Waspada,senin 30 september 2013

Page 26

Opini

WASPADA Senin 30 September 2013

C5

Tuan Rumah KTT APEC Uang Komite Sekolah Uang komite di sekolah negeri sangat meresahkan. Semua biaya operasional sekolah dibebankan kepada siswa. Sekolah negeri nyaris seperti sekolah swasta. Bahkan ada beberapa sekolah negeri favorit yang jumlah uang komitenya lebih besar dari sekolah sewasta. Besarnya meningkat tajam setiap tahun ajaran. Padahal pemerintah akan meluncurkan wajib belajar 12 tahun, membebaskan uang komite sampai SMA, tapi tak ada realisasinya. Ketika keberatan kenaikan uang komite ini kita pertanyakan, sang kepala sekolah seolah lepas tangan. ”Kenaikan itu keputusan komite, jadi tanyakan saja dengan komite,” demikian pernyataan kepala sekolah buang badan. Padahal komite membuat kenaikan atas persetujuan kepala sekolah. Sepertinya ada main mata antara komite dengan kepsek?! Sekolah negeri adalah sekolah yang biaya oprasionalnya di tanggung negara. Dari mulai gedung, sampai gaji gurunya. Namun dengan berbagai alasan , komite sekolah memungut biaya tambahan. Katanya sekedar buat beli kapur, beli buku absen. Tetapi kenyataannya buat beli seragam guru, beli cat, asbes, kamar mandi, meja kursi, televisi, dan masih teramat banyak untuk disebutkan satu persatu. Ssst... bahkan sebagian digunakan buat tunjangan guru negeri. Jika biaya tambahan ini buat membeli yang kecil, hal ini mungkin dapat dimaklumi. Tapi jika buat membangun pagar sekolah, membangun WC, bahkan membangun ruang kelas lantai tiga, sangatlah memberatkan. Salah seorang wali murid yang keberatan justru dipersalahkan, ”Kenapa bapak tak datang rapat kenaikan uang komite..? Demikian ujar wakil kepala sekolah. Sang orang miskin menjawab pelan, ”Pernah kita datang rapat komite, tapi kita selalu kalah suara dengan pengurus komite yang notabene pejabat!” Karena nyaris semua pengurus komite adalah pejabat kaya raya. Dari mulai polisi, kepala dinas instansi, BUMN sampai anggota DPR. Mereka, yang notabene orang hebat ini tak dapat memahami penderitaan kaum miskin. Sehingga hasil keputusan rapat bernuansa ekskutif. Persepsi besaran sangat berbeda. Artinya, jika si miskin merasa sangat besar uang komite tiga ratus ribu perbulan. Tentu jumlah ini sangat kecil dimata sang pejabat. Uang sebesar itu diperoleh kaum miskin dengan keringat dan air mata. Tetapi orang kaya memperolehnya hanya dengan kedipan mata. Menyikapi penderitaan kaum miskin ini maka Dinas Pendidikan Peropinsi Sumatera Utara harus membuat batasan besaran uang komite sekolah negeri. Jangan menciptakan kasta di dunia pendidikan. Buatkan aturan batasan aspek yang boleh dilakukan, tentukan item yang boleh dibangun. Jangan memungut uang buat pembangunan gedung sekolah lantai lima. Karena biayanya terlalu berat. Pokoknya harus ada campur tangan Kementerian Pendidikan menatanya. Selanjutnya pemerintah meninjau kembali pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun. Sejauh mana menyentuh kaum miskin? Program ini sudah sepuluh tahun lebih berjalan, tetapi masih belum sepenuhnya terlaksana. Paling hanya sampai SD, selanjutnya buat SMP terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan. Akibatnya wajib belajar sembilan tahun hanya slogan semata. Kaum miskin masih kepayahan tamat SMP. ”Kami tak sekolah karena kami miskin,” demikian ujar mereka kesal. Tolong kembalikan wajib belajar sembilan tahun sepenuhnya. Jangan hanya SD yang gratis. Tapi SMP juga bebas uang komite. Tak perlu lagi pakai surat keterangan miskin. Karena semua siswa, kaya miskin gratis uang komite. Bila perlu segera luncurkan wajib belajar dua belas tahun. Tak pakai bayar sampai tamat SMA. Agar si miskin cerdas, pintar mengejar perbedaan, keluar dari kemiskinan. Karena dari sepuluh orang kaya, delapan di antaranya melalui pendidikan. Nada Sukri Pane Hamparanperak

Foliopini

Dedi Sahputra

Oleh Shohibul Anshor Siregar Sukses sebagai tuan rumah sebuah even memanglah satu hal. Tetapi apa substansinya untuk Indonesia?

