Jambi report 090810 bahasa no crop

Page 1

Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Jambi

Jambi report_BAH_010910.indd 1

9/2/2010 11:43:41 AM


2

Jambi report_BAH_010910.indd 2

9/2/2010 11:43:41 AM


3

Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Jambi

Jambi report_BAH_010910.indd 3

9/2/2010 11:43:41 AM


4

Jambi report_BAH_010910.indd 4

9/2/2010 11:43:41 AM


5

Daftar isi Kata pengantar

7

Kata pengantar

9

Penghargaan

11

Ringkasan eksekutif

13

1. Konteks pertumbuhan rendah karbon

17

2. Estimasi garis dasar emisi saat ini dan di masa mendatang

18

3. Peluang-peluang pengurangan

19

4. Mengembangkan sumber penghidupan berkelanjutan

24

5. Faktor-faktor pendukung kelembagaan

30

6. Pendanaan yang diperlukan dan sumber-sumber potensial

39

7. Pendekatan pelaksanaan

40

A1.Estimasi emisi gas rumah kaca

45

Lampiran-lampiran

45

A2. Estimasi potensi pengurangan

48

A3. Emisi terkait lahan gambut

48

A4. Perhitungan biaya pengurangan

52

A5. Menilai dampak ekonomi terhadap strategi pertumbuhan rendah karbon

55

Daftar pustaka

61

Jambi report_BAH_010910.indd 5

9/2/2010 11:43:41 AM


6

Jambi report_BAH_010910.indd 6

9/2/2010 11:43:41 AM


7

Kata pengantar Indonesia telah menjadi pemimpin dalam perdebatan perubahan iklim global, dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memainkan peranan penting dalam diskusi global. Peran ini mencerminkan pentingnya Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim global. Rawa gambut dan hutan yang luas di Indonesia memiliki potensi untuk menjadi bagian penting dalam formula global pemotongan emisi karbon dan penyimpanan karbon. Selain dari pada itu, sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki perhatian mendalam agar upaya mitigasi perubahan iklim global itu adil dan dapat mendukung upaya untuk pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kemiskinan. Upaya mitigasi emisi karbon juga harus mendorong peningkatan taraf hidup penduduk Indonesia melalui pertumbuhan ekonomi rendah karbon dan pembangunan berkelanjutan. Provinsi Jambi memberikan contoh tantangan perubahan iklim yang juga dihadapi provinsiprovinsi lain di Indonesia. Provinsi Jambi terkena dampak lingkungan terkait dengan perubahan iklim, dan sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor pertanian dan kehutanan untuk mendukung penghidupannya. Jambi memiliki area-area hutan primer dan lahan gambut substansial yang berperan sebagai penyimpan karbon yang besar. Jambi juga terdesak untuk menghasilkan pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi penduduknya yang sedang bertumbuh. Ketika kembali dari pertemuan COP-15 di Kopenhagen, Presiden Yudhoyono mengadakan rapat dengan beberapa Gubernur Indonesia dan meminta bantuan mereka untuk mencapai target penurunan emisi nasional. Sebagai hasil dari pertemuan tersebut, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan Kantor Gubernur Provinsi Jambi bersama-sama telah mengembangkan laporan ini. Menciptakan Kesejahteraan Rendah Karbon di Jambi menguraikan strategi tingkat tinggi untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi di saat yang sama melakukan pemotongan emisi karbon yang besar. Harapan kami adalah agar pekerjaan ini dapat membantu membangun momentum penurunan karbon dioksida (CO2) di Indonesia dengan menjadikan Jambi sebagai inspirasi kesejahteraan rendah karbon.

Ketua DNPI

Jambi report_BAH_010910.indd 7

Gubernur Provinsi Jambi

9/2/2010 11:43:41 AM


8

Jambi report_BAH_010910.indd 8

9/2/2010 11:43:44 AM


9

Kata pengantar Di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah memberikan beberapa kontribusi penting di dalam perdebatan global perubahan iklim. Sukses menjadi tuan rumah bagi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim/United Nations Framework Climate Change Convention ( UNFCCC) Konferensi Para Pihak ( COP-13) di Bali pada akhir tahun 2007, Indonesia juga menyelenggarakan atau berpartisipasi dalam rangkaian pertemuan tingkat tinggi untuk menjawab isu mengenai penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) yang berasal dari sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan sektor kehutanan (LULUCF). Pertemuan Kelompok Kehutanan-11 (Forestry-11 grouping) juga diadakan oleh Indonesia, Kelompok Kerja Informal Pendanaan Sementara REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Perusakan Hutan), dan Pertemuan Kepala-Kepala Negara pada bulan April tahun 2009 yang disponsori Prince’s Rainforest Project. Pada KTT G-20 yang diselenggarakan pada bulan September 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat, Presiden Yudhoyono menyatakan secara sukarela komitmen Indonesia dengan peta jalan (roadmap) yang disusun pemerintah, akan menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020. Komitmen ini menjadikan Indonesia sebagai negara berkembang terbesar pertama melakukan hal tersebut. Indonesia mengulangi komitmen target penurunannya pada putaran perundingan COP-15 di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, dan kemudian mengikatkan dirinya dengan Copenhagen Accord pada Januari 2010. Pemerintah saat ini sedang menyiapkan Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim, yang akan menjelaskan secara detil bagaimana Indonesia memenuhi komitmen 26% tersebut. Pemikiran yang umum berkembang saat ini adalah program pengurangan emisi karbon harus mengorbankan pertumbuhan ekonomi, diikuti pula pemikiran bahwa pembiayaan di bidang lingkungan hidup dan bantuan internasional akan memberikan semacam bentuk pembayaran kesejahteraan untuk mengkompensasi kerugian masyarakat lokal. Hal ini tidak harus terjadi karena pada kenyataannya, skema untuk menurunkan emisi dari deforestasi dan perusakan hutan (REDD) yang dimandatkan dalam Konferensi Perubahan Iklim Bali dua tahun lalu dapat membawa Indonesia ke jalur pembangunan yang lebih berkelanjutan, atau yang kita sebut sebagai kesejahteraan rendah karbon. Pemerintah provinsi Indonesia merupakan jantung dari kesejahteranan rendah karbon ini. Pemerintah Provinsi Jambi, di bawah kepemimpinan Gubernur Zulkifli Nurdin, dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah menjalankan analisis kesejahteraan rendah karbon untuk memberikan dasar kuantitatif pada diskusi mengenai peluang-peluang untuk menurunkan emisi GKR pada tingkat provinsi, dan pada saat yang berrsaman masih mampu mencapai sasaran pembangunan ekonomi daerah. Laporan ini mengevaluasi potensi kesejahteraan rendah karbon di Jambi yang menerapkan tiga langkah pendekatan. Pertama, memberikan penilaian berdasarkan fakta atas emisi GRK saat ini dan kemungkinan di masa mendatang untuk provinsi. Kedua, menguraikan aksi-aksi potensial untuk menurunkan emisi, volume relatif dari tiap aksi langkah pengurangan tersebut, dan sebuah indikasi dari biaya (pencapaian) dari tiap tindakan tersebut. Ketiga, dan yang terpenting, menjelaskan sumber-sumber pertumbuhan baru yang akan memberikan sumber penghidupan berkelanjutan jangka panjang bagi penduduk setempat, yaitu sumber penghidupan beremisi

Jambi report_BAH_010910.indd 9

9/2/2010 11:43:45 AM


10

karbon yang lebih rendah daripada sumber penghidupan saat ini dan mengurangi tekanan terhadap kemampuan asli provinsi. Harapan kami pekerjaan ini akan membangun momentum penurunan karbon dioksida (CO2) di Indonesia dan menjadikan Jambi sebagai contoh kasus untuk mengkombinasikan pengurangan karbon dengan pertumbuhan ekonomi dan kemudian memberikan inspirasi kepada provinsiprovinsi lain di Indonesia dan di kawasan lain tentang potensi kesejahteraan rendah karbon. Lebih praktisnya, rancangan sebuah model yang dapat dilaksanakan untuk mencapai pengurangan karbon dan pertumbuhan ekonomi akan membantu Indonesia dan Jambi menjadi lebih baik dalam mengidentifikasi dan menentukan tahapan investasi yang dibutuhkan, serta jauh lebih efektif dalam menggalang dana dari sumber-sumber dana mitigasi iklim global.

Jambi report_BAH_010910.indd 10

9/2/2010 11:43:45 AM


11

Penghargaan Pemerintah Jambi dan DNPI ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Agence Française de DÊveloppement (AFD), the ClimateWorks Foundation, Pemerintah Norwegia, dan Packard Foundation yang mendanai sebagian upaya pengembangan strategi pertumbuhan rendah karbon di Provinsi Jambi. Pemerintah Jambi dan DNPI ingin memberikan ucapan terimakasih yang mendalam terhadap McKinsey & Company atas dukungan analisisnya terkait dengan studi ini, khususnya pada penerapan metode pengurangan gas rumah kaca untuk konteks provinsi dan tingkat nasional. Pemerintah Jambi dan DNPI juga ingin berterimakasih kepada lebih dari 100 staf pemerintah, sektor swasta, dan LSM yang telah memberikan kontribusi penting terhadap proyek ini melalui berbagai lokakarya dan pertemuan. Walaupun metode pengurangan gas rumah kaca ini adalah milik McKinsey, tetapi data dan masukan berasal dari banyak pemangku kepentingan dan sumber informasi kesimpulan dan hasil yang dijabarkan dalam laporan ini menjadi milik eksklusif DNPI dan Pemerintah Provinsi Jambi. AKHIR KATA KAMI JUGA MENYAMPAIKAN RASA TERIMA KASIH YANG BESAR KEPADA BRR NAD NIAS UNTUK IZIN PENGGUNAAN GAMBAR-GAMBAR PADA SAMPUL DEPAN.

Jambi report_BAH_010910.indd 11

9/2/2010 11:43:45 AM


12

Jambi report_BAH_010910.indd 12

9/2/2010 11:43:47 AM


13

Ringkasan eksekutif Dalam skenario bisnis seperti biasa/Business As Usual, Jambi akan menjadi kontributor emisi gas rumah kaca yang signifikan di Indonesia sampai tahun 2030. Emisi bersih GRK tahunan Jambi pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 57 MtCO2e1 – setara dengan sekitar 3 persen dari total emisi Indonesia. Gambut dan LULUCF sejauh ini adalah kontributor emisi terbesar terhadap emisi Jambi, mewakili 85 persen dari total emisi provinsi. Apabila tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan sektor-sektor beremisi tinggi, emisi netto Jambi diperkirakan akan meningkat hingga 30 persen antara tahun 2005 dan 2030 – dari 57 menjadi 74 MtCO2e. Jambi memiliki potensi pengurangan karbon yang besar. Jambi memiliki potensi untuk menurunkan emisi GRKnya sampai dengan 55 MtCO2e hingga tahun 2030, dengan perpaduan yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional. Dari kemungkinan-kemungkinan penurunan ini, 48 persen datang dari upayaupaya terkait konservasi lahan gambut dan 38 persen berasal dari sektor LULUCF. Lima peluang penurunan karbon terbesar mewakili 80 persen total potensi pengurangan Jambi: (1) Mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut; (2) Mengurangi deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif, kebijakan-kebijakan alokasi lahan dan dengan meningkatkan produktivitas pertanian; (3) Merehabilitasi lahan gambut yang tidak digunakan atau yang rusak; (4) Mengelola hutan secara lestari; dan (5) melakukan reboisasi. Meskipun keseluruhan kebutuhan pendanaan adalah hal yang substansial, biaya tCO2e terkurang adalah relatif rendah. Sebagai contoh, di tahun 2030, total biaya rata-rata per tCO2e terkurang berada pada kisaran USD 6.8 – 12.3. Dari total peluang pengurangan yang ada pada tahun 2030, 19 persen adalah peluang-peluang pengurangan yang siap dicapai (dengan potensi penurunan untuk direalisasikan hingga tahun 2015) dan sebagian bahkan berasal dari biaya kemasyarakatan yang negatif; 50 persen dicapai dengan mengambil peluang yang sedikit lebih sulit untuk dicapai (tetapi dengan potensi penurunan untuk direalisasikan sampai tahun 2020); dan sisanya 31 persen dicapai dengan mengambil peluang-peluang yang sangat menantang yang kemungkinan relatif mahal dan sulit untuk dicapai. Sumber-sumber pertumbuhan (rendah karbon) akan diperlukan untuk memastikan perkembangan yang berkelanjutan, pengurangan kemiskinan, dan penciptaaan lapangan kerja di Jambi Untuk menjadikan perekonomian Jambi ke lintasan pertumbuhan rendah karbon, maka upaya-upaya mitigasi harus dipadukan dengan pengembangan sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi yang dapat memberikan sumber penghidupan yang berkelanjutan kepada penduduk setempat. Enam peluang pertumbuhan diberikan prioritas berdasarkan potensi dampak mereka (arti pentingnya saat ini bagi PDB, pertumbuhan masa mendatang, kualitas pekerjaan, dan implikasi untuk emisi karbon) dan kelayakan mereka (yaitu, sesuai dengan kekuatan dan kelemahan lingkungan usaha saat ini): (1) Hasil perkebunan pada lahan non-hutan;

1 Emisi gas rumah kaca biasanya diukur dalam juta ton CO2 setara atau MtCO2e

Jambi report_BAH_010910.indd 13

9/2/2010 11:43:47 AM


14

(2) Tanaman pangan pada lahan non-hutan; (3) Kehutanan yang lestari; (4); Ekowisata (5) Budidaya perikanan; dan (6) Layanan Finansial. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rendah karbon yang sukses diperlukan transformasi yang signifikan dan lebih luas, baik di dalam pemerintahan maupun di dalam masyarakat Jambi. Seperti banyak daerah berkembang lain, Jambi mengalami tantangan ganda terkait dengan prioritas-prioritas penting dan terbatasnya sumber daya, terutama terbatasnya SDM dengan keahlian manajemen yang baik untuk melaksanakan perubahan transformatif. Berbagai pemerintah yang menghadapi tantangan-tantangan serupa telah membentuk unit-unit khusus untuk mengkoordinir tanggapan pemerintah dan memastikan tercapainya prioritas-prioritas penting. Sebuah lembaga baru dapat membantu mengkoordinir kegiatan pertumbuhan rendah karbon Jambi, meliputi enam wilayah fungsional inti: (1) Menarik, mengelola dan mendistribusikan pembiayaan internasional untuk pembangunan rendah karbon secara transparan, adil dan efisien; (2) Memberikan dukungan teknis untuk menetapkan garis dasar/baseline tingkat provinsi dan standar yang tepat untuk pemantauan, pelaporan dan verifikasi; (3) Mengembangkan tanggapan pengaturan untuk menangani isu-isu penting seperti perencanaan tata ruang dan kepemilikan lahan; (4) Memulai proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, mendorong perubahan perilaku dan membangun penyelenggaraan oleh masyarakat lokal; (5) Mengembangkan prasarana penting untuk mendukung penurunan emisi dan sumber penghidupan yang berkelanjutan; dan (6) Merancang strategi-strategi dengan sektor swasta untuk mendukung pertumbuhan dan investasi sesuai prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi. Untuk memastikan mandat dan arahan yang kuat, penting agar lembaga ini melaporkan langsung ke Gubernur. Seiring dengan perkembangan lembaga tersebut, penting pula agar lembaga ini juga melibatkan perwakilan-perwakilan dari berbagai tingkat pemerintahan, menetapkan dengan jelas hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan dengan kementerian- kementerian pemerintah yang ada, dan mengembangkan manajemen kinerja yang kuat atas beberapa hasil prioritas. Jambi akan memerlukan bantuan internasional yang signifikan dalam waktu dekat agar sukses dalam rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon. Jambi dalam waktu dekat akan membutuhkan dukungan internasional yang signifikan agar sukses dalam rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon. Pada tahun pertama, antara USD 19 juta sampai dengan USD 39 juta akan diperlukan untuk menetapkan fungsi-fungsi kesiapan dasar untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Selama periode 2011-2030, biaya operasional akan terus meningkat dan mencapai antara USD 373 sampai dengan USD 676 di tahun 2030 untuk mendukung implementasi pengurangan karbon dan peluang-peluang sumber penghidupan yang berkelanjutan. Walaupun keseluruhan pendanaan merupakan hal yang substansial, biaya per tCO2e terkurang relatif rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2030, total biaya pengurangan penuh per tCO2e yang terkurang (termasuk biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 6,8 sampai dengan USD 12,3. Sebaliknya Kurva Biaya Global McKinsey2 mengestimasi biaya teknis3 rata-rata globalnya saja (misalnya: terlepas dari biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 3,75 per tCO2e terkurang.

2 McKinsey & Company (2009) Jalan Menuju Perekonomian Rendah Karbon: Versi 2 dari Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Global (Pathways to a Low-Carbon Economy: Version 2 of the Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve) 3 Makalah ini mempertimbangkan berbagai biaya dalam mengevaluasi opsi-opsi pengurangan. Biaya teknis ditetapkan sebagai biaya incremental dari teknologi emisi rendah dibandingkan dengan kasus acuan, diukur dalam Dolar AS per tCO2e emisi yang dikurangi. Biaya teknis mencakup pelunasan tahunan belanja modal dan belanja operasional, dan dengan demikian merupakan “biaya proyek� murni untuk memasang dan mengoperasikan teknologi rendah emisi. Biaya teknis tidak mencakup biaya pelaksanaan maupun biaya sosial (misalnya hilangnya layanan biosistem seperti suplai air bersih dari hutan). Biaya pengurangan penuh mencakup biaya teknis sebagaimana dijelaskan diatas dan biaya pelaksanaan, tetapi tidak biaya sosial. Pada akhirnya, biaya peluang mengacu pada penghasilan penuh sebelumnya yang direlakan agen untuk beralih ke teknologi, perilaku atau alternatif dengan emisi lebih rendah

Jambi report_BAH_010910.indd 14

9/2/2010 11:43:47 AM


15

Estimasi awal menunjukkan bahwa tanpa dukungan finansial atau sumber-sumber pertumbuhan ekonomi, pelaksanaan usaha pengurangan karbon dapat menurunkan pendapatan riil per kapita di Jambi hingga sekitar 3 persen di Jambi pada tahun 2030 oleh karena kemunduran sektorsektor yang menghasilkan karbon dan biaya pelaksanaan. Namun demikian, dengan kebijakan yang tepat, bantuan finansial yang diperlukan dan dengan mengasumsikan tercapainya peluangpeluang pertumbuhan sektor baru, maka pendapatan rata-rata (riil per kapita) pada tahun 2030 di Jambi secara aktual dapat meningkat sekitar 5 sampai 13 persen di atas kasus dasar. Diusulkannya pendekatan implementasi bertahap Implementasi pertumbuhan rendah karbon harus dilakukan secara bertahap. Fase I melibatkan finalisasi strategi pertumbuhan rendah karbon (diringkas dalam laporan ini) yang mengidentifikasi peluang-peluang besar untuk pengurangan dan pertumbuhan sektor baru, tindakan-tindakan penting yang diperlukan untuk keberhasilan, dan estimasi biaya-biaya terkait. Fase 2 (Mar – Des 2010) melibatkan pengembangan struktur-struktur kesiapan dasar untuk menarik pembiayaan internasional dan mendukung pertumbuhan rendah karbon, sementara dilakukan peluncuran beberapa inisiatif pengurangan prioritas. Kegiatan-kegiatan ini mencakup finalisasi struktur organisasi, perekrutan staf unit pelaksana rendah karbon dan penetapan indikator-indikator kinerja kunci (KPI). Fase 3 (Jan – Des 2011) melibatkan peluncuran program percontohan untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Setelah percontohan dan tinjauan pelajaran-pelajaran yang diperoleh, digambarkan bahwa akan terdapat pembangunan progresif percontohan-percontohan lain pada tahun 2012, dengan transisi yang menuju pendekatan di tingkat provinsi pada tahun 2013.

Jambi report_BAH_010910.indd 15

9/2/2010 11:43:47 AM


16

Jambi report_BAH_010910.indd 16

9/2/2010 11:43:48 AM


17

1. Konteks pertumbuhan rendah karbon Jambi menghadapi tantangan yang besar pembangunan manusia yang berkelanjutan. Pendapatan rata-ratanya sepertiga lebih rendah dari rata-rata pendapatan Indonesia, dan sangat bergantung pada dua industri utama (pertanian dan LULUCF yang berkontribusi atas sekitar 30 persen pendapatan dan 58 persen pekerjaan), yang telah dengan cepat kehilangan lapangan pekerjaan (76.000 kehilangan lapangan pekerjaan netto antara tahun 2003-2006). Dengan demikian, pemerintah Jambi sewajarnya fokus pada pembangunan ekonomi dan peningkatan sumber penghidupan masyarakatnya. Namun demikian, pada saat yang sama, Jambi mengambil peranan utama dalam memberantas sumber-sumber antropogenik perubahan iklim, khususnya yang berkaitan dengan pembakaran hutan dan lahan. Jambi memiliki komitmen untuk bergerak menuju jalur pembangunan yang selaras dengan iklim, yang menyesuaikan pembangunan ekonomi dengan penurunan perubahan iklim. Pembangunan yang selaras dengan iklim memiliki potensi untuk memperluas dasar perekonomian Jambi, mengurangi ketergantungan pada ekspor sumber daya primer dan meningkatkan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi pada petani rakyat dan masyarakat hutan. Untuk mencapai pembangunan yang selaras dengan iklim akan diperlukan perubahan yang besar terhadap struktur perekonomian Jambi, perencanaan penggunaan lahan dan kebijakan pemerintah. Diperlukan pula pola pikir yang baru yang terfokus pada pembangunan ramah lingkungan jangka panjang di dalam pemerintahan, masyarakat bisnis, dan sektor nirlaba. Strategi pertumbuhan rendah karbon yang dijelaskan dalam laporan ini merupakan langkah awal dalam proses yang jauh lebih panjang untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Jambi yang berkelanjutan. Terdapat tiga elemen inti (Gambar 1) yaitu: 1. Mitigasi CO2: Mengestimasi ukuran emisi saat ini dan masa mendatang; menilai potensi pengurangan teknis dan kelayakan sarana pengurangan; mengembangkan rencana aksi untuk menangkap peluang-peluang pengurangan prioritas 2. Pembangunan Ekonomi: Menganalisis kekuatan dan kelemahan kompetitif yang ada; memprioritaskan peluang-peluang pertumbuhan berdasarkan dampak (termasuk dampak ekonomi dan lingkungan) dan kelayakan; mengembangkan rencana aksi untuk menangkap peluang-peluang pertumbuhan prioritas 3. Faktor-faktor pendukung kelembagaan: Mengembangkan strategi bagi pendukungpendukung penting yang akan menyokong keberhasilan strategi pertumbuhan rendah karbon (misalnya: lembaga-lembaga baru, pemantauan dan evaluasi, mekanisme distribusi finansial, perencanaan tata ruang) Selebihnya dari laporan ini menguraikan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh Jambi saat ini dalam ketiga wilayah tersebut dan mengidentifikasi beberapa wilayah prioritas tindakan.

