Melacak Ideologi Jurnalis RRI

Page 1


MELACAK IDEOLOGI JURNALIS LPP RRI


MELACAK IDEOLOGI JURNALIS LPP RRI Penanggung Jawab Sunarya Ruslan Ketua Dakhril Sekretaris Diran Peneliti Utama Puji Rianto Wisnu Martha Adiputra Iwan Awaluddin Yusuf Peneliti Lapangan Anna Susilaningtyas E. Wendratama Dyna Herlina Suwarto Intania Poerwaningtias Maulin Ni’am Reny Indrawati

PUSLITBANGDIKLAT LPP RRI-PKMBP 2010


MELACAK IDEOLOGI JURNALIS LPP RRI Penulis

: Puji Rianto Wisnu Martha Adiputra Iwan Awaluddin Yusuf

Desain Sampul

: Dhanan Arditya

Tata Letak

: I Poerwaningtias

Cetakan I, September 2010 Diterbitkan oleh

: Puslitbangdiklat LPP RRI dan Pusat Kajian Media dan Budaya Populer Yogyakarta

ISBN 978-979-16770-6-6


Kata Pengantar

Perubahan status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik mensyaratkan perubahan pula pada kebijakan redaksi. Siaran RRI harus bisa menunjukkan keberpihakannya pada publik karena memang itulah yang harus dilakukan oleh RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Buku Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI ini merupakan hasil penelitian Puslitbangdiklat LPP RRI yang dikerjakan oleh Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP). Penelitian dilakukan untuk memetakan pengetahuan wartawan RRI tentang lembaga penyiaran publik yang melekat sebagai status RRI; mengetahui pemahaman wartawan LPP RRI berkenaan dengan eksistensi LPP RRI sebagai lembaga penyiaran publik; serta, mengetahui orientasi dan etika profesional wartawan LPP RRI. Dalam buku ini, ada 30 responden yang terdiri dari 20 reporter dan 10 redaktur. Pemahaman wartawan RRI yang diwakili oleh 30 responden ini tentang makna publik sudah lumayan dipahami. Ada empat pemahaman mengenai publik yang disebut oleh responden. Pertama, pendengar RRI. Kedua, masyarakat. Ketiga, sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu. Dan keempat, keseluruhan anggota masyarakat yang seharusnya dilayani oleh lembaga penyiaran publik seperti kelompok-kelompok dan lain-lain. Penelitian ini bisa kita jadikan bahan acuan bagaimana kita menyiapkan diklat untuk wartawan LPP RRI. Diklat ini meliputi pendidikan dasar untuk reporter, pendidikan dasar untuk presenter, dan barang kali untuk redaktur. Bagaimanapun, menjadi wartawan media penyiaran—LPP RRI—tidaklah mudah. Menurut saya wartawan adalah orang yang bertugas mulai dari mencari, mendapatkan, mengumpulkan, mengolah dan menyiarkan informasi dengan pemahaman lengkap. Oleh karena itu, perlu ada jenjang pendidikannya. Mulai dari pelatihan bagaimana mencari, mendapatkan, mengolah dan baru menyiarkan berita. Begitu pun dengan redaktur karena menjadi redaktur tidaklah mudah. Redaktur adalah reporter senior yang diberi pendidikan dasar penyuntingan, tidak otomatis reporter senior langsung jadi


