Desain Kebijakan Tata Kelola Konten Internet

Page 1


DESAIN KEBIJAKAN TATA KELOLA KONTEN INTERNET USULAN PELEMBAGAAN DARI PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

Wahyudi Djafar Miftah Fadhli Lintang Setianti

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)


Desain Kebijakan Tata Kelola Konten Internet: Usulan Pelembagaan Dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Penulis: Wahyudi Djafar Miftah Fadhli Lintang Setianti

Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Indonesia oleh: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), 2017

ISBN: 978-979-8981-77-7 Semua penerbitan ELSAM didedikasikan kepada para korban pelanggaran hak asasi manusia selain sebagai bagian dari upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia.

Except where otherwise noted, content on this report is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 License. Some rights reserved.


Seri Internet dan HAM

KATA PENGANTAR Membicarakan kebijakan mengenai konten internet, sesungguhnya adalah mendiskusikan mengenai substansi internet itu sendiri, selain pembicaraan mengenai infrastruktur dan aplikasi penyedia layanan. Oleh karenanya, ketika suatu negara hendak mengatur konten internet, sesungguhnya negara tersebut hendak mengatur internet itu sendiri. Luasnya cakupan pembicaraan mengenai pengaturan konten internet setidaknya tergambar dari definisi dan ruang lingkup konten, kategorisasi konten sampai dengan model pembatasannya, hingga model pengaturan bagi para pembuat atau penyedia konten internet. Namun demikian, diskusi mengenai konten internet di Indonesia seringkali hanya terpaku pada permasalahanpermasalahan terkait pemblokiran dan penapisan konten internet. Praktik pemblokiran konten internet selama ini memang selalu menuai polemik di publik, salah satunya sebagai akibat kerancuan aturan yang memberikan legitimasi dan legalisasi atas praktik tersebut. Dalam pelaksanaannya, berbekal pada data base Trust+ Positif yang dikelolanya, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) memberikan instruksi kepada setiap penyedia jasa layanan internet untuk memblokir situs-situs yang dimasukan dalam daftar hitam Trust +. Metode ini barubaru ini dikembangkan oleh Kominfo dengan pengadaan sebuah alat baru untuk mengais konten-konten yang menurut mereka masuk kategori negatif (mesin AIS), untuk kemudian diproses dan dilakukan pemblokiran. Pola dan metode pemblokiran seperti ini, selain dipertanyakan legitimasinya, juga seringkali berakibat pada adanya tindakan over blocking atau blokir salah sasaran. Di Indonesia sendiri, saat ini setidaknya terdapat tiga peraturan perundangundangan yang materinya mengatur mengenai konten internet, yaitu: (i) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya aturan mengenai konten yang dilarang (kesusilaan, perjudian, penghinaan, pemerasan, kabar bohong, penyebaran kebencian,

3


4

Seri Internet dan HAM

dan ancaman kekerasan), dalam Pasal 27-Pasal 29; (ii) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yang memberikan wewenang bagi pemerintah (termasuk pemerintah daerah) untuk melakukan pemblokiran konten pornografi di internet (Pasal 17-Pasal 18); dan (iii) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, yang memberikan otoritas bagi pemerintah (Kemkominfo) untuk memblokir laman yang melanggar hak cipta, setelah ada permintaan dari Kementerian yang mengurusi hak atas kekayaan intelektual (Kemenkumham). Dari semenjak awal, tindakan pemblokiran/penapisan konten internet memang selalu menuai pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung seringkali mengedepankan alasan moralitas, agama dan keamanan nasional, sedangkan yang menolak lebih menekankan argumentasi lemahnya formulasi hukum yang ada, serta praktik pemblokiran yang secara teknis telah cacat di awal, karena dampaknya yang lebih luas, daripada sasaran yang hendak dituju. Lebih jauh Ronald Deibert, etc (2008) menyebutkan, dalam konteks pemanfaatan teknologi internet, praktik pemblokiran telah mengekang inovasi, kreativitas, serta upaya untuk memperkuat demokrasi dan kebebasan sipil. Internet memang tidak dibangun sebagai sebuah ‘zona bebas hukum’, pengaturan tetap dibolehkan, khususnya dalam rangka melindungi pengguna atau masyarakat pada umumnya. Butuh pengaturan yang komprehensif, baik substansi maupun prosesnya. Menyangkut substansi berarti kemampuan untuk secara holistik mengintegrasikan sejumlah prinsip hak asasi dalam pengaturan internet, termasuk pengaturan atau kebijakan mengenai konten internet, sehingga internet benar-benar berperan dalam pembangunan dan kemajuan manusia. Sementara dari sisi proses, ialah pelibatan seluas mungkin para pemangku kepentingan dalam pemanfaatan internet, termasuk sektor swasta dan masyarakat sipil, ketika merumuskan kebijkan menyangkut hal ini. Dengan pendekatan yang demikian, tentunya akan tercipta kebijakan pemanfaatan internet, dalam wujud tata kelola internet, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan hak asasi.


Seri Internet dan HAM

Buku ini merupakan hasil studi yang dilakukan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dengan dukungan Yayasan TIFA, yang diharapkan dapat mendorong pembaruan regulasi mengenai tata kelola konten internet di Indonesia. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan masukan dan pendapat dalam proses studi ini, baik dari kalangan pemerintahan, sektor swasta, akademisi, maupun organisasi masyarakat sipil, terutama di Jakarta, Yogyakarta, dan Makassar. Berpijak dari proses ini, ke depan harapannya akan ada kebijakan lalu lintas internet di Indonesia yang sejalan dengan prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia, terutama kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta memperoleh hak atas informasi. Artinya, termasuk dalam pembatasan konten internet di Indonesia hanya bisa dilakukan dengan bersandar pada suatu aturan hukum yang jelas. Dilakukan untuk tujuan yang sah, dan dilakukan secara proporsional, serta ada justifikasi dalam tindakannya seperti ketertiban umum, moral/kesehatan publik, keamanan nasional, serta hak dan reputasi orang lain. Selain itu juga, secara prosedural harus dilakukan oleh suatu badan yang independen dari kepentingan ekonomi dan politik. Semoga hasil studi yang tertuang dalam buku ini dapat memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai tata kelola konten internet di Indonesia, termasuk juga pembatasan dalam bentuk tindakan pemblokiran yang mungkin dilakukan. Desain kelembagaan badan independen yang diberikan mandat untuk mengatur, mengawasi, dan mengendalikan lalu lintas konten internet juga menjadi bagian tak-terpisahkan dari kerangka ini. Juga kemungkinkan-kemungkinan pemulihan yang disediakan, jika terjadi kesalahan dalam tindakan, maupun normalisasi jika telah ada perbaikan konten.

Jakarta, November 2017 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

5


6

Seri Internet dan HAM

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................3 DAFTAR ISI ............................................................................................. 6 BAB I - PENDAHULUAN...........................................................................7 BAB II - TATA KELOLA KONTEN INTERNET: KERANGKA KONSEPTUAL ...................................................... 17 A.

Merumuskan Pengaturan Internet: Tantangan dan Perdebatan .............17

B.

Kebutuhan Regulasi Konten Internet .......................................................28

C.

Tata Kelola Konten Internet di Berbagai Negara .....................................54

BAB III - POTRET TATA KELOLA KONTEN INTERNET DI INDONESIA..................................................... 69 A.

Evolusi Pembentukan Hukum untuk Mengantur Internet.................... 69

B.

Leksikon Kebijakan Tata Kelola Konten Internet ....................................76

C.

Praktik Dalam Tata Kelola Konten Internet ........................................... 109

BAB IV - KEBIJAKAN TATA KELOLA KONTEN INTERNET: USULAN PELEMBAGAAN ....................................................... 121 A.

Mendesain Kebijakan Tata Kelola Konten Internet: Catatan dan Harapan ................................................................................ 121

B.

Membangun Regulasi Konten Internet: Model dan Pelembagaannya ....................................................................130

C.

Posisi dan Tanggung Jawab Perantara .....................................................143

BAB V - PENUTUP ................................................................................. 151 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................157 PROFIL PENULIS ..................................................................................161 PROFIL ELSAM .....................................................................................163


Seri Internet dan HAM

BAB I PENDAHULUAN

Internet telah menjadi ruang hidup yang tak-terelakkan di mana seluruh interaksi berkembang mengikuti kemampuan teknologi digital yang penetratif, omnipresent dan dikendalikan di bawah kontrol sistem operasi yang kompleks. Miliaran informasi baru lahir setiap detiknya dan saling terkoneksi satu sama lain dalam apa yang disebut Martin C. Libicki (2009) sebagai sekumpulan perangkat komputasi individual (agglomeration of individual computing devices).1 Perangkat inilah yang kemudian menciptakan lanskap dunia maya (cyberspace) dan memungkinkan siapapun mengembangkan bentukbentuk komunikasi dengan daya jangkau yang tak terbatas (infinite). Dengan kapasitas yang selalu mengalami pemutakhiran setiap menitnya, internet nyaris tak terjangkau kebijakan publik (hukum) yang selalu tertinggal di tengah-tengah arus informasi maya yang hilir-mudik, dan terkadang manipulatif, sehingga pada tingkat tertentu tak-dapat dielakkan internet menjadi instrumen kejahatan transnasional, mulai dari perdagangan orang hingga terorisme. Di sisi lain, kontrol atas informasi (content) yang tersebar di internet hingga saat ini, masih menimbulkan persoalan yang justru berkontradiksi dengan karakter pertumbuhan teknologi informasi yang deliberatif.

1

Secara lengkap, Libicki dalam Cyberdeterrence and Cyberwar (2009) menulis, “cyberspace, as such, can be characterized as an agglomeration of individual computing devices that are networked to one another (e.g., an office local-area network or a corporate wide-area network) and to the outside world.� Lihat Martin C. Libicki, Cyberdeterrence and Cyberwar, (California: RAND Corporation, 2009), hal. 6.

7


8

Seri Internet dan HAM

Regulasi mengenai konten yang dirumuskan oleh negara, sejatinya merupakan upaya dari negara itu untuk mengendalikan substansi internet, bukan sekadar mengatur aspek teknis dari internet

Sedari awal internet memang lahir dengan janji membawa dunia tanpa batas-batas nasional (crossborder), konten dalam internet dipasok serta dikonsumsi dari mana pun dan oleh siapa pun. Hal ini berangkat dari empat karakteristik internet sekaligus: (i) interkoneksi adalah global; (ii) manajemen didistribusikan; (iii) secara historis, telah dikoordinasikan dan dioperasikan swasta; dan (iv) memang ditujukan untuk pertukaran informasi dan berbagi kemampuan. Sementara jaringan lain, termasuk jaringan telekomunikasi, dapat memiliki satu atau lebih dari karakteristik ini, akan tetapi tidak menunjukkan semua dari mereka pada waktu yang sama. 2Pemikiran itu pula yang menjadi sandaran bagi pendapat yang mengatakan bahwa internet seharusnya bebas dari kontrol negara (pemerintah), karena diasumsikan konten yang ditempatkan di dalamnya tidak dapat atau tidak akan diatur. Oleh karena situasi dan karakteristik itu pula, setiap inisiatif untuk mengontrol konten internet, yang berarti pula mengatur internet itu sendiri, sampai dengan saat ini terus menjadi kontroversi. Kenapa menjadi konteroversi? Sebab regulasi mengenai konten yang dirumuskan oleh negara, sejatinya merupakan upaya dari negara itu untuk mengendalikan substansi internet, bukan sekadar mengatur aspek teknis dari internet. Dengan kata lain, kontrol konten dapat didefinisikan sebagai upaya untuk memastikan bahwa beberapa jenis informasi di internet tidak dapat terlihat, atau bisa dilihat oleh kelompok pengguna tertentu saja atau hanya dalam keadaan tertentu. 3

2

Eric Brousseau dan Meryem Marzouki, Internet governance: old issues, new framings, uncertain implications, dalam Eric Brousseau, Meryem Marzouki, Ce´cile Me´adel (eds.), Governance, Regulations and Powers on the Internet, (Cambridge: Cambridge University Press, 2012), hal. 368.

3

Andrej Savin, EU Internet Law, (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2013), hal. 82.


Seri Internet dan HAM

Ruang lingkup konten

Seluruh konten yang tersedia secara online (dalam jaringan), atau seluruh bentuk siaran yang ditransmisikan melalui internet, termasuk di dalamnya televisi yang disiarkan dalam format digital (Smart TVs) dan permainan komputer, adalah bagian dari cakupan ruang lingkup konten internet.

Lalu mencakup apa sajakah ruang lingkup dari konten internet? Dengan asusmsi di atas, ketika konten diletakkan sebagai substansi dari internet itu sendiri, artinya seluruh informasi yang ditransmisikan atau didistribusikan melalui internet, adalah bagian atau masuk cakupan dari konten internet. Sebagai gambaran, hal ini juga terefleksikan dari kebijakan sejumlah negara yang telah melakukan integrasi atau konvergensi, seperti Australia. Definisi ‘konten’ sendiri perlu bersifat luas dengan platform-netral, yang di dalamnya mencakup: (i) konten yang tersedia secara online; (ii) konten yang dipublikasikan atau didistribusikan dalam format media ‘offline’ seperti buku, majalah, game komputer, film dan DVD; dan (iii) konten yang disiarkan di televisi freeto-air dan secara langganan (subscription television). Dengan demikian, seluruh konten yang tersedia secara online (dalam jaringan), atau seluruh bentuk siaran yang ditransmisikan melalui internet, termasuk di dalamnya televisi yang disiarkan dalam format digital (Smart TVs) dan permainan komputer, adalah bagian dari cakupan ruang lingkup konten internet.4 Konten dalam jaringan (online) memang berbeda dari jenis konten sebelumnya (offline) pada sifat digitalnya. Danah Boyd (2008, 2009) membedakan lima atribut konten online dengan konten yang sifatnya offline: (i) konten digital bersifat persisten, (ii) dapat direplikasi, (iii) terukur, (iv) dapat dicari, dan (v) dapat dilokalkan. Pesan online direkam dan diarsipkan secara otomatis, dan setelah konten ditempatkan secara online,

4

Lihat laporan dari The Australian Law Reform Commission, Classification—Content Regulation and Convergent Media, Februari 2012.

9


10

Seri Internet dan HAM

tidak mudah untuk kemudian menghapusnya. Selain itu konten digital dapat digandakan dengan mudah, meskipun Salinan, Salinan digital adalah tetap salinan asli, sehingga berbeda dengan produk teknologi perekaman sebelumnya seperti tape recorder. Visibilitas konten digital sangat tinggi, karena dapat dengan mudah ditransfer ke dunia mana pun dalam hitungan detik. Alasan dan metode pengaturan/melakukan kontrol terhadap konten internet Meskipun secara teknologi internet memungkinkan perputaran konten yang tanpa batas, gagasan melakukan lokalisasi konten internet sesungguhnya telah lama menjadi perdebatan penting dalam tata kelola internet. Gagasan lokalisasi internet dipicu oleh beberapa hal mendasar, seperti realitas bahwa aktivitas dunia maya tidak terpisahkan dari realitas dunia nyata. Keterkaitan antara keduanya lebih jauh terkait dengan konsep dasar keberadaan negara, yang mendasarkan eksistensi yurisdiksi kedaulatannya salah satunya berdasarkan penguasaan teritorial. Karenanya dapat dipahami mengapa isu yurisdiksi dan teritorialitas arus informasi di dunia maya menjadi salah satu perdebatan kunci dalam perkembangan regulasi internet, baik dalam tingkat nasional, regional maupun internasional. Dalam konteks ini, penyaringan konten juga dilakukan oleh negara untuk kepentingan yang berbeda, seperti terkait keamanan negara. Dengan kata lain, jika internet dianggap telah menantang atau mengancam kedaulatan negara dan pengawasan atas kontrol konten (informasi), maka teknologi hari ini juga menawarkan kemungkinan kontrol baru dengan pemantauan, pelacakan, pemrosesan dan penyaringan sejumlah besar data digital secara otomatis. Sebagai contoh, Tiongkok yang membangun ‘Great Firewall’ untuk menyaring seluruh konten yang masuk ke teritorinya, dengan bantuan teknologi yang disediakan oleh Cisco, sebuah perusahaan penyedia intent-based access networking yang berbasis di Amerika Serikat.5 Artinya, konten tidak hanya diatur atau dikontrol dengan menggunakan instrumentasi hukum yang diciptakan oleh negara, tetapi juga dikontrol 5

J. Goldsmith dan T. Wu, Who Controls the Internet? Illusions of a Borderless World, (Oxford: Oxford University Press, 2006). Lihat juga laporan yang ditulis oleh Hannah Beech, Inside Tiongkok’s Great Firewall: Beijing already controls the Chinese Internet, now it wants the rest of the online world, dalam Majalah Time, Vol. 185, No. 23, 22 Juni 2015.


Seri Internet dan HAM

menggunakan arsitektur teknologi, dalam bentuk pemblokiran dan penyaringan, yang tidak hanya dilakukan oleh negara, tetapi juga kemungkinan dilakukan oleh sektor swasta penyedia layanan internet. Selain itu, gagasan lokalisasi internet juga tanpa disadari muncul Karena diinginkan oleh pengguna, seperti masalah bahasa, atau pun informasi yang sifatnya lebih spesifik sesuai dengan preferensi pengguna. Kebutuhan ini mendorong penyedia konten untuk melakukan penyaringan informasi yang dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan pengguna salah satunya dengan teknik algoritma.6 Dalam konteks itulah pembicaraan mengenai pengaturan atau tata kelola konten internet tidak bisa lepas dari tanggungjawab perantara (intermediary liability), mengingat karakteristik dari internet itu sendiri. Dalam hal kategori orang dan organisasi atau badan hukum yang tunduk pada kewajiban sehubungan dengan konten tertentu, yang disebut sebagai penyedia konten, secara umum seringkali didefinisikan sebagai orang atau organisasi yang menjual, menyaring, menyediakan secara online, atau mendistribusikan konten ke publik. Detailnya, penyedia (layanan) konten ini termasuk:7 a.

penyedia konten online: mereka yang menyediakan konten secara online melalui situs webnya sendiri atau melalui perantara, seperti platform konten;

b. platform konten: mereka yang menyediakan konten pihak ketiga di internet melalui situs webnya, atau dikenal sebagai user generated content; c.

penyedia layanan aplikasi: mereka yang memfasilitasi akses ke konten melalui pengindeksan, penyaringan, pemformatan, namun bukan merupakan platform konten, termasuk di dalamnya mesin pencari;

d. penyedia hosting: mereka yang menjadi host situs web di server komputer, sehingga memungkinkan terhubung dengan internet dan menyediakan kapasitas penyimpanan; e.

penyedia akses internet: mereka yang menyediakan layanan sehingga memungkinkan pengguna mengakses internet atau terkoneksi dengan internet.

6

Lihat Yana Breindl, Internet Content Regulation In Liberal Democracies: A Literature Review, Working Paper, Institute of Political Science, Georg-August-Universität GÜttingen, 2015, hal. 19-20.

7

Lihat: Rebecca MacKinnon, dkk, Fostering Freedom Online: The Role Of Internet Intermediaries, (Paris: UNESCO, 2014). Lihat juga: Gerald Spindler dan Giovanni Maria Riccio, Study on the Liability of Internet Intermediaries, (Brussel: European Council, 2007).

11


12

Seri Internet dan HAM

Dengan demikian diskusi mengenai tata kelola konten internet, tentu tidak semata-mata membicarakan cakupan ruang lingkup dari konten internet, serta bentuk aturan yang memungkinkan diciptakan oleh negara. Akan tetapi juga menyangkut pihak-pihak yang dapat dikenakan tanggungjawab terhadap konten yang didistribusikannya atau dapat diaksesnya suatu konten oleh pengguna.

Pengaturan konten internet dan HAM: masalah pengaturan konten di Indonesia 1.

Substansi dan cara pengaturan

Kendati kontrol dan pengawasan terhadap konten internet dimungkinkan, khususnya dalam konteks hukum negara dan arsitektur teknologi, namun yang juga harus digarisbawahi ialah peran internet dalam menyediakan akses informasi dan memfasilitasi kebebasan berekspresi secara global. Internet memungkinkan pertukaran informasi tanpa batas, sehingga dikatakan dengan penuh ambisius oleh Frank La Rue, mantan Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi (2011), bahwa saat ini internet merupakan instrumen kunci dalam pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karenanya dalam menyusun regulasi untuk mengendalikan konten internet, negara harus sepenuhnya selaras dan proporsional dengan perlindungan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan hak atas privasi. Konsekuensinya, model tata kelola konten internet harus merujuk pada standar-standar hak asasi manusia yang telah dijamin dalam berbagai perjanjian hak asasi manusia internasional. Pengadopsian Resolusi 31/13 tentang Pemajuan, Perlindungan dan Penikmatan Hak Asasi Manusia di Internet oleh PBB tahun 2016 lalu, merupakan sebuah bentuk pengakuan internasional terhadap kontribusi internet sebagai salah satu medium keterlibatan kewargaan yang penting. Hak-hak asasi manusia yang dinikmati ketika offline sama pentingnya dan harus memperoleh perlindungan yang sama ketika online. Praktiknya memang, meskipun negara-negara demokratis melindungi kebebasan berekspresi melalui serangkaian instrumen hukum nasional dan internasional, seringkali masing-masing negara memiliki perbedaan penafsiran


Seri Internet dan HAM

dan pendekatan, dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip perlindungan tersebut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di negaranya.8 Dengan kata lain, negara-negara seringkali memiliki “pendekatan hak asasi manusia yang berbeda�, sehingga menerjemahkan secara berbeda pula prinsip perlindungan hak asasi manusia, dalam hukum nasional mereka untuk mengatur atau mengendalikan konten internet.9 Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai konten masih tersebar di beberapa undang-undang, baik konten offline maupun online, dengan model limitasi dan pengendalian yang berbeda-beda pula. KONTEN OFFLINE

KONTEN ONLINE

UU No. 40/1999 tentang Pers, mengatur pengendalian konten pers offline (paper based), termasuk konten-konten yang dilarang untuk disebarluaskan, prosedur penyelesaian sengketa, serta adanya otoritas Dewan Pers sebagai pengawas independen.

UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengatur kontenkonten yang dilarang untuk ditransmisikan dan didistribusikan melalui internet, disertai dengan ancaman pidananya (konten kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, berita bohong, ujaran kebencian, ancaman kekerasan).

UU No. 32/2002 tentang Penyiaran, mengatur pengendalian konten siaran (televisi dan radio), termasuk jenis-jenis konten yang dilarang untuk disebarluaskan, penanganan, serta keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia sebagai pengawas independen.

UU No. 44/2008 tentang Pornografi, memberikan wewenang bagi pemerintah (termasuk pemerintah daerah) untuk melakukan pemblokiran konten pornografi di internet, dengan maksud untuk memutus distribusi pornografi.

UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, memberikan pengecualian bagi konten informasi tertentu untuk ditutup, setelah melalui serangkaian tes, serta adanya mekanisme penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi.

UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta, memberikan otoritas bagi pemerintah (Kemkominfo) untuk memblokir laman yang melanggar hak cipta, setelah ada permintaan dari Kementerian yang mengurusi hak atas kekayaan intelektual (Kemenkumham).

UU No. 33/2009 tentang Film, mengatur pengendalian konten film yang beredar di Indonesia, termasuk kewenangan Lembaga Sensor Film untuk melakukan sensor dan klasifikasi konten film.

UU No. 19/2016 tentang Perubahan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, memberikan wewenang bagi pemerintah untuk melakukan pencegahan menyebarluasan konten internet yang melanggar hukum, termasuk memberikan perintah kepada penyedia layanan.

8

Yaman Akdeniz, To Block or Not to Block: European Approaches to Content Regulation, and Implications for Freedom of Expression, Computer Law and Security Review, Vol. 26, No. 3, pp. 260-273, May 2010

9

Lihat: Ian Brown and Christopher T. Marsden, Regulating Code: Good Governance and Better Regulation in the Information Age, (Cambridge: MIT Press, 2013).

13


14

Seri Internet dan HAM

Tabel di atas, selain memberikan gambaran awal tentang persebaran pengaturan atau pengendalian konten (informasi) di Indonesia, juga sekaligus memperlihatkan tidak seragamnya prosedur penanganan terhadap konten. Pada kategori konten offline, seluruh mekanisme pengawasan dan pengendaliannya dilakukan melalui sebuah badan pengawas independen, dengan prosedur yang sudah dirinci oleh undang-undang. Sedangkan untuk konten online, selain belum jelasnya definisi dan cakupan ruang lingkup konten online, wewenang pengawasan dan pengendaliannya mutlak masih menjadi wewenang pemerintah. Situasi ini diperparah dengan tidak adanya aturan yang detail mengenai prosedur dalam pengawasannya, serta tidak adanya batasan kategori yang jelas mengenai konten-konten yang dapat dibatasi aksesnya, serta alasan pembatasannya. Dalam kalimat yang lain, lanskap kebijakan tata kelola konten internet di Indonesia bukan hanya mengalami keterbatasan dalam soal ketersediaan kebijakan namun juga terlihat banal. Dengan sejumlah peraturan hukum tersebut di atas, wajah pengaturan tata kelola konten internet terjebak semata-mata pada urusan pemblokiran dan penapisan konten internet belaka. Bersamaan dengan itu, kebijakan tata kelola internet Indonesia juga melahirkan sejumlah kontradiksi jika mengingat internet telah menjadi perangkat penting dalam hubungan sosial terutama sekali sebagai medium eskpresi di ruang publik online. Setidaknya-tidaknya, kebijakan tata kelola konten internet, selain memberikan batasan klasifikasi yang telah jelas mengenai konten, seharusnya juga mengandung sejumlah unsur berikut: pertama, kontrol terhadap informasi internet (control to content) yang sangat erat kaitannya dengan peran aktor-aktor kunci dalam mengelola internet sebagai barang publik (netizen) termasuk juga peran-peran pengawasan (oversight mechanism); kedua, akses terhadap layanan (access to internet service) yang menyediakan perangkat pengaturan tentang bagaimana posisi peran perantara internet (rule of internet intermediaries) dalam mengelola informasi internet; ketiga, perlindungan terhadap kelompok rentan (e.g. anak, perempuan, LGBTQI, dll.); dan keempat, mekanisme pemulihan (remedy mechanism) apabila tindakan tertentu menimbulkan dampak yang


Seri Internet dan HAM

tidak seharusnya terjadi dalam kaitannya dengan penikmatan terhadap akses atas pengetahuan (access to knowledge). Dalam konteks inilah, kebijakan tata kelola di Indonesia masih memperlihatkan sejumlah kekurangan.

2.

Model pengaturan/tata kelola

Sampai dengan hari ini, Indonesia tampaknya masih belum menentukan akan menggunakan pendekatan dan cara apa pengelolaan ekosistem digitalnya. Pilihan-pilihan antara model tata kelola yang bersifat multipihak (multistakeholderism), dengan tata kelola yang berpusat pada kekuasaan

10

Self Regulation, pendekatannya libertarian, dengan pasar sebagai pusat.

MODEL

Direct Regulation, pendekatannya utilitarian dan state centric.

MODEL

MODEL

negara (state-centered internet governance), mengambil tempat dalam diskusidiskusi tata kelola internet di Indonesia. Dalam format kebijakannya, sejumlah tawaran telah banyak dikemukakan untuk mengatur ekosistem internet ini, setidaknya tiga tipologi regulasi: (i) direct regulation: otoritas atau badan yang memiliki mandat pembentukan perundang-undangan diberdayakan untuk mengembangkan peraturannya sendiri, yang dipelihara, dipantau dan dipaksakan (state centric); (ii) co-regulation: badan yang diberikan wewenang oleh undang-undang mengatur industri (intermediaries) yang bersangkutan, dan bertanggung jawab untuk memelihara dan menerapkan kode praktik yang telah disetujui oleh regulator, melakukan pengawasan dengan acuan peraturan bersama, dan memegang kekuasaan untuk campur tangan jika diperlukan; (iii) self-regulation: sekelompok perusahaan atau individu memberikan kontrol atas keanggotaan dan perilaku mereka sendiri. Keanggotaan bersifat sukarela dan anggota menyusun peraturan mereka sendiri dengan menggunakan alat seperti kode etik serta solusi dan standar teknologi. Anggota bertanggung jawab penuh atas pengawasan dan kepatuhan tanpa mengacu pada otoritas pembentuk undang-undang.10 Co-Regulation, menurunkan pendekatan multi pemangku kepentingan.

Christopher T. Marsden, Internet Co-Regulation: European Law, Regulatory Governance and Legitimacy in Cyberspace, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011), hal. 54.

15


16

Seri Internet dan HAM

Sejauh ini, respon pemerintah Indonesia memang acapkali memperlihatkan tipologi state centric, dalam model tata kelola konten internet, meski terus membuka dialog multi-pihak dengan berbagai sektor. Dengan peta persebaran undang-undang dan model pengawasan sebagaimana tertera dalam tabel di atas, khusus terhadap konten internet, pemerintah Indonesia nampak mengarah pada kecenderungan heavy regulation, dengan membangun sebuah sistem yang mengenakan biaya tinggi secara seragam.11 Kecenderungan ini juga diperkuat dengan pengalaman modelmodel tata kelola konten offline—yang selama ini telah berjalan, khususnya penyiaran dan film. Hal ini yang musti jadi perhatian ialah kuatnya wacana mengenai pemblokiran ketika membicarakan tata kelola konten internet, serta kian besarnya legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan pemblokiran terhadap konten internet, atas nama pemberantasan terorisme dan perlawanan terhadap pornografi dan radikalisme. Termasuk wacana pembangunan gerbang nasional (national gateway), untuk melakukan penyaringan konten (informasi) yang dapat diakses di Indonesia, atas nama keamanan nasional. Berangkat dari uraian latar belakang permasalahan sebagaimana dipaparkan di atas, penelitian ini secara umum bertujuan untuk memetakan permasalahan-permasalahan mendasar dari tata kelola konten internet di Indonesia. Hasil dari pemetaan tersebut selanjutnya diharapkan dapat menjadi sarana untuk dalam membangun definisi dan ruang lingkup yang tepat mengenai konten internet; klasifikasi dan kategorisasi dalam pembatasan konten internet; prosedur dalam pembatasan, termasuk kebutuhan pembentukan badan regulator yang berfungsi sebagai regulator, pengawas, dan pengendali; posisi dan tanggung jawab perantara; juga pendekatan atau model regulasi yang tepat untuk mengatur tata kelola konten internet ini.

11

Ibid, hal. 51.


Seri Internet dan HAM

BAB II TATA KELOLA KONTEN INTERNET: KERANGKA KONSEPTUAL A.

Merumuskan Pengaturan Internet: Tantangan dan Perdebatan

Perkembangan teknologi informasi digital saat ini telah mengubah pola relasi antara individu (human beings) dengan dunia material yang melingkupi kehidupannya. Sebelum internet berkembang menjadi hal yang sangat ekspansif, akses individu ke dunia materialnya (ie. berbagai peristiwa yang berlalu-lalang dalam ruang hidupnya) hanya dapat diakses dalam medium analog dalam skala ruang dan waktu yang terbatas. Pada era di mana seluruh informasi hadir dalam bentuk tercetak (Benedict Anderson tahun 1983 secara khusus menamakan era ini sebagai printed capitalism), informasi menjadi pusat (epicentrum) ruang hidup (lebensraum) di mana manusia bergerak (mobile) untuk memperoleh informasi. Di era komunikasi digital, informasi lahir dalam jumlah milyaran dan dalam rentang waktu hanya seper sekian detik meminimalisir mobilitas pada individu. Untuk mengakses informasi, individu hanya perlu duduk diam dan membuka perangkat telekomunikasi, yang seolah menjadi pelabuhan bagi datang dan perginya informasi setiap detiknya.12 Internet memungkinkan seseorang dapat mengakses jutaan konten dari perangkat telekomunikasinya (entah ponsel atau laptop, dll.) dan ruang penyimpanan (clouds) tinggal memproses konten tertentu untuk ditampilkan hanya dalam waktu seper sekian detik saja. 12

Lihat: Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, (London: Verso, 1983), hal. 28-45.

17


18

Seri Internet dan HAM

Geografi menjadi tidak relevan karena perpindahan konten tidak terjadi di dalam teritori fisik (negara) tertentu melainkan di dalam ekosistem jaringan yang dapat berada di mana saja (ubiquitous). Globalisme informasi menjadi tak terelakkan karena, meminjam istilah Paul Virilio, teritorialitas menghilang (reduction of distance)13 sementara ruang maya yang menggantikan ruang fisik bekerja dalam logika yang berkontradiksi dengan prinsip-prinsip kedaulatan teritorial (yang hampir selalu memprakondisikan batas-batas fisik). Merujuk pada logika komputasi awan ini, tesis Marshall McLuhan tentang dunia maya sebagai sebuah ‘kampung global” (global village)14 sungguhsungguh memperlihatkan bahwa internet telah meruntuhkan demarkasi kewilayahan sehingga seluruh dunia telah menjadi sebuah ‘pemukiman’ (neighborhood) di mana satu-satunya pembatas adalah kode-kode (codes) yang tercipta akibat adanya hubungan logis dari bekerjanya perangkat telekomunikasi dengan infrastruktur fisik, yang bisa berada di mana saja. Informasi bisa masuk dari kanal elektronik apapun; dan selama perangkat terkoneksi dengan jaringan elektronik, maka informasi apapun bisa berada di internet. Interaksi antar informasi dalam komputasi awan inilah yang kemudian menciptakan forma ruang publik baru yang bersifat maya, yang sekaligus pula menghilangkan batas-batas antara yang publik dengan yang privat. Sebagai ruang publik, tentunya, internet merupakan medium ekspresi baru. Oleh karena demikian, pada intinya internet membantu mengaggregasi jutaan bahkan milyaran bentuk-bentuk ekspresi individu ke dalam sebuah ruang penyimpanan awan (cloud computing) dalam skala yang tak terhingga. 13

Paul Virilio, The Information Bomb, (New York: Verso, 20015), hal. 13.

14

Istilah kampung global diperkenalkan oleh Marshall McLuhan di dalam dua bukunya berjudul The Gutenberg Galaxy (University of Toronto Press, 1962) dan Understanding Media: The Extensions of Man (The MIT Press, 1994). Dalam The Gutenberg dia mengungkapkan, “[the new electronic interdependence recreates the world in the image]… of ‘a global village.’ We live in a single constricted space resonant with tribal drums.” (p. 31). Sedangkan dalam refleksinya dalam Understanding Media dia mengaitkan keberadaan kampung global ini dengan forma-forma kehidupan yang semakin cepat karena telah diintermediasi oleh teknologi yang menyebabkan terjadinya fenomena melimpahnya informasi yang melingkupi manusia (information implosion). Dia mengatakan, “Our speed-up today is no a slow explosion outward from center to margins but an instant implosion and an interfusion of space and functions. Our specialist and fragmented civilization of center-margin structure is suddenly experiencing an instantaneous reassembling of all its mechanized bits into an organic whole. Thi is the new wolrd of the global village.” (hal. 92-93).


Seri Internet dan HAM

Berangkat dari karakteristik unik internet sebagaimana dipaparkan di atas, kemudian muncul pertanyaan, apakah internet mungkin diatur? Apakah memerlukan pengaturan khusus, dan siapa yang mengaturnya? Pertanyaan-pertanyaan itu telah menjadi perdebatan sampai dengan hari ini, terutama terkait dengan model dan kerangka regulasi yang tepat bagi internet. Menurut para penggagas awalnya, karena arsitektur internet bersifat global, sekaligus terdesentralisasi dalam manajemen pengelolaannya, maka internet merupakan ruang sosial baru yang bebas dari peraturan dan campur tangan pemerintah. Hal ini diperkuat dengan argumentasi dengan sifatnya yang lintas batas (borderless), tidak mengenal yurisdiksi teritorial. Negara dinilai tidak berdaya dan tidak memiliki sarana serta instrument untuk mengatur internet, sehingga satu-satunya bentuk pengambilan keputusan yang sah untuk dunia maya (internet), adalah dengan model demokrasi langsung yang “dikembangkan secara organik dengan persetujuan mayoritas warga dunia maya”. Para pendukung pandangan ini termasuk dalam kelompok cyber-libertarian, yang salah satu penggagasnya adalah John Perry Barlow, yang pada tahun 1996, mengeluarkan “Deklarasi Kemerdekaan Ruang Siber”. Deklarasi ini menyatakan: “Governments of the Industrial World, you weary giants of flesh and steel, I come from Cyberspace, the new home of the Mind. On behalf of the future, I ask you of the past to leave us alone. You are not welcome among us. You have no sovereignty where we gather”. Para penganut deklarasi ini percaya bahwa kedaulatan siber/internet adalah berada pada penggunanya, bukan di tangan negara sebagai pemegang kedualatan teritorial. Oleh karena itu, internet haruslah berdaulat sendiri, tidak diatur oleh negara. Para pendukung pendekatan ini percaya bahwa mereka dapat menciptakan hukum dan lembaga hukum sendiri, sebagai contoh mereka menunjuk ke sistem nama domain, serta keberadaan IP Address (internet protocol). Pandangan cyber-libertarian inilah yang kemudian mengilhami model pendekatan swa-regulasi (self regulation) dalam pengaturan internet.15 15

Kristen E. Eichensehr, The Cyber-Law of Nations, The Georgetown Law Journal, Vol. 103:317 (2014).

19


20

Seri Internet dan HAM

Dalam perkembangannya, perspektif cyber-libertarian kemudian banyak mendapatkan tentangan, seperti dikemukakan oleh Joel Reidenberg (1998), yang berpendapat bahwa terlepas dari ketiadaan batasan territorial dari jaringan internet yang bersifat global, namun model dan peraturan baru akan muncul, yang melibatkan negara di dalamnya. Kalau pun negara (pemerintah) tidak dapat secara langsung mengatur internet, setidaknya mereka dapat mempengaruhi pengambilan sejumlah keputusan, misalnya terkait dengan kesepakatan kontraktual penyedia layanan internet (ISPs) dalam penyediaan arsitektur jaringan, khususnya terkait standar teknisnya. Pandangan ini merujuk pada Lex Informatica sebagai kemungkinan untuk mengatur perilaku pengguna internet melalui pengaruh infrastruktur dan pilihan desain sistem yang mendasari internet.16 Pandangan Reidenberg di atas, bila diklasifikasikan menurut pandangan yang dikemukakan Lawrence Lessig (1999) masuk dalam kategori indirect regulation. Menurut Lessig, meskipun ada “code� dalam internet, namun sejatinya internet bukanlah ruang bebas dari intervensi negara, kode computer dan infrastruktur yang mendasari internet, justru telah menyediakan alat yang hebat untuk mengatur perilaku online. Kode hanyalah salah satu dari empat modalitas peraturan, di samping hukum, norma sosial, dan pasar.17

16

Joel Reidenberg, Lex informatica: The formulation of information policy rules through technology. Texas Law Review, 76(3):553–584 (1998).

17

Lawrence Lessig, Code and Other Laws of Cyberspace version 2.0, (New York: Basic Books, 2006).


Seri Internet dan HAM

MARKET

LAW

ARCHITECTURE

NORMS

Figur Indirect Regulation, diambil dari Lessig (2006), hal. 93.

Lessig bahkan menegaskan bahwa internet (dunia maya/cyberspace) merupakan suatu objek yang telah diatur secara ketat, karena tunduk pada empat modalitas peraturan sekaligus: arsitektur, hukum, pasar, dan norma sosial. Modalitas ini tidak saling terasing satu sama lain, akan tetapi saling berinteraksi dan bersaing satu sama lain. Pengaturan internet yang menjadi subjek dunia maya, berarti pula peraturan dari keempat modalitas yang diambil secara keseluruhan. Pertemuan antar-modalitas yang kemudian melahirkan peraturan itulah yang menurut Lessig selanjutnya disebut sebagai model direct regulation.

21


22

Seri Internet dan HAM

MARKET

ARCHITECTURE

REGULATION

LAW

NORMS

Figur Direct Regulation, diambil dari Lessig (2006), hal. 88.