Jambi report_BAH_010910.indd 17

9/2/2010 11:43:48 AM


18

Gambar 1

Elemen-elemen utama dalam Rencana Pertumbuhan Rendah Karbon Kerangka Rencana Pertumbuhan Rendah Karbon

Pengurangan CO2

Pertumbuhan ekonomi

Rencana pertumbuhan rendah karbon

Enabler institusional

Elemen-elemen utama Pengurangan CO2 • Memperkirakan emisi saat ini dan masa mendatang • Memperkirakan potensi dan kelayakan teknis pengurangan, dan biaya implementasi untuk tiap inisiatif pengurangan Pertumbuhan ekonomi • Menilai kelebihan dan kekurangan kompetitif yang ada saat ini • Mengkaji sumber-sumber daya pertumbuhan potensial (memerlukan emisi karbon yang lebih sedikit) Enabler institusional • Mengembangkan strategi untuk enabler kritikal (mis: pengawasan dan evaluasi, perencanaan tata ruang, keterlibatan masyarakat) • Memperkirakan total biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan peluangpeluang tersebut

2. Estimasi garis dasar emisi saat ini dan di masa mendatang Dalam skenario bisnis seperti biasa, Jambi akan menjadi kontributor signifikan emisi gas rumah kaca di Indonesia sampai tahun 2030. Emisi gas rumah kaca tahunan Jambi pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 57 MtCO2e – setara dengan sekitar 3 persen dari total emisi Indonesia.4 Gambut dan LULUCF sejauh ini adalah kontributor terbesar terhadap emisi Jambi, mewakili sampai dengan 85 persen total emisi provinsi yang bersangkutan.5 Emisi-emisi yang berasal dari LULUCF dan lahan gambut tersebut dihasilkan oleh deforestasi dan perusakan hutan, juga dari pembakaran dan dekomposisi gambut. Apabila tidak terdapat perubahan dalam cara pengelolaan sektor-sektor tersebut, emisi netto Jambi diperkirakan akan meningkat sampai dengan 30 persen antara tahun 2005 dan 2030 - dari 57 menjadi 74 MtCO2e (Gambar 2), terutama dari peningkatan emisi yang berasal dari lahan gambut yang telah rusak dan juga karena konversi hutan-hutan alam menjadi perkebunan kayu bubur kertas (pulpwood) yang sedang berlangsung.

4 Emisi gas rumah kaca biasanya diukur dalam satuan juta ton karbon dioksida ekuivalen atau MtCO2e. 5 Lampiran 1 berisi deskripsi metodologi yang digunakan untuk mengestimasi emisi Jambi saat ini dan di masa mendatang.

Jambi report_BAH_010910.indd 18

9/2/2010 11:43:49 AM


19

Emisi Jambi diperkirakan meningkat dari 57 menjadi 74 MtCO2e antara tahun 2005 hingga 2030 PRELIMINARY

Gambar 2

Proyeksi emisi bersih, Juta ton CO2e

57 Transportasi Listrik LULUCF1

Gambut

6 1

67 0 7 0 1

15

33

2005

2.9%

74 1 8

1

2

3

1

4

2

Semen Pertanian Bangunan

6

14

12

38

41

2020

2030

2.6%

Porsi/bagian dari total emisi di Indonesia 1 Emisi bersih, termasuk penyerapan hutan alami sekunder, kayu, dan hasil perkebunan dan aforestasi/deforestasi sebagai bagian dari GERHAN SUMBER: DNPI Indonesia Cost Curve; Analisis tim

3. Peluang-peluang pengurangan Jambi memiliki potensi yang besar dalam pengurangan karbon. Jambi memiliki potensi untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya sampai dengan 55 MtCO2e 6 hingga tahun 2030, dengan perpaduan yang tepat antara kebijakan dalam negeri dan dukungan internasional.7 Dari kemungkinan-kemungkinan penurunan ini, 48 persen dapat berasal dari upaya-upaya terkait dengan konservasi lahan gambut dan 38 persen berasal dari sektor LULUCF (Gambar 3). Lima peluang penurunan karbon mewakili lebih dari 85 persen dari total potensi pengurangan Jambi (Gambar 4). Peluang-peluang ini dideskripsikan secara lebih mendetail di bagian bawah Gambar. 1. Mencegah pembakaran hutan dan lahan gambut (15.3 MtCO2 potensi penurunan emisi tahunan hingga tahun 2030) Pencegahan pembakaran hutan memiliki potensi terbesar untuk menurunkan emisi Jambi dimana biaya kemasyarakatannya relatif rendah, yaitu dibawah USD 1 setiap tCO2e yang terkurangi (belum termasuk biaya-biaya pelaksanaan) Penurunan emisi yang utama dapat dicapai melalui mengurangi emisi dari pembakaran hutan dengan melarang pembakaran sebagai alat untuk persiapan lahan, menyediakan teknologi yang tepat dan praktis (dan dimungkinkan pula insentif finansial) untuk pembersihan lahan manual, mengembangkan sistem-sistem peringatan dini yang sesuai berdasarkan status 6 Secara teknis, keseluruhan potensi pengurangan bisa menjadi lebih tinggi dan mencapai 69 MtCO2e, walaupun demikin ini akan membutuhkan investasi dalam jumlah besar pada prasarana dan pengembangan kapasitas pemerintah 7 Lampiran 2 berisi deskripsi metodologi yang digunakan untuk menetapkan potensi pengurangan di Kalimantan Timur.

Jambi report_BAH_010910.indd 19

9/2/2010 11:43:49 AM


20

Gambar 3

Potensi pengurangan terbesar terdapat pada lahan gambut dan kehutanan PRELIMINARY

Bagian dari total potensi pengurangan; Persen

Potensi pengurangan MtCO2e / year

Jambi

Gambut

27

LULUCF

21 5

Pertanian

Indonesia

48.0

35.8

38.2

45.9

9.3

4.0

Transportasi

1

1.4

3.7

Listrik

1

2.1

8.4

Bangunan

0

0.7

1.8

Semen

0

0.2

0.4

SUMBER: DNPI Indonesia Cost Curve; Analisis tim

Gambar 4

Hampir 81 persen dari potensi pengurangan di Jambi terkonsentrasi di dalam 5 pendorong

PRELIMINARY

Proyeksi potensi pengurangan per tahun, Juta ton CO2e 74 15 14 10 4

1 2030 BAU

Persentase dari total potensi pengurangan

Mencegah kebakaran

28

2

3

Pengguna- Rehabilian lahan tasi lahan gambut 27

17

4

2

19

5

Pengelola- Reboisasi an hutan berkelanjutan 7

10

4

Lainnya

Emisi rendah 2030

19

SUMBER: DNPI Indonesia Cost Curve; Analisis tim

Jambi report_BAH_010910.indd 20

9/2/2010 11:43:49 AM


21

risiko kebakaran dan deteksi kebakaran berbasis lapangan, memperkuat pasukan pemadam kebakaran, memastikan pelaksanaan yang kuat dan denda yang besar untuk pelanggaran aturan, den membangun kesadaran publik akan akibat-akibat ekonomi dan sosial dari kebakaran hutan di provinsi. Saat ini terdapat kemitraan antara Provinsi Jambi, Singapore’s National Environment Agency dan Asia Pacific Resource International (APRIL) untuk mengatasi kebakaran lahan dan hutan di salah satu kabupaten di Jambi, dimana mampu menyediakan pemikiranpemikiran yang bermanfaat untuk merancang pendekatan tingkat-provinsi (Kotak 1).8

Mengatasi kebakaran lahan dan hutan di Kabupaten Muaro Jambi

Kotak 1

Provinsi Jambi, Singapore National Environment Agency dan Asia Pacific Resource International Ltd (APRIL) telah bekerja sama untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Muaro Jambi. Pengkajian lapangan yang singkat dan lokakarya diadakan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab utama kebakaran dan mengembangkan rencana aksi untuk mengatasi isu-isu ini. Pengkajian lapangan singkat menemukan bahwa drainase yang tidak dikontrol; penebangan liar dan pelanggaran lahan telah menyebabkan dan terus merusak lahan gambut, yang merupakan sumber asap dan kabut terbesar di kabupaten. Pembakaran didapati telah digunakan secara luas dan diterima untuk pembersihan lahan oleh para petani perorangan dalam komunitas kecil dan alternatif-alternatif rendah biaya dari pembakaran (misalnya teknik-teknik pembersihan lahan mekanis) umumnya tidak tersedia. Desa-desa setempat juga didapati memiliki kapasitas terbatas untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan, dengan pelatihan yang terbatas, kurangnya sistem-sistem peringatan dini dan perlengkapan pemadam kebakaran adalah masalah-masalah utama. Rekomendasi akhir menekankan bahwa peningkatan kemampuan untuk memadamkan api dan tim-tim pemadam kebakaran pemerintah yang terbatas saja tidak cukup untuk mengatasi kebakaran, terutama selama musim kering yang parah dan berkepanjangan (El Nino), dan harus didukung oleh manajemen penggunaan lahan yang komprehensif, rehabilitasi dan rencana pembangunan yang berkepanjangan untuk lahan-lahan gambut yang rusak di kabupaten

Perlu dicatat bahwa potensi teknis maksimum untuk penurunan CO2e melalui pencegahan pembakaran dapat mencapai 26 MtCO2e apabila semua kebakaran antropogonik di Jambi dapat ditekan. Namun demikian, hal ini akan membutuhkan investasi yang sangat besar dalam bidang prasarana dan program-program pencegahan kebakaran lintas provinsi yang luas dan mencapai terpencil secara geografis, oleh karena itu laporan ini menggunakan angka yang lebih konservatif yaitu 15.3 MtCO2e. 2. Mengurangi Deforestasi hutan dengan kebijakan-kebijakan alokasi dan penggunaan lahan yang lebih efektif dan meningkatkan produktivitas pertanian (14,5 MtCO2e): Penurunan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan dapat dicapai melalui dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan yang pertama pada dasarnya adalah pendekatan REDD. Pendekatan ini menargetkan para pemilik lahan dan membayar mereka untuk tidak memulai kegiatan ekonomi, seperti mengubah hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman pertanian lainnya. Pendekatan ini memerlukan biaya yang relatif tinggi, misalnya: sekitar USD 30 per tCO2e terhindari dalam kasus kelapa sawit. Sebuah pendekatan alternatif adalah dengan mengurangi emisi dari deforestation hutan melalui alokasi lahan yang lebih efisien dan lestari – sebagai contoh dengan menggunakan lahan yang telah rusak dan bukan lahan hutan untuk lahan pertanian yang baru – dan dengan membatasi atau menghentikan ekspansi pertanian ke lahan gambut yang lebih dalam lagi. Pendekatan ini juga akan menekankan peningkatan produktivitas pertanian pada lahanlahan yang ada melalui pelatihan para petani atas teknik-teknik intensifikasi pertanian dan 8 “Laporan dan Rekomendasi akhir untuk Rencana Induk untuk mengatasi Kebakaran hutan dan Lahan untuk Kabupaten Muaro Jami�, April 2009.

Jambi report_BAH_010910.indd 21

9/2/2010 11:43:49 AM


22

dengan melakukan diversifikasi terhadap pilihan tanaman. Sementara kegiatan-kegiatan ini juga membutuhkan biaya, tetapi diasumsikan jauh lebih rendah daripada membayar pemilik lahan atas penghasilan mereka yang tidak mereka terima. Keuntungan lainnya adalah bahwa kegiatan-kegiatan ini akan membantu mempertahankan atau meningkatkan pembangunan ekonomi di provinsi terkait. Memastikan alokasi lahan yang efektif merupakan tantangan tersendiri, karena adanya isu-isu sifat lintas yurisdiksi kepemilikan lahan dan perencanaan tata ruang. Peningkatan kolaborasi antar pemerintah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menjadi penting untuk memperbaiki perencanaan tata ruang dan harus didukung oleh analisis teknis mendetil, yang dapat memberikan penilaian akurat tentang alokasi lahan saat ini dan menilai potensi manfaat ekonomi penggunaan jenis-jenis lahan berbeda untuk kegiatan-kegiatan yang berbeda. Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem penetapan kepemilikan lahan untuk mendaftar akta-akta dan wilayah-wilayah peta, dengan dukungan pelibatan masyarakat yang kuat.9 Serupa dengan kasus pencegahan pembakaran, potensi pengurangan teknis maksimum untuk menurunkan emisi yang disebabkan oleh deforestasi hutan melalui penggunaan lahan yang lebih efektif dan alokasi lahan lebih tinggi daripada estimasi potensi yang digunakan dalam laporan ini, dan dapat mencapai 18 MtCO2e pada tahun 2030. Namun demikian, karena sebagian besar peluang pengurangan ini berkaitan dengan kegiatan-kegiatan petani rakyat, terdapat tantangan besar yang harus diatasi untuk mencapai potensi teknis penuh. Melihat jumlah, penyebaran dan tingkat keterpencilan petani di Jambi, maka potensi teknis penuh nampaknya tidak dapat dicapai pada tahun 2030. 3. Merehabilitasi lahan gambut yang tidak digunakan atau rusak (10 MtCO2): Mengurangi emisi lahan gambut melalui reboisasi dan rehabilitasi fungsi hidrologi lahan gambut yang rusak yang tidak memiliki nilai produksi makanan dan untuk lahan-lahan yang dilindungi oleh hukum.10 Di sini, para pendukung kunci akan menetapkan pedoman untuk proses-proses pembasahan kembali, mensponsori riset lokal terhadap manfaat dan biaya proses-proses rehabilitasi gambut alternatif (dengan potensi untuk menciptakan pusat keungulan lokal), dan berkoordinasi dengan pemerintah nasional untuk memastikan bahwa emisi gambut dimasukkan ke dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim internasional. Pencegahan dan pengelolaan kebakaran efektif dan upaya-upaya untuk mendorong proses-proses reboisasi harus melengkapi aksi-aksi tersebut supaya upaya tersebut dapat berkelanjutan dalam jangka panjang. 4. Mengelola hutan secara lestari (4 MtCO2): Penebangan pohon pada hutan-hutan produksi Jambi yang tidak lestari, menimbulkan emisi tahunan yang signifikan. Memang terdapat kebijakan nasional tentang pengelolaan hutan lestari, namun demikian kebijakan tersebut semata-mata terfokus pada volume kayu yang dapat diperdagangkan dan siklus penebangan dan tidak berusaha untuk meminimalisir total biomassa yang hilang selama kegiatan-kegiatan panen, yang lazimnya berjumlah berkali-kali lipat pada area pohon yang ditebang untuk tujuan komersil. Pohon-pohon tersebut meliputi pohon-pohon yang ditebang untuk membuka jalan dan jalur rel untuk pelaksanaan panen dan untuk bahan pembuatan jembatan serta pohon-pohon yang rusak selama penebangan dan pemindahan kayu komersil. Hilangnya persediaan karbon ini semakin besar apabila kondisi untuk regenerasi hutan tidak kondusif. Emisi-emisi ini dapat diturunkan dengan melaksanakan praktik-praktik pengelolaan hutan yang lebih lestari di wilayah-wilayah lahan kering (misalnya: dengan mempekerjakan lebih banyak orang untuk menjalankan penurunan dampak pembalakan (logging), dan untuk 9 Analisis lebih lanjut atas isu-isu kepemilikan lahan dan perencanaan ruang diberikan dalam Bagian 4Faktor-Faktor Pendukung Kelembagaan. 10 Lampiran 3 memberikan tinjauan tentang emisi gambut dan terkait gambut.

Jambi report_BAH_010910.indd 22

9/2/2010 11:43:49 AM


23

mengawasi dan memverifikasi penanaman yang subur), menyediakan bantukan teknis kepada para petani dan penebang kayu, memperbaiki pengaturan hutan, dan mendidik para pelanggan dalam pasar-pasar internasional kunci. Memastikan bahwa masyarakat lokal sepenuhnya terintegrasi ke dalam pengelolaan dan penyelenggaraan hutan-hutan lokal akan menjadi penting dan perlu disertai insentif yang tepat yang memberikan penghargaan kepada para individu dan masyarakat karena telah mendorong penggunaan hutan secara berkelanjutan, seperti dalam Juma Sustainable Development Reserve di Brazil (Kotak 2).11

Juma Sustainable Development Reserve (Brazil)

Kotak 2

Pada tingkat deforestasi hutan saat ini, sekitar seperti dari hutan di Amazon Brazil telah hilang sampai dengan tahun 2050, melepascan 3,5 miliar ton karbon dioksida. Bolsa Floresta di Amazon (negara terbesar, hampir 98 persen tertutup oleh hutan hujan), telah mengembangkan Juma Sustainable Development Reserve (Area Reservasi Pembangunan Berkelanjutan Juma), sebuah area seluas 600.000 hektar (1,2 juta acre) dibatasi oleh dua jalan raya. Proyek ini bertujuan untuk menghindari perusakan 366.000 hektar hutan dan emisi 210 MtCO2e ke atmosfer sampai dengan tahun 2050. Di dalam proyek tersebut, masyarakat hutan lokal diberi penghargaan karena telah berkomitmen untuk menghindari pembersihan hutan primer dan pembakaran vegetasi. Pendanaan didistribuskan di empat tingkat: • Keluarga-keluarga individu: pembayaran sekitar USD 25 per bulan yang ditransfer melalui kartu debit yang dikeluarkan untuk istri (berdasarkan inspeksi reguler untuk memastikan bahwa pohon-pohon dipelihara) • Asosiasi-asosiasi keluarga: hibah tunai dengan jumlah rata-rata USD 500 per bulan per asosiasi ditambah perlengkapan natura (seperti koneksi Internet) • Program-program sosial: hibah sebesar kurang lebih USD 70.000 per tahun untuk masingmasing cagar alam, ditujukan untuk kegiatan-kegiatan sosial, seperti pendidikan atau kesehatan, dan dirancang untuk melengkapi program-program negara dan pemerintah lokal yang ada • Penghasilan yang berkelanjutan: setara dengan USD 70.000 per tahun untuk masing-masing cagar alam untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang menghasilkan berdasarkan penggunaan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan.

5. Reboisasi (2 MtCO2): Meningkatkan sumur endapan karbon alam dengan memperluas penutupan hutan di luar lahan gambut dengan spesies pohon yang sesuai dan yang dapat hidup terus secara ekonomis, seperti spesies asli yang dapat menghasilkan produk kayu dan nonkayu serta spesies yang tepat bertumbuh seperti akasia. Pada hutan hujan Harapan, terletak di Jambi dan Sumatra Selatan, Badan hutan hujan Harapan sedang memimpin upaya-upaya skala besar untuk melakukan reboisasi sebagian dari luas total 101,355 ha, termasuk menerbitkan surat penangguhan pembalakan pohon pada area tersebut. Perluasan dampak upaya reboisasi akan memerlukan pendekatan tingkat provinsi terhadap penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD), yang dapat menciptakan insentif yang tepat dan pembentukan struktur untuk pemantauan dan pelaksanaan. Perlu dicatat bahwa peningkatan penyerapan karbon melalui penanaman hutan atau reboisasi hanya dapat diwujudkan apabila wilayah-wilayah ini dikhususkan untuk konservasi. Namun

11 “Biaya REDD: pembelajaran dari penduduk Amazon”, laporan singkat IIED, November 2009.

