Mandar Nol Kilometer

Page 91

Kakek Marayama bernama I Roa, orangtuanya (buyut Marayama) berasal dari Lombok dan Salabose (Majene). Selain seorang “paqgeso”, juga pembuat kecapi. Jadi waktu Marayama kecil, telah ada benda-benda yang menjadi teman hidupnya sampai tua. Selain dari orangtua dan kakaknya, Marayama juga mendapat pengaruh bermain “kacaping” dari kerabat yang masih terhitung pamannya, yakni Sumaati. Juga dari I Cicci, saudara ibunya. I Cicci ini punya kelebihan bermain kecaping siapapun teman duetnya, baik laki-laki maupun perempuan. Di masa-masa tuanya, I Cicci hidup bersama Marayama. Ketika I Cicci kena stroke (lumpuh separuh) saat buang air di kebun, Marayama (yang sudah tua waktu itu) pergi menolongnya. Selain mewarisi ilmu “makkacaping”, kepada Marayama, I Cicci juga mewarisi sebuah kecaping kuno yang saat ini tergantung di ruang tengah (dapur) Marayama. Suami pertama bernama Ba’durramang, anak buah Bandru (pimpinan “gorilla” yang sangat terkenal). Ba’durramang tewas di Kayumate, Mamuju. Awalnya Marayama ikut suaminya ke Mamuju, tapi dia balik ke Majene. Beberapa lama kemudian ada kabar suaminya tewas oleh pasukan Bugis, pimpinan Salla Kalluq, kena malam Ahad. Kemudian Marayama kawin lagi dengan Ba’as tapi cerai sebab si Ba’as suka kawin cerai. Baik Ba’durramang maupun Ba’as orang Tandassura. Waktu bersama Ba’durramang, Marayama tinggal di Puppengaq. Dari pernikahannya, Marayama tidak memiliki keturunan. Itulah musabab dia disappa “Kanneq Manang” (manang = tamanang, mandul). Mungkin generasi sekarang itu seperti ejekan, tapi sebenarnya hal yang umum. Malah ada raja di Mandar yang namanya berdasar pada kekurangan dirinya, misalnya Tokape dan Andi Depu (kata “depu” berasal dari kata “arepus” yang berarti jelek). Era sebelum tahun 90-an, apalagi waktu itu beberapa tempat di Mandar masih sangat terpencil, pergi bermain “kacaping” adalah tantangan tersendiri. Untuk itu, setiap pergi, apalagi di saat Marayama masih seorang gadis, biasa diantar bapaknya. Untuk bermain “kacaping”, Marayama dan adiknya biasa pergi berhari-hari, berminggu-minggu. Dulu belum marak kendaraan bermotor, jadi mereka lebih sering pergi dengan berjalan kaki apalagi bila ke pedalaman Mandar, misalnya Ratte Kallang, Tu’bi dan lain-lain. Dulu, perjalanan dan permainan mereka dihargai dengan ringgit, sekarang dengan rupiah dan sesekali tambahan hasil kebun.

78


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.