Indonesia ghg cost curve bahasa

Page 1

KURVA BIAYA (COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA Dewan Nasional Perubahan Iklim, Indonesia Juni 2010


2

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA


Daftar Isi Kata Pengantar

2

Ucapan Terima Kasih

4

Cara Membaca Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

6

Ringkasan Temuan

8

Skenario Emisi Dan Peluang Pengurangan Berdasarkan Sektor

14

Gambut

14

Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan Dan Kehutanan (Lulucf)

19

Pertanian

24

Tenaga Listrik

26

Transportasi

29

Bahan Bakar Minyak Dan Gas

31

Semen

34

Bangunan

36

Lampiran

39

Metodologi Dan Ruang Lingkup

40

Pengetahuan Tentang Gambut

43

Memasukan Perkiraan Dnpi Ke Dalam Komunikasi Nasional Kedua

46

Daftar Pustaka

49


2

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Kata Pengantar Di bawah pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Indonesia telah memberikan beberapa kontribusi pada perdebatan perubahan iklim global. Setelah menjadi tuan rumah bagi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/ United Nations Framework Climate Change Convention Konferensi Para Pihak/Conference of Parties (COP-13) di Bali pada tahun 2007, Indonesia telah menyelenggarakan atau berpartisipasi dalam serangkaian pertemuan tingkat tinggi yang bertujuan untuk menanggulangi isu penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor kehutanan. Termasuk dalam pertemuan-pertemuan tersebut adalah Pertemuan Kelompok Kehutanan-11 (Forestry-11 grouping) yang diadakan oleh Indonesia, Kelompok Kerja Informal tentang Pembiayaan Interim REDD, dan pertemuan Kepala Negara pada bulan April 2009 yang disponsori oleh Prince’s Rainforest Project. Pada KTT G-20 yang diadakan pada bulan September 2009 di Pittsburgh, Presiden Yudhoyono menyatakan secara sukarela komitmen Indonesia pada strategi (road map) yang ambisius untuk menurunkan emisi hingga 26% dari perkiraan emisi bisnis seperti biasa hingga tahun 2020, menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang besar pertama yang melakukan hal tersebut. Indonesia mengulangi komitmen target penurunannya pada putaran perundingan COP-15 di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, dan kemudian berasosiasi dengan Copenhagen Accord bulan Januari 2010. Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim, yang akan menjelaskan secara rinci bagaimana Indonesia memenuhi komitmen 26% tersebut. Pencapaian besar lainnya terjadi pada tanggal 28 Mei 2010 dengan diumumkannya Kemitraan REDD+ antara Indonesia dan Norwegia, yang mana Norwegia menjanjikan 1 USD miliar untuk program-program kesiapan REDD+ dan sebagai kontribusi atas penurunan emisi yang telah diverifikasi. Pada saat yang sama, Indonesia berkomitmen untuk menunda konsesi-konsesi baru di lahan hutan dan gambut selama dua tahun.1 Langkah-langkah tersebut telah meletakkan Indonesia pada posisi yang baik untuk memanfaatkan dana fast-start sebesar 30 USD miliar yang dijanjikan pada COP-15. Dalam rangka koordinasi kegiatan-kegiatan terkait perubahan iklim di Indonesia, pada bulan Juli 2008, Presiden Yudhoyono mendirikan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) atau National Council on Climate Change. Dewan tersebut secara khusus ditugaskan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan berbeda di Indonesia dan mencapai konsensus atas peluang dan tantangan terkait perubahan iklim. Terkait dengan itu, DNPI menyusun Analisis Kurva Biaya Pengurangan GRK supaya dapat memberikan dasar kuantitatif bagi diskusi tingkat nasional mengenai peluang-peluang untuk menurunkan emisi GRK di Indonesia agar sesuai dengan sasaran pembangunan nasional. Laporan ini mengevaluasi potensi penurunan emisi yang berasal dari berbagai inisiatif pengurangan, termasuk melakukan perkiraan biaya yang terkait dengan inisiatif-inisiatif pengurangan tersebut. Melalui laporan ini, DNPI bermaksud untuk menyediakan seperangkat data yang seragam dan obyektif yang akan menunjang proses pengambilan keputusan di Indonesia, melalui kerjasama dengan berbagai Kementerian terkait, pemerintah daerah, dan berbagai pihak lainnya dalam rangka menurunkan emisi GRK Indonesia. Kami berkomitmen untuk memastikan penurunan emisi karbon yang dilakukan akan menunjang dan tidak menelantarkan sasaran pembangunan nasional dan upaya jangka panjang untuk meningkatkan standar kehidupan seluruh warga negara Indonesia. DNPI saat ini sedang memperluas analisis dan data yang terdapat pada Kurva Biaya Penguranan GRK dengan cara menunjang strategistrategi pertumbuhan rendah karbon yang dilakukan beberapa provinsi dengan tingkat emisi yang tinggi. Studi ini berdasarkan pada basis data pengurangan GRK global yang dibuat oleh sebuah perusahaan konsultan global McKinsey & Company dan dikembangkan dalam kemitraan dengan para nara sumber

1

Skenario pengurangan Gas Rumah Kaca yang dibahas pada laporan ini tidak memperhitungkan penurunan emisi yang bersumber dari penundaan pemberian konsesi baru pada lahan hutan dan gambut selama dua tahun yang diumumkan pada bulan Mei 2010


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

di pemerintah, bisnis, dan Lembaga Swadaya Masyarakat di seluruh dunia. DNPI menyampaikan terima kasih kepada McKinsey atas bantuan teknis dalam pengembangan lebih lanjut metodologinya supaya sesuai dengan konteks Indonesia. DNPI juga ingin menyampaikan terima kasih kepada lebih dari 150 personil pemerintah, sektor swasta dan LSM yang telah memberikan kontribusi besar kepada tim kerja sektoral. Walaupun metodologi kurva biaya adalah milik McKinsey, namun kesimpulan dan hasil yang terdapat dalam laporan ini sepenuhnya milik DNPI. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada yayasan ClimateWorks, Agence Française de DÊveloppement (AFD), Pemerintah Norwegia dan Yayasan Packard yang telah mendanai sebagian kegiatan penyusunan laporan ini. Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk mengembangkan pemahaman ilmiah yang mendasari studi ini, khususnya dalam sektor tata guna lahan, alih guna lahan dan hutan serta pengelolaan gambut. Perkiraan dan ektrapolasi dilakukan pada beberapa kategori yang datanya tidak lengkap atau kurang. Laporan ini menyoroti perkembangan emisi karbon Indonesia yang diperkirakan akan terus bertambah hingga lebih dari 60% antara sekarang sampai tahun 2030, bila tidak memanfaatkan berbagai peluang untuk mengurangi keluarnya emisi-emisi tersebut. Dengan dukungan komunitas global, Indonesia memiliki peluang untuk beralih ke model pembangunan rendah emisi-karbon/ (less carbon-intensive. Tanpa adanya upaya dini, Indonesia akan terkunci oleh model pembangunan (khususnya melalui pilihan infrastruktur jangka panjang) yang merusak lingkungan hidup kita dan iklim dunia. Laporan ini mengangkat potensi mitigasi GRK yang dimiliki Indonesia. Laporan ini tidak menjawab tantangan yang dihadapi Indonesia untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim yang sudah atau yang akan terjadi meskipun disadari bahwa biaya untuk beradaptasi akan bertambah besar dan juga berpotensi menambah biaya mitigasi. Laporan ini juga sengaja menghindari tinjauan kebijakan dan pilihan regulasi. Tujuan dari laporan ini adalah untuk menyediakan data yang obyektif untuk kemudian digunakan sebagai pertimbangan dalam pembuatan kebijakan yang berhubungan dengan perubahan iklim.

3


4

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

UCAPAN TERIMA KASIH Dalam proses studi ini, tim proyek telah menemui para ahli dan pemangku kepentingan. DNPI ingin mengucapkan terima kasih kepada para individu berikut atas bantuan dan waktu yang mereka berikan. Walaupun kami menerima masukan, saran dan umpan balik dari para perorangan dan lembaga berikut ini, analisa dan kesimpulan pada tulisan ini adalah sepenuhnya menjadi tanggung jawab DNPI. Untuk informasi dan masukan mengenai sektor LULUCF dan lahan gambut, Dr. Boen Purnama, Dr. Wandojo Siswanto, Dr. Hadi Daryanto, Dr. Bambang Sukmananto, Ibu Lystia, Saiphul Rahman, Dyah Puspasari, Puja Utama, Magdalena Gultom, Dr. Wardojo, Dr. Syaiful Anwar, Dr. Ibu Yetti Rusli, and Pak Agus Sarsito, Kementerian Kehutanan. Termasuk konsultasi yang diberikan oleh Joseph Leitmann, Timothy Brown, Eri Indrawan and Virza Susmitawidjaja, Bank Dunia; Frances Seymour, Daniel Murdiyarso, and Louis Verchot CIFOR; Dieter Brulez, Heiner von Luebcke, and Anja Rosenberg, GTZ; Joel Daligault, Patrick Abbes, Dimitri Kanounnikoff, Philippe Guizol, Morgane Leterrier, Thierry Liabastre, AFD: Grahame Applegate, Dan Heldon, and Timothy Jessup, AusAid; Andrew Wardell, Clinton Foundation; Alfred Nakatsuma, USAID; Alex Heikens, UNDP; Marcel Silvius, Pak Nyoman, and Yus Rusila Noor, Wetlands International; Dr. Suyanto, Meine van Noorwijk, and Ujjwal Pradhan, ICRAF; Aljosja Hooijer, Delft Hydraulics; Fitrian Ardiansyah, Anna von Paddenburg, Katie Stafford, Adam Tomasek, Michael Steuwe, Iwan Wibisono, and Zulfira Warta, WWF; Lex Hovani, Wahjudi Wardojo, TNC; Fred Stolle, Beth Gingold, WRI; Aulia Aruan, Neil Franklin, and Jouko Virta, APRIL; Dharsono Hartono, PT Rimba Makmur Utama, Timotheus Lesmana and Canecio Munoz, Sinarmas; Taufiq Alimi, Indonesian Biodiversity Foundation; Adrian Suharto, AsianAgri; Sapto Sakti and Yosafat Erie, Sampoerna Foundation; Mahawira Singh Dillon, PT Sumalindo Lestari Jaya T; Michael Black, Teknix Capital; Aris Adhianto, Asosiasi Pengusaha Hutan; Nanang Roffandi Ahmad, APH; Rezal Kusumaatmadja, Starling Resources; Rizaldi Boer Center for Climate Risk & Operation Management; Ibu Moekti Soejachmoen, Pelangi; Dr. Agus Justianto, MFP; Dewi Rizki, GRM International; Emmy Hafild, Arief Wicaksono, Hanafi Guciano, Kemitraan; and A. M Velinda, Ditjen Baplan. Untuk Informasi dan masukan mengenai sektor tenaga listrik, bahan bakar minyak dan gas, Lisa Ambarsari, Marwan Lobo Balia, Ellydar Bahar, I Made Agus, Ratna Ariati, and Sutijastoto, DS ESDM; Nunung Ajiwihanto, Bambang Praptono, Bambang Prasetoyo, Harris, Edy Iskanto, Assistia Semiawan, and Putu Wirasangka, PLN; Ami Indriyanto, IIEE; Agus Sari, Ecosecurities; Mohammad Boedoyo and Muhammad Wahid, BPPT; Saleh, PUSPATIN and ESDM; Anton Wahjosoedibjo, MKI; Ris Wahyudi, LITBANG, ESDM; Fathurrahman, Martha Maulidia, and Mauayat Ali Muhsi, PEACE; Bobby Watimena and Moekti Soejachmoen, Pelangi; Fabby Tumiwa, IESR; Firdaus Akmal, Indonesia Coal Society; Sri Endah Agustina, METI; Anna Reani, Indonesia Power; Ade Hermaka and Darman Mappangara, PT. LEN Industri; Widhyawan Prawiraatmadja, Timbul Silitonga, and Adi Pramono, Pertamina. Untuk informasi dan masukan mengenai sektor transportasi, Arif, Arisman Harefa, Wendy Aritenang, Djarot, Pudji Kinanti, Siti Nur, Farida M, Edhy Sudjiono, and Gatot S, Kementerian Perhubungan; Bambang Susantono, Asosiasi Transportasi; Moekti Soejachmoen, Pelangi; John Kwant, Ford Asia Pacific; Freddy Sutrisno, Noegardjito, Budi Susilo, and Juwono Andrianto, Gaikindo; Harya Dillon and Restiti, ITDP; Dadang Parikesit, Pustral; Mesra Eza, Kementerian Keuangan; Martha Maulidia, PEACE; and Bambang S and Heru Sutanto, AISI; Waty Suhadi, Swisscontact. Untuk informasi dan masukan mengenai industri semen, Agus Wahyudi, Endang Supraptini, Sangapan, Denny Noviansyah, Emmy Suryandari and Tony Tanduk, Kementerian Perindustrian;; Urip Timuryono, Sudaryanto and Risatantin, ASI; Raju Goyal, Eamon Ginley, Faisal Nur, and Oepoyo Prakoso, Urip Timuryono, Sudaryanto, and Risatantin, PT Holcim; Enggun Puwoko, Rudi Hermanwan, and Gatot Mardiana, Semen Gresik; Agus Erfien, Indocement; Moekti Soejahmaoen and Martha Maulidia,


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Pelangi; and Gary Kleiman and Virza Sasmitawidjaja, World Bank. Untuk informasi dan masukan mengenai sektor pertanian, Gatot Irianto and Kaman Nainggolan, Kementerian Pertanian; H.S. Dillon, Centre for Agricultural & Policy Institutes; Rizaldi Boer, Center for Climate Risk & Operation Management; Dr. Shobha Shetty, Bank Dunia; Taco Bottema; Peter Timmer, Centre for Global Development; Pete Smith, University of Aberdeen (IPCC Report); and Dennis Vonboril, Kedutaan AS.

5


6

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Cara membaca kurva biaya pengurangan gas rumah kaca “Kurva biaya” pengurangan gas rumah kaca global yang dikembangkan oleh McKinsey & Company2 meringkas menggambarkan potensi teknis untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan biaya sampai dengan 80 USD per ton CO2e3 dari emisi yang berhasil dicegah keluar. Kurva biaya menunjukkan cakupan tindakan penurunan emisi yang mungkin dilakukan dengan berbagai teknologi yang telah dikembangkan pada saat ini atau yang besar kemungkinannya akan ada pada tahun 2030. Lebar setiap batang pada kurva biaya menunjukan potensi peluang untuk menurunkan emisi GRK pada tahun tertentu dibandingkan dengan pembangunan dengan skenario bisnis seperti biasa (BSB). Potensi dari setiap peluang didasarkan pada asumsi adanya kesepakatan global pada 2010 untuk menangkap peluang pengurangan emisi tersebut, sehingga bukan gambaran perkiraan tentang bagaimana setiap peluang akan berkembang. Tinggi setiap batang pada kurva biaya menunjukan biaya rata-rata untuk menghindari 1 ton CO2e hingga tahun 2030 untuk setiap peluang tersebut. Biaya dihitung dengan menggunakan bobot rata-rata dari berbagai sub-peluang dan tahun. Seluruh biaya dihitung dalam mata uang USD untuk tahun 2005. Dari kiri ke kanan, grafik memperlihatkan peluang pengurangan dengan biaya terendah sampai dengan biaya tertinggi.4 Ketidakpastian volume dan perkiraan biaya bisa sangat Gambar 1

Kurva biaya dikembangkan dalam proses empat langkah… Emisi Gas Rumah Kaca tCO2e Garis dasar 2005

3

Pertumbuhan emisi pada skenario teknologi di masa mendatang (2005-2030) Pengeluaran karbon/ Dekarbonisasi pada referensi kasus (2005-2030)

Perkiraan biaya dalam setahun terpilih untuk mengurangi emisi sebesar 1 tCO2e dengan pengungkit ini

Biaya pengurangan USD / tCO2e

1 Setiap bidang mewakili satu pengungkit pengurangan untuk mengurangi emisi

Pengurangan Gt CO2e/tahun 2

Referensi kasus emisi 2030 Pengungkit pengurangan yang berpotensi Skenario pengurangan yang berpotensi (“akhir permainan")

4

Potensi pengurangan emisi gas rumah kaca tahunan pada tahun yang terpilih

Pengungkit disortir oleh meningkatnya biaya untuk pengurangan emisi sebesar tCO2e

▪ Kurva biaya menunjukan potensi pengurangan, dan skenario yang sesuai, untuk setiap pengungkit pengurangan berhubungan dengan skenario “bisnis-seperti-biasa”

▪ Urutan nilaiThe merit order is applied based on the cheapest measures in 2030 in USD/tCO2e

SUMBER: McKinsey & Company Kurva Biaya Pengurangan Global GHG v2.0

2 3 4

McKinsey & Company (2009) Pathways to a Low-Carbon Economy: Version 2 of the Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve Mengikuti definisi IPCC, kurva biaya pengurangan menunjukan langkah-langkah teknis yang memiliki potensi ekonomi di bawah USD 80 per tCO2e Faktor biaya negatif pada kurva biaya menunjukkan bahwa sementara investasi modal di muka mungkin diperlukan, faktor tersebut akan lebih daripada membayar sendiri selama masa pakainya melalui penghematan energi apabila investasi dianggap sebagai biaya modal kemasyarakatan (yaitu, untuk tujuan studi ini, telah diambil angka 4 persen).


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

besar untuk setiap peluang, khususnya untuk sektor LULUCF dan gambut, dan bagi teknologi yang baru dikembangkan (Gambar 1). Kurva biaya gas rumah kaca di tataran global yang dikembangkan McKinsey bertujuan untuk menggambarkan peluang penurunan emisi global menggunakan sebuah metodologi yang konsisten. Kurva biaya ini tidak dimaksudkan sebagai analisa peluang mitigasi secara rinci untuk setiap peluang penurunan emisi. Oleh karena itu, kurva biaya ini seharusnya digunakan sebagai perbandingan besaran dan biaya berbagai peluang, serta sumbangan pengurangan emisi dari berbagai sektor, dan potensi keseluruhan peluang penurunan emisi. Kurava biaya ini tidak untuk meramalkan perkembangan setiap teknologi. Kurva biaya juga dapat dimanfaatkan sebagai alat simulasi, untuk menguji berbagai skenario pelaksanaan, harga energi, suku bunga, dan penerapan teknologi yang berbeda. Biaya pengurangan dihitung dari perspektif kemasyarakatan (yaitu tidak mencakup pajak dan subsidi, serta memperhitungkan biaya modal/uang yang sama dengan tingkat obligasi pemerintah). Pendekatan biaya masyarakat ini berguna karena memungkinkan dilakukannya perbandingan antara peluang dan biaya antar negara, antar sektor, dan untuk setiap peluang. Namun demikian, dengan digunakannya metodologi ini berarti bahwa biaya-biaya yang dihitung berbeda dari biaya-biaya yang akan ditanggung oleh perusahaan atau konsumen, karena pajak, subsidi, dan suku bunga yang berbeda akan masuk dalam perhitungan mereka. Oleh karena itu, kurva biaya ini tidak dapat digunakan untuk menetapkan biaya peralihan ekonomi, termasuk investasi yang diperlukan, maupun untuk memperkirakan harga CO2 di pasar karbon. Biaya dari setiap peluang juga tidak mencakup biaya transaksi dan program pewujudan peluang yang tersedia pada skala besar, karena biaya-biaya tersebut sangat bergantung pada keputusan dan pilihan yang diambil oleh para pembuat kebijakan dalam mewujudkan setiap peluang. Biaya untuk mewujudkan peluang penurunan secara spesifik akan lebih besar dari pada yang ditunjukkan dalam kurva biaya dalam banyak kasus.

