Abang Maspura

Page 1


1

H. ABANG MASPURA


“Nanga artinya Kuala, Payak artinya Lumpur, jadi Nanga Pauyak di tempat kita sama dengan Kuala Lumpur� -- Abang Maspura --

2


1

Bagian

PAK GURU ABANG MASPURA

Guru adalah sebuah kata yang lekat di telinga kita. Deretan empat huruf mulia. Pahlawan tanpa tanda jasa yang oleh penambang lawas kaya kritik sosial Iwan Fals disebut dengan Omar Bakrie.

3


Datok-Nenek suka kumpul bersama keluarga di hari raya. Foto bersama adalah ritual yang tak pernah dilewatkan.

4


…Laju sepeda kumbang di jalan berlubang S’lalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang Terkejut dia waktu mau masuk pintu gerbang Banyak polisi bawa senjata berwajah garang… Bapak Omar Bakrie kaget apa gerangan… “Berkelahi Pak!” jawab murid seperti jagoan Bapak Oemar Bakrie takut bukan kepalang Itu sepeda butut dikebut lalu cabut, kalang kabut, cepat pulang… Busyet…Standing dan terbang… (Kutipan lirik lagu Iwan Fals)

P

ak Guru Abang Maspura lahir 26 Juni 1925. Semasa hidup terpanggil untuk menjadi guru “Omar Bakrie” karena bersepeda kumbang. Oleh warga kebanyakan sepeda kumbang ini juga disebut sepeda Onta. 5


Tampil sebagai guru di jaman Belanda dan awal kemerdekaan RI pada tahun 1945 bagi Pak Guru Abang Maspura adalah bentuk lain dari perjuangan angkat senjata. “Menjadi guru kita angkat pena dan angkat kepala dengan otak sebesar peninju di dalamnya,� kata Pak Guru yang berwajah bulat bagai bulan purnama ini. Figur guru katanya tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga mendidik agar murid punya akhlakul karimah atau bertata-krama. Sopan santun yang mulia. Sebagai guru di era sulit bangsa dan negara yang baru merdeka Pak Guru Abang Maspura menyelami betul perasaan dan pikiran para pendiri Bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Perjuangan pergerakan bangsa telah sampai kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu Pak Guru Abang Maspura berjuang mengisi kemerdekaan lewat jalur pendidikan. Walaupun pendidikan formalnya rendah. Sampai akhir hayatnya tidak diploma atau sarjana strata satu, dua, apalagi tiga. Namun semangatnya tak kalah dengan seorang guru besar. “Kita harus sadar betul peranan guru 6


melalui bidang pendidikan dan pengajaran sehingga disebut UUD 1945 sebagai mencerdaskan kehidupan bangsa.� Pak Guru Abang Maspura bangga dengan idealisme Bung Karno, Bung Hatta dan founding fathers seperti itu. Ia pun menempa diri kuat berorasi laksana Bung Karno dan bersih sebersih Bung Hatta. “Bapak Bangsa itulah guru kita,� katanya. Abang Maspura menjadi guru di Tayan pada tahun 1941. Empat tahun sebelum Proklamasi dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Sebagaimana guru-guru lainnya, Pak Guru Abang Maspura yang lahir di Sintang juga mengalami mutasi secara gradual atau sistematis sesuai situasi, kondisi dan kepentingan tour of duty. Berpindah ke Kota Pontianak mengajar di SDN 30 Pal 4 dekat Mesjid Baiturrahim dan selanjutnya ke SDN No 1 serta SDN di Lembah Murai depan Pelabuhan Dwikora Pontianak. Di akhir masa baktinya Pak Guru Abang Maspura menjadi Penilik Sekolah di Nanga Merakai, Senaning, Sintang. Di pedalaman yang terbatas sarana dan prasarana ini Pak Guru Abang Maspura tidak berkecil hati. Dia menjalankan tugas dengan sabar dan tabah serta ikhlas. Tidak ada kisah menolak tugas. Tidak pula punya hajat pindah ke ibu kota yang fasilitasnya lebih sempurna. Pak Guru Abang Maspura mencandai mu7


rid-muridnya di Senaning yang berbatasan dengan Negeri Jiran, Sarawak, Malaysia Timur dengan Nanga Payak. “Nanga Payak itu hebat. Sehebat Kuala Lumpur. Tahu Kuala Lumpur?” Begitu pertanyaannya. “Tahu Pak Guru…” jawab murid. “Kuala Lumpur adalah Ibu Kota Malaysia.” “Ya, tepat. 100 buat kalian,” puji Pak Guru. Katanya, Nanga artinya Kuala. Payak berarti Lumpur. “Jadi Nanga Payak di tempat kita sama dengan Kuala Lumpur!” Pak Guru Abang Maspura dan murid-murid tertawa. Dengan tertawa yang sesungguhnya getir karena mentertawai diri dan bangsa sendiri adalah motivasi memajukan Bangsa dan Negara melalui elan vital pendidikan dan pengajaran. Melakukan pencerdasan kehidupan bangsa. Sebab kenyataannya antara Kuala Lumpur dengan Nanga Payak ibarat langit dengan bumi. Jangankan Kuala Lumpur dibandingkan dengan Nanga Payak yang udik di pedalaman Kalimantan, KL dibandingkan dengan Jakarta pun ibarat siang dengan malam. Karena KL sejuk dan rapi jali. Adapun Jakarta heboh, padat, macet, sampah bertebar biar, dan udara kotor. Beban polusi Jakarta tergolong terberat sedunia. Murid-murid Pak Guru Abang Maspura antara lain Prof Dr Hamid Darmadi, Prof Dr Uray Husna Asmara, dan Dr Tajuddin Nur. Khusus untuk Tajuddin Nur tercatat satu 8


angkatan dengan putri Pak Guru Abang Maspura Mahlis Zaidar yang akrab disapa Lis.

9


P

ak Guru Abang Maspura sejak kecil gandrung dengan pendidikan. Ia suka mengajarkan apa-apa yang diketahuinya kepada orang lain. Dia suka tampil bicara di depan publik dan menyampaikan ilmu pengetahuan karena sebagai darah biru keturunan Kerajaan Kapuas Hulu dengan gelar Abang dia pun ingin masyarakatnya maju. Secara sadar Abang Maspura belajar di Sekolah Guru B (SGB) dan kemudian Sekolah Guru A (SGA) yang berubah namanya menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Di SPG dia belajar metode mengajar, menyusun kurikulum, dan bagaimana tampil di depan kelas laksana aktor berteatrikal agar menarik perhatian. Abang Maspura berkarakter keras dan tegas. Ia berjalan lurus dengan memperbaiki apa-apa yang dilihatnya tidak beres. Suka kerapian. 10


Sebagai contoh kondisi SDN 1 Nurali tempatnya dimutasikan tampak agak kurang terawat karena pengelolanya abai. Plafon mau roboh, jaring kawat bola koyak-moyak. “Maklum anakanak bermain bola semau kakinya saja,” tutur Abang Maspura. Tidak bisa berpangku tangan, Abang Maspura gelisah. Hatinya resah melihat bangunan compang-camping. Ia suka kerapian dan hati baru tenang kalau bangunan tampak rapi bersih. Waktu yang ada dimanfaatkan dengan optimal. Ia merancang sebuah pertemuan dengan guru-guru senior. Ajak dialog dan setuju ada perbaikan. Abang Maspura pun mengundang orang tua murid untuk menyikapi kondisi buruk tersebut. Ternyata orang tua dan wali murid tidak berkeberatan sama sekali menyumbangsih bagi gedung tempat anak-anak mereka sekolah. “Bukankah kalau plafon roboh yang kena timpa juga anak-anak kita Pak Guru?” menyahut salah seorang wali murid. “Tentu…” kata Pak Guru. “Untung kalau bukan kena timpa plafon itu gurunya…” Si wali murid ngakak disusul Pak Guru tertawa terkial-kial karena paham bahwa pembicaraan ini adalah gurauan. Kendati bergurau, Pak Guru Abang Maspura melanjutkan, “Sungguh tega guru didoakan kena timpa 11


plafon…” Bibirnya masih basah dengan senyum irama gurau. “Itulah Pak, sudah lama kita tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan dan perencanaan soal sekolah. Kalau kita semua dilibatkan tidak ada beban yang berat karena berat sama kita pikul, ringan sama kita jinjing.” Gotong royong adalah warisan sejarah Bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. “Hulubis kuntul baris” dalam istilah Sunda untuk gotong royong yang sangat baik perihal orang tua murid sebagai stakeholder atau pemangku kebijakan sekolah ikut dilibatkan dalam perencanaan dan manajemen sekolah sebagaimana di era terkini fungsi tersebut dilaksanakan oleh Komite Sekolah. Ternyata di antara orang tua murid banyak yang kaya-kaya. Sumbangannya setebal isi dompet yang diambil seenaknya. Cerita Pak Guru Abang Maspura kala itu ada orang tua murid yang datang bahkan dengan sedan untuk ikut rapat. Orang tersebut berdomisili di Bansir. Tak pelak bantuan moril-materil pun mengalir sehingga SDN Nurali berdiri dengan gagah kembali. “Modalnya hanya kemauan. Kita komunikasikan kepada banyak pihak,” kata Abang Maspura memuji firman Tuhan bahwa Tuhan akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu mau mengubahnya. 12


Latar belakang pendidikan Abang Maspura dimulai dari Sekolah Guru Bawah (SGB) di Sintang. Ia melangkah ke Pontianak melanjutkan studi ke Sekolah Guru Atas (SGA). SGA kemudian berubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Abang Maspura yang berjiwa disiplin mengarungi tugas tanpa kenal keluh dan lelah. Ia sanggup berkayuh dengan perahu sampan dari Sintang ke Sepauk karena dikejar Jepang. Melarikan diri sampai ke Sungai Beruang di Tempunak. Jarak itu sekitar 50 Km. Berkayuh dengan sampan tentu lebih jauh daripada berjalan kaki. Di masa penjajahan Jepang itu kakak kandung Abang Maspura, Abang Masputra diciduk Jepang. Ia dibunuh di Mandor. Padahal masih terang dalam bayangan keluarga bahwa Abang Masputra pergi sebagai pegawai dengan dandanan necis dan pulang hanya tinggal nama belaka. Jepang telah menciduknya bersamaan masa dengan Sultan Muhammad (Raja Keenam Kesultanan Kadriah di Kota Pontianak), para raja, cerdik cendikia, hingga jurnalis. Mereka yang diciduk Jepang itu multi etnis, multi agama. Dari berbagai lapangan. Kemudian dikubur massal di Mandor. Abang Maspura pindah dari Selimbau ke Pontianak karena istrinya mengalami sakit mata yang akut. Perawat kesehatan itu meninggal 13


dengan mata yang tidak berhasil disembuhkan. Menurut cerita Abang Maspura, mata istrinya tak dapat disembuhkan karena kesalahan konsentrasi larutan yang dia teteskan ke mata. Dampaknya muncul dua titik putih di retina. Sakit ini berketerusan sampai ajal datang menjemput. Upaya penyembuhan sudah maksimal, baik medis maupun non medis. Secara medis bahkan ditangani dokter asing namun tidak kunjung sembuh. Pak Guru Abang Maspura pun dalam rangka penyembuhan rela mutasi dari berbagai kota sampai ke Pontianak dalam rangka pengobatan sang istri. Dari hasil perkawinannya dengan Supiah Binti Darun diperoleh lima putra-putri masingmasing Amir Syafruddin (Lik), Boyli Rasyidi (Boy), Mahlis Zaidar (Lis), Hastinapura (Titin) dan Fatmi Zuraida (Ida).

14


P

ak Guru Abang Maspura adalah keturunan ke-16 dari Kerajaan Kapuas Hulu. Ia bersaudara kandung dengan Abang Burhan, Dayang Mahran, Dayang Masnun, Abang Masku, Abang Mas Putra (ditangkap Jepang dan dimakamkan di Makam Juang Mandor) dan adik Abang Mastur (di Alay, Kampung Ladang), serta Abang Muhammad. Ayah Abang Maspura bernama Abang Ismail bergelar Abang Lembu dan istri dari Kerajaan Kapuas Hulu. Abang Maspura menikah dengan Supiah Binti Darun, orang Padang, cucu Sutan Darun yang juga Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) pertama di Kabupaten Sintang. Di dalam diri Abang Maspura mengalir darah Indonesia Raya di mana terjadi percampuran darah Dayak dari Kapuas Hulu dan Sintang. Juga mengalir darah ibu yang orang Banjar. 15


Ayah Abang Maspura bernama Abang Ismail terkenal sebagai saudagar lembu dan memiliki bidang tanah sangat luas di Sintang. Terbentang sejak pinggiran Sungai Melawi sampai dengan Baning. Bertempat di kediaman anak ketiganya Hastinapura-Buyung Sukowati, Minggu (17/1/ 2010) pukul 15.00 Abang Maspura yang sudah lama pensiun bercerita soal masa lalunya yang penuh lika-liku. Menanjak dan menurun bagaikan perjalanan dari Sintang ke wilayah sekitarnya yang berbukit-bukit dan paling kesohor adalah Bukit Kelam (The Biggest Stone in The World). Soal buku biografi sederhana untuknya, disambut dengan antusias. “Tulislah yang baik-baik‌â€? ungkapnya.

16


S

ebagai anak pertama hasil perkawinan Abang Maspura-Supiah Binti Darun Amir Syafruddin baru mengerti soal “orang dewasa” saat di Sintang. Sebelumnya mereka lama menetap di Selimbau. “Saya dan Boy (Boyli Rasyidi—adik kandung Amir) sudah di Selimbau. Titin (Hastinapura) lahir di Selimbau, 1958,” ujarnya. Kata Amir, ayahnya bertugas sebagai guru SD selama 6 tahun di daerah ini. Ketika itu belum ada jalan darat sama sekali kecuali jalan tikus yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki tertatih-tatih di bawah lebatnya pohon dan semak belukar. Satu-satunya jalan raya ketika itu adalah air. Air yang mengalir dari badan Sungai KapuasSungai Melawi. Abang Maspura mengarungi rute Selimbau-Sintang jauh lebih banyak. Namun di masa bakti sebagai guru mulai menjelajahi Tayan17


Batang Tarang dan Sintang-Pontianak-Sintang. “Tak jarang motor air sangkut di riam. Jika tidak pandai mengemudi maka akan terbalik,” kenang Amir. Riam adalah tikungan tajam penuh batubatu keras di sepanjang alur sungai. Terkadang riam ini hidup sehingga bisa menyedot perahu, sampan, bahkan motor air dengan merek mesin “Junsun” atau Daihatsu. Kekuatannya mulai dari 8-25 PK (Pacuan Kuda alias Hours Power). Amir sendiri turut mengalami lika-liku perjalanan karir ayahnya. Pindah ya pindah. Pindah ke Kota Pontianak maka Amir dan saudara-saudaranya berpindah pula sekolahnya dari Senaning ke SD di Jalan Nurali. Ayahnya pernah menjadi guru di SD samping Mesjid Al Manar ini. “Bapak sebagai guru SD merangkap semuanya. Satu kelas 1 guru. Itu terjadi pada tahun 1960,” kenang pria yang lahir pada 13 Februari 1953. “Terus saya pindah ke SDN 15 dekat Mesjid Syakirin. Kemudian Bapak menjadi Kepala Sekolah di SDN 30 Pal 4. Tahun 1965 baru pindah ke Sintang lagi sebagai Kepala Sekolah SDN 1 di Jalan Apang Semangai.” Di Sintang selain murid Abang Maspura menjadi akademisi, juga birokrat. Tercatat antara lain Drs Herry Djaung. Herry Djaung yang putra Bupati Sintang ini juga adalah kakak kelas Amir. 18


“Saya satu kelas bersama Nicodemus Djaung. Pak Djaung saat itu Bupati Sintang.” Amir kemudian masuk SMPN 1 Sintang di Jalan Apang Semangai. Berlanjut ke STM Pontianak jurusan Elektro/Listrik (STM Bhakti) di Siantan pada 1971. STM ini didirikan oleh Sultan Hamid Alkadrie II Sultan yang tercatat sebagai Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila yang sampai saat ini menghiasi bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana pada kedua kakinya mencengkeram kalimat bertuah, “Bhinneka Tunggal Ika” (Berbeda-beda namun tetap satu jua). Itulah Indonesia. Amir tinggal di Asrama Sintang Jalan Merdeka Barat. Ke Siantan menuju sekolah menyeberangi sungai menggunakan kapal ferry di depan Kantor Walikota Pontianak. Setahun bekerja setamat STM yang dipimpin AF Susanto, BA Amir menikahi Ponirah seorang gadis cantik yang lahir di Nanga Jetak 27 Juli 1957. Ponirah blasteran Sunda-Jawa. Ayahnya bernama Djarnawi (Sunda) dan ibu Sumirah (Jawa).

19


A

bang Maspura dikenal sebagai guru yang keras dan tegas untuk tujuan terwujudnya sikap disiplin. Untuk itu dia mulai dari diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekolah. Dia juga aktif di sosial kemasyarakatan dengan mendirikan rumah ibadah serta mengelolanya dengan baik. Pak Guru Abang Maspura tidak suka mengeluh. Ia kerjakan segala sesuatu dengan kerja keras secara partisipatif. Untuk itu dia berkata jujur dan hidup sederhana. Ia tidak hidup mewah dan cukup berjalan kaki, menggunakan perahu dan sepeda motor untuk tampil sebagai seorang guru trah Kerajaan Sintang dan Kapuas Hulu. Guru yang jujur. Tidak bermental proyek. Mengembalikan sarana prasarana setelah purna bakti. Tidak ada uang negara yang bocor karena hidup disiplin, tegas, keras, sederhana sampai akhir hayatnya. 20


Bagi Pak Guru Abang Maspura mengajar dan mendidik adalah elan vital perjuangan yang paling tinggi karena cita bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa bisa cerdas jika tingkah laku dimotori sikap ikhlas. Dengan demikian guru tidak mengeluh dan mengaduh lantaran orientasinya adalah pengabdian kepada Tuhan. Tuhanlah yang akan membalas semua kerja-kerja pengabdian sebagai seorang guru itu. Baginya bukan logam mulia adalah emas utama. Bukan pula tanah sebagai emas hitam paling berharga. Tetapi manusia yang mau belajarlah tambang emas paling utama derajatnya. Karena jika hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan para guru sukses, dia bisa melahirkan Camat, Sekda, Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri sampai Presiden. Di tangan pemilik “power� yang arif dan bijak tanah bisa diolah menjadi produktif, bahkan sampah bisa menjadi rupiah. Pekerjaan Rumah (PR) bisa menjadi RP (Rupiah). Ganjaran itu semua tidak pernah terlihat mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik di dalam hati. “Geram kalau melihat mereka berpangku tangan,� katanya. Tuhan bagi Pak Guru Abang Maspura adalah Maha Guru. Demikian bisa ditelusuri dari asal muasal kata Tuhan sebagai pencipta, pelindung, dan pendidik. Terbukti dengan Tuhan 21


mewahyukan bahwa Dia mengajar manusia dengan perantaraan kalam (tulis dan baca). Di dalam Alquran yang sering dikhatamkannya Iqra (baca) punya pamor selain pahala. Surah Iqra (Al 窶連laq 1-5) adalah wahyu Tuhan yang pertama karena betapa pentingnya. Mendahului ketimbang ayat-ayat atau surah-surah lainnya yang berisi hukum, tata cara ibadah, baik yang umum maupun yang khusus. 5 ayat pertama dari 6236 ayat (pendapat lain menyebut jumlah ayat Quran 6666 ayat), terhimpun pada 114 surah, 30 juz. Dimulai dengan Surah Al Fatihah (Pembuka) dan diakhiri dengan Surah An Naas (Manusia). Iqra Bacalah. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia. Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang mulia. Yang mengajar (mendidik) manusia dengan perantaraan kalam (tulis-baca). QS 96 (Al 窶連laq 1-5) Tulis-baca itu secara harfiah adalah pendidikan dan pengajaran seperti yang diarunginya di sekolah-sekolah. Tetapi secara maknawiah adalah bentangan alam semesta ini 22


sebagai kurikulum atau buku ajar besar. Mondial. Maha Besar. Di mana pepohonan adalah kalam, pen, pensil atau penanya, sedangkan lautan tak bertepi adalah tintanya. Jika seluruh pohon di muka bumi digunakan untuk menuliskan “pendidikan-Nya� maka tak akan pernah cukup karena betapa Maha Luas Ilmu yang pada hakikatnya adalah God Spot. Tuhan. Rabb. Bahkan tinta dari samudera ditambah sebanyak dua kali lipat, pun tetap tak akan mampu menuliskan ilmu-ilmu-Nya. Terbukti dengan riset yang di era modern ini terus berlanjut adalah semakin mengukuhkan bahwa bumi ini ada pemiliknya. Pemiliknya adalah Tuhan yang saban hari kita sembah dan mohon pertolongan. Baik melalui sembahyang maupun doa-doa. Terucap maupun terbetik di dalam hati. Pak Guru Abang Maspura bisa marah jika hidup disia-siakan murid-murid, guru-guru atau siapa saja di lingkungannya. Tak mau melihat orang berlehaleha. Karena waktu yang terlewati tidak pernah bisa kembali. “Lebih baik kita marah daripada menyesal. Menyesal kemudian tidak berarti!� ungkapnya. Waktu 24 jam mesti disikapi dengan kerja, kerja, kerja. Kerja keras untuk sukses. Kerja ikhlas untuk bahagia di dalam dada sampai terbaca lewat sorot mata. Kerja cerdas untuk efektif, dan efisien dalam bertindak. Hanya dengan rumus kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas pengabdian seorang guru itu bisa tuntas terigas. 23


Moment pernikahan si bungsu Abang Mastur dikitari sanak famili tahun 1952.

24


2

Bagian

PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN

Inti dari pendidikan dan pengajaran adalah perubahan keterampilan sekaligus sikap mental dari tidak tahu menjadi tahu. Dari tidak kenal huruf menjadi kenal huruf. Dari tidak tahu mana yang baik dan benar, menjadi tahu benar-salah, baik-buruk, betul-tidak, dan seterusnya. Menjadi seseorang yang bisa menggunakan mata untuk melihat. Menggunakan telinga untuk mendengar. Memakai mulut untuk berbicara. Memungsikan hati untuk merasa. Integritas menjadi kesadaran Pak Guru Abang Maspura. Tidak hanya saat berdiri di depan kelas, tetapi dalam totalitas hidup dan kehidupannya. Mulai dari hal-hal kecil dan sederhana di kehidupan sehari-hari. 25


“Bahwa pohon yang tinggi anginnya juga tinggi, jika akar-akarnya tidak kuat, dia akan roboh!� -- Abang Maspura --

26


S

intang masih terisolir. Jalan utama mengandalkan sungai. Sungai Kapuas yang menghubungkan Sintang ke Kapuas Hulu serta ke Kota Pontianak maupun anak Sungai Kapuas yakni Sungai Melawi yang menghubungkan ke Kota Melawi. Produksi pertanian terbatas di lingkungan rumah tangga. Dalam bahasa pertanian disebut dengan istilah pertanian subsisten. Bertani hanya untuk kebutuhan rumah tangga. Pak Guru Abang Maspura menghadapi kesulitan hidup dengan mental baja. Sebagai guru yang paham dengan pentingnya pola hidup sehat Pak Guru memperkenalkan tata cara bertani dengan sistem olah tanah. Baik yang diketahuinya melalui buku, pergaulan, maupun pengalaman. Dengan mental baja dan semangat yang menggelora di dalam dada, seusai salat subuh, Pak Guru sudah menyiapkan parang dan cangkul. 27


Manakala matahari menerangi tanah, dia sudah siap melangkah menuju kebun. Siap mengolah tanah dan menanaminya dengan sayur-mayur seperti ubi kayu (singkong), terong, kacang panjang dan timun. Anak-anak lelaki dilibatkan untuk mencangkul tanah. Lokasi di Alay Kampung Ladang. “Bapak menempati rumah Alay itu. Tanahnya luas,” kata Amir Syafruddin, putra pertama Pak Guru Abang Maspura yang seharihari akrab disapa dengan Lik. “Kalau sudah masa panen, malam hari pesta meriah. Buah diikat-ikat dan esok pagi dibawa ke pasar. Hasilnya cukup untuk menambah penghasilan keluarga,” kata Lik. Tidak hanya Lik yang turut serta menyangkul tanah. Adik kandungnya Boyli Rasyid yang kerap disapa Boy juga ketiban beban. Turut mengolah tanah yang telah dibagi-bagi peruntukannya oleh Pak Guru Abang Maspura. Kebiasaan hidup rapi terbawa hingga ke pengolahan tanah. Sukatan sudah ada. Ukuran yang sama terbagi atas bagian garapan Lik dan Boy. Adapun dirinya menggarap tanah yang lebih luas karena dirinya memberikan contoh teladan. “Kami diberikan jatah galangan yang mesti diselesaikan. Terkadang asyik juga kami mengolah tanah sehingga terlambat masuk sekolah. Namun keterlambatan sedikit yang bisa ditoleransi para 28


guru,� sambung Lik. Anak-anak perempuan Abang Maspura seperti Mahlis Zaidar (Lis) dan Hastinapura (Titin) juga ikut ke tanah. Mereka memang tidak mencangkul tapi menoreh getah. Hasil menorah karet terbagi dua. Hasil utama untuk orang tua, sedangkan hasil nomor dua yang disebut kulat untuk anak-anak sesuai dengan keringatnya. Semakin banyak kulat yang diproduksi, semakin besar pendapatan diperoleh buat jajan atau membeli pensil, buku, bahkan baju. Lik dan Boyli Rasyidi (Boy) yang sudah menyangkul pagi hari tetap dapat giliran menoreh getah pada siang hari sepulang sekolah. Menoreh di siang hari tetap dilakukan walaupun hasilnya sedikit. Demikianlah kiat Pak Guru menyiasati hidup dengan lima orang anak-anaknya. Suatu angka yang tidak tergolong kecil walaupun tidak terlalu besar. Menoreh getah di siang hari mendapatkan hasil “darah putih� yang dalam istilah pertanian disebut lateks tidak sebanyak hasil panen subuh atau pagi hari. Hal ini dikarenakan tekanan turgor pohon sudah sangat rendah. Daun-daun sedang menyerap banyak air buat fotosintesis sebagai bagian dari kinerja keberlangsungan hidupnya. Pak Guru Abang Maspura disebut-sebut anggota keluarga dan masyarakat setempat sebagai pria bertangan dingin karena apa saja yang 29


ditanamnya berhasil tumbuh. Ia bertanam buahbuahan di pekarangan rumah seperti jambu, pisang dan mangga. Kesemua itu masih bisa disaksikan hingga sekarang di mana pohon mang ga terus berbuah dan pisang raja kebanggaannya sudah mekar beranak-pinak. Jika saja pohon-pohon itu bisa berbicara, maka pastilah dia berkata, “Bahwa aku ini tumbuh dan berkembang akibat ulah tangan dingin Pak Guru Abang Maspura.” Bagi Pak Guru Abang Maspura bercocok tanam di lahan pertanian bukan sekedar membuka bawas, menebas, mencangkul, tabur benih dan bibit, dirawat lalu panen begitu saja. Tidak. Dia terus melakukan pengamatan dengan tekun dan serius. Persis seperti galaknya ketika mengajar di depan kelas. “Bahwa pohon yang tinggi, anginnya juga tinggi. Jika akar-akarnya tidak kuat, dia akan roboh,” tuturnya berfilsafat. Artinya, jika menjadi orang “besar” godaan dan cobaannya juga besar sehingga dasar-dasar keimanan dan keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa juga mestilah besar agar tidak mudah terkena bujuk rayuan setan atau iblis. Bujuk rayu setan dan iblis sudah pasti menyesatkan karena janji setan kepada Tuhan memang menyesatkan manusia sebagai anak cucu Adam sebanyak-banyaknya sebagai teman-temannya kelak di neraka. Hal itu semua akibat kesombongannya karena tidak taat kepada 30


Tuhan manakala diperintahkan tunduk kepada Adam. “Setan sombong di hadapan Tuhan. Merasa dirinya bercahaya karena diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah. Akibat kesombongannya maka Tuhan mengusirnya dari surga. Itulah panen orang yang sombong,� nasihat Pak Guru Abang Maspura di dalam batin dan kemudian diajarkannya di depan kelas. Tak puas di depan kelas, dikhutbahkannya pula di dalam mesjid, surau, atau langgar.