Jambi report_BAH_010910.indd 23

9/2/2010 11:43:49 AM


24

demikian, salah satu cara untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang rusak ke dalam tutupan hutan mungkin adalah membuat perkebunan kayu sementara, yang kemudian secara bertahap dapat diubah menjadi hutan konservasi atau hutan lindung. Memetakan peluang-peluang ini berdasarlan biaya pengurangan penuh12 dan kelayakan13 mereka dapat membantu memprioritaskan peluang-peluang penurunan emisi untuk Jambi (Gambar 5). 1. Cakrawala 1 – Lakukan sekarang, jangan sesal kemudian: meliputi peluang-peluang berdasarkan teknologi yang ada, dengan hambatan pelaksanaan rendah sampai menengah dan biaya yang relatif rendah (kurang dari USD 25 per ton). Bersama-sama, peluang-peluang ini dapat menghasilkan penurunan tahunan sebesar 10.4 MtCO2e sampai dengan tahun tahun 2030 (19 persen dari perkiraan emisi tahun 2030). 2. Cakrawala 2 – Mulai sekarang, akselerasikan kemudian: mencakup pengelompokan peluang dengan biaya menengah/mudah menghasilkan pengurangan dengan biaya yang relatif rendah (kurang dari USD 25 per ton) dengan hambatan pelaksanaan rendah sampai sedang, atau yang murah tapi sulit untuk dilaksanakan, atau mahal tetapi lebih mudah untuk dilaksanakan. Bersama-sama, peluang-peluang ini dapat menghasilkan penurunan tahunan sebesar 28 MtCO2e sampai dengan tahun 2030 (50 persen dari estimasi emisi tahun 2030) dimana biaya berkisar dari USD -80 sampai USD 21 dan rata-rata USD 5.8 per tCO2e terkurang. 3. Cakrawala 3 – Mulai sekarang, capai hasil seiring waktu: mencakup peluang-peluang yang paling menantang – peluang-peluang dengan biaya tinggi dan dengan hambatan yang besar, karena teknologi belum layak atau karena memiliki risiko perencanaan dan kebutuhan prasarana yang besar. Bersama-sama, peluang-peluang ini dapat menghasilkan penurunan tahunan sebesar 17.4 MtCO2e sampai dengan tahun 2030 (31 persen dari estimasi emisi tahun 2030).

4. Mengembangkan sumber penghidupan berkelanjutan Sumber-sumber pertumbuhan rendah karbon akan diperlukan untuk menjamin pembangunan yang berkesinambungan, pengurangan kemiskinan, dan penciptakan lapangan pekerjaan di Jambi Untuk mengalihkan perekonomian Jambi ke lintasan pertumbuhan rendah karbon, penting agar sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi diciptakan untuk memberikan sumber penghidupan yang berkelanjutan kepada penduduk lokal. Sumber-sumber pertumbuhan ini dapat membantu mengganti potensi kerugian ekonomi terkait dengan beberapa peluang pengurangan serta menciptakan kesejahteraan yang memerlukan berkurangnya ketergantungan terhadap sumber-sumber pertumbuhan intensif karbon (misalnya: pembalakan hutan). Jambi saat ini memiliki kinerja perekenomian campur (Gambar 6): Kesejahteraan yang relatif rendah: Produktivitas Jambi per orang jauh di bawah rata-rata nasional (37 persen lebih rendah).

12 Biaya pengurangan penuh termasuk biaya teknis ditambah dengan biaya implementasi peluang spesifik pengurangan. Ini terlepas dari biaya implementasi dari peluang yang tidak spesifik pengurangan (mis. reformasi rencana tata ruang, membangun sistem MRV, meningkatkan mekanisme pelibatan masyarakat). Lampiran 5 berisi tentang deskripsi biaya-biaya tersebut dan metodolgi yang digunakan untuk mengukur mereka. 13 Kelayakan untuk meraih setiap peluang pengurangan dinilai menggunakan indeks tujuh faktor dengan bobot sama: (1) Isu-isu pembiayaan (misalnya, intensitas modal, waktu-waktu pelunasan), (2) Kemampuan pengaturan dan kelembagaan, (3) Isu-isu agen utama, (4) perilaku yang membudaya, (5) rantai suplai yang terkendala, (6) Kelayakan politis, dan (7) Kesiapan teknologi.

Jambi report_BAH_010910.indd 24

9/2/2010 11:43:49 AM


25

Prioritas peluang pengurangan karbon

PRELIMINARY

Gambar 5

Lakukan sekarang (potensi realisasi tahun 2015) Dimulai perlahan, kemudian dipercepat (potensi realisasi tahun 2020) Dimulai saat ini, mencapai hasil dari waktu ke waktu (potensi realisasi tahun 2015-2030)

• Efisiensi peralatan elektronik di

Negatif (<0 USD/ ton)

• Pengelolaan padi – pengairan dangkal

perumahan dan bangunan komersil (0.1 Mt) • Small hydro (0.2 Mt) • Pengelolaan gizi lahan tanaman (0.2 Mt) • Biofuel untuk transportasi (0.1 Mt)

(1.7 Mt)

• Efisiensi bahan bakar kendaraan penumpang (0.4 Mt)

• Efisiensi bahan bakar angkutan barang (0.3 Mt)

• Pembangkit listrik bertenaga landfill gas (0.1Mt)

0.6120 Mt

• Pengelolaan hutan

• Retrofit HVAC (0.1 Mt) • Penggunaan langsung landfill gas (0 Mt)

• • • • •

berkesinambungan (4 Mt)

Biaya Sedang saat (0 - 25 ini1 USD/ton)

• Reboisasi (1.9 Mt) • Aforestasi (0.8 Mt) • Pengelolaan sawah – pengelolaan gizi (0.5 Mt)

• Alokasi penggunaan lahan (14.5 Mt) • Pengelolaan lahan rumput (0.3 Mt) • Restorasi lahan rusak (1.7)

16.5 Mt

27.5 Mt

• Tanaman biomass khusus (0.5 Mt) • On shore wind (0.1 Mt)

komersial

0.3 Mt

2.6 Mt

Pencegahan kebakaran (15.3 Mt) Rehabilitasi lahan gambut (10 Mt) Pengelolaan air (1.6 Mt) Pengelolaan hutan (0.1 Mt) Praktek agronomi (0.5)

7.2 Mt

• Pemanas air – bangunan

• Solar PV (0.1 Mt) • Pemanas air – perumahan (0.1 Mt) • Ternak – makanan tambahan (0.1 Mt)

Tinggi (>25 USD/ton) ~0 Mt Siap untuk dicapai

• Daur ulang limbah baru (0.2 Mt) • LED Lighting (0.1 Mt)

0.3 Mt

0.6 Mt Beberapa tantangan

Sulit

Kelayakan untuk dicapai (dalam jangka pendek) 1 Berdasarkan biaya implementasi pengurangan spesifik (tidak termasuk biaya enabler kritikal yang umum di dalam peluang-peluang pengurangan) SUMBER: DNPI Indonesia Greenhouse Gas Emissions Cost Curve; Analisis tim

Jambi saat ini memiliki scoreboard ekonomi yang bercampur

Gambar 6 PRELIMINARY

Kinerja ekonomi 1 Kekayaan

2 Inklusivitas

• Rata-rata pendapatan di

• Distribusi pendapatan

• Tingkat konsumsi

• Tingkat kemiskinan

bawah rata-rata nasional (37% lebih rendah)

rumah tangga per bulan rata-rata dibandingkan propinsi lainnya di Indonesia

ke-7 terwajar di antara propinsi lainnya di Indonesia terendah ke-8 dan indeks perkembangan masyarakat tertinggi ke12 dibandingkan propinsi lainnya di Indonesia

8 4 Enabler ekonomi

• Akses kuat terhadap sumber daya •

alam (mineral, hutan) Aset intrinsik berkualitas tinggi (keindahan alam, kekayaan budaya)

3 Keberlanjutan

• Pertumbuhan

produktivitas relatif cepat, namun masih 1/3 lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional

• Sektor-sektor terbesar

berdasarkan lapangan kerja, pertanian, dan kehutanan, secara total kehilangan 76,000 pekerjaan dari tahun 2003 hingga 2006

• Infrastuktur transportasi lemah • Kualitas lingkungan buruk (cth: asap) • Terbatasnya ketersediaan listrik

SUMBER: Analisis tim

Jambi report_BAH_010910.indd 25

9/2/2010 11:43:49 AM


26

Sangat inklusif: Jambi merupakan peringkat ke-7 dalam hal provinsi yang paling memiliki distribusi penghasilan yang paling rata diantara provinsi-provinsi lain di Indonesia, dengan angka kemiskinan terendah ke-8 di antara provinsi-provinsi tersebut, dan rasio pengembangan manusia tertinggi ke-12 Kelangsungan yang masih dipertanyakan: Pertumbuhan produktivitas Jambi relatif cepat dibandingkan provinsi-provinsi lain, namun tingkat produktivitas masih diatas sepertiga lebih rendah dari tingkat produktivitas nasional, memiliki ketergantungan yang besar terhadap dua industri utama (sektor pertanian dan kehutanan berkontribusi terhadap 30 persen produktivitas dan 58 persen lapangan pekerjaan), dimana telah secara cepat menurun dan kehilangan lapangan pekerjaan (dimana nilai lapangan pekerjaan hilang bersih adalah 76,000 sejak tahun 2003-2006). Jambi memiliki sejumlah kekuatan yang dapat menjadi dasar pembangunannya: Aset intrinsik dan budaya: Jambi memiliki lokasi yang strategis (misalnya: ibukota-ibukota negara ASEAN yang besar dalam jarak 700 km), margasatwa yang khas (misalnya: harimau Sumatra), dan warisan budaya yang kaya yang dapat menyokong pertumbuhan sektor-sektor seperti ekowisata Penduduk muda: Hampir sepertiga dari penduduknya berusia kurang dari 15 tahun, memberikan suplai yang kuat akan tenaga kerja di masa mendatang Modal Sumber Daya Manusia yang relative baik: Hasil pendidikan relatif baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia (misalnya: tingkat buta huruf sepertiga lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional; provinsi tertinggi ke-14 untuk Nilai Ujian Akhir siswa sekolah menegah). Namun demikian, masih terdapat kesenjangan. Walaupun angka pendaftaran sekolah dasar cukup tinggi (sekitar 93 persen dari anak-anak usia sekolah dasar mengikuti sekolah dasar), pendaftaran untuk tingkat pasca sekolah dasar rendah, turun menjadi sekitar 52 persen untuk sekolah menengah atas. Survei Kementerian Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa masalah-masalah finansial adalah alasan utama rendahnya pendaftaran pasca sekolah dasar (50 persen dari mereka yang tidak mengikuti pendidikan pasca sekolah dasar menyebutkan masalah-masalah finansial sebagai alasan utama mereka). Pada saat yang sama, terdapat sejumlah masalah dalam lingkungan usaha, yang perlu ditangani. Sebagai contoh: Kesenjangan dalam prasarana transportasi: Terdapat masalah dengan kuantitas jalan dan kualitas pelabuhan – Jambi memiliki kepadatan jalan terendah kesembilan (terkait dengan area geografisnya) dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Rencana pembangunan Jambi 2006-2010 juga telah mengemukakan pentingnya untuk meningkatkan efisiensi pelabuhan dan prosedur bea cukai. Kekurangan listrik: Hampir seperlima rumah tangga bergantung pada lampu minyak untuk penerangan dan gangguan listrik yang sering juga mengganggu banyak perusahaan, memaksa mereka untuk memasok kebutuhan listriknya sendiri, yang pada akhirnya meningkatkan biaya tetap mereka. Akses listrik merupakan kendala utama yang diangkat oleh investor-investor potensial di provinsi tersebut. Masalah-masalah lingkungan hidup: Kebakaran hutan dan gambut memiliki dampak-dampak sosial dan ekonomi negatif yang besar terhadap provinsi. Luas dampak sebenarnya sulit untuk diukur secara akurat, tetapi wawancara dan bukti anekdot menunjukkan bahwa kebakarankebakaran ini memiliki dampak terhadap biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan konsumsi. Sebagai contoh, Jambi memiliki angkat ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) yang relatif tinggi dan meningkat 18 persen pasca kebakaran besar di tahun 2006. Kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Juli-September 2006 juga menurunkan jumlah penerbangan secara drastik (secara kasar 8 persen penurunan penumpang dibandingkan dengan aktivitas normal).

Jambi report_BAH_010910.indd 26

9/2/2010 11:43:49 AM


27

Pendekatan tiga langkah digunakan untuk mengidentifikasi dan memprioritaskan peluang pertumbuhan (Gambar 7). Pertama, daftar potensi peluang pertumbuhan disusun berdasarkan wawancara dan lokakarya dengan pengusaha lokal, pejabat pemerintah, dan akademisi, tinjauan rencana pembangunan provinsi yang ada, dan analisis peluang pertumbuhan yang dikejar oleh daerah-daerah dengan tingkat pembangunan ekonomi dan ketergantungan terhadap sektorsektor berbasis hutan yang serupa (misalnya: Guyana, Malaysia, Thailand). Gagasan-gagasan ini kemudian diprioritaskan menurut potensi dampak mereka (berdasarkan arti mereka saat ini bagi PDB, pertumbuhan masa mendatang, kualitas kerja, dan implikasi untuk emisi karbon) dan kelayakan (yaitu, sesuai dengan kekuatan dan kelemahan lingkungan usaha saat ini).

Peluang pertumbuhan diprioritaskan sesuai dampak dan kelayakannya

Mengidentifikasi hipotesa untuk peluang pertumbuhan baru

Gambar 7

Metodologi

• Mewawancarai para pengusaha lokal,

pejabat pemerintah dan pihak akademisi

• Mengkaji rencana pengembangan ekonomi Jambi

• Melakukan analisa “outside in” terhadap benchmark internasional yang relevan

Dampak

Kelayakan

• Melakukan penilaian dampak potensial terhadap: – Pertumbuhan GDP – Rata-rata pendapatan – Emisi karbon

• Menentukan kelayakan Jambi untuk Peluang sektor baru yang diprioritaskan

menangkap peluang pertumbuhan, berdasarkan wawancara dengan para ahli sektor, pengusaha, akademisi dan pejabat pemerintah

Berdasarkan proses ini, diidentifikasi enam sektor pertumbuhan prioritas: 1. Hasil perkebunan pada lahan non-hutan (13 persen dari PDB tahun 2006): Mengembangkan lahan nonhutan yang baik untuk ditanami tanaman budidaya seperti kelapa sawit, karet, kopi, dan rempah-rempah. Meskipun tanaman perkebunan memiliki kontribusi yang besar saat ini terhadap produktivitas Jambi, pertumbuhan dalam sektor tersebut (khususnya kelapa sawit) berkaitan dengan dampak buruk yang penting bagi lingkungan hidup (dari pembersihan lahan hutan dan pengeringan lahan gambut). Jasa-jasa penyuluhan yang dapat memberikan keterampilan kepada para petani untuk meningkatkan produktivitas (dan memperkenalkan praktik-praktik ramah lingkungan) pada lahan yang ada harus dilengkapi dengan menetapkan persyaratan hukum wajib atas proses-proses pertanian (misalnya: serupa dengan Panduan Meja Bundar Kelapa Sawit Berkelanjutan/Roundtable on Sustainable Palm Oil guidelines). Mengembangkan industri hilir akan membutuhkan akses yang semakin baik kepada tenaga kerja terampil yang sesuai (misalnya: dengan memperkenalkan program-program kejuruan), memastikan ketersediaan listrik, menyediakan metode-metode agregasi berdasarkan pasar untuk para petani rakyat, dan mengatasi masalah-masalah prasarana transportasi (khususnya jalan dan pelabuhan). Di samping itu, untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dari

Jambi report_BAH_010910.indd 27

9/2/2010 11:43:50 AM


28

pertumbuhan perkebunan kelapa sawit, perkebunan kelapa sawit di masa mendatang harus dialokasikan pada lahan yang telah rusak (dan tidak membuka hutan baru). Berdasarkan data historis peningkatan tahunan, di tahun 2030, akan terdapat 1.2 juta hektar ditujukan khusus untuk produksi kelapa sawit di Jambi. Namun terdapat lebih kurang 1.8 juta hektar yang berpotensi tersedia dan cocok dengan lahan non-hutan (setelah membiarkan perkebunan untuk berkembang) yang dapat mengakomodasi pertumbuhan ini. Mengatasi isu-isu kepemilikan lahan penting dan rencana tata ruang akan menjadi sangat penting agar langkah ini dapat terus berjalan. Dengan memulai langkah-langkah ini PDB sebenarnya dari tanamana perkebunan berpotensi dapat bertumbuh sampai dengan lebih dari empat kali lipat pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2030, dengan jejak karbon yang jauh lebih rendah. 2. Tanaman pangan pada lahan nonhutan (12 persen dari PDB tahun 2006): Mengembangkan lahan nonhutan yang baik untuk ditanami untuk pertanian komersial buah-buahan tropis dan beras bernilai tinggi untuk ekspor. Saat ini, sektor tersebut menderita karena lemahnya prasarana jalan dan pelabuhan (misalnya: wawancara dengan penghasil buah tropis setempat berkata bahwa tingkat kebusukan pada saat ditransport mencapai 20% dari total hasil), kurangnya layanan informasi pertanian yang bermutu (misalnya: Litbang, informasi pasar), khususnya di wilayah-wilayah yang lebih terpencil yang seharusnya dapat mebantu para petani dengan keterampilan untuk menerapkan praktik-praktik yang sangat produktif dan ramah lingkungan (misalnya: pertanian tanah bajak yang rendah). Kekurangan ini ditambah dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi para petani rakyat untuk mendapatkan pembiayaan dan pasar serta terbatasnya ketersediaan lahan yang subur. Pertumbuhan masa mendatang dalam sektor ini dapat didukung dengan menyelesaikan kendala-kendala prasarana, mengeksplorasi mekanisme-mekanisme berbasis pasar untuk mengumpulkan para petani rakyat pada bagian-bagian rantai nilai (di mana cukup sukses diterapkan negara seperti Maroko) dan meningkatkan penyediaan layanan penyuluhan pertanian dengan memasukkan pelajaran-pelajaran dari program-program yang sukses selama ini (misalnya: program pemberantasan hama Indonesia). Peluang pertumbuhan tambahan sangat tinggi – produksi beras, yang mewakili sekitar 95 persen dari nilai seluruh hasil tanaman pangan Jambi, saat ini menghasilkan tigaperempat dari yang dihasilkan di Jawa Timur. Jika kesenjangan ini dapat ditutup di tahun 2030, PDB sektor ini akan menjadi 6 persen lebih tinggi daripada misalkan tetap mempertahankan angka pertumbuhan sebelumnya. 3. Kehutanan lestari (10 persen PDB tahun 2006): Memadukan pengolahan primer dan sekunder kayu, yang telah diambil secara lestari di bawah kendali ketat yang memungkinkan terjadinya regenerasi alam dan tingkat pertumbuhan kembali yang cukup pada saat siklus rotasi. Memperluas sektor ini secara berkelanjutan berarti perlu memperluas kesadaran akan teknikteknik pembalakan pohon dengan dampak minimum, mendidik pasar-pasar asing penting untuk menciptakan premi untuk produk-produk yang panen terus-menerus, dan mendukung pengolahan hilir dengan memberikan akses kepada tenaga kerja terampil yang sesuai (misalnya: dengan memperkenalkan program-program kejuruan), memastikan ketersediaan listrik, dan memperbaiki jalan (Jambi memiliki kepadatan jalan sebesar 1.6 km per 10,000 km persegi). Upaya-upaya yang saat ini dilakukan untuk mengatasi pembalakan liar akan perlu diintensifkan dan didukung oleh pendekatan menyeluruh terhadap pengelolaan hutan termasuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dapat memasok kayu yang diambil secara legal untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal. Peluang untuk pertumbuhan tambahan itu substantif karena terdapat bukti internasional yang menunjukkan bahwa penerapan pengelolaan hutan yang intensif dapat meningkatkan hasil tahunan per acre sampai dengan sekitar 500 persen.14 4. Ekowisata (2 persen PDB tahun 2006): Mengembangkan pariwisata, berdasarkan margasatwa khas Jambi (misalnya: harimau Sumatra) dan keanekaragaman hayati, yang meminimalisir dampak ekologis dalam sektor ini. Hal yang penting untuk merangsang pertumbuhan masa mendatang dalam sektor ini adalah mengembangkan prasarana transportasi, khususnya

14 Lihat sebagai contoh Wann dan Rakestraw (1998) study of pine plantations in southern United States.

Jambi report_BAH_010910.indd 28

9/2/2010 11:43:50 AM


29

hubungan udara ke pusat-pusat kegiatan utama. Sebagai contoh, meskipun Jambi dekat dengan ibukota-ibukota negara ASEAN yang besar (misalnya: 323 km dari Singapura, 569 km dari Kuala Lumpur), saat ini tidak terdapat hubungan udara internasional, dan penerbangan dari dalam Indonesia seringkali ditunda atau dibatalkan oleh karena asap dari kebakaran hutan. Bahkan di dalam provinsi, pusat-pusat ekowisata utama sulit diakses. (Kotak 3). Untuk mencapai dampak yang besar diperlukan rencana induk wisata untuk membantu mengatasi tantangan-tantangan yang melintang yang dihadapi sektor terkait, yang mencakup promosi pariwisata, akses kepada keterampilan, dan fasilitas. Peluang akan pertumbuhan tambahan jelas – sebagai contoh, apabila Jambi dapat beralih ke angka pertumbuhan dalam pariwisata yang serupa dengan yang dicapai oleh Bali dalam 20 tahun terakhir, maka pada tahun 2030 kontribusinya terhadap PDB dapat lebih dari dua kali kontribusi yang didasarkan atas pertumbuhan yang telah terjadi.

Taman Nasional Kerinci Sebelat

Kotak 3

Taman Nasional Kerinci Sebelat adalah salah satu dari taman nasional terbesar di Asia dengan 360 spesies burung, 4.000 spesies tumbuh-tumbuhan dan binatang langka seperti harimau Sumatra, badak Sumatra, dan gajah Sumatra. Namun demikian, masalah transportasi dan kurangnya sarana pariwisata saat ini mendesak adanya perkembangan. Sebagai contoh, saat ini tidak terdapat koneksi penerbangan reguler dari kota Jambi ke Kerinci dan jalan darat memakan waktu 10 jam dari kota Jambi.