7


8

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Ringkasan Temuan Emisi gas rumah kaca (GRK) tahunan Indonesia mencapai sekitar 2,15 Giga ton (Gt)6 pada tahun 2005. Karena Indonesia akan terus membangun perekonomiannya, total emisi gas rumah kacanya diperkirakan akan meningkat sampai dengan 3,2 Gt pada tahun 2030. Baik pada tahun 2005 maupun tahun 2030, emisi di Indonesia berada pada tataran sekitar 4.5 persen dari emisi gas rumah kaca global untuk skenario bisnis seperti biasa. Rasio emisi Indonesia terhadap emisi global jauh lebih tinggi daripada rasio PDBnya terhadap PBG global, yaitu sebesar 0,6 persen pada tahun 2005. Perbandingan antara perkiraan emisi yang dihitung DNPI dengan yang ada dalam Komunikasi Nasional ke-dua Kementerian Lingkungan Hidup (revisi tanggal 5 Desember 2009) menunjukkan konsistensi luas pada tingkat emisi keseluruhan, terlepas dari terdapatnya perbedaan yang signifikan dalam komposisi sektoral emisi tersebut.7 Analisis potensi manfaat yang mungkin timbul dan biaya-biaya indikatif berbagai langkah pengurangan emisi gas rumah kaca menunjukkan bahwa pada tahun 2030, Indonesia memiliki peluang untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya sampai dengan 2,3 Gt, yaitu penurunan sekitar 72 persen dibandingkan dengan tren saat ini. Sehingga emisi pada tahun 2030 akan menjadi 67 persen lebih rendah daripada emisi di tahun 2005. Penurunan tersebut akan memberikan kontribusi penting bagi upaya global, yaitu sekitar 7 persen dari total penurunan global yang diperlukan pada tahun 2030 untuk mencapai tingkat-tingkat yang direkomendasikan oleh Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim / IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change).8 Lebih jauh lagi, biaya rata-rata potensi pengurangan emisi relatif rendah dibandingkan dengan beberapa opsi pengurangan yang ada di sebagian besar negara maju. Biaya teknis yang diketahui9 dan biaya teknologi pengurangan yang tersedia saat ini menunjukan bahwa perkiraan biaya pengurangan rata-rata di Indonesia mencapai sekitar 2 USD per t CO2e pada tahun 2030.10 Gambut dan LULUCF merupakan peluang terbesar Indonesia Emisi terkait gambut dan LULUCF sejauh ini adalah kontributor terbesar bagi emisi Indonesia kini dan di masa depan (Gambar 2) jika menggunakan skenario bisnis seperti biasa (BSB). Gambut dan LULULCF juga merupakan peluang terbesar untuk mengurangi emisi. Tingkat pertumbuhan yang tinggi dalam emisi terkait tenaga listrik dan transportasi menunjukan bahwa, meskipun peluang dalam sektor-sektor tersebut menjadi semakin penting di tahun-tahun mendatang, pilihan-pilihan strategis untuk langkah pengembangan harus dimulai saat ini. Emisi dari lahan gambut yang kaya akan karbon mencapai 772 MtCO2e, kira-kira 38 persen dari total 5

Total emisi di sini mengacu pada emisi dari delapan sektor termasuk LULUCF, gambut, pertanian, transportasi, tenaga listrik, bahan bakar minyak dan pengolahan, transportasi, semen dan bangunan, yang bersama-sama bertanggung jawab atas sebagian besar emisi di Indonesia. 6 Satu Giga ton (Gt) setara dengan satu miliar ton 7 Komunikasi Nasional Kedua (SNC) memberikan perkiraan emisi tahun 2000. Perkiraan keseluruhan emisi CO2 netto di tahun 2000 berdasarkan laporan DNPI dan SNC sangatlah mirip, hanya berbeda kurang dari 8 persen. 8 IPCC adalah badan ilmiah internasional yang didirikan pada tahun 1988 di bawah naungan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertugas untuk mengevaluasi risiko perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia. IPCC telah menyatakan bahwa konsentrasi gas rumah kaca global akan mencapai 650 ppm pada tahun 2030 dengan tren global saat ini. Angka tersebut akan jauh melampaui tingkat 450 ppm – tingkat yang dianggap oleh para ilmuwan dapat menghindari perubahan iklim yang merupakan bencana karena suhu global tidak akan meningkat lebih dari 2 derajat Celsius. Menurut Project Catalyst , untuk membatasi konsentrasi gas rumah kaca pada tingkat aman ini, emisi gas rumah kaca harus dikurangi sampai dengan sedikitnya 32 GtCO2e pada tahun 2030 dibandingan dengan tren saat ini. 9 Dokumen ini memperhitungkan berbagai biaya dalam mengevaluasi opsi-opsi pengurangan. Biaya teknis didefinisikan sebagai biaya kenaikan dari teknologi rendah emisi dibandingkan dengan kasus acuan, dengan satuan USD per tCO2e emisi terhindar. Biaya-biaya teknis pembayaran kembali tahunan untuk belanja modal dan biaya operasional, sehingga itu mewakili “biaya proyek� murni untuk memasang dan mengoperasikan teknologi rendah emisi. Biaya teknis tidak memasukan biaya implementasi dan biaya sosial (yaitu, hilangnya layanan biosistem seperti pasokan air tawar yang bersih oleh hutan). Biaya pengurangan total mencakup biaya teknis seperti yang didefinisikan di atas dan biaya implementasi, namun tidak memasukan biaya sosial. Terakhir, biaya peluang adalah seluruh pendapatan yang hilang yang direlakan oleh sebuah entitas untuk pindah dan menggunakan teknologi, perilaku atau alternatif yang beremisi rendah 10 Perkiraan ini tidak mencakup biaya implementasi atau transaksi, dimana bisa menjadi signifikan pada beberapa langkah pengurangan.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Emisi Indonesia diperkirakan bertumbuh dari 2.1 sampai 3.3 GtCO2e antara 2005 dan 2030 3,260

Emisi diproyeksikan1, Juta ton CO2e

75 150

25 25 60

45 145

2,055 130

95

2,530 100

30

220

40 105

440

Gambar 2

Bangunan Semen Minyak dan gas Pertanian Transportasi

810

Daya

370

110 840

730

670

LULUCF2

770

890

970

Gambut

2005

2020

2030 5.07%

4.97% Pembagian emisi secara global

1 Termasuk hanya emisi langsung dari masing-masing sektor

2 Emisi dari LULUCF didasarkan pada pendekatan emisi bersih, contohnya, termasuk penyerapan. SUMBER: Kurva Biaya Penguranagn Gas Rumah Kaca

emisi di Indonesia pada tahun 2005.11 Lahan gambut memiliki tanah yang dipenuhi oleh air asam, di mana pada kondisi kering mengandung 60 persen karbon dalam bentuk materi organik yang telah terakumulasi selama ribuan tahun. Ketika lahan gambut dikeringkan untuk budidaya, ekstraksi kayu atau penggunaan-penggunaan lahan lainnya, lahan gambut akan terisi dengan udara dan mulai mengalami oksidasi dan membusuk. Oksidasi yang lambat pada lahan gambut yang dikeringkan atau oksidasi yang lebih cepat melalui kebakaran gambut adalah sumber utama emisi yang berasal dari lahan gambut. Kedua sumber emisi tersebut adalah sumber emisi signifikan dalam tataran global dan bertanggung jawab atas hampir 0,77 Gt dari emisi tahunan saat ini, jumlah yang hampir sama besar dengan emisi negara Jerman. Emisi terkait lahan gambut juga merupakan tantangan tersendiri bagi Indonesia, karena hampir 60 persen emisi global yang disebabkan oleh dekomposisi gambut (Gambar 3) terjadi di Indonesia. 0,25 Gt lainnya disebabkan oleh deforestasi dan degradasi (melalui ekstraksi kayu) pada hutan-hutan lahan gambut dan pada studi ini hilangnya karbon di atas permukaan tanah pada lahan gambut ini dimasukkan kedalam sektor LULUCF. Sementara berbagai penelitian terhadap emisi gambut dan pengukuran terus-menerus dilakukan di Indonesia, pemahaman dunia ilmiah tentang emisi terkait gambut masih berkembang. Sebagai akibatnya, terdapat kisaran yang relatif luas dalam perkiraan emisi di Indonesia yang disebabkan oleh pembusukan dan kebakaran gambut. Kami telah menggunakan perkiraan yang relatif konservatif untuk kedua kategori emisi terkait gambut (pembusukan, pembakaran), untuk mencapai total perkiraan emisi terkait gambut yaitu 0.77 GtCO2e pada tahun 2005. Sebagian besar analisis terhadap emisi terkait gambut di Indonesia jatuh pada kisaran antara 0,75 sampai dengan 1,5 Gt CO2e. Deforestasi dan degradasi hutan serta pembakaran hutan adalah sumber emisi gas rumah kaca terbesar kedua di Indonesia dan diperkirakan tetap menjadi penyumbang emisi yang besar bagi Indonesia, dengan sekitar 1,1 juta hektar hutan yang memiliki nilai karbon tinggi (high carbon value/HCV) ditebangi setiap tahunnya, yang lebih dari 25 persen terjadi di hutan lahan gambut dan sisanya di hutan lahan kering. Deforestasi, degradasi hutan, dan pembakaran hutan dan lahan menghasilkan emisi bruto

11 Data Kementerian Kehutanan mengimplikasikan bahwa Indonesia memiliki 22 juta hektar lahan gambut.

9


10

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 3

Emisi dari lahan gambut adalah tantangan yang unik untuk Indonesia karena mereka penyumbang 58% dari emisi global dari pembusukan gambut Perincian luas lahan gambut global dengan permukaan dan emisi CO2 yang terkait Persen 100%

Area

5

5

Emisi CO2 dari pembusukan

▪ ▪ ▪

90

58

24

18

Indonesia

Negara tropis lainnya1

Seluruh dunia2

5% dari global dan 50% dari lahan gambut tropis berlokasi di Indonesia Gambut tropis memiliki bagian lebih dari 80% emision dari pembusukan gambut Indonesia menyumbang 60% dari total emisi pembusukan gambut atau 12 kali lebih banyak dari penyebaran di daerah

1 Papua New Guinea, Brazil, Peru, Sudan, Malaysia 2 Canada, Russia, Scandinavia, USA SUMBER: Hooijer et al 2006; Wetlands International

sekitar 1.1 GTCO2O. Hutan sekunder dan “hutan buatan” di Indonesia (tanaman kayu dan perkebunan) pada saat yang sama menyerap CO2e yang signifikan, dan menurunkan emisi bruto Indonesia yang berasal dari sektor LULUCF lebih besar dari 250 MtCO2e pada tahun 2005. Akibatnya emisi nettonya menjadi sekitar 838 MtCO2e, atau 41 persen emisi total Indonesia saat ini. Perkiraan yang diterima secara luas menunjukkan bahwa sekitar 15-23 persen12 potensi penurunan emisi GRK dunia yang dibutuhkan pada tahun 2020 akan berasal dari sektor LULUCF dan gambut. Melihat luas hutan dan gambut di Indonesia, tidaklah mengejutkan bila sebagian besar peluang tersebut dimiliki oleh Indonesia. Sektor pembangkitan listrik dan transportasi akan menjadi penyumbang emisi yang semakin besar di masa mendatang, terutama bila tren pada saat ini berlanjut. Sektor-sektor tersebut kini memberikan sumbangan emisi yang relatif rendah, namun diperkirakan meningkat tajam dalam dua dekade mendatang. Emisi dari sektor pembangkitan listrik dan transportasi di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai masing-masing 110 and 70 MtCO2e, namun angka-angka tersebut akan meningkat tujuh kali lipat pada tahun 2030. Apabila pembangunan infrastruktur rendah karbon tidak segera dilakukan, pilihan pengurangan emisi akan menjadi sangat terbatas di masa depan karena terdapatnya efek terkunci (lock-in effect) untuk empat sampai lima dekade mendatang. Efek terkunci ini disebabkan oleh keputusan pembangunan infrastruktur pembangkitan listrik dan transportasi yang tidak bersahabat dengan iklim pada saat ini. Penurunan emisi yang besar dimungkinkan melalui investasi rendah emisi karbon Indonesia berpotensi untuk mewujudkan pengurangan gas rumah kaca sampai dengan 2,3 GtCO2e pada tahun 2030 (yaitu, 7 persen dari penurunan emisi global yang diperlukan)13 melalui implementasi lebih dari 90 peluang pengurangan14 dalam delapan sektor utama: LULUCF, lahan gambut, semen, tenaga listrik, bahan bakar minyak dan gas, pertanian, transportasi, dan bangunan (Gambar 4).

12 Van der Werf et al. 2009 13 Bila komunitas global ingin mencapai target 450-500 ppm seperti yang dideskipsikan di atas 14 Lihat „Bagaimana cara membaca kurva biaya pengurangan gas rumah kaca „


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 4

Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi emisi CO2 hingga 2.3 Gt per 2030 Perspektif masyarakat1, 2030

Biaya untuk pengurangan2 REDD – Pengelolaan Hutan USD per tCO2e Panas bumi Perkebunan Yang Berkelanjutan Pencegahan 80 kayu REDD – Kebakaran Rehabilitasi REDD – 60 lahan gambut Ekstrasi Pertanian kayu 40 petani kecil Hidro yang 20 luas 0 -20 0 200 400 600 800 1,000 1,200 1,400 1,600 1,800 2,000 2,200 -40 Potensi pengurangan2 MtCO2e per tahun -60 -80 -100 Efisiensi tinggi peralatan -120 -140 Beralih ke LED Termasuk lebih dari 90 peluang -160 pengurangan datang dari sektor -180 Kehutanan, Pertanian Gambut, -200 Daya, Transportasi, Pembangunan -220 Perbaikan mesin Minyak Bumi dan Pengilangan dan pembakaran dalam mobil -240 Semen penumpang secara -260 internal

Ø2

1 perspektif Masyarakat menunjukan memanfaatkan tingkat pemotongan 4% 2. Lebar setiap bar merupakan pengurangan volume yang potensial. Tinggi setiap bar merupakan biaya untuk mendapatkan setiap inisiatif pengurangan SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

Pengurangan yang berpotensi di Indonesia sebagian besar terkonsentrasi di sektor kehutanan dan gambut Potensi untuk pengurangan MtCO2e / tahun

Biaya rata-rata untuk pengurangan USD / MtCO2e

LULUCF

1,204

11

566

Gambut

1

225

Daya1 Pertanian

106

Transportasi

87

Minyak Bumi dan Gas

61

Bangunan

43

Semen

13

1 Tidak termasuk permintaan pengurangan dari sektor lainnya SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

23 5 -126 0 -60 -14

Gambar 5

11


12

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Berbeda dengan sebagian besar Negara dan mencerminkan profil khas Indonesia, lebih dari 75 persen peluang berada di sektor LULUCF dan gambut (Gambar 5). Sebagaimana telah dicatat, biaya rata-rata penurunan emisi di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan sebagian besar opsi negara maju, yaitu sekitar 2 USD per tCO2e pada tahun 2030. (Perkiraan biaya ini semata-mata mencerminkan penilaian teknis, dan tidak mencakup biaya implementasi dan transaksi, yang mungkin signifikan untuk beberapa peluang pengurangan.) Ini menunjukkan bahwa penjaminan (underwriting) peluang pengurangan di Indonesia mungkin secara ekonomi menarik bagi negara-negara maju.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

13


14

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Skenario emisi dan peluang pengurangan berdasarkan sektor Studi kurva biaya pengurangan GRK Indonesia yang dilaksanakan oleh DNPI melibatkan penelitian mendalam terhadap delapan sektor – LULUCF, lahan gambut, pertanian, tenaga listrik, transportasi, bahan bakar minyak dan gas, semen, dan bangunan – yang saat ini mewakili sebagian besar dari total emisi Indonesia. Temuan-temuan yang dijelaskan dalam bagian ini didasarkan pada analisa yang terus disempurnakan dan diperbarui. Beberapa tantangan dalam melakukan analisa antara lain, akses dan ketersediaan data pada tingkat nasional dengan rincian regional untuk sektor LULUCF, gambut, dan pertanian yang terbatas. Di samping itu, pengetahuan dan metodologi perhitungan emisi gambut masih terbatas dan berada pada tahap awal pengembangannya. Tantangan-tantangan tersebut akan diuraikan dalam penjelasan setiap sektor berikut ini. Untuk tiap-tiap sektor, studi ini mengembangkan skenario “bisnis seperti biasa” dan skenario “pengurangan emisi yang mungkin dilakukan”. Skenario-skenario tersebut telah mempertimbangkan, antara lain, perspektif pemerintah dan industri tentang bagaimana sektor terkait akan berkembang (a) apabila tidak terdapat perubahan penting terhadap kebijakan atau peraturan antara saat ini dan tahun 2030 dan (b) apabila peluang pengurangan yang teridentifikasi di tiap sektor dimanfaatkan sepenuhnya. Studi ini dilaksanakan melalui interaksi dengan para pemangku kepentingan secara intensif dan berbagai lokakarya.

Gambut Emisi - 2030: 972 MtCO2e, potensi pengurangan: 566 MtCO2e Sementara di masa lalu emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan menerima perhatian terfokus iklim yang besar , baik dari dalam negeri maupun luar negeri, emisi karbon dari cadangan lahan gambut di Indonesia15 bahkan lebih signifikan.16 Hanya baru-baru ini terdapat rekognisi akan pentingnya emisi lahan gambut, dan sementara pengetahuan tentang itu masih pada tahap yang relatif awal, sains tentang gambut telah berkembang secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.17 Secara global, tingkat penerimaan pentingnya gambut sebagai sumber emisi karbon telah semakin meluas. Gambar 6 mencatat perbedaan antara laporan DNPI ini dengan berbagai perkiraan yang dikeluarkan oleh badan pemerintah, organisasi multilateral, dan lembaga swadaya masyarakat lain.

Emisi sektoral Lahan gambut menyimpan karbon dalam jumlah sangat besar, dalam bentuk materi organik yang terakumulasi dalam tanah yang dipenuhi oleh air. Pelepasan karbon dari lahan gambut tropis memberikan tantangan tersendiri dan dominan bagi Indonesia karena Indonesia merupakan tempat sekitar 50 persen dari total wilayah gambut tropis.

15 Deskripsi yang lebih mendetil mengenai gambut dan kaitannya pada emisi karbon tercakup di dalam lampiran 16 Lahan gambut di Indonesia mencakup 5 persen lahan gambut global dan 50 persen dari lahan gambut tropis. Lahan gambut di Indonesia menyimpan 132 GtCO2e di bawah permukaan tanah dan 4,2 GtC di atas permukaan tanah, setara dengan hutan hujan Amazon, yang memiliki wadah endapan karbon ekologis terbesar di dunia, sebesar 46 GtC (atau 168 GtCO2e) 17 Penjelasan tentang ketidakpastian ilmiah terpenting disertakan sebagai lampiran


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Estimasi untuk emisi tahunan Gas Rumah Kaca dibedakan atas sumber-sumber MtCO2e, 2005

Kebakaran gambut

LULUCF

IFCA

30

496

SNC 2009

290

Worldbank1

1,138 N/A

Wetlands Int.