T

anggal 5-7 Oktober 2013, di Bali, akan diselenggarakan KTT APEC dengan mengusung sebuah tema yang cukup obsesional dan sama sekali tak mengejutkan, yakni Resilient Asia-Pacific, Engine of Global Growth. Disebut tak mengejutkan karena memang kerap diumbar para pemimpin pemerintahan dunia sambil berteriak keadilan dalam kemajuan bersama yang sangat tak mungkin. Tiga agenda utamanya ialah Bogor goals (perluasan perdagangan dan investasi, serta reformasi struktural), sustainable growth with equity (daya saing global sektor UKM, financial inclusion, ketahanan pangan dan kesehatan), dan promoting connectivity (isu konektivitas fisik termasuk pengembangan dan investasi infrastruktur dan konektivitas kelautan atau blue economy). Dengan begitu, ada 3 even internasional yang melibatkan banyak negara di Indonesia pada waktu berdekatan dalam bulan September dan Oktober. Even pertama ialah ajang Miss Wolrd yang meski kontroversial, tetapi oleh Hary Tanoesudibyo disebut begitu penting. Pandangannya tak hanya dari aspek jumlah wakil berbagai negara yang hadir sebagai kontestan, tetapi juga penggambaran econonomical benefits termasuk kesempatan promosi luas Indonesia di mata dunia. Memang agak mengarang, karena sebelum bernama resmi Indonesia pun, tempat berjulukan nusantara ini sudah entah siapa-siapa saja dan dari mana saja orang datang ke sini—akhirnya mengeksploitasi dengan berbagai cara— termasuk dengan menjajah seperti Belanda itu. Miss World tak menyumbang untuk popularitas Indonesia, hanya menambah keterangan baru bahwa sebuah dominasi pemikiran yang menolak pamer aurat telah dijungkirbalikkan di sini. Saya kira itu sebuah catatan Indonesia untuk Hary Tanoesoedibyo yang sudah resmi dinobatkan sebagai calon wakil presiden dari partainya (bersama Capres Wiranto). Kedua, even olah raga antar negara organisasi kerjasama Negara Islam yang dibuka oleh Presiden SBY di Jaka Baring, Palembang, pekan lalu. Dalam even

ini 47 dari 57 negara anggota mengirimkan delegasi atau atlitnya untuk unjuk kebolehan. Dari sana Presiden SBY memberi pesan perdamaian kepada dunia. Amat menarik bahwa Islam memanglah sebuah agama dan mungkin sedang dianggap inferior dan malah dikesankan berlumur darah dengan agresivitasnya yang barbar (di dunia Barat) dan sedang diupayakan untuk disingkirkan di “homelandnya” sendiri seperti Indonesia. Islam yang disekulerkan itu tentu amatlah tak masuk akal jika berbicara tentang urusan-urusan profan seperti olah raga, apalagi politik. Pada saat bersamaan Indonesia berjuang memeroleh gelar kejuaraan dalam sebuah title kejuaraan yang tak begitu mendunia dalam sepakbola. Konon 22 tahun berharap untuk itu, dan barulah tercapai bersamaan waktu dengan pembukaan even olah raga di Jaka Baring, Palembang. Menurut berbagai sumber even ketiga (KTT APEC ke-21) sejak dini sudah mendapatkan kepastian kehadiran 11 kepala negara dan 1.200 CEO dari perusahaan besar dunia. Akan diliput oleh 2 ribuan jurnalis, even ini pun disebut akan diamankan belasan ribu aparat keamanan (sebagian menyebut 11 ribuan, sebagian lagi menyebut 14 ribuan). Presiden SBY pun dikabarkan sudah meninjau persiapan, dan menyatakan kepuasannya. Media mainstream kelihatannya memang lebih memilih tendensi pemberitaan dengan pojok-sorot ketuan-rumahan Indonesia—dengan sedikit halaman dan ruang disediakan untuk ajuan pikiran-pikiran kritis yang mempertanyakan manfaat. Ada ko-insidensi even Miss Wolrd dan KTT APEC di tempat yang sama. Tetapi bayangkanlah sejumlah wanita yang diklaim tercantik di dunia hadir di sini, dengan “penyakit” eksibisionis (kesukaan memamerkan kelebihan atraktif hedonis bagian-bagian tubuh kewanitaan), kemudian disusul para pria paling tangguh di dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dan para kepala negara lainnya serta para pebisnis kaliber internasional. Rasanya tak mungkin ko-eksidensi ini tak diperhitungkan.

