum lidzikrillâh”{belum tibakah saatnya bagi orang-orang beriman untuk tunduk khusyu‟ mengingat Allah?}, tergerak hatinya untuk melakukan muhasabah, dan segera menyadari kelalaiannya selama ini, maka tidak lagi menunda-nunda waktu untuk lari menuju Allah, dan melepaskan keterikatan dengan dunia yang selama ini membelenggunya. Maka tadabbur adalah salah satu bentuk interaksi dengan Al-Qur`an yang sangat penting untuk digalakkan pada masa sekarang ini. Setelah memahami sekedarnya makna suatu ayat, dengan bantuan tafsir atau terjemah, setiap muslim dapat melakukan tadabbur. Dengan demikian, Al-Qur`an menjadi fungsional bagi seorang muslim.

3


Penutup “Kalian sebagai tukang becak dan kuli pasar tidak tahu bahasa Al-Qur`an, tidak menguasai epistemologinya, tidak mungkin melakukan pembelajaran tentang asal-usul ayat ini itu, tidak mengerti Makiyah atau Maddaniyah, tidak paham Kitab apapun yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat itu, tidak pernah melihat atau mendengar apa yang ditulis dan dikatakan oleh para Ulama Ahli Tafsir. Tetapi wahyu Tuhan itu untuk kalian semua, tidak hanya untuk Nabi dan Ulama-Ulama penerus Nabi. Untuk setiap orang dari kalian,dan pasti berlaku untuk setiap detail kehidupan dan penghidupan kalian di tempat kerja, di rumah, di jalanan, di gardu, di warung, di tempat pemancingan, di jalur ronda malam dan di manapun. Al-Qur`an dan kehidupan ini dihamparkan Tuhan tidak dikhususkan untuk Nabi dan Ulama, apalagi hanya untuk dikuasai dan dimonopoli oleh Ulama Tafsir. Kalian beli beras untuk makan anak istri saja belum tentu bisa, bagaimana mungkin pergi ke toko buku membeli Kitab Ulama” “Al-Qur`an dan kehidupan bukan monopoli Nabi dan Ulama. Beliau-beliaulah yang menyangga kewajiban untuk mengantarkan Al-Qur`an kepada kalian semua dengan bahasa, cara dan tawaran pelaksanaan yang semudah-mudahnya. Kalian juga sangat berhak, bahkan dianjurkan oleh Tuhan untuk bergaul seakrab-akrabnya dengan Kitab-Nya meskipun tidak benar-benar memahami bahasa dan maknanya. Yang penting kalian mencintainya, mempercayainya, melaksanakan dan menikmatinya. Asalkan hasilnya adalah kalian menjadi lebih baik hidup kalian sebagai manusia, lebih dekat kepada Tuhan, lebih mencintai Nabi, Anbiya` dan Auliya` serta para Ulama yang sungguhsungguh Ulama. Asalkan yang keluar dari knalpot kehidupan kalian adalah tetesan-tetesan air suci kesetiaan, pengabdian dan cinta kepada Tuhan. Itu saja ukurannya. Sangat sederhana. Tidak harus berilmu tinggi. Tidak wajib menguasai Al-Qur`an, karena Ulama yang paling Ulama pun mustahil menguasai Al-Qur`an. Mosok Al-Qur`an diturunkan untuk dikuasai. Yang harus dikuasai itu nafsu!”

Acuan:

Effendy, Ahmad Fuad. Antara Tafsir dan Tadabbur. http://www.bangbangwetan.org/antaratafsirdantadabbur/.diakses:23 Mei 2016. -----------------------------. Satu Al Qur‟an Seribu Tafsirnya. http://www.bangbangwetan.org/satualquranseributafsirnya/.diakses: 23 Mei 2016. -----------------------------. Membaca Al-Qur‟an Tak Paham Artinya. http://www.bangbangwetan.org/membacaalqurantakpahamartinya/.diakses: 13 Mei 2016. Nadjib, Emha Ainun. Tadabbur, Dubur, Knalpot Akhlaq. https://caknun.com/2016/tadabburduburknalpotakhlaq/.diakses: 23 Mei 2016.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Yang menuliskannya kembali, Zainal Abidin, lahir di Sendangagung, 30 April 1969. Lulus D3 Pendidikan Fisika (1990) dan S1 Penyetaraan Pendidikan Fisika (1997) keduanya dari FKIP Universitas Lampung, Bandar Lampung. Sejak 1992 menjadi guru fisika di SMAN 3 Bandar Lampung. Antara 1990-1992 menjadi guru fisika SMP Islam Sendangasri, MTs Al Mu‟allimin Sendangrejo, MA Ma‟arif Sendangagung Kab. Lampung Tengah dan SMAN 1 Sukoharjo Kab. Pringsewu. 1998-2000 mengajar juga di SMAN 1 Kedondong Kab. Pesawaran. Bersama Iyan Ibrani dan Yohanes Dwi Nugroho menjadi pemenang kedua Lomba Pembuatan Modul Pendidikan Lingkungan Hidup Tingkat Provinsi Lampung berjudul Air untuk Kehidupan (2000). Juara kedua Lomba Karya Tulis Ilmiah Tingkat SMA bagi Guru Tingkat Provinsi Lampung, LPMP Lampung (2007). Guru Teladan Tingkat Nasional versi Pesta Sains Nasional IPB Bogor (2010). Juara kedua Lomba Inovasi Science, Technology, Engineering and Mathematics (STEM) FMIPA IPB Bogor (2013). Pengurus Asosiasi Guru Fisika Indonesia Jakarta (2007-2011). Kader Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Lampung (2006-sekarang). Finalis SEA ITSF (Jakarta 2015). Beberapa tulisannya di http://www.scribd.com, http://slideshare.net. dan sekitar seratus tulisan lainnya ada di http://kompasiana.com/ZainalAbidinMustofa. Mengelola grup Majelis Ilmu dan Silaturahmi Masjid Al-Wustho Sendangagung di facebook. Email: zay.abidin@gmail.com.

4


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.