ebook menyapa publik

Page 1


MENYAPA PUBLIK Analisis Berita LPP RRI Pro 3 dan Program Indonesia Menyapa



MENYAPA PUBLIK Analisis Berita LPP RRI Pro 3 dan Program Indonesia Menyapa

Penanggung Jawab Sunarya Ruslan Ketua Tim Dakhril Sekretaris Diran Peneliti Puji Rianto Wisnu Martha Adiputra Iwan Awaluddin Yusuf Anna Susilaningtyas Intania Poerwaningtias Diyah Hayu Rahmitasari

Puslitbangdiklat LPP RRI - PKMBP 2010


MENYAPA PUBLIK

Analisis Berita LPP RRI Pro 3 dan Program Indonesia Menyapa Penulis

: Puji Rianto Wisnu Martha Adiputra Iwan Awaluddin Yusuf Anna Susilaningtyas Intania Poerwaningtias Diyah Hayu Rahmitasari

Desain Sampul

: Dhanan Arditya

Tata Letak

: I Poerwaningtias

Cetakan I, Maret 2009 Diterbitkan oleh

: Puslitbangdiklat LPP RRI dan Pusat Kajian Media dan Budaya Populer Yogyakarta

ISBN 978-979-16770-4-2


SAMBUTAN DIREKTUR ADMINISTRASI DAN KEUANGAN

(Mewakili Direktur Utama LPP RRI)

Buku yang sampai ke tangan pembaca ini merupakan hasil penelitian isi acara Program Berita Sentral Warta Berita dan Indonesia Menyapa yang dilakukan oleh Puslitbangdiklat. Sebelumnya, Puslitbangdiklat telah meneliti isi siaran berita dalam rangka Pemilu legislatif yang dilakukan oleh Tim Peneliti Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP). Hasil penelitian yang lalu walau secara umum cukup bagus, tetapi, dalam beberapa hal, program siaran berita belum sesuai dengan apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip siaran radio publik dimana sumber berita dari siaran-siaran kita yang lalu masih lebih cenderung pada narasumber yang berasal dari Pemerintah. Saya kira penelitian ini akan lebih valid hasilnya karena tinjauannya menggunakan dua metode penelitian, yakni kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui program-program unggulan kita, yakni Berita Sentral dan Indonesia Menyapa, apakah sudah sesuai dengan prinsipprinsip Lembaga Penyiaran Publik? Analisis kualitatif yang digunakan oleh teman-teman peneliti ini adalah, salah satunya, analisis framing yang sebetulnya merupakan perangkat atau metode penelitian yang mampu melihat isi berita secara lebih detail dikaitkan dengan agenda setting dan kebijakan redaksional. Penelitian ini hendak melihat bagaimana siaran berita dan Indonesia Menyapa secara objektif, apakah wacana yang dihadirkan sudah sesuai dengan yang seharusnya? Dalam kaitan ini, adakah hal-hal yang belum memenuhi kriteria sebagai Lembaga


Penyiaran Publik? Meskipun demikian, saya sangat bangga dengan Indonesia Menyapa karena merupakan salah satu ikon RRI dari Pro 3 dimana isu-isu yang diangkat merupakan isu-isu yang sangat aktual yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Meskipun begitu, kita tidak boleh berpuas diri, tetapi harus terus melakukan evaluasi untuk memperbaiki dan mengembangkan program di masa-masa mendatang. Kami memang sangat mengharapkan penelitian ini adalah penelitian mengenai content, apakah sudah objektif, independent, netral, dan betul-betul mencerminkan sebagai Lembaga Penyiaran Publik? Dalam hal ini, bagaimana publik atau masyarakat itu menjadi “artis� di Indonesia Menyapa, apakah secara proporsional porsinya sudah seimbang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta masyarakat. Saya kira, selama ini, apa yang dibuat oleh teman-teman dalam Tim Indonesia Menyapa sudah memenuhi kriteria itu meskipun mencari narasumber kadang-kadang juga sangat sulit. Meskipun demikian, jika melalui penelitian ini hasilnya mungkin tidak sesuai dengan yang kita harapkan, maka kembali saya ingatkan sekali lagi bahwa kita tidak perlu berkecil hati karena tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas siaran LPP RRI, utamanya program berita sentral dan Indonesia Menyapa. Dalam hal ini, kita harus secara berkelanjutan meningkatkan kualitas siaran sehingga kita semestinya terbuka terhadap masukan ataupun kritik. Sekian terima kasih, maju terus LPP RRI.

Jakarta, 21 Februari 2010 Direktur Administrasi dan Keuangan (Mewakili Direktur Utama LPP RRI)

Dra. Rosarita Niken Widiastuti, M.Si.

vi


KATA PENGANTAR

Buku dengan judul Menyapa Publik ini sebenarnya merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bidang Litbang Puslitbangdiklat terhadap Program Siaran Warta Berita dan Indonesia Menyapa Pro 3 LPP RRI. Dengan diterbitkannya hasil penelitian tersebut menjadi buku, kami berharap hasil-hasil penelitian ini tidak hanya disimpan dalam rak, tetapi juga dibaca oleh banyak pihak terutama segenap pengelola LPP RRI. Di Indonesia, tradisi penelitian mungkin tidak sekuat di negara-negara industri maju. Padahal, peran riset sangatlah penting bagi pengembangan organisasi di tengah “kompetisi� yang semakin kuat. Bagi LPP RRI, yang sejak dikukuhkan sebagai lembaga penyiaran publik menurut UU No. 32 tahun 2002, peranan penelitian menjadi semakin penting. Ini karena setidaknya dua alasan. Pertama, sebagai lembaga penyiaran publik, LPP RRI harus selalu menyajikan program yang dibutuhkan oleh masyarakat. Untuk itu, secara regular, LPP RRI melalui Bidang Litbang Puslitbangdiklat mestinya bisa membuat riset berkala yang ditujukan untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh publik. Kedua, selain mengetahui apa yang dibutuhkan publik, sebuah riset evaluasi juga penting dilakukan guna menjamin prinsip akuntabilitas kepada publik. Dengan riset-riset semacam ini, segenap penyelenggara LPP RRI menjadi tahu apa yang mesti dibenahi demi kebaikan-kebaikan program siaran di masa yang akan datang. Penelitian Program Warta Berita dan Indonesia


Menyapa LPP RRI ini merupakan penelitian ketiga yang dilakukan oleh Bidang Litbang. Sebelumnya, Bidang Litbang telah melakukan penelitian terhadap bahasa siaran dan objektivitas siaran berita LPP RRI Pro 3 dalam siaran Pemilu Legislatif. Hasil-hasil penelitian tersebut telah didistribusikan guna mendapatkan respon dari pihakpihak terkait di lingkungan LPP RRI. Pada masa datang, penelitian akan terus digalakkan guna memperbaiki kualitas siaran LPP RRI, dan tentu saja sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada publik. Penelitian ini hanya untuk program siaran Warta Berita dan Indonesia Menyapa sehingga tidak ditujukan untuk “menilai� RRI Pro 3 secara keseluruhan. Meskipun demikian, kami tetap berharap agar hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi peningkatan kualitas siaran RRI Pro 3. Penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, kami hendak mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada Dewan Direksi, Dewan Pengawas, teman-teman peneliti Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta yang telah bersedia menjadi bagian dari tim peneliti Puslitbangdiklat, teman-teman di Pusat Pemberitaan yang telah meluangkan waktu untuk diwawancarai selama proses penelitian ini, teman-teman di Pustlitbangdiklat serta banyak pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan buku hasil penelitian benarbenar memberikan manfaat seperti yang kita harapkan. Selamat membaca! Jakarta, 27 Januari 2010 Kapuslitbangdiklat LPP RRI

Ir. H. Sunarya Ruslan, MSEE

viii


DAFTAR ISI

SAMBUTAN DIREKTUR ADMINISTRASI DAN KEUANGAN_v KATA PENGANTAR__vii DAFTAR ISI__ix

BAGIAN I WARTA BERITA__1

PENDAHULUAN__3 A. Latar Belakang Penelitian__3 B. Pertanyaan Penelitian__4 C. Tujuan Penelitian__5 D. Manfaat Penelitian__5 E. Metodologi__5 1. Sifat Penelitian__5 2. Metode Penelitian__5 3. Objek Penelitian__6 4. Teknik Pengumpulan Data__6 5. Teknik Analisis Data__6 LANDASAN TEORI__9 A. Berita dan Kriteria Layak Berita__9 B. Menakar Kualitas Berita__12 PERFORMANCE BERITA RRI PRO 3__15 A. Deskripsi Berita__15 B. Kategori Berita__16 C. Asal Berita__18 D. Tema Berita__19 E. Narasumber Berita__19 F. Akurasi__21


G. Completeness__22 H. Relevance__23 I. Objektivitas Berita__26 KESIMPULAN DAN SARAN__35 A. Kesimpulan__35 B. Saran__36 DAFTAR PUSTAKA__39

BAGIAN II INDONESIA MENYAPA__41 PENDAHULUAN__43 A. Latar Belakang__43 B. Pertanyaan Penelitian__44 C. Tujuan Penelitian__45 D. Manfaat Penelitian__45 E. Metodologi __45 1. Sifat Penelitian__45 2. Metode Penelitian__46 3. Teknik Pengumpulan Data__46 4. Teknik Analisis Data__46

LANDASAN TEORI__47 A. “Ruang Publik” Media__48 B. Kepentingan Publik dalam Konteks Public Broadcasting__50 C. Talkshow sebagai Perwujudan Ruang Publik di Radio__51 ANALISIS FRAMING INDONESIA MENYAPA__55 A. Kerangka Teoritik__55 B. Deskripsi Program Berita Indonesia Menyapa__62 C. Analisis Bingkai (Frame Analysis) Indonesia Menyapa__64 1. Frame (Bingkai) Utama__64 2. Perangkat Pembingkaian__72 3. Perangkat Penalaran__80 D. Kesimpulan__86 ANALISIS WACANA INDONESIA MENYAPA__89 A. Perspektif Teoritik: Analisis Wacana Kritis__89 B. Bahasa dan Representasi__91 C. Hasil Analisis Wacana Kritis Dialog Interaktif Indonesia Menyapa__93 1. Analisis Tekstual__93 2. Discourse Practice__114 3. Sociocultural Practice__117


Menyapa Publik D. Kesimpulan__119 ANALISIS ISI INDONESIA MENYAPA__121 A. Kerangka Konsep dan Metodologi__121 B. Analisis Kuantitatif Indonesia Menyapa__123 1. Jadwal/Bulan Siaran__123 2. Kategori Dialog Interaktif__124 3. Tema Dialog__127 4. Narasumber Dialog__128 5. Evaluasi Narasumber secara Umum__129 6. Obyektivitas Dialog__132 7. Penilaian Dialog Interaktif secara Umum__141 C. Kesimpulan__144 KESIMPULAN DAN SARAN__147 A. Kesimpulan__147 B. Saran__153 DAFTAR PUSTAKA__157

xi


xii


BAGIAN I

WARTA BERITA



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian Sistem politik demokrasi, sebagaimana digariskan dalam konstitusi negara, mensyaratkan adanya keterlibatan publik dalam proses-proses kebijakan. Untuk itu, warga negara harus mempunyai informasi dan pengetahuan yang cukup mengenai berbagai isu kebijakan, termasuk di dalamnya apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pemerintah. Robert Dahl (Schudson, 1996: 212) mengemukakan bahwa demokrasi mensyaratkan adanya “pemahaman yang memadai� (adequate understanding) dimana warga negara mempunyai pemahaman untuk menemukan pilihan-pilihan mereka sendiri, dan ini seharusnya menjadi tujuan berita media. Kemudian, agar masyarakat atau lebih tepatnya warga negara mampu terlibat dalam proses-proses kebijakan publik maka keseluruhan warga negara harus mempunyai cukup informasi. Dengan kata lain, demokrasi hanya akan berlangsung efektif, dalam pengertian melibatkan partisipasi warga negara, jika mereka cukup mendapatkan informasi atau menjadi warga negara yang well informed. Jika tidak, maka demokrasi akan kehilangan substansinya. Untuk itu, media mempunyai peran penting dalam menyediakan informasi bagi masyarakat melalui, salah satunya, praktik jurnalisme. Dalam dunia media, praktik jurnalisme ini menghasilkan apa yang sering disebut sebagai berita, yang dalam konsep modern dipahami sebagai sarana untuk menyediakan informasi yang paling penting bagi warga negara,


Warta Berita berasal dari sudut pandang aktivitas politik, dan meluruskan serta mengarahkan diskusi publik, suatu fungsi yang diambil begitu saja oleh jurnalisme media cetak ataupun media penyiaran (McNair,2003: 21). Jadi, demokrasi hanya akan mempunyai makna jika warga negara mendapatkan informasi dan tugas jurnalisme adalah menyediakan informasi kepada mereka (Gans, 2003: 1). Dalam praktik jurnalisme, informasi tersebut lahir dalam bentuk berita, baik hard news maupun soft news, investigatif maupun intepretatif. Begitu sentralnya informasi bagi warga negara dalam sistem demokrasi, maka, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa kualitas informasi akan sangat menentukan kualitas demokrasi. Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi oleh media, utamanya lembaga siaran publik seperti RRI adalah bagaimana menyediakan informasi yang berkualitas bagi warga negara. Dalam kaitan ini, “kualitas� informasi dipahami sebagai sejauh mana berita yang disiarkan oleh media mampu menjawab kebutuhan-kebutuhan warga negara. Oleh karena itu, berlaku berbagai ukuran yang biasanya dapat dirujuk melalui kaidahkaidah jurnalisme profesional, yakni jurnalisme yang menjunjung tinggi objektivitas dan netralitas (lihat Rianto, 2007). Bagi LPP-RRI, usaha menyediakan informasi bagi warga negara menjadi salah satu tugas penting yang tidak bisa diabaikan. Ini sesuai dengan prinsip radio publik sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang No. 32 Tahun 2002. Sebagai radio publik, RRI harus berperan sebagai penyeimbang media swasta yang lebih berusaha mengejar keuntungan (profit oriented). Lebih lanjut, sebagai lembaga penyiaran publik, RRI seharusnya bekerja berdasarkan atas prinsipprinsip fairness dan imparsial (Subiyakto, 2001; McQuail, 1992), yang orientasi utamanya adalah melakukan pemberitaan yang objektif dan pelayanan terhadap publik yang beragam untuk menjamin social diversity maupun political diversity sesuai dengan konteks Indonesia (Subiyakto, 2001: 4) Penelitian ini hendak mengkaji berita-berita yang disiarkan RRI Pro 3. Dalam menilai berita yang disiarkan oleh RRI Pro 3, penelitian ini akan bersandar pada kaidah-kaidah jurnalisme profesional. Beberapa ukuran dalam menilai kualitas berita, penelitian ini akan bersandarkan pada objektivitas dan netralitas, yang keseluruhan kriteria dan ukurannya diturunkan dari konsep media performance yang dikemukakan oleh McQuail (1992). B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah dipaparkan di atas, pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kualitas berita yang disiarkan RRI Pro 3?


Menyapa Publik 2. Apakah dalam menyiarkan berita RRI Pro 3 telah memegang teguh prinsip-prinsip jurnalisme profesional? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam rangka meraih tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Mengetahui kualitas pemberitaan RRI Pro3 2. Mengindentifikasi persoalan-persoalan yang muncul dalam berita RRI Pro 3 3. Melihat tingkat objektivitas dan netralitas siaran berita RRI Pro 3 D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi jurnalis dan jajaran redaksional untuk memperbaiki kualitas pemberitaan RRI Pro 3 2. Sebagai bahan masukkan bagi segenap manajemen RRI untuk memperbaiki kualitas siaran berita E. Metodologi 1. Sifat Penelitian Untuk menilai kualitas berita RRI Pro 3, penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan pendekatan yang didasarkan pada angka-angka statistik, dan biasanya paradigma yang digunakan adalah objektivis (Lincoln dan Guba, 1992) 2. Metode Penelitian Metode analisis isi kuantitatif, untuk membedakannya dengan metode analisis isi kualitatif, akan digunakan untuk menilai kualitas berita RRI Pro 3. Herbert Gans (Rahayu, 2006: 32-33) mengemukakan “a content analisis can observe recurring patterns in the news and can find structure in its content�. Sementara itu, Holsti (Rahayu, 2006: 32) mengemukakan bahwa metode analisis isi merupakan suatu teknik untuk mengambil kesimpulan dengan mengidentifikasi berbagai karakteristik khusus suatu pesan secara objektif, sistematis, dan generalis. Menurut Berelson dan Kerlinger (1952; dalam Wimmer & Dominick, 2000: 135) dan Holsti (1969: 2-3), analisis isi merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, objektif, kuantitatif, dan generalis terhadap pesan yang tampak. Sistematik artinya segala proses analisis harus tersusun melalui proses yang terstruktur, mulai dari penentuan isi pesan yang dianalisis, cara menganalisisnya, maupun kategori yang digunakan


Warta Berita untuk menganalisis. Penetapan isi atau kategori dilakukan menurut aturan yang diterapkan secara konsisten. Objektif berarti menurut aturan atau prosedur yang apabila dilaksanakan oleh orang (peneliti) lain dapat menghasilkan kesimpulan yang serupa. Artinya bahwa peneliti harus mengesampingkan faktor-faktor yang bersifat subjektif atau bias personal sehingga hasil analisis benar-benar objektif dan bila dilakukan riset lagi oleh orang lain, maka hasilnya relatif sama. Kuantitatif artinya analisis isi bisa dikuantifikasikan ke dalam angkaangka. Generalis artinya temuan harus memiliki relevansi teoritis. Informasi yang didapat dari analisis isi dapat dihubungkan dengan atribut lain dari dokumen dan mempunyai relevansi teoritis yang tinggi. Dalam penelitian ini, metode analisis isi akan digunakan untuk menilai kualitas berita RRI Pro 3. Oleh karena itu, keseluruhan prosedur dalam analisis isi seperti pembuatan koding sheet, uji realibilitas, dan lain sebagainya diterapkan secara konsisten. Kemudian, breakdown atas kualitas yang akan diuji dalam penelitian ini, akan menggunakan sebagian konsep media performance yang dikemukakan oleh McQuail. 3. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah berita yang disiarkan oleh RRI Pro 3. Berita yang diteliti adalah berita yang disiarkan oleh RRI Pro 3 dalam Program Warta Berita. Kemudian, untuk waktu penyiarannya adalah sebagai berikut. a. Warta Berita pukul 06.00-06.25 WIB b. Warta Berita pukul 07.00-07.25 WIB c. Warta Berita pukul 13.00-13.25 WIB d. Warta Berita pukul 19.00-19.25.WIB 4. Teknik Pengumpulan Data Berita yang diteliti adalah berita yang disiarkan pada 5 Agustus5 September 2009. Pada tahap pertama, berita yang disiarkan pada program Warta Berita tersebut direkam dan kemudian ditranskrip oleh transkripter. Hasil transkripter inilah yang kemudian dijadikan objek penelitian. 5. Teknik Analisis Data dan Uji Reliabilitas Sebagai sebuah penelitian kuantitatif, penelitian ini akan menggunakan statistik untuk menganalisis data yang dihasilkan dari proses pengkodingan. Data akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS 10. Sebelum analisis data dan pengkodingan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah istilah yang digunakan tentang sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif


Menyapa Publik konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi, 1989: 175). Uji reliabilitas juga dilakukan untuk melihat apakah coding sheet dimaknai sama oleh coder. Menurut Berger (2000: 183), koefisien reliablilitas yang dapat diterima biasanya adalah 90%. Jika koefisien reliabilitas tidak sampai 90%, maka definisi operasional perlu dibuat lebih spesifik lagi. Penelitian ini mensyaratkan ambang batas reliabilitas sebesar 95% sebagai ambang batas yang dianggap layak. Dalam analisis isi kuantitatif, uji reliabilitas biasanya dilakukan berdasarkan rumus sebagai berikut (Rahayu, 2006).

Koefisien Reliabilitas =

Jumlah unit dalam kategori yang sama Jumlah total unit-unit yang dikode

Uji reliabilitas pertama dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2009. Pengujian dilakukan terhadap 5 item berita. Dalam uji reliabilitas yang dilakukan terhadap 4 orang coder, dicapai angka koefisien reliabilitas sebesar 96%. Pengukuran reliabilitas diujikan kembali pada pertengahan proses coding, yaitu pada tanggal 24 Oktober 2009. Uji reliabilitas kedua ini hasilnya mencapai angka 100%. Uji reliabilitas kedua dilakukan untuk menjaga atau melihat konsistensi coder saat melakukan proses coding. Nilai 96% dan 100% pada uji reliabilitas menunjukkan bahwa instrumen penelitian yang dibuat sudah reliable.



LANDASAN TEORI

A. Berita dan Kriteria Layak Berita Mendefinisikan berita tidaklah selalu mudah. Ini dapat dilihat dari banyaknya definisi yang bisa ditemukan dalam literatur-literatur yang membahas mengenai jurnalistik. Meskipun demikian, definisi tetaplah penting karena memudahkan kita dalam usahanya untuk membedakan dengan yang lain. Definisi, dalam pengertian ini, berarti membatasi. Berita pada dasarnya adalah sesuatu dimana sebagian besar orang ingin mengetahuinya. Berpijak pada pandangan ini, berita biasa didefinisikan sebagai three W’s, yakni woman, wampun, and wrongdoing yang biasa diterjemahkan sebagai sex, uang, dan kriminal (Mencer, 2000: 67). Pendefinisian berita seperti ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh praktik jurnalisme liberal dimana sensasionalisme menjadi ciri pokok. Namun, demi kepentingan penelitian ini, pendefinisian berita semacam itu tidaklah cukup. Oleh karena itu, definisi yang mengatakan bahwa berita merupakan “really a sense of what important what is vital, what has color and life-what people interested in. That journalism“, sebagaimana didefinisikan oleh Burton Roscoe dari Chicago Tribun (1920s) menjadi lebih bisa diterima. Di sini, berita tidak hanya dipahami sebagai sesuatu yang menarik orang, tetapi bahwa yang menarik tersebut sesuatu yang penting. Penting bagi pembaca atau pendengar, baik dalam konteks kehidupan keseharian mereka maupun, lebih-lebih, dalam kehidupan politik demokrasi.


Warta Berita Di sisi lain, berita juga merupakan kebenaran. Sebagaimana dikemukakan oleh Gerry Goldstein (Mencer, 2000: 67), “News is truth that matters”. Dalam kaitan ini, Ashadi Siregar dkk (1998: 34) mengemukakan bahwa peristiwa sebagai suatu realitas sesungguhnya dibangun oleh sejumlah fakta, yang tidak selalu statis, tetapi senantiasa berkembang dinamis. Dengan kata lain, berita selalu berkenaan dengan hal-hal yang bersifat faktual, bukan rekaan atau imajinasi wartawan. Kebenaran dalam jurnalistik adalah kebenaran faktual, yang berarti bahwa yang dianggap ada hanyalah fakta. Boleh saja ada pendapat atau pernyataan, tetapi semuanya harus diuji secara empiris, yaitu dengan pengalaman faktual, dan fakta inilah yang diberitakan (Siregar, dkk, 1998: 37-38). Lebih lanjut, Mencer (2000: 68) mengemukakan bahwa berita dalam media massa mengikuti dua petunjuk umum, yakni “news is information about break from what events, an interruption in the expected, a deviation from the norm” dan “news is information people need to make sound decisions about their lives”. Jadi, dengan merujuk pada dimensi kedua mengenai berita sebagaimana dikemukakan oleh Mencer maka berita pada dasarnya harus memenuhi kebutuhan masyarakat, yang dalam kaitan ini dapat disempitkan menjadi kebutuhan pembaca atau pendengar. Menurut Ashadi Siregar dkk, secara sederhana, motivasi pembaca atau pendengar adalah keinginan dasar setiap manusia, yaitu memenuhi tujuan hidupnya. Apapun tujuan hidup manusia, menurut Siregar dkk, lebih lanjut, tidak lain dari menghindar dari marabaya dan mencapai kemajuan. Selain juga, ingin memperoleh ganjaran psikologis langsung, yakni kesenangan. Pada kenyataannya, terdapat banyak peristiwa di dunia, dan begitu banyak kebutuhan dan keinginan manusia akan informasi. Dalam situasi semacam itu, tidak semua peristiwa menjadi sesuatu yang layak diberitakan. Menurut Siregar dkk (1998: 27), suatu peristiwa dikatakan mempunyai nilai kelayakan berita jika ia mengandung unsur penting dan menarik dalam kejadian tersebut. Para pengelola media kemudian mengembangkan apa yang sering disebut sebagai kriteria layak berita (newsworthiness). Newsworthiness yang digunakan sebagai panduan untuk menilai apakah sebuah berita itu penting dan menarik pembaca ataukah tidak. Ada banyak unsur nilai berita yang ditawarkan oleh beberapa penulis dan wartawan (Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2005; Santana K, 2005; Mencer, 2000), tetapi secara umum unsur-unsur nilai berita setidaknya mengandung enam hal (Siregar, dkk, 1998: 27-28), yakni signifikan, magnitude, timeliness, proximity, prominence, dan human interest. Signifikan (penting) merujuk pada suatu kejadian yang mempunyai kemungkinan mempengaruhi kehidupan orang banyak 10


Menyapa Publik atau kejadian tersebut mempunyai akibat bagi kehidupan pembaca. Kenaikan harga BBM, misalnya, jelas merupakan berita yang mempunyai nilai signifikansi tinggi karena menyentuh secara langsung kehidupan pendengar, utamanya kelompok menengah ke bawah. Magnitude (besar) merujuk pada besaran suatu peristiwa. Biasanya, ia berhubungan dengan jumlah atau sesuatu yang bersifat kuantitatif. Angka-angka tersebut mempunyai arti bagi orang banyak. Timeliness berhubungan dengan waktu kejadian. Berita berhubungan dengan hal-hal yang bersifat faktual. Timeliness merujuk pada keaktualan sebuah berita. Proximity atau sering disebut dengan kedekatan. Ini bisa bersifat geografis, tetapi juga psikologis (emosional). Berita mengandung unsur proximity jika peristiwa tersebut mempunyai kedekatan dengan pembaca, misalnya, RRI Yogyakarta menyiarkan kebakaran di wilayah Malioboro. Peristiwa ini jelas mempunyai proximity geografis bagi pendengar RRI Yogyakarta, tetapi sekaligus juga akan mempunyai arti kedekatan secara emosional bagi mantan mahasiswa UGM yang sekarang, katakanlah, menjadi pejabat di pusat pemerintahan. Oleh karena itu, berita tentang kebakaran di Malioboro akan mempunyai kedekatan secara emosional bagi dirinya. Prominence merujuk pada ketenaran suatu hal. Ini bisa menyangkut orang ataupun benda. Terakhir, human interest. Suatu kejadian bisa masuk ke dalam kategori human interest dan karenanya layak diberitakan jika kejadian tersebut memberikan sentuhan perasaan bagi pembaca atau pendengar, kejadian yang menyangkut orang biasa dalam situasi luar biasa atau orang besar dalam situasi biasa. Penting Signifikan Timeliness Magnitude Proximity Prominence Human interest Menarik Ashadi Siregar, dkk, 1998: hal. 30 Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa semakin signifikan suatu berita, dalam pengertian semakin berarti bagi kehidupan pendengar maka semakin pentinglah berita tersebut. Sebaliknya,

11


Warta Berita semakin ia menyentuh human interest, hal-hal yang bersifat emosional, maka semakin menariklah berita tersebut. Dalam dunia jurnalistik, baik cetak maupun penyiaran, semakin banyak unsur nilai berita yang terkandung dalam sebuah berita maka semakin layaklah peristiwa tersebut diberitakan, begitu sebaliknya. B. Menakar Kualitas Berita Salah satu tugas penting media siaran publik sebagaimana dikemukakan oleh McQuail adalah menyediakan informasi yang berkualitas. Di sini, informasi yang berkualitas merujuk pada pengertian bahwa media: (1) harus menyediakan informasi secara penuh beritaberita yang relevan dengan background informasi mengenai berbagai peristiwa masyarakat dan dunia; (2) informasi harus obyektif dalam arti akurat, jujur, benar, dapat dipercaya, dan memisahkan fakta dengan opini; (3) informasi harus seimbang dan pelaporan yang fair (tidak memihak) dengan menghadirkan berbagai perspektif alternatif dalam cara yang tidak sensasional, dan tidak bias (McQuail, 1994: 248). Kualitas berita ini biasanya diukur dengan melihat obyektivitas pemberitaan yang disiarkan oleh media. Di sini, pemahaman tentang obyektivitas tidak hanya sebatas pada memisahkan fakta dengan opini sebagaimana telah sering dibahas dalam ragam jurnalistik, tetapi lebih dari itu. Obyektivitas, sebagaimana dikemukakan McQuail (1992), meliputi dua dimensi pokok, yakni dimensi kefaktualan sebuah berita dan dimensi imparsialitas. Secara diagramatik, penilaian mengenai obyektivitas dalam berita dapat dilihat dalam diagram di bawah ini (McQuail, 1992: 96).

12


Menyapa Publik Berdasarkan diagram atau bagan di atas, obyektivitas bukan hanya semata pada pemisahan antara fakta dengan opini, tetapi juga menyangkut pula dimensi kebenaran (truth) dan juga relevansi. Faktualitas itu sendiri dapat diartikan sebagai kualitas informasi yang dikandung oleh suatu berita, sedangkan kriteria kualitas informasi adalah potensial bagi audiens untuk belajar tentang realitas (McQuail, 1992: 197). Untuk itu, faktualitas memiliki tiga aspek utama, yaitu kebenaran (truth), informativeness, dan relevance. Di sini, kebenaran lebih menyangkut pada aspek-aspek reliabilitas dan kredibilitas sebuah berita, yakni seberapa jauh pengamat yang berbeda setuju terhadap ‘fakta’, sejauh mana laporan dapat disikapi dengan percaya diri, dan sejauh mana laporan tersebut konsisten dengan pengalaman pribadi (McQuail, 1992: 197). Selanjutnya, McQuail membagi aspek kebenaran menjadi tiga subaspek, yakni factualness, akurasi, dan completeness. Selanjutnya, McQuail (Rahayu, 2006) membedakan aspek evaluatif ini menjadi dua, yakni balance dan netralitas. Balance lebih berhubungan dengan seleksi atau penghilangan fakta-fakta yang mengandung nilai atau ekspresi point of view mengenai apa yang dianggap sebagai ‘fakta’ oleh pihak-pihak yang terkait dalam perdebatan, sedangkan netralitas lebih berhubungan dengan presentasi fakta itu sendiri yang dapat dievaluasi dari penggunaan kata-kata, citra, dan frames of reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya presentasi yang berbeda. Secara lebih detil, kedua dimensi tersebut dapat dilihat pada bagan berikut.

13



PERFORMANCE BERITA RRI PRO3 A. Deskripsi Berita 1. Hari Siaran Sampel dalam penelitian diambil dari beritaberita yang disiarkan selama periode AgustusSeptember 2009 dari hari Senin-Minggu. Adapun sebaran berita yang diteliti adalah: 29 item berita (14,5 %) untuk hari Senin dan Selasa, 41 item (20,5 %) untuk berita hari Rabu, 25 item (12,5%) untuk berita hari Kamis dan Minggu, 31 item (15,5%) untuk berita hari Jumat, dan 20 item (10%) untuk berita hari Sabtu. Grafik 1 Hari Siaran

14,5% 14,5% 20,5% 12,5% 15,5% 10% 12,5%

senin selasa rabu kamis jumat sabtu minggu


Warta Berita 2. Bulan Siaran Untuk frekuensi bulan siaran, bulan Agustus memiliki frekuensi 90,5% atau 181 kali, sementara bulan September memiliki frekuensi 9,5% atau 19 kali. Bulan Agustus memiliki frekuensi siaran lebih besar karena siaran berita yang digunakan dalam penelitian mulai dari tanggal 5 Agustus 2009 hingga 5 September 2009. Grafik 2 Bulan Siaran September

Agustus

9,5%

90,5%

B. Kategori Berita 1. Format Berita Dari segi waktu penayangan dan kekuatan materi berita yang disampaikan kepada pendengar, berita radio dapat dibagi menjadi tiga: 1) Hard News, yaitu berita aktual yang baru saja terjadi atau laporan langsung saat peristiwa tersebut terjadi. Hard News bertutur tentang konflik yang menyentuh emosi tinggi seperti berita peperangan, kerusuhan, pergantian mendadak seorang tokoh publik; 2) Soft News, yaitu berita lanjutan yang lebih bersifat laporan peristiwa tanpa terikat waktu, lebih menekankan pada faktor human interest, perilaku dan tempat-tempat yang bisa memengaruhi banyak orang, Soft News dapat berisi berita peristiwa rutin, seperti informasi pembangunan, seminar, ritual budaya, pelantikan pejabat, dan 3) In-Depth News, yaitu berita mendalam (lebih dari sekadar paparan fakta permukaan), biasanya dikemas dalam format feature, tetapi bisa pula dalam berita bersisipan dengan syarat penekanan isinya terletak pada proses pendalaman kasus atau tinjauan aspek lain dalam suatu peristiwa (Masduki, 2001). Dari 200 berita yang diteliti dalam penelitian ini, sebanyak 174 berita (87%) merupakan hard news, 25 berita (12,5%)

16


Menyapa Publik menggunakan soft news, sementara sisanya, 1 buah berita (0,5%) berformat feature. Grafik 3 Format Berita features 0,5%

hard news

soft news 12,5%

87%

2. Penempatan Berita Seperti umumnya pemberitaan radio, ada tiga penempatan berita dalam pemberitaan RRI Pro 3, yaitu bagian awal, bagian tengah dan bagian akhir. Penempatan ini biasanya ditentukan oleh lebih atau kurang pentingnya sebuah berita. Selain itu, juga untuk menarik perhatian pendengar mengingat sifat radio yang memang selintas dengar. Jika dilihat dari satu kesatuan program acara berita, maka dari 200 berita selama periode Agustus-September 2009 yang dijadikan sampel, maka jumlah item berita yang diambil adalah sebagai berikut: 100 item (50%) berita yang ditempatkan di awal, dan sisanya (50%) adalah berita yang ditempatkan di akhir. Grafik 4 Penempatan Berita

bagian awal 50%

50% bagian akhir

3. Durasi Dari sisi durasi pemberitaan, sebanyak 19 berita berdurasi kurang dari satu menit. Artinya 9,5% persen dari 200 item berita yang diteliti berdurasi kurang dari 60 detik. Sembilan puluh tujuh berita (48,5%) berdurasi antara 1-2 menit, sedangkan sisanya 84 17


Warta Berita item (42%) berdurasi lebih dari 2 menit. Grafik 5 Durasi < 1 menit 10%

> 2 menit 42%

1-2 menit

48%

C. Asal Berita Asal berita adalah kata lain dari sumber berita, yaitu darimana berita tersebut berasal. Ragam asal berita antara lain konferensi pers, media center (pool), press release, observasi (pandangan mata, wawancara & pengumpulan data), mengutip dari media lain/ kantor berita, lainnya (asal berita di luar kategori sumber yang telah disebutkan sebelumnya). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 200 item berita, diperoleh data bahwa berita yang berasal dari konferensi pers berjumlah 4 item (2,0%). Untuk media center (pool), tidak ada berita yang berasal dari media center (pool). Hal yang sama juga terjadi pada asal berita lainnya, sedangkan untuk press release ada 3 item (1,5%). Berita yang berasal dari observasi, meliputi pandangan mata, wawancara dan pengumpulan data memiliki item terbanyak, yaitu 162 item berita (81%). Sisanya, 39 berita atau 19,5% dari keseluruhan berita, berasal dari media lain/kantor berita. Grafik 6 Asal Berita mengutip dari media/ kantor berita lain 18,8%

1,4% press release

1,9% konferensi pers 77,9% observasi

18


Menyapa Publik D. Tema Berita Tema berita dalam penelitian ini meliputi: Politik dan Pemerintahan; Perang, Pertahanan dan Diplomasi; Ekonomi; Kriminal; Persoalan-persoalan Moral Masyarakat; Pelayanan Kesehatan Masyarakat; Kecelakaan dan Bencana; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Pendidikan dan Kesenian; Hiburan; dan Lainnya. Keseluruhan kategori ini diambil dan dimodifikasi dari Flournoy (ed.) dalam bukunya Content Analysis of Indonesian Newspapers (1992: 22-24) Dari hasil proses pengkodean, ditemukan bahwa tema politik dan pemerintahan masih menjadi tema yang paling sering dibicarakan dalam siaran Warta Berita RRI, yaitu mencapai 24,5%. Diikuti dengan tema perang, pertahanan, dan diplomasi sebesar 22,5% dan kriminal (14,5%). Hiburan dan bencana menjadi tema selanjutnya yang paling banyak disiarkan, masing-masing sebesar 10,5% dan 7,5%. Masalah pendidikan dan kesenian hanya mempunyai porsi pemberitaan sebesar 3%. Sementara tentang pelayanan kesehatan masyarakat dan persoalan-persoalan moral masyarakat (nilai-nilai dalam masyarakat) hanya sebanyak 2,5% dan 1,5%. Adapun tema ilmu pengetahuan dan teknologi hanya diberitakan sebanyak 2 kali (1%). Grafik 7 Tema Berita 24,5% 22,5% 9,5% 14,5% 1,5% 2,5% 7,5% 1% 3% 10,5% 3%

politik dan pemerintahan perang, pertahanan, dan diplomasi ekonomi kriminal persoalan2 moral masyarakat pelayanan kesehatan masyarakat kecelakaan dan bencana ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan dan kesenian hiburan lainnya

E. Narasumber Berita Dalam kategori narasumber yang dibuat dalam penelitian ini, lembaga pemerintahan masih menempati porsi terbesar sebagai narasumber berita-berita RRI (37,5%). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah Presiden/wakil presiden/juru bicara presiden/PM (9,5%), Kementrian Negara (Departemen/Meneg/Menko/Setneg) sebesar 19,5%, dan Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/ Kota) 8,5%. Selanjutnya, narasumber dari TNI dan Polri mencapai 17,5% dan

19


Warta Berita lembaga kehakiman (11%). Warga atau masyarakat umum menempati posisi berikutnya, yaitu sebanyak 17 orang (8,5%) diikuti oleh lembaga perwakilan (MPR, DPR, DPD) sebesar 6% dan Perguruan Tinggi, akademisi, pengamat/ahli (4,5%). Perusahaan swasta atau negara menjadi narasumber sebanyak 7 kali (3,5%), lembaga pemilihan umum sebanyak 5 kali (2,5%), dan lembaga internasional (PBB, WHO, UNICEF) sebanyak 2%. Partai politik dan lembaga keuangan muncul dalam berita masing-masing sebanyak 2 kali (1%). Data narasumber selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 1 Narasumber Berita NO.

JUMLAH

%

12

6%

75

37,5%

35

17,5%

22

11%

5

2,5%

2

1%

2

1%

4

2%

9.

Partai Politik/Anggota Parpol Lembaga Internasional (WHO, UNICEF, PBB, dll) Perusahaan swasta atau negara

7

3,5%

10.

Perguruan Tinggi, akademisi, pengamat/ahli

9

4,5%

1.