N/A

Van der Werft

N/A

CIFOR

538

600

1,860

N/A 600

0

1,800

500 470

500

N/A

470

1,271

528

600

470

2,398

1,138

1,260

838

290 830 1,120

379

N/A

528

DNPI

Total 30 526 496

1,260

CAIT-WRI

(Tidak tersedia) Nomor yang didokumentasikan tidak ada

N/A

538

Hooijer

Lahan Gambut

Pembusukan gambut

451

Gambar 6

LULUCF

743

300

1,870

2,398

848 1,591

Hooijer et al 2006 sebagai garis dasar dan mempertimbangkan 50% dari emisi kemungkinan disebabkan oleh respirasi tanah/akar

1 Menggunakan IFCA, WRI dan Hooijer et al. 2006 sebagai sumber utamanya SUMBER: IFCA; Departemen Kehutanan Indonesia; Houghton; Worldbank; CAIT – WRI; Hooijer 2006; SNC 2009, Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

Emisi dari kebakaran gambut dan pembusukan gambut diperkirakan meningkat sebesar 200 juta ton dalam skenario bisnis seperti biasa Emisi diproyeksikan, Juta ton CO2e

1,000

902

900 800

772

700 600 500

▪ 972

532

577

472

400 300 200 100 0

300 2005

370

395

2020

2030

Gambar 7 Kebakaran gambut Pembusukan gambut

Emisi dari lahan gambut akan meningkat di skenario bisnis seperti biasa seperti yang diharapkan bahwa daerah yang luas akan dikonversi menjadi penggunaan lahan lainnya yang bergerak maju Emisi dari lahan gambut, terutama dari kebakaran gambut, sangat tergantung pada kondisi cuaca dan dapat menunjukkan fluktuasi besar dari tahun ke tahun

SUMBER: Hooijer et al 2006- PEAT CO2e; Alterra; Wetlands International; Wawancara para ahli; Couwenberg et al 2009; Van der Werft et al 2008

15


16

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Emisi dari lahan gambut saat ini mencapai hampir 38 persen dari total emisi di Indonesia dan akan terus dominan pada tahun 2030 (yaitu 30 persen) apabila tidak diambil tindakan utama. Dalam skenario bisnis seperti biasa, emisi dari lahan gambut diperkirakan akan meningkat sampai dengan 20 persen dari 772 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 972 MtCO2e pada tahun 2030 (Gambar 7). Pembakaran merupakan sumber utama emisi terkait gambut. Pada tahun 2005, pembakaran berkontribusi sebesar 472 MtCO2e, lebih dari 60 persen dari total emisi terkait lahan gambut. Pembusukan lahan gambut akibat pengeringan merupakan sumber terbesar kedua emisi terkait lahan gambut, memberikan tambahan 300 MtCO2e. Konversi hutan lahan gambut menjadi tata guna lahan lainnya, mengakibatkan hilangnya biomassa yang terdapat di atas tanah pada saat pembukaan lahan dan ekstraksi kayu ketika pembalakan hutan produksi (HPH) sehingga memberikan tambahan emisi CO2e; untuk menghindari perhitungan ganda, emisi-emisi tersebut dihitung sebagai emisi yang berasal dari sektor LULUCF. Pembakaran gambut Emisi terkait pembakaran gambut akan meningkat dari sekitar 470 MtCO2e/tahun pada saat ini ke hampir 580 MtCO2e pada tahun 2030, karena total lahan gambut terdegradasi akan meningkat risiko kebakarannya jika konversi lahan gambut tidak dihentikan dan jika pembakaran terus digunakan oleh petani rakyat sebagai alat utama untuk mempersiapkan dan menyuburkan lahan. Harus dicatat bahwa emisi akibat pembakaran gambut dari tahun ke tahun cenderung berfluktuasi secara signifikan, karena sangat terkait dengan curah hujan tahunan, tingkat air tanah, dan periode musim kemarau. Perkiraan pembakaran lahan gambut didasarkan atas analisis emisi pembakaran gambut tahun 20002006 yang dilakukan Van der Werf et al. (2008), dan juga proyeksi perkembangan kawasan lahan rusak di masa yang akan datang dan luas jenis lahan berbeda seperti diterangkan oleh Hooijer et al. (2006). Perkiraan ini menggunakan publikasi Van der Werf yang sama seperti yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam Komunikasi Nasional Kedua Indonesia. Ketika dibandingkan dengan perkiraan yang diterbitkan oleh peneliti lainnya (misalkan: Page et al. (2002)), perkiraan untuk basis pembakaran hutan pada data Van der Werf dapat dianggap konservatif. Seharusnya tidak terdapat keraguan bahwa emisi yang berasal dari pembakaran lahan gambut yang rusak akan terus menjadi kontributor utama emisi, jika aksi keras terus ditunda. Tentunya emisi yang berasal dari pembakaran gambut dapat dengan mudah berkisar lebih tinggi daripada perkiraan yang digunakan di sini. Pembusukan Emisi dari pembusukan akan terus bertambah sampai dengan 30 persen dari 300 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi sekitar 395 MtCO2e pada tahun 2030, dikarenakan kombinasi emisi dari lahan gambut yang telah dikeringkan, serta konversi dan pengeringan lahan gambut untuk perkebunan (misalnya, untuk perkebunan intensif kayu bubur kertas dan kelapa sawit) dan pertanian rakyat. Pengeringan mempercepat peningkatan angka pembusukan tanah karena volume tanah gambut yang jauh lebih besar terekspos oksigen dan karenanya menjadi rentan terhadap oksidasi lebih lanjut. Baru pada tahun-tahun belakangan ini, setelah lebih banyak lahan gambut ditebangi, para pengelola lahan dan ilmuwan mulai memahami reaksi tanah gambut ketika mengering. Tanah gambut anjlog secara drastis oleh karena pemampatan, penyusutan dan pembusukan dan hal ini dapat menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur. Pada saat yang sama, pengeringan lapisan permukaan mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap kebakaran gambut yang sulit ditangani. Perkiraan emisi karbon kami dari pembusukan gambut didasarkan atas analisis terhadap wilayah-wilayah gambut yang telah dikeringkan dan konversi wilayah-wilayah tersebut untuk kegunaan lahan yang berbeda yang diperkirakan akan terjadi di masa mendatang. Emisi dari pembusukan tanah diasumsikan bergantung pada kedalaman pengeringan. Perkiraan diambil dari ukuran-ukuran pembusukan untuk tingkat pengeringan yang berbeda (bagi tata guna lahan yang berbeda) dikombinasikan dengan wilayah lahan yang rusak dan jumlah tahun pembusukan setelah pengeringan awal. Satu ketidakpastian penting adalah bahwa respirasi tanah dan akar menghasilkan antara 40 dan 60 persen fluks karbon terukur


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

antara karbon di tanah dan di atmosfer, sebagai produk respirasi tanah dan biomassa dan penyerapan karbon pada proses fotosintesis, sebagaimana dijelaskan dalam publikasi terbaru Couwenberg et al. (2009). Ukuran fluks karbon dari pembusukan tanah menggunakan perubahan massa tanah dan komposisi karbon tidak terpengaruh ketidakpastian ini, namun beberapa studi dengan metode pengukuran yang baik telah dipublikasikan. Tingkat-tingkat emisi yang digunakan di sini dihitung dengan menggunakan model emisi pengeringan gambut linear WĂśsten, yang memprediksikan pola-pola emisi untuk kedalaman pengeringan yang berbeda dan kedalaman pengeringan rata-rata untuk tata guna lahan yang berbeda yang ditetapkan oleh Hooijer 2006. Hooijer et al. 2006 melakukan sintesa terhadap observasi langsung terhadap lahan-lahan gambut yang dikeringkan, yang dilakukan oleh berbagai ilmuwan di berbagai wilayah di Indonesia, Papua Nugini, Malaysia, dan Brunei. Hooijer et al. 2006 menyertakan perkiraan pembusukan tanah gambut di hutan-hutan sekunder, perkebunan kelapa sawit, dan kawasan pertanian yang ditanami dengan bibit lain yang terpengaruh pengeringan. Perkiraan emisi dari pembusukan gambut dapat direvisi karena telah dilakukan pekerjaan ilmiah lebih lanjut. Berbagai upaya penelitian potensial yang berguna untuk menangani isu-isu terbuka baru saja dimulai. Hasil dari upaya-upaya tersebut, yang diperkirakan akan dipublikasikan dua sampai tiga tahun ke depan, dapat mengubah pandangan saat ini tentang tingkat pembusukan gambut. Dengan adanya ketidakpastian ini, perkiraan - perkiraan yang digunakan di sini bersifat konservatif terkait dengan perkiraan lain yang dikutip secara luas.

Potensi pengurangan dan biaya Pemerintah Indonesia telah mulai menangani emisi gambut melalui keputusan yang melarang konversi lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Di samping itu, terdapat beberapa peluang untuk menurunkan emisi dengan biaya yang relatif rendah. Total peluang pengurangan sebesar 566 MtCO2e terdapat di sektor gambut melintasi beberapa faktor pendorong, termasuk pencegahan pembakaran, rehabilitasi lahan gambut, namun juga pengelolaan air pada perkebunan kayu yang ada dan perkebunan kelapa sawit atau secara umum kawasan pertanian. (Gambar 8).

566 Mt CO2e dapat dikurangkan oleh pencegahan kebakaran, pengelolaan air dan rehabilitasi lahan gambut yang rusak Perspektif masyarakat; 2030 Biaya untuk pengurangan USD per tCO2e 10

Rehabilitasi lahan gambut

Total emisi dari gambut pada 2030 di lintasan bisnis seperti biasa adalah 970 Mt CO2e

9 8 7

Pencegahan kebakaran

6

Pengelolaan air 5.21

5 4 3 2 1

0.85

0.35

0 0

100

200

300

400

500

600

Potensi pengurangan MtCO2e per year

SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

Gambar 8

17


18

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Pencegahan pembakaran Pencegahan kebakaran merupakan peluang pengurangan emisi terbesar dan dapat mencegah hampir 320 MtCO2e di tahun 2030. Tindakan yang perlu dilakukan untuk menurunkan emisi pembakaran hutan termasuk di dalamnya adalah melarang pembakaran sebagai alat untuk mempersiapkan lahan, menyediakan teknologi yang pantas dan praktis (dan, bila dianggap layak, menyediakan insentif keuangan) untuk pembukaan lahan secara manual, mengembangkan sistem peringatan dini yang pantas berdasarkan status risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan, memperkuat pemadam kebakaran, memastikan penegakan dan sanksi denda yang ketat bagi pelanggar peraturan, dan membangun kesadaran publik akan biaya ekonomi dan sosial setempat akibat pembakaran hutan. Selain penurunan emisi, pencegahan pembakaran memiliki dampak positif tambahan pada kesehatan masyarakat setempat begitu juga pada ekonomi Indonesia keseluruhan, misalkan melalui tidak terjadinya penutupan bandara karena penundaan akibat adanya asap . Pencegahan pembakaran dapat dilakukan sebagai tindakan terpisah, walaupun demikian upaya ini akan lebih berhasil dan berkelanjutan bila sumber utama kebakaran, yaitu merehabilitasi lahan gambut yang rusak secara paralel. Biaya untuk melakukan pencegahan pembakaran relatif kecil, dengan rata-rata 0.35 USD per tCO2e bila upayanya difokuskan pada titik-titik panas yang telah ada sebelumnya. Bila pencegahan kebakaran yang berdampak pada ekonomi seperti tertundanya transportasi karena asap, kerugian pada tanaman pertanian, dan kerugian pada kayu-kayu bernilai tinggi juga dimasukan, biaya sosial untuk pencegahan pembakaran bisa menjadi negatif, karena kerugian ekonomi yang tersebut di atas bisa jadi sangat signifikan. World Resource Institute memperkirakan dampak kerugian ekonomi langsung akibat kebakaran pada tahun 1997/98 adalah lebih dari 5 miliar USD. Harus dicatat bahwa potensi teknis untuk penurunan emisi dari upaya pencegahan pembakaran bisa mencapai 580 Mt CO2e. Walaupun demikian, upaya itu membutuhkan investasi dalam jumlah yang sangat besar untuk dapat menahan seluruh kebakaran yang terjadi di seluruh penjuru Indonesia. Sehingga, kami menggunakan asumsi yang lebih konservatif dalam analisis ini. Rehabilitasi lahan gambut Rehabilitasi lahan gambut yang telah rusak di Indonesia, misalkan kawasan pada Ex-Mega Rice Project di Kalimantan Tengah, merupakan peluang pengurangan emisi gambut terbesar kedua. Kegiatan rehabilitasi lahan gambut mengkombinasikan upaya pemulihan fungsi hidrologis gambut dan menanami kembali gambut dengan jenis-jenis tanaman aslinya. Walaupun pemulihan fungsi hidrologis gambut yang dilakukan dengan menyumbat saluran drainase relatif berbiaya murah dengan biaya di bawah 1 USD per tCO2e terkurangi, menanami kembali lahan gambut yang rusak relatif mahal dengan biaya berkisar dari 500 sampai 1,100 USD per ha atau 3 sampai 5 USD per tCO2e tersimpan. Memelihara regenerasi alami tutupan pohon yang ada dapat menurunkan biaya penanaman kembali secara signifikan dan seharusnya diterapkan di mana saja. Pengelolaan air Memasang sistem pengelolaan air berbasis waduk pada perkebunan dan tanaman kayu yang terletak di lahan gambut merupakan salah satu cara efektif untuk menurunkan emisi. Terdapat potensi pengurangan teknis sebesar 90 MtCO2e hingga tahun 2030. Biaya pengelolaan air relatif rendah, dengan biaya di bawah 1 USD per tCO2e terkurang. Selain dari pada itu, pengelolaan air dapat membantu untuk menurunkan risiko banjir pada musim hujan dan mencegah risiko kekeringan pada musim kering.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

TATA GUNA LAHAN, PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN KEHUTANAN (LULUCF) Emisi netto - 2030 : 666 MtCO2e, potensi pengurangan: 1.204 MtCO2e Dengan lebih dari 100 juta hektar hutan tropis, Indonesia merupakan rumah dari hutan tropis terbesar ketiga di dunia – kaya akan keanekaragaman hayati dan dengan simpanan karbon sebesar 15 Gt di atas permukaan tanah, yang setara dengan 60 GtCO2e apabila dikeluarkan seluruhnya. Deforestasi di Indonesia mencapai puncaknya pada akhir tahun 1990an, dengan angka lebih dari 1,8 juta ha per tahun, dan sejak itu telah menurun secara signifikan, dengan rata-rata kasar 1,1 juta ha per tahun antara tahun 2000 sampai dengan 2005. Namun demikian, kebutuhan dunia akan bubur kayu dan kertas serta kelapa sawit yang semakin meningkat seiring dengan kebutuhan dalam negeri akan tanaman pangan yang semakin besar diperkirakan akan menyebabkan konversi tambahan sebesar 21-28 juta ha lahan hutan saat ini sampai dengan tahun 2030 (Gambar 9) dalam skenario bisnis seperti biasa. Sebagian besar dari lahan tambahan tersebut akan dipenuhi melalui deforestasi hutan konversi (Hutan produksi yang dapat dikonversi, HPK); perubahan hutan produksi (Hutan produksi tetap, HPH) menjadi hutan konversi karena tingginya angka perusakan (oleh karena praktik-praktik pembalakan yang buruk); dan konversi hutan-hutan yang terletak di luar kawasan hutan. Karena Jawa dan Sumatra telah kehilangan sebagian besar wilayah hutan asli mereka, diperkirakan pembabatan hutan akan beralih ke pulau-pulau lain yang masih memiliki hutan yang luas seperti beberapa bagian di Kalimantan dan khususnya Papua.

Emisi sektoral Emisi netto dari LULUCF berkontribusi atas lebih dari 35 persen total emisi karbon di Indonesia, yaitu 745 MtCO2e pada tahun 2005, dan diperkirakan akan tetap siginifikan meskipun emisi netto terkait LULUCF menurun menjadi 570 MtCO2e; bagian terkaitnya akan menurun menjadi 18 persen pada tahun 2030 (Gambar 10). Namun demikian, emisi bruto tahunan nampaknya akan tetap pada angka yang tinggi yaitu lebih dari 1.080 MtCO2e. Emisi bruto hutan-hutan lahan kering masih disebabkan terutama oleh deforestasi, perusakan hutan dan pembakaran hutan. Deforestasi disebabkan oleh konversi lahan untuk pertanian (rakyat), budi daya kelapa sawit dan perkebunan bubur kayu tetapi juga pembalakan liar. Deforestasi diperkirakan akan tetap konstan pada angka saat ini yaitu 1,1 juta ha per tahun yang menghasilkan sekitar 750 MtCO2e emisi bruto. Perusakan hutan yang disebabkan oleh kegiatan pembalakan yang tidak lestari di hutan-hutan produksi Indonesia rata-rata dapat berkontribusi atas 250 MtCO2e emisi bruto lainnnya per tahun apabila praktik-praktik pembalakan yang ada saat ini tidak diubah. Pembakaran hutan selanjutnya diperkirakan memberikan tambahan kontribusi rata-rata 78 Mt CO2e per tahun.

Potensi pengurangan dan biaya Potensi sektor LULUCF untuk mewujudkan penurunan emisi pada tahun 2030 bersifat khusus unik karena potensi penurunan secara signifikan melampaui emisi bisnis seperti biasa. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa upaya konservasi penanaman hutan dan reboisasi dapat secara efektif menciptakan sumur karbon; yang menyimpan lebih banyak karbon (disebut sebagai penyerap karbon) daripada dikeluarkan. Bahkan total potensi pengurangan tahunan sektor LULUCF mencapai 1.204 MtCO2e pada tahun 2030, dengan penghentian deforestasi dan perusakan hutan akan berkontribusi sebesar 811 MtCO2e sementara upaya penanaman hutan dan reboisasi dapat berkontribusi sebesar 280 MtCO2e (Gambar 11) dan upaya pencegahan pembakaran dapat berkontribusi sebesar 43 MtCO2e. Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) Potensi pengurangan REDD sejauh ini adalah yang faktor pendorong terbesar LULUCF. Kami menggunakan istilah REDD sebagai kependekan untuk penghentian atau pencegahan kegiatan-kegiatan yang menyebabkan emisi di kawasan hutan. REDD merupakan peluang pengurangan gabungan

19


20

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 9

Deforestasi diperkirakan tetap konstan didorong oleh konversi untuk Estimasi kisaran rendah perkebunan dan lahan tanaman yang intensif Estimasi kisaran tinggi

Total area hutan yang hilang dan pendorongnya hingga 2030 Juta ha 10 to 13 21 to 28

5 to 7

6 to 8

Perkebunan Akasia

Palm oil plantation

Lahan tanaman

Total area hutan yang hilang

Pemerintah berencana untuk meningkatkan bubur kertas dan produksi kelapa sawit dan akan membutuhkan 1115.000.000 ha hutan saat ini meliputi daerah yang akan dikonversi Untuk menghidupi dan mendukung pertumbuhan populasi, maka dibutuhkan 10-13000000 ha untuk lahan tanaman Permintaan meningkat pada umumnya untuk produk kayu untuk konstruksi dan bioenergi yang bisa menyebabkan kebutuhan akan daerah yang lebih luas lagi

SUMBER: RISI; EMGE; Pemerintah Indonesia; A Rante Tondak DG Estate Crops , Departemen Pertaniani, Proceedings of the World Conference on Palm and Coconut Oils for the 21st Century, American Oil Chemist Society, Leonard Perkins and Cahn edts, 1999; Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

Gambar 10

emisi bersih dari sektor hutan diperkirakan terus menurun sepanjang periode pelaporan tetapi emisi kotor akan tetap konstan Emisi kotor

Emisi diproyeksikan1, Juta tons CO2e

1,100 1,000 900

1,084 246

Emisi bersih

1,084

1,084

▪ 356

800

416

700 600 500 400

838

300

728

668

2020

2030

200 100 0

2005

Emisi bruto diperkirakan tetap konstan mendekati 1.100 MtCO2e Emisi bersih diperkirakan turun kira-kira 170 MtCO2e oleh peningkatan penyerapan wilayah reboisasi yang berpotensi, tetapi juga melalui perluasan perkebunan kayu dan tanaman perkebunan

1 Emisi bersih termasuk penyerapan pada hutan sekunder, kayu dan tanaman perkebunan program reboisasi pada awalnya SUMBER: DNPI-Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Menghindari deforestasi, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, penghijauan, dan reboisasi bisa mengubah sektor LULUCF menjadi buangan karbon bersih pada tahun 2030 Emisi kotor bisnis seperti biasa (BAU) pada 2030, pengungkit pengurangan dan emisi setelah pengurangan MtCO2e

Gambar 11 Emisi Pengurangan

1,084 78 243 763

574

-1,205 237 150 123 78

Deforestasi Degradasi

Kebakaran hutan

Emisi kotor

Pencegahan deforestasi

Pengelola an hutan yang berkelanjutan

Penana man hutan

Reboisasi

Silvikultur yang intensif

43 Pencegah an kebakaran

-121 Emisi setelah pengurang an

SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

sebesar lebih dari 570 MtCO2e, dengan penghentian konversi hutan menjadi pertanian rakyat sebagai kontribusi tunggal terbesar yaitu sedikit di atas 190 MtCO2e. Sedangkan pencegahan pembakaran, emisi yang diturunkan dari “pertanian rakyat REDD� secara teknis dapat mencapai 300 MtCO2e. Mengingat banyaknya, terkotak-kotaknya dan terpencilnya para petani rakyat di Indonesia, nampaknya tidak realistis bahwa potensi penuh dapat dicapai sampai dengan tahun 2030 dan dengan demikian potongan sebesar 40% diaplikasikan terhadap potensi penurunan teknis maksimum. Biaya peluang (opportunity cost) sangat berbeda antar penggerak-penggerak deforestasi, yaitu berkisar antara 1 USD sampai dengan 29 USD per ton CO2e yang terhindar (Gambar 12). Menghindari deforestasi dan degradasi hutan untuk menjadi lahan pertanian rakyat memiliki biaya peluang yang relatif rendah, mengingat terbatasnya alternatif ekonomi yang dihadapi oleh para petani rakyat di Indonesia. Namun demikian, biaya tersebut dapat meningkat secara signifikan apabila biaya transaksi dimasukkan karena ukuran Indonesia yang besar dan rumitnya mengubah kebiasaan tanam puluhan juta petani rakyat. Merealisasikan potensi pengurangan “pertanian rakyat REDD� akan memerlukan investasi yang sangat besar dalam layanan tambahan pertanian agar masyarakat pedesaan dapat menggunakan lahan-lahan yang telah dibuka secara lebih efisien dan dengan intensitas karbon yang lebih rendah. Biaya peluang untuk menghindari konversi hutan menjadi perkebunan tanaman industri atau perkebunan kayu adalah tinggi, mencapai hampir 30 USD per tCO2e terhindar, hal ini disebabkan karena tingginya pengembalian ekonomi yang dapat diperoleh dari tanaman seperti minyak kelapa sawit dan penghasil bubur kayu. Biaya tersebut dapat diturunkan secara signifikan apabila perkebunan-perkebunan tersebut dapat dibangun di atas wilayah-wilayah yang telah rusak atau mengalami deforestasi, karena biaya tersebut kemudian hanya mewakili pendapatan yang hilang dari ekstraksi pohon yang pertama kali untuk pembukaan lahan awal dan mungkin sedikit biaya masukan tambahan atau hasil dengan marjin lebih rendah. Prospek untuk ini baik karena beberapa organisasi (misalnya, WRI) berusaha mengembangkan sistem-sistem pertukaran lahan, dan sektor swasta menunjukan minat yang semakin besar. Namun demikian, rencana-rencana tata ruang yang baru dan sistem insentif keuangan yang tepat, misalnya biaya ijin berbasis karbon untuk konsesi-konsesi baru, akan diperlukan untuk menjadikan penggunaan lahan yang rusak sebagai peluang nyata yang tepat.