Sukses sebagai tuan rumah sebuah even memanglah satu hal. Tetapi apa substansinya untuk Indonesia? Beberapa bulan lalu, ketika menjadi narasumber pada sebuah forum di Medan, seorang diplomat karir menunjuk diplomasi substantif sebagai salah satu masalah Indonesia sembari menyesalkan apa arti sekadar menjadi tuan rumah untuk sejumlah pertemuan berkaliber internasional. Menukik pada makna substantif KTT APEC setidaknya hasil diskusi panel Kementerian Perdagangan dan ISEI menunjukkan sejumlah hal yang patut dijadikan perhatian penting—dan itu semua kelihatan sangat menggamangkan berhubung posisi subjektif dan objektif yang sangat tak menguntungkan. Forum itu mengetengahkan bahwa, pertama, Indonesia perlu membuat peta isu-isu prioritas dengan mengukur untung dan ruginya; kedua, melakukan kolaborasi intensif dengan pengusaha; ketiga, melaksanakan peran think thank dan membangun sinergitas yang komprehentsif; keempat, perlunya langkah-langkah strategis yang mengede-

pankan kepentingan nasional; dan kelima, perlunya kerjasama lebih kuat para pemangku kepentingan untuk memanfaatkan kerjasama APEC. Dalam ungkapan lain, kelima rekomendasi itu adalah jeritan panjang dalamketakberdayaan.Memangadayang secaraoptimistikmenyebutkanKTTAPEC ke-21 di Indonesia dapat sebagai momentum kebangkitan politik luar negeri bebas aktif yang digagas oleh Soetan Sjahrir itu. Tetapi pertanyaannya adalah modalitas apa untuk membayangkan itu dalam lalulintas perhubungan antar negara yang sedemikian kejam? Instrumen dunia untuk menopang liberalisasi yang dahsyat adalah kepentingan para pemodal dan penguasa perdagangan dan teknologi yang sangat tangguh. Sisi-sisi yang amat mencemaskan sudah lahir sejak semula, sepertiWashington Concensusyang rinciannya bisa ditemukan pada berbagai instrumen ikutan lainnya. Penulis adalah Dosen FISIP UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Ketika Gatot “Menyetrum” PLN