NARASUMBER Lembaga Perwakilan a. MPR

1

0,5%

b. DPR (Senat dalam berita luar negeri)

9

4,5%

c. DPD

2

1%

19

9,5%

39

19,5%

17

8,5%

a. TNI (AU/AL//AD)

5

2,5%

b. Polri

30

15%

1

0,5%

12

6%

9

4,5%

3

1,5%

2

1%

2

1%

Lembaga Pemerintahan

2.

3.

4.

5. 6. 7. 8.

a. Presiden/wakil presiden/juru bicara presiden/PM b. Kementrian Negara (Menteri/ Departemen/Setneg) c. Pemerintah Daerah (Provinsi/ Kabupaten/Kota) TNI dan Polri

Lembaga Kehakiman a. Mahkamah Agung/Lembaga Peradilan b. Mahkamah Konstitusi c. Badan lain (KPK/Kejaksaan/ LP) Lembaga Pemilihan Umum a. KPU b. Lembaga Pemantau Pemilu Lembaga Keuangan a. Bank Sentral (Bank Indonesia)

20


Menyapa Publik 11. 12.

Warga/Masyarakat Umum Lainnya

17 48

8,5% 24%

Melihat porsi yang diberikan oleh RRI Pro3 bagi narasumber dari kalangan pemerintah yang sebesar 37,5% menunjukkan bahwa RRI masih berorientasi ke atas (elit pemerintah). Angka ini masih ditambah dengan pendapat dari kalangan Polri dan TNI yang mencapai 17,5%. Sementara pendapat masyarakat umum hanya sebesar 8,5%. Padahal, sebagai radio publik, RRI seharusnya memberikan ruang yang lebih banyak bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya ketimbang ruang bagi pemerintah. F. Akurasi Akurasi mengindikasikan perlunya verifikasi terhadap informasi. Akurasi digunakan untuk mengukur tingkat kebenaran sebuah berita atau peristiwa. Di sini, akurasi ditentukan oleh adanya cek dan ricek untuk berita-berita yang memang memerlukan cek dan ricek. Selain itu, juga akan dilihat apakah sumber-sumber berita telah disebutkan dengan jelas. 1. Cek dan Ricek Dari 200 item berita yang diteliti, keseluruhannya memerlukan mekanisme cek dan ricek, tetapi hanya 97,5% nya, yaitu 195 berita yang melakukan mekanisme ini dalam pemberitaannya. Artinya, masih ada reporter atau wartawan yang tidak melakukan cek dan ricek atas berita yang dibuatnya, yaitu sebanyak 2,5%. Padahal, cek dan ricek harus dilakukan oleh wartawan untuk menjaga akurasi berita sehingga berita dapat dipercayai kebenarannya. Grafik 8 Cek dan Ricek 2,5% tidak ada

97,5% ada

21


Warta Berita 2. Sumber Berita Dicantumkan dengan Jelas Untuk pencantuman sumber berita, sebanyak 27 (13,5%) berita tidak menyebutkan sumbernya secara jelas. Adanya kelalaian dalam menyebutkan sumber berita dengan jelas menyebabkan berita tidak dapat diverifikasi di lapangan oleh pendengar. Grafik 9 Sumber Berita Dicantumkan dengan Jelas 13,5% tidak

86,5% ya

G. Completeness Segi kelengkapan dilihat dengan membedah unsur-unsur yang seharusnya ada pada berita, yaitu What, Who, When, Where, Why dan How. Dalam dunia jurnalistik, unsur ini biasa disebut sebagai 5 W + 1 H. Dalam penelitian ini, kelengkapan berita yang disiarkan oleh RRI Pro 3 akan dilihat berdasarkan lengkap tidaknya kelima unsur ini dalam setiap berita yang disiarkannya. Dalam konteks ini, akan dijawab apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi semua, atau ada yang hilang, dan unsur apa yang paling sering tidak dicantumkan. Dari pengamatan atas 200 item berita yang diteliti, menunjukkan bahwa unsur What dan unsur Who selalu ada di pemberitaan RRI periode Agustus-September 2009. Namun, unsur When tidak dicantumkan sebanyak 99 kali (49,5%). Unsur Where disebutkan sebanyak 153 kali (76,5%) dan yang tidak mencantumkan unsur wherenya sebanyak 23,5%, unsur Why dan How tidak disebutkan sebanyak 5 dan 6 kali atau masing-masing 2,5% dan 3%.

22


Menyapa Publik Grafik 10 Unsur 5W+1H 100%

100%

97,5%

97% ya

76,5%

tidak 50,5% 49,5%

0% what

23,5%

0% who

when where

3%

2,5% why

how

Berdasarkan frekuensi kemunculan unsur tersebut, diperoleh data lanjutan bahwa pemberitaan RRI periode Agustus-September 2009 cacat secara kelengkapan sebanyak 111 kali atau lebih dari 50%. Secara rinci, dapat dilihat bahwa unsur when menjadi unsur yang paling sering tidak disebutkan disusul kemudian dengan unsur where. Tentunya, data ini memerlukan perhatian dari para reporter karena 5 W + 1 H dapat dikatakan sebagai kaidah dasar dalam menuliskan berita. Grafik 11 Completness

tidak lengkap 55,5%

44,5% lengkap

H. Relevance Relevansi merupakan kata kunci untuk menilai kualitas pemilihan berita (news selection). Relevansi memandang berita dari sudut nilai berita yang terdiri dari proximity (kedekatan, baik secara psikologis maupun geografis), timeliness (keterbaruan), significance (kepentingan/besarnya pengaruh), prominence (keterkemukaan), dan magnitude (besar kecilnya dampak peristiwa).

23


Warta Berita 1. Proximity Dari sisi kedekatan, berita-berita RRI yang memiliki kedekatan tinggi mencapai persentase 85,5%. Sebanyak 171 item berita terbukti memiliki tingkat proximity yang tinggi, baik kedekatan secara psikologis maupun kedekatan secara geografis. Grafik 12 Proximity rendah 14,5%

tinggi

85,5%

2. Timeliness Berdasarkan nilai keterbaruan atau timeliness, berita-berita RRI yang bernilai tinggi kurang dari separuh item berita yang diteliti, yaitu (hanya) 47,5%. Rendahnya persentase keterbaruan ini karena diakibatkan oleh tidak dicantumkannya unsur when dalam berita sehingga berita yang disiarkan dianggap out of date. Penilaian semacam ini diambil karena didasari asumsi bahwa ketiadaan unsur when membuat berita tidak dapat dilihat apakah peristiwa yang disiarkan tersebut terjadi kemarin, kemarin dulu atau bahkan sebulan yang lalu. Oleh karena itu, ketiadaan when dianggap timeliness-nya rendah. Grafik 13 Timeliness

tinggi 52,5% 47,5% rendah

24


Menyapa Publik 3. Significance Significance merupakan tingkat pentingnya siaran berita bagi pendengar siaran berita. Untuk nilai kepentingan, item berita yang bernilai tinggi mencapai frekuensi 175 kali (87,5%). Grafik 14 Significance rendah 12,5%

tinggi

87,5%

4. Prominence Sama dengan nilai signifikansi berita, nilai ketermukaan untuk berita-berita yang disiarkan RRI Pro 3 cukup tinggi. Persentase nilai prominence mencapai 92%, paling tinggi dibanding nilai-nilai yang lain. Nilai prominence terkait dengan tingkat ketermukaan narasumber berita, termasuk di dalamnya adalah masyarakat umum yang menjadi saksi atau korban dalam suatu peristiwa yang menjadi tema berita. Grafik 15 Prominence 8%

tinggi

rendah

92%

5. Magnitude Sebagaimana telah dijelaskan di awal, magnitude menyangkut besaran berita. Ia berkenaan dengan angka-angka kuantitatif yang menarik pendengar. Untuk magnitude, sebanyak 57 item 25


Warta Berita berita (28,5%)berita yang disiarkan RRI Pro 3 mengandung unsur magnitude. Grafik 16 Magnitude tinggi 28,5%

71,5% rendah

I. Objektivitas Berita 1. Balance Balance diartikan sebagai keseimbangan dalam suatu pemberitaan. Menurut McQuail (1992:223), balance berhubungan dengan seleksi dan substansi berita. Dalam analisis isi, balance diukur dengan menghitung berapa banyak ruang dan waktu yang diberikan media untuk menyajikan pendapat atau kepentingan salah satu pihak. Dalam penelitian ini, balance akan diukur dengan menggunakan tiga indikator, yakni cover both sides, slant dan source bias. a. Cover Both Sides Cover both sides adalah peliputan dari semua sisi, terutama untuk berita-berita yang terkait dengan konflik, pertikaian, perumusan kebijakan dan sebagainya. Cover both sides juga bisa diartikan sebagai meliput dari sudut pandang semua objek berita yang terlibat. Dari 200 berita RRI Pro 3 yang diteliti, 38 berita (19%) memerlukan cover both sides. Grafik 17 Cover Both Side ya 19%

81% tidak

26


Menyapa Publik Kemudian, dari 38 item tersebut, hanya 18 item (47,4%) yang memuat sudut pandang dari semua objek berita yang terlibat atau cover both sides. Angka ini mengindikasikan bahwa dilihat dari ukuran atau indikator ini obyektivitas berita RRI masih rendah. Tabel 2 Berita yang tidak cover both side No.

Tanggal

Berita Berita hanya menyertakan wawancara dengan Menpora dan PB PORKI saja. Tidak ada wawancara dengan pihak PN Malaysia.

1.

05 Agustus 2009 Pukul 06.00

2.

07 Agustus 2009 Pukul 06.00

Tidak ada pernyataan dari JK-Win (Jusuf Kalla-Wiranto)

3.

10 Agustus 2009 Pukul 06.00

Hanya ada informasi dari Israel, tidak ada pernyataan dari pihak Palestina

b. Slant Slant adalah kecenderungan media dalam memberikan kritikan, pujian atau hujatan secara spesifik yang berasal dari media itu sendiri (wartawan, editor) dan bukan dari narasumber. Kritik dan pujian ini merupakan indikasi kecenderungan media terhadap nilai-nilai tertentu. Untuk slant, sebanyak 195 item berita (97,5%) terbukti tidak dimuati kritik atau pujian tertentu oleh wartawan dan/ atau editor. Meskipun demikian, masih terdapat berita-berita yang mengandung slant, yakni sebesar 2,5%. Grafik 18 Slant 2,5% ada

81% tidak ada

Berikut 5 berita yang mengandung pendapat wartawan (slant):

27


Warta Berita

Tabel 3 Contoh berita yang mengandung slant No.

Tanggal

Berita

1.

8 Agustus 2009 Pukul 07.00

Saat ini generasi muda ... waktu dengan kegiatan positif‌

2.

9 Agustus 2009 Pukul 13.00

...menambah kesan kurang sedap ...

3.

21 Agustus 2009 Pukul 06.00

4.

23 Agustus 2009 Pukul 13.00

5.

28 Agustus 2009 Pukul 19.00

Kopassus dalam mengemban tugas Negara senantiasa siap digerakkan ... ... Meskipun demikian harapan Indonesia untuk dapat bangkit masih dapat teratasi jika ... Sebagai media yang tidak diragukan lagi eksistensinya ...

c. Source Bias Indikator yang terakhir dalam mengukur keseimbangan adalah source bias. Indikator ini merupakan ketidakseimbangan sumber berita dalam liputan-liputan yang bersifat cover both sides. Tidak adanya satu dari keseluruhan sumber berita yang ada membuat pemberitaan menjadi berat sebelah. Dalam kaitan ini, media harus menampilkan berbagai sumber berita yang relevan, baik yang setuju maupun yang tidak. Pengukuran source bias lebih diarahkan pada pengukuran secara kuantitatif seberapa banyak pihak-pihak yang terlibat dalam pemberitaan diberi porsi oleh wartawan untuk berkomentar. Untuk source bias, dari 38 item berita yang memerlukan cover both sides, berita yang mengalami source bias mencapai 73,7%. Angka ini berarti source bias dalam pemberitaan RRI sangat tinggi. Bentuk-bentuk source bias, misalnya, pada berita tanggal 5 Agustus 2009 jam 06.00, berita tidak menghadirkan sumber dari PN Malaysia, justru menghadirkan 2 sumber dari pihak Indonesia, yaitu Menpora dan PB PORKI. Contoh lainnya masih pada tanggal yang sama, jam 19.00, terdapat 2 narasumber dari Mahkamah Konstitusi, tetapi dari penggugat hanya menghadirkan seorang narasumber. 2. Neutrality Netralitas sering disamakan dengan balance. Padahal, kedunya berbeda. Menurut McQuail (1992), netralitas lebih mengacu pada

28


Menyapa Publik presentasi dan berita itu sendiri. Netralitas menuntut pemberitaan yang tenang, dingin, terkendali, dan berhati-hati. Untuk melihat netralitas penyajian suatu berita, ada beberapa tolok ukur yang bisa digunakan, yaitu sensasionalism, stereotype, juxtaposition, linkages, dan jumping conclusion. Sensasionalism, dibagi lagi menjadi dramatisasi, emosionalisme, dan personalisasi. a. Sensasionalisme Sensasionalisme merupakan upaya wartawan untuk memunculkan berita-berita yang isinya, dan terutama cara mengemukakannya, didasarkan pada keinginan untuk menarik perhatian serta membangkitkan perasaan dan emosi pendengar. Upaya ini tidak dibenarkan dalam praktik-praktik jurnalistik karena dapat membuat berita tidak objektif. Sensasionalisme dapat dilakukan oleh wartawan dengan membuat beritaberita yang mengandung dramatisasi, emosionalisme, atau personalisasi. a.1. Dramatisasi Dramatisasi merupakan salah satu upaya menimbulkan sensasi dengan cara menyajikan fakta secara berlebihan atau hiperbolik agar menimbulkan efek dramatis. Dramatisasi dapat dilakukan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang mengandung majas hiperbola maupun dengan menceritakan detail peristiwa,tetapi tidak relevan. Untuk dramatisasi, dari 200 item berita yang menjadi sampel penelitian ini, terdapat 12 berita (6%) yang mengandung unsur dramatisasi. Grafik 19 Dramatisasi 6% ada

94% tidak ada

Penggunaan bahasa yang mengakibatkan adanya dramatisasi pada berita dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

29


Warta Berita Tabel 6 Contoh berita yang mengandung dramatisasi No. 1. 2. 3.

Tanggal 17 Agustus 2009 Pukul 06.00 17 Agustus 2009 Pukul 19.00 3 September 2009 Pukul 19.00

Berita ... memborong 4 gelar ... ‌karena yang bersangkutan masih sangat shock terhadap peristiwa tersebut.. ... mengakibatkan ratusan orang terluka dan ribuan rumah rusak

a.2. Emosionalisme Upaya lain untuk menimbulkan sensasi adalah dengan menonjolkan aspek emosi daripada aspek rasional dari suatu peristiwa. Hal ini sering disebut dengan emosionalisme. Penonjolan emosi yang dimaksud dapat berupa emosi sedih, senang, marah, dan bentuk emosi yang lain. Emosionalisme dapat juga ditunjukkan dengan menunjukkan peristiwa yang kontras atau membandingkan peristiwa secara hitam putih. Dalam penelitian ini, ditemukan berita-berita yang mengandung emosionalisme sebesar 1,5% atau sebanyak 3 berita. Grafik 20 Emosionalisme 1,5% ada

98,5% tidak ada

Adapun berita-berita yang mengandung emosionalisme terdapat dalam tabel di bawah ini. Tabel 7 Contoh berita yang mengandung emosionalisme No. 1.

Tanggal

Berita

5 Agustus 2009 Pukul 06.00

...dengan nada suara menahan kesedihan pada sidang pertama...

30


Menyapa Publik

2.

24 Agustus 2009 Pukul 07.00

... memusnahkan umat yang tidak berdosa ...

3.

31 Agustus 2009 Pukul 13.00

...ikut menyaksikan dengan antusias.

a.3. Personalisasi Cara lain untuk mengukur sensasionalisme adalah dengan melihat ada tidaknya personalisasi dalam penyajian berita. Personalisasi dapat diartikan sebagai pandangan yang mereduksi peristiwa pada individu (person). Personalisasi dapat berupa kultus individu maupun penggunaan majas pars pro toto (metonimia). Upaya menumbuhkan sensasi oleh wartawan dengan cara personalisasi hanya ditemukan 1 item berita (0,5%) saja. Yaitu pada cuplikan berita berikut: “Rusia dan Ceko saling mengusir diplomat...� (Rabu, 19 Agustus 2009 pukul 07.00) Grafik 21 Personalisasi 0,5% ada

99,5% tidak ada

b. Stereotype Tolok ukur lain untuk melihat netralitas adalah dengan mengukur ada tidaknya stereotype pada berita-berita yang dibuat oleh wartawan. Stereotype diartikan dengan pemberian atribut tertentu terhadap individu, kelompok, ras atau bangsa tertentu di dalam penyajian sebuah berita. Stereotype dapat menjadikan individu, kelompok atau bangsa tertentu di dalam berita sering dipersepsi dan diperlakukan berdasarkan atribut mereka, baik negatif maupun positif. Stereotype tidak pernah bersifat netral atau berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Penggunaan stereotype, baik yang bermakna positif maupun yang bermakna negatif, di dalam penyajian sebuah berita dapat mengundang tuduhan keberpihakan wartawan atau media terhadap salah satu kelompok yang ada

31


Warta Berita di masyarakat. Dalam penelitian ini, stereotype diindikasikan dari dari dua hal. Ada tidaknya atribusi yang tidak relevan dan ada tidaknya pemberian label tertentu. Terdapat 2 item berita (1%) yang mengandung stereotype dari 200 item berita yang diteliti, Terdapat 2 item berita (1%) yang mengandung stereotype dari 200 item berita yang diteliti, yaitu pada berita tanggal 11 Agustus 2009 pukul 06.00 “...sejumlah tersangka anggota teroris...� (menstereotipkan tersangka sebagai anggota teroris sebelum ada kejelasan) dan berita tanggal 24 Agustus 2009 pukul 07.00 “...negara tetangga sangat rawan masuknya berbagai kejahatan...� (negara tetangga distereotipkan sebagai jalan masuk berbagai kejahatan seperti terorisme, narkoba, dan trafficking.) Grafik 22 Stereotype 1% ada

99% tidak ada

c. Juxtaposition Juxtaposition dapat diartikan sebagai upaya wartawan menyandingkan dua fakta yang berbeda dengan maksud untuk menimbulkan efek kontras, yang pada akhirnya menambah kesan dramatis berita yang disajikan. Fakta-fakta yang disandingkan tidak berhubungan satu sama lain, tetapi mereka disandingkan agar seolah-olah ada hubungan di antara kedua fakta tersebut. Dalam berita-berita yang diteliti, tidak ada unsur juxtaposition yang dapat mengurangi nilai netralitas berita yang disajikan oleh RRI. d. Linkages Sama halnya dengan juxtaposition, linkages juga menyandingkan dua fakta yang berbeda. Hanya saja dalam linkages, dua fakta yang disandingkan tersebut tidak bersifat kontras, tetapi sejajar. Dua fakta yang tidak berhubungan ini disandingkan dengan harapan dapat menimbulkan hubungan yang asosiatif. Untuk juxtapostion, terdapat 3 item berita 32


Menyapa Publik (1,5%) yang mengandung linkages. Grafik 23 Linkages 1,5% ada

98,5% tidak ada

Tabel 8 Contoh berita yang mengandung linkages No.

Tanggal

1.

17 Agustus 2009 Pukul 19.00

2.

19 Agustus 2009 Pukul 19.00

3.

29 Agustus 2009 Pukul 13.00

Berita ...untuk mengamankan upacara detik proklamasi kemerdekaan tahun ini dilaksanakan sangat ketat ...; menyinggung keamanan di Papua dengan semakin banyaknya bendera bintang kejora ... ...oleh karena itu aparat keamanan terus meningkatkan penjagaan untuk meminimalisir terjadinya penyelundupan; ...kapolres Sanggah mengatakan sejauh terjadinya teror bom di Jakarta pertengahan bulan Juli ... Akibat kekurangan stok gula... menurut Siswono Yudhohusodo ... importir gula.

e. Jumping Conclusion Jumping conclusion merupakan kesalahan penyimpulan yang dilakukan oleh wartawan atas peristiwa yang diliputnya. Ini berarti kesimpulan yang ditarik oleh wartawan adalah opini pribadinya. Kesimpulan berita yang dibuat oleh wartawan membuat berita tidak lagi netral karena mengandung opini dari wartawan sendiri. Dari 200 item berita yang diteliti, terdapat 5 berita yang mengandung jumping conclusion atau kesalahan penyimpulan.

33


Warta Berita Grafik 24 Jumping Conclusion 2,5% ada

97,5% tidak ada

Adapun contoh berita conclusion antara lain

yang

mengandung

jumping

Tabel 9 Contoh berita yang mengandung kesalahan penyimpulan (jumping conclusion) No.

Tanggal

Berita

1.

11 Agustus 2009 Pukul 07.00

Isi berita menyatakan masih ada keraguan soal siapa yang tewas, di akhir berita menyebutkan bahwa Noordin M Top telah tewas.

2.

17 Agustus 2009 Pukul 06.00

Awal berita bercerita tentang peringatan HUT RI. Kesimpulan reporter tentang teroris.

3.

24 Agustus 2009 Pukul 13.00

Isi berita menceritakan tentang usulan DPR yang meminta penggantian Antasari, kesimpulan berisi tentang harapan masyarakat akan kinerja DPR

34


KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil analisis terhadap 200 item berita dalam Warta Berita RRI Pro 3, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut. Pertama, tema berita dalam siaran Warta Berita RRI Pro3 masih kurang mengakomodasi tema-tema publik yang menyentuh kepentingan dasar masyarakat. Sebaliknya, tema politik yang jauh lebih banyak dibandingkan tema lain. Berita politik masih dominan (24,5%), sedangkan kesehatan dan pendidikan hanya 3%. Ini tidak berarti bahwa berita politik dan lainnya tidak penting, tetapi tema-tema berita yang lain, terutama yang langsung berhubungan dengan kebutuhan masyarakat seharusnya mendapatkan porsi yang kurang lebih sama dengan berita politik. Kesimpulan kedua, dalam hal narasumber, beritaberita RRI Pro 3 masih sangat berorientasi ke atas (elit) pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain. Publik dalam pengertian orang biasa belum terrepresentasi dengan baik. Padahal, mestinya, mereka mendapatkan porsi yang kurang lebih sama dengan elit politik dan pemerintahan. Lebih dari 50% jumlah narasumber adalah dari kalangan lembaga pemerintahan, TNI dan Polri, lembaga kehakiman, serta lembaga perwakilan. Hal ini menunjukkan bahwa RRI sebagai radio publik belum dapat memberi ruang yang lebih besar bagi publik untuk menyuarakan kepentingannya. Kesimpulan ketiga, secara umum, berita Radio Republik Indonesia dalam program Warta Berita sudah


Warta Berita cukup baik, namun masih terdapat beberapa aspek yang mengurangi nilai performance berita. Seperti akurasi yang masih belum sempurna karena terdapat 2,5% dari total berita yang diteliti belum mengandung unsur cek dan ricek. Bahkan masih banyak berita yang tidak mencantumkan sumber berita dengan jelas yang mencapai 13,5%. Kelalaian mencantumkan sumber berita dengan jelas sering ditemui dalam berita-berita luar negeri. Selanjutnya, dalam hal kelengkapan (completeness), perlu menjadi sorotan bahwa terdapat lebih dari separuh (55,5%) dari berita yang diteliti terdapat ketidaklengkapan. Unsur when dan where merupakan dua unsur yang paling sering alpa dari penulisan wartawan. Kealpaan wartawan dalam mencantumkan unsur when sangat berpengaruh pada rendahnya nilai aktualitas berita. Sehingga pengukuran terhadap nilai berita timelineness menunjukkan bahwa hanya 47,5% berita yang memiliki nilai aktualitas tinggi. Dari sisi objektivitas, terdapat beberapa hal yang menjadi catatan. Objektivitas berita dapat dilihat melalui aspek balance dan neutrality. Balance biasa diartikan sebagai keseimbangan dalam pemberitaan. Pengukuran balance dilakukan dengan menghitung berita-berita yang tidak cover both sides, mengandung slant serta ada tidaknya source bias. Dalam penelitian ini, hasil pengukuran terhadap aspek keseimbangan berita-berita RRI dapat dinilai rendah. Hal ini terlihat dari jumlah berita yang tidak melakukan cover both sides. Dari total 38 berita yang membutuhkan liputan bersifat cover both side, hanya sebanyak 18 item berita (47,4%) yang mengandung cover both side. Bahkan, untuk kategori source bias mencapai 73,7%. Meskipun demikian, dari sisi slant, berita RRI Pro 3 sudah cukup baik karena hanya 2,5% berita yang mengandung slant. Untuk netralitas, dilihat melalui pengukuran terhadap ada tidaknya sensasionalism, stereotype, juxtaposition, linkages, dan jumping conclusion. Sensasionalism dibagi lagi menjadi dramatisasi, emosionalisme, dan personalisasi. Secara umum, tingkat netralitas berita RRI dalam program Warta Berita cukup tinggi. Terlihat dari tidak adanya berita yang mengandung juxtaposition. Juga berita yang mengandung stereotype dan linkages yang sedikit. Masing-masing hanya mengandung 1% dan 1,5%. Begitu pula dengan emosionalisme dan personalisasi yang hanya 1,5% dan 0,5%. Namun, yang harus diperhatikan adalah adanya dramatisasi yang mencapai 6% dan jumping conclusion sebesar 2,5%. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa yang patut mendapatkan perhatian oleh segenap redaksi dan reporter RRI Pro 3. Pertama, sebagai radio publik yang mempunyai peran dan 36


Menyapa Publik fungsi penting dalam membangun kehidupan masyarakat, penting bagi RRI Pro 3 untuk mengembangkan tema-tema berita yang tidak lagi didominasi oleh tema-tema politik. Dominasi berita politik ini, barangkali, tidak bisa dilepaskan dari banyaknya peristiwa politik yang menarik untuk disiarkan karena alasan-alasan kelayakan berita. Meskipun demikian, ini tidak harus mengurangi tema-tema berita lain yang justru bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat atau publik seperti pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, beritaberita yang mengambil tema ini hanya sebesar 3% saja. Untuk itu, pada masa datang, tema-tema ini perlu lebih diperbanyak lagi. Kedua, orientasi pemberitaan RRI Pro 3 dalam program siaran berita yang masih berorientasi ke atas (elit) pemerintah. Tentu saja, tidaklah keliru untuk memberitakan apa yang dilakukan atau disampaikan para elit politik. Namun, tetap harus disadari bahwa sebagai radio publik penting bagi RRI Pro 3 untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi kelompok-kelompok marginal atau di luar elit politik. Untuk itu, pada masa datang, penting bagi RRI Pro 3 untuk lebih membuka akses publik dalam setiap pemberitaannya. Dengan demikian, wacana berita tidak akan didominasi dari kalangan pemerintah atau elit politik saja, tetapi juga masyarakat luas. Ketiga, secara umum, kualitas berita RRI Pro 3 yang disiarkan melalui program Warta Berita sudah baik, tetapi masih ada beberapa hal mendasar yang mengganggu. Salah satu yang paling pokok adalah kelengkapan berita. Reporter acapkali lupa untuk menyebutkan kapan peristiwa tersebut berlangsung. Padahal, dalam kaidah jurnalisme, ini menjadi salah satu hal penting yang harus dipenuhi unsur-unsurnya. Oleh karena itu, reporter harus lebih teliti lagi dalam mencantumkan unsur-unsur berita, terutama when yang paling sering tidak dicantumkan. Keempat, berkenaan dengan objektivitas. Secara umum, sebagaimana disebutkan dalam kesimpulan, berita RRI Pro 3 sudah cukup bagus. Namun, masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni banyaknya berita yang tidak cover both side. Hal ini perlu diperbaiki demi menjaga RRI sebagai radio publik, yang salah satu diantaranya harus menjaga netralitasnya. Berita-berita konflik harus disajikan dengan menghadirkan pihak-pihak yang bertikai sehingga berita yang disiarkan RRI Pro 3 akan selalu menjunjung tinggi objektivitas dan netralitas. Terakhir, di luar hal-hal yang perlu diperbaiki di atas, tetaplah penting bagi redaksi agar memelihara hal-hal yang sudah dinilai baik sebagaimana ditemukan dalam penelitian. Ini karena menjadi tidak berguna jika perbaikan-perbaikan dilakukan, tetapi justru yang sudah baik tidak dijaga sehingga perbaikan diikuti oleh menurunnya kualitas atas yang lain. 37



DAFTAR PUSTAKA Gans, Herbert J. (2003). Democracy and the News. Oxford University Press Holsti, O.R. (1969). Content Analysis for the Social Sciences and Humanities. London: Addison-Wesley Publishing Company. Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat (2005). Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: Remaja Rosdakarya McNair, Bryan (2003). An Introduction to Political Communication. third edition. London and New York: Routledge. McQuail, Denis (1992). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications. --------------------(1994). “Mass Communication and the Public Interest: Towards Social Theory for Media Structure and Performance”. Dalam David Crowley dan David Mitchel (eds.). Communication Theory Today. Polity Press Mencher, Melvin (2000). News Reporting and Writing. ninth edition. Boston: McGraw Hill. Rahayu, ed, (2006). Menyingkap Profesionalisme Surat Kabar di Indonesia. Yogyakarta: PKMBP, Dewan Pers, dan Depkominfo. Rianto, Puji (2007). “Kegagalan Jurnalisme Profesional dan Kemunculan Jurnalisme Publik”. Jurnal Komunikasi, Volume 1, Nomor 2, April 2007, hal. 133-145. Schudson, Michael (1996). The Power of News. Harvard University Press. Siregar, Ashadi dkk. (1998). Bagaimana Meliput dan Menulis Berita untuk Media Massa. Yogyakarta: Kanisius. Subiakto, Henry (2001). “Penyiaran Publik, Budaya Lokal, dan Agenda Media dalam Konteks Sistem Penyiaran yang Demokratis”. Paper Semiloka Menyambut Radio dan TV Publik, Novotel Surabaya, 30 April-1 Mei 2001. Wimmer, Roger D. & Joseph R. Dominick (2000). Mass Media Research, An Introduction. Belmont, California: Wadswoth Publishing Company.



BAGIAN II

INDONESIA MENYAPA



PENDAHULUAN

A. Latar Bekalang Sejak dikukuhkan sebagai lembaga penyiaran publik, LPP RRI mempunyai peran dan fungsi yang berbeda atau bahkan bertentangan dibandingkan dengan ketika RRI menjadi “radio pemerintah�. Sebagai lembaga penyiaran publik, LPP RRI harus memainkan peran dan fungsi sebagai lembaga siaran publik, yang diantaranya bersandar pada prinsip-prinsip berikut (Petersson, 2001: 25-26). Pertama, radio publik harus tersedia bagi seluruh masyarakat. Dalam konteks ini, siaran RRI harus menjangkau seluruh warga negara serta mengikuti prinsip pelayanan kepada masyarakat secara demokratis. Kedua, radio publik harus merefleksikan selera dan minat masyarakat. Sebagai radio publik, RRI diharapkan mampu merefleksikan berbagai selera dan minat masyarakat meskipun tidak bisa diharapkan memuaskan semua pihak. Ketiga, radio publik harus ditujukan untuk semua warga negara secara independen terlepas dari posisi sosial, politik maupun agama mereka. Konsekuensi atas prinsip ini bahwa lembaga penyiaran publik harus melayani dan memberi akses yang sama terhadap kelompokkelompok minoritas dalam masyarakat, sesuatu yang acapkali dilupakan oleh lembaga siaran swasta karena alasan-alasan iklan. Keempat, lembaga siaran publik harus mempunyai komitmen pendidikan masyarakat; dan kelima lembaga siaran publik harus dilepaskan dari kepentingan pribadi (vested interest). Dengan melihat kelima prinsip di atas, tampak bahwa ada perbedaan mendasar antara lembaga


Indonesia Menyapa penyiaran publik dengan lembaga penyiaran swasta atau pemerintah. Fokus utama lembaga penyiaran publik adalah bagaimana melayani masyarakat sebagai warga negara. Oleh karenanya, ia harus tersedia bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Sementara dalam lembaga penyiaran swasta, orientasi pemenuhan siaran adalah dalam rangka melayani kebutuhan dan kepentingan pasar atau pendengar dalam pengertian ekonomi. Terakhir, orientasi lembaga siaran pemerintah adalah melayani kepentingan-kepentingan birokrasi pemerintahan. Di sini, akan ditentukan program-program acara yang diorientasikan untuk menciptakan agenda setting sesuai dengan agenda dan kepentingan pemerintah. Baik lembaga penyiaran swasta maupun pemerintah tidak menempatkan publik atau warga negara sebagai pihak yang harus dilayani, tetapi mereka menjadi objek yang dijual kepada pengiklan dalam lembaga penyiaran swasta, dan target propaganda dalam lembaga penyiaran pemerintah. Kemudian, dalam usaha melaksanakan peran dan fungsinya sebagai lembaga penyiaran publik, RRI telah menyiarkan berbagai program, yang ditujukan untuk melayani publik. Salah satu di antaranya adalah dialog interaktif Indonesia Menyapa yang disiarkan setiap hari kecuali hari Minggu. Program acara dialog ini dimaksudkan sebagai wahana atau media bagi warga negara untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang bersinggungan dengan masalah-masalah publik. Di sini, setiap warga negara “diundang� untuk turut serta mendiskusikan persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi, dan juga budaya. Pertanyaannya kemudian sejauh mana dialog tersebut telah memberikan ruang yang cukup bagi terciptanya “ruang publik� yang bebas dan independen dari intervensi negara dan pasar? Dalam konteks ini, penciptaan ruang publik yang bebas adalah penting dalam rangka membangun suatu dialog yang sehat bagi terciptanya demokrasi yang sehat pula. Hanya dalam ruang dialog semacam itulah, imajinasi mengenai ruang publik (public spere) yang bebas dan independen dapat terlaksana sehingga warga negara dapat mendiskusikan berbagai persoalan yang menyentuh kepentingan hidupnya. Di sisi lain, menarik untuk dilihat, dalam ruang perdebatan publik tersebut, bagaimana kepentingan publik direpresentasikan? B. Pertanyaan Penelitian Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana dialog interaktif Indonesia Menyapa memframe isu-isu publik? Apakah dalam setiap pengerangkaan atau frame yang dilakukan oleh program acara dialog interaktif Indonesia Menyapa telah merepresentasikan kepentingan publik? 44


Menyapa Publik 2. Bagaimanakah isu-isu atau masalah-masalah publik dihadirkan dalam program Indonesia Menyapa? 3. Tema, isu, ataupun masalah-masalah apakah yang muncul dalam dialog interaktif? Apakah dialog Indonesia Menyapa objektif dalam mendiskusikan berbagai isu publik yang diangkat? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk meraih tujuan-tujuan sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui strategi framing yang dilakukan oleh program dialog Interaktif Indonesia Menyapa dalam mendiskusikan isu-isu atau masalah-masalah publik. 2. Untuk mengetahui praktik wacana Indonesia Menyapa dalam mendiskusikan atau mendialogkan isu-isu atau masalah-masalah publik. 3. Untuk mengetahui tema, isu, ataupun masalah publik yang biasa muncul dalam program siaran dialog interaktif Indonesia Menyapa. 4. Untuk mengetahui apakah isu-isu ataupun masalah yang dibahas dalam Indonesia Menyapa cukup objektif. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Memberikan masukan bagi para pengelola atau “gate keepers� program acara Indonesia Menyapa guna memperbaiki kualitas siarannya di masa datang 2. Memberikan masukkan bagi pengelola program RRI dan juga jajaran direksi berkenaan dengan frame, wacana, dan objektivitas siaran dialog Indonesia Menyapa dalam membahas isu-isu dan masalah-masalah publik E. Metodologi 1. Sifat Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tujuan penggunaan dua pendekatan ini guna mendapatkan ketajaman analisis karena masing-masing pendekatan dan metode mempunyai keunggulan dan kelemahannya masing-masing sehingga diharapkan bisa saling melengkapi (Creswell, 1994). Analisis frame dan juga analisis wacana sebagai metode yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan analisis teks media kualitatif. Selanjutnya, untuk melihat objektivitas, penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Analisis kuantitatif ini digunakan untuk 45


Indonesia Menyapa menutup “kekurangan� yang ada dalam pendekatan kualitatif sebagai akibat asumsi dan bangunan paradigma yang berbeda dalam melihat realitas. 2. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode framing dan wacana kritis. Analisis frame digunakan untuk memahami bagaimana dialog dikerangkakan. Sementara itu, analisis wacana digunakan untuk memahami bagaimana praktik wacana yang digunakan oleh RRI dalam membahas isu-isu publik. Analisis wacana kritis digunakan berdasarkan argumen bahwa proses produksi teks tidak berlangsung dalam ruang hampa. Namun, terdapat banyak hubungan yang melingkupi atas proses produksi teks tersebut yang berpengaruh terhadap tuturan atau wacana ditampilkan. Di sisi lain, analisis wacana kritis bersifat emansipatoris atau berusaha memberdayakan publik sehingga cukup pas jika digunakan untuk menganalisis program Indonesia Menyapa. Kemudian, untuk memperkuat analisis teks yang bersifat kualitatif di atas, penelitian ini akan didukung dengan suatu metode analisis isi kuantitatif. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data berhubungan dengan metode penelitian yang digunakan. Data utama dalam penelitian ini adalah program acara Indonesia Menyapa yang direkam dari tanggal 5 Agustus 2009-5 September 2009. Penelitian ini juga menggunakan metode analisis wacana kritis sehingga memerlukan wawancara dan partisipasi observasi (pengamatan terlibat). Untuk itu, data penelitian juga dikumpulkan melalui wawancara mendalam kepada penyiar, produser, dan berbagai pihak yang terlibat dalam siaran Indonesia Menyapa. 4. Teknik Analisis Data Masing-masing metode mempunyai teknik analisis yang berbeda, terutama untuk kualitatif dengan kuantitatif. Pada analisis wacana, akan dianalisis dalam tiga level, yakni makro, meso, dan mikro. Analisis makro dan meso akan mengandalkan sumber wawancara, dokumentasi, dan pustaka, sedangkan analisis mikro akan memfokuskan pada teks Indonesia Menyapa. Data akan dianalisis dan diintepretasi untuk menemukan jawaban pertanyaan penelitian. Untuk penelitian kuantitatif, analisis akan menggunakan statistik. Data hasil coding akan dianalisis dengan menggunakan program SPSS. Kemudian, untuk lebih mempertajam analisis, analisis juga akan menggunakan cross tab terhadap item-item yang dianggap relevan. 46


LANDASAN TEORI

Suatu kerangka teori adalah penting karena ia menuntun peneliti dalam usahanya untuk mengumpulkan dan menganalisis data. Teori menghadirkan berbagai cara mengenai bagaimana peneliti melihat lingkungannya meskipun teori itu sendiri tidak merefleksikan realitas (dikutip dari Littlejohn, 1996: 23). Menurut Stanley Deetz (Littlejohn, 1996), teori adalah suatu cara melihat (a way of seeing) dan berpikir tentang dunia. Dengan begitu, teori lebih baik dilihat sebagai sebuah “lensa� yang digunakan dalam proses observasi dibandingkan sebagai sebuah “cermin� alam raya. Dan sebuah teori yang baik, menurut Littlejohn, lebih daripada sekedar konsep yang menyediakan penjelasan, pernyataan mengenai bagaimana berbagai macam variabel berhubungan satu dengan yang lain. Dalam usaha menganalisis program Indonesia Menyapa, penelitian ini menggunakan berbagai perspektif teoritik yang dianggap relevan. Teori yang akan digunakan diantaranya adalah ruang publik (public sphere) dan juga kepentingan publik. Penggunaan pendekatan teoritik ini dilandasi oleh argumentasi bahwa program media, utamanya program Indonesia Menyapa, karena sifatnya interaktif harus mencerminkan ruang publik yang lepas dari intervensi negara dan pasar. Dengan begitu, akan muncul diskusi publik yang egaliter, mencerdaskan, lepas dari dominasi kekuasaan sehingga persoalanpersoalan publik dapat dipecahkan secara rasional. Kemudian, oleh karena RRI, berdasarkan amanat UU No.