21


22

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 12

1.200 MtCO2e bisa berkurang pada tahun 2030 dengan pelaksanaan 9 pengungkit pengurangan yang berbeda-beda Perspektif masyarakat; 2030 Biaya untuk pengurangan USD per tCO2e 50

Total emisi bersih dari sektor kehutanan pada 2030 di lintasan bisnis seperti biasa adalah 668 MtCO2e

45 40 35 30 25 20

REDD – pertanian petani kecil

15 10 5 0 0

100

Tanah pinggiran dan Reboisasi penanaman hutan Pencegah an Pengelolaan Hutan kebakaran Yang Berkelanjutan 10 2

1 200

Silvikultur yang intensif

300

400

5

6

500

600

REDD – Penanaman akasia yang intensif

REDD – Penanaman kelapa sawit yang intensif 29

28

10

6

700

800

900

1,000

1,100

1,200

1,300

Potensi pengurangan MtCO2e per tahun Catatan: Kurva menampilkan estimasi potensi maksimum dari semua pengukuran pengurangan gas rumah kaca secara teknis di bawah USD 60 per tCO2e jika masing-masing pengungkit dikejar secara agresif. Ini bukan ramalan tentang apa pengurangan yang berbeda dan juga teknologi yang akan berperan. Dengan asumsi tingkat pemotongan masyarakat 4% SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca

Aforestasi dan reforestasi i Aforestasi dan reforestasi merupakan peluang penyimpanan300 MtCO2e sampai dengan tahun 2030 dengan biaya 5 sampai 6 USD per tCO2e terhindar. Hal ini mengimplikasikan pembangunan (kembali) hutan pada lebih dari 10 juta ha lahan non hutan terdegradasi dan lahan hutan merupakan tambahan terhadap program reforestasi Kementerian Kehutanan yang sudah ada (GERHAN). Realisasi volume penyimpananyang besar memerlukan pengalokasian wilayah-wilayah aforestasi dan reforestasi ini untuk konservasi. Pengembangan perkebunan kayu dan tanaman perkebunan komersial sebagai bagian dari program reforestasi dapat membantu menurunkan tekanan pada wilayah-wilayah hutan yang ada, tetapi pada saat yang sama kegiatan-kegiatan ini akan menurunkan secara tajam potensi pengurangan kawasan-kawasan penghijauan. Ini disebabkan oleh besarnya volume CO2e yang akan dihasilkan pada akhir jangka waktu rotasi perkebunan-perkebunan tersebut. Pengelolaan hutan lestari Perkiraan kami menunjukkan bahwa penurunan emisi dari perusakan hutan produksi (HPH) melalui perpaduan antara perencanaan yang lebih baik, pembalakan dengan dampak yang telah dikurangi, dan pengelolaan paska panen yang telah diperbaiki dapat menghasilkan penurunan emisi sebesar lebih dari 200 MtCO2e dengan biaya sedikit lebih besar dari 2 USD per tCO2e. Kebijakan yang ada saat ini tentang ekstraksi kayu dan siklus penebangan di hutan-hutan produksi telah didasarkan atas kelestarian tetapi tidak mempertimbangkan maupun memperhitungkan total biomassa yang hilang, dengan jumlah yang umumnya berkali-kali lipat dari kayu yang dapat diperdagangkan. Di samping itu, hilangnya stok karbon lebih lanjut dapat terjadi selama beberapa tahun setelah pembalakan apabila kondisi tidak kondusif untuk regenerasi hutan yang cepat. Kegiatan-kegiatan untuk menurunkan emisi dari ekstraksi pohon meliputi pembangunan jaringan jalan hutan dan jalan penyaradan (skidding trails) yang memadai untuk meminimalisir kerusakan akibat penggunaan roda perlengkapan panen modern, dan penggunaan sistem informasi geografis agar panen sedapat mungkin terfokus. Alternatif–penghentian pembalakan secara langsung – akan berdampak sama terhadap penurunan emisi, tetapi memiliki biaya peluang yang lebih tinggi dan tidak akan membantu Indonesia untuk mengembangkan lebih lanjut industri hasil-hasil hutannya.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Budi daya hutan(Silviculture) Intensif Budi daya hutan intensif yang dianggap sebagai kegiatan tambahan untuk meningkatkan angka pertumbuhan (dan dengan demikian angka penahanan) hutan-hutan produksi Indonesia. Budi daya hutan intensif didasarkan atas kegiatan-kegiatan budi daya hutan yang diperluas dari aplikasinya saat ini yang terbatas. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya mencakup penanaman pengayaan, penjarangan antar siklus, dan juga pemupukan, semaian yang lebih baik, dan teknik pembibitan yang lebih baik. Budi daya hutan intensif relatif mahal yaitu hampir 10 USD per t CO2e tambahan yang disimpan, tetapi merupakan peluang pengurangan sebesar hampir 100 MtCO2e setiap tahunnya. Di samping itu, penerapan budi daya hutan intensif menjadi lapangan pekerjaan yang besar bagi masyarakat hutan, misalnya, pemeliharaan tanaman. Pencegahan pembakaran hutan Pencegahan pembakaran di luar lahan gambut juga merupakan peluang penurunan emisi yang signifikan dan dapat mencegah 43 MtCO2e pada tahun 2030. Tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menurunkan emisi dari pembakaran hutan mencakup pelarangan pembakaran sebagai alat untuk penyiapan lahan, penyediaan teknologi yang tepat dan praktis (dan, apabila sesuai, insentif keuangan) untuk pembukaan lahan manual, pengembangan sistem-sistem peringatan dini yang tepat berdasarkan status risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan, penguatan pemadam kebakaran, pemastian penegakan yang kuat dan hukuman yang besar atas pelanggaran peraturan, dan pengembangan kesadaran publik akan dampak-dampak ekonomi dan sosial setempat dari pembakaran hutan. Biaya untuk menurunkan emisi dari pencegahan pembakaran di hutan-hutan di luar lahan gambut relatif tinggi yaitu lebih dari 5 USD per ton CO2e yang dikurangi. Biaya yang tinggi tersebut disebabkan oleh fakta bahwa pembakaran hutan tersebar di wilayah lahan yang jauh lebih luas daripada kebakaran gambut.

Metodologi Angka perkiraan deforestasi dan emisi bruto tahunan yang digunakan dalam analisis ini adalah 1.1 juta ha, yang didasarkan pada angka pembabatan hutan tahun 2000-2005 yang lalu yang ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan. Kurang lebih 75 persen (atau 0,8 juta ha) dari total wilayah yang deforestasi diperkirakan akan terjadi pada hutan lahan kering dan sisanya sebesar 25 persen terdapat pada wilayah hutan gambut.18 Kami berasumsi bahwa kepadatan jenis karbon pada hutan-hutan di Indonesia yang ditebangi di masa mendatang akan tetap sama dengan kepadatan jenis karbon pada hutan-hutan yang ditebangi selama lima tahun terakhir, yaitu 192 tC/ha.19 Asumsi penggunaan lahan dicocokkan kembali dengan proyeksi kebutuhan lahan tambahan untuk perkebunan kayu bubur kertas dan minyak kelapa sawit,20 dan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri yang semakin meningkat akan produk pertanian.21 Serangkaian data menunjukkan kebutuhan total akan lahan hutan tambahan seluas 21–28 juta ha pada tahun 2030. Emisi netto sektor LULUCF dikalkulasi dengan memperhitungkan potensi penyerapan hutan alam yang ada di Indonesia (dengan pengecualian hutan primer yang tidak dikelola, sebagaimana yang disarankan oleh IPCC)22 dan juga hutan buatan (misalnya perkebunan kelapa sawit) sepanjang hal-hal tersebut sesuai dengan definisi hutan Pemerintah Indonesia23 sebagaimana dijelaskan dalam laporan IFCA (Gambar 13). Perhitungan penyerapan dalam jenis-jenis hutan yang disebutkan di atas didasarkan atas asumsi tingkat pertumbuhan tahunan, muatan karbon per meter kubik biomassa, pengembangan wilayah di masa mendatang, dan periode rotasi tanaman. Periode rotasi merupakan elemen yang penting dari kalkulasi, karena sebagian besar dari karbon yang ditahan akan dilepaskan pada akhir periode rotasi, 18 19 20 21 22 23

Sebagaimana dijelaskan oleh Hooijer et al (2006) IFCA 2008 IFCA 2008, RISI 2009, NLK 2009 Tondak (1999) IPCC – Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change, and Forestry Hutan dijelaskan sebagai tanaman nontahunan yang mencapai ketinggian minimum 5 m dengan tutupan tajuk lebih dari 30 persen wilayah tertentu, umumnya satu hektar

23


24

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 13

Emisi bersih dihitung dengan mengambil penyerapan dari hutan alam dan perkebunan ke dalam laporan Emisi Indonesia dari deforestasi dan hutan yang rusak serta penyerapan 2030 Juta ton CO2e

â–Ş

1,007

243 764

127

â–Ş

25

235 49

Deforestasi Degradasi Emisi kotor

571

Urutan Urutan Urutan Urutan Emisi hutan perkebunan Gerhan2 tanaman bersih 1 3 perkebun alam kayu an4

PENDAHULUAN

Penyerapan di hutan sekunder alam menurun sebagai akibat dari pengurangan kawasan dan degradasi Penyerapan di perkebunan dan proyek-proyek penghutanan kembali kemungkinan akan meningkat terus sampai tahun 2030, namun begitu daerah itu mencapai akhir siklus rotasi mereka, misalnya potensi penyerapan kelapa sawit setelah 25 tahun akan menurun dan meningkatkan emisi bersih

1 Kenaikan tahunan sebesar 4m3 per ha atau 4,4 t CO2e/ha per tahun di Indonesia hutan sekunder 2 400.000 ha lahan direhabilitasi di dalam dan di luar hutan setiap tahun antara 2003 dan 2007; karantina dari 18,3 t CO2e/ha/year, periode rotasi 35 tahun 3 271.000 ha perkebunan kayu yang baru didirikan, karantina dari 29,3 CO2e/ha/year t; rotasi jangka waktu 10 tahun 4 434.000 ha penanaman tanaman perkebunan yang baru didirikan, karantina CO2e sebesar 5,1 t / ha / tahun; rotasi jangka waktu 30 tahun SUMBER: Dep Hut – Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2008; Statistik perkebunan 2007; Sheil et al. 2009; Burschel et al. 2001; Kurva Biaya Gas Rumah Kaca Indonesia – 2nd National Communication

sehingga secara signifikan menurunkan tingkat penyerapan tahunan. Hal ini khususnya terjadi untuk perkebunan penghasil bubur kayu rotasi pendek, yang dengan demikian bukan merupakan alat yang ideal untuk meningkatkan simpanan karbon hutan Indonesia dalam jangka waktu panjang.

pertanian Emisi - 2030: 164 MtCO2e, potensi pengurangan: 105 MtCO2e Sebagian besar emisi karbon pertanian bukan berupa karbon dioksida, melainkan gas rumah kaca lain seperti metana dan nitrogen oksida. Emisi-emisi tersebut berasal dari tiga sumber utama: praktik pengelolaan pengairan untuk tanaman padi, penggunaan pupuk buatan, dan pembakaran sisa panen

Emisi sektoral Pertanian adalah sektor dengan emisi tertinggi ketiga di Indonesia, setelah LULUCF dan gambut, dengan emisi mencapai 132 MtCO2e pada tahun 2005 (berdasarkan tata guna lahan saat itu). Emisi dari sektor ini diperkirakan akan meningkat sampai dengan 25 persen menjadi 164 MtCO2e pada tahun 2030 (Gambar 14).

Potensi pengurangan dan biaya Potensi pengurangan untuk sektor ini diperkirakan mencapai kurang lebih 105 MtCO2e setiap tahunnya atau sekitar 63 persen dari emisi sektor terkait pada tahun 2030 (Gambar 15). Penyempurnaan pengelolaan pengairan dan pupuk untuk pertanian padi menawarkan potensi pengurangan yang signifikan sebesar 45 MtCO2e atau 43 persen dari emisi sektor. Pengelolaan pengairan padi meliputi pengeringan tengah musim dan pengeringan banjir dangkal untuk menghindari kondisi anaerobik, yang dapat menghasilkan emisi metana yang signifikan. Pengelolaan pupuk mengacu pada peralihan dari pupuk berbasis nitrogen menjadi pupuk berbasis sulfat. Peluang pengurangan sektor yang ketiga berasal dari pemulihan lahan yang rusak (yaitu lahan pertanian yang telah rusak akibat dari ganguan berlebih, erosi, hilangnya bahan-bahan organik, gangguan


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Dalam bisnis seperti biasa lintasan emisi dari pertanian diharapkan tumbuh 132-164 Mt CO2e pada 2030

Gambar 14 Tanah N2O Beras CH4

Projected emissions from agriculture in Indonesia Juta ton CO2e

Ternak

180 160 140

151

164

132

120 100 80 60

40 20 0

2005

2020

2030

Lainnya

Daerah pertanian diharapkan meningkat dari 10 hingga 13 juta ha sampai 2030 dengan mayoritas diharapkan memiliki tutupan hutan yang signifikan Emisi dari ternak juga diperkirakan meningkat dari 25 juta ton CO2e menjadi 39 juta ton CO2e pada tahun 2030 dan bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen emisi tambahan 2 kenaikan terbesar diharapkan datang dari budidaya padi, meningkat sebesar 14 Mt CO2e hingga 2030

SUMBER:EPA; Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

Gambar 15

105 Mt CO2e bisa berkurang dengan memperbaiki pengelolaan air dalam budidaya padi dan restorasi lahan rusak Perspektif masyarakat; 2030

Biaya untuk pengurangan USD per tCO2e

Total emisio dari sektor pertanian pada 2030 dalam lintasan bisnis seperti biasa adalah 164 MtCO2e

80 70 60 Pengelolaan 50 gizi lahan Ternak – Vaksin tanaman 40 Antimethanogen 30 20 10 0 -10 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 -20 -30 -40 Pengelolaan Pengelolaan air – -50 padang rumput budidaya padi -60 -70

Ternak – persediaan pakan Pengelolaan gizi – budidaya padi

Pengelolaan ahan rusak

Ø5 60

65

70

75

80

85

90

95 100 105 110

Potensi pengurangan MtCO2e per tahun Praktek agronomi

Residu praktek pengelolaan Catatan: Kurva menampilkan estimasi potensi maksimum dari semua pengukuran pengurangan gas rumah kaca secara teknis di bawah USD 60 per tCO2e jika masing-masing pengungkit dikejar secara agresif. Ini bukan ramalan tentang apa pengurangan yang berbeda dan juga teknologi yang akan berperan. Dengan asumsi tingkat pemotongan masyarakat 4% SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

25


26

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

kadar garam atau asam), yang akan berkontribusi atas penurunan emisi sebesar 35 MtCO2e. Kegiatan pengurangan emisi lazimnya mencakup kegiatan re-vegetasi (misalkan, menanam rumput), memperbaiki kesuburan dengan mengubah pupuknya, memberikan bahan-bahan organik seperti pupuk kandang, biosolids, dan kompos, mengurangi kegiatan pembajakan tanah dan mempertahankan residu hasil panen. Biaya pengurangan rata-rata di sektor pertanian mencapai 5 USD per tCO2e. Pemulihan lahan yang rusak melalui pembentukan wadah penyerapan karbon (meningkatkan bahan organik dalam tanah) memerlukan biaya sebesar 13.8 USD per tCO2e, sementara perbaikan pengelolaan pengairan padi dan pengelolaan pupuk padi menghabiskan biaya masing-masing sebesar 7 dan 21.7 USD per tCO2e setiap tahunnya. Pe pengelolaan pupuk adalah hal yang mahal karena harga pupuk berbasis non-nitrogen jauh lebih mahal dibandingkan dengan pupuk berbasis nitrogen, misalkan, pupuk berbasis fosfor atau sulfat seperti fosfat diamonium, harga pupuk tersebut hampir 30 persen lebih mahal dari pada pupuk-pupuk berbasis nitrogen. Tantangan implementasi terbesar di sektor pertanian adalah geografi dan fragmentasi para pemangku kepentingan, karena program-program pengurangan ini harus diimplementasikan di kalangan para petani Indonesia yang sebagian besar adalah para petani rakyat. Hal ini memerlukan investasi ekstensif dalam program-program pendidikan untuk mengubah praktik-praktik pertanian yang sudah berurat berakar menjadi budaya turun-temurun. Biaya transaksi untuk faktor pendorong pengurangan emisi ini belum dipahami dengan baik di Indonesia.

TENAGA LISTRIK Emisi - 2030: 810 MtCO2e, potensi pengurangan: 225 MtCO2e Kebutuhan tenaga listrik diperkirakan akan meningkat sampai dengan delapan kali dibandingkan dengan tahun 2005 sampai dengan 2030 – didorong oleh perkembangan ekonomi yang pesat, peningkatan pemasangan tenaga listrik di pedesaan Indonesia (dari 60 persen rumah tangga saat ini menjadi 100 persen pada tahun 2020), pertumbuhan produksi dan jasa yang pesat, dan realisasi perkiraan kebutuhan akan tenaga listrik yang terpendam dan tertahan.