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

redaktur. Redaktur mesti dipegang oleh orang yang matang dan punya pengalaman. RRI bukan lagi corong pemerintah karena kini RRI adalah radio publik. Tetapi, bukan berarti pula kita musuh pemerintah. Tugas wartawan hanya menyampaikan fakta, just to review the fact. Dari sinilah diperlukan kecerdasan tertentu untuk menjadi wartawan, presenter, reporter. Kalau tidak, bisa terjadi miss leading, salah kesimpulan. Untuk menjadi wartawan yang baik, selain memahami apa itu publik, wartawan juga harus memahami apa itu Pancasila, UUD 1945, Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002, PP No. 11, PP No. 12, Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999, serta UU ITE No. 11 Tahun 2008. Wartawan juga harus memiliki pemahaman politik yang baik terkait isu-isu daerah, nasional, maupun internasional. Oleh karena itu, menjadi wartawan RRI berarti harus bisa menempatkan diri, kapan sebagai wartawan LPP RRI dan kapan menjadi pribadi. Kapan bisa menyampaikan pendapat pribadi dan kapan menyampaikan pendapat lembaga. LPP RRI juga merupakan lembaga penyiaran publik yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Karena itu, wartawan RRI juga perlu memahami kesepakatan lokal atau local wisdom yang ada di masingmasing daerah. Saya kira syarat-syarat menjadi wartawan LPP RRI yang baik mesti dirumuskan kembali oleh lembaga ini. Sehingga menjadi modal yang baik bagi LPP RRI ke depan. Perubahan RRI menjadi lembaga penyiaran publik masih memiliki tantangan besar. Sementara pemahaman pemerintah dan masyarakat terhadap lembaga penyiaran publik pun masih sangat minim. Karena itu, kewajiban kita lah untuk terus memperbaiki diri sehingga RRI sebagai lembaga penyiaran publik dapat berjalan dengan baik. Harapan saya, buku—hasil penelitian—ini bisa menjadi salah satu acuan kita untuk merumuskan kebijakan dasar ke arah mana pemberitaan LPP RRI ini akan diarahkan. Sekali di udara, tetap di udara! Jakarta, Juli 2010 Direktur Utama LPP RRI Parni Hadi

vi


Kata Pengantar

Sejak diberlakukannya UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, Radio Republik Indonesia (RRI) telah berubah status menjadi lembaga penyiaran publik. Tentu saja, perubahan ini merupakan kesempatan dan sekaligus tantangan bagi segenap pengelola RRI. Status RRI sebagai lembaga penyiaran publik atau yang sekarang lebih dikenal sebagai LPP RRI, akan lebih membuka peluang bagi RRI untuk melayani kepentingan masyarakat dalam pengertian seluas-luasnya. LPP RRI dapat mengambil peran yang lebih besar atau bahkan menjadi “garda depan� dalam setiap perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik. Sebagai lembaga penyiaran publik maka tugas RRI jelas menjadi semakin berat. Ia tidak hanya dituntut untuk independen, tetapi juga harus mendidik masyarakat. Didasari pada kenyataan ini, maka peran Jurnalis RRI, dalam hal ini reporter, sebagai ujung tombak dari output siaran yang dihasilkan, dituntut harus mampu menginternalisasikan hak dan kewajiban atas status yang disandangnya, beserta norma dan nilai-nilainya. Sebagai Lembaga Penyiaran Publik, RRI hadir untuk melayani kepentingan publik. Oleh karenanya, LPP RRI harus mampu menjaga netralitas, objektivitas dan independensinya. Perubahan orientasi pemikiran dan etika profesi dari paradigma lama, kurang lebih 30 tahun lamanya, ke paradigma baru, sebagai Lembaga Penyiaran Publik, menuntut adanya perubahan mindset, yang prosesnya tidaklah mudah. Apakah perubahan institusional RRI sebagai lembaga penyiaran publik telah dipahami dengan baik oleh para reporternya, yang kemudian berpengaruh pada orientasi dan etika profesionalnya. Di sisi lain, apakah RRI sebagai institusi telah memberikan ruang bagi sosialisasi nilai-nilai, yang dalam hal ini sebagai lembaga penyiaran publik. Latar belakang inilah yang mendorong Bidang Litbang Puslitbangdiklat melakukan penelitian “Pemahaman Jurnalis RRI terhadap Peran dan Fungsi RRI sebagai Radio Publik.�.

vii


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Kita mengetahui tugas Puslitbangdiklat sebagaimana digariskan dalam Peraturan Dewan Direksi (LPP RRI) No. 001/PER/Direksi/2006 tanggal 10 November 2006, pasal 98 yaitu melaksanakan penelitian, pengembangan, serta pendidikan dan pelatihan di lingkungan RRI. Oleh karena itu, tentunya diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan yang berguna bagi pengembangan LPP RRI di masa datang, utamanya dalam rangka terus memaksimalkan peranan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Penelitian ini, barangkali, tidak akan pernah terwujud tanpa bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselenggaranya penelitian ini, yaitu, rekan-rekan peneliti dan asisten peneliti dari Pusat Kajian Media dan Budaya Populer (PKMBP) Yogyakarta, yang telah berkenan melakukan penelitian, teman-teman reporter di 10 locus penelitian di Jawa dan Bali, yang telah meluangkan waktu untuk diwawancara selama proses penelitian ini berlangsung, serta banyak pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Jakarta, 15 Juli 2010 Kapuslitbangdiklat LPP RRI

Ir. H. Sunarya Ruslan, MSEE

viii


DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................

v

Kata Pengantar............................................................

vii

DAFTAR ISI.................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN..................................................