Indonesia Menyapa 32 tahun 2002, merupakan lembaga penyiaran publik, maka setiap orientasi programming-nya harus senantiasa berpijak dan berpihak kepada kepentingan publik. Oleh karena itu, menjadi penting untuk menjelaskan secara teoritik apa yang dimaksud dengan kepentingan publik itu. A. “Ruang Publik” Media Media massa merupakan salah satu sarana penting bagi terciptanya “ruang publik” yang terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat (Djuarsa, 2001: 5) sehingga diskusi mengenai hal ini tidak terbatas hanya pada lembaga siaran publik maupun swasta. Di sisi lain, baik lembaga penyiaran publik maupun swasta mempunyai tanggung jawab kepada khalayak untuk membuatnya menjadi warga negara yang terinformasi dengan baik (McQuail, 2005; Golding, 1995). Usaha menciptakan ruang publik yang bebas dan terbuka dalam bentuk “ruang publik” media tidaklah selalu mudah. Beberapa kritik yang muncul adalah isi media lebih didominasi oleh usaha meraih profit sehingga wacana media tidak diorientasikan untuk melayani publik (baca: warga negara) dan membuka akses bagi mereka secara luas dan terbuka, tetapi hanya merepresentasikan sedikit kelompok elit yang berkuasa, baik elit ekonomi maupun politik. Dalam Manufacturing Consent, Herman dan Chomsky (2004) telah menunjukkan bagaimana media di Amerika Serikat pada dasarnya hanya merefleksikan suara dan kepentingan segelintir elit berkuasa. Kondisi ini diperparah oleh motif mencari keuntungan yang begitu kuat oleh media-media swasta sehingga liputan-liputan media menjadi dangkal dan elitis. Media, dengan demikian, justru menjadi penghalang bagi usaha menciptakan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi keberagaman, baik dalam isi maupun kepemilikan. Bahkan, media yang sangat terkomersialisasi justru menciptakan krisis demokrasi (Chesney, 2000; Rianto, 2005). Di sini, muncul suatu fenomena dimana secara kuantitatif jumlah media sangat banyak, tetapi demokrasi justru mengalami pemiskinan (Chesney, 2000). Akibatnya, ruang publik yang diidam-idamkan muncul dalam suatu sistem media yang demokratis gagal diwujudkan. Sebaliknya, ruang publik media lebih didominasi oleh pasar dan negara. Sementara itu, dalam konteks lembaga penyiaran publik, desakan untuk menciptakan ruang publik media lebih kuat, dan usaha menciptakan ruang publik tersebut jauh lebih mungkin dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta. Seperti dikemukakan oleh Gazali (2002: 45-46), implikasi lembaga penyiaran publik adalah, salah satu diantaranya, kebutuhan publik dan panggung publik. Menurut Gazali, dalam rangka memenuhi kebutuhan publik, lembaga penyiaran publik diharapkan secara konsisten membuat riset tentang kebutuhan 48


Menyapa Publik publik yang ingin dilayaninya degan metode-metode standar untuk menghasilkan temuan yang akurat. Sementara itu, panggung publik menyangkut harapan agar lembaga penyiaran publik membuka pintu selebar-lebarnya bagi publik untuk menyampaikan pendapatnya serta sebagai panggung dari penampilan dan keahlian publik. Di sini, publik dipahami sebagai orang biasa atau masyarakat lokal untuk dibedakan dengan kesempatan tampil hanya bagi selebritis nasional, baik selebritis maupun tokoh-tokoh politik yang sering muncul dalam lembaga penyiaran komersial. Konsep ruang publik itu sendiri awal mula dikembangkan oleh ilmuwan Jerman, Jurgen Habermas, ketika menganalisis ruangruang publik borjuis atas keberhasilannya dalam berjuang melawan feodalisme (Habermas, 2007; McQuail, 1992). Ia merujuk pada ruang metaforikal yang tersedia untuk semua, yang secara hukum dilindungi oleh hukum dari negara dan tekanan-tekanan gereja, demi kebebasan berekspresi dari pandangan dan klaim-klaim kepentingan, untuk debat rasional dan pembuatan keputusan publik dalam persoalan-persoalan politik dan yang berkenaan dengan hukum (McQuail, 1992: 6). Menurut Habermas (Hardiman, 2009: 133), hak-hak komunikatif warga negara terlaksana terutama di dalam diskursusdiskursus informal yang dapat dilaksanakan secara inklusif dan dapat mempersoalkan segala tema relevan yang mungkin. Kemudian, jika demokratisasi “ruang antara” pemilihan-pemilihan umum— sebagaimana yang diperjuangkan oleh demokrasi deliberatif—berarti para warga negara memiliki kemungkinan untuk mengungkapkan pendapat-pendapat mereka sendiri secara publik dan mempersoalkan segala tema yang relevan untuk masyarakat supaya suara-suara yang sensitif terhadap masalah ini dikelola oleh sistem politik yang ada. Di sini, ruang publik atau Habermas menyebutnya sebagai “ruang publik politis” dipahami sebagai tempat para warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif (Hardiman, 2009: 133). Ruang publik, lebih lanjut, dipahami sebagai ruang otonom yang berbeda dengan negara dan pasar (Hardiman, 2009: 135). Ia berciri otonom karena tidak hidup dari kekuasaan administratif maupun ekonomi kapitalis, melainkan dari sumber-sumbernya sendiri. Merujuk Habermas, Hardiman mengemukakan bahwa ruang publik yang berfungsi secara politis tidak hanya mampu mempersepsi, menemukan dan mentematisasi masalahmasalah sosial dan politis, melainkan juga memediasi gaya-gaya hidup partikular yang majemuk dalam orientasi nilai mereka di satu pihak dan institusi-institusi birokratis dan ekonomi di lain pihak. Di sini, ruang publik politis membangun “struktur intermedier” di antara kedua hal tersebut. Ia bisa berfungsi sebagai sinyal untuk masalah-masalah yang harus dikelola oleh negara karena institusi formal yang berwenang 49


Indonesia Menyapa tidak dapat menyalurkan ataupun memecahkan masalah tersebut secara memuaskan. Meskipun demikian, sebagaimana ditegaskan oleh Hardiman (2009: 139), fungsi semacam ini hanya dapat dipenuhi secara benar jika ruang publik mencerminkan secara transparan masalahmasalah tersebut. Oleh karena itu, menurut Hardiman, persyaratan untuk sebuah ruang publik yang berfungsi secara politis adalah ciri otonomnya dari kekuasaan administratif negara dan dari kepentingan pasar kapitalis. B. Kepentingan Publik dalam Konteks Public Broadcasting Salah satu dasar pijakan lembaga penyiaran publik adalah hasrat untuk memenuhi dan “memperjuangkan” kepentingan publik. Lembaga penyiaran publik ini, biasanya, diselenggarakan guna mengimbangi lembaga penyiaran swasta yang lebih profit oriented. Biasanya, oleh karena sifatnya yang lebih profit oriented, lembaga penyiaran swasta kurang mampu memberikan pelayanan kepada khalayak. Usaha-usaha untuk meraih keuntungan membuat lembaga penyiaran swasta hanya melayani khalayak yang potensial menghasilkan iklan. Selain itu, mereka juga lebih cenderung untuk memberikan apa yang diinginkan masyarakat atau khalayak dibandingkan dengan benar-benar memberikan apa yang khalayak butuhkan. Konsep kepentingan publik seringkali digunakan dalam ilmu politik maupun sosiologi, tetapi sayangnya tidak ada penjelasan yang cukup jelas mengenainya (McQuail, 1992). Downs (McQuail, 1992: 22) mengidentifikasi tiga pokok pikiran (three main school of thought) mengenai apa yang dimaksud dengan kepentingan publik. Kelompok pertama berasal dari “kemauan rakyat”, dimana kepentingan publik didefinisikan sebagai apa yang rakyat (mayoritas warga negara) inginkan. Pendekatan kedua berasal dari pandangan bahwa kepentingan publik diputuskan menurut standar mutlak tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh rakyat. Ketiga, dari pandangan realis, yang merumuskan kepentingan publik sebagai “hasil suatu metode tertentu dalam pengambilan kebijakan (decision-making)”—suatu hasil pragmatik, yang melibatkan implikasi-implikasi tak layak. Cara lain dalam memahami public interest dikemukakan oleh David Held (1970; seperti dikutip McQuail, 1992: 22-23). Held mengemukakan ada tiga perspektif teoritik dalam usahanya mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kepentingan publik. Perspektif teoritik pertama adalah preproderance theory. Teori ini mirip pandangan yang mengatakan bahwa kepentingan publik merupakan kehendak mayoritas rakyat. Menurut preproderance theory, kepentingan publik didefinisikan menurut cara mayoritas (mayoritarian way). Kepentingan publik hendaknya dirumuskan dalam pengertian pilihan-pilihan mayoritas atau ia harus merupakan 50


Menyapa Publik keyakinan untuk memaksimalkan jumlah preferensi individu. Oleh karena itu, kepentingan publik, menurut pandangan ini, tidak boleh bertentangan atau berlawanan dengan kepentingan mayoritas. Perspektif teoritik kedua adalah common interest theory. Kepentingan bersama (common interest) dalam perspektif teoritik ini merujuk pada kasus dimana kepentingan hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang seluruh anggota menganggapnya sebagai milik bersama. Air, transportasi publik, sistem pemerintahan dan lain sebagainya merupakan hal-hal yang menjadi common interest setiap warga negara. Terakhir, adalah unitary theory. Perspektif teoritik yang terakhir ini mirip dengan “absolute standart of value� yang dikemukakan oleh Down sebagaimana dikemukakan di atas. Menurut unitary theory, kepentingan publik hendaknya dipandang menurut tatanan dengan satu aturan dan skema yang konsisten bahwa apa yang valid bagi satu orang maka valid bagi semuanya. Jika dianalisis masing-masing perspektif teoritik baik yang kemukakan oleh Down (1962) maupun oleh Held (1970), maka sebenarnya teori-teori tersebut mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Preproderance theory, misalnya, yang berkesesuaian dengan suara mayoritas benar dalam konteks demokrasi sekarang ini. Demokrasi sebagaimana dipahami adalah pemerintah menurut rakyat, dan sistem politik hendaknya responsif terhadap keinginan atau warga negara. Namun, tidak semua kehendak mayoritas adalah benar. Lippmann (1999) telah mengkritik kehendak mayoritas yang merepresentasi dalam bentuk public opinion yang dalam banyak kasus tidak memberikan ruang yang cukup bagi pemimpin politik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik secara rasional. Di sisi lain, kehendak mayoritas juga dihinggapi oleh penyakit bahwa tidak semua warga negara memiliki kompetensi yang sama dalam menanggapi isu-isu publik. Akibatnya, suara mayoritas rentan sekali digunakan oleh elit-elit kekuasaan untuk mengukuhkan dominasinya. Oleh karena itu, lembaga penyiaran hendaknya tidak selalu bersandar pada semata-mata suara mayoritas, tetapi juga tidak bisa bersikukuh pada standar nilai yang berlaku mutlak dimana sesuatu yang dianggap baik bagi satu orang maka baik juga untuk orang lain. Ini karena nilai mutlak tadi bisa saja keliru sehingga perlu terus-menerus ditantang oleh nilai-nilai lainnya. Dengan demikian, dalam konteks kepentingan publik, maka lebih baik jika lembaga penyiaran publik memberikan ruang dialog (public spere) dimana persoalan-persoalan publik dibahas dan diperdebatkan dalam ruang egaliter yang rasional dan saling menghormati. C. Talkshow sebagai Perwujudan Ruang Publik di Radio Sebagai suatu program radio, talkshow didefinisikan sebagai 51


Indonesia Menyapa keterampilan menyajikan perbincangan bertopik serius. Ada enam konsep talkshow (Masduki, 2001: 45), yakni (1) Topik yang dipilih aktual atau sedang menjadi sorotan; (2) Bersifat analitis, tidak sekadar deskripsi kasus; (3) Terjadi interaksi seimbang di antara narasumber, tidak dimonopoli satu orang atau satu sudut pandang; (4) Terjadi kontroversi atau perdebatan pro-kontra; (5) Ada solusi terbuka pada akhir perbincangan. Talkshow merupakan perpaduan antara seni panggung dan teknik wawancara jurnalistik. Talkshow dapat dijadikan mata acara tetap, tetapi dapat pula dijadikan acara khusus bagi sebuah stasiun radio. Pertanyaan diajukan secara santai dan nonformal, tetapi tetap berbobot. Oleh karena itu, pembawa acara talkshow juga harus memiliki keterampilan jurnalistik khususnya teknik berwawancara (Masduki, 2001:45). Program talkshow berpotensi diminati pendengar karena talkshow bisa disiarkan secara interaktif dan atraktif. Talkshow tidak melulu berisi perbincangan antara dua orang atau lebih, bahkan ada yang menyebut setiap siaran kata adalah talkshow karena mengacu pada arti katanya sendiri, yaitu talk (obrolan) dan show (gelaran). Talkshow dapat dimasukkan ke dalam kategori program spesial atau program wawancara sebagai acara. Namun, talkshow berbeda dengan wawancara berita. Perbedaan paling penting antara talkshow dan wawancara berita adalah talkshow bersifat dinamis, tidak terpaku pada aktualitas topik perbincangan dan jam tayangnya fleksibel. Masduki (2001: 79) mengungkapkan bahwa talkshow merupakan salah satu ajang interaksi yang mencerdaskan dan menjadikan radio atau televisi sebagai ruang publik yang bersifat populis. Inilah alasan mengapa talkshow disebut sebagai perwujudan ruang publik di radio Talkshow pada dasarnya adalah kombinasi antara “seni berbicara” dan “seni wawancara”. Setiap orang pasti bisa berbicara dan setiap broadcaster tentunya adalah “pembicara yang andal”. Akan tetapi, tidak semua broadcaster pandai melakukan wawancara apalagi menggabungkan keterampilan berbicara dengan wawancara. Seorang pembawa acara harus memiliki brain, nalar yang bagus, wawasan yang luas, tidak cukup hanya punya keterampilan mengelola pitch (tinggi rendah nada dasar), speed (cepat lambat ucapan), dan power (kuat lemah daya vokal). Pembawa acara harus memiliki keahlian memadukan ketiganya dalam suatu inflection (perubahan tinggi rendah suara) yang seirama dengan daya pikir. Talkshow memberi kesempatan untuk menguji kemampuan tersebut. Dengan kualifikasi keahlian tersebut, berarti tidak semua pembawa acara mampu menjadi host talkshow. Idealnya, hanya yang memenuhi kualifikasi di atas yang layak membawakan talkshow. Melalui talkshow, stasiun radio dapat mempertunjukkan 52


Menyapa Publik kepada pendengar bahwa stasiun tersebut memiliki tenaga broadcaster terlatih yang tidak hanya mampu berbicara, tetapi juga mampu mengupas topik tentang isu yang penting maupun topik-topik yang dimaksudkan untuk kepentingan hiburan semata. Pada akhirnya, acara talkshow mampu membangun citra positif di benak pendengar bahwa stasiun radio tersebut peduli pada perkembangan yang terjadi dalam kehidupan pemirsanya. Dalam menyelenggarakan program acara talkshow, penekanan dapat diberikan pada aspek-aspek yang berbeda. Pertama, tekanan pada aspek show-nya. Misalnya, suatu pertunjukan orkestra Erwin Gutawa, kemudian diciptakan program diskusi mengenai lagu atau musik orkestrasi di Indonesia. Erwin Gutawa termasuk narasumber yang diundang untuk berdiskusi. Konteks pembicaraan pada musik dalam show. Format program dapat berselang-seling antara diskusi atau wawancara dengan pagelaran musik orkestra. Kedua, tekanan pada program talk-nya. Show hanya sebagai ilustrasi saja atau daya tarik. Dalam program ini, pembicaraan tidak begitu terikat oleh show. Isi pembicaraan sangat dipentingkan. Selain menekankan pada aspek talk ataupun show, program acara talkshow dapat pula menyatukan dua gagasan itu atau pembicaraan murni. Pembicaraan murni itu sendiri merupakan sebuah show karena daya tariknya terletak pada permasalahan, tokoh, presenter, dan seluruh sajian. Kemudian, agar suatu acara talkshow menarik, ada beberapa prinsip yang dapat digunakan untuk mendesain talkshow (O’ Donell et al., 1990), yakni (1) Isu-isu lokal, (2) Kajian terhadap sebuah berita aktual, dan (3) Program sindikasi. Di tinjau dari bentuknya, ada tiga bentuk program talskhsow populer, yaitu sebagai berikut (O’Donell, et al., 1990). 1. One on one show: Pewawancara dan narasumber mendiskusikan topik dengan dua posisi mikrofon terpisah di ruang studio yang sama. 2. Panel Discussion (multi person discussion): Pewawancara sebagai moderator hadir bersama sejumlah narasumber. 3. Call in show: Program perbincangan yang hanya melibatkan telepon dari pemirsa. Sering kali, topik call in show ditentukan dulu oleh pemandu di studio, kemudian ditawarkan untuk direspon pemirsa. Akan tetapi bisa juga topiknya ditentukan oleh pemirsa saat acara berlangsung. Apa yang diusulkan dan disuarakan oleh pemirsa tidak semuanya layak siar sehingga perlu adanya gate keeper, yaitu petugas operator telepon yang menyeleksi telepon yang masuk sebelum diudarakan. Akhirnya, supaya program talkshow menarik, maka ada beberapa komponen yang seharusnya ada dalam sebuah acara 53


Indonesia Menyapa talkshow. Komponen yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1)Topik dirumuskan dalam bentuk pertanyaan; (2) Narasumber sebaiknya lebih dari satu orang; (3) Pemandu sebagai pengelola dinamika dibantu oleh operator; (4) Musik dan lagu sebagai selingan dan backsound; (5) Suara suasana lokasi talkshow (Jika diadakan di luar studio, sertakan atmosfir pada saat, sebelum, dan sesudah talkshow ).

54


ANALISIS FRAMING INDONESIA MENYAPA A. Kerangka Teoritik Sebuah media dapat dinilai berpihak pada kepentingan publik atau tidak dapat dilihat melalui pesan atau isi media. Pesan media sendiri memiliki makna yang sangat luas. Pesan media adalah everything that appears in the mass media, then our definition takes in an extremely wide range of phenomena—a range almost as all—encompassing as reality itself (Shoemaker & Reese, 1996: 31). Dengan demikian, apapun yang dimunculkan oleh radio dan ditangkap oleh masyarakat yang menjadi pendengarnya adalah pesan medianya. Seperti pesan media yang lain, secara umum, pesan radio terbagi menjadi dua, yaitu pesan faktual dan pesan fiksional. Berita adalah pesan faktual sebuah program acara radio. Pesan baru dapat dipahami oleh audiens atau masyarakat bila terdokumentasi dan dimengerti oleh mereka. Inilah yang secara sederhana disebut sebagai teks. Teks dipahami sebagai a “communicative event” that must satisfy several conditions (Titscher, et.al., 2000: 21-23). Terdapat tujuh kondisi atau kriteria sebuah teks. Kriteria tersebut adalah: cohesion, coherence, intentionality, acceptability, informativity, situationality, dan intertextuality. Masing-masing kriteria dapat dijelaskan sebagai berikut. Kohesi berkaitan dengan komponen permukaan teks, yang biasanya juga disebut dengan keterkaitan “sintaksis-teks”. Relasi antara elemen yang terlihat dapat dikategorikan sebagai kohesi. Kohesi ini mempunyai


Indonesia Menyapa beberapa bentuk, diantaranya adalah sebagai berikut. • Recurrence. Artinya repetisi dari elemen leksikal, komponen kalimat, dan elemen linguistik yang terbentuk. • Anaphora dan Cataphora. Anaphora mengarahkan perhatian pada sesuatu yang sebelumnya sudah dikatakan atau dibaca, sementara cataphora menunjuk pada sesuatu yang akan datang melalui penggunaan elemen teks. • Ellipsis. Elemen struktur normalnya tak terakses tanpa situasi komunikatif dan diletakkan dalam dunia pengetahuan dari para pihak yang berkomunikasi. • Conjunctions. Tanda-tanda ini menandai relasi atau koneksi antara even dan situasi. Terdapat beberapa tipe conjunctions yang berarti menghubungkan struktur kalimat dengan status yang sama, disjunctions (menghubungkan struktur kalimat dengan status yang berbeda), contra-junctions (menghubungkan struktur kalimat dengan status yang sama yang menjadi tidak tepat, misalnya, sebab dan akibat yang tidak diharapkan) dan subordinations (digunakan ketika struktur kalimat berkaitan dengan struktur kalimat yang lain). Kriteria teks yang kedua adalah koherensi (coherence) atau sering juga disebut dengan semantik tekstual. Koherensi membentuk makna sebuah teks. Koherensi sering dirujukkan pada elemen yang tidak selalu memerlukan ketepatan linguistik. Di bawah “lingkungan” elemen komunikasi yang pasti yang tidak diekspresikan di dalam teks, mungkin juga diimplikasikan dan mungkin mirip dengan resepsi pengaruh. Banyak ahli menyarankan bahwa konsep atau makna yang pasti terikat melalui “hubungan” dan kemudian diwujudkan dalam permukaan tekstual. Kesengajaan (intentionality) berhubungan dengan sikap dan tujuan pencipta teks. Ini menyangkut apa yang diinginkan oleh pencipta teks dan apa yang dimaksudkan dalam teks. Dengan demikian, orang yang berbicara tidak dapat dianggap sebagai teks, begitu juga dengan daftar telepon. Kemampuan untuk diterima (acceptability) adalah cermin dari kesengajaan. Teks mesti dikenal oleh penerima dalam sebuah situasi yang khusus. Kriteria ini tentu saja berkaitan dengan konvensi dan tidak berarti penerima akan begitu saja menerima teks. Informativitas (informativity) merujuk pada kuantitas informasi baru atau informasi yang diharapkan dalam sebuah teks. Hal ini berkaitan secara simultan tidak hanya pada kuantitas, tetapi juga pada kualitas informasi yang ditawarkan: bagaimana materi baru distrukturkan dan digunakan sebagai pembentuk makna? 56


Menyapa Publik Situasionalitas (situationality) bermakna bahwa konstelasiwicara dan situasi pembicaraan memainkan sebuah peran penting dalam produksi teks. Hanya varietas khusus atau tipe-tipe teks, gaya ataupun bentuk bicara berhubungan secara memadai secara kultural dan situasional. Kriteria sudah membimbing kita pada konsep “wacana”, terutama bila wacana secara umum didefinisikan sebagai “teks dalam konteks”. Intertekstualitas (intertextuality) memiliki dua tipe makna. Pada satu sisi, intertekstualitas menunjukkan bahwa sebuah teks selalu berhubungan wacana secara simultan. Pada sisi yang lain, intertekstualitas juga berarti bahwa terdapat kriteria formal yang menghubungkan teks pada teks lain dalam genre khusus atau varietas teks. Dalam terminologi perencanaan teks seperti genre, dapat digambarkan sebagai “skema” atau “frames”. Berdasarkan amanatnya sebagai media penyiaran publik itulah, RRI memiliki tugas yang relatif berat sekaligus berperan besar dalam proses demokratisasi. Salah satu cara untuk menjalankan peran tersebut adalah dengan memahami proses pembingkaian berita dan secara umum memahami visi kepublikan; keterbukaan, berguna bagi banyak orang, dan kolaboratif. Proses pembingkaian atau framing sendiri memiliki asumsi dasar bahwa media tidak hanya sekadar menyampaikan realitas, melainkan juga menerjemahkan atau menginterpretasi realitas tersebut. Media dapat menyeleksi realitas di dalam pesannya untuk disampaikan pada audiens. Cara masyarakat berpikir tentang suatu isu berkaitan erat dengan pembingkaian yang dibawa oleh media. Konsep framing sendiri tidak dapat dipisahkan dari hasil karya Erving Goffman. Goffman adalah salah satu ilmuwan yang pertama kali melansir konsep frame dan analisis frame. Goffman juga yang pertama kali mengaitkan kerja media dengan interpretasi atas realitas. Sebagaimana Goffman (1974: 21) kemukakan, “…application of such frameworks or perspective is seen by those who apply it as not depending on or harking back to some prior or “original” interpretation; indeed a primary framework is one that is seen as rendering what would otherwise be a meaningless aspects of the scene into something that is meaningful”. William A. Gamson dan Andre Modigliani (dalam Franklin, et.al., 2005: 85-86) mendefinisikan pembingkaian sebagai “a central organizing idea or story line that provides meaning to an upholding strip of controversy is about, the essence of the issue”. Pembingkaian merupakan usaha menyeleksi beberapa aspek dari realitas agar lebih meyakinkan untuk diterima audiens, juga memunculkan pemecahan masalah secara khusus, interpretasi sebab-akibat, evaluasi moral, dan rekomendasi. 57


Indonesia Menyapa Menurut Dennis McQuail (2005: 555), pembingkaian atau framing memiliki dua definisi. Pertama, framing merujuk pada cara pesan faktual atau berita secara spesifik dibentuk dan dikontekstualisasikan oleh jurnalis dengan beberapa cara pandang yang dianggap logis dan tertata dalam struktur laten pesan, sedangkan definisi kedua berkaitan dengan efek framing kepada publik, yaitu realitas bahwa audiens terbiasa untuk mendapatkan cara pandang (frames of reference) yang ditawarkan oleh jurnalis atau organisasi media. Konsep pembingkaian biasanya digunakan oleh bidang komunikasi politik dan psikologi komunikasi. Pada bidang komunikasi politik, pembingkaian berguna untuk menjelaskan ide sentral yang ada dalam pesan media. Tujuan utamanya adalah untuk melihat lebih mendalam ideologi seperti apa yang ditawarkan media kepada audiensnya. Lebih jauh, framing dalam komunikasi politik juga digunakan untuk memahami kemunculan gerakan publik dan massa di bidang politik dan sosial. Dalam bidang psikologi komunikasi, pembingkaian pesan media dipahami untuk mengetahui cara audiens memaknai pesan. Pesan media memiliki ide sentral dan runtutannya yang diakses oleh audiens. Audiens memiliki dan menentukan sendiri skema yang didapatkannya dari pesan media berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki. Pembingkaian media juga terklasifikasi menjadi pembingkaian episodik dan tematik. Bingkai yang terbagi atas episode menunjukkan bahwa isu publik sebagai kejadian yang merupakan hasil dari beragam tindakan individual. Sementara itu, bingkai tematik, lebih menyoroti beragam masalah sistemik di dalam masyarakat dan bersifat lebih abstrak dan dalam bentuk yang umum. Beralihnya pembingkaian oleh media dari episodik ke tematik, misalnya, memiliki konsekuensi tersendiri bagi audiens, antara lain siapa pihak yang bertanggung-jawab atas sebuah kejadian. Bingkai episodik cenderung lebih memperjelas dibandingkan bingkai tematik yang lebih abstrak. Isu yang dibingkai oleh media juga memiliki keberagaman, mulai dari isu politik sampai dengan isu kebudayaan. Walau demikian, isu yang berkaitan dengan kepentingan publik adalah isu utama yang dibingkai oleh media. Lagipula, pada dasarnya, isu memiliki definisi sebagai permasalahan yang menjadi fokus perhatian masyarakat dan biasanya dibawa oleh media. Untuk meneliti cara media membingkai isi pesannya, kita dapat menggunakan salah satu jenis metode analisis media, yang disebut dengan metode analisis bingkai (frame analysis). Analisis bingkai dalam dunia penelitian di Indonesia lebih dikenal dengan nama analisis framing (framing analysis), meskipun istilah ini sebenarnya 58


Menyapa Publik tidak dikenal dalam bahasa Inggris. Konsep pembingkaian atau framing menunjuk pada proses konstruksi pesan, sementara metode untuk menganalisisnya disebut dengan nama analisis bingkai (frame analysis). Analisis bingkai atau analisis frame adalah salah satu jenis metodologi untuk menganalisis teks media. Pada dasarnya, riset teks media sangatlah beragam, bukan hanya dikotomi tegas antara kuantitatif dan kualitatif, melainkan lebih kompleks lagi. Jane Stokes (2003: 20-21), misalnya, tidak lagi menggunakan dikotomi kuantitatif – kualitatif, melainkan obyektif – interpretif dan instrumental – abstrak. Riset ini menggunakan metode analisis bingkai. Analisis bingkai adalah metode yang ditujukan untuk menganalisis teks media. Tidak semua teks media bisa diteliti dengan metode analisis bingkai. Biasanya, metode analisis bingkai lebih berguna untuk meneliti teks faktual atau berita. Walau merupakan jenis metode analisis pesan tersendiri, analisis bingkai seringkali dianggap sebagai varian lebih spesifik dari analisis wacana. Analisis frame dianggap perkembangan lebih jauh dari analisis wacana (lihat Siahaan, et.al., 2001: 73). Pada prinsipnya, analisis bingkai mirip dengan rangkaian konsep yang digunakan sebagai perangkat analisis pada metode analisis isi. Hanya saja tidak setegas pada analisis isi (lihat Adiputra, 2008: 125). Bisa dikatakan bahwa analisis bingkai adalah metode analisis teks kualitatif yang paling dekat dengan kuantitatif. Analisis bingkai memiliki beragam varian. Riset ini menggunakan perangkat analisis bingkai yang dilansir oleh William A. Gamson dan Andre Modigliani. Perangkat analisis bingkai Gamson dan Modigliani dapat dilihat pada tabel berikut (dalam Eriyanto, 2002 : 225). Frame Central organizing idea for making sense of relevant events, suggesting what is at issues Framing Devices (perangkat framing)

Reasoning Devices (perangkat penalaran)

Metaphors Perumpamaan atau pengandaian

Roots Analisis kausal atau sebab akibat

Catchphrases Frase yang menarik, kontras, menonjol dalam suatu wacana. Ini umumnya berupa jargon atau slogan

Appeals to principle Premis dasar, klaim-klaim moral

59


Indonesia Menyapa Exemplaar Mengaitkan bingkai dengan contoh, uraian (bisa teori, perbandingan) yang memperjelas bingkai

Consequences Efek atau konsekuensi yang didapat dari bingkai

Depiction Penggambaran atau pelukisan suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction ini umumnya berupa kosakata, leksikon untuk melabeli sesuatu Visual Images Gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara keseluruhan. Bisa berupa foto, kartun, ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan Frame atau bingkai adalah pusat organisasi ide yang menjadikan peristiwa menjadi relevan dan menekankan suatu isu. Frame juga dianggap sebagai sebuah ide sentral sebuah peristiwa. Frame sendiri memiliki struktur internal yang oleh Gamson dan Modigliani dipandang sebagai cara bercerita atau tatanan ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Wacana media, terutama berita, terdiri dari sejumlah kemasan (package), dan konstruksi atas suatu peristiwa dibentuk melalui kemasan tadi. Kemasan dibayangkan sebagai wadah atau struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi yang menunjukkan posisi atau kecenderungan tertentu, dan membantu media atau komunikator menjelaskan muatan-muatan di balik isu atau peristiwa. Dalam kemasan, terdapat ide sentral yang nantinya dijabarkan ke dalam struktur pesan berita. Dalam kaitan ini, terdapat dua perangkat bagaimana ide sentral diterjemahkan ke dalam teks berita. Pertama, perangkat pembingkaian (framing device). Perangkat ini berhubungan dan berkaitan langsung dengan ide sentral atau bingkai yang ditekankan dalam teks berita. Perangkat pembingkaian ditandai dengan pemakaian kata, kalimat, grafik/gambar, dan metafora tertentu. Semua elemen tersebut dapat ditemukan, ditandai, dan merujuk pada gagasan atau ide sentral tertentu. Inti dari framing adalah bagaimana ide utama dijabarkan dalam konsep-konsep yang lebih detail. Kedua, perangkat yang menerjemahkan ide sentral atau frame adalah perangkat penalaran (reasoning device). Bila perangkat pertama berkaitan 60


Menyapa Publik dengan pemakaian kata, kalimat, atau perumpamaan tertentu yang merujuk pada suatu ide sentral, perangkat kedua ini berhubungan dengan kohesi dan koherensi yang merujuk pada ide sentral. Sebuah gagasan atau ide sentral tidak hanya berisi kata atau kalimat, tetapi gagasan juga selalu ditandai oleh alasan atau pembenaran tertentu. Alasan atau pembenaran tersebut bukan hanya meneguhkan suatu gagasan atau ide sentral, tetapi juga membuat ide sentral tampak benar, absah, dan keberadaannya wajar atau normal. Pembingkaian senantiasa melibatkan perangkat-perangkat yang dari perangkat ini pembingkaian dilakukan. Beberapa perangkat pembingkaian adalah sebagai berikut (Eriyanto, 2002: 225; Sobur, 2001: 179 – 180). Metafor. Metafor adalah perumpamaan dan pengandaian. Metafor dipahami sebagai cara memindah makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi atau memakai kiasan. Metafor adalah sesuatu yang dianggap alamiah oleh masyarakat sehingga penggunaannya akan membuat masyarakat lebih terbiasa. Metafor sendiri memiliki dua fungsi, yaitu sebagai perangkat diskursif dan ekspresi piranti mental, serta berasosiasi dengan penilaian di masyarakat. Catchphrases. Catchphrases adalah frase yang menarik, kontras dan menonjol dalam suatu wacana, yang umumnya berupa jargon atau slogan. Catchphrases merupakan cerminan dari ide sentral atau bingkai utama dari berita. Salah satu frase yang sering muncul adalah “netralitas�. Netralitas biasanya dikaitkan dengan posisi pejabat negara atau pegawai negeri di dalam pemilu. Exemplaars. Exemplaars adalah cara mengemas fakta tertentu secara mendalam agar sebuah fakta memiliki bobot makna lebih untuk dijadikan rujukan. Exemplaar adalah upaya untuk mengaitkan bingkai dengan contoh ataupun uraian, bisa teori dan perbandingan, yang memperjelas bingkai. Bisa dikatakan exemplaars adalah bagian utama dari perangkat pembingkaian karena memperkuat alasan yang diberikan. Depiction. Depiction adalah penggambaran atau deskripsi suatu isu yang bersifat konotatif. Depiction umumnya berupa istilah untuk melabeli sesuatu yang dapat berbentuk stigmatisasi, eufemisme, serta akronimisasi. Tujuannya adalah agar audiens mengarah pada citra tertentu. Citra tidak selalu sesuai dengan fakta tetapi citra penting dalam pembingkaian sesuatu. Imaji visual (visual images). Imaji visual (visual images) adalah gambar, grafik, citra yang mendukung bingkai secara 61


Indonesia Menyapa keseluruhan. Bisa berupa foto ataupun grafik untuk menekankan dan mendukung pesan yang ingin disampaikan. Tujuan penggunaan imaji visual adalah untuk memperkuat kesan. Dalam pesan audio, imaji visual dapat berujud penggambaran atau deskripsi suatu peristiwa dengan menggunakan katakata. Hampir mirip dengan perangkat pembingkaian, perangkat penalaran (reasoning devices) juga terdiri dari beberapa elemen. Elemen yang dimaksud adalah roots, appeals to principle, dan konsekuensi. Roots adalah analisis kausal atau sebab akibat dari peristiwa yang disampaikan. Analisis kausal digunakan untuk memperkuat argumen yang diambil untuk memperkuat ide sentral yang telah dikemukakan sebelumnya dalam perangkat pembingkaian. Appeal to principle merujuk pada imbauan, klaim moral atau imbauan untuk memperkuat argumen yang diberikan. Terakhir, konsekuensi. Konsekuensi merupakan efek yang didapat dari bingkai. B. Deskripsi Program Berita “Indonesia Menyapa� Program yang diteliti adalah program acara Indonesia Menyapa yang disiarkan dalam kurun waktu satu bulan, yakni dari 5 Agustus sampai dengan 5 September 2009. Berikut ini program Indonesia Menyapa yang diteliti secara lengkap. Tabel 1 Topik Indonesia Menyapa No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Tanggal

Topik

5 Agustus 2009

Sengketa Pilpres di MK

6 Agustus 2009

Testimoni Antasari Azhar

7 Agustus 2009

Testimoni Antasari Azhar

8 Agustus 2009 10 Agustus 2009

Perkembangan Situasi Penggrebekan Densus 88 Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara

11 Agustus 2009

Perburuan Pelaku Terorisme

12 Agustus 2009

Rapimnas Golkar

13 Agustus 2009

Pengejaran Pelaku Terorisme

14 Agustus 2009

Pidato Kenegaraan Presiden SBY

62


Menyapa Publik 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

15 Agustus 2009

Perjalanan Jong Kayuh Pan Borneo di Entikong

17 Agustus 2009

Semarak Kemerdekaan

18 Agustus 2009

Kemiskinan

19 Agustus 2009

Koalisi PDI-P dan Partai Demokrat

20 Agustus 2009

Kemungkinan Koalisi PDI-P dan Partai Demokrat

21 Agustus 2009

Penyusunan Kabinet

22 Agustus 2009

Susduk DPR/MPR

24 Agustus 2009

Fit and Proper Test Ketua KPK

25 Agustus 2009

Koalisi Kabinet

26 Agustus 2009

Pemborosan IT KPU

27 Agustus 2009 28 Agustus 2009

Penyerahan Uang dan Gratifikasi Anggota Dewan Kesepakatan Konservasi Lingkungan di Bali

1 September 2009

Kasus Bank Century

2 September 2009

Kenaikan Harga Sembako (Gula)

3 September 2009

Kasus Bank Century

4 September 2009

Mekanisme Seleksi Anggota BPK

5 September 2009

Kelaparan di Yahukimo

Program “Indonesia Menyapa” adalah program talkshow atau “percakapan”. Talkshow adalah salah satu jenis program berita yang mendasarkan isi media pada pesan faktual. Walau demikian, isi talkshow tidaklah “fakta” sepenuhnya. Kekuatan talkshow justru pada membicarakan “fakta” dengan mempertemukan pendapat dari beberapa narasumber. Bisa dikatakan, fakta yang tidak sepenuhnya diangkat dalam isi media inilah yang menjadi kekurangan program talkshow. Selain pendapat narasumber yang relatif beragam, kekuatan talkshow lainnya terletak pada kemampuannya membawa “suara orang biasa” sehingga dapat mewujudkan slogan demokrasi yang terkenal itu, vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Dengan demikian, perencanaan isi dan aliran (flow) pesan sangatlah menentukan. Isi dapat dirancang sedemikian rupa agar dapat dipercakapkan dengan 63