31


P

erjalanan Pak Guru Abang Maspura panjang dan berliku-liku. Persis seperti alur Sungai Kapuas yang menjadi jalan raya pada masanya. Selimbau ke Semitau, ke Sintang, ke Pontianak. Balik lagi ke Sintang. Kesemua itu dalam rangka mengobati sang istri akibat sakit mata. Sakit mata ini diakui Pak Guru Abang Maspura sebagai keteledoran diri yang membuatnya menyesal seumur hidup. Yakni kesalahan larutan obat tetes mata. Menurut anak tertuanya Amir Syafruddin yang biasa dipanggil Lik, dia boyongan bersama ayah dan ibu ketika duduk di kelas 3 usia 10 tahun ke Pontianak dan tinggal sementara waktu di Sungai Jawi Dalam. Menumpang di rumah Pak Karim. Dari situ baru ayahnya mendirikan pon32


dok di Gang Bukit Raya. Pilihan mendirikan pondok di Bukit Raya karena tidak jauh dengan lokasi mengajar, yakni di Sungai Jawi, Pal 4. Sebelum pulang ke Sintang sempat 1-2 tahun pindah ke Kuantan Laut bersama Pak Abdul Rasyid ayah dari ilmuan ekonomi milik Kalbar, Drs H Ali Nasrun, M.Ec. Rumah di Bukit Raya dijual karena rencana pindah ke Sintang. Tapi SK belum keluar jadi menumpang kembali di rumah Abdul Rasyid yang masih tergolong keluarga. Ketika itu Ali Nasrun masih kecil. Lik dan Boy masih SD dan belajar di SDN 11 Kamboja. Kini SDN itu sudah rata dengan tanah menjadi Mall Ramayana. Tiga tahun berada di Kota Pontianak Pak Guru Abang Maspura pindah lagi ke Sintang (1965). Lik masih SD kelas 6. Adik kelasnya Herry Djaung yang kelak menjadi Kepala Humas Pemprov Kalbar, Kepala Badan Informasi Daerah Kalbar dan terakhir Kepala Bakomapin Kalbar. Lik dan Boy masuk SMP Sintang tahun 1968 dan tamat tahun 1970. Pada tahun 1971 Lik pilih sekolah STM. Tepatnya STM Bakti (kini STMN 1 Siantan) yang didirikan Sultan Hamid Alqadrie II si Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila. Adapun Boy meneruskan jejak ayahnya Pak Guru Abang Maspura dengan memasuki Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Sintang. Pak Guru Abang Maspura turut mengajar 33


di SPG. Mengajar atas permintaan Balam, BA selaku Kepala Sekolah. Balam minta tolong kepada Pak Guru Abang Maspura agar mengajar walaupun Pak Guru Abang Maspura hanya tamatan SPG. Berarti sejajar. “Karena saat itu guru-guru pendidikannya terbatas. Jumlahnya pun terbatas. Saya diminta mengajar karena dinilai sudah banyak pengalaman,� kata Pak Guru Abang Maspura. Mata Pelajaran yang diajar Pak Guru Abang Maspura Didaktik Kurikulum dan mata pelajaran dasar umum.

34


H

idup dan kehidupan yang keras tanpa pandang bulu apapun pangkat dan golongannya harus disikapi dengan akal yang cerdas. Hal itu menjadi prinsip bagi Pak Guru Abang Maspura. Aktif. Katanya, di dalam hidup kita harus aktif. Tidak boleh lali dan lengah karena dengan lali, lalai dan lengah kita akan tertindas-terlindas. Pak Guru Abang Maspura memulai hariharinya dengan zikir dan pikir. Untuk itu dia berikhtiar. Berusaha dengan keras agar olah pikirnya menjadi kenyataan. Kenyataan itu merupakan bagian dari zikir yang terucap lewat tindakan dan perbuatan. “Zikir itu ada yang lisan. Ada yang perbuatan,� wejang Pak Guru yang suka membe-

35


rikan nasihat agama ini. Zikir lisan dan tindakan Pak Guru Abang Maspura selain bercocok tanam di kala terang tanah juga menyikapi pergantian musim. Kalau musim hujan ia berkerja menebang pohon karet yang sudah tua. Batang kayunya digolek, dipotong-potong, lalu dibelah untuk dijual kepada siapa saja yang perlu kayu bakar. Hasilnya sebagai uang saku anak-anaknya. Menebang kayu di musim hujan tidak hanya berlaku bagi diri dan anak-anaknya sebagai tambahan uang saku, tapi juga sampai ke sekolah. Pak Guru Abang Maspura mengisi waktu kosong, terutama menjelang libur dengan menebang pohon Sempetir tua. Sempetir. Namanya saja Sempetir. Ibarat kilat ia kuat. Seperti guruh, Guntur-petir kala rebah karena pohonnya besar, batangnya tegap, otot seratnya padat. Menebang Sempetir adalah kegembiraan tersendiri bagi murid-murid Pak Guru Abang Maspura. Mereka belajar di luar kelas. Bahkan belajar di kawasan hutan. Belajar di bawah pohon Sempetir. Murid tidak sekedar belajar berhitung dan membaca di dalam kelas yang kaku. Pak Guru Abang Maspura membawa “outbond�. Di sepanjang perjalanan bersama “teamwork� Sang Guru mengajarkan saripati hidup. Mendidik dengan sikap dan perbuatan. Bahwa alam bisa diolah menjadi rupiah. Memenuhi kesulitan yang 36


dihadapi sekolah seperti kekurangan kapur, bahkan sarana olahraga lewat membaca alam. Gerak aktif dan kreatif yang melahirkan efek tindal fisika. Hasilnya mencengangkan sosialita. “Dengan menebang Sempetir kita dapat uang untuk membeli bola voli dan net,” ungkapnya disambut sorak-sorai puluhan murid yang bergerak melangkah laksana Rambo ke tengah hutan. Dalam benak para murid kapan lagi mau jadi aktor laksana “Film Tarzan”. Di sepanjang jalan ada saja satu dua murid yang teriak: auoooo. Namun yang lebih mengusik benak adalah betapa nikmatnya bermain voli di halaman sekolah. Service, blok, smash, last one…itu katakata yang terbayang di arena bermain voli. Namun apa daya sarana olahraga itu tiada. Baru akan ada dengan ide gila Pak Guru Abang Maspura. Caranya dengan menebang Sempetir. Ide gila yang penuh adventure. Pak Guru Abang Maspura tidak lupa bertutur pinutur dengan kearifan alam. Bahwa alam harus dijaga kelestariannya. Tidak boleh menjadi pembalak hutan sebagai illegal loggers. “Ini murid yang punya otak untuk arif dan bijak. Kita bukan illegal loggers. Bukan pula bajak laut,” semangat Pak Guru Abang Maspura berapi-api. Dia paling senang pula jika berada di lapangan. Gairahnya laksana lautan tak bertepi. Kendati Sempetir ditebang, pohon lainnya ditanam. Reboisasi namanya. Penanaman kem37


bali. “Kalau nanti keluar dalam ulangan apa arti reboisasi kalian sudah paham.” Tiba saat Sempetir ditemukan, pohon diikat dengan cara menaiki ke atas. Seorang siswa naik secepat Tarzan. Setelah sampai ke leher pohon lalu mengikatnya, tak lupa memanggil temantemannya seraya pamer jago panjat. “Auooooo….” Tali disimpulkan sudah. Si Tarzan pun turun, sebab siapa mau nahas rebah bersama Sempetir? Seraya punggung Sempetir digaruk dengan kapak, angin bertiup semilir. “Menetak batang pohon lihat arah mata angin,” ajar Pak Guru Abang Maspura. “Dengan melihat arah mata angin kita tidak kerja terlampau keras karena pohon akan tumbang se arah angin. Angin bekerja membantu kita. Kita bersekutu tenaga dengan angin dan alam,” timpalnya disambut anggukan kepala murid Rambo dan Tarzan. “Tarik. Mulai tarik,” komando Pak Guru. Ia mengingatkan arah tumbang yang diinginkan. Yang tidak menimpa anak-anak pohon lainnya yang masih kecil-kecil. Lebih-lebih pohon raksasa ini Sempetir tua yang sudah mulai renta. Jika tidak ditarik, bisa-bisa tetap “tecogok” tidak bergerak. Murid-murid suka dikomando 1, 2, 3 seperti tarik tambang. Pak Guru Abang Maspura juga gemar memberikan komando seperti tenta38


ra. Dia jadi Komandannya. Ini profesi impiannya, namun zaman Belanda seleksi jadi tentara begitu ketat sementara tubuh Pak Guru semampai. Ia sadar diri. Lebih sadar lagi tidak mau bersekutu dengan penjajah Belanda, Jepang…Nah, muridmurid inilah pasukannya. Begitulah ada murid yang bertugas menjagal batang pohon bagian punggung. Ada murid yang menarik tali tambang. Ada penerapan manajemen yang apik. Proses menebang ini seru dan tak jarang kocak karena maklumlah dunia anak-anak. Waktu terus berjalan seiring cucuran keringat kerja keras. Punggung Sempetir sudah cupang. Derit pohon terluka sudah terdengar seperti orang berbisik, “Hai murid aku dah nak tumbang, Siap siap. Siap siap….” Pak Guru Abang Maspura berteriak, “Hei hati-hati! Sebentar lagi tumbang!” Dihitungnya dari jarak 10. Countdown. Hitung mundur. 9, 8,7….3, 2,1. Praaaak! Gedubrak!!! Sempetir berlabuh ke daratan. Smooth landing. Mulus seperti direka-reka sejak semula. Tidak ada anak pohon jadi korban. Sempetir laksana tersenyum karena ditebang. Daunnya melambai-lambai. Beberapa daun yang lepas ke udara jatuh bertaburan laksana Mike Tyson berhasil meng-KO Larry Holmes di mana di atas ring tinju berjatuhan potonganpotongan kertas pesta. Atau seperti La Furija Roja 39


berhasil memboyong Piala Dunia dengan Spanyol menggasak Belanda. Mereka disambut hujan kertas pesta dari tribun kehormatan. Nuansa serupa La Furija Roja dan Mike Tyson sudah dirasakan anak-anak sekolah asuhan Pak Guru Abang Maspura. Dedaunan yang berguguran laksana hujan itu sensasi yang luar biasa. Sensasi yang hanya didapat dari menebang Sempetir yang tidak ada di dalam kurikulum didaktik Departemen PDK (P&K baca P dan K singkatan dari Pendidikan dan Kebudayaan). Tidak pula didapat sensasi ini dari menebang pohon akasia, apalagi pohon pisang. Sensasi luar biasa itu tentu saja dirayakan dengan kata-kata horeeee oleh pasukan Rambo dan Trazan. Meriah dengan tepuk tangan. Pesta yang sempurna dengan peluh atau keringat. Tak kalah banjir keringat jika dibandingkan perjuangan mengkanvaskan Larry Holmes oleh si leher beton. Seiring ekor suara Sempetir roboh terjerembab burung-burung pun kaget. Mereka terkejutkejut. Mereka terpaksa terbang menyelamatkan diri seraya mengomel-ngomel lewat cicit cuit-cicit cuit suara sentilnya. Seolah mereka mau berkata, “Payah murid-murid sekolah ini, kedatangannya mengganggu kita-kita yang sedang mencari saripati bunga di kawasan hutan nan tenang selama ini‌â€? Tidak hanya burung yang pias terkaget-ka40


get lantaran Sempetir tumbang. Paling parah ayam yang mengais-ngais cacing untuk mencari makan. Demi mendengar Sempetir tumbang, kokok keoknya pun melambung ke langit seolah mau laporan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa Sempetir tua telah wafat. Kalau saja bangsa ayam mempunyai budaya penerbitan Koran, pastilah dia sudah mengajukan pemuatan iklan duka-cita 4 kolom kali 120 mm dan dibayar tunai. Sahabatnya ayam soal urusan salak menyalak siapa lagi jika bukan anjing. Anjing-anjing Pak Alau yang berada di dekat hutan pun tak mau kalah berpartisipasi dalam orkestra keterperanjatan. Mereka pun kongkong menggonggong seperti ikut gosip yang disanjungkan si ayam jantan dan si burung cicit-cuit. Terakhir yang bikin ribut adalah babi. Baik babi piaraan di kandang, diumbar atau benarbenar babi hutan. Dengan suaranya yang khas serak-serak parau si babi yang suka tertunduk malu setiap kali berjalan mengomel-ngomel seperti nenek tua yang latah. Seolah dia mau berkata, “Apa yang dikerjakan sidak tu bah? Macam tak ada kerjaan di sekolah saja. Memang mereka tidak bisa dibuatkan pekerjaan rumah alias PR gitu? Bikin risau kita-kita para babi saja dengan meng-KO-kan Sempetir.� Si babi mengomel dengan mengorok-orok. Ohok-ohok. Kepalanya tetap tertunduk-tunduk. Mengomel seraya malumalu. 41


Sempetir tua rebah laksana ibadah. Memang ibadahnya alam adalah untuk diolah manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk ibadah pula seraya memakmurkan bumi. Ibarat manusia, Sempetir tua tampak senyum khusnul khatimah. Mengakhiri hidupnya dengan penuh manfaat bagi peradaban manusia. Lebih-lebih tubuhnya akan dipotong untuk kemudian hidup lagi dalam bentuk kapur tulis, bola voli dan net sarana olahraga. Sempetir tua akan senang mengalami perubahan bentuk tubuh ini. Ia mengalami perubahan alam seperti manusia yang mengalami hidup empat alam. Alam ruh, alam rahim, alam dunia dan alam akhirat. Sudah lama Sempetir ini minta sujud ke bumi, namun Tuhan belum berkenan. Sempetir baru bisa sujud kala Tuhan menggerakkan otak Pak Guru Abang Maspura untuk punya ide brilian dan diapresiasi para murid dengan aklamasi sehingga begitu demokratis. Bahwa “outbond� ke kawasan hutan adalah atas keinginan bersama, diputuskan bersama, dan untuk kepentingan bersama. Persis langgam demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Di tangan anak-anak kelas Rambo dan Tarzan asuhan Pak Guru Abang Maspura inilah mimpi Pungguk naik ke bulan menjadi kenyataan. Sempetir buat sekali seumur hidupnya bersujud ke haribaan Allah Swt. Tuhan Sang Pencipta. 42


Tak perduli dengan keributan di sekelilingnya para murid riang gembira memotong kayu dengan gergaji dan kampak. Bagi yang berotot besi bertulang baja dan berurat kawat ambil posisi membelah. Di sini jadi ajang unjuk kebolehan. Kebolehan para “pejantan� untuk pamer kekuatan. Lagi-lagi hal olahraga begini tidak ada di dalam buku mata pelajaran apalagi kurikulum P&K. Yang sama hanya satu: keringat keluar laksana pelajaran olahraga, titik. Begitulah Sungai Jemelak tempat memperoleh Sempetir menjadi saksi hidup kegiatan Pak Guru Abang Maspura dan murid-muridnya. Danau Jemelak sebuah danau yang indah. Keindahannya bergandengan erat dengan Danau Balek Angin. Dari namanya saja kita sudah tak perlu bertanya betapa indahnya hamparan lahan danau ini. Hijau ranau dan riak air tersapu angin bagaikan mutiara berkilau. Bertabur di padang luas seluas danau berhias dangau serta burung bangau. Di dalam danau itu bertabur mutiara lebih banyak lagi. Mutiara yang bisa bergerak dan berenang dengan aneka warna dan rupa. Namanya I-K-AN. Ya, ikan. Bahasa Inggrisnya fish. Bahasa Bugisnya: bale. Bahasa Jawanya: iwa. Ikan, fish, bale atau iwa sebuah kemewahan di Danau Jemelak dan Balek Angin. Terutama di musim kemarau kala airnya surut hampir 2/3. Kalau sudah musim panas begitu, penduduk se43


tempat panen raya. Saking panen raya, orang datang dari luar ramai sekali. Mereka membawa jaring, bakul, takin. Datang bakul kosong, pulang penuh ikan. Hal ini masih berlangsung sampai sekarang. Jenis ikannya banyak pula. Antara lain ikan biawan, tengadak, buin (berduri kecil-kecil), baong, lais, seluang, bau (disebut juga ikan PKI akibat tidak berkepala). Kepalanya dipotong karena si kepala ikan ini mudah busuk diserang payak atau ulat. “Ikan membusuk dari kepalanya. Ingat itu! Kalau kalian menjadi pemimpin atau kepala jangan seperti ikan PKI. Busuk dimulai dari kepala,” nasihat Pak Guru Abang Maspura kepada murid-muridnya. Nasihat berlanjut sambil pulang ke sekolah. Soal membusuk itu kata Pak Guru bukan hanya berlaku bagi daging ikan, tapi juga bagi kehidupan luas. Bahwa institusi atau lembaga ikut-ikutan busuk jika si kepala berpikiran busuk. “Sebaliknya ke mana kepala pergi, maka ekor?” Pak Guru menggantungkan kalimatnya untuk melempar ke arah murid-murid sebagai tolak ukur apakah mereka menyimak atau tidak. “Akan ikuuuut!” Murid-murid koor. “Ya, ke mana kepala pergi maka ekor akan tetap ikut. Artinya jika kepala busuk, maka badan dan ekor akan ikut busuk. Sebaliknya, jika kepala bersih, maka badan dan ekor akan ikut ber44


sih.�

Pak Guru menasehati murid-murid agar kelak menjadi pemimpin adalah seperti ikan dengan kepala terbaik yang sehat, kuat, cerdas, tidak busuk. Hal ini persis seperti ikan laut. Ia berada di air yang asin, namun dagingnya tidak ikut-ikutan asin. Daging ikan laut tetap tawar sehingga “uenak tenan� kala dimakan. Apakah dimasak, dibakar atau digoreng. “Kita boleh berada di lingkungan yang rusak, tapi badan dan pikiran kita jangan ikutikutan rusak,� timpal Pak Guru Abang Maspura.

45


P

ak Guru Abang Maspura mendidik dengan mendalam. Dia menganut prinsip bahwa pendidikan lebih penting dari sekedar pengajaran. Mengajar baginya hanyalah memindahkan catatan dari buku ke buku. Hanya transfer ilmu dan keterampilan belaka. Namun mendidik jauh lebih utama karena pusarannya adalah perubahan akhlak atau prilaku dari malas menjadi rajin, dari hitam menjadi putih, dari salah menjadi benar. Adalah kebahagiaan yang tak terperikan bagi Pak Guru Abang Maspura kala melihat anak didiknya yang “begajul� menjadi saleh dan salehah. “Puas kalau sudah melihat murid malas menjadi rajin dan dari bodoh menjadi pintar. Ha46


silnya lebih permanen. Lebih mantap,” kata Pak Guru Abang Maspura yang juga suka menonton Wisata Kuliner sehingga disusulnya dengan kata “Mak Nyos!” Untuk mendidik, Pak Guru Abang Maspura menyiapkan tata cara yang edukatif dan tidak berbahaya. Misalnya dia memilih mengangkat anak-anak rambut di atas kuping jika ada anak murid laki-laki yang “nambeng” alias bandel. Namun yang agak lebih berat seperti mengambil koin atau mata uang logam tanpa izin ia kategorikan berat. Hukumannya? Ternyata masuk ke dalam tong yang airnya semata kaki. Dengan dimasukkan ke dalam tong, Pak Guru Abang Maspura bisa mengamatinya dari luar dengan posisi aman. Sementara si anak bandel bisa sejuk alias kedinginan di dalam tong yang berisi air semata kaki. Di dalam kesejukan itu diharapkan Pak Guru Abang Maspura murid nakalnya menjadi lembut selembut air. Pak Guru Abang Maspura tidak stop sampai di situ. Dia datang mendekat dan mengajak si nakal berbicara. “Menyesal? Janji tidak akan mencuri koin lagi?” “Menyesal Pak…Saya janji tidak akan mencuri koin lagi,” jawab si murid. Tanya jawab laksana interview dengan siaran live di televisi ini disaksikan banyak orang sehingga akan ada efek jera bagi si “tersangka”. Efek jera yang berujung kepada rasa malu sehing47


ga terpatri di dalam hati untuk taubat nasuha. Berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sebab, maluuuu tahu?! Interview di tong berisi air semata kaki menimbulkan kesan suara menggema. “Dengar gema suara kamu itu?” “Dengar Pak Guru…” “Tahu artinya?” “Tidak tahu Pak Guru…” “Itu artinya tong kosong nyaring bunyinya! Begok! Begajul…” Si Begok pun mengangguk-angguk tanda setuju. Garuk-garuk kepala tak gatal. “Tahu arti tong kosong nyaring bunyinya?” “Tahu Pak Guru…” “Apa? Coba! Pak Guru mau dengar.” “Kita tidak tahu apa-apa tapi berlagak tahu. Sesumbar. Pambar. Bodoh pura-pura pintar. Miskin seolah-olah kaya raya…” “Nah, itu baru murid Bapak! Bukan Begajul dan Begok! Sudah pintar kamu sekarang. Masih mau dihukum dalam tong?” “Tidaaak…” “Sudah lekas naik ke sana.” Hukuman pun dicabut. Si murid kemudian disaksikan Pak Guru Abang Maspura tumbuh menjadi anak yang cerdas dan pintar. Efek jera mengena di hatinya.

48


T

idak pernah wajah Pak Guru Abang Maspura pias kecuali hari ini. Hari nahas baginya karena seketika ingin berangkat pulang sekolah alat transportasi paling canggih miliknya bernama sepeda Onta kempis ban tanpa angin. Ia geleng-geleng kepala karena bukan ban kempis tertusuk paku penyebab tiada angin, tapi beladar dalamnya pun hilang raib! Hilang tak berbekas sama sekali. Siapa gerangan pelakunya ini? Demikian Abang Maspura menaikkan radar intelijennya. Mendeteksi murid-murid nakal yang ada di sekolah satu per satu. Dia bayangkan mukanya si A, si B, si C sampai si Z. “Siapa pelakunya ya? Pastilah anak-anak nakal yang suka main katepel! Ataukah anak-anak yang dendam karena 49


dihukum?” Berpikir dan berputar otak Pak Guru cari jawaban atas soal test tak tertulis dari alam. “Aku diuji Tuhan,” bahasa hatinya. Tepel atau katepel adalah jenis permainan anak-anak yang populer pada masa lalu. Terbuat dari tiga bahan utama, yakni cangka sejenis kayu seperti huruf Y—biasanya diambil dari pohon perdu Cengkodok—kedua, karet gelang atau beladar ban sepeda, dan ketiga pelana dari bahan kulit sebagai tempat pijakan peluru. Katepel bersenyawa dengan peluru dipakai untuk berburu. Utamanya menembak burung cicit cuit, burung pocong, cerindit, bahkan keroak. Beberapa kelompok anak “nakal” menjadikan katepel sebagai alat permainan perang-perangan. Permainan ala laki-laki, sebab anak perempuan lebih cenderung main masak memasak, boneka-boneka, atau berdandan. Harap maklum ini suara hati yang juga suara alam. Sebab begitulah titipan Tuhan. Peluru katepel dibuat dari tanah yang dibulat-bulatkan seukuran guli, gunduk alias kelereng sehingga kalau mengenai badan, lumayan juga rasanya. Kena kepala jelas bisa benjol seperti telur rebus. Tidak sulit membuat pelor sebesar guli. Cukup dengan mencebur ke Sungai Kapuas atau Sungai Melawi. Merangsek ke pinggir ke tanah liat. Ambil beberapa tukuk, lalu angkut naik ke atas. Sambil berleha-leha di bawah pohon Bungur 50


dengan bunga ungu melambai-lambai kedua tangan membuat bulatan, digusal-gusal sampai bulat dan dijemur di atas daun pisang. Kena cahaya panas nan terik, dalam bilangan jam sudah masak. Si pelor siap meramaikan permainan. Permainan anak laki-laki yang keras dan panas. Anak-anak nakal memang banyak akal. Mereka pandai juga menghindari marabahaya seperti kepala benjol laksana telur rebus tersebut. Caranya dengan mengganti bahan peluru. Tidak lagi dari tanah liat yang diolah seperti guli bin kelereng, tapi ruas batang sirih yang dipotongpotong, atau ruas tumbuhan merambat sejenis lada. Jenis tetumbuhan yang merambat itu pada umumnya bertekstur lentur sehingga mantap sebagai bahan pelor. Jika musuh kena sasar pelor tumbuhan merambat ini paling banter bilur atau bilor pada kulitnya. Bilor-bilor laksana dirambati akar sirih. Tetaplah terasa pedih. Oleh karena itu setiap pemain akan berusaha menghindar sehingga permainan ini cukup mengasah otak serta sarat edukasi. Sebab siapa lengah, kena sembat. Siapa siaga dia selamat. *** Abang Maspura bertanya kepada siapa saja yang melintasinya. Tak terkecuali si murid asal Baning bernama Buyung. Murid langka asal pinggir Sungai Melawi ini semampai tubuhnya, kulit sawo matang dan bola matanya pun hitam. 51