dedisahputra@yahoo.com

Rem Pulang mengantar anak sekolah kemarin, sepedamotor saya tergelincir. Menghindari mobil di depan yang melintang itu saya tepaksa mengerem mendadak. Rem yang tak bekerja maksimal itu membuat roda depan tak berhenti sempurna hingga sayapun jatuh terjerembab. Beberapa bagian tubuh saya luka lecet. Tapi saya tetap bersyukur untuk beberapa hal. Saya bersyukur karena peristiwa itu terjadi ketika anak-anak sudah diantar ke sekolahnya, saya bersyukur karena ketika terjatuh di tengah arus lalu lintas yang deras itu tidak ada kendaraan lain yang ‘menyambar’ saya. Dan saya juga bersyukur karena rem itu masih bekerja walau tidak sempurna. Begitulah keadilan sebuah peristiwa. Semenderita apapun engkau dibuatnya, akan selalu ada faktor yang mesti disyukuri. Keadilan dan ketidakadilan itu datang dari persepsi, bukan dari setiap objek peristiwa yang datang padamu. Malcom X, mungkin menyadari ini ketika dia mengatakan; tak seorang pun dapat memberikan keadilan. Jika Anda seorang pria, Anda membawanya dalam diri Anda. Tapi.., maafkan saya. Bukan soal adil ini yang hendak saya bicarakan, tapi soal rem. Ya, soal rem. *** Watak rem itu menghentikan atau memperlambat.Tanpanya, kecepatan akan menjadi malapetaka; menghantam apapun di depannya. Dan sejatinya sifat rem itu ada di setiap sesuatu, di kendaraan yang melaju, di lidah yang berkatakata, di sikap yang progresif, di keinginan yang menggunung, dan di syahwat yang menggeliat. Tak terkirakan akibat rem yang tak berfungsi itu. Engkau bisa dibenci banyak orang, menimbulkan masalah besar, bahkan bisa sampai membunuh dan terbunuh.Tapi selalu ada jenis kata-kata yang diucapkan tanpa rem. Prof JE.Sahetapy misalnya—orang yang selalu jadi “bintang” dalam acara dialog di sebuah stasiun televisi. Dia adalah seorang yang paling ditunggu kata-katanya. Tapi setiap kalimat yang diucapkannya nyaris tanpa rem. Dia pernah bilang—beberapa kali bahkan—bahwa SBY harus mengganti Jenderal Timur Pradopo dari jabatan Kapolri. Dia juga tanpa segan bicara miring tentang institusi Polri,“Selama 80 tahun saya hidup, rasanya belum pernah mendengar polisi yang bicara jujur,” katanya di hadapan tatapan mata jutaan penonton di seluruh Indonesia. Kepada sesama peserta dialog dia juga tidak tabu bicara lantang: “Ruhut (Sitpompul) itu mulutnya bau busuk,” katanya. Bukan

cuma di acara ini saja dia berkata seperti itu. Ketika menguji calon hakim, seorang calon dari Gorontalo mengaku sebagai salah seorang muridnya. Bukan keramahan yang diterimanya, malah disemprot kata-kata tajam: “Ya, memang. Tapi saya malu punya murid seperti Anda, karena menjawab pertanyaan apakah pernah masuk Parpol, tidak mengaku. Ternyata dalam CV, Anda pernah aktif di Golkar.” Orang-orang yang menjadi sasaran katakata Prof Sahetapy bukanlah orang sembarang. Mereka punya power bahkan ditakuti karena kekuasaan yang digenggaman. Tapi itu tak mengurangi daya hantam kata-kata sang professor kepada mereka. Ironisnya, mereka yang dihantam itu cuma bisa diam sambil mesem-mesem. Nyata-nyata rem lidah orang tua ini tak berfungsi. Tapi kenyataan lain bahwa sampai saat ini dia tidak saja masih selamat berdiri bahkan dihormati dan disegani. Maka kalau pengemudi, dia pasti sekelas Toretto dalam sekuel The Fast and the Furious. *** Dari mana datangnya rasa hormat dan segan terhadap Prof Sahetapy itu? Dari usia yang sudah tua? Dari kebenaran yang terkandung dalam kata-katanya? Atau dari backing yang “pasang badan” di belakangnya? Kalau soal tua saya kira bangsa ini belum sampai pada pemakluman itu. Coba bayangkan kalau Eyang Subur yang bicara seperti sang professor. Bahkan Amien Rais, tokoh yang punya andil untuk negeri ini yang bicara tentang Jokowi malah dihujat tak karuan. Dan kalau karena kandungan kebenaran, saya justru merasa miris. Karena berapa banyak orang yang bicara kebenaran malah harus menanggung derita. Ucapan yang benar itu malah sering membawa pengucapnya berhadapan dengan hujatan, ancaman, permusuhan, bahkan pembunuhan. Amien Rais tentang Jokowi juga salah satu contohnya. Saya menduga karena konsistensi dan presisi ucapan yang jadi alasannya. Bicara benar saja tidak cukup kalau engkau tidak presisi. Dan ketika presisi, engkau konsisten sampai ke ujung, itulah integritas. Maka ketika Prof Sahetapy berujar, konsistensi itu menampilkan seluruh hidupnya, dan presisi itu menghadirkan pengakuan siapa saja. Konsistensi dalam presisi, adalah dua perangkat yang membuat alam raya menjadi backing-mu. Dengan keduanya engkau akan survive meski tanpa rem.(Vol.451, 30/ 9/2013)