Dalam model tersebut, peraturan merupakan ‘titik’ sentral yang dibentuk dan dihasilkan oleh kekuatan hukum, pasar, norma, dan arsitektur (teknologi). Dampak dari model ini misalnya dapat dilihat dari tindakan penyensoran atau hambatan akses yang diatur melalui undang-undang (hukum); membebankan akses ke infrastruktur atau konten (pasar); literasi digital atau pendidikan konsumen (norma sosial); dan pemasangan perangkat lunak penapisan/pemblokiran (arsitektur teknologi). Code sebagai hukum telah menjalankan peranan penting dalam mengatur perilaku pengguna, setidaknya secara bertingkat. Dengan code, para penyedia layanan, termasuk akses dan konten (pasar) mengatur para pengguna/pelanggannya, sementara pemerintah/negara dengan hukum yang diciptakannya, mengatur para penyedia layanan (intermediaries) sesuai dengan wilayah operasi mereka.18 18

Louise Cooke, Controlling the Net: European approaches to content and access regulation, dalam Journal of Information Science, 33 (3), pp. 360-376 (2007).


Seri Internet dan HAM

Seiring berjalannya waktu, sejumlah negara (pemerintah) dan akademisi kemudian menentang gagasan bahwa pemerintah teritorial tidak bisa memaksakan aturan tentang dunia maya. Mereka berpendapat bahwa internet pada kenyataannya merupakan ruang yang tidak terpisah dari wilayah tradisional. Pendapat ini ini didasari pandangan bahwa di balik keunikan karakteristik dari internet, terdapat serangkaian infrastruktur atau perangkat keras seperti kabel serat optik dan router yang dapat dijangkau secara kasat mata letak kewilayahannya. Oleh karena itu menurut kelompok ini pemerintah memiliki kemampuan dan otoritas untuk mengatur internet. Selain itu, merujuk pada pandangan tradisional tentang kedaulatan, mereka berargumentasi bahwa hanya pemerintah yang dapat mengeluarkan aturan yang dibutuhkan untuk menangani masalah seperti virus, penipuan, dan spam. Pendekatan ini menekankan, bahaya terbesar bagi masa depan internet adalah bukan pada saat pemerintah bereaksi berlebihan terhadap internet, tetapi justru ketika pemerintah tidak bereaksi sama sekali. Pada situasi ini, pemerintah di seluruh dunia semakin menegaskan kekuatan mereka untuk membuat internet global lebih memiliki batas yang jelas, dan tunduk pada undang-undang nasional. Sejumlah negara melakukan pembaruan undang-undang mereka, untuk bisa mengatur internet sesuai dengan kepentingan nasionalnya, seperti Tiongkok yang kemudian mengeluarkan kebijakan Chinese great firewall, agar pemerintah bisa secara ketat mengontrol komunikasi di internet. Kelompok cyberpaternalism inilah pengusung gagasan kedaulatan siber (cyber sovereignty), yang mencoba mengembalikan posisi dan fungsi negara bangsa secara utuh dalam mengatur internet. Sebenarnya, motivasi pertama untuk dalam menciptakan regulasi internet adalah dengan menempatkan pertukaran informasi di internet ke dalam kategori hukum yang telah ada, misalnya internet mirip dengan telepon (telekomunikasi) atau media penyiaran (broadcasting), atau memang harus menciptakan kategori baru. Namun, demikian ada juga sejumlah negara yang tetap mempertahankan status quo, untuk tujuan melindungi model bisnis yang sedang berkembang atau praktik pemerintah yang telah mapan.19 19

Lessons learned too well: The evolution of Internet regulation�. Technical report, CDT Fellows Focus series (2011).

23


24

Seri Internet dan HAM

Namun demikian dalam perkembangan berikutnya, pendekatan yang terlalu state-centric dalam penciptaan aturan atau regulasi mengenai internet, telah melahirkan sejumlah kritik, dan dianggap sebagai cyber-conservatism, karena tidak sejalan dengan karakteristik dan kebutuhan pengembangan internet. Harus diakui, ada banyak aspek dari internet yang mengharuskan diatur dalam skala global, tidak bisa diserahkan secara parsial pada masingmasing pemerintah, yang terganjal garis batas teritorial. Transformasi yang terjadi dengan sangat cepat dalam pemanfaatan teknologi internet telah melahirkan banyak perselisihan di antara negara-negara. Persoalan yang mengemuka tidak lagi sebatas masalah pemerintah dengan individu warga negaranya, tetapi juga masalah pemerintah dengan pemerintah lain. Kebuntuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan aktual dari pemanfaatan teknologi internet ini bermuara pada upaya untuk memperebutkan pengaruh, antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Eropa. Perebutkan pengaruh ini khususnya terkait dengan bangunan visi yang mungkin dilakukan terhadap internet. Pilihannya, model yang relatif bebas dan terbuka seperti dianjurkan Amerika Serikat atau model kontrol politik yang dikampanyekan Tiongkok. Kebuntuan ini pula yang melahirkan harapan tentang perlunya penciptaan hukum publik bagi dunia maya, yang prosesnya tidak bisa diselesaikan dalam satu negara dengan batas teritorial, melainkan memerlukan koordinasi internasional.20 Merespon hal tersebut, pada 2002, Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan World Summit on the Information Society, yang menentang para pendukung rezim peraturan yang berpusat pada negara (state centric), dan mengarahkan pengaturan internet pada kerangka kerja pembuatan kebijakan yang lebih terbuka, pluralistik, dan transnasional. Gagasan inilah yang kemudian melahirkan pendekatan multistakeholderism dalam model tata kelola internet, yang masih terus berproses sampai dengan hari ini. Inisiatif ini menekankan sejumlah prinsip berikut ini:21 20

M. Klang, “Controlling online information�. Paper presented at WSIS, Internet Governance and Human Rights, Uppsala, Sweden (2005).

21

Lihat Avri Doria, Use [and Abuse] of Multistakeholderism in the Internet, dalam Roxana Radu, Jean-Marie Chenou, dan Rolf H. Weber (eds.), The Evolution of Global Internet Governance: Principles and Policies in the Making, (Heidelberg: Springer, 2014).


Seri Internet dan HAM

1.

Keterbukaan: Akses ke dialog egaliter, negosiasi dan keputusan harus terbuka bagi orang-orang yang tertarik dan peduli;

2.

Transparansi: Prosedur harus transparan dalam hal formal dan substantif yang memungkinkan untuk membuat deskripsi yang tepat dari situasi;

3.

Aksesibilitas: Sumber-sumber informasi harus dapat diakses bagi pihak-pihak yang tertarik dan peduli;

4.

Akuntabilitas: Para pengambil keputusan harus bertanggung jawab kepada mereka yang terkena keputusan;

5.

Kredibilitas: Para pengambil keputusan harus berusaha untuk mendapatkan pengakuan kredibilitas dari pemangku kepentingan yang terkait;

6.

Sumberdaya yang terjangkau: keterlibatan multipihak dan partisipasi membutuhkan sumberdaya yang memadai untuk memungkinkan berjalannya proses;

7.

Berbasis konsensus: Penerimaan keputusan yang diambil akan meningkat jika dicapai melalui konsensus dari semua pihak yang berkepentingan, bukan tirani mayoritas;

8.

Peluang banding/pengujian: entitas apapun harus memberikan kemungkinan untuk mengajukan komplain terhadap keputusan yang diberikan kepada panel independen atau pengadilan; dan

9.

Kemampuan untuk melawan perangkap: badan pengambilan keputusan harus mampu menghindari perangkap dari kelompok kepentingan tertentu.

Pendekatan multi-pemangku kepentingan dalam pengelolaan internet, melibatkan hampir semua stake holder dalam ekosistem internet termasuk di dalamnya pemerintah, sektor swasta, akademisi, badan teknis khusus, dan masyarakat sipil. Pendekatan ini dinilai menjadi pilihan yang paling rasional dan feasible untuk dikembangkan, daripada berupaya untuk kembali menandaskan yurisdiksi berdasar pada garis-garis batas teritorial

25


26

Seri Internet dan HAM

dalam kacamata kedaulatan tradisional. Pendekatan multipihak juga kian mendapatkan legitimasi menyusul keluarnya Resolusi Dewan HAM PBB untuk pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di internet. Dalam perkembangannya pula, pendekatan multipihak mulai bisa mengakomodasi kepentingan para pendukung kedaulatan siber, dengan munculnya sejumlah prinsip dalam pengelolaan internet, yang meliputi: (i) Nilai: prosedur tidak hanya menggambarkan aturan, tetapi juga etika; (ii) Reputasi: eksternalitas negatif bisa menyebabkan masalah serius sehingga dianjurkan untuk mempromosikan kewargaan yang lebih besar; (iii) Menghormati: upaya untuk mendorong saling menghormati dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan perlu direalisasikan; (iv) Integritas: perlunya evaluasi atas dampak positif dan negatif dari perilaku tertentu pada masyarakat pada umumnya, kesehatan, dan lingkungan sosial khususnya; dan (v) Keunggulan: dorongan untuk mencapai keunggulan dalam tindakan dan keputusan menjadi sangat penting.22

Cyber-libertarian (siber sebagai kedaulatan itu sendiri, tidak ada campur tangan negara)

Code sebagai hukum, dengan sejumlah modalitas di dalamnya, termasuk hukum sendiri, norma sosial, pasar, dan arsitektur teknologi

Cyber-paternalism yang mengusung gagasan kedaulatan siber (state centric).

Model tata kelola dengan pendekatan multi-stakeholder

Figur Evolusi Pengaturan Internet

Secara umum, melihat posisi dan peran internet yang sedemikian besar itulah Johnson dan Post (1996) menyebutkan perihal kebutuhan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah (territorial jurisdiction). Internet atau dunia maya dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang 22

Rolf H. Weber, Visions of Political Power: Treaty Making and Multistakeholder Understanding, dalam Op. Cit.


Seri Internet dan HAM

hanya dibatasi oleh screens dan passwords. Secara radikal, ruang siber telah mengbuah hubungan antara legally significant (online) phenomena dan physical location.23 Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang siber di mana pengaturan dan penegakan hukumnya dapat menggunakan caracara tradisional, beberapa ahli berpandangan bahwa sebaiknya kegiatankegiatan dalam cyberspace diatur oleh hukum tersendiri, dengan mengambil contoh tumbuhnya the law of merchant (lex mercatoria) pada abad pertengahan. Asas, kebiasaan dan norma yang mengatur ruang siber ini yang tumbuh dalam praktik dan diakui secara umum disebut sebagai asas lex informatica.24 Asas ini sesungguhnya yang menjadi acuan bagi kemungkinan penciptaan hukum untuk mengatur perilaku pengguna internet melalui pengaruh infrastruktur dan pilihan desain sistem yang mendasari internet. Oleh karena interaksi dan perbuatan-perbuatan hukum yang terjadi melalui atau di dunia virtual adalah sesungguhnya interaksi antara sesama manusia dari dunia nyata, dan apabila terjadi pelanggaran hak atas perbuatan hukum melalui atau di dunia virtual itu adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia dari dunia nyata dan hak yang dilanggar adalah hak dari manusia dari dunia nyata, maka hukum yang berlaku dan harus diterapkan adalah hukum dari dunia nyata bukan sama sekali tidak dapat digunakan. Namun karena peristiwanya berlangsung di atau melalui dunia virtual, maka tentulah tidak sepenuhnya hukum yang berlaku di dunia nyata dapat digunakan. Dengan demikian, bagi peristiwa-peristiwa dan perbuatanperbuatan yang berdampak terhadap sistem komputer memerlukan pula pembentukan suatu hukum khusus, yang tidak semata-mata pada mengacu pada hukum yang sudah ada sebelumnya (konvensional/tradisional/ offline).25 23

David R. Johnson and David Post, Law and Borders: The Rise of Law in Cyberspace, 481 Stanford Law Review 1996, hal. 1367.

24

Ahmad Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Refika Aditama: 2004), hal. 21.

25

Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 15.

27


28

Seri Internet dan HAM

Sementara Ben Wagner mengisyaratkan dalam bukunya, bahwa internet merupakan kanal global di mana segala macam bentuk ekspresi dapat masuk secara bebas (global free expression). Situasi ini, menurutnya lagi, telah mengaburkan batas-batas antara konten yang diperbolehkan (permissible content) dengan konten yang tidak diperbolehkan berada di internet.26 Dilema yang diutarakan Wagner mengkonfirmasi persoalan batas (boundaries) yang dibahas Lessig dalam bukunya, dan sesungguhnya pula mendilematisasi hal ihwal siapa yang harus melakukan kontrol terhadap arus masuk dan keluarnya konten di internet. Dengan asumsi bahwa tesis John Perry Barlow tentang independensi dunia maya atas negara sudah tidak relevan lagi, dilema yang diungkapkan Wagner memicu kebutuhan untuk melakukan moderasi atas lalu lintas konten internet. Pada poin ini, perdebatan ihwal tata kelola konten kemudian lahir.

B.

Kebutuhan Regulasi Konten Internet a. Mendefinisikan Konten Internet

Sebelum menelaah lebih jauh mengenai tata kelola konten internet atau kebijakan konten internet, hal pertama yang penting dilakukan adalah mencari definisi dan cakupan ruang lingkup dari konten internet itu sendiri. Pada bagian pendahuluan tulisan ini telah disebutkan bahwa secara garis besar, konten internet dapat didefinisikan sebagai, “seluruh konten yang tersedia secara online (dalam jaringan), atau seluruh bentuk siaran yang ditransmisikan melalui internet, termasuk di dalamnya televisi yang disiarkan dalam format digital (Smart TVs) dan permainan komputer, adalah bagian dari cakupan ruang lingkup konten internet�. Guna memahami definisi dan cakupan ruang lingkup tersebut, dapat dilihat dari apa produk (konten) dari industri konten? Industri konten mengambil sumber informasi sebagai objek kerja dan menyediakan produk dan layanan budaya (proses kreatif ). Beberapa negara menyebut industri konten sebagai industri kreatif, industri budaya, 26

Ben Wagner, Global Free Expression – Governing the Boundaries of Internet Content, (Switzerland: Springer: 2016).


Seri Internet dan HAM

industry karya cipta, atau bahkan industri hiburan karena karakteristik kreativitas dan budayanya. Berangkat dari batasan itu, sejumlah ahli mengatakan bahwa ‘Konten’ sesungguhnya adalah deskripsi umum tentang produk budaya, barang dagangan atau layanan budaya yang disediakan oleh industri konten. Oleh karena konten sebenarnya terdiri dari produk budaya (kreatif ), industri konten dapat diklasifikasikan sebagai industri budaya (kreatif ), yang disebarluaskan melalui media (internet). Dalam arti luas penerbitan (pers), film, radio, televisi dan hari ini internet, adalah distributor langsung produk kreatif (budaya).27 Pada masa lalu, pengaturan mengenai industri konten, termasuk di dalamnya produksi, distribusi dan pertukarannnya, dirumuskan dalam sejumlah peraturan yang berbeda-beda sektornya. Akan tetapi hari ini, dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), semua kategori pekerjaan terkait dengan konten, sekarang dapat didigitalkan. Artinya, kemajuan teknologi jaringan, internet, jaringan kabel dan jaringan telekomunikasi telah menciptakan hibridasi dan transformasi konten itu sendiri. Jaringan tidak hanya merupakan integrator industri konten namun juga merupakan katalisator bagi industri yang sedang berkembang ini. Konten digital (internet), menekankan pada langkah-langkah teknologi digital yang diadopsi pada fase tertentu yang terjadi saat konten informasi sedang diproses. Produk konten digital ini sendiri dapat berupa:28

27

28

1.

Audio dan video digital, termasuk CD/VCD/DVD, musik online dan TV digital;

2.

Penerbitan dan pengarsipan digital, seperti e-book, database dan periklanan digital;

3.

Pembelajaran digital, termasuk alat pengembangan untuk konten pembelajaran, pengembangan layanan dan produk pendidikan;

Fuping Gao, Legal Framework For The Development Of The Content Industry In The People’s Republic Of Tiongkok, dalam Brian Fitzgerald, Fuping Gao, Damien O’Brien, Brisbane, Sampsung Xiaoxiang Shi (Eds.), Copyright Law, Digital Content And The Internet In The Asia-Pacific, (Sydney: Sydney University Press, 2008), hal. 30. Ibid., hal. 31-32.

29


30

Seri Internet dan HAM

4.

Permainan digital (online game), misalnya permainan televisi dan komputer pribadi;

5.

Animasi komputer, seperti animasi 2D/3D dan FLASH; dan

6.

Produk aplikasi digital, yang meliputi produk dan layanan hiburan, layanan informasi, produk dan layanan integrasi sistem.

Kendati ‘informasi internet’ adalah istilah yang sangat umum digunakan oleh masyarakat, informasi sesungguhnya bukan material yang berdiri sendiri di internet. Material yang berdiri sendiri, bersifat sporadik dan acak, yang dalam lalu lintas jaringan elektronik disebut sebagai ‘konten internet’. Informasi internet sesungguhnya merupakan sebuah narasi, cerita tentang hal yang spesifik yang tersusun secara sistematis dari sekumpulan konten internet (teks, audio, audiovisual, animasi, dll.). Tidak ada definisi tunggal yang dapat menjelaskan apa itu konten internet akan tetapi pengertian perihal konten umumnya merupakan penjabaran tentang material-material yang sifatnya spesifik. Center for International Governance Innovation (CIGI) dan The Royal Institute for International Affairs United Kingdom menjabarkan, “The content layer of the Internet is the one most visible to end users. Internet content obviously includes alphanumeric text (messaging, IoT data, email, web content and books), audio music and voice calls), pictures (photographs, diagrams, digitized art and illustrations), video (user-generated video, video conferencing and streaming movies) and multimedia of all kinds (video games, virtual reality, IoT environments).”29

Dalam ekosistem tata kelola internet, konten hadir sebagai lapisan paling atas—jika merujuk pada lapisan tata kelola internet Kurbalija—yang muncul pada perangkat digital kita. Konten internet tidak hadir dalam ruang-ruang fisik namun hadir dan terkelola dalam ruang nonfisik dalam wujud komputasi awan (cloud computing) yang berfungsi sebagai sebuah

29

CIGI and The Royal Institute for International Affairs, Global Commission on Internet Governance: One Internet, (London: CIGI and Chatham House, 2016), hal. 4.


Seri Internet dan HAM

lumbung yang mampu menyimpan data30 dalam jumlah yang tak terbatas. Komputasi awan membangun perspektif kita tentang ruang di mana di dalamnya kode-kode diproses oleh lapisan paling bawah (infrastructure and technical standards/logical layer) internet hingga muncul entah dalam bentuk teks, suara, gambar, video pada perangkat telekomunikasi. b. Pembatasan Konten Internet Pada bagian awal tulisan ini telah disebutkan bahwa pengaturan mengenai konten yang dirumuskan oleh negara, sejatinya merupakan upaya dari negara itu untuk mengendalikan substansi internet, bukan sekadar mengatur aspek teknis dari internet. Oleh karenanya, pengaturan terkait konten internet, sejatinya adalah pengaturan tentang internet itu sendiri. Usulan mengenai pentingnya pembentukan regulasi konten internet secara khusus telah mengemuka setidaknya sejak periode akhir tahun 1990-an, ketika Uni Eropa mengeluarkan laporan mengenai “Konten ilegal dan berbahaya di Internet�, yang pada saat itu diharapkan dapat mengatasi ketakutan pemerintah terhadap internet. Menurut laporan ini, pembatasan terhadap konten internet dapat dilakukan dengan sejumlah alasan berikut:31 1.

Keamanan nasional, misalnya materi mengenai tata cara pembuatan bom, produksi obat terlarang, kegiatan teroris;

2.

perlindungan anak di bawah umur, misalnya pemasaran/penawaran secara kasar, kekerasan, pornografi;

30

Secara harafiah data merupakan bentuk jamak dari kata ‘datum’ yang dalam bahasa Latin bermakna sebagai bagian informasi atau dengan kata lain data dapat dipahami sebagai kumpulan dari datum-datum yang melahirkan suatu informasi. Data harus pula memuat sekelompok fakta dalam bentuk simbol-simbol (seperti alfabet, angka, citra maupun simbol khusus lainnya) yang merepresentasikan ide, objek, kondisi atau situasi, yang dapat disusun untuk diolah dalam bentuk struktur data, struktur file, dan database. Seiring dengan berkembangnya cara pengumpulan suatu data, maka beragam variabel jenis data, yaitu data primer-sekunder, data kualitatif-kuantitatif, hingga data pribadi, lahir dengan sendirinya. Lihat Wahyudi Djafar, dkk, Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: usulan Pelembagaan Kebijakan dari Perspektif Hak Asasi Manusia, (Jakarta: ELSAM, 2016), hal. 3.

31

European Union (1996). Illegal and harmful content on the Internet: Communication to the European Parliament, the Council, the Economic and Social Committee and the Committee of the Regions.http://www2.echo.lu/legal/en/internet/content/communic.htm.

31


32

Seri Internet dan HAM

3.

perlindungan martabat manusia, misalnya hasutan terhadap kebencian rasial atau diskriminasi rasial (hate speech);

4.

keamanan ekonomi, misalnya penipuan, instruksi tentang pembajakan kartu kredit;

5.

keamanan informasi, misalnya malicious hacking;

6.

perlindungan privasi, misalnya intersepsi komunikasi dan pemindahtanganan data pribadi yang tidak sah, pelecehan dalam jaringan (online harassment);

7.

perlindungan reputasi, misalnya fitnah dan iklan komparatif yang tidak sah;

8.

perlindungan kekayaan intelektual, misalnya distribusi karya cipta, perangkat lunak atau musik berhak cipta yang tidak sah.

Perdebatan awal mengenai regulasi konten internet sangat berfokus pada ketegangan antara peraturan konten online dan hak asasi manusia, khususnya kebebasan berekspresi dan privasi, serta prinsip-prinsip negara hukum (the rule of law). Hal ini terjadi terutama karena inisiatif yang diajukan oleh negara untuk mengatur konten internet, cenderung mengarah pada tindakan penyensoran. Meskipun dalam penciptaan aturan ini, sejumlah negara juga mengalami kebingungan dan cenderung mencoba-coba, dengan melakukan beberapa analogi sekaligus, karena internet menggabungkan sifat media komunikasi tradisional. Akibatnya ketika negara akan melakukan tindakan penyensoran, pun muncul beberapa masalah baru, seperti sulitnya melalukan klasifikasi konten internet, siapa yang mengatur dan memutuskan tindakan sensor, serta bagaimana cara dalam melalukan sensor? Diskursus tata kelola konten melahirkan tegangan antara komunitas jaringan dengan negara—yang kerap tampil sebagai Leviathan di internet. Milton L. Mueller mengatakan, yang kurang lebih mengamini pula kekhawatiran Wagner, bahwa:


Seri Internet dan HAM

“The Internet made a major contribution to global society by disrupting the regulation of media content by nation-states. It took the libertarian principle of “absence of prior restraint” and globalized it: no one had to ask for permission, or be licensed, to make their ideas and publications globally accessible. This open access, sometimes praised as “network neutrality” or the “end-to-end principle,” took states by surprise. The explosion of ideas, services, and expression associated with the Internet’s growth in the mid1990s happened because states weren’t prepared for it and because states weren’t in charge.”32

Pengelolaan konten internet adalah satu bagian dari tata kelola atas aspek dari internet yang memiliki pengaruh amat signifikan terhadap berlangsungnya proses deliberasi informasi di ruang publik online. Gerakan perlindungan anak (child safety movement) dari konten-konten abusif di internet memberi sumbangsih bagi berkembangnya diskursus tata kelola konten internet di dunia sampai hari ini. Institusionalisasi pengaturan konten internet untuk pertamakalinya dipelopori melalui pembentukan Internet Watch Foundation (IWF) di Inggris tahun 1996 yang merupakan yayasan yang dikelola secara privat yang bertujuan untuk mencegah penyebaran konten bermuatan pornografi anak di internet.33 Pada waktu itu pengelolaan konten internet memang diarahkan untuk mencegah penyebaran konten-konten yang mengandung unsur eksploitasi anak yang melibatkan peran aktif masyarakat, misalnya dalam hal pengaduan. Mekanisme pencegahan pada umumnya sangat bersandar pada sistem pemeringkatan yang dibuat oleh IWF yang di kemudian hari respon terhadap konten-konten pornografi anak berujung pada respon yang jauh 32

Milton L. Mueller, Networks and States: The Global Politics of Internet Governance, (Cambridge, MA: The MIT Press, 2010), hal. 185.

33

IWF sejak awal pembentukannya oleh British Internet Industry memang dimaksudkan untuk mengerjakan dua tugas ihwal pengendalian konten-konten bermuatan pornografi anak di internet, yaitu (1) penyediaan layanan telepon (hotline) bagi publik dan komunitas industri terkait keberadaan konten pornografi anak yang akan direspon melalui penutupan (takedown) akses atau tindakan dari kepolisian, dan (2) membantu mengembangkan sistem pemeringkatan (rating system) untuk pengguna. Tahun 1998, National Center for Missing and Exploited Children (NCMEC) yang sudah berdiri sejak 1984 dan dikelola oleh yayasan pribadi namun memperoleh mandat dari Kongres di Amerika Serikat mulai mengoperasikan CyberTipline yang mirip dengan program hotline IWF. Kedua organisasi ini merupakan pelopor pertama pengelolaan konten internet yang dilakukan oleh lembaga (quasi-) independen. Lihat Mueller, ibid., hal. 186-195.

33


34

Seri Internet dan HAM

lebih berkembang mulai dari pembuatan daftar hitam (blacklist) hingga ke isu-isu penapisan (filtering) dan pemblokiran (blocking) laman-laman internet. Ben Wagner sendiri melihat pengaturan konten internet sebagai aspek yang jauh lebih luas dari sekedar ‘tata kelola konten’ semata. Kompleksitas informasi – yang bersifat implosif, menyitir pendapat Virilio – dan fungsi internet sebagai medium ekspresi menyiratkan aspek yang jauh lebih fundamental dari sekedar mengatur distribusi konten di internet sebab ada elemen kontrol atas informasi (control over information) dan pendisiplinan (diciplinary capacity)34 yang lahir sebagai konsekuensi dari diaturnya material yang boleh dan tidak boleh ada di internet. Wagner justru meyakini bahwa pengaturan konten merupakan bagain kecil dari apa yang ia sebut sebagai tata kelola ekspresi (expression governance) yang berkontribusi atas penciptaan batas-batas antara ekspresi yang diperbolehkan (permissible expression) dan yang tidak diperbolehkan (nonpermissible expression). “Since the birth of the public Internet in the 1990s, there has been a rise of expression governance regimes, which have been created by various actors. In this context expression governance regimes define the boundaries of possible expression within the scope of the regime (Drezner 2007), demarcating the boundaries of permissible expression on the Internet. While the individual act of deciding whether content is permissible is typically considered to be “content regulation” (Mueller 2010:187), it is often ignored that the sum of these individual acts of content regulation serve to define the overall boundaries of permissible expression (Balkin 2008:108). Thus it is important to consider not only content regulation in the context of specific acts, processes or institutions, but also expression governance as a more general understanding of the borders of permissible expression.35

Tata kelola konten internet melibatkan skup aktor yang sangat luas mengingat internet memungkinkan siapapun memproduksi konten. Oleh karena itu, perdebatan tentang apa konten yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan ada di internet juga meliputi siapa yang memiliki 34

Wagner, op cit., hal.16.

35

Ibid., hal. 22.


Seri Internet dan HAM

otoritas untuk menentukan pembatasan-pembatasan macam ini. Hampir semua ahli, sedikit di antaranya Marsden, Wagner, Mueller dan Kurbalija, memandang pengelolaan secara mandiri (self-regulatory) yang diinisiasi baik oleh penyedia layanan maupun pengguna akhir merupakan cara yang paling ideal, karena pengguna adalah orang yang paling tahu konten apa yang baik bagi dirinya sendiri. Kehadiran otoritas independen umumnya befungsi sebagai watchdog dan hanya sebatas memberikan referensi bagi publik untuk memilah-milah konten yang akan diaksesnya di internet. Namun demikian, pandangan ini kerap vis a vis dengan ide mengenai kedaulatan negara (state sovereignty) di internet, sehingga diskursus tata kelola konten internet selalu menjadi ruang perebutan otoritas antara negara (state-centric/direct regulation) dengan masyarakat sipil (pengguna internet). Pandangan multistakeholderisme memoderasi fungsi-fungsi aktor yang saling tumpang-tindih dan menyediakan platform kewenangan bagi tiap-tiap aktor, sehingga semua pihak (negara, pengguna akhir, sektor privat dan masyarakat sipil) terlibat dalam pengelolaan konten internet. Menentukan kategori konten negatif atau beberapa negara menggunakan istilah konten berbahaya atau illegal (melanggar hukum), sama kompleksnya dengan menentukan fungsi tiap-tiap aktor yang terlibat dalam ekosistem pengelolaan konten internet. Sama halnya seperti awal kemunculan diskursusnya sendiri, konten internet negatif selalu merujuk pada kontenkonten yang mengandung eksploitasi terhadap anak, atau lebih spesifik lagi adalah konten-konten pornografi anak. Konten-konten semacam itu mutlak dilarang di seluruh dunia. Selebihnya, pembatasan konten-konten internet (negative, harmful, illegal) selalu bersinggungan dengan prinsipprinsip perlindungan kebebasan berekspresi yang menjadi raison d’etre tata kelola ekspresi di dunia maya. Nicola Lucchi mengingatkan bahwa pengaturan konten internet harus membedakan antara hak atas kebebasan berekspresi dengan hak untuk mengakses medium ekspresi. Pertama merupakan hak fundamental

35


36

Seri Internet dan HAM

yang dilindungi terutama sekali dalam beberapa instrumen hukum HAM internasional, kendati penikmatannya dapat dibatasi dengan memenuhi syarat-syarat legitimasi, legalitas dan proporsionalitas. Oleh karena itu, tidak semua bentuk-bentuk ekspresi dapat dinikmati oleh setiap orang. Sebaliknya, semua orang berhak untuk mengakses perangkat digital apapun untuk mengaktualisasikan gagasannya di dunia maya.36 John Stuart Mill sendiri mengenalkan konsep “harm principles” untuk mendefinisikan batasan-batasan kebebasan individu. Mill berpendapat bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh dibatasi kecuali apabila ekspresi tersebut mencelakai (harmful) kebebasan orang lain. Akan tetapi, mendefinisikan konsep “harmful” ke dalam kebijakan tata kelola konten internet juga sama sulitnya. Selain pornografi anak, umumnya konten-konten negatif selalu mencakup konten ujaran kebencian (di Eropa juga konten yang berhubungan dengan penyangkalan atas holocaust [holocaust denial]), hak cipta (copy rights), asusila, ekstremisme yang pada level tertentu mengajak pada aktivitas yang berhubungan dengan terorisme, di beberapa negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara juga termasuk konten bermuatan penghinaan terhadap agama yang sama buruknya dengan konten yang menghina kepala negara (umumnya negaranegara monarki seperti Arab Saudi dan Thailand), dan sebagainya. Di luar diskursus yang terjadi di level domestik, pengkategorian konten semacam itu juga masih mengundang perdebatan. Tidak diragukan lagi ada perbedaan antara pendekatan yang diadopsi untuk mengatur konten di internet. Konten yang dianggap berbahaya atau menyinggung (uncivil), tidak selalu berada dalam batas-batas legalitas. Biasanya, perbedaan antara konten ilegal dan berbahaya adalah kenyataan bahwa yang pertama dikriminalisasi oleh undang-undang nasional, sementara yang kedua dianggap menyinggung (uncivil), tidak pantas, atau tidak diinginkan oleh beberapa orang namun umumnya tidak dikomunikasikan secara hukum. Sementara pornografi anak-anak 36

Nicola Lucchi, “Internet Content Governance and Human Rights,” Vand. J. Ent. & Tech. L (Vol. 16:4:809, 2014), hal. 834.


Seri Internet dan HAM

dapat dianggap sebagai contoh jelas tentang konten yang dikriminalkan di sebagian besar, jika tidak semua negara peserta, konten internet yang sering diberi label “berbahaya” mungkin termasuk materi kekerasan eksplisit secara seksual atau grafis. Pandangan politik atau keagamaan yang kuat atau ekstrem juga dapat dianggap berbahaya oleh negara. Meskipun jenis konten ini kekurangan “ambang ilegalitas”, perhatian tetap ada tentang kemungkinan akses terhadap jenis konten ini oleh anak-anak. Menyoroti perbedaan mendasar ini, pada tahun 1996 Komisi Eropa menyatakan:37 “Kategori konten yang berbeda ini menimbulkan masalah prinsip yang sangat berbeda, dan membutuhkan tanggapan/respon hukum dan teknologi yang sangat berbeda pula. Akan berbahaya untuk menggabungkan isu-isu terpisah seperti anak-anak yang mengakses konten pornografi untuk orang dewasa, dan orang dewasa yang mengakses pornografi tentang anak-anak “. Dalam kasus terkait, dalam pertimbangan hukum putusannya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa berpendapat bahwa: “.... Internet adalah alat informasi dan komunikasi yang sangat berbeda dari media cetak, khususnya mengenai kapasitas untuk menyimpan dan mengirimkan informasi. Jaringan elektronik yang melayani miliaran pengguna di seluruh dunia, tidak dan berpotensi tidak dapat tunduk pada peraturan dan kontrol yang sama. Risiko bahaya yang ditimbulkan oleh konten dan komunikasi di internet terhadap perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan, … tentu lebih tinggi daripada yang diajukan oleh pers”.38 Perdebatan mengenai apa yang sah (legitimate) disebut sebagai konten negatif sangat berhubungan dengan tindakan apa yang di kemudian hari boleh dilakukan untuk mencegah konten semacam itu ada di internet. 37

European Commission Communication on Illegal and Harmful Content on the Internet (1996), hal. 10.

38

Lihat: Editorial Board of Pravoye Delo and Shtekel v. Ukraine, Application no. 33014/05, Jusdgment of 05.05.2011, para 63.

37


38

Seri Internet dan HAM

Internet Watch Foundation (IWF) di Inggris memulainya dengan mendirikan layanan telepon (hotline) untuk laporan dari masyarakat, membuat daftar hitam (blacklisting), hingga berujung pada penutupan (take down) laman-laman yang masuk ke dalam daftar hitam. Di banyak negara, untuk menghindari respon yang represif terhadap jaminan kebebasan berekspresi di internet, pemerintahnya kerap membua daftar hitam yang dibuat berdasarkan hasil investigasi mandiri maupun berasal dari laporan masyarakat, yang terpublikasi secara luas, contohnya di Indonesia, dengan program database Trust Positif. Menurut Mueller, meskipun terkesan transparan dan akuntabel, pendekatan tata kelola konten dengan pembuatan daftar hitam situs memiliki setidaknya empat permasalahan berikut:39 1.

Cara ini membuat tindakan tersebut kehilangan keterbukaannya (transparency) dan perlakuan yang adil (due process). Blacklist bersifat satu arah (terutama apabila menyangkut tabu, argumentasi keyakinan, kepentingan politik, dsb.) sehingga tindakan ini harus membuka kemungkinan-kemungkinan alternatif, terutama bagi pengguna dan penyedia layanan, untuk menentukan daftar hitamnya sendiri, dan menyediakan mekanisme pengawasan tentang proses penilaian hingga sebuah laman dikategorikan sebagai konten negatif.

2.

Daftar hitam membuka ruang bagi terjadinya pemblokiran yang berlebihan secara terstruktur (structural overblocking). Pendaftarhitaman laman internet umumnya diikuti dengan tindakan pemblokiran yang berujung pada penutupan seluruh lama internet ketika hanya sebagai konten saja yang sesungguhnya perlu ditutup. Sifat daftar hitam yang satu arah berkonsekuensi pada kemungkinan terjadinya penutupan laman internet secara keseluruhan (memblokir IP address ketika yang sesungguhnya lebih dibutuhkan adalah memblokir sebuah URL dari sebuah laman internet) atau salah memblokir laman internet.

39

Mueller, Op.Cit., hal. 197-201.


Seri Internet dan HAM

3.

Pembuatan daftar hitam mengalihkan perhatian penegakan hukum untuk menangkap pelaku kejahatan. Dalam konteks penyebaran konten internet menimbulkan kerugian bagi penikmatan hak orang lain (eg. ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dll.), pelaku penyebaran kerapkali memperoleh porsi kecil dalam penegakan hukum yang lebih menitikberatkan pada pemblokiran konten yang dimaksud. Alih-alih berupaya untuk menangkap pelaku, blacklisting justru menyibukkan pemangku kepentingan untuk lebih menaruh perhatian pada informasi di dunia maya. Memoderasi dua kepentingan (menangkap pelaku dan mencegah penyebaran konten negatifnya di internet) merupakan hal yang mau tidak mau dilakukan untuk menjaga agar tindakan pendaftar-hitaman konten tidak berefek luas pada fungsi internet sebagai medium komunikasi.

4.

Daftar hitam menimbulkan dampak ekstra-teritorial. Tidak seperti sanksi hukum lain yang hanya memberikan dampak pada subyek yang spesifik, pembuatan daftar hitam cenderung melahirkan konsekuensi pemblokiran yang berdampak multiyurisdiksional. Hal ini dimungkinkan karena teknik pemblokiran yang mustahil diterapkan hanya sebatas pada area yurisdiksi hukum yang spesifik. Sebagai contoh di Amerika Serikat, tindakan pemblokiran tidak bisa dilakukan sebatas hanya dalam lingkup negara bagian tertentu saja (kalaupun bisa akan memakan biaya yang amat besar bagi penyedia layanan) melainkan dilakukan dalam skala federal. Dalam konteks Indonesia, pemblokiran sebuah konten yang dianggap negatif bagi provinsi tertentu berdampak pada tidak dapat diaksesnya konten yang sama dari provinsi lainnya meskipun terdapat perbedaan cara pandang terhadap muatan konten antara satu provinsi (komunitas budaya) dengan provinsi lain.

39


40

Seri Internet dan HAM

Pada praktiknya, sangat mustahil memisahkan pendaftar-hitaman dengan pemblokiran karena keduanya terjadi dalam satu skema yang terintegrasi untuk membatasi peredaran konten internet. Satu metode lain, yang bisa saja terjadi secara terpisah tanpa harus berada dalam satu skema dengan pemblokiran, yaitu penapisan (filtering). Jika pemblokiran merujuk pada pembatasan akses berdasarkan daftar URL ataupun situs, maka penapisan merupakan pembatasan akses yang otomatis dilakukan dengan menyaring ‘kata kunci’ yang tidak diinginkan,40 dengan kata lain kata kunci yang dianggap merepresentasikan konten negatif. Penapisan dapat dilakukan baik di level penyedia layanan internet (internet service provider) di dalam negeri ataupun di pusat jaringan yang menghubungkan akses dalam skala internasional (international gateway).41 Penggunaan kata kunci dalam penapisan akan sangat bergantung pada keterpengaruhan aktor dalam struktur sosial, politik, ekonomi dan kultural tertentu sehingga sebuah ‘kata kunci’ dimaknai dalam konteks yang negatif. Faris dan Villeneuve melakukan penelitian terhadap 40 negara pada kurun tahun 2006 dan menemukan bahwa setidaknya ada emapt motif pemberlakuan penapisan/pembokiran terhadap konten-konten internet. Keempat motif itu terkait dengan politik dan kekuasaan (political), normanorma sosial (social), isu-isu keamanan (security), dan motif ekonomi.42 Dimensi politik biasanya dimaksudkan untuk membatasi penyebaran konten-konten yang bermuatan politik yang dikhawatirkan bisa mengancam kekuasaan pemerintah di suatu negara, umumnya diterapkan di negara-negara otoriter. Termasuk dalam dimensi ini, pemblokiran terhadap konten-konten yang berkaitan dengan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, hak-hak minoritas, dan gerakan keagamaan. Sementara dimensi sosial ditujukan untuk mencegah penyebaran konten 40

Lihat Marcel H. Faulkner, “Filter Schmilter: Libraries and Internet Filtering Software,” dalam http://www.webjunction.org/documents/webjunction/Filter_Schmilter_Libraries_and_Internet_ Filtering_Software.html, diakses pada 18 Oktober 2017.