Emisi Sektoral Emisi di Indonesia yang berasal dari sektor tenaga listrik diperkirakan akan meningkat tujuh kali lipat dari 110 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 810 MtCO2e pada tahun 2030 oleh karena kuatnya peningkatan kebutuhan dan ketergantungan yang semakin besar terhadap batubara (Gambar 14). Emisi dari sektor tenaga listrik pada tahun 2030 diperkirakan akan melampaui tingkat emisi sektor gambut saat ini. Kebutuhan listrik diperkirakan akan meningkat dari 120 TWh pada tahun 2005 menjadi 970 TWh pada tahun 2030. Sementara terdapat beberapa proyeksi kebutuhan untuk Indonesia, perkiraan kebutuhan yang dikembangkan oleh PLN, Perusahaan Listrik Negara, nampaknya adalah yang paling sesuai dengan pendekatan umum kami, dengan menggunakan proyeksi berdasarkan ekonomikomparabel. Namun demikian, karena PLN tidak melakukan proyeksi di luar tahun 2050, kami telah melakukan ekstrapolasi terhadap kebutuhan sampai dengan tahun 2030 menggunakan angka pertumbuhan historis. Di sisi pasokan, Indonesia memiliki rencana ambisius untuk mengumpulkan tenaga listrik panas bumi sebesar 9 GW (dari 1 GW saat ini) pada tahun 2030, yang kemudian akan merupakan 8 persen dari total pembangkitan tenaga. Namun demikian, penekanan kebijakan lanjutan (sebagaimana dijelaskan dalam Blueprint Tenaga Listrik Nasional) tentang peningkatan andil batubara dalam campuran energi akan meniadakan sebagian besar upaya pembangkitan tenaga listrik bersih, sehingga faktor emisi listrik Indonesia, yaitu emisi per unit listrik, relatif tidak berubah dari tahun 2005 sampai dengan 2030.

Potensi pengurangan dan biaya Terdapat beberapa peluang pengurangan sebesar 225 MtCO2e pada tahun 2030 melalui peningkatan masuknya sumber-sumber energi bersih dan terbarui, dan peningkatan penggunaan teknologi batubara bersih. Penurunan tambahan mungkin disebabkan oleh penurunan kebutuhan dari sektor-sektor lain.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Sektor listrik diharapkan untuk melihat suatu peningkatan permintaan 8-10 RUPTL (PLN) kali lipat dalam 120-970 TWh selama 25 tahun ke depan

Gambar 16

Proyeksi

Proyeksi permintaan daya TWh …didorong oleh beberapa faktor termasuk:

970

1,000

1▪ Pertumbuhan konsumsi perumahan ▪ Elektrifikasi pedesaan 2 Indonesia ▪ Realisasi yang belum terlihat 3 dan permintaan yang menekan ▪ Manufaktur dan jasa yang tumbuh lebih cepat dari 4 sebelumnya

900 800 700

610

600 500

415

400

250

300 200 100

150

120

0 2005

2010

2015

2020

2025

2030

SOURCE: PLNL 2007-2018, RUKN 2008-2027 (Departemen Energi & Sumber Daya Mineral)

Batubara diperkirakan untuk mengambil peran yang lebih besar dari total campuran energi Bisnis Seperti Biasa (BAU) menuju pada peningkatan tujuh kali lipat emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 Generasi listrik TWh

Emisi GHG yang terkait MtCO2e 970

8X

Panas bumi/ Geotermal Teknologi bersih lainnya Bahan bakar fosil lainnya

810

7X 369

414 645 (66%) 55 (45%)

124

272 (66%)

2005

2020

Coal

batubara 110

2030

2005

2020

2030

Kunci observasi • Sementara kapasitas panas bumi terus bertumbuh secara mutlak, bagian panas bumi hanya menjadi bagian yang kecil dari campuran keseluruhannya • Rencana saat ini diuraikan dalam Cetak Biru Energi Nasional mendorong perubahan dari minyak ke batubara sehingga membatasi fluktuasi harga yang berlebihan yang disebabkan oleh harga minyak atsiri

Cacatatan: Proyeksi dari PLN adalah sampai 2018,are until 2018, maka proporsi teknologi diasumsikan tetap konstan setelah 2020 SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia , PLN, ESDM, IEA

Oil Gas

Gambar 17

27


28

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Secara khusus, faktor pendorong pengelolaan di sisi kebutuhan/Demand Side Management (misalnya, peralihan dari bola lampu pijar menjadi bola lampu LED) pada sektor bangunan, transportasi, dan semen dapat melihat efek net penurunan emisi sampai dengan 47 MtCO2e (56 TWh) pada tahun 2030. (Gambar 15). Sebagai teknologi yang relatif bersih, pembangkit listrik tenaga air menawarkan peluang pengurangan terbesar. Sebagian besar potensi air di Indonesia masih kurang dikembangkan, dengan hanya 5 GW dikembangkan dari total 32 GW potensi yang dapat dieksploitasi pada tahun 2030. Menghasilkan 27 GW kapasitas tambahan (berdasarkan kapasitas terpasang sebesar 70 TWh) dari pembangkit tenaga air akan menghasilkan potensi pengurangan sebesar 65 MtCO2e dengan biaya negatif sebesar 7 USD per tCO2e. Indonesia memiliki sumber daya panas bumi konvensional yang signifikan di dunia. Penggunaan tambahan sumber-sumber panas bumi, di luar dari yang telah direncanakan, dapat menghasilkan pengurangan sekitar 50 MtCO2e, menambahkan 6 GW kapasitas (47 TWh) dengan biaya pengurangan sebesar 27 USD per tCO2e. Meskipun panas bumi merupakan teknologi yang telah teruji, namun karena terbatasnya kajian kelayakan di Indonesia maka mengakibatkan sering menimbulkan biaya eksplorasi dan pengembangan proyek panas bumi di Indonesia menjadi jauh lebih tinggi. Para ahli telah menyatakan bahwa biaya tersebut dapat mencapai 125-175% lebih tinggi mengingat langkanya informasi teknis yang kuat yang tersedia tentang lokasi-lokasi panas bumi. Faktor pendorong tunggal terbesar menurut volume adalah pembangkit listrik tenaga biomassa. Dalam hal ini, biomassa mengacu kepada bahan bakar yang berasal dari kayu, tanaman bahan bakar dan limbah pertanian. Bersama-sama, hal-hal tersebut menghasilkan peluang pengurangan sebesar 64 MtCO2e. Tingginya biaya biomassa dalam analisis ini disebabkan oleh dua faktor: yang pertama adalah bahwa mengingat kondisi geografis Indonesia, pasokan bahan bakar umumnya berada pada jarak yang jauh dari kebutuhan tenaga listrik sehingga menimbulkan biaya pengangkutan bahan bakar yang tinggi; yang kedua adalah bahwa model hanya mempertimbangkan aplikasi tenaga biomassa yang terhubung dengan jaringan listrik yang ada. Penggunaan biomassa dalam aplikasi yang lebih kecil di luar jaringan listrik yang ada dan tersebar dapat menghasilkan opsi-opsi tambahan dengan biaya yang lebih rendah; namun demikian karena terbatasnya ketersediaan data kebutuhan di luar jaringan listrik di Indonesia memerlukan analisis yang lebih rinci.

Gambar 18

The power sector could provide approximately 260 MtCO2e1 of reduction potential in 2030 Angin pantai

Biaya untuk pengurangan USD per tCO2e

Batubara CCS baru yang dibangun dengan EOR

50 40 30 20 10 0 -10 0

Hidro luas

Sisi permintaan pengelolaan

20

10

40

60

-20

80 -4 100

120

-40 -50

Geotermal/ Panas 27 bumi

Ă˜ 20

140

160

180

Nuklir Hidro kecil

-60 -75 Batubara sangat kritis

1Termasuk Termasuk pengurangan sisi permintaan di sektor lain; saat ini diperkirakan 57 TWh SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

200

220

240

260

280

Potensi pengurangan MtCO2e per tahun

-70 -80

49

14

-15

-30

Biomassa 45


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Demikian pula tenaga surya, dirancang sebagai sistem yang terhubung dengan jaringan listrik yang ada, yang dalam model ini membatasi skala potensinya dan menimbulkan biaya yang relatif lebih tinggi. Tenaga surya dapat menghasilkan penghematan yang signifikan apabila aplikasi tenaga surya dilakukan di luar jaringan listrik, tetapi hal ini akan memerlukan analisis tambahan. Dalam model yang ada saat ini yang hanya melihat sebagai sistem yang terhubung dengan jaringan listrik, biaya tenaga surya melampaui ambang batas $80/tCO2e yang ada dalam analisis. Untuk merealisasikan potensi pengurangan dan mengembangkan infrastruktur tenaga listrik pada jalur pertumbuhan karbon yang rendah Indonesia harus mengatasi beberapa rintangan. Pemetaan sumbersumber energi di Indonesia yang komprehensif, terperinci, dan tersedia bagi publik serta dukungan peraturan yang memadai dapat membantu menarik lebih banyak investasi untuk mengembangkan potensinya. Informasi terbaru yang tersedia bagi publik bergantung pada data lama, dan seringkali tidak menyertakan analisis kelayakan sumber-sumber yang tersedia.

TRANSPORTASI Emisi - 2030: 502 MtCO2e, potensi pengurangan: 100 MtCO2e

Emisi sektoral Emisi dari sektor transportasi akan meningkat tujuh kali lipat antara tahun 2005 sampai dengan 2030 (dari 60 menjadi 443 MtCO2e) dalam skenario bisnis seperti biasa, yang didorong oleh peningkatan besar jumlah kendaraan pribadi dan komersial (Gambar 16). Meningkatnya tingkat pendapatan pribadi sebanyak tiga kali lipat selama dua dekade mendatang, menyebabkan peningkatan tiga kali lipat masuknya kendaraan pribadi dari 115 kendaraan per 1.000 penduduk saat ini menjadi 312 pada tahun 2030. Peningkatan kekayaan ini juga meningkatkan volume angkutan barang antar negara, yang bahkan akan mendorong lebih cepat peningkatan andil kendaraan komersial dari 5 persen menjadi 15 persen dari keseluruhan jumlah kendaraan (Gambar 17). Dengan kendaraan berat yang konsumsi bahan bakarnya tidak ekonomis menempuh jarak yang lebih jauh, andil emisi dari kendaraan komersial akan meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen dari total emisi pada tahun 2030.

Potensi pengurangan dan biaya-biaya terkait Terdapat potensi untuk menurunkan emisi sektor transportasi sampai dengan 20 persen (sekitar 100 Mt) pada tahun 2030 di tiga faktor pendorong mitigasi utama: perbaikan sistem pembakaran internal mesin; beralih dari kendaraaan bertenaga BBM ke kendaraan hibrida dan listrik; dan mengadopsi bahan bakar biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit (Gambar 18). Tiga perempat dari total potensi penurunan emisi (atau 75 MtCO2e) berasal dari penyempurnaan mesin pembakaran internal konvensional (internal combustion engines – ICE) di semua kelas kendaraan yang dapat didorong melalui standar efisiensi bahan bakar yang lebih tinggi. Semua langkah tersebut dapat dilakukan dengan biaya pengurangan negatif. Penting untuk ditekankan di sini bahwa sementara biaya pengurangan negatif selama masa pakai teknologi, seringkali muncul biaya di muka yang besar yang menjadi beban konsumen. Tanpa adanya peraturan khusus, pabrikan mungkin tidak akan memasukan teknologi yang lebih mahal karena produk mereka akan terlihat lebih mahal bagi para konsumen. Langkah-langkah pengaturan khusus akan perlu diambil oleh Pemerintah Indonesia untuk membantu mengatasi isu-isu prinsip semacam ini. Peralihan dari kendaraan bertenaga BBM menjadi kendaraan bertenaga hibrida dan listrik menghasilkan peluang terbesar tambahan sebesar 15 MtCO2e. Peralihan ke motor listrik merupakan opsi yang relatif menarik dengan biaya sebesar -162 USD per tCO2e terkurang. Meskipun tingginya biaya baterai terkait dengan teknologi baru ini akan menjadi penghalang dalam hal biaya di negara berkembang seperti Indonesia, inovasi lanjutan yang menurunkan biaya dapat menimbulkan peningkatan penetrasi kendaraan-kendaraan tersebut.

29


30

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 19

Indonesia akan melihat tujuh kali lipat peningkatan pada emisi bisnis seperti biasa dari sektor transportasi darat Emisi diproyeksikan, Mt CO2e

7X

443 6 42

Bis HCVs3

176

MCVs2

62

LCVs1

129

Mobil Penum[ang

22

28

Motor

2020

2030

223 17

4

70

26 2 4 17

60 9 11

18

84

2005

1 LCV: Kendaraan Komersil Ringan yang berbobot dibawah 3,5 ton (Light commercial vehicles) 2 MCV: Kendaraan Komersil Menengah berbobot antara 3.5 – 16 ton (Medium commercial vehicles) 3 HCV: Kendaraan Komersil Berat berbobot diatas 16 ton (Heavy commercial vehicles)

SUMBER: Asia Clean Air Initiative, Swisscontact, PUSTRAL, GAIKINDO, Wawancara para ahli, Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

Gambar 20

Peran kendaraan komersil akan meningkat dari 5 sampai 15% dikarenakan kebutuhan transportasi juga meningkat bersamaan dengan meingkatnya Millions kegiatan ekonomi 100%=

28 3

2 15

1 3

74

112 5

31

8

1

6 31

Bis HCVs MCVs LCVs Mobil penumpang

CAGR 5%

10% 10% 10% 10%

79 61

2005

2020

54

Motor

2030

SOURCE: Ministry of Transportation, Ministry of Industry, GAIKINDO, PUSTRAL, Expert interviews

10%


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Sekitar 89% dari potensi pengurangan dapat diperoleh di biaya negatif pada masyarakat1 Biaya untuk pengurangan $ per tCO2e

Gambar 21

Mobil

400 300 Bio diesel minyak sawit

200

Bis ICE3

100 0 -100

0

20

40

60 Mobil ICE3 bahan bakar LCV ICE3

-200 -300

Mobil ICE3 Diesel

80

100

Potensi pengurangan MtCO2e per tahun

Mobil hibrida

HCV ICE3 Diselisasi mobil MCV ICE3 Kendaraan tenaga listrik beroda dua 1 Dengan asumsi tingkat pemotongan dari masyarakat sebesar 4% 2 Potensi saat ini berdasarkan asumsi biaya global untuk kelapa sawit sebesar USD 0,52 / liter 3 Mesin pembakaran internal (ICE) SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

Walaupun sebagian besar peluang dapat dilaksanakan dengan biaya pengurangan negatif, untuk mengimplementasi faktor-faktor pendorong ini akan memerlukan investasi di muka yang signifikan dalam bentuk kendaraan dan infrastruktur di sektor-sektor terkait. Pembiayaan internasional perlu ada agar Indonesia dapat mencapai sebagian besar atau banyak peluang tersebut dalam jangka dekat. Banyak penyempurnaan ICE bergantung pada ketersediaan jenis bahan bakar yang tepat, yang dapat mengimplikasikan perubahan atau penambahan terhadap praktik-praktik pengilangan yang ada saat ini di Indonesia. Biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit akan menghasilkan tambahan potensi pengurangan sebesar 10 MtCO2e tetapi dengan biaya kenaikan yang sangat tinggi dibandingkan dengan biaya proyeksi diesel yang ada. Namun demikian, potensi pengurangan melalui penggunaan biodiesel dari minyak kelapa sawit secara khusus sensitif terhadap ketersediaan minyak kelapa sawit yang berkelanjutan. Penting untuk diingat bahwa peningkatan dalam pasokan minyak kelapa sawit untuk sektor transportasi tidak bersaing dengan upayaupaya untuk menghindari deforestasi sebagaimana ditekankan dalam bagian LULUCF. Apabila bahan bakar nabati berasal dari perkebunan yang telah menggantikan hutan, peluang pengurangan akan berkurang secara signifikan dan dengan demikian menyebabkan faktor pendorong menjadi lebih mahal. Sistem transit publik yang berkelanjutan merupakan langkah mitigasi yang penting dalam sektor transportasi. Namun demikian, sistem tersebut belum dimasukkan ke dalam analisis ini karena data lokal tentang biaya transportasi publik dan keefektifannya masih terbatas. Beberapa studi saat ini sedang dilakukan, yang hasilnya dapat kemudian dimasukkan ke dalam model ini.

BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS Emisi - 2030: 137 MtCO2e, potensi pengurangan : 41 MtCO2e

Emisi sektoral Untuk bahan bakar minyak, ruang lingkup analisis ini mencakup kegiatan produksi (termasuk pemanfaatan kembali gas suar bakar /flaring) dan pengilangan. Yang tidak tercakup adalah emisi terkait eksplorasi dan pengembangan cadangan bahan bakar minyak, pengiriman, dan pengembangan bahan

31


32

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

bakar kimia. Analisis ini juga tidak mencakup emisi terkait dengan konsumsi akhir produk bahan bakar minyak oleh pengguna akhir, karena hal-hal tersebut ditangani dalam sektor-sektor konsumsi perorangan yang dirinci pada bagian lain dari laporan ini. Untuk gas alam, lingkup dari analisis ini mencakup produksi dan pencairan gas alam menjadi gas alam cair (LNG). Berdasarkan definisi-definisi ini, total emisi sektor bahan bakar minyak dan gas diperkirakan akan meningkat dalam jangka waktu menegah dari 122 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 135 MtCO2e pada tahun 2020, terutama karena kapasitas pengilangan tambahan yang diharapkan mulai dapat dioperasikan. Namun demikian, dalam jangka waktu lebih panjang, peningkatan emisi dari pengilangan diharapkan terimbangi – karena ladang minyak dan gas yang sudah tua ditutup dan digantikan dengan ladang minyak dan gas yang lebih baru dan lebih efisien – sehingga emisi tetap relatif konstan di 137 MtCO2e pada tahun 2030 (Gambar 19). Hulu Produksi minyak diharapkan tetap relatif sama yaitu sekitar 1,1 juta barel per hari. Prediksi produksi minyak saat ini di Indonesia tidak memasukkan temuan-temuan besar tambahan. Sebagian besar ladang minyak mulai menjadi tua dan hanya sedikit ladang yang mulai dapat dioperasikan untuk mengimbangi ladang-ladang yang sudah sangat tua, yang diperkirakan akan ditutup dalam waktu dekat. Pemanfaatan kembali gas suar bakar dan bahkan dalam beberapa kasus pembuangan gas terkait masih menjadi masalah di Indonesia. Perkiraan terbaru menunjukan bahwa 25-30 persen dari semua kegiatan pemanfaatan kembali gas suar bakar di Asia Tenggara terjadi di dan di sekitar Indonesia, yang signifikan mengingat bahwa Indonesia hanya bertanggung jawab atas sekitar 12 persen dari seluruh produksi minyak di kawasan terkait. Namun demikian, emisi dari pemanfaatan kembali gas suar bakar di Asia Tenggara telah menurun dengan cukup pesat; perkiraan terbaru dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) A.S. menunjukan penurunan sekitar 5 persen per tahun dari tahun 2000 sampai dengan 2004. Pada tahun 2005, tahun terakhir dengan data yang tersedia, pemanfaatan kembali gas suar bakar di Indonesia diperkirakan sekitar 3 miliar meter kubik (BCM) per tahun. Gambar 22

Emisi bisnis-seperti-biasa di sektor minyak bumi dan gas MtCO2e per tahun*

0.5% 134 +12%

Pertengahan arus (midstream) LNG Hulu minyak (upstream) Dan produksi gas

Hilir pengilangan (downstream)

122

11

21

19

135 8 13

137 7 9

137 7 5

20

91

-2

-5

100

105

114

121

124

1

2005

* Termasuk emisi yang tidak langsung

13

132 8

CAGR 2005-30 %

SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

2010

2015

2020

2025

2030


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Arus Tengah Pencairan gas alam saat ini diperkirakan mencapai 44 BCM per tahun, dengan sebagian besar di antaranya untuk ekspor. Sebagian besar dari emisi yang terkait dengan LNG adalah hasil dari kompresi gas dan kebocoran metana selama pemrosesan dan pengangkutan gas. Perkiraan yang ada menunjukkan penurunan volume LNG yang diproduksi selama 20 tahun mendatang dan penurunan sampai separuhnya sampai dengan tahun 2030, diperkirakan sebagian besar porsi akan dialihkan untuk konsumsi dalam negeri sehingga kebutuhan pencairan akan menurun. Hilir Kapasitas pengilangan di Indonesia tetap konstan selama beberapa tahun terakhir yaitu sekitar 1 juta barel per hari. Seluruh kapasitas pengilangan di Indonesia dimiliki dan dioperasikan oleh badan usaha milik negara Pertamina, yang telah mengumumkan rencana untuk menambahkan kapasitas pengilangan tambahan 500.000 barel per hari dalam 5-10 tahun mendatang, meningkatkan total kapasitas pengilangan sampai dengan 1,5 juta barel minyak per hari. Rencana penambahan kapasitas ini dimasukan dalam analisis emisi yang ada dalam laporan ini.