1

A.

Latar Belakang..................................................

1

B.

Tujuan Penelitian...............................................

4

C.

Manfaat Penelitian.............................................

4

D.

Metodologi Penelitian..........................................

4

BAB II LANDASAN TEORI...............................................

7

A.

Mendefinisikan Lembaga Penyiaran Publik.................

8

B.

Kepentingan Publik dalam Lembaga Penyiaran Publik....

9

BAB III ANALISIS KUALITATIF PEMAHAMAN JURNALIS TERHADAP PERAN DAN FUNGSI RRI SEBAGAI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK...

15

A.

Reporter..........................................................

15

B.

Redaktur..........................................................

37

BAB IV ANALISIS KUANTITATIF PEMAHAMAN JURNALIS TERHADAP PERAN DAN FUNGSI RRI SEBAGAI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK...

49

A.

Profil Responden................................................

50

B.

Deskripsi Jawaban Responden................................

54

C.

Pemahaman Jurnalis terhadap RRI sebagai LPP............

62

D.

Pembobotan (Skoring).........................................

71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.......................................

77

A.

Kesimpulan......................................................

77

B.

Saran.............................................................

81

DAFTAR PUSTAKA.........................................................

83

ix



BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Dari sudut pandangan teoritik (Lihat Shoemaker dan Reese, 1996), keluaran berita yang disiarkan oleh suatu institusi media (RRI, misalnya) akan sangat ditentukan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah individu reporter atau jurnalis. Dalam kaitan ini, ada 3 aspek dari diri jurnalis yang bisa digunakan untuk menelisik jejak personal jurnalis dalam memengaruhi berita yang mereka hasilkan. Pertama, latar belakang dan karakteristik jurnalis yang meliputi gender, etnisitas, orientasi seksual, sosioekonomi darimana jurnalis itu berasal, pengalaman karir dan terakhir latar pendidikan. Kedua, sikap personal yang meliputi nilai personal (personal value) dan sikap politik personal (personal political attitudes). Ketiga, orientasi atau konsep yang dimiliki reporter atas peran dan etika profesinya. Menurut Shoemaker dan Reese, orientasi berkenaan dengan pandangan bahwa pekerjaan reporter terpisah dari sikap personal, nilai dan kepercayaan jurnalis. Orientasi tentang peran dan etika profesi ini utamanya terbentuk dalam lingkungan kerja (atau pendidikan profesi) melalui proses sosialisasi. Merujuk Breed (1960), Shoemaker dan Reese mengemukakan bahwa sosialisasi merujuk pada proses dimana jurnalis baru menemukan dan menginternalisasikan hak dan kewajiban atas status yang disandang beserta norma dan nilai-nilainya. Jurnalisjurnalis baru ini biasanya belajar memahami apa yang diinginkan oleh organisasinya dengan cara ‘osmosis’, menyerap pengetahuan secara langsung, misalnya, dengan mendengarkan diskusi pro dan kontra diantara senior tentang beragam berita. Kemudian, dari proses editing, jurnalis belajar untuk tahu berita macam apa yang diterima atau informasi macam apa yang secara konsisten dihapus. Sementara itu, kebijakan kadang disampaikan melalui gosip di sela pekerjaan atau obrolan ringan dengan senior setelah jam kerja. Informasi kebijakan