41

Robert Faris dan Nart Villeneuve, “Measuring Global Internet Filter,” dalam Ronald Deibert, et al., (eds), Access Denied: The Practice and Policy of Global Internet Filtering, (Cambridge, MA: The MIT Press, 2008), hal. 12.

42

Ibid., hal. 9.


Seri Internet dan HAM

internet yang dikhawatirkan menimbulkan keresahan sosial, terutama karena berbenturan dengan norma-norma sosial, norma agama, dan moralitas publik dari kelompok mayoritas di suatu negara. Termasuk dalam dimensi ini, pemblokiran terhadap konten yang materinya terkait dengan seksualitas, perjudian, obat-obatan terlarang dan alkohol, serta topik lain yang mungkin sensitif secara sosial atau dianggap ofensif. Sedangkan alasan keamanan bertujuan untuk mencegah serangan terhadap kemanan nasional suatu negara, dan juga keamanan pengguna internet secara individual. Termasuk juga pemblokiran terhadap konten-konten yang berhubungan dengan konflik bersenjata, sengketa perbatasan, gerakan separatis, dan kelompok militan. Kemudian ekonomi umumnya berkaitan dengan maksud untuk melindungi kepentingan ekonomi suatu negara atau industri. Alasan utama melakukan pemblokiran dan penapisan adalah untuk melindungi hak cipta konten di dunia maya. Bagaimanapun, tidak terdapat ruang netral dalam kebijakan penapisan dan pemblokiran konten internet, sebagaimana halnya dengan internet itu sendiri, karena setiap kebijakan pembatasan selalu memprakondisikan sebuah struktur nilai yang berlaku di sebuah masyarakat. Oleh karena itulah, standar tindakan penapisan dan pemblokiran selalu berbeda, bukan hanya antar satu negara, namun antar stau rezim dengan rezim lain di dalam sebuah negara. Lebih jauh, menurut kajian Derek Bambauer, setidaknya ada empat kriteria yang harus dipenuhi agar sebuah tindakan pembatasan konten berlaku secara sah (legitimate). Pertama, apakah negara tersebut terbuka atau transparan terhadap tindakan penyensoran yang diilakukannya dan kenapa informasi tersebut dibatasi? Kedua, apakah negara terbuka mengenai jenis konten yang ditapis atau diblokir dan konten apa yang diperbolehkan diakses? Ketiga, sejauh apa penapisan dilakukan: seberapa sesuai kontenkonten yang ditapis atau diblokir dan yang tidak dibatasi, sesuai dengan kriteria-kriteria pembatasan yang telah ditetapkan? Keempat, sejauh mana warga negara dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan ihwal pembatasan: apakah penyensoran yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan?43 43

Dalam Mueller, Op.Cit., hal. 206.

41


42

Seri Internet dan HAM

Kriteria Bambauer secara sistematis memberikan penekanan pada proses pemberlakuan pembatasan (a systematic pricess-oriented framework) konten-konten di internet. Mueller mengatakan bahwa kriteria Bambauer memiliki nilai lebih karena dia memberikan ruang bagi warganegara untuk berpartisipasi (right to participate), sebagai fondasi penilaian apakah sebuah penyensoran konten diimpelementasikan seobyektif mungkin. Dalam kriteria keempatlah, ruang deliberasi bagi jamaknya kepentingan, nilai, gagasan dan pandangan mengenai cara hidup diberikan tempat dalam menilai kualitas kebijakan. Menanggapi hal tersebut, Mueller berpendapat, jika kita tidak berhati-hati, pendekatan yang berorientasi pada proses untuk memblokir bisa menjadi taktik pengalihan yang berbahaya. Kerangka kerja yang berorientasi proses benar-benar melegitimasi dan mendorong penyensoran internet, karena didasarkan pada asumsi bahwa pemblokiran berbasis negara dapat dilakukan secara adil dan tepat. Ini menyiratkan bahwa kita harus mengoptimalkannya daripada menolaknya. Lebih buruk lagi, ini mengandung asumsi tersembunyi dengan konsekuensi politik yang besar, bahwa negara adalah institusi yang tepat untuk membuat keputusan tentang akses terhadap informasi global. Ditegaskan Mueller, kerangka kerja Bambauer secara diam-diam telah membuat unit analisis “negara�, seperti kebanyakan diskusi lain mengenai masalah ini, yang menimbulkan salah satu pertanyaan politik terpenting seputar peraturan konten internet.44 Negara bukanlah satu-satunya aktor pengambilan keputusan yang tersedia, dan juga bukan yang paling tepat dalam melakukan pembatasan terhadap konten internet. Metode dan kolektivitas berbasis internet lainnya dapat digunakan, untuk membuat keputusan tentang informasi apa yang dapat diakses. Dengan bertindak sebagai penyedia layanan (entah layanan jaringan internet ataupun layanan konten), korporasi sesungguhnya berperan lebih besar dalam melakukan kontrol terhadap informasi yang ada di internet. Dalam banyak praktik, kolaborasi antara negara dengan kelompok privat 44

Ibid., hal. 207.


Seri Internet dan HAM

jauh lebih sering dilakukan dalam sektor-sektor yang berkaitan dengan kedua pihak sehingga kepentingan publik kerapkali menjadi isu pinggiran dalam pengambilan keputusan. Pada praktiknya di banyak negara, pembatasan, pengawasan, manipulasi dan sensor terhadap konten internet, jamak dilakukan oleh negara tanpa dasar hukum, atau meski berdasarkan hukum, namun aturannya terlalu luas dan ambigu, sehingga bertentangan dengan prinsip prediktabilitas dan keterbukaan. Selain itu tindakan tersebut juga seringkali dilakukan tanpa adanya pembenaran tujuan atau dengan cara yang jelas-jelas tidak perlu dan/atau tidak seimbang dalam mencapai tujuan (tidak memenuhi prinsip proporsionalitas). Menegaskan pernyataan-pernyataan sebelumnya, tindakan sensor terhadap konten internet, dalam bentuk pemblokiran dan penapisan dengan menggunakan teknologi tertentu, adalah suatu tindakan pelanggaran terhadap hak atas kebebasan berekspresi. Tindakantindakan tersebut benar-benar tidak sesuai dengan kewajiban negara di bawah hukum hak asasi manusia, dan sering menciptakan efek jeri (chilling effect) atau ketakutan yang besar terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Oleh karenanya, dalam melakukan pembatasan terhadap konten internet, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, musti mengacu kepada three-part test menurut ketentuan Pasal 19 ICCPR. Three-part test ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pembetasan terhadap kebebasan berekspresi tersebut: (1) disediakan oleh hukum (prescribed by law); (2) tujuan yang sah (legitimate aim); dan (3) ada kebutuhan untuk pembatasan (necessity).

43


44

Seri Internet dan HAM

Prescribed by Law Hak atas kebebasan berekspresi tidak bisa dibatasi hanya karena kehendak pejabat publik. Mereka harus menerapkan undang-undang atau peraturan yang secara formal diakui, dan dibentuk oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang sah (secara formil).

Legitimate Aim Harus ada tujuan yang sah untuk membatasi hak atas kebebasan berekspresi. Daftar tujuan yang sah sifatnya tertutup, dan tidak dapat ditambahkan, terdiri dari: menghormati hak dan reputasi orang lain, dan perlindungan keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat.

Necessity Setiap pembatasan hak atas kebebasan berekspresi harus benar-benar diperlukan. Sekalipun suatu pembatasan sesuai dengan hukum yang jelas dan memiliki tujuan yang sah, itu hanya akan lulus ujian jika benar-benar diperlukan untuk melindungi tujuan yang sah itu. Jika pembatasan tidak diperlukan, mengapa memaksakannya?

Figur Three-part Test Menurut Pasal 19 (3) ICCPR

Mengacu pada three-part test di atas, tindakan pembatasan terhadap konten internet masuk dalam kategori pelanggaran, jika tindakan dilakukan dalam situasi berikut ini: Pertama, kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum, atau diatur oleh hukum namun pengaturannya sangat luas dan tidak langsung, sehingga menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena-mena; Kedua, pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan, sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar; Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa diakses karena dianggap ilegal; dan Keempat, pemblokiran dan penapisan dilakukan tanpa adanya intervensi atau kemungkian pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan independen.45 45

Lihat Ibid., paragraf 31.


Seri Internet dan HAM

Pembatasan hak dalam bentuk pemblokiran dan penapisan konten internet sesungguhnya tetap bisa dilakukan oleh otoritas yang berwenang. Hal ini berangkat dari pertimbangan bahwa setiap penemuan teknologi baru, termasuk teknologi internet, juga bisa disalahgunakan, sehingga berakibat pada terjadinya kerugian pihak lain. Oleh karena itu pembatasan terhadap kebebasan dalam berinternet juga mungkin dilakukan, khususnya terhadap jenis-jenis konten berikut ini: (i) informasi yang mengandung muatan pornografi anak (untuk menjaga hak-hak anak),46 (ii) penyebaran kebencian (untuk melindungi hak-hak komunitas yang terpengaruh oleh hal itu),47 (iii) pencemaran nama baik (untuk menjaga hak dan reputasi orang lain dari serangan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab), hasutan publik untuk melakukan genosida (untuk melindungi hak-hak orang lain),48 dan (iv) sentiment kebangsaan, rasa atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan (untuk menjaga hak-hak orang lain, seperti hak untuk hidup).49 Namun demikian, ketika pembatasan diberlakukan terhadap konten internet, dalam bentuk pemblokiran/penapisan, sebagai tindakan pengecualian pada konten dalam jaringan, pembatasan tersebut harus terlebih dahulu memenuhi sejumlah persyaratan sebagaimana diatur oleh Kovenan (ICCPR). Peryaratan tersebut meliputi: (1) pemblokiran/ penapisan konten harus diatur oleh hukum, yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip prediktabilitas dan transparansi); (2) pemblokiran/ penapisan konten harus memenuhi salah satu tujuan yang diatur oleh ketentuan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, yaitu (i) untuk melindungi hak-hak dan reputasi orang lain; (ii) untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan atau moral publik (prinsip legitimasi); dan (3) harus dapat dibuktikan bahwa tindakan pemblokiran/penapisan 46

Penyebaran pornografi anak dilarang oleh hukum hak asasi manusia internasional, lihat Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the sale of children, child prostitution and child pornography, art. 3, para. 1 (c).

47

Lihat contoh Faurisson v. France, Komite Hak Asasi Manusia PBB, Resolusi 550/1993, pandanganpandangan pada tanggal 8 November 1996.

48

Lihat contoh Pasal 3 (c) Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida.

49

Lihat contoh Pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.

45


46

Seri Internet dan HAM

konten penting dilakukan dan cara - cara seminimal mungkin diperlukan untuk mencapai tujuan utama (prinsip kepentingan dan keberimbangan/ proporsionalitas). Lebih lanjut, legislasi apa pun yang membatasi hak atas kebebasan berekspresi (termasuk tindakan pemblokiran/penapisan konten internet) harus diaplikasikan oleh badan yang independen dari pengaruh politik, komersial atau pihak lainnya yang tidak berwenang, tidak secara semena-mena ataupun diskriminatif. Badan ini bisa pengadilan atau institusi independen lainnya. Selain itu, musti disediakan mekanisme perlindungan untuk menghadapi penyalahgunaan, termasuk kemungkinan terhadap komplain dan pemulihan atas pemblokiran/penapisan konten yang disalahgunakan. Secara sederhana komparasi antara pemblokiran/ penapisan yang tidak sah (semena-mena) dengan pemblokiran/penapisan yang sah (legitimate) dapat dilihat pada tabel berikut ini:50 Pemblokiran/penapisan yang tidak sah

Pemblokiran/penapisan yang sah

Tidak diatur oleh hukum atau diatur tetapi terlalu luas (menyalahi prinsip prediktabilitas)

Diatur oleh hukum, yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip prediktabilitas dan transparansi)

Tidak memenuhi tujuan dan syarat yang ditentukan oleh Kovenan (ICCPR), serta daftar dirahasiakan

Memenuhi salah satu tujuan yang diatur oleh ketentuan Pasal 19 ayat (3) ICCPR (prinsip legitimasi)

Penciptaan alat-alat yang berakibat pada pemblokiran ilegal dan tidak sesuai tujuan

Dapat dibuktikan bahwa tindakan pemblokiran/ penapisan konten penting dilakukan dan caracara seminimal mungkin diperlukan untuk mencapai tujuan utama (prinsip kepentingan dan keberimbangan/proporsionalitas)

Tidak adanya ruang pengaduan, komplain untuk pengujian, serta pemulihannya

Tersedia mekanisme perlindungan untuk menghadapi penyalahgunaan termasuk kemungkinan terhadap komplain dan pemulihan atas pemblokiran/penapisan konten yang disalahgunakan

50

Selengkapnya lihat Wahyudi Djafar dan Justitia Avilla Veda, Internet untuk Semua, Mengintegrasikan prinsip hak asasi manusia dalam pengaturan internet di Indonesia, (Jakarta: ELSAM, 2014).


Seri Internet dan HAM

Tegasnya, mengacu kepada Kovenan (ICCPR), maka setiap tindakan pembatasan terhadap konten internet, sebagai salah satu bentuk pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, persyaratannya haruslah ditegaskan dalam undang-undang. Hal ini untuk memastikan adanya partisipasi publik dalam perumusan undang-undang tersebut, sebagai sebuah produk legislatif, yang merupakan representasi dari publik. Penegasan ini dimaksudkan untuk menghindari kesewenang - wenangan dalam pengaturannya, jika format regulasinya hanya diciptakan oleh pemerintah, tanpa melibatkan publik yang diwakili oleh parlemen. Di dalam undang - undang tersebut diatur secara tegas dan detail mengenai prosedur untuk melakukan pemblokiran/ penapisan secara terbuka dan transparan. Selain itu, materi undang undang juga mencakup klausula yang memastikan bahwa praktik - praktik pemblokiran/penapisan tersebut berlaku menurut hukum tertentu atau perintah pengadilan. Misalnya mandat untuk mendirikan sebuah Komite yang diberdayakan untuk menentukan dan mengidentifikasi konten yang legal dan ilegal. Tegasnya, untuk memenuhi standar ICCPR, hukum mengenai pemblokiran/penapisan haruslah jelas dan tidak berubah-ubah (asas prediktabilitas). Selain itu, guna memenuhi standar ini, negara juga dapat menerapkan kebijakan lisensi, misalnya yang dilakukan di Uzbekistan. Setiap warung internet di sana harus terlebih dahulu mendaftarkan dirinya untuk mendapatkan standarisasi dari sebuah badan pemerintah sebelum memulai operasinya. Lebih lanjut pengaturan tersebut juga tunduk pada keharusan merumuskan secara limitatif dan definitif mengenai batasan pembatasan yang secara hukum dapat dibenarkan, termasuk di dalamnya perumusan daftar yang bersifat tertutup (exhausted list), dan bukan list dan rumusan terbuka yang setiap saat dapat dire-intepretasikan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan dari kekuasaan pembatasan yang diberikan.51

51

Mary Rundle dan Malcolm Birdling, Filtering and the International System: A Question of Commitment, dalam Ronald Deibert, John Palfrey, Rafal Rohozinski, dan Jonathan Zittrain (eds.), Access Denied ... Op.Cit., hal. 73-84.

47


48

Seri Internet dan HAM

Persyaratan lain yang ditegaskan oleh Kovenan (ICCPR) ialah pembatasan dimaksudkan untuk mencapai salah satu tujuan dalam kovenan (prinsip nesesitas). Dalam konteks pemblokiran/penapisan konten internet, untuk memenuhi persyaratan ini negara dapat menggunakan prosedur yang menargetkan pemblokiran/penapisan untuk tujuan tertentu, sehingga ruang lingkupnya tidak terlalu luas. Selain itu, prosedurnya juga memungkinkan pengawasan dan akuntabilitas publik. Sebagai contoh, Pakistan telah membentuk Unit Fasilitas Deregulasi, yang dimaksudkan untuk menerima keluhan dan melakukan pemulihan dalam hal terjadi kesalahan dalam pemblokiran/penapisan. Sekali lagi, pemblokiran dan penapisan konten internet dimungkinkan untuk dilakukan dengan tujuan melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, dan kesehatan publik atau moral publik. Selian mengacu pada keharusan three-part test di atas, merujuk pada Mary Rundle dan Malcolm Birdling (2008), rangkaian test berikut ini dapat menjadi panduan untuk menilai sejauh mana kompabilitas tindakan pembatasan dalam bentuk pemblokiran/penapisan konten internet yang dilakukan oleh pemerintah terhadap jaminan perlindungan hak asasi manusia.

TUJUAN

PERNYATAAN

PENJELASAN

ALASAN

PROSEDUR

Pertama, terlebih dahulu melihat tujuan dari pembatsan, negara percaya bahwa pembatasan kebebasan berekspresi diperlukan untuk: ‌ (Contoh: mencegah orang menggunakan internet untuk membangkitkan kekerasan pada etnis tertentu); Kedua, pernyataan yang harus dilakukan, oleh karena ada tujuan itu, maka pemerintah memutuskan untuk melakukan tindakan hukum terhadap: ... (Contoh: membatasi pidato kebencian); Ketiga, penjelasan khusus cara pemblokiran/penapisan yang akan dilakukan, hal ini untuk memastikan bahwa orang dapat mengerti hukum dan dapat


Seri Internet dan HAM

memeriksa bahwa tindakan pemblokiran/ penapisan tidak dilakukan secara sewenang - wenang, pemerintah merinci: ... (Contoh: apa sebenarnya ujaran yang dapat diterima dan bagaimana hal itu akan dilakukan penapisan); Keempat, alasan dilakukannya pembatasan yang dibolehkan, karena terdaftar dalam Pasal 19 dan Pasal 20 ICCPR. Tindakan ini dapat diterima dan dibenarkan oleh hukum internasional, pemerintah menunjukkan bahwa pembatasan ini diperlukan (periksa semua yang berlaku): untuk menghormati hak atau reputasi orang lain, untuk melindungi keamanan nasional, untuk melindungi ketertiban umum, untuk melindungi kesehatan dan moral masyarakat, larangan propaganda perang, dan larangan advokasi kebencian atas dasar kebangsaan, rasial, atau agama yang ditujukan sebagai hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan; Kelima, proses ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada publik mengenai permasalahan yang sedang terjadi dan solusinya. Hal ini untuk membantu memastikan bahwa hukum tidak diterapkan dengan sewenang-wenang atau terlalu luas, negara menyediakan mekanisme dimana: ... (Contoh: jika sebuah situs web diblokir, pengguna internet menerima pesan: (i) menunjukkan mengapa penyaringan/pemblokiran ini terjadi, menurut hukum spesifik apa; dan (ii) mengatakan kepada mereka bagaimana mereka dapat melaporkan masalah dan menerima respon). Meskipun telah ada standar dalam hukum internasional hak asasi manusia, untuk melakukan pembatasan terhadp kebebasan berekspresi, termasuk ekspresi di internet yang berupa konten internet, namun pada pelaksanaannya memang seringkali pertentangan dan perdebatan. Hal ini terjadi memang karena tidak ada standar yang sama antara satu negara dengan negara lainnya, dalam melakukan pengkategorian atau pelabelan jenis konten tertentu, sebagai konten ilegal atau berbahaya. Kategori konten berbahaya adalah kriteria yang sangat bergantung pada berbagai perbedaan yang sifatnya mendasar di suatu negara, seperti nilai, moral, agama, dll. Situasi ini sendiri diakui telah menyulitkan adanya harmonisasi hukum dan pendekatan di tingkat internasional.

49


50

Seri Internet dan HAM

c. Tanggung Jawab Perantara dalam Pengelolaan Konten Internet Karakteristik khusus dari internet menjadikan bekerjanya ekosistem ini untuk memastikan interopabilitasnya, tidak hanya bertumpu pada satu atau dua aktor saja, tetapi melibatkan serangkaian aktor sekaligus. Jika pada sektor-sektor lain seringkali negara berada pada posisi yang lebih dominan, justru dalam pemanfaatan teknologi internet, swasta cenderung lebih dominan, dalam segala aspek layanan, baik akses maupun konten. Sedangkan negara—pemerintah, di beberapa negara semata-mata hanya memang peran regulator. Bahkan di negara-negara yang menganut pendekatan swa-regulasi, fungsi regulator pun diambil perannya sekaligus oleh pihak swasta. Berangkat dari pertimbangan itulah kemudian pembicaraan mengenai tanggung jawab perantara (intermediary) dalam pemanfaatan teknologi internet menjadi penting. Namun demikian, pembicaraan mengenai tanggung jawab perantara ini harus berangkat dan disandarkan pada prinsip netralitas jaringan (net-neutrality), guna memastikan perlindungan terhadap hak untuk berkomunikasi secara bebas dalam jaringan. Netralitas jaringan atau netneutrality berarti internet harus memberikan perlindungan pada kebebasan berbicara, sehingga mengharuskan bagi ISP untuk menyediakan jaringan terbuka, dan tidak boleh menghalangi atau membeda-bedakan aplikasi atau konten yang ditransmisikan melalui jaringan tersebut. Sama seperti halnya perusahaan telepon, yang tidak mengawasa atau memutuskan siapa yang hendak hubungi dan apa yang dibicarakan dalam percakapan telepon itu, ISP pun tidak diperkenankan mengganggu konten yang dilihat atau dikirimkan secara online.52 Lebih jauh, mengingat kompleksitas dalam pemanfaatan teknologi internet, ada sejumlah jenis perantara yang berbeda-beda spesifikasi dan produk bisnisnya. Secara garis besar, perantara dalam internet dapat dibedakan menjadi empat kategori: (i) penyedia layanan internet (ISPs); 52

Lihat Christopher T. Marsden, Net Neutrality Towards a Co-regulatory Solution, (London: Bloomsbury Academic, 2010).


Seri Internet dan HAM

(ii) penyedia web hosting; (iii) penyedia platform media sosial; dan (iv) mesin pencari (search engine). Penyedia layanan internet biasanya merujuk pada dua penyedia layanan sekaligus: penyedia infrastruktur, dan penyedia layanan akses, namun dalam hal tanggung jawab perantara, umumnya berkaitan dengan penyedia akses. Sementara penyedia web hosting adalah perudahaan yang menyediakan ruang web server, yang memungkinkan pelanggan mereka untuk membuat situs web mereka sendiri. Termasuk juga di dalamnya penyedia layanan blog, dan layanan video dan photosharing, yang umuum disebut sebagai ‘host’.53 Sedangkan penyedia platform media sosial, adalah mereka yang mendorong individu untuk terhubung dan berinteraksi dengan pengguna lain dan untuk berbagi konten (user generated content). Nama lain untuk penyedia layanan ini adalah ‘aplikasi web 2.0’, dianggap sebagai ‘host’ karena mengizinkan pihak ketiga untuk mengirim konten. Kemudian mesin pencari (search engine) adalah program perangkat lunak yang menggunakan algoritma tertentu untuk mengambil data, file atau dokumen dari database atau jaringan, untuk merespon permintaan dari pengguna. Informasi yang diambil biasanya diindeks dan disajikan sebagai rangkaian hyperlink pada halaman web. Hal yang musti diingat, keseluruhan perantara di atas memiliki posisi dan peran yang berbeda-beda dalam ekosistem internet, sehingga bentuk tanggung jawabnya pun berlainan. Akan tetapi kesemuanya berpretensi memberikan layanan bagi pengguna akhir, sehingga layak disematkan kategori perantara bagi semuanya, yang dapat dikenakan tanggung jawab dalam operasinya. Keempat kategori perantara di atas berbeda dari ‘produsen konten’, yaitu individu atau organisasi yang bertanggung jawab untuk menghasilkan informasi (konten) dan mempostingnya secara online. Meski secara umum, dalam pembicaraan yang berkaitan dengan konten internet, tanggung jawab pengelolaan konten biasanya diderivasikan ke dalam tiga kelompok entitas: (1) penyedia konten Internet (ICPs); (2) penyedia layanan Internet (ISPs) atau 53

Rebecca MacKinnon, dkk., Fostering Freedom Online: The Role of Internet Intermediaries, (Paris: UNESCO, 2014).

51


52

Seri Internet dan HAM

disebut juga sebagai Penyedia Akses Internet (IAPs); dan (3) pengguna akhir (end users). Penyedia konten adalah mereka yang memanfaatkan internet untuk menyebarluaskan pendapat, karya dan buah pikir lainnya, termasuk penyedia platform media sosial. Sementara penyedia layanan adalah sektor swasta yang menawarkan konektivitas internet. Dalam negara-negara yang relatif sudah demokratis, tanggung jawab konten lebih dibebankan kepada penyedia konten itu sendiri. Dengan kata lain, penyedia layanan (ISP) dibebaskan dari kewajiban yang terkait dengan konten, ini berbuhungan dengan pelaksanaan prinsip netralitas jaringan. Hal ini sebagaimana banyak diterapkan di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan di Eropa ditegaskan, penyedia layanan internet dibebaskan dari kewajiban untuk memonitor konten yang disampaikan. Meski di beberapa negara ada kewajiban bagi penyedia layanan (ISP) untuk menginformasikan kepada otoritas publik yang kompeten, perihal adanya dugaan kegiatan ilegal atau konten-konten yang bertentangan dengan hukum. Sedangkan mayoritas negara Asia menerapkan kebijakan sebaliknya, penyedia layanan terikat secara hukum untuk menyaring konten atau memblokir konten yang dilarang pemerintah.54 •

Bagi perantara sendiri, setidaknya ada tiga jenis model tanggung jawab yang dibebankan pada mereka, setiap negara menerapkan model yang berbeda-beda, sebagaimana berikut ini:55

•

Model tanggung jawab ketat, dimana perantara internet bertanggung jawab atas konten pihak ketiga, seperti yang berlaku di Thailand dan China. Perantara secara efektif diminta untuk memantau konten agar mematuhi undang-undang, jika mereka gagal melakukannya, mereka menghadapi berbagai sanksi, termasuk penarikan izin usaha dan/atau bahkan pemenjaraan.

•

Model safe harbor, yang memberikan kekebalan bagi perantara, asalkan sesuai dengan persyaratan tertentu. Model ini menempatkan prosedur ‘notice and take down’ sebagai kuncinya, dengan mengacu pada dua pendekatan: (i) pendekatan vertical, yang hanya

54

Joanna Kulesza, International Internet Law, (London: Routledge, 2012), hal. 63-65.

55

Lihat Article 19, Intermediaries: Dillema of Liability, 2016.


Seri Internet dan HAM

berlaku untuk jenis konten tertentu, seperti penerapan US Digital Copyright Millennium Act 1998 (DMCA), dengan memberikan prosedur ‘notice and take down’ secara spesifik guna menangani keluhan tentang pelanggaran hak cipta; (ii) pendekatan horizontal, dimana tingkat imunitas yang berbeda diberikan tergantung pada jenis aktivitas yang dipermasalahkan. Model ini didasarkan pada E-Commerce Directive (ECD) di Uni Eropa. Kekebalan hanya diberikan kepada perantara yang semata-mata bertindak sebagai penyedia akses teknis ke internet (ISP). Sedangkan bagi para ‘host’ akan kehilangan imunitsnya jika mereka gagal bertindak secara cepat untuk menghapus atau menonaktifkan akses ke informasi yang dinilai “ilegal”. •

Model kekebalan yang luas, dengan memberikan kekebalan yang luas bagi perantara, atau kekebalan bersyarat dari tanggung jawab atas konten pihak ketiga dan membebaskannya dari persyaratan umum untuk memantau konten. Dengan model ini, perantara diperlakukan sebagai ‘utusan’ atau pembawa pesan, yang tidak bertanggung jawab atas konten yang mereka bawa, bukan sebagai ‘penerbit’, yang bertanggung jawab atas konten yang mereka sebarkan meskipun diproduksi oleh orang lain.

Dalam menerapkan tanggung jawab perantara, negara-negara umumnya berangkat dari dua pertimbangan: (i) pertimbangan kepraktisan, bahwa perantara paling baik ditempatkan untuk memblokir, menapis atau menghapus materi yang dipermasalahkan, karena mereka memiliki sarana teknis dan finansial untuk melakukannya; dan (ii) terkait dengan keadilan, bahwa perantara harus menawarkan solusi atas tantangan yang mereka hadapi saat ini, dalam kaitannya dengan penegakan hukum dan aspek lainnya. Oleh karena perantara mendapatkan keuntungan dari penyebaran konten pihak ketiga secara online, maka mereka harus bertanggung jawab untuk mencegah akses terhadap materi ilegal atau berbahaya. Namun demikian, memberikan tanggung jawab pada perantara untuk mengawasi konten internet dan kemudian melakukan pemblokiran terhadap konten tersebut, juga berbahaya bagi pelaksanaan hak atas kebebasan berekspresi.

53


54

Seri Internet dan HAM

C.

Tata Kelola Konten Internet di Berbagai Negara

Dalam menyikapi tantangan baru teknologi informasi yang memiliki karakter tanpa batas, kerangka hukum memberikan sebagian kewenangan pada negara untuk terlibat dalam pengaturan ekosistem internet. Dalam bab sebelumnya, disebutkan bahwa kewenangan itu tidak hanya berada pada lapisan teknis mengenai teritorial infrastruktur internet, melainkan turut mengatur dalam lapisan aplikasi dan konten. Terlepas dari perdebatan yang menilai layak atau tidaknya kewenangan negara masuk dalam ranah tersebut, negara sebagai entitas ekosistem internet dimandatkan untuk memberi keseimbangan antara konflik yang lahir dari internet sekaligus melindungi roh kebebasan dari internet itu sendiri. Seperti yang telah dielaborasikan sebelumnya, model tata kelola konten internet muncul dengan berbagai macam pendekatan pengaturan. Beberapa mengadopsi pendekatan yang justru melanggar hak dasar masyarakat dalam mengakses informasi. Padahal rezim hak asasi manusia, menilai kewenangan negara dalam ekosistem tata kelola internet harus mampu melindungi hak tersebut melalui kerangka hukum termasuk mekanisme pembatasan yang demokratis. Lebih jauh untuk melihat beragam praktik pengaturan tata kelola konten internet di berbagai negara, berikut ini akan diuraikan secara singkat praktik yang diterapkan pada 8 negara terpilih, yakni: Amerika Serikat, Jerman, Tiongkok, Australia, Korea Selatan, dan Singapura. Dengan memperbandingkan beberapa model pendekatan, diharapkan dapat menjadi rujukan pembanding dalam membahas kerangka hukum ekosistem di Indonesia yang akan diuraikan pada bagian berikutnya.

a. Amerika Serikat Tidak bisa dipungkiri, Amerika Serikat memberikan kontribusi besar dalam perkembangan hukum internet. Selain karena memang sebagai negara asal yang menciptakan teknologi internet, hal ini terlihat dari putusan-putusan pengadilannya yang memungkinkan praktisi hukum untuk mendefinisikan internet beserta prinsip-prinsipnya.56 Regulasi Amerika terkait hukum 56

Ibid., hal. 97.


Seri Internet dan HAM

internet adalah model self-regulation. Meskipun pada praktiknya, sistem ini dikolaborasikan dengan mekanisme co-regulations untuk melindungi beberapa hak. Berkaitan dengan persebaran informasi secara tradisional, salah satunya peredaran buku, regulasi di Amerika membedakan tanggung jawab antara penerbit buku dengan distributornya. Regulasi ini memberikan tanggung jawab penuh kepada produsen konten dengan konsekuensi hilangnya pertanggungjawaban pada distributor. Konsep ini kemudian diterapkan pula dalam ekosistem internet.57 Meskipun demikian, pada tahun 1995, putusan atas kasus Stratton Oakmont vs Prodigy Service melahirkan perspektif baru dalam konteks tanggung jawab ISP di Amerika. Dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa tindakan ISP yang melakukan pemantauan atau mengontrol konten internet memiliki konsekuensi terkait tanggung jawabnya yang berubah sebagai penerbit. Namun hal tersebut dinilai pihak ISP justru mereduksi cita-cita sistem self regulation itu sendiri karena membuka peluang tuntutan hukum yang diajukan pada ISP yang dapat menjadi ambatan dalam ekonomi digital.58 Meskipun demikian pada perkembangannya, Kongres 1996 menolak wacana tangung jawab ISP melalui Communication Decency Act (CDA) atau regulasi terkait ketenagakerjaan komunikasi. Dalam regulasi tersebut disebutkan menegaskan bahwa ISP tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas produksi konten-konten yang dianggap bermasalah dan bertentangan hukum.59 Termasuk membebaskan ISP dari tuntutan hukum yang mungkin hadir apabila ISP melakukan kontrol atau pemblokiran terhadap akses internet yang bertujuan untuk membatasi konten yang melanggar hukum.60

57

Ibid., hal. 135.

58

Ibid.

59

Dalam CDA bagian 231 Pasal 1 menyatakan bahwa penyedia layanan jasa internet tidak dapat dimintai pertanggung jawaban atas: (1) meskipun konten itu tidak sah atau melawan hukum, (2) meskipun konten tersebut telah digugat oleh korban; (3) meskipun konten tersebut adalah data illegal.

60

Dalam CDA bagian 231 Pasal 2 menyebutkan bahwa: “Tidak ada penyedia layanan computer interaktif yang rus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan dengan sukarela dan niat baik untuk membatasi akses atau ketersediaan materi (sebagai penyedia) yang dinilai sebagai konten cabul, kotor, terlalu kasar, atau melecehkan.

55


56

Seri Internet dan HAM

Meskipun demikian, pada praktiknya sistem hukum Amerika Serikat juga menunjukkan adanya penggunaan sistem co-regulation khususnya terkait perlindungan terhadap kelompok minoritas, perlawanan terhadap pornografi anak dan terorisme, serta hak cipta. Pengaturannya melibatkan pemerintah sekaligus sektor bisnis dalam penegakan hukumnya. Misalnya perihal pornografi anak, dalam Protection of Children from Sexual Predator Act tahun 1998 disebutkan dalam salah satu pasal menegaskan kewajiban penyedia jasa untuk melaporkan produsen konten atau informasi terkait pornografi anak. Apabila penyedia jasa abai untuk melaporkan akan dikenakan sanksi denda.61 Termasuk dalam upaya perlawanan terhadap terorisme. Pemerintah memberikan sejumlah kewenangan kepada penyedia jasa untuk melakukan pengawasan atas komunikasi yang dilakukan melalui internet. Bahkan memberikan kedudukan hampir sama dengan penegak hukum dengan memberikan pengecualian melanggar hak privasi dan perlindungan data pribadi untuk memberantas terorisme. Sedangkan terkait hak cipta, berdasarkan Digital Millenium Copyright Act (DMCA) atau Undang-Undang Hak Cipta Amerika Serikat, mewajibkan penyedia jasa untuk melakukan pemblokiran apabila menerima notifikasi atau laporan dari pemegang hak cipta atas konten yang melanggar. 62 Secara garis besar, Sistem hukum internet di Amerika Serikat adalah selfregulatory, dengan mengaplikasikan sistem co-regulatory secara terbatas dalam rangka menjamin menjaga keamanan nasional dan perlindungan atas hak-hak tertentu. b. Jerman Sebelum membahas mekanisme pemblokiran di Jerman secara khusus, ada baiknya melihat tata kelola internet dalam Sistem Uni Eropa. Uni Eropa menggunakan sistem co-regulation dibentuk oleh Directive on Electronic Commerce pada tahun 2002. Sistem ini memberikan tanggung jawab lebih besar kepada penyedia jasa internet, termasuk hak-hak imunitas yang dapat 61

42 USC 13032.

62

DMCA.


Seri Internet dan HAM

dinikmati di Hukum Internet Amerika Serikat. Ketentuan ini menegaskan konsistensi negara Eropa dalam melakukan pembatasan terhadap kebebasan ekspresi yang harus tunduk pada hukum dan aturan tertentu (the rule of law). Termasuk menegaskan adanya intervensi otoritas publik dalam ranah internet.63 Pada tahun 2009, Bundestag (Badan Legislatif Jerman) mengeluarkan Zugangserschwerungsgesetz atau Access Impediment Act sebagai dasar hukum untuk melakukan pembatasan terhadap akses internet khususnya yang bermuatan aktivitas seksual anak kecil atau pornografi anak. Regulasi ini memberikan kewenangan pada Federal Criminal Police Office (Polisi Federal) untuk melakukan pemantauan terhadap daftar situs yang dianggap mendistribusi konten pornografi anak. Kelahiran regulasi dan sistem blokir ini menimbulkan perdebatan termasuk dalam legislatif sendiri. Beberapa pihak meyakini bahwa mekanisme take-down cukup efektif ketimbang harus melakukan pemblokiran. Sehingga di tahun 2011 partai politik yang berkuasa akhirnya menghapuskan regulasi tersebut.64 Pada dasarnya Jerman menggunakan pendekatan horizontal dengan menegaskan definisi terkait regulasi yang termasuk dengan materi atau konten illegal dan berbahaya. Tidak hanya persoalan hukum hak cipta, melainkan juga tindak pidana seperti penghinaan, privasi, ujaran kebencian, penghasutan, pornografi tertentu dan pedofilia. Dalam hal ini, penyedia jasa internet memiliki tanggung jawab untuk melakukan pemantauan terhadap konten yang berada dalam jaringannya tetapi juga harus aktif dalam mencari kegiatan ilegal yang memanfaatkan jaringan mereka.65 Berkaitan dengan pertanggung jawaban, Komisi ini juga membedakan posisi penyedia jasa layanan internet dengan penyedia hosting. Penyedia jasa adalah pihak yang yang menyediakan akses internet kepada pengguna, 63

Eric Brousseau, Meryem Marzouki, Ce´cile Me´adel (eds.), Governance … Op.Cit., hal. 140.

64

Lihat: “German Internet blocking Law to be Withdrawn”, dapat diakses di https://edri.org/ edrigramnumber9-7germany-internet-blocking-law/.

65

Directive on Electronic Commerce, article 15.1.

57


58

Seri Internet dan HAM

sedangkan hosting adalah penyedia jasa yang menyimpan data yang disediakan oleh penyedia konten di server atau jaringanya. Distingsi ini jelas berkontrubusi dalam merumuskan pertanggung jawaban pada pihak terkait. Misalnya penyedia jasa layanan tidak bertanggung jawab atas transmisi informasi berkaitan dengan jaringan internet. Berkenaan dengan aktvitas hosting, Pasal 14 berbunyi: the provider will not be liable for the information stored if it is not aware of the illegal activity and, upon obtaining such knowledge, it acts expeditiously to remove or disable access to the information. Berdasarkan klausul tersebut tersirat bahwa ada mekanisme ‘notice and takedown’ meskipun tidak secara khusus mengatur mekanisme tersebut. 66 Mekanisme penapisan dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan, termasuk kesempatan melakukan banding. Tim Investigator Federal akan membuat daftar situs yang dianggap terlarang. Pada tahun 2010 Jerman mengeluarkan aturan mengenai sensor atau pemblokiran pornografi anak di internet. Protes masyarakat sipil berdatangan ketika investigator mencantumkan situs yang tidak relevan. Selain itu, regulasi di Jerman memberikan ISP kewenangan untuk melakukan intersepsi kepada setiap pengguna yang meminta akses terhadap situs tersebut sekaligus memberikan notifikasi bahwa konten yang diakses adalah ilegal.67 Jika mengacu pada konteks sejarah dan politiknya perihal tragedi genosida yang dilakukan Pemerintah Nazi, upaya pembatasan informasi termasuk dalam ranah online dilakukan pemerintah Jerman menjadi relevan untuk meredam persebaran informasi atau ekspresi yang bernada kebencian atau rasisme. Bahkan inisiatif itu diambil oleh beberapa pemerintah daerah di Jerman dengan melakukan pemblokiran di tingkat regional terhadap alamat IP dari situs yang mengandung informasi terkait rasisme, xenophobia, dan yang berkaitan dengan Nazi.68 66

Eric Brousseau, Meryem Marzouki, Ce´cile Me´adel (eds.), Governance … Op.Cit., hal. 142.