Penampilan Buyung lugu, kendati dia anak pintar. Matematikanya tangkas. 10 atau 100 terus. “Buyung, apa kau tahu siapa yang tega berbuat seperti ini kepada Bapak?” “Tidak tahu Pak Guru…” “Benar? Kamu kan juga anak yang suka nakal?!” “Tidak Pak Guru, bukan saya. Sumpah!” “Tidak kau ambek buat katepelkah?” “Tidaklah Pak Guru. Mana pernah ada saya main katepel. Itu anak-anak nakal SD lain kali Pak Gur u…” Menjawab Buyung dengan diplomatis. “Ya syukurlah kalau bukan engkau pelakunya. Tapi kalau Bapak tahu siapa pencurinya—baik anak SD kita ataukah anak SD orang lain, akan Bapak hukum berat dia! Akan Bapak jemur, masuk tong atau dilaporkan kepada polisi.” Buyung bergidik bulu kuduknya. Rambutrambut halus di tengkuknya meremang. Dia terbayang hukuman masuk ke dalam tong atau dijemur dengan kaki sebelah diangkat dan tangan memegang telinga. Celakanya lagi disaksikan puluhan murid-murid lain di seantero sekolah. Amit-amit jabang bayi, pikir Buyung seraya mencari tahu siapa sih anak nakal yang “gila” karena sanggup berbuat seperti ini. Layak sekali dilaporkan kepada polisi karena kriminalitas murni. Setimpal ibarat gula bayar gula, utang 52


garam bayar garam. Pak Guru Abang Maspura berkeliling sekolah sekali lagi karena tak puas jika tidak ketemu jawaban siapa pelaku pencuri ban beladar dalamnya. Sidik dan lidik. Namun sia-sia. Hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda siapa pelaku kriminal ini. Puas sudah berkeliling mencari-cari barang bukti namun tidak secuil pun didapatkan tandatandanya, tahulah Abang Maspura bahwa pelakunya sungguh lihai. Bekerja dengan cepat dan rapi. Profesional seperti Mac Giver. Hanya napas panjang dihela Pak Guru Abang Maspura seraya kipas-kipas cari angin. Pak Guru berhati baik ini kemudian menyeret si Onta ke bengkel seperti mendaftarkan pasien ke rumah sakit. Terseok-seoklah kaki si Onta ke bengkel karena tanpa angin. Berjalan pingkar, timpang atau berpilin-pilin. “Lama-lama rosak gak ban luarnya nih,� keluh Abang Maspura. “Berapa rupiah kelak harus dirogoh?� Mendesir hatinya. Mana kejadian ini di bulan tua di mana rupiah tipis setipis kulit ari. Bengkel di Sintang dapat dihitung dengan jari. Tapi soal keterampilan reparasi jangan ditanya lagi. Seperti tukang sulap, sekali sentuh jadi. Begitupula dengan sepeda Abang Maspura. Hanya dengan buka sekrup tungkai sepeda, tarik roda keluar, tusuk ban dengan obeng pipih dan disisipkan ban dalam yang baru hingga melingkar 53


ke dalam perut ban terluar sudah sip. Pompa ditekan dengan kaki, lalu tuas dihenjut turun naikturun naik. Sekira 20 kali memompa, ban dicek anginnya. Keras. “Sedang Pak Gulu?” Bertanya si abang bengkel seraya mendongak ke arah muka Pak Guru. Pak Guru sendiri seraya berkacak pinggang melepas tangannya dari pinggang untuk menekan ban dengan dua jari. Jari induk dan telunjuk. “Sedikit lagi Bujang. Kalau lebih keras bisa lebih laju Pak Guru.” “Hayya…Jangan suka kebut-kebut Pak Gulu nanti wisa yatok wa.” “Hai! Jangan banyak cakap lagi Bujang. Hati Pak Guru hari ini sedang berbulu. Coba tengok sepeda Pak Guru bisa hilang beladar dalamnya. Tahukah Bujang siapa pencuri ban dalam begini?” “Hayya Pak Gulu, mana Ngai tahu…” Si Bujang pelat ini terus bekerja memompa sampai selesai. Sampai akhirnya dia tersenyum sumringah. “Sudah selesai ho,” katanya. “Berapa nih Bujang?” “Wa untuk Pak Gulu talak usah bayal wa. Jalang-jalang Pak Gulu ke bengkel ngai sini. Kasi kesempatan ngai belbuat baeklah sama Pak Gulu…” tuturnya dengan suara sopan santun. “Jangan Bujang, nanti kamu rugi…” “Mana bisa lugi Pak Gulu. Kata Lauya punya, kalau mau panen tiap hali tanamlah kangkung, kalau mau panen tiap bulan tanamlah 54


sayul, dan kalau mau panen setiap tahun tanamlah lulian. Tapi kalau mau panen selama-lamanya: tanamlah kebaikan Pak Gulu….Betul wa?” Pak Guru Abang Maspura tertawa. Mukanya yang tadi pias jadi bersemu merah bahagia. Ternyata ada murid yang tidak sekolah tapi mengerti makna hidup dan kehidupan yang keras ini. Reflek tangannya bergerak mengusap kepala si Bujang yang masih jongkok memutarmutar ban yang tuntas ditukanginya dengan angin. “Terimakasih Bujang. Allah yang akan membalasnya…” Dikayuhlah sepeda menjauh. Sampai Pak Guru Abang Maspura redip ditelan kejauhan barulah si Bujang kemudian bekerja kembali. Si budi baik nan tersembunyi di tengah riuh rendahnya suara bengkel dan jauh dari papan tulis kelas ini berhasil menjadi murid alam. Kendati aksen Cinanya masih kental karena sulit menyebut huruf R menjadi L, ia telah banyak belajar Bahasa Melayu sang lingua franca. Lebih dalam daripada itu dia sudah menyerap ilmu pergaulan hidup lewat kearifan alam. Belajar menjadi bijak dan berakhlak. Sebab tujuan pendidikan dan pembelajaran di kelas atau di sekolah pada akhirnya juga untuk melahirkan atau mewujudkan manusia-manusia bijak. “Lihat si Bujang. Dia bukan Islam tapi akhlaknya mulia melebihi orang Islam,” puji Abang Maspura di atas hentakan kayuh 55


sepedanya. Ia melewati jalan yang ditembangkan Iwan Fals, “Naik sepeda kumbang di jalan berlubang – selalu begitu dari dulu waktu jaman Jepang…” *** “Orang berakhlak itu tak pandang bulu apa agamanya, mau Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, animisme sekalipun,” kata Abang Maspura di depan puluhan siswa di depan kelas kala dia menutup pelajaran favorit Buyung . Bujang dicontohkannya. “Berbuat baik dengan ikhlas. Keikhlasan itu terpancar lewat cahaya wajahnya. Nah, siapa yang berakhlak baik, wajahnya pun bercahaya,” katanya. Buyung menyimak. Tapi dia bernasib apes. Nilai matematikanya yang 10 atau 100 turun dramatis. Terjun bebas ke angka enam. Dia protes kepada Ibu Dayang Fatimah yang tak lain tak bukan adalah staf Pak Guru Abang Maspura selaku guru Matematika dan Kepala Sekolah SDN 1. “Bu, kenapa nilai saya jadi enam?” “Kamu nakal!” “Ibuuu? Bukan saya pelaku pencurian beladar dalam Pak Guru Abang Maspura! Itu ulah orang lain…Saya pastikan ini!” Dayang Fatimah melengos. Dia tak perduli dengan argumentasi Buyung si anak Baning. Tak perduli pula dengan rekam jejak kepintaran 56


Buyung yang menjawab seluruh soal dengan benar. Buyung tampak sedih, namun dia yakin nilai enam ini bukan atas perintah Pak Guru Abang Maspura, tapi tanda solidaritas Bu Guru Dayang Fatimah kepada Kepala Sekolah yang juga atasannya. “Sepertinya sayalah tersangka kasus hilangnya beladar dalam itu,� pikir Buyung yang terus menempa dirinya dengan kebaikan demi kebaikan. Menjalankan fatwa Pak Guru Abang Maspura dengan inspirasi Bujang Bengkel Sepeda. Pikiran Buyung kecil amat sederhana. Kalau dirinya tidak belajar dengan tekun di sekolah maka segala sesuatu menjadi percuma alias sia-sia. Sebab besar sekali investasi yang telah dilakukannya yakni berjalan empat kilometer setiap pagi belum dihitung berjalan pulangnya. Rumahnya di Baning berada di pinggir Sungai Melawi. Menempuh jalan melingkar untuk sampai ke SDN 1 yang berada di pusat Kota Sintang. “Saat itu belum ada jalan tembus karena masih lebat hutan,� katanya. Investasi tenaga itu lebih bertambah di musim hujan. Jalanan Baning berlumpur karena tidak mengenal kata aspal. Sementara itu rumputrumput sepanjang jalan saling berangkulan karena tak sanggup memikul beban air hujan yang menempel di atas pundaknya. Tak pelak lagi jalan setapak laksana ekor tikus itu tertutup rapat daundaun basah. Konsekwensinya basah pulalah 57


celana dan setengah pinggang baju yang dikenakan Buyung. Jangan tanyakan sepatu, sebab sepatu tidak bisa dipakai lantaran beradu kedalaman lumpur. Menyedihkan, sehingga masuk di akal jika banyak anak-anak Baning usia sekolah pada waktu itu tidak mau masuk sekolah. Mereka lebih memilih ikut ke ladang bersama kedua orang tuanya. Buyung juga terpatri oleh kata-kata ayahnya yang pegawai di instansi Pertanian Kabupaten Sintang. “Buyung! Dengarkan kata-kata Bapak ini: kalau kau tidak mau ke sekolah, sudah Bapak pastikan bahwa Bapak akan masuk penjara oleh polisi!” “Wah mengapa begitu Pak?” “Karena Bapak tidak sanggup kasih makan kalau kau tidak sekolah. Kalau tidak sekolah nanti besar kau mau makan apa? Apa terus bergantung dengan Bapak? Apa mau Bapakmu ini menjadi pencuri?” Buyung tertegun berpikir. Di dalam batok kepalanya beredar bayangan tidak bisa makan dan ayah meringkuk di sel polisi. Adapun jumlah saudaranya tidak terbilang sedikit: sembilan. Semua itu perlu makan dan tak ingin ayah yang amat sangat dicintai ini masuk penjara. “Repotlah Pak kalau kita semua tidak bisa makan!?” Keluar kata-kata lugu itu dari mulut Buyung kecil sehingga ayahnya tersenyum. Berdoa. “Sekolah yang rajin ya Nak. Kalahkan 58


Bapak. Bapak saja sampai sekolah ke Jakarta untuk belajar ilmu pertanian, masak kamu tidak melebihi Bapak. Sebab anak-anak yang hebat adalah anak-anak yang bisa melebihi prestasi orang tuanya.� Buyung yang matematikanya hebat cepat berkalkulasi seperti kalkulator. Hitungannya bahwa dia pasti bisa mengalahkan prestasi ayahnya Ismail Hasan yang pegawai pertanian. Hitungannya sederhana saja. Persis aljabar di mana diterangkan bahwa sumbu x menunjukkan semangat belajar sedangkan sumbu y menunjukkan perjalanan waktu. Paralel dengan bertambahnya waktu dan semangat belajar, maka akan didapat titik ordinat yang menanjak laksana tangga. Naik sedikit demi sedikit bak lompatan katak. Lompatan menanak itu hanya diri sendirilah yang tahu, sebab Tuhan pun tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang bersangkutan itu sendiri tidak mau mengubahnya. Bertautlah nasihat baik di tempurung kepala Buyung. Pertama nasihat Pak Guru Abang Maspura di depan kelas, kedua fatwa ayahandanya. Dengan demikian Buyung ber untung mendapatkan pendidikan yang senapas di sekolah maupun di rumah tangga. Beginilah konsep pendidikan yang terbaik. Selaras antara pendidikan di sekolah dengan rumah tangga. Terjadilah longlife education. Pendidikan 59


sepanjang hayat masih di kandung badan. Buyung memendam prinsip ordinat “xy� di dalam dadanya. Ia tumbuhkan sikap positif dalam setiap jejak dan langkahnya. Tak perduli dengan lumpur musim hujan di pinggir Sungai Melawi Desa Baning, dan tak perduli dengan arah tempuh yang jauhnya delapan kilometer. Semua ditanggapinya dengan persangkaan positif sebagai olahraga kebugaran, di mana olahraga membawa bentuk tubuh menjadi sehat-kuat. Sebaliknya olah raga membangunkan olah rasa yang membawa bahasa batinnya menjadi kaya. Kaya intuisi dan inspirasi. Kaya pengalaman batin yang mengembara ke mana-mana seluas arus Sungai Melawi, selebat hutan-hutan Baning dan seceria burung-bur ung yang bercengkerama di pepohonan. Buyung mengangkat bukunya tinggi-tinggi kala basah mengancam lewat daun beradu punggung di alur jalan tikus musim hujan. Bukubuku dijunjungnya dengan semangat batin bahwa ilmu pengetahuan begitu sangat mulia. Wajar dijunjung di atas kepala dan bukannya buku dilipat ke dalam saku dekat pantat. Itu menurutnya kelakuan yang sangat tidak pantat eh pantas. Tidak sopan kepada ilmu pengetahuan. Tidak mendudukkan ilmu sebagaimana mestinya, sebab pantatlah tempat duduk bagi badan, sementara tempat duduk bagi buku adalah tas. Proporsinya begitu. Bijak. Bisa menempatkan di 60


mana topi dan di mana kaos kaki. Topi di kepala dan kaos kaki di kaki. Bukan sebaliknya topi di kaki dan kaos kaki di kepala. Kalau hal itu terjadi, inilah yang disebut dengan “celaka 12” alias gila. Kendati ada filsafat yang mengatakan dunia hanya bisa diurus oleh orang gila, tetapi maksudnya bukan gila celaka 12, tapi gila karena bijak. Gila karena kebijakannya yang cepat dan tepat, sementara orang-orang yang biasa tidak cepat, tepat dan adillah yang memandangnya sebagai gila, lantaran ukurannya adalah baju sendiri. Orang-orang yang dinilai “gila” itu antara lain dalam pandangannya adalah ayahnya sendiri karena sanggup-sanggupnya menyontohkan kepada anak-anaknya bahwa jika tidak mau rajin ke sekolah sudah dapat dipastikan bahwa nasib Bapak lebih lanjut adalah penjara. Sebuah kalimat yang tegas dan jelas. Bisa dinalar dengan cepat oleh anak-anak sehingga di masa dewasa tumbuh sukses. Orang lain yang dikenalnya “gila” selain ayah sendiri ya Pak Guru Abang Maspura. Tampil sebagai guru yang tegas, motivator, namun hidupnya sangat sederhana. Padahal dia kepala sekolah. Logikanya, kepala sekolah bisa berbuat apa saja. Misalnya menjual kuasa naik tidak naik atau lulus tidak lulus. Begitu pula jika mau menyimpangkan proyek ini dan itu yang sangat banyak mengalir di sekolah sejak zaman Belanda 61


dahulu. Tanpa disadari Buyung bahwa dirinya telah berada di jalur “gila� namun diyakininya ada pada rel kereta yang benar. Terutama dalam kacamata atau perspektif pendidikan dan pengajaran. Buyung terus memacu semangat walaupun nilainya jungkir balik dari 10 menjadi enam. Disangkakannya saja bahwa Bu Dayang Fatimah solider kepada Pak Guru Abang Maspura sebab sesungguhnya nilai yang didapat tetaplah 100 dan ini realitas lapangan yang diakui seisi kelas. Bagi Buyung, nilai tertulis bukanlah kenyataan terdalam atau hakiki. Dia hanyalah angka yang bisa ditulis sekenanya. Jika pulpen guru memberi satu garis didampingi satu angka melingkar penuh jadilah angka 10, tapi jika garis itu tidak ditemani nol, maka jadilah nilainya tiang listrik yang kurus tinggi langsing disingkat kutilang. Angka hantu jelangkong yang ditakuti warga Baning. Dipelajari pula oleh Buyung bahwa Tuhan tidak akan menimpakan suatu ujian atau beban kepada orang-orang yang tidak sang gup memikulnya. Oleh karena itu Buyung mengiringi pula semangat belajarnya dengan doa dan harapan agar siapa pencuri beladar dalam Pak Guru Abang Maspura bisa terbukti kelak di kemudian hari. Doa dan harapan Buyung mengalir sebagai gelombang suara yang ditangkap udara. Mengalir seperti pijar api listrik yang bergerak atas hukum 62


elektromagnetik. Menjalar dengan sunyi senyap tanpa bisa terlihat mata telanjang yang terbatas jangkauannya. Tak terdeteksi telinga karena gelombang elektromagnetik ini tak tertangkap gelombang 20-20.000 Hertz. Ia hanya bisa tangkap oleh pemancar rasa iman yang bersemayam di dalam dada. Dada siapa saja secara lintas etnis, suku, atau agama. Dada Bujang Cina di Bengkel Sepeda salah satu di antaranya yang terbuka. *** Sampailah suatu hari di kala Buyung sedang bermain dengan rekan sejawatnya bernama Ajang, anak cerdas blasteran Cina-Melayu dan beragama Islam. Ajang duduk di bangku SDN 2 yang jaraknya bersebelahan dengan SDN 1 Kota Sintang. Dia jago main gunduk, guli, atau kelereng. Jago pula main tembak getah yang cara memainkannya sangat unik tapi sederhana. Yakni dengan membuat sebuah gawang kecil seukuran tinggi sejengkal orang dewasa dan ditancapkan ke dalam dasar tanah. Dari kedua pancang gawang dengan ukuran sekitar 30-40 cm itu dikangkangi oleh karet tebal. Biasanya tidak cukup hanya selembar karet gelang, tetapi 5-10 buah. Ketebalan ini sangat penting karena bakal jadi pondasi tempat duduknya karetkaret gelang lainnya. Karet gelang yang dipasang di atasnya adalah milik para pemain yang diikat dengan susun 5 atau 10. Pemain berada di satu titik berjarak 5-10 63


meter tergantung kesepakatan bersama. Pada titik ini mereka menembak dengan alat tembakan karet gelang pula. Karet gelang yang sudah dianyam sedemikian rupa sehingga menjadi senjata yang bisa melesat laksana busur panah. Biasanya di bagian ujung karet peluru ditambahkan beban sebuah kelereng. Ajang penembak jitu. Sekali tinting dan shoot, sasaran kena dan karet gelang yang tersusun laksana kue donat itu berguncang hebat, lalu roboh ke badan tanah. Dengan “donat� roboh ke tanah, maka dialah pemenangnya. Karet-karet yang dipasang oleh para pemain tadi menjadi miliknya. Jika karet gelang berpindah ke tangannya dan terlampau banyak sementara kawankawannya habis stok, Ajang menjual kembali kepada kawan-kawan sepermainannya. Di sini dia sudah belajar bisnis ala pengusaha. Belajar menjadi entrepreneur lewat baku main. Ketiadaan alat permainan lain seperti video games, playstation, internet atau megamall menyebabkan bermain getah dan guli adalah favorit di era 1970-1990. Generasi 70-90 lekat dengan permainan ini tak terkecuali Buyung dan Ajang. Bagi Buyung dan Ajang keakrabannya seakrab guli dengan getah, atau sedekat getah dengan cangka tepel. Nah di tengah keasyikan bermain inilah doa Buyung diijabah Tuhan melalui 64


perkataan Ajang secara tidak disengaja. “Yung, nepel burung Yuk?” “Di mana?” “Hutan Baning. Banyak burung bagus di musim asam berbunga. Nanti kita panggang, pasti lezat!” “Aku tak punya tepel Jang.” “Aku punya. Tepel yang bagus karena terbuat dari ban beladar.” “Ban beladar dari mana?” “Aku ambil dari sepeda guru di SDN 1,” katanya. “Kapan?” “Waktu sekolah lagi sepilah!” Pambarlah hati Buyung. Dia berhenti sejenak bernapas. “Ambo nan gadang! Rupanya si Ajang pelakunya,” kesimpulan Buyung dalam hati. Untuk itu secara halus dia tolak ajakan Ajang berburu burung di hutan Baning karena tak mau terlibat dengan barang curian. “Tidaklah Jang. Lain kali saja…” Begitu alasan Buyung. Bagi Buyung pengakuan Ajang sudah lebih dari cukup untuk dilaporkan kepada Pak Guru Abang Maspura dan Bu Guru Dayang Fatimah. Lebih-lebih dia adalah korban tidak langsung dari perkara hilangnya beladar dalam ini karena nilai matematikanya nyaris merah. Tapi Buyung belajar bersikap arif dan bijaksana. Ia melakukan gerakan tutup mulut laksana menyimpan sebuah rahasia paling penting di dalam hidupnya. 65


Rahasia ini dia pegang lekat-lekat. Sebab dia tak mau melihat Ajang diseret ke kantor polisi. Dia juga merasa kasihan jika Ajang dijemur di tengah lapangan, bahkan bisa jadi dihukum keluar sekolah, padahal dia anak yang cerdas lagi terampil. Sebab jika tidak cerdas dan terampil mana bisa dia selalu menang main guli dan getah. Mana mungkin pula dengan cepat dan tepat mengambil beladar sepeda tanpa bekas. Buyung menerapkan cara lain untuk menasehati kawan sepermainannya ini. Dia tidak jaga jarak melainkan melebur tanpa menimbulkan kecurigaan bagi Ajang. Buyung memilih tetap bermain dengan Ajang sambil bertukar pandangan serta menyisipkan nasihat-nasihat. Utamanya nasihat rajin belajar seperti nasihat Sang Ayah kepada dirinya. Oleh karena itu kecil-kecil Buyung berpikiran tua. Lebih baik begini. Lebih baik anak kecil berpikiran tua daripada orang tua berpikiran anak-anak. Dengan cara bergaul seperti ini menurutnya seseorang bisa berubah kelakuannya. Berubah seperti air menetesi batu yang tertetes sedikit demi sedikit lama-lama berlubang juga. Prinsip berpikir positif Buyung diijabah Tuhan Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar. Selain Ajang tumbuh menjadi orang baik karena lebur dalam nasehatnya, Buyung juga kembali dapat nilai sempurna 10. Ia bahkan setamat SD, 66


SMP, SPG diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bukan hanya menjadi PNS, Buyung kemudian menjadi Kepala Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sintang karena ilmu matematikanya sangat baik sekali. Bahkan lebih jauh daripada itu semua Tuhan telah mengatur lebih dalam. Buyung dijodohkan-Nya dengan Hastinapura yang tak lain dan tak bukan adalah gadis manis putri Pak Guru Abang Maspura. Maka benarlah perkataan Bujang Bengkel Sepeda, kalau ingin panen selama-lamanya maka tanamlah kebaikan‌ Sungguh luar biasa energi positif dari hati dan pikiran positif yang disalurkan oleh gelombang elekromagnetik via kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak hanya persahabatan yang terus terjaga antara Buyung dan Ajang, tapi juga Buyung beroleh istri anak Pak Guru Abang Maspura serta hingga kini terwujud keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Buyung meneruskan budi pekertinya yang mulia yang setia menjaga rahasia. Sebab sepanjang riwayat Pak Guru Abang Maspura menjadi mertuanya, tidak pernah sekalipun terucap dari lidahnya bahwa pelaku pencurian beladar sepeda Onta di SDN 1 adalah Ajang. Bahkan tetap rahasia ini dijaga sampai Pak Guru Abang 67


Maspura pun menghembuskan napas terakhirnya di kediaman sendiri yang terletak di pinggir Sungai Melawi, Baning. Bagi Buyung, barangsiapa menyelamatkan air muka orang lain, maka Tuhan akan menyelamatkan aib muka yang bersangkutan di hari akhirat. Hari paling akhir di mana hanya ada satu pengadilan, yakni Pengadilan Tuhan. Menurut Buyung yang dibesarkan dari keluarga religius, di akhirat hanya ada satu pengadilan, tetapi putusannya tegas dan adil buat ber miliar-miliar umat. Berbeda dengan pengadilan di atas dunia yang fana atau tidak kekal ini ada banyak pengadilan, tetapi sedikit sekali putusan-putusannya yang tegas dan benar-benar jujur-adil. Rahasia pencurian beladar sepeda terus terjaga sampai Abang Maspura tutup usia. Tetapi jauh hari sebelum Abang Maspura tutup mata, terlebih dahulu Ajang mendahuluinya menghadap Sang Pemilik Kehidupan. Ajang sempat berumah tang ga dan dikar unai tiga orang putra. Menjadi sopir angkutan yang cekatan, serta suka menolong orang, buah dari pertemanannya bersama sahabatsahabat baik nan mulia. Salah satunya adalah Buyung si anak Baning yang keras serta ikhlas dalam belajar. Yang tidak lain dan tidak bukan, menantu Pak Guru Abang Maspura dengan melahirkan zuriyat Pak Guru Abang Maspura 68


yang suka mengajar dan mendidik. Ajang yang sopir berhubungan erat dengan bengkel. Bengkel yang dikelola oleh Bujang. Sebab seperti rumus “xy” matematika ala Buyung, Bujang juga sukses melompat dengan lompatan katak. Jika Buyung sukses menjadi birokrat bahkan hilir mudik ke Jakarta melampaui ayahnya, Bujang juga meningkat dari bengkel sepeda menjadi sepeda motor, dan akhirnya mobil roda empat. Aneka kerusakan mobil Ujang dibawa laksana pasien ke Bujang. Termasuk kala ban mobilnya kempis tanpa angin, juga dilubruk masuk ke Bengkel Bujang. “Berapa ongkosnya Bujang,” Bertanya Ajang seraya kipas-kipas mandi keringat. “Sulah Pak Ajang, tak usah bayal. Pak Ujang sulah mannyak kasih ngai wang. Untuk ban kempis glatis aya wa. Kecuali yang losak mesin!” Bujang tetap mempertahankan budi baiknya kepada konsumen sehingga konsumen puas. Puas sepuas doa Pak Guru Abang Maspura mendapat ban dalam gratis dari Bujang sehingga mengiba kepada Tuhan Sang Pencipta agar membalas budi baiknya berlipat ganda. Doa yang merayap dengan rumus “xy” lewat lapis gelombang elektromagnetik itu merambat pasti. Bahkan kembali kepada si Ajang yang mencuri ban beladar Pak Guru Abang Maspura. 69


Kisah ban kempis juga menimpa dirinya dan disambut “glatis” oleh Bujang. Sebaliknya menurut Bujang, si Ajang telah “setol mannyak wang” kepada dirinya karena Ajang adalah pelanggan setia sampai akhir hayatnya. Keuntungan yang tentu saja berlipat ganda dari sekedar ban beladar dalam “glatis” buat Pak Guru Abang Maspura. Maha Benar Tuhan dengan segala janji-janjiNya. Seperti rumus fisika yang menyebutkan energi tak dapat diciptakan dan tak dapat dimusnahkan. Energi itu abadi sebagai Hukum Kekekalan Energi yang kerap dikhutbahkan Abang Maspura sebagai Pak Guru di depan murid-muridnya. Energi kebaikan lebih utama. Akan merayap dengan rumus “xy” sehingga menjadi deposito amal yang di dalam pelajaran Agama Islam disebut seperti satu biji tumbuh tujuh cabang dan masing-masing berbuah 100. “Wallahu yudhaifu limay yasya’ bighairi hisab!” (Artinya: Tuhan melipatgandakan lebih banyak lagi tanpa batas perhitungan atau hisab…). Tuhan si Ahli Hisab, Grand Master Matematika bisa melipatgandakan energi kebaikan itu sekehendak hati-Nya. Oleh karena itu Dia menyebutkan tidaklah putus amal ibadah anak cucu Adam—walaupun sudah meninggal dunia—kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh-salehah yang mendoakan kedua orang tuanya. 70


Pak Guru Abang Maspura mendapatkan ketiga-tiganya sebagai pelajaran hidup. Pertama, sedekah jariyyah. Dia adalah Pak Guru yang ringan tangan memberikan bantuan jariyyah. Bahkan menjadi amalannya bahwa setiap Jumat menyumbangkan uang besar. Hingga akhir hayatnya dia selalu menitipkan uang untuk mesjid terdekat Rp 50.000. Amal yang terus konsisten sampai ajal menjemput nyawa. Anak-anak yang saleh dan selehah tumbuh besar sampai ke cucu-cicit. Tak pelak, Pak Guru Abang Maspura memberikan nama Gang Zuriyat, lokasi di mana dia membangun “rumah kecil� yang bergandengan dengan rumah anak kesayangannya Lis. Di depan pintu rumahnya dibangun sedekah jariyyah berupa Surau Al Mukminun. Ilmu yang bermanfaat sangat banyak ditabur oleh Pak Guru Abang Maspura. Tabur biji-biji ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya juga ditabur oleh para guru sedunia. Guru yang bahasa Arabnya disebut ustadz. Bahasa Jawanya disebut kyai. Bahasa Cinanya disebut suhu. Bahasa kampusnya disebut dosen, master, atau proffesor. Di sinilah terletak kebahagiaan hati seorang guru. Guru yang punya integritas. Guru yang menjadi teladan di mana apa yang disebutkan, itu pula yang diteladankan. Menjadi seiya-sekata. Satu dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Hanya dengan keteladanan karakter murid 71


bisa terbangun (character building) di sekolah-sekolah atau kampus-kampus. Hanya dengan contoh riil di dalam kehidupan sehari-hari pembangunan Bangsa (nation building) bisa terus dilakukan sehingga menjadi bangsa yang cerdas (smart) yang punya harkat dan marwah. Seperti amanat pendiri negara (founding fathers) bahwa kemerdekaan adalah pintu gerbang bagi anak-anak Bangsa melakukan pembangunan. Mencerdaskan kehidupan Bangsa. Membangun manusia Indonesia seutuhnya. Lahir-Batin. Dunia-Akhirat.