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

juga disampaikan tidak hanya dari apa yang diucapkan oleh pimpinan, tetapi juga apa yang tidak terucap oleh mereka. Keseluruhan proses ini, pada akhirnya, akan mendorong terjadinya proses ideologisasi di kalangan jurnalis. Merujuk pendapat Shoemaker dan Reese di atas, memahami orientasi atau konsep yang dimiliki reporter atau jurnalis mengenai peran dan etika profesinya menjadi penting. Alasannya, bukan saja reporter dapat dikatakan sebagai “garda depan” dalam proses produksi berita, tetapi, dalam konteks RRI, yang lebih penting adalah terjadinya pergeseran yang bersifat ideologis dari yang awalnya merupakan lembaga penyiaran pemerintah, dan karenanya bertindak sebagai “corong” pemerintah untuk kemudian bertransformasi menjadi lembaga penyiaran publik. Kedua jenis lembaga penyiaran ini secara substansial mempunyai perbedaan yang sangat jelas. Lembaga penyiaran pemerintah lebih diorientasikan sebagai “corong” demi kepentingan kekuasaan. Oleh karena itu, isi siarannya acapkali bersifat propaganda, dalam pengertian hanya merepresentasikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Warga negara yang seharusnya dilayani oleh media menjadi dipinggirkan. Sebaliknya, lembaga penyiaran publik justru mengabdi kepada kepentingan publik. Lembaga penyiaran publik ada untuk melayani kebutuhan dan kepentingan publik. Oleh karena itu, lembaga penyiaran publik harus menjaga netralitas, objektivitas, dan independensinya. Ini dilakukan agar lembaga penyiaran publik mampu melaksanakan peran tersebut. Tentunya, pergeseran tersebut tidak begitu saja diikuti oleh perubahan orientasi dan etika yang cepat di kalangan jurnalis RRI. Ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa RRI telah menjadi lembaga penyiaran pemerintah selama hampir kurang lebih 30 tahun. Dalam rentang waktu yang sangat lama tersebut, sangat mungkin telah terjadi proses internalisasi nilai dan etika yang sangat kuat di kalangan jurnalis untuk senantiasa merepresentasikan diri demi kepentingan pemerintah, dan bukannya sebaliknya. Dalam konteks ini, perubahan orientasi dan etika profesinya memerlukan juga perubahan mind set, yang prosesnya tidaklah mudah. Oleh karena itu, mengetahui bagaimana orientasi dan etika profesi reporter LPP RRI dalam kerangka lembaga penyiaran publik adalah penting. Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, para reporter memahami apa yang diharapkan oleh organisasi dan bagaimana peran yang seharusnya mereka laksanakan melalui proses sosialisasi. Ada hubungan yang erat antara ideologi organisasi dan kebijakan-kebijakan organisasi


PENDAHULUAN

dengan orientasi dan sikap profesional reporter. Reporter-reporter yang bekerja dalam organisasi-organisasi media yang profesional yang selalu mengabdi kepada kepentingan pembaca, penonton ataupun pendengar maka para jurnalisnya akan cenderung berorientasi ke arah sana. Mereka akan menolak amplop, hadiah atau apapun yang akan mempengaruhi berita yang mereka tulis kecuali demi kepentingan khalayaknya. Dalam situasi semacam ini, pertanyaan mengenai bagaimana pemahaman jurnalis atau reporter LPP RRI berkenaan dengan eksistensi RRI sebagai lembaga penyiaran publik menarik untuk dijawab. Dalam kaitan ini, apakah perubahan institusional RRI sebagai lembaga penyiaran publik telah dipahami dengan baik oleh para reporternya yang kemudian berpengaruh pada orientasi dan etika profesionalnya? Pertanyaan berikut yang layak dijawab adalah dari manakah reporter memahami atau bahkan menginternalisasi orientasi dan etika profesional mereka sehingga, bahkan, bertransformasi menjadi sebuah kesadaran ideologis? Kemudian, apakah LPP RRI sebagai institusi telah memberikan ruang bagi sosialisasi nilai-nilai, yang dalam hal ini RRI sebagai lembaga penyiaran publik? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi semakin relevan untuk dijawab jika dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian Puslitbangdiklat terdahulu. Penelitian Puslitbangdiklat sebelumnya (2009 dan 2010) menemukan bahwa berita-berita yang disiarkan RRI sudah jauh lebih objektif dan independent, tetapi narasumber dan praktik wacananya masih berorientasi pada elit, baik pemerintah maupun partai politik. Dalam menyiarkan berita pemilu legislatif tahun 1999, framing berita RRI menempatkan pemilu sebagai kejadian atau peristiwa penting. Pemilu digambarkan sebagai sebuah “pesta demokrasi�. Namun, pembingkaian pemilu sebagai peristiwa besar tersebut belum memiliki bingkai kepentingan publik yang solid, terutama dalam kaitannya dengan status RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Elit politik menjadi kelompok yang paling banyak direpresentasikan, sedangkan kelompok akar rumput belum terepresentasi dengan baik. Analisis isi kuantitatif juga menegaskan hal ini dimana lebih dari 75% narasumber berita pemilu legislatif berasal dari elit, sedangkan masyarakat biasa hanya sebesar 2% saja dari keseluruhan berita yang dianalisis. Jikapun kelompok masyarakat bawah direpresentasikan dalam berita pemilu, maka keberadaan hanya menjadi justifikasi kesalahan elit. Ini terjadi karena, pada tingkatan discourse practice, ideologi RRI sebagai lembaga penyiaran publik belum terinternalisasi dengan baik. Sistem rekruitmen, pendidikan, dan juga jenjang karir mempengaruhi orientasi dan etika profesional jurnalis yang pada akhirnya berimbas pada output berita yang dihasilkan.