67

Lihat: “Free Expression Vs Social Cohesion”, dalam https://cs.stanford.edu/people/eroberts/ cs181/projects/201011/FreeExpressionVsSocialCohesion/germany_policy.html, diakses pada 2 Oktober 2017.

68

Ibid.


Seri Internet dan HAM

Sehingga pada perkembangannya, Jerman mengarahkan regulasinya untuk melibatkan pertanggungjawaban perusahaan penyedia platform media sosial atau penyedia layanan aplikasi. Saat ini pihak legislator di Jerman sedang merancang undang-undang yang memuat ketentuan denda sebesar $55.8 juta USD kepada penyedia layanan jasa aplikasi yang gagal untuk menghapus konten bermuatan ujaran kebencian, hasutan melakukan kekerasan, atau konten yang dianggap ilegal dalam platform mereka. Regulasi tersebut mewajibkan perusahaan untuk segera menghapus atau menurunkan konten terlarang dalam waktu 1 x 24 jam dengan waktu penilaian konten selama 1 minggu.69 Hal ini sebenarnya juga merupakan perkembangan regulasi di Uni Eropa yang lebih menitikberatkan pertanggungjawaban pada pihak lain termasuk intermediaries. Setelah membuat standarisasi untuk melakukan notice dan take down untuk ISP yang tunduk pada regulasi Uni Eropa, di tahun 2016 sedang dibahas mengenai kewajiban perusahaan penyedia platform media sosial untuk melakukan blokir pada video yang bermuatan promosi tindakan terorisme, hasutan kebencian atau ujaran kebencian.70 c. Tiongkok Arsitektur hukum internet di Tiongkok melegitimasi kewenangan kontrol yang ketat bahkan cenderung membatasi akses internet dengan membangun ‘national portal’ atau gerbang virtual yang dibentuk oleh pemerintah Tiongkok. Dengan gerbang tersebut, pemerintah dapat melakukan penapisan informasi terhadap situs atau konten yang tidak dikehendaki pemerintah untuk dapat diakses masyarakanya, seperti situs hak asasi manusia, atau koran dan jurnal internasional seperti New York Times. Bahkan baik individu dan kelompok tidak diperkenankan untuk 69

Lihat: “Germany wants to fine Facebook over hatespeech, raising fears of censorhip”, dalam https://www.theverge.com/2017/6/23/15852048/germany-hate-speech-facebook-twitter-finecensorship, diakses pada 2 Oktober 2017.

70

Lihat: “EU close to making Facebook, YouTube, and Twitter block hate speech videos”, dalam https://www.theverge.com/2017/5/24/15684168/eu-hate-speech-law-facebook-twitter-youtubevideo, diakses pada 2 Oktober 2017.

59


60

Seri Internet dan HAM

melakukan koneksi langsung pada jaringan internasional karena setiap akses internet dikontrol oleh pemerintah.71 Berdasarkan Undang-Undang Kerahasiaan Negara, setiap orang tetap harus bertanggung jawab atas informasi yang disebarkannya di internet, sekalipun informasi tersebut sudah diperiksa dan disetujui oleh pemerintah. Pemerintah juga mewajibkan pengguna internet dan penyedia jasa layanan untuk memasang sistem manajemen, dan menggunakan aplikasi pesan yang telah diperiksa dan diakui instansi pemerintah. Penyedia layanan jasa dan konten internet memiliki tanggung jawab apabila terjadi kegagalan pemantauan atau pengawasan kegiatan dengan jaringan elektronik yang dilakukan dalam bisnis mereka. Berkaitan dengan investor atau jaringan dari luar Tiongkok, pemerintah memprakrsai Public Pledge of Self-Discipline fot the China Internet Industry pada tahun 2002. Deklarasi tersebut mewajibkan penyedia konten asing untuk memantau informasi yang dipublikasikan pengguna berdasarkan aturan hukumnya dan menghapus informasi yang terlarang dengan segera. Selain itu deklarasi ini juga melarang penyedia konten memberikan tautan kepada pengguna untuk mengakses situs yang mengandungi informasi berbahaya. Seperti yang dilakukan Yahoo!, dari Amerika Serikat yang turut menandatangani perjanjian ini, sehingga dalam operasinya tunduk pada hukum pemerintah Tiongkok termasuk memonitor pesan (Heffernan, 2006). Meskipun demikian tidak jelas apakah perusahaan yang tidak menandatangani janji publik masih diizinkan beroperasi di Tiongkok atau tidak. Pada praktiknya, Tiongkok juga menggunakan mekanisme co-regulation terutama untuk memastikan penyensoran konten internet dengan mengizinkan ISP untuk mengaturnya sendiri. Misalnya dengan metode ini, pemerintah Tiongkok membujuk Google untuk meluncurkan mesin pencari yang disensor berdasarkan aturan nasionalnya (Cheung, 2006: 33). 71

Eric Brousseau, Meryem Marzouki, Ce´cile Me´adel (eds.), Governance ‌ Op.Cit., hal. 147.


Seri Internet dan HAM

d. Australia Regulasi tata kelola internet di Australia terbilang cukup ketat dibandingkan dengan negara-negara lainnya.72 Terlebih karena konstitusi Australia tidak secara eksplisit menjamin adanya kebebasan berpendapat. Dalam Section 51(v) of the document gives Parliament power to ‘‘make laws for the peace, order, and good government of the Commonwealth with respect to: (v) postal, telegraphic, telephonic, and other like services”. Ketentuan ini menjadi dasar bagi pemerintah Australia untuk ‘mengintervensi’ jalur komunikasi masyarakat termasuk dalam membangun institusi untuk memperkuat rezim pembatasan konten internet.73 Berdasarkan ketentuan ini dan Undang-Undang The Broadcasting Services Amendment (Online Services) tahun 1999, pemerintah Australia kemudian membentuk Australian Communications and Media Authority (ACMA). ACMA menjadi institusi pemerintah yang fokus membahas mengenai media dan komunikasi pemerintah Australia, termasuk penyiaran, internet, radio komunikasi dan telekomunikasi.74 Institusi ini juga berwenang mengatur konten internet, khususnya berkaitan dengan penerimaan laporan (complain) dari warga negara terkait konten yang bersifat menyerang (ofensif) dan kaitannya dengan pemberitahuan tindakan take down. Terutama bagi konten internet yang bersumber (hosting) dari Australia, dan apabila Office of Film and Literature Classification juga mengemukakan konten tersebut sebagai materi yang didefinisikan oleh UU Commonwealth Classification 1995 (sebagai Publikasi, Film, atau Computer Games), yang merupakan sistem klasifikasi kooperatif yang disetujui tingkat nasional, negara bagian, dan pemerintahan teritorial.75 72

Roy Jordan, “Free Speech and the Constitution”, dalam http://www.aph.gov.au/LIBRARY/Pubs/ RN/2001-02/02rn42.htm, diakses pada 2 Oktober 2017.

73

Australia and New Zealand Overview, dalam https://opennet.net/sites/opennet.net/files/ ONI_ AustraliaandNewZealand_2010.pdf, diakses pada 2 Oktober 2017.

74

Organizational Structure of ACMA, lihat: http://www.acma.gov.au/Home/theACMA/About/ Corporate/Structure-and-contacts/organisational-structure-acma.

75

Office of Film and Literature Classification, dapat diakses di http://www.ag.gov.au/www/ agd/rwpattach.nsf/VAP/(CFD7369FCAE9B8F32F341DBE097801FF)~60000PB++Guidelines+for+the+Classification+of+Computer+Games+(Amendments+No+1)+(GN+~+Superceded+InstrumentsAMENDNO1GN22.pdf/$file/60000PB++Guidelines+for+the+Classification+of+Computer+Games+(Amendments+No+1)+(GN+~+Superceded+InstrumentsAMENDNO1GN22.pdf.

61


62

Seri Internet dan HAM

Berdasarkan regulasi ini, pemerintah Australia melakukan klasifikasi tingkat dan definisi mengenai konten yang dilarang, sebagai berikut: •

R18: Materi konten yang dianggap mengganggu perkembangan usia remaja, khususnya usia dibawah 18 tahun. Konten ini tidak akan dianggap terlarang apabila pada situs domestik tersebut telah terdapat verifikasi usia oleh ACMA.

X18: Konten yang secara eksplisit menampilkan aktivitas seksual tanpa kekerasan antara orang dewasa yang dilakukan dengan persetujuan. Konten ini dapat menjadi salah satu subjek untuk dilakukan ‘take down’ oleh ACMA apabila konten tersebut berasal dari server domestik.

RC: konten yang memuat ketentuan dalam ‘Refused Classification’ yaitu pornografi anak, fetis, atau deskripsi dan instruksi rinci terkait aktivitas kekerasasan dan kejahatan.

Pada dasarnya standar penyensoran dan pemblokiran ini merupakan sistem yang digunakan untuk melakukan pembatasan terhadap produksi film. Sehingga dalam beberapa kasus, konten yang diizinkan terpublikasi dalam bentuk offline justru dilarang ketika berubah menjadi konten online. Dalam hal mekanisme melakukan take down, ada metode yang berbeda berdasarkan sumber domain lokal atau berasal dari luar Australia. Apabila konten yang dianggap terlarang tersebut berasal dari domain lokal, maka ACMA dapat mengirimkan peringatan kepada penyedia konten internet (Internet Content Provider) untuk melakukan take down. Adapun banding melalui jalur hukum dapat dilakukan apabila dilakukan tanpa ada peringatan terlebih dahulu. Sedangkan untuk konten yang diproduksi dari domain luar, ACMA akan melakukan penilaian apakah konten tersebut masuk dalam kategori yang dilarang atau tidak. ACMA akan memberitahukan daftar produsen Webfilter bersertifikasi untuk memasukkan situs yang dilarang ke dalam filter


Seri Internet dan HAM

mereka. Web-filter bersertifikat ini akan mengeluarkan sertifikasi “Family Friendly Filters”, untuk kemudian situs tersebut harus menghapus atau tidak menampilkan konten terlarang tersebut. Penyedia jasa akan menawarkan “Family Friendly Filter” atau Filter untuk Semua Umur kepada konsumen mereka, tawaran tersebut bukanlah kewajiban sehingga dapat memilih untuk menggunakan jasa tersebut atau tidak. Namun pada perkembangannya, tahun 2007, Menteri Telekomunikasi Australia berupaya memperkuat regulasi “Clean Feed” atau konten yang sehat. Tujuannya, setiap domain lokal diwajibkan untuk menyediakan sistem penapisan ( filtering) internet untuk mencegah konten bermuatan pornografi anak dan materi tidak layak lainnya dalam lingkungan sekolah dan perumahan.76 Bagi pengguna internet yang ingin mengakses materi yang terkategorisasi untuk dewasa, maka harus me-non-aktifkan program penapisan tersebut. Kebijakan program tersebut beriringan dengan pembentukan regulasi yang diinisiasi oleh ACMA mengenai ‘Restricted Access System Declaration pada tahun 2007 yang kemudian diperbaharui tahun 2014. Isi dari deklarasi itu mewajibkan penyedia jasa untuk mengaktifkan sistem verifikasi usia untuk mengakses internet.77 Dari regulasi tersebut tergambar bahwa Australia menerapkan sistem coregulation dalam tata kelola konten internetnya. Dengan menyediakan sejumlah regulasi dan sistem verifikasi usia yang pula melibatkan tanggung jawab pengguna internet78 dalam rangka melindungi generasi muda dari bahaya pornografi anak atau konten kekerasan. e. Singapura Dalam lingkup Asia Tenggara, Singapura dapat dikatakan unggul secara pendapatan ekonomi. Hal ini beriringan dengan dinamisnya persebaran 76

Mereka yang berusaha terhubung dengan situs yang dilarang tersebut akan didenda AUD 11,000 per hari.

77

Lihat: Australian Communication and Media Authority, “Restricted Access Systes Declaration 2014”, dalam https://www.legislation.gov.au/Details/F2014L01757.

78

Section 12, Restricted Access Systems Declaration 2014.

63


64

Seri Internet dan HAM

informasi termasuk perkembangan di sektor teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet. Dengan populasi masyarakat sebesar 5,5 juta orang, pada tahun 2015 angka penetrasi internet di Singapura menapai 82%.79 Meskipun demikian, pemerintah Singapura tetap melakukan kontrol informasi yang diakses masyarakat, salah satunya dengan menerapkan mekanisme pemblokiran atau penapisan konten internet. Sistem sensor di Singapura dilakukan dibawah otoritas Kementerian Informasi khususnya Censorship Section. Alasan pemerintah melakukan pemblokiran adalah untuk melindungi penggunaan media yang bertentangan dengan kepentingan umum atau keamanan negara.80 Adapun mekanisme yang ditawarkan pemerintah Singapura adalah upaya melibatkan masyarakat luas untuk terlibat dalam pemblokiran atau dengan kata lain mempromosikan mekanisme self-regulation dan peningkatan literasi. Sejak tahun 1996, Singapura telah memberlakukan pengaturan terhadap konten internet sebagai salah satu jasa penyiaran melalui Otoritas Penyiaran Singapura (Singapore Broadcasting Authority atau SBA). Namun pada tahun 2001 dibentuk Media Development Authority (MDA) yang menjadi institusi khusus terkait media dalam bentuk yang lebih luas. Dalam hal pemblokiran konten internet, inti dari regulasi Singapura adalah dengan membentuk Skema Lisensi Kelas (Class License Scheme) yang didasari oleh regulasi nasional melalui UU Penyiaran, dengan dukungan adanya kebijakan dan regulasi terhadap industri yang dibentuk oleh MDA. Berdasarkan skema tersebut, seluruh Penyedia Jasa Internet (ISP) dan Penyedia Konten Internet (ICP) memiliki tanggung jawab atas persebaran informasi yang ada di masyarakat melalui mekanisme registrasi oleh MDA. Selain itu, pihak yang sudah terdaftar juga terikat pada Kode Etik Aktivitas Internet yang diterbitkan oleh MDA (MDA’s Internet Code of Practice). Kode Etik tersebut mendefinisikan dengan jelas konten yang dilarang di Singapura, yaitu konten yang mengandung seksual, kekerasan 79

Lihat: https://freedomhouse.org/report/freedom-net/2015/singapore.

80

Lihat: Singapore Review, dalam https://opennet.net/research/profiles/singapore.


Seri Internet dan HAM

dan intoleransi. Adapun proses penapisan tidak dilakukan oleh pihak ISP, melainkan pihak ICP untuk menolak permohonan akses atas materi yang terlarang tersebut. Apabilah pihak ICP dan ISP tidak mematuhi kode etik, maka terdapat sanksi berupa denda atau suspensi, bahkan pencabutan lisensi beroperasi.81 Pada tahun 2005, terdapat situs yang berjudul “Meet Gay Singapore Friends” dijatuhkan denda sebesar USD 5.000$ karena dianggap melanggar kode etik yang telah ditentukan MDA. Pada perkembangannya, pada tahun 2013 MDA juga menerapkan ketentuan pertanggung jawaban bagi perusahaan media sosial sebagai penyedia platform meskipun berbasis user-generated content. MDA mewajibkan para penyedia jasa tersebut turut bertanggung jawab dengan menyediakan teknologi untuk segera menghapus atau menurunkan konten yang dianggap bertentangan dengan hukum di Singapura. Hal ini menimbulkan diskusi penolakan dari Koalisi Internet Asia (Asia Internet Coalition) yang didalamnya tergabung eBay, Facebook dan Google. Kewajiban ini dinilai tidak memiliki dasar yang jelas dan berlebihan. Aturan tersebut dianggap mengganggu bisnis yang bertentangan dengan platform demokrasi mereka.82 f.

Korea Selatan

Hingga kini Korea Selatan merupakan wilayah dengan angka penetrasi internet tertinggi, yaitu sebesar 92,7% dengan jumlah pengguna 43,94 juta penuduk.83 Regulasi terkait pengelolaan konten internet ditemukan tersebar dalam beberapa regulasi. Termasuk sistem penapisan, pemblokiran konten internet bahkan pemidanaan terhadap individu yang memproduksi konten yang dianggap terlarang dalam hukum Korea Selatan. Secara garis besar 81

Lihat: “Prohibited material is material that is objectionable on the grounds of public interest, public morality, public order, public security, national harmony, or is otherwise prohibited by applicable Singapore laws”, dalam http://www.mda.gov.sg/wms.file/mobj/mobj.497.internet_ code.pdf.

82

Lihat: “Singapore Group Representing Facebook Google Expresses Concerns over Licensing Rule”, dalam http://www.todayonline.com/singapore/group-representing-facebook-google-expressesconcerns-over-new-licensing-rule, diakses pada 2 Oktober 2017.

83

Lihat: “Internet Usage in South Korea-Statistics & Fact 2016, dapat diakses di https://www. statista.com/topics/2230/internet-usage-in-south-korea/.

65


66

Seri Internet dan HAM

sistem penyensoran dilakukan dengan alasan keamanan nasional yang dianggap membahayakan budaya masyarakat dan negara. Regulasi pertama yang mengatur mengenai konten internet di Korea Selatan adalah Undang-Undang Keamanan Nasional (National Security Law). Salah satu ketentuan dalam regulasi tersebut adalah mengkriminalisasi pihak atau aktor yang mendukung propaganda Korea Utara atau mendukung ideologi komunis. Peraturan tersebut dinilai sebagai pasal ‘karet’ yang pada tataran implementasi sangat rentan akan kesewenang-wenangan pihak penguasa. Regulasi ini menunjukan adanya kontrol kuat atas media cetak maupun online di Korea Selatan, termasuk individu atau aktivis yang berusaha membahas mengenai pandangan politik di Korea Utara. Dampaknya muncul chilling effect dalam mengekspresikan pandangannya. Regulasi tersebut juga dijadikan dasar Kementerian Informasi dan Komunikasi Korea Selatan untuk menginstruksikan Internet Service Provider (Penyedia Jasa Internet), guna melakukan pemblokiran terhadap 31 situs yang dianggap sebagai media propaganda Korea Utara.84 Sejak tahun 2001, Korea Selatan telah memiliki “Internet Content Filtering Ordinance” atau regulasi yang secara khusus mengatur mengenai tata kelola konten internet termasuk mekanisme penapisan. Kelahiran regulasi ini dinilai kontroversial oleh sejumlah kelompok masyarakat. Berdasarkan beberapa laporan dan berita di media, beberapa ketentuan atau pasal dalam regulasi yang semula ada dalam rancangan undang-undang tahun 2000 akhirnya dihilangkan karena menuai protes keras. Regulasi tersebut setidaknya memuat ketentuan sebagai berikut:85 •

Mewajibkan Penyedia Jasa Internet untuk melakukan pemblokiran berdasarkan daftar situs yang dibuat oleh pemerintah

84

National Security Law of South Korea, Article 7, (unofficial English translation at http://www. kimsoft.com/Korea/nsl-en.htm).

85

Lihat: “Internet Censorship: Law & Policy Around the World”, dapat diakses di https://www.efa. org.au/Issues/Censor/cens3.html#sk.


Seri Internet dan HAM

Mewajibkan penyedia fasilitas akses internet yang dapat diakses generasi muda seperti kafe, perpustakaan public atau sekolah untuk memasang perangkat lunak (software) penapisan

Memperkenalkan sistem penilaian (rating) berdasarkan usia pengguna

Ketentuan tersebut didukung dengan adanya sejumlah regulasi baru dan kebijakan yang mengatur memperluas tanggung jawab dalam tata kelola konten internet di Korea Selatan, salah satunya dengan menerbitkan Undang-Undang Bisnis Telekomunikasi. Dalam regulasi tersebut dijelaskan bahwa aktivitas mentransmisikan konten yang ‘subversif’ dengan kata lain mengancam keamanan publik, ketertiban umum, dan moralitas adalah ilegal.86 Adapun ketentuan tersebut secara eksplesit menyebutkan bahwa konten pornografi, menampilkan orang telanjang (nudity), kekerasan terhadap pihak minoritas, pencemaran nama baik dengan medium internet, kekerasan seksual, dan konten yang mendukung rezim Korea Utara dan anti-militer juga masuk kategorisasi dilarang.87 Dalam praktiknya, Pemerintah Korea Selatan membentuk sejumlah lembaga yang akan melakukan kerja tata kelola konten internet. Pada tahun 2008 Korea Selatan memiliki lembaga yang secara khusus mengontrol media yaitu Korean Communications Committee (KCC). Kemudian terbentuk pula Korean Communications Standards Committee (KCSC), lembaga independen yang secara khusus bertanggungjawab mengenai regulasi konten internet. Selain itu ada Korean Internet Self-Governance Organization (KISO) yang merupakan dewan perwakilan perusahaan Penyedia Jasa Internet di Korea Selatan, termasuk diantaranya Naver, DaumKakao, SK Communications, KT dan Afreeka TV.

86

Undang-Undang Bisnis Telekomunikasi Korea Selatan Pasal 53.

87

Lihat: South Korean Internet Censorship and Regulation, dalam http://seoulbeats.com/2015/08/ south-korean-internet-censorship-and-regulation/.

67


68

Seri Internet dan HAM

KCC ditunjuk pemerintah untuk membuat pedoman terkait konten apa saja yang perlu dipantau. Pemantauan dilakukan oleh KCSC. Hasil temuan pemantauan akan menghasilkan laporan dan permintaan yang diajukan kepada KISO untuk melakukan take down atau pemblokiran – faktanya, permintaan tersebut tidak melalui proses penilaian KISO sehingga hampir keseluruhannya akan diterima. Dalam hal ini, pengguna internet atau masyarakat umum dapat berkontribusi dalam pelaporan konten yang dianggap terlarang dengan melaporkannya langsung KKCSC.


Seri Internet dan HAM

BAB III POTRET TATA KELOLA KONTEN INTERNET DI INDONESIA A.

Evolusi Pembentukan Hukum untuk Mengantur Internet

Pembicaraan mengenai evolusi pembentukan hukum yang mengatur internet di Indonesia, tentu tidak bisa dilepaskan dari perkembangan undang-undang telekomunikasi. Mengingat peraturan perundangundangan terkait teknologi informasi dan komunikasi, yang dibuat setelah munculnya inisiatif penggunaan teknologi internet, belum secara spesifik mengatur perihal teknologi ini. Bahkan pada saat itu, pemerintah Indonesia belum menyiapkan rencana jangka panjang untuk mengembangkan dan memperluas akses internet di Indonesia. Hal ini juga senada dengan beberapa negara lainnya di dunia, yang menjadikan undang-undan telekomunikasi sebagai acuan dalam pengaturan teknologi internet. Contoh saja negara tentangga Filipina, atau bahkan Amerika Serikat. Mula-mula ketentuan yang menjadi rujukan dalam pengaturan internet sebagai sarana komunikasi dan telekomunikasi mengacu pada UU No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi. Undang-undang tersebut menggantikan UU No. 5 Tahun 1964 tentang Penetapan Perppu No. 6 Tahun 1963 tentang Telekomunikasi menjadi Undang-undang, yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kemajuan teknologi di akhir tahun 1980-an. Model dan pendekatan yang diterapkan undang-undang ini sangat monopolistik, anti-kompetisi dan orientasinya lebih ke operator. Pada saat itu negara mengambil posisi sebagai regulator, sekaligus sebagai operator. Penyelenggaraan telekomunikasi diserahkan sepenuhnya, dengan

69


70

Seri Internet dan HAM

pemberian hak eksklusif pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).88 Ketentuan undang-undang yang hadir ketika Orde Baru berkuasa ini masih secara umum mengatur seluruh perangkat telekomunikasi, jadi semua alat yang digunakan dalam suatu komunikasi jarak jauh tunduk pada undangundang ini. Sarananya, baik melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya, termasuk internet, meski tidak eksplisit disebutkan, tunduk pada aturan itu.89 Pada tahun 1996, setelah penggunaan internet mulai marak di beberapa kota, pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan peraturan tentang tarif jasa jaringan internet, melalui Keputusan Menteri Pariwisata dan Telekomunikasi No. KM.59/PR.301/MPT-96. Dalam ketentuan tarif ini diatur beberapa skema tarif, yang meliputi tiga kategori, yakni tarif pendaftaran, tarif berlangganan dan tarif pemakaian. Pada saat itu, internet dipersamakan dengan penyiaran yang sifatnya khusus, sehingga dalam pengaturannya tunduk pada skema aturan yang telah ada di bawah Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Lembaga ini termasuk memiliki otoritas untuk memberikan lisensi bagi pendirian perusahaan penyedia layanan internet (ISP). Sebuah tim yang dibentuk oleh Departemen Pariwisata, Pos dan telekomunikasi, diberikan wewenang khusus untuk melakukan seleksi dan penilaian terhadap setiap pengajuan lisensi, termasuk persetujuan terhadap rencana bisnis dari tiap ISP. Setelah terbentuk, perusahaan ISP berkewajiban untuk melaporkan aktifitas mereka secara reguler dan lisensinya akan ditinjau ulang setiap lima tahun. Setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto, pada tahun 1999 pemerintah Indonesia, di bawah kekuasaan Presiden Habibie, mulai melakukan deregulasi kembali terhadap peraturan perundang-undangan telekomunikasi, dengan melakukan perubahan UU No. 3 Tahun 1989, menjadi UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Namun demikian, proses deregulasi sejatinya tidak lepas dari kelanjutan Letter of Intent 88

Danrivanto Budidjanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran dan Teknologi Informasi-Regulasi dan Konvergensi, (Bandung Refika Aditama, 2010), hal. 37.

89

Lihat Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, 2, dan 3 UU No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi.


Seri Internet dan HAM

antara pemerintah Indonesia dengan IMF, yang ditandatangani tahun 1998. Penekanannya pada upaya meliberalisasi sektor telekomunikasi, dengan struktur yang kompetitif dan meniadakan kendali monopolistik. Secara teknis perubahannya dapat dilihat dari penyelenggara telekomunikasi, dari yang sebelumnya dilakukan pemerintah melalui badan penyelengara, diubah menjadi BUMN, BUMD, swasta, dan koperasi.90 Namun demikian, apabila dilihat ruang lingkupnya, terutama berbicara tentang perangkat yang digunakan, perubahan yang dilakukan sebenarnya tidak lah terlalu signifikan. Undang-undang yang baru ini pun belum secara spesifik berbicara tentang teknologi internet, pemanfaatan dan pengembangannya, apalagi berbicara mengenai konten internet secara khusus. Pengaturan dan pemanfaatan seluruh teknologi dan perangkat telekomunikasi masih ditempatkan dalam kerangka yang umum, serupa dengan undang-undang sebelumnya. Akan tetapi, meski UU Telekomunikasi tidak secara khusus mengatur aspek telekomunikasi dan informasi melalui internet, misalnya pengamanan terhadap pengiriman dan penerimaan pesan melalui internet, menurut Sutan Remy Sjahdeini (2010) internet tetap tercakup di dalamnya. Hal ini menurutunya terlihat dari pengertian komunikasi menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Telekomunikasi, yang menyebutkan: “Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya�. Merujuk pada definisi tersebut, maka setiap pengiriman dan penerimaan pesan melalui internet juga tercakup di dalamnya. Lebih jauh penyelenggara internet hari ini dapat menyalurkan voice over internet protocol (voip), atau telepon internet dari terminal internet atau yang terhubung dengan internet. Dengan demikian ditegaskan Sutan Remy Sjahdeini, UU Telekomunikasi melingkupi pula telekomunikasi melalui internet, secara sifat UU Telekomunikasi sebagai lex generalis, sedangkan UU Internet (UU ITE) lex specialis dari UU Telekomunikasi.91 90

Danrivanto Budidjanto, Hukum Telekomunikasi ‌ Op.Cit., hal. 44-46.

91

Ibid., hal 274-275.

71


72

Seri Internet dan HAM

Bersandar pada UU No. 36 Tahun 1999 tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan pemerintah terkait dengan penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk di dalamnya pengaturan tentang telekomunikasi yang menggunakan internet. Peraturan turunan tersebut salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Menurut peraturan ini, internet digolongkan sebagai jasa multimedia, termasuk di dalamnya voice over internet protocol (VoIP), internet dan intranet, komunikasi data, dan konperensi video. Berikutnya, sejumlah peraturan dikeluarkan dalam rangka mengatur lalu lintas, juga bisnis internet di Indonesia, melalui sejumlah peraturan menteri serta paket peraturan dari pejabat-pejabat terkait. Setelah lahirnya undang-undang ini, pemerintah juga memperkenalkan pembentukan sebuah badan khusus, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang dibentuk pada tahun 2003. Badan ini menjadi ruang pemangku kepentingan majemuk (multistakeholder), yang mempertemukan antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Lahirnya badan ini sebenarnya juga tidak lepas dari keterlibatan Indonesia dengan General Agreement of Trade and Services (GATS), yang antara lain mewajibkan adanya badan regulator independen, dan universal service obligation (USO). Dua kewajiban tersebut merupakan bentuk komitmen dalam rangka pasar yang terbuka (free market access), non-diskriminasi, dan peluang kompetisi. Akan tetapi, melihat posturnya, badan baru ini tidak bisa dikategorikan sebagai badan regulator independen (Independent Regulatory Body—IRB), namun masuk dalam kategori Dependent Regulatory Agency (DRA),92 yang memiliki fungsi regulator, pengawasan, dan pengendalian (regulatory and supervisory agency).93 Jadi sulit untuk kemudian menyamakan dan menyejajarkan antara 92

Menurut Milakovich dan Gordon, secara umum komisi negara (regulatory bodies) dapat dibagi ke dalam dua jenis. Pertama, disebut sebagai dependent regulatory agencies (DRAs). Komisi ini biasanya merupakan bagian dari departemen tertentu dalam pemerintahan, kabinet atau struktur eksekutif lainnya. Kedua, adalah yang masuk kategori independent regulatory boards and commissions (IRCs), yang memiliki perbedaan secara struktural dengan DRAs. Selengkapnya lihat: Michael E. Milakovich dan George J. Gordon, Public Administration in America, Seventh Edition, (USA: Wadsworth and Thomson Learning, 2001), hal. 442.

93

BRTI menyebut dirinya sebagai independent regulatory body (IRB), namun melihat komposisi dan kelembagaannya, badan ini tidak cukup dan tidak tepat untuk ditempatkan sebagai IRB, lihat http://www.brti.or.id/.


Seri Internet dan HAM

BRTI dengan Federal Communication Commission (FCC) di Amerika Serikat, sebuah badan regulator independen yang langsung bertanggungjawab kepada Kongres.

Selain deregulasi UU Telekomunikasi, proses ini juga dilakukan terhadap UU Penyiaran, dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun, kendati pada periode sebelum deregulasi internet dipersamakan dengan penyiaran yang sifatnya khusus, dalam rumusan undang-undang ini, internet juga tidak menjadi bagian yang diatur. Menurut undang-undang ini, “penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran�.94 Pilihan ini berbeda dengan sejumlah negara tetangga seperti Australia dan Singapura, yang justru menggunakan UU Penyiaran sebagai salah satu instrumen untuk mengatur internet. Perkembangan berikutnya, pada tahun 2008 akhirnya pemerintah Indonesia mengundangkan sebuah peraturan baru terkait dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Peraturan perundang-undangan ini mulai disusun setidaknya semenjak tahun 2003. Sebelumnya, pada proses perumusan RUU, dari segi substansi dan penyusun RUU, terdapat dua rancangan yang dihasilkan, yakni RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) dan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (RUU IETE). Dilihat dari materi muatan yang diaturnya, penyusunan kedua RUU tersebut, merupakan respon terhadap perkembangan dunia teknologi informasi, melalui media dunia maya, yang berimplikasi khususnya terhadap dimensi perekonomian dan perdagangan, baik nasional maupun global. Menyadari sifat pentingnya respon hukum terhadap perkembangan teknologi yang mempengaruhi berbagai dimensi 94

Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran.

73


74

Seri Internet dan HAM

kehidupan ekonomi dan sosial tersebut, maka diperlukan pengaturan bidang hukum dunia maya. Terhitung semenjak Maret 2003, Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi mulai merancang RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE).95 Berdasarkan cakupan identifikasi permasalahan yang disusun oleh tim perumus RUU ITE, setidaknya disebutkan lima permasalahan yang mendasari disusunnya RUU ITE yakni mencakup: 1.

Prinsip-prinsip yang akan diterapkan dalam regulasi yang akan dibentuk.

2.

Model pengaturan yang paling tepat digunakan untuk regulasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dalam undang-undang yang akan dibentuk.

3.

Materi muatan yang akan diatur dalam undang-undang

4.

Instrumen-instrumen Internasional yang akan dijadikan acuan dalam undang-undang.

5.

Bentuk-bentuk pelanggaran yang perlu diatur dalam undangundang.

Secara umum uraian dalam naskah akademik menunjukkan spektrum yang cukup luas untuk mengatur hukum dunia maya di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan rujukan-rujukan dalam berbagai instrumen internasional dan praktik hukum di beberapa negara, sebagai landasan wawasan perumusan undang-undang. RUU ITE juga mengatur mengenai posisi dokumen elektronik, informasi elektronik, dan tanda tangan elektronik dalam hukum dan kaitannya dengan aktivitas pemanfaatannya; pelembagaan sistem elektronik dan penyelenggaraan sertifikasi elektronik; aspek-aspek transaksi elektronik; nama domain, HAKI, dan perlindungan hak pribadi; serta pengaturan mengenai peran masyarakat dan peran pemerintah. Intinya, substansi yang diatur dalam pasal-pasal UU ITE hampir 95

Lihat Wahyudi Djafar, dkk, Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR RI Periode 2004-2009, (Jakarta: Elsam: 2012).


Seri Internet dan HAM

keseluruhannya memiliki titik tekan pengaturan yang ditujukan atas eksesekses yang terjadi akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi global bagi dunia perekonomian dan perdagangan. Menurut Danrivanto Budhijanto, dalam konteks pembentukan hukum internet (cyberlaw), pilihan pembentukan UU ITE adalah pilihan yang lebih proporsional, dengan membuat suatu aturan hukum yang lebih berorientasi kepada pengaturan yang pokok-pokoknya saja namun mencakup pengaturan secara keseluruhan (umbrella provisions). Lebih jauh menurutnya, dalam pengaturan dunia maya, setidaknya terdapat dua pendekatan dalam pengaturan: (i) penciptaan hukum-hukum baru dan norma khusus untuk diterapkan di dunia maya; atau (ii) menerapkan hukum yang sudah ada, yang sudah dikenal di dunia nyata pada dunia maya.96 Dengan pendekatan yang proporsionalistik tersebut, Indonesia dinilai mengambil diantaranya, menciptakan hukum baru, tetapi juga tetap menerapkan hukum yang telah ada. Namun demikian, setelah disahkan justru muncul kontroversi dan polemik di publik, merespon kentalnya nuansa pembatasan dalam undang-undang ini. Hal ini menarik jika dikaitkan dengan penjelasan umum dari UU ITE, yang mengatakan bahwa keberlakuan UU ITE merupakan sinergi dari tiga pendekatan, yakni pendekatan hukum, pendekatan teknologi, dan pendekatan sosial-budaya-etika. Dalam pendekatan sosial-budaya dan etika, salah satunya disebutkan pertimbangan mengenai perlunya memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia, dalam hal pemanfaatan teknologi informasi. Konteks ini menjadi menarik karena ujung pangkal dari landasan pertimbangan tersebutlah yang memunculkan beberapa pasal kontroversial yang dimuat dalam UU ITE, khususnya yang terkait dengan konten internet. Dalam perkembangannya kemudian, pada 2016 terjadi proses perubahan terhadap dengan undang-undang ini, dan disahkan menjadi UU No. 19 Tahun 2016, yang salah satunya mengatur tentang kewenangan pemerintah untuk membatasi akses atau distribusi konten internet yang dinilai melanggar hukum (illegal content). 96

Danrivanto Budidjanto, Hukum Telekomunikasi ‌ Op.Cit., hal. 281.

75


76

Seri Internet dan HAM

B.

Leksikon Kebijakan Tata Kelola Konten Internet

Pada bagian pendahuluan tulisan ini telah diidentifikasi sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang kurang lebih bisa menjadi rujukan dalam pengaturan konten, baik offline maupuan online. Setelah lahirnya UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, sebagi bagian dari langkah keterbukaan dan demokratisasi, negara kemudian melahirkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Melalui undang-undang ini negara mencoba secara khusus mengatur (secara independen) tentang konten pers, baik secara offline, maupuan dalam perkembangannya kemudian diterapkan terhadap pers online, dengan penciptaan panduan media siber. Artinya, UU Pers mencoba mengikuti pendekatan bahwa aturan yang telah ada dan berlaku di dunia nyata, bisa secara langsung diterapkan terhadap konten pers di dunia online. Meski dalam implementasinya tentu banyak tantangan dan kerumitan. Pun demikian dengan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang mencoba menempatkan diri untuk mengatur seluruh lini penyiaran, baik analog mapun digital, tanpa secara khusus membedakan rumusan hukumnya. Membaca undang-undang ini, yang menarik adalah terkait dengan definisi “siaran�, jika dikomparasikan dengan cakupan ruang lingkup konten internet. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran, yang dimaksud dengan siaran adalah “pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran�. Rumusan tersebut sesungguhnya dapat mengakomodasi juga konten-konten internet atau digital, sebagai salah satu bentuk siaran, kendati dengan karakteristik yang tentunya lebih rumit, karena menghibridasi beberapa bentuk siaran sekaligus. Sementara UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sendiri mempersamakan atau menempatkan pengertian internet setara dengan pengertian dan definisi informasi elektronik menurut undangundang ini. Logika ini berangkat dari tujuan pembentukan UU ITE sendiri,


Seri Internet dan HAM

yang menurut pembentuknya secara khusus dihadirkan untuk mengatur internet (cyberlaw), sehingga internet disejajarkan dengan sistem elektronik menurut undang-undang ini, oleh karenanya informasi elektronik berarti pula konten internet.97 Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU ITE, menyebutkan bahwa informasi elektronik adalah “satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya”. Jadi sebenarnya, hampir seluruh data elektronik dalam beragam bentuk maupun variannya, menurut undang-undang ini, masuk kualifikasi sebagai konten internet. Sedangkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang hadir setelah UU ITE, mengambil gagasan yang kurang lebih sama dengan UU Pers dan UU Penyiaran, dengan tidak membedakan antara informasi yang sifatnya offline dan informasi online. Hal ini nampak dari penegasan definisi mengenai informasi secara jelas menyebutkan tiadanya pembedaan antara yang elektronik dan non-elektronik. Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU KIP, menyebutkan bahwa informasi adalah “keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non-elektronik”. Penjelasan definisi tersebut seperti memberi penegasan bahwa dalam konteks informasi publik, tidak ada pembedaan antara konten offline dengan konten internet, hukumnya berlaku sama, dengan prosedur penanganan yang serupa pula. Definisi yang lebih abstrak diberikan oleh UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa film adalah “karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media 97

Penjelasan pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dalam FGD yang diselenggarakan ELSAM pada 13 Oktober 2017, di Jakarta.

77


78

Seri Internet dan HAM

komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan�. Definisi ini tidak memberikan penjelasan secara detail mengenai format dari suatu film, kategorinya analog atau digital. Tetapi lebih menempatkan film dalam posisi besarnya sebagai budaya, pranata sosial, dan media komunikasi massa. Dalam undang-undang ini, format atau medium justru lebih dikaitkan dengan cara pembuatan film, yang menurut Pasal 18 pembuatan film dapat dilakukan dengan teknologi analog, digital, atau teknologi tertentu dan direkam pada: pita seluloid, pita video, cakram optik, atau bahan lainnya. Menarik untuk kemudian membuat komparasi definisi dari kelima undang-undang di atas, untuk selanjutnya dapat menjadi rujukan dalam menentukan batasan cakupan ruang lingkup mengenai konten internet di Indonesia. TELEKOMUNIKASI Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.

PERS Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

SIARAN Siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.

INFORMASI ELEKTRONIK Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

INFORMASI PUBLIK Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.