Kolom foliopini dapat juga diakses melalui http://epaper.waspadamedan.com

Oleh Muhammad Hidayat, SSos, MA “Setrum” Gubsu menjadikan krisis listrik kita jadi perhatian pusat, meski harus diakui penanganan pusat belum maksimal.

K

ini listrik padam 2 kali sehari, bahkan bisa lebih. Bukan cuma sumpah serapah, masyarakat berulang kali berdemo ke PLN. Bahkan di beberapa tempat, demo itu diakhiri pembakaran fasilitas PLN. Selintas tindakan warga ini bisa dipersalahkan, tetapi di satu sisi, harus diakui itu ekses dari kelakuan PLN sendiri. PLN seperti menutup mata dengan krisis listrik yang terjadi di Sumatera Utara. Awal krisis setrum pertama melanda Sumut pada 2002 lalu. Waktu itu, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sumut hanya mampu menyuplai 761 megawatt (MW). Padahal, kebutuhan yang diperlukan masyarakat Sumut dan Aceh di atas 800 MW. PLN harus melakukan pemadaman bergilir. Menurut Pelaksana Harian General Manager Pembangkit dan Penyalur Sumatra Bagian Utara, Sugiartho, krisis listrik selain dipicu kurangnya pembangkit di Sumut, akibat salah satu gas turbin (GT) 21 yang berkapasitas 200 MW sedang turun mesin, sehingga butuh waktu perbaikan sekitar tiga bulan. Di samping turun mesin, salah satu mesin gas turbin, pada Jumat (23/8/ 2002) pipa kondensor PLTU blok satu juga mengalami kebocoran. Akibatnya, PLN mengalami defisit listrik hingga 150 MW. Waktu itu, PLN berjanji mengatasi krisis listrik dengan membangun berbagai pembangkit. Beberapa pembangkit yang dibangun antara lain PLTA Renun yang berkapasitas 80 MW, PLTU Sibolga 100 MW, dan PLTA Sipansihaporas 17 MW. Semua proyek yang total kapasitasnya sekita 200 MW itu diperkirakan selesai tahun 2005. Proyek-proyek ini pun disambut baik warga Sumut yang ingin segera bebas byar pet. Orang di provinsi ini berpikir listrik akan terus menyala. Tapi faktanya tak seindah beritanya. Kondisi ini bagai pepatah orang Melayu, indah kabar dari rupa. Cerita pembangkit baru itu tak jelas juntrunganya. Puncaknya, tahun 2013. Kalau dulu pemadaman hanya sehari sekali. Tapi di tahun 2013 ini pemadaman bisa terjadi lebih dari sekali. Mirip minum obat kata orang-orang. Alasan lama pun kembali terlontar. Mesin pembangkit sudah tua dan butuh perawatan, PLN harus melakukan overhaul dan sebagainya—alasan yang benar-benar membuat orang jengkel. Bagaimana tidak, PLN sebenarnya punya banyak waktu. Dari mulai krisis listrik tahun 2002 hingga 2013 ini, PLN punya waktu 10 tahun. Waktu sepanjang ini, seharusnya dimanfaatkan membangun pembangkit baru yang mampu mencukupi kebutuhan listrik di Sumut.