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

B.

Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk meraih tujuan-tujuan berikut: 1. Melakukan pemetaan atas pengetahuan reporter/reporter mengenai lembaga penyiaran publik 2. Mengetahui pemahaman reporter/reporter LPP RRI berkenaan dengan eksistensi LPP RRI sebagai lembaga penyiaran publik 3. Mengetahui orientasi dan etika profesional reporter/reporter LPP RRI

C.

Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapkan memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di LPP RRI berkenaan dengan usaha peningkatan profesionalisme reporter LPP RRI, khususnya dalam kerangka lembaga penyiaran publik 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Puslitbangdiklat untuk pengembangan kurikulum pelatihan jurnalis yang berorientasi pada lembaga penyiaran publik

D.

Metodologi Penelitian 1. Sifat dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif atau sering disebut sebagai metode triangulasi (Bryman, 2002). Menurut Bryman (2002: 88), ide triangulasi berasal dari ide tentang “multiple operationalism� yang mengesankan bahwa kesahihan temuan-temuan dan tingkat konfidensinya akan dipertinggi oleh pemakaian lebih dari satu pendekatan pengumpulan data. Namun, dalam perkembangannya, triangulasi tidak hanya sebatas pada triangulasi pada tingkatan teknik pengumpulan datanya (kualitatif dan kuantitatif), tetapi melibatkan juga triangulasi metode. Menurut Brannen (2002: 11), perbedaan antara paradigma kualitatif dan kuantitatif adalah pada perbedaan-perbedaan dalam memperlakukan data. Peneliti kualitatif bergerak dari konsepkonsep umum, yang karena kemajuan penelitian mengubah konsepkonsep mereka, sedangkan pada peneliti kuantitatif menyisihkan dan menentukan variabel dan kategori-kategori variabel. Variabel ini secara bersama-sama terkait dengan hipotesis yang dikembangkan sebelum data penelitian atau penelitian dikerjakan. Selain itu, biasanya, teknik pengumpulan dan data-data yang dikumpulan masing-masing pendekatan berbeda. Penelitian kualitatif mempunyai


PENDAHULUAN

kekayaan dalam kata-kata, sedangkan dalam penelitian kuantitatif dalam angka-angka. Untuk mempertajam hasil penelitian, metode triangulasi diterapkan tidak hanya pada tataran teknik pengumpulan data, tetapi juga metode. Konsekuensinya, teknik pengumpulan data dan jenis data yang dihasilkan mempunyai perbedaan-perbedaan yang jelas. Demikian juga, teknik analisis yang digunakan. Masing-masing metode menggunakan teknik analisis penelitian yang berbeda sesuai dengan garis metode masing-masing. 2. Teknik Pengumpulan Data dan Sampel Penelitian Indepth interview akan dilakukan terhadap 30 orang reporter/ reporter yang diambil dari 10 kota yang dijadikan sampel penelitian. Pada masing-masing kota, akan dilakukan indepth interview terhadap satu orang redaktur dan dua orang reporter. Pilihan ini didasarkan pada asumsi bahwa redaktur dan reporter mempunyai tugas yang berbeda dimana redaktur lebih berkaitan dengan hal-hal yang bersifat konseptual, misalnya, berkaitan dengan pilihan berita dan angle yang diambil. Latar belakang atau alasan di balik pilihan-pilihan tersebut mestinya akan lebih bersifat ideologis, yang dalam hal ini dipengaruhi oleh orientasi dan etika profesional jurnalis dalam kerangka RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Kemudian, untuk mempertajam hasil penelitian kualitatif, penelitian ini juga menggunakan metode survei. Sampel penelitian diambil secara purposif di sepuluh kota yang dijadikan sampel penelitian, yakni Bandung, Jakarta, Cirebon, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sumenep, Denpasar, dan Mataram. Kuisioner dibagikan kepada 10 responden di masing-masing kota. Kemudian, oleh karena sampel diambil secara purposif maka hasil-hasil penelitian ini tidak untuk generalisasi. Sebaliknya, hasil riset survei ini hanya akan sebatas pada usaha menggambarkan trend yang ada dalam sepuluh kota yang dijadikan sampel penelitian. Meskipun demikian, dengan berbagai kriteria yang diajukan dalam pengambil sampel, diharapkan hasil penelitian ini tidak akan berbeda jauh dengan penelitian jika seandainya dilakukan penelitian dengan menggunakan teknik sampling secara random. Suatu teknik yang biasa digunakan untuk melakukan generalisasi penelitian. 3. Teknik Analisis Data Oleh karena penelitian ini menggunakan metode triangulasi