5. Budidaya Perikanan (1 persen dari PDB tahun 2006): Budidaya ikan dan udang air tawar di lahan non-hutan yang tidak cocok untuk ditanami, dapar diekspor dalam bentuk segar, beku, atau produk olahan. Penangkapan ikan memiliki nilai tradisional yang penting bagi masyarakat pedesaan di Jambi, yang memberikan dasar tenaga kerja termpil yang baik. Untuk meningkatkan pertumbuhan dalam sektor tersebut diperlukan layanan penyuluhan untuk memberikan pelatihan teknik-teknik budidaya perikanan yang baru, didukung oleh prasarana yang sudah lebih baik, dan fasilitas pendingin. Dengan asumsi bahwa tingkat pertumbuhan negatif PDB sektor tersebut saat ini adalah satu persen dapat ditingkatkan untuk mengejar angka pertumbuhan masa mendatang yang diharapkan dalam sektor tersebut untuk wilayah Asia secara keseluruhan (4,4 persen), PDB dari sektor tersebut akan menjadi 2.5 kali lebih tinggi pada tahun 2030 dibandingkan dengan lintasan pertumbuhannya saat ini.15 6. Layanan finansial (1 persen dari PDB tahun 2006): Mendorong peningkatan efisiensi dan penetrasi layanan finansial, memperluas akses finansial mikro, dan sumber-sumber pengucuran modal internasional (misalnya: REDD). Kondisi penyertaan saat ini rendah di provinsi (misalnya: hanya 2.5 persen rumah tangga saat ini memiliki pinjaman, versus 5,3 persen secara nasional).16 Rencana pembangunan Jambi 2006-2010 juga menyatakan bahwa kredit investasi untuk usaha kecil saat ini sangat terbatas. Dibangun di atas upayaupaya yang ada dari badan-badan usaha lokal seperti Bank Indonesia and PNPM Bappenas, terdapat peluang untuk menetapkan sistem-sistem distribusi terukur dengan biaya rendah dan menggunakan potensi pembiayaan REDD untuk memberikan akses finansial dan membangun kecakapan finansial di antara komunitas hutan provinsi. Program Diconsa Meksiko memberikan model yang menarik yang dapat digunakan untuk Jambi (Kotak 4). Melihat ke depan, dengan asumsi pertumbuhan PDB dalam sektor terkait dapat mengejar rata-rata Bangladesh, India dan Meksiko (negara-negara yang penyertaan finansialnya telah berhasil ditingkatkan, tingkat PDB pada tahun 2030 dapat mencapai sekitar 1,5 kali lebih tinggi daripada apabila sektor terkait mengejar angka pertumbuhan nasional (4,7 persen p.a.a).

15 Prediksi angka pertumbuhan sektor perikanan di Asia yang diberikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO). 16 Biro Pusat Statistik Indonesia

Jambi report_BAH_010910.indd 29

9/2/2010 11:43:50 AM


30

Kotak 4

Menciptakan penyertaan keuangan di Meksiko Diconsa adalah jaringan distribusi pemerintah yang menyuplai lebih dari 22.000 toko milik masyarakat dengan makanan dan barang kebutuhan dasar lainnya di Meksiko pedesaan. Pencapaian, riwayat, dan kepemilikannya oleh masyarakat memberikannya kepercayaan dan dukungan tersendiri di tengah masyarakat termiskin Meksiko. Diconsa adalah tulang punggung kemitraan antara sektor publik dan swasta termasuk telekomunikasi, layanan keuangan, LSM, dan badan usaha pemerintah berkolaborasi untuk membangun beragam layanan sosial ke masyarakat terpencil, khususnya layanan keuangan. Kemitraan menggambarkan evolusi bertahap layanan keuangan yang ditawarkan, dimulai dari pembayaran pemerintah, kemudian pembentukan rekening tabungan, pengiriman uang, kredit, dan asuransi. Proyek tersebut akan meningkatkan akses kepada layanan keuangan yang terjangkau di tengah masyarakat termiskin, paling terisolir Meksiko. Sekitar 5 juta keluarga, yaitu 20 persen dari penduduk Meksiko tinggal di tengah masyarakat pedesaan yang kecil dengan kurang dari 2.500 penduduk, yang merupakan target dari program Diconsa.

Apabila dipadukan, ketujuh sektor tersebut saat ini mewakili sekitar setengah dari produktivitas Jambi saat ini dan sekitar dua pertiga lapangan pekerjaan. Sektor-sektor tersebut berpotensi untuk mendorong pembangunan Jambi yang rendah karbon.

5. Faktor-faktor pendukung kelembagaan Mencapai keberhasilan pertumbuhan ekonomi rendah karbon akan memerlukan transformasi yang besar, baik dalam pemerintahan maupun dalam masyarakat luas Jambi. Dari sudut pandang kelembagaan, dukungan terhadap pertumbuhan rendah karbon memerlukan pendekatan lintas sektor yang mengkoordinir berbagai kementerian pemerintah yang penting untuk keberhasilan (misalnya: kehutanan, lingkungan hidup, pertanian, pariwisata, pendidikan), selain itu adanya kepastian akses terhadap kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan program ambisius dan mendesak ini juga penting untuk keberhasilan. Seperti banyak daerah berkembang lainnya, Jambi kembali dihadapkan oleh tantangan prioritas penting dan sumber daya yang terbatas, terutama, terbatasnya ketersediaan pemilik keahlian manajemen yang diperlukan untuk melaksanakan perubahan transformatif. Banyak instansi pemerintah yang menghadapi tantangan-tantangan serupa (termasuk perubahan iklim) yang telah membentuk unit-unit baru untuk mengkoordinir tanggapan pemerintah dan memastikan tercapainya prioritas penting- sebagai contoh di Aceh, setelah kerusakan yang diakibatkan tsunami di akhir tahun 2004, Pemerintah Indonesia membentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias untuk mengkoordinir dan mengawasi proses rekonstruksi multi-tahun. Kalimantan Tengah juga telah menciptakan lembaga baru untuk mengkoordinir tanggapannya terhadap pembangunan rendah karbon. Gubernur Kalimantan Tengah menerbitkan keputusan tanggal 16 November 2009 yang membentuk tim persiapan baru untuk mengkoordinir REDD dan upaya-upaya rehabilitasi lahan gambut di provinsi terkait.17 Peninjauan kembali oleh unit-unit pelaksana dalam dan luar negeri menyingkapkan beberapa pelajaran bagi Jambi dalam mengembangkan mekanisme-mekanisme kelembagaannya sendiri untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan strategi pertumbuhan rendah karbon (Kotak 5). Unit baru tersebut juga harus memiliki hubungan dengan pemerintah tingkat nasional dan kabupaten, serta masyarakat hutan setempat (untuk memastikan persetujuan bebas biaya dan diinformasikan), mengingat banyak kekuasaan hukum yang mendukung pengurangan 17 Keputusan nomor 18.44/417/2009. Lihat Lampiran 4 untk ringkasan keputusan.

Jambi report_BAH_010910.indd 30

9/2/2010 11:43:50 AM


31

karbon yang ada saat ini berada di tingkat-tingkat ini. Kementerian Kehutanan, sebagai contoh, mengendalikan penggunaan lahan-lahan di provinsi yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” (mencakup sekitar 40 persen Jambi), sementara pemerintah-pemerintah kabupaten mengendalikan penggunaan lahan di luar hutan. Dewan Air Indonesia (Waclimad) memberikan contoh berupa kolaborasi “seluruh pemerintah” dengan hubungan-hubungan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten. Menemukan individu yang tepat untuk mengisi organisasi baru ini akan menjadi tantangan. Dalam jangka waktu singkat, dibayangkan bahwa beberapa jabatan akan perlu diisi oleh tenagatenaga ahli asing, yang disediakan melalui berbagai program bantuan teknis. Pendekatan serupa berhasil digunakan dalam upaya rekonstruksi di Aceh menyusul terjadinya tsunami. Evolusi bertahap supaya terdapat lebih banyak kepemilikan lokal diwujudkan dengan menggunakan berbagai teknik perekrutan inovatif, seperti pengaturan penugasan sementara (secondment) dengan sektor swasta atau LSM, perekrutan dari tingkat paling awal, dan mungkin penggunaan perusahaan-perusahaan perekrutan eksekutif. Hal ini perlu disertai program pengembangan kapasitas yang formal. Untuk dapat menarik individu yang diperlukan untuk organisasi ini maka sangatlah penting untuk memiliki kemampuan untuk menawarkan gaji yang kompetitif – BRR Aceh diberikan wewenang untuk memberikan gaji yang berbeda dari gaji bagi para pegawai negeri lain, sehingga BRR dapat menarik individu-individu dengan keterampilan yang diperlukan (sebaliknya para pegawai harus mematuhi aturan integritas profesional yang diberlakukan secara ketat). Fleksibilitas serupa mungkin sangat penting karena Jambi berusaha merekrut individu untuk mengelola lembaganya sendiri.

Pelajaran-pelajaran internasional dan dalam negeri tentang mengorganisir unit kerja

Kotak 5

1. Harus memiliki hubungan langsung dengan dan mandat yang jelas dari tingkat-tingkat tertinggi pemerintahan (misalnya, BRR Aceh, Economic Development Board di Maroko, Presidential Delivery Unit di Guyana) 2. Perlu melibatkan representatif dari berbagai tingkat pemerintahan (misalnya, Amazon Fund di Brazil, Waclimad di Indonesia) 3. Hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan harus ditetapkan secara jelas antara unit baru, kementrian-kementrian, dan para pemangku kepentingan lainnya (misalnya, Economic Development Board di Bahrain) 4. Kompensasi pegawai dan proposisi nilai harus kompetitif dengan sektor komersial untuk menarik pemilik keahlian terbaik (misalnya, BRR Aceh, Presidential Delivery Unit di Guyana, Economic Development Board di Bahrain) 5. Mengembangkan manajemen kinerja yang tepat atas beberapa hasil prioritas (misalnya, Economic Development Board di Bahrain)

Lembaga baru ini perlu menjalankan enam fungsi luas untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon (Gambar 8): i. Pengumpulan dan distribusi finansial: menarik pembiayaan internasional untuk perjanjian REDD, VER dan CDM dan mengelola dan mendistribusikan finansial secara transparan, adil, dan efisien (serupa dengan Amazon Fund di Brazil). ii. Pemantauan dan evaluasi: menetapkan garis dasar tingkat provinsi dan standar yang tepat untuk pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV)

Jambi report_BAH_010910.indd 31

9/2/2010 11:43:50 AM


32

iii. Kebijakan dan perencanaan tata ruang: mengembangkan tanggapan pengaturan untuk mendukung pengurangan karbon dan menciptakan peluang akan sumber penghidupan yang berkelanjutan. Hal-hal ini mencakup optimisasi alokasi lahan melalui perencanaan ruang dan penyelesaian perselisihan kepemilikan tanah. iv. P elibatan masyarakat: mengembangkan proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, termasuk pembentukan dewan-dewan masyarakat lokal untuk memberikan masukan strategi dan memastikan ijin yang bebas biaya dan diinformasikan, mendorong perubahan perilaku menuju praktik-praktik yang berkelanjutan dan membangun penyelenggaraan masyarakat lokal. v. Prasarana: mengembangkan prasarana teknologi dan sistem (misalnya: informasi pasar, suplai pemadam kebakaran, pendidikan, kesehatan) dan prasarana keras (misalnya: listrik, jalan) untuk mendukung penurunan emisi dan sumber penghidupan yang berkelanjutan. vi. Mendukung sumber penghidupan yang berkelanjutan: mengembangkan strategi-strategi untuk mendukung pertumbuhan dan menarik investasi untuk prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah ditetapkan.

Gambar 8

Struktur organisasi yang diusulkan

PRELIMINARY

Steering committee • Diketuai oleh Gubernur • Bupati • DNPI • Perwakilan dari beberapa kementerian utama tingkat propinsi (mis: Bappeda, Lingkungan Hidup, Kehutanan)

Sekretariat

Pengumpulan dan distribusi finansial

Pengawasan dan evaluasi

Kebijakan dan perencanaan

Dewan Penasihat Ad Hoc

• Beberapa perwakilan terpilih dari sektor swasta, LSM, dan komunitas lokal

Kelompok Kerja

Keterlibatan masyarakat

Infrastruktur

Pengembangan penghidupan yang berkelanjutan

Hubungan dan hak-hak pengambilan keputusan harus ditetapkan secara jelas antara unit baru dan kementerian-kementerian yang ada untuk menghindari duplikasi kegiatan dan kurangnya koordinasi (Gambar 9). Sementara sebagian besar pelaksanaan dapat tetap berada di dalam kementerian-kementerian yang ada, strategi dan kebijakan harus dikembangkan bersama antara unit baru ini dan kementerian - kementerian pemerintah yang ada untuk memastikan dimilikinya keahlian yang tepat. Indikator-indikator kinerja kunci perlu ditetapkan untuk masing-masing unit dan hasil-hasilnya dinilai secara cermat dan teratur, dengan melaporkan kembali ke komite pengarah (idealnya setiap bulan).

Jambi report_BAH_010910.indd 32

9/2/2010 11:43:50 AM


33

Cakupan tanggung jawab yang diusulkan Mengembang Memonitor -kan strategi Implementasi hasil Pengumpulan dan distribusi finansial Pengawasan dan evaluasi Kebijakan dan perencanaan Keterlibatan masyarakat

Tanggung jawab tunggal PRELIMINARY

Komentar

Gambar 9

Tanggung jawab bersama (dengan departemen pemerintah yang ada) Tidak ada tanggung jawab

• Sub-unit baru untuk memastikan • • •

transparansi dan akuntabilitas; implementasi bersama dengan entitasentitas yang ada (mis: PNPM) Sub-unit baru karena departemen pemerintah yang ada tidak memiliki kapasitas untuk melakukan baselining rinci dan pengawasan Pengembangan strategi bersama dengan departemen yang relevan Menetapkan KPI dan memantau dampak vs target

• Pengembangan strategi bersama dengan departemen yang relevan

• Menetapkan KPI dan memantau dampak vs target

• Pengembangan strategi bersama dengan departemen yang relevan

Infrastruktur

• Menetapkan KPI dan memantau dampak

Pengembangan penghidupan yang berkelanjutan

• Pengembangan strategi bersama dengan

vs target

departemen yang relevan (mis: BKPM)

• Menetapkan KPI dan memantau dampak vs target

SUMBER: Analisis tim

i. Pengumpulan dan distribusi finansial Tiga fungsi terkait finansial penting untuk keberhasilan strategi pertumbuhan rendah karbon. Pertama, penting untuk menarik pembiayaan internasional untuk menyokong inisiatif - inisiatif pengurangan emisi di Jambi. Kedua, model pembagian penghasilan harus ditetapkan agar dapat mengalokasi dana ke berbagai pemangku kepentingan (termasuk pemerintah tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota, serta para pengembang proyek, perorangan, dan masyarakat). Ketiga, finansial harus dikelola dan didistribusikan secara adil dan transparan. Pendanaan dari pasar-pasar karbon internasional akan memakan waktu terlalu lama untuk membantu Jambi menyadari tujuan penurunan emisi ambisiusnya untuk tahun 2030. Dalam jangka waktu pendek, pendanaan sementara dari sumber-sumber seperti Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia/Indonesian Climate Change Trust Fund, Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan/Forest Carbon Partnership Facility (FCPF), program UN-REDD, dan program-program bilateral penting untuk menyokong upaya-upaya Jambi untuk menciptakan kesiapan REDD-nya. Kelompok Kerja Informal untuk Pembiayaan Sementara REDD+ (IWG-IFR) menggambarkan transisi pendanaan bertahap, dengan program-program REDD pada awalnya mengandalkan bantuan untuk membangun kesiapan kelembagaan, disusul oleh pembayaran untuk penurunan emisi berdasarkan angka-angka sederhana (misalnya: angka deforestasi hutan), dan pada akhirnya beralih ke sistem pemantauan lanjut yang akan sepenuhnya didanai oleh pasar karbon internasional. Model pembagian penghasilan spesifik perlu disempurnakan dalam koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kementerian Keuangan dan Kementerian Kehutanan, yang telah menguraikan beberapa pedoman untuk proyek-proyek REDD.18 Dalam menetapkan model pembagian penghasilan, beberapa prinsip perancangan penting harus dipertimbangkan: 18 Pada bulan Juli 2009, Kementerian Kehutanan Indonesia mengusulkan model pembagian penghasilan dengan alokasi bergantung pada jenis kepemilikan atau ijin hutan, berkisar dari 10-50 persen untuk pemerintah, 20-70 persen untuk masyarakat lokal, dan 20-60 persen untuk para pengembang.

Jambi report_BAH_010910.indd 33

9/2/2010 11:43:50 AM


34

Menjamin bahwa para individu dan masyarakat lokal menerima insentif: Untuk mendukung perubahan perilaku yang diperlukan untuk keberhasilan pertumbuhan rendah karbon, penting agar para individu dan masyarakat yang terutama dipengaruhi oleh inisiatif penurunan emisi tersebut (misalnya: komunitas hutan) juga mendapatkan beberapa manfaat. Dalam Juma Sustainable Reserve di Brazil, sebagai contoh, para individu menerima pembayaran langsung berdasarkan inspeksi reguler hutan lokal (Kotak 2).19 Pembayaran tersebut harus mencakup insentif terkait dengan pengukuran berbasis masukan (misalnya, untuk membangun bendungan, menanam pohon), pengukuran berbasis kinerja (misalnya: mengurangi terjadinya kebakaran), dan pada akhirnya pengukuran berbasis hasil (terkait langsung dengan emisi gas rumah kaca atau pengganti emisi). Hal ini secara khusus penting karena sebagian besar kekuasaan pengambilan keputusan untuk alokasi lahan saat ini berada di tingkat kabupaten/ kota dan di dalam masyarakat setempat. Masyarakat setempat, desa dan kabupaten/ kota perlu untuk menerima kompensasi yang sesuai agar bersedia untuk berperan serta dalam pendekatan tingkat provinsi (yang penting untuk menghindari masalah kebocoran dan memberikan pendekatan yang lebih sesuai program untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon). Amazon Fund sebagai contoh melibatkan perwakilan dari berbagai tingkat pemerintah dalam proses pengambilan keputusannya. Meletakkan pondasi untuk sumber penghidupan yang berkelanjutan: Penting agar pembiayaan untuk penurunan emisi tidak menjadi bentuk kesejahteraan, tetapi menciptakan pondasi untuk mendukung pembangunan rendah karbon. Sebagai contoh, Juma Sustainable Reserve mengalokasikan sebagian dana untuk menyokong kegiatan-kegiatan yang membawa penghasilan berdasarkan penggunaan lahan dan sumber daya yang berkelanjutan (Kotak 2). Menciptakan struktur insentif yang benar dan kerangka kerja untuk melibatkan sektor swasta: Para pengembang proyek swasta penting untuk mendukung upaya-upaya ini karena akses mereka kepada modal dan keterampilan dasar mereka yang diperlukan untuk pemantauan dan manajemen proyek rinci. Bank Dunia mengadakan lokakarya pada bulan November 2008 dengan para pengembang proyek REDD memberikan masukan tentang cara untuk mendukung kegiatan-kegiatan REDD di Indonesia. Beberapa rekomendasi mencakup penjelasan dari Pemerintah Nasional tentang letak kekuasaan untuk keputusan tentang pelaksanaan REDD, membantu untuk ‘mempercepat’ proses persetujuan untuk proyekproyek REDD, dan memberikan kejelasan apakah kredit karbon deforestasi hutan (penurunan emisi yang telah diverifikasi, atau VERs) memerlukan persetujuan Pemerintah Nasional sebelum dijual.20 Saat ini, keputusan penggunaan lahan dibagi antara Departemen Kehutanan, pemerintah daerah dan kelompok masyarakat. Pemerintah provinsi dapat membantu memfasilitasi proses yang lebih terpadu dan memastikan seluruh permasalahan operator sektor swasta diselesaikan. Apabila model pembagian penghasilan telah ditetapkan, diperlukan metode alokasi dana ke berbagai penerima yang sesuai dengan standar dasar efisiensi, pengawasan fidusia, dan transparansi. Mengakui sangat pentingnya mempertahankan integritas operasi mereka, BRR Aceh menggunakan kombinasi audit internal (dilaksanakan oleh tim audit internal BRR serta Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), inisiatif - inisiatif anti korupsi (dilaksanakan oleh Unit Anti Korupsi BRR), audit eksternal (dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan), membuka alur finansial kepada publik (BRR secara rutin membuka neraca keuangan Badan tersebut kepada publik sebagai contoh) serta meminta semua pegawai menandatangani “Pakta Integritas”yang memasukkan melarang pegawai menerima kompensasi apa pun di luar gaji pasar mereka yang telah disepakati.21

19 “The costs of REDD: lessons from Amazonas”, makalah briefing iied, November 2009. 20 “Report on Implementation of a Learning Workshop: Developing a Market for REDD in Indonesia,” Bank Dunia, Januari 2009. 21 “Finance – Seven Keys to Effective Aid Management”, BRR NAD-NIAS, April 2009.

Jambi report_BAH_010910.indd 34

9/2/2010 11:43:50 AM


35

Untuk dana-dana yang diperuntukkan bagi masyarakat dan individu lokal, terdapat program distribusi finansial yang sukses, seperti program PNPM Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), yang dapat diperbesar dan disempurnakan untuk mendistribusikan danadana ini (Kotak 7). Dana-dana pada awalnya dapat dialokasikan di tingkat masyarakat tetapi secara bertahap berevolusi dan dialokasikan untuk individu, serupa dengan Juma Sustainable Development Reserve di Brazil.

