Kaya Proyek Miskin Kebijakan : Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa

Page 152

Pembangunan yang Meminggirkan Desa

264

Pemerintahan Daerah dan UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Pemerintahan Daerah yang notabenenya menggantikan regulasi otonomi daerah (UU No 221999 dan UU No 25/1999), ditetapkan pula oleh Presiden Megawati di bulan Oktober 20054. Sampai dengan berakhirnya pemerintahan Megawati, perencanaan pembangunan dan panganggaran daerah telah ditopang oleh 4 kerangka hukum. Dengan demikian pemerintahan SBY-Kalla ini tinggal menerbitkan regulasi teknis melalui PP, Keppres, Permendagri dan regulasi daerah. Namun karena terjadi tarik menarik antara kepentingan pusat dengan daerah, regulasi teknis yang dibutuhkan tidak kunjung terbit. Pihak Mendagri justeru rajin mengeluarkan SE yang sifatnya hanya merespon secara parsial mengenai pemberdayaan masyarakat desa, peralihan sekretaris desa yang akan diisi oleh PNS, tuntutan ADD dan penegasan posisi netral kepala desa dalam Pilkadal. Muara tarik menarik ini berakhir pada akhir tahun 2005 dengan ditetapkannya PP No 72/2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah (PP) ini relatif komplit menjawab ketidakpastian payung hukum mengenai desa, termasuk juga persoalan perencanaan pembangunan desa (Pasal 63-66) dan Alokasi Dana Desa (Pasal 68 ayat 1 huruf c). Merunut kelahiran kerangka hukum tentang sistem perencanaan pembangunan dan penganggaran seperti dialurkan di atas, penting sebagai bahan analisis kebijakan perencanaan pembangunan. Analisis lebih diarahkan untuk melacak basis argumentasi yang dipakai dalam memformulasikan kebijakan. Jika melihat runutan kelahiran kebijakan regulasi seperti diulas di depan, nampak sekali bahwa titik balik perubahan justeru dimulai dari terbitnya SE Mendagri No 050/987/SJ. Meski Surat Edaran (SE) bukan instrumen hukum yang wajib dipatuhi, namun subtansi dalam SE Mendagri No 050/987/SJ ini benarbenar mengoreksi subtansi Permendagri No 9/1982 yang mencerminkan model perencanaan terpusat (top down planning).

Perencanaan & Penganggaran Pembangunan Desa

Subtansi SE Mendagri tersebut tidak sekedar melegalkan model bottom up planning, namun lebih jauh lagi mendorong dipraktekkannya model participatory planning untuk menembus distorsi pembangunan yang selama ini terjadi. Ada dua basis argumentasi yang bisa dicandera dari kemunculan gagasan perencanaan pembangunan partisipatif ini. Pertama, argumentasi yang basisnya dibangun atas tekanan dari skenario global tentang good governance (mensyaratkan partisipasi, transparansi dan akuntabilitas). Argumentasi ini terasa sekali karena yang memunculkan gagasan ini adalah Departemen Dalam Negeri yang pada saat itu masih menjalankan sistem perencanaan pembangunan model P5D sesuai Permendagri No 9/1982. Kedua, argumentasi kebijakan tersebut berbasis tuntutan dari suara-suara daerah yang menghendaki desentralisasi pembangunan. Sistem pemerintahan desentralisasi dan otonomi daerah ternyata memunculkan kesadaran orang daerah akan pentingnya suatu perencanaan pembangunan yang partisipatif, berbasis kebutuhan daerah dalam skema people centered development 6. Bagaimana implikasi dari dua basis argumentasi tersebut terhadap jalannya perencanaan pembangunan dan penganggaran partisipatif di daerah? Meski teks normatif dokumen hukum dan sistem perencanaan yang ditawarkan telah membuka ruang partisipasi publik, faktor kuatnya mindset pendekatan teknobirokratis dan politik akhirnya meninggalkan prinsip-prinsip partisipatif. Kalangan birokrasi baik di Bappeda maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masih menganggap bahwa dalam menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran yang dipentingkan proses teknokrasinya di kalangan mereka dan para ahli, bukan proses partisipasi yang melelahkan dan dianggap 6

Jika dua basis argumentasi kebijakan perencanaan pembangunan partisipatif ini diletakkan dalam konteks teori kebijakan publik, penjelasan Merilee S. Grindle dan John W. Thomas (1991; 96) dalam bukunya “Public choices and Policy Change� meletakkan dua argumentasi seperti itu dalam empat kriteria pilihan untuk formulasi kebijakan. Empat kriteria yang berpengaruh dalam argumentasi kebijakan itu adalah tekanan internasional,pertimbangan stabilitas politik, implikasi birokrasi dan pertimbangan teknis adminsitrasi. Dua argumentasi dalam SE Mendagri itu termasuk dalam empat kriteria pilihan kebijakan model Grindle dan Thomas.

265


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.