Potensi pengurangan dan biaya terkait Sektor bahan bakar minyak dan gas memiliki peluang untuk menurunkan emisi hingga 30 persen sampai dengan tahun 2030 melalui upaya yang terfokus pada tiga bidang pengurangan: perbaikan proses pemeliharaan dan pengendalian, program-program hemat energi, dan penurunan pemanfaatan kembali gas suar bakar/flaring. (Gambar 23).

Kurva biaya pengurangan GRK Indonesia untuk sektor Petroleum di 2030 Biaya utnuk pengurangan $ per tCO2e 40 20 0 -20 0 4 2 -40 -60 -80 -100 -106 -120 -140 -160 -160 -180 -200 -220 -240

Co-generasi hilir

Gambar 23

Mengurangi pembakaran hulu

28

6 6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

26

28

30

32

34

36

38

40 42

Potensi pengurangan MtCO2e per tahun

-69 -103

Proyek efisiensi energi membutuhkan CAPEX pada tingkat unit proses hilir Peningkatan pemeliharaan dan pengendalian proses - hilir

Prosedur perubahan - hilir

Prosedural perubahan dan perbaikan pemeliharaan dan pengendalian proses - hulu

SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

Perbaikan proses pemeliharaan dan pengendalian lintas subsektor produksi dan pengilangan dalam menghasilkan pengurangan sedikit lebih besar dari 7 MtCO2e dan bersifat positif laba netto (-103 USD per tCO2e), yang mengimplikasikan penghematan yang besar selama jangka waktu langkah-langkah pengurangan. Program-program khusus dalam faktor pendorong ini mencakup program konservasi, program kesadaran energi, dan langkah-langkah untuk menurunkan penumpukan kotoran dalam pipa,

33


34

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

mengoptimalkan tekanan sumur dan pemisah, dan mengoptimalkan cadangan yang dihasilkan peralatan rotasi. Pelaksanaan program-program hemat energi dapat memberikan tambahan pengurangan sebesar 27 MtCO2e dengan biaya negatif (untuk program-program hemat energi) atau biaya rendah (untuk mengoperasikan unit-unit pembangkitan bersama/24cogeneration unit). Walaupun faktor pendorong yang ditetapkan dalam kategori ini memerlukan investasi modal yang besar, penghematan operasional yang besar dapat diperoleh melalui penurunan kebutuhan energi. Penurunan pemanfaatan kembali gas suar bakar(flaring) melalui pelaksanaan program nol flaring dapat menawarkan pengurangan sebesar 2 MtCO2e dengan biaya yang relatif tinggi yaitu 28 USD per tCO2e. Pengurangan yang relatif kecil adalah hasil penurunan signifikan yang diharapkan dalam emisi flaring dalam skenario bisnis seperti biasa (saat ini 5 persen per tahun). Dalam waktu dekat, penangkapan dan penyimpanan karbon (CSS) dapat menawarkan peluang pengurangan yang signifikan untuk sektor bahan bakar minyak dan gas. Namun demikian, mengingat masih terbatasnya penerapan teknologi ini dan struktur biaya yang belum jelas, faktor pendorong pengurangan ini telah dikeluarkan dari analisis ini.

SEMEN Emisi - 2030: 86 MtCO2e, potensi pengurangan: 13 MtCO2e

Emisi sektoral Dengan perkiraan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang kuat selama 20 tahun ke depan, emisi sektor semen akan mengalami peningkatan tiga kali lipat dari 26 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 75 MtCO2e pada tahun 2030. Hal ini akan didorong oleh peningkatan produksi bahan semen yang signifikan di Indonesia dari 31 juta ton pada tahun 2005 menjadi 125 juta ton pada tahun 2030 (Gambar 21) yang terutama didorong oleh pertumbuhan perekonomian yang kuat. Gambar 24

Permintaan semen dan emisi GRK terkait diproyeksikan lebih dari tiga kali Proses emisi lipat pada tahun 2030

Bahan Bakar Pembakaran Emis Emisi secara tidak langsung

Mt, Mt CO2e

Produksi semen 125

Emisi CO2e

86 67

91 4X

31

3X

66 37

49

26

14 3

2005

10

15

20

25

2030

8

2005

51 30

17 4

9

10

38

29

21 12 5 15

50 38

16

20

24

7

9

11

20

25

2030

Kunci observasi â–Ş produksi semen dan emisi terkait CO2e diproyeksikan akan lebih dari tiga kali lipat pada 2030 dibandingkan dengan tingkat produksi dan emisi tahun 2005 â–Ş Emisi tumbuh pada tingkat tahunan lebih rendah dari produksi, didorong oleh meningkatnya substitusi klinker, peningkatan efisiensi kapasitas produksi bahan bakar rata-rata yang dihasilkan dari pengoptimalan tidak dipakainya lagi pembakaran bahan bakar paling efisien pertama dan membangun teknologi terbaik sebagai pengganti SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

24 Proses di mana pembangkit tenaga listrik menggunakan energi buangan untuk menghasilkan panas atau listrik


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Sebagian besar emisi ini dihasilkan oleh produksi arang besi (clinker), unsur penting dalam produksi semen. Proses tersebut melibatkan proses pengapuran batu kapur dan tanah liat, reaksi kimia yang melepaskan CO2e dalam jumlah yang signifikan sebagai produk sampingan. Mengganti arang besi dengan bahan pengganti seperti limbah batubara (fly ash) atau limbah dari pembuatan logam (slag) dapat menurunkan secara signifikan emisi langsung dari sektor semen.

Potensi pengurangan dan biaya-biaya terkait Industri semen di Indonesia memiliki rencana ambisius untuk menurunkan emisi melalui peningkatan penggantian arang besi yang signifikan. Pada kenyataannya, hampir 14 MtCO2e dari penurunan telah dimasukan ke dalam angka-angka bisnis seperti biasa (yaitu: dengan membandingkan intensitas emisi pada tahun 2005 dengan 2030). Di samping itu, dengan adanya teknologi-teknologi lain, sektor semen dapat menurunkan lebih lanjut emisinya sampai dengan 12 persen (atau 9 MtCO2e) pada tahun 2030. Meskipun penggantian arang besi terus menjadi peluang terbesar untuk pengurangan sekitar 7,5 MtCO2e dengan biaya rata-rata negatif sebesar -25 USD per tCO2e, memasukan bahan-bahan bakar alternatif, khususnya dari limbah industri dan kota, dapat menurunkan lebih lanjut emisi dari sektor semen sampai dengan 4,5 MtCO2e dengan biaya rata-rata yang tidak terlalu tinggi sebesar 8 USD per tCO2e (Gambar 22). Gambar 25

Kurva biaya pengurangan GRK Indonesia di sektor Semen pada tahun 2030 Biaya untuk pengurangant â‚Ź per tCO2e

Substitusi bahan bakar limbah fosil

Co-generasi

30 20

Substitusi bahan bakar Bio massa

20

9

10 0 -10

0

1

2

3

4

5

6

7

-2

8

9

10

11

12

13

14

Potensi pengurangan MtCO2e per tahun

-20 -30

26

-28

-40 -50 -60 Substitusi klinker dengan terak

Substitusi klinker oleh MIC Lainnya

Substitusi Klinker dengan Fly Ash

SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

Di dalam industri semen terdapat faktor pendorong pengurangan lain seperti penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage – CCS) dan pemulihan panas limbah (waste heat), yang dapat menghasilkan potensi pengurangan lebih lanjut di masa mendatang. Namun demikian, teknologi-teknologi CCS masih pada tahap baru timbul , dan pemulihan panas limbah saat ini tidak layak secara teknis karena kadar kelembaban yang lebih tinggi dari sebagian besar bahan mentah dalam produksi semen. Tantangan-tantangan dalam implementasi pengurangan seperti ketersediaan bahan pengganti arang besi dan bahan bakar akan terus mempersulit realisasi rencana-rencana ambisius industri dan untuk memperoleh lebih lanjut tambahan peluang pengurangan. Sebagian besar dari tambahan peluang

35


36

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

pengurangan hanya akan diperoleh melalui perubahan kebijakan dan struktur insentif yang lebih baik. Ketersediaan pengganti arang besi seperti limbah batu bara (fly ash) sangatlah terbatas di Indonesia. Usaha untuk mengimpor limbah batu bara dari negara lain seperti Malaysia atau Jepang belum membuahkan hasil mengingat kerangka regulasi Indonesia yang tidak memperbolehkan mengimpor komoditas tersebut.

BANGUNAN Emisi - 2030: 215 MtCO2e, potensi pengurangan: 43 MtCO2e

Emisi sektoral Emisi dari sektor bangunan akan meningkat dari 71 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 215 MtCO2e pada tahun 2030, didorong oleh pertumbuhan konsumsi energi rumah tangga dan komersial sebesar 5–7 persen setiap tahunnya (Gambar 23).

Potensi pengurangan dan biaya-biaya terkait Dengan menggunakan teknologi-teknologi yang ada, sektor bangunan dapat menurunkan emisinya sampai dengan 22 persen pada tahun 2030, yaitu sebesar 48 MtCO2e – dengan sebagian besar penurunan (lebih dari 70 persen) memerlukan biaya pengurangan negatif. (Gambar 24). Peluang-peluang pengurangan ini difokuskan pada enam wilayah. Dalam urutan berdasarkan biaya faktor pendorong pengurangan yang termurah:  Penggantian ke pemanas air alternatif (8,8 Mt)  Penggantian ke pencahayaan/lampu yang lebih efisien (11,3 Mt)  Penggantian ke barang-barang elektronik yang lebih efisien (6,4 Mt)  Penggantian ke alat-alat listrik yang lebih efisien (9,3 Mt)  Paket-paket bangunan retrofit (diperbaharui) (3.2 Mt)  Paket-paket bangunan baru (8,2 Mt) Sektor bangunan bersifat unik tidak hanya dalam hal bahwa banyak peluangnya berbiaya negatif (yaitu, dapat menghemat dalam jangka panjang), tetapi dengan diluncurkannya beberapa program spesifik untuk lampu, barang elektronik, dan alat yang lebih efisien akan membantu menghasilkan secara relatif lebih cepat 50 persen dari peluang-peluang pengurangan tersebut (Gambar 25) Contoh-contoh inisiatif utama yang dapat diluncurkan dalam jangka waktu dekat mencakup programprogram pemerintah untuk mensubsidi pembelian bohlam lampu yang lebih efisien dan menyediakan pengembalian pajak dan/atau tukar tambah untuk pembelian peralatan elektronik yang lebih hemat energi. Perusahaan-perusahaan umum dapat diberikan subsidi agar menjual bola-bola lampu yang lebih efisien dengan harga yang rendah, misalnya California’s PG&E menjual bola lampu hemat energi (CFL) seharga 25–50 sen, dan pemerintah memberikan kepada PG&E 12 persen dari biaya yang mereka hindari (yaitu, 324–450 juta USD selama program tiga tahun) Konsumen dapat didorong untuk membeli peralatan elektronik yang lebih hemat energi (misalkan, TV, komputer) dan peralatan elektronik rumah tangga (misalkan, kulkas, kompor) dengan mengembalikan pajak pembeliannya dan/atau insentif tukar tambah. Untuk merealisasikan peluang-peluang dengan biaya negatif ini mungkin memerlukan inisiatif yang lebih luas untuk meningkatkan standar efisiensi energi bangunan-bangunan baru, mengembangkan standar efisiensi yang tinggi untuk alat-alat rumah tangga, dan menyediakan skema pembiayaan inovatif agar dapat memperbaharui bangunan yang ada, seperti perusahaan-perusahaan penyedia energi. Perubahan sikap yang penting yang ditanamkan melalui program-program pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan perguruan tinggi sangatlah penting dalam rangka keberhasilan inisiatif-inisiatif tersebut, khususnya yang terfokus pada konsumen.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Emisi sektor bangunan bisnis seperti biasa diperkirakan tumbuh 71-215 Mt CO2e antara tahun 2005

Gambar 26

Emisi diproyeksikan Juta ton CO2e

Kunci Asumsi

215

38 4.5% 138

31 178

71 Langsung

23

TIdak langsung

48 2005

108

2020

2030

Konsumsii perumahan 2005 (Gwh) Listrik 41,171 Gas 15,544 Minyak 42,878 Batubara 2,557 Bahan bakar 337,702 lainnya

Growth1 5.0% 3.6% 1.4% 1.7% 0.5%

Konsumsi komersil 2005 (Gwh) 17,036 Listrik 2,749 Gas 11,352 Minyak 972 Batubara 1,013 Bahan bakar lainnya

Growth 6.7% 3.0% 2.3% 0.0% -0.1%

1 Dari 2005 ke 2030 SUMBER: Global Insight; RISI; WMM; PLN; IEA; Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia

Gambar 27

Indonesia memiliki 43 Mt CO2e peluang pengurangan dalam sektor bangunan - dengan lebih dari 79% pada biaya negatif Perspektif masyarakat; 2030 Biaya untuk pengurangan $ per tCO2e Pemanas air - penggantian pemanas air listrik, perumahan

100 80

Paket efesiensi - baru membangun, komersil

60

Pemanas air - penggantian pemanas air listrik, komersil

40

Penerangan - T12 sampai T8/T5, komersial

20 0 -20 0

Potensi Penerangan - kontrol - retrofit, pengurangan 50 komersil MtCO2e per HVAC - retrofit, tahun komersil

-40 -60 -80 -100 -120

Penerangan - CFLs beralih ke LED, perumahan Menyeliputi Bangunan - retrofit, komersil

-140 -160

Elektronik - kantor, komersial ELEKTRONIK - konsumen, perumahan

Peralatan kulkas, komersial

Penerangan - kontrol - membangun baru, komersial HVAC - pemeliharaan - retrofit, perumahan Penerangan - pijar beralih ke LED, komersial Lighting - pijar beralih ke LED, perumahan Pemanas air - penggantian pemanas gas air, perumahan Pemanas air - penggantian pemanas gas air, komersial

Peralatan - perumahan

HVAC - kontrol - retrofit, komersil Penerangan - CFLs beralih ke LED, komersial

1 VAC singkatan untuk ventilasi dan pendingin udara (Ventilation and Air Conditioning) Catatan: Kurva menampilkan estimasi potensi maksimum dari semua pengukuran pengurangan gas rumah kaca secara teknis di bawah USD 60 per tCO2e jika masing-masing pengungkit dikejar secara agresif. Ini bukan ramalan tentang apa pengurangan yang berbeda dan juga teknologi yang akan berperan. SUMBER: Kurva Biaya Pengurangan Global GHG v2.0

Ă˜ -60

37


38

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar 28

74% dari peluang pengurangan sektor bangunan bisa didapatkan dalam jangka pendek melalui program pemerintah dan sektor swasta Potensi Biaya untuk pengurangan pengurangan MtCO2e/tahun USD / tCO2e

Kesempatan Menang Dengan Cepat1 Program subsidi bola lampu (baik perumahan dan komersial)

▪ ▪

Pengembalian pajak Konsumen Elektronik & program tukar tambah

Pengembalian pajak Konsumen Peralatan & program tukar tambah

▪ ▪

▪ ▪

Pemberian intensif perusahaan utilitas untuk menjual CFL / lampu LED dengan biaya yang lebih rendah dengan menawarkan uang tunai untuk biaya energi yang mereka simpan / menghindari PG & E California menjual lampu CFL seharga 25-50 sen dan diberikan 12% dari ongkos yang mereka hindari (Rp 324-450 juta) Menyediakan restitusi pajak pemerintah kepada konsumen yang membeli energi yang efisien elektronik, misalnya TV, komputer, printer Pemberian insentif kepada produsen elektronik untuk menawarkan program tukar tambah untuk elektronik tua Menyediakan restitusi pajak pemerintah untuk konsumen yang membeli alat hemat energi, misalnya kulkas, kompor Pemberian insentif untuk produsen peralatan untuk menawarkan program tukar tambah untuk peralatan tua

14.4 -164

7.8

9.5

-86

-64

1 Program yang diidentifikasi di sini merujuk pada contoh-contoh program-program global yang telah berhasil menangkap peluang pengurangan terkait. Potensi pengurangan dan biaya untuk pengurangan diuraikan merujuk pada dampak potensi jika diterapkan di Indonesia SUMBER: Penelitian Pers


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Lampiran

39


40

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Metodologi dan ruang lingkup Studi ini terfokus pada peluang-peluang pengurangan teknis dengan biaya kurang dari 80 USD per ton setara CO2 (tCO2e), sebagaimana ditunjukkan pada kurva biaya pengurangan gas rumah kaca Indonesia (Gambar 3). Kami telah menetapkan peluang-peluang pengurangan teknis sebagai peluang-peluang yang tidak memiliki efek materiil terhadap cara hidup masyarakat. Baik pendekatan kami maupun hasilnya sesuai dengan mandat nasional akan pembangunan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Model kurva biaya menganalisis delapan sektor ekonomi, menggunakan metodologi IPCC untuk menghitung emisi sektor (lihat kotak). Kami mempelajari ke-enam sektor secara rinci dari bawah ke atas: LULUCF, gambut, tenaga listrik, transportasi, semen, dan bahan bakar minyak dan pengolahan dan kedua sektor lainnya menggunakan perkiraan dari atas ke bawah: pertanian dan bangunan.

Metodologi IPCC Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dibentuk oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Program) dan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization), adalah badan penasihat ilmiah PBB yang mengeluarkan laporan-laporan tentang pengetahuan dan ekonomi perubahan iklim untuk memberikan dasar fakta rinci kepada para pembuat kebijakan dan perunding. Salah satu kegiatannya adalah untuk mendukung Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) melalui upayanya mengembangkan metodologi-metodologi untuk inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (National Greenhouse Gas Inventories), yang diterbitkannya dalam bentuk pedoman rinci. DNPI mengandalkan pedoman pelaporan emisi nasional IPCC dan panduan praktik yang baik untuk menghitung profil emisi Indonesia. Pedoman IPCC memberikan tiga tingkat metodologi, yang berbeda dalam hal kompleksitas, untuk dipilih berdasarkan kondisi nasional (Lampiran 1 vs nonLampiran 1) dan ketersediaan data. Tier 1 adalah pendekatan urutan pertama yang sederhana, dengan emisi dihitung berdasarkan parameter-parameter standar IPCC dan analisis DNPI selaras dengan penilaian tier 1 pada tingkat minimum. Tier 2 adalah pendekatan yang lebih akurat yang memberikan parameter-parameter khusus tingkat sektor dan nasional yang lebih rinci untuk menghitung emisi dan DNPI telah mengembangkan kajian Tier 2 di mana pun tersedia data emisi tingkat sektor nasional baik melalui lokakarya para pemangku kepentingan maupun wawancara ahli. Saat ini, kurangnya data rinci menghalangi DNPI untuk menggunakan metodologi Tier 3, metode urutan tertinggi yang mencakup modeling yang rinci dan/atau sistem inventarisasi pengukuran dengan data tersedia pada resolusi yang lebih tinggi. DNPI telah membagi metodologinya untuk semua sektor dengan para pengkaji (reviewer) UNFCCC. Pada praktiknya saat ini, para pengkaji tidak menyetujui atau mengesahkan inventarisasi emisi nasional kecuali diserahkan sebagai bagian dari kerangka kerja komunikasi nasional.