Amazon Fund di Brazil

Kotak 6

Amazon Fund, dibentuk pada bulan Agustus 2008 oleh Pemerintah Brazil, bertujuan untuk memobilisasi pendanaan internasional untuk memberantas deforestasi hutan dan mendukung konservasi dan pengelolaan hutan secara lestari. Amazon Fund beroperasi atas dasar donasi, mengumpulkan uang atas dasar deforestasi hutan yang berhasil dihindari tahun lalu. Kinerja ini dinilai terhadap tingkat deforestasi hutan rata-rata yang berubah-ubah, disesuaikan setiap lima tahun. Komite Teknis dengan enam ilmuwan terkemuka menjamin penurunan emisi yang dinyatakan. Dikelola oleh BNDES, Bank Pembangunan Nasional Ekonomi dan Sosial, bantuan dana untuk proyek-proyek yang membantu mencegah deforestasi hutan, serta membantu konservasi dan penggunaan bioma Amazon secara lestari. Alokasi pendanaan ditetapkan oleh komite yang terdiri atas beberapa pemangku kepentingan yang diatur dalam sistem tiga kamar dengan representativerepresentatif pemerintah daerah, kementrian-kementrian nasional, dan masyarakat sipil (termasuk masyarakat pribumi, masyarakat adapt, LSM, industri dan ilmuwan). Keputusan diambil dengan suara positif dari ketiga kamar.

PNPM Indonesia

Kotak 7

Mengikuti gerakan untuk mendesentralisasi pemerintahan ke tingkat kabupaten/kota, program PNPM dikembangkan dengan tujuan mengurangi kemisinan sementara memperbaiki pemerintahan tingkat lokal dengan menggunakan proses perencanaan partisipatif. Awalnya dikembangkan oleh Bank Dunia, dan saat ini dijalankan oleh badan perencanaan pembangunan nasional (Bappenas), program PNPM mendukung proses pengambilan keputusan masyarakat perencanaan terbuka dengan memberikan bantuan kepada masyarakat lokal, yang kemudian memilih program-program yang akan didanai untuk mengurangi kemiskinan. PNPM baru-baru ini diperluas agar mencakup pemberian dana untuk kegiatan-kegiatan sensitif lingkungan (misalnya, reboisasi). Program tersebut saat ini beroperasi di hampir 3.000 dari 4.700 kecamatan di Indonesia, telah mengalokasikan atau mencairkan lebih dari USD 200 juta dalam bentuk bantuan, dan secara luas dianggap sebagai model praktik terbaik dalam memperkuat pemerintahan tingkat masyarakat.

Prinsip-prinsip pedoman untuk menarik, mengelola dan mendistribusikan finansial: 1. Menjamin bahwa para individu dan masyarakat lokal menerima insentif melalui pembayaran untuk skema kinerja; 2. Meletakkan pondasi untuk sumber penghidupan yang berkelanjutan (tidak semata-mata menyediakan manfaat kesejahteraan jangka pendek); 3. Menjamin transparansi dan integritas untuk menjamin kembali donor, sektor swasta dan masyarakat (misalnya: audit independen, pakta integritas pegawai, kompensasi berbasis pasar, akuntansi publik/sistem inventarisasi). 4. Mengembangkan pendekatan kolaboratif terhadap pengambilan keputusan termasuk para pemangku kepentingan nasional, provinsi, kabupaten/kota dan masyarakat (misalnya: representatif-representatif dari masing-masing kelompok dalam komite pengendali)

Jambi report_BAH_010910.indd 35

9/2/2010 11:43:50 AM


36

5. Menetapkan aturan dasar dan insentif yang jelas untuk keterlibatan sektor swasta

ii. Pemantauan dan evaluasi Unit pemantauan dan evaluasi diperlukan untuk mengembangkan sistem-sistem MRV dasar, yang mencakup menyempurnakan estimasi awal skenario emisi provinsi tanpa tindakan pengurangan, menetapkan angka-angka dasar (seperti angka penurunan deforestasi hutan) untuk menilai upaya-upaya penurunan, dan mengembangkan sistem-sistem untuk memantau dampak. Amazon Fund di Brazil sebagai contoh, mengumpulkan uang atas dasar penurunan angka deforestasi hutan yang dicapai di tahun sebelumnya. Kinerja ini dinilai terhadap tingkat deforestasi hutan rata-rata yang berubah-ubah dan dinyatakan oleh Komite Teknis yang terdiri atas para ilmuwan terkemuka (Kotak 6).22 Untuk menurunkan biaya transaksi dan meningkatkan kemungkinan proyek-proyek karbon menarik pembayaran pasar karbon internasional untuk penurunan dan penghapusan emisi yang telah teruji, penting agar pemerintah menggunakan metodologi yang telah teruji secara independen dan menetapkan pendekatan tingkat provinsi. Prinsip-prinsip pedoman untuk pemantauan dan evaluasi: 1. Biaya transaksi proyek-proyek karbon yang lebih rendah dengan menetapkan serangkaian metodologi proyek penurunan emisi tingkat provinsi. 2. Secara bertahap mengembangkan pendekatan-pendekatan pengukuran yang sesuai dengan kemampuan (misalnya: mulai dengan angka-angka dasar untuk menilai upaya-upaya penurunan)

iii. Kebijakan dan perencanaan tata ruang Isu-isu pengaturan yang terpenting adalah menyelesaikan perselisihan terkait kepemilikan lahan dan hak atas tanah dan mengoptimalkan alokasi penggunaan lahan melalui perencanaan ruang. Berdasarkan data historis peningkatan tahunan, di tahun 2030, akan terdapat 1.2 juta hektar ditujukan khusus untuk produksi kelapa sawit di Jambi. Namun terdapat lebih kurang 1.8 juta hektar yang mungkin tersedia dan cocok dengan lahan non-hutan (setelah membiarkan perkebunan untuk berkembang) yang dapat mengakomodasi pertumbuhan ini. Alasan utama lahan-lahan ini tidak digunakan untuk penanaman saat ini adalah isu-isu kepemilihan lahan dan sosial yang tidak pasti di wilayah-wilayah ini. Mengutip pernyataan seorang eksekutif kelapa sawit, berusaha menanami lahan-lahan ini menjadi “mimpi buruk hukum� oleh karena ketidakpastian terkait dengan kepemilikan lahan. Karena isu-isu kepemilikan lahan yang bersifat lintas yurisdiksi dan perencanaan tata ruang, kolaborasi antara pemerintah nasional dan kabupaten/kota menjadi penting. Di samping itu, setiap kolaborasi perlu didukung oleh analisis teknis rinci, yang dapat memberikan penilaian akurat alokasi lahan saat ini dan menilai potensi manfaat ekonomi menggunakan jenis-jenis lahan untuk berbagai kegiatan untuk menginformasikan perencanaan tata ruang. Informasi ini kemudian perlu dikonsolidasi menjadi satu sistem pemberian hak atas tanah untuk mendaftar akta dan wilayah peta. Meskipun teknologi merupakan hal penting untuk proses ini, pengalaman di berbagai negara menegaskan bahwa pemberian hak atas tanah dan perencanaan tata ruang campuran yang rumit, permasalahan historis, sosial, ekonomi, juga politik, dengan demikian penting untuk membangun dukungan masyarakat yang erat untuk mendukung inisiatif inisiatif ini. Inisiatif - inisiatif ini perlu dihubungkan dengan pendekatan pelibatan masyarakat yang

22 “Radical simplicity in designing national climate institutions: Lessons from the Amazon Fundâ€?, Desember 2009 (Simon Zadek, Maya Forstater, Fernanda Polacow dan JoĂŁo Boffino).

Jambi report_BAH_010910.indd 36

9/2/2010 11:43:50 AM


37

menjalankan pemetaan lahan berbasis masyarakat dan penyelesaian lahan, mengembangkan kapasitas kelembagaan di tingkat lokal, menjammin proses dilakukan secara adil dan transparan, dan secara jelas menyampaikan manfaat-manfaatnya ke masyarakat lokal. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) juga perlu diperkuat dan diperluas, sehingga tidak menjadi “stempel karet” melainkan memberikan pertimbangan yang cermat atas masalahmasalah lingkungan hidup sebelum ijin-ijin dikeluarkan, dan diperluas agar mencakup fokus khusus pada emisi karbon dan lahan gambut. Prinsip-prinsip pedoman untuk kebijakan dan perencanaan tata ruang: Menjamin koordinasi berbagai pemangku kepentingan (khususnya masyarakat lokal) dalam mengembangkan pendekatan untuk perencanaan tata ruang dan pemberian hak atas tanah; Memasukkan teknologi agar dapat menilai dengan tepat biaya dan manfaat ekonomi dari keputusan-keputusan alokasi lahan; Menjamin kemudahan akses terhadap informasi pemberian hak atas tanah (misalnya: daftar tanah tunggal yang tersedia untuk publik); dan Menyempurnakan dan memperluas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk memberikan analisis terhadap masalah-masalah lingkungan hidup yang lebih cermat dan memasukkan fokus khusus pada emisi karbon dan lahan gambut.

iv. Pelibatan Masyarakat Kelompok kerja ini akan bertanggung jawab untuk mengembangkan proses-proses untuk melibatkan masyarakat lokal, termasuk membentuk dewan –dewan masyarakat lokal untuk memberikan masukan strategi dan memastikan ijin yang bebas biaya dan diinformasikan. Pelibatan masyarakat perlu didukung oleh rencana yang jelas untuk mendorong perubahan perilaku menuju praktik-praktik yang berkelanjutan. Contoh program yang mempengaruhi pelibatan masyarakat dan program pembangunan yang ada untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan adalah PNPM yang diselenggarakan oleh BAPPENAS. Saat ini, melalui bantuan teknis dari Bank Dunia, PNPM telah menciptakan serangkaian dana terpisah yang ditujukan untuk mengokong skema-skema pengelolaan sumber daya alam dan energi yang dapat diperbarui. Program berjudul PNPM Hijau baru-baru ini telah dilaksanakan di Sulawesi dengan rencana-rencana perluasan ke semua Kecamatan tempat PNPM saat ini dilaksanakan. Komponen pendanaan PNPM Hijau yang besar saat ini dikerahkan untuk mendukung pemasangan listrik desa melalui pengembangan pembangkit-pembangkit tenaga listrik mikrohidro. Prinsip-prinsip pedoman untuk pelibatan masyarakat: 1. Menjamin ijin free and prior informed consent (FPIC)/persetujuan dengan pemberitahuan awad dan bebas dari masyarakat lokal yang berperan serta dalam proyek-proyek penurunan emisi karbon; dan 2. Memperkuat lembaga-lembaga desa untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk terlibat dan mengambil manfaat dari proyek-proyek penurunan emisi karbon (misalnya: para fasilitator masyarakat untuk mendukung pengembangan kapasitas lokal)

v. Prasarana Dua jenis pembangunan prasarana penting untuk mendukung pengurangan karbon dan pengembangan sumber penghidupan yang berkelanjutan. Pertama, prasarana teknologi dan

Jambi report_BAH_010910.indd 37

9/2/2010 11:43:50 AM


38

sistem (misalnya: akses yang lebih baik kepada sistem informasi pasar dalam sektor pertanian, pendidikan, kesehatan dan pengawasan kebakaran) yang perlu dikembangkan. Kedua, prasarana keras seperti listrik dan jalan yang perlu ditambah. Terdapat beberapa tantangan khusus yang harus diatasi: Pendidikan: Tingkat pendidikan yang semakin baik penting agar dapat dilakukan transformasi ke jalur pertumbuhan rendah karbon. Terdapat beberapa pelajaran yang menarik dari negaranegara dan provinsi-provinsi lain yang dapat diterapkan di Jambi untuk menjawab ini. Program Transfer Tunai berkondisi Brazil/Brazilian Conditional Cash Transfer Program (Bolsa Familia) juga telah terbukti berhasil mengurangi kemiskinan dengan memperkenalkan kondisi-kondisi terkait dengan pembayaran bantuan (misalnya: mewajibkan 85 persen kehadiran di sekolah untuk anak-anak usia sampai dengan 15 tahun). Menghubungkan pembayaran masyarakat lokal dengan sasaran-sasaran pembangunan seperti pendidikan dan kesehatan dapat juga membantu mendukung perubahan perilaku. Perawatan Kesehatan: Akses terhadap perawatan kesehatan sulit di banyak bagian provinsi. Sekitar setengah dari penduduk Jambi saat ini tidak memiliki akses pelayanan perawatan kesehatan.23 Klinik-klinik kesehatan keliling, yang telah terbukti efektif dalam memberikan akses kepada perawatan kesehatan di daerah-daerah yang lebih terpencil di negara-negara lain, dapat digunakan di Jambi. Peningkatan cakupan perawatan kesehatan di Brazil sampai kurang lebih 66 juta penduduk (sekitar 40 persen dari penduduknya tahun 2004) dengan pada awalnya mengerahkan unit-unit keliling sebagai bagian dari program kesehatan keluarganya. Listrik: Kurangnya akses terhadap suplai listrik yang dapat diandalkan adalah satu dari masalah-masalah penting yang diangkat oleh sektor swasta dan rumah tangga di Jambi. Ke depannya, di samping menggunakan pendekatan yang lebih rumit terhadap kebocoran muatan, penting untuk melibatkan PLN dan penyedia listrik sektor swasta dalam dialog untuk memastikan bahwa pengembangan suplai listrik terhubung erat dengan lintasan pembangunan provinsi. Prasarana transportasi: Prasarana transportasi juga merupakan masalah, terutama jalan, di mana Jambi memiliki relatif kepadatan jalan yang rendah terkait dengan geografinya (ke-9 terendah dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia). Karena investasi yang besar yang diperlukan untuk meningkatkan prasarana provinsi, maka penting untuk memprioritaskan investasi-investasi masa mendatang. Negara-negara seperti Australia dan Singapura telah membentuk badan-badan gabungan publik-swasta untuk mengembangkan rencana-rencana prasarana jangka panjang terpadu untuk yang memprioritaskan investasiinvestasi dan memberikan pengawasan efektif terhadap pelaksanaan. Badan tersebut mungkin berguna di Jambi untuk memprioritaskan investasi-investasi prasarana menurut kebutuhan sektor swasta dan lokal. Salah satu upaya rekonstruksi Aceh sebagai contoh, para penduduk desa bersama-sama memprioritaskan bagaimana menghabiskan bantuan yang datang, dan dengan bantuan fasilitator desa, bertanggung jawab terhada dana bantuan tersebut dan mengawasi penggunaannya.24 Prasarana juga harus dikembangkan sesuai dengan rencana-rencana tata ruang yang telah direvisi untuk memastikan diringankannya dampak-dampak lingkungan. Penting pula untuk membatasi korupsi yang lazimnya terkait dengan proyek-proyek prasarana berskala besar. Selama upaya rekonstruksi pasca tsunami berskala besar di Aceh sebagai contoh, BRR memperkenalkan serangkaian langkah untuk menjamin integritas proses, termasuk mengisolasi komite pengadaan dari kontak apa pun dengan peserta tender, serta pengawasan ketat yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan.25 23 Biro Pusat Statistik Indonesia 24 “10 Pembelajaran Manajemen bagi Pemerintah Tuan Rumah Mengkoordinasi Rekonstruksi Pasca Bencana”, BRR NAD-Nias, 2009. 25 “Infrastructure – Stimulating the Triggering Sector”, BRR NAD-NIAS, April 2009.

Jambi report_BAH_010910.indd 38

9/2/2010 11:43:50 AM


39

Prinsip-prinsip pedoman untuk prasarana: 1. Melibatkan sektor swasta dan masyarakat lokal untuk memprioritaskan investasi-investasi prasarana; 2. Menjamin bahwa jejak lingkungan (termasuk emisi karbon) dari pembangunan prasarana baru terbatas; 3. Mempertahankan transparansi dan integritas dalam pengadaan prasarana melalui audit internal dan eksternal, dan memperkenalkan mekanisme-mekanisme untuk menjamin integritas para pejabat pengadaan; dan 4. Memasukkan rencana-rencana untuk memperbaiki layanan sosial penting (misalnya: perawatan kesehatan) yang mendukung pembangunan ekonomi

vi. Mendukung sumber penghidupan yang berkelanjutan Untuk mengalihkan Jambi ke jalur pembangunan rendah karbon, penting agar peluang-peluang pertumbuhan prioritas yang diidentifikasi lebih awal (dalam Bagian 3) direalisasikan. Dalam koordinasi dengan BKPM, kelompok-kelompok kerja tingkat sektor publik-swasta akan perlu dibentuk untuk mengembangkan rencana-rencana aksi rinci untuk meningkatkan pertumbuhan dan menarik investasi di setiap sektor. Sumber daya-sumber daya BKPM juga akan perlu ditingkatkan dan diselaraskan lebih dekat dengan prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi. Prinsip-prinsip pedoman untuk sumber penghidupan yang berkelanjutan: 1. Melibatkan sektor swasta dalam proses untuk mengembangkan dan melaksanakan strategistrategi untuk mencapai prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi; dan 2. Memperkuat fungsi-fungsi peningkatan investasi penting, khususnya penyusunan petunjuk proaktif, layanan dan purna layanan investor, dan memastikan fungsi-fungsi tersebut selaras dengan prioritas-prioritas pertumbuhan yang telah diidentifikasi.

6. Pendanaan yang diperlukan dan sumbersumber potensial Jambi akan memerlukan bantuan finansial dalam jumlah besar besar, dalam waktu dekat untuk menyukseskan rencana-rencananya untuk menciptakan kesejahteraan rendah karbon. Pada tahun pertama, antara 19 juta sampai dengan USD 39 juta akan diperlukan untuk menetapkan fungsi-fungsi kesiapan dasar untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Dari tahun 2011-2030, biaya yang mengalir untuk mendukung pelaksanaan pengurangan karbon dan peluang-peluang sumber penghidupan yang berkelanjutan akan meningkat secara bertahap dan mencapai antara USD 373 juta sampai dengan USD 676 juta pada tahun 2030, dengan mengasumsikan tercapainya pengurangan potensial penuh 55 Mt CO2e. Meskipun keseluruhan pendanaan yang diperlukan berjumlah besar, biaya per tCO2e yang dikurangi relatif rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2030, biaya pengurangan penuh per tCO2e yang dikurangi (termasuk biaya pelaksanaan) berkisar antara USD 6,8 sampai dengan USD 12,3 . Kurva Biaya Global McKinsey mengestimasikan biaya teknis saja (yaitu, di luar biaya pelaksanaan) mencapai sekitar USD 3,75 per tCO2e yang terkurang. Estimasi awal menunjukkan bahwa tanpa dukungan finansial atau sumber-sumber tambahan pertumbuhan ekonomi, langkah-langkah pengurangan karbon ini dapat mengurangi penghasilan

Jambi report_BAH_010910.indd 39

9/2/2010 11:43:50 AM


40

Total perkiraan kesiapan dasar dan biaya pelaksanaan tahunan

Gambar 10

APPROXIMATION

USD juta per tahun (2010-2030)

Estimasi agresif Estimasi konservatif Tahun 1 (2010): Kesiapan dasar 111

2011-2030: Biaya pelaksanaan tahunan 150

112 545

39

63 82

19 9

19 Kesiapan institusi

• MembenContoh inisiatif

tuk unit kerja

• Mengisi posisiposisi penting

676

86

Enabler penting

• MRV baseline • Menentukan

model pembagian hasil (revenue sharing)

Total biaya Pemerintah

Kesiapan institusi

• Melatih

pejabat pemerintah

• Mekanisme

penyampaian finansial

373

277

Enabler penting

Biaya Total biaya spesifik Pemerintah pengurangan

• Kesadaran • Pemadam masyarakat

• Layanan

tambahan

kebakaran

• Kompensasi untuk merelokasi

• Usia lahan pemilik lahan • Perencanaan ke lahan kritis tata ruamg

SUMBER: Analisis tim

riil per kapita pada tahun 2030 sampai dengan lebih dari 3 persen di Jambi oleh karena kelambanan sektor-sektor yang menghasilkan karbon dan biaya-biaya pelaksanaan.26 Namun demikian, dengan dukungan finansial yang diperlukan dan dengan asumsi berhasil diambilnya peluang pertumbuhan sektor baru, penghasilan rata-rata (riil per kapita pada tahun 2030 di Jambi sebenarnya dapat ditingkatkan sampai sekitar 5 sampai 13 persen di atas kasus dasar (Gambar 11).27

7. Pendekatan pelaksanaan Dengan transformasi signifikan yang diperlukan untuk mencapai pertumbuhan rendah karbon, diusulkan pendekatan bertahap (Gambar 12). Fase 1 – Menetapkan strategi pertumbuhan rendah karbon (Sep–Des 2009): Mengembangkan strategi pertumbuhan rendah karbon (sebagaimana diringkas dalam laporan ini) yang mengidentifikasi peluang besar untuk pengurangan dan pertumbuhan sektor baru, tindakan-tindakan penting yang diperlukan agar berhasil, dan estimasi biaya terkait. Fase 2 – Mengembangkan struktur-struktur kesiapan dasar (Mar–Des 2010): Mengembangkan arsitektur dasar yang diperlukan untuk menarik pembiayaan internasional dan mendukung pertumbuhan rendah karbon. Fase ini memiliki dua sub-fase:

26 Biaya pelaksanaan hanya mencakup biaya khusus untuk peluang pengurangan dan tidak mencakup biaya pendukung-pendukung penting. 27 Lampiran 6 memberikan tinjauan atas metodologi yang digunakan untuk memperkirakan dampak ekonomi strategi pertumbuhan rendah karbon.