72


Mabok

P

emerintah Kalimantan Barat meluaskan infrastruktur jalan Trans Kalimantan. Megaproyek ini melintasi Tayan sehingga menghubungkan Kota Pontianak dengan Kabupaten Sanggau dan menjadikan jalur utama jalan raya yang selama ini melintasi Pinyuh dan Landak dapat dihemat 2-3 jam tergantung jenis dan laju kendaraan. Abang Maspura punya romantisme masa lalu dengan Tayan. Selain darah biru yang mengaitkan Kerajaan Selimbau dengan gelar Abang kepada Kerajaan Tayan, juga kultur atau budaya masyarakatnya. Masyarakat Tayan berbeda dengan masyarakat Selimbau dan Sintang. Keduanya masyarakat yang mengandalkan pada kultur pesisir yang kaya ikan 73


sehingga berbagai-bagai karya olahan ikannya termasyhur ke mana-mana. Selain berupa-rupa masakan ikan, juga kerupuk kering dan kerupuk basah. Kerupuk basah rasanya lezat dan nikmat setara dengan empek-empek Palembang. Tayan dikenal dengan gulanya. Gula Tayan yang hebat. Gula yang terbuat dari nira kelapa yang disadap dengan cara memanjat di pagi dan siang hari. Disadap di pagi hari pada kelopak mayang, dan dipanen siang hari dengan memungut kembali balutan di seludang. Selanjutnya nira itu dihimpun masuk kuali besar dan dimasak di atas tungku dengan kayu bakar. Teknik pengolahan nira Tayan pada masa lalu adalah yang paling maju karena berhasil mencapai kekerasan dan kekeringan yang pas. Dengan demikian gula Tayan kuat bertahan jika dikirim ke berbagai pelosok negeri Kalimantan. Dikenallah gula Tayan. Walau Tayan pada saat itu belum masuk peta pergulaan lokal maupun nasional. Pak Guru Abang Maspura yang memulai karir mengajarnya di SD Tayan tak ketinggalan bersentuhan dengan gula Tayan ini. Ia yang kreatif juga turut mendistribusikan si gula merah tersebut. Maklum, sebagai guru, dia mengerti maksud hukum ekonomi bahwa suatu barang menjadi bernilai ekonomi jika ada perubahan 74


bentuk dan perubahan tempat. Disebut dengan nilai barang dan nilai tempat. Di sisi lain ada pula nilai guna sehingga bagi pengguna suatu barang seperti gula Tayan akan bernilai ekonomi ketimbang yang bukan penggunanya. Abang Maspura punya istri perawat. Perawat yang jago masak dan pintar membuat kue. Tak pelak gula Tayan bernilai ekonomi bagi rumah tangga sebagai penambah pendapatan. Maklum saja gaji guru kala itu sangat kecil. Keciiil jika dibandingkan dengan tugasnya yang besar dalam hal mencerdaskan kehidupan Bangsa. Sehinggalah para guru itu disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Sebuah kalimat manis yang menyebabkan mereka bahagia sampai tujuh keturunan. Kalimat manis yang bagi Abang Maspura jauh lebih manis ketimbang gula merah si gula Tayan. Setiap kali melintasi daerah Tayan dari perjalanan pergi-pulang (PP) Sintang-Pontianak Pak Guru Abang Maspura tidak pernah absen bercerita soal gula Tayan. Bahkan sebelum bercerita hidungnya sudah kembang kempis karena betapa manisnya kenangan di Tayan masa lalu. Melihat kelakuan Pak Gur u Abang Maspura seperti ini wajarlah jika orang-orang di sekelilingnya menyimpulkan bahwa pengalaman pertama selalu berkesan. Kesan yang teramat sangat dalam. 75


“Tayan dulu ini kampung. Hanya pejalan kaki dan sepeda yang hilir mudik di sini,” ungkapnya. “Sekarang mobil lalu lalang.” Sebagai guru Abang Maspura hanya bersepeda. “Lumayanlah daripada berjalan kaki. Dengan bersepeda kita berjalan lebih laju,” ungkapnya. Abang Maspura bangga bersepeda daripada bermotor. Menurutnya bersepeda itu sehat buat fisik, sehat buat dompet karena tidak perlu mengisi bahan bakar, dan terakhir sehat pula buat alam karena tidak menyumbangkan polusi udara maupun polisi suara. Bersepeda adalah hobi bagi Abang Maspura. Cocok bagi jiwanya yang tidak suka keributan. Tidak suka hiruk pikuk sehingga suka sepi. Suka menyendiri. Privacy. “Dengan suasana sepi dan tenang kita bisa berpikir jernih. Buat membaca buku juga cepat masuk,” katanya. Oleh karena itu Pak Guru Abang Maspura dipahami anak dan cucu-cucunya suka privasi. Tak heran jika dia memilih membangun “rumah kecil” sendiri dengan rumah salah satu anaknya di bilangan Gang Zuriyat, Baning, Kota Sintang. Di sana dia berkhidmat. Berkhidmat buat membaca dan beribadah di Surau Al Mukminun berjarak 8 meter di depan pintu rumah “kostnya”. Semangat kemandirian yang tersisa si masa tua tertempa kuat di masa muda. Dengan sepeda 76


yang dikayuhnya kuat-kuat dia melawat hingga ke Batang Tarang. Utamanya saat panen raya buah durian. Dia hobi makan buah durian. Hobi membawa pulang untuk berbagi, dan bagi keluarganya durian bisa diolah menjadi Lamboy. Makanan lezat yang diolah atas campuran daging buah durian (Tempoyak) dengan daging ikan. Warna kuning asal kunyit menyikat mata sehingga amat menggoda. Bau harum durian menambah aroma sehingga mengangkat tuas selera makan. Adapun rasanya yang legit merupakan perkawinan antara kaldu daging durian dengan kaldu daging ikan. Hah, jadi ngiler‌ Buah durian asal Batang Tarang terkenal hingga sekarang. Di setiap panen raya selain dijual segar bulat-bulat, juga diolah menjadi gula durian maupun tempoyak. Perubahan bentuk benda dari mudah membusuk jadi tahan lama menyebabkan nilai ekonominya juga meningkat. Ini salah satu sebab kenapa di Tayan selama ini akur, subur, makmur tanpa ada konflik berdarah-darah. Jawabannya adalah ekonomi masyarakat segar bergairah. Ditambah sempurna dengan masuknya pendidik yang punya integritas dalam mengajar. Kloplah sudah. Konflik kekerasan mudah meletus jika masyarakat lapar. Karena perut kosong memendekkan akal. Napas jadi pendek sehingga siap mati untuk tujuan mendapatkan imbalan. Sanggup membunuh demi mempertahankan 77


kehidupan diri, keluarga dan kelompoknya. Hal ini natural-alamiah sifatnya sehingga Abang Maspura hapal kata-kata Arab yang berbunyi kadal, tepatnya, “Kadal fakru ayyakuna kufran.� Artinya tentu saja tidak sangkut menyangkut dengan kadal, tetapi bahwa kemiskinan menyebabkan manusia lebih dekat dengan kekufuran. Kufur atau kafir di sini berarti ekonomi, bukannya agama A, B, C atau Z. Maka kufur atau kafir berarti sangat luas. Yakni siapa saja yang tidak mau bersyukur atas otak serta kedua tangannya bagi hidup untuk kerja keras, kerja cerdas serta kerja ikhlas. Kesemua itu adalah perangkat yang dianugerahkan Tuhan kepada semua manusia normal sejak lahir secara cuma-cuma alias gratis. Tidak pernah Tuhan mengirimkan kwitansi tagihan karena Hak Paten penciptaan-Nya atas otak, tangan, mata dan hati. Tadak suah! Berbeda dengan para ilmuan kosmopolitan sekarang yang apabila ada penemuan segera membuat hak paten /hak cipta dengan harapan mendapatkan royalti atau ganti rugi keuntungan. Memang tidak salah jika berbuat demikian, apalagi jika dananya digunakan untuk riset lebih lanjut. Yang salah adalah apabila hanya menumpuk-numpuk harta. Karena menumpuknumpuk tiada berguna, sebab harta laksana air laut. Makin diminum makin haus. Hanya silang haus kalau sudah masuk ke dalam lubang tanah. 78


Kufur-kafir berarti mengabaikan perintahperintah yang baik yang menyelamatkan. Semisal menebangi pohon durian sampai gundul hutan, ini berarti kafir terhadap Tuhan lantaran Tuhan menciptakan bumi seraya memerintahkan manusia menjaga kelestariannya. Oleh karena itu seseorang bisa kafir walaupun dia beragama. Sebab agama bersemayam di dalam jiwa. Iman berakar pada hati. Buah daripada agama, iman dan keyakinan adalah perbuatan. Jika kafir, maka agama di KTP-nya percuma. Sebaliknya tanpa punya KTP dengan tulisan agama A, B, C, D sampai Z, namun kelakuannya arif dan bijaksana, maka dia sesungguhnya bukan kafirun. Dia Al Mukminun. Istimewanya Tayan di dalam pandangan Pak Guru Abang Maspura selain aman, gula merah dan durian adalah hasil ikan dan udang. “Besar-besar!” ungkapnya dengan desis huruf S yang bersusun 3. Jika dituliskan menjadi, “Besssar-besssar!!!” Begitu besarnya si udang tentunya. “Memang udangnya besar-besar,” lanjutnya. Udang besar yang disebut dengan udang galah karena ukurannya seperti batang galah. Galah yang oleh sebagian orang Melayu diartikan sebagai aur, awok, bambu atau buluh. Galah yang dalam bahasa Melayu Mempawah disebut galah orang sehingga di sana dikenal kata spesial Galaherang. Tak urung di Kota Pontianak 79


terkenal rumah makan Galaherang. Udang Tayan yang besar-besar itu cocok digoreng, dimasak, maupun disambal. Tidak kalah saing pula si udang jika disumbangkan masuk ke dalam tempoyak. Uenak tenannn. Lezat sampai mertua lewat pun tak lagi dikenal karena serius menghadap nasi serta lauk pauk tempoyak atau Lamboy di piring. “Kita makan udang sampai mabok,” kenang Abang Maspura. Yang mendengarkan kisahnya pun tak kalah “terlior-lior”. Sampai bercari tisu atau sapu tangan untuk mengesatnya. “Begitu lezatnya pengalaman sebagai guru. Gaji boleh rendah. Hidup boleh sederhana, tapi kaya hati dan kaya pengalaman,” tutur Pak Guru Abang Maspura. Kaya hati dan pengalaman itu menurutnya yang sungguh merupakan elan vital pendidikan dan pengajaran. Bahwa alam adalah guru sejati. Bahwa masyarakat adalah laboratorium kehidupan yang paling lengkap dan sempurna. Untuk itu sekali menjalani hidup menurutnya jangan disia-siakan sampai sampai ajal datang menjemput nyawa. “Sekali layar terkembang, pantang surut mundur ke belakang!” Suara Pak Guru Abang Maspura datar, tapi getaran keteladanannya terasa menggelegar. Bagai petir halilintar menyambar.

80


K

ampung Ladang tempat ayah Abang Maspura Abang Ismail bergelar Ayi Lembu bertani dan berdagang berada satu gugus dengan Baning. Sama-sama berada di bibir sungai. Jika Anda berkendaraan dari Kota Pontianak masuk ke Kota Sintang dan melewati Jembatan Lintas Melawi maka di bawah jembatan ini ada jalan raya yang mengikuti raut wajah Sungai Melawi yang berlekuk-lekuk. Terhubungkan Kampung Ladang dan Kampung Baning. Ayi Lembu berdarah campuran DayakMelayu (Ayah) dan Ibu Banjar-Melayu. Wajar dia jago dagang. Berkebun dan beternak lembu (sapi) dengan jumlah sangat banyak. Lebih dari 100 ekor sehingga bergelar Ayi Lembu. Berdagang Sembilan bahan pokok dan menerapkan pula 81


sistem barter atau natura. Artinya jual beli barang dagangan tidak dengan uang cash. Bayarannya adalah tukar menukar barang pula seperti lateks getah dibayar beras, kulat dibayar garam. Ayi Lembu menjual lateks getah dan kulat kepada agen yang lebih besar. Dia bisa dapat uang cash, bisa pula ambil barang sembako dan lainlain. Prilaku Ayi Lembu di Kampung Ladang diterapkan sama dengan warga Baning lainnya yang tak lain dan tak bukan adalah ayah Buyung Sukowati bernama Ismail Hasan. Kendati PNS Dinas Pertanian Ayi juga menutupi kekurangan hidup dengan bertani dan berdagang sembako. Di depan rumah Ismail Hasan yang akrab disapa Ayi ada lanting. Suatu bangunan istimewa yang peradabannya ratusan tahun menemani cerita Sungai Kapuas-Sungai Melawi. Lanting dibangun di atas balok-balok kayu raksasa sekelas Sempetir, Mabang, Meranti atau kayu Belian. Dengan berendam di dalam air ketahanannya semakin kuat dan akut. Agar tidak hanyut oleh arus deras, ditambat dengan tali tambang di setiap sudut penting. Lanting adalah nama lain dari rumah yang berada di atas air dan mengapung mengikuti tinggi-rendah permukaan sehingga selalu aman dari banjir. Ini adalah kearifan lokal masyarakat cerdas pinggir sungai dari ancaman rutin pasangsurut pembawa malapetaka. Apalagi jika air 82


pasang ditimpali hujan deras berhari-hari. Lanting akan tampil sebagai juru selamat daripada rumah di atas tanah pada umumnya. Bahkan rumah panggung nan tinggi sekalipun tak luput dari banjir karena sifatnya permanen. Lanting tanpa lift atau escalator bisa naik-turun secara otomatis. Otomatis penemunya juga pintar matematika. Sayangnya penemu Lanting tidak dicatat sejarah sehingga tergolong anonimus. Jika tercatat dengan cukup bukti penemuannya, maka sah-sah saja yang bersangkutan masuk namanya di Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai penemu Lanting pertama. Model rumah Lanting tergantung keinginan si pemiliknya. Bisa sangat-sangat sederhana sampai selonjor saja susah, sedang, sampai mewah. Tergantung isi saku si empunya. Ayi mempunyai Lanting sebagai tempat kulat. Digemboknya dengan kuat karena kulat (karet nomor tiga) punya harga di pasaran. Jika tidak digembok bisa saja dicuri orang. Ada kejadiannya di mana kunci gudang ditemukan seseorang dengan cara menyelam. Masuk. Habis kulat kena gasak. Hingga sekarang di Baning masih mudah ditemukan Lanting-Lanting. Masih banyak warga Sintang yang hidup di dalam Lanting. Mereka masak, makan, minum dan beranak-pinak di dalam Lanting. Berbahaya bagi anak-anak? Tidak juga 83


karena batas pinggir bangunan bisa mereka pagar. Selain itu “anak-anak” yang hidup dan besar di Lanting praktis jago berenang. Orang tua pun tak perlu kuatir anaknya tenggelam. Baning dahulu terkenal dengan sebutan Banter seperti Lapter singkatan dari Lapangan Terbang. Banter adalah singkatan dari Baning Tertung. Membawahi Tertung. Banter yang udik dari Kota Sintang sering menjadi olok-olokan. Terutama buat memanasmanasi kuping murid asal Baning. Kalau kuping terlalu panas bisa berujung pada adu jotos, sisi lain kehidupan anak laki-laki. Anak Kota Sintang begitu kreatif untuk memanas-manasi anak-anak murid asal Baning. Mereka mengarang lagu berjudul Banter dengan nada dasar Dari Sabang Sampai Merauke. “Banter” Dari Baning sampai Teretung Berejer telampung pukat…. Sambung menyambung menjadi satu… Itulah Baning Teretung Seusai mereka yang mengolok-olok itu bernyanyi, ada pula yang tega menimpali, “Keti empat baris jak lagunya sudah habis….” Bertambah panaslah kuping murid-murid Baning sampai mendidih ke ulu hati. Namun kepedihan olok-olokan itu tak mampu mereka lawan. Persis seperti Desa yang menyerah lawan Kota. Tomat 84


lawan Durian. Dampaknya jelas, anak-anak Baning tak punya nyali untuk masuk sekolah di Kota Sintang. Kecuali yang bermental baja seperti Buyung. Itupun dengan ancaman Ayi, “Kalau malas masuk sekolah dapat dipastikan bahwa bapak kelak masuk penjara!” Baning karena dilapisi hutan menjadi sarang perjudian. Terpencil. Jalan pintasnya di tengah hutan tembus lewat SPG tempat Pak Guru Abang Maspura mengajar secara honorer. Kendati honorer tapi mengajarnya tetap full sesungguh hati. Pak Guru Abang Maspura wanti-wanti di depan kelas agar anak-anak murid tidak ada yang terjebak dengan segala bentuk judi. “Kalau kalian kedapatan berjudi, Bapak tangkap dengan tangan sendiri dan dihukum berat,” ancamnya. Era Bung Karno memimpin Indonesia di tahun surut dari 1967 Baning masih seram. Jalan pintas hutan ke SPG baru tersentuh di era Soeharto memimpin Orde Baru. Jalan tersebut berubah menjadi Mungguk Jengkol. Di antara Mungguk Jengkol dengan Jalan Raya Mujahidin terdapat rumah tua yang disebut Jejak Pasang. Di rumah inilah murid-murid bermental baja asal Baning mencuci kaki dari lumpur lantas memakai sepatu ke sekolah. Sekolah cukup jauh maka anak-anak Baning tertinggal di Lanting. Tambah lagi orang tuanya 85


tidak berpendidikan atau berwawasan. Kelak setelah Baning menjadi kota, barulah mereka sadar sekolah. Kejar Paket A, B, C. Baning yang menjadi rahasia umum warga pesisir sebagai sarang main dadu melibatkan orang-orang kuat bersenjata. “Awas kalian kalau pergi ke sana!” Abang Maspura menggeretak dengan senjata tanpa pelor, yakni kapur. Tak pelak, murid-muridnya jangankan melihat judi dadu, mendekat saja tidak berani sehingga pernah ada kisah oknum tembak kepala sendiri karena kalah main judi. Demikianlah negatifnya berjudi karena tidak punya duit lagi lalu stress. Sebelum menembak kepala sendiri oknum yang pegang senjata ini ke kedai milik Ayi. Di sana dia barter pen mahalnya merk Yud. Barternya dua bungkus rokok merk Chaipron. Dor di kepala tidak terdengar karena gema suaranya diserap dedaunan hutan Baning yang lebat. Ayi dan keluarga Buyung pun tidak tahu telah terjadi aksi bunuh diri akibat kalah berjudi ini. Tahu-tahu terdengar teriakan melolong Pak Chung Hok. Dia Cina asal Jakarta yang merantau ke Sintang lalu menjadi petani karet. Teriakannya melolong karena hidungnya mencium bau mayat ketika menoreh batang getah. “Ayoy! Ada orang matiiii!! Ada orang mati waaa!!!!” “Tolong…To…Toloooong…” Pambarlah seantero Baning. Hebohlah Sintang. Berdatanganlah polisi mengangkut dan 86


menyelidiki kasus ini sehingga Ayi pun diangkut ke kantor polisi karena ada barang bukti pen Yud di warungnya. Ayi diangkut bersama Chung Hok selaku saksi. Buyung dan saudara-saudaranya menyerintil ke belakang Ayi. Mereka takut bahwa inilah yang selalu dikatakan Ayi bahwa dia pastikan akan masuk ke penjara sehingga Buyung dan saudara-saudara mengurut dada. “Terjadi juga…” Begitu mereka menghubungkan rangkaian pesan seperti wasiat. Namun untung saja pen Yud bisa “bicara” bahwa dia hanyalah barter belaka. Tidak ada sangkut pautnya dengan bunuh diri dan judi dadu. Ayi pun pulang setelah diperiksa bersama Chung Hok. Tak ada yang dipenjara karena terbukti si mayat mati bunuh diri dengan menembak ke kepalanya sendiri. Terbukti dengan adanya senjata api dan sidik jari. Ini lebih dari cukup sebagai bukti. Seisi keluarga pun bersuka-cita. Lebih hebatnya lagi, sejak saat itu judi di Baning susut sudah. Berganti dengan ketakutan adanya Hantu Jelangkong yang kurus tinggi langsing, persis angka satu atau tiang listrik. Begitulah kehidupan warga kampung yang akrab dengan pelisanan dan cerita. Berbeda dengan warga kota yang baru percaya jika melihat dengan mata kepala sendiri, sehingga anak-anak kota main kelayang pun di atas kuburan. Tidak ada ketakutannya “kesambet” atau kena 87


“berakkan” Hantu Longgak sehingga sakit demam berhari-hari. Bagi Pak Guru Abang Maspura kasus bunuh diri akibat judi ini menjadi bahan ajarnya. “Jangan berjudi, nanti berakhir dengan bunuh diri. Tidak ada gunanya pegang senjata lagi. Habis sudah masa depan. Percuma belajar ke sekolah,” tegasnya. Buyung mengangguk tanda setuju. “Baru Ayi dipanggil saja kita gemetaran, apalagi jika bersalah betulan. Maka jaga diri dari kesalahan. Hiduplah jujur,” akunya seraya bersyukur Ayi kembali dari kantor polisi tanpa sempat disel atau menginap di Hotel Prodeo. Dampaknya positif bagi Buyung dan saudarasaudaranya. Mereka jadi tambah semangat belajar karena nyaris saja Ayi dipenjara, sehingga amar sekolah tinggi-tinggi agar Ayi tidak masuk penjara benar-benar berdenting di dalam hati setiap hari. Begitulah peristiwa dor Baning ini terjadi lebih tua lima tahun daripada kejadian G30S PKI di Jakarta dengan korban Dewan Jenderal seperti Ahmad Yani, S Parman, Soetojo, DI Pandjaitan, Piere Tendean, hingga Ade Irma Suryani Nasution. Sekarang Baning sudah menjadi kota. Pak Guru Abang Maspura pun pilih berada di Baning di hari-hari akhir hayatnya. “Sejak jalan Mungguk Jengkol diperbaiki tidak dipungkiri bahwa akses jalanlah yang membawa perubahan,” kata Pak Guru Abang Maspura ditirukan menantunya, Buyung. Buyung juga mengutip pendapat seorang 88


Pastur Belgia yang berkomentar bahwa sebenarnya Indonesia harus lebih maju seperti Eropa kalau Proyek Inpres (Instruksi Presiden) tidak “dimakan”. “Duit sebanyak ini buatlah jalan,” tutur Pastur. Pastur Belgia bertubuh tinggi, kokoh dan kekar. Dia perawat kesehatan yang mengabdikan diri sebagai misi pelayanan medis bagi warga miskin. Jikalau Pastur menemukan ada orang sakit tak Sungkan digendongnya. “Inpres dibelikan sapi, mati. Dibangunkan gedung, roboh. Dibagi-bagikan langsung ke masyarakat saja dibeli minuman, lalu mabok. Kapan mau maju Indonesia? Coba kalau dibuat jalan, sudah lama maju,” wejang Pastur yang diiyakan Buyung dengan melihat metamorposis Baning Kampung menjadi Baning Kota. “Yang membawa kita tertinggal adalah fasilitas dan sarana prasarana transportasi,” akunya. Soal manusia tergantung pendidikannya. Pendidikan syarat nomor satu kemajuan Bangsa-Bangsa. Bangsa manapun di dunia. Tak perduli Amerika, Eropa hingga ke Cina. Di Baning saat ini telah berdiri bangunanbangunan megah. Selain Stadion Baning, juga perkantoran pemerintah, hingga Credit Union (CU) yang beroperasi laksana Bank. Lengkap dengan Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Banyak sekolah, bahkan Universitas Kapuas. Kini menjadi warga Baning bukan lagi olokolokan. Sebaliknya, elit dan membanggakan. 89


Profil rumah di atas air, lanting. Menggapung tanpa kuatir datang banjir.

90


3

Bagian

ASAL USUL

Abang dikenal luas masyarakat Indonesia sebagai sapaan untuk kakak laki-laki sebagaimana panggilan Mas dalam langgam Jawa, Akang dalam idiom Sunda dan Daeng untuk Bahasa Bugis. Di sepanjang Pulau Kalimantan sebagai pulau ketiga terbesar di dunia yang menurut hipotesa Prof Dr Jim Collins sebagai “home land of Malay� (tanah asal muasal Melayu) kata Abang tidak sekedar sapaan kepada kakak laki-laki, tetapi nama ningrat untuk keturunan raja atau panembahan.

91


Keluarga Ayi Lembu (duduk) di tahun 1937 dan Abang Maspura berdiri paling kanan.

92


T

ersebutlah nama Pak Guru Abang Maspura. Kendati sosok Pak Guru tidak pernah menguak tuntas asal-usulnya, namun pohon silsilah keluarga menerangkan keberadaannya. Abang Maspura bersalur-galur kepada Raden Aji Lidi yang beristri Ratu Bungsu. Pasangan Raden Aji Lidi melahirkan Raden Pura beristri Bidudari. Raden Pura melahirkan Raden Siang Sangga Dulang. Ia meminang Sri Intan sebagai permaisuri. Hasil cinta keduanya lahir Raden Muncak dan Raden Riya Badak. Masing-masing beristri Sebilit dan Sri Gading-Tebaung. Dari Raden Riya Badak-Sri Gading melahirkan Raden Bandi. Raden Bandi mempersunting Dayang Sri 93


Bulan. Raden Bandi-Dayang Sri Bulan melahirkan Raden Manca. Sepanjang hidupnya Raden Manca kepincut akan kecantikan Dayang Gemala. Dayang Gemala adalah perempuan cantik dan subur. Ia menyumbang tiga trah darah biru dalam salur galur keluarga Panembahan. Putranya Raden Cundin, Raden Ucap dan Raden Rikau. Masing-masing mengikat tali perkawinan yang memperluas hubungan kekerabatan. Raden Cundin memekarkan Panembahan ke Sanggau. Raden Ucap yang bergelar Pangeran Mangku memperistri Dayang Intan. Adapun Raden Rikau bersuamikan Raja Bulun Bunga. Dari salur Raden Ucap mengalir keturunan Kyai Pati Ajan. Istrinya Sri Intan melahirkan Abang Berita dan Dayang Jemuluk. Abang Berita menikahi Dayang Rahusai. Anaknya Abang Tinggi Kyai Pati beristri Jawa Sri Munah. Keturunan selanjutnya Sri Bulan menikahi Abang Kenawang menurunkan Abang Manca dan istri Sri Jawa. Anaknya Abang Pilu memperistri Sri Gemala. Keduanya melahirkan putra Abang Tinggi dengan gelar Raden Ira yang beristri Dayang Dumih. Dari sini lahir Abang Muhammad dengan istri pertama Dayang Masra dan istri kedua Dayang Sahri Inun. Abang Muhammad berputra dua. Abang Ismail dan Abang Iyak. Jika Abang Iyak menikahi seorang dara jelita yang imut-imut sehingga 94


bernama Dayang Imut, maka Abang Ismail benar-benar mengamalkan sunnah Nabi yang beristri empat. Keempat istrinya itu adalah Bulan, Aminah, Fatimah dan Rahmah. Bulan melahirkan Nurmala sedangkan Aminah melahirkan Abang Muhammad dan Abang Ahmad. Adapun Fatimah jauh lebih subur dengan tujuh putra-putri. Mereka adalah Abang Burhan, Dayang Mahran. Dayang Masnun. Abang Masputra. Abang Masku. Abang Maspura dan Abang Mastur. Berasal dari ayah yang sama Kyai Pati Ajan, Dayang Jemuluk melahirkan Dayang Ramani dengan tiga putra, Abang Usman di Silat, Sri Gading dan Abang Berita. Dayang Ramani dengan anak Sri Gading melahirkan Abang Sarbani-Pangeran Pati yang meneteskan keturunan ke Bunut di bawah Pangeran Adipati bernama Abang Tila. Dari sini berkembang Pangeran Bunut bernama Abang Tana serta melahirkan Raden Pati Kam yang berkuasa di Bunut. Abang Berita putra dari Dayang Ramani juga menjadi Panembahan dengan melahirkan Dayang Luhut, dan seterusnya Dayang Luhut melahirkan Panembahan Agung serta keturunan selanjutnya berkuasa di Selimbau dengan nama Haji Gusti Usman. Ia menjadi Panembahan Selimbau. Abang Maspura yang bersaudara tujuh or95


ang dengan ibu bernama Fatimah, istri ketiga dari Abang Ismail beranak pinak dengan banyak. Abang Burhan yang menuruni ayahnya Abang Ismail dengan tiga istri yakni Dayang Nurfiah, Dayang Asfiah dan Nurseni. Dari istrinya Abang Burhan memperoleh Abang Ramli dan Abang Basri. Dari istri lainnya diperoleh Abang Ismail alias Ujang dan Abang Ishak (meninggal semasa kecil). Adapun Dayang Asfiah hingga akhir hayatnya tidak menyumbang seorang anakpun. Saudara Abang Maspura lainnya adalah Dayang Mahran. Dia menikah dengan M Palis. Dayang Masnun menikah dengan Abang Maskalun. Dari pasangan ini lahir Ade Mustafa, B.Sc dengan istri Mas Sulastri. Dayang Masnun punya anak lainnya bernama Masri Gading. Saudara kandung Abang Maspura yang tewas diciduk tentara Kampitai Jepang adalah Abang Masputra. Ia sempat menikahi Mas Rajemah dan pernikahan yang tergolong pendek lantaran direnggut Kampitai belum sempat mendapatkan keturunan. Abang kandung lainnya bernama Abang Masku yang menikahi putri Panembahan Sintang yakni Dayang Ratnawati memperoleh 10 putraputri. Mereka Mas Sulastri, A Wahidin Idrus, Mas Suarti, Abang Muh Yusuf, Abang Harmanuddin, Abang Armanuddin, Mas Supawati, Jum’anuddin, Abang Muhammad Syahbuddin, dan Abang Mauluddin. 96