Pengembangan kurva biaya pengurangan “Kurva biaya� pengurangan gas rumah kaca global yang dikembangkan oleh perusahaan konsultasi global McKinsey & Company25 merangkum potensi teknis untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan biaya hingga 80 USD per ton CO2e26 emisi terhindar. Kurva biaya menampilkan sejumlah aksiaksi penurunan emisi yang dapat diterapkan dengan menggunakan baik teknologi yang tersedia pada saat ini dan yang berpotensi tersedia pada tahun 2030.

25 McKinsey & Company (2009) Pathways to a Low-Carbon Economy: Version 2 of the Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve 26 Mengikuti definisi IPCC,kurva biaya pengurangan memperlihatkan langkah teknis yang memiliki potensi ekonomi di bawah USD 80 per tCO2e


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Sumbu gabungan kurva biaya pengurangan menggambarkan seluruh peluang (atau faktor pendorong) teknis yang tersedia,27 dampak relatif peluang-peluang tersebut terkait dengan pengurangan karbon (potensi penurunan emisi berdasarkan volume), dan perkiraan biaya peluang-peluang tersebut untuk tahun tertentu. Setiap peluang dipelajari secara terpisah untuk mengukur dimensi pengurangan dan biaya. Logika dasar kurva biaya adalah bahwa kurva tersebut menyajikan potensi pengurangan dan biaya terkait untuk tiap-tiap peluang mitigasi sehubungan dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun yang telah ditetapkan, untuk harga energi fosil tertentu. Dengan kata lain, kurva biaya merupakan alat untuk menilai potensi penurunan emisi dari berbagai langkah pengurangan yang berbeda dan untuk membandingkan biaya kenaikannya masing-masing. Kurva tidak dirancang untuk memprediksikan harga aktual karbon. Untuk memastikan dapat dilakukannya perbandingan antar sektor dan sumber, semua sumber dan wadah endapan emisi (titik-titik penyerapan emisi karbon) telah diukur secara konsisten, menggunakan “setara CO2” yang diukur dalam satuan ton metrik (tCO2e). Faktor-faktor pendorong pengurangan diurutkan dari biaya terendah (dalam USD per tCO2e) sejak tahun 2030. Dilihat secara keseluruhan, kurva biaya pengurangan menggambarkan “penawaran” peluang pengurangan secara terpisah dari “permintaan” yang mungkin atau tidak mungkin ada saat ini untuk peluang pengurangan tertentu. Setiap potensi pengurangan akan dikaitkan dengan sektor di mana faktor pendorong tertentu diimplementasikan. Sebagai contoh, apabila faktor pendorong pengurangan di dalam sektor konsumsi (misalnya LED dalam bangunan) mengurangi konsumsi listrik, penurunan emisi yang dihasilkan di sektor tenaga listrik akan dikaitkan dengan sektor konsumsi (dalam hal ini, bangunan). Dengan demikian, perhitungan emisi pada bisnis seperti biasa untuk semua sektor konsumsi akan juga mencakup emisi tidak langsung yang berasal dari sektor tenaga listrik dan sektor transportasi dan sektor bahan bakar minyak dan gas. Ketidakpastian mungkin signifikan baik untuk volume maupun perkiraan biaya pengurangan. Terdapat dua sumber penting dari ketidakpastian ini: kelayakan implementasi langkah-langkah pengurangan (contohnya dalam sektor LULUCF dan pertanian) dan biaya pengembangan teknologi-teknologi utama. Sebagaimana disebutkan di atas, ketidakpastian juga terjadi pada beberapa perkiraan yang ada pada saat studi ini dilakukan, khususnya di sektor gambut. Terdapat kesenjangan dalam pemahaman saat ini tentang pengetahuan terkait perubahan iklim, khususnya sehubungan dengan sumber emisi alamiah. Laporan ini berusaha untuk menyajikan transparansi dan keterbukaan dialog tentang bukti ilmiah yang dimasukan ke dalam studi ini.

Menghitung biaya pengurangan Potensi pengurangan didefinisikan sebagai selisih antara volume emisi sumber tertentu berdasarkan skenario bisnis seperti biasa dengan volume emisi setelah faktor pendorong pengurangan diterapkan. Garis dasar emisi dihitung dari beberapa nilai pendorong, seperti intensitas karbon dari bahan bakar fosil spesifik, volume produksi materi dasar, atau konsumsi bahan bakar sebuah kendaraan. Tiap-tiap faktor pendorong pengurangan mengubah (umumnya mengurangi) nilai-nilai pendorong tertentu, yang perhitungannya ditetapkan berdasarkan kajian literatur atau diskusi ahli. Sebagai contoh, konsumsi bahan bakar dapat diturunkan sampai dengan 70 persen melalui perbaikan kendaraan penumpang. Hal ini menghasilkan potensi pengurangan sebesar 30 persen dari emisi pembakaran bahan bakar untuk faktor pendorong spesifik ini. Dengan menggunakan logika urutan kegunaan untuk mengurutkan faktor pendorong, mengacu kepada prinsip didahulukannya faktor pendorong dengan biaya terendah, faktor pendorong dengan biaya lebih tinggi selanjutnya akan diaplikasikan pada garis dasar yang baru hanya jika seluruh langkah sebelumnya sudah selesai diterapkan. 27 Lihat “Cara membaca kurva biaya pengurangan gas rumah kaca”

41


42

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Menghitung biaya pengurangan Sebagian besar biaya pengurangan didefinisikan sebagai biaya kenaikan dari implementasi teknologi rendah emisi emisi dibandingkan dengan bisnis seperti biasa, diukur dalam USD per ton CO2e emisi terkurangi. Biaya pengurangan mencakup pengembalian tahunan belanja modal dan belanja operasional. Biaya dengan demikian mewakili “biaya proyek” murni untuk memasang dan mengoperasikan teknologi rendah emisi. Ketersediaan modal tidak dianggap sebagai hambatan. Biaya penuh dari sebagian besar faktor pendorong pengurangan juga memperhitungkan biaya investasi (dihitung sebagai pengembalian tahunan pinjaman selama jangka waktu aset), biaya operasional (termasuk biaya personil dan materi), dan kemungkinan penghematan biaya yang dihasilkan dengan digunakannya alternatif (khususnya penghematan energi). Pada beberapa kasus, pengurangan datang dari perubahan alokasi sumber daya dan bukan dari penggunaan teknologi-teknologi alternatif. Pada kasus-kasus tersebut, faktor-faktor pendorong pengurangan dikembangkan dengan mempertimbangkan biaya peluang atau biaya penggantian. Sebagai contoh, menghindari praktik deforestasi oleh petani rakyat, diperkirakan biaya peluangnya sekitar 1 USD per tCO2e, di mana biaya tersebut adalah pendapatan yang diperkirakan akan diterima oleh petani rakyat dari hasil pertaniannya setelah mereka menebangi hutan. Apabila mereka tidak melakukan deforestasi pada lahan pertanian mereka, mereka akan kehilangan pendapatan ini. Tentu saja menghentikan rakyat menebangi hutan akan membutuhkan lebih dari sekedar membayar mereka sejumlah tersebut. Namun demikian, analisis biaya peluang merupakan cara yang paling tepat untuk memahami dengan mudah skala relatif peluang-peluang pengurangan tertentu. Biaya pengurangan penuh (secara teknologi atau peluang) yang diperkirakan di sini tidak mencakup biaya transaksi, biaya komunikasi atau informasi, subsidi atau biaya karbon eksplisit, pajak, atau dampak terhadap perekonomian (misalnya keuntungan dari penerapan teknologi). Biaya-biaya tersebut seluruhnya bergantung pada pilihan kebijakan dan ketergantungan, dan dengan demikian tidak menjadi bagian dari analisis ini, yang bertujuan untuk membentuk dasar fakta untuk pembuatan kebijakan. Belanja operasional ditetapkan sebagai nilai riil yang akan dikeluarkan setiap tahunnya dan belanja modal dibukukan sebagai pengembalian tahunan. Jangka waktu pengembalian dihitung sebagai masa pakai peralatan terkait. Suku bunga yang digunakan adalah suku bunga obligasi jangka panjang yaitu 4 persen, berdasarkan rata-rata global terdahulu. Seluruh biaya pada contoh didasarkan atas biaya saat ini dan perkiraan proyeksi. Perkiraan didasarkan pada metode proyeksi terbaik yang ada, sepert model-model (apabila ada), pandangan ahli, dan ekstrapolasi terarah. Mengingat begitu panjang cakrawala waktunya yaitu 25 tahun, kesalahan perkiraaan dapat terjadi dalam pendekatan ini. Variabel ekonomi makro seperti masa pakai aset, suku bunga, harga minyak, dan nilai tukar memiliki dampak terbesar terhadap hasil dan marjin kesalahan. Tiap perkiraan biaya faktor pendorong memiliki pengaruh yang kecil dan pada dasarnya tidak akan berdampak keseluruhan hasil untuk tiap faktor pendorong. Biaya transaksi – biaya yang terjadi dalam melakukan pertukaran ekonomis di atas dan di luar biaya proyek teknis (misalnya biaya pendidikan, pembuatan kebijakan, dan pelaksanaan) – tidak termasuk dalam kurva biaya. Biaya implementasi faktor-faktor pendorong pengurangan dianggap sebagai bagian dari biaya transaksi, yang melibatkan aspek-aspek seperti kampanye informasi dan program pelatihan. Perubahan sikap murni para individu juga tidak termasuk dalam kurva biaya, meskipun perubahan tersebut menunjukan tambahan potensi pengurangan. Perubahan sikap didorong oleh berbagai faktor harga dan non-harga, seperti pendidikan publik, kampanye kesadaran, kecenderungan sosial, atau perubahan kebijakan. Untuk alasan ini, perubahan sikap dianalisis secara terpisah dari kurva biaya utama sebagai “potensi lebih lanjut” tanpa biaya pengurangan. Daripada hanya mengambil perspektif pembuat keputusan tertentu, analisis kurva biaya mengambil perspektif masyarakat, yang menggambarkan kebutuhan biaya pada masyarakat secara keseluruhan. Di skala global, perspektif masyarakat ini membantu penggunaan kurva biaya pengurangan sebagai


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

fakta dasar untuk diskusi tentang faktor-faktor pendorong untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, cara membandingkan peluang penurunan dan biaya antar negara dan sektor, dan untuk mendiskusikan insentif apa (misalnya subsidi, pajak, penetapan harga karbon) yang akan digunakan. Sebagai contoh, dengan analisis ini, pertanyaan dapat diajukan dan dijawab, “Apabila pemerintah menginginkan langkah-langkah pengurangan yang berbeda terealisasi, seberapa banyak langkahlangkah yang berbeda tersebut menurunkan emisi dan berapa biaya minimumnya (untuk mencapai penurunan emisi ini dari perspektif masyarakat)?�

Perkiraan Emisi Gas Rumah Kaca Perkiraan-perkiraan emisi gas rumah kaca tahunan yang digunakan dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim internasional dapat beragam, bergantung pada faktor-faktor berbeda yang dimasukan atau tidak dimasukan (misalnya kebakaran gambut, perubahan tata guna lahan) dan tahun yang dipilih sebagai acuan. Melihat kontribusi kebakaran gambut terhadap emisi di Indonesia, total emisi dapat sangat beragam setiap tahunnya berdasarkan jumlah kebakaran yang terjadi. Angka emisi saat ini yang disajikan di dalam studi ini lebih tinggi daripada beberapa perkiraan dan lebih rendah daripada perkiraan lainnya yang dipublikasi oleh oleh sumber-sumber lain. Namun demikian, variasi ini tidak mencerminkan perbedaan besar dalam asumsi atau penafsiran data. Perbedaan-perbedaan antara perkiraan kami dengan perkiraan lain yang telah dipublikasikan sebelumnya dapat dijelaskan dengan: 1. Penyertaan sumber emisi yang lebih lengkap. Perkiraan ini mencakup perkiraan-perkiraan emisi dari perusakan hutan, kebakaran gambut, dan pembusukan tanah gambut. Beberapa perkiraan emisi di Indonesia yang telah dipublikasikan memperhitungkan pembusukan tanah gambut. Walaupun perkiraan emisi tanah gambut yang dipublikasikan masih dalam jumlah terbatas untuk dapat digunakan, terdapat kesepakatan bahwa perkiraan - perkiraan tersebut merupakan faktor penting, saat ini menjadi sangat jelas dalam literatur ilmiah yang luas. 2. Emisi-emisi LULUCF ditetapkan sebagai emisi netto. Mengacu kepada pedoman IPCC, emisi dari aktivitas tata guna lahan, perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF), dihitung menggunakan pendekatan netto yang menghitung perubahan dalam stok karbon rata-rata berdasarkan waktu. Sebagai contoh, emisi yang berasal dari penebangan kayu, dihitung sebagai karbon yang hilang dari hutan produksi terhadap stok karbon rata-rata berdasarkan waktu pada akhir rotasi siklus, yang mencakup pertumbuhan kembali biomassa. Perbedaan stok karbon pada daerah berbeda sudah dimasukan ke dalam perhitungan berdasarkan perkiraan yang terdapat dalam laporan IFCA. 3. Pendekatan rata-rata tahunan terhadap emisi kebakaran gambut. Kebakaran gambut merupakan sumber emisi yang besar, tetapi tingkat keparahannya sangat beragam bergantung pada curah hujan tahunan di berbagai bagian berbeda di seluruh nusantara. Secara umum kami mengikuti pendekatan Kementerian Lingkungan Hidup dengan menggunakan perkiraan-perkiraan yang dipublikasikan oleh van der Werf et al. (2008), namun demikian karena kami menggunakan rata-rata tahun 2000 - 2006, perkiraan kami sedikit berbeda apabila dibandingkan dengan tahun-tahun tertentu dalam kurun waktu belakangan ini.

Pengetahuan tentang gambut Gambut adalah akumulasi materi vegetasi yang membusuk sebagian. Gambut umumnya terbentuk di wilayah-wilayah rawa, ketika materi tumbuhan terhalangi untuk membusuk sepenuhnya oleh karena kondisi asam dan anaerobik. Gambut terutama terbentuk pada vegetasi lahan rawa, misalnya pohon, rumput, dan jamur, serta bangkai dari jenis-jenis organik lain yang ada, seperti serangga dan bangkai hewan. Gambut terbentuk selama ribuan tahun, bertumbuh pada angka sekitar satu millimeter per tahun dan, jika pada kondisi yang tepat, merupakan tahap paling awal dalam pembentukan batubara (Gambar A1). Lahan gambut meliputi sekitar 3 persen dari massa lahan di dunia, menyimpan karbon dalam jumlah

43


44

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Gambar A1

Pembusukan bahan organik yang sangat lambat yang terjadi selama ribuan tahun menciptakan penyimpanan karbon yang sangat besar di tanah gambut â–Ş

Lahan dibawah kondisi banjir

â–Ş

â–Ş

Sistem pengaliran air yang lambat menyebabkan genangan air dan pembusukan biomassa yang sangat lambat

Gambar A2

Bahan organik yang membusuk dengan lambat disebabkan oleh kurangnya oksigen dan rendahnya mikroorganisme yang berlimpah

Akumulasi dari bahan organik (gambut)

Gambut Indonesia menyimpan 36 Gt karbon (132 Gt CO2e) saat ini di bawah tanah Hutan gambut menyimpan karbon 4,2 Gt (15 Gt CO2e) di atas tanah Sebagai perbandingan hutan tropis terbesar di dunia, Amazon, menyimpan 46 Gt karbon) (168 Gt CO2e)

Emisi gambut adalah hasil pembusukan dan kebakaran lahan yang sudah mengalami degradasi; pembukaan lahan baru akan meningkatkan emisi di masa depan Pembukaan lahan yang ada

Pembukaan lahan dimasa mendatang

Pemusnahan biomassa diatas permukaan tanah (Penebangan)

Pembusukan setelah drainase

Kebakaran gambut


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

sangat besar yaitu 528 Gt, setara dengan sepertiga total karbon pada tanah di dunia. Karbon ini terancam karena dilepaskan sebagai CO2 ke atmosfer melalui dua mekanisme (Gambar A2): 1. Pengeringan lahan gambut, yang menimbulkan aerasi materi gambut dan kemudian oksidasi (pembusukan aerobik). Oksidasi ini menghasilkan emisi CO2 yang tinggi karena 50 persen sampai dengan 60 persen materi kering gambut adalah karbon 2. Kebakaran di lahan gambut yang rusak menimbulkan emisi CO2 tambahan; kebakaran di lahan gambut yang tidak rusak dan tidak dikeringkan sangat jarang karena kadar kelembaban alaminya yang tinggi Saat ini, perusakan lahan gambut yang tercepat saat ini terjadi di Asia Tenggara dan terutama di Indonesia, yang memiliki kurang lebih 22 juta ha lahan gambut (5 persen dari total wilayah lahan gambut di dunia). Lahan-lahan gambut di Indonesia dideforestasi, dikeringkan, dan dibakar untuk dikembangkan terutama untuk menjadi perkebunan industri, kayu, dan pertanian rakyat.

Tantangan-tantangan ilmiah terkait dengan emisi lahan-lahan gambut di Indonesia Sementara pengetahuan tentang gambut memiliki sejarah yang panjang di wilayah Nordic, pengetahuan ilmiah terkait gambut tropis masih berada pada tahap awal. Sejak peristiwa kebakaran gambut besar tahun 1997 dan El Nino tahun 1998, para ilmuwan telah mengalihkan fokus mereka pada lahan-lahan gambut tropis dan khususnya kepada emisi terkait perubahan kegunaan lahan. Sementara pengetahuan tentang emisi terkait kebakaran gambut telah mengalami perkembangan yang baik dan para ilmuwan telah dapat mempersempit ketidakpastian (Van der Werf 2008), gambaran emisi terkait pembusukan gambut tidak sepenuhnya jelas. Banyak ketidakpastian pada emisi pembusukan gambut, hal itu karena terkait dengan beberapa faktor berikut: Respirasi tanah dan akar Sebagian besar hasil penelitian yang saat ini dipublikasikan tidak dapat sepenuhnya mengecualikan emisi alami yang berasal dari respirasi tanah dan akar dari ukuran fluks karbonnya. Namun demikian, hasil dari sejumlah kecil proyek yang telah berhasil dilakukan yang melaporkan bahwa 40 sampai dengan 60 persen (Couwenberg et al. 2009) emisi karbon di bawah permukaan tanah dari tanah gambut berasal dari respirasi dan bukan akibat dari pembusukan gambut. Karena respirasi tanah merupakan emisi alami, emisi tersebut seharusnya tidak diperhitungkan untuk kepentingan UNFCCC. Implikasinya adalah bahwa emisi dari pembusukan gambut mungkin diperkirakan secara berlebihan oleh kedua faktor tersebut dalam beberapa publikasi studi. Penurunan tanah sebagai akibat pengeringan Penurunan tanah gambut, ke tingkat berbeda, dipengaruhi oleh tiga faktor berbeda:  Pemampatan mekanis biomassa ketika dikeringkannya kandungan air di tanah gambut  Penyusutan biomassa setelah pengeringan  Pembusukan karena karbon dari komponen-komponen biomassa selulosa, hemiselulosa, dan lignin mengalami oksidasi Saat ini telah diterima secara umum bahwa penurunan tanah ekstensif pada tahun pertama dan kedua setelah pengeringan terutama merupakan akibat dari tidak diairinya tubuh gambut. Namun demikian, tidak jelas besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut di atas di tahun-tahun mendatang. Beberapa ilmuwan (Hooijer et al. 2006) menyatakan bahwa pembusukan bertanggung jawab atas sampai dengan 60 persen penurunan tanah, sementara lainnya, Kool et al. (2006) melampirkan nilai sekitar 1 persen. Kisaran yang sempit tersebut akan lebih tepat di wilayah-wilayah tempat gambut tidak dipadatkan oleh mesin berat misalnya hutan sekunder dan lahan semak-belukar.