Jambi report_BAH_010910.indd 40

9/2/2010 11:43:51 AM


41

Dengan dukungan finansial yang dibutuhkan, rata-rata pendapatan akan lebih tinggi 5-13 persen dibandingkan base case

Gambar 11

APPROXIMATION

GDP aktual per kapita Rupiah 000s1, konstan 2000 +5-13%

600-1,500

300

300

6,400 11,400

12,000-12,900

11,100

5,000 2006

Pendapatan 2030 tambahan baseline case pada tren historis

Biaya spesifik pengurangan 2

2030 case tanpa dukungan finansial

1 Dibulatkan ke paling mendekati 100,000 rupiah 2 Tidak termasuk biaya enabler kritikal dan termasuk kisaran tinggi biaya spesifik pengurangan 3 Kisaran untuk GDP aktual per kapita 2030 termasuk skenario konservatif dan agresif SUMBER: Badan Pusat Statistik Indonesia; Analisis tim

Pendapatan tambahan dengan dukungan finansial dan pertumbuhan sektor baru

Implementasi akan mengikuti pendekatan bertahap

Strategi pertumbuhan rendah karbon Tahap 1: Sep–Des 2009 Menyusun strategi pertumbuhan karbon rendah yang mengidentifikasi: • Peluang pengurangan besar di Jambi • Peluang untuk meningkatkan penghidupan berkelanjutan • Enabler kritikal (langkah-langkah penting)

Jambi report_BAH_010910.indd 41

Dana kesiapan

Implementasi kesiapan dasar Tahap 2: Mar–Des 2010

Dana kesiapan tambahan

Pembiayaan interim

Tahap 2a (Jan–Jun 2010) • Menetapkan kekuatan hukum untuk unit kerja baru • Memfinalisasikan desain organisasi • Mengisi posisi-posisi pimpinan kunci • Menyusun rencana implementasi dan KPI yang rinci

2030 case dengan dukungan finansial dan peluang pertumbuhan baru3

Gambar 12 Tahap saat ini

Pilot pertumbuhan rendah karbon Tahap 3: Jan–Des 2011 Melaksanakan program pilot segera setelah program kesiapan selesai Melanjutkan pelaksanaan inisiatif-inisiatif pengurangan yang “mudah dicapai”

Tahap 2b (Jul–Des 2010) • Mengembangkan sistem MRV dasar, termasuk baseline propinsi • Mengembangkan mekanisme distribusi finansial • Memfinalisasikan mekanisme keterlibatan masyarakat • Melaksanakan inisiatif-inisiatif pengurangan yang “telah siap/tersedia”

9/2/2010 11:43:51 AM


42

Fase 2a (Mar–Jun 2010): Menyelesaikan rancangan organisasi unit kerja rendah karbon (termasuk menjalani proses pelaporan dan pengambilan keputusan), mengisi posisiposisi kepemimpinan yang masih kosong, mengidentifikasi dan memperoleh pendanaan untuk kesiapan dan menetapkan rencana pelaksanaan rinci dan indikator-indikator kinerja kunci untuk pembangunan strategi pertumbuhan rendah karbon, termasuk pilihan proyek percontohan Fase 3. Fase 2b (Jul–Des 2010): Secara sah membentuk unit kerja perubahan iklim yang baru, memfinalisasi rancangan organisasinya (termasuk menjalani proses pelaporan dan pengambilan keputusan), jmengisi posisi-posisi kepemimpinan utama, mengidentifikasi dan memperoleh pendanaan kesiapan, menetapkan rencana pelaksanaan rinci dan indikatorindikator kinerja kunci untuk pembangunan strategi pertumbuhan rendah karbon, termasuk pilihan proyek percontohan Fase 3. Fase 3 – Inisiatif-inisiatif pertumbuhan rendah karbon (Jan 2011–Des 2011): Meluncurkan program percontohan awal untuk mendukung pendekatan terhadap pertumbuhan rendah karbon yang meletakkan fokus pada peluang-peluang prioritas untuk pengurangan dan sektor-sektor pertumbuhan baru. Dengan tujuan yang secara ekstensif saling melengkapi dan analisis rinci yang telah diselesaikan, Proyek Eks-Mega Rice (Ex-Mega Rice Project – EMRP) memiliki potensi menjadi pilihan logis untuk percontohan (Kotak 10). Proyek ini memiliki keuntungan tambahan bahwa Presiden telah memberikan Gubernur kekuasaan legislatif atas wilayah ini (yang lazimnya merupakan bidang baik pemerintah kabupaten/kota maupun nasional). Setelah program percontohan dan tinjauannya selesai, diharapkan akan terdapat peluncuran program percontohan lainnya hingga tahun 2012, dan pada akhirnya dilakukan di seluruh provinsi hingga tahun 2013.

Jambi report_BAH_010910.indd 42

9/2/2010 11:43:51 AM


43

Jambi report_BAH_010910.indd 43

9/2/2010 11:43:51 AM


44

Jambi report_BAH_010910.indd 44

9/2/2010 11:43:52 AM


45

Lampiran-lampiran A1.Estimasi emisi gas rumah kaca Perkiraan emisi GRK tahunan Indonesia dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, bergantung pada beberapa sektor yang termasuk atau tidak termasuk (contoh: emisi dari lahan gambut), metodologi yang diterapkan (contoh: emisi netto vs emisi bruto dari deforestasi hutan) dan tahun yang dipilih sebagai acuan. Mengingat bobot kebakaran lahan gambut dalam emisi Jambi, sebagai contoh, total emisi dapat bervariasi setiap tahunnya berdasarkan frekuensi terjadinya kebakaran. Suatu metodologi yang secara konsisten digunakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dalam laporan internal 2009 mengenai emisi Indonesia telah digunakan untuk memperkirakan tingkat emisi provinsi. Sesuai dengan laporan sementara tahun 2009 oleh DNPI, metodologi yang digunakan untuk mengestimasi emisi tingkat provinsi di Jambi selaras dengan Panel Antar Pemerintah tentang Perubahan Iklim/Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC).

Metodologi IPCC Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dibentuk oleh Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Environment Program – UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO), adalah badan penasihat ilmiah PBB yang menerbitkan laporan-laporan tentang pengetahuan dan ekonomi perubahan iklim untuk memberikan dasar fakta yang rinci kepada para pembuat kebijakan dan para juru runding. Salah satu kegiatannya adalah untuk mendukung Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) melalui upayanya mengembangkan metodologi-metodologi untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (National Greenhouse Gas Inventories), yang diterbitkannya dalam bentuk pedoman rinci. DNPI mengandalkan pedoman pelaporan emisi nasional IPCC dan panduan praktik yang baik untuk menghitung profil emisi Indonesia. Pedoman IPCC memberikan tiga tingkat metodologi, yang berbeda dalam hal kompleksitas, untuk dipilih berdasarkan kondisi nasional (Annex 1 vs nonAnnex 1) dan ketersediaan data. Tingkatan 1 adalah pendekatan urutan pertama yang sederhana, dengan emisi dihitung berdasarkan parameter-parameter standar IPCC. Analisis DNPI selaras dengan penilaian tingkatan 1 setidaknya untuk semua sektor yang dikaji. Tingkatan 2 adalah pendekatan yang lebih akrat yang memberikan parameter-parameter khusus tingkat sektor dan nasional yang lebih rinci untuk menghitung emisi. DNPI telah mengembangkan penilaian-penilaian Tingkatan 2 di mana pun tersedia data emisi tingkat sektor nasional baik melalui lokakarya para pemangku kepentingan maupun wawancara ahli. Saat ini, kurangnya data rinci menghalangi DNPI untuk menggunakan metodologi Tingkatan 3, metode urutan tertinggi yang mencakup sistem-sistem peraga dan/atau pengukuran inventarisasi rinci dengan data tersedia pada resolusi yang lebih tinggi. DNPI telah membagi metodologinya untuk semua sektor dengan para peninjau UNFCCC, walaupun UNFCCC tidak menyetujui atau mengesahkan inventarisasi emisi nasional kecuali diserahkan secara formal sebagai bagian dari kerangka kerja komunikasi nasional.

Jambi report_BAH_010910.indd 45

9/2/2010 11:43:53 AM


46

Komponen-komponen utama pendekatan ini terdiri atas: 1. Keberadaan emisi di tujuh sektor. Emisi diperkirakan terjadi di tujuh sektor berbeda termasuk: LULUCF, pertanian, listrik, transportasi, bangunan, semen dan lahan gambut 2. Penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan secara meluas terkait dengan emisi. Emisi diperkirakan terjadi dari LULUCF dan lahan gambut termasuk deforestasi dan perusakan hutan, kebakaran lahan gambut dan dekomposisi gambut. Meski terdapat ketidakpastian ilmiah mengenai dekomposisi gambut, saat ini telah ada suatu konsensus dalam literatur yang lebih ilmiah, bahwa dekomposisi merupakan faktor penting dan termasuk sumber emisi yang besar. 3. Penggunaan emisi net untuk LULUCF. Emisi yang diperkirakan dari LULUCF dilaporkan sebagai emisi netto, yaitu kehilangan karbon diukur langsung dari proses deforestasi hutan, perusakan hutan dan kebakaran hutan, serta disesuaikan untuk pertumbuhan kembali hutan alam sekunder, mengelola hutan setelah masa panen dan upaya aforestasi dan reboisasi. 4. Rata-rata pendekatan tahunan terhadap emisi lahan gambut. Kebakaran gambut merupakan sumber terbesar emisi, namun tingkatnya beragam tergantung curah hujan tahunan di berbagai belahan Indonesia. Pendekatan serupa yang digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dalam Komunikasi Nasional Kedua (2009), menggambarkan perkiraan emisi kebakaran gambut yang dipublikasikan oleh Van Der Werf et.al. (2008). Namun demikian, oleh karena laporan ini menggunakan rata-rata tahun 2000 hingga 2006, maka perkiraan tersebut agak beragam bila dibandingkan dengan tahun-tahun tertentu selama periode tersebut (Kementerian Lingkungan Hidup hanya menggunakan tahun 2000 dalam perkiraan ini). Sebagian besar emisi di Jambi berasal dari LULUCF dan gambut. Rincian proyeksi emisi di tiap kategori, berikut asumsi yang ada ditampilkan pada Gambar A1-4.

Gambar A1

Gambut: Emisi dari gambut secara Business-As-Usual (BAU) diperkirakan akan meningkat dari 185 menjadi 230 Mt CO2e pada tahun 2030 Emisi CO2e dihasilkan gambut di Kalimantan Tengah Mt CO2e 45

38

40 35 25 20

24

41

26

21

15 10 5 0

12

15

15

2005

2020

2030

Dekomposisi gambut

• Akibat bertambahnya

33

30

Kebakaran

•

wilayah lahan rusak, diperkirakan emisi dari kebakaran akan meningkat dari 118 Mt CO2e pada tahun 2005 menjadi 143 Mt CO2e pada tahun 2030 Emisi dari dekomposisi gambut sebagai akibat dari kekeringan diperkirakan meningkat menjadi 87 Mt CO2e oleh karena semakin banyak lahan gambut yang dikonversikan menjadi lahan pertanian, ladang dan pengembangan ladang kayu

1 Termasuk emisi dari kebakaran yang terjadi di tanah mengandung minerall bagian dari kebakaran gambut sekitar 85% SUMBER: IFCA; Kementerian Kehutanan Indonesia; Hooijer et al 2006- PEAT CO2e; Alterra; Wetlands International; Expert interviews; Couwenberg et al 2009; Van der Werf et al 2008; Analisis tim

Jambi report_BAH_010910.indd 46

9/2/2010 11:43:53 AM


47

Gambar A2

Gambut BAU: asumsi Metodologi Kebakaran

Asumsi

Sumber

• Emisi dari kebakaran gambut • Wilayah degradasi dan

• • • • •

• Pembagian total wilayah

• Hooijer dkk .2006 • Wösten, Alterra 2005 • Couwenberg dkk 2009

berdasarkan riset oleh Van beresiko tinggi meningkat der Werf dkk (2008) sementara wilayah konversi • Rata-rata nilai tahun 2000 lahan gambut tetap konstan hingga 2006 bukan dari emisi • Wilayah terbakar yang tetap per hotspot di tanah mineral tahunan akibat tingginya • Emisi tetap per ha per iklim yang mendorong hotspot tanah mineral keragaman tiap tahunnya • Peran emisi Jambi diperhitungkan berdasarkan persentase bagiannya untuk lahan gambut rusak di Indonesia • Emisi dari kebakaran pada lahan mineral diperkirakan berasal dari perhitungan hotspot

Dekomposisi

gambut menjadi 5 tipa lahan berbeda; dikalikan dengan emisi dari dekomposisi yang terkait dengan rata-rata permukaan air bawah tanah

• Hubungan linear antara

permukaan air tanah dan emisi

Van der Werft dkk. 2008 Min of Forestry 2008 Hooijer dkk. 2006 CIFOR 2002 WRI 2008

Kehutanan: Seiring dengan peningkatan absorpsi pada hutan “buatan”, emisi dari LULUCF menurun hingga 94 MtCO2e Reboisasi Degradasi

Emisi CO2e dari hutan kering di Indonesia Mt CO2e 25

Absorpsi

• Emisi melalui reboisasi dan

15

14

12

18

18

18

4

4

4

-7

-7

-9

20 15 10 5 0 -5 -10

• 2005

2020

Gambar A3

2030

degradasi hutan produksi diperkirakan tetap konstan Reboisasi hutan dewasa menjadi tumbuhan kayu dan perkebunan menghasilkan 18 Mt CO2e per tahun Degradasi hutan kayu, yang mengakibatkan degradasi hutan produksi, menghasilkan emisi 4 Mt CO2e per tahun Potensi absorpsi berfluktuasi seiring waktu dimana sebagian besar karbon yang terpisah (sekuestrasi) dilepaskan di akhir siklus rotasi Seiring berlanjutnya reboisasi, absorpsi hutan alami akan menurun seiring waktu

SUMBER: IFCA; Kem. Kehutanan Indonesia; Analisis tim

Jambi report_BAH_010910.indd 47

9/2/2010 11:43:53 AM


48

Gambar A4

Kehutanan BAU: asumsi

Reboisasi

Degradasi

Absorpsi

Metodologi

Asumsi

Sumber

• Wilayah reboisasi

• Tingkat reboisasi tetap,

• Kem. Kehutanan 2008 • IFCA 2008

tahunan (rata-rata 20002005) dikalikan densitas karbon di hutan Kalimantan Tengah

pada minimum, konstan sebesar 120,000 ha per tahun Rata-rata densitas karbon 190 t C/ha

• Total hutan produksi

• Total wilayah konsesi

• Kem. Kehutanan –

• •

Jambi dibagi panjang periode rotasi Wilayah log over tahunan dikalikan dengan asumsi kehilangan karbon

• Tingkat sekuestrasi

karbon di hutan sekunder dan buatan dikalikan dengan pengembangan kawasan saat ini dan masa depan Pengurangan di akhir periode rotasi diperhitungkan

sebesar 630,000 ha Periode rotasi 35 tahun Rata-rata densitas karbon 190 t C/ha 30% penurunan densitas karbon

• Tingkat sekuestrasi dari

1.2 tC/ha di hutan sekunder hingga 8 tC/ha di hutan kayu Penurunan konstan pada hutan sekunder dan peningkatan pada hutan buatan

• • •

Statistik Kehutanan 2007 Statistik Konsesi Kehutanan 2006 IFCA 2008 Stanley; 2008 Lasco dkk 2006

• Kem. Kehutanan 2008 • ALGAS 1998 • FAO – Global Fiber • •

Supply Assessment 2005 SNC 2009 Sheil dkk. 2009

A2. Estimasi potensi pengurangan Kajian ini terfokus pada peluang pengurangan yang memakan biaya kurang dari USD 80 per ton CO2 ekivalen (tCO2e). Pendekatan dan hasil yang kami peroleh konsisten dengan desakan perkembangan dan pertumbuhan nasional maupun provinsi. Potensi pengurangan ditentukan sebagai perbedaan antara volume emisi dari sumber tertentu dalam skenario bisnis seperti biasa (BSB), serta volume emisi setelah langkah-langkah pengurangan diterapkan. Garis dasar emisi diperhitungkan dari beberapa nilai pendorong, seperti intensitas karbon dari bahan bakar fosil tertentu, volume produksi bahan dasar, atau konsumsi bahan bakar kendaraan. Tiap langkah pengurangan dapat merubah (atau biasanya mengurangi) nilai pendorong tertentu, dimana perhitungan ditentukan dari literatur dan diskusi dengan tenaga ahli. Sebagai contoh, konsumsi bahan bakar dapat diturunkan sampai 70 persen dengan memperbaiki kendaraan-kendaraan penumpang. LULUCF dan emisi-emisi terkait lahan gambut adalah berdasarkan skenario, dengan pengecualian emisi kecil terkait rakyat, dapat dihentikan sepenuhnya pada tahun 2030. Skenario ini diadopsi dari metodologi Kurva Biaya Global Mckinsey dan juga diterapkan pada Kurva Biaya Pengurangan GRK Indonesia Tingkat Nasional DNPI (Gambar A5).

A3. Emisi terkait lahan gambut Gambut merupakan akumulasi sisa-sisa bahan organic yang setengah membusuk. Biasanya terbentuk di daerah rawa, ketika bagian-bagian tumbuhan yang luruh terhambat pembusukannya karena kadar keasaman yang tinggi atau kondisi anaerob setempat. Sebagian besar tanah

Jambi report_BAH_010910.indd 48

9/2/2010 11:43:54 AM


49

Sebagian besar dari pengurangan emisi Jambi dari sektor kehutanan dapat dicapai dalam waktu relatif pendek

CONTOH LULUCF

Gambar

BAU trajectory Emisi setelah pengurangan

Emisi dan potensi pengurangan tahunan Mt CO2e

• Hutan tanah

20 15 10 5

-21

0 -5 - 10

2010

2015

2020

2025

2030

•

mineral menjadi net sink signifikan apabila seluruh potensi pengurangan terimplementasi seluruhnya Implementasi tergantung pada pengawasan dan sistem pengendalian yang kuat

SUMBER: Analisis tim

gambut terbentuk dari serpih dan kepingan sisa tumbuhan, daun, ranting, pepagan, bahkan kayu-kayu besar, yang belum sepenuhnya membusuk, serta sisa-sisa bangkai serangga maupun hewan lainnya. Gambut terbentuk selama ribuan tahun, dengan tingkat pertumbuhan 1 milimeter setiap tahunnya, sehingga, dalam kondisi yang tepat, dapat merupakan tahap terawal pembentukan batubara (Gambar A6). Lahan gambut mencakup sekitar 3 persen massa lahan secara global, namun mewakili sepertiga total karbon tanah dunia (oleh karena mengandung sekitar 10 kali lipat jumlah karbon dari tanah non-gambut dengan ukuran sama). Jika total karbon terkandung dalam gambut (528 Gt) dilepas selama satu tahun, maka hal tersebut akan setara dengan sekitar 12 kali lipat total emisi global dunia saat ini. Karbon berada di posisi terancam, karena dilepascan sebagai CO2 ke atmosfer melalui dua mekanisme (Gambar A7): 1. Kekeringan pada lahan gambut (oleh karena lahan gambut dibuka untuk bercocok tanam) mengakibatkan oksidasi serpihan gambut dan CO2 dilepaskan ke atmosfer (\50-60 persen serpihan gambut kering adalah karbon) 2. Kebakaran di lahan gambut yang rusak mengakibatkan emisi CO2 lebih tinggi; kebakaran di lahan gambut yang belum rusak maupun tidak mengalami kekeringan sangat jarang terjadi oleh karena kandungan kelembaban tinggi secara alaminya. Sebagai tambahan, sebagaimana lahan gambut sering bernaung dalam kawasan hutan, eksploitasinya kerap bersamaan dengan deforestasi kawasan hutan tersebut, sehingga memperburuk dampak emisi CO2. Indonesia memiliki wilayah lahan gambut tropis terbesar dari semua negara tropis manapun, yakni mewakili 5 persen dari total luas lahan gambut secara global. Lahan gambut Indonesia telah

Jambi report_BAH_010910.indd 49

9/2/2010 11:43:54 AM


50

Gambar A6

Dekomposisi zat organik yang terjadi sangat lambat selama ribuan tahun menyebabkan adanya penyimpanan karbon sangat besar di tanah gambut

ILUSTRATIF

• Lahan gambut

•

Lahan pada kondisi banjir

•

Lambatnya pengeringan menyebabkan tingginya air dan dekomposisi biomassa yang sangat lambat

Dekomposisi zat organik yang lambat menyebabkan kurangnya oksigen dan mikroorganisme

Akumulasi zat organik (gambut)

Indonesia menyimpan 36 Gt karbon (132 Gt CO2e) di bawah tanah saat ini Hutan gambut menyimpan 4,2 Gt karbon (15 Gt CO2e) di permukaan tanah Sebagai perbandingan, hutan hujan terbesar dunia, Amazon, menyimpan 46 Gt karbon (168 Gt of CO2e)

SUMBER: DNPI Indonesia GHG Abatement Cost Curve

Gambar A7

Emisi gambut didorong oleh dekomposisi dan kebakaran lahan yang telah rusak serta pembukaan lahan baru

ILUSTRATIF

Pembukaan Pembukaan lahan lahan saat saat ini ini

Pembukaan Pembukaan lahan lahan di di masa masa depan depan

Pemusnahan biomass dipermukaan lahan (logging)

Dekomposisi setelah pengeringan

Kebakaran gambut

SUMBER: DNPI Indonesia GHG Abatement Cost Curve

Jambi report_BAH_010910.indd 50

9/2/2010 11:43:54 AM


51

direboisasi, dikeringkan dan dibakar pada tingkat yang sangat tinggi guna menghasilkan kelapa sawit atau perkebunan kayu kertas, pertanian, dan memasok industri produk kehutanan dengan kayu. Sebagai akibatnya, selain memiliki 5 persen total lahan gambut dunia, Indonesia juga berperan sebagai penghasil 60 persen dari total emisi dunia akibat dekomposisi gambut (Gambar A8).