Abang Maspura sendiri menikahi seorang gadis cantik yang menjadi juru rawat di rumah sakit yang dipimpin warga berkebangsaan Belanda dalam rangka misi kemanusiaan. Dari pernikahan Abang Maspura yang gagah dan Supiah yang perawat cantik dikaruniai lima orang anak. Amir Syafruddin, Boyli Rasyidi, Mahlis Zaidar, Hastinapura dan Fatmi Zuraida. Si Bungsu dari saudara kandung Abang Maspura adalah Abang Mastur. Ragil ini menikahi Masri Banun dengan memecahkan rekor 11 putraputri. Mereka Ahyad Usmani, Ramdani Arsani, Fatma Aini, Hanida Maini (alm), Marwan Aidi, Ade Iraddin, Muhdi Isyar, Agus Apriyanto, Juliyadi, Indra Purnawan dan Ramli Effendi. Ahyad Usmani menikahi Jamaliyah dengan anak Shadiqin. Ramdani Arsani menikahi Sumarni melahirkan Abang Zulkarnain Zais, Dayang Reni Harini, dan Dayang Sarita Masriani. Mas Fatma Aini menikah dengan Abang Mansyur Irawan. Adapun Marwan Saidi menikahi Rosnida dengan anak Nana. Ade Iraddin bertemu jodoh dengan Ernida. Keturunan Abang Maspura tertua Amir Syafruddin menikahi Ponirah dengan empat orang anak masing-masing Syafri Wagianto (menikahi Imas Rosika memiliki putra-putri: Aditya Putra Pratama dan Nabila Putri Prasanti), Dwi Syafriyanti (menikah dengan Nur Iskandar Hasan, Tri Hardiani (alm) dan Caturaini Fahmi. 97


Nomor dua, Boyli Rasyidi mendapatkan pasangan hidup seorang guru asal kelahiran Ibu Kota Jakarta, Sri Martini dengan empat orang putra-putri: Andi Awaluddin Marli yang menikah dengan Ratna Dyah Astuti serta telah dikaruniai seorang putri bernama Aurelia Khairunnisa. Rony Fefriansyah menikahi Dwi Cinta Undari dengan keturunan Hafsah Hanifah, Alkhansa, Ahmad Za’id dan Asma. Deni Triwahyudi menikahi Nurbaini dengan dua orang anak bernama Eka Wahyu Putri dan Mu’az Safwan. Mahlis Zaidar menikah dengan seorang pria gagah bernama Supriadi Rustam. Kedua sejoli PNS ini mempunyai dua putri masing-masing Eka Ramdanniar dan Diah Komalasari. Hastinapura menikah dengan pakar statistik yang kemudian menjadi Kepala BPS Sintang, Buyung Sukowati. Kedua suami-istri ini dikaruniai tiga orang anak masing-masing Arniati Utami (alm) dan Ervin Sepiani serta Fajar Maulana. Si Bungsu “Usu” Fatmi Zuraida yang menamatkan pendidikan di FKIP Untan menikahi sosok guru kelahiran Sambas Juanda. Dari sejoli bak pinang dibelah dua ini lahir Reza Anshari dan Mia Islami Dewi. *** Di dalam referensi yang disebutkan www.kalbariana.net bahwa Belanda pertama kali 98


masuk melalui kongsi dagang VOC ke Kerajaan Matan atau Tanjungpura di Ketapang. Posisi Ketapang di Selatan terdekat dengan Jawa dari arah Semarang. Tahun 1625 Islam tercatat masuk ke Sanggau ditandai dengan Nurul Kamal anak Kiai Kerang dari Kerajaan Banten. Lahirlah Kiai Patih Gemuk, Kiai Mas Senopati, dan Kiai Mas Ngebei serta Kiai Mas Tumanggung. Orang Sanggau menyebutnya dengan Pasak Sanggau karena berasal dari keturunan Dakdudak. Kelindan kekerabatan Kerajaan Sanggau yang dipimpin Kiai Patih Gemuk dengan istri Nyai Sura berketerusan karena Kiai Patih Gemuk wafat dan pemerintahan dipimpin Nyai Sura. Karena tidak kuat memerintah sendiri dan hidup perlu pendamping Nyai Sura menikah dengan Abang Awal dari Kerajaan Embau Kapuas Hulu. Hal ini tertuang dalam silsilah Kerajaan Sanggau. Abang Awal yang berlayar dari Embau atau Selimbau di Kerajaan Kapuas Hulu dengan pernikahannya bersama Nyai Sura menurunkan Abang Jamal yang kemudian bertahta di Belitang, Abang Jalal bertahta di Lindi Melawi—kini Kabupaten Melawi—Abang Nurul Kamal bertahta di Kerajaan Sanggau serta Abang Jawahir alias Jubair bertahta di Sintang sebagai Raja Djubair I. Terlihatlah dengan terang bahwa salur galur kekerabatan telah terikat kuat antara kerajaan99


kerajaan hulu Kalimantan Barat. Mereka terbentang sejak Kapuas Hulu, Sintang, Melawi hingga Sanggau. Tidak putus sampai di situ, kisah penyebaran terus berlangsung seiring berjalannya roda sejarah. Panembahan Abang Sebilang Hari menikahi Utin Purwa dari Kerajaan Tayan dan Pangeran Cunding atau Guneng asal Kerajaan Embau yang merupakan anak dari Raden Maca, atau cicit dari Raden Aji Lidi. Disebutkan di dalam sejarah bahwa Kerajaan Sintang yang dipimpin Panembahan Djubair I berputrikan seorang dara jelita bernama Dara Djuanti. Dia naik tahta pada tahun 1385. Dara Djuanti bersaudara dengan panembahan Djubair II bernama Demang Nutup yang pilih mengabdi di Desa Nanga Letuh yang sekarang menjadi Kecamatan Embau Hulu Gurung. Semasa Dara Djuanti memerintah Kerajaan Sintang di Pulau Jawa sedang jaya-jayanya Kerajaan Majapahit dengan jenderal yang terkenal gagah berani: Patih Gadjahmada dan Raja Hayam Wuruk. Raja Djubair II ditahan Kerajaan Majapahit sebagai bagian dari negara besar menekan negara kecil sehingga Dara Djuanti rela berkorban menyusul saudaranya untuk menyelamatkan sekuat tenaga. Niat baik ini disertakan Tuhan Yang Maha Kuasa di mana Patih Legender yang berkuasa di tentara Majapahit “fall in love� alias 100


jatuh cinta sejak pandangan pertama. Tertancap kuat kilatan mata teduh nan sahdu berisi kewibawaan seorang putri raja dengan kecantikan paras maupun kearifan kepemimpinan Dara Djuanti si putri Panembahan Sintang Djubair I. Sejarah menjelaskan bahwa hubungan kekerabatan kepada Kerajaan Majapahit berbekas sejak tahun 14 Masehi dengan Prabu Djaya menikahi Putri Junjung Buih. Putri Junjung Buih adalah satu dari tiga wanita utama di Kalbar. Wanita lainnya Dara Djuanti dan Dara Nante. Dara Nante berasal dari Sukadana (Kerajaan Tanjungpura) atau Kerajaan Simpang. Kerajaan Sukadana dipimpin Prabu Djaya bergelar Pangeran Mas Prabu. Pangeran gagah penuh wibawa ini keturunan kerajaan besar Nusantara yakni Brawijaya. Sebuah nama yang kemudian menjadi Universitas Brawijaya. Terbesar di Malang, Jawa Timur. Brawijaya adalah Raja Majapahit. Prabu Djaya menikah dengan Putri Junjung Buih. Begitupula perempuan srikandi hebat Kerajaan Sintang Dara Djuanti juga berjodoh dengan pria sejati nan gagah pemimpin pasukan di Kerajaan Majapahit bernama Patih Logender. Adapun srikandi lainnya Dara Nante menikah dengan Babai Cingak seorang Dayak sub suku Sisang di hulu Sekayam, Desa Lubuk Sabuk. Putri Junjung Buih-Raja Prabu Djaya melahirkan tiga putra Pangeran Prabu bergelar 101


Raja Djapuring bertahta di Kerajaan Sukadana, Gusti Lekar menikahi Encik Periuk bergelar Panembahan Giri Kesumah. Encik Periuk adalah keturunan dari Ki Djaga Raga seorang Dayak Kampung Tebang bertahta di Kerajaan Meliau. Terakhir adalah Pangeran Mencar Diningrat bergelar Gusti Gogok bertahta di Kerajaan Tayan. Dari sinilah terjadi percampuran lewat tali perkawinan dengan Kerajaan Embau-Kapuas Hulu. Lahirlah Abang Awal dan Abang Sebilang Hari atau keturunan Sultan Nata Ibnu Almarhum Mangku Melik dari Kerajaan Dayak Palin Hulu Kapuas. Kerajaan-kerajaan itu kelak kemudian terus berinteraksi dengan jalur perkawinan. Interaksi ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan dan keamanan sampai akhirnya bersekutu di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila serta UUD 1945.

102


K

etika Abang Maspura berusia 13 tahun tarik Masehi menunjukkan angka 1938. Tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka Belanda masih galak berkuasa di seluruh Indonesia. Kepada pedagang di pasar Kebumen-Jawa Tengah mereka melarung seisi pasar dan menangkap orang-orang muda untuk dikirim ke Sintang. Siapa berani melawan dibantai. Siapa yang menyerah diperlakukan lebih lembut karena tenaga mereka diperlukan seperti orang-orang Jawa diangkut ke Suriname-Belanda. Sintang sebuah daerah yang tentu saja masih sangat asing di kuping orang-orang Jawa saat itu. Apalagi jika mereka tahu bahwa Sintang sebuah daerah berjarak 400 km (saat ini untuk jalan darat) 103


lebih dari 400 km tempo doeloe karena harus lewat jalan sungai dari Kota Pontianak. Jangankan Sintang, Kota Pontianak pun mereka mungkin belum taSumirah yang akrab hu. Kalimantan bedisapa Ninik gitu luas. Terluas ketiga di dunia setelah Papua dan Greenland di Benua Amerika. Ignasius Rente Taruk dalam www.mavi.net.org menuliskan orang Jawa yang masuk ke Sintang lebih muda, yakni 1964. Kedatangannya diundang Keuskupan Sintang untuk mengajar di sekolah-sekolah dan stasi-stasi. Lewat pengakuan Sukemi di Nanga Karemoi yang diwawancarinya 12 April 2006 diketahui bahwa saat keberangkatannya ke Sintang dengan pesawat terbang pertama tidak tahu sama sekali tentang Sintang. Apalagi keberangkatan orang-orang Jawa di tahun 1940 dengan kapal laut berhari-hari lamanya. “Turun ke Ponti, naik kapal lagi yang kecil berhari-hari,� ungkap Sumirah kelahiran 1918 warga Kebumen yang ditempatkan di lahan pertanian Nanga Jetak. Di usia renta, 93 tahun Sumirah yang oleh cucu-cucunya dipanggil Ninik punya ingatan 104


masih segar. Ketika penjelasannya direkam dia bercanda, “Aku mau difoto apa?” “Iya Ninik, direkam seperti film…” “Alaaah, Aku sudah peot begini ini kok mau difoto?” Sumirah senyum sumringah. Ninik— panggilannya—mengulum senyum. Suka bercanda. Bicaranya lancar. Ingatannya kuat. “Diangkut siapa Nik?” “Namanya Sikun. Sakit kaki saya diinjaknya. Ayo ikut saya,” katanya. “Jadi saya ikut. Sedangkan suami dan orang tua di Kebumen ditinggal semua di Jawa,” imbuhnya dengan aksen khas yang “medhok”. Di sepanjang jalan masuk kapal Ninik menangis tiada henti-hentinya. Matanya bengkak. Perih hatinya meninggalkan suami, saudara dan tanah Jawa. Apalagi mendadak tiada memberi kabar berita. Rasanya berdosa. “Kenapa menangis? Di Jawa sama di sini juga sama. Di Jawa juga susah cari duitnya,” kata teman-temannya sesama Jawa. Mereka perempuan Jawa ini pun berangkulan. Berpelukan saling menguatkan. Dus, mereka sama-sama menangis. Kapal zaman Belanda itu bertolak dari Betawi. Jalannya perlahan karena menggunakan mesin berbahan bakar batubara. Asap hitamnya melambai-lambai meninggalkan Jawa seolah mau berkata selamat tinggal Jawa. “Good bye…” Semakin lama semakin redip Betawi tidak 105


bisa lagi dilihat mata. Tersisalah rasa sepi dan bersalah di antara orang-orang Jawa yang pergi tanpa pamit. Lebih-lebih angin dan ombak berkecamuk sehingga gelombang tinggi yang membuat hati semakin resah dan gundah. Janganjangan Tuhan murka dan kapal karam. Air laut sama air mata orang Jawa samasama beriak tak kenal kata henti. Ninik terus tumpah air matanya. Menyesal kenapa memperturutkan langkah ikut teman-teman Jawanya. “Akalku pendek sekali waktu itu. Jempol kakiku sakit sekali diinjak Seiku,� katanya. Belanda yang membawa orang-orang Jawa ini berusaha mengambil isi hati mereka. Turun di Pontianak masing-masing diberi duit Rp 200, 1 Sen, 1 Peser. Kala itu pecahan mata uang masih ada Sen dan Peser. Pecahan bungsu masih ada bernama Ketip. Menurut Ninik inilah uang terbesar yang pernah diterima tangannya. Sebelumnya di Jawa ia main di angka Peser saja. Mulailah dia percaya bahwa ke Sintang menjanjikan harapan. “Suata saat setelah sugih saya akan kembali ke Jawa.� Ninik memadu tekadnya. Sesampainya di Sintang dengan perjalanan panjang yang melelahkan, Ninik melihat sebuah tempat dengan puluhan kamar. Pagi-pagi mereka dikumpulkan. Dikasih ceramah, cangkul, parang, arit, topi. Mengertilah Ninik bahwa mereka diangkut untuk jadi petani. Hari pertama mencangkul Ninik dapat dua 106


gawang. Bersih tanpa ada akar ilalang. “Saya dapat persen,” kenangnya. Sahabat seberangkatan kapal Ninik tidak terbiasa bertani. Mereka umumnya pedagang Pasar Kebumen sehingga wajar memegang cangkul saja tidak tahu apalagi betah. Untungnya sikap dasar orang Jawa adalah “nrimo”. Mereka menerima dengan sabar dan tabah segala cobaan hidupnya di lokasi yang baru. Mereka yakin kelak akan lahir Ratu Adil yang membawa perubahan dari kemiskinan kepada kejayaan. Sikap nrimo itu berbekas pada diri Ninik. Dia yang hanya bisa bahasa Jawa perlahan-lahan bisa bahasa “orang kampung” atau “orang darat”. Bisa berbahasa Dayak sedikit demi sedikit. Bisa bahasa Melayu kata demi kata sehingga di usianya yang ke-93 sudah fasih berbahasa Indonesia. Sekalipun dengan aksen Jawa yang kental. Di tahun 1942-1945 Jepang memasuki Indonesia. Di Sintang juga terdengar letusan senjata api. Ninik lari terbirit-birit. Dia mengungsi ke kampung-kampung pedalaman. “Saya diselamatkan Orang Dayak. Orang Dayak itu baik-baik,” akunya. Di sini Ninik belajar Bahasa Dayak. Ketika Jepang dibom atom oleh Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang hengkang dari Sintang. Indonesia pun merdeka sehing ga pembangunan mulai terasa. 107


Hasil pertanian Nanga Jetak 1940 terkenal hingga saat ini. Karetnya banyak. Ini salah satu peninggalan Belanda dan diwarisi Pemerintah Indonesia. Kemampuan Ninik belajar dengan cepat menyebabkannya mudah dapat jodoh kembali. Jatuh cinta dengan pria asal Sunda bernama Djarnawi keduanya ijab-qabul di bawah khutbah nikah disaksikan orang-orang Jawa dan orang kampung. Hasil perkawinannya lahir putra-putri enam orang. Putra-putri yang berlanggam Indonesia Raya karena ada darah Jawa, Sunda, Padang, Melayu dan Dayak. Ponirah putri kelimanya kemudian dinikahi putra pertama Pak Guru Abang Maspura—Amir Syafruddin—di Nanga Jetak, 1975. Saudarasaudara Ponirah lainnya di nomor urut satu adalah Tukiman (alm), Rubiah, Poniman (Alm), Suparman dan Muliman. Hasil perkawinan Amir Syafruddin-Ponirah melahirkan Syafri Wagianto, Dwi Syafriyanti, Tri Hardiani (Alm) dan Caturaini Fahmi.

108


K

esedihan tiada tara bergelayut di kediaman Ayi Lembu—Kampung Ladang. Seorang putranya disungkup Kampitei. Tentara Angkatan Laut Jepang yang kejam. Abang Masputra adalah abang kandung Pak Guru Abang Maspura. Dia sosok yang cerdas dan pekerja keras. Wawasan politiknya luas. Masuk dalam kepengurusan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang dipimpin Soekarno. Sehari-hari Abang Masputra bekerja di Dinas Kehutanan. Baru saja menikah sehingga belum sempat dianugerahi Tuhan anak atau keturunan. Tuhan menakdirkannya “kembali� lebih cepat. Bangun pagi seusai salat Subuh seperti saudara-saudara maupun orang tuanya Ayi Lembu, Abang Masputra yang bertubuh tinggi 109


tegap siap pergi ke kantor. Siap untuk bekerja bagi pembangunan Bangsa Indonesia yang sangat bersemangat untuk merdeka. Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat (2009) dalam brosur sejarah Makam Juang Abang Mastur Mandor-Monumen Daerah Provinsi Kalbar menerangkan bahwa sebelum Indonesia merdeka 17 Agustus 1945 Belanda menerapkan pajak yang tinggi sehingga menindas pribumi. Pergolakan muncul di manamana. Sebagai bagian dari Perang Asia Timur Raya, Jepang masuk ke Kalimantan. Pada tanggal 16 Desember 1941 sasaran mereka ke Serawak. Tiga hari kemudian, tepatnya pada hari Jumat tanggal 19 Desember 1941 Angkatan Udara Dai Nippon menyerang Kota Pontianak. Sasaran bom antara lain Kampung Bali, Parit Besar dan Kampung Melayu. Angkatan Udara diperkuat dengan masuknya Angkatan Laut pada tanggal 22 Januari 1942 di Pelabuhan Pemangkat, Singkawang dan Ketapang. Keberadaan Jepang di Sintang tak ubahnya 110


di wilayah lain Nusantara. Baku tembak dengan Belanda dan mengaku sebagai Saudara Asia. Kakak Tertua. Penyelamat dari Penjajahan Belanda. Kata-kata bergula ini berhasil memikat hati raja-raja. Tak terkecuali Panembahan Danu Perdana yang masih kerabat dengan Abang Masputra lewat kawin mawin keluarga. Melihat Panembahan Danu Perdana sudah bersama Jepang, Abang Masputra rela ikut serta. Berbaik sangka yang berujung menghantarkan nyawa. Menurut adik kandung Abang Mastur, Jepang kepada keluarga beralasan mereka yang diangkut akan “disekolahkan”. “Kumpul jam 1011 siang dan dikirim pulang hanyalah jam tangan,” ungkap Abang Mastur di sela-sela penantian pemakaman kakak kandungnya H Abang Maspura di rumah duka, Baning, tanggal 8 Maret 2011 pagi. Orang-orang penting Sintang yang ditangkap Jepang selain Raden Danu Perdana (Panembahan Sintang), juga H Samin, Hanyut dan Raden Panji. Di wilayah lain Kalimantan Barat penangkapan juga dilakukan sama seperti yang menimpa Abang Masputra dan Raden Danu Perdana. Mereka adalah 21.037 jiwa cerdikcendikia warga seluruh kabupaten maupun kota se-Kalbar. 111


Para Panembahan dan Raja dikumpulkan di Markas Kabitai pada tanggal 23 April 1943. Menurut Panembahan Kerajaan Mempawah Drs Muhammad Jimmi Muh Ibrahim—ayahnya Panembahan Muh Taufieq ditangkap di istananya di Mempawah saat sedang makan. Jimmi saat itu sedang duduk di kelas empat SD. Sama seperti Abang Mastur melihat kakak kandungnya ditangkap Jepang. Dia sedang sekolah di bangku SD. Perlakuan serupa terjadi atas Panembahan Tayan Goesti Dja’far. Mereka digiring masuk truk. Di dalam truk mereka diawasi dengan senjata api. Turut gugur sebagai suhada—bunga kusuma Bangsa—para tokoh Kalbar: Sultan Kerajaan Pontianak Syarif Muhammad Alqadrie beserta kedua putranya Pangeran Adipati dan Pangeran Agung, JE Patiasina, Ng Nyiap Sun, Lumban Pea, Panembahan Ketapang Gusti Saunan, Sultan Sambas Muhammad Ibrahim Tsafiuddin, Panembahan Sukadana Tengku Idris, Panembahan Simpang Gusti Mesir, Panembahan Kubu Syarief Saleh, Panembahan Ngabang Gusti Abdul Hamid, Panembahan Sang gau Ade Muhammad Arief, Panembahan Sekadau Gusti Muhammad Kelip, dr Rubini, dan seorang jurnalis Tji Bun Kie. Panembahan Sintang Raden Abdul Bahry Danu Perdana keberangkatannya bersama dengan 112


Abang Masputra. Gugur sebagai syahid. Adik kandung bungsu, Abang Mastur mengetahui abangnya dijemput Jepang ternyata bukan “disekolahkan� melainkan telah gugur sebagai syahid ketika milir ke Pontianak. Di tengah jalan dia melihat orang-orang ribut soal penemuan tumpukan tengkorak dan tulang belulang di Desa Kopyang. Tengkorak berserak di Mandor antara daerah Landak dan Anjungan. Abang Mastur menyempatkan diri mampir ke Mandor. Melihat lubang raksasa di mana kepala-kepala berceceran seperti buah kelapa. Seingat Abang Mastur penemuan tulang dan tengkorak itu pada tahun 1949. Sebab dia mengingat selesai sekolah dan mudik ke Sintang pada tahun 1950. Gubernur Kadarusno yang memimpin Kalbar sepanang 1972-1977 memegang peranan penting menyikapi penemuan tulang belulang ini. Kadarusno meminta arsitek Ir Said Dja’far untuk mendisain monument. Pada 28 Juni 1977 Makam Juang Mandor diresmikan dan secara rutin setiap 28 Juni dilaksanakan upacara. Pada tahun 2007 melalui Peraturan Daerah Nomor 5 ditetapkan 28 Juni sebagai Hari Berkabung Daerah (HBD) sebagai menandai perjuangan warga Kalbar melawan Jepang. HBD sama seperti Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 Nopember atas pecahnya pertempuran di Surabaya. 113


Perda No 5 Tahun 2007 mengatur pengibaran bendera setengah tiang. Dinas-dinas terkait, terutama sekolah-sekolah dan rakyat Kalbar keseluruhan diimbau untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada 28 Juni sejak pagi hingga sore hari. Diharapkan dengan simbolisasi tersebut tertanam nilai-nilai kejuangan bagi rakyat Kalbar untuk terus berjuang mengisi kemerdekaan dengan karya nyata. Mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan sejahtera yang tidak mau lagi dijajah secara fisik maupun mental. Mereka yang terkubur 21.037 jiwa itu multi etnis dan agama. Berjuang demi kejayaan Bangsa dan Negara. Jangan biarkan mereka gugur dengan sia-sia. Generasi muda sekaranglah yang memaknainya. Sebab Bangsa yang besar adalah Bangsa yang mampu menghargai jasa pahlawannya.

114


R

ahasia kenapa Pak Guru Abang Maspura lebih memilih berada di kediaman menantunya Buyung di masa ajal akan datang menjemput nyawa, rahasianya adalah bahasa hati yang tidak diumbar dengan kata-kata. Bahasa rahasia yang hanya tersimpan arsipnya di udara. Kemampuan Buyung menyimpan rahasia Ajang salah satu bukti nyata. Nyata karena tidak membocorkan rahasia sampai Ajang tutup mata. Nyata kepada Abang Maspura sosok mertua yang sampai lamat-lamat menghembuskan napas terakhirnya justru di hadapan Buyung, keluarga serta para saudara. Kala bercerita, Buyung pun menyatakan ketidaknyamanannya. Namun karena ada nilai manfaat, dia berharap kisah keteladanan itu menjadi pahala bagi yang bersangkutan di alam 115


barzah atau di alam baka. Demikian juga kepada para pembaca di mana saja berada. Abang Maspura di masa tuanya akrab disapa anak dan cucu sebagai Datok. “Datok di harihari terakhirnya masih minta dibawa ke mesjid dekat rumah untuk salat berjamaah,” kenang Buyung. Begitu lekatnya hati Datok dengan mesjid. Buyung merasa kedekatannya dengan Datok jauh lebih dekat ketimbang “Ayi” panggilan akrab bagi ayahnya sendiri. “Ayi sampai wafat dirawat oleh saudara-saudara perempuan saya yang jumlahnya lima orang, saya tidak punya kesempatan merawatnya. Lain dengan Datok. Dia memilih masa akhir hayatnya di rumah.” Dalam hitungan jari sebelum wafat tanggal 7 Maret 2011 Datok Abang Maspura duduk di tangga depan rumah. Penampilannya masih segar seperti tidak kekurangan sesuatu apapun. “Mau ke mana Yung?” Datok bertanya. “Milir ke Pontianak Tok.” Menjawab Buyung. “Datok jangan lupa makan. Makanan selalu siap. Tak perlu menunggu saya untuk makan bersama-sama. Pokoknya kalau Datok lapar harus cepat makan.” Perihal makan ini membuat Buyung meneteskan air matanya. Ia haru dan sedih karena keteladanan Datok yang begitu tinggi. Pak Gurunya di SDN 1 itu selalu menunggu Buyung pulang 116


kantor baru sedia makan bersama. Jika Buyung belum makan, maka dia sanggup berpuasa. Hal itu dilakukannya secara sadar karena dia paham, bahwa kepala rumah tangga adalah Buyung, menantunya. Prinsip kepala keluarga mendapat prioritas sama dengan prinsip yang selama hidup dipegangnya. Dia juga begitu dahulu. Selalu dinomor satukan oleh istrinya. “Sebelum datok makan, istri dan anak-anak menunggu,� katanya. Positifnya adalah kebersamaan. Makan bersama-sama intinya. Lalu urun rembug nasihat di dalam makan bersama-sama itu. Dengan demikian etika dan tata krama dimulai dalam pendidikan rumah tangga. Perihal makan bersama ini esensial. Sebab karena lapar seseorang tak jarang tak mampu menahan diri sehingga mengambil piring sampai gopoh, mengambil mangkok cuci tangan sampai tumpah, mengambil nasi kebanyakan sehingga seperti gunung. “Tak elok mengambil nasi bertumpuk seperti itu. Ambil dulu secukupnya, nanti kalau kurang boleh mengambil lagi sehingga tampak sopan dan tak bakal nasi disisakan akibat kekenyangan,� nasihatnya. Hasil didikan di saat makan membuat anakanak Datok berhasil di sekolah dan di profesinya. Amir Syafruddin bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, Boyli Rasyidi menjadi guru disusul Mahlis 117


Zaidar, Hastinapura, dan Fatmi Zaidar. Kesemuanya Pegawai Negeri Sipil (PNS). Buyung menyesalkan kepergiannya menjalankan tugas menyebabkan Datok menahan lapar terlalu akut. Barangkali Datok lupa bahwa menantunya itu telah berangkat “milir” ke Kota Pontianak. Akibat telat makan, angin lebih dahulu menyerang tubuhnya hingga lemah. Hari selanjutnya selera makannya telah hilang sehingga harus dibantu dengan infus. Selang infus dipasang oleh tangan cucunya sendiri yang perawat, Diah Komalasari—putri dari Lis. Infus ini bermanfaat untuk menyangga kehidupan Datok buat beberapa puluh jam saja hingga kelima anak-anaknya berkumpul di rumah Buyung-Titin. Begitu mendengar Datok sudah tidak bisa makan, Boy dan Fatmi Zaidar dari rumahnya di Siantan laksana terbang “mudik” ke Sintang dalam hitungan tujuh jam perjalanan melintasi Tayan bersama Buyung yang saat itu bertugas sebagai Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Sintang ke Kota Pontianak. Hal serupa dilakukan putra pertamanya Amir Syafruddin dan istrinya Ponirah. Pasangan yang baru saja “landing” dari Jakarta ini segera menerobos Trans Kalimantan jalur Tayan. Dalam hitungan enam jam keduanya tiba. Dalam waktu sekejab Datok didampingi 118


kelima anak-anaknya. Kupingnya mendengar bacaan Quran surah Yasin sehingga dia membuka mulut untuk minum dan bisa makan sedikit bubur. Datok sempat mengabsen anak, cucu dan menantu laksana Pak Guru memulai sesi kelas dengan memanggil nama murid satu per satu. “Ada,” kata Amir. “Ada,” jawab Ponirah ketika nama mereka disebut. “Hadir,” kata Boy. “Siap,” jawab Buyung menjawab absensi Datok sehingga wajah Datok tampak segar. Dia suka memerankan diri sebagai guru, walaupun ajal sudah membuat dingin telapak kakinya, sampai akhirnya suaranya pun tak lagi bisa keluar. “Bapak menghembuskan napas dengan tenang seperti mobil sampai ke tujuan,” ujar putra pertamanya, Amir yang akrab disapa dengan Lik. Innaa lillahi wainnaa ilaihi raji’un. Telah berpulang ke rahmatullah seorang guru pejuang buat selama-lamanya. Yang tinggal hanyalah kisahkisah keteladanannya sehingga Datok—Pak Guru Abang Maspura—seperti tetap saja hadir di tengah-tengah keluarga, ke tengah kelas sekolah, ke tengah dunia pendidikan serta pembangunan yang terus berderap dengan gegap gempita.