45


46

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Hubungan antara kedalaman pengeringan dan pembusukan Saat ini, 3 model potensial tentang hubungan antara kedalaman pengeringan dan pembusukan sedang didiskusikan. Model yang paling banyak digunakan adalah hubungan linear yang dikembangkan oleh WĂśsten et al. (1997). Model-model potensial lain yang didiskusikan mengikuti pendekatan bentuk kurva S atau bahkan bentuk kurva U terbalik. Namun demikian, kedua model terakhir belum dipublikasikan dalam publikasi yang telah dikaji kembali oleh rekan sejawat. Penyimpanan karbon di lahan gambut Indonesia Walaupun lahan gambut di Indonesia sangat luas, kadar karbon pada gambut dan berat jenis rata-rata sudah diketahui secara umum, namun ketebalan gambut aktual dan perkembangan profil densitas pada profil sebaran gambut horisontal masih sangat tidak jelas. Semua faktor dan ketidakpastian tersebut di atas memiliki dampak yang signifikan terhadap perkiraanperkiraan emisi saat ini dan di masa mendatang dari pembusukan gambut serta potensi pengurangan keseluruhan dalam bidang gambut. Ketidakpastian dalam publikasi menyebabkan kisaran yang luas dari yang terendah 60 MtCO2e setiap tahunnya sampai dengan yang tertinggi 800 MtCO2e untuk emisi pembusukan saja.

Memasukan perkiraan dnpi ke dalam komunikasi nasional kedua untuk memprediksi perkiraan Indonesia tahun 2020, penting untuk pertama-tama memiliki pemahaman yang baik akan emisi yang ada saat ini. Pada tanggal 27 Agustus 2009, DNPI mengeluarkan laporan sementara yang memberikan penilaian atas emisi CO2 Indonesia tahun 2005 dan proyeksi emisi CO2 Indonesia (tahun 2020 dan 2030) serta skala dan biaya peluang pengurangan CO2e lintas berbagai sektor perekonomian. Pada tanggal 24 November 2009, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Komunikasi Nasional Keduanya, yang memberikan perkiraan emisi Indonesia tahun 2000. perkiraan dari kedua badan tersebut didasarkan atas revisi perkiraan yang terdapat dalam SNC tertanggal 5 Desember 2009.28 Perkiraan keseluruhan emisi bersih CO2 pada tahun 2000 dari DNPI dan SNC sangat serupa, dengan perbedaan sekitar 8 persen (Gambar A3). Namun demikian terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dalam komposisi emisi yang dilaporkan oleh DNPI dan dalam SNC di sektor LULUCF dan gambut, sektor non-LULUCF lainnya, dan dalam penyerapan. 1. Sektor LULUCF dan gambut DNPI memperkirakan emisi dari LULUCF dan gambut adalah 184 MtCO2e lebih tinggi dari yang diperkirakan di dalam SNC, sebagian besar oleh karena perbedaan dalam ekstraksi kayu dan pembusukan gambut (Gambar A4).29 Sumber-sumber untuk memperkirakan emisi umumnya tidak diberikan dalam laporan SNC yang ada, sehingga sulit untuk membandingkan secara langsung DNPI dengan SNC. Secara umum, kedua laporan tersebut mengikuti pendekatan IPCC untuk deforestasi, dengan menghitung perubahan stok karbon rata-rata berdasarkan waktu, yang menghasilkan perkiraan emisi untuk deforestasi yang sangat serupa. Namun demikian, selisih angka dalam ekstraksi kayu dan pembusukan gambut mungkin merupakan akibat dari metodologi yang sedikit berbeda. Sebagai contoh, emisi SNC adalah khusus untuk tahun 2000, sementara DNPI menggunakan rata-rata dari tahun 2000 sampai dengan 2006. Karena tingkat panen bergantung pada permintaan pasar, ekstraksi kayu dapat berbeda antar tahun, dan dengan demikian DNPI memilih untuk memperkirakan emisi berdasarkan data rata-rata selama enam tahun. 28 SNC saat ini sedang direvisi lebih lanjut. 29 Terkait emisi dari pembakaran, SNC dan DNPI melaporkan perkiraan pembakaran gambut dari sumber yang sama (Van der Werf, 2008) dan dengan demikian melaporkan perkiraan emisi yang serupa. Untuk memperkirakan emisi di masa mendatang, DNPI menggunakan rata-rata emisi terkait pembakaran gambut dari tahun 2000-2006, yang disesuaikan dengan potensi bias yang ada di setiap tahun yang ditetapkan (misalnya, tahun 2000 merupakan tahun yang sangat basah di Indonesia, dan dengan demikian terdapat lebih sedikit pembakaran gambut dari yang normalnya diperkirakan)


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Membandingkan emisi bersih pada tahun 2000, DNPI dan SNC mengestimasikan berbeda kurang dari 8 persen

Sektor lainnya

Gambar A3

LULUCF dan gambut Penyerapan

Emisi bersih GRK Mt CO2e; 2000 1,800 1,600 1,400 1,200 1,000 800 600 400 200 0 -200 -400 -600

1,415 595

1,535 349

-8%

▪ ▪

1,231

1,415

▪ -411

SNC

-229

Estimasi penyerapan lebih tinggi secara signifikan (sebesar MtCO2e 182) di SNC Emisi yang lebih tinggi (sebesar 184 MtCO2e) untuk LULUCF dan gambut dalam kurva biaya DNPI Emisi yang lebih tinggi (sebesar 246 MtCO2e) dari sektor lainnya dalam laporan SNC

DNPI

SUMBER: Indonesia 2nd National Communication; DNPI Kurva Biaya Emisi Gas Rumah Hijau Indonesia

Pembusukan gambut dan ekstraksi kayu merupakan penggerak utama berdasarkan estimasi lebih tinggi DNPI untuk emisi LULUCF Emisi CO2e dari LULUCF di Indonesia1 Mt CO2e 1,500

727 500

246 110 172

0

172

222

280

SNC net

DNPI net

1 Tahun 2000 sebagai tahun dasar untuk semua estimasi 2 Tahun 2000 sebagai tahun dasar 3 Menggunakan estimasi penyerapan SNC SUMBER: Indonesia 2nd National Communication; DNPI Kurva Biaya Emisi Gas Rumah Hijau Indonesia

Ekstrasi kayu Pembusukan gambut

-18% 717

1,000

Deforestasi Kebakaran hutan

1,415 1,231

Gambar A4

47


48

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

2. Sektor-sektor lain (non-LULUCF) Perkiraan SNC atas emisi dari sektor-sektor lain adalah 595 MtCO2e, sementara perkiraan DNPI dari sektor-sektor lain sekitar 349 MtCO2e. Perkiraan yang lebih tinggi dalam SNC muncul karena lebih banyaknya sektor yang tercakup. Sebagai contoh, SNC mencakup sektor limbah, yang tidak tercakup dalam analisis DNPI. Namun demikian, untuk sektor-sektor yang tercakup oleh kedua analisis, konsistensinya sangat bervariasi. Perkiraan untuk sektor semen dan transportasi nampaknya sangat konsisten; namun demikian, emisi DNPI dari sektor tenaga listrik (perumahan dan listrik) jauh lebih besar dari yang dilaporkan dalam SNC (Gambar A5). Selisih dalam segmen perumahan (30 persen) dan listrik (100 persen) sulit untuk dilaporkan karena rincian asumsi-asumsi utama yang digunakan dalam kalkulasi SNC tidak tersedia pada saat publikasi. Gambar A5

Emisi sektor Energi ~ 35% lebih tinggi dalam analisis DNPI dibandingkan dengan SNC Emisi sektor energi1 Mt CO2e 200

200

150

â–Ş

149 29

20

Perumahan

70

Transportasi

â–Ş

100

72

110

50

LIstrik

48 0

SNC2

Perumahan dan listrik terkait dengan emisi dari model DNPI adalah 30 dan 100% lebih tinggi (masing-masing) dibandingkan dengan dari SNC Rincian tambahan pada asumsiasumsi akan dibutuhkan untuk menjelaskan perbedaan yang signifikan

DNPI3

1 Termasuk perbandingan yang hanya dari sektor-sektor tersebut dan tercakup oleh kedua analisis – Perumahan, Transportasi dan Listrik. The SNC mencakup dua sektor tambahan Minyak & Pengolahan dan Manufaktur 2 SNC menggunakan tahun 2000 sebagai tahun dasar 3 DNPI menggunakan tahun 2005 sebagai tahun dasar SUMBER: Indonesia 2nd National Communication; DNPI Kurva Biaya Emisi Gas Rumah Hijau Indonesia

3. Dampak-dampak penyerapan DNPI memperkirakan penyerapan dapat mengurangi emisi sampai dengan 229 MtCO2e, sementara SNC memperkirakan penyerapan dapat menurunkan hingga 411 MtCO2e. Selisih tersebut nampaknya merupakan akibat dari asumsi wilayah penyerapan dan tingkat penyerapan yang berbeda. Metodologi utama dan asumsi serta sumber yang digunakan dalam kalkulasi SNC tidak tersedia pada saat publikasi.


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Daftar Pustaka Lintas sektor •

Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation, Kementerian Lingkungan Hidup, Maret 2009

The Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review, Bank Pembangunan Asia, April 2009

Pathways to a Low-Carbon Economy : Version 2 of Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve, McKinsey and Company, 2009

Payment Mechanism, Distribution and Institutional Arrangement: Second Draft, IFCA, Oktober 2007

Indonesia Low Carbon Option study: Phase 1 Status: Report and Findings, Kementerian Keuangan dan Bank Dunia, November 2008

Pathways to a Low-Carbon Economy for Brazil, McKinsey and Company

Climate Change & Fiscal Policy Issues: 2008 Initiatives, Kantor Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Desember 2008

Identifying optimal area for REDD intervention: East Kalimantan, Indonesia as a case study, Nancy L Harris, Silvia Petrova, Fred Stolle and Sandra Brown, IOP Publishing LTD, September 2008

CO2 emissions from forest loss, Van der Werf et al., Nature Geoscience vol. 2, 2009

Economic and fiscal policy strategies for climate change mitigation in Indonesia, Kementerian Keuangan dan Kemitraan Indonesia-Australia, 2009

Pertanian •

Adapting to Climate Change: The Case of Rice in Indonesia, Bank Dunia, 2008

Laporan Tahunan: Penelitian dan Pengembangan bagi Sumber Daya Lahan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2008

FAOSTAT Agricultural Data, http:// faostat.fao.org/, FAOSTAT, 2007, Mei 2009

Statistik Kehutanan Indonesia, Kementerian Kehutanan, 2007

Guidelines for National inventory - AR4 -WG3 Chapter 8: Agriculture, Cambridge University Press, IPCC, 2007

Global Anthropogenic Non-CO2 Greenhouse Gas Emissisions, USEPA, 1990-2002 2006

Greenhouse Gas Mitigation Potential in U.S Forestry and Agriculture, USEPA,, EPA 430R-05-006, 2005

Inventory of U.S Greenhouse Gas Emissions and Sinks, USEPA, 1990-2005, 2006

Peat CO2: Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, Hooijer et al. Delft Hydraulics report Q3943, 2006

Peat lands: Potential for Agriculture and Environmental Aspect, Kementerian Pertanian, Uni Eropa, ReGrin, ICRAFT, 2008

Master Plan for the Rehabilitation and Revitalization of the Ex-Mega Rice Project

49


50

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Area in Central Kalimantan : Summary of Main Synthesis Report, Euroconsult Mott MacDonald and Deltares, Oktober 2008

Manajemen kehutanan dan lahan gambut •

Methodology for Monitoring and Setting Baseline for Deforestation and Forest Degradation, IPCC

Towards the Inclusion of Forest-Based Mitigation in A Global Climate Agreement: Project Catalyst, The Climate Works Foundation, Mei 2009

Climate Regulation of Fire Emission and Deforestation in Equatorial Asia, G.R. Van der Werf, J. Dempewolf, ect PNAS Vol.51, Desember 2008

Consolidation Report Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation in Indonesia, IFCA, Forestry Research and Development Agency (FORDA), Kementerian Kehutanan, 2007

Manual for the Control of Fire In Peatlands and Peatlands Forest. Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Project, Adinugroho W.C., I Nyoman N. Suryadiputra, Bambang H. Saharjo, and Labueni Siboro, Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005

Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD): An Option Assessment Report, Meridian Institute, Maret 2009

A Guide to the Blocking of Canals and Ditches in Conjunction with the Community. Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Suryadiputra, I N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah R. Lubis, Ferry Hasudungan, and Iwan T.C. Wibisono, Project. Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005

Determination of Eligible Lands for A/R CDM Project Activities and for Priority Districts for Project Development Support in Indonesia, Murdiyarso, D., Atie Puntodewo, Atiek Widayati, Meine Van Noordwijk,Center For International Forestry Research (CIFOR), 2006

Strategies for Implementing Sustainable Management of Peatlands In Borneo, Wosten, H, European Commission INCO-DEV, 2005

Do Trees Grow On our Money? The Implications of Deforestation Research Policies To Promote REDD, Kanninen, M. Daniel Murdiyarso, Frances Seymour, Arild Angelsen, sven wunder, Laura German, Center For International Forestry Research (CIFOR), 2007

Peat CO2: Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, Hooijer et al. Delft Hydraulics report Q3943, 2006

Cost of Avoiding Deforestation, Grieg-Gran. M, International Institute for Environment and Development, 2006

The Economic Value of Peatland Resources, Van Beukering et al., Wetlands International, 2008

State of World Forests – Indonesia, Matthews. E, World Resource International, 2002

Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia, Uryu et al., WWF, 2007

Climate Change, Financing Global Forest; Eliasch Review, 2008


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Review of Carbon Flux Estimates and Other GHG Emissions From Oil Palm Cultivation on Tropical Peatlands, Verwer et al., Alterra, 2008

Climate Regulation of Fire Emission and Deforestation in Equatorial Asia, Van der Werft et al., PNAS, 2008

Eksekutif Data Strategis Kehutanan, Statistik dan Perencanaan Hutan, Badan Planologi Hutan, Kementerian Kehutanan, 2008.

Statistik Kehutanan Indonesia, 2007, Statistik dan Perencanaan Hutan, Badan Planologi Hutan, Kementerian Kehutanan

Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Papua, Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti (2006). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2000-2001

Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Kalimantan, Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2004). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2000-2002.

Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Sumatera, Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2003). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat, 1990-2002

Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia, Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo, Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005

Statistics of Timber Culture Estate, Biro Pusat Statistik, 2006

Statistics of Timber Concession Estate, Biro Pusat Statistik, 2006

Statistics of Timber Concession Estate, Biro Pusat Statistik, 2004

Peta dan Inventaris Hutan, Badan Planologi Hutan, Pengawasan Sumber Daya Hutan, Kementerian Kehutanan, 2008

Statistik Lingkungan Hidup Indonesia, Biro Pusat Statistik, 2008

RISI – Analytical Cornerstone 2009

NLK Associates - Global pulp mill database 2009

Tenaga Listrik, Bahan Bakar Minyak dan Gas •

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2009 - 2018, PT. PLN, Dec 2008

ƒ. Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2008 – 2027, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Nov 2008

Electricity for All: Options for Increasing Access in Indonesia, Bank Dunia, 2005

Energy Information Administration, Country Analysis Brief: Indonesia, www.eja.doe. gov, 2007

Key Indicators of Indonesia Energy and Mineral Resources, Pusat Data dan Informasi Energi Sumber Daya Mineral (PUSDATIN ESDM). 2007

Indonesia Power Report Q1 2008 Including 5-year Industry Forecasts, Business Monitor International, 2007

Indonesia Energy Statistics and Balances in the IEA Databases, Training Session

51


52

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

Coal Statistics, Mr. Jérôme Garcia, NMC Section, Energy Statistics Division, 2008 •

Carbon Capture and Storage – Financing Challenges and Opportunities, Investment Drivers, Incentives and Financing Options - The Role of Developing Countries, Hardiv Situmeang, 2008

Geothermal Today, US Department Of Energy, 2005

EU-Indonesia Infrastructure Forum: Indonesian Power Sector, European Business Chamber of Commerce in Indonesia, 2006

Presentation on the Policy for Indonesia Sustainable Development, Zuhal.

Presentasi mengenai Laporan Negara Indonesia, Badan Tenaga Nuklir Nasional, Tri Murni Soedyartomo Soentono, 2008

Indonesia Country Report Annex 3, From Ideas To Action: Clean Energy Solutions For Asia To Address Climate Change, International Resources Group (IRG), 2007

Projection CO2 Sources For Power Sector (For Discussion Only, CSS-Kelompok Kerja PLN, 2009

Presentation for the Community Based Educational and Partnership Actions - Carbon Neutral Initiative for Community Empowerment and Climate change Mitigation in Indonesia, Teddy Lesmana, 2008

Electricity Governance Initiative: Case of Indonesia, Final Report, World Resource Institute, 2007.

Power Generation Cost Assumption, International Energy Agency, 2007

World Energy Outlook 2009, International Energy Agency, 2009

BP Statistical Review of World Energy 2008, BP 2009

Indonesia Associated Gas Survey, Bank Dunia, 2006

Petroleum Report Indonesia 2007-2008, Kedutaan Besar Amerika, Jakarta, 2008

Preliminary estimation of annual gas flaring volumes in South and South East Asia, Chris Elvidge, NOAA – National Geophysical Data Center, 2006

Semen •

Mitigation Approach of Climate Change in Industry, Badan Penelitian dan Pengembangan Perindustrian, Kementerian Industri, 2008

Status of Efforts on CO2 Emission Reductions for Industry Sector, Kementerian Perindustrian, 2009

Buku Statistik Tahunan Indonesia tahun 2008, Biro Pusat Statistik, 2008

Annual Report Highlights 2008, PT.Holcim Indonesia

Annual Report Highlights 2008, PT.Semen Gresik

Annual Report Highlights 2008, PT. Indocement

WBCSD CO2 Inventory Form, PT.Holcim Indonesia

WBCSD CO2 Inventory Form, PT.Indocement


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

McKinsey GHG Abatement Cost Curve V2.0, McKinsey & Company, 2009

Transportasi •

Emission Factors, swisscontact, 2005

Promoting Green Diesel Technology and Introducing Green Diesel Passenger Cars in Indonesia – Executive Summary and Summary of Reccomendations, PUSTRAL UGM, 2007

Clean Air Jakarta – Project Implementation Report For Clean Bus Program, Swisscontact

Final Report Clean Bus Program Phase II 1999-2000, Swisscontact

Implementation Report CAP Jakarta Phase III 2001-2003, Swisscontact

Fuel economy and & Vehicle Kilometers Traveled, Swisscontact

Lampiran & Asumsi Update November 2008, PUSTRAL UGM, 2008.

Urgensi Paket Kebijakan Dan Program Komprehensif Dalam Penghematan BBM Transportasi, Tim Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Transportasi Nasional (TPEKTN), 2008

Vehicle Emission Per Sub-Category, Swisscontact.

Averting an Infrastructure Crisis: A Framework For Policy And Action, Bank Dunia, 2004

Potential for Biofuels for Transport in Developing Countries, ESMAP, 2005

Energy Efficiency and Climate Change Considerations for On-road Transport in Asia, ADB-DFID, 2006

APEC Biofuels Task Force: Initial Findings and Next Steps Forward, NIST, Brazilian National Institute of Metrology, and INMETRO, 2007

Palm Oil in Biodiesel- A Greenenergy Perspective, Greenenergy

Bangunan •

Technical Potential to Reduce Fossil Fuel Usage Through Solar Water Heating, National Renewable Energy Lab (NREL), 2007

“LED Sector: The Future’s Bright, The Future’s Green”, Daiwa Analyst Report, 2007

“Why Were Here: The Potential To Lower Global Lighting Energy Consumption”, IEA: Presentation by Paul Waide.

“Daylight, Dimming, and The California Electricity Crisis” LBNL, Rubenstein, Neils, and Colak, 2001

53


54

KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA


KURVA BIAYA(COST CURVE) PENGURANGAN GAS RUMAH KACA INDONESIA

55



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.