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

dimana triangulasi dilakukan tidak hanya sebatas teknik pengumpulan data, tetapi juga metode maka teknik analisis data akan berangkat pada dua tradisi penelitian yang berbeda. Pada analisis kualitatif, data akan dianalisis dengan menggunakan prinsip-prinsip kualitatif sebagaimana telah banyak disampaikan dalam buku-buku metode analisis kualitatif (Miles dan Huberman, 1992; Lincoln dan Guba, 1994; Newman, 2001). Menurut Miles dan Huberman (1992: 16), analisis data meliputi tiga langkah yang saling berkaitan, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan kasar di lapangan. Pada tahap ini, data akan disederhanakan dan dikoding berdasarkan pada argumentasi teoritik dan hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian. Koding dilakukan dalam keseluruhan hasil wawancara yang sudah ditranskrip agar dapat dilihat berbagai pendapat atau pandangan yang mendukung maupun yang bertentangan dengan hipotesis penelitian ini. Langkah berikutnya adalah penyajian data. Data yang bersifat kualitatif dalam bentuk hasil wawancara akan disampaikan secara naratif dengan lebih menekankan pada aspek “why� dalam setiap pilihan-pilihan pendapat atau tindakan yang diberikan atau dilakukan oleh informan. Penyajian data akan dilakukan dengan melihat pola-pola yang ada, termasuk perbedaan-perbedaan pendapat yang mungkin muncul dalam setiap item pertanyaan. Tahap terakhir dalam analisis data menurut Miles dan Huberman adalah kesimpulan atau verifikasi. Data-data kualitatif yang telah disajikan secara naratif akan disimpulkan berdasarkan daftar pertanyaan dan hipotesis yang disusun dalam penelitian ini. Selain itu, demi validitas penelitian, verifikasi akan selalu dilakukan dalam setiap data yang ada sehingga hasil-hasil penelitian benarbenar bisa dihandalkan. Penelitian survei di sisi lain tidak menggunakan langkah-langkah analisis data kualitatif sebagaimana dipaparkan di atas. Oleh karena penelitian survei hampir selalu berkenaan dengan angka-angka, maka data yang didapat dari penyebaran kuisioner akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data statistik (SPSS). Data akan dipaparkan secara deskriptif, sedangkan untuk beberapa item pertanyaan yang relevan, akan dilakukan crosstab. Crosstab dilakukan guna mencari hubungan diantara pertanyaan survei sehingga analisis data akan lebih tajam.