Indonesia bertanggung jawab akan hampir 60 persen dari emisi global yang berasal dari dekomposisi gambut

Gambar A8

Rincian wilayah lahan gambut dunia per permukaan dan emisi CO2 terkait Persen 100%

Wilayah

5

5

Emisi CO2 dari dekomposisi

90

58 Indonesia

24

18

Negara lain Negara di dunia2 tropis lainnya1

• 5% dari lahan gambut dunia dan 50% lahan gambut tropis berada di Indonesia • Gambut tropikal menghasilkan lebih dari 80% emisi dari dekomposisi gambut • Bagian peranan Indonesia dalam total emisi dari dekomposisi gambut adalah 58% atau 12 kali lebih besar dari bagian wilayahnya

1 Malaysia, Papua New Guinea; Democratic Republic of Congo, Brazil 2 Canada, Russia, Scandinavia, USA SUMBER: Hooijer et al 2006; Wetlands International

Sementara ilmu mengenai gambut memiliki sejarah panjang di wilayah Nordik, pengetahuan ilmiah terkait gambut tropis masih berada di tahap sangat awal. Sejak kebakaran hutan gambut yang cukup dramatis di tahun 1997 serta kejadian El Nino di tahun 1998, para ahli telah beralih fokus kepada lahan gambut tropis, khususnya emisi terkait perubahan penggunaan lahan. Pengetahuan tentang emisi terkait gambut telah berkembang beberapa tahun terakhir, sebagai akibat meningkatnya fokus ilmiah akan hal ini, masih terdapat beberapa ketidakpastian yang meliputi: 1. Respirasi tanah dan akar Sebagian besar hasil riset yang dipublikasikan belum mampu untuk mengeluarkan secara penuh emisi alami dari respirasi tanah dan akar dari pengukuran carbon flux.28 Riset yang telah berusaha memisahkan dua komponen (misalnya: Couwenberg et.al. 2009) menunjukkan bahwa 40 hingga 60 persen emisi karbon bawah tanah dari tanah gambut berasal dari respirasi (dan bukan dari dekomposisi gambut). Oleh karena respirasi tanah merupakan emisi alami, emisi ini sebaiknya tidak dimasukkan dalam perkiraan emisi UNFCCC resmi. Implikasi bahwa perkiraan emisi dari dekomposisi gambut mungkin terlalu tinggi akibat kedua faktor tersebut seperti yang terdapat dalam kajian yang sudah dipublikasikan sebelumnya. 2. Penyusutan sebagai konsekuensi kekeringan Terdapat ketidakpastian mengenai bagian penyurutan gambut yang didorong oleh dekomposisi gambut. Penyurutan gambut dipengaruhi oleh tiga faktor utama: 28 Carbon Flux menguraikan perbedaan stok karbon terukur pada sebuah lokasi spesifik secara berulang kali

Jambi report_BAH_010910.indd 51

9/2/2010 11:43:55 AM


52

i. Kompresi mekanis biomasa karena air pori telah mengering ii. Penyusutan biomasa setelah kekeringan iii. Dekomposisi sebagai karbon dari komponen biomasa selulosa, hemiselulosa, dan lignin dioksida Saat ini sebagaimana diketahui bahwa penyurutan meluas di tahun pertama dan kedua setelah kekeringan utamanya merupakan hasil dari proses pembasahan kembali gambut. Namun demikian, belum jelas seberapa besar pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas dalam beberapa tahun kedepan. Beberapa ilmuwan (misalnya: Hooijer et.al.. 2006) menyatakan bahwa dekomposisi tersebut turut menyumbang hingga 60 persen penyurutan, sementara Kool dkk (2006) menyatakan nilai sekitar 1 persen. Pada kisaran yang penyusutannya rendah kemungkinan besar tepat untuk lahan gambut yang tidak dikompresikan oleh alat berat (misalnya: hutan sekunder dan lahan belukar). 3. Hubungan antara kedalaman kekeringan dan dekomposisi Saat ini, terdapat tiga model potensial yang sedang dibahas mengenai lahan gambut. Model yang paling tepat adalah hubungan linier yang dikembangkan oleh WĂśsten et.al.. (1997). Model potensial lainnya yang tengah didiskusikan adalah pendekatan mengikuti bentuk Kurva-S atau bahkan Kurva-U. Namun demikian, tak satupun dari model-model tersebut telah dipublikasikan dalam kajian sesama kolega. Namun dengan demikian model linear telah diterapkan dalam laporan ini. Perlu dicatat bahwa dengan menerapkan pendekatan kurva S atau bahkan pendekatan kurva U terbalik, potensi pengurangan pengelolaan air akan berubah, dan sangat mungkin menjadi lebih kecil daripada yang diestimasikan untuk laporan ini. 4. Ketebalan lapisan gambut Ketika luas kawasan lahan gambut Indonesia, kandungan karbon dalam gambut dan rata-rata kepadatan akumulasi diakui secara umum, namun data mengenai ketebalan lapisan gambut masih jarang. Pengukuran ketebalan gambut tidak dapat dilakukan dari jauh dengan keakuratan yang memadai dan dengan demikian harus dilakukan pada lahan gambut itu sendiri. Meningat kondisi lahan-lahan gambut yang terpencil, hal ini sangatlah sulit dan memakan banyak waktu. Seluruh faktor dan ketidakpastian tersebut memberi dampak signifikan terhadap perkiraan emisi dekomposisi gambut saat ini dan masa mendatang, demikian pula dengan volume dan biaya inisiatif-inisiatif pengurangan terkait gambut.

A4. Perhitungan biaya pengurangan Total biaya pengurangan mencakup biaya teknis (misalnya: biaya untuk memasang teknologi rendah emisi yang sepatutnya) begitu juga dengan biaya pelaksanaan spesifik kepada tiap inisiatif pengurangan. Selain dari pada itu, terdapat biaya-biaya untuk faktor pendorong umum, yang dibutuhkan namun tidak spesifik pada tiap inisiatif (misalnya: rencana tata ruang).

Biaya spesifik pengurangan Biaya spesifik pengurangan: merupakan biaya tambahan untuk skenario BSB yang secara langsung terkait dengan pelaksanaan peluang pengurangan spesifik. Biaya ini menunjukkan pembayaran kembali kumulatif tahunan untuk pengeluaran modal dan operasi hingga tahun 2030. Biaya-biaya tersebut termasuk biaya pengganti yang mungkin dikeluarkan selama implementasi. Sebagai contoh, menghindari reboisasi dengan menggeser pengembangan lahan perkebunan atau ladang kayu kertas pada lahan yang rusak membutuhkan beberapa bentuk pembayaran sebagai kompensasi bagi pemegang konsesi untuk pendapatan mereka yang hilang dengan tidak melakukan penebangan pohon di hutan-hutan tersebut. Biaya sosial lebih luas (misalnya: biaya

Jambi report_BAH_010910.indd 52

9/2/2010 11:43:55 AM


53

dampak kebakaran hutan dan lahan gambut pada kesehatan dan ekonomi) tidak dimasukkan dikarenakan ketidakpastian perkiraannya serta keinginan untuk memfokuskan analisa hanya pada biaya langsung tambahan, yang mungkin dihadapi Pemerintah maupun sektor swasta. Pembiayaan juga tidak termasuk akibat ketidakpastian metode pembiayaan (misalnya: hak internasional, pembiayaan pemerintah, investasi sektor swasta). 1. Mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut: Perkiraan biaya hanya terdiri dari investasi langsung yang dibutuhkan untuk mengatasi kebakaran tanaman (misalnya: peralatan dan pelatihan bagi anggota pemadam kebakaran, membangun sistem informasi kebakaran dan prasarana pemadam seperti sumur). Biaya ini tidak termasuk langkah antar sektor yang lebih luas, seperti melakukan kampanye informasi dan peluncuran program layanan lanjutan untuk mendukung metode tanpa-pembakaran untuk proses pembersihan lahan, biayabiaya tersebut diraih secara berbeda. Biaya perkiraan juga tidak memasukan biaya sosial lain terkait dengan kebakaran (misalnya: biaya dampak kebakaran hutan dan lahan gambut pada pendidikan dan ekonomi). Biaya yang disediakan berkisar dari perkiraan rendah-akhir yang difokuskan hanya untuk menghadapi kebakaran sementara perkiraan tinggi-akhir bertujuan mencegah terjadinya kebakaran secara total. Sumber informasi utama termasuk dalam Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice di Kalimantan Tengah, metodologi proyek JP Morgan CDM, serta wawancara dengan para ahli pencegahan kebakaran dari APRIL. 2. Mengurangi deforestasi hutan melalui kebijakan alokasi lahan yang lebih efektif dan meningkatkan produktivitas pertanian: Biaya untuk alokasi penggunaan lahan termasuk pembayaran kompensasi bagi pemilik lahan yang akan dikonversikan menjadi lahan perkebunan atau ladang pohon kayu. Besarnya pembayaran kompensasi berbeda secara signifikan berdasarkan hasil perkebunan. Dalam laporan ini diasumsikan bahwa mayoritas perkebunan baru dapat dialokasikan ke lahan rusak dan para pemegang hak lahan hanya akan diberi kompensasi atas kehilangan pendapatan untuk satu kali penjualan pepohonan, bukan atas keseluruhan kerugian pendapatan dari produksi hasil perkebunan. Hal ini menimbulkan biaya yang jauh lebih rendah daripada biaya yang ditimbulkan pada pendekatan biaya peluang penuh di mana pemegang konsesi akan menerima pembayaran atas penghasilan mendatangnya yang hilang. 3. Rehabilitasi lahan gambut yang tidak dipakai atau rusak: Perkiraan biaya berdasarkan informasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice, dan ekstrapolasi untuk total wilayah lahan gambut yang rusak di Jambi. 4. Pengelolaan hutan lestari: Meliputi biaya pembelian peralatan panen, perangkat lunak perencanaan dan pembayaran kompensasi atas kerugian pendapatan dari penebangan kayu. 5. Penghutanan kembali: Biaya penghutanan kembali/reboisasi berdasarkan biaya langsung yang dibutuhkan untuk menanam kembali lahan dan pada anggaran per hektar yang dipublikasikan Kementerian Kehutanan di Indonesia. Biaya tidak langsung (misalnya: perencanaan tata ruang dan sertifikasi lahan) tidak termasuk dan diatasi dengan biaya faktor pendukung-pendukung umum.

Biaya faktor pendukung umum Biaya-biaya pendukung tersebut terbagi ke dalam tujuh sub kategori: 1. Kesiapan kelembagaan dasar: biaya tambahan terkait pembentukan struktur kelembagaan dasar yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan rendah karbon. Termasuk didalamnya biaya pembentukan dan perekrutan unit pelaksana yang baru, demikian pula pelatihan bagi para pejabat pemerintah. Perkiraan biaya digaris bawahi untuk kesiapan kelembagaan berdasarkan informasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek EksMega Rice, dan ekstrapolasi total wilayah Jambi.

Jambi report_BAH_010910.indd 53

9/2/2010 11:43:55 AM


54

2. Menarik, mengelola dan mendistribusikan finansial: biaya tambahan terkait upaya menarik minat pembiayaan internasional untuk REDD, VER dan CDM dan mengelola serta mendistribusikan finansial secara transparan, adil dan efisien. Perkiraan biaya dilakukan berdasarkan informasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek EksMega Rice, dan ekstrapolasi total wilayah Jambi serta termasik biaya spesifik di tahun pertama dalam mengembangkan dan menyusun program percontohan guna menguji keragaman model manajemen dan distribusi finansial untuk mengidentifikasi model yang paling tepat untuk Jambi. 3. Monitoring dan evaluasi: biaya terkait dengan pembentukan garis dasar tingkat provinsi dan standar implementasi untuk pengawasan, pelaporan, dan verivikasi (MRV) berhubungan dengan pendekatan tier sebagaimana disarankan oleh IPCC dan berdasarkan data dari konsultasi yang berbasis di Inggris, LTS International. Perkiraan biaya didasari oleh asumsi bahwa Jambi harus dapat memenuhi 3 tingkatan standar: Estimasi biaya low-end (tingkat rendah) dengan asumsi bahwa Jambi mampu membangun prasarana inventarisasi nasional, sedangkan perkiraan biaya high-end (tingkat tinggi) didasari oleh asumsi bahwa sistem MRV lengkap harus mulai dibentuk dari awal. Sasaran skema pelaporan tingkatan 3 akan memungkinkan Jambi terlibat dalam perdagangan karbon. Jambi juga merupakan sasaran pendekatan partisipasi dalam beberapa tugas inventarisasi (contoh: pengambilan sampel di lapangan) yang akan diambil alih oleh masyarakat yang tinggal di dekat wilayah hutan. Pendekatan partisipasi ini memiliki kelebihan yaitu 1) masyarakat dapat terlibat langsung dalam keseluruhan proses MRV; 2) bagian pendanaan akan mengalir ke masyarakat dan 3) lapangan pekerjaan akan tersedia di wilayah terpencil, meski akan mengakibatkan sedikit peningkatan biaya. Sebagaimana Jambi tengah menangani sebagian besar lahan gambut yang rusak, penggunaan data dari teknologi pendinderaan jauh dari optikal LiDAR (Light detection and ranging) dianggap bermanfaat sebagaimana LiDAR dapat menyediakan informasi terperinci tentang emisi akibat pembakaran dan bahkan dekomposisi gambut. Penggunaan LiDAR merupakan biaya MRV terbesar (45% dari total biaya). 4. Kebijakan dan perencanaan tata ruang: biaya tambahan terkait pembentukan tanggapan pengaturan untuk mendukung pengurangan karbon dan membuka peluang sumber penghidupan berkelanjutan. Termasuk didalamnya biaya pengembangan tata ruang dan sertifikasi lahan. Perkiraan biaya untuk tata ruang berdasarkan informasi dari Rencana Umum Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice, dan ekstrapolasi total wilayah Jambi sementara perkiraan biaya untuk sertifikasi lahan diperoleh dari tolak ukur Bank Dunia. Bank Dunia menunjukkan bahwa biaya sertifikasi lahan rata-rata mencapai USD 80 per hektar yang tercakup (termasuk biaya prasarana) dan dalam hal Jambi diasumsikan bahwa 80 persen dari Provinsi belum memiliki sertifikasi yang jelas. 5. Pelibatan masyarakat: biaya tambahan terkait dengan pengembangan dan proses pelaksanaan pelibatan masyarakat setempat, termasuk pembentukan badan masyarakat setempat guna memberi masukan terhadap strategi-strategi serta menjamin persetujuan terbuka, mendukung perubahan perilaku menuju praktek berkelanjutan serta meningkatkan penegakan oleh masyarakat lokal. Biaya pelibatan masyarakat diekstrapolasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice. Program spesifik meliputi pengembangan kerangka kerja keterlibatan berbagai pemangku kepentingan didukung dengan penunjukan fasilitator masyarakat. Sebagai tambahan, program pelibatan masyarakat meliputi alokasi spesifik menuju pengembangan dan mempertahankan kampanye informasi publik. 6. Prasarana: biaya tambahan untuk pengembangan teknologi dan prasarana sistem atau prasarana ringan (misalnya: informasi pasar, regu pemadam kebakaran, pendidikan, kesehatan) dan infrastuktur berat (misalnya: listrik, jalan raya) untuk mendukung pengurangan emisi dan sumber penghidupan berkelanjutan. Biaya pembangunan infrastuktur berat dan ringan utama ini diekstrapolasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice dan diekstrapolasi lebih jauh untuk keseluruhan Provinsi. Biaya-biaya

Jambi report_BAH_010910.indd 54

9/2/2010 11:43:55 AM


55

ini dapat dikelompokkan secara meluas menjadi empat area program: kesehatan masyarakat dan sanitasi, transportasi, proyek prasarana masyarakat (termasuk prasarana untuk layanan lanjutan) serta listrik. Biaya untuk dua prasarana tambahan, pendidikan dan penegakan hukum, dihitung dengan memperkirakan berapa biaya untuk mewujudkan alokasi anggaran Jambi bagi pendidikan dan penegakan hukum hingga dapat setara dengan rata-rata nasional (berada pada kisaran low-end) dan hingga pada kisaran sepertiga teratas antar provinsi (berada pada kisaran high-end). 7. Pengembangan sumber penghidupan berkelanjutan: biaya tambahan yang berhubungan dengan pengembangan strategi sektor yang merupakan sumber penghidupan berkelanjutan dan menarik minat investasi bagi prioritas-prioritas pertumbuhan yang teridentifikasi. Biaya untuk pengembangan sumber penghidupan berkelanjutan diekstrapolasi dari Rencana Induk Rehabilitasi dan Revitalisasi Wilayah Proyek Eks-Mega Rice dan diekstrapolasi lebih jauh lagi untuk keseluruhanProvinsi. Biaya-biaya ini termasuk program untuk perpanjangan layanan pertanian pertanian, pembentukan koperasi dan usaha kecil serta meningkatkan pemrosesan barang-barang lokal. Biaya tambahan untuk memperkuat Badan Koordinasi Penanaman Modal provinsi (BKPMD) melalui penambahan personil dan anggaran untuk mendukung peranannya dalam menarik minat investasi baru terhadap Provinsi ini. Penting untuk ditekankan bahwa kita telah terfokus pada perkiraan biaya tambahan yang terkait dengan menciptakan pertumbuhan rendah karbon (yaitu di atas atau melampaui biaya yang mungkin dikeluarkan pemerintah atau sektor swasta untuk kegiatan mereka pada umumnya). Untuk faktor pendorong seperti prasarana, perkiraan biaya tambahan akan sangat menantang dan oleh karena itu untuk item biaya ini kita mengandalkan kombinasi analisa ‘outside-in’, serta wawancara dengan para tenaga ahli lokal.

A5. Menilai dampak ekonomi terhadap strategi pertumbuhan rendah karbon Model ekonomi dikembangkan dengan memperkirakan tiap sektor ekonomi. Untuk tiap sektor, terdapat tiga skenario pertumbuhan hingga tahun 2030 yang diperkirakan: i. Skenario kasus dasar: Perkiraan tiap sektor didasari oleh tingkat pertumbuhan sektor di provinsi tersebut secara historis. Dimana pertumbuhan dianggap tinggi (misalnya lebih besar dari pada 10 persen pertumbuhan riil per tahun), diasumsikan bahwa transisi menuju tingkat pertumbuhan historis dari sektor tingkat nasional. ii. Skenario Pertumbuhan Sesuai Iklim Konservatif/Climate Compatible Growth (CCG): Pertumbuhan dalam skenario ini lebih tinggi dibandingkan dengan skenario kasus dasar. Sektor diasumsikan untuk terus tumbuh di tingkat pertumbuhan historis hingga tahun 2011, kemudian tren pertumbuhan tersebut mengarah pada tingkat pertumbuhan regional (teridentifikasi untuk tiap sektor di bawah) iii. Skenario Pertumbuhan Sesuai Iklim Progresif (CCG): Skenario ini merupakan skenario pertumbuhan tertinggi. Sektor diasumsikan terus tumbuh pada tingkat pertumbuhan historis hingga tahun 2011, kemudian tren mengarah pada tingkat pertumbuhan tolak ukur yang terbaik di kelasnya yang teridentifikasi untuk tiap sektor Gambar A9 memperlihatkan kajian skenario pertumbuhan alternatif bagi enam sektor yang diidentifikasi sebagai prioritas pertumbuhan. Di bawah ini adalah asumsi terperinci yang digunakan untuk tiap sektor yang diidentifikasi sebagai prioritas pertumbuhan. Untuk sektor yang tidak teridentifikasi sebagai prioritas pertumbuhan, diasumsikan bahwa pertumbuhannya pada tingkat yang sama dengan skenario “kasus dasar�.

Jambi report_BAH_010910.indd 55

9/2/2010 11:43:55 AM


56

Gambar A9

Tinjauan luas terhadap output model ekonomi Jambi Triliun Rupiah1, konstan 2000 GDP saat ini (% bagian dari total)

2030 BAU GDP (% bagian dari total)

Skenario pertumbuhan kompatibel iklim 2030 (tinggi) (rendah)

Hasil perkebunan

1,800 (13.2%)

7,200 (15.5%)

7,400

7,800

3-9

Pertanian

1,500 (11.6%)

5,400 (11.8%)

5,500

5,800

1-6

Produk kehutanan, kertas, dan kayu

300 (9.5%)

100 (3.5%)

400

500

231 - 298

Pariwisata

200 (1.6%)

900 (1.9%)

1,200

2,500

44 - 186

Jasa finansial

100 (1.4%)

1,000 (2.1%)

1,600

3,300

64 - 154

Aquaculture

200 (1.3%)

100 (0.3%)

400

400

Gap skenario CCG terhadap BAU (%)

162

1 Dibulatkan ke 100 triliun rupiah terdekat SUMBER: Analisis tim

1. Hasil Perkebunan pada lahan non-hutan Kontribusi PDB saat ini terbagi atas nilai hasil perkebunan – 62% kelapa sawit, 35% karet, 3% lainnya.29 Asumsi hasil (Kelapa sawit) Pertumbuhan hasil secara historis 7 persen per tahun (2003-2006) dan hasil saat ini (2006) sebesar .3.4 t/ha (ton per hektar) - 8 persen di bawah Malaysia yang menghasilkan 3.7 t/ha. Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan berkelanjutan hingga 5.5 t/ha tahun 2030 (mengimplikasikan tingkat pertumbuhan 2 persen per tahun), setingkat dengan tingkat pertumbuhan historis Malaysia (Malaysia diproyeksikan tumbuh hingga 2 persen per tahun untuk mencapai 5.9 t/ha di tahun 2030). Skenario CCG konservatif: Tingkat hasil saat ini tumbuh hingga 5.7 t/ha (mengimplikasikan tingkat pertumbuhan 2 persen per tahun, hingga tahun 2011, kemudian 2.1 persen per tahun hingga tahun 2030) dimana itu adalah 5% dibawah proyeksi hasil mutlak di Malaysia (yang diproyeksikan tumbuh hingga 2 persen per tahun dari 3.7 t/ha tahun 2006 menjadi 5.9 t/ha tahun 2030). Skenario CCG agresif: Tingkat hasil saat ini tumbuh hingga 5.9 t/ha (tingkat pertumbuhan 2 persen per tahun hingga tahun 2011, kemudian 2.3 persen per tahun hingga tahun 2030), untuk mengejar proyeksi hasil mutlak Malaysia. Asumsi kawasan (Kelapa sawit) Pertumbuhan secara historis 8 persen per tahun (2003-06); wilayah saat ini di tahun 2006 sekitar 570,000 hektar. 29 Informasi hasil perkebunan Indonesia diperoleh dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan; Untuk tolak ukur internasional, Food and Agricultural Organization (FAO) merupakan sumber prinsipil.