FILM Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan.


Seri Internet dan HAM

Perbandingan definisi di atas, selain memperlihatkan cakupan ruang lingkup dari tiap-tiap sektor atau bidang, juga menjelaskan pandangan dari tiap-tiap sektor terhadap medium baru teknologi informasi dan komunikasi. Dalam menempatkan internet umumnya menggunakan model akomodasi, artinya internet ditempatkan sebagai bagian dari yang dikenakan aturan, tanpa melakukan pembedaan antara offline dengan online. Sedangkan dari model regulasinya, juga memperlihatkan pendekatan yang beragam. UU Pers memilih pendekatan yang lebih swa-regulasi (self regulation), artinya meski diciptakan undang-undang yang mengatur pers, tetapi pers memiliki mekanisme kode etik sendiri untuk mengatur dirinya, tanpa campur tangan dari pemerintah. Sementara UU Telekomunikasi, UU Keterbukaan Informasi Publik, UU Penyiaran, dan UU Perfilman, memilih mendekatan yang lebih co-regulasi (co-regulation), dengan mengikutsertakan sejumlah stakeholder dalam pengaturannya. Sedangkan UU ITE, jika melihat model dan postur pengaturannya, justru menunjukan pola state-centric (direct regulation), yang menempatkan pemerintah sebagai otoritas tunggal dalam pengaturan internet, termasuk dalam pembentukan regulasi, pengawasan, maupun pengendalian. Kecenderungan itu juga dapat dilihat dari mandat pembentukan badan regulator independen (Independent Regulatory Body), dari tiap undangundang. Hampir semua undang-undang (UU Telekomunkasi, UU Pers, UU Penyiaran, UU UU Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Film) memberikan mandate pembentukan sebuah badan independen, yang berfungsi sebagai regulator, pengawas, dan pengendali. Sedangkan UU ITE justru memberikan seluruh mandat dalam pembentukan regulasi dan pengawasan kepada pemerintah.

79


80

Seri Internet dan HAM

UU TELEKOMUNIKASI

BADAN REGULASI TELEKOMUNIKASI (DRB)

UU PERS

DEWAN PERS (IRB)

UU PENYIARAN

KOMISI PENYIARAN INDONESIA (IRB)

UU ITE

PEMERINTAH (EXECUTIVE)

UU KIP

KOMISI INFORMASI (IRB)

UU FILM

LEMBAGA SENSOR FILM (IRB)

Berikut terkait dengan pembatasan konten, baik offline maupun online, pengaturan mengenai pembatasan informasi yang dilarang sudah ada, bahkan sebelum era digital, yang terlihat dari sejumlah larangan penyebaran informasi tertentu di dalam KUHP. Pada perkembangannya, materi muatan tertentu diatur lebih rinci dan khusus ke dalam peraturan perundangundangan. Sehingga pengaturan konten atau informasi di Indonesia tersebar dalam beberapa undang-undang dengan pokok pembahasan yang berbeda, sebagai berikut: 1.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2.

Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi)

3.

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers)

4.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran (UU Penyiaran)


Seri Internet dan HAM

5.

Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah dengan No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

6.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

7.

Undang-Undang No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi)

8.

Undang-Undang No 17 tahun 2011 Intelijen Negara (UU Intelijen Negara)

9.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta)

10. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19 Tahun 2014 tentang Penangan Situs-Situs Internet Bermuatan Negatif (Permenkominfo Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif ) Identifikasi regulasi ini harapannya dapat membantu dalam proses perumusan mengenai kategorisasi konten-konten internet apa saja yang masuk dalam kualifikasi negatif, berbahaya, atau dilarang karena melanggar hukum (illegal content). Harmonisasi dengan sejumlah peraturan yang mengatur pembatasan konten (offline), dapat menjadi acuan adanya kesamaan standar antara offline dengan online, sehingga tidak tumpang tindih antar-keduanya. 1.

Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Perihal pembatasan informasi dalam KUHP terutang dalam beberapa pasal yang menjadi dasar lahirnya beberapa regulasi setingkat undang-undang yang secara khusus membahas mengenai pasal tersebut. Secara umum, muatan pasal tersebut mencoba mengklasifikasikan informasi yang dilarang untuk dapat dikonsumsi secara publik atau bukan. Mulai dari larangan terkait pasal makar, tindakan asusila, penghinaan, dan ujaran kebencian.

81


82

Seri Internet dan HAM

Misalnya dalam Bab I tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, tertauang dalam Pasal 113 disebutkan bahwa adanya larangan bagi pihak yang dengan sengaja untuk seluruhnya atau sebagian mengumumkan atau memberitahukan, maupun menyerahkan kepada orang yang tidak berwenang mengetahui, surat, peta, rencana, gambit atau benda yang bersifat rahasia dan bersangkutan dengan pertahanan atau keamanan Indonesia terhadap serangan dari luar, yang ada padanya atau yang isi dan bentuknya atau sususnannya benda-benda itu diketahui olehnya diancam pidana penjara paling lama empat tahun.98 Bahkan dalam ayat kedua diatur mengenai pemberat hukum pidana atas tindakan tersebut apabila informasi tersebut didapat dengan usaha pencarian maka pidananya dapat ditambah sepertiga. Selain itu dalam Pasal 114 juga diatur mengenai kesalahan bagi setiap orang yang menyebabkan surat-surat benda rahasia yang dimaksud dalam Pasal 113 harus disimpan dan menaruh tetapi justru diketahui susunan atau seluruh atau sebagian oleh umum atau dikuasai oleh orang lain yang tidak berwenang mengetahuinya maka dapat diancam pidana paling lama satu tahun enam bukan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupiah.99 Selanjutnya dalam Pasal 160 dan 161 juga terdapat ketentuan larangan untuk menyebarkan informasi yang menghasut supaya khalayak publik yang membaca atau melihat informasi tersebut melakukan delik atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan undang-undang. Selain kejahatan terhadap keamanan negara, terdapat larangan untuk menyebarkan informasi terkait pelanggaran asusila dalam KUHP. Bahkan dalam Pasal 282 dan 283 KUHP diatur mengenai pidana terkait pihak yang memproduksi, menyebarkan, atau menunjukkan kepada pihak lain secara terus menerus. Pasal 282 KUHP menyatakan bahwa barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau 98

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 113.

99

Ibid., Pasal 114.


Seri Internet dan HAM

ditempelkan di muka umum, membuat tulisan, gambar atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarnnya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa seara terangterangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.100 Dalam ayat (2) pasal 282 KUHP juga berisikan larangan yang serupa namun berbeda mengenai kesadaran pelaku apakah konten atau materi yang disebarkan diduga bermuatan asusila. Sedangkan dalam pasal 283 KUHP adalah larangan serupa untuk pihak yang dengan sengaja menawarkan dan memberikan terus menerus tulisan, gambar atau benda dengan materi muatan asusila.101 Termasuk apabila hal itu dilakukan kepada orang yang belum dewasa.102 Kategori informasi yang patut dibatasi menurut KUHP adalah yang bermuatan ujaran kebencian sebagaimana diatur dalam bab V sebagai Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Seperti yang tertulis dalam Pasal 155, terdapat larangan untuk menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap Pemerintah Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh umum. Atas tindakan tersebut pelaku dapat diancam pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan. Selain itu dalam pasal 157 juga terdapat larangan untuk menyebarkan informasi baik dalam bentuk tulisan atau lukisan di muka umum yang isinya memuat pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia (hate speech).103 100 Ibid., Pasal 282. 101 Materi asusila dalam Pasal 283 adalah pelanggaran asusila yang disebutkan dalam Pasal 282 dan materi terikait benda yang melanggar kesusilaan, maupun alat untuk mencegah atau menggugurkan kehamilan kepada seorang yang belum dewasa. 102 KUHP Pasal 283 ayat (2). 103 KUHP, Pasal 157 ayat (1).

83


84

Seri Internet dan HAM

Informasi yang pula dilarang KUHP adalah yang bermuatan dengan Pasal Penghinaan. Pada dasarnya KUHP melarang adanya tindakan pencemaran nama baik.104 Berdasarkan pasal 310 ayat (2), apabila pencemaran nama baik dilakukan denga tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum maka ancaman pidananya menjadi paling lama satu tahun empat bulan. Termasuk dalam tindak pidana penghinaan atau mencemarkan orang yang sudah mati, maka dapat diancam pidana paling lama satu bulan dua minggu. Beberapa bentuk kejahatan dalam KUHP menjadi dasar pembentukan undang-undang secara khusus yang memuat aturan pidana, seperti UU Pornografi dan UU ITE. Pada praktiknya beberapa unsur menjadi sumir. Salah satunya unsur ‘dapat diketahui umum’ dalam KUHP apakah bisa ditafsirkan pula termasuk di dalamnya persebaran melalui medium internet. Sedangakan secara khusus terdapat UU ITE yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang dalam aktivitas di internet, namun memuat ancaman pidana yang lebih tinggi. 2.

Undang-Undang Telekomunikasi

Sebenarnya UU Telekomunikasi dibentuk untuk menanggapi percepatan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi, sehingga dirasa perlu untuk mengadakan penataan kembali penyelanggaraan telekomunikasi nasional. Poin utama dalam regulasi ini adalah pemberian tanggung jawab bagi pihak swasta yang semakin meningkat dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan penataan infrastruktur jasa telekomunikasi sehingga hak dan kebutuhan masyarakat akan hak berkomunikasi tetap terlindungi. Telekomunikasi sendiri didefinisikan sebagai setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optic, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya.105 Dari definisi 104 KUHP, Pasal 310 ayat (1) Pencemaran nama baik adalah serangan kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya dapat diketahui umum. Apabila hal itu dilakukan demi kepentingan um atau karena terpaksa untuk membela diri. 105

UU Telekomunikasi No. 36/1999, Pasal 1 poin (1).


Seri Internet dan HAM

tersebut dapat diartikan bahwa konten atau informasi yang dimaksud adalah dalam bentuk tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi yang disalurkan melalui sistem kawat dan elektromagnetik lainnya. Secara umum, UU Telekomunikasi lebih khusus mengatur mengenai teknis hak dan kewajiban serta ketentuan penyelenggaraan komunikasi termasuk para pihak swasta. Meskipun demikian terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai perlindungan konten atau informasi dan larangan bagi pihak penyelenggara telekomunikasi. Misalnya dalam Pasal 20 disebutkan bahwa penyelenggara telekomunikasi wajib untuk memberikan priotitas untuk pengiriman dan penyampaian informasi yang menyangkut: keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda, bencana alam, marabahaya, wabah penyakit. Dalam penjelasannya, pengiriman informasi ini dilanjutkan dengan kegiatan penyaluran dan diakhiri penyampaian informasi untuk pihak penerima yang dituju. Adapun yang dimaksud dengan prioritas pengiriman akan ditetapkan pemerintah, antara lain berita tentang musibah. Selain itu, terdapat pasal yang ditujukan untuk melindungi konten atau informasi yang disalurkan melalui jasa telekomunikasi khususnya terkait dengan perlindungan atas praktik penyadapan. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun.106 Pasalnya informasi tersebut adalah hak pribadi yang harus dilindungi, termasuk bagi pihak penyelenggara jasa telekomunikasi, kecuali untuk kepentingan penyidikan yang diatur dalam undang-undang tertentu. Selain pasal perlindungan terhadap informasi tertentu, terdapat pasal yang dapat ditafsirkan sebagai upaya pembatasan terhadap informasi tertentu yang dianggap dilarang undang-undang. Salah satunya dituangkan dalam ketentuan yang mewajibkan pengguna telekomunikasi untuk memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam penikmatan jasa.107 Sedangkan untuk pihak penyelanggara jasa, dalam 106

Ibid., Pasal 40.

107

Ibid., Pasal 14.

85


86

Seri Internet dan HAM

Pasal 21 disebutkan bahwa pihak penyelenggara dilarang melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum. Meskipun demikian tidak dijelaskan lebih rinci terkait kegiatan usaha yang dapat bertentangan dengan hal-hal yang dilarang tersebut. Namun pemerintah dapat melakukan penghentian kegiatan usaha penyelenggara telekomunikasi.108 3.

Undang-Undang Pers

Pasca reformasi, kebebasan Pers di Indonesia menjadi pilar utama yang menunjang negara demokrasi. Distribusi informasi dan penyampaian pendapat dan pikiran menjadi poin penting yang dilindungi hukum setelah lebih dari 30 tahun hidup dalam pemerintahan Orde Baru yang diktaktorian. Memberikan perlindungan khusus bagi kebebasan pers diharapakan mampu meningkatkan wahana komunikasi massa sebagai penyebar informasi dan pembentuk opini melalui pers nasional. Hal ini yang kemudian melahirkan UU Pers. Berdasarkan regulasi ini, objek dari kegiatan jurnalistik adalah informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik dalam bentuk lainnya yang menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.109 Jenis saluran yang tersedia dalam ketentuan ini dapat ditafsirkan termasuk jaringan internet sebagai medium penyebaran informasi atau berita. Dalam UU ini ditegaskan bahwa pihak penyedia konten adalah jurnalis melalui perusahaan pers baik media cetak dan elektronik yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan, menyiarkan dan menyalurkan informasi. Regulasi ini menegaskan adanya Kode Etik dan peran Dewan Pers sebagai salah satu bentuk pengendalian konten yang diproduksi jurnalis. Kode Etik adalah himpunan etika profesi kewartawanan.110 Kode Etik menjadi semacam panduan dalam melakukan swa-sensor atau self-sensorship bagi jurnalis dalam memproduksi konten. Tidak hanya dalam bentuk 108

Ibid., Pasal 21.

109

Pasal 1 poin (1) UU Pers.

110 Pasal 1 poin (14) UU Pers.


Seri Internet dan HAM

memproduksi konten dengan isu tertentu, kode etik menjadi panduan tindakan jurnalistik dalam menjalankan profesinya. Sedangkan Dewan Pers menjadi pihak otoritas yang memiliki kewenangan untuk menetapkan isi Kode Etik, sekaligus menjalankan peran kontrol dalam implementasi Kode Etik kegiatan jurnalistik di Indonesia. Kedua elemen ini dapat dikatakan sebagai upaya dalam membangun integritas jurnalistik yang profesional. Dalam Kode Etik Jurnalis disebutkan sejumlah informasi yang dilarang untuk ditayangkan sebagai produk jurnalistik. Dalam pasal 4 Kode Etik Jurnalistik Indonesia disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis dan cabul.111 Selain itu produk jurnalistik juga dilarang untuk menampilkan identitas korban kejahatan susila dengan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.112 Dalam Pasal 8 juga dituliskan bahwa produk jurnalistik tidak boleh menyiarkan berita bernada diskriminatif atas dasar perbedaan SARA, jenis kelamin dan bahasa, termasuk kelompok marjinal dan difabel. Selain mengenal adanya mekanisme swa-sensor, dalam UU Pers juga menyebutkan praktik sensor yang dilakukan oleh pihak lain. UU Pers jelas melarang adanya praktik sensor dan pembredelan dalam kerja jurnalistik. Kedua praktik penyensoran dan pembredelan adalah langkah kemunduran demokrasi yang melanggar hak asasi manusia dalam mengakses informasi dan kebebasan pers itu sendiri. Namun regulasi ini berusaha mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kedua tindakan tersebut. Dalam bagian Ketentuan Umum pasal 1 poin ke (8) disebutkan “Penyensoran adalah penghapusan secara paksa atau sebagian atau seluruh materi informasi yang akan diterbitkan atau disiarkan, atau tindakan teguran atau peringatan yang bersifat mengancam dari pihak manapun, dan atau kewajiban melapor, serta memperoleh izin dari pihak berwajib, dalam pelaksanaan kegiatan jurnalistik.� Sedangkan poin ke 111 Pasal 4 Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers. 112 Ibid., Pasal 5.

87


88

Seri Internet dan HAM

(9) mendefiniskan pembredelan adalah pelarangan penyiaran adalah penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Dalam kedua definisi tersebut dapat terlihat unsur-usur bentuk tindakan sensor yaitu adanya tindakan penghapusan, pelarangan siaran dan penghentian peredaran informasi yang dilakukan secara paksa yang dilakukan oleh pihak diluar penyedia konten dan layanan aplikasi (dalam konteks ini perusahaan pers dan kantor berita dapat diidentifikasikan sebagai layanan aplikasi). Dalam konteks UU Pers, ruang lingkup sensor sangat parsial dan spesifik pada kerja jurnalistik. Pertama, wilayah jangkauan peredaran informasi fokus pada yurisdiksi tingkat nasional media cetak dan siaran (peredaran informasi lintas batas mungkin dilakukan meski jumlahnya sangat terbatas dan tidak secara terus menerus). Kedua, aktor dalam aktivitas jurnalistik profesional terbatas, yaitu jurnalis sebagai pencari, pengolah dan penyebar informasi. Oleh karena cukup mudahnya identifikasi pihak penyedia jasa, maka kode etik sebagai panduan melakukan swa-sensor sangat tepat. Hal ini terlihat dari perkembangan persebaran informasi termasuk karya jurnalistik dalam era digital internet. Berkaitan dengan kelahiran dan penggunaan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia yang problematik, Dewan Pers akhirnya membuat nota kesepahaman dengan Kepolisian Republik Indonesia mengenai penanganan terlapor UU ITE113 yang melibatkan media jurnalistik profesional. Keterlibatan Dewan Pers sebagai otoritas kontrol dalam kerja jurnalistik mengambil bagian dari Kewenangan itu menunjukkan adanya mekanisme kontrol yang dilakukan Dewan Pers terkait dengan persebaran informasi.

113

Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) antara Dewan Pers dan Polri terkait implementasi UU ITE.


Seri Internet dan HAM

4.

Undang-Undang Penyiaran

Pada perkembangannya arah regulasi penyiaran di Indonesia mengalami perubahan terkait kepemilikan maupun kontrol terhadap frekuensi yang dianggap publik, tanpa ada spesifikasi pengaturan atau pertimbangan terkait konten. Hanya saja dinamika pihak atau aktor yang memegang kontrol, jelas akan berkontribusi dalam konten siar termasuk proses penyensorannya. Peralihan regulasi penyiaran dari UU No. 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran menjadi UU No. 32 Tahun 2002 adalah perihal intervensi negara dalam proses penyiaran. UU yang lama dianggap tak memumpuni dan sulit dilaksanakan karena memberikan kewenangan kepada Menteri Penerangan, dimana pada masa itu Departemen Penerangan sudah dibubarkan. Sehingga terdapat kekosongan hukum terutama perihal kelembagaan dalam menjalankan pelaksanaannya. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi alasan utama pemerintah Indonesia turut terlibat dalam pengaturan frekuensi penyiaran. Pertama, spektrum frekuensi radio dan televisi dianggap sebagai sumber daya terbatas yang merupakan kekayaan nasional sebagai ranah publik, sehingga harus dijaga dan dilindungi supaya dapat berfungsi optimal untuk rakyat. Salah satunya dengan mengembangkan sistem penyiaran nasional dengan mempertimbangkan aspek otonomi daerah, pemerintah dan pihak diluar negara atau pelibatan swasta.114 Kedua, pemerintah Indonesia melihat lembaga penyiaran merupakan media komunikasi massa yang memiliki peran penting dalam kehidupan sosial. Berimplikasi pada perkembangan budaya, politik dan ekonomi. Sehingga lembaga penyiaran harus turun bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan termasuk kontrol dan perekat sosial.

114 Naskah pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyiaran.

89


90

Seri Internet dan HAM

Selain itu, siaran yang dipancarkan dan diterima secara bersamaan secara bebas, memiliki pengaruh besar dalam pembentukan sikap dan khalayak publik. Pemerintah menilai bahwa penyelenggara penyiaran wajib bertanggung jawab dalam menjaga nilai moral, tata susila, budaya, kepribadian dan kesatuan bangsa.115 Kehadiran UU Pers dan UU Telekomunikasi dinilai belum memberikan payung hukum terkait media penyiaran seperti televisi, radio, internet dan jaringan lainnya.116 Adapun fokus UU Telekomunikasi hanya mengatur aspek-aspek infrastruktur dan ekonomi, tanpa memberikan porsi besar terhadap pemanfaatan media penyiaran sebagai komunikasi media publik. Sehingga poin penting dalam ide RUU Penyiaran adalah media penyiaran sebagai aktor penting dalam persebaran informasi dan menjadi kepentingan publik. UU Penyiaran mendefinisikan konten siaran sebagai pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.117 Dalam poin (2) dijelaskan penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat.118 Adapun isi dari siaran yang dimaksud dalam UU ini adalah penyiaran radio, televisi, siaran iklan atau informasi yang bersifat komersial atau layanan masyarakat, dan iklan niaga.119 Dari pengertian tersebut terdapat dua unsur penting terkait bentuk siaran dan perangkat penerima siaran. 115 Konsideran UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 116 Bambang Sadono dalam Penjelasan Pengusul UU Inisiatif Tentang Penyiaran, lihat: Risalah UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 117 UU Penyiaran, Pasal 1 poin (1). 118 Ibid., Pasal 1 poin (2). 119 Ibid.


Seri Internet dan HAM

Dengan latar belakang dan tujuan optimalisasi peran media penyiaran yang diuraikan dalam penjelasan rancangan regulasi, UU Penyiaran memberikan konteks ruang lingkup konten penyiaran dalam bab tersendiri mengenai penyelenggaran penyiaran. Pasal 35 menjelaskan pada hakikatnya, isi siaran harus sesuai dengan asas, tujuan, fungsi serta arah siaran yang dimandatkan UU Penyiaran.120 Isi siaran atau konten penyiaran harus mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa guna menjaga persatuan dan kesatuan yang mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Selain itu, konten siaran harus memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja. Caranya adalah dengan menyiarkan acara atau program dengan konten bermanfaat sesuai dengan waktu yang tepat. Lembaga penyiaran dibebani tanggung jawab untuk mencantumkan atau menyebutkan klasifikasi siaran atau konten layak konsumsi anak dengan menyebutkan klasifikasi. Adapun secara eksplisit dalam pasal 36 disebutkan materi atau siaran yang dilarang yaitu:121 1.

Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong

2.

Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalah-gunaan narkotika dan obat terlarang; atau

3.

Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan

4.

Memperolok, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Selain pasal 36 ini juga disebutkan adanya pedoman perilaku penyiaran yang akan diterbitkan oleh badan independen di luar eksekutif dan yudikatif untuk membantu mengontrol pelaksanaan penyiaran di Indonesia yaitu 120 Asas, Tujuan, Fungsi dan Arah Siaran disebutkan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Penyiaran. 121

Ibid., Pasal 36.

91


92

Seri Internet dan HAM

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI dibentuk di tingkat pusat dan daerah berdasarkan tingkat provinsi. Adapun kerja KPI diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi). Kehadiran perwakilan daerah adalah untuk mengembangkan potensial siaran yang di daerah sehingga tidak terfokus di pusat. Berkaitan dengan kewenangan KPI dalam membentuk pedoman perilaku penyiaran, pasal 48 menyebutkan bahwa Pedoman Perilaku Penyiaran harus meliputi standar isi siaran yang berkaitan dengan : a) rasa hormat terhadap pandangan keagamaan; b) rasa hormat terhadap hal pribadi; c) kesopanan dan kesusilaan; d)pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme; e) perlindungan terhadap anak-anak, remaha, dan perempuan; f )penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak; g)penyiaran program dalam bahasa asing; h) ketepatan dan kenetralan program berita; i) siaran langsung; dan j) siaran iklan. Kode etik Penyiaran ini menjadi bagi lembaga penyiaran dalam memproduksi konten siaran. Mekanisme tersebut menegaskan bahwa sensor terhadap pelaksanaan penyiaran di Indonesia dilakukan secara internal oleh Lembaga Penyiaran Berlangganan yang telah mendapat izin siar dari KPI. Adapun pedoman etik penyiaran merupakan tanggung jawab KPI dengan pertimbangan dasar hukum dan nilai yang berlaku di masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, UU Penyiaran terkini belum mencakup penyelenggaran penyiaran berbasiskan koneksi internet yang sedang marak di kota besar, seperti layanan oleh First Media, Indovision, IndieHome, atau yang lainnya. Beberapa materi atau isi siaran adalah hasil produksi penyelenggara penyiaran konvensional yang kemudian disiarkan dengan jaringan internet. Sehingga menjadi pertanyaan terkait tanggung jawab kontrol terkait siaran tersebut adalah KPI atau pihak penyelenggara jasa internet.


Seri Internet dan HAM

5.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Tidak ada perubahan signifikan yang memperjelas definisi konten internet yang terlarang dan mekanisme pemblokirannya dalam UU ITE terbaru yang merupakan hasil revisi UU ITE no. 11 tahun 2008. Padahal Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dianggap sebagai tonggak regulasi yang memuat kebijakan tata kelola internet di Indonesia guna menjawab tantangan globalisasi informasi dalam era internet. Salah satunya mengenai kewenangan pemerintah dalam melakukan pembatasan terhadap akses informasi yang tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Adapun istilah konten internet dalam UU ITE disebut sebagai informasi elektronik yang tercantum dalam pasal 1 poin (1) dengan bunyi satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (email), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya dalam bentuk huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Namun, konsep‘elektronik’ dalam istilah ini tidak dijelaskan lebih lanjut dalam undang-undang ini. Dalam sebuah diskusi terfokus yang dilaksanakan ELSAM dengan pemangku kepentingan terkait, perwakilan dari Kementerian Informasi dan Telematika menyebutkan ‘elektronik’ dalam istilah ini adalah mengenai medium listrik yang terkoneksi sehingga membuat informasi tersebut digunakan atau diakses oleh pengguna akhir.122 Adapun mengenai definisi konten ilegal atau dilarang juga tidak dijelaskan secara eksplisit. Ketentuan yang paling memiliki irisan untuk memenuhi konsep itu ada pada bab “Perbuatan yang Dilarang”, yang tercantum dalam Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE. Berdasarkan ketiga pasal tersebut, konten-konten yang dilarang beredar di internet meliputi: (i) Konten yang dianggap melanggar kesusilaan; (ii) Konten yang mengandung 122 Disampaikan oleh Kepala Bidang Hukum Ditjen Aptika, Kemenkominfo dalam Diskusi Kelompok Terfokus yang diselenggarakan ELSAM pada bulan September tahun 2017 di Jakarta.

93


94

Seri Internet dan HAM

muatan perjudian; (iii) Konten yang memuat unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; (iv) Konten yang mengandung unsur pemerasan dan/atau pengancaman; (v) Konten yang menyebarkan berita bohong sehingga menimbulkan kerugian konsumen; (vi) Konten yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA; dan (vii) Konten yang mengandung muatan ancaman kekerasan.123 Kewenangan pemerintah dalam melakukan pembatasan akses informasi elektronik dinyatakan dalam Pasal 40 ayat (2), ayat (2a), dan ayat (2b). Tindakan tersebut berlandaskan pada upaya pemerintah dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi dan Transaksi Elektronik.124 Sehingga pemerintah diwajibkan untuk melakukan pencegahan penyerbarluasan atas informasi elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.125 Salah satunya dengan kewenangan untuk memutus akses dan atau memerintahkan kepada penyelenggara Sistem Elektronik126 untuk memutus akses terhadap informasi yang memiliki muatan yang melanggar hukum. Selain untuk melindungi kepentingan umum dalam penyalahgunaan informasi elektronik, kewenangan melakukan pemutusan akses informasi juga dapat dilakukan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah. Kewenangan ini dimaksud untuk menjalankan proses hukum acara pidana khususnya penyidikan tindak pidana di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.127 Dalam menjalankan tanggung jawab tersebut, 123 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 27-29. 124 Ibid., Pasal 40 ayat (2) UU ITE. 125 Ibid., Pasal 40 ayat (2a) UU ITE. 126 Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersamasama kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Lihat PP No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik, Pasal 1 angka 4. 127 Pasal 43 ayat (1) UU ITE.


Seri Internet dan HAM

penyidik berwenang untuk membuat suatu data dan/atau sistem elektronik yang terkait tindak pidana tidak dapat diakses.128 Membuat ‘tidak dapat diakses’nya data atau sistem dapat diartikan sebagai bentuk ‘take down’ atas konten atau informasi internet. 6.

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

Secara garis besar UU KIP menjadi salah satu regulasi yang mengatur mengenai pembatasan informasi yang dapat diakses publik. Dalam regulasi ini informasi diklasifikasikan menjadi informasi publik dan bukan informasi publik. Konteks informasi yang dimaksud adalah dokumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan badan publiknya. Pasalnya UU KIP lahir sebagai bagian dari rezim demokrasi yang menuntut adanya keterbukaan informasi sebagai bagi langkah untuk mengoptimalisasi pengawasan publik. Pada dasarnya regulasi ini mendukung bahwa setiap informasi dapat diakses publik kecuali informasi yang dikecualikan untuk diungkap. Hal ini tertuang dalam pasal 17 yang menyebutkan bahwa setiap badan publik membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapat informasi kecuali informasi yang terkait dengan: a. Informasi yang jika dibuka ke publik menghambat proses penegakan hukum b. Informasi yang dapat menganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat c. Informasi yang dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara d. Informasi yang dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia e. Informasi yang dapat merugikan ketanahan ekonomi nasional 128 Ibid., Pasal 43 ayat (5) poin (h) UU ITE.

95


96

Seri Internet dan HAM

f.

Informasi yang merugikan kepentingan hubungan luar negeri

g. Informasi yang dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasian seseorang h. Informasi yang mengungkap rahasia pribadi i.

Informasi mengenai surat-surat antar badan publik atau intra Badan Publik yang menurut sifatnya dirahasiakan kecuali atas putusan Komisi Informasi atau pengadilan

j.

Informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan UndangUndang

Mekanisme untuk mendapatkan informasi publik melalui badan independen Komisi Informasi Publik (KIP). Pihak yang ingin mendapatkan informasi dari badan publik tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Komisi Informasi Publik baik di tingkat Provinsi atau pusat. KIP kemudian akan melakukan sidang dan mengeluarkan keputusan apakah informasi tersebut dapat dibuka publik atau termasuk informasi yang dikecualikan untuk diungkap. 7.

Undang-Undang Pornografi

Kehadiran UU Pornografi yang polemik hingga saat ini masih menjadi landasan hukum untuk melakukan sensor atas persebaran informasi yang dinilai tidak bermoral.dalam bentuk offline maupun online . UndangUndang Pornografi lahir dari anggapan bahwa praktik dan penyebarluasan pornografi berkembang luas dan mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Adapun yang menjadi landasan pembuat kebijakan adalah keberadaan pasal-pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana seperti Pasal 281, Pasal 282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 yang mengatur tentang perbuatan asusila sebagai tindak pidana. Selain itu juga diatur mengenai perbuatan yang dinilai amoral seperti perzinahan, pemerkosaan, pelacuran, aborsi, pembunuhan dan lain-lain. Meskipun dalam kajian Komnas Perempuan,


Seri Internet dan HAM

KUHP sebagai landasan UU Pornografi tidak tepat karena rumusan dalam UU ini justru samar dan multiinterpretasi. Berbeda dengan di KUHP yang memiliki unsur lebih jelas. Dalam UU ini, pornografi didefinisikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suaram bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang membuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.129 Pada poin berikutnya, dijelaskan istilah jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.130 Dalam definisi tersebut, pornografi sendiri adalah berbagai macam bentuk media yang memuat unsur kecabulan atau eksploitasi seksual yang dipertunjukkan ke publik. Sedangkan jasa pornografi, adalah pihak yang meproduksi konten pornografi tersebut baik secara offline maupun online. Ruang lingkup pornografi lebih jelas diatur dalam Pasal 4 sebagai informasi yang secara eksplisit memuat mengenai persenggamaan, termasuk yang menyimpang, kekerasan seksual, martubasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak.131 Sedangkan jasa pornografi dilarang untuk menyajikan mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual dan menawarkan atau mengiklankan layanan seksual. Selain sebagai produsen produk pornografi, pada dasarnya regulasi ini melarang aktivitas memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, 129 Pasal 1 poin (1) UU Pornografi. 130

Ibid., Pasal 1 poin (2).

131

Ibid., Pasal 4 poin (1)

97


98

Seri Internet dan HAM

menyewakan atau menyediakan pornografi secara eksplisit. Bahkan dalam Pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk meminjamkan atau mengunduh pornografi. Kecuali pihak yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan untuk menyimpan dan memanfaatkan pornografi seperti lembaga sensor film, KPI, penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan, dan lembaga pendidikan. Dalam pelaksanaannya, regulasi ini juga memberikan kewenangan bagi pemerintah di tingkat lokal maupun daerah untuk melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi termasuk pemblokiran melalui internet. Tindakan ini merupakan bagian dari peran pemerintah dalam melakukan pencegahan atas penyebarluasan pornografi. Meskipun demikian tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai mekanisme pemutusan jaringan internet. Terutama kaitannya dengan ketentuan pidana yang juga diatur dalam regulasi ini. Sejauh mana korelasi pemblokiran dengan tindak pidana, apakah pemutusan jaringan menjadi peringatan pertama bagi pihak yang memproduksi pornografi? Atau sebaliknya, pemblokiran dilakukan setelah ada putusan pengadilan bersalah telah melanggar UU Pornografi? Regulasi ini juga memuat mengenai pemusnahan produk pornografi hasil perampasan yang merupakan wewenang dari penuntut umum. Adapun definisi perampasan tidak dijelaskan lebih rinci. Mekanisme pemusnahan ini harus memuat nama media cetak atau elektronik sebagai pihak yang menyebarkan, keterangan terkait nama, jenis, dan jumlah yang dimusnahkan, keterangan waktu pemusnahan, dan keterangan mengenai kepemilikan atau yang menguasai barang yang hendak dimusnahkn. Hanya saja dalam Pasal 28 tidak diatur dengan jelas apakah pemusnahan tersebut juga termasuk dengan produk pornografi yang beredar di jaringan internet atau tidak.


Seri Internet dan HAM

8.

Undang-Undang No 17 tahun 2011 Intelijen Negara (UU Intelijen Negara)

UU Intelijen Negara lahir sebagai dasar hukum segala bentuk upaya menangkal ancaman yang membahayakan eksistensi dan keutuhan Republik Indonesia. Sehingga dibutuhkan regulasi yang memberikan kewenangan pada sejumlah pihak untuk melakukan deteksi dan peringatan dini bentuk dan sifat ancaman dengan spektrum yang luas. Regulasi ini secara garis besar memberikan gambaran atas pembatasan informasi dengan memberikan kewenangan pada pihak intelijen untuk mengakses atau mengamati suatu informasi. Informasi yang dimaksud adalah yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan/atau kegiatan terorisme, separatism, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional.132 Terkait dengan mekanisme untuk membuat tidak dapat diaksesnya suatu informasi, regulasi ini tidak mengatur kewenangan tersebut. Hanya saja fungsi intelijen yang harus melakukan pencegahan dan penangkalan dini dapat ditafsirkan sebagai landasan kewenangan untuk membatasi akses informasi.133 Ditambah produk intelijen dapat menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah.134 9.

Undang-Undang Hak Cipta

Dalam rangka menjaga kekayaan intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, pemerintah Indonesia melahirkan UU Hak Cipta sebagai jaminan perlindungan kepastian hukum bagi kreator nasional. Hal ini ditujukan agar kreator nasional mampu berkompetisi secara internasional sehingga diharapkan mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. 132

UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara, Pasal 31.

133

Penjelasan UU No. 17/2011 tentang Intelijen Negara.

134

Ibid., Pasal 29 ayat (1) poin b.

99


100

Seri Internet dan HAM

Hak Cipta sendiri adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan.135 Kaitannya dengan pemblokiran, tindakan ini merupakan tindak lanjut atas terjadinya pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak terkait yang disiarkan dalam sistem elektronik untuk penggunaan komersial. Sedangkan konten yang menjadi bagian dari praktik ini adalah ‘ciptaan’ dari kreator tersebut. Dalam Pasal 1 poin (3) Ciptaan diartikan sebagai setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ciptaan dapat berupa potret, fiksasi, atau fonogram. Terkait mekanisme pemblokiran, UU Hak Cipta memiliki mekanisme lengkap dan menerapkan mekanisme kontrol yang cukup. Berdasarkan Pasal 55 disebutkan bahwa pelanggaran hak cipta dapat dilaporkan oleh semua pihak kepada Menteri. Selanjutnya Menteri berkewajiban untuk memverivikasi laporan tersebut. Apabila ditemukan bukti yang cukup, maka permintaan pelapor dapat ditindaklanjuti oleh Menteri dengan merekomendasikan kepada menteri Telekomunikasi dan Informatika untuk menutup sebagian atau seluruh konten yang melanggar Hak Cipta dalam sistem elektronik sehingga layanan tersebut tidak dapat diakses. Penutupan tersebut dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan yang wajib diminta oleh Menteri. Pada ayat ke (4) Pasal 55 dituliskan jangka waktu keseluruhan proses ini paling lama 14 hari setelah ada penetapan pengadilan. 10. Permenkominfo Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif Peraturan Menteri ini merupakan salah satu dasar hukum dalam pelaksanaan praktik sensor internet di Indonesia. Dalam Pasal 3 Permen Kominfo dijelaskan bahwa kebijakan ini menjadi penentuan situs internet yang bermuatan negatif sehingga perlu ditangani. 135

Pasal 1 poin (1) UU Hak Cipta.


Seri Internet dan HAM

Kebijakan ini mengatur jelas mengenai pemblokiran situs internet yang dianggap bermuatan negatif. Istilah pemblokiran didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan agar situs internet bermuatan negatif tidak dapat diakses.136 Adapun definisi situs bermuatan negatif diatur dalam bab tersendiri yaitu Bab III, Pasal 4 yang menyatakan bahwa situs negatif adalah pornografi dan kegiatan ilegal lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.Selain itu kebijakan ini juga memberikan wewenang kepada Kementerian atau Lembaga Pemerintah lainnya untuk mendefinisikan Kegiatan Ilegal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kebijakan ini menggunakan terminologi ‘situs negatif’ sebagai konten yang dapat diblokir. Penggunaan kata situs memberikan makna bahwa pemblokiran yang dilakukan di Indonesia, tidak hanya sebatas konten atau materi yang dianggap dilarang melainkan seluruh situs yang menyiarkan materi negatif tersebut. Selain itu, definisi negatif dalam kebijakan ini adalah pornografi dan kegiatan ilegal lainnya yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan lain. Ketentuan ini menunjukkan tidak adanya ruang lingkup yang cukup jelas mengenai muatan ‘negatif’ dalam sebuah situs internet karena tidak ada unifikasi definisi tersebut. Berdasarkan Pasal 6 Permenkominfo, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika sebagai penanggung jawab mekanisme pemblokiran akan menyediakan daftar alamat situs yang bermuatan negatif atau disebut dengan TRUST+ Positif.137 Daftar TRUST+Positif berisikan laporan dari berbagai pihak baik masyarakat, kementerian atau Lembaga Pemerintah sesuai dengan kewenangannya, Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan.138 136

Permenkominfo No. 19/2014, Pasal 3 ayat (a).

137

Ibid., Pasal 6.

138

Ibid., Pasal 5.