BAB II LANDASAN TEORI

Dalam Mass Communication Theory, Denis McQuail (2005: 192) mengemukakan bagaimana menganalisis cara beroperasi organisasi media. Menurutnya, “operasi� media terdiri dari tiga level, yaitu struktur, cara bertindak (conduct), dan kinerja (performance). Struktur merujuk pada semua hal yang berhubungan dengan sistem media, termasuk bentuk organisasi media, aspek keuangan, kepemilikan, bentuk regulasi, infrastruktur, fasilitas distribusi, dan sebagainya. Struktur media tidak hanya ditentukan oleh institusi media sendiri, bahkan media bisa dikatakan bukan sebagai pihak yang menentukan struktur secara dominan. Struktur media adalah bentukan atau hasil dari interaksi dengan berbagai elemen kuasa eksternal, terutama negara dan pemerintah yang menyusun regulasi. Struktur media penyiaran Indonesia terutama dibentuk oleh Undang Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang antara lain mengatur eksistensi lembaga penyiaran publik. Sayangnya, regulasi tersebut tidak cukup mendetail. Pembedaan media publik dan media swasta bukanlah semata pembedaan atas target audiens, warga dengan konsumen, walau memang kemunculan layanan media publik antara lain sebagai penyeimbang dari perkembangan media swasta yang sangat cepat (Franklin, et.al., 2005: 213). Sementara cara bertindak atau tata kerja adalah segala hal yang berkaitan dengan “tindakan� pelaku media dalam level organisasional, termasuk metode menyeleksi dan memproduksi konten, keputusan editorial, kebijakan untuk pasar, interaksi dengan berbagai pihak, semisal pengiklan, prosedur akuntabilitas, dan lainnya. Terakhir, kinerja secara substantif merujuk pada konten, pada sesuatu yang ditujukan pada audiens atau pengakses. Level terakhir ini sudah pernah diakses melalui riset-riset sebelumnya.


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

A.

Mendefinisikan Lembaga Penyiaran Publik

Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendefinisikan lembaga siaran publik sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat (lihat pasal 14 (1)). Lembaga penyiaran publik biasanya mempunyai sedikitnya enam fungsi (McQuail, 2000), yakni (1) media penyiaran publik menjangkau secara universal seluruh wilayah geografis; (2) menyajikan keberagaman selera, kepentingan, kebutuhan, dan juga keberagaman pendapat dan kepercayaan; (3) melayani kelompok-kelompok minoritas; (4) memberi perhatian terhadap budaya nasional, bahasa, dan identitas bangsa; (5) melayani kebutuhan sistem politik dengan menghargai prinsip yang berimbang, imparsial terhadap isu-isu konflik; dan terakhir (6) media penyiaran publik memberikan perhatian khusus pada kualitas isi media. Kemudian, untuk dapat melaksanakan keenam fungsi di atas, sebuah lembaga siaran publik harus melaksanakan enam prinsip dasar (Peterson, 2001: 25-26), yakni: Pertama, radio publik harus tersedia bagi seluruh masyarakat. Dalam konteks ini, siaran RRI harus menjangkau seluruh warga negara serta mengikuti prinsip pelayanan kepada masyarakat secara demokratis. Kedua, radio publik harus merefleksikan selera dan minat masyarakat. Sebagai radio publik, RRI diharapkan mampu merefleksikan berbagai selera dan minat masyarakat meskipun tidak bisa diharapkan memuaskan semua pihak. Ketiga, radio publik harus ditujukan untuk semua warga negara secara independen terlepas dari posisi sosial, politik maupun agama mereka. Konsekuensi atas prinsip ini bahwa lembaga penyiaran publik harus melayani dan memberi akses yang sama terhadap kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat, sesuatu yang acapkali dilupakan oleh lembaga siaran swasta karena alasan-alasan ekonomis periklanan. Keempat, lembaga siaran publik harus mempunyai komitmen pendidikan masyarakat; dan kelima lembaga siaran publik harus dilepaskan dari kepentingan pribadi (vested interest) (Peterson, 2001: 25-26). Dengan melihat kelima prinsip di atas, tampak bahwa ada perbedaan mendasar antara lembaga penyiaran publik dengan lembaga penyiaran swasta atau pemerintah. Lembaga penyiaran publik harus tersedia bagi seluruh warga negara tanpa kecuali. Sementara dalam lembaga penyiaran swasta, orientasi pemenuhan siaran adalah dalam rangka melayani kebutuhan dan kepentingan pasar atau