119


D

erap langkah kaki ratusan ang gota keluarga, karib kerabat dan kolega menghantarkan Pak Guru Abang Maspura ke peristirahatannya yang terakhir di Pemakaman Muslim Tanjungpuri, Kota Sintang. Tanah kering dan langit biru cerah. Selapis awan putih seputih kain kafan dan selembut kapas memayungi dari kaki langit. Kain putih bersih— kain kafan—kain terakhir yang dikenakan Pak Guru Abang Maspura di dunia. Dengan berbaring menghadap kiblat dia terbujur dilindungi selapis dinding papan yang tampak rukuk ke arah kiblat pula. Kiblat sebuah titik bumi di mana kaum muslimin dan muslimat sedunia menghadapkan wajahnya menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa. 120


Pak Guru Abang Maspura sebelumnya dimandikan dan dikafankan di rumah anaknya Titin, Baning. Keluarga menyalatkannya kali pertama secara berjamaah dilanjutkan pula bagi handai taulan di mesjid yang kerap dikunjungi Abang Maspura sebelum maut memagut ruhnya. Dengan iringan tahlil, tanah galian diuruk menutup pusara. Cepat. Licin. Mengkilap. Kalimat laa ilaaha ilallah (tiada Tuhan selain Allah) bergema dari bibir para pelayat. Terasa bergema sampai ke angkasa. Menembus awan putih nan bersih sebersih pakaian terakhir Pak Guru Abang Maspura. Langit biru terbentang di angkasa laksana samudera luas tak bertepi. Langit dan laut seperti menyerap gema tahlil laa ilaaha ilallah, laa ilaaha ilallah... Tetes air mata keluarga diiringi tabur bunga keabadian. Tanda berbela sungkawa dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sintang melengkapinya. Putra Abang Maspura yang juga seorang guru cum Penilik Sekolah di Dinas Pendidikan Kota Pontianak, Boyli Rasyidi di hadapan ratusan penghantar menghaturkan terimakasih atas segala bantuan seraya mohon maaf jika selama masa hidup Abang Maspura ada salah dan khilaf. “Mohonlah dimaafkan.� Begitupula apabila ada terkait utang piutang, mohon dilaporkan. Lebih 121


cepat, lebih baik. “Fastabiqul khairat…” Bupati Sintang Drs Milton Crosby, M.Si atas nama Pemkab Sintang beserta staf menyatakan turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya H Abang Maspura, PNS Dinas Pendidikan Sintang. “Semoga Allah memberikan bimbingan kepada semua,” katanya. Kepala Dinas Pendidikan berujar: Inaa lillahi wainnaa ilaihi rajiun. (Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah). Pemkab Sintang turut berduka cita dengan iringan doa dengan harapan dari hari ini dan kemarin dan seterusnya ke depan H Abang Maspura dalam keadaan husnul khatimah. Jauh dari siksa kubur. “Kita tahu persis di pemakaman ini banyak hadir murid-murid Beliau. Mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan kepada murid-murid menjadi pahala berlipat ganda yang menemani di alam barzah. Semoga Allah swt mengampuni kesalahan selama hidupnya.” Sepanjang hidupnya dalam kesaksian Dinas Pendidikan amal ibadah Pak Guru Abang Maspura tidak pernah putus. Sering berbuat baik dengan masyarakat. “Doa kami sekali lagi bagi keluarga yang ditinggalkan agar sabar dan tabah dalam menerima kondisi ini serta selalu berdoa.” “Selamat Jalan Pak Guru H Abang Maspura. Terimakasih atas pengabdian almarhum selama ini.”

122


Mesjid Raya Kerajaan Sintang

Relief yang menunjukkan kekerasan dialami para tokoh dan pejuang Kalbar. Keluarga kerajaan tidak sedikit yang menjadi syahid di antara 21.037 jiwa korban. 123


124

Munajad doa mengiringi Datok Abang Maspura yang kembali ke haribaan-Nya.


4

Bagian

ABANG MASPURA DALAM KENANGAN

Ibarat mengumpulkan serpihan kaca pecah untuk kemudian disusun ulang sebagai rekonstruksi objek nyata tidaklah mudah. Satu per satu coba ditata ulang menjadi utuh. Hasilnya adalah anak tertua Amir Syafruddin bercerita soal sisilah kerajaan Kapuas hulu; Buyung Sukowati yang juga menantu bertutur bagaimana sebagai anggota baru menyatu di rumpun keluarga Pak Guru Abang Maspura; Dwi Syafriyanti mewakili cucu yang mencurahkan pikirannya perihal warisan Anak Indonesia; muridmurid Pak Guru Abang Maspura yang kemudian menjadi Doktor maupun Guru Besar seperti Dr. Tajudin Nur, M.Si, Prof. Dr. Hamid Darmadi, M.Pd hingga Prof. Dr. Uray Husna Asmara, M.Pd. Tak terkecuali anak beliau Fatmi Zuraida dan Boyli Rasyidi yang merangkai kenangan. 125


126


Amir Syafruddin Putra Sulung Abang Maspura

N

ama Abang menandai ketur unan bangsawan. Abang Maspura keturunan Kerajaan Kapuas Hulu. Punya kekerabatan dengan Kerajaan Sintang dari saudara kandungnya Abang Mastur yang terikat tali pernikahan. “Bapak dan adik beradik keturunan Kerajaan Kapuas Hulu. Kebetulan Bapaknya Dayak-Melayu. Istri Banjar-Melayu,� aku Amir. Kesaksian Amir selaku anak pertama terhadap ayahnya Sang Guru adalah keras, disiplin, benar-benar menegakkan peraturan. 127


Jujur. Tidak pernah “ngakal-ngakal”. “Pembelian barang jangan 10.000 dibuat di kuitansi menjadi 15.000!” Jujur. Rapi. Amir sejak kecil dimotivasi ayahnya untuk menuntut ilmu setinggi langit sesuai kemauan dan kemampuan. Untuk itu Amir memilih sekolah mesin di STM di Kota Pontianak. Setamat STM Amir mendaftar sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Hasilnya lulus. Sejak saat itu dia bekerja dan pandai mengelola keuangannya. Merasa mampu dan dewasa, Amir kemudian menikahi Ponirah. Dari hasil perkawinannya dia dianugerahi empat putra-putri masing-masing Yanto, Yanti, Tri (Alm) dan Catur. Dalam kenangan Amir, sifat jujur dan keras pada kebenaran yang dipegang kuat Abang Maspura adalah pengembalian sarana pemerintah yang diberikan kepadanya. Ada dua fasilitas itu, masing-masing motor air dan motor roda dua. Motor air diterima Abang Maspura saat menjabat selaku Kakandep di Kecamatan Merakai. Abang Maspura membawahi Kecamatan Ketungau Hulu dan Hilir di Nanga Ketungau. Untuk menjalankan tugas-tugasnya selaku Kakandep di Kecamatan Merakai ia menggunakan motor air dan sepeda motor Suzuki 100A. “Begitu Bapak menyelesaikan tugasnya, dia segera membuat surat dan mengembalikan 128


kendaraan yang diberikan kepadanya dalam masa tugas. Sama sekali tidak ada pikiran Bapak untuk melakukan dum kendaraan sehingga menjadi milik pribadinya,” kata Amir. “Bapak orangnya begitu. Tidak mau mengambil barang yang dia rasa bukan haknya.” Jiwa mengajar Abang Maspura relative sangat tinggi. Dia tidak mengajar di Senaning tapi membina selaku Penilik Sekolah. Sambil menilik sekolah dia mengajar secara formal maupun non formal. Abang Maspura bangga bekerja di Nanga Payak salah satu desa di Kecamatan Kayan Hulu (Ibu Kota Nanga Tebidah) sebab di tempat itulah Apang Semangai berjuang. Nama Apang Semangai selalu disebutnya di dalam kelas karena figure pejuang melawan penjajah di Kayan Hulu. Apang Semangai adalah pahlawan Kalbar dari Kecamatan Kayan Hulu sehingga namanya diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota tak terkecuali Kota Pontianak. Amir Syafruddin tergolong anak yang tekun mendengarkan nasihat ayahnya selaku guru. Tak terkecuali kisah Sang Ayah yang berkayuh perahu sepanjang 50 km kala diserang Jepang pada kurun waktu Jepang menciduk tokoh-tokoh Kalbar 1942-1945. “Beliau mengayuh perahu atau sampan hingga Sungai Beruang. Masuk lagi ke Sungai Tempunak Kecamatan Tempunak. 129


Menyelamatkan diri dengan rombongan. Sebab jika tertangkap maka kepala akan dipenggal Jepang sebagaimana kisah Mandor,� timpal Amir. Mandor adalah suatu lokasi pembantaian Jepang kepada tokoh-tokoh Kalbar berjarak 80 km dari Kota Pontianak menuju Kota Landak. Di sini terkubur 21.037 jiwa rakyat Kalbar. Mereka adalah cerdik-cendikia yang bisa membaca dan menulis. Sebab Jepang ingin melakukan Jepangisasi di Kalbar dengan hanya meninggalkan anak-anak dan perempuan dengan tujuan Jepang sebagai dominasi Asia. Abang Maspura yang cerdas menyikapi situasi berhasil selamat. Namun kesedihan tak pernah hilang dari batinnya. Sebab kakak kandungnya Abang Masputra berhasil diciduk Jepang dan pulang hanya tinggal nama. Sebagai bentuk saluran kesedihan atas kehilangan kakak kandung yang pegawai kehutanan itu, Abang Maspura bekerja sebagai guru dan mendidik sebanyak-banyaknya murid agar tumbuh menjadi generasi cerdas. Generasi yang bisa meneruskan perjuangan melawan penjajahan dalam bentuk pencerdasan. Dalam bentuk kemampuan tulis dan baca. Berbekal kemampuan tulis dan baca itu tidak lagi bisa dijajah. Diperbudak. Kerja paksa. Romusha. Sebagai guru yang berkeliling ke mana saja, Abang Maspura tidak pernah mengeluh dan minta dipindah tugaskan ke mana yang baik fasilitasnya. 130


Mengajar sejak pedalaman sampai ke kota besar, sedang dan kecil. Abang Maspura sekolah di SGB (KPG / Khusus Pendidikan Guru) setara SGA. Setelah lulus ia pindah ke Sintang dengan mengajar di SDN1 Sintang. Muridnya di sini antara lain Herry Djaung. Herry Djaung (Alm) pada posisi birokrat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dikenal luas masyarakat Kalbar terutama karena jabatannya selaku Humas Pemprov di masa Gubernur Mayjen TNI Purn HA Aswin dan Kepala Badan Infor masi Daerah di masa Gubernur Usman Ja’far serta Kepala Dinas Koperasi dan UKM di masa Gubernur Drs Cornelis, MH. Usai mengabdi di SDN1 Sintang Abang Maspura diangkat menjadi Kasi TK-SD oleh Kadis Pendidikan Sintang Ismail Bakri. Bersamaan dengan pengangkatan itu Abang Maspura diminta Pak Bal’am untuk membantu mengajar di SPG Sintang. Banyak murid Abang Maspura di Sintang. Mereka antara lain Sekda Abdul Samad, istri Kepala Diklat Provinsi Kalbar Baihaqi Asma, Drs Jingko Kabag Umum Pemda Sintang, Drs Abdul Syarif Kepala Kantor Hansip/Kesbang Linmas. Setelah itu baru Beliau menjadi Kandep di Kecamatan Merakai. Beliau dapat motor dinas dan motor air yang dikembalikan setelah purna bakti atau pensiun. “Waktu Beliau penilik men131


dapatkan motor Suzuki 100A. Saat pensiun dikembalikan juga.” Sifat lain yang menonjol dari ayahnya adalah sikap yang teliti dengan barang-barang. “Semua barang-barang ditandai dengan label waktu pembelian. Ditulisnya tanggal pembelian dan harga pembelian. Sampai membeli tusuk sepatu pun ditandai pembelian hari, tanggal, bulan, dan tahun pembelian. Apalagi yang lainlain,” kenang Amir Syafruddin seraya senyum. Senyum Amir mengembang karena dia juga melihat ayah yang sangat dicintainya ini tersenyum kala menghembuskan napas terakhir di hadapannya. “Kami lima bersaudara kumpul di dekat Beliau pada hari akhir hayatnya itu,” kata Amir. Dalam sorot pandangannya, Amir menyaksikan ayahnya menghembuskan napas terakhir dengan tenang. Persis seperti kendaraan yang berhenti dengan lansam.

132


Buyung Sukowati-Menantu

K

eberadaan Abang Maspura di Senaning dalam kapasitasnya selaku Penilik Sekolah (PS) di Nanga Merakai, Kecamatan Ketungau Tengah beribukota Desa Nanga Merakai. Kecamatan Ketungau Hulu yang dibawahinya beribu kota Senaning. Kala itu seorang PS menangani dua kecamatan. Tugas berat karena Pak Camat saja mengawasi satu kecamatan, bukan dua kecamatan. Pandangan-pandangan hidup Abang Maspura universal dan dia kokoh dan kukuh mempertahankannya. Misalnya untuk sukses dalam hidup rumusnya adalah disiplin, jujur dan kerja keras tanpa pamrih. 133


Hidup menurutnya mesti kreatif dengan memanfaatkan segala peluang. Jika peluang tidak dimanfaatkan secara positif, maka peluang itu akan cepat hilang ibarat siang ditelan malam. Dicontohkannya dengan pola hidup ayam yang turun pagi hari akan mendapatkan cacing paling besar dan segar sehingga badan si ayam ulet cari ulat ini pun bongsor sehat. Adapun ayam yang turun terlambat, bermalas-malasan, lemah gemulai, yang didapatkannya hanyalah sisa-sisa. Syukur masih dapat makanan jika tidak hanya dapat ampas-ampasnya. “Rezekimu sudah dipatok ayam,” kata Datok mengomeli siapa anak, cucu, atau murid-muridnya yang suka bangun kesiangan. Datok—Pak Guru Abang Maspura selalu bangun pagi hari sejak kecil. Sampai masa senjanya dia selalu ingin salat subuh di mesjid. Bahkan beberapa hari sebelum wafat, masih minta turun ke mesjid karena kebiasaan menjadi karakter. “Lutut Datok sudah lemah Tok. Salatnya di rumah saja agar aman. Orang sakit boleh tidak ke mesjid…” Nasihat Buyung dan Titin didengarkannya. Walau karakternya keras, Datok selalu menurut nasihat dan pendapat yang baik. Salat subuh pun masih bisa ditegakkannya dengan prinsip sejak muda: bangun paling pagi kendati dilakukan di dalam kamarnya sendiri. Sah walaupun dia rasakan kurang afdhol. 134


Datok Abang Maspura menghembuskan napas terakhirnya pada pukul 13.15 setelah waktu zuhur masuk sekira 1 jam. Napasnya berhenti dengan pelan dan tenang. Laksana mobil tiba ke tujuan dengan rem yang pakem. Buyung mengenal Pak Gur u Abang Maspura secara lebih detil setelah menjadi menantu. Dia ketahui bahwa Datok bersekolah kependidikan di Kalimantan Selatan. Seangkatan dengan Ismail Bakri yang kelak tercatat sebagai birokrat di Sintang. Sekolahnya bernama SGB. Ketika itu Pontianak sebagai Ibu Kota Kalbar masih tertinggal daripada Banjarmasin. Belum ada sekolah menengah dan belum ada sekolah keguruan. Semua fasilitas sekolah keguruan terpusat di Banjarmasin untuk Kalimantan, Sulawesi Selatan untuk Sulawesi, dan Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya untuk Jawa. Hasil didikan di masa perjuangan melawan penjajahan memang keras-keras. Keras semi militer. Dengan demikian mudah saja melihat murid ditampar karena kenakalannya. Uniknya pendidikan semi militer cukup berhasil membentuk mental baja murid dalam belajar. Salah satunya adalah Pak Guru Abang Maspura. Sikap kokohnya tidak bisa digoyahkan, kecuali dasar logikanya kuat pula. “Rumah Datok dibongkar saja karena kiri-kanan sudah jadi gedung. Tanah dan rumah Datok dijual untuk 135


kemudian naik haji serta sisanya buat modal. Buat apa lagi karena anak-anak Datok semua sudah berdikari.� Buyung melancarkan pendapatnya. Pendapat ini meluluhkan kekokohan sikap Datok yang enggan menjual tanah dan rumahnya sepeninggal istri tercinta yang terletak di Martadinata Mandau Permai Kota Pontianak. Sikap kokoh Pak Guru Abang Maspura berhadapan dengan tutur kata Buyung yang sopan-santun cepat luluh. Terbukti dengan pinangan Buyung kepada gadisnya Titin mulus diterima. “Pernikahan dengan titin berjalan lancar. Pernah saya kehujanan ditawari menginap di rumahnya. Beliau lembut walau sejumlah orang menilainya keras. Ya keras jika tidak cocok dengan hati dan pikirannya.� Datok senang mendidik. Tak perduli anak siapa pun diceramahinya. Tanggapan mereka bisa positif dan negatif. Positif karena nilai nasehatnya 100 persen berisi kebaikan. Negatif jika yang mendengar tidak punya cukup waktu sebagai kawan bicara. Apalagi ternyata ada pengulanganpengulangan sehingga bisa jadi membosankan. Bagi yang merasa bosan kemudian menghindar. Ini ilmu hidup yang mesti kita ketahui. Bahwa masa tua perlu diperhitungkan. Saya setelah menjadi menantu jadi tahu.

136


Dwi Syafriyanti, SH, MH Cucu

D

alam pergaulan kita sehari-hari, bertemu dan berinteraksi dengan berbagai orang tentu menjadi hal yang lumrah adanya, sebab sebagai mahluk sosial kita memang memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Lebih lanjut dari interaksi tersebut akan terbentuk kelompok, zoon politicon demikian Plato maupun muridnya Aristoteles menyebutnya. Perkenalan, demikian langkah awal dari proses interaksi tersebut. Mungkin akan dimulai dengan saling menyebutkan nama, kemudian tempat tinggal dan hal umum lainnya yang lazim disampaikan sebagai bentuk pertukaran informasi. 137


Demikian pula dengan saya, ada satu pertanyaan atau bisa juga disebut pernyataan yang kerap dilontarkan orang pada saya saat berkenalan. “Anda orang apa?”... atau “Mbak orang Jawa ya..?!” atau lagi “Kau orang Melayu atau orang Dayak?” bahkan “Kayaknya… Kakak neh orang Batak deh? Menarik, pertanyaan yang saya pikir begitu klasik namun mengandung makna yang unik. Sebab sebagai negara kesatuan, Indonesia memang merupakan hamparan ribuan pulau, sebut saja pulau-pulau besar seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan hingga Irian maupun pulau-pulau kecil lainnya. Individu-individu yang berkumpul di dalamnya membentuk suatu masyarakat, memiliki komunitas, saling berhubungan karena saling membutuhkan untuk mencapai kebaikan, demikian konsep pemikiran Plato terwujud dalam negara kesatuan Indonesia. Lebih lanjut mereka memiliki adat istiadat, bahasa dan budaya sendiri bahkan ciri fisik yang khas. Semua itu menjadikan Indonesia kaya, sungguh hal yang patut disebut “membanggakan”. Bagi saya pertanyaan tersebut, selalu punya satu jawaban, yaitu: “Saya Orang Indonesia!”. Jika yang bertanya masih penasaran, maka saya akan katakan bahwa ibu saya adalah perempuan yang terlahir dari Ayah seorang Sunda dan 138


Ibu seorang Jawa, dan Ayah adalah seorang lelaki yang terlahir dari Ibu berdarah Padang dan Jawa serta ayah seorang berdarah Dayak dan mungkin karena Islam di sebut Melayu. Dan justru saya yang akhirnya balik bertanya: “Jadi saya orang apa donk?” Yang bersangkutan akan tersenyum malumalu sambil mengangguk-anggukkan kepala, “yaaa…yaa,,,anda orang Indonesia”. Yah, sungguh lah saya ini sangat bangga dengan darah yang mengalir dalam diri. Sebangga saya menjadi cucu seorang guru seperti Datok, yang punya andil besar mengalirkan darahnya sehingga saya benar-benar menjadi orang Indonesia. Bagi saya mengenang leluhur bagai mengalirkan air segar nan sejuk di relung hati. Ia bergerak lembut, mengikuti alur perjalanan hidup yang pernah terlewati, membawa serta kenangan-kenangan indah masa kecil hingga remaja di kota Sintang nan asri, di mana alamnya yang eksekotis selalu menjadi bagian penting dalam tumbuh kembang saya sejak dilahirkan hingga masa SMA. Dan gerakan lembut tersebut akan berhenti pada tarikan nafas panjang, menghembuskannya kembali perlahan....lalu tersenyum, bahwa saya ada karena mereka mewariskan darahnya pada saya. Inilah yang terjadi pada saat mengenang “Datok”, ayah dari bapakku. Lelaki ini telah tiada, ia pergi dengan begitu tenang dan damai lebih dari sebulan yang lalu, ia berpulang dengan membawa banyak “bekal”. 139


Bekalnya tak lain kebaikan-kebaikan masa hidupnya, amal ibadahnya. Dan saya yakin saat ini Datok tengah melepaskan rindunya pada Nenek yang lebih dulu berpulang ke haribaan-Nya 20 tahun yang lalu. Di mata saya, Datok adalah lelaki tegas, lugas serta jujur. Buahnya adalah kelima anak yang terlahir dalam pernikahannya dengan nenek Supiah binti Darun menjadi anak-anak sukses yang sebagian mengabdi pada dunia pendidikan. Datok adalah sosok membanggakan yang bisa dijadikan teladan bagi siapa saja, terutama kami sebagai anak-cucunya. Meski dalam kehidupannya ia pun tak luput dari khilaf serta lupa yang menjadi tabiat biasa bagi kita manusia. Datok punya kebiasaan baik yang unik yaitu menulisi namanya, tanggal, bulan serta tahun disemua barang yang pernah dibeli, apapun itu barangnya, termasuk keranjang pencuci sayur, sehingga tak mengherankan saat makan bersama semua perabot sekecil apapun akan mudah ditemui penanda kepemilikan tersebut. Contohnya centong nasi: MAS, 17-3-1998. (MAS adalah kependekan dari Maspura). Tulisan tersebut biasa ditulis dengan spidol khusus, namun jika bahannya terbuat dari plastik atau alumunium Beliau tak ragu untuk mengukirnya langsung dengan menggunakan paku atau benda tajam yang bisa dipergunakan. Ini menggambarkan betapa disiplin dan rapinya Datok kami ini. Dan kami anak-cucunya tak satupun mampu 140


meneruskan kebiasaan baiknya ini. Datok juga seorang petani ulung, tangannya begitu “dingin” alias apapun yang ditanamnya di pekarangan akan tumbuh dengan sempurna, berbunga dan berbuah, bahkan pisang raja hasil tanamannya, entah generasi yang keberapa sudah tertanam subur di kebun rumah kami. Kesibukan di rumah ibadah yang dibangunnya menyertai masa-masa tua sebelum berpulang. Datok adalah seorang guru sejati, kabar pengabdiannya dalam dunia pendidikan tanpa pamrih kerap saya dengar dari guru-guru SD. Menurut saya, guru-guru saya tersebut sangat menghargai Datok, maka Datok pulalah yang selalu saya mintai doa apabila akan menempuh ujian. Suatu subuh saya pernah menelponnya agar didoakan karena akan ujian skripsi, waktu itu beliau berada di Sintang dan saya kuliah di Universitas Tanjungpura-Pontianak. Beberapa bulan yang lalu sebelum meninggal, Datok dan Saya duduk berdua diberanda rumah Usu Ida (anak bungsu Datok) di Siantan, ternyata Datok sudah menyiapkan sebuah pertanyaan sebagai kalimat pembuka obrolan kami sore itu. “Datok dengar Yanti melanjutkan sekolah lagi?”. “iya to, mohon doanya” jawab saya. Dengan mata berbinar datok mengatakan betapa ia bangga pada cucunya ini. Dan dalam perbincangan akrab antara kakek dengan cucunya tersebut beliau mengatakan sesuatu yang be141


gitu tertanam dalam pikiran dan hati saya, “Yanti..makin tinggi pohon, makin kencang angin meniupnya�. Beberapa pohon yang berada dihadapan kami saat itu seolah memperkuat pesan Datok, di beranda rumah Usu Ida tempat kami berbincang memang masih terhampar tumbuh-tumbuhan termasuk beberapa pohon, dan dengan tiba-tiba angin bertiup cukup kencang, ada beberapa pohon yang terlihat pucuknya melambai-lambai ke sana kemari tertiup angin, namun akar yang kokoh ternyata mampu menopangnya dengan tegar.. Subhaallah..saya tertegun, tak mampu berucap lagi.. Saya tahu nasehat itu begitu dalam maknanya, tak kuduga itu adalah nasehat terakhirnya Datok untuk saya, cucunya... Selamat jalan Datok, semoga Allah menyambutmu dengan suka cita diharibaan-Nya. Semua doa terbaik kami panjatkan demi kebahagiaanmu di alam sana. Tempat kita semua pasti kembali.