101


102

Seri Internet dan HAM

Selanjutnya, pelaporan tersebut akan diproses dan dikelola oleh Direktorat Jendral Aptika. Kegiatan pengelolaan laporan meliputi: penyimpanan laporan ke database elektronik, peninjauan dan pengambilan sampel ke situs internet yang dituju, dan penyimpanan sampel gambar situs internet ke database.139 Sedangkan penyelenggara jasa akses internet memiliki peran untuk melaksanakan pemblokiran terhadap situs-situs yang terdapat dalam TRUST+Positif. Pengelolaan laporan yang berasal dari masyarakat dan pemerintah memiliki proses tindak lanjut berbeda. Apabila pelaporan berasal dari masyarakat, pengelolan dilakukan dalam waktu 1x24 jam. Apabila situs yang dimaksud dianggap situs bermuatan negatif, maka Dirjen Aptika akan menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif apabila berupa domain, kemudian meminta penyedia atau pemilik situs untuk melakukan pemblokiran atau menghapus muatan negatif apabila situs berupa selain nama domain. Jika masuk ke kondisi mendesak, Dirjen Aptika akan langsung memasukkan ke dalam TRUST+Positif dalam periode 1x12 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet. Sedangkan tata cara tindak lanjut laporan dari Kementerian/Lembaga harus melalui penilaian kementerian atau lembaga terkait dengan memuat rincian seperti alamat situs, jenis muatan negatif, dan jenis pelanggaran dan keterangan.140 Dirjen Aptika akan memberikan peringatan atau notifikasi melalui e-mail kepada penyedia situs untuk menyampaikan adanya muatan negatif. Apabila notifikasi tersebut diabaikan, maka dalam jangka waktu 2 x 24 jam akan ditindak lanjuti. Dirjen Aptika memiliki kewenangan untuk langsung menempatkan alamat situs ke dalam TRUST+Positif. Kemudian meminta pemilik atau penyedia situs untuk memblokir dan menghapus muatan negatif. Selanjutnya apabila merupakan kondisi mendesak maka dalam waktu 24 jam akan menunjuk langsung penyelanggara jasa akses internet. Hal serupa juga termasuk untuk menindak lanjuti laporan dari 139

Ibid., Pasal 12.

140

Ibid., Pasal 11.


Seri Internet dan HAM

lembaga penegak hukum atau lembaga peradilan. Kebijakan ini juga mengatur mengenai normalisasi atau proses upaya yang dilakukan untuk mengeluarkan suatu situs internet dari daftar pemblokiran. Meskipun demikian, dasar hukum setingkat peraturan menteri ini masih menuai kritik mengingat praktik pemblokiran adalah bagian dari pembatasan hak asasi manusia yang pada prinsipnya harus diatur setingkat undang-undang. Dengan beragamnya peraturan dan kebijakan terkait dengan pembatasan informasi masyarakat, maka melalui tabel di bawah ini dapat ditemukan ringkasan tentang ketentuan seperti konten dan ruang lingkupnya, beserta mekanisme penanganannya yang sudah diuraikan sebelumnya.

103


104

Seri Internet dan HAM

Perbandingan Definisi, Ruang Lingkup Konten/Informasi yang Dilarang dalam Sejumlah Peraturan PerundangUndangan

Peraturan

Definisi Konten

KUHP

Gambar atau Tulisan

Medium Penyebaran Informasi Disebarkan sehingga dapat diketahui publik (ditempel di muka umum)

Ruang Lingkup Konten Yang Dilarang

Mekanisme Perlindungan

Psl 113 dan 114: informasi rahasia tentang pertahanan atau keamanan Indonesia

Tindak Pidana bagi Pihak yang Menyebarkan

Psl 160: hasutan melakukan kekerasan terhadap penguasa umum Pasal 282 dan 283: informasi pelanggaran asusila Pasal 155, 157: Informasi mengandung Ujaran Kebencian Pasal 310-311: Informasi mengandung Penghinaan; Pencemaran nama baik.

UU Telekomunikasi

informasi dalam bentuk tandatanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi

melalui sistem kawat, optic, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya

Psl 21: Bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban umum

Pencabutan atau penghentian kegiatan usaha bagi penyelenggara telekomunikasi Tindak Pidana bagi pelaku penyadapan


Seri Internet dan HAM

Peraturan

Definisi Konten

UU Pers

informasi dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, data dan grafik

Medium Penyebaran Informasi dalam bentuk lainnya yang menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia

Ruang Lingkup Konten Yang Dilarang

Mekanisme Perlindungan

Konten yang melanggar kode etik Dewan Pers: berita bohong, fitnah, sadis dan cabul, diskriminatif atas dasar perbedaan SARA, Jenis Kelamin, dan Bahasa, termasuk kelompok marjinal dan difabel

Kode Etik sebagai panduan melakukan swa sensor Sanksi dari Dewan Pers

Psl 13: Larangan untuk perusahaan Pers emmuat iklan yang merendahkan martabat suatu agama, llegal yang mengganggu kerukunan hidup antar umat beregama dan bertentang dengan rasa kesusilaan masyarakat UU Penyiaran

pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak

pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan llegal frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya

Psl 36: fitnah, menghasut, menyesatkan dan/ atau bohong, unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, Mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan, Memperolok, merendahkan, melecehkan, mengabaikan nilainilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Panduan Kode Etik Penyiaran menjadi panduan untuk melakukan sensor

105


106

Seri Internet dan HAM

Medium Penyebaran Informasi

Peraturan

Definisi Konten

UU ITE

bunyi satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (email), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya dalam bentuk huruf, tanda, angka, kode akses, llega, atau perforasi

Data elektronik

gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suaram bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya

Berbagai bentuk media komunikasi (llegal teresterial, radio, telepon, internet, surat kabar, majalan, dan barang cetakan lainnya. Termasuk pertunjukan langsung di muka umum

UU Pornografi

Ruang Lingkup Konten Yang Dilarang

Mekanisme Perlindungan

(i) Konten yang dianggap melanggar kesusilaan; (ii) Konten yang mengandung muatan perjudian; (iii) Konten yang memuat unsur penghinaan dan/atau pencemaran nama baik; (iv) Konten yang mengandung unsur pemerasan dan/ atau pengancaman; (v) Konten yang menyebarkan berita bohong sehingga menimbulkan kerugian konsumen; (vi) Konten yang menimbulkan kebencian berdasarkan SARA; dan (vii) Konten yang mengandung muatan ancaman kekerasan.

Memerintahkan kepada penyelenggara Sistem Elektronik untuk memutus akses

Eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan, termasuk : persenggamaan, termasuk yang menyimpang, kekerasan seksual, martubasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak

Tindak pidana bagi pelaku pornografi dan yang menyebarkan atau mengakses informasi

Iklan atau penawaran yang mengeksploitasi aktivitas seksual

Tindak Pidana bagi pelaku

Pemusnahan informasi


Seri Internet dan HAM

Peraturan

Definisi Konten

UU Hak Cipta

hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. Ciptaan dapat berupa potret, fiksasi, atau fonogram

UU Intelijen Negara

Informasi dalam bentuk apapun

Medium Penyebaran Informasi

Ruang Lingkup Konten Yang Dilarang

Mekanisme Perlindungan

Diekspresikan dalam bentuk nyata (fisik) maupun disiarkan dalam sistem elektronik

Informasi yang disebarkan melanggar Hak Cipta

Pelaporan bahwa ada pelanggaran hak cipta kepada Menteri terkait, kemudian menteri dapat meminta Kominfo untuk membuat tidak dapat diakses berdasarkan penetapan pengadilan

Disiarkan dalam media apapun

Informasi yang dimaksud adalah yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional meliputi ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, dan/atau kegiatan terorisme, separatism, spionase, dan sabotase yang mengancam keselamatan, keamanan, dan kedaulatan nasional

Kerja sama dengan kementerian terkait

107


108

Seri Internet dan HAM

Peraturan

Definisi Konten

Medium Penyebaran Informasi

UU KIP

Dokumen yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan badan publik

Permen Kominfo Penanganan Situs Bermuatan Negatif

Situs Internet

Ruang Lingkup Konten Yang Dilarang

Mekanisme Perlindungan

Dikeluarkan oleh badan publik atau penyelenggara negara dalam media apapun

Psl 17: Informasi yang dikecualikan yaitu yang dapat membahayakan negara; berkaitan dengan kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha; membahayakan keamanan negara; kekayaan alam Indonesa, merugikan ketahanan ekonomi nasional; merugikan kepentingan hubungan luar negeri; informasi rahasia jabatan; informasi publik yang diminta belum dikuasi atau didokumentasikan; yang tidak diperbolehkan untuk diungkapkan menurut UU

Pihak pemohon yang ingin mendapatkan informasi mengajukan ke Komisi Informasi Publik. KIP akan memutuskan apakah informasi tersebut dapat dibuka publik atau dikecualikan

Situs yang terkoneksi dengan jaringan internet

Psl 4: situs bermuatan llegal yaitu yang mengandung pornografi dan kegiatan llegal lainnya

Ada daftar situs TRUST+ Positif berdasarkan pelaporan Kominfo meminta Penyelenggara Jasa Internet melakukan pemblokiran berdasarkan daftar tersebut


Seri Internet dan HAM

C.

Praktik Dalam Tata Kelola Konten Internet

Praktik tata kelola konten di Indonesia pada umumnya selalu merujuk pada kebijakan-kebijakan penyensoran yang, secara historis, sesungguhnya dapat dilacak sejak awal abad ke-20. Pengesahan Staatsblad Tahun 1915 Nomor 732 tentang Pemberlakuan Wetboek van Straftrecht voor NederlandschIndie (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Untuk Penduduk HindiaBelanda) menandai lahirnya kebijakan penyensoran konten-konten tertentu di ruang publik (umumnya berkaitan dengan ekspresi kebencian dan permusuhan terhadap penguasa umum) untuk pertamakalinya yang diinisiasi oleh pemerintah kolonial. Kelahiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang untuk pertamakalinya menjadi titik-tolak bagi hadirnya kebijakan dunia maya di Indonesia, sebenarnya masih mengadaptasi paradigma KUHP kolonial, kendati sejumlah aturan mengenai konten lainnya (pornografi dan hak cipta, misalnya) diatur dalam undang-undang yang terpisah dan beraneka-ragam. Tata kelola konten internet di Indonesia hari ini eksis di atas fundamen infrastruktur kebijakan yang bersifat sporadis dan tak selalu saling berkait satu sama lain. Paradigma yang melulu berorientasi pada ‘tata kelola’ penyensoran (dan penapisan) konten di internet pada akhirnya lebih mewarnai perbincangan ketimbang menyoroti aspek yang jauh lebih komprehensif tentang tata kelola konten internet itu sendiri. Kecenderungan ini sesungguhnya muncul karena sejumlah kebijakan tata kelola konten internet yang diinisiasi oleh pemerintah juga menggambarkan watak kebijakan publik yang terlalu peduli pada penyensoran sebagai salah satu bentuk pembatasan, ketimbang merapikan elemen-elemen penting yang mendukung ekosistem tata kelola itu sendiri, seperti infrastruktur fisik, kebijakan, akses informasi dan sebagainya. Alhasil, ekosistem tata kelola konten internet hari ini lebih diwarnai oleh perdebatan ihwal konten terlarang dan bukan terlarang. Meskipun topik ini juga penting, dan sesungguhnya merupakan substansi dari apa yang kita sebut sebagai tata kelola konten internet, tujuan sesungguhnya mengapa tata kelola konten harus diletakkan sebagai agenda pengambilan kebijakan publik adalah kebutuhan untuk membangun arsitektur informasi yang saat ini telah bermigrasi ke ranah digital.

109


110

Seri Internet dan HAM

Di Indonesia sendiri, konten internet telah menjadi subyek perdebatan di tengah-tengah pusaran kriminalisasi sejumlah warganet (netizen) yang memanfaatkan internet entah untuk menyebarkan informasi maupun memproduksi konten (visual, audio, video, atau tekstual). Sejumlah orang dikriminalisasi sejak berlakukan UU ITE, karena konten yang mereka publikasikan di internet. Fenomena ini menjadi topik diskusi hangat dan telah menciptakan hubungan yang cukup dinamis antara masyarakat sipil dan pengambil kebijakan yang bertanggungjawab atas sejumlah persoalan hak asasi manusia yang terdampak akibat pemberlakuan undang-undang yang diskriminatif, terutama sekali UU ITE. Ulasan berikut ini akan mencoba memaparkan sejumlah permasalahan dalam tata kelola konten internet di Indonesia. 1.

Definisi konten internet yang masih samar

Dalam sekumpulan regulasi dan kebijakan pelaksana tata kelola internet yang disebutkan sebelumnya terlihat bahwa tidak ada definisi pasti mengenai apa yang dimaksud dengan konten internet. Setiap regulasi memiliki spesifikasi dan ruang lingkup sendiri untuk mendefinisikan konten internet. Bahkan beberapa regulasi menyinggung terkait konvergensi media dalam mendefinisikan informasi atau konten. Mekanisme tata kelola informasi tersebut juga berbeda. Padahal konsep konten internet berkaitan erat dengan arah kebijakan baik terkait infrastruktur, bisnis, hukum pembatasan termasuk aktor-aktor yang terlibat. Hal ini berimplikasi pada pelaksanaannya yang tumpang tindih kewenangan serta dasar pandangan atau perspektif yang berbeda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum pada praktiknya. Dalam penjelasan sebelumnya, terlihat perbedaan definisi konten dengan kekhususan atau lex specialis masing-masing peraturan. Namun belum ada yang mengatur secara komprehensif mengenai internet. Misalnya dalam UU Pers konten didefinisikan sebagai informasi atau pesan jurnalistik yang didistribusikan dengan jaringan tertentu seperti melalui media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.


Seri Internet dan HAM

UU Penyiaran mendifinisikan konten sebagai pesan dalam bentuk apapun yang disiarkan melalui jaringan spektrum frekuensi radio terestrial, juga menyebutkan media lainnya. UU Pornografi mendefinisikan konten spesifik terkait gerak tubuh dan pesan lainnya yang disiarkan dengan segala jaringan apapun baik televisi, radio, internet dan bahkan secara offline atau tatap muka. Sedangkan dalam UU ITE sebagai regulasi yang mengatur mengenai internet secara khusus, tidak mampu mendefinisikan konten internet selain sebagai segala informasi atau data yang terhubung dengan jaringan atau sistem elektronik. Sehingga pada praktiknya hal ini cukup membingungkan dalam tataran pelaksanaan terutama dengan kewenangan dalam melakukan pembatasan atas informasi termasuk mekanisme blokir. Dalam kasus UU ITE yang terdapat pasal kriminalisasi atas konten yang dianggap mengandung pencemaran nama baik menyasar pada hasil karya jurnalistik hanya karena medium penyebaran karya jurnalistik tersebut menggunakan medium internet.141 Termasuk perihal penyiaran yang konten semula disiarkan menggunakan jaringan penyiaran tradisional sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran juga mulai bermigrasi melalui jaringan internet seperti kasus First Media atau konten-konten pengulangan siaran dari televisi kemudian diunggah di platform media sosial YouTube. Sayangnya hukum positif Indonesia belum menjangkau konvergensi media dan situasi tersebut. Meskipun demikian lembaga terkait yang menaungi spesifikasi konten tersebut beberapa mengambil langkah inisiatif untuk proses penyelesaiannya, misalnya dalam kasus UU ITE terkait produk Jurnalistik yang menjadi ranah Dewan Pers, terdapat nota kesepahaman antara Dewan Pers dengan Pihak Kepolisian dalam menanggapi laporan pelanggaran pencemaran nama baik dalam produk jurnalistik seperti berita atau lainnya. Ada dua narasi utama yang diperlukan dalam mendefinisikan konsep konten internet, yaitu unsur-unsur konten dan pihak yang memproduksi. Dari beberapa regulasi yang memuat mengenai konten dan informasi di 141 Hasil wawancara dengan narasumber pekerja bidang media di Makassar, pada bulan Agustus 2017.

111


112

Seri Internet dan HAM

Indonesia, terlihat beberapa unsur informasi atau konten yang dapat menjadi catatan dalam mendefinisikan konten internet. Adapun unsur dari konten atau informasi dalam regulasi tersebut yaitu: •

informasi atau pesan dalam bentuk apapun seperti tulisan, gambar, suara, grafis, isyarat, bunyi, dokumen yang menimbulkan kesepahaman

•

terkoneksi dengan jaringan tertentu

•

sehingga dapat diketahui atau dikonsumsi secara publik.

Sedangkan mengenai pihak yang memproduksi perlu menjadi catatan tersendiri. Mengingat tiap konten terdapat ‘hak cipta’ yang menempel didalamnya sehingga terdapat ruang lingkup konten itu sendiri dan bertautan dengan mekanisme dalam tata kelola. Merespon hal itu, ELSAM mencoba mendiskusikannya dengan beberapa pihak, sebagai proses untuk melakukan re-definisi terkait informasi atau konten dalam medium internet. Pasalnya medium internet memiliki karakteristik yang berbeda terkait kecepatan dan jangkauan luas crossborder bahkan berkontribusi dalam mengubah tatanan sosial dan ekonomi. Sejumlah menekankan, bahwa konten internet tidak semata-mata terdiri dari informasi yang diunggah dan disalurkan menggunakan jaringan internet, melainkan semua informasi atau konten yang pada awalnya diunggah melalui jaringan terestrial dan disalurkan pula melalui jaringan internet.142 Konten internet menampung hampir semua jenis konten, termasuk audio, bentuk file, foto, video, teks dan lainnya dengan berbagai jenis format, baik secara tertutup closed private format atau open source format.143 Artinya, secara umum konten internet adalah segala sesuatu yang diunggah dan didistribusikan melalui jaringan internet, meskipun beberapa diantaranya merupakan migrasi dari jaringan lain. Adapun pihak produsen konten juga harus menjadi titik fokus diskusi karena dibagi 142 Hasil wawancara ELSAM dengan Eka Indarto dari Jogja MediaNet, pada bulan Agustus 2017 di Jogjakarta. 143 Hasil wawancara ELSAM dengan Yerry Borang dari Engage Media, pada bulan Agustus 2017 di Jogjakarta.


Seri Internet dan HAM

menjadi dua pihak yaitu konten yang dirilis langsung oleh pemilik konten secara kelembagaan dan konten yang dirilis oleh individual.144 Konsep produsen konten internet jelas merupakan salah satu lingkup dari konvergensi media yang cukup luas. Isu konvergensi tidak hanya berupa konten, melainkan juga konvergensi kepemilikan dan konvergensi teknologi.145 Internet sendiri memiliki konteks yang lebih besar dari sekedar jaringan infrastruktur baik televisi, radio ataupun internet. Melainkan adanya lebenswelt dan kehadiran sistem ekonomi di dalam internet dan produksi kontennya yang mempengaruhi perlu atau tidaknya peran negara untuk mengatur. Samarnya konsep dan definisi mengenai konten internet juga terjadi dalam praktik tata kelola, termasuk praktik sensor dan pemblokiran. Pasalnya dalam Permenkominfo tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif justru tidak ditemukan definisi terkait konten internet, melainkan konsep situs internet. Adapun definisi situs juga bukan penjelasan yang teknis melainkan sangat terfokus pada ‘nilai negatif’ yang terkandung dalam situs yang terkoneksi dengan jaringan internet sehingga boleh diblokir. Padahal antara konten dan situs adalah dua hal yang berbeda. Konten merupakan informasi yang disampaikan melalui media tertentu termasuk produk elektronik, sedangkan untuk mengakses konten dapat melalui situs yang tersambung dengan jaringan internet. Dalam situs terdapat beberapa muatan konten berisi informasi tertentu. Jika menafsirkan konten internet dalam UU ITE sebagai pijakan regulasi internet di Indonesia, maka bentuk data elektronik dalam regulasi tersebut sebenarnya tunggal dan bukan berupa sekumpulan sebagaimana situs sebagai kumpulan informasi. Karena situs kerap kali yang juga disebut dengan istilah website yang merupakan istilah halaman HTML yang disediakan jaringan infrastruktur internet. 144 Hasil Wawancara ELSAM dengan Sigit Purnomo dari Kantor Sistem Informasi Universitas Atmajaya, pada bulan Agustus 2017 di Jogjakarta. 145 Hasil wawancara ELSAM dengan Budi Irawanto, dosen Ilmu Komunikasi UGM, pada bulan Agustus 2017 di Jogjakarta.

113


114

Seri Internet dan HAM

Sehingga pada praktiknya, pemblokiran informasi justru menyasar pada ‘situs’ yang jangkauannya lebih luas dari ketimbang dengan ‘konten negatif’. Hal ini jelas berpotensi melanggar dari ketentuan pembatasan hak informasi yang akan dibahas secara lebih khusus di sub-bab selanjutnya mengenai tata kelola. 2.

Luasnya kategorisasi konten yang dapat dibatasi

Kerangka hukum internet dan media digital termasuk mekanisme pemblokiran, penapisan, dan pemindahan konten internet di Indonesia masih sporadik dan tersebar di beberapa regulasi. Secara garis besar, kebijakan tata kelola konten, khususnya yang terkait dengan pembatasan konten internet, dalam tingkat pelaksanaan diatur melalui Permen Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Sedangkan dasar indikator untuk menilai muatan konten tersebar di beberapa regulasi, dengan tidak menafikan mekanisme lain yang terkandung didalamnya. Alasan yang paling umum dalam praktik melakukan pembatasan informasi hingga tahapan pemblokiran adalah berkaitan dengan moral dan norma publik. Suatu konten menjadi layak untuk dibatasi dan diblokir apabila konten tersebut dianggap menimbulkan keresahan sosial karena berpotensi berbenturan dengan nilai atau norma sosial, norma agama dan moralitas publik. Salah satunya terkait pornografi, pornografi anak, dan tindak pidana lainnya dalam bentuk offline kemudian bermigrasi ke medium internet. Adapun indikator moral publik sebagai dasar penilaian menjadi tantangan tersendiri di Indonesia. Pasalnya tiap wilayah Indonesia memiliki kultur yang berbeda sehingga taraf atau batas norma masyarakat menjadi berbeda. Hal ini yang kemudian mendasari rezim penyiaran televisi membentuk Komisi Penyiaran Indonesia di tingkat daerah sebagai bentuk lokalisasi otoritas yang mengedepankan nilai masyarakat sesuai dengan wilayahnya.146 146 Hasil Wawancara dengan Aswar Hasan, salah satu Komisioner Informasi Publik Sulawesi Selatan periode 2017, mantan Komisioner Penyiaran Indonesia tingkat Provinsi Sulawesi Selatan.


Seri Internet dan HAM

Berdasarkan penelitian yang dilakukan OONI, pemblokiran dengan alasan pornografi di Indonesia mencapai 27,2% dari website yang diblokir di Indonesia.147 Meskipun ‘pornografi’ sebagai alasan telah memiliki dasar hukum untuk melakukan eksekusi pemblokiran, namun konsep ‘pornografi’ yang terlalu luas justru berpotensi melanggar kebebasan ekspresi dan hak atas informasi warga. Pasalnya dalam UU Pornografi disebutkan ruang lingkup pornografi mencakup informasi yang secara eksplisit memuat mengenai persenggamaan, termasuk yang menyimpang, kekerasan seksual, martubasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi anak. Berdasarkan mekanisme yang digunakan Indonesia dengan pemblokiran situs dan ruang lingkup pornografi yang terlampau luas justru terjadi pemblokiran terhadap situs non-pornografi. Hanya karena situs-situs tersebut memuat konten alat kelamin atau ketelanjangan. Padahal mempertunjukkan konten tersebut ada dalam konteks edukasi atau kesehatan reproduksi atau bahkan menjadi argumen dalam diskusi hak asasi manusia. Pemblokiran atas dasar pornografi juga menyasar pada situs-situs yang memuat: forum diskusi (reddit.com); media-sharing platform (vimeo. com , giphy.com, filestube.com); beberapa games online (9nagatangkas. com, zheg.nastie.co.uk); situs mengenai kesehatan reproduksi (altpenis. com; teenadvice.com, sfsi.org, itsyourlifesex.com); online–dating (date. com, datingdirect.com, adultfrinedfinder.com); dan isu hak asasi manusia (freespeechcoalition.com; guerrillagirls.com). Dari praktik-praktik diatas terdapat beberapa hak kelompok minoritas termasuk perempuan yang terlanggar. Pasalnya, beberapa situs yang memuat mengenai kesehatan reproduksi dan penyakit yang meliputi kanker payudara dan vagina diidentifikasikan sebagai konten negatif dan pornografi karena menampilkan alat kelamin. Tindakan ini merupakan salah satu pelanggaran hak atas informasi, khususnya bagi kelompok perempuan. 147

Lihat: https://ooni.torproject.org/post/indonesia-internet-censorship/#background, diakses pada Oktober 2017.

115


116

Seri Internet dan HAM

Oleh sebab itu diperlukan adanya indikator dan penilaian yang jelas terkait nilai ‘pornografi’ sebagai konten ‘negatif’ yang benar bertujuan untuk melindungi generasi muda dari bahaya pornografi sebagai bentuk pencegahan atas peningkatan kekerasan seksual atau pemerkosaan yang marak terjadi di Indonesia. Di Indonesia, Isu LGBT merupakan salah satu konten yang saling silang sebagai pornografi dan juga ancaman terhadap keamanan nasional. Dalam konteks sosial di Indonesia, keberadaan kelompok LGBT memang masih dilematis bahkan cenderung melakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif. Hal ini juga berpengaruh dalam persebaran informasi terkait LGBT. Hal ini juga tertera dalam UU Pornografi bahwa hubungan sesama jenis merupakan bagian dari pornografi sehinga perlu dibatasi. Dalam praktiknya memang muncul sejumlah perdebatan dalam mengklasifikasikan LGBT sebagai bagian dari pornografi. Misalnya kasus pemblokiran situs Voice.org yang merupakan situs dengan informasi hakhak atas kelompok LGBT diblokir dengan alasan pornografi. Situs itu sendiri sama sekali tidak memuat unsur pornografi, melainkan informasi atas hakhak kelompok LGBT. Sehingga diperlukan adanya diskusi dan argumentasi kuat untuk meyakinkan kelompok lain termasuk institusi negara lain untuk memberikan penerangan atas isu tersebut.148 Indonesia melakukan pemblokiran atas situs perjudian online karena dalam yurisdiksi hukum Indonesia, aktivitas judi merupakan kegiatan ilegal. Sehingga akses informasi menuju konten tersebut diblokir atau dihapus. Adapun dasar hukum atas pelarangan konten ini terdapat dalam UU ITE yang mengklasifikasikan judi online sebagai kegiatan yang dilarang. Kasus menarik dalam upaya pemerintah Indonesia melakukan dengan tujuan tidak dapat diaksesnya judi online adalah dengan memblokir platform giphy.com. Padahal situs Giphy.com merupakan platform yang memuat gambar berformat GIF yang berisikan guyonan atau candaan yang kerapkali disebarkan di jejaring sosial. Alasan dari Kominfo memblokir 148 Wawancara dengan Semmy Pangerapan, Dirjen Aptika, Kemkominfo, pada September 2017 di Jakarta.


Seri Internet dan HAM

Giphy.com adalah karena situs tersebut kerap kali memuat iklan yang mempromosikan judi online. Adapun iklan judi online bukan merupakan konten utama yang produksi situs ini. Kasus tersebut menjadi menarik untuk melihat konsep konten serta ruang lingkupnya dalam melakukan pemblokiran terutama kaitannya sejauh mana sebuah informasi dapat dikategorikan sebagai konten. Klasifikasi konten internet lainnya, yang dilakukan pembatasan dalam bentuk pemblokiran, adalah yang terkait dengan penyebaran berita bohong (fake news dan hoax). Pelarangan persebaran berita bohong sebenarnya tidak melulu hanya yang masuk kualifikasi konten internet, tetapi juga ditemukan dalam lingkup offline seperti dalam KUHP dan UU Pers. Adapun berita bohong lingkupnya berkaitan dengan alasan pembatas lainnya, tergantung dengan isi dari berita bohong tersebut apakah dapat mengancam perekonomian, keamanan nasional, atau memecah belah bangsa. Kementerian Kominfo sendiri saat ini sedang melakukan pembenahan dengan melakukan pemblokiran 800ribu situs berkonten negatif termasuk berita bohong. Tujuan pembenahan ini dilakukan untuk memutus mata rantai produksi berita bohong yang dapat mengancam stabilitas ekonomi dan keamanan negara.149 Berikutnya, alasan utama bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemblokiran adalah terkait dengan konten yang mengandung dan mengarah ke terorisme yang mengancam keamanan nasonal. Dasar hukum dalam melakukan tindakan ini terlihat dalam hampir semua regulasi yang memuat tata kelola konten di Indonesia, seperti dalam KUHP yang memuat mengenai larangan informasi tentang pertahanan keamanan negara atau kekerasan terhadap penguasa umum, UU Penyiaran, UU Intelijen Negara, dan UU KIP. Adapun terminologi yang digunakan dari beberapa regulasi tersebut beragam mulai dari ‘mengancam kepentingan dan keamanan negara’, ‘ketertiban umum’, ‘merusak hubungan internasional’, hingga ‘mengancam keamanan nasional meliputi ideologi tertentu’. 149 Lihat: “Kemenkominfo Akan Rapikan 40 ribu situs berkonten hoax dan negative”, dalam https:// news.detik.com/berita/d-3392780/kemenkominfo-akan-rapikan-40-ribu-situs-berkonten-hoax-dannegatif, diakses pada 22 Oktober 2017.

117


118

Seri Internet dan HAM

Terminologi yang serupa tersebut dapat ditemukan di beberapa regulasi yang berbeda spesalisasi. Sehingga pekerjaan bersama yang harus dilakukan dalam implementasinya adalah penafsiran dari termonologi tersebut. Dari beberapa pelaporan yang masuk ke Kementerian Kominfo dapat terlihat pola yang membangun konsep ‘ancaman keamanan negara’ sebagai konten dilarang. Selama ini, Kementerian Kominfo telah melakukan pemblokiran terhadap situs yang dianggap ekstremisdan radikal. Konsep ekstremisme dan radikal tersebut dianggap sebagai benih awal dalam meningkatkan gerakan terorisme di Indonesia. Selain situs, Kominfo juga pernah melakukan pemblokiran terhadap platform media komunikasi Telegram yang diduga sebagai medium komunikasi teroris. Pada awal tahun 2017, Kominfo memblokir mengenai 11 Situs yang beraliran radikal karena melakukan penghinaan simbol negara. Selain itu konten yang memuat ujaran kebencian, fitnah, provokasi juga diidentifikasikan sebagai lingkup mengancam keamanan negara khususnya memupukkan buah terorisme.150 Keterlibatan Badan Nasional Penanggulanagan Terorisme (BNPT) dalam membuat laporan terkait situs radikal juga berkontribusi dalam membangun ruang lingkup terkait isu terorisme. Misalnya pada tahun 2015, melalui surat nomor. 149/K.BNPT/3/2015 tentang situs/website radikal disampaikan BNPT kepada Kominfo.151 Adapun beberapa situs yang masuk ke dalam daftar itu adalah arrahmah.com, voa-islam, panjimas.com dan lain-lain. Alasan pemblokirnan situs tersebut dinilai BNPT sebagai situs yang menggerakan paham radikalisme atau bahkan telah menjadi simpatisan radikalisme. Studi kasus pemblokiran Telegram menjadi contoh menarik dalam tata kelola konten internet. Pertama, pemblokiran ini kembali menambah acaknya pola terkait konsep konten internet beserta ruang lingkupnya. Pasalnya platform atau aplikasi pesan (chatting) ternyata juga masuk dalam ruang lingkup konten internet. Kedua, channel terorisme dalam Telegram 150 Lihat: “Teroris Gunakan Internet, Pemblokiran Situs Radikal Dinilai Terlambat”, dalam http:// nasional.kompas.com/read/2017/01/09/20554451/teroris.gunakan.internet.pemblokiran.situs. radikal.dinilai.terlambat, diakses pada 22 Oktober 2017. 151 Lihat: “BNPT Minta Kominfo Blokir 22 Situs Radikal”, dalam https://kominfo.go.id/index.php/ content/detail/4627/BNPT+Minta+Kominfo+Blokir+22+Situs+Radikal/0/berita_satker, diakses pada 22 Oktober 2017.


Seri Internet dan HAM

digadang pemerintah sebagai media komunikasi teroris bukanlah satusatunya konten yang diproduksi atau beredar melalui Telegram. Bahwa benar adanya forum diskusi grup radikal di Telegram yang terbukti mempengaruhi pemahaman radikal bagi penggunanya seperti Manjanik, Ghuroba, UKK, dan Khilafah Islamiyah,152 tetapi hal ini bukan berarti bahwa produk konten radikalisme dan terorisme menjadi barang utama dalam pemanfaatan Telegram, karena saluran atau forum diskusi lain yang memiliki tema positif juga menggunakan medium Telegram sebagai alat penyebarannya. Keputusan pemerintah Indonesia memblokir Telegram juga dilakukan dengan alasan tidak kooperatifnya pihak Telegram dalam merespon laporan pemerintah Indonesia. Sebelum pemblokiran, pemerintah Indonesia telah mengirimkan surat kepada pimpinan Telegram perihal penggunaan situs layanan itu untuk kegiatan terkait terorisme di Indonesia.153 Perlindungan akan hak kekayaan intelektual (HaKI) di Indonesia terkandung dalam UU Hak Cipta yang juga memuat mengenai mekanisme pemblokiran atas konten yang dianggap melanggar hak cipta. UU Hak cipta sebagai regulasi domestik ditujukan untuk memastikan pemegang hak kekayaan intelektual dapat mengajukan permohonan ke pengadilan sehingga mengeluarkan ketetapan untuk memerintahkan pemblokiran atas konten yang menyinggung materi atau karyanya. Pada praktiknya pihak yang melakukan pemblokiran atau menurunkan konten juga perlu diatur sebagai mekanisme internal para penyedia jasa konten atau platform media sharing seperti Youtube atau SoundCloud. Terutama dalam ruang lingkup karya yang belum mendapatkan hak cipta secara administratif melalui UU Hak Cipta. Berdasarkan wawancara ELSAM dengan pegiat sosial media atau produser konten internet, kerap kali algoritma mekanisme blokir yang disediakan platform justru kurang mendukung pembuat karya. Seperti melakukan pemblokiran atas konten plagiat atau siaran ulang yang diunggah dengan akun berbeda, sehingga merugikan pembuat karya original.154 152 Lihat: “Seberapa efektif blokir Telegram untuk Cegah Aksi Terorisme�, dalam http://www.bbc. com/indonesia/indonesia-40624053, diakses pada 22 Oktober 2017. 153 Ibid 154 Hasil Wawancara ELSAM dengan Yudhistira Israel atau VNGNC selaku pegiat media sosial dan kreator konten internet pada bulan Agustus 2017.

119


120

Seri Internet dan HAM

Berikutnya, informasi atau konten yang mengancam reputasi seseorang dan terindikasi menyebarkan data pribadi seseorang, juga merupakan salah satu lingkup pemblokiran. Beberapa regulasi di Indonesia dapat dijadikan jaminan perlindungan sehingga menjustifikasi tindakan pemblokiran atas konten yang melanggar ketentuan tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam KUHP UU ITE, dan UU KIP. Dalam konteks global, pencemaran nama baik dan hak lainnya yang berkaitan dengan perlindungan reputasi merupakan ranah peradilan pidana, perdata atau keduanya. Sehingga perintah pemblokiran materi yang melanggar merupakan bagian dari proses peradilan yang bertanggung jawab. Meskipun pada perkembangannya, negara justru melibatkan pihak penyedia jasa aplikasi untuk terlibat dalam membangun mekanisme internal untuk melakukan pemblokiran atau penghapusan sebagai bentuk meredam persebaran konten yang berkaitan dengan hal ini. Di Indonesia perlindungan reputasi dapat diidentifikasikan melalui larangan konten yang bermuatan SARA dan diskriminatif serta pasal pencemaran nama baik. Beberapa situs yang dinilai bermuatan SARA dibatasi aksesnya oleh pemerintah sehingga tidak dapat diakses. Sedangkan berkaitan dengan pencemaran nama baik, justru cenderung pada penyelesaian aspek pidananya. Adapun mengenai pemblokiran tentang konten terkait bukan semata-mata untuk melindungi hak, tetapi untuk kepentingan penyidikan maka suatu konten tidak dapat diakses dengan kata lain diblokir. Sedangkan berkaitan dengan hak privasi seseorang, amandemen UU ITE mencantumkan ketentuan ‘hak untuk dilupakan’ sebagai terjemahan dari konsep ‘right to be forgotten’. Sejalan dengan ketentuan dalam UU KIP yang menyatakan hak privasi merupakan salah satu informasi yang dikecualikan. Sebenarnya hak ini memungkinkan individu untuk meminta perintah kepada operator situs atau penyedia akses internet atau pemerintah untuk menghapus konten yang melanggar prinsip perlindungan data. Namun terkait mekanisme detilnya, undang-undang ini belum mengaturnya secara lebih rinci.


Seri Internet dan HAM

BAB IV KEBIJAKAN TATA KELOLA KONTEN INTERNET: USULAN PELEMBAGAAN

A.

Mendesain Kebijakan Tata Kelola Konten Internet: Catatan dan Harapan

Kehadiran teknologi internet, sebuah medium hibrida yang menggabungkan beranekaragam bentuk komunikasi dalam sebuah platform berbentuk digital, menciptakan kegamangan mengenai posisi dan arah kebijakan tata kelola konten internet di Indonesia. Pertama-tama, pemangku kepentingan harus terlebih dahulu memahami ‘internet’ sebagai ekosistem komunikasi modern yang telah banyak melahirkan platform komunikasi baru. Perpindahan konten analog menuju konten digital, seperti media massa (cetak ke elektronik) misalnya, merupakan tantangan dalam menentukan bagaimana semestinya internet diatur. Hal ini juga berlaku di sektor-sektor lainnya seperti konten-konten film, siaran televisi maupun radio, dan lain sebagainya yang pada mulanya hadir sebagai konten analog. Sejumlah persoalan seperti distribusi kewenangan, jenis tanggungjawab, definisi dan limitasi serta antisipasi terhadap saling tubruk produk kebijakan menjadi topik yang mewarnai imajinasi kita tentang arah regulasi konten internet. Sebagai sebuah sistem, internet merupakan objek regulasi yang di dalamnya bercampur-baur segala bentuk komunikasi yang meleburkan batas-batas antara yang publik dan privat.155 Sifat internet yang sistemik menimbulkan konsekuensi regulatif sehingga negara harus ‘mengambil-alih’ ruang digital, bukan dalam wujudnya yang opresif, untuk mengendalikan 155

Disampaikan Agus Sudibyo dalan diskusi kelompok terfokus pada 20 September 2017 di Jakarta.

121


122

Seri Internet dan HAM

kepentingan-kepentingan ekonomi politik yang mengambil manfaat dari lalu lintas konten yang didistribusikan melalui internet.156 Argumen ini sesungguhnya menyasar pada tanggungjawab kelompok bisnis, yang mengambil keuntungan ekonomi dari aggregasi data yang tersubmisi ke dalam jaringan internet. Di satu sisi, argumen ini mengkonfirmasi betapa sentralnya data dalam mengembangkan internet sebagai sumber ekonomi baru namun di sisi lain fenomena ini menambah kompleksitas pengaturan konten yang berlalu-lalang di internet. Ketika UU ITE terbentuk, Indonesia telah memiliki sejumlah undangundang yang pada dasarnya juga mengatur distribusi konten seperti antara lain UU Pers (berita jurnalistik, Dewan Pers), UU Penyiaran (konten televisi, Komisi Penyiaran Indonesia), dan UU Perfilman (konten film bioskop, Lembaga Sensor Film) yang melahirkan institusi publik baru dengan model kelembagaan yang berbeda satu dengan yang lain. Belakangan, UU Keterbukaan Informasi Publik terbentuk mengatur hal ihwal pengaksesan dokumen-dokumen yang berada di bawah otoritas institusi publik. Ada dua problem yang muncul ketika kemudian teknologi internet mengambilalih peran medium analog. Pertama, baik undang-undang tersebut maupun lembaga yang diberikan mandat tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk menjangkau konten-konten yang pada mulanya berada di bawah tanggungjawabnya namun kemudian bermigrasi ke dalam ruang digital. Meskipun terdengar bahwa problem ini hanya sematamata persoalan intepretasi norma, pada praktiknya lembaga-lembaga tersebut bekerja sangat birokratis sehingga inisiatif-inisiatif yang bersifat kontekstual tidak teraktualisasi dalam kerja-kerja kelembagaannya. Kedua, setiap undang-undang lahir dalam konteks politik hukum yang berbeda sehingga menghasilkan model kelembagaan yang berbeda-beda. UU Pers yang dibentuk pada masa-masa awal reformasi mengambil peluang di tengah-tengah politik hukum pemerintah pasca-Orde Baru yang hendak membangun imaji negara demokratis baru berhasil melahirkan lembaga self-regulating oriented seperti Dewan Pers, yang secara independen 156 Hasil wawancara dengan Dodi Ambardi, dosen Ilmu Komunikasi UGM, pada bulan Agustus 2017 di Jogyakarta.