LANDASAN TEORI

pendengar dalam pengertian ekonomi. Di sisi lain, lembaga penyiaran pemerintah berorientasi melayani kepentingan-kepentingan birokrasi pemerintahan. Di sini, akan ditentukan program-program acara yang diorientasikan untuk menciptakan agenda setting sesuai dengan agenda dan kepentingan pemerintah. Dalam konteks ini, baik lembaga penyiaran swasta maupun pemerintah tidak menempatkan publik atau warga negara sebagai pihak yang harus dilayani, tetapi mereka menjadi objek yang dijual kepada pengiklan dalam lembaga penyiaran swasta ataupun target propaganda dalam lembaga penyiaran pemerintah. Program-program yang dikembangkan oleh lembaga penyiaran publik sebagaimana peran dan fungsinya tentunya juga berbeda dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta maupun komunitas. Menurut Gazali (2002: 57), lembaga penyiaran publik didirikan dalam rangka meraih visi untuk memperbaiki kualitas kehidupan publik, kualitas kehidupan suatu bangsa, dan juga kualitas hubungan antarbangsa pada umumnya. Sementara misi lembaga penyiaran publik adalah menjadi form diskusi, artikulasi, dan pelayanan kebutuhan publik. Kemudian, dalam rangka meraih misi dan visi tersebut, lembaga penyiaran publik biasanya membuat program yang tidak saja menghibur, tetapi yang lebih penting adalah memberikan pendidikan dan pencerahan. Beberapa program diantaranya adalah program pendidikan, kebudayaan, dan berbagai informasi yang mendorong perkembangan masyarakat. Lembaga penyiaran publik melayani segenap masyarakat, terutama kelompok-kelompok masyarakat yang tidak tersentuh oleh lembaga penyiaran swasta. Oleh karena itu, salah satu prinsip utama lembaga penyiaran publik adalah bahwa penyiaran tersebut menyentuh seluruh anggota masyarakat, melayani kebutuhan-kebutuhan mereka akan informasi dan hiburan. B.

Kepentingan Publik dalam Lembaga Penyiaran Publik

Pada dasarnya aktivitas media, terutama bila berkaitan dengan berita atau pesan faktual memang semestinya merujuk pada kepentingan publik. Pelaku media misalnya, setiap tindakan profesionalnya mesti sesuai dengan prinsip kepentingan publik (Hohenberg, 1978: 519). Begitu pun dengan organisasi media, pada dasarnya, media publik atau bukan, semua media yang memproduksi pesan faktual pada prinsipnya mesti memenuhi kepentingan publik sebab sangat menentukan kinerja organisasi media tersebut (McQuail, 1992: 11). Di sini, akan selalu muncul apa yang dimaksud dengan publik itu? Sebagai kata kunci dalam merumuskan public broadcasting,


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

tidaklah mudah sebenarnya untuk mendefinisikan istilah tersebut. Di Indonesia, istilah publik seringkali disalah mengerti, terutama dalam wacana media. Misalnya, publik disamakan dengan masyarakat. Padahal, keduanya berbeda. Masyarakat merupakan suatu kesatuan sosial (Saifudidin, 2005: 23). Ia bisa didekati dengan berbagai paradigma seperti yang biasa berlaku dalam ilmu sosiologi atau antropologi seperti paradigma struktural fungsional, konflik dan sebagainya (Saifuddin, 2005; Jones, 2009). Publik juga sering dilekatkan pada suatu hal dengan makna yang kurang pas. Publik dalam istilah “public figure�, misalnya, digunakan untuk merujuk kepada orang yang semata-mata dikenal, sebagai artis. Oleh karena itu, setiap artis adalah publik figure meskipun kehidupannya tidak berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kepublikan atau kemaslatan bersama. Dalam perspektif teoritik, terdapat banyak cara bagaimana publik didefinisikan. Lawrence Grossberg et.al (2006: 378), misalnya, mengemukakan bahwa publik dapat dipikirkan dalam banyak cara. Pertama, publik dipahami sebagai bukan pribadi (public as the notprivate), yang bersifat terbuka, bisa diobservasi dan diakses oleh yang lain seperti dapat dirumuskan dalam frase “terbuka untuk publik�. Kedua, menurut Grossberg et.all., publik juga bisa dipahami sebagai umum (general), misalnya, dalam konsep opini publik atau public interest yang biasa diterjemahkan sebagai pendapat umum atau kepentingan umum. Ketiga, publik dipahami sebagai komunal atau diatur atau dimiliki pemerintah. Berdasarkan cara pandang ini, Grossberg et.all kemudian menyimpulkan bahwa istilah publik mempunyai implikasi keterbukaan (oppenness), komunitas, warga negara, diskusi, dan debat. Selanjutnya, menurut Grossberg et.all, diskusi berkenaan dengan hubungan antara media dengan publik dapat didiskusikan dalam beberapa tingkatan dengan mengacu pada istilah-istilah ini. Dengan merujuk kesimpulan Grossberg et.all di atas, publik dalam kerangka public broadcasting harus diterjemahkan sebagai warga negara dan