Alam Budaya Manusia

Page 51

BUDAYA - 92

BUDAYA - 93 Pakkacaping

Kaqdara atau A’bana Patima sedang meniup keke

musik yang di Bugis disebut “gandonggandong” sedang di Mandar istilahnya “gandi-ganding”. Alat musik “calong” adalah hasil pengembangan “gandi-ganding” yang diperkirakan sebelum abad ke-15. Sedangkan pengembangannya menjadi “calong” diperkirakan di awal peradaban Arajang Balanipa (abad ke-15). Disebut “calong”, mungkin berasal dari dua kata “caq” dan “long”. “Caq” itu bunyi yang dikeluarkan saat pemukul mengenai bilah dan “long” berasal dari kata “tillotillong” (suara mendayu-dayu) atau unsur bunyi alat musik yang menghantar getaran tabuh inti instrumen itu sendiri. Sedangkan “calong” secara terminologi adalah sebuah alat musik tradisional Mandar yang termasuk jenis musik idiofon. Berfungsi menciptakan suasana riang serta memberi isyarat terhadap sesama, baik itu di kebun maupun di lingkungan masyarakat. Kacaping Instrumen “kacaping” (kacapi) sangat digemari masyarakat suku-suku di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Tentu beda kuantitas penggemar dulu dan sekarang. Itu jugalah yang mempengaruhi semakin berkurangnya pemain kecapi saat ini. Kata “kacapi” dan “kacaping”, menurut Christian Pelras (Manusia Bugis, hal. 227) diambil dari kata Sansekerta. Walau dalam beberapa kamus (misalnya entri “kecapi” di www.wikipedia.com) kecapi digolongkan ke dalam alat musik khas Sunda, tapi kecapi orang Mandar atau orang Bugis tidak tergolong didalamnya, sebab yang dimaksud kecapi orang Sunda adalah sejenis alat musik sitar (dengan banyak senar).

Kecapi Mandar alat musik yang dawainya hanya dua (berdawai ganda). Oleh para ahli musik (etnomusikolog) digolongkan alat musik berbentuk perahu karena lehernya berbentuk “anjong” (haluan) perahu. Kecapi Mandar memiliki kemiripan dengan berbagai jenis instrumen serupa, baik di Pulau Sulawesi maupun di luar itu. Orang Batak menyebutnya “hasape”, orang di pantai barat daya Sumatera menyebutnya “kucapi”, orang Ngaju menyebutnya “kanjapi”, “sape” oleh orang Kenyah-Kayah di Kalimantan, “kusyapig” oleh orang Palawan (Filipina), dan “kudyapig” oleh orang Mindanao (juga orang Filipina). Menurut Gorlinski (dalam “Some Insight into the Art of Sape Playing”, The Sarawak Museum Journal, 1988), prototipe alat musik yang berasal dari India tersebut diperkenalkan ke Asia Tenggara pada periode Hindu-Budha, dan dapat dilihat pada relief yang dibuat pada abad kedelapan. Pengetahuan masa lampau itu terwariskan oleh para pemain kecapi, yang masa sekarang amat jarang. Bila dalam bahasa pelestarian lingkungan hidup, mungkin disebut “sangat langka”. Salah satu sosok yang selama puluhan tahun bergelut dengan dawai “kacaping” adalah Marayama. Jumlah “pakkacaping” (pemain) “kacaping” (kecapi) di tanah Mandar bisa dihitung jari. Khusus di kawasan Balanipa, yang eksis hanyalah Marayama dan Satuni (Tandassura), Ka’dara (Tammejarra), Ka’musa (Taloloq), Baharuddin (Galung Tulu) dan Pakai (Botto).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.