Seri Internet dan HAM

“mengambil-alih� kendali kerja-kerja jurnalistik hingga hari ini. Sementara itu, Lembaga Sensor Film (LSF) yang dibentuk dengan PP Nomor 18/2014 melalui mandat UU Perfilman lahir dengan menyandarkan diri pada standar-standar moralistik yang membangun sebuah rejim penyensoran terhadap konten-konten film. Migrasi konten analog ke digital melibatkan beragam jenis pengaturan konten yang telah eksis sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena infrastruktur kebijakan konten internet harus mampu mengimbangi perbedaan rejim pengaturan konten di masing-masing undang-undang. Di level inilah kebutuhan untuk membuat institusi publik yang baru dipertanyakan efektifitasnya karena sesungguhnya kontenkonten yang terdistribusi di internet hanyalah evolusi dari konten-konten analog. Pilihan-pilihan lain seperti memperluas jangkauan kewenangan, integrasi kelembagaan, membuat lembaga koordinasi hingga pengaturan yang melibatkan institusi peradilan adalah pertimbangan-pertimbangan rasional yang menjadi kontranaratif dari model pengaturan yang bersifat proteksionis (state-centric) sebagaimana halnya yang tengah terjadi di Tiongkok. UU ITE merupakan sebuah preseden buruk yang ironisnya justru menjadi tonggak awal perkembangan kebijakan dunia maya di negara yang baru saja keluar dari rejim otoritarianisme. Bukan hanya sifat pengaturannya yang cenderung melakukan penghukuman, UU ITE justru menjadi basis bagi pendisiplinan yang menginvasi dunia maya dengan mengubah persepsi internet sebagai ruang komunikasi yang deliberatif sebagai saluran-saluran baru bagi tindak kejahatan. Tidak heran kampanye-kampanye internet yang diinisiasi oleh Pemerintah selalu berurusan dengan narasi-narasi yang bersifat persuasif agar konten-konten di dunia maya terkerangka ke dalam standar moralistik tertentu, yang mereduksi tata kelola konten hari ini kembali ke dalam rejim yang represif. Praktik tata kelola konten internet yang cenderung represif dapat ditemukan tidak hanya di Indonesia hari ini, namun juga di sejumlah negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Singapura dan Malaysia serta beberapa negara Timur Tengah dan Afrika. Meningkatnya isu ekstremisme global

123


124

Seri Internet dan HAM

dan berita palsu (fake news) dalam beberapa tahun terakhir turut andil dalam membawa isu pengetatan dunia maya di Eropa dan Amerika Serikat – khususnya di bawah pemerintahan Donald Trump – yang pada satu sisi menjadi legitimasi politis bagi Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan peraturan yang lebih ketat terhadap lalu-lintas informasi di dunia maya. Di tengah kekhawatiran menguatnya sentimen terhadap ekstremisme dan kejahatan komputer, gagasan mengenai multistakeholderisme – yang sesungguhnya muncul sama tuanya dengan kehadiran internet itu sendiri – diterima sebagai sebuah pre conditio sine qua non dalam tata kelola konten internet, secara khusus, dan tata kelola internet (internet governance) secara umum. Alasan mengapa internet harus diatur dalam pendekatan multipihak bersandar pada dua hal yaitu bahwa internet telah memberikan dampak pada komunitas yang sangat luas dan beragam serta melibatkan aktor-aktor yang tanggungjawabnya saling beririsan satu sama lain. Sebagai sebuah pendekatan, multistakeholderism mengandung empat elemen yaitu (1) inklusif dan transparansi, (2) tanggungjawab bersama (collective responsibility), (3) pengambilan keputusan yang efektif serta implementasinya, dan (4) kerjasama (collaboration) di antara pemangku kepentingan.157 Masyarakat sipil dan kelompok bisnis merupakan pihak yang sangat berkepentingan dalam pendekatan ini, bukan hanya karena saat ini keduanya menjadi pengambil manfaat dan penggerak dari hadirnya internet, melainkan juga karena mampu mengimbangi narasi tunggal dunia maya yang selama ini dikendalikan oleh negara. Meskipun kedua pihak mendukung gagasan multistakeholderisme sebagaimana halnya pemerintah, imaji multistakeholderisme dalam alam pikir pemerintah dalam sedikit hal masih terkooptasi oleh keinginan untuk tetap dapat mengendalikan dunia maya dalam jangkauan regulasinya, setidak-tidaknya membayangkan multistakeholderisme sama seperti model pelembagaan dalam kerangka Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang dibentuk melalui Permenkominfo No. 19 Tahun 2014. 157 Hal ini disampaikan oleh Semmy Pangerapan, Dirjen Aptika, Kemkominfo, dalam acara IndonesiaInternet Governance Forum (ID-IGF) 2017 pada 28 Oktober 2017 di Jakarta.


Seri Internet dan HAM

Pembentukan Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif – yang terdiri dari empat panel di mana anggotanya berasal dari beragam elemen – pada mulanya merupakan respon Pemerintah terhadap berbagai kritik yang disampaikan publik lantaran kebijakan pemblokiran dan penapisan situs-situs internet yang marak dilakukan oleh Kemenkominfo. Meskipun dibentuk dengan tujuan untuk memperjelas proses pemblokiran, forum ini justru menjadi sumber kritik baru. Pertama, forum tersebut tidak independen – kendati anggotanya terdiri dari berbagai lintas kalangan – karena masih berada di bawah kendali pemerintah melalui Kemenkominfo. Kedua, keberadaan forum justru kontraproduktif dengan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas pembatasan akses terhadap konten internet, karena forum tersebut justru menjadi alat untuk melegitimasi tindakan pemerintah. Keputusan pemblokiran dan penapisan, nyatanya, selalu telah ada mendahului berfungsinya forum sebagai tim evaluasi konten. Ketiga, tidak ada efek berarti apapun yang diperlihatkan pasca pembentukan forum karena pemblokiran dan penapisan tetap menyasar konten-konten yang salah sasaran. Multistakeholderisme telah menjadi pembicaraan di seluruh dunia dan diterima sebagai pendekatan yang musykil diabaikan dalam tata kelola konten internet. Beberapa bentuk gagasan multistakeholderisme di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam beberapa spektrum yang disarikan dari sejumlah informan penelitian ini. Informan terdiri dari masyarakat sipil, pegiat media, akademisi, dan pemerintah. Spektrum di tiap-tiap aktor juga sangat beragam dan tidak mencerminkan sebuah gagasan tunggal. Pada intinya adalah gagasan multistakeholderisme di Indonesia berpusar pada pertanyaan, apakah pendekatan multipihak dalam tata kelola konten internet, perlu dibangun di dalam sebuah institusi publik atau di luar institusi publik. Pertama, baik pemerintah, masyarakat sipil, pegiat media dan akademisi menyetujui bahwa multistakeholderisme merupakan jalan terbaik untuk mengatur lalu-lintas konten di internet. Hanya saja ide ini terdia dari tiga spektrum yaitu pembentukan lembaga baru yang independen yang

125


126

Seri Internet dan HAM

mengkoordinasi lembaga-lembaga telekomunikasi yang sudah lebih dahulu ada, membentuk lembaga baru yang independen yang mengintegrasikan fungsi-fungsi lembaga telekomunikasi yang sudah eksis, dan membentuk lembaga baru yang meskipun terdiri dari elemen yang beragam tetap berada di bawah Pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo. Secara umum, spektrum ini mengisyaratkan bahwa konten internet lebih ideal diatur dalam format pengaturan co-regulation meski dengan bentuk kelembagaan yang bervariasi. Kedua, pengaturan konten lebih ideal diserahkan kepada lembaga-lembaga yang sudah ada (self-regulation) dengan memberikan kewenangan yang lebih kontekstual agar lembaga-lembaga tersebut dapat menjangkau kontenkonten digital. Model pengaturan ini sesungguhnya telah dipraktikkan oleh Dewan Pers dengan memanfaatkan arus digitalisasi kerja-kerja jurnalistik dengan membuat panduan khusus (self regulatory) mengenai kerja-kerja jurnalisme online (Panduan Media Siber), juga pengembangan model verifikasi yang ditindaklanjuti dengan pemberian Quadratic Residu (QR) Code, untuk merespon masifnya kemunculan beirta-berita daring (online) dalam beberapa tahun belakangan. Model tata kelola ini juga menjadi pilihan bagi sektor privat karena dianggap jauh lebih libertarian. Ketiga, ide untuk melibatkan lembaga peradilan dalam menentukan apakah sebuah konten layak diblokir ataupun tidak menegaskan poin penting tentang internet sebagai ruang demokratis di mana setiap aktor dapat hadir secara setara dan mengaktualisasikan standar nilai yang dipercayainya. Meskipun demikian, pertama-tama harus diidentifikasi terlebih dahulu sejauh apa pengadilan efektif (dan, sesungguhnya, relevan) dalam mengantisipasi pemblokiran sewenang-wenang sekaligus merespon secara cepat kebutuhan untuk mencegah penyebarluasan konten-konten negatif, seperti pornografi anak, di internet. Beberapa pihak merekomendasikan agar sebuah lembaga independen dibentuk dengan undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai persilangan antara penggunaan internet dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Aturan tersebut harus mengatur setidaknya beberapa hal, antara lain pembentukan komisi


Seri Internet dan HAM

independen yang secara khusus ditunjuk untuk mengatur perihal distribusi konten di internet, mengatur penggunaan konten internet, pengintegrasian prinsip-prinsip International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai limitasi pemberian sanksi, dan aturan mengenai pendidikan literasi digital bagi masyarakat.158 Baik masyarakat sipil maupun akademisi, melihat bahwa model co-regulation adalah model tata kelola yang paling ideal untuk memastikan bahwa setiap proses berjalan tidak secara tunggal.

Spektrum Multistakeholderisme Berdasarkan Empat Pemangku Kepentingan

Para pemangku kepentingan juga menganggap mustahil tata kelola konten internet diberlakukan dalam sebuah kerangka kebijakan tunggal, mengingat akar kebijakan telekomunikasi yang merentang dari pers hingga penyiaran berasal dari rejim pengaturan yang berbeda, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.159 Oleh karena itu, tata kelola konten internet harus diatur secara hybrid di mana hak asasi manusia diletakkan sebagai fondasi pengambilan keputusan. Tidak jelas apakah model hybrid ini berarti menghibridasi tata kelola di dalam sebuah lembaga khusus (co-regulation) atau menyiapkan lembaga-lembaga yang telah ada agar kewenangan yang diberikan mampu beradaptasi dengan sifat penetratif internet dan merapikan fungsi-fungsi tiap lembaga dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. 158 Hasil wawancara dengan Fadli A. Natsir pada 21 Agustus 2017 dan diskusi kelompok terfokus pada 24 Agustus 2017 di Makassar, Sulawesi Selatan. 159

Disampaikan R. Kristiawan dalam diskusi kelompok terfokus pada 20 September 2017 di Jakarta.

127


128

Seri Internet dan HAM

Salah satu konsekuensi dari betapa penetratifnya internet dalam ruangruang komunikasi publik hari ini adalah adanya kebutuhan untuk mengkonvergensi media (tele) komunikasi dalam satu payung kebijakan – dan oleh karena itu pula, di bawah sebuah lembaga payung. Isu konvergensi sesungguhnya vis a vis dengan kebutuhan untuk menerapkan kerangka kebijakan konten internet yang bersifat ‘multilingual’ menyesuaikan pola pelembagaan yang telah ada sebelumnya. Catatannya, apabila kebijakan konten diarahkan kepada konvergensi media, maka sejumlah hal harus diperhatikan. Setidak-tidaknya ada tiga hal yang harus diatur: pertama, aspek pengaturan bisnis konten internet harus dipersiapkan dalam konteks hukum persaingan usaha yang sehat; kedua, aspek perlindungan konsumen yang terkait dengan penggunaan konten-konten privat yang disubmisi ke dalam jaringan elektronik; dan ketiga, aspek khusus yang menyasar pada perlindungan terhadap kelompok rentan yang berpotensi terkena dampak negatif akibat distribusi konten di internet.160 Rebecca Ong mengatakan ada lima faktor yang berkontribusi pada proses konvergensi media yaitu (1) digitisation, (2) technological advances in transmission techniques, (3) great advancements in network speeds, compression techniques, and storage capacity, (4) the growing ability of wireless devices and application, dan (5) market liberalisation.161 Dalam konteks Indonesia, kebijakan konvergensi tampak seperti sebuah jalan panjang – terutama apabila kita mengingat kembali argumen dan butuh penyesuaian, terutama mereformasi pasar digital yang masih terseokseok menghadapi regulasi ekonomi Indonesia, yang masih belum mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Fenomena transportasi online yang berkali-kali mengalami tarik-ulur kebijakan menunjukkan bahwa Indonesia seperti belum memiliki rencana yang matang untuk mentransformasi kebijakan-kebijakan publiknya ke dalam ekosistem digital. 160 Hasil wawancara dengan Budi Irawanto, dosen Ilmu Komunikasi, UGM, pada Agustus 2017 di Jogyakarta. 161 Rebecca Ong, Market Communication and the Protection of Childern, doctoral thesis (Leiden: Leiden University Press, 2010), p. 39.


Seri Internet dan HAM

Dalam forum Indonesia-Internet Governance Forum (ID-IGF) 2017, dikatakan bahwa salah satu yang menghambat akselerasi digitalisasi (alihbentuk analog ke digital) adalah ketersediaan infrastruktur fisik yang tidak tersebar merata dan mahalnya logistik yang mempengaruhi kualitas akses jaringan ke perangkat-perangkat telekomunikasi yang digunakan. Terlepas dari bahwa dari sisi keamanan konten (dalam konteks perlindungan hak atas privasi, obyek keamanan digital adalah data pribadi) dari serangan komponen-komponen jahat komputer (malware, virus, dll.), kritik masyarakat sipil terhadap kebijakan konten yang selama ini diinisiasi Pemerintah muncul dalam konteks tak terbukanya ruang partisipasi yang proporsional bagi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa proses yang selama ini berlangsung di ruang-ruang pengambil kebijakan berlangsung secara transparan dan akuntabel. Konvergensi media mustahil terjadi apabila tidak ada daya dukung yang memadai dari setiap elemen (terutama masyarakat sipil dan pelaku bisnis) – termasuk pula kepercayaan terhadap pemerintah – untuk menciptakan platform kelembagaan yang kolaboratif, demokratis dan memiliki fungsi yang saling terinterkoneksi satu sama lain. Hal ini juga termasuk memastikan bahwa konvergensi tidak terjerumus ke dalam praktik tata kelola yang monopolistik. Apakah konvergensi tata kelola dapat menjamin bahwa pengelolaan konten internet dapat dilakukan secara demokratis dengan pendekatan multistakehoderisme? Tegang-relasi antara masyarakat sipil dan pemerintah terkait dengan bagaimana menerjemahkan pendekatan ini ke dalam peraturan perundang-undangan berkisar pada sejauh mana pendekatan multistakeholderisme ini dapat memberi porsi bagi intervensi negara, terutama dalam situasi darurat atau mendesak, sehingga setiap proses dapat diawasi dan akuntabel?

129


130

Seri Internet dan HAM

B.

Membangun Regulasi Konten Internet: Model dan Pelembagaannya

Sejumlah penjelasan yang telah dipaparkan di atas menunjukan adanya kebimbaangan dari aktor-aktor yang terlibat dalam bekerjanya ekosistem internet, khususnya pengambil kebijakan (negara), di dalam merumuskan model dan skema pengaturan yang tepat bagi internet. Muncul banyak pertanyaan, seperti haruskah internet diperlakukan sebagai layanan pos karena memiliki layanan surat elektronik (e-mail), atau karena internet memiliki kemampuan Internet Relay Chat dan voice-telephony maka harus menjadikannya sebagai layanan telekomunikasi? Lalu apakah karena internet menghadirkan koran elektronik menjadikannya media cetak dan harus tunduk pada UU Pers, atau karena internet memungkinkan ketersediaan layanan radio dan televisi menjadikannya media penyiaran? Sebagian negara kemudian ada yang memilih menempatkan internet sebagai bagian dari rezim telekomunikasi mereka, sehingga harus tunduk pada peraturan telekomunikasi, termasuk badan pengaturnya. Ada pula negara yang menempatkan internet seperti layaknya penyiaran, atau masuk kategori penyiaran khusus, sehingga internet harus tunduk pada rezim penyiaran, termasuk dalam pengawasannya. Namun, ada pula negara yang kemudian memilih menciptakan aturan khusus yang ditujukan untuk mengatur internet, tidak tunduk pada rezim aturan yang telah ada sebelumnya.

MODEL REGULASI

DEFINSI & RUANG LINGKUP

KRITERIA & PROSEDUR PEMBATASAN

SKEMA LEMBAGA PENGAWASAN

TANGGUNG JAWAB PERANTARA

Dalam perumusan regulasi mengenai tata kelola konten internet, setidaknya ada beberapa hal yang harus dipersiapkan: (i) model atau pendekatan regulasi yang akan dipilih, yang selanjutnya akan menentukan struktur regulasi dan kelembagaan dalam implementasi; (ii) definisi dan cakupan


Seri Internet dan HAM

ruang lingkup mengenai konten internet itu sendiri; (iii) kategorisasi dan tata cara pengendalian terhadap konten-konten yang masuk kualifikasi konten internet; (iv) skema dan struktur kelembagaan yang akan dibentuk untuk menangani pengaturan, pengawasan, dan pengendalian konten internet; dan terakhir (v) posisi dan tanggung jawab perantara. a. Model dan Kerangka Regulasi

Perjalanan penyusunan regulasi yang terkait dengan telekomunikasi atau bahkan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, memang memiliki kecenderungan yang mengarah ke state-centric, dimana negara dominan dan memegang kuasa penuh baik dalam pembentukan regulasi, pengawasan, maupun pengendalian. Akan tetapi, pengalaman beberapa sektor terkait, seperti Pers, Penyiaran, Informasi Publik, Film, dan bahkan Telekomunikasi (UU No. 36/1999), telah mengajarkan pendekatan baru yang mengacu pada model co-regulation.

Dalam model regulasi, sejumlah negara memang menerapkan pendekatan yang beragam, ada yang memilih mendorong pelaku pasar untuk menciptakan aturan sendiri (self-regulation), seperti Amerika Serikat; ada pula yang cenderung state-centric (direct regulation), seperti Tiongkok dan Thailand; ada pula yang mulai merepakan model-model peoples-centric dengan skema multi-stakeholder dalam penyusunan aturannya (co-regulation), seperti yang banyak dianut oleh mayoritas negara-negara Eropa. Sementara Indonesia, dalam sejarah penyusunan regulasi yang terkait dengan telekomunikasi atau bahkan teknologi informasi dan komunikasi, memang memiliki kecenderungan yang mengarah ke state-centric, dimana negara dominan dan memegang kuasa penuh baik dalam pembentukan regulasi, pengawasan, maupun pengendalian. Akan tetapi, pengalaman beberapa sektor terkait, seperti Pers, Penyiaran, Informasi Publik, Film, dan bahkan Telekomunikasi (UU No. 36/1999), telah mengajarkan pendekatan baru yang mengacu pada model co-regulation. Suatu pendekatan yang melibatkan banyak aktor sekaligus dalam penciptaan regulasi sekaligus pengawasan implementasinya, untuk mengelola suatu bidang atau sektor tententu.

131


132

Seri Internet dan HAM

Kerangka awal pengaturan teknologi informasi dan komunikasi, terutama internet, yang diejawantahkan dengan pembentukan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dari materinya memang lebih menitikberatkan pada dominasi negara dalam pengelolaannya (meski dalam pemanfaatan memberikan ruang yang sangat besar bagi swasta). Akan tetapi, melihat perkembangan dan kebutuhan hukum kekinian, sulit bagi negara untuk terus mengabil porsi dominan dalam pengaturan teknologi ini. Musti dibangun kerangka hukum dan pendekatan yang sifatnya co-regulation, mengingat kompleksitas dalam pemanfaatan teknologi ini. Pendekatan ini juga sejalan dengan keterlibatan Indonesia dalam forumforum tata kelola internet global, yang selaku menekankan pentingnya pengadopsian dan penerapan pendekatan pemangku kepentingan majemuk (multistakeholderism), dalam tata kelola internet, pengambilan kebijakan terkait, termasuk regulasi konten di dalamnya. Selain itu, sekali lagi Indonesia juga telah memiliki pengalaman yang cukup banyak dan baik, dalam menerapkan model co-regulasi untuk melakukan penatakelolaan suatu konten (pers, film, penyiaran). Adopsi pendekatan co-regulation ini setidaknya dapat tercermin dari tiga hal: pertama, dalam proses tata kelolanya sendiri, termasuk di dalamnya dalam proses pembentukan kebijakan/regulasi terkait; kedua, terkait dengan rumusan substansi yang tertuang dalam kebijakan, regulasi atau undang-undang; dan ketiga, struktur kelembagaan yang dibangun untuk menjalankan fungsi regulasi, pengawasan, dan pengendalian konten internet.

Proses

Substansi

Kelembagaan

Melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam ekosistem internet, sebagai aplikasi dari pendekatan multistakeholder

Materi kebijakan atau regulasi yang diciptakan memberikan pengakuan sekaligus peluang bagi partisipasi seluruh pemangku kepentingan

Sebagai independent regulatory body, yang merepresentasikan sejumlah stake holder dalam ekosistem internet


Seri Internet dan HAM

Merespon ketidaksatuan pengelolaan konten, yang tersebar dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya UU Pers (konten pers), UU Penyiaran (konten penyiaran), UU Keterbukaan Informasi Publik (konten informasi publik), UU Perfilman (konten film), dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (konten internet secara umum), perlu dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi keseluruhannya. Proses ini penting agar dalam pelaksanaanya tidak tumpang tindih atau bertabrakan satu sama lain, atau kemungkinan terjadi sengketa kewenangan antara satu lembaga dengan lembaga negara yang lain. Idealnya memang penyatu-atapan, seperti yang dilakukan oleh Australia dan Singapura. Namun dengan banyaknya undang-undang dan lembaga yang telah ada di Indonesia, jika ide ini akan diterapkan tentu butuh proses jangka panjang, yang membutuhkan sumber daya tidak sedikit. Musti dilakukan studi komprehensif terlebih dahulu, untuk menyiapkan cetak biru atau peta jalan untuk penyatu-atapan. Oleh karenanya, tawaran yang paling mungkin adalah dengan menyiapkan regulasi payung (undang-undang), yang secara jelas dan detail membagi kewenangan antar-sektor dan aktor. Setiap sektor dan aktor memiliki spesifikasi kewenangan dan kejelasan ruang lingkup dalam fungsi regulasi, pengawasan, dan pengendalian, sesuai dengan kekhususan isunya masingmasing. Peluang paling dekat adalah dengan mendorong proses revisi UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Meski secara formil tidak dikenal lagi nomenklatur undang-undang payung (umbrella act), namun secara materil, hasil revisi UU Telekomunikasi dapat ditempatkan sebagai materi payung, yang memperjelas pembagian peran antar sektor dan aktor, khususnya dalam pengelolaan konten internet. Pra-syarat utamanya ialah dengan memberikan kejelasan definisi dan cukupan ruang lingkup mengenai internet dan konten internet. Artinya perlu ada kejelasan akodomodasi bagi internet sebagai salah satu medium atau sarana komunikasi, sekaligus memberikan definisi tentang internet itu sendiri, dan cakupan ruang lingkup kontennya.

133


134

Seri Internet dan HAM

b. Definisi dan Ruang Lingkup Konten Internet

Konten internet adalah data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi.

Hampir semua negara mengadopsi definisi bahwa seluruh konten/informasi yang ditransmisikan melalui internet, dalam format apapun, adalah masuk dalam kualifikasi konten internet. Pun begitu dengan cakupan ruang lingkup yang dibangun oleh UU Informasi dan Transaksi Elektronik, jika konten internet dipersamakan dengan informasi elektronik. Menurut undang-undang ini konten internet (disebut dengan informasi elektronik), adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Artinya, apaun formatnya dan jenis kontennya, sepanjang data tersebut masuk kualifikasi data elektronik yang telah diolah dan memiliki arti, sehingga dapat dipahami orang, maka konten tersebut masuk dalam kualifikasi konten internet, termasuk di dalamnya pers, siaran, dan film. Kendati demikian, untuk memastikan tidak adanya tumpang tindih dalam pengelolaan konten-konten yang masuk kualifikasi konten internet, dengan beragam jenis dan variannya tersebut, perlu ada kejelasan dalam pembagian ruang lingkup kewenangan antar aktor. Misalnya kejelasan mengenai konten internet yang masuk kualifikasi konten pers yang harus tunduk pada skema dan prosedur UU Pers.


Seri Internet dan HAM

Dalam hal ini UU Pers menjawabnya dengan klausul, sepanjang konten tersebut adalah produk pers yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dalam produksinya, maka tunduk pada UU Pers dan pengawasan Dewan Pers. Pun begitu dengan produk siaran, yang harus tunduk pada pedoman perilaku penyiaran, yang dikelola oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Demikian pula dengan konten film, meski film tersebut ditransmisikan melalui internet, sepanjang materinya masuk dalam kualifikasi konten film, atau proses pembuatannya memenuhi kaidah-kaidah sinematografi, maka harus tunduk pula pada Lembaga Sensor Film (LSF). Sedangkan untuk konten-konten di luar tiga hal itu, pengawasan dan pengendaliannya dikelola oleh lembaga khusus yang mengelola konten internet. c. Kriteria dan Prosedur Pembatasan Konten Internet Permasalahan paling rumit dan sulit untuk menemukan kata sepakat dalam tata kelola konten internet, adalah terkait dengan kriteria dan prosedur pembatasan terhadap konten internet. Meskipun terdapat sejumlah prinsip-prinsip universal yang bisa menjadi acuan dalam penentuan kriteria konten-konten yang dapat dibatasi aksesnya, namun kemudian negara-negara nasional sulit untuk mengaplikasikannya secara penuh dalam hukum nasional. Hal ini mengingat konteks serta relativisme budaya yang berbeda-beda di tiap-tiap negara. Negara-negara nasional sulit untuk menentukan margin of appreciation dalam melakukan pembatasan terhadap suatu konten, agar tidak terjebak pada tindakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Namun demikian, sebagai negara pihak dari Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, mustinya Indonesia mampu secara konsisten untuk menerapkan batasan-batasan dan prosedur yang dipersyaratkan oleh Kovenan tersebut, mapun hukum international hak asasi manusia yang lainnya. Caranya adalah dengan mengadopsi dan menerapkan three-part test menurut ketentuan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, dengan rangkaian sebagai berikut:

135


136

Seri Internet dan HAM

DISEDIAKAN OLEH HUKUM (PRESCRIBED BY LAW)

MEMILIKI TUJUAN YANG SAH (LEGITIMATE AIM)

Pembatasan dimandatkan oleh undang-undang atau peraturan yang secara formal diakui, dan dibentuk oleh pembentuk peraturan perundang-undangan yang sah

Sesuai dengan alasan-alasan pembatasan, untuk tujuan: keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan/moral publik, menjaga hak dan reputasi orang lain

Rujukan ini juga sesuai dengan mandat Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945

(1) Keamanan nasional: pembatasan konten terorisme dan ekstremisme, dengan rujukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. (2) Ketertiban umum: pembatasan konten hoax dan fake news, dengan rujukan KUHP dan UU ITE; konten perjudian dengan rujukan KUHP dan UU ITE. (3) Kesehatan/moral publik: pembatasan konten pornografi dengan rujukan UU Pornografi; pembatasan konten obat-obat berbahaya, dengan rujukan UU Narkotika dan UU Kesehatan. (4) Hak dan reputasi orang lain: pembatasan konten fitnah dengan rujukan KUHP; pembatasan konten penyebaran kebencian dengan rujukan KUHP, UU ITE, dan UU Penghapusan Diskriminasi Rasial; pembatasan konten yang menyebarkan data pribadi atau privasi orang lain, dengan rujukan UU ITE; pembatasan konten yang melanggar hak cipta dengan rujukan UU Hak Cipta

PERLU UNTUK DILAKUKAN (NECESSITY)

Pembatasan harus benar-benar diperlukan. Sekalipun suatu pembatasan sesuai dengan hukum yang jelas dan memiliki tujuan yang sah, itu hanya akan lulus ujian jika benar-benar diperlukan untuk melindungi tujuan yang sah itu Kejelasan mengenai urgensi dilakukannya pembatasan terhadap suatu konten, yang ditopang dengan suatu prosedur yang transparan dan akuntabel, serta dapat diuji oleh pengadilan (subject to judicial oversight)

Kategorisasi di atas mencoba untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi antara prinsip-prinsip universal yang menjadi rujukan dalam pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, khususnya konten internet, dengan rujukan undang-undang nasional, yang telah mengakomodasi nilainilai dan kepentingan nasional. Sebagai penegasan, mengacu pada prinsipprinsip universal dan peraturan perundang-undangan nasional, jenis-jenis atau kriteria konten internet yang dapat dibatasi aksesnya atau bahkan penghapusan (take down), adalah konten-konten yang mengandung:


Seri Internet dan HAM

1.

Materi terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan, dibatasi dengan alasan keamanan nasional, dengan rujukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

2.

Materi hoax, fake news, atau rumor, dibatasi dengan alasan ketertiban umum, dengan rujukan KUHP dan UU ITE;

3.

Materi perjudian, dibatasi dengan alasan ketertiban umum, dengan rujukan KUHP dan UU ITE;

4.

Materi pornografi, dibatasi dengan alasan moral atau kesehatan publik, dengan rujuan UU Pornografi;162

5.

Materi obat-obat berbahaya, dibatasi dengan alasan kesehatan publik, dengan rujukan UU Narkotika dan UU Kesehatan;

6.

Materi bermuatan fitnah, dibatasi dengan alasan hak dan reputasi orang lain, dengan rujukan KUHP;

7.

Materi penyebaran kebencian terhadap golongan-golongan penduduk, dibatasi dengan alasan menjaga hak dan reputasi orang lain, termasuk mencegah tindakan diskriminasi terhadap kelompok penduduk tertentu, dengan rujukan KUHP, UU ITE, dan UU Penghapusan Diskriminasi Rasial;

8.

Materi yang menyebarkan data pribadi atau privasi orang lain secara semena-mena, dibatasi dengan alasan untuk menjaga reputasi orang lain, dengan rujukan UU ITE;

9.

Materi yang melanggar hak cipta, dibatasi dengan alasan melindungi hak orang lain, dengan rujukan UU Hak Cipta.

Kaitannya dengan prosedur dan mekanisme dilakukannya pembatasan terhadap konten internet, model yang diterapkan oleh Australia bisa menjadi salah satu rujukan, meskipun tidak merujuk sepenuhnya. Australia mengkombinasikan antara klasifikasi dan pemblokiran dengan peringatan (notice). Lembaga atau badan yang ditunjuk sebagai regulator, pengawas, dan pengendali konten internet akan melalukan pengamatan terhadap konten-konten di internet, untuk kemudian melalukan klasifikasi dengan 162 Usulan ini terlepas dari keluasan definisi dan cukupan ruang lingkup pornografi sebagaimana diatur oleh UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi.

137


138

Seri Internet dan HAM

mengacu pada standar tertentu (termasuk prinsip pembatasan, dan juga usia). Selain dikumpulkan melalui proses klasifikasi manual, badan ini juga menerima layanan aduan dari pengguna, terkait dengan situs-situs yang dinilai berbahaya atau melanggar hukum. Klasifikasi ini penting untuk mendorong pengguna akhir, cerdas dalam memilih konten yang akan diaksesnya, sebagai bagian dari literasi digital. Namun prosesnya juga tidak berhenti pada klasifikasi, badan ini juga memberikan peringatan terhadap pengelola konten untuk melakukan pemblokiran dalam bentuk penghapusan terhadap konten yang dianggap melanggar hukum. Dalam hal pemblokiran, otoritas Australia menerapkan dua metode, tergantung pada sumber domain lokal atau berasal dari luar Australia. Apabila konten yang dianggap terlarang tersebut berasal dari domain lokal, maka badan ini dapat mengirimkan peringatan kepada penyedia konten internet untuk melakukan take down. Banding melalui jalur hukum dapat dilakukan apabila dilakukan tanpa ada peringatan terlebih dahulu, atau ada kesalahan dalam melakukan klasifikasi. Sedangkan untuk konten yang diproduksi dari domain luar, maka badan ini akan melakukan penilaian apakah konten tersebut masuk dalam kategori yang dilarang atau tidak. Jika masuk dalam klasifikasi dilarang, maka badan ini akan mengeluarkan keputusan untuk memasukan konten tersebut ke dalam daftar untuk dilakukan penapisan (filtering). Klasifikasi, dikumpulkan secara manual atau mesin dan juga layanan aduan dari pengguna. Hal ini ditujukan untuk literasi pengguna sekaligus

Pemulihan dan normalisasi terhadap konten yang telah diperbaharui, dan terhadap tindakan kesalahan dalam klasifikasi atau pemblokiran, atau penapisan

Pemblokiran, bisa dalam bentuk take down dengan notice, bagi domain di dalam negeri, juga masuk dalam daftar penapisan untuk domain di luar negeri. Disediakan mekanisme banding ke Pengadilan jika dilakukan tanpa notice atau ada kesalahan prosedur


Seri Internet dan HAM

Dalam prosesnya di Indonesia, setelah ada kejelasan mengenai jenis-jenis atau ketegori konten yang dapat dibatasi, sebagaimana skema di atas, badan yang ditunjuk akan melakukan proses klasifikasi. Proses ini bisa dilakukan secara manual maupun menggunakan mesin, maupun berbasis pada pengaduan dari pengguna akhir. Catatannya mesin yang digunakan untuk klasifikasi, tidak dimelakukan tindakan instrusif atau pengamatan (surveillance) terhadap pengguna, dan secara berkala ada laporan transparansi yang berisi data-data agregat dari bekerjanya mesin ini. Hal ini untuk memastikan bahwa tidak terjadi pelanggaran terhadap hak atas privasi dan kebebasan berekspresi dari bekerjanya mesin ini. Setelah dilakukan proses klasifikasi, mengacu pada kategori yang telah ditentukan, badan ini akan melakukan penilaian untuk kemudian memberikan peringatan (notice) kepada pengelola konten untuk melakukan take down (penghapusan) atau mengubah materi kontennya. Jika pengelola konten tidak memberikan respon, atau bersikeras dengan materi kontennya, badan ini bisa mengeluarkan keputusan pemblokiran terhadap konten tersebut. Keputusan ini menjadi objek gugatan untuk diperiksa oleh pengadilan (subject to judicial oversight). Di Indonesia, ruangnya tersedia melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara. Sementara banding atau komplain yang sifatnya administratif dapat dilakukan langsung terhadap badan pengelola konten ini. Sedangkan terhadap konten yang domainnya di luar negeri, badan ini dapat mengeluarkan keputusan pemblokiran/ penapisan dengan cara menyaring DNS dari konten bersangkutan, melalui bantuan ISP’s. Keputusan ini juga dapat menjadi objek pengujian di pengadilan, sebagai implementasi dari prinsip judicial scrutiny. Selain klasifikasi dan pemblokiran/penapisan, dalam prosedur juga diatur perihal mekanisme normalisasi dan pemulihan. Normalisasi ditujukan terhadap konten-konten yang telah diperbaharui, sehingga tidak lagi masuk dalam kategori berbahaya atau melanggar hukum (illegal content). Sedangkan pemulihan ditujukan bagi konten yang diklasifikasikan secara tidak tepat atau mengalami kesalahan prosedur dalam pemblokiran. Pemulihan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa putusan pengadilan.

139


140

Seri Internet dan HAM

Kriteria dan prosedur pembatasan terhadap konten internet seperti di atas, mencoba untuk menggabungkan ketiga arsitektur dalam internet sekaligus: arsitektur hukum, arsitektur sosial, dan arsitektur teknologi. Arsitektur hukum bahwa tindakan pembatasan merupakan bagian dari mandat undang-undang dan dijalankan dengan mengacu pada peraturan perundang-udangan. Arsitektur sosial tercermin dari partisipasi pengguna dalam memberikan aduan, sekaligus mendorong pengguna untuk selektif dalam memilih konten yang sesuai dengan kebutuhan dan pilihannya. Sedangkan arsitektur teknologi terimplementasi dengan diterapkannya tindakan pemblokiran dan penapisan. d. Kelembagaan Regulator, Pengawas, dan Pengendali Sebagai salah satu aplikasi dari ketentuan Pasal 19 ayat (3) ICCPR, PBB menyerukan agar setiap tindakan pembatasan kebebasan berekspresi dalam bentuk pemblokiran/penapisan konten internet, harus diputuskan oleh badan yang independen dari pengaruh politik, komersial atau pihak lainnya yang tidak berwenang. Badan ini bisa pengadilan atau institusi independen lainnya, untuk memastikan bahwa tindakan pembatasan tidak dilakukan secara semena-mena ataupun diskriminatif. Hal ini juga sejalan dengan kebutuhan Independent Regulatory Body (IRB) dalam pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi, khususnya internet. Badan independen ini yang selanjutnya akan berfungsi sebagai regulator, pengawas, dan pengendali dalam pengelolaan konten internet. Menurut Danrivanto Budidjanto (2014), seiring dengan kebutuhan ruang yang lebih besar bagi peranan masyarakat dalam mengatur dirinya sendiri, maka fungsi dan peranan pemerintah lebih ditempatkan sebagai fasilitator. Sedangkan untuk memastikan bekerjanya suatu undang-undang diperlukan suatu badan khusus, yang bersifat independen, yang akan menjadi regulator, pengawas, dan pengendali dalam pelaksanaan undangundang tersebut.163 Persoalannya kemudian, khusus yang terkait dengan pengelolaan konten internet, mengacu kepada Pasal 40 B UU ITE, wewenang 163

Danrivanto Budhijanto, Teori Hukum Konvergensi, (Bandung: Refika Aditama, 2014), hal. 144.


Seri Internet dan HAM

regulasi, pengawasan, dan pengendalian konten internet, diberikan mandatnya kepada pemerintah, yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu dalam pelaksanaan UU Telekomunikasi, juga telah dibentuk Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), meski tidak dimandatkan secara eksplisit oleh UU Telekomunikasi, dan pembentukannya hanya mengacu pada peraturan menteri. Situasi dan praktik tersebut sesungguhnya bisa menjadi ruang sekaligus peluang untuk membangun konsep kelembagaan yang memenuhi kualifikasi independent regulatory body, sekaligus sebagai proses transisi dari BRTI untuk menjadi badan regulator independen. Dalam era konvergensi seperti sekarang, menurut Danrivanto Budhijanto, diperlukan sebuah badan regulator yang mampu mengelola konvergensi 4C sekaligus, yang meliputi: communicating, computing, content, dan community.164 Mengacu pada kebutuhan ini, dengan wewenang yang diberikan pemerintah dapat mendesain sebuah badan independen baru, untuk mengelola pelaksanaan UU Telekomunikasi, sekaligus pengawasan dan pengendalian konten internet. Artinya, dalam hal kategorisasi dan klasifikasi konten, termasuk prosedur dalam pengawasan dan pengendalian, untuk sementara waktu, diatur melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana dimandatkan UU ITE. Meski dalam jangka panjang, pengaturan ini semestinya diatur dengan detail dan kuat dengan menggunakan wadah undang-undang, misalnya dalam materi muatan UU Telekomunikasi hasil revisi. Selain kategorisasi, peraturan pemerintah ini juga mendelegasikan pembentukan badan independen, yang menjalankan peran BRTI selama ini, ditambahkan kewenangan yang terkait dengan pengawasan dan pengelolaan konten internet. Secara formil, pembentukan dan pengaturan struktur badan ini dapat dapat wadahi oleh Peraturan Presiden, yang mandat pembentukannya dieksplisitkan oleh peratutan pemerintah. Apabila dibuatkan alur prosesnya kurang lebih sebagai berikut: 164

Ibid., hal. 119.