Ketika cerita ini berulang, Gubernur Sumut juga terkena imbasnya. Orang menilai gubernur tidak peka kondisi rakyatnya. Sepuluh tahun sudah krisis listrik melanda Sumatera Utara, tetapi gubernur nampaknya hanya berdiam diri. Kini, telunjuk rakyat Sumut mengarah kepada Gatot Pujo Nugroho. Sebagai gubernur, masyarakat Sumut punya harapan sangat besar agar Gatot mampu menuntaskan krisis listrik ini. Beban yang sebetulnya sangat berat, bahkan menteri-menteri di republik ini juga belum sanggup menuntaskannya. Buktinya, selain Sumut krisis listrik juga menimpa Aceh, Riau, hingga Kalimantan. Seorang kepala daerah memang dituntut menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat. Semua paham, listrik sarana vital bagai suatu daerah. Investor pasti akan bertanya ketersediaan energi ketika akan berinvestasi. Jika ketersediaan listrik tidak mampu memenuhi kebutuhan perusahaannya, tidak bisa dibujuk-bujuk, investor pasti akan hengkang. Cerita ini juga sudah menjadi berita biasa. Banyak investor yang keluar dari Sumut, gara-gara listrik tidak bisa menggerakkan mesin-mesin produksi mereka. Mendengar cerita ini, investor yang baru menjejakkan kaki di Sumut, langsung angkat kaki tanpa basabasi lagi. Di tengah pengharapan yang begitu tinggi, jadi sangat menarik menguntit langkah-langkah Gatot mengatasi krisis listrik ini. Apa yang sudah dilakukannya? Tidak adil juga jika belum apa-apa sudah memvonis. Padahal dari media juga nampak Gatot tidak tinggal diam. Sebagai kepala daerah yang baru, masyarakat sudah pasti menunggu implementasi dari janji yang diucapkannya semasa kampanye dulu. Lewat pemberitaan di media massa, saya menyimak banyak upaya dilakukan Gatot mengatasi krisis listrik di Sumut. Dalam berbagai even, Gatot selalu mengajak semua elemen Sumut bersatu mengatasi krisis listrik. Jangan bertindak anarkis meski kepala sudah puyeng dan emosi dibuat PLN. Himbauan yang pas, karenadalamsepekanterakhirwargamulai menyerbu kantor PLN. Dari Sei Rampah sampai Labuhanbatu, dari Te-bingtinggi hingga Salapian. Tak cuma berdemo, tapi juga diwarnai aksi lempar batu. Pada resepsi milad ke-47 Majelis Wilayah KAHMI Sumut, di Hotel Grand Kanaya, Medan, Minggu (22/9) malam Gatot Pujo Nugroho ST MSi kembali menyorotikrisislistrik.Gubsumenegaskan untuk menyelesaikan krisis listrik butuh kerjasamasemuapihak.Didepansejumlah alumni senior HMI seperti AkbarTanjung,

MS Kaban dan senioran HMI Sumut, Gubsu mengungkapkan dirinya terus mendesak PLN untuk menyiapkan solusi jangka panjang bagi kelistrikan di Sumut. Meski PLN berjanji, krisis listrik di Sumut akan berakhir pada pertengahan 2014, namun Gubsu ingin krisis seperti sekarang ini tidak terulang lagi pada 5 atau 7 tahun mendatang. Bukan tanpa sebab, karenakrisis listrik saatini sebenarnyajuga krisis berulang pada 2002 silam. Kalau cuma cuap-cuap begini, pasti semua orang bisa. Semua kepala daerah pasti melakukan hal yang sama, seperti yang dilakukan Gatot. Orang butuh tindakan dan kebijakan, bukan cuma ucapan yang jadibahanberita.Padatitikini,masyarakat Sumut harus jeli dengan kebijakan Gatot mengatasi krisis listrik ini. Cerewet Bertanya Hal pertama yang perlu dipahami semua orang, listrik adalah salah satu urusan nasional. PLN di Sumatera Utara tidak mampu mengatasi persoalan ini sendiri,begitujugakepaladaerah.Seorang gubernur tidak bisa membuat kebijakan dan tindakan menyelesaikan persoalan listrik ini. Sebagian besar kewenangan ini, berada di bawah kendali pemerintah pusat. Dalam kondisi seperti ini, apa langkah yang dibuat Gatot? Salah satu strategi yang dibuat Gatot adalah menjadikan kasus krisis listrik di Sumatera Utara menjadi wacana nasional. Melalui Dewan Energi Nasional (DEN), Gatot mengupayakan Sumatera Utara menjadi daerah krisis energi. Tujuannya apa? Dengan status ini, diharap ada percepatan yang dilakukan pemerintah pusat. Selain itu, Gatot terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat dan Dirut PLN. Hal itu diakui Dirut PLN, Nur Pamudji. Menurutnya, dalam setiap kesempatan bertemu, Gatot selalu menanyakan solusi krisis listik di Sumut. Setidaknya ada tiga kali gubernur menanyakan solusi krisis listrik yang menimpa masyarakat Sumut. Terakhir Gubsu menanyakan sekitar sepuluh hari lalu ketika bertemu di Kualanamu. Karena selalu dicereweti seperti itu, Dirut PLN Nur Pamudji langsung datang ke Gubernuran Jl. Sudirman, Medan membahas masalah itu dengan Gatot, Kamis, 5 September lalu. Boleh dibilang, Gubsu sukses “menyetrum” PLN. Apalagi setelah pertemuan dengan DEN, Wakil Presiden Boediono akhirnya bersuara agar Meneg BUMN dan Mentamben turun tangan mengatasi krisis listrik akut di Sumut. “Setrum” Gubsu menjadikan krisis listrik kita jadi perhatian pusat, meski harus diakui penanganan pusat belum maksimal. Kepada Gatot, Nur Pamudji mengungkapkan kondisi pemadaman listrik di Sumut masih akan terus berlanjut hingga akhir Oktober. Menurutnya pemadaman akan berakhir November mendatang, seiring beroperasinya secara penuh mesin pembangkit yang