Indonesia Menyapa menarik. Sementara alur percakapan, dapat ditata agar semua elemen sistem demokrasi dapat dilibatkan, yaitu penguasa politik, ekonomi, dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peran pembawa acara sangat besar karena ia harus mengumpulkan laporan dari para reporter, mewawancarai narasumber, dan memoderasi suara anggota masyarakat. C. Analisis Bingkai (Frame Analysis) Indonesia Menyapa Frame analysis berusaha melihat apakah isi pesan yang ditampilkan oleh media memiliki skema dan “pengemasanâ€? yang jelas. Pada dasarnya, media berusaha memberikan interpretasi atas realitas, disadari ataupun tidak. Pihak media yang memiliki visi yang kuat atas interpretasi akan menyampaikan pembingkaian dengan jelas. •

Frame (Bingkai) Utama Bingkai utama adalah ide utama yang terorganisir dalam teks yang tujuan utamanya agar peristiwa yang terjadi dipahami oleh audiens, dan juga agar audiens memahami pilihan fakta yang diambil oleh media. Dalam media penyiaran publik seperti RRI, bingkai yang paling penting adalah apakah isu yang dipilih relevan bagi kepentingan masyarakat dan apakah fakta yang diseleksi berada dalam wilayah kepublikan? Tabel berikut akan menjelaskan ide sentral dalam masing-masing dialog yang disajikan dalam Indonesia Menyapa. Dengan melihat ide-ide sentral yang ada dalam tabel di bawah, akan dapat dilihat apakah isu-isu dalam Indonesia Menyapa menyentuh ke wilayah-wilayah publik. Tabel 2 Bingkai Utama Program (1)

Bingkai Utama Sengketa pilpres di MK

(2)

Testimoni Antasari Azhar membawa permasalahan baru dalam gerakan anti korupsi di Indonesia

(3)

Testimoni Antasari Azhar memberikan pemahaman baru akan kelemahan penegakan anti korupsi di Indonesia

(4) (5)

Penggrebekan tersangka teroris di Temanggung Upaya penyusunan Undang-undang Rahasia Negara

(6)

Pengungkapan identitas jenazah korban penggerebekan oleh Densus 88 di Temanggung

(7) (8) (9)

Penjelasan mengenai Rapimnas Golkar Pemakaman jenazah tersangka teroris Persiapan Penyampaian Pidato Kenegaraan Presiden

64


Menyapa Publik (10)

Perayaan Hari Kemerdekaan di daerah perbatasan

(11)

Perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia di berbagai tempat

(12)

Penjelasan masalah kemiskinan di Indonesia

(13)

Rencana koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan Partai Demokrat

(14)

Aktivitas partai pasca pengumumam pemenang pemilu, antara lain rencana koalisi dua partai besar

(15)

Pembentukan kabinet baru oleh calon presiden pemenang pemilihan umum 2009

(16)

Penjelasan mengenai susunan dan kedudukan DPR dan MPR

(17)

Fit and proper test ketua KPK sebagai pengganti Antasari Azhar

(18)

Rencana untuk koalisi kabinet

(19)

Dugaan pemborosan informasi di KPU

(20)

Persoalan uang gratifikasi untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat

(21)

Penjelasan mengenai konversi lingkungan hidup di Bali

(22)

Kasus Bank Century sebagai kasus perbankan terbesar di Indonesia sejauh ini

(23)

Kenaikan harga sembako, terutama gula, di beberapa tempat di Indonesia

(24)

Indikasi kerugian negara dalam penurunan dana talangan untuk Bank Century

(25)

Mekanisme seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan

(26)

Kelaparan di Yahukimo, Papua, yang semestinya diatasi dengan koordinasi antar sektor di pemerintahan

dana

pengadaan

teknologi

Secara umum, terlihat bahwa bingkai utama yang disampaikan diupayakan berkaitan dengan kepentingan publik. Frame utama antara lain dapat dilihat dari topik atau judul dialog. Hampir semua topik berkesesuaian dengan kepentingan masyarakat luas. Walau demikian, masih terdapat beberapa topik yang layak dipertanyakan “kedekatannya� dengan kepentingan publik, diantaranya adalah Rapimnas Golkar, Koalisi PDI-P dan Partai Demokrat, Susduk DPR/ MPR, Fit and Proper Test Ketua KPK, Koalisi Kabinet, dan Mekanisme Seleksi Anggota BPK. Isu ini sebenarnya dapat masuk ke dalam wilayah publik jika diskusi tema atau topik yang diangkat dikaitkan dengan kepentingan 65


Indonesia Menyapa publik. Misalnya, dialog mengenai Rapimnas Glokar tidak berhenti pada siapa yang akan menjadi ketua umum, tetapi juga apa konsekuensi yang timbul jika Ketua Umum Golkar si A atau si B. Sayangnya, dialog lyang membicarakan topik-topik di atas cenderung berisi diskusi elite mengenai peristiwa politik dan tidak mempertanyakan secara kuat maknanya bagi kehidupan publik sehingga tampak menjadi kurang relevan. Selain topik, isi yang secara kuat menyuarakan kepentingan publik dapat diamati melalui pihak yang berpendapat atau narasumber. Secara umum, narasumber yang muncul dalam program Indonesia Menyapa sudah beragam; masyarakat umum dan para ahli, juga diperkuat oleh laporan reporter RRI sendiri dari beberapa tempat kejadian. Walau demikian, pendapat dari masyarakat sendiri belumlah menjadi bagian yang utama. Pendapat dari masyarakat lebih berfungsi sebagai pelengkap percakapan yang ada. Kemajuan teknologi komunikasi membuat produksi program menjadi lebih mudah. Hal ini terlihat dari opini masyarakat yang dimuat di dalam program Indonesia Menyapa. Cukup banyak pendapat masyarakat yang masuk melalui pesan SMS (Short Message Service). Ruang lingkup nasional program Indonesia Menyapa sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk “menjaring� pesan SMS dari seluruh wilayah negeri. Hal lain yang bisa dimunculkan berkaitan dengan perhatian pendengar adalah cara untuk “mengikat� pendengar agar lebih dekat dengan RRI. Sekarang ini, muncul trend yang secara umum menunjukkan gejala kedekatan yang semakin intens antara media dengan audiens. Ada dua pendengar yang seringkali memberikan komentar dalam program Indonesia Menyapa, yaitu Bapak Bambang di Madiun dan Bapak Kris di Manado. Hal ini diakibatkan oleh dua hal. Pertama, kemajuan teknologi komunikasi yang lebih memudahkan interaksi audiens dengan media. Kedua, tingkat literasi (pemahaman) media di masyarakat Indonesia. Tabel 3 merupakan daftar lengkap narasumber dan anggota masyarakat yang berkontribusi dalam program Indonesia Menyapa yang diteliti di dalam riset ini.

66


Menyapa Publik Tabel 3 Narasumber, Reporter, dan Opini Masyarakat Program

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Narasumber, Reporter, dan Opini Masyarakat Nama Asal Megawati Ibu Ima Pak Kris Pak Abdullah Maswadi Rauf Pak Samsul Bahri Bambang Eko Cahyo Pak Haryono Pak Bobi Pak Jack Pak Bambang Pak Yogi Pak Widodo Pak Yusuf Pak Teuku Adli Johan Budi Emerson Junto Junifer Girsang Pak Salim Pak Wito Tomi Sihotang

Calon presiden Sumenep Manado Sumatera Barat Pengamat politik UI KPU Bawaslu Hakim konstitusi Ternate Biak, Papua Madiun Jakarta Jakarta Gorontalo NAD Juru bicara KPK ICW Pengacara Antasari Azhar Jakarta Bengkulu Pengamat hukum

Prof. Andi Febridiansyah Suripto

Pengamat hukum pidana Universitas Indonesia Peneliti dari ICW Wakil ketua komisi III DPR

Biantoro Sutono Waluyo

Reporter RRI Purwokerto Reporter RRI Purwokerto Warga Temanggung

Yudi Krisnandi Wawan Purwanto

Anggota Komisi I DPR Pengamat militer dan intelejen Jakarta Sumenep

Pak Yori Ibu Ima dr. Agus Purwadiyanto. Pak Bambang Pak Yan Suripto Pak Neta

67

Dokter ahli forensik Madiun Flores Pengamat intelejen, ketua komisi III DPR RI Ketua presidium Police Watch


Indonesia Menyapa

(7)

(8)

Yudi Krisnandi Burhanudin Napitupulu Pak Bambang Pak Ali Pak Yusmulyana Pak Husein Juarsamah Johan

Fungsionaris partai Golkar DPP Golkar Madiun Probolinggo Jakarta Sumenep Pengamat politik

Rosida Aisya Hermawan Sulistyo

Reporter RRI Surakarta Mantan investigator bom Bali dan Guru Besar Riset Bidang Politik LIPI Pengamat intelijen dan militer Kapolri Madiun Manado Ahli sosial klinis

Wawan Purwanto Kapolri Pak Bambang Pak Kris Dr. Adi Fahrudin

(9)

Ibnu Khalif Yunus Agung Laksono Nurhadi M Musawir Hari Azhar Azis

Reporter RRI Ketua DPR Anggota komisi IV DPR Anggota DPR dari fraksi Partai Golkar Reporter RRI di gedung parlemen Anggota DPR RI Anggota DPR RI

Muh Haikal Yunus Efendi Simbolon Ruhut Sitompul Zang Rangga Pak Ignatius Iryanto Pak Haji Herman

(10)

Pak Samsul Pak Ilham Pak Bambang Pak Dudung Chandra Pak Yakob Pak Alwi Pak Salim Pak Effendi Pak Abdul Muluk Pak Kris Sulistyo Ishak Anhar Gonggong

68

Reporter RRI dari Entikong Camat Entikong Masyarakat di kecamatan Sebatik Induk Klender, Jakarta Papua Madiun Sukabumi (SMS) Serui Ponorogo Jakarta Wamena Pekan Baru Manado Wakadiv Humas Polri Budayawan dan sejarawan


Menyapa Publik Esti Murdiastuti

(11)

Reporter RRI dari Tugu Proklamasi Warga masyarakat Warga masyarakat Entikong Warga masyarakat Entikong Tokoh masyarakat Lhokseukon Anggota DPRD Kabupaten Aceh Utara

Mbah Buyut Pak Sucipto Pak Udin Pak Amrih Yafiddat Yusuf

(12)

Imam Prasodjo Ichsanudin Noorsy

Pengamat sosial dan politik Pengamat kebijakan publik bidang ekonomi Pengamat pendidikan Ketua Bapenas

Arif Rahman Paskah Suzetta Ganjar Pranowo

(13)

Syarif Hasan Patrialis Akbar Johermansyah Johar Pak Ali Pak Slamet Pak Bandi

(14)

Pak Yos Pak Salim Ibu Ima Syarif Hasan Arya Bima Maswadi Rauf Pak Edi Pak Slamet Ahmad Mubarok

Gorontalo Jakarta Sumenep Ketua fraksi Demokrat PDI Perjuangan Pengamat politik Purwokerto Majalengka Wakil ketua DPP partai Demokrat Fungsionaris PAN Sekjen PPP Toli-Toli, Sulawesi Tengah (SMS) Pontianak (SMS) Lampung (SMS) Tanah Miring, Merauke (SMS) Pontianak Bandung Pengamat politik dari UI Papua Bekasi

Patrialis Akbar Irghan Chaerul M Pak Syafrudin (15)

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Fungsionaris Partai Demokrat DPP PAN Pengamat politik dari Institut Ilmu Pemerintahan Malang Majalengka Cirebon

Pak Syamsul Hadi Pak Efendi Pak Sensiskos Ibu Sarifah Pak Dani Lilly Romli Pak John Pak Marasabessi

69


Indonesia Menyapa Denny Indrayana (16)

(17)

(18)

(19)

Pak Yusuf Tamu Marwan Batubara Ibramsyah

Staff ahli hukum kepresidenan Gorontalo Anggota DPD dari DKIJakarta Pengamat politik dari UI

Febridiansyah Patrialis Akbar Tomi Sihotang

Anggota ICW Partai Amanat Nasional Pengamat hukum

Andi Mallarangeng Tifatul Sembiring Pak Slamet Pak Jacky Pak Yakub Happy Bone Z Maruar Sirait Syarif Hasan Pak Adli Pak Supadi Haryono Umar Pak Syamsudin Pak Slamet Pak Salim Pak Yakub Ganjar Pranowo

Fungsionaris Partai Demokrat Presiden Partai PKS Majalengka Padang Serui, Papua Tokoh Golkar PDI Perjuangan Reporter RRI Aceh Lampung Wakil ketua KPK NTB Majalengka Jakarta Serui, Papua Anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan Anggota DPR dari fraksi Demokrat, pakar telematika

Roy Suryo Haryono Umar

Wakil ketua KPK bidang pencegahan dan pengaduan masyarakat Pengamat kebijakan publik bidang ekonomi Wakil Koordinator ICW --Sibolga (SMS) Bandung (SMS) Probolinggo Ambon Aceh Manado Madiun Mataram Sumenep

Ihsanudin Noorsy

(20)

Teten Masduki. Yokub Bisrui Pak Siahaan Ibu Ririn Pak Ali Pak Ismail Pak Adwi Pak Kris Pak Bambang Pak Abu Samsudin Ibu Ima

70


Menyapa Publik Sarah Sofa Cofi Darori (21)

Hendarso Pak Bambang Pak Yos Pak Ali Pak Gustav Ibu Nursanita Nasution Aviliani

(22)

Pak Bambang Pak Zir Pak Yakob Pak Johan Budi Toha Rahman Pak Purwadi Yusridarto Ibu Diah Pak Bayu Krisnamukti

(23)

Pak Tulus Abadi Pak Yos Pak Warno Pak Ardiansyah Pak Bambang Yulika Fitri Ibu Dalinem Pak Suherman Rosidi

Ibu Nursanita Nasution Ryan Kriyanto (24)

Danang Wijoyoko Johan Budi Ibu Herlina Pak Samsir Pak Yusuf

71

Deputi Direktur Eksekutif Walhi Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Departemen Kehutanan RI Anggota Komisi VII dari fraksi PDI Perjuangan Madiun Gorontalo Probolinggo Jakarta Anggota komisi XI DPR-RI Pengamat perbankan dari Indef Madiun Jambi Serui Juru bicara KPK Reporter RRI di Jember Pengecer gula di kawasan pasar Sabtuan Kab. Jember Reporter RRI di Tarakan Ibu rumah tangga di Tarakan Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian Pelaksana harian YLKI Gorontalo Seorang pedagang gula di pasar Koja Jakarta Utara Palangkaraya Madiun Reporter RRI Jakarta Pedagang di pasar Mampang Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya Anggota komisi XI DPR RI dari fraksi PKS Pengamat perbankan nasional ICW Juru bicara KPK Jakarta Jambi Semarang


Indonesia Menyapa

(25)

Drajat Wibowo Fahmi Badoh Pak Yakob Pak Ali Pak Bambang Pak Wito Pak John Pak Dani Agus Hendrik

Anggota komisi XI DPR RI Anggota ICW Serui, Papua Malang Madiun Bengkulu Sumenep (SMS) Bandung Anggota BPK baru di Semarang Padang

Pak Samsul Hartono Laras

Sekretaris dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Merauke Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Kupang Madiun SMS Yahukimo/Wamena

Ladwa Ladwani (26)

Imam Prasojo Pak Jabir Pak Bambang Pak Sombolin Pak Antoni

•

Perangkat Pembingkaian (Frame Devices) Analisis berikut akan melihat bagaimana perangkat pembingkaian (framing device) yang terdiri dari metaphors, catchphrases, exemplaar, depiction dan visual images, yang dilakukan oleh Indonesia Menyapa. Semua elemen perangkat pembingkaian tersebut akan dijelaskan satu persatu dan pada akhirnya analisis akan dijelaskan secara komprehensif dan menyeluruh. Tabel 4 Metaphors Program (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Metaphors Banjir darah under attack, kambing Perkara mati, penggembosan -- tidak ditemukan metafor dalam program edisi ini --- tidak ditemukan metafor dalam program edisi ini -perang panjang Bahtera, lokomotif

72


Menyapa Publik (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17) (18) (19) (20) (21) (22) (23) (24) (25) (26)

-- tidak ditemukan metafor dalam program edisi Tradisi baru Bagaikan bumi dan langit, musuh dalam selimut Upacara bendera sebagai bentuk kecintaan negara Indonesian dream, urat nadi Indonesia Koalisi partai Koalisi partai Bukan politik hutang budi Perebutan kursi -- tidak ditemukan metafor dalam program edisi Penjatahan posisi menteri Pemborosan adalah korupsi -- tidak ditemukan metafor dalam program edisi -- tidak ditemukan metafor dalam program edisi Kondisi perang, sisa luka ekonomi Buah simalakama Kondisi perang, sisa luka ekonomi Penjaringan (calon anggota) Garda terdepan

ini --

pada

ini --

ini -ini --

Metaphors Metafor atau perumpamaan yang dimunculkan dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa cukup beragam. Diantaranya metafor “daerah perbatasan�. Pada Indonesia Menyapa edisi Semarak Kemerdekaan (17 Agustus 2009), digambarkan bahwa kesatuan negara Indonesia adalah sesuatu yang penting. Arti penting tersebut diperkuat dengan laporan dari dusun Suruh Tembayang yang letaknya setengah jam perjalanan dari perbatasan dengan Malaysia. Secara geografis, lebih dekat bila dibandingkan dengan kota kecamatan apalagi dengan transportasi yang belum memadai. Metafor ini sebenarnya bisa diperluas lagi, yaitu dikaitkan dengan kepedulian kita sebagai masyarakat dan menempatkannya dalam konteks ke-Indonesia-an. Bila RRI cukup jeli, maka metafor ini cukup kuat mengangkat isu nasionalisme yang belakangan ini marak kembali muncul di Indonesia. Dalam kaitan ini, permasalahan daerah perbatasan adalah permasalahan yang menarik perhatian masyarakat.

73


Indonesia Menyapa Tabel 5 Catchphrases Program

Catchphrases

(1)

Keputusan yang adil, masalah hukum, kehidupan demokratis, masyarakat yang jenuh, “siap menang, siap kalah�

(2)

Testimoni, KPK under attack, pelemahan KPK, kriminalisasi pimpinan KPK, abuse of power, OPR (Organisasi Pertahanan Rakyat), dagelan pemberantasan korupsi

(3)

Testimoni, penyadapan, penyuapan, kepemimpinan kolektif, mekanisme internal, institutional friction, pengawasan silang, tipikor (tindak pidana korupsi)

(4)

shock therapy, special event, drama penggerebekan teroris

(5)

Rahasia negara, upaya preventif, operasi intelejen, Kebebasan Informasi Publik, yudicial review, role and engagement, otoritarian

(6)

Forensik, data mortem, mastermind, informasi vertikal, jaringan asimetris, internal security act, joint task force, arogansi sektoral

(7) (8)

Rapimnas, munas, ideologi kepartaian Pahlawan jihad, jihad still continue

(9)

Pidato kenegaraan, politik anggaran, bukan sekadar acara seremonial, stick to the nation, nota keuangan, klaim keberhasilan

(10)

Daerah perbatasan, negara serumpun, antusiasme masyarakat menyambut kemerdekaan, letter boarding crossing

(11)

Proklamasi kemerdekaan, upacara bendera, pahlawan bukan hanya untuk negara, lagu wajib, Indonesia kaya raya

(12)

Simbolisme militer, nation building, character building, peragaan pengemis, seremonial, corporate social responsibility, hari belum merdeka, reformasi agraria, pembangunan pendidikan

(13)

Koalisi partai, checking balancing system, solve the problem

74


Menyapa Publik

(14)

Check and balance, koalisi tidak diharamkan, feedback dibutuhkan, how to build our nation, otoritarian fractual, political ethics

(15)

Kabinet kerja, sistem presidensial, hak prerogatif presiden, partai koalisi

(16)

Susduk, asas proporsionalitas, judicial kewenangan jabatan, joint decision

(17)

Qualified, fit and proper test, kredibilitas kinerja, kepemimpinan kolektif

(18)

Koalisi, kabinet kerja, partai pengusung, koalisi jumbo

(19)

Intellegent Character Record, penyeragaman merk, pemborosan adalah korupsi

(20)

Gratifikasi, suap, kejujuran perdata, integritas, whistle blower

(21)

Konservasi lingkungan hidup, demonstration activities, governance servant, focal point

(22)

Pengaruh sistemik, audit investigatif, kondisi tidak umum dan extra ordinary, efek domino, public trust, masalah perampokan, fungsi budgeting dan pengawasan, rule of the game

(23)

Kenaikan harga gula, pasar tradisional, subsidi harga, gula rafinasi

(24)

Pengaruh sistemik, audit investigatif, kondisi tidak umum dan extra ordinary, efek domino, public trust, masalah perampokan, fungsi budgeting dan pengawasan, rule of the game

(25)

Conflict of interest, penjaringan dan seleksi, fit and proper test, acceptabilitas, jabatan karier dan jabatan politik

(26)

Kelaparan, keanekaragaman, langkah strategis, masalah distribusi, kekeringan, local genius, kekurangan gizi

review,

Catchphrases Catchphrases atau frase dan kalimat yang menarik dimunculkan dalam banyak edisi Indonesia Menyapa. Diantaranya pada edisi Kesepakatan Konservasi Lingkungan di Bali (28 Agustus 2009). Kalimat yang menarik yang dimunculkan adalah demonstration activities. Di sini, diungkapkan bagaimana penyelamatan iklim dan lingkungan sebaiknya menjalankan aktivitas yang riil. Bila istilah ini

75


Indonesia Menyapa dieksplorasi lebih mendalam, maka pendengar akan lebih merasakan manfaat diskusi tersebut. Kebanyakan catchphrases dimunculkan oleh narasumber dan opini masyarakat, bukan dari penyiar ataupun reporter (lihat tabel). Tabel 6 Exemplaar Program

Exemplaar

(1)

Permasalahan hukum dibedakan dengan permasalahan politik kemudian diberikan contoh yang relatif detil dari narasumber mengenai perbedaan permasalahan hukum dengan permasalahan politik

(2)

-- tidak ada eksplanasi contoh yang eksplisit --

(3)

Dicontohkan berbagai permasalahan pengambilan keputusan di dalam organisasi KPK yang ternyata mengandung kelemahan

(4)

-- tidak ada eksplanasi contoh di dalam berita ini --

(5)

Dicontohkan baik dan buruknya penerapan UU Rahasia Negara

(6) (7)

Dijelaskan proses identifikasi jenazah melalui forensik -- tidak ada eksplanasi contoh di dalam berita ini --

(8)

Dijelaskan alasan kemunculan gerakan terorisme di Indonesia

(9)

Contoh-contoh klaim keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono

(10)

Perbandingan Malaysia

(11)

Contoh berbagai perayaan HUT Kemerdekaan RI di beberapa wilayah

(12)

Faktor-faktor penyebab pendidikan dan agraria

(13)

Berbagai kemungkinan koalisi kedua partai politik besar

(14)

Berbagai kemungkinan koalisi kedua partai politik besar

(15)

Contoh berbagai alternatif kriteria untuk penyusunan kabinet

(16)

Contoh bentuk relasi antar lembaga negara

(17)

Penjabaran baik buruknya pengangkatan ketua baru KPK

perbatasan

76

antara

Indonesia

kemiskinan,

antara

dan

lain


Menyapa Publik (18) (19) (20)

Contoh kemungkinan koalisi partai-partai besar Penjelasan mengenai pemborosan Perbedaan hadiah dan gratifikasi

(21)

Berbagai kebijakan lingkungan hidup yang tidak fokus dan tidak sinergis satu sama lain

(22)

Contoh yang diberikan mirip sekali dengan kasus BLBI yang meruntuhkan Orde Baru

(23)

Tinjauan harga gula di berbagai tempat

(24)

Contoh yang diberikan adalah perbandingan dengan kasus BLBI tahun 1998

(25)

Dideskripsikan proses penjaringan dan seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan

(26)

Diberikan contoh cara penanganan kelaparan yang seharusnya

Exemplaar Exemplaar atau penghubungan bingkai dengan contoh dan uraian muncul dalam beberapa edisi Indonesia Menyapa. Contoh exemplaar antara lain terlihat pada edisi Penyusunan Kabinet (21 Agustus 2009). Pada edisi tersebut, dihadirkan alasan penyusunan kabinet walaupun isu ini sebenarnya agak berjarak dengan kehidupan langsung masyarakat. Apalagi tidak ada pengaitan makna penyusunan kabinet dengan kehidupan sehari-hari warga. Selain itu, pendekatan yang kritis tidak dimunculkan. Penjelasan penyusunan kabinet berasal dari partai pemenang dan pendukungnya. Jika hendak dikaitkan dengan kepentingan publik, maka semestinya perlu diangkat pandangan yang berbeda. Keberagaman pendapat inilah inti prinsip kepublikan agar masyarakat memahami keluasan suatu isu. Tabel 7 Depiction Program (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9)

Depiction Orang-orang yang kalah Pihak yang melakukan abuse of power Orang yang track record-nya buruk semakin terbukti Tersangka teroris Pihak yang membocorkan “rahasia� negara Tersangka teroris -- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif -Tersangka teroris -- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif --

77


Indonesia Menyapa (10) (11)

-- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif --- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif --

(12)

Pihak pemerintah yang tidak peduli dengan berbagai faktor penyebab kemiskinan

(13)

-- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif --

(14)

Partai politik yang tidak jelas pendirian politiknya dan yang mengabaikan etika politik

(15) (16) (17) (18) (19) (20)

-- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif --- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif -Sistem pengangkatan ketua baru di KPK -- tidak ada pihak yang digambarkan secara negatif -Komisi Pemilihan Umum Anggota DPR yang menerima gratifikasi

(21)

Perusak lingkungan, pemerintah yang tidak fokus kebijakannya

(22)

Pihak pemerintah, terutama departemen Keungan dan Bank Indonesia

(23)

Pemerintah yang kurang bagus dalam mengawasi distribusi gula dan memenuhi ketersediaan gula

(24)

Bank Century dan pihak pemerintah, walau tidak eksplisit

(25)

Para mantan anggota DPR yang berniat menjadi anggota BPK yang baru

(26)

Masyarakat Yahukimo sendiri, walaupun tidak eksplisit, terutama yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya. Juga aparat pemerintah yang tidak menjalankan tugasnya

Depiction Depiction atau deskripsi suatu isu secara konotatif terlihat dalam beberapa isu yang diangkat. Ini, misalnya, muncul dalam Indonesia Menyapa edisi Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (5 Agustus 2009). Depiction tidak dimunculkan dalam narasi berita, melainkan diucapkan oleh narasumber, yaitu “orang yang mampu menerima kekalahan�. Ucapan yang merupakan depiction itu dimunculkan oleh Maswadi Rouf, narasumber yang merupakan pengamat politik dari Universitas Indonesia. Walau tidak merujuk secara langsung, depiction sebaiknya bisa sedikit dilunakkan dengan mencari pendapat ahli yang berbeda. Mungkin bila pengamat politik lain yang berbicara, depiction itu bisa dinetralisir dengan komentar bahwa pihak-pihak yang mengajukan 78


Menyapa Publik bukanlah “orang-orang yang kalah�, melainkan orang-orang yang mencari kejelasan. Bila tidak ada narasumber lain, maka pembawa acara dapat menjelaskan narasi dengan posisi yang berada di publik. Tabel 8 Visual Images Program

Visual Images

(1)

Digambarkan kondisi sosial-politik bila gugatan tersebut dikabulkan

(2)

Dideskripsikan terjadinya pelemahan gerakan melawan korupsi yang dilakukan secara sistematis

(3)

Dijelaskan mengenai konsekuensi-konsekuensi bagi pengambilan keputusan kolektif di KPK yang tidak berjalan baik

(4)

Program kali ini adalah deskripsi audio penggerebekan tersangka teroris di Temanggung

(5)

Dijelaskan contoh-contoh tidak diperlukannya UU Rahasia Negara begitu juga alasan diberlakukannya UU tersebut

(6) (7)

Dideskripsikan proses kerja identifikasi Digambarkan proses persiapan Rapimnas Partai Golkar

(8)

Digambarkan pemakaman jenazah tersangka pelaku terorisme

(9)

Dideskripsikan persiapan penyampaian pidato tahunan oleh presiden

(10)

Deskripsi aktivitas lomba bersepeda yang melintasi dua negara

(11)

Penggambaran perayaan HUT Kemerdekaan RI di berbagai wilayah tanah air

(12) (13)

Deskripsi penyebab kemiskinan Berbagai kemungkinan koalisi

(14)

Penggambaran baik buruknya dua partai besar yang tadinya berseteru untuk berkoalisi

(15)

Deskripsi proses penyusunan kabinet oleh pemenang pemilu 2009

(16)

Deskripsi atas pola-pola hubungan antar lembaga negara

(17)

Eksplanasi proses pengangkatan ketua baru KPK sebagai akibat dicopotnya ketua sebelumnya

79

dari


Indonesia Menyapa

(18)

Penggambaran proses kemungkinan koalisi partaipartai besar

(19)

Deskripsi pemborosan yang dilakukan oleh KPU dalam pengadaan teknologi informasi

(20)

Proses penerimaan gratifikasi dan pengembaliannya ke KPK

(21)

Penggambaran tentang kerusakan di berbagai wilayah di Indonesia

(22)

Penjelasan mengenai proses penyelamatan Bank Century yang bermasalah sejak awal

(23)

Penggambaran kenaikan harga gula di berbagai pasar tradisional di seluruh Indonesia

(24)

Deskripsi tindakan penyelamatan Bank Century yang dipertanyakan dasar-dasar asumsinya

(25)

Dideskripsikan proses penjaringan dan seleksi anggota Badan Pemeriksa Keuangan

(26)

Digambarkan kondisi di Yahukimo mengalami kekeringan dan kelaparan

yang

diduga

Visual Images Visual Images jarang yang menyampaikan laporan dari kejadian. Hampir semua berasal dari narasumber. Walau demikian, salah satu penggambaran suasana yang bagus adalah dalam Indonesia Menyapa edisi 17 Agustus 2009 yang membicarakan kemerdekaaan. Pada segmen awal program ini, disampaikan reportase yang menggambarkan suasana perayaan kemerdekaan, termasuk suasana upacara kemerdekaan di kantor Imigrasi yang diikuti seorang peserta yang berusia 72 tahun. •

Perangkat Penalaran (Reasoning Devices) Perangkat penalaran adalah cara yang digunakan oleh media untuk memperkuat argumen yang ada. Fungsi utama perangkat penalaran adalah memberikan dasar logika yang kuat bagi pembingkaian yang telah dilakukan. Elemen perangkat penalaran adalah roots, appeals to principle, dan consequences. Tabel 9 Roots Program

Roots

(1)

Akan terjadi “banjir darah� bila Mahkamah Konstitusi tidak bekerja sebagaimana mestinya

80


Menyapa Publik

(2)

Testimoni Antasari Azhar menunjukkan bahwa ada kelemahan penegakan hukum di Indonesia

(3)

Testimoni Antasari Azhar menunjukkan bahwa ada kelemahan internal dalam pengambilan keputusan di KPK yang ditentukan secara kolektif

(4)

Tindakan penggrebekan tersangka teroris di Temanggung adalah shock therapy bagi gerakan terorisme di Indonesia

(5)

UU Rahasia Negara berpotensi mengurangi kebebasan di masyarakat

(6)

Bagaimana pun juga jenazah tersangka teroris harus diidentifikasi

(7)

Arti penting sebuah partai bagi pendukungnya dan juga bagi masyarakat

(8)

Terorisme merugikan masyarakat

(9)

Penyampaian pidato presiden tahun ini memunculkan tradisi baru

(10)

Daerah perbatasan adalah daerah yang penting dalam pembangunan Indonesia

(11)

Perayaan kemerdekaan juga milik rakyat sehingga mereka merayakannya dengan berbagai macam cara

(12)

Kemiskinan tidak akan teratasi bila berbagai faktornya tidak dibenahi

(13)

Koalisi partai politik adalah sesuatu yang lumrah di masyarakat

(14)

Di dalam politik praktis semua hal mungkin terjadi

(15)

Pemilihan anggota kabinet adalah hak presiden yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun

(16)

Hubungan antar lembaga negara dan pejabatnya perlu diatur dengan jelas

(17)

KPK adalah lembaga negara sehingga prosedur pengangkatan ketua barunya perlu diperjelas

(18)

Koalisi partai dalam penyusunan kabinet adalah lumrah

(19)

Pemborosan yang dilakukan oleh KPU dalam pengadaan teknologi informasi adalah salah satu jenis korupsi

(20)

Gratifikasi dan suap tidak diperbolehkan dalam tugas anggota DPR

81


Indonesia Menyapa

(21)

Permasalahan lingkungan hidup adalah permasalahan bersama

(22)

Penyelamatan Bank Century diduga tindakan yang melanggar hukum

(23)

Tata niaga atau distribusi gula wajib diatur oleh negara dengan sebaik-baiknya

(24)

Penggunaan dana talangan yang sangat besar untuk Bank Century diduga ilegal

(25)

Seleksi lembaga negara, terutama BPK, haruslah transparan

(26)

Kelaparan di Yahukimo adalah permasalahan multisektor yang harus dibenahi

merupakan

Roots Roots atau analisis sebab akibat sebuah isu yang terdapat dialog interaktif Indonesia Menyapa sudah tergambar dengan baik. Hal ini terlihat dalam salah satu edisi Indonesia Menyapa ketika membicarakan Perburuan Pelaku Terorisme (11 Agustus 2009). Melalui salah satu narasumber Suripto, pakar intelijen dan terorisme, dijelaskan bahwa alasan suburnya terorisme di Indonesia karena disebabkan dua hal, peraturan dan kesenjangan sosial. Peraturan yang sangat ketat di Malaysia membawa dua orang gembong teroris memutuskan beroperasi di Indonesia. Sementara kesenjangan sosial, dapat menyuburkan terorisme karena rasa frustasi individu dan kelompok yang semakin banyak muncul. Tabel 10 Appeals to Principle Program

Appeals to Principle

(1)

Merujuk pada kepentingan rakyat dan bagaimana bila pemilu tahap kedua akan menghabiskan biaya yang besar bila dilakukan

(2)

Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak menyalahgunakannya

(3)

Bahwa keputusan di KPK seharusnya benar-benar memperhatikan kepemimpinan kolektif

(4)

Terorisme merugikan masyarakat sehingga harus dicegah

(5)

Hak masyarakat mendapatkan informasi yang terbuka dari lembaga negara sehingga UU Rahasia Negara tidak diperlukan

82


Menyapa Publik

(6)

Untuk mengungkap jaringan terorisme perlu dilakukan identifikasi jenazah

(7)

Kemajuan partai bermakna pula bagi kemajuan masyarakat

(8)

Terorisme akan tumbuh subur bila masyarakat tidak peduli

(9)

Pidato presiden yang menunjukkan klaim keberhasilan pemerintah perlu dikritisi

(10)

Pembangunan daerah perbatasan mendapatkan perhatian lebih

(11)

Antusiasme masyarakat merayakan Kemerdekaan RI walau di beberapa tempat perayaan tersebut telihat lebih diutamakan sebagai perayaan yang formal dan berasal dari pemerintah

(12)

Kemiskinan perlu diurai untuk diatasi sehingga taraf hidup masyarakat dapat ditingkatkan

(13)

Politik adalah permainan kepentingan sehingga koalisi antar partai politik adalah sesuatu yang lumrah

(14)

Kedua partai besar yang sebelumnya berseteru kemungkinan akan melakukan kerjasama dalam kabinet

(15)

Kabinet kali ini adalah kabinet kerja yang meletakkan sepenuhnya pada kinerja dan hasilnya, bukan pada ideologi

(16)

Pejabat dan institusi negara perlu diperhatikan hubungannya untuk kepentingan publik

(17)

KPK adalah lembaga negara yang menjalankan kepentingan publik sehingga perlu transparan dalam pengangkatan ketua barunya

(18)

Penyusunan kabinet dan koalisi partai besar adalah sesuatu yang wajar

(19)

Pengadaan teknologi informasi di KPU adalah salah satu jenis aktivitas yang seharusnya terbuka pada publik sehingga pemborosan dapat diawasi

(20)

Pemisahan yang tegas bagi anggota DPR dalam menerima uang; baik hadiah maupun gratifikasi

(21)

Diperlukannya pengambilan kebijakan lingkungan hidup yang sinergis antar badan pemerintah dan juga elemen-elemen bangsa yang lain

83

perlu

untuk


Indonesia Menyapa

(22)

Penyelamatan Bank Century menimbulkan permasalahan besar bagi bangsa ini

(23)

Pemerintah wajib memenuhi masyarakat termasuk gula

(24)

Transparansi dalam penyelamatan Bank Century adalah keharusan agar pihak yang menerima dana tersebut jelas

(25)

Transparansi dalam seleksi anggota BPK akan menjamin integritas, kapabilitas, dan akseptabilitas

(26)

Masyarakat Yahukimo, seperti juga masyarakat Indonesia lainnya, berhak mendapatkan ketersediaan pangan

kebutuhan

pokok

Appeals to principle Appeals to principle atau premis dasar yang merujuk pada klaim moral dapat dilihat dalam berbagai topik yang didiskusikan dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa. Dalam Kasus Bank Century (Indonesia Menyapa, 1 September 2009), dimunculkan bahwa kasus tersebut sudah selayaknya dibuka dan ditelisik lebih jauh agar uang rakyat dapat dikembalikan. Pendekatan untuk prinsip-prinsip dasar ataupun moral tersebut dimunculkan oleh salah seorang penelepon, Bambang dari Madiun. Hal ini membuktikan bahwa informasi tambahan ataupun posisi moral yang lebih jelas justru bisa berasal dari masyarakat umum. Tabel 11 Consequences Program

Consequences

(1)

Selain “banjir darah� bila MK tidak menjalankan tugasnya, konsekuensi yang lain adalah masyarakat yang dirugikan bila elit politik selalu bersitegang

(2)

Terdapat dua konsekuensi. Pertama, testimoni menunjukkan adanya pelemahan KPK. Kedua, testimoni tersebut adalah langkah mundur dalam penegakan gerakan melawan korupsi

(3)

Bila tidak dijalankan dengan tegas dan transparan, penegakan hukum yang baik pun bisa menimbulkan masalah

(4)

Bila terorisme tidak dicegah atau ditangkal dengan penangkapan, kondisi yang aman tidak akan tercipta

84


Menyapa Publik

(5)

Bahaya yang diberlakukan

muncul

(6)

Identifikasi jenazah tersangka teroris dapat mengungkap jaringan teroris di Indonesia

(7)

Partai Golkar akan mundur bila tidak memperhitungkan pendukungnya

(8)

Terorisme bisa tumbuh subur bila tidak ada pengawasan dari masyarakat sendiri

(9)

Pidato presiden adalah tradisi baru dan baik bagi demokrasi apalagi bila dilengkapi indikator keberhasilan yang dirujuk bersama

(10)

Daerah perbatasan mesti diperhatikan oleh pemerintah. Bila pembangunan daerah perbatasan tidak diperhatikan, masyarakat akan mudah membandingkannya dengan negara tetangga

(11)

HUT Kemerdekaan Republik Indonesia penting untuk dirayakan oleh seluruh elemen masyarakat

(12)

Bila kemiskinan tidak diatasi, Indonesia tidak akan dapat mewujudkan cita-citanya

(13)

Konsekuensi tidak dijelaskan secara eksplisit walaupun di akhir disebutkan bahwa hal yang terpenting adalah makna koalisi tersebut bagi kehidupan masyarakat

(14)

Bila di dalam politik, etika politik tidak diperhatikan, yang dirugikan adalah seluruh elemen bangsa

(15)

Penyusunan kabinet yang terlalu banyak mengakomodir kepentingan politik akan merugikan masyarakat luas

(16)

Bila hubungan antar lembaga negara tidak diatur, akan timbul ketidakjelasan kewenangan masing-masing. Pengaturan itu juga perlu dilakukan agar lembaga negara mudah diawasi oleh masyarakat

(17)

Bila pengangkatan ketua baru KPK tidak transparan ataupun prosedural, akan terjadi ketidakpercayaan masyarakat

(18)

Penyusunan kabinet juga perlu diperhatikan agar memenuhi kepentingan masyarakat

(19)

Bila pemborosan dana pengadaan teknologi informasi di KPU tidak jelas yang dirugikan adalah negara dan rakyat yang akan menanggungnya

85

bila

UU

Rahasia

Negara


Indonesia Menyapa

(20)

Anggota DPR yang menerima gratifikasi dan tidak mengembalikannya dalam waktu 30 hari telah melakukan pelanggaran pidana

(21)

Bila penyelamatan lingkungan hidup tidak dilakukan dengan cepat dan tepat, maka yang dirugikan adalah seluruh masyarakat Indonesia

(22)

Negara dirugikan sangat besar bila dana talangan untuk Bank Century tidak diusut tuntas

(23)

Bila distribusi gula dan harganya tidak diperhatikan oleh pemerintah, masyarakat akan merasakan dampak negatifnya

(24)

Negara dirugikan sangat besar bila dana talangan untuk Bank Century tidak diusut tuntas

(25)

Bila proses seleksi anggota BPK tidak transparan, masyarakat juga yang dirugikan

(26)

Bila tidak ada koordinasi antar departemen, permasalahan kelaparan di Yahukimo sulit untuk diatasi

Consequences Elemen perangkat penalaran yang terakhir adalah consequences atau efek dan konsekuensi dari bingkai yang diberikan. Consequences antara lain terlihat dalam Indonesia Menyapa ketika membicarakan Kenaikan Harga Sembako (Gula) (edisi 2 September 2009). Pada dialog edisi tersebut, dikemukakan bahwa harga gula mendesak untuk diturunkan mengingat kondisi masyarakat yang kian sulit, apalagi dalam masa mendekati lebaran. Edisi ini sekaligus menunjukkan bahwa reportase langsung dan narasumber dari masyarakat justru memperkuat karakter kepublikan di dalam isi siaran. D. Kesimpulan Berdasarkan analisis bingkai sebagaimana telah dilakukan dalam keseluruhan dialog Indonesia Menyapa di atas, ada beberapa hal yang bisa disimpulkan. Pertama, berkaitan dengan permasalahan dan isu yang diangkat. Isu yang diangkat tidak semuanya secara langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat. Isu yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kehidupan masyarakat bisa diperdebatkan, tetapi cara isi pesan, melalui pembawa acara dan narasumber, memberi makna isu atau interpretasi peristiwa adalah sesuatu yang relatif bisa dilakukan dan dipelajari. Kedua, rekomendasi yang berkaitan dengan perangkat pembingkaian. Secara umum, pembingkaian yang dilakukan dalam program Indonesia Menyapa sudah cukup baik. Pembingkaian 86


Menyapa Publik tersebut dapat diperbaiki bila disadari bahwa interpretasi yang diberikan oleh RRI adalah penting bagi kehidupan publik. Hal ini menjadi lebih memiliki mandat bila merujuk pada eksistensi RRI sebagai media penyiaran publik. Ketiga, visual images adalah elemen yang penting dalam framing. Oleh karena itu, Indonesia Menyapa akan lebih kuat bila reportase langsung diperbanyak, begitu juga feature awal bisa diberikan sebelum narasumber berpendapat. Deskripsi yang bagus pada peristiwa dapat membangun kesadaran bahwa isu atau peristiwa yang diangkat adalah penting dalam kehidupan bersama. Justru penggambaran yang lengkap dan bagus akan lebih mengundang publik untuk berpartisipasi di dalam program. Keempat, ketika berkaitan dengan perangkat penalaran, rekomendasi yang bisa diberikan adalah dengan kedalaman dan kelengkapan dari argumen yang digunakan untuk menjelaskan. Kejelasan posisi juga penting. Hal ini muncul dalam klaim moral di dalam isi program. Klaim moral sebaiknya muncul di dalam kaitannya dengan prinsip kepublikan. Kelima, rekomendasi terakhir adalah bersifat umum, yaitu berkaitan dengan visi yang lebih luas berkaitan dengan prinsip kepublikan. Hal ini berkaitan dengan visi dan misi penyiaran publik yang terus-menerus diperkenalkan dan diinternalisasi oleh segenap awak RRI, terutama reporter. Penanggung jawab program juga berperan besar dalam hal merencanakan, menjalankan, dan mengawasi suatu program berita.