Jambi report_BAH_010910.indd 56

9/2/2010 11:43:55 AM


57

Untuk ketiga skenario tersebut, diasumsikan pertumbuhan hingga 1.2 juta hektar, berdasarkan pertumbuhan tahun 2003-2006 sekitar 28,000 hektar per tahun. Terdapat 1.8 juta hektar lahan bukan hutan yang sesuai (dinilai Kementerian Kehutanan sebagai yang “tidak penting”, “berpotensi menjadi ”penting” dan “cukup penting”) dan tersedia, sehingga 1.2 juta hektar di tahun 2030 terlihat layak. Pertumbuhan historis kurang masuk akal karena apabila pertumbuhan terus berlanjut di tingkat tersebut (yaitu 8 persen per tahun), maka lebih dari 60 persen wilayah Jambi akan ditempatil oleh perkebunan kelapa sawit pada tahun 2018. Perbedaan utama antara skenario-skenario tersebut adalah wilayahnya berasal dari sumber berbeda-beda, wilayah pada skenario kasus dasar diasumsikan berasal dari perluasan kawasan hutan, sementara pada skenario CCG, wilayahnya yang berasal dari penggunaan lahan rusak, menghasilkan tingkat emisi yang berbeda. Asumsi hasil (karet) Pertumbuhan hasil historis sebesar 10 persen per tahun (2003-2006); hasil saat ini (2006) 0.8 t/ ha, 10% di bawah Malaysia (0.9 t/ha). Skenario dasar: Tumbuh di tingkat 0.22 persen (proyeksi tingkat pertumbuhan Malaysia), mengakibatkan hasil 0.86 t/ha. pada tahun 2030 Skenario CCG konservatif: Mencapai 8 persen di bawah proyeksi tingkat hasil Malaysia tahun 2030 yaitu menghasilkan 0.92 t/ha (tingkat pertumbuhan sebesar 0.23 persen per tahun hingga tahun 2011, kemudian tingkat pertumbuhan 0.59 persen per tahun ). Skenario CCG agresif: Sama dengan tingkat hasil Malaysia tahun 2030 (2030 mengakibatkan hasil 0.97 t/ha dengan tingkat pertumbuhan 0.23 persen per tahun, kemudian tingkat pertumbuhan 0.73 persen per tahun). Asumsi kawasan (Karet) Pertumbuhan secara historis (2003-2006) sebesar -1 persen per tahun; kawasan saat ini (2006) sekitar 430,000 hektar. Untuk ketiga skenario, diasumsikan pertumbuhan lanjut pada tingkat -1% per tahun hingga ~512,000 hektar pada tahun 2030. Hasil perkebunan lainnya Diasumsikan sama dengan pertumbuhan PDB secara keseluruhan di bidang pertanian (200306) sebesar 5 persen per tahun.

2. Tanaman pangan pada lahan non-hutan Produksi padi mewakili 95 persen total nilai perkebunan pangan di Jambi. Untuk itu skenario didasari oleh perkiraan hasil perkebunan pangan ini (berskala tepat pada PDB sektor setara). Secara historis, PDB telah tumbuh hingga 5 persen per tahun (2003-2006) Skenario kasus dasar berasumsi bahwa tren historis akan terus berlanjut. Asumsi hasil Pertumbuhan hasil secara historis sebesar 2.2 persen per tahun (2003-2006). Hasil saat ini sebesar 3.9 t/ha (73 persen dari hasil Jawa Timur sebesar 5.3 t/ha). Skenario kasus dasar: Diasumsikan tingkat pertumbuhan hasil yang dipertahankan ke depannya 2.2 persen) menjadi 6.5 t/ha di tahun 2030. Skenario CCG konservatif: Tingkat hasil saat ini tumbuh pada tingkat pertumbuhan historis (2.2 persen ) selama lima tahun, kemudian 2.3 persen (untuk menyamai 95 persen dari proyeksi

Jambi report_BAH_010910.indd 57

9/2/2010 11:43:55 AM


58

hasil Jawa Timur pada tahun 2030) menjadi 6.6 t/ha (mengakibatkan keseluruhan tingkat pertumbuhan sebesar 2.3 persen per tahun) pada tahun 2030. Skenario CCG agresif: Tingkat hasil saat ini 3.9 t/ha tumbuh pada tingkat pertumbuhan historis (2.2 persen) untuk lima tahun, kemudian menjadi 2.5 persen (untuk menyamai proyeksi tingkat hasil Jawa Timur tahun 2030) menjadi 6.9 t/ha (mengakibatkan tingkat pertumbuhan 2.5 persen per tahun) pada tahun 2030. Asumsi kawasan Untuk ketiga skenario tersebut, diasumsikan kawasan untuk persawahan tetap konstan sebesar 140,000 ha.

3. Kehutanan lestari Secara historis, PDB telah tumbuh sebesar -3 persen per tahun (2003-06). Skenario kasus dasar berasumsi trend pertumbuhan historis berlanjut Asumsi hasil untuk skenario pertumbuhan sesuai iklim Saat ini (2006) hasil sebesar 8.9 t/ha Skenario CCG konservatif: Pertumbuhan hasil 50 persen (menjadi 13 t/ha) pada tahun 2030 (tingkat hasil konstan selama lima tahun kemudian tingkat pertumbuhan menjadi 2 persen per tahun, berakibat pada tingkat pertumbuhan sebesar 1.6 persen), berdasarkan peningkatan hasil dari praktek kehutanan lestari. Skenario CCG agresif: Hasil meningkat dua kali lipat (menjadi ~16 t/ha) pada tahun 2030 (tingkat hasil konstan selama lima tahun kemudian tingkat pertumbuhan menjadi 3 persen per tahun, mengakibatkan tingkat pertumbuhan 2.4 persen), berdasarkan praktek kehutanan lestari.30 Asumsi kawasan untuk skenario pertumbuhan sesuai iklim Asumsikan tidak ada perubahan jumlah hektar kawasan pada tahun 2006.

4. Ekowisata Pertumbuhan PDB secara historis (2003-2006) sebesar 6 persen per tahun Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan terus berlanjut pada tingkat 6 persen per tahun Skenario CCG konservatif: Diasumsikan pertumbuhan PDB berlanjut berlanjut pada tingkat 6 persen per tahun hingga 2011, kemudian menjadi 8 persen per tahun berdasarkan rata-rata tingkat pertumbuhan Costa Rica. Skenario CCG agresif: Diasumsikan pertumbuhan PDB berlanjut pada tingkat 6% per tahun hingga 2011, kemudian menjadi 12 persen per tahun berdasarkan rata-rata tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan di Bali dan Phuket

5. Layanan Finansial Pertumbuhan PDB secara historis (2003-2006) sebesar 16 persen per tahun

30 Wann and Rakestraw (1998) sebagai contoh menemukan bahwa hasil per hektar tumbuh 500 persen untuk perkebunan pinus di selatan AS, setelah diperkenalkannya praktek kehutanan lestari

Jambi report_BAH_010910.indd 58

9/2/2010 11:43:55 AM


59

Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan terus berlanjut pada tingkat 16 persen per tahun hingga 2011, kemudian menyamai rata-rata nasional sebesar 4.7 persen per tahun hingga tahun 2030. Skenario CCG konservatif: Diasumsikan pertumbuhan terus berlanjut pada tingkat 16 persen per tahun hingga 2011, kemudian menyamai tingkat tolak ukur (rata-rata India, Bangladesh) sebesar 7 persen per tahun hingga 2030. Skenario CCG agresif: Diasumsikan pertumbuhan terus berlanjut pada tingkat 16 persen per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan tingkat tolak ukur (rata-rata Mexico, India, Bangladesh) sebesar 10 persen per tahun hingga 2030.

6. Budidaya perikanan Pertumbuhan PDB secara historis (2003-2006) sebesar 1 persen per tahun Skenario kasus dasar: Diasumsikan pertumbuhan terus berlanjut pada tingkat 1 persen per tahun Skenario CCG konservatif dan skenario CCG agresif: Diasumsikan pertumbuhan terus berlanjut pada tingkat 1 persen per tahun hingga 2011, kemudian menyesuaikan dengan rata-rata FAO Asia (misalnya: Cina) sebesar 4.4 persen per tahun hingga 2030.

Jambi report_BAH_010910.indd 59

9/2/2010 11:43:55 AM


60

Jambi report_BAH_010910.indd 60

9/2/2010 11:43:56 AM


61

Daftar pustaka Lintas Sektor Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation, Kementerian Lingkungan Hidup, Maret 2009 The Economics of Climate Change in Southeast Asia: A Regional Review, Bank Pembangunan Asia, April 2009 Pathways to a Low-Carbon Economy : Version 2 of Global Greenhouse Gas Abatement Cost Curve, McKinsey and Company, 2009 Payment Mechanism, Distribution and Institutional Arrangement: Second Draft, IFCA, Oktober 2007 Indonesia Low Carbon Option study: Phase 1 Status: Report and Findings, Ministry of Finance and World Bank, November 2008 Pathways to a Low-Carbon Economy for Brazil, McKinsey and Company Climate Change & Fiscal Policy Issues: 2008 Initiatives, Kantor Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Desember 2008 Identifying optimal area for REDD intervention: East Kalimantan, Indonesia as a case study, Nancy L Harris, Silvia Petrova, Fred Stolle and Sandra Brown, IOP Publishing LTD, September 2008 Master Plan for Rehabilitation and Revitalisation of the EMRP Area, Laporan Sintesis Utama, Oktober 2008 10 Management Lessons for Host Governments Coordinating Post-disaster Reconstruction, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NADNIAS), 2009 Infrastructure: Stimulating the Triggering Sector, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NAD-NIAS), April, 2009 Education, Health, Women Empowerment: Preparing Quality Generation, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NAD-NIAS), April, 2009 Finance: The Seven Keys to Effective Aid Management, Badan Pelaksana Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh dan Nias (BRR NAD-NIAS), April, 2009 The costs of REDD: lessons from Amazonas, IIED briefing paper, November 2009. The Development Study on Comprehensive Regional Development for the Western Part of Kalimantan, Ringkasan Eksekutif, Badan Kerjasama Internasioanl Jepang, Maret 1999 Report on Implementation of a Learning Workshop: Developing a Market for REDD in Indonesia, Bank Dunia, Januari 2009 Radical simplicity in designing national climate institutions: Lessons from the Amazon Fund, Simon Zadek, Maya Forstater, Fernanda Polacow and João Boffino, Desember 2009

Pertanian

Jambi report_BAH_010910.indd 61

9/2/2010 11:43:56 AM


62

Adapting to Climate Change: The Case of Rice in Indonesia, Bank Dunia, 2008 Yearly report: Research and Development for Agricultural Land Resources, Kementerian Pertanian, 2008 FAOSTAT Agricultural Data, http:// faostat.fao.org/, FAOSTAT, 2007, May 2009 Indonesia Forestry Statistics, Kementerian Kehutanan, 2007 Guidelines for National inventory - AR4 -WG3 Chapter 8: Agriculture, Cambridge University Press, IPCC, 2007 Global Anthropogenic Non-CO2 Greenhouse Gas Emissions, USEPA, 1990-2002 2006 Greenhouse Gas Mitigation Potential in U.S. Forestry and Agriculture, USEPA, EPA 430R-05-006, 2005 Inventory of U.S. Greenhouse Gas Emissions and Sinks, USEPA, 1990-2005, 2006 Peat CO2: Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, WL Delft Hydraulics, Alterra, Wetlands International, 2006 Peatlands: Potential for Agriculture and Environmental Aspect, Ministry of Agriculture, European Union, ReGrin, ICRAFT, 2008 Master Plan for the Rehabilitation and Revitalization of the Ex-Mega Rice Project Area in Jambi : Summary of Main Synthesis Report, Euroconsult Mott MacDonald and Deltares, October 2008

LULUCF dan pengelolaan lahan gambut Methodology for Monitoring and Setting Baseline for Deforestation and Forest Degradation, IPCC Towards the Inclusion of Forest-Based Mitigation in A Global Climate Agreement: Project Catalyst, The Climate Works Foundation, Mei 2009 Climate Regulation of Fire Emission and Deforestation in Equatorial Asia, G.R. Van der Werf, J. Dempewolf, ect PNAS Vol.51, Desember 2008 Consolidation Report Reducing Emission From Deforestation And Forest Degradation in Indonesia, IFCA, Forestry Research and Development Agency (FORDA), Kementerian Kehutanan, 2007 Manual for the Control of Fire in Peatlands and Peatlands Forest. Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Project, Adinugroho W.C., I Nyoman N. Suryadiputra, Bambang H. Saharjo, and Labueni Siboro, Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005 Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD): An Option Assessment Report, Meridian Institute, March 2009 A Guide to the Blocking of Canals and Ditches in Conjunction with the Community. Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia Suryadiputra, I N.N., Alue Dohong, Roh, S.B. Waspodo, Lili Muslihat, Irwansyah R. Lubis, Ferry Hasudungan, and Iwan T.C. Wibisono, Project. Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005 Determination of Eligible Lands for A/R CDM Project Activities and for Priority Districts for Project Development Support in Indonesia, Murdiyarso, D., Atie Puntodewo, Atiek Widayati, Meine Van Noordwijk,Center For International Forestry Research (CIFOR), 2006 Strategies for Implementing Sustainable Management of Peatlands In Borneo, Wosten, H, European Commission INCO-DEV, 2005

Jambi report_BAH_010910.indd 62

9/2/2010 11:43:56 AM


63

Do Trees Grow On our Money? The Implications of Deforestation Research Policies To Promote REDD, Kanninen, M. Daniel Murdiyarso, Frances Seymour, Arild Angelsen, Sven Wunder, Laura German, Center For International Forestry Research (CIFOR), 2007 PEAT-CO2, Hooijer et al., Delft Hydraulics, 2006 Cost of Avoiding Deforestation, Grieg-Gran. Institut Internasional untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan , 2006 The Economic Value of Peatland Resources, Van Beukering et al, Wetlands International, 2008 State of World Forests – Indonesia, Matthews. E, World Resource International, 2002 Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau, Sumatra, Indonesia, Uryu et al., WWF, 2007 Climate Change, Financing Global Forest; Eliasch Review, 2008 Review of Carbon Flux Estimates and Other GHG Emissions From Oil Palm Cultivation on Tropical Peatlands, Verwer et al., Alterra, 2008 Climate Regulation of Fire Emission and Deforestation in Equatorial Asia, Van der Werft et al., PNAS, 2008 Forestry Executive Data Strategic , Statistik dan perencanaan hutan, Badan Planologi Hutan, Kementerian Kehutanan, 2008. Forestry Statistics of Indonesia, 2007, Statistik dan perencanaan hutan, Badan Planologi Hutan, Kementerian Kehutanan, 2008 Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Papua, Wahyunto, Bambang Heryanto, Hasyim Bekti dan Fitri Widiastuti (2006). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2000–2001 Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Kalimantan, Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2004). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2000–2002. Maps of Peatland Distribution, Area and Carbon Content in Sumatera, Wahyunto, S. Ritung dan H. Subagjo (2003). Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat, 1990–2002 Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia, Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo, Wetlands International – Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005 Statistics of Timber Culture Estate, Biro Pusat Statistik, 2006 Statistics of Timber Concession Estate, Biro Pusat Statistik, 2006 Statistics of Timber Concession Estate, Biro Pusat Statistik, 2004 Forest Inventory and Maps, Badan Planologi Hutan, Pemantauan sumber Daya, Kementerian Kehutanan, 2008 Environment Statistics Of Indonesia, Biro Pusat Statistik, 2008 Final report and Recommendations for Master Plan to Deal with Land and Forest Fires for Muaro Jambi Regency, Singapore National Environment Agency, Jambi Province and Asia Pacific Resource International Ltd, August 2009

Listrik Electricity for All: Options for Increasing Access in Indonesia, Bank Dunia, 2005

Jambi report_BAH_010910.indd 63

9/2/2010 11:43:56 AM


64

Energy Information Administration, Country Analysis Brief: Indonesia, www.eja.doe. gov, 2007 Key Indicators of Indonesia Energy and Mineral Resources, Pusat Data Informasi Energi dan Sumber Daya Mineral (PUSDATIN ESDM). 2007 Indonesia Power Report Q1 2008 Including 5-year Industry Forecasts, Business Monitor International, 2007 Indonesia Energy Statistics and Balances in the IEA Databases, Training Session Coal Statistics, Mr. Jérôme Garcia, NMC Section, Energy Statistics Division, 2008 Carbon Capture and Storage – Financing Challenges and Opportunities, Investment Drivers, Incentives and Financing Options - The Role of Developing Countries, Hardiv Situmeang, 2008 Geothermal Today, US Department Of Energy, 2005 EU-Indonesia Infrastructure Forum: Indonesian Power Sector, European Business Chamber of Commerce in Indonesia, 2006 Presentation on the Policy for Indonesia Sustainable Development, Zuhal. Presentation on Indonesia Country Report, National Nuclear Agency of Indonesia, Tri Murni Soedyartomo Soentono, 2008 Indonesia Country Report Annex 3, From Ideas To Action: Clean Energy Solutions For Asia To Address Climate Change, International Resources Group (IRG), 2007 Projection CO2 Sources For Power Sector (For Discussion Only, CSS-Working Group PLN, 2009 Presentation for the Community Based Educational and Partnership Actions - Carbon Neutral Initiative for Community Empowerment and Climate change Mitigation in Indonesia, Teddy Lesmana, 2008 Electricity Governance Initiative: Case of Indonesia, Final Report, World Resource Institute, 2007. Power Generation Cost Assumption, International Energy Agency, 2007

Semen Mitigation Approach of Climate Change in Industry, Badan LitBang Industri, Kementerian Industri, 2008 Status of Efforts on CO2 Emission Reductions for Industry Sector, Kementerian Industri, 2009 Statistical Yearbook of Indonesia 2008, Biro Pusat Statistik, 2008 Annual Report Highlights 2008, PT.Holcim Indonesia Annual Report Highlights 2008, PT.Semen Gresik Annual Report Highlights 2008, PT. Indocement WBCSD CO2 Inventory Form, PT.Holcim Indonesia WBCSD CO2 Inventory Form, PT.Indocement McKinsey GHG Abatement Cost Curve V2.0, McKinsey & Company, 2009

Transportasi

Jambi report_BAH_010910.indd 64

9/2/2010 11:43:56 AM


65

Emission Factors, swisscontact, 2005 Promoting Green Diesel Technology and Introducing Green Diesel Passenger Cars in Indonesia – Executive Summary and Summary of Recommendation, PUSTRAL UGM, 2007 Clean Air Jakarta – Project Implementation Report For Clean Bus Program, Swisscontact Final Report Clean Bus Program Phase II 1999–2000, Swisscontact Implementation Report CAP Jakarta Phase III 2001–2003, Swisscontact Fuel economy and & Vehicle Kilometers Traveled, Swisscontact Lampiran & Asumsi Update November 2008, PUSTRAL UGM, 2008. Urgensi Paket Kebijakan Dan Program Komprehensif Dalam Penghematan BBM Transportasi, Tim Pemantauan dan Evaluasi Kinerja Transportasi Nasional (TPEKTN), 2008 Vehicle Emission Per Sub-Category, Swisscontact. Averting an Infrastructure Crisis: A Framework For Policy And Action, Bank Dunia, 2004 Potential for Biofuels for Transport in Developing Countries, ESMAP, 2005 Energy Efficiency and Climate Change Considerations for On-road Transport in Asia, ADB-DFID, 2006 APEC Biofuels Task Force: Initial Findings and Next Steps Forward, NIST, Brazilian National Institute of Metrology, and INMETRO, 2007 Palm Oil in Biodiesel- A Green energy Perspective, Greenenergy

Bangunan Technical Potential to Reduce Fossil Fuel Usage Through Solar Water Heating, National Renewable Energy Lab (NREL), 2007 “LED Sector: The Future’s Bright, The Future’s Green”, Daiwa Analyst Report, 2007 “The Potential To Lower Global Lighting Energy Consumption”, IEA: Presentation by Paul Waide. “Daylight, Dimming, and The California Electricity Crisis” LBNL, Rubenstein, Neils, and Colak, 2001

Jambi report_BAH_010910.indd 65

9/2/2010 11:43:56 AM


66

Jambi report_BAH_010910.indd 66

9/2/2010 11:43:56 AM


67

Jambi report_BAH_010910.indd 67

9/2/2010 11:43:56 AM


Copyright Š 2010

Jambi report_BAH_010910.indd 68

9/2/2010 11:43:58 AM


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.