141


142

Seri Internet dan HAM

UU IT

UU Telekomunikasi

Peraturan Pemerintah

Permenkominfo BRTI

Perpres Pembentukan dan Struktur Badan Regulator Independen

Revisi UU Telekomunikasi

Badan regulator independen inilah yang selanjutnya akan menjalankan peran dan fungsi-fungsi dalam tata kelola konten internet, sebagaimana dijelaskan di atas. Selain juga tetap menjalankan peran-peran yang selama ini dilakukan oleh BRTI. Oleh karena badan ini berfungsi sebagai regulator, pengawas, dan pengendali sekaligus, maka komposisi keanggotaannya pun harus mencerminkan representasi dari stake holder, termasuk di dalamnya pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Guna memastikan independensi dari orang-orang yang terpilih sebagai anggota atau komisioner dari badan ini, proses rekrutmen harus diatur seketat mungkin, dan prosesnya harus transparan dan akuntabel. Misalnya dengan adanya pengaturan mengenai pembentukan panitia seleksi independen, yang akan mengelola proses pengisian keanggotaan badan ini. Selain itu, dalam pelaksanaan tugasnya, khususnya yang tekait dengan pengawasan dan pengendalian konten internet, dalam pengambilan keputusan apakah suatu konten masuk dalam kategori berbahaya sehingga layak diblokir berdasarkan three-part test, panel pengambilan keputusan juga dapat mengikutsertkan pihak dari luar, baik ahli maupun lembaga independen terkait, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Dewan Pers, KPI, Lembaga Sensor Film, atau Komisi Informasi. Meski dalam proses pengambilan keputusan dapat melibatkan lembaga terkait, keputusan dikeluarkan tetap atas nama lembaga, yang tunduk pada prinsip judicial scrutiny, atau dapat diuji di pengadilan, jika subjek penerima keputusan berkeberatan dengan keputusan yang dikeluarkan.


Seri Internet dan HAM

C.

Posisi dan Tanggung Jawab Perantara

Kelompok bisnis merupakan kelompok yang paling berpengaruh terhadap perkembangan dan peningkatan penggunaan internet sekaligus pihak yang memperoleh keuntungan paling banyak dari akselerasi teknologi informasi dan komunikasi. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, korporasi memperoleh keuntungan (revenue), bukan dari banyaknya orang yang menggunakan layanan yang disediakan untuk pengguna melainkan, aktivitas penggalian data (data mining) yang terjadi setiap kali pengguna internet (end-user) menggunakan layanan internet. Lahirnya media sosialmedia sosial baru di era digital di satu sisi merupakan pertanda bahwa masyarakat memiliki banyak pilihan dalam berkomunikasi namun di sisi lain juga menjadi potensi sumber ekonomi baru. Milyaran konten baru tiap detiknya terdistribusi dan ditransmisi melalui platform media sosial yang sesungguhnya dijalankan oleh korporasi yang memperoleh untung besar dari aktivitas yang dilakukan dengan memanfaatkan internet. Di sisi lain, kebijakan konten hari ini justru belum mampu melihat peran besar korporasi di balik betapa masifnya penggunaan internet dan padatnya lalu-lintas konten yang tercipta dalam jaringan elektronik global ini. Internet memiliki potensi ekonomi bagi korporasi yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi untuk menjangkau pasar ekonomi yang jauh lebih luas.165 Seperti halnya media sosial, yang merupakan institusi yang dualistik, dengan fungsi sebagai institusi sosial sekaligus institusi ekonomi. Sebagai institusi ekonomi, media sosial memperoleh keuntungan finansial dari aktivitas warganet yang menggunakan paltform-nya, sehingga harus diperlakukan sebagai korporasi. Perluasan jangkauan pengaturan terhadap korporasi media cetak juga perlu dilakukan untuk menjangkau korporasi media yang memanfaatkan jaringan elektronik untuk mendistribusikan beritaberitanya secara online.166 165

Disampaikan Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan, dalam diskusi kelompok terfokus pada 20 September 2017 di Jakarta.

166

Disampaikan Agus Sudibyo, Ahli Komunikasi, dalam diskusi kelompok terfokus pada 20 September 2017 di Jakarta.

143


144

Seri Internet dan HAM

Di sisi ini, kebijakan publik bertujuan untuk menyeimbangkan aktivitas ekonomi digital dengan ekonomi konvensional sehingga tidak terjadi monopoli pemerolehan keuntungan (revenue) dari pasar konten internet. Dalam aspek lain, saat ini peran penyedia layanan internet (baik konten maupun jaringan internet) dalam mencegah penyebarluasan konten-konten negatif lebih banyak bertumpu pada peran Kemenkominfo yang sifatnya topdown. Permenkominfo Nomor 19/2014 Tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif, yang secara implisit menyerahkan kendali penanganan konten kepada pemerintah sementara penyedia layanan bertindak sebagai pelaksana perintah, yang hanya memiliki kewajiban tanpa diberikan ruang negosiasi untuk berargumen atas keputusan pemerintah. Meskipun terdapat kemungkinan untuk melakukan normalisasi situs (Pasal 16), hubungan yang terjadi dalam proses penentuan pemblokiran situs hanya terjadi satu arah antara pemerintah (Kemenkominfo) dengan penyedia layanan (korporasi). Sementara itu hubungan antara pemilik konten atau situs dengan entah itu pemerintah maupun korporasi hanya bersifat post facto, ketika situs ataupun konten telah diblokir ataupun masuk ke dalam daftar hitam. Permenkominfo tidak secara gamblang menjelaskan peran dan posisi para aktor di dalam ekosistem pengelolaan konten internet; alihalih menciptakan hubungan yang kolaboratif antar pemangku kepentingan, Permenkominfo justru membangun hubungan yang konfliktual antara pemilik situs atau konten yang diblokir vis a vis dengan pemerintah. Hal paling krusial yang luput dari proses ini adalah mekanisme pemulihan ekonomi bagi pemilik situs atau konten yang salah blokir atau tapis. Selain aspek hak asasi manusia (imaterial) yang dilanggar – yang telah berkalikali menjadi topik diskusi antara masyarakat sipil dengan Pemerintah – pemblokiran yang berlebihan (overblocking) juga berpotensi menyebabkan kerugian finansial yang tak mampu dijangkau oleh baik UU ITE maupun, dalam hal teknis, oleh Permenkominfo 19/2014. Sejak konten internet telah bertransformasi menjadi sumber ekonomi baru, terutama menjadi faktor yang mampu menggenjot aktivitas ekonomi kreatif, situs-situs legal yang diblokir sesungguhnya mengalami kerugian material yang


Seri Internet dan HAM

semestinya bisa diperoleh dalam periode pemblokiran. Studi mengenai dampak finansial terhadap praktik pemblokiran memang perlu dilakukan untuk memprediksi sejauh mana pemblokiran tidak hanya berdampak pada kebebasan sipil warganet namun juga berpotensi melanggar hak-hak ekonomi, sosial, budaya. Selama ini, aspek finansial dari pemblokiran justru menjadi legitimasi untuk melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang dianggap melanggar hak kekayaan intelektual yang pada praktiknya justru banyak merugikan pengakses karya. Padahal, pemblokiran sendiri – sejak situs-situs internet memperoleh pendapatan dari memanfaatkan penggunaan ruang-ruang situs untuk beriklan – sangat tidak efesien secara ekonomi.

Ketidakseim bangan pasar digital dan pasar konvensional

Tidak adanya mekanisme pemulihan yang komprehensif

Mekanisme blokir/tapis masih satu arah

Lemahnya kewajiban pencegahan konten negatif oleh korporasi

Dimensi Masalah Tata Kelola Konten Internet Berkaitan dengan Korporasi Digital

Dalam beberapa tahun terakhir, pemblokiran dan penapisan situs-situs internet bermuatan negatif mengalami peningkatan. Tahun 2016 saja, Kemenkominfo sudah memblokir 773.097 situs bermuatan negatif yang sebagian besar berisi materi pornografi, lebih besar ketimbang tahun 2015 di mana sebanyak 766.394 situs diblokir Pemerintah.167 Sementara itu, di paruh pertama 2017 Kemenkominfo memblokir 6.000 situs internet atau akun media sosial yang diduga menyebarkan ujaran kebencian, fitnah dan hoax (kabar bohong) saja.168 Fenomena ujaran kebencian dan berita palsu di satu sisi membuat pemerintah semakin aktif menutup situs-situs internet namun di sisi lain daya dukung kebijakan untuk melibatkan penyedia 167 Lihat: “Di Tahun 2016 Kemkominfo Blokir 773.097 Situs”, dalam http://internetsehat.id/2016/12/ di-tahun-2016-kemkominfo-blokir-773-097-situs/, diakses pada 22 Oktober 2017. 168 Lihat: “Kominfo Blokir 6 Ribus Situs Penyebar Hoax dan Ujaran Kebencian”, dalam http://nasional. republika.co.id/berita/nasional/umum/17/08/26/ovakgy-kominfo-blokir-6-ribu-situs-penyebarhoax-dan-ujaran-kebencian, diakses pada 22 Oktober 2017.

145


146

Seri Internet dan HAM

platform digital, terutama sekali media sosial, masih lemah. Pemerintah Indonesia nampaknya akan mempertimbangkan untuk mereplikasi model regulasi yang diterapkan oleh Pemerintah Jerman yang mendenda penyedia layanan – dan Pemerintah Inggris baru-baru ini – untuk mencegah multiplikasi berita palsu di dunia maya. Akan tetapi, sejauh apa efektifitas replikasi model Jerman ini di Indonesia juga masih diragukan terutama karena hambatan yurisdiksi dan posisi tawar (bargaining power) pemerintah Indonesia terhadap korporasi. Model tata kelola yang bertumpu pada pengaturan mandiri (self-regulation) umumnya hanya akan menyandarkan diri pada peraturan internal (term of service) tiap-tiap perusahaan media, seperti yang dilakukan Amerika Serikat. Hanya saja, efektifitas ToS sangat bergantung pada sejauh mana publik – bahkan pemerintah sendiri – terliterasi secara baik untuk membedakan konten negatif dengan konten positif. Kritiknya, praktik penyensoran yang terjadi selama ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah sebagai otoritas tunggal, namun juga menjadi sangat efektif – dan dalam derajat tertentu – brutal karena memperoleh dukungan mayoritas. Bentuknya berupa penyensoran secara sosial (social censorship), yang mereduksi dunia maya ke dalam semata-mata apa yang dianggap benar oleh mayoritas, yang justru berkontradiksi dengan semangat deliberasi internet.169 Salah satu perusahaan media sosial yang memiliki cabang di Indonesia mengatakan bahwa efektifitas pelaporan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap konten-konten negatif yang muncul di platform medianya hanya sebesar 1% dari total pengguna yang melaporkan. Sementara tingkat akurasi laporan yang berasal dari pemerintah hanya sebesar 30%. Fakta ini dapat dibaca menjadi dua hal yaitu pertama Pemerintah tidak maksimal memanfaatkan layanan pengaduan yang disediakan oleh penyedia layanan dan kedua lemahnya kapasitas Pemerintah sendiri untuk memahami secara baik apa yang dimaksud sebagai konten negatif.

169

Hasil wawancata denan Dyna Herlina S, dosen Ilmu Komunikasi, UNY, pada Agustus 2017 di Jogyakarta.


Seri Internet dan HAM

Sektor privat memainkan peran penting dalam mendayagunakan internet secara baik. Ada dua alasan mengenai hal itu, sebagaimana dikemukakan oleh Belli dan Venturini. Pertama, sektor privat merupakan pihak yang sangat kuat yang berpartisipasi dalam memberikan standar terhadap arsitektur internet sehingga memiliki pengaruh langsung bagi kemungkinan untuk menginkorporasi prinsip-prinsip hak asasi manusia ke dalam pengambilan kebijakan. Kedua, kelompok privat mampu meregulasi perilaku pengguna selama beraktivitas dalam jaringannya melalui klausa kontraknya yang persis sama dengan norma hukum yang berlaku di teritori di mana pengguna tersebut berada.170 Kontribusi sektor privat di internet menciptakan ‘romantisme’ yang mutualistik sehingga posisi kelompok privat di tengah-tengah warganet menjadi jauh lebih kuat, ketimbang negara. Pada level inilah seharusnya pelibatan aktif kelompok privat harus mulai diinisiasi, terutama sekali untuk memenuhi kebutuhan literasi digital yang dianggap kondisi paling ideal dalam tata kelola konten internet. Dengan model pelembagaan tata kelola konten internet sebagaimana diuraikan di atas, yang dalam pengawasan dan pengendaliannya lebih menekankan pada model alternative berupa notice dan take down, maka catatan mengenai posisi dan tanggung jawab perantara atau intermediary adalah sebagai berikut: •

Perantara pada dasarnya harus kebal dari tanggung jawab atas konten pihak ketiga, dalam keadaan mereka tidak terlibat dalam memodifikasi konten tersebut;

Negara tidak boleh mendelegasikan tindakan penyensoran kepada perantara. Perantara seharusnya hanya diminta untuk menghapus konten setelah perintah yang dikeluarkan badan independen, atau perintah pengadilan, yang telah memutuskan bahwa materi yang dipermasalahkan itu melanggar hukum.

170 Luca Belli and Jamila Venturini, “Private Ordering and the Rise of Terms of Service as Cyber Regulation,” Internet Policy Review: Journal On Internet Regulation, Vol. 5 (4), 2016, hal. 2.

147


148

Seri Internet dan HAM

•

Perantara juga harus menyediakan layanan aduan, dengan mengacu pada klasifikasi dan kategorisasi konten yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.

•

Perantara menjadi kehilangan kekebalannya, jika telah diberikan waktu untuk melakukan take down, sebagaimana diputuskan oleh badan independen atau pengadilan, namun dalam jangka waktu tertentu tidak melakukannya.

•

Selain itu perantara juga harus secara berkala memberikan pengumuman dan pemberitahuan mengenai perubahan syarat ketentuan layanan (term of services), sebagai online platform kontrak antara perantara dengan pengguna.

Hal yang tidak kalah penting yang harus dilakukan bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, pegiat media, akademisi, dan juga sektor swasta—perantara, adalah mendorong literasi digital. Hal ini penting sebagai prakondisi yang ideal agar pengelolaan konten internet tidak lagi tergantung pada intervensi negara di dunia maya. Kultur berinternet merupakan fondasi yang mesti dibangun agar kebijakan tata kelola konten internet tidak menjadi elemen yang destruktif terhadap fungsi dunia maya. Meskipun demikian, belum ada deskripsi yang gamblang tentang karakteristik macam apa yang dapat diidentifikasi untuk mengetahui kondisi ini. Abraham H. Foxman dan Christopher Wolf mengidentifikasi empat elemen literasi digital yang terdiri dari (1) pemahaman tentang pentingnya sumber-sumber yang kredibel, termasuk kesadaran obyektif tentang siapa, untuk tujuan apa sebuah konten diciptakan; (2) kemampuan untuk mengidentifikasi bias yang muncul di dalam konten; (3) pemahaman dasar tentang cara kerja internet termasuk peran mesin pencari dan media sosial sebagai perantara (intermediary) dan pemahaman tentang apa itu URL; dan (4) kemampuan untuk mengenali macam-macam tema, motif, ketertarikan emosional yang teridentifikasi sebagai ujaran kebencian (hatepromoting) yang teroganisir.171 171

Abraham H. Foxman and Christopher Wolf, Viral Hate: Containing Its Spread on the Internet, (New York: Palgrave McMillan, 2013), hal. 162-163.


Seri Internet dan HAM

Hingga saat ini belum ada studi yang dapat menerangkan apakah masyarakat yang terliterasi secara digital memiliki hubungan positif dengan menurunnya intervensi pemerintah terhadap aktivitas warganegara di dunia maya. Pemerintah adalah pihak yang paling sering mengemukakan bahwa persoalan literasi digital menjadi alasan kenapa intervensi negara terhadap dunia maya masih relevan untuk dilakukan. Dalam data yang dirilis Central Connecticut State University tahun 2016, minat baca orang Indonesia memang berada di urutan 60 dari 61 negara172 kendati Indonesia merupakan salah satu negara yang penduduknya paling aktif menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi.173 Praktik literasi digital memang telah dilakukan pada level yang sangat sporadis di lembaga-lembaga pendidikan dan pemerintahan.174 Akan tetapi, upaya literasi digital di Indonesia masih kurang melibatkan peran sektor privat – berbeda dengan apa yang dipraktikkan di Australia, misalnya – sehingga belum menjangkau elemen masyarakat yang luas. Semua setuju bahwa mengedukasi publik merupakan proses panjang dan membutuhkan partisipasi semua pihak. Akan tetapi, selagi proses itu berlangsung entah untuk jangka waktu berapa lama, pekerjaan rumah bagi semua pihak tetap sama yaitu memastikan internet menjadi tempat yang demokratis bagi semua orang.

172 Lihat: “Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke 60 Dunia”, dalam http://edukasi.kompas.com/ read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia, diakses pada 22 Oktober 2017. 173 Lihat: “Indonesia Negara Paling Berisik di Media Sosial”, dalam https://inet.detik.com/ cyberlife/d-2839535/indonesia-negara-paling-berisik-di-media-sosial, diakses pada 22 Oktober 2017. 174 Lihat: “Researchs Find Indonesia Needs More Digital Literacy Education”, dalam http:// theconversation.com/researchers-find-indonesia-needs-more-digital-literacy-education-84570, diakses pada 22 Oktober 2017.

149


150

Seri Internet dan HAM


Seri Internet dan HAM

BAB V PENUTUP

Internet telah menjadi medium penting dalam pemenuhan hak atas informasi pada jaman ini. Teknologi ini telah menjadi ruang aktualisasi bagi beragam hak asasi manusia, seperti hak atas kebebasan berbicara, berpendapat dan berekspresi. Tak hanya itu, teknologi ini juga diakui sebagai salah satu instrumen kunci di dalam upaya pemenuhan hak asasi manusia secara kesuluruhan, termasuk di dalamnya hak ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun demikian, kendati internet menempati posisi kunci dalam pembangunan dan hak asasi manusia, membaca narasi dalam keseluruhan bab pada tulisan ini, justru memperlihatkan lambatnya respon dari pemerintah di dalam menyiapkan regulasi yang mampu menjawab kebutuhan dalam pemanfaatan teknologi internet ini, khususnya yang terkait dengan tata kelola konten internet. Adagiumnya memang, hukum selalu tertinggal dengan pesatnya perkembangan teknologi. Pemerintah nampak kebingungan di dalam memilih model regulasi yang tepat, untuk mengatur teknologi baru yang sangat cepat inovasinya ini. Kelambatan respon pemerintah tersebut nampak dari lamanya pembentukan regulasi khusus yang mengatur internet. Meski internet telah dimanfaatkan di Indonesia semenjak medio 1990-an, namun undang-undang yang khusus mengatur internet baru dilahirkan tahun 2008. Itu pun belum secara komprehensif mengatur seluruh kebutuhan dalam pemanfaatan teknologi internet. Beberapa persoalan yang muncul belakangan dalam pemanfaatan teknologi internet, tidak mampu direspon dengan baik oleh undangundang ini. Seperti halnya tata kelola konten, atau posisi dan tanggung

151


152

Seri Internet dan HAM

jawab perantara. Bahkan UU Telekomunikasi sebagai buah dari deregulasi tahun 1999, tidak sama sekali menyinggung perihal pemanfaatan teknologi internet, sebagai salah satu bagian dari sarana atau instrumen yang dapat digunakan dalam telekomunikasi. Hal lain yang patut menjadi sorotan adalah terkait dengan kecenderungan penciptaan regulasi yang membatasi konten internet, yang tidak sejalan dengan prinsip perlindungan kebebasan memperoleh informasi, kebebasan berbicara, berpendapat, dan berekspresi. Gambaran Indonesia memang memperlihatkan, perdebatan dalam pengaturan konten internet justru lebih banyak berisi mengenai pembatasan terhadap konten internet, karena dianggap berbahaya atau melanggar hukum. Situasi ini wajar, mengingat kecenderungan pemerintah untuk menerapkan pola state-centric dalam pengaturan teknologi infomasi dan komunikasi, yang salah satunya terdeskripsikan dalam sejarah perkembangan UU Telekomunikasi. Kendati demikian, internet harus dilihat secara berbeda, instrumen ini bukanlah suatu alat kejahatan yang harus dikhawatirkan, melainkan sarana yang melahirkan banyak inovasi dan kesempatan, oleh karenanya negara harus menyiapkan formulasi regulasi yang tepat untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaannya. Dari uraian di atas, sesungguhnya Indonesia telah memiliki banyak pengalaman yang bisa menjadi praktik terbaik dalam pembentukan regulasi dan kelembagaan yang mengelola konten internet. Seperti halnya pengalaman UU Pers, UU Penyiaran, UU Film, dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Keseluruhan undang-undang tersebut, dalam materi mengenai pengelolaan sektornya masing-masing, serta dalam pembentukan badan independen sebagai regulator, pengawas, dan pengendali, telah menerapkan pendekatan co-regulation. Adopsi pendekatan tersebut dapat terlihat dari proses pengelolaan kontennya, serta representasi dan struktur kelembagaan pengelolanya.


Seri Internet dan HAM

Rujukan dari sejumlah undang-undang tersebut, juga pengalaman dan praktik terbaik dari negara lain, dapat menjadi contoh baik dalam pengembangan regulasi mengenai tata kelola konten internet di Indonesia. Regulasi ini diperlukan agar ada kejelasan mengenai definisi dan cakupan ruang lingkup konten internet, klasifikasi dan kategorisasi untuk dapat melakukan pembatasan terhadap konten internet yang dinilai berbahaya, prosedur dalam pengelolaannya, serta pembentukan badan regulator independen yang diperlukan untuk mengelolanya. Hasil studi ini sendiri telah mengidentifikasi sejumlah rekomendasi bagi perbaikan dan pembaruan kebijakan tata kelola konten internet di Indonesia. Dalam model regulasi, praktik di berbagai negara maupun pengalaman Indonesia sendiri menunjukan bahwa model co-regulation adalah pilihan paling tepat dan paling baik. Implementasi pendekatan ini musti terekam baik dalam proses perumusan kebijakannya, substansi dari kebijakan atau isinya, juga di dalam pembentukan kelembagaan yang menjadi pelaksana dari undang-undang. Selain itu, dalam hal cakupan ruang lingkup konten internet, Indonesia juga perlu secara jelas memberikan definisi dan batasan mengenai jenis-jenis konten yang masuk kategori konten internet, sehingga setara dalam pertanggungjawabannya. Kejelasan mengenai batasan dan cakupan ruang lingkup konten internet tersebut selanjutnya akan menjadi pijakan dalam penentuan kategori konten yang dapat dibatasi, dengan alasan-alasan yang legitimit menurut Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. ELSAM sendiri merekomendasikan sembilan kategori konten internet yang dapat dilakukan pembatasan: konten terorisme/ekstremisme berbasis kekerasan; konten perjudian, konten pornografi; konten hoax/fake news/ rumor; konten obat-obat terlarang; konten bermuatan fitnah; konten yang melanggar hak cipta; konten yang melanggar hak privasi seseorang; konten yang bermuatan penyebaran ujaran kebencian.

153


154

Seri Internet dan HAM

Materi selanjutnya yang perlu diatur adalah terkait dengan prosedur dan mekanisme di dalam melakukan tindakan pembatasan terhadap konten internet. Pembatasan baik dalam bentuk pemblokiran maupun penapisan harus senantiasa mengacu pada prinsip-prinsip pembatasan sebagaimana diatur oleh hukum hak asasi manusia. Selain harus terlebih dahulu melewati three part test, prosedurnya juga harus transparan dan akuntabel, tidak boleh dilakukan secara semena-mena. Guna memastikan kejelasan di dalam prosedur tersebut, prosesnya musti dikendalikan dan diawasi oleh sebuah lembaga independen yang bebas dari kepentingan politik dan ekonomi, yang keputusannya tunduk pada pengujian pengadilan (subject to judicial oversight). Oleh karenanya, meski UU ITE memberikan wewenang bagi pemerintah untuk melakukan pemutusan terhadap konten internet yang dianggap melanggar hukum, akan sangat baik jika pemerintah berinisiatif untuk membentuk sebuah badan khusus yang independen untuk mengelola hal ini. Studi ini merekomendasikan optimalisasi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), untuk sekaligus menjadi regulator, pengendali dan pengawas dalam tata kelola konten internet. Tentunya dengan revisi dasar hukum pembentukan BRTI, perubahan struktur kelembagaan, juga komposisi komisionernya, termasuk metode pengisian atau rekrutmennya, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Berikutnya yang penting lagi untuk diperjelas adalah terkait dengan posisi dan tanggung jawab perantara (intermediary), khususnya terkait dengan konten yang didistribusikan di internet. Sebab dalam distribusi konten tentu tidak semata melibatkan penyedia layanan konten atau produsen konten, tetapi juga penyedia layanan internet, penyedia platform, maupun mesin pencari (search engine). Oleh karenanya musti diperjelas posisi, peran, dan masing-masing tanggung jawabnya, sehingga tidak menumpuk hanya pada satu pihak, atau hanya semata-mata didominasi oleh peran negara dan tanggung jawab produsen konten dalam tata kelola konten internet. Sayangnya sampai dengan hari ini memang penagaturan mengenai posisi dan tanggung jawab perantara dalam hukum Indonesia belum terumuskan dengan eksplisit.


Seri Internet dan HAM

Secara proses, pengalaman dari berbagai negara membuktikan, bahwa model pembentukan regulasi yang bersifat dari atas (top down) dalam sektor internet, hanya akan melahirkan suatu aturan yang represif dan menimbulkan risiko bagi publik, khususnya pengguna internet. Oleh sebab itu, yang paling tepat adalah menciptakan aturan sektor internet dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan, dengan mengadopsi pendekatan multistakeholderism (pemangku kepentingan majemuk), sehingga bisa tercipta suatu aturan yang menjunjung tinggi keterbukaan dan kebebasan internet (free and open), tetapi pada sisi lain juga mampu meminimalisir dampak negatif dari penggunaan teknologi ini. Tegasnya, skema multi-pihak penting dijalankan dalam pembentukan regulasi yang terkait dengan internet, mengingat besarnya pihak yang terlibat dalam pemanfaatan teknologi ini, juga dampak yang ditimbulkan. Pungkasnya, sejalan dengan rekomendasi dari badan PBB, memastikan seluruh intrumentasi hak asasi manusia internasional melekat dalam setiap regulasi yang mengatur internet adalah suatu keharusan. Kepastian adopsi instrumentasi tersebut akan menjamin dilindunginya hak-hak individu dalam berinternet, khususnya yang terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan hak atas privasi, juga termasuk jaminan akses yang universal. Terakhir, hasil penelitian Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang terumuskan dalam buku ini, harapannya dapat menjadi salah satu panduan dalam formulasi kebijakan tata kelola konten internet di Indonesia, yang mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia.

155


156

Seri Internet dan HAM


Seri Internet dan HAM

DAFTAR PUSTAKA

Abraham H. Foxman and Christopher Wolf, Viral Hate: Containing Its Spread on the Internet, (New York: Palgrave McMillan, 2013). Agus Raharjo, Anarki di Cyberspace, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2016). Ahmad Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Refika Aditama: 2004). AL. Wisnubroto, Konsep Hukum Pidana Telematika, (Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011). Andrej Savin, EU Internet Law, (Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited, 2013). Article 19, Intermediaries: Dillema of Liability, 2016. Ben Wagner, Global Free Expression – Governing the Boundaries of Internet Content, (Switzerland: Springer: 2016). Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, (London: Verso, 1983) Brian Fitzgerald, Fuping Gao, Damien O’Brien, Brisbane, Sampsung Xiaoxiang Shi (Eds.), Copyright Law, Digital Content And The Internet In The Asia-Pacific, (Sydney: Sydney University Press, 2008). Center for Democracy and Technology, Lessons learned too well: The evolution of Internet regulation”. Technical report, CDT Fellows Focus series (2011). Christopher T. Marsden, Internet Co-Regulation: European Law, Regulatory Governance and Legitimacy in Cyberspace, (Cambridge: Cambridge University Press, 2011). ---------------, Net Neutrality Towards a Co-regulatory Solution, (London: Bloomsbury Academic, 2010).

157


158

Seri Internet dan HAM

CIGI and The Royal Institute for International Affairs, Global Commission on Internet Governance: One Internet, (London: CIGI and Chatham House, 2016). Danrivanto Budhijanto, Teori Hukum Konvergensi, (Bandung: Refika Aditama, 2014 ---------------, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran dan Teknologi Informasi-Regulasi dan Konvergensi, (Bandung Refika Aditama, 2010). David R. Johnson and David Post, Law and Borders: The Rise of Law in Cyberspace, 481 Stanford Law Review (1996). Eric Brousseau, Meryem Marzouki, Ce´cile Me´adel (eds.), Governance, Regulations and Powers on the Internet, (Cambridge: Cambridge University Press, 2012). Gerald Spindler dan Giovanni Maria Riccio, Study on the Liability of Internet Intermediaries, (Brussel: European Council, 2007). Hannah Beech, Inside Tiongkok’s Great Firewall: Beijing already controls the Chinese Internet, now it wants the rest of the online world, dalam Majalah Time, Vol. 185, No. 23, 22 Juni 2015. Ian Brown and Christopher T. Marsden, Regulating Code: Good Governance and Better Regulation in the Information Age, (Cambridge: MIT Press, 2013). J. Goldsmith dan T. Wu, Who Controls the Internet? Illusions of a Borderless World, (Oxford: Oxford University Press, 2006). Joanna Kulesza, International Internet Law, (London: Routledge, 2012), hal. 63-65. Joel Reidenberg, Lex informatica: The formulation of information policy rules through technology. Texas Law Review, 76(3):553–584 (1998). Kristen E. Eichensehr, The Cyber-Law of Nations, The Georgetown Law Journal, Vol. 103:317 (2014). Lawrence Lessig, Code and Other Laws of Cyberspace version 2.0, (New York: Basic Books, 2006). Louise Cooke, Controlling the Net: European approaches to content and access regulation, dalam Journal of Information Science, 33 (3), (2007)


Seri Internet dan HAM

Luca Belli and Jamila Venturini, “Private Ordering and the Rise of Terms of Service as Cyber Regulation,” Internet Policy Review: Journal on Internet Regulation, Vol. 5 (4), 2016. M. Klang, “Controlling online information”. Paper presented at WSIS, Internet Governance and Human Rights, Uppsala, Sweden (2005). Michael E. Milakovich dan George J. Gordon, Public Administration in America, Seventh Edition, (USA: Wadsworth and Thomson Learning, 2001). Marshall McLuhan, The Gutenberg Galaxy (Toronto: University of Toronto Press, 1962). --------------, Understanding Media: The Extensions of Man (The MIT Press, 1994). Martin C. Libicki, Cyberdeterrence and Cyberwar, (California: RAND Corporation, 2009). Milton L. Mueller, Networks and States: The Global Politics of Internet Governance, (Cambridge, MA: The MIT Press, 2010). Nicola Lucchi, “Internet Content Governance and Human Rights,” Vand. J. Ent. & Tech. L (Vol. 16:4:809, 2014). Paul Virilio, The Information Bomb, (New York: Verso, 20015). Rebecca Ong, Market Communication and the Protection of Childern, doctoral thesis (Leiden: Leiden University Press, 2010). Rebecca MacKinnon, dkk., Fostering Freedom Online: The Role of Internet Intermediaries, (Paris: UNESCO, 2014). Ronald Deibert et al, (eds), Access Denied: The Practice and Policy of Global Internet Filtering, (Cambridge, MA: The MIT Press, 2008). Roxana Radu, Jean-Marie Chenou, dan Rolf H. Weber (eds.), The Evolution of Global Internet Governance: Principles and Policies in the Making, (Heidelberg: Springer, 2014). Sutan Remy Syahdeini, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009). The Australian Law Reform Commission, Classification—Content Regulation and Convergent Media, Februari 2012.

159


160

Seri Internet dan HAM

Yaman Akdeniz, To Block or Not to Block: European Approaches to Content Regulation, and Implications for Freedom of Expression, Computer Law and Security Review, Vol. 26, No. 3, pp. 260-273, May 2010. Yana Breindl, Internet Content Regulation In Liberal Democracies: A Literature Review, Working Paper, Institute of Political Science, Georg-August-Universität GÜttingen, 2015. Wahyudi Djafar, dkk, Perlindungan Data Pribadi di Indonesia: usulan Pelembagaan Kebijakan dari Perspektif Hak Asasi Manusia, (Jakarta: ELSAM, 2016). ----------------, Hak Asasi Manusia dalam Pusaran Politik Transaksional: Penilaian terhadap Kebijakan HAM dalam Produk Legislasi dan Pengawasan DPR RI Periode 2004-2009, (Jakarta: Elsam: 2012). Wahyudi Djafar dan Justitia Avilla Veda, Internet untuk Semua, Mengintegrasikan prinsip hak asasi manusia dalam pengaturan internet di Indonesia, (Jakarta: ELSAM, 2014).


Seri Internet dan HAM

PROFIL PENULIS

FOTO

Wahyudi Djafar

Merupakan Peneliti dan pengacara HAM di ELSAM, saat ini sebagai Deputi Direktur Riset ELSAM. Memfokuskan diri pada topik kebebasan berekspresi, hak atas privasi dan reformasi sektor keamanan. Wahyudi juga mendalami isu konstitusionalisme dalam konteks perlindungan HAM. Dia menangani sejumlah perkara pengujian undangundang di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk isu-isu yang bersinggungan dengan hak asasi manusia. Alumni dari International Military Course on the Law of Armed Conflict, International Institute of Humanitarian Law, serta aktif dalam pertemuan-pertemuan nasional, regional dan internasional, untuk isu internet dan kebebasan berekspresi, serta keamanan. Sebelum bergabung dengan ELSAM, pernah menjadi Peneliti Hukum dan Konstitusi di Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), serta Peneliti pada Center for Democracy and Human Rights Studies (Demos). Wahyudi tergabung dalam jejaring advokat publik PIL-Net (Public Interest Lawyer Network), dan anggota dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Selain buku dan monograf, beberapa publikasinya dapat dijumpai dalam sejumlah jurnal ilmiah dan media massa seperti Kompas dan The Jakarta Post.

161


162

Seri Internet dan HAM

FOTO

Miftah Fadhli

FOTO

Lintang Setianti

Miftah Fadhli menyelesaikan S1 bidang studi Hukum, Masyarakat dan Pembangunan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tahun 2014. Sebelum bergabung di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), dia merupakan peneliti di Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Sejak 2015, dia menangani berbagai penelitian dan advokasi kebijakan terkait isu kebebasan berekspresi dan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Dia mengkhususkan diri pada kajian pembantaian massal 1965-1966 di Indonesia dalam konteks pembentukan diskursus melalui sistem hukum Indonesia pasca 1965. Tulisan-tulisannya dimuat di Harian Kompas, The Jakarta Post dan Harian Seputar Indonesia. Secara metodologis, dia mengkhususkan diri pada pengembangan kajian sosio-legal terhadap sistem hukum dan posisi kelompok minoritas dalam kebijakan baik nasional maupun internasional.

Lulus dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Bandung pada tahun 2015. Memiliki minat berkaitan dengan penikmatan hak asasi manusia di Indonesia khususnya kebebasan ekspresi dan berpendapat, serta kesetaraan gender. Semasa kuliah, dia sering terlibat dalam penelitian gerakan anti-korupsi bersama Indonesian Corruption Watch (ICW) dan kampanye hak asasi manusia untuk anak muda bersama Pamflet. Selain itu dirinya aktif dalam Lembaga Pers Mahasiswa dan pernah menjabat sebagai Pemimpin Umum Media Parahyangan. Di ELSAM dia memfokuskan diri pada isu tata kelola internet dan kebebasan ekspresi, selain juga sebagai Redaktur Pelaksana Buletin Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia “ASASI�. Saat ini dirinya juga aktif mengkampanyekan isu anti kekerasan terhadap perempuan bersama gerakan One Billion Rising Indonesia.


Seri Internet dan HAM

PROFIL ELSAM

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) atau Institute for Policy Research and Advocacy, sebuah organisasi hak asasi manusia, yang berdiri di Jakarta, sejak Agustus 1993. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya –sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil melalui advokasi dan promosi hak asasi manusia.

163


164

Seri Internet dan HAM

Apa yang Kami Lakukan? 1.

Pengarusutamaan Hak Asasi Manusia dalam Pengambilan Kebijakan

Mendorong pengintegrasian prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam setiap proses pembentukan kebijakan, seperti: •

Memberikan masukan dan rekomendasi bagi lembaga legislatif dan pemerintah.

Menyusun catatan kritis melalui berbagai policy brief atas suatu rancangan kebijakan.

Monitoring pelaksanaan fungsi legislasi.

Menyediakan pendampingan teknis keahilan bagi lembaga-lembaga pemerintah.

Melakukan berbagai kemitraan strategis dengan berbagai lembaga.

2.

Studi dan Produksi Pengetahuan Hak Asasi untuk Mendukung Advokasi Kebijakan

ELSAM melakukan berbagai penelitian dan produksi pengetahuan untuk mendorong berbagai pembentukan kebijakan hak asasi manusia berbasis bukti (evidence based policies). Fokus-fokus studi ELSAM antara lain: •

Bisnis dan hak asasi manusia: Mengkaji dampak operasi korporasi terhadap hak asasi, termasuk mendorong lahirnya rencana aksi nasional bisnis dan hak asasi manusia.

Internet dan hak asasi manusia: Meneliti mengenai implikasi kemajuan teknologi terhadap perlindungan hak asasi, termasuk isu tata kelola konten internet, perlindungan data pribadi, surveilans komunikasi, dan keamanan dunia maya.

Pengembangan kabupaten/kota hak asasi manusia (human rights city): ELSAM secara aktif terlibat dalam pengembangan Kabupaten/Kota HAM, dengan mendampingi pemerintah daerah dalam menjalankan mandat pemenuhan hak asasi. Sebagai contoh di Sanggau, Palu, Wonosobo, dan Sikka.


Seri Internet dan HAM

Selain aktivitas riset, ELSAM juga rutin menerbitkan Laporan Situasi Hak Asasi Manusia, Jurnal Hak Asasi Manusia “DIGNITAS”, dan Analisis Dokumentasi Hak Asasi Manusia “ASASI”. 3.

Mendorong Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Masa Lalu Secara Adil dan Bermartabat

ELSAM secara intensif mempromosikan pengadopsian pendekatan keadilan transisional untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat di masa lalu. Tujuannya untuk memastikan keadilan dan pemulihan bagi korbannya, serta mencegah keberulangan, caranya: •

Mempromosikan kebijakan pengungkapan kebenaran dan pemulihan.

Mendukung reformasi kelembagaan, khususnya penegak hukum dan institusi keamanan.

Pendampingan organisasi korban untuk memperkuat kapasitas advokasi.

Mewakili korban dalam proses litigasi kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

4.

Pendidikan Hak Asasi Manusia

Sebagai bagian dari upaya promosi dan penguatan kapasitas para aktor, ELSAM terus menyelenggarakan pendidikan HAM, seperti: •

Kursus HAM untuk Pengacara, diselenggarakan setiap tahun. Total alumni tidak kurang dari 450 orang, yang telah menempati posisi strategis di berbagai organisasi masyarakat sipil, lembaga negara, maupun kantorkantor hukum di seluruh penjuru Indonesia.

Penyelenggaraan pelatihan dengan topik-topik khusus, seperti penanganan kasus HAM yang berat, HAM di wilayah konflik, kebebasan beragama/ berkeyakinan, dan pennguatan kapasitas aparat penegak hukum.

Pelatihan untuk mempromosikan penggunaan pendekatan berbasis hak, bagi pengambil kebijakan, termasuk pemerintah daerah, dan sektor bisnis.

165


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.