disewa PLN. Dia menambahkan, persoalan kelistrikan Sumatera Utara baru akan teratasi sepenuhnya setelah beroperasinya pembangkit baru yang sedang dibangun di Sumut dan Aceh. Lalu, apakah persoalan selesai dengan dialog saja? Apa yang dibuat Gatot sebagai gubernur? Kendala yang selalu dihadapi dalam sebuah pembangunan adalah ketersediaan lahan. Hal ini juga menimpa pembangunan pembangkit di Sumut. Gubernur tentu tidak punya lahan. Adalah bupati atau wali kota yang memiliki lahan. Bayangkan, jika bupati atau wali kota tidak menyetujui pembebasan lahan? Pasti, pembangkit tidak akan terbangun. Penutup Lalu bagaimana tindakan gubernur untuk merealisasikannya? Pada titik inilah, seorang gubernur harus memerankan fungsinya sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur memiliki kewenangan mengoordinasikan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dan koordinasi pelaksanaan kerjasama antar kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di wilayahnya. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2010. Dalam hal ini, Gatot memainkan perannya dengan baik. Contohnya, distribusi listrik dari PLTU Pangkalan Susu ke Binjai yang terkendala pembebasan lahan. Karena itu, Gubsu meminta Bupati Langkat untuk membantu menyelesaikan masalah lahan di 3 desa di 2 kecamatan di wilayahnya. Saat ini proses distribusi listrik dari PLTU Pangkalan Susu ke Binjai terkendala, karena di 3 desa itu PLN belum bisa mendirikan tower transmisi mereka sebab warga di sana meminta ganti rugi lahan sangat tinggi. Langkah Gatot membantu penyelesaian krisis listrik juga akui Anggota DPD RI asal Sumut Parlindungan Purba. Dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun radio di Medan, ketua APINDO Sumut ini mengapresiasisi langkah yang dibuat Gatot. Sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gatot mencoba mengkoordinasikannya dengan pemerintah kabupaten kota. Selain itu, Gubsu juga terbukti mencari solusi dengan terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat, Dewan Energi Nasional dan Dirut PLN sendiri. Akhirnya, semua pihak memang perlu bergandengan. Tak bijak memanfaatkan krisis listrik untuk kepentingan politik (tentu dengan target meraih suara di 2014) sambil meniadakan peran pihak lain. Lebih baik maksimalkan fungsi dan tugas masing-masing untuk bersama menekan pusat memperbaiki kelistrikan Sumut. Penulis adalah Dosen STIKP Medan.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.