142


Prof Dr Hamid Darmadi, M.Pd (Guru Besar Kopertis Wilayah XI Kalimantan)

S

aya mengenal Bapak Abang Maspura ketika saya sekolah di SPG Negeri Sintang tahun 1972 sampai tamat tahun 1974. Bagi saya Bapak Abang Maspura adalah seorang guru dan pendidik yang sungguh sangat luar biasa. Dikatakan demikian karena Beliau hidup dalam jaman pra-kemerdekaan, jaman kemerdekaan, dan jaman orde baru yang ketika itu masyarakat kita belum mengenal “kompetensi guru�, tetapi Beliau sebagai guru dan sebagai pendidik sejati sudah memiliki itu. Sungguh Beliau adalah guru dan pendidik sejati. 143


Kompetensi yang sangat urgensi sekalipun juga dimiliki oleh Beliau yaitu kompotensi profesional, kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Hal ini dibuktikan dengan cara Beliau mengajar, cara Beliau memberikan penilaian, cara Beliau memberikan bimbingan kepada murid-muridnya termasuk saya sungguh sangat profesional. Sebagai anak daerah (pedalaman) ketika menjadi murid Beliau saya banyak kekurangan dan kelemahannya baik dari segi material maupun spiritual, tetapi Beliau paham itu semua sehingga kelemahan dan kekurangan diri saya itu berubah dan dibangkitkan menjadi kekuatan dan kepercayaan diri yang luar biasa, yang akhirnya berperan sebagai batu loncatan dan tembok raksasa bagi saya untuk meniti karier seperti sekarang ini. Di samping memiliki kompetensi profesional yang tinggi,Beliau juga memiliki kompetensi sosial yang kuat yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Beliau tidak pernah membedakan suku, agama, golongan dan asal daerah. Bagi saya sebagai anak daerah hal ini sangat terasa manfaatnya dalam pembentukan jiwa sosial dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang harus banyak belajar dan harus banyak mengejar ketinggalan dalam berbagai sudut kehidupan. 144


Kompetensi pribadi atau personal yang Beliau torehkan kepada kami, saya sendiri khususnya telah mampu tertanam dengan sangat kokoh dalam menjalani hidup bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Kompetensi nilai yang dibangun Beliau melalui perilakunya seperti pribadi yang patut ditiru dan digugu, penampilan yang menarik, ramah tamah dan senang membantu, guru yang humor, gaul dan “funky� serta bagaimana mengajar dengan baik dan menyenangkan peserta didik, telah mampu menghantarkan diri saya menjadi guru/dosen seperti sekarang ini. Sungguh masih sangat banyak kebaikan dan keteladanan Beliau yang tidak mampu saya ambil dan praktekkan dalam mejalankan tugas sebagai guru/dosen, semua itu menjadi kesan yang amat dalam dan kenangan yang amat manis yang tak terlupakan dalam hidup saya. Kesan yang teramat dalam dan tak pernah terlupakan sedetikpun adalah ketika Beliau memberikan rekomendasi kepada keluarga saya (baca istri saya) Mariana Nurgia. Keluarga saya ketika itu mendapat tugas mengajar di Nanga Merakai Kecamatan Ketungau Tengah Sintang. Sementara itu saya sendiri mendapat tugas mengajar di Kota Pontianak bersama dua belas orang kawan guru yang diutus dari 6 Kabupaten di Kalbar ketika itu. Keluarga saya memerlukan surat pindah tugas untuk bisa ikut serta saya ke Pontianak. 145


Saya datang memohon bantuan Beliau, oleh baliau saya diberi sepotong surat sakti. Dengan surat itu ternyata tidak lebih dari satu bulan kemudian SK Pindah Keluarga saya sudah “keluar� tanpa embel-embel apapun. Bisakah sekarang ini mengurus SK kepindahan tugas mengajar antar Kabupaten/Kota seperti waktu itu?...tak bakalan kali. Sungguh sangat luar biasa kharisme Beliau. Begitu gampangnya saya mengurus kepindahan tugas mengajar keluarga saya karena kharisma kepemimpinan beliau yang sangat signifikan. Sungguh tak pernah terlupakan jasa Beliau dengan jalur birokrasi yang teramat familiar.Sungguh jasa yang tak dapat kubayar, hanya Do’a yang dapat kupanjatkan, semoga amal bhakti dan jasa-jasa Beliau melancarkan jalan dan melebarkan pintu Surga menghantarkan arwah Beliau bertahta dalam kerajaan Surga.Amin. Bersama keluarga Abang Maspura saya dan keluarga ikut serta berbelasungkawa yang sedalam-dalamnya. Sebagai guru sejati dan berkompetensi tinggi, Bapak Abang Maspura mampu memerankan pendidikan yang bermutu berkapasitas melalui satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam 146


usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru yang kompeten,profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan. Itulah yang selalu Beliau tanamkan kepada kami (saya) sebagai seorang muridnya. Beliau juga mengajarkan kepada kami (saya) bahwa guru bukanlah seorang tukang dan perkerjaan “sambilan�, tetapi seorang intelektual yang harus menyesuaikan diri dengan situasi dan persoalan yang dihadapi. Apabila pendidikan di Indonesia ini ingin maju dan berhasil, maka memang para guru, yang menjadi ujung tombaknya harus sungguh profesional, baik dalam bidang keahliannya [kompetensi], dalam bidang pendampingan, dan dalam kehidupannya yang dapat dicontoh oleh siswa. Beliau juga tidak jemu-jemunya menekankan kepada kami bahwa guru perlu melakukan beberapa usaha yang dilakukan untuk membangun kompetensi : Pertama, guru harus memiliki rasa tidak puas dengan keadaan atau dengan apa yang telah diperoleh, terutama sekali dalam bidang usaha mengajar. Kedua, guru harus dapat memahami anak sebagai pribadi yang unik, yang satu sama lain memiliki kekuatan dan kecerdasannya masing-masing. Ketiga, sebagai guru dituntut untuk menjadi pribadi yang fleksibel dan 147


terbuka. Fleksibel menghadapi situasi yang selalu maju dalam dunia pendidikan. Keempat, guru har us merasa terpanggil untuk menekuni profesinya sebagai guru, dan bukan pekerjaan “sambilan” demikian Beliau mengingatkan. Hal lain yang tak pernah saya lupakan dari Beliau juga adalah bahwa menjadi guru adalah panggilan hidup. Menurutnya, ada dua segi dalam panggilan, yaitu: Pekerjaan itu membantu mengembangkan orang lain [ada unsur sosial], dan pekerjaan itu juga mengembangkan dan memenuhi diri kita sebagai pribadi. Jelas pekerjaan guru terlibat dengan suatu pekerjaan yang mempunyai arti dan nilai sosial, yaitu berguna bagi perkembangan orang lain. Dalam pekerjaan guru. Demikian yang bisa saya sampaikan. Semoga testimoni ini bermanfaat adanya, dan amal bhakti Beliau diterima disisi-Nya. Amin. Tiada intan permata, tiada emas baiduri, tiada harta kekayaan yang dapat saya (muridmu) persembahkan kepadamu, tetapi hanyalah Do’a yang dapat kupanjatkan mengiringi kepergianmu ya bapak Abang Maspura menghadap Yang Kuasa. Selamat jalan “bapak Abang Maspura”. Tangis dan doa saya muridmu mengiringi kepergianmu. Amin.

148


Dr. M. Tajudin Nur, M.Si (Murid SPG Almarhum era 1973-1975 dan Dosen FKIP Universitas Tanjungpura)

Mengajar dengan Dirinya Sendiri

B

apak Abang Maspura yang penulis kenal adalah seorang guru yang pernah mendidik penulis ketika menjadi murid Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Sintang pada era tahun 1973-1975. Beliau sesungguhnya bukanlah guru tetap di SPG Negeri Sintang, tetapi karena ketika itu SPG Negeri Sintang kekurangan 149


guru, Beliau direkrut untuk mengajar salah satu matapelajaran yang amat penting bagi seorang guru atau calon guru, yaitu pelajaran “Ilmu Mendidik�. Seingat penulis, Beliau adalah Pengawas Sekolah, yang ketika itu disebut Penilik Sekolah atau PS. Keikhlasan dan kesederhanaan merupakan tampilan menonjol Bapak Abang Maspura. Beliau ikhlas menjadi guru tidak tetap di SPG Negeri Sintang ketika itu, yang penulis yakin tidak seberapa besar jumlah honororium yang diterimanya atau jangan-jangan justru tidak ada honororiumnya. Namun demikian, seingat penulis, tidak pernah Beliau absen mengajar atau ogah-ogahan mendidik murid-muridnya. Hal ini tampak dari raut wajah ceria ketika datang dan selama berada di kelas. Jikalau pun ada masalah sebelum masuk kelas, tetapi tidak pernah tampak di raut wajah Beliau. Salah satu nasihat Beliau yang masih penulis ingat, adalah justru berhubungan dengan hal ini. Beliau mengingatkan dengan nada kalimat seperti ini: Kalau kalian nanti menjadi guru, pisahkan urusan keluarga dengan urusan mendidik dan mengajar. Biar di rumah “pedering� (tempat) beras kosong serta belum tahu apa lauk dan sayur yang akan dimakan, dan istri mengeluh macam-macam, lupakanlah untuk sementara. Setelah selesai dari melaksanakan tugas, barulah dicarikan solusinya bersama keluarga�. Sejujurnya, Beliau mengajarkan pelajaran 150


Ilmu Mendidik kepada murid-muridnya tidak dengan menyodorkan tumpukan buku atau menjejali muridnya dengan berbagai teori, tetapi mengajar dengan “dirinya sendiri”. Kalau penulis ditanya, penulis pun tidak tahu, buku apa yang menjadi pegangan Beliau, karena membawa bukunya pun cuma ditenteng tanpa tas, mengingat tidak banyak buku yang Beliau bawa. Penulis pun belajar dari catatan dan kemampuan menyimak pelajaran secara baik. Beberapa nilai yang menjadi saripati Ilmu Mendidik, seperti kecintaan, kejujuran, kesabaran, kearifan, dan beberapa nilai lainnya tidak disampaikan dengan retorika, tetapi dengan menjadikan diri Beliau sebagai model, yang justru lebih mudah dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, ada nasihat sederhana untuk mendidik dan membelajarkan murid:

Anda belajar berbicara dengan berbicara Anda belajar berjalan dengan berjalan Anda belajar stir mobil dengan berkendaraan Anda belajar mengetik dengan mengetik Anda belajar kebaikan adalah dengan mempraktikkan kebaikan Anda belajar memecahkan masalah dengan mempraktikkan memecahkan masalah Anda belajar menulis, dengan anda mempraktikan menulis. 151


Kesederhanaan juga tampak jelas dari penampilan Beliau ketika berpakaian dan bangunan fisik rumah yang dihuni. Penulis masih sangat hafal posisi rumah Beliau tahun 1970-an, yang berdekatan dengan PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) Sintang, yang juga berjajaran dengan Masjid Jami’ An Nur Sintang. Di dekat rumah Beliau ada bangunan bioskop, yang gedungnya tidak pernah terbangun secara rampung, meskipun sudah dioperasikan. Itulah satu-satunya bioskop di kota Sintang. Di dekat rumah Beliau juga pertama ada warga yang membuka jasa “laminating press” di kota Sintang. Lucu juga, jika diingat, banyak orang, termasuk penulis ketika itu tidak tahu, apa namanya “laminating press”. Eeh, tak tahunya, itulah jasa melapisi dokumen dengan plastik pelindung. Orang Pontianak, menyebutnya, “sepok”. Rumah Bapak Abang Maspura cukup lekat dalam bayangan penulis, karena rumah Beliau seringkali menjadi tempat belajar bersama penulis dengan beberapa teman lain, termasuk putri Beliau, yang sekelas di SPG negeri Sintang, yakni Mahlis Zaidar. Di rumah tersebut, kami merasa diterima dengan penuh keterbukaan dan keramahan keluarga besar Beliau, sehingga semua teman tetap merasa nyaman untuk belajar bersama di sana. Penulis yakin, sesungguhnya kalau belajar di sana pasti merepotkan, karena teman-teman perempuan bukannya serius belajar, 152


karena lebih asyik menyiapkan “pelabor” (makanan ringan), seperti merebus bubur kacang hijau, membuat gorengan atau merebus ubi, yang dimakan dengan parutan kelapa, termasuk kopi atau teh panas, tentunya. Kesederhanaan hidup Bapak Abang Maspura tampak juga dari “urusan dapur”. Penulis menjadi tahu rahasia dapur keluarga Beliau, karena ketika Ayahnda dari penulis meninggal dunia tahun 1974, dan harus meneruskan usaha keluarga menjadi penjual ikan basah bersama pamanda penulis di sela-sela waktu bersekolah, istri Bapak Abang Maspura menjadi salah satu pelang gan, kecuali kalau ikan yang Beliau inginkan tidak tersedia di lapak penulis. Hal yang paling berkesan, belanja ikannya secukupnya dan tidak pernah menawar harga. Berapa pun harganya, istri Beliau tidak pernah menawar. Kalau harga ikan sedang tinggi, istri Beliau hanya akan mengurangi porsi belanjaannya. Itulah profil lain dari kesederhanaan Bapak Abang Maspura dan keluarganya. Hal paling penting, yang terkesan adalah “biar tidak banyak ikannya” tetapi kualitas ikan menjadi pertimbangan paling penting. Soal makanan bergizi sudah menjadi kesadaran keluarga Beliau. Mungkin sekedar gambaran, kota Sintang tahun 1970-an hanya memiliki satu sentra atau pasar ikan, yang terletak di atas sungai kecil, yang sekarang posisinya di samping taman alun-alun 153


Kantor Bupati Sintang. Pasar ikan tersebut sekaligus menjadi pasar sayur dan pasar daging. Di bagian terdepan untuk berjualan ikan basah, bagian agak di tengah adalah tempat berjualan sayur, dan bagian agak di belakang adalah tempat berjualan daging sapi. Di samping pasar tersebut dahulu adalah gudang DOLOG milik Firma AKOR (singkatan dari nama pemiliknya: Abdul Karim OR), yang sekaligus menjadi tempat bersandar “Nierhoff � atau kapal besi peninggalan Belanda, yang kemudian di era Orde Baru menjadi tempat bersandat Kapal “Praja� untuk mengangkut logistik sekaligus penumpang, yang dioperasikan oleh PD Kapuas Dharma. Di pasar ikan dan pasar sekitarnya waktu itu tidak ditemukan adanya toilet. Tempat buang hajat yang ada hanya berupa lanting. Namun karena terbatas dan agak repot untuk ke sana, maka penjual dan pembeli yang sudah kebelet mau pipis, akan menyusup di bawah kolong pasar (yang posisinya cukup tinggi). Oleh karena itu, jika lewat di sekitar kolong pasar tersebut akan tercium aroma amonia yang sangat menyengat. Belum ada yang terpikir ketika itu untuk membuat WC umum, termasuk pemerintah daerah sendiri. Melanggengkan Hubungan Kekeluargaan Kesan dan ikatan batin dengan Bapak Abang Maspura sesungguhnya tidak pernah terputus setelah tamat dari SPG Negeri Sintang 154


tahun 1975, karena seperti disinggung di atas, salah satu putri Beliau, Mahlis Zaidar adalah teman sekelas ketika di SPG Negeri Sintang, sejak kelas I sampai dengan kelas III. Putra kedua Beliau, Bang Boyli Rasyidi adalah kakak kelas ketika di SPG yang sama. Kalau penulis masuk SPG tahun 1973, Bang Boyli masuk pada tahun 1971, sehingga ketika kami kelas I, Bang Boyli Rasyidi kelas III. Kemudian, ketika akan melanjutkan S1 di FIP (Fakultas Ilmu Pendidikan) Universitas Tanjungpura tahun 1980, penulis mendaftar bersama Bang Boyli. Kemudian, karena samasama bergerak di bidang pendidikan, Bang Boyli menjadi guru dan penulis berkarir sebagai dosen, kami pun sering berjumpa dalam banyak kesempatan. Kadang-kadang dalam urusan pelatihan, urusan PGRI, atau kegiatan-kegiatan lain. Putri Beliau, Titin, yang meskipun tidak seangkatan ketika bersekolah, tetapi karena kenal sejak lama, hubungannya pun cukup erat, apalagi ketika kemudian, Titin menikah dengan Buyung, yang masih berhubungan famili dan teman penulis ketika di SD Negeri 3 Sintang, makin dekatlah hubungan silaturrahminya. Putri Bapak Abang Maspura lainnya, Zuraida, yang juga tidak seangkatan ketika di SPG, menjadi cukup akrab ketika kuliah di S1 sejak tahun 1980, mengingat kampur FIP dan 155


Fakultas Keguruan Universitas Tanjungpura ketika itu bertetangga, yang sekarang menjadi kampus Fakultas Kehutanan. Apalagi kemudian, Zuraida menikah dengan Saudara Juanda, seorang guru, yang sering juga bertemu dalam berbagai kesempatan, seperti di PGRI dan kegiatan kependidikan lainnya. Adapun Bang Amir, memang tidak kenal terlalu intens, karena mengenal Bang Amir ketika bersekolah di SMP Negeri 1 Sintang. Waktu itu, kami kelas I, Bang Amir kelas III. Setelah itu, Bang Amir bersekolah ke STM di Pontianak, dan bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (PU) atau tidak di bidang pendidikan. Hal yang paling saya ingat, Beliau dahulu pemain sepakbola handal. Bayangkan, ketika itu, SMP Negeri 1 Sintang sudah masuk divisi “senior�, dalam arti bertanding bukan hanya di antara sesama pelajar SMP, tetapi juga dengan klub-klub orang dewasa. Pertalian silaturrahmi dengan Bang Amir yang tidak terlalu intens ketika itu, tampaknya, dengan kehendak Tuhan, dipererat oleh menantunya, yakni Saudara H. Nur Iskandar, SP., yang bersama penulis menjadi Pengurus Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat. Saudara H. Nur Iskandar, SP menjadi Sekretaris, sedangkan penulis adalah Komisi Pendidikan Dasar dan Menengah. Dengan demikian, ikatan batin dengan Bapak Abang Maspura terjadi dalam tiga rentang generasi (Beliau sendiri dan 156


keluarganya, anak-anak dan menantunya, serta cucunya). Penulis merasa bahwa rasa kekeluargaan dengan Bapak Abang Maspura dan keluarganya bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi penulis yakin merupakan hasil didikan Beliau kepada anakanaknya sendiri dan kepada murid-muridnya, termasuk penulis. Seperti banyak diajarkan dengan petuah orang-orangtua masa lalu, mestinya tidak ada kamus “bekas guru� atau “bekas murid�. Pertemuan dan Kesan Terakhir Di masa tuanya, terutama dalam beberapa tahun terakhir, penulis mengetahui Beliau menjalani kehidupan di dua lokasi secara bergantian antara Pontianak dan Sintang. Hal ini mengingat bahwa tiga anak Beliau berdomisili di Sintang dan dua lainnya di kota Pontianak. Penulis yakin bahwa demi tetap menjaga silaturrahmi dengan anak-anak dan cucunya, atau bahkan cicitnya Beliau rela bolak-balik di usia senjanya. Dengan demikian cara mendidik melalui pemodelan, seperti di awal cerita kenangan ini terus Beliau pelihara sampai kepada generasi cucu dan cicitnya. Cara ini seperti banyak dibuktikan jauh lebih efektif dibandingkan dengan sekedar untaian kata dan kalimat, apalagi hanya dengan retorika belaka. Terus terang saja, dengan pola kehidupan masa kini yang serba instan dan padat, pertemuan 157


langsung dengan Bapak Abang Maspura memang tidak selalu dapat dilakukan secara rutin, tetapi informasi tentang Beliau rutin terpantau ketika bertemu anak dan menantu Beliau, baik di Pontianak maupun ketika berkunjung ke Sintang. Namun demikian, yang paling berkesan, selalu saja ada titipan salam hangat dari Beliau buat penulis. Pertemuan tatap muka penulis dengan Bapak Abang Maspura terakhir, sekitar 2 (dua) tahun yang lalu, ketika penulis melakukan kegiatan penelitian di Sintang, dan memerlukan data di Kantor BPS (Badan Pusat Statistik) Sintang (Saudara Buyung, atau suami Titin adalah pimpinannya). Karena ketika ditanya dengan Titin, Beliau sedang berada di Sintang, penulis mampir dan menemui Beliau di kedai sembako, yang berdekatan dengan rumah keluarga Titin. Di situ, kami bercerita banyak hal yang ringanringan, baik menyangkut keluarga, pekerjaan, dan siatuasi pendidikan umumnya. Memori Beliau masih sangat kuat dan penglihatan serta pendengarannya masih sangat baik. Barangkali itulah hikmah ketulusan, kesederhanaan dan rasa kekeluargaan yang Beliau terapkan sejak lama. Saat dalam perjalanan dengan Bus DAMRI menuju Sintang, tanggal 7 Maret 2011 (malam Selasa), dengan tujuan akhir ke Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu, penulis mendapat SMS dari seseorang (yang hanya muncul nomornya), 158


menyatakan “Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Telah meninggal dunia Bapang Abang Maspura tanggal 7 Maret 2011 di Sintang�. Penulis membalas dan menyampaikan terima kasih kepada pemberi informasi, untuk selanjutnya, menyampaikan rasa dukacita buat keluarga besar Beliau. Sesungguhnya, sudah diniatkan, jika jemputan speedboat dari Selimbau agak terlambat sampai di Sintang, maka begitu tiba di Pool DAMRI Tugu BI di Sintang akan mampir sejenak ke rumah duka. Namun karena rombongan kami sudah ditunggu dan langsung dinaikkan ke speedboat yang sudah standby di pinggiran sungai Kapuas (di depan Kantor Bupati Sintang), maka tidak mungkin penulis memisahkan diri dari rombongan. Penulis hanya dapat berkirim doa, semoga jasa dan pengabdian Beliau sebagai guru dan hamba Allah diterima di tempat terhormat di sisiNya. Tulisan singkat dan sederhana ini juga diniatkan semoga akan menjadi ilmu dan amal Beliau untuk terus diamalkan dan disebarluaskan demi kebaikan umat manusia pada umumnya. Amin, ya robbal ‘alamin. Pontianak, Maret 2011 Murid yang selalu terkesan padamu, Wahai Guruku,

159


Prof Dr H Uray Husna Asmara, M.Pd (Murid Almarhum dan Dosen FKIP Untan)

S

ekolah Pendidikan Guru (SPG) yang berada di Kota Sintang sudah lama “ditinting� anak pertama dari delapan bersaudara yang berdomisili di Melawi, Kabupaten Sintang (saat itu Melawi belum mekar sebagai Kabupaten sendiri) Uray Husna Asmara. Mendaftarlah Uray Husna ke SPG. Di SPG inilah Uray mulai mengenal sosok Pak Guru Abang Maspura yang keras dan tegas. Penampilan guru yang rapi jali. Begitu tampil di depan kelas, Uray Husna menyimak dengan seksama wejangan Pak Guru 160


Abang Maspura. Kalimat-kalimat bernas mengalir dari mulutnya dengan siraman motivasi bahwa para murid sekalian masuk ke tempat yang tepat. Bahwa menjadi guru adalah profesi yang mulia. Yakni mencerdaskan kehidupan Bangsa. “Syarat menjadi guru yang sukses itu berat. Pertama harus dimulai dari diri sendiri dulu, kedua baru kepada orang lain,� tegas Pak Guru Abang Maspura dengan vokal. Uray mengiyakan di dalam batinnya. Terus menyimak untaian kata-kata yang membakar semangat bagaikan nasihat Panglima kepada prajurit-prajuritnya sebelum berangkat perang. Perang Badar. Perang yang paling besar. Tetapi perang yang paling besar daripada Perang Badar adalah perang melawan hawa nafsu. Sampai pada pengertian sejarah Perang Badar itu Uray menyikapi di dalam batinnya. Bahwa selaku murid Abang Maspura harus tekun belajar dan mesti bersikap kesatria. Mesti menang perang di medan juang ilmu pengetahuan. Harus disiplin dalam setiap waktu. Baik mendengarkan penjelasan guru, mengerjakan pekerjaan sekolah atau pekerjaan rumah, hingga sikap. Sikap sebagai murid dan sebagai hamba Allah. Kecocokan prinsip antara Uray Husna dengan Pak Guru Abang Maspura segera terlihat. Interaksinya menjadi lekat. Menyebabkan keduanya tampak istimewa di hadapan muridmurid lainnya. 161


Uray Husna ditanggapi sebagai “anak emas” Abang Maspura. Lantas apa kata Pak Guru Abang Maspura? “Sebenarnya tidak ada itu anak emas atau anak loyang! Yang ada itu adalah anak yang cerdas dan mendengarkan kata-kata gurunya dengan anak-anak bandel yang suka membantah. Cobalah Anda menjadi guru, kira-kira lebih suka kepada yang cerdas lagi baik, atau bandel lagi malas?” Pak Guru Abang Maspura menjawab penjelasannya sendiri yang dalam bentuk pertanyaan itu dengan pilihan pertama. “Murid yang baik siapa yang tidak suka?” lanjutnya. Uray Husna memang murid yang cerdas. Tata tulisnya rapi. Buku-buku tersusun dengan sampul yang bersih. Tak pernah melipat buku dan ditaruh di saku pantat. Semua masuk ke dalam tas. Tiada tugas yang diabaikannya selama belajar di SPG. Bahkan tutur kata, kalimat dan busananya pun elegan. Sopan santunnya sangat tinggi sehingga dengan sendirinya dia menonjol ketimbang murid-murid lainnya. Karena Uray Husna ringan tangan, Pak Guru Abang Maspura tidak sungkan mengajaknya untuk minta bantuan. “Ray, bisa kamu bantu Bapak?” “Tentu bisa Pak Guru. Apa yang harus saya bantu?” kata Uray Husna. “Mengisi raport. Bapak mau kejar waktu 162


karena banyak sekali raport yang akan diisi pada waktu yang mepet sekali…” Uray mengangguk. Dia memang tidak pernah mengelak dari ajakan kerjasama. Lebihlebih Uray juga sadar bahwa dia punya tulisan rapi jali. Sama prinsipnya dengan Pak Guru Abang Maspura yang rapi jali. Bagi Abang Maspura, Uray punya catatan plus yang tidak dimiliki oleh murid-murid lainnya. Yakni setiap kali ulangan hampir seluruhnya benar sehingga nilainya di atas 90. Bahkan kerap selalu 100. Uray Husna pun menggarap isi raport bersama Abang Maspura di kediaman Abang Maspura. Duduk di dalam satu ruangan dengan memindahkan angka-angka nilai ulangan ke dalam buku raport sebagaimana petunjuk Pak Guru Abang Maspura. Uray bekerja dengan cepat. Beberapa kali dia bertanya jika tidak tahu. Beberapa kali juga dia tertawa terbahak-bahak demi melihat nilai kawan-kawan sekelasnya. “Mau diisi berapa nilai kawan saya ini Pak Guru? Nilainya rendah sekali: empat. Merah?” “Kasi saja enam! Dia malas tapi tak pernah membantah! Bagi yang kelakuannya masih baik jangan raportnya merah.” Uray pun menulis angka enam pada lajur raport. Begitu seterusnya. Ada keasyikan tersendiri bagi Uray Husna. Belajar lewat prinsip163


prinsip keguruan di dalam kehidupan sehari-hari. Utamanya ternyata adalah sikap, bukan nilai angka. Ternyata angka bisa berubah jika sikap kita bagus, baik, mulia. Tiba giliran mengisi raport sendiri Uray degdegan. “Mau diisi berapa nilai saya ini Pak Guru?” Uray senyum kerubi. Senyum kerubi berarti senyum tengkuyung. Di dalam hati Uray sudah harap-harap cemas, apa gerangan jawaban Sang Guru idola ini. “Kamu isi saja sendiri sesuai keinginanmu Ray. Syaratnya hanya satu: tidak boleh isi angka 10. Angka 10 itu untuk guru,” imbuhnya. Uray pun membalap lajur raportnya seraya senyum lebar. Senyum kerubi yang besar. “Uray Bapak kasih kebebasan mengisi raportnya karena memang nilai sesungguhnya rata-rata 10, jadi kalau dia isi 9 di raport ya itu memang nilai dia yang sesungguhnya,” kata Abang Maspura tersenyum bangga. Bebas tapi logis. Bukan menyimpang dari prinsip objektivitas atas realitas. Pujian Pak Guru Abang Maspura kepada Uray Husna tak pernah luntur sepanjang riwayat hidupnya. Eksistensi Uray Husna selalu dipuji dan dikenangnya melebihi murid-murid lainnya. “Uray Husna itu wajar mendapat gelar Proffesor Doktor dengan nilai terbaik karena sejak kecil dia memang tampil terbaik. Begitu seharusnya menjadi murid,” ungkapnya. “Jika mau 164


menjadi murid yang sukses belajarlah sebagaimana Uray Husna belajar. Bersikaplah sebagaimana Uray Husna bersikap,” timpalnya. Uray Husna Asmara sendiri bukanlah keluarga yang tergolong kaya raya. Dia berasal dari keluarga yang sederhana di Melawi dan taat beragama. Adik-beradiknya delapan orang dan dia yang tertua. Berarti besar sekali tanggungannya. Tanggung jawabnya sebagai kakak tertua atau sulung juga besar. Jika dia sukses maka adikadiknya bisa turut sukses. Jika dia gagal, adikadiknya yang tujuh orang itu bisa ikut gagal dan masuk ke dalam parit atau bahkan Sungai Melawi berarus deras. Setamat SPG Uray Husna masuk ke IKIP Pontianak yang kini bernama FKIP Untan. Setamat IKIP Pontianak dia menjadi dosen Untan karena lulus dengan predikat terbaik sebagaimana di masa SPG. Kemudian pendidikan S2 (Master) dan S3 (Doktor) ditempuhnya di IKIP Bandung dengan beasiswa Depdiknas. Di dua level pendidikan tinggi itu pun Uray Husna lulus dengan predikat terbaik dan tercepat di seluruh Indonesia pada angkatannya dan pada kelasnya di IKIP Bandung. Decak kagum selalu berbias di muka Pak Guru Abang Maspura kala mendengar kata Uray Husna Asmara. Dia selalu ingat masa lalunya mengajar “anak” ini. “Dia memang pintar!” sahutnya. 165


Uray Husna mengabdi dengan nilai kependidikan sebagaimana spirit Pak Guru Abang Maspura. Perhatian. Disiplin. Bersih. Tegas. Intonasi di dalam mengajar dimainkan seperti teatrikal. Dengan demikian metode ajar jadi menarik bagi para murid. Uray Husna mengembangkan metode ajar lebih ting gi lagi sebagaimana setiap murid didoakan agar jauh lebih baik daripada gurunya, yakni dengan menulis ke dalam bentuk buku. Uray Husna menulis buku serius: Analisis Kualitatif Statistik. Buku bagaimana belajar di Perguruan Tinggi. Namun dia juga menulis bukubuku agama. Karya seorang guru besar sebagai spirit dari guru-guru sejak SD, SMP, SPG dan kuliah. Salah satu guru yang menginspirasinya itu adalah Pak Guru Abang Maspura. Spirit keguruan yang dilanggamkan dengan pahlawan tanpa tanda jasa dienyam Pak Guru Abang Maspura yang hidup sederhana dan ketika pensiun semua fasilitasnya dikembalikan. Tidak hanya motor roda dua Honda 100, tapi juga motor air di mana jalan rayanya adalah Sungai Melawi yang membelah Kota Sintang berikut ratusan anak-anak sungainya. Keteladanan hidup sederhana dan kerja keras ini diikuti Prof Dr Uray Husna Asmara, M.Pd. Dia tampil sederhana dan berpikir sederhana pula. Bahwa harta benda tidaklah 166


dibawa sampai mati melainkan hanya amal ibadah semata-mata. “Tidak putus amal ibadah anak cucu Adam kecuali tiga: pertama sedekah jariyah. Kedua ilmu yang bermanfaat. Ketiga anak saleh-salehah yang mendoakan kedua orang tuanya,” ungkap Pak Guru Abang Maspura mengutip kata-kata Nabi Muhammad yang kemudian juga diamalkan Prof Dr Uray Husna Asmara, M.Pd. Sebagai guru sedekah jariyahnya selain buku, kapur tulis, pena atau pensil, juga ilmu yang bermanfaat. Adapun anak saleh-salehah bukan saja anak biologis, tapi juga anak-anak ajar di dalam kelas. Dari tahun ke tahun selalu bertambah dan bertambah. Jumlahnya bisa menembus angka ribuan. “Menjadi guru yang berkarya dengan amal saleh tanpa pamrih semoga sampai akhir zaman amal ibadahnya tidak pernah putus,” kata Uray Husna Asmara yang mengetahui Pak Guru Abang Maspura telah wafat pada usia 85 tahun. Tepatnya pada 7 Maret 2011. “Saya pasti menulis soal Pak Guru Abang Maspura. Saya senang menjadi murid kesayangannya,” kata Uray Husna yang di dalam perjalanan karirnya pernah menjadi Dekan FKIP Untan, Rektor Universitas Muhammadiyah Pontianak, Direktur STKIP, dan Ketua PGRI Kalbar, dan Ketua IKAPI Kalbar.