87



ANALISIS WACANA INDONESIA MENYAPA A. Perspektif Teoritik: Analisis Wacana Kritis Wacana, dalam pemahaman wacana kritis, merupakan bentuk praktik sosial yang menyusun dunia sosial dan disusun oleh praktik-praktik sosial yang lain (Jorgensen dan Philips, 2007: 116). Dalam hal ini, wacana tidak hanya memberikan kontribusi pada pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial, tetapi merefleksikan pembentukan dan pembentukan kembali struktur sosial tersebut (Jorgensen dan Philips, 2007: 116-117). Menurut Fairclough, wacana merupakan bentuk penting praktik sosial yang mereproduksi dan mengubah pengetahuan, identitas, dan hubungan sosial yang mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain (Jorgensen dan Philips, 2007: 122-123). Menurut Fairclough dan Wodak (Eriyanto, 2001: 7), analisis wacana kritis melihat wacana—pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan—sebagai bentuk praktik sosial. Ini berarti bahwa dalam wacana terdapat hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Dengan demikian, suatu wacana pada dasarnya merupakan hasil saling mempengaruhi antara wacana itu sendiri dan konteks yang melingkupinya. Pada satu sisi, suatu wacana dapat saja membentuk strukturstruktur politik ataupun sosial, tetapi di saat yang lain eksistensi sebuah wacana akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan kemasyarakatan yang tidak memiliki


Indonesia Menyapa sifat kewacanaan tunggal. Di sisi lain, praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi: ia dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara kelas sosial, laki-laki dan perempuan, kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu ditampilkan dalam posisi sosial yang direpresentasikan (Eriyanto, 2001: 7). Melalui wacana, sebagai contoh, keadaan rasis, seksis, atau ketimpangan yang ada dalam kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang biasa, suatu kewajaran, sesuatu yang bersifat alamiah (ibid.). Dalam konteks ini, analisis wacana kritis berusaha membongkar ketimpanganketimpangan dan hubungan-hubungan yang tidak seimbang semacam itu melalui analisis kebahasaan dan produksi wacananya. Dalam konteks sosial dan bahkan juga politik, analisis wacana menjadi penting karena analisis bahasa, menurut Fairclough (1995: 16), tidak dapat menjadi basis kerja yang bersifat interdisiplin. Analisis bahasa hanya memfokuskan diri pada analisis teks seperti transkrip siaran radio, berita koran, gambar visual, dan lain sebagainya. Analisis wacana melangkah lebih jauh dengan melakukan analisis tidak hanya pada teks, tetapi juga praktik wacana dan praktik sosiokultural (Fairclough, ibid). Oleh karena itu, dalam mengembangkan analisis wacana, Fairclough (1995) mendasarkan pada tiga tingkatan, yakni teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Penggunaan tiga tingkatan ini didasari dan menggunakan prinsip bahwa teks tidak pernah bisa dipahami atau dianalisis secara terpisah, tetapi hanya bisa dipahami dalam kaitannya dengan jaring-jaring teks lain dan hubungannya dengan konteks sosial (Jorgensen dan Philips, 2007: 131). Fairclough (1995: 56-57) mengemukakan bahwa analisis tipetipe khusus wacana, termasuk di dalamnya wacana media, melibatkan analisis yang saling melengkapi dan cukup penting, yakni peristiwa komunikatif dan tatanan wacana. Pada satu sisi, analisis wacana berhubungan dengan peristiwa-peristiwa khusus seperti editorial surat kabar atau berita radio yang senantiasa melibatkan keberlanjutan dan perubahan. Sementara di sisi lain, analisis wacana melibatkan hal-hal yang bersifat umum, analisis yang melibatkan keseluruhan tatanan wacana, dan juga cara wacana melibatkan konteks sosial dan perubahan-perubahan budaya. Fokus analisis wacana adalah konfigurasi aliran (genre), misalnya, wawancara dan wacana yang membentuk tatanan wacana, pergeseran hubungan-hubungan di antara keduanya, dan di antara tatanan wacana dan dimensi sosial lain yang berdekatan. Analisis peristiwa komunikatif melibatkan analisis hubungan di antara tiga dimensi yang terjadi, yakni teks, discourse practice, dan sociocultural practice (Fairclough, 1995: 57). Teks, di sini, dapat 90


Menyapa Publik bersifat oral dan tulisan. Teks oral dapat berupa pembicaraan di radio ataupun pembicaraan dan visual seperti dalam program acara televisi. Dalam penelitian ini, teks yang menjadi bahan studi adalah dialog interaktif dalam Indonesia Menyapa. Secara umum, kerangka kerja analisis peristiwa komunikatif dapat dilihat dalam gambar berikut ini.

text production

TEKS text consumption DISCOURSE PRACTICE SOCIOCULTURAL PRACTICE Sumber: Norman Fairclough. 1995. Media Discourse. Edward Arnold, London, New York, Sidney, Aukland, hal. 59 Dimensi berikutnya, analisis wacana kritis adalah praktik wacana (discourse practice). Menurut Norman Fairclough (1995: 58), analisis peristiwa komunikatif melibatkan berbagai aspek yang melibatkan proses produksi dan konsumsi teks. Teks dibentuk melalui praktik diskursus yang akan menentukan bagaimana teks tersebut diproduksi. Dimensi terakhir yang berpengaruh terhadap praktik wacana adalah sociocultural practice. Menurut Fairclough, sociocultural practice ini tidak mempunyai kaitan langsung dengan produksi teks, tetapi akan mempengaruhi teks melalui discourse practice. B. Bahasa dan Representasi Bahasa mempunyai peran penting dalam proses wacana (Fairclough, 1995), dan politik representasi hadir melalui penggunaan bahasa. Seperti ditegaskan Fairclough (1995: 54-55), pemahaman bahasa sebagai praktik sosial mengimplikasikan dua hal. Pertama, 91


Indonesia Menyapa bahasa merupakan mode tindakan (mode of action) sebagaimana dipahami para ahli filsafat linguistik dan studi-studi pragmatis yang telah dikenal. Kedua, bahasa merupakan mode tindakan yang berada dalam situasi sosial dan historis, yang melibatkan hubungan-hubungan yang bersifat dialektis dengan segi-segi sosial yang lain. Ini berarti bahwa bahasa ditentukan secara sosial, dan juga secara sosial menentukan. Analisis wacana kritis, dalam kaitan ini, mengeksplorasi ketegangan antara dua sisi penggunaan bahasa tersebut. Kemudian, karena bahasa dipahami sebagai mode of action, maka representasi suatu kelompok, individu atau peristiwa dan hubungan-hubungan kekuasaan yang berlangsung di dalamnya dapat dilakukan dengan melakukan analisis bahasa. Di sini, sebagaimana dipahami Fairclough dan van Dijk, representasi merujuk pada bahasa yang digunakan untuk memberikan makna atas kelompok dan praktikpraktik sosial mereka, peristiwa, dan juga kondisi sosial dan ekologi dan objek. Politik representasi berhubungan dengan bagaimana pemaknaan atas masing-masing kelompok, peristiwa, dan juga kondisikondisi sosial dan ekologis. Seperti dikemukakan oleh Fairclough (1995: 55), “Language use-any text-is always simultaneously constitutive of (1) social identities, (2) social relations and, (3) system of knowledge and belief (coresponding respectively to identities, relationships and representation)�. Dalam analisis wacana kritis, bahasa tidak lagi dipahami sebagai medium netral yang berada di luar si pembicara. Namun, ia dilihat sebagai representasi yang berperan pula dalam membentuk jenisjenis subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategistrategi di dalamnya (Hikam, 1996: 83-84). Di sini, kuasa dianggap senantiasa berada dalam setiap proses wacana dan ia memberikan batasan-batasan tentang apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai di dalamnya, topik apa yang dibicarakan, dan norma-norma serta elaborasi konsep-konsep dan teori-teori apa yang bisa dan sah untuk digunakan (ibid. Hal: 84-85). Dalam menganalisis program dialog, barangkali, menarik untuk menelaah perspektif Habermas tentang teori komunikasi aksi dan teori kompetensi komunikasi. Sebagaimana dikemukakan Hikam, analisis Habermas mengenai persoalan-persoalan sosial modern sangat dipengaruhi analisisnya mengenai bahasa dan wacana (Hikam, 1996: 82). Bagi Habermas, wacana dan transaksi komunikasi adalah usaha untuk mencari titik temu dan saling pengertian antarpara pesertanya. Dalam kaitan ini, proses komunikasi hanya akan berhasil jika ia memenuhi syarat-syarat pragmatik universal, yakni: keterpahaman secara kognitif; kebenaran pernyataan; kejujuran dari pembicara dan pendengar; dan kesesuaian basis-basis normatif para pembicara. Kemudian, sebagai basis normatif dalam proses komunikasi, elemen92


Menyapa Publik elemen pragmatik universal ini sangat dipengaruhi oleh dimensidimensi eksternal seperti sistem ekonomi, formasi sosial, dan tingkat evolusi masyarakat dimana subjek berada. Implikasi praksisnya, sebagaimana dicatat Hikam (1996: 82), bahwa hanya dalam konteks sebuah masyarakat rasional dan telah “dewasa� sajalah komunikasi yang benar-benar bermakna baru bisa terjadi. Sebaliknya, dalam masyarakat yang penuh ketimpangan dan krisis-krisis (sosial, ekonomi, politik, lifeworld), komunikasi yang terjadi sering distortif dan semu. C. Hasil Analisis Wacana Kritis Dialog Interaktif Indonesia Menyapa C. 1. Analisis Tekstual Analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Fairclough terdiri atas tiga tingkatan, yakni teks, discourse practice, dan social cultural practice. Dalam penelitian ini, dialog interaktif Indonesia Menyapa akan dianalisis dalam kerangka tiga tingkatan tadi. Pada tingkatan teks, analisis akan dilakukan melalui dua tahap. Pada tahap pertama, akan dikelompokkan berdasarkan tema-tema yang sejenis atau setipe, misalnya, mengenai semarak kemerdekaan. Kemudian, setelah tema-tema dikelompokkan, representasi masing-masing isu akan dianalisis berdasarkan kerangka berikut (Syamsuddin, 2008: 225226). Tabel 1 Hal-Hal yang diamati

Elemen

Tematik Tema/topik utama/hal yang diunggulkan

Tema/topik

Skematik Alur/prolog-dialog-epilog-resumerekomendasi

Skema

Semantik Makna yang dominan dalam dialog

Latar/praanggapan/ Nominalisasi

Sintaksis Kalimat/bentuk susunan yang dipilih

Bentuk kalimat/ koherensi/kata ganti

Stilistika (pemilihan kosakata)

Leksikon/kosakata

Berdasarkan poin-poin pengamatan di atas, maka strategi wacana dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa dapat dianalisis sebagai berikut. a. Tema Dialog Ada sebanyak 28 dialog yang dianalisis dalam Indonesia Menyapa antara tanggal 5 Agustus 2009-5 September 2009. Tema-tema

93


Indonesia Menyapa dialog yang diangkat dalam Indonesia Menyapa adalah tema-tema yang selama ini merupakan concern publik, setidaknya concern media mengingat ada perbedaan antara agenda publik dengan agenda media. Beberapa isu yang menjadi sorotan diantaranya adalah kemiskinan, terorisme, dan juga pemberantasan korupsi. Secara keseluruhan, tema-tema yang diangkat dalam dialog Indonesia Menyapa adalah sebagai berikut: Tabel 2 Tema-Tema dalam Dialog Indonesia Menyapa yang Disiarkan Antara 5 Agustus 2009-5 September 2009 Tanggal Disiarkan

Tema Dialog Sengketa Pilpres di MK Testimoni Antasari Azhar Perkembangan Situasi Penggrebekan Densus 88 Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara Perburuan Pelaku Teorisme Rapimnas Golkar Pengejaran Pelaku Terorisme

5 Agustus 6/7 Agustus 8 Agustus 10 Agustus 11 Agustus 12 Agustus 13 Agustus

Pidato Kenegaraan Presiden SBY

14 Agustus

Semarak Kemerdekaan: Perjalanan Jong Kayuh Pan Borneo di Entikong

15 Agustus

Semarak Kemerdekaan: Suasana peringatan di beberapa lokasi

17 Agustus

Kemerdekaan dan Kemiskinan Koalisis partai Wajah Kabinet baru Susduk DPR/MPR Propertest Ketua KPK Koalisi Kabinet Pemborosan IT KPU Gratifikasi anggota Dewan Kesepakatan Konservasi Lingkungan di Bali Desakan Partai Besar atas Lambannya KPU Hubungan Indonesia Kasus Bank Century Kenaikan kebutuhan pokok Kasus Bank Century Seleksi Anggota BPK

18 Agustus 19/20 Agustus 21 Agustus 22 Agustus 23 Agustus 24 Agustus 26 Agustus 27 Agustus 28 Agustus 29 Agustus 31 Agustus 1 September 2 September 3 September 4 September

94


Menyapa Publik Kelaparan di Yahukimo

5 September

Tematik dipahami sebagai suatu gambaran utama, mendasar, dan inti yang dapat berupa gagasan, ide, ataupun orang atau peristiwa tertentu yang kentara ditonjolkan secara signifikan pada dan dalam keseluruhan teks (Syamsuddin, 2008: 227). Dengan kata lain, tema adalah struktur besar yang menjadi pokok pembicaraan dalam suatu teks, yang dalam konteks penelitian ini adalah Indonesia Menyapa. Tema atau topik pokok ini disampaikan oleh host, pembawa acara dialog ataupun penyiar. Di situ, pemandu dialog memaparkan terlebih dahulu tema atau topik persoalan yang akan dibahas dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa pagi tersebut. Kemudian, dilanjutkan dengan memperkenalkan narasumber yang akan dihadirkan atau diundang dalam sesi dialog. Meskipun demikian, acapkali terjadi, tema yang sudah ditentukan di awal dialog menjadi kabur karena pemandu dialog terbawa oleh narasumber. Sebagai contoh, dialog yang disiarkan pada tanggal 18 Agustus 2009 dengan tema kemerdekaan dan kemiskinan. Pada bagian awal, pemandu acara/penyiar telah memaparkan bagaimana persoalan kemiskinan masih menjadi persoalan meskipun kita telah merdeka selama 64 tahun. Namun, dalam perkembangan diskusi berikutnya, masalah kemiskinan tidak dibahas dengan baik. Misalnya, mengapa Indonesia masih miskin meskipun sudah merdeka selama 64 tahun? Padahal, negara-negara lain yang mengawali pembangunannya dalam kondisi lebih buruk seperti Korea Selatan, misalnya, telah jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan, Vietnam yang jauh lebih belakangan dalam melakukan pembangunan ternyata lebih berhasil. Bentuk, penyebab dan juga alternatif solusi tidak muncul dalam keseluruhan dialog. Sebaliknya, yang muncul adalah pendapat narasumber mengenai Indonesian dream dan bagaimana seharusnya orang-orang yang bekerja penuh pengabdian dihargai. Demikian juga narasumber lain lebih memberikan penekanan pada persoalanpersoalan kebangsaan secara makro lepas dari pembahasan mengenai akar persoalan kemiskinan, dan bagaimana seharusnya diselesaikan. Kemudian, jika tema merupakan inti dari keseluruhan dialog, maka dapat dilihat bahwa tema-tema tersebut merupakan persoalan-persoalan hangat yang berkembang waktu itu. Beberapa tema mempunyai signifikansi yang tinggi bagi pendengar meskipun beberapa diantaranya kurang bermakna karena peristiwa atau tema yang diangkat tidak secara langsung berhubungan dengan kepentingan publik. Dialog interaktif mengenai koalisi partai, misalnya, tidak mempunyai signifikansi apapun terhadap publik jika dialog hanya sebatas bagaimana koalisi itu terjadi tanpa mendiskusikan implikasi pemerintahan koalisi itu sendiri bagi efektivitas pemerintahan dan

95


Indonesia Menyapa juga bagi sistem demokrasi itu sendiri. Dalam kaitan ini, koalisi yang melibatkan seluruh partai akan menjadi persoalan ketika check and balances tidak terjadi atau koalisi yang besar akan menimbulkan pemerintah besar (big goverment) yang biasanya tidak efektif. Sebaliknya, pemerintahan besar akan boros dan lamban dalam merespon setiap tuntutan publik. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana konstruksi setiap isu atau persoalan yang ditampilkan dalam dialog Indonesia Menyapa di atas? Dalam kaitan ini, pertanyaan yang layak dijawab adalah bagaimana setiap isu direpresentasikan melalui strategi wacana para penyiar atau pembawa acara dalam setiap sesi dialog interaktif Indonesia Menyapa. Untuk itu, setiap dialog perlu dianalisis dengan menggunakan strategi analisis tekstual sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Namun, karena luasnya tema dialog yang diangkat dan demi kepentingan praktis penelitian ini, maka hanya akan dipilih beberapa dialog untuk dianalisis secara detil strategi wacana yang dikembangkan. Selain alasan praktis penelitian, alasan lain adalah adanya kemiripan strategi wacana yang dikembangkan oleh Indonesia Menyapa meskipun tetap harus dikemukakan bahwa masingmasing persoalan mempunyai konstruksinya sendiri-sendiri. Biasanya, seorang pembawa acara akan menyampaikan pokok persoalan atau tema yang akan didiskusikan dalam sesi dialog pagi tersebut. Kemudian, dilakukan dialog dengan narasumber yang sudah diundang via telepon. Pertanyaan mengalir secara spontan berdasarkan pada pokok-pokok pernyataan yang dikemukakan oleh narasumber. Hal inilah yang membuat, pada beberapa kasus, tema menjadi kabur karena substansi dan alternatif solusinya tidak mendapatkan porsi pembahasan yang memadai. Beberapa tema dialog yang dianalisis adalah perburuan terorisme, semarak kemerdekaan, koalisi partai, dan kelaparan di Yahukimo. Tema-tema ini yang dipilih karena setidaknya dua alasan. Pertama, masing-masing tema dibahas lebih dari satu kali. Ini menunjukkan bahwa bagi segenap kru Indonesia Menyapa, tema tersebut penting dan karenanya masuk ke dalam agenda setting. Kedua, topik di atas merupakan isu penting karena mempunyai imbas yang cukup besar bagi kepentingan publik. Sebagai radio publik, tentu saja, kepentingan publik harus menjadi concern utama sesuai dengan prinsip yang harus diembannya. b. Perburuan Terorisme Isu mengenai terorisme cukup mendapatkan perhatian Indonesia Menyapa. Diawali oleh liputan langsung penggerebekan Densus 88 di Temanggung pada 8 Agustus 2009, isu ini kemudian kembali dibahas pada edisi Indonesia Menyapa tanggal 11 dan 13 96


Menyapa Publik Agustus 2009. 1. Skema Pada dialog Indonesia Menyapa, pembawa acara mengatakan bahwa acara dialog tersebut merupakan sesuatu yang spesial. Dari sisi jurnalistik, apa yang terjadi di Temanggung ketika terjadi kasus penggrebekan terorisme memang mempunyai nilai berita tinggi. Oleh karenanya, menjadi tidak mengherankan jika dikatakan bahwa live siaran Indonesia Menyapa merupakan sesuatu yang spesial. Spesial di sini bisa diartikan dalam konteks momennya ataupun dalam kerangka kepentingan publik secara lebih luas karena menyangkut penangkapan pelaku terorisme. Pada edisi ini, tidak ada dialog dalam pengertian usaha untuk mendiskusikan pokok persoalan. Acara dialog diisi oleh liputan langsung yang melibatkan wawancara dengan penduduk setempat. Sementara itu, untuk edisi tanggal 11 dan 13, pembawa acara memberikan pengantar terlebih dahulu mengenai topik yang akan didiskusikan kemudian diisi dengan dialog antara pembawa acara dengan narasumber. Pada bagian akhir sesi dialog, pembawa acara memberikan kesimpulan atas apa yang didialogkan pagi itu, yang dalam hal ini adalah perburuan pelaku terorisme oleh pihak kepolisian atau lebih spesifik Densus 88. Pada edisi tanggal 8 Agustus karena lebih banyak diisi liputan, pembawa acara tidak melakukan penyimpulan, sedangkan pada tanggal 11 dan 13 Agustus pembawa acara melakukan penyimpulan. Untuk edisi 11 Agustus, pembawa acara menyimpulkan bahwa kita harus memberikan presiasi tinggi kepada detasemen anti teroris Mabes Polri, dalam mengungkap kasus terorisme terlepas apakah itu Noordin atau bukan dalam kasus Temanggung, Jawa Tengah. Namun, menurut pembawa acara, perlu adanya evaluasi terhadap kinerja kepolisian dalam hal itu, utamanya dalam hal kinerja intelejen. Sementara itu, untuk edisi 13 Agustus pembawa acara menyimpulkan bahwa kita harus menyadari bahwa terorisme memang sebuah kejahatan baik dari sisi sosial maupun dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat untuk mencegah agar terorisme tidak merajalela di Indonesia sangat diperlukan. 2. Semantik Dalam keseluruhan dialog Indonesia Menyapa, pembawa acara senantiasa memberikan latar atau background atas tema dialog waktu itu. Dari sudut pandang analisis wacana kritis, latar ini dipandang sebagai suatu strategi untuk mengarahkan makna pesan yang disampaikan. Dalam konteks terorisme, pembaca acara memberikan tiga latar yang berbeda. Pertama, latar untuk liputan penggerebekan di Temanggung, penyiar mengatakan bahwa polisi telah bekerja 97


Indonesia Menyapa keras untuk memberikan shock terapi pada teroris. Meskipun, dalam latar tersebut sempat juga ditanyakan, bahwa sudah tiga kali bom diledakkan di rumah tempat tersangka bersembunyi, tetapi belum ada respon sehingga hal tersebut mengundang pertanyaan banyak orang. Kemudian, pada edisi tanggal 11, latar yang diberikan adalah usaha keras kepolisian dalam menangkap terorisme, sedangkan edisi tanggal 13 penyiar memberikan latar dengan mengatakan bahwa aksi terorisme mampu terus bertahan, yang berarti melibatkan taktik, kepiawaian, dan juga aliran dana yang cukup besar. Pada latar pertama, pendengar diarahkan untuk menyetujui bahwa polisi telah bekerja keras dalam menangkap ataupun menghentikan aksi-aksi terorisme. Hal yang sama juga terjadi pada edisi berikutnya, sedangkan untuk edisi tanggal 13, pendengar diajak untuk memahami betapa piawainya para pelaku terorisme karena mereka mampu bersembunyi dan melakukan aksiaksi terorisme yang sukar dideteksi. Latar pada masing-masing edisi dapat dilihat pada kutipan berikut. Latar Indonesia Menyapa Edisi 8 Agustus 2009 Baik pendengar, Anda masih bersama Pro 3. Jumpa lagi dalam Indonesia Menyapa edisi hari ini. Spesial untuk Indonesia Menyapa kali ini masih menyoroti perkembangan situasi terbaru di lokasi penggerebekan teroris yang diduga menjadi tempat persembunyian Nurdin M. Top beserta rekan-rekannya. Tentu kita akan coba hadirkan informasi ini dari banyak sisi. Mulai dari bagaimana tim Densus 88 berada di sana sejak sore melakukan segala daya upaya untuk bisa memberikan shock therapy kepada teroris untuk segera menyerahkan diri. Tapi ini tentu menjadi banyak pertanyaan banyak orang juga, setelah 3 kali bom coba diledakkan di rumah Mujahri, tetapi tidak ada respon sama sekali dari penunggu rumah, lampu sudah padam, atap sudah jebol, kemudian juga jendela sudah mulai hancur akibat diledakkan oleh yang berada di dalam maupun yang dilakukan oleh tim Densus 88. Ini akan coba kita soroti terus karena kami akan coba hubungi kembali Biantoro yang ada di sana. Sebagaimana dapat dilihat dari latar di atas, penyiar berusaha mengajak pendengar bagaimana Densus 88 anti teror telah memberikan shock terapy kepada teroris yang dilakukan sejak sore hari. Kemudian, pada bagian berikutnya, juga dapat dilihat meskipun bom telah diledakkan sebanyak tiga kali, tetapi tidak ada respon dari dalam rumah. Latar semacam ini akan mengarahkan pendengar untuk secara kritis melihat bahwa penggerebekan yang dilakukan Densus 8 perlu dipertanyakan karena ketiadaan respon dari dalam.

98


Menyapa Publik Latar Indonesia Menyapa Edisi 11 September Saya Maulana Istarto akan mengantarkan Indonesia Menyapa pagi ini. Dan pendengar, kali ini kita akan menyoroti perburuan oleh kepolisian Indonesia terhadap pelaku terorisme yang terus dilakukan. Tapi sudah ada perburuan besar yang telah dilakukan kemarin dalam satu malam. Dua tempat telah dilabrak atau digrebeg oleh pihak kepolisian. Yaitu di Nusa Pala di Bekasi dan di Temanggung Jawa Tengah. Berbagai pertanyaan, ketika ada pemberitahuan bahwa yang menjadi korban di Temanggung diduga adalah gembong teroris kelas wahid Indonesia, yaitu Noordin M. Top. Tapi terakhir beredar kabar, walaupun kabar terakhir ini belum bisa dipertanggungjawabkan, belum ada yang mengatakan korban ini Noordin atau bukan sehingga muncul spekulasi yang berarti ada proses yang harus dilalui ketika berita dimunculkan, yaitu soal forensik. Identifikasi sebuah jenasah atau satu sosok jenasah, termasuk dari hasil penggerebekan kalau itu memang tertembak. Kita akan mengurai alur kepolisian mengupas dan mengungkap tuntas terorisme di Indonesia. Pada latar tanggal 11 Agustus 2009 ini, penyiar berusaha mengajak pendengar untuk kritis terhadap siapa sebenarnya yang menjadi korban penggrebegan di Temanggung. Selain itu, penyiar juga mengajak untuk memahami proses-proses forensik untuk membuktikan siapa yang menjadi korban dalam penggerebegan di Temanggung. Latar Indonesia Menyapa edisi tanggal 13 Agustus 2009 “......Dalam Indonesia Menyapa kali ini, kita akan membicarakan soal bagaimana kita terus mengungkap Aksi Terorisme; gembong terorisme Noordin Muhammad Top warga negara Malaysia yang bertanggungjawab atas banyak peledakan dan aksi bom bunuh diri di Indonesia...... .....Namun soal bagaimana runtutan sebuah aksi teror di Indonesia ini masih bisa terus bertahan, terus berjalan, ini ada sebuah temuan ada suplai dana yang cukup besar dan juga taktik strategi yang mereka gunakan juga bukan taktik yang mudah terbaca kemudian juga bagaimana mereka sangat pintar melarikan diri dengan modus-modus yang mereka terus perbaharui seperti mereka mengikuti perkembangan dan bom yang dulunya sangat mudah untuk dideteksi inipun bisa mereka bawa ke sebuah hotel yang punya keamanan sekuriti platform tingkat 1..� 3. Sintaksis Penyiar juga menggunakan kombinasi kalimat untuk menyampaikan pesan komunikatifnya. Baik edisi 8, 11, dan juga 13 Agustus, secara semantik, pembawa acara berusaha menempatkan polisi sebagai pihak yang bekerja keras dalam menangani kasus 99


Indonesia Menyapa terorisme. Namun, kombinasi kalimat yang dimunculkan mengarahkan pada usaha untuk mengkritisi apa yang sudah dilakukan oleh polisi. Pada edisi 13, misalnya, pembaca acara menggunakan kalimat majemuk untuk menegaskan bahwa memang kita perlu memberikan apresiasi, tetapi ada hal-hal yang perlu dilakukan evaluasi seperti dapat dilihat pada kutipan berikut: “Pak Wawan, soal bagaimana ketika kita mungkin kita tetap apresiasi kepada kepolisian, tapi nama Noordin dengan sangat percaya dirinya ada di rumah di Temanggung, tetapi justru jumlah di dalam rumah hanya Ibrohim. Dimana letak misinformasi dari link sebuah informasi intelijen?”. Paragraf di atas memang bukan merupakan suatu paragraf yang bagus karena struktur kalimatnya yang buruk. Subjek predikat kalimat dalam paragraf di atas tidaklah begitu jelas. Meskipun begitu, dari penggalan paragraf di atas, dapat dilihat bagaimana pembawa acara mengajak pendengar untuk memberikan apresiasi kepada kinerja kepolisian, tetapi perlu ada evaluasi atau suatu pertanyaan kritis karena lemahnya kinerja intelijen kepolisian dalam menyingkap terorisme. Pada edisi 11 Agustus, pembawa acara juga menekankan perlunya memberikan apresiasi kepada pihak kepolisian. Meskipun demikian, pembawa acara juga mengajukan pertanyaan kritis mengenai lamanya penggrebekan yang dilakukan oleh polisi di Temanggung. 4. Stilistika Dalam konteks terorisme, sintaksis dapat dilihat dari penggunaan kata-kata atau pemilihan kosakata untuk merujuk pada suatu pemaknaan tertentu. Dalam konteks perburuan terorisme, kata-kata yang digunakan adalah “penggerebekan”, “memburu”, “gembong”, “dilabrak”, dan lain sebagainya. Penggunaan kosakata ini menggambarkan bahwa terorisme merupakan musuh masyarakat, penjahat, dan karenanya mesti diburu. Pemimpinnya disebut sebagai gembong untuk memberikannya konotasi negatif. c. Semarak Kemerdekaan Penelitian ini dilakukan selama bulan Agustus-September 2009 sehingga perayaan kemerdekaan tidak dapat dimungkiri pasti akan menjadi salah satu isu yang didiskusikan dalam Indonesia Menyapa. Pertanyaan kemudian adalah bagaimana penyiar dalam Indonesia Menyapa mengkonstruksikan peringatan hari kemerdekaan tersebut. Tema mengenai kemerdekaan ini didiskusikan dalam rangkaian tiga edisi, yakni pada tanggal 15, 17, dan 18 Agustus 2009. Dengan diangkatnya tema kemerdekaan ini dalam tiga sesi dialog dalam

100


Menyapa Publik Indonesia Menyapa, sekali lagi, menegaskan bahwa tema ini penting untuk didiskusikan meskipun kita telah 64 kali memperingatinya. 1. Skema Sama seperti dialog Indonesia Menyapa lainnya, sesi dialog interaktif diawali dengan pengantar yang diberikan oleh penyiar. Pengantar ini sekaligus menjadi latar bagi pentingnya tema ini diangkat. Selama sesi dialog, juga disisipi laporan dari reporter di lapangan. Pada edisi 15 dan 17 Agustus, alur dialog diawali dengan pengantar kemudian diteruskan dengan laporan reporter dari lapangan. Sesi dialog dibuka kembali setelah laporan dari lapangan disisipkan dalam program acara Indonesia Menyapa. Secara umum, konstruksi hari kemerdekaan atau peringatan kemerdekaan RI dalam Indonesia Menyapa dapat dibagi menjadi dua. Pertama, menyangkut semarak kemerdekaan itu sendiri yang diwujudkan dalam bentuk peringatan hari kemerdekaan di beberapa tempat. Ini bisa dilihat dari latar yang dikemukakan oleh pembawa acara dalam sesi dialog edisi 15 Agustus berikut ini. “Bisa jadi di beberapa tempat atau malah seluruhnya semakin hangat dengan aktivitas mempersiapkan hari ulang tahun kemerdekaan. Tapi beberapa wilayah mungkin merayakan atau persiapannya agak berbeda melihat kondisi misalnya jauh dari ibukota provinsi atau justru malah di perbatasan antara Indonesia dengan wilayah negara tetangga.� Mengenai semarak kemerdekaan ini kemudian diulang kembali pada edisi 17 Agustus 2009 sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut. “Pendengar pagi ini kita masih akan mencoba menghadirkan bagaimana suasana peringatan kemerdekaan di beberapa lokasi di wilayah perbatasan termasuk juga di Jakarta, yang nanti puncaknya akan kita ikuti siaran secara langsung upacara peringatan hari kemerdekaan di istana merdeka. Sekarang kita akan coba lihat bagaimana perkembangan terbaru situasi atau berlangsungnya HUT kemerdekaan di kawasan tugu proklamasi Jakarta Pusat.� Dua kutipan di atas menunjukkan bagaimana konstruksi peringatan kemerdekaan dibangun. Di sini, peringatan kemerdekaan direpresentasikan sebagai kegiatan seremonial dalam bentuk upacara atau kegiatan yang lain. Konstruksi kedua adalah kemerdekaan dilihat sebagai sebuah capaian, dalam pengertian yang lebih bersifat kontemplatif. Dalam kaitan ini, isu tentang kemiskinan, misalnya, berusaha ditampilkan 101


Indonesia Menyapa dalam dialog Indonesia Menyapa edisi tanggal 18. Kutipan di bawah ini menunjukkan bagaimana kemerdekaan dimaknai utamanya dalam usahanya mengentaskan kemiskinan. “Dalam Indonesia Menyapa pagi ini, ...................kita akan menyoroti soal kemiskinan. Banyak tokoh bangsa ini ketika hari peringatan ulang tahun kemerdekaan RI ke 64 tahun 2009 memfokuskan pada bagaimana permasalahan kemiskinan ini dapat segera dituntaskan.� Indonesia Menyapa pada edisi 18 ini menghadirkan narasumber Imam Prasodjo yang mengambil porsi hampir separuh sesi dialog dan juga Ichsanuddin Norsy. Dialog juga mengundang pihak pemerintah, yakni Paskah Suzeta yang diberi ruang yang sedikit saja untuk menjelaskan apa yang sudah dilakukan pemerintah, sedangkan kedua narasumber (Imam Prasodjo dan Ichsanuddin Norsy) yang memang kritis dalam melihat kebijakan pemerintah diberi porsi yang sangat besar. Bahkan, mengambil hampir semua waktu dialog yang disediakan dalam Indonesia Menyapa. 2. Semantik Ditinjau dari segi semantik, latar yang diberikan oleh pembawa acara berusaha menggiring kepada pendengar untuk memikirkan makna kemerdekaan dari segi pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Selain itu, tentu saja, bagaimana hari kemerdekaan diperingati. Ini bisa dilihat dari Indonesia Menyapa pada edisi 15 Agustus yang mengangkat isu pembangunan di perbatasan. Narasumber: Jadi dengan adanya kegiatan ini terutama sebagai wujud dari perhatian pemerintah kepada masyarakat di wilayah perbatasan memang difokuskan kegiatan-kegiatan seperti ini sehingga masyarakat merasakan bahwa 17 Agustus atau memperingati 17 Agustus ini momennya dirasakan meriah. Penyiar: Apakah kemeriahan ini juga bersamaan dengan pembangunan yang mungkin diharapkan di wilayah perbatasan ini? Narasumber: Ya memang kita harapkan pembangunan-pembangunan yang ada di perbatasan ini untuk lebih diperhatikan lah. Artinya masyarakat sekarang cukup semangat dan antusias dalam menjalankan kegiatan ini tinggal bagaimana respon dari pemerintah pusat untuk percepatan pembangunanpembangunan yang ada di perbatasan ini.

102


Menyapa Publik Dari kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana penyiar mencoba menghubungkan kemeriahan peringatan kemerdekaan dengan “kemeriahan� pembangunan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari, misalnya, lambannya pembangunan di wilayah perbatasan. Kemudian, untuk menegaskan hal tersebut, penyiar menyampaikan fakta-fakta banyaknya kebutuhan yang harus di-supply oleh negara tetangga. Hal ini ditegaskan kembali dalam Indonesia Menyapa edisi 17 Agustus. Pada edisi ini, penyiar berusaha membandingkan antara kondisi di Jawa dengan di daerah perbatasan sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut Penyiar: Kalau boleh cerita, kehidupan mereka, kondisi mereka kalau dibandingkan dengan rata rata dusun di daerah lain, di Jawa, misalnya, yang Anda kenal, Anda bisa katakan bagaimana situasinya Dusun Semeng itu? Reporter: Sebenarnya sama saja, tidak jauh berbeda dengan dusun yang ada di Pulau Jawa, di Jawa Barat. Kehidupan mereka itu sehari-hari berladang dan tidak ada yang membedakan secara signifikan antara kehidupan mereka di Jawa khususnya di Jawa Barat dengan mereka di sini. Namun banyak fasilitas yang ada di Jawa Barat dan di sinipun tidak ada. Misalnya instansi pendidikan dimana di daerah ini hanya 1 SD dalam jarak yang harus ditempuh belasan kilo. Seperti itu. Di luar strategi wacana pembangunan di perbatasan dalam kerangka peringatan kemerdekaan, penyiar juga mereproduksi wacana mengenai keamanan. Bahkan, ini dipertajam selama beberapa kali meskipun narasumber telah mengatakan tidak ada masalah dengan isu keamanan. Kutipan berikut menunjukkan strategi wacana yang dikembangkan oleh penyiar mengenai keamanan di perbatasan. Narasumber Ya, baru pertama kali ini, tetapi kita sudah melihat situasi selama ini, itu tidak ada mengganggu artinya dari Malaysia itu tidak ada, karena itu wilayah kita. Dan memang, tahun ini Alhamdulillah Bu kita sudah sepakat bahwa sejengkal tanahpun kita tidak mau, siap memberikan Negara siapapun. Jadi harga mati itu perbatasan, garis perbatasan itu. Penyiar Selama ini pernah ada ancaman dalam bentuk-bentuk lain, misalnya, yang dirasakan oleh masyarakat perbatasan di wilayah Nunukan ini? Narasumber

103


Indonesia Menyapa Tidak ada. Tidak ada ancaman apapun tidak ada Bu. Cuman, hanya saja sengketa karang-karang itu. Tapi kalau di darat tidak ada. Penyiar Sengketa apa Pak? Narasumber Yang karang-karang itu, Ambalat, Ambalat. Penyiar Baik. Narasumber Kalau di darat tidak ada Bu. Kalau di darat tidak ada persoalan. Penyiar Jadi terkait pemisahan atau pemindahan patok batas misalnya. Apakah itu juga terjadi? Dari kutipan di atas, selain pembangunan di perbatasan dan semarak kemerdekaan yang coba direpresentasikan oleh penyiar, juga direproduksi suatu wacana mengenai keamanan di perbatasan. Di sini, penyiar berusaha mengkonstruksikan isu perbatasan tidak hanya dalam kerangka pembangunan wilayah yang lamban, tetapi juga menyangkut isu-isu keamanan. Sesuatu yang biasa terjadi di hampir setiap perbatasan. 3. Sintaksis Untuk mempertegas strategi wacana yang dikembangkan guna mendukung pentingnya pembangunan di perbatasan, pembawa acara pada edisi 15 Agustus dalam pengantar dialog memaparkan sebagai berikut. “Bisa jadi di beberapa tempat atau malah seluruhnya semakin hangat dengan aktivitas mempersiapkan hari ulang tahun kemerdekaan. Tapi beberapa wilayah mungkin merayakan atau persiapannya agak berbeda melihat kondisi misalnya jauh dari ibukota propinsi atau justru malah di perbatasan antara Indonesia dengan wilayah Negara tetangga.� Dari untaian kalimat di atas, bisa dilihat strategi wacana yang coba dikembangkan oleh penyiar. Di sini, untuk memberikan efek pemaknaan yang berbeda, dibuat suatu rangkaian kalimat dengan menggunakan kata sambung “tapi�. Dengan demikian, efek yang ditimbulkan berbeda dalam melihat peringatan kemerdekaan. Di daerah perbatasan, semarak kemerdekaan berbeda karena 104


Menyapa Publik pembangunan tidak dapat dirasakan dengan baik oleh masyarakat di sana. Pengantar ini kemudian dipertegas dalam sesi dialog atau wawancara berikutnya. Strategi wacana yang agak berbeda justru ditemukan pada edisi 18 Agustus. Jika pada dua edisi berikutnya dialog berusaha diarahkan pada ketertinggalan daerah perbatasan, maka pada edisi 18 Agustus juga berusaha ditengahkan mengenai kegagalan pengentasan kemiskinan. Namun, yang kemudian terjadi justru sebaliknya, kombinasi antarkalimat justru menguntungkan pihak pemerintah. Kutipan berikut menegaskan strategi wacana yang dimaksud. “Banyak tokoh bangsa ini ketika hari peringatan ulang tahun kemerdekaan RI ke 64 tahun 2009 memfokuskan pada bagaimana permasalahan kemiskinan ini dapat segera dituntaskan. Entah sudah berapa lama kita menggalangkan pengentasan kemiskinan. Pemerintah juga sudah melakukan beberapa upaya bagaimana kemiskinan ini untuk bisa segera dihilangkan dari bumi Indonesia. Ada amanat bahwa masyarakat Indonesia harus sejahtera, harus hidup yang berkecukupan, baik sandang, pangan, papan, sekolah dan juga hal-hal lain yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat. Tapi tidak mudah seperti membalik telapak tangan, mudah saja untuk kita bisa segera menuntaskan dan memecahkan masalah kemiskinan di Indonesia. Tapi kalau kita bicara soal bagaimana jangkauan pemerintah ketika bicara pembangunan, wilayah Indonesia begitu luas, yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia. Ini juga menjadi satu persoalan.” Pada kutipan di atas, penyiar hendak mengemukakan desakan para tokoh untuk segera mengentaskan kemiskinan yang hingga sekarang belum terselesaikan. Namun, kata sambung “tapi” menegaskan bahwa persoalan kemiskinan meskipun penting untuk segera diselesaikan, tetapi bukanlah persoalan mudah sebagaimana dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang dicetak miring. Dalam paragraf di atas, penyiar memberikan beberapa argumen diantaranya adalah wilayah yang begitu luas dan juga jangkauan pemerintah yang terbatas. Penyusunan wacana semacam ini justru menguntungkan pemerintah. Padahal, persoalan kemiskinan adalah persoalan struktural yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah sendiri. Wacana semacam ini justru tidak muncul ke permukaan. Sebaliknya, dalam keseluruhan sesi dialog setelah paparan pengantar, penyiar justru terbawa pada praktik wacana yang dibangun oleh nara sumber mengenai “mimpi” Indonesia maupun langkanya pendidikan budi pekerti. Persoalan kemiskinan justru lepas dari pembahasan meskipun pada bagian akhir dibahas kembali dalam kerangka kemiskinan dan pendidikan.

105


Indonesia Menyapa

4. Stilistika Konstruksi penyiar mengenai peringatan kemerdekaan Indonesia dalam Indonesia Menyapa juga bisa dilacak dari pilihanpilihan kata yang digunakan. Diantaranya, kata “semarak” digunakan penyiar untuk merepresentasikan bagaimana masyarakat memperingati kemerdekaan. Di luar itu, juga bisa ditemukan kata-kata, misalnya, “Tidak semudah membalik telapak tangan” untuk menunjukkan sulitnya mengentaskan kemiskinan di Indonesia meskipun kita sudah 64 tahun merdeka. Kata-kata dan frase kalimat ini memberikan makna pada dua hal. Pertama, peringatan kemerdekaan dimaknai sebagai sebuah “kemeriahan”, pesta dan lain sebagainya. Kedua, persoalan kemiskinan adalah persoalan yang berat, dan karenanya untuk mengatasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Dalam konteks ini, 64 tahun sebagai sebuah periode yang cukup lama untuk sebuah negara merdeka dengan ditambah oleh sumber daya alam yang kaya tidaklah cukup menjadi modal bagi percepatan pengentasan kemiskinan. Padahal, negara lain dengan kondisi lebih buruk jauh lebih berhasil dalam mengentaskan kemiskinan seperti Cina dan Vietnam. d. Koalisi Partai Koalisi partai dan dengan demikian juga koalisi kabinet didiskusikan sebanyak tiga kali selama penelitian ini dilakukan. Topik tersebut didiskusikan pada Indonesia Menyapa edisi 19, 20, dan juga 25 Agustus. Indonesia Menyapa edisi tanggal 19 dan 20 menyoroti secara khusus kemungkinan-kemungkinan koalisi Partai Demokrat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), sedangkan edisi 25 Agustus lebih menyoroti komposisi menteri berdasarkan koalisi yang hendak dibangun. Dalam kaitan ini, ada kemungkinan jatah menteri juga diberikan kepada PDIP dan juga Golkar di luar partai-partai pendukung SBY-Boediono sejak awal seperti PKS, PAN, dan PPP. 1. Skematik Ditinjau dari aspek skematik, Indonesia Menyapa edisi 19 Agustus diawali dengan pengantar yang diberikan oleh penyiar mengenai kemungkinan-kemungkinan koalisi antara Partai Demokrat dengan PDIP. Pengantar tersebut kemudian dilanjutkan dengan sesi dialog dengan narasumber. Sementara untuk Indonesia Menyapa edisi 20 Agustus, setelah pengantar langsung dilakukan dialog dengan pendengar. Dialog dengan narasumber dilakukan belakangan. Sementara untuk edisi koalisi kabinet edisi 25 Agustus, penyiar langsung melakukan dialog dengan narasumber, yakni Andi Malarangeng dari Partai Demokrat dan Tifatul Sembiring dari PKS.

106


Menyapa Publik 2. Semantik Secara umum, wacana yang dikembangkan oleh penyiar Indonesia Menyapa adalah koalisi merupakan suatu kewajaran. Bahkan, dalam edisi 25 Agustus, koalisi secara implisit berkenaan dengan pembagian kursi. Di sini, partai oposisi yang dalam sistem demokrasi parlementer sebagai partai penyeimbang bagi partai yang berkuasa justru disangsikan keberadaannya. Ini dapat dilihat dari pertanyaan dan kesimpulan yang dilakukan penyiar. Narasumber Itu juga bisa, tetap tidak mungkin. Begini lho, dalam konteks kelembagaan antara parlemen dan menteri sih iya (beda), tapi dalam konteks politik itu tidak bisa berjalan. Nanti menjelang pemilu akan menikam dari dalam, menurut saya itu tidak etis. Kalau kita mendukung ya all out begitu. Penyiar Tapi selama lima tahun menjadi partai yang mungkin istilahnya oposisi meskipun kita tidak parlementer. Apa yang harus kita improve sebenarnya karena banyak juga yang mengatakan bahwa lima tahun menjadi oposisi tidak mempengaruhi suara PDI Perjuangan seperti diperoleh dalam tahun 1999? Di sini, dari strategi wacana yang dikembangkan tampak bahwa penyiar hendak mengatakan jika oposisi yang dilakukan oleh PDIP selama lima tahun sebelumnya sia-sia karena tidak mampu mendongkrak suara PDIP. Dengan demikian, saran yang secara implisit dapat ditangkap adalah berkoalisi dengan Partai Demokrat jauh lebih baik dibandingkan dengan menjadi oposisi. Ini juga dipertegas dengan pertanyaan penyiar berikutnya dengan mengatakan, “Termasuk wacana saat Taufik Kiemas memberikan wacana saatnya berkoalisi dengan Demokrat. Nah, ini apakah kader-kader PDIP cukup nyaman dengan posisi yang selama lima tahun dijalankan?�. Selain itu, pada edisi berikutnya, koalisi dianggap sebagai suatu bentuk rekonsiliasi besar. Hal ini bisa dibaca dengan sangat jelas dari latar yang diberikan oleh pembawa acara ketika mengawali dialog interaktif Indonesia Menyapa sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut. Indonesia Menyapa kembali menyapa Anda bersama saya ............. Pendengar, hiruk pikuk perpolitikan nasional hampir mendingin. Tetapi siapa tahu di belakang permukaan ternyata masih ada aktivitas yang luar biasa. Dalam konteks ingin memulihkan stamina barangkali karena habis-habisan sesudah pemilu legislatif dan pemilu presiden selesai. Tetapi terlebih dari itu, karena perselisihan, pertentangan, perbedaan dalam masa kampanye pileg maupun pilpres 107


Indonesia Menyapa yang menguras energi. Kemudian membuat hampir elemen bangsa ini menjadi terkotak-kotak, menjadi lebih berwarna, perbedaannya menjadi lebih nyata. Tetapi apa yang terjadi setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pemenang adalah pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Boediono. Jadi yang terjadi sekarang, ada yang dengan wisdom (bijak) mengucapkan selamat atas kemenangan Pak SBY dan Pak Boediono. Ada juga yang mencoba meraba-raba apa yang bisa dilakukan kalau sebelumnya partai bisa berhadapan, berlawanan kemudian untuk menjalin kerja sama setelah pemerintahan baru nanti berjalan, kenapa tidak? Ini terungkap dalam sesi Indonesia Menyapa kemarin, ketika rekan saya ............. menghadirkan Ganjar Pranowo dan Syarif Hasan yang membicarakan kemungkinan dibangun koalisi baru antara Demokrat dan PDI Perjuangan. Bukan karena tawaran berapa kursi di kabinet SBY-Boediono, tapi kalau ada gagasan-gagasan yang bisa disenyawakan, yang bisa dikerjakan bersama-sama. Bahwa membangun negeri ini bukan milik kelompok tertentu, melainkan menjadi tanggung jawab bersama. Nampaknya sinyalemen pagi itu dengan pertemuan tadi malam. Jadi Presiden Bambang Susilo Yudhoyono mengutus ketua umum partai Demokrat Pak Hadi Utomo yang disertai Pak Syarif Hasan sebagai ketua fraksi Demokrat di DPR saat ini untuk datang ke kediaman Megawati Soekarnoputri. Dari kutipan di atas, koalisi dimaknai bukan semata power sharing dalam pembagian kursi, yang sayangnya hal ini justru yang ditekankan dalam Indonesia Menyapa edisi 25, tetapi juga mengenai tanggung jawab bersama untuk membangun negeri. Wacana ini dipertegas oleh penyiar dengan memberikan latar mengenai perseteruan, persaingan, dan lain sebagainya. Dengan pemberian latar semacam ini, pendengar diajak untuk memahami bahwa persaingan dan perbedaan dalam politik tidaklah baik. Sebaliknya, koalisi jauh lebih baik karena koalisi tidak hanya sebagai suatu bentuk rekonsiliasi, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama untuk membangun negeri. Dengan demikian, bagi partai politik, koalisi merupakan pilihan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan menjadi oposisi sebagaimana dilakukan oleh PDIP selama periode 2004-2009. Ini dipertegas kembali oleh penyiar ketika berusaha menyanggah Arya Bima, fungsionaris PDIP sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut. Narasumber: Kalau di PDI Perjuangan ini, beda pendapat selama belum ada keputusan ketua umum atau keputusan kongres partai itu diberi kebebasan, supaya ada keberanian, kemerdekaan ada tradisi untuk mempunyai pendapat. Jadi, kita memahami Pak Taufik Kiemas mengusulkan adanya bagaimana ke depan

108


Menyapa Publik kita koalisi karena melihat ternyata sistem oposisi itu kurang efektif, kurang optimal, kemudian melihat karakter pemerintah SBY ini tidak mau paham dan melihat bahwa oposisi bukan bagian dari politik nasional, selalu dianggap musuh selalu dianggap asal beda. Dan dianggap mereka yang menempatkan oposisi ini adalah sesuatu yang menjatuhkan pemerintah dan ini tak salah untuk melontarkan wacana itu. Namun kita melihat tradisi oposisi itu tidak hanya diamini oleh yang kalah Pilpres, tapi juga diamini oleh partai yang menang dalam pemilu, itu suatu keharusan menurut Pak Syarif Hasan tadi butuh kebersamaan. Kebersamaan tadi dipandang harus dimasukkan dalam pemerintahan. Yang saya khawatirkan adalah pemerintahan yang sangat demokratis sekali ini, akumulasi kekuasaan yang berlebihan. Kalau Demokrat, Golkar, PDI-P dan partai koalisi SBY itu menyatu dalam suatu koalisi di pemerintahan itu terjadi lima ratus kursi DPR itu konfigurasi eksekutif. Ini sangat potensial sekali otoritarian fractual yang dalam artian sistem yang demokratis (dipotong). Penyiar: Tapi Mas Bima, di jaman demokratis ini, kontrol sosial begitu jalan, media tajam melihatnya, apakah sikap otoritarian ini muncul seperti yang Anda khawatirkan? Penyiar berusaha menyanggah pendapat fungsionaris PDIP, Bima Arya, yang mengatakan bahwa jika koalisi melibatkan partai-partai besar seperti PDIP, Golkar, dan keseluruhan koalisi Partai Demokrat, maka akan membuka peluang munculnya otoritarian. Penyiar berusaha menyanggah pernyataan ini dengan mengatakan, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan di atas, bahwa di era demokrasi sekarang ini otoritarianisme tidak akan muncul karena ada kontrol sosial yang berasal dari media. Melalui strategi wacana semacam ini, penyiar pada dasarnya hendak mengatakan bahwa oposisi tidak lagi relevan dan karenanya jauh lebih baik untuk membangun koalisi bersama karena dalam sistem demokrasi oposisi dapat dilakukan oleh media, LSM, dan lain sebagainya. Dengan strategi wacana semacam ini, penyiar berusaha menegasikan wacana lain mengenai koalisi. Misalnya, mengenai etika politik. Dalam kaitan ini, koalisi yang dibangun dari partai-partai yang awalnya bermusuhan apakah etis secara politik? Di sisi lain, suara konstituen juga harus diperhatikan. Pilihan masyarakat atas partai politik didasarkan pada alasan-alasan politik tertentu, yang bisa dilatarbelakangi oleh kesamaan ideologi, sejarah masa lampau, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, koalisi dengan partai pesaing berpotensi mengkhianati suara konstituen. Dalam perbincangan Indonesia Menyapa sebagaimana dikutip di atas, wacana semacam ini luput dari diskusi karena terlalu menekankan aspek koalisi itu sendiri, 109


Indonesia Menyapa lepas dari konsekuensi-konsekuensi etis. Selain persoalan etis, koalisi yang dimaknai semata sebagai bentuk rekonsiliasi akan menegasikan pentingnya check and balances dan pendidikan politik bagi rakyat. Di sini, koalisi tidak hanya penting dalam kerangka membangun kontrol pemerintahan yang berkuasa, tetapi sekaligus sebagai wahana pendidikan politik bagi rakyat. Strategi wacana yang dikembangkan oleh penyiar dalam koalisi partai di atas dimana koalisi dilihat sebagai sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan oposisi mungkin dilatarbelakangi dua hal. Pertama, penyiar memang tidak sepakat dengan gagasan oposisi dengan berbagai alasan. Kedua, pertanyaan tersebut sekedar membangun kontroversi terhadap setiap pernyataan narasumber karena hal tersebut dianggap menarik. Ada suatu kecenderungan umum dimana pertanyaan penyiar acapkali berangkat dari statemen narasumber. 3. Sintaksis Untuk menegaskan kemungkinan-kemungkinan koalisi PDIP dengan Partai Demokrat sebagai sebuah kewajaran, dapat pula dilacak dari koherensi antar-kalimat yang digunakan oleh penyiar. Ini dapat dilihat pada kutipan berikut. “......kalau 31 DPD sudah menyetujui bahwa PDI-P tetap pada rule atau track yang sudah dimainkan saat ini. Tapi orang mengatakan bahwa politik itu sangat dinamis bisa berubah kapan saja. Nah setelah ada wacana ini, kira-kira bukan PDI Perjuangan mengenai apapun yang diwacanakan tentang koalisi besar, rencana besar rekonsiliasi ataupun tawaran menteri gitu Pak Ganjar.� Dalam paragraf di atas, tampak bagaimana penyiar berusaha menggiring pendengar melalui kombinasi anak kalimat bahwa pada dasarnya politik selalu dinamis, dapat berubah kapan saja. Oleh karena itu, meskipun 31 DPD lebih sepakat untuk mendukung PDIP untuk menjadi partai oposisi, tetapi, dalam politik, hal semacam itu dapat berubah kapan saja. Menurut penyiar, politik sangatlah dinamis sehingga bisa berubah kapan saja. Sekali lagi, ada upaya penegasian atas berbagai wacana yang mengiringi koalisi. Bukan hanya persoalan etika politik, tetapi bagaimana mekanisme check and balances. Civil society memang bisa memberikan kontrol atas apa yang terjadi di parlemen, tetapi dampak yang ditimbulkannya berbeda jika kontrol dilakukan dalam parlemen. Di sisi lain, proses-proses politik dalam perumusan dan pembuatan kebijakan hampir selalu berlangsung dalam “kotak hitam� sistem politik sehingga tidak bisa diikuti dengan baik oleh masyarakat 110


Menyapa Publik sipil dan media. Akibatnya, kontrol hanya terjadi setelah keluarnya undang-undang atau kebijakan. Padahal, untuk mengubahnya kembali seandainya undang-undang tersebut cacat, bukanlah persoalan mudah. Masyarakat sipil harus melakukan, misalnya, judicial review yang melelahkan dan dalam relasi-relasi yang tidak seimbang. UU Perfilman dan UU Pornografi menjadi contoh dalam hal ini. 4. Stilistika Usaha mendukung gagasan koalisi yang berusaha dikonstruksikan dalam wacana koalisi antara Demokrat dengan PDIP, dapat pula diidentifikasi dari kata-kata atau kosakata yang dipilih. Misalnya, koalisi tidak hanya persoalan sharing kekuasaan, tetapi juga soal rekonsiliasi. Di sini, kata rekonsialiasi digunakan untuk mendukung gagasan koalisi. Demokrasi selalu mensyaratkan adanya kompetisi. Oleh karenanya, akan mendorong lebih banyak perbedaan. Maka, “terkotakkotak� menjadi satu kosakata yang digunakan untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terpecah-pecah dalam afiliasi-afiliasi kelompok sebagai akibat pemilu. Kosakata lainnya, misalnya, digunakan juga kata “lebih berwarna� untuk kembali mempertegas perbedaan-perbedaan yang muncul akibat kompetisi demokrasi. Pemahaman semacam ini membuat koalisi tidak lagi dipahami sebagai sharing kekuasaan dalam politik, tetapi juga sebagai mekanisme untuk melakukan rekonsiliasi. Padahal, justru kompetisi itulah yang membuat sisi menarik demokrasi. Dalam sistem demokrasi, para pemimpin harus berkompetisi dalam memberikan alternatif terbaik guna memecahkan persoalan-persoalan publik (Dahl, 1995; Hennesy, 1970). Kemudian, publik akan memilih kandidat yang bisa memberikan alternatif solusi terbaik. Dengan demikian, kompetisi dianggap sebagai suatu hal positif dan bukan sebaliknya. Tabel 3 Stilistika dalam Dialog Koalisi Partai Politik No.

Kata-Kata yang Digunakan

1

Demokrasi

2

Koalisi

Kata Turunan

Makna

- Persaingan - Terkotak-kotak - Kompetisi

Negatif Negatif Negatif

Sharing kekuasaan

Positif/negatif

- Rekonsiliasi - Tanggung jawab bersama

Positif Positif

111


Indonesia Menyapa e. Kelaparan di Yahukimo Indonesia Menyapa edisi tanggal 5 September 2009 mendiskusikan persoalan kelaparan yang terjadi di Yahukimo, Papua. Tentunya, isu ini sangat menarik karena menyentuh secara langsung persoalan publik. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana strategi wacana yang dibangun oleh penyiar Indonesia Menyapa dalam menyampaikan kelaparan di Yahukimo. Dalam konteks ini, penting dijawab bagaimana peristiwa kelaparan di Yahukimo tersebut direpresentasikan dalam dialog Indonesia Menyapa. Pada tingkatan teks, sebagaimana analisis sebelumnya, analisis akan dilakukan dengan melihat skematik, semantik, sintaksis, dan stilistika. 1. Skematik Dialog Indonesia Menyapa edisi 5 September diawali dengan pemberian latar oleh penyiar. Kemudian, berdasarkan latar yang disampaikan, penyiar memaparkan kepada pendengar apa yang akan menjadi pokok perhatian pada dialog Indonesia Menyapa edisi tersebut. Setelah memberikan latar, penyiar mengundang Sekretaris Dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial. Di sini, tampak bahwa penyiar menempatkan narasumber pemerintah sebagai narasumber yang penting untuk dimintai pendapatnya mengenai terjadinya peristiwa kelaparan di Yahukimo. Setelah tanya jawab dengan narasumber dari pemerintah, Hartono Laras, penyiar melanjutkan dialog dengan pejabat pemerintah di Merauke. Di sini, sekali lagi, dapat dilihat bagaimana sumber pemerintah ditempatkan sebagai narasumber penting dalam membahas kelaparan di Yahukimo. Sayangnya, narasumber yang dihadirkan adalah pejabat pertanian di Merauke sehingga tidak bisa memberikan informasi yang cukup memadai untuk menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di Yahukimo. Imam Prasodjo menjadi narasumber berikutnya yang tampil dalam dialog edisi tanggal 5 September tersebut. Terakhir, dialog dilanjutkan dengan berbagai narasumber yang berasal dari masyarakat. Pada bagian akhir, penyiar tidak membuat kesimpulan mengenai apa yang sebenarnya telah terjadi di Yahukimo. Sebaliknya, penyiar mengatakan bahwa akan terus menelusuri kondisi terkini di Yahukimo. Pernyataan akhir ini menyiratkan bahwa apa yang didiskusikan baru merupakan informasi awal dan akan terus ditelusuri kelanjutannya. 2. Semantik Dalam sesi dialog kelaparan di Yahukimo, penyiar memberikan latar dengan cara memparkan historis kelaparan di Yahukimo. Ini bisa dilihat dalam kutipan berikut.

112


Menyapa Publik Indonesia Menyapa kembali menyapa Anda. Pagi ini, kita akan bicara soal Yahukimo. Apa yang Anda tahu soal sebuah kabupaten di Papua ini? Bisa saja ingatan Anda langsung terlempar ke tahun 2005 ketika nama ini, kabupaten ini juga disebut-sebut karena kondisi kelaparan. Sedikit bicara soal Yahukimo, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jayawijaya, barat dengan Kabupaten Mimika, sebelah timur dengan Kabupaten Pegunungan Bintang, dan sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mapi. Saya Wini Aulia akan mengajak kita semua untuk pagi ini juga melihat kondisi di sana, setelah 2005 dinyatakan ada kelaparan beberapa hari terakhir kemudian ada release juga informasi dari Yayasan Pelayanan Sosial Masyarakat Indonesia yang menelusuri di lapangan ternyata kondisi kelaparan atau musibah kelaparan terjadi lagi di Kabupaten Yahukimo dan kembali memakan korban. Ada korban tewas yang angkanya cukup besar. Kita akan coba cermati hal ini dari beberapa sumber, dan berharap ada langkah-langkah yang kita dengar pagi ini untuk menyikapi persoalan saudara-saudara kita di Yahukimo. Kita akan awali dengan Sekretaris Dirjen Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial kami sudah bersama Bapak Hartono Laras. Berdasarkan kutipan di atas, dapat dilihat bagaimana penyiar berusaha menyampaikan background dimana telah terjadi kelaparan di kabupaten tersebut pada 2005. Latar ini juga disertai oleh adanya praanggapan bahwa orang mengenal Yahukimo oleh karena adanya peristiwa kelaparan yang terjadi pada 2005 lalu. Dengan kata lain, penyiar ingin mengatakan kepada pendengar bahwa Yahukimo dikenal karena “kelaparannya� dan bukan karena faktor-faktor lain. Penyiar juga memberikan peta geografis yang bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai letak geografis Kabupaten Yahukimo, tempat dimana kelaparan terjadi. Di sini, penyiar sebenarnya ingin membawa kepada pendengar untuk melihat bagaimana mungkin kelaparan bisa kembali terjadi. Namun, pada latar berikutnya, pendengar justru diajak untuk menelusuri apa yang sebenarnya dan bukannya pada mengapa hal tersebut bisa terjadi. 3. Sintaksis Sebagaimana dapat dilihat pada kutipan latar di atas, penyiar berusaha membangun pemaknaan bahwa kelaparan yang terjadi di Yahukimo bukanlah pertama kali terjadi. Sebaliknya, ini merupakan kali kedua dengan jumlah korban yang cukup banyak. Penyiar menggunakan kata ganti “Saudara� untuk menunjukkan kedekatan emosional kepada warga Yahukimo. Namun, kombinasi antarkalimat berikutnya tidak diarahkan pada, misalnya, jika tahun 2005 pernah terjadi bencana kelaparan di kabupaten tersebut, maka 113


Indonesia Menyapa mengapa tahun 2009 hal tersebut bisa terjadi kembali. Penyiar hanya mengatakan, “Kita akan coba cermati hal ini dari beberapa sumber, dan berharap ada langkah-langkah yang kita dengar pagi ini untuk menyikapi persoalan saudara-saudara kita di Yahukimo�. Tentu saja, kombinasi kalimat semacam ini akan sangat berbeda jika penyiar mengajukan pertanyaan kepada narasumber seperti: “Kita akan mendiskusikan mengapa kelaparan di Yahukimo yang pernah terjadi pada 2005 kembali terjadi pada tahun 2009 ini dengan jumlah korban yang cukup besar?� Dengan model pertanyaan semacam ini, tentunya, jawaban dan efek yang ditimbulkan kepada pendengar akan sangat berbeda. 4. Stilistika Penyiar menggunakan beberapa kosakata yang bisa dirujuk untuk melihat bagaimana peristiwa kelaparan di Yahukimo direpresentasikan dalam dialog Indonesia Menyapa edisi 5 September 2009. Beberapa kata yang digunakan untuk merepresentasikan kelaparan di Yahukimo diantaranya adalah: korban, kondisi, musibah, dan saudara. Di sini, penyiar lebih cenderung menggunakan kata musibah dibandingkan dengan menggunakan kata bencana. Di sini, musibah mempunyai makna yang lebih halus dibandingkan dengan jika penyiar menggunakan kata bencana. Bencana bisa disebabkan oleh manusia ataupun alam. Oleh karena itu, jika penyiar menggunakan kata bencana, maka efeknya lebih dramatik. Faktor penyebab bencana juga bisa dirujuk ke pemerintah sebagai subjek yang menyebabkan terjadinya bencana. Namun, jika musibah yang digunakan, maka kejadian tersebut lebih bernuansa transendental, sebuah ujian yang datang dari Tuhan bukannya akibat kesalahan manusia. Padahal, kemiskinan dan juga bencana kelaparan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari, dalam banyak kasus, kebijakan-kebijakan struktural pemerintah. Faktor alam barangkali akan memberikan kontribusi besar, seperti kekeringan, tetapi kebijakan pemerintah mempunyai andil besar dalam menciptakan bencana kelaparan. Terlebih, jika pada tahun 2005, bencana serupa pernah terjadi di kabupaten tersebut. C. 2. Discourse Practice Peneliti melakukan studi partisipasi guna melakukan pengamatan secara langsung mengenai jalannya dialog, termasuk bagaimana tema dialog dirumuskan serta proses pencarian narasumber. Studi partisipasi ini dilakukan dalam rangka mengetahui proses produksi sebuah pesan media, yang dalam hal ini program Indonesia Menyapa. Di sini, fokus analisisnya adalah kerangka kerja institusional dan faktor manusia sebagai pelaku produksi pesan. Studi partisipasi observasi dan wawancara mendalam dilakukan 114


Menyapa Publik karena praktik kewacanaan tidak bisa dilepaskan dari mekanisme kerja yang ada. Ada tiga hal penting yang perlu dikemukakan mengenai bagaimana proses produksi program acara Indonesia Menyapa dilakukan. Pertama, isu-isu yang diangkat oleh program Indonesia Menyapa selalu berkenaan dengan isu-isu yang bersifat aktual. Oleh karena itu, tema dapat diubah setiap waktu disesuaikan dengan tema hangat yang berkembang waktu itu. Tema juga bisa diubah jika narasumber yang kompeten tidak bisa dihadirkan. Ini karena, sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang penyiar, Indonesia Menyapa sangat tergantung pada narasumber. Kedua, program Indonesia Menyapa merupakan bagian dari program LPP RRI Pro 3 secara keseluruhan, utamanya program berita. Oleh karenanya, tema yang diangkat dalam Indonesia Menyapa tidak bisa dilepaskan dari agenda yang sudah disusun dalam rapat agenda liputan sebelumnya (redaksi juga sering menyebutnya sebagai agenda setting). Bisa dikatakan bahwa tema Indonesia Menyapa merupakan isu yang paling utama dalam berita. Ketiga, oleh karena program Indonesia Menyapa berkait erat dengan program berita, maka ia juga tidak bisa dilepaskan dari agenda setting LPP RRI sebagai radio publik. Agenda setting ini dirumuskan oleh jajaran direksi dan manajemen untuk satu bulan berjalan. Isu yang dijadikan tolok ukur adalah seberapa besar isu tersebut menyentuh kepentingan publik. Penelitian terdahulu (Pustlitbangdiklat, 2009) menemukan bahwa agenda setting acapkali tidak dipahami dengan baik oleh wartawan dan agenda liputan lebih berorientasi pada isu bukan agenda media. Akibatnya, wacana yang berkembang lebih berorientasi pada kelompok-kelompok elit, yang dalam kasus penelitian sebelumnya adalah partai politik, pemerintah, dan kepolisian. Hal yang kurang lebih sama terjadi dalam konteks Indonesia Menyapa. Analisis atas proses produksi pesan menemukan hal-hal yang mendukung mengapa strategi wacana seperti telah dianalisis sebelumnya yang berkembang. Pertama, isu yang diangkat dalam Indonesia Menyapa harus berkesesuaian dengan agenda setting atau agenda liputan yang sudah ditetapkan melalui rapat redaksi. Oleh karena itu, isu yang diangkat tidak pernah jauh dari berita yang diangkat dalam liputan RRI Pro 3. Persoalannya kemudian adalah agenda liputan sering mencantel pada isu apa yang sedang hangat dan bukan pada agenda setting nasional yang telah dirumuskan oleh RRI (lihat penelitian Pustlitbangdiklat sebelumnya, 2009). Kedua, oleh karena isu-isu yang diangkat merupakan isu aktual dan mencantel dalam program berita, maka isu dan juga narasumber sering kali diputuskan beberapa menit menjelang acara on air sehingga Wawancara dengan Maulana Istarto, 10 Agustus 2009

115


Indonesia Menyapa pembawa acara tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menyusun agenda diskusi yang betul-betul merepresentasikan kepentingan publik. Di sini, mencari narasumber tidaklah selalu mudah sehingga narasumber yang diharapkan tidak selalu bisa tampil meskipun bagian produksi telah mempunyai list yang sangat banyak menyangkut narasumber yang bisa dihubungi untuk topik-topik yang diangkat dalam Indonesia Menyapa. Jika hendak digambarkan bagaimana tema atau isu yang diangkat dalam Indonesia Menyapa ditetapkan, maka dapat dilihat pada bagan berikut. AGENDA SETTING (Ditentukan direksi dan manajemen dan bersifat nasional)

PETA LIPUTAN (Rapat dilakukan setiap hari (pukul: 17.00 oleh awak redaksi RRI Pro 3)

BERITA - Buletin - On the spot

INDONESIA MENYAPA (Peristiwa teraktual dan terkini)

Dari bagan di atas, dapat dilihat bahwa tema-tema yang diangkat dalam Indonesia Menyapa berasal dari berita atau liputan jurnalis. Tema-tema dalam berita inilah yang kemudian dikembangkan dalam dialog Indonesia Menyapa. Kemudian, karena program Indonesia Menyapa pagi disiarkan pagi hari maka tema yang diangkat pagi itu merujuk pada agenda liputan sebelumnya. Oleh karena ia merujuk pada agenda sebelumnya, tema dalam dialog Indonesia Menyapa dapat berubah sewaktu-waktu jika, misalnya, ketika malam sebelumnya ada isu hangat atau pagi itu ada peristiwa penting seperti dalam kasus Penggrebekan di Temanggung. Tentunya, perubahan mendadak semacam ini akan menyulitkan pihak penyiar dan produser untuk mengarahkan dialog sesuai dengan visi radio publik. Akibatnya, sebagaimana dikemukakan oleh penyiar, improvisasi menjadi penting. Inilah yang membuat mengapa dalam banyak sesi dialog politik, wacana yang berusaha direpresentasikan oleh program Indonesia Menyapa tidak begitu jelas, utamanya menyangkut keberpihakannya terhadap kepentingan publik. Ketiga, pembawa acara untuk Indonesia Menyapa terdiri dari tiga orang. Ketiga orang harus membawakan topik-topik yang beragam mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan bahkan budaya. Berjalin dengan waktu penentuan tema yang cukup singkat membuat 116


Menyapa Publik pembawa acara kurang bisa mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan dan diskusi yang tajam. Padahal, roh dialog interaktif semacam itu sangat tergantung pada instrumen pertanyaan. Kemudian, tanpa didukung oleh data yang memadai maka akan menjadi lebih sulit untuk membawa diskusi lebih tajam dan bermakna bagi publik. Ini dapat dilihat, misalnya, dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa edisi 5 September 2009. Dalam dialog tersebut, penyiar tidak mempunyai data yang valid sehingga tidak mampu mengungkap persoalan secara lebih tajam dan mendalam. Pada akhirnya, muncul kecenderungan dimana pertanyaan-pertanyaan dirumuskan dan berangkat dari pernyataan narasumber sehingga strategi wacana yang dikembangkan dan kepentingan-kepentingan yang coba direpresentasikan menjadi kabur. Kondisi ini dapat dilihat dari perbedaan-perbedaan yang muncul dalam strategi wacana yang dikembangkan oleh penyiar. Dalam keseluruhan teks Indonesia Menyapa yang dianalisis, tampak bahwa masing-masing penyiar belum mempunyai strategi wacana yang seragam. Pada suatu waktu, penyiar menjadi sangat kritis terhadap pemerintah, tetapi di waktu lain dan juga oleh penyiar lain strategi wacana yang dikembangkan justru menguntungkan penguasa, yang dalam hal ini adalah pemerintah. Persoalan internalisasi nilai, barangkali, menjadi faktor yang mempengaruhi strategi wacana yang dikembangkan. Wawancara mendalam yang dilakukan peneliti terhadap penyiar menemukan bahwa pada dasarnya penyiar telah menyadari posisi LPP RRI sebagai radio publik, tetapi pengejawantahan atas ideologi RRI sebagai radio publik belum menemukan bentuknya dalam merancang diskusi. Akibatnya, dalam hampir keseluruhan dialog Indonesia Menyapa, strategi wacana yang dikembangkan belum sepenuhnya menempatkan kepentingan publik sebagai agenda utama. C. 3. Sociocultural Practice Praktik sosiokultural tidak secara langsung mempengaruhi suatu praktik kewacanaan. Dalam konteks Indonesia Menyapa, praktik sosiocultural yang bisa diidentifikasi diantaranya adalah munculnya trends talking journalism dan usaha-usaha untuk membuat kontroversi sebagai satu-satunya nilai berita yang bisa diandalkan untuk menarik publik. Trends semacam ini sangat kuat terjadi di media massa swasta, dan tampaknya juga berimbas pada lembaga penyiaran publik seperti RRI. Dalam kaitan ini, menarik kiranya pendapat Merril (2005) mengenai kondisi media kontemporer. Menurutnya, apa yang diberikan oleh media kepada orang-orang adalah apa yang diinginkan oleh orang-orang dan bukannya apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, di bawah bayang-bayang kapitalisasi media yang berujung 117