167


Dra. Fatmi Zuraida

S

i Bungsu itu hanya bisa menyeka air matanya ketika Sang Ayah menghembuskan napas terakhirnya pada 7 Maret 2011. Di dalam benaknya terbayang betapa Sang Ayah yang sekaligus Sang Guru telah mendidik, mengajar sekaligus membesarkannya dengan sikap keras, tegas dan disiplin. Kerja keras, tegas, disiplin dan rapi adalah nilai-nilai dasar yang diterapkan Abang Maspura kepada anak didiknya. Tak terkecuali kepada anak-anaknya di dalam rumah tangga. Si Bungsu Fatmi Zuraida yang kerap disapa 168


Ida mengikuti pola asuh ayahnya. Belajar keras sehingga memperoleh nilai yang bagus di sekolah. Dengan demikian tidak sulit baginya. Usu menembus ke perguruan tinggi negeri terbesar di Kalimantan Barat, yakni Universitas Tanjungpura. Ketika itu Untan tidak mudah ditembus. Seleksinya sangat ketat karena jumlah kursi tersedia di kampus sangat terbatas. Berbeda dengan sekarang ini di mana jumlah jurusan saja sudah berkembang pesat. Begitupula jenis pendidikan selain reguler konvensional, juga sifatntya khusus seperti ekstension. Ida menapakkan prestasi terbaiknya. Sebelum bertandang ke FKIP Untan dia sempat menjadi pemuda pelopor yang ditugaskan belajar ke Negeri Sakura, Jepang. Ini adalah buah dari jerih payahnya meneladani Sang Ayah dengan sikap belajar sungguh-sungguh, disiplin, rapi jali. Sebagai anak yang berprestasi, Abang Maspura merasa bangga melihat tumbuh kembang anaknya. Kebanggaan ini tampak dalam sorot mata yang seolah-olah berkata-kata dengan kalimat yang indah. Senyumannya pun lepas mengembang dengan tembang tak terlukiskan. “Kebahagiaan orang tua adalah melihat anak-anaknya bahagia di dalam rumah tangga, dan kebahagiaan sebagai seorang guru adalah ketika melihat anak asuh atau anak didiknya berhasil menjadi orang,� ungkap Abang Maspura. Abang Maspura mendapatkan kedua169


duanya. Sebagai orang tua dia melihat anak-anaknya bahagia di dalam mengarungi hidup dan kehidupannya. Begitu yang terjadi pada lima orang putra-putrinya. Lebih daripada itu dia juga bahagia tak terkira karena murid-muridnya juga pada “jadi orang”. Tidak sedikit anak murid Abang Maspura yang menjadi doktor, guru besar, sampai pada birokrat dan teknokrat. “Begitulah jika kita menjadi guru. Guru adalah profesi mulia yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita mesti mengajar dengan baik karena persaingan antar bangsa semakin tinggi. Semangat jangan sampai surut,” wejangnya. Abang Maspura begawan ilmu yang tidak pelit dengan pengetahuannya. Dalam bicara mulutnya akan selalu meluncurkan nasihat dan petuah. Di sini menunjukkan bahwa dia adalah guru sejati. Guru yang seperti buku. Ketika buku itu dibuka, maka mata kita diserang dengan puluru kata-kata, serentetan kalimat-kalimat, dan terjangan ilmu yang menerangkan. “Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dengan seni hidup menjadi indah. Dengan agama, hidup menjadi lebih bermakna,” kata Abang Maspura. Begitulah Ida menjalani hari-harinya sejak lahir hingga kemudian menjadi PNS guru sampai saat Sang Ayah menghembuskan napas terakhirnya. Guru di STM Siantan atau kini bernama 170


SMKN ini tertegun tanpa kata-kata. Senyap. Sunyi. Sepi merayap ke dalam sukmanya. Ia merasa kehilangan. Kehilangan yang tak terkirakan. Kehilangan yang hanya bisa terjawab lewat sesegukan dan titik-titik air mata yang jatuh bergulir membasahi pipi. Bahwa Sang Ayah, Sang Guru, Sang Penasihat bahkan Sang Pejuang telah pergi menghadap ke haribaan Sang Pencipta. Berpulang ke rahmatullah. Menggenangi ayahnya Ida yang biasa disapa Usu oleh keponaannya mengatakan tak sanggup berkata-kata lebih dalam lagi. “Tulislah yang baikbaik seperti yang selama ini pernah Usu ceritakan. Sebab karena ketegasan dan pendidikan Bapaklah, maka kami bisa tumbuh menjadi anakanak yang berkarya di bidang kependidikan sebagai guru seperti sekarang ini,� ungkapnya.

171


Fatmi Zurida diapit kedua orangtua wisuda 172


Boyli Rasyidi Anak ke-2 Abang Maspura

D

uduk di beranda rumah didampingi sanak keluarga, Boyli Rasyidi mengenang kisah bersama ayahanda Abang Maspura. Matanya menerawang ke ufuk waktu jauh yang bisa dihadirkannya. “Anak sendiri minta dipindah-tugaskan tidak dilayani. Mengunjungi sekolah pun tidak sebagai ayah melainkan benar-benar Penilik Sekolah,” kata Sekretaris Persatuan Gur u Republik Indonesia (PGRI) Kalbar. “Kepala Sekolah ada di kantor?” “Ada Pak, silahkan masuk”. Sebelumnya Abang Maspura menginap di kediaman anaknya, Boyli Rasyidi. Di malam hari dia membuat tempoyak untuk makanan. Dia tahu setiap pagi anaknya sudah berangkat ke sekolah, 173


tapi untuk bertemu di sekolah, tidak menempatkan diri sebagai ayah, tapi sebagai Penilik Sekolah (PS). Orang-orang banyak yang terkecoh dengannya. Tidak tahu kalau Abang Maspura dan Boyli Rasyidi adalah keluarga: ayah dan anak. Namun azas kerja yang dijunjung tinggi adalah professional. Ibarat pepatah Barat mengatakan, “Say no for nepotism!” (Katakan tidak kepada nepotisme). Nepotisme adalah salah satu jenis penyakit yang bisa gawat sampai gawat darurat. Organisasi bisa karam jika pemimpin menerapkan aksi nepotisme. Yakni mementingkan keluarga, karibkerabat dan teman-teman dekat. Abang Maspura sanggup berkata “No for nepotism!”. Perihal ini disaksikan banyak orang ketika sejumlah guru muda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai di Kota Sintang dan “melobby” Abang Maspura agar ditempatkan di dalam kota. Kota Sintang ketika itu masih seperti desa besar, sedangkan keadaan pedalaman begitu tertinggal dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Bahkan di pedalaman itu, seorang anak usia sekolah jarang mandi sehing ga badannya menebar aneka bau. Untuk menghilangkan bau badan itu seorang guru harus rela memandikannya sebelum memulai belajar. Sebuah gambaran kondisi yang di era millennium ketiga ini sudah langka didapati, sekaligus me174


nunjukkan bahwa hasil pendidikan itu nyata pula adanya. No for nepotism! Sesuai dengan peraturan pemerintah. Kalau sudah ditempatkan di pedalaman yang pedalaman. Kalau di Sintang ya Sintang. Ndak bisa nak dirobah-robah,” tutur Abang Maspura. Diulurkan sekepal uang pun Abang Maspura tidak lantas lentur. Tak mempan dibujuk rayu dengan rupiah sehingga penempatan guru ini berjalan sesuai skenarionya. Hasilnya bisa dirasakan. Banyak pihak menilai bahwa penempatan guru pada masa lalu itu pantas diteladani. Tidak “cucok-cabot” seperti realitas era reformasi, di mana atas nama politik, tim sukses, orang si A, si B, si C sampai si Z, bisa merubah peraturan pemerintah. Bahkan saking rumitnya, para pakar menekankan perlunya Perda (Peraturan Daerah) Pendidikan. Tujuannya sangat ideal. Bahwa pergantian Kepala Dinas Pendidikan, atau Bupati-Walikota tidak serta merta mengganti tata aturan maupun perencanaan pendidikan. *** “Sudah siap semua bahan laporan?” tanya Abang Maspura kepada Boyli Rasyidi, anaknya sendiri di SD Bukit Kelam, Sintang. “Siap,” kata Boyli Rasyidi. Ketika itu tahun 1975. Jarak dari Sintang ke Bukit Kelam 24 km. Berjalan kaki dari Sintang ditempuhnya setengah hari. Melalui jalur 175


sungai sebagai transportasi umum saat itu menghabiskan waktu 8-10 jam. Sebaliknya, jika Boyli Rasyidi datang menghadap ayahnya Pak Guru Abang Maspura di kantornya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (PDK), disambut seperti tamu-tamu lainnya. “Silahkan duduk, apa laporan yang hendak disampaikan?” “Tentang sekolah Pak…” “Tentu saja. Kalau urusan keluarga bukan di sini tempatnya, tapi di rumah. Urusan PDK ya pendidikan.” “Apakah ada yang lain yang ingin disampaikan? Silahkan,” tantangnya. “To the point ya,” kata Pak Guru Abang Maspura mengutip kalimat Bahasa Inggris yang sangat terkenal untuk menyatakan langsung saja kepada inti persoalan. Menembak pada sasaran inti. Tidak tergambar masalah sekolah diselesaikan dengan cara relasi ayah-anak. Tidak nepotism dan paternalistik. Gayanya benar-benar mengacu pada kinerja. Mengikuti parameter penilaian yang telah ditetapkan pemerintah. “Kalau sudah selesai, silahkan pulang. Cepat laksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Jangan pernah meninggalkan sekolah,” nasihatnya. Abang Maspura galak kepada guru yang “memble”. Yang suka meninggalkan ruang kelas untuk mengajar murid-muridnya. Yang mening176


galkan manajemen sekolah sehingga berantakan. Apalagi jika yang tidak bisa menjadi teladan itu adalah kepala sekolah. Pak Guru Abang Maspura paling marah. “Kepala Sekolah adalah teladan dari segalanya!” Begitulah sekelumit gaya Pak Guru Abang Maspura. “Padahal di rumah dia membuat tempoyak. Eh bisa jadi di sekolah berlagak tidak kenal kita. Kita sih mengikuti saja model yang diperagakannya,” sambung Boyli Rasyidi yang juga suka makan tempoyak. Tempoyak berbahan baku buah durian. Karena gaya Abang Maspura seperti itu di hadapan anaknya, maka wajar saja Boyli Rasyidi sebagai guru, orang-orang banyak yang tidak tahu kalau dia adalah salah seorang putra Pak Guru Abang Maspura. “Tak terkecuali Pak Atong, staf kantor Bapak. Pak Atong menjabat Kabin Sapralub (Kepala Bidang Pendidikan Dasar dan Luar Biasa) di Kantor PDK Kabupaten Sintang bertahun-tahun tak tahu menahu kalau saya putra Abang Maspura.” Setelah tahu Pak Atong kaget. Boyli pun hanya tersenyum merekah. Adapun Abang Maspura hanya memalingkan muka, melempar garis keras wajahnya kearah batuan cadas Bukit Kelam yang dihuni ribuan pohon durian. Mungkin di kepalanya bukan berpikir soal nepotisme, tapi adakah pohon-pohon itu berbuah? Kapan lagi bisa menikmati tempoyak? 177


*** Di Era Presiden Soeharto berkuasa dengan Golkarnya di Kabinet Orde Baru, Abang Maspura diminta sebagai jurkam (juru kampanye). Tegas ditolaknya. “Saya ini guru, bukan jurkam.” “Berapa Bapak minta bayaran?” “Tidak mau. Saya adalah guru yang tidak berpihak dengan partai politik tertentu!” Pihak yang merayu Abang Maspura mundur teratur. Niat merekrut tenaga guru yang punya “massa” batal alias gagal total. Pak Guru Abang Maspura sadar bahwa pendidikan bersifat global dan luas. Dengan memilih partai politik tertentu dia telah memperkecil ruang gerak pendidikannya. Apalagi tampil sebagai jurkam. Pilihan sadar itu dipegang Abang Maspura sampai akhir hayatnya. “Pilihan partai hanya di bilik suara. Itu azas LUBER,” tandasnya. Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia. Sebenarnya Pak Guru Abang Maspura tidak apriori politik dan bukan apolitis. Saluran politiknya tidak politik praktis, tapi disalurkan sebagai guru yang profesional. Justru di sini pendidikan politik berhasil ditunjukkannya di kelas belajar sosial. Hubungannya dengan para tokoh lintas partai politik tetap baik-baik saja. Pak Guru Abang Maspura konsisten de178


ngan pilihannya. Pangkat terakhirnya pun konsisten mengikutinya, Golongan 2D. “Karier dan pangkat seperti tak berpihak kepada Bapak karena Beliau tegas pada tegaknya aturan. Beliau tidak mau menyembah-nyembah demi naiknya pangkat dan golongan,” urai Boyli Rasyidi. Boyli mengikuti jejak idealisme ayahnya. Memulai tugas sebagai “Oemar Bakrie” di SD Tanjung Lalau, Kecamatan Kayan Hulu-Nanga Tebidah, Kabupaten Sintang. Pindah tugas ke SDN Merepak, Kelam, Sintang. Kemudian secara gradual mutasi ke SDN 9 Kota Sintang, SDN 17 Pontianak Utara (sekarang SDN 02) serta kemudian keliling di SDN 2, 14, 24, 20, 10. Boyli mengikuti jejak ayahnya menjadi Pengawas Sekolah dengan aktif di PGRI Kota. Pernah 3 tahun menjadi Ketua Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia (APSI). Provinsi Boyli Rasyidi mengenyam pendidikan berpindah-pindah sesuai masa tugas ayahnya. Bersekolah di SD 15 Sungai Jawi Kota Pontianak, namun tamat di Sintang. Lantas masa SMP dilewatinya di Sintang sampai masuk SPG setempat. Saat itu Abang Maspura mengajarnya Bahasa Indonesia di SPG Sintang. Di saat yang sama Abang Maspura adalah Penilik Sekolah.

179


180

Abang Maspura berkopiah haji diapit anakcucunya di hari raya Idul Fitri.


Bagian

CATATAN SETELAH KEPERGIAN

5

Pak Guru Abang Maspura memiliki rekam jejak dari sebuah perjalanan hidup seorang guru di pedalaman Kalimantan Barat. Elan vital pengabdiannya menjadi abadi di dalam kenangan para murid dan handai taulan. Tak terkecuali anak cucunya. Untuk itulah Mia Islami Dewi (cucu) buah cinta kasih Juanda dan Fatmi Zuraida menggoreskan penanya dalam sebuah untaian puisi berjudul “For My Grandpha””. Di sini epilog elegan dihantarkan oleh fisikawan cum akademisi Dr. Leo Sutrisno.Alumni Monash University Australia ini memberikan banyak aufklarung, enlighten atau pencerahan

181


Abang Maspura dan Istri, Supiati 182


Oleh: Mia Islami Dewi (Cucu) Pagi yang cerah di luar… Tapi mendung di hati ku Di tengah deraian air mata Terlintas di benakku, berapa banyak dosaku kepadanya Tetes air mata ini tak berguna Untuk memperbaiki semua dosa ku padamu Datok Tiap kali ia datang ke rumahku Rasa kurang setuju ini selalu ada Rasa kesal pun tetap datang menghantui Saat ia berkata, “Dek tolong Datok” Dari bibir ini terucap kata, “Iya” Tapi di hati bertolak belakang Kini… Apakah ada yang memberi nasihat? Yang selalu kuanggap tak penting? Dia pergi dengan tenang untuk selamanya Maafkan Adek Tok… Forever Miss You Siantan, Pontianak Senin, 4 April 2011 183


Leo Sutrisno Kotbah sang Guru pada hari itu hanya terdiri satu kalimat penuh teka-teki. Ia tersenyum lemah dan mulai berkata: “Satu-satunya yang aku kerjakan di sini hanyalah duduk di pinggir sungai dan menjual air sungai� Dan, kotbahnya sudah selesai. [A. de Mello, SJ, 2001 Burung berkicau. Cet ke-10. Penterjemah: A. Sunaryo, SJ dkk. Jakarta: Cipta Loka caraka]

184


G

uru itu menjual air sungai?! Bagi penduduk Pontianak, air sungai amat sangat berharga. Apa lagi jika kiriman air [mandi, bukan air minum] dari PDAM sedang ngambeg air sungai sungguh berharga. Karena itu, berjualan air sungai merupakan perbuatan yang cerdik. Itu berarti sang Guru pandai melihat peluang. Tentu, amat banyak pembelinya. Sekalipun dijual dengan harga yang sangat murah, hasilnya sungguh lumayan. Ia sungguh menerapkan pepatah lama, “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit� Bahkan, yang ia kerjakan ini dapat menarik banyak orang lain. Ketika mereka melihat di dekatnya ada sungai. Mereka pun membuka kios untuk berjualan air sungai. Makin hari makin banyak orang berjualan air di sepanjang sungai itu. Dan, Guru itu pergi ke tempat lain. Di tempat yang baru ia berjualan air sungai lagi. Seperti yang terjadi di tempat pertama, di sini juga banyak orang yang meniru berjualan air sungai. Sekali lagi, Guru meninggalkan tempat itu, berpindah ke tempat lain untuk berjualan air sungai di tempat yang baru. Karena kesibukan mereka melayani pembeli, mereka lupa akan keberadaan sang Guru. Lama setelah itu, ketika air mulai tidak layak jual orang-orang teringat lagi kepadanya. Mereka kembali mengenangkan betapa jernih dan segar air yang dulu dijual sang Guru. 185


Perjalanan guru Abang Maspura mirip dengan perjalanan sang Guru penjual air sungai. Guru Abang Maspura juga berjualan air-air pengetahuan. Air pengetahuan yang ditimbanya, diendapkan menjadi serangkaian pengalaman yang jernih. Air pengetahuan yang telah dijernihkan di dalam sanubarinya ini kemudian ‘dijual’ kepada masyarakat Kalimantan Barat. Karena keiklahsannya, air pengetahuannya dijual habis kepada para muridnya. Mereka, para muridnya, merasakan betapa segar air pengetahuan yang diperoleh dari guru Abang Maspura. Air yang segar itulah yang dalam buku ini mereka kisahkan dan mereka kenang kembali. Apa yang sesungguhnya yang dilakukan oleh guru Abang Maspura? Tentu tidak jauh berbeda dengan yang dituturkan oleh Al Mustafanya Khalil Gibran [The Prophet] berikut ini. Pada suatu waktu, seorang guru menemui Al Mustafa sambil berkata, “Bicaralah pada kami perihal mengajar!” Dan diapun [Al Mustafa] berujar: “Tak seorang pun dapat menanamkan pelajaran kepadamu kecuali ia sendiri sudah terjaga di fajar pengetahuanmu. Guru yang berjalan di keteduhan kuil, di tengah para pengikutnya [baca: para muridnya], tiada 186


memberikan nasihat-bijaknya tapi sebaiknya memberi keyakinan dan kasih-sayangnya”. “Bila ia bijaksana” lanjut Al Mustafa, “Dia tidak menawarimu memasuki rumah kebijaksanaannya, tapi membimbing engkau ke ambang pintu pikiranmu sendiri”. Gur u Abang Maspura, seperti yang dilakukan sang Gur u penjual air sungai, pergaulannya dengan para muridnya baik formal di kelas maupun informal di masyarakat selalu ‘dibungkus’ dengan kasih-sayang. Lihatlah senda guraunya dengan para murid di Senaning tentang Nanga Payak-Kuala Lumpur. Perhatikan juga kesaksian para muridnya, Prof. Dr. Hamid Darmadi, Dr. Tajuddin Nur, Prof. Dr. Uray Husna. Dalam kesaksian itu, apa yang diucapkan oleh Al Mustafa juga terwujud. Guru Abang Maspura tidak pernah memaksakan kehendaknya. Sebaliknya, justru ia mengamalkan ajaran Ki Hadjar Dewantara-Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani. Ia melakukan tugas dengan penuh dedikasi tanpa keluh dan kesah. Dalam perjalanan menuju tempat kerja baik melalui jalan tikus maupun jalan air [naik sampan] ia tetap memanjatkan doa syukur. Doa syukurnya tidak jauh berbeda dari doa syukur si katak-nya N. Wahyu Sulistiana [“Pujian dan doa 70 binatang”, 2002] berikut ini. “Tuhan. Engkau memberi anugerah yang 187


begitu melimpah. Aku dapat hidup di darat dan di air. Aku dapat berenang dengan gayaku yang sangat indah [sehingga manusia menjadikan salah satu model renangnya]. Aku mempunyai sepasang kaki belakang yang kuat dan panjang sehingga lompatanku sangat jauh. Sore ini, Engkau memberi hujan sehingga dunia terasa segar. Aku akan panggil katak-katak betina untuk bersyukur dan menengadah ke atas menyebut nama-Mu sambil menyanyi mengidungkan lagu-lagu Sienatra [bunyi-bunyian senja] memuji kebaikan-Mu. Suara orkestra sesamaku telah memecah keheningan malam, sehingga sawah tidak sunyi” Betul, apa yang dilakukan guru Abang Maspura bersama kawan-kawan guru yang lain mampu menghasilkan orkestra pembangunan daerah ini. Kini, Kalimantan tidak lagi sesepi 40an tahun yang lalu. “Sawah” Kalimantan Barat tidak sunyi lagi. Melihat itu semua, guru Abang Maspura tidak pernah berhenti bersyukur. Di kalangan sejawat, guru Abang Maspura dikenal keras dan tegas. Lihat saja bagaimana usaha yang dilakukan untuk merehabilitasi SD Nurali. Ia ‘potong kompas’. Para orang tua murid dikumpulkan. Mereka diminta turut memikirkan tentang cara memperbaiki gedung sekolah yang rusak berat. Cara seperti ini, tidak mudah dilakukan oleh kebanyakan kepala sekolah yang lain karena ‘melanggar’ aturan. Tetapi, itu sudah 188


terjadi. Gedung SD Nurali kembali berdiri megah. Tidak ada orang yang memprotes. Sebagai epilog dari epilog ini, ada baiknya disajikan kembali ‘Secangkir teh’-nya Y. Rumanto, SJ [2007] berikut ini. Nan-in adalah seorang guru Zen di Jepang pada masa kaisar Meiji. Suatu ketika dia mendapat tamu seorang profesor dari Universitas yang ingin belajar tentang Zen. Nan-in menghidangkan secangkir teh. Dia menuangkan teh kedalam gelas hingga penuh, bahkan sampai tumpah. Namun, Nan-in terus menuangkan teh itu. Profesor tersebut melihat kejadian itu dan berkata “Anda terlalu banyak menuangkan teh. Cukup sebatas itu saja. Jangan menuang lagi!”. Nan-in menjawab, “Sama seperti gelas ini, engkau datang kemari telah penuh dengan gagasan. Bagaimana aku dapat mengajarimu Zen kalau engkau tidak mengosongkan pikiranmu terlebih dahulu?” Nan-in mengingatkan kita semua, agar kita mengosongkan pikiran lebih dahulu dalam mempelajari suatu buku biografi ini. Hanya dengan pikiran yang kosong itulah kita dapat ‘membeli’ air sungai yang dijual oleh almarhum guru Abang Maspura. Sungguh jernih dan bening, karena sebelum dipasarkan air itu telah diendapkan lebih dahulu di dalam lubuk hatinya. Karena itu, mereka yang meminum air-nya, seperti juga para muridnya, 189


akan memperoleh suatu kekuatan untuk mengembangkan dirinya menjadi orang pandai yang berkepribadian. Mereka menjadi orang-orang yang cerdik cendekia. Mereka adalah orang-orang yang dapat menyuarakan kebenaran kepada para penguasa tanpa harus binasa. Mereka adalah orang-orang yang mampu menangkap sasmita ‘untuk mengambil wilayah kecil yang terkalang sebagai sasaran mencari makna hidup [Ahmad Tohari, 2003]. Kalimantan Barat harus dibantu menemukan dirinya kembali. Semoga!

190


CATATAN MURID

191


192


193


194


195


196


197


FOTO-FOTO KENANGAN SEMASA BERTUGAS

198


199


200


201


202


203


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.