Indonesia Menyapa pada pengejaran profit, media menggambarkan dunia dengan cara yang tidak imbang, sebuah dunia negatif. Sebuah dunia hiburan. Menurut John C. Merril, ini adalah sebuah dunia yang tidak normal (atypical) dan superfisial, sebuah dunia yang didiami oleh tindakantindakan kriminal, oleh individu-individu yang mengalami disorientasi dan psikopatik, oleh politisi-politisi tidak jujur, oleh guru-guru immoral, oleh para pemabok dan para pecandu narkotik pembuat onar, oleh perilaku seks menyimpang, oleh ketidaksensitifan paparazi dan jurnalis yang melanggar privasi, oleh sistem hukum yang tidak adil, oleh tindakan-tindakan kekerasan dan terorisme, oleh pemimpin nasional yang jahat atau tidak mengindahkan moral, oleh orang-orang kaya yang arogan dan perlakuan terhadap orang miskin yang immoral, oleh kehancuran dan disfungsionalitas keluarga, oleh pendidikan yang berada di bawah standard, oleh pengingkaran janji, dan berbagai variasi perilaku sosial yang membahayakan. Menurut Merril, cara pandang media yang negatif ini berasal dari dua sistem media, yakni dari pandangan otoritarianisme dan pandangan pasar bebas atau libertarianisme. Pandangan otoritarianisme melihat bahwa berita berasal dari pemerintah dan tentang kedangkalan berita nonpolitik yang diperlukan sebagai isi informasi publik, sedangkan libertarianisme melihat bahwa hal-hal negatif, sensasional, dan berita yang menghibur adalah jenis informasi publik yang paling baik atau setidaknya berita yang paling layak jual. Kedua cara pandang ini lebih menekankan hal-hal yang salah dibandingkan dengan sebaliknya. Pada yang pertama, tentu saja, terdapat kontrol, tetapi kontrol amoral (non-etik) yang tidak mempunyai kaitannya dengan kepentingan rakyat. Diterima secara egoistik, propagandis, dan dirancang untuk menyembunyikan kelemahan-kelemahan pemerintah, sedangkan pada yang kedua dilandasi oleh asumsi bahwa apa yang etis adalah apapun yang media pikir tentang keinginan masyarakat. Dengan melihat gagasan Merril di atas, praktik kewacanaan LPP RRI yang lebih mendorong hal-hal yang bersifat kontroversial, lepas dari kepentingan-kepentingan publik dapat dijelaskan. Demikian juga, trend jurnalisme omongan yang berkembang di Indonesia dalam beberapa waktu belakangan juga berpengaruh terhadap bagaimana persoalan-persoalan publik diangkat dalam Indonesia Menyapa. Sisi lain akibat kuatnya praktik jurnalisme omongan di Indonesia, tampaknya, berimbas pada bagaimana publik diberi “ruang� dalam Indonesia Menyapa. Di sini, publik diartikan sebagai orang kebanyakan, bukan pakar ataupun pihak pemerintah. Beberapa diantaranya bahkan publik tidak dihadirkan dalam dialog Indonesia Menyapa. Sebaliknya, orientasinya selalu merujuk pada pakar tertentu atau pihak pemerintah. Bahkan, dalam beberapa kasus, pakar atau narasumber yang sama muncul secara berulang. Ditinjau 118


Menyapa Publik dari perspektif “ruang publik�, tentunya, hal ini kurang bagus karena mestinya LPP RRI sebagai radio publik mampu mendorong terciptanya “ruang publik� tanpa dominasi sehingga persoalan-persoalan publik dapat didiskusikan dalam relasi yang setara, baik pemerintah, pakar, maupun rakyat biasa. D. Kesimpulan Analisis wacana kritis digunakan untuk mengkaji strategi wacana yang dikembangkan dalam Indonesia Menyapa mengenai isuisu publik. Analisis wacana yang digunakan adalah analisis wacana kritis model Norman Fairclough yang meliputi tiga tingkatan, yakni teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Temuan analisis wacana kritis secara umum adalah sebagai berikut. Pertama, pada tingkatan teks, temuan pokok analisis Indonesia Menyapa adalah sebagai berikut. Secara umum, isu-isu atau tema yang diangkat dalam Indonesia Menyapa adalah isu-isu hangat yang terjadi pada waktu itu. Isu-isu tersebut menyentuh, dalam beberapa hal, kepentingan publik. Namun, strategi wacana yang dikembangkan membuat kepentingan publik kurang terepresentasi dengan baik. Penyiar juga kritis terhadap realitas dan juga narasumber. Pilihanpilihan kata juga menunjukkan bagaimana penyiar secara kritis menyikapi persoalan yang didiskusikan. Meskipun demikian, acapkali terjadi, sikap kritis tersebut lebih pada usaha untuk membangun kontroversi dibandingkan dengan mendiskusikan persoalan secara rasional. Dalam hal koalisi, misalnya, wacana yang dikembangkan oleh penyiar justru persoalan bagi-bagi kursi dan pentingnya koalisi bagi usaha membangun rekonsiliasi nasional. Sebaliknya, oposisi sebagai suatu yang positif dalam sistem demokrasi sebagai mekanisme check and balance justru dinegasikan. Check and balance, menurut penyiar, bisa dilakukan oleh masyarakat sipil tanpa harus dalam parlemen. Kedua, pada tingkatan discourse practice, penelitian menemukan hal-hal yang mendukung mengapa strategi wacana seperti itu. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. (1) isu yang diangkat dalam Indonesia Menyapa harus berkesesuaian dengan agenda setting atau agenda liputan yang sudah ditetapkan melalui rapat agenda liputan sebelumnya. Oleh karena itu, isu yang diangkat tidak pernah jauh dari berita yang diangkat dalam liputan RRI Pro 3. Persoalannya kemudian adalah agenda liputan sering mencantel pada isu apa yang sedang hangat dan bukan pada agenda setting nasional yang telah dirumuskan oleh RRI. Selain itu, diangkat tidaknya suatu tema untuk didialogkan dalam Indonesia Menyapa akan sangat ditentukan oleh narasumber. Jika narasumber cukup tersedia, maka tema akan diangkat dalam Indonesia Menyapa. Persoalannya kemudian adalah narasumber seringkali sulit dihubungi karena waktunya yang cukup 119


Indonesia Menyapa singkat, terlebih pagi hari. Ketika peneliti melakukan studi partisipasi, tema Indonesia Menyapa ditentukan kurang dari 30 menit sebelum acara on air. Ketika isu dan juga narasumber diputuskan beberapa menit menjelang acara on air maka pembawa acara tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menyusun agenda diskusi yang betul-betul merepresentasikan kepentingan publik. Persoalan lain menyangkut discourse practice adalah pembawa acara untuk Indonesia Menyapa terdiri dari tiga orang. Ketiga orang harus membawakan topik-topik yang beragam mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan bahkan budaya. Berjalin dengan waktu penentuan tema yang cukup singkat membuat pembawa acara kurang bisa mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan dan diskusi yang tajam. Padahal, roh dialog interaktif semacam itu sangat tergantung pada instrumen pertanyaan. Kemudian, tanpa didukung oleh data yang memadai maka akan menjadi lebih sulit untuk membawa diskusi lebih tajam dan bermakna bagi publik. Pada akhirnya, muncul kecenderungan dimana pertanyaan-pertanyaan dirumuskan dan berangkat dari pernyataan narasumber sehingga strategi wacana yang dikembangkan dan kepentingan-kepentingan yang coba direpresentasikan menjadi kabur. Ketiga, pada tingkatan sociocultural practice, penelitian menemukan bahwa, dalam konteks Indonesia Menyapa, praktik sociocultural yang bisa diidentifikasi diantaranya adalah munculnya trends talking jurnalism dan usaha-usaha untuk membuat kontroversi sebagai satu-satunya nilai berita yang bisa diandalkan dan menarik kepentingan publik. Trends semacam ini sangat kuat terjadi di media massa swasta, dan tampaknya juga berimbas pada lembaga penyiaran publik seperti RRI.

120


ANALISIS ISI INDONESIA MENYAPA A. Kerangka Konsep dan Metodologi Penelitian kuantitatif dialog Interaktif Indonesia Menyapa ini dilakukan dengan metode analisis isi (content analysis). Dari berbagai literatur tentang definisi analisis isi yang ditulis oleh antara lain Krippendorff (2004), Neuendorf (2002), Newman (2003), dan Weber (1990) dapat ditarik benang merah bahwa metode analisis isi adalah metode riset yang digunakan untuk menyimpulkan kata atau konsep yang tampak dalam teks atau rangkaian teks. Metode analisis isi dapat diterapkan untuk meneliti semua pesan di dalam proses komunikasi, asalkan pesan tersebut bersifat tampak. Metode ini juga lebih bersifat kuantitatif daripada kualitatif karena menghitung akumulasi suatu pesan yang telah dikodekan. Istilah analisis isi sendiri telah berusia lebih dari 60 tahun. Meskipun analisis isi berusia cukup “tua”, tidak banyak perubahan yang terjadi antara analisis isi yang muncul pertama kali dengan analisis isi saat ini. Kamus Webster’s memasukkan istilah ini mulai pada edisi tahun 1961. Dalam kamus ini, analisis isi didefinisikan sebagai “analysis of the manifest and latent content of a body of communicated material through classification, tabulation, and evaluation of its key symbol and themes in order to ascertain its meaning and probable effect” (Krippendorff, 2004: xvii). Riffe, Lacy, & Fico (2005: 25-36) menyebutkan, dalam analisis isi kuantitatif, peneliti mengkuantifikasi dan menganalisis kata atau konsep, makna, serta interaksi dari kata dan konsep yang


Indonesia Menyapa merupakan simbol-simbol komunikasi, kemudian membuat kesimpulan mengenai pesan yang ada di dalam teks, pencipta teks, audiens, dan bahkan konteks sosio-kultural teks tersebut. Menurut Berelson dan Kerlinger (1952; dalam Wimmer & Dominick, 2000: 135) dan Holsti (1969: 2-3), analisis isi merupakan suatu metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, obyektif, kuantitatif, dan generalis terhadap pesan yang tampak. Sistematik artinya segala proses analisis harus tersusun melalui proses yang terstruktur, mulai dari penentuan isi pesan yang dianalisis, cara menganalisisnya, maupun kategori yang digunakan untuk menganalisis. Penetapan isi atau kategori dilakukan menurut aturan yang diterapkan secara konsisten. Objektif berarti menurut aturan atau prosedur yang apabila dilaksanakan oleh orang (peneliti) lain dapat menghasilkan kesimpulan yang serupa. Artinya bahwa peneliti harus mengesampingkan faktor-faktor yang bersifat subjektif atau bias personal sehingga hasil analisis benar-benar objektif dan bila dilakukan riset lagi oleh orang lain, maka hasilnya relatif sama. Kuantitatif artinya analisis isi bisa dikuantifikasikan ke dalam angkaangka. Generalis artinya temuan harus memiliki relevansi teoritis. Informasi yang didapat dari analisis isi dapat dihubungkan dengan atribut lain dari dokumen dan mempunyai relevansi teoritis yang tinggi. Sumber data dalam metode analisis isi cukup beragam. Pada prinsipnya, apapun yang tertulis dapat diteliti dengan metode analisis isi. Sumber data untuk riset yang utama adalah media massa; semua media massa dapat diteliti. Unit analisis yang dipakai dalam analisis isi dapat dikelompokkan ke dalam level satu jenis media secara keseluruhan, misalnya, majalah atau surat kabar tertentu, atau pada level artikel, berita, ataupun program acara seperti talkshow pada media penyiaran. Salah satu prosedur yang perlu dilakukan dalam metode content analysis adalah uji reliabilitas. Uji ini diterapkan untuk memastikan apakah coding sheet yang disusun sebagai instrumen pengukuran teks berita mengandung bias interpretasi atau tidak. Idealnya, coding sheet dimaknai sama oleh setiap pengkoder yang terlibat dalam penelitian. Semakin dimaknai sama oleh setiap peneliti, semakin tinggi nilai reliabiltas coding sheet tersebut. Teknik pengujian reliabilitas antara lain dapat dilakukan dengan membandingkan jawaban coding sheet antara satu pengkoder dengan pengkoder lainnya terhadap suatu teks berita (intercoder reliability). Menurut Adiputra (2008: 112), cara paling sederhana untuk menghitung reliabilitas antarkoder adalah menggunakan rumus hitung reliabilitas. Rumus inilah yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi koefisien reliabilitas. 122


Menyapa Publik

Koefisien Reliabilitas =

Jumlah unit dalam kategori yang sama Jumlah total unit-unit yang dikode

Rumus Adiputra (2008) tersebut sesungguhnya merupakan penyederhaan dari formula yang diciptakan Holsti (1969), yakni: C.R = Keterangan: C.R

2M N1+N2

=

M

=

N1 dan N2

=

Koefisien reliabilitas Jumlah penilaian dari koding yang dilakukan oleh dua orang coder Jumlah keputusan yang diberikan antara coder satu dengan coder dua

Pada dasarnya, tidak ada ketentuan pasti untuk ambang batas penerimaan koefisien reliabilitas. Namun, semakin tinggi koefisien reliabilitas maka semakin baik. Koefisien reliabilitas yang dapat diterima biasanya adalah 90% (Berger, 2000: 183). Jika koefisien reliabilitas tidak sampai 90%, maka definisi operasional perlu dibuat lebih spesifik lagi. Terkadang, masalahnya terdapat dua atau tiga kategori yang sedemikian mirip sehingga coder sulit membedakannya. Masalah ini dapat diatasi dengan menggabungkan berbagai kategori yang tumpang tindih tersebut ke dalam satu kategori saja. Dalam penelitian ini, coder berjumlah 3 orang yang pernah melakukan berbagai riset analisis isi. Dengan kualifikasi demikian, kiranya tepat untuk menjadi coder sebagai upaya memperoleh reliabilitas penelitian. Uji Reliabilitas (UR) pertama dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2009. Dari skor rata-rata 3 pengoding, diperoleh koefisien 83,3%. UR diulangi kedua kalinya pada tanggal 17 Agustus 2009 dengan sebelumnya dilakukan penyempurnaan instrumen penelitian dengan memperjelas definisi operasional. Nilai yang didapat adalah 91%. Angka tersebut berada di atas syarat reliabilitas menurut Berger. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sampel dan operasionalisasi konsep dalam penelitian ini sudah cukup reliabel. B. Analisis Kuantitatif Indonesia Menyapa 1. Jadwal/Bulan Siaran Sampel penelitian ini diambil dari materi siaran dialog interaktif Indonesia Menyapa selama periode Agustus-September 2009. Siaran dialog interaktif yang diambil pada bulan Agustus sebanyak 82,1% atau 23 kali, sementara bulan September diambil 17,9% atau 5 123


Indonesia Menyapa kali. Bulan Agustus menunjukkan frekuensi siaran lebih besar karena jadwal siaran yang dipilih sebagai objek riset adalah rentang waktu mulai tanggal 2 Agustus 2009 hingga 5 September 2009. Grafik 1 Jadwal/Bulan Siaran september 17,9%

82,1% agustus

2. Kategori Dialog Interaktif a. interaktivitas dengan pendengar Interaktivitas merupakan kata kunci pelibatan pendengar dalam siaran dialog semacam talkshow. Peran pendengar yang direpresentasikan dalam talkshow memungkinkan aspirasi langsung bersifat dua arah sebagai respon dari materi yang disampaikan penyiar maupun narasumber. Dari 28 item dialog interaktif yang diteliti, 82,1% siaran (23 item dialog) mengindikasikan adanya interaksi langsung dengan pendengar. Sedangkan 17,9% siaran (5 item dialog) menunjukkan tidak ada partisipasi langsung atau interaksi selama acara dialog interaktif. Grafik 2 Interaktivitas dengan Pendengar

tidak ada interaksi dengan pendengar

17,9%

82,1%

ada interaksi dengan pendengar

124


Menyapa Publik Riset ini menggolongkan jumlah pendengar yang berinteraksi selama dialog ke dalam dua kategori, yakni 1 pendengar dan lebih dari 1 pendengar. Dari 23 item dialog yang menampilkan interaksi dengan pendengar, sebanyak 87% (20 item dialog) menampilkan lebih dari 1 pendengar. Sedangkan 23% (3 item dialog) hanya menampilkan 1 pendengar selama program dialog berlangsung. b. jumlah narasumber Talkshow yang berkualitas menghendaki adanya narasumber yang memiliki keragaman perspektif dalam melihat persoalan sehingga memungkinkan adanya dialog yang dinamis dan “hidup�. Dari 28 item dialog interaktif yang diteliti, tercatat bahwa 96,4% siaran (27 item dialog) menghadirkan lebih dari 1 narasumber. Sedangkan 1 dialog (3,6%) ditemukan hanya menghadirkan 1 orang narasumber, yakni pada dialog edisi Minggu, 12 Agustus 2009. Grafik 3 Jumlah Narasumber 3,6%

satu narasumber

96,4%

lebih dari satu narasumber c. relevansi narasumber dengan tema yang diangkat Narasumber adalah unsur yang paling menentukan untuk membangun kredibilitas informasi. Untuk itu, relevansi narasumber yang ditampilkan dengan tema yang diangkat menjadi kriteria pokok dalam menilai kualitas sebuah program dialog. Dari 28 item dialog interaktif yang diteliti, tercatat bahwa 96,4% siaran (27 item dialog) menghadirkan narasumber yang relevan dengan tema dialog. Sedangkan 1 dialog (3,6%) diindikasi menghadirkan narasumber yang tidak relevan, yakni pada dialog edisi Sabtu, 8 Agustus 2009.

125


Indonesia Menyapa Grafik 4 Relevansi Narasumber 3,6%

tidak relevan

96,4%

relevan d. interaksi antara narasumber Talkshow yang berkualitas memerlukan adanya interaksi antara narasumber dengan narasumber lain melalui mediasi penyiar. Interaksi ini mengindikasikan adanya keterbukaan dan keragaman dalam menyampaikan pendapat di media massa. Selain itu, interaksi antara narasumber juga menjadi esensi dari sebuah konsep dialog yang sejajar (egaliter). Dari hasil koding, diperoleh data bahwa 64,3% selama dialog berlangsung tidak terjadi interaksi antarnarasumber (18 item dialog), sedangkan 35,7% (10 item dialog) terjadi interaksi antarnarasumber. Ini mengindikasikan perlunya interaksi yang lebih intensif sehingga dialog dapat menjadi lebih dinamis. Grafik 5 Interaksi Antara Narasumber

ya 35,7%

64,3%

tidak e. solusi terbuka pada akhir dialog Solusi terbuka dapat diartikan sebagai ajakan untuk peduli terhadap persoalan yang sedang dibicarakan. Solusi terbuka tidak selalu bahkan cenderung bukan berupa kesimpulan karena menghendaki adanya kebebasan dalam memandang, menyikapi, dan mencari berbagai alternatif solusi atas persoalan yang sedang didiskusikan dengan melibatkan masyarakat luas, tidak hanya narasumber atau penyiar. 126


Menyapa Publik Dari hasil koding, diperoleh data bahwa 57,1% (16 item dialog) memberikan tawaran solusi terbuka. Sedangkan 42,9% (12 item dialog) tidak terdapat solusi terbuka pada akhir dialog. Ini mengindikasikan hampir setengah dari diskusi dalam siaran Dialog Interaktif Indonesia Menyapa belum mempertegas adanya solusi alternatif dan ajakan untuk peduli terhadap persoalan yang sedang dibicarakan, terutama pada akhir siaran. Grafik 6 Solusi Terbuka pada Akhir Dialog

tidak 42,9%

ya 57,1%

3. Tema Dialog Dilihat dari tema yang dipilih, program dialog interaktif Indonesia Menyapa mencakup beragam tema. Dalam penelitian ini, tema-tema yang dikaji adalah: politik dan pemerintahan; perang, pertahanan, dan diplomasi; ekonomi; kriminal; pelayanan publik; masalah moral masyarakat; kesehatan masyarakat; kecelakaan dan bencana; ilmu pengetahuan dan teknologi; pendidikan dan kesenian; hiburan; human interest; dan lainnya. Dari hasil pengodean, tema yang paling banyak diangkat dalam Dialog Interaktif Indonesia Menyapa adalah Politik dan Pemerintahan, sebanyak 13 item dialog (46,4%). Posisi kedua tema yang paling sering diperbincangkan adalah Perang, Pertahanan, dan Diplomasi sebanyak 4 item (14,3%). Tema Ekonomi dan tema Human Interest muncul masing-masing sebanyak 3 item (10,7%), sementara tema-tema yang termasuk kategori lainnya, di luar kategori yang ditetapkan muncul sebanyak 5 item dialog (17,9%). Tema lain-lain ini meliputi tema hukum (1 item), kriminal (2 item), lingkungan hidup (1 item), dan pembangunan (1 item).

127


Indonesia Menyapa Grafik 7 Tema Dialog 17,9%

lainnya

10,7%

human interest

10,7% ekonomi 14,3% 46,4%

perang, pertahanan, dan diplomasi politik dan pemerintahan

Dilihat dari aktualitas tema yang ditampilkan sesuai dengan agenda publik, 100% (28 item dialog) mengangkat tema termasuk berkategori aktual dan sedang menjadi sorotan. Ini mengindikasikan bahwa pemilihan tema Dialog Interaktif Indonesia Menyapa sudah menunjukkan kriteria kualitas yang baik. 4. Narasumber Dialog Narasumber bagi sebuah dialog adalah unsur yang paling menentukan untuk membangun kredibilitas informasi. Berdasarkan pengamatan terhadap 28 item dialog interaktif yang dijadikan sampel penelitian, pihak yang dijadikan sebagai narasumber adalah dari Lembaga Perwakilan meliputi DPR sebanyak 10 item (16,9%) dan DPD sebanyak 1 item (1,7%). Kategori narasumber selanjutnya adalah Lembaga Pemerintahan meliputi Dewan Pertimbangan Presiden sebanyak 1 item (1,7%); Kementerian Negara (Departemen/Meneg/ Menko/Setneg) sebanyak 2 item (3,4%); serta Pemerintah Daerah yang muncul dalam 1 item dialog (1,7%). Narasumber dari unsur Polri muncul sebanyak 1 item (1,7%), sementara Lembaga Kehakiman yang diwakili oleh Badan lain (KPK/ Kejaksaan/Lembaga Pemasyarakatan) sebanyak 1 item (1,7%). Narasumber yang berasal dari Parpol/Anggota Parpol muncul dalam 7 item dialog (11,9%); LSM sebanyak 9 item (15,3%); serta dari kalangan Perguruan Tinggi, akademisi, pengamat/ahli sebanyak 19 item (32,2%). Warga/masyarakat umum sebagai narasumber muncul dalam 4 item (6,8%) dan narasumber Lainnya sebanyak 3 item (5,1%). Narasumber Lainnya ini meliputi pihak aktivis pemuda demokratis, kecamatan, dan lembaga pengkajian kebijakan publik. Jika diringkas dalam bentuk grafik, maka frekuensi kemunculan masing-masing narasumber dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa adalah sebagai berikut. 128


Menyapa Publik Grafik 8 Narasumber Dialog 5,1% 6,8% 32,2% 15,3% 11,9% 1,7% 1,7% 1,7% 3,4% 1,7% 1,7% 16,9%

Lainnya Warga/masyarakat umum Perguruan tinggi, akademisi, pengamat/ ahli LSM Parpol/Anggota Parpol Badan Lain (KPK/Kejaksaan/LP) Polri Pemerintah Daerah Kementrian Negara Dewan Pertimbangan Presiden DPD DPR

Melihat porsi yang diberikan bagi masing-masing narasumber, tampak bahwa RRI masih perlu mengakomodasi suara masyarakat umum. Jika dibandingkan dengan porsi narasumber dari pemerintah dan pihak akademisi (16,9% dan 32,2%), maka angka 6,8% untuk suara masyarakat merupakan catatan penting sebagai kritik atas karakter RRI sebagai radio publik. Sebagai radio publik, RRI seharusnya memberikan ruang yang lebih banyak bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya ketimbang ruang bagi kepentingan pemerintah. 5. Evaluasi Narasumber secara Umum Selain data dalam bentuk angka, penelitian ini juga menilai kecenderungan umum performance narasumber yang dilihat berdasarkan parameter penilaian atas kredibilitas dan porsi kesempatan berbicara selama dialog berlangsung. Berikut ini ringkasan evaluasi narasumber Dialog Interaktif Indonesia Menyapa yang diurutkan berdasarkan nomor koding selama 28 edisi siaran.

No Kode 1 2 3

Tabel 1 Evaluasi Narasumber Evaluasi Narasumber secara Umum (Kredibilitas, Porsi Kesempatan Berbicara) Narasumber yang dihadirkan sudah sesuai dengan topik yang dibahas. Kredibilitas narasumber sudah sesuai dengan topik diskusi dan semua narasumber diberi kesempatan yang sama dalam menyampaikan pemikirannya. Narasumber yang dihadirkan sudah kredibel dan relevan dengan topik yang diangkat.

129


Indonesia Menyapa

4

5 6 7 8

9

10

11

12

13

14

Narasumber dapat memberi pemahaman dan penjelasan tentang RUU Rahasia Negara. Porsi yang diberikan untuk tiap narasumber sudah seimbang. Dalam dialog ini pembicara/ narasumber sudah kredibel dan semua narasumber mendapatkan porsi yang sama dalam mengungkapkan pendapat. Porsi kesempatan berbicara masing-masing narasumber sudah seimbang. Porsi berimbang antara yang pro dan kontra/oposisi. Ketiga narasumber merupakan orang yang kredibel dan memiliki concern pada isu yang dibahas. Tiga narasumber yang ditampilkan sudah kredibel. Namun demikian, porsi terbanyak untuk narasumber dari LSM ICW, Febridiansyah. Interaksi antarnarasumber hanya terjadi antara Suripto (DPR RI) dengan Febri (LSM ICW), sementara narasumber Prof. Andi Hamzah (akademisi) tidak ikut berdialog langsung. Narasumber yang dihadirkan dalam dialog interaktif tersebut sudah kredibel, mewakili tema yang sedang diangkat. Masing-masing juga mendapatkan porsi untuk mengemukakan pendapat dari berbagai sudut pandang (KPK, Lembaga Non Pemerintah-LSM, praktisi hukum) Narasumber yang dihadirkan dalam talkshow memiliki kompetensi dengan tema yang dibahas. Masing-masing narasumber juga mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengemukakan opini. Tiga narasumber yang dihadirkan cukup mumpuni untuk berbicara mengenai keamanan dan terorisme di Indonesia. Masing-masing narasumber yang dihadirkan memiliki kredibilitas dengan tema yang diangkat. Sayangnya, untuk porsi/kesempatan berbicara, secara kuantitatif tidak sama bahkan ada yang hanya sekali diberi pertanyaan. Namun demkian, secara kualitas masingmasing mendapat hak untuk mengeluarkan pemikirannya. Dialog edisi ini mampu menampilkan pandangan yang berbeda dari tiga narasumber. Dialog lebih hidup dan dinamis dengan porsi berbicara yang seimbang.

130


Menyapa Publik

15

16

17 18 19

20 21

22

23 24 25

26

27 28

Narasumber kompeten dengan tema yang diangkat, masing-masing juga mendapatkan porsi bicara yang seimbang. Kompetensi narasumber sesuai dengan tema yang diangkat karena melibatkan elemen-elemen yang berhubungan langsung dengan lingkungan hidup. Narasumber kompeten dengan tema yang diangkat. Sayangnya, suara dari wakil rakyat (DPR) belum terwakili. Narasumber utama tidak dapat dihubungi, jadi informasi inti yang didapatkan menjadi kurang komprehensif Narasumber yang dihadirkan dalam dialog memiliki kompetensi. Masing-masing mendapat kesempatan bicara yang seimbang. Narasumber yang dihadirkan dalam dialog edisi ini memiliki kredibiltas. Masing-masing mendapat kesempatan bicara yang seimbang. Narasumber kompeten dengan tema yang diangkat dan diberi kesempatan berpendapat dengan porsi berimbang. Edisi khusus. Sebagian besar diisi dengan laporan pandangan mata dari reporter-reporter RRI. Bisa dikatakan dialog tidak melibatkan narasumber secara spesifik. Narasumber kompeten dengan tema yang diangkat dan diberi kesempatan berpendapat dengan porsi berimbang. Porsi untuk pendapat dari pendengar cukup banyak, terutama via sms. Masing-masing narasumber yang dihadirkan memiliki kredibilitas dengan tema yang diangkat. Masing-masing narasumber yang dihadirkan memiliki kredibilitas dengan tema yang diangkat. Sayangnya, untuk porsi/kesempatan berbicara lebih banyak diberikan ke partai politik dibanding dari perguruan tinggi/pengamat. Narasumber yang ditampilkan sudah relevan dengan topik yang dibahas. Semua narasumber yang dihadirkan memiliki kredibilitas. Waktu dan kesempatan bicara diberikan secara berimbang.

131


Indonesia Menyapa 6. Obyektivitas Dialog a. Balance Balance diartikan juga sebagai keseimbangan dalam suatu pemberitaan atau dialog. Selain itu, ada juga pendapat yang menyamakan balance dengan ketidakberpihakan atau nonpartisanship media dalam penyajian sebuah berita atau dialog. Dennis McQuail (1992: 223) membedakan balance dengan netralitas. Menurut McQuail, balance berhubungan dengan seleksi dan substansi dari berita, sedangkan netralitas berhubungan dengan presentasi dari berita tersebut. Dalam analisis isi, balance diukur dengan menghitung berapa banyak ruang dan waktu yang diberikan media untuk menyajikan pendapat atau kepentingan salah satu pihak. Balance memiliki beberapa indikator, antara lain: cover both sides, even handed evaluation, freedom of expression and comment, slant, dan source bias. ďƒ˜ Cover both sides Cover both sides adalah peliputan dari semua sisi, terutama untuk dialog-dialog yang terkait dengan konflik, pertikaian, perumusan kebijakan dan sebagainya. Cover both sides juga bisa diartikan sebagai peliputan dari sudut pandang semua objek dialog yang terlibat. Dari 28 dialog interaktif yang diteliti, 22 item dialog (78,6%) memerlukan cover both sides. Grafik 9 Dialog Memerlukan Cover Both Sides tidak 21,4%

ya 78,6%

Dari 22 item tersebut, ada 21 item (95,5%) yang memuat sudut pandang dari semua objek dialog yang terlibat atau cover both sides dan hanya 1 (4,5%) yang tidak cover both sides, yakni dialog interaktif pada edisi edisi Minggu, 12 Agustus 2009. Dalam dialog edisi ini, pihak ke-3 yang berkepentingan tidak dihadirkan. Misalnya, tim sukses/juru bicara dari kontestan pemilu presiden. 132


Menyapa Publik

ďƒ˜ Even handed evaluation Even handed evaluation adalah Keseimbangan menampilkan hal-hal yang positif maupun negatif terhadap pihak-pihak atau tema-tema yang didiskusikan. Dalam penelitian ini, dari total dialog interaktif yang diteliti, ada 26 item (92,9%) yang mengindikasikan adanya even handed evaluation. Sementara, hanya ada 2 item (7,1%) yang tidak ada even handed evaluation. Grafik 10 Even Handed Evaluation tidak 7,1%

ya 92,9%

ďƒ˜ Freedom of expression and comment Dalam penelitian ini, freedom of expression and comment diukur dengan melihat kebebasan untuk mengekspresikan dan berkomentar terhadap suatu hal atau beropini mengenai sesuatu. Dari 28 dialog interaktif yang diteliti, semuanya (100%) menunjukkan adanya indikasi freedom of expression and comment. Ini artinya, melalui dialog interaktif ini RRI mencoba untuk mewujudkan kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai bentuk demokrasi di ruang publik. ďƒ˜ Slant Sementara slant adalah kecenderungan media dalam memberikan kritikan, pujian, atau hujatan secara spesifik yang berasal dari media itu sendiri (wartawan, editor) dan bukan dari narasumber. Kritik dan pujian ini merupakan indikasi kecenderungan media terhadap nilai-nilai tertentu. Untuk slant, sebanyak 27 item (96,4%) terbukti tidak memuat kritik atau pujian tertentu oleh wartawan dan/atau editor, sementara hanya ada 1 item (3.6%) yang menunjukkan indikasi adanya slant.

133


Indonesia Menyapa Grafik 11 Slant ada

3,6%

96,4%

tidak ada Dialog yang memuat kritik atau pujian tertentu dari pihak media tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2 Contoh dialog yang mengandung slant No.

1.

Tanggal

7 Agustus 2009

Narasi Dialog 1) ... tetapi ada kesan bahwa Antasari sering menerobos ketentuan atau pasal-pasal perundang-undangan... 2) Kita akan lihat apakah testimoni ini berpengaruh besar terhadap kredibilitas KPK, yang memang dicintai masyarakat Indonesia ... 3) Tentu Anda menilai kita masih butuh KPK selama korupsi masih ada di Indonesia ...

ďƒ˜ Source bias Indikator yang terakhir, source bias, merupakan ketidakseimbangan sumber dialog dalam liputan-liputan yang bersifat cover both sides. Tidak adanya satu dari keseluruhan sumber yang ada membuat dialog menjadi berat sebelah. Dalam menyajikan fakta, media harus menampilkan berbagai sumber dialog yang relevan, baik yang setuju maupun yang tidak. Pengukuran source bias lebih diarahkan pada pengukuran secara kuantitatif seberapa banyak pihak-pihak yang terlibat dalam dialog diberi porsi oleh wartawan untuk berkomentar. Dari 28 item dialog interaktif yang diteliti, tidak ada yang memiliki indikasi source bias. Artinya, 100% dialog interaktif menyajikan seluruh sumber dialog yang relevan sehingga bahasan topik dalam dialog bisa berimbang. 134


Menyapa Publik a. Neutrality Neutrality atau netralitas sering disamakan dengan balance. Namun, merujuk pada McQuail, netralitas lebih mengacu pada presentasi dan berita itu sendiri. Netralitas menuntut pemberitaan yang tenang, dingin, terkendali, dan berhati-hati. Untuk melihat netralitas penyajian suatu dialog, ada beberapa tolok ukur yang bisa digunakan, yaitu sensasionalism, stereotype, juxtaposition, linkages, dan jumping conclusion. Sensasionalism dibagi lagi menjadi dramatisasi, emosionalisme, dan personalisasi.  Sensasionalisme Sensasionalisme dapat diartikan sebagai sifat suka menimbulkan sensasi. Tujuan dari sensasionalisme adalah untuk menarik perhatian orang lain. Walaupun sensasionalisme dibenarkan dalam bidang lain, misalnya, pemasaran atau periklanan agar menarik, namun sensasionalisme tidak dapat dibenarkan di dalam ranah jurnalistik yang menekankan objektivitas penyajian. Sensasionalisme dapat dilakukan dengan membuat dialog yang mengandung atau menampilkan dramatisasi, emosionalisme, atau personalisasi. a. dramatisasi Dramatisasi merupakan salah satu upaya menimbulkan sensasi dengan cara menyajikan fakta secara berlebihan atau hiperbolik agar menimbulkan efek dramatis. Dramatisasi dapat dilakukan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang mengandung majas hiperbola maupun dengan menceritakan detail peristiwa namun tidak relevan. Dari 28 item isi dialog interaktif yang menjadi sampel penelitian ini, hanya terdapat 1 item (3,6%) yang mengandung unsur dramatisasi, yakni pada edisi dialog pada tanggal 11 Agustus 2009 dimana penyiar mengatakan “.... alurnya betapa sangat lama 17 jam di Temanggung”. Frasa “betapa sangat lama” adalah indikasi dramatisasi untuk menggantikan frasa “sangat lama” atau “berdurasi panjang”. Sisanya sebanyak 27 item (96,4%) tidak menunjukkan indikasi adanya dramatisasi. Ini artinya RRI berupaya untuk menyajikan “suguhan” yang jujur dan terbuka kepada para pendengar tanpa perlu dilakukan dramatisasi atau respon-respon hiperbolik.

135


Indonesia Menyapa Grafik 12 Dramatisasi ada

3,6%

96,4%

tidak ada b. emosionalisme Emosionalisme dapat diartikan sebagai penonjolan aspek emosi (suka, benci, sedih, gembira, marah, dan sebagainya) dibandingkan aspek logis rasional. Walaupun penggunaan emosionalisme dapat “menghidupkan� sebuah dialog, aspek netralitas dan objektivitas dalam dialog menuntut sebuah penyajian dialog yang dingin dan terkendali. Dalam penelitian ini, ditemukan dialog-dialog yang mengandung emosionalisme sebesar 7,1% atau sebanyak 2 item. Grafik 13 Emosionalisme ada

7,1%

92,9%

tidak ada

136


Menyapa Publik Adapun contoh dialog yang mengandung emosionalisme terdapat dalam tabel di bawah ini. Tabel 3 Contoh dialog yang mengandung emosionalisme No.

1.

Tanggal

7 Agustus 2009

Narasi Dialog Apa yang bisa kita lihat, semua (ketentuan UU KPK-red) itu dihajar kemudian dilewat, melanggar hukum... (Keterangan dari instansi dan penggunaan kata “semua itu dihajar� terkesan menyudutkan.)

c. personalisasi Sensasionalisme diukur pula berdasarkan ada atau tidak ada personalisasi. Personalisasi dapat diartikan sebagai pandangan yang melihat individu tertentu sebagai aktor utama atau tunggal yang paling berpengaruh dalam sebuah peristiwa. Dengan kata lain, personalisasi dapat diartikan sebagai pandangan yang mereduksi peristiwa pada individu (person). Personalisasi dapat berupa kultus individu maupun penggunaan majas pars pro toto (metonimia). Upaya menumbuhkan sensasi oleh wartawan dengan cara personalisasi hanya ditemukan pada 2 item dialog (7,1%). Grafik 14 Personalisasi ada

7,1%

92,9%

tidak ada

137


Indonesia Menyapa Dialog-dialog yang menunjukkan personalisasi itu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4 Contoh dialog yang mengandung personalisasi No. 1

2

Tanggal 18 Agustus 2009

20 Agustus 2009

Narasi Dialog ... juga ada wacana Pak SBY menawarkan empat menteri untuk PDI Perjuangan ... 1) Artinya Anda setuju jika sewaktu-waktu PDI Perjuangan juga bersama-sama Pak SBY berada di pemerintahan ... 2) ... jangan-jangan mas Bima sungkansungkan bergabung dengan Demokrat dan meninggalkan Pak Prabowo, Gerindra.

 Stereotype Tolok ukur lain untuk melihat netralitas adalah dengan mengukur ada tidaknya stereotype pada dialog. Stereotype diartikan dengan pemberian atribut tertentu terhadap individu, kelompok, ras atau bangsa tertentu di dalam penyajian sebuah dialog. Stereotype dapat menjadikan individu, kelompok atau bangsa tertentu di dalam dialog sering dipersepsi dan diperlakukan berdasarkan atribut mereka, baik negatif maupun positif namun tetap tidak pernah bersifat netral atau berdasarkan pada kenyataan yang sebenarnya. Penggunaan stereotype, baik yang bermakna positif maupun yang bermakna negatif, dalam penyajian sebuah dialog dapat mengundang tuduhan keberpihakan wartawan atau media terhadap salah satu kelompok yang ada di masyarakat. Dalam penelitian ini, stereotype diindikasikan dari dua hal, yakni ada tidaknya atribusi yang tidak relevan dan ada tidaknya pemberian label tertentu. Terdapat 2 item dialog (7,1%) yang mengandung stereotype dari 28 item dialog interaktif yang diteliti, yaitu pada dialog tanggal 6 Agustus 2009 “...tetapi ini waktunya masyarakat tahu, tikus-tikus sejenis apa yang ada di KPK itu ...” dan dialog tanggal 17 Agustus 2009 “...Indonesia asli (bahwa ini Sucipto orang Indonesia asli)...”.

138


Menyapa Publik Grafik 15 Stereotype ada

7,1%

92,9%

tidak ada ďƒ˜ Juxtaposition Juxtaposition secara sederhana didefinisikan sebagai upaya wartawan menyandingkan dua fakta yang berbeda dengan maksud untuk menimbulkan efek kontras, yang pada akhirnya menambah kesan dramatis dialog yang disajikan. Dengan demikian, juxtaposition dapat mengubah atau menggeser pemaknaan dua fakta yang sebenarnya berbeda (tidak berhubungan) menjadi sama (berhubungan) secara kontras. Wartawan menggunakan juxtaposition untuk menghadirkan kesan dramatis dalam sebuah fakta di dalam penyajian dialog. Dari 28 dialog yang diteliti, terdapat 1 item (3,6%) yang menunjukkan adanya unsur juxtaposition yang dapat mengurangi nilai netralitas dialog interaktif yang disajikan. Grafik 16 Juxtaposition

ada

3,6%

96,4%

tidak ada

Dialog yang mengandung unsur juxtaposition tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.

139


Indonesia Menyapa Tabel 5 Contoh dialog yang mengandung juxtaposition No.

1

Tanggal

14 Agustus 2009

Narasi Dialog ...belasan personil TNI bersenjata lengkap juga ikut berjaga di titik-titik strategis di bagian belakang DPR. Sementara ada juga satu mobil watercanon yang disiapkan di pagar gedung DPR, ini untuk mengantisipasi aksi demonstrasi yang akan digelar pada hari ini. Bahkan ada juga dua helikopter yang sudah disiapkan di belakang gedung kira-kira untuk mengantisipasi kemungkinan paling buruk.

ďƒ˜ Lingkages Sama halnya dengan juxtaposition, linkages juga menyandingkan dua fakta yang berbeda. Hanya saja, dalam linkages, dua fakta yang disandingkan tersebut tidak bersifat kontras, tetapi sejajar. Dua fakta yang tidak berhubungan ini disandingkan dengan harapan dapat menimbulkan hubungan yang asosiatif. Media sering menghubungkan beberapa hal, baik itu aspek yang berbeda dari suatu peristiwa; cerita yang berbeda dari halaman atau media yang sama; aktor yang berbeda yang berhubungan dengan peristiwa yang sama, dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk membangun kesatuan atas keragaman, atau bisa juga untuk membangun mood tertentu. Wartawan menggunakan linkages untuk menghubungkan dua fakta yang sebenarnya berbeda sehingga kedua fakta tersebut dianggap (diasosiasikan) memiliki hubungan sebab akibat. Dalam penelitian ini, ditemukan 2 item dialog (7,1%) yang terbukti mengandung linkages. Grafik 17 Linkages ada

7,1%

92,9%

tidak ada

140


Menyapa Publik Dialog-dialog yang mengandung linkages dapat disimak pada tabel berikut: Tabel 6 Contoh dialog yang mengandung linkages No.

1.

2.

Tanggal

Narasi Dialog

14 Agustus 2009

Pemeriksaan ketat dilakukan pada setiap pengunjung yang masuk lewat pintu depan maupun pintu belakang di gedung DPR. Jadi tidak luput tas setiap peserta juga digeledah. Ini untuk mengantisipasi ancaman bom, kita tahu dini hari pukul 1 ada ancaman bom di Manado, tepatnya di hotel Novotel.

20 Agustus 2009

... tadi malam ada silaturahmi politik dari Syarif Hasan dan Hadi Utomo ke kediaman Megawati, dan ada juga deal semacam permintaan Pak Taufik Kiemas supaya didukung menjadi Ketua MPR, artinya jualbeli kekuasaan sudah dimulai di sana.

ďƒ˜ Jumping conclusion Jumping conclusion merupakan kesalahan penyimpulan yang dilakukan oleh wartawan atas peristiwa yang diliputnya. Ini berarti kesimpulan yang ditarik oleh wartawan adalah opini pribadinya. Kesimpulan dialog yang dibuat oleh wartawan membuat dialog tidak lagi netral karena mengandung opini dari wartawan sendiri. Dari 28 item dialog yang diteliti, tidak ada dialog yang mengandung jumping conclusion atau kesalahan penyimpulan. Artinya, kesimpulan-kesimpulan dalam dialog interaktif Indonesia Menyapa dibuat atas dasar netralitas dan bukan semata-mata dari opini penyiarnya. 7. Penilaian Dialog Interaktif secara Umum Selain data dalam bentuk angka, penelitian ini juga menilai kecenderungan umum performance dialog interaktif penyajian berdasarkan nilai/kelayakan dialog dan persoalan etika selama dialog berlangsung. Berikut ini ringkasan evaluasi Dialog Interaktif Indonesia Menyapa secara umum yang diurutkan berdasarkan nomor koding selama 28 edisi siaran.

141


Indonesia Menyapa Tabel 7. Penilaian Dialog Interaktif secara Umum No Kode

Penilaian dialog interaktif secara umum (penyajian, nilai/kelayakan dialog, persoalan etika)

1

Kurang terjadi dialog yang interaktif antarnarasumber. Penyiar dalam opening terlalu banyak memberikan pengantar sehingga terkesan berbicara sendiri.

2

Secara umum dialog sudah banyak menampilkan keragaman pandangan narasumber. Dialog menjadi variatif dan banyak mendapat masukan dari narasumber maupun dari interaktif lewat telepon dan sms.

3

Tidak ada interaktivitas antarnarasumber. Antara pembicara satu dengan yang lainnya tidak ada interaksi sehingga tidak ada adu argumentasi.

4

Interaksi antara narasumber masih sangat kurang. Mengingat terdapat narasumber yang hadir di studio, lebih baik jika ada interaksi yang intens di antara narasumber sehingga dialog ini bersifat dua arah.

5

Secara umum dialog ini sudah bagus, tidak ada pertanyaan yang menggiring dari penyiar untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Sudah ada dialog antarnarasumber secara interaktif.

6

Dialog edisi ini sudah komprehensif karena memberikan banyak waktu bagi publik untuk melakukan interaksi dengan narasumber. Namun sangat disayangkan, tidak dihadirkan narasumber dari pihak kontestan pemilu yang sedang dibahas (Mega-Prabowo, SBY-Boediono, dan JKWin).

7

Dialog memuat informasi yang layak diketahui publik, terkait dengan klaim keberhasilan pembangunan.

8

Narasumber memberikan penjelasan yang tepat mengenai permasalahan yang sedang didiskusikan. Posisi penyiar seimbang.

9

Penyiar terkesan condong memihak kepada KPK.

10

Secara umum, dialog tersebut dapat mengcover tema (tidak meloncat pada isu/masalah lain). Hanya saja porsi untuk pendengar masih sedikit (2 orang). Jumlah tersebut kurang mewakili wacana yang berkembang di masyarakat tentang testimoni Antasari Azhar.

142


Menyapa Publik

11

Secara umum bagus, perbincangan berada dalam alur (tidak melompat dari tema). Sayangnya, dalam dialog kali ini banyak penggunaan kata asing yang sepertinya akan lebih baik jika dijelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana, mengingat acara ini didengarkan oleh masyarakat awam. Penggunaan bahasa yang mudah dipahami memungkinkan dialog ini bisa diikuti masyarakat dari beragam latar belakang, misalnya usia dan tingkat pendidikan.

12

Secara umum, dialog interaktif ini menarik karena menyajikan dialog interaktif dari sudut pandang para ahli. Sayangnya, jumlah pendengar atau partisipasi dari masyarakat hanya 2 orang, padahal pendapat masyarakat bisa jadi melahirkan solusi alternatif .

13

Secara umum, dialog interaktif edisi ini menarik, menyajikan pemaknaan kemerdekaan dari sudut pandang selain hal-hal yang bersifat seremonial dan perayaanperayaan.

14

Dialog terkesan lebih hidup karena hadirnya 3 orang narasumber mampu mewakili pemikiran yang berbeda.

15

Secara keseluruhan sudah baik, meskipun si penyiar sempat memotong saat narasumber berbicara, untung saja pemotongan tersebut dilakukan di akhir siaran sehingga tidak mengurangi substansi. Dengan banyaknya narasumber, informasi yang didapatkan menjadi lebih banyak dan dari beragam perspektif. Konsekuensinya, waktu bagi masyarakat untuk memberikan urun rembug (berpartisipasi) menjadi terkurangi.

16

Secara umum dialog interaktif edisi ini sudah baik, terkesan lebih sistematis karena opini masyarakat dihadirkan setelah dialog dengan narasumber selesai. Tetapi ada koreksi, untuk identitas narasumber supaya lebih diperhatikan (update status narasumber, misalnya seseorang bekerja di mana, supaya lebih akurat)

17

Secara umum dialog sudah baik. Suara dari masyarakat banyak ditampung.

18

Narasumber utama yang menjadi target tidak/ belum dapat memberikan komentar, tapi di sisi lain memberikan kesempatan bagi warga untuk menyuarakan pendapatnya.

19

Secara umum dialog menarik, penyiar tidak mendominasi pembicaraan (maksudnya bicaranya banyak), suara masyarakat juga tidak hanya sedikit.

143


Indonesia Menyapa

20 21

22

23

Secara umum, dialog tersebut cukup baik dan dapat mengcover tema (tidak meloncat pada isu/masalah lain). Isu yang diangkat dalam dialog kabur antara pemerintah Dialog hanya berlangsung antara penyiar di studio dan reporter di lapangan. Dalam melakukan reportase pandangan mata, reporter tidak secara jelas dan langsung merujuk informasi dari pihak lain, murni hanya dari pengamatan langsung. Mungkin ini terjadi mengingat kondisi darurat tembak-tembakan di lapangan. Secara umum, dialog tersebut cukup baik. Informasinya layak diketahui publik.

24

Secara umum, dialog interaktif edisi ini menarik dan akomodatif terhadap opini pendengar.

25

Penilaian berimbang, ada dialog antara narasumber dan pendengar, cukup mengakomodir opini pendengar, dan menampilkan solusi terbuka pada akhir dialog.

26

Penilaian berimbang, ada dialog antara narasumber dan pendengar, cukup mengakomodir opini pendengar.

27

Dialog edisi ini sangat interaktif. Dialog hidup, dari narasumber maupun interaksi dengan masyarakat. Ada reporter di lapangan.

28

Secara umum dialog ini sudah berjalan bagus. Narasumber yang dihadirkan langsung dari pokok permasalahan, yaitu warga Yahukimo sendiri. Terdapat solusi terbuka di akhir dialog, walaupun disampaikan oleh narasumber.

C. Kesimpulan Analisis kuantitatif lebih ditujukan untuk melihat objektivitas dalam program Siaran Dialog Interaktif Indonesia Menyapa. Dari hasil analisis terhadap program Indonesia Menyapa, beberapa temuan umum sebagai berikut. Pertama, masih terdapat siaran (5 item dialog) yang menunjukkan tidak ada partisipasi langsung atau interaksi dari pendengar selama acara dialog interaktif. Namun, mayoritas dialog sudah berusaha menampung berbagai pendapat, termasuk langsung dari pendengar. Jumlah pendengar yang berinteraksi pun sudah cukup baik (lebih dari 1 orang) meskipun terdapat beberapa edisi dialog yang menampilkan hanya satu pendengar. Kedua, program Dialog Interaktif Indonesia Menyapa umumnya telah menampilkan narasumber yang relevan dengan topik yang dibahas, tetapi sebanyak 64,2% selama dialog berlangsung tidak terjadi interaksi antarnarasumber. Padahal, talkshow yang berkualitas

144


Menyapa Publik menghendaki adanya interaksi antara narasumber dengan narasumber lain melalui mediasi penyiar. Interaksi ini mengindikasikan adanya keterbukaan dan keragaman dalam menyampaikan pendapat. Selain itu, interaksi antara narasumber juga menjadi esensi dari sebuah konsep dialog yang sejajar (egaliter). Ketiga, program Dialog Interaktif Indonesia Menyapa masih belum terbiasa memberikan solusi terbuka dari hasil dialog. Data penelitian menunjukkan bahwa 57,1% (16 item dialog) memberikan tawaran solusi terbuka, sedangkan 42,9% (12 item dialog) tidak terdapat solusi terbuka pada akhir dialog. Ini mengindikasikan hampir setengah dari diskusi dalam siaran Dialog Interaktif Indonesia Menyapa belum mempertegas adanya solusi alternatif dan ajakan untuk peduli terhadap persoalan yang sedang dibicarakan. Keempat, dilihat dari aktualitas tema yang ditampilkan, tampak bawah tema-tema yang diangkat sesuai dengan agenda publik, 100% (28 item dialog) mengangkat tema termasuk berkategori aktual dan sedang menjadi sorotan. Ini mengindikasikan bahwa pemilihan tema Dialog Interaktif Indonesia Menyapa sudah menunjukkan kriteria kualitas yang baik. Kelima, melihat porsi yang diberikan bagi masing-masing narasumber, tampak bahwa RRI masih perlu mengakomodasi suara masyarakat umum. Jika dibandingkan dengan porsi narasumber dari pemerintah dan pihak akademisi (16,9% dan 32,2%), maka angka 6,8% untuk suara masyarakat merupakan catatan penting sebagai kritik atas karakter RRI sebagai radio publik. Sebagai radio publik, RRI seharusnya memberikan ruang yang lebih banyak bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya ketimbang ruang bagi kepentingan pemerintah. Keenam, untuk objektivitas yang dilihat dari balance dan netralitas, penelitian kuantitatif menemukan bahwa masih ditemukan unsur yang tidak dipenuhi meskipun persentasenya kecil. Misalnya, adanya dialog yang tidak cover both sides sebesar 4,5% (1 item dialog), tidak even handed evaluation sebesar 7,1% (2 item dialog); dan slant sebesar 3,6% (1 item dialog). Dari segi freedom of expression and comment dan source bias, program Dialog Interaktif Indonesia Menyapa menunjukkan kinerja yang sangat baik, terlihat dari 100% (28 item dialog) terpenuhi Freedom of expression and comment dan 100% (28 item dialog) bebas dari source bias. Pada dimensi netralitas, masih ditemukan unsur pokok yang tidak dipenuhi, misalnya dramatisasi sebesar 3,6% (1 item dialog), adanya emosionalisme sebesar 7,1% (2 item dialog), adanya penggunaan personalisasi sebesar 7,1% (2 item dialog), adanya stereotype sebesar 7,1% (2 item dialog), adanya unsur juxtaposition sebesar 3,6% (1 item dialog), dan adanya linkages sebesar 7,1% (2 item dialog). Meskipun 145


Indonesia Menyapa dalam persentase yang sangat kecil, adanya unsur-unsur yang tidak terpenuhi, dapat mengurangi nilai netralitas dialog interaktif yang ditampilkan. Satu aspek dari segi netralitas yang dilihat dari ada tidaknya jumping conclusion, Dialog Interaktif Indonesia Menyapa menunjukkan kinerja yang sangat baik, terlihat dari 100% (28 item dialog) menunjukkan tidak ada jumping conclusion.

146


KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan pokok, yang pada dasarnya ingin melihat bagaimana isuisu publik direpresentasikan dalam Indonesia Menyapa. Kemudian, untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis teks media dengan menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Penggabungan metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid sehingga, pada akhirnya, akan mampu dirumuskan rekomendasi yang juga valid bagi perbaikan program Indonesia Menyapa di masa datang. Secara umum, hasil penelitian ini menemukan bahwa isu-isu yang dibahas atau didiskusikan dalam Indonesia Menyapa merupakan isu-isu penting bagi publik, dalam pengertian menyentuh kepentingan publik. Namun sayangnya, bagaimana isu tersebut didiskusikan masih menjadi persoalan. Dalam banyak kasus, isu-isu penting tersebut gagal “dibingkai� dalam kerangka kepentingan publik sehingga seolah-seolah menjadi kurang bermakna bagi publik. Isu susduk, Monas Golkar, misalnya, adalah isu-isu penting seandainya ia bisa didiskusikan dengan menariknya ke ranah publik. Kemudian, oleh karena penelitian ini menggunakan tiga metode yang berbeda untuk mengkaji objek penelitian yang sama, maka sebagai konsekuensinya hasil-hasil penelitian mempunyai beberapa perbedaan. Oleh karena itu, paparan kesimpulan atas hasil penelitian


Indonesia Menyapa akan dilakukan sesuai dengan metode yang digunakan, yakni framing, wacana kritis, dan analisis isi kuantitatif. 1. Analisis Framing Analisis bingkai dilakukan melalui perangkat pembingkaian (framing device), yang terdiri dari metaphors, catchphrases, exemplaar, depiction dan visual images. Secara garis besar, temuan atas masing-masing perangkat pembingkaian adalah sebagai berikut. Pertama, metaphors atau perumpamaan yang dimunculkan dalam isi program cukup beragam, antara lain metafor “daerah perbatasan�. Pada program Indonesia Menyapa edisi Semarak Kemerdekaan (17 Agustus 2009), digambarkan bahwa kesatuan negara Indonesia adalah sesuatu yang penting. Arti penting tersebut diperkuat dengan laporan dari dusun Suruh Tembayang yang letaknya setengah jam perjalanan dari perbatasan dengan Malaysia. Jarak ini lebih dekat bila dibandingkan dengan kota Kecamatan, apalagi dengan transportasi yang belum memadai. Kedua, catchphrases atau frase dan kalimat yang menarik dimunculkan dalam banyak edisi program, antara lain dalam edisi Kesepakatan Konservasi Lingkungan di Bali (28 Agustus 2009). Kalimat yang menarik yang dimunculkan adalah demonstration activities. Artinya adalah bagaimana penyelamatan iklim dan lingkungan sebaiknya menjalankan aktivitas yang riil. Bila istilah ini dieksplorasi lebih mendalam, pendengar akan lebih merasakan manfaat dari berita. Ketiga, exemplaar atau penghubungan bingkai dengan contoh dan uraian muncul dalam beberapa bagian program. Contoh exemplaar antara lain terlihat di dalam program Indonesia Menyapa edisi Penyusunan Kabinet (21 Agustus 2009) di mana dihadirkan alasan penyusunan kabinet walaupun isu ini sebenarnya agak berjarak dengan kehidupan langsung masyarakat. Apalagi tidak ada pengaitan makna penyusunan kabinet dengan kehidupan sehari-hari warga. Keempat, depiction atau deskripsi suatu isu secara konotatif terlihat dalam beberapa isu yang diangkat. Hal ini, misalnya, muncul di dalam Indonesia Menyapa edisi Sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (5 Agustus 2009). Depiction tidak dimunculkan di dalam narasi berita melainkan diucapkan oleh narasumber, yaitu “orang yang mampu menerima kekalahan�. Ucapan yang merupakan depiction itu dimunculkan oleh Maswadi Rauf, narasumber yang merupakan pengamat politik dari Universitas Indonesia. Kelima, visual Images: jarang yang menyampaikan laporan dari kejadian. Hampir semua berasal dari narasumber. Walau demikian, salah satu penggambaran suasana yang bagus adalah dalam Indonesia Menyapa edisi 17 Agustus 2009 yang membicarakan 148


Menyapa Publik kemerdekaan. Pada segmen awal program ini, disampaikan reportase yang menggambarkan suasana perayaan kemerdekaan, termasuk suasana upacara kemerdekaan di kantor Imigrasi yang diikuti seorang peserta yang berusia 72 tahun. Pada sisi yang lain, analisis bingkai terdapat perangkat penalaran (reasoning devices). Perangkat penalaran adalah cara yang digunakan oleh media untuk memperkuat argumen yang ada. Fungsi utama perangkat penalaran adalah memberikan dasar logika yang kuat bagi pembingkaian yang telah dilakukan. Elemen perangkat penalaran adalah roots, appeals to principle, dan consequences. Roots atau analisis sebab akibat dari sebuah isu yang terdapat di dalam program Indonesia Menyapa sudah tergambar dengan baik. Hal ini terlihat di dalam salah satu edisi Indonesia Menyapa ketika membicarakan Perburuan Pelaku Terorisme (11 Agustus 2009). Melalui salah satu narasumber Suripto, pakar intelejen dan terorisme, dijelaskan bahwa alasan terorisme subur di Indonesia ada dalam dua hal, pertama peraturan yang ketat dan kesenjangan sosial. Peraturan yang sangat ketat di Malaysia membawa dua orang gembong teroris memutuskan beroperasi di Indonesia. Sementara kesenjangan sosial dapat menyuburkan terorisme karena rasa frustasi individu dan kelompok yang semakin banyak muncul. Appeals to principle atau premis dasar yang merujuk pada klaim moral dapat dilihat dalam berbagai topik di program Indonesia Menyapa. Hal itu terlihat antara lain di dalam topik Kasus Bank Century (Indonesia Menyapa, 1 September 2009) di mana dimunculkan bahwa kasus tersebut sudah selayaknya dibuka dan ditelisik lebih jauh agar uang rakyat dapat dikembalikan. Hak-hak rakyat terpenuhi. Pendekatan untuk prinsip-prinsip dasar ataupun moral tersebut dimunculkan oleh salah seorang penelepon, Bambang dari Madiun. Hal ini membuktikan bahwa informasi tambahan ataupun posisi moral yang lebih jelas justru bisa berasal dari masyarakat umum. Elemen perangkat penalaran yang terakhir adalah consequences atau efek dan konsekuensi dari bingkai yang diberikan. Consequences antara lain terlihat di dalam Indonesia Menyapa, ketika membicarakan topik Kenaikan Harga Sembako (Gula) (edisi 2 September 2009). Disampaikan di dalam isi program bahwa harga gula mendesak untuk diturunkan mengingat kondisi masyarakat yang kian sulit, apalagi dalam masa mendekati lebaran. Edisi ini sekaligus menunjukkan adanya reportase langsung dan narasumber yang berasal dari warga. 2. Analisis Wacana Kritis Analisis wacana kritis digunakan untuk mengkaji strategi wacana yang dikembangkan dalam Indonesia Menyapa mengenai isu149


Indonesia Menyapa isu publik. Analisis wacana yang digunakan adalah analisis wacana kritis model Norman Fairclough yang meliputi tiga tingkatan, yakni teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Temuan analisis wacana kritis secara umum adalah sebagai berikut. Pertama, pada tingkatan teks, temuan pokok analisis Indonesia Menyapa adalah sebagai berikut. Secara umum, isu-isu atau tema yang diangkat dalam Indonesia Menyapa adalah isu-isu hangat yang terjadi pada waktu itu. Isu-isu tersebut menyentuh, dalam beberapa hal, kepentingan publik. Namun, strategi wacana yang dikembangkan membuat kepentingan publik kurang terepresentasi dengan baik. Penyiar juga kritis terhadap realitas dan juga narasumber. Pilihanpilihan kata juga menunjukkan bagaimana penyiar secara kritis menyikapi persoalan yang didiskusikan. Meskipun demikian, acapkali terjadi, sikap kritis tersebut lebih pada usaha untuk membangun kontroversi dibandingkan dengan mendiskusikan persoalan secara rasional. Dalam hal koalisi, misalnya, wacana yang dikembangkan oleh penyiar justru persoalan bagi-bagi kursi dan pentingnya koalisi bagi usaha membangun rekonsiliasi nasional. Sebaliknya, oposisi sebagai suatu yang positif dalam sistem demokrasi sebagai mekanisme check and balace justru dinegasikan. Check and balance, menurut penyiar, bisa dilakukan oleh masyarakat sipil tanpa harus dalam parlemen. Kedua, pada tingkatan discourse practice, penelitian menemukan hal-hal yang mendukung mengapa strategi wacana seperti itu. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. (1). isu yang diangkat dalam Indonesia Menyapa harus berkesesuaian dengan agenda setting atau agenda liputan yang sudah ditetapkan melalui rapat agenda liputan sebelumnya. Oleh karena itu, isu yang diangkat tidak pernah jauh dari berita yang diangkat dalam liputan LPP RRI Pro 3. Persoalannya kemudian adalah agenda liputan sering mencantel pada isu apa yang sedang hangat dan bukan pada agenda setting nasional yang telah dirumuskan oleh LPP RRI. Selain itu, diangkat tidaknya suatu tema untuk didialogkan dalam Indonesia Menyapa akan sangat ditentukan oleh narasumber. Jika narasumber cukup tersedia, maka tema akan diangkat dalam Indonesia Menyapa. Persoalannya kemudian adalah narasumber seringkali sulit dihubungi karena waktunya yang cukup singkat, terlebih pagi hari. Ketika peneliti melakukan studi partisipasi, tema Indonesia Menyapa ditentukan kurang dari 30 menit sebelum acara on air. Ketika isu dan juga narasumber diputuskan beberapa menit menjelang acara on air maka pembawa acara tidak mempunyai waktu yang cukup untuk menyusun agenda diskusi yang betul-betul merepresentasikan kepentingan publik. Persoalan lain menyangkut discourse practice adalah pembawa acara untuk Indonesia Menyapa terdiri dari tiga orang. Ketiga orang harus membawakan topik-topik yang beragam mulai dari politik, ekonomi, sosial, dan bahkan budaya. 150


Menyapa Publik Berjalin dengan waktu penentuan tema yang cukup singkat membuat pembawa acara kurang bisa mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan dan diskusi yang tajam. Padahal, roh dialog interaktif semacam itu sangat tergantung pada instrumen pertanyaan. Kemudian, tanpa didukung oleh data yang memadai maka akan menjadi lebih sulit untuk membawa diskusi lebih tajam dan bermakna bagi publik. Pada akhirnya, muncul kecenderungan dimana pertanyaan-pertanyaan dirumuskan dan berangkat dari pernyataan narasumber sehingga strategi wacana yang dikembangkan dan kepentingan-kepentingan yang coba direpresentasikan menjadi kabur. Ketiga, pada tingkatan sociocultural practice, penelitian menemukan bahwa, dalam konteks Indonesia Menyapa, praktik sosiocultural yang bisa diidentifikasi diantaranya adalah munculnya trends talking journalism dan usaha-usaha untuk membuat kontroversi sebagai satu-satunya nilai berita yang bisa diandalkan dan menarik kepentingan publik. Trends semacam ini sangat kuat terjadi di media massa swasta, dan tampaknya juga berimbas pada lembaga penyiaran publik seperti RRI. 3. Analisis Isi Kuantitatif Analisis kuantitatif lebih ditujukan untuk melihat objektivitas dalam program Siaran Dialog Interaktif Indonesia Menyapa. Berikut ini beberapa catatan: Pertama, analisis dengan menggunakan metode analisis isi ini menemukan bahwa sebagai program dialog interaktif masih terdapat siaran (5 item dialog) yang menunjukkan tidak ada partisipasi langsung atau interaksi dari pendengar selama acara dialog interaktif. Namun demikian mayoritas dialog sudah berusaha menampung berbagai pendapat, termasuk langsung dari pendengar. Jumlah pendengar yang berinteraksi pun sudah cukup baik (lebih dari 1 orang), meskipun terdapat beberapa edisi dialog yang menampilkan hanya satu pendengar. Kedua, program Dialog Interaktif Indonesia Menyapa umumnya telah menampilkan narasumber yang relevan dengan topik yang dibahas, namun 64,2% selama dialog berlangsung tidak terjadi interaksi antarnarasumber. Padahal, talkshow yang berkualitas menghendaki adanya interaksi antara narasumber dengan narasumber lain melalui mediasi penyiar. Interaksi ini mengindikasikan adanya keterbukaan dan keragaman dalam menyampaikan pendapat. Selain itu, interaksi antara narasumber juga menjadi esensi dari sebuah konsep dialog yang sejajar (egaliter). Ketiga, program Dialog Interaktif Indonesia Menyapa masih belum terbiasa memberikan solusi terbuka dari hasil dialog. Data penelitian menunjukkan bahwa 57,1% (16 item dialog) memberikan 151


Indonesia Menyapa tawaran solusi terbuka. Sedangkan 42,9% (12 item dialog) tidak terdapat solusi terbuka pada akhir dialog. Ini mengindikasikan hampir setengah dari diskusi dalam siaran Dialog Interaktif Indonesia Menyapa belum mempertegas adanya solusi alternatif dan ajakan untuk peduli terhadap persoalan yang sedang dibicarakan. Keempat, dilihat dari aktulitas tema yang ditampilkan sesuai dengan agenda publik, 100% (28 item dialog) mengangkat tema termasuk berkategori aktual dan sedang menjadi sorotan. Ini mengindikasikan bahwa pemilihan tema Dialog Interaktif Indonesia Menyapa sudah menunjukkan kriteria kualitas yang baik. Kelima, melihat porsi yang diberikan bagi masing-masing narasumber, tampak bahwa RRI masih perlu mengakomodasi suara masyarakat umum. Jika dibandingkan dengan porsi narasumber dari pemerintah dan pihak akademisi (16,9% dan 32,2%), maka angka 6,8% untuk suara masyarakat merupakan catatan penting sebagai kritik atas karakter RRI sebagai radio publik. Sebagai radio publik, RRI seharusnya memberikan ruang yang lebih banyak bagi masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya ketimbang ruang bagi kepentingan pemerintah. Keenam, untuk objektivitas yang dilihat dari balance dan netralitas, penelitian kuantitatif menemukan bahwa masih ditemukan unsur yang tidak dipenuhi, meskipun dalam persentase yang kecil. Misalnya, adanya dialog yang tidak cover both sides sebesar 4,5% (1 item dialog), tidak even handed evaluation sebesar 7,1% (2 item dialog); dan slant sebesar 3,6% (1 item dialog). Dari segi freedom of expression and comment dan source bias, program Dialog Interaktif Indonesia Menyapa menujukkan kinerja yang sangat baik, terlihat dari 100% (28 item dialog) terpenuhi Freedom of expression and comment dan 100% (28 item dialog) bebas dari source bias. Pada dimensi netralitas, masih ditemukan unsur pokok yang tidak dipenuhi, misalnya dramatisasi sebesar 3,6% (1 item dialog), adanya emosionalisme sebesar 7,1% (2 item dialog), adanya penggunaan personalisasi sebesar 7,1% (2 item dialog), adanya stereotype sebesar 7,1% (2 item dialog), adanya unsur juxtaposition sebesar 3,6% (1 item dialog), dan adanya linkages sebesar 7,1% (2 item dialog). Meskipun dalam persentase yang sangat kecil, adanya unsurunsur yang tidak terpenuhi dapat mengurangi nilai netralitas dialog interaktif yang ditampilkan. Meskipun demikian, satu aspek dari segi netralitas yang dilihat dari ada tidaknya jumping conclusion, Dialog Interaktif Indonesia Menyapa menujukkan kinerja yang sangat baik, terlihat dari 100% (28 item dialog) dialog yang tidak terjadi kesalahan penyimpulan.

152


Menyapa Publik B. SARAN Berdasarkan temuan penelitian, beberapa hal patut mendapatkan perhatian bagi perbaikan kualitas siaran Indonesia Menyapa di masa datang. Pertama, untuk memperbaiki framing, penyiar seyogianya memahami konsep framing dengan baik. Isu-isu publik hanya akan mempunyai makna bagi publik jika strategi framing juga diarahkan ke sana. Ini tidak semata menghadirkan publik dalam setiap sesi dialog, tetapi bagaimana sesi dialog betul-betul mendiskusikan sesuatu yang memang diarahkan untuk memperjuangkan kepentingan publik. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan. 1. Berkaitan dengan permasalahan dan isu yang diangkat. Isu yang diangkat tidak semuanya secara langsung bersentuhan dengan kehidupan masyarakat. Isu yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kehidupan masyarakat bisa diperdebatkan, tetapi cara isi pesan, melalui pembawa acara dan narasumber, memberi makna isu atau interpretasi peristiwa adalah sesuatu yang relatif bisa dilakukan dan dipelajari. 2. Rekomedasi yang berkaitan dengan perangkat pembingkaian. Secara umum, pembingkaian yang dilakukan dalam program Indonesia Menyapa sudah cukup baik. Pembingkaian tersebut dapat diperbaiki bila disadari bahwa interpretasi yang diberikan oleh RRI adalah penting bagi kehidupan publik. Hal ini menjadi lebih memiliki mandat bila merujuk pada eksistensi RRI sebagai media penyiaran publik. 3. Visual images adalah elemen yang penting dalam program ini. Indonesia Menyapa akan lebih kuat bila reportase langsung diperbanyak, begitu juga feature awal bisa diberikan sebelum narasumber berpendapat. Deskripsi yang bagus pada peristiwa dapat membangun kesadaran bahwa isu atau peristiwa yang diangkat adalah penting dalam kehidupan bersama. Justru penggambaran yang lengkap dan bagus akan lebih mengundang publik untuk berpartisipasi di dalam program. 4. Berkaitan dengan perangkat penalaran. Rekomendasi yang bisa diberikan adalah dengan kedalaman dan kelengkapan dari argumen yang digunakan untuk menjelaskan. Kejelasan posisi juga penting. Hal ini muncul dalam klaim moral dalam isi program. Klaim moral sebaiknya muncul di dalam kaitannya dengan prinsip kepublikan. 5. Rekomendasi terakhir adalah bersifat umum, yaitu berkaitan dengan visi yang lebih luas berkaitan dengan 153


Indonesia Menyapa prinsip kepublikan. Hal ini berkaitan dengan visi dan misi penyiaran publik yang terus-menerus diperkenalkan dan diinternalisasi oleh segenap awak RRI, terutama reporter. Penanggung jawab program juga berperan besar dalam hal merencanakan, menjalankan, dan mengawasi suatu program berita. Kedua, untuk analisis wacana, penyiar perlu menyadari arti penting bahasa dan bagaimana isu-isu dihadirkan dan diwacanakan dalam program Indonesai Menyapa. Ini bisa dilakukan melalui bagaimana sebuah peristiwa dideskripsikan, pilihan-pilihan kata, dan lain sebagainya. Analisis wacana kritis mempunyai muatan yang bersifat partisipatoris. Oleh karena itu, penting bagi penyiar dan pengelola Indonesia Menyapa untuk memahami dengan baik agar setiap isu yang diangkat selalu berpijak pada visi emansipatoris ini. Selain itu, penting juga bagi Indonesia Menyapa untuk memberi ruang yang lebih besar bagi publik. Ini karena, sebagai program dialog, program Indonesia Menyapa mestinya bisa bertindak sebagai ruang publik yang bebas dari intervensi negara dan bebas, menjadi ruang dimana persoalanpersoalan publik bisa didiskusikan dengan mengandalkan rasionalitas. Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh penyiar dan pengelola Indonesia Menyapa. 1. Perlu ada perubahan dalam teknik produksi. Selama ini, tema Indonesia Menyapa ditentukan beberapa jam atau bahkan detik sebelum mengudara dengan mencantel pada agenda setting sore sebelumnya. Pola produksi semacam ini tentu akan berpengaruh terhadap bagaimana isu dibahas. Mestinya, isu sudah ditetapkan jauh sebelumnya sehingga penyiar mempunyai cukup waktu untuk mempelajari isu. 2. Barangkali, penting bagi penyiar untuk berusaha memfokuskan diri pada pengetahuan spesifik, misalnya, dalam bidang ekonomi sehingga pertanyaan dan diskusi benar-benar tajam dengan strategi wacana yang terarah dengan baik. Tanpa itu, maka diskusi akan sangat tergantung pada narasumber. Namun, jika hal ini tidak dapat dilakukan, maka penyiar dan narasumber harus didukung oleh suatu tim yang kuat dimana tim tersebut membahas isu apa yang diangkat dan bagaimana isu tersebut hendak diangkat. Selain itu, tim juga membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan diskusi yang tajam. 3. Dalam bahasa yang lebih singkat, wacana adalah persoalan bahasa. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi penyiar untuk menguasai seluk-beluk dalam pengertian praktik sosial. LPP RRI sebagai radio publik mestinya terinternalisasi dalam praktik kewacanaannya ketika mendiskusikan 154


Menyapa Publik persoalan-persoalan publik. Oleh karena itu, penyiar dan pengelola program Indonesia Menyapa hendaknya menyadari konsekuensi-konsekuensi penggunaan bahasa sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Ketiga, objektivitas dalam membangun dialog Indonesia Menyapa, secara umum sudah sangat baik. Cover both side hampir selalu dilakukan. Namun, ada beberapa yang perlu diperbaiki diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Masih banyak dialog yang tidak menemukan solusi terbuka sehingga dialog menjadi seperti obrolan biasa. Oleh karena itu, pada masa datang, hal ini perlu diperbaiki. 2. Narasumber yang terlalu dominan dari pemerintah, pengamat, dan akademisi. Suara publik dalam pengertian orang-orang biasa tidak cukup mendapatkan tempat. Padahal, sebagai radio publik, mestinya, mereka diberi kesempatan yang kurang lebih sama dengan para pakar. Untuk itu, di masa datang, narasumber publik harus diberi kesempatan yang lebih luas. 3. Terakhir, perlu lebih dipertajam interaksi antarnarasumber sehingga dialog tidak terkesan sebagai wawancara.

155



DAFTAR PUSTAKA David Crowley dan David Mitchel (eds.). Communication Theory Today. Polity Press Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS Fairclough, Norman. 1995. Media Discourse. London, New York: Edward Arnold. Gazali, Effendi. 2002. Penyiaran Alternatif tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. ----------. 2002. Analisis Framing. Yogyakarta: LkiS Jorgensen, Marianne W dan Louise J. Phillips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. Australia, Canada, Meksiko, Singapore, Spain: Thomson Wadsworth. Masduki. 2001. Jurnalistik Radio: Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta. McQuail, Denis. 1992. Media Performance: Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications. ---------------------------.1994. “Mass Communication and the Public Interest: Towards Social Theory for Media Structure and Performance”. Dalam Merril, John C.. 2005. “Professionalization: Fusion of Media Freedom and Responsibility” , Global Media Journal, volume 4, Issue 6, Spring 2005 O’ Donell, Lewis B; Phillip Benoit, and Carl Hausman. 1990. Modern Radio Production, Second Edition. California. Wadsworth, Inc. Rianto, Puji. 2005. “Jurnalisme dalam Tatanan Neoliberal dan Krisis Demokrasi”, Jurnal Ilmu Sosial Politik, Volume 9, No. 1, Juli 2005. Hal. 113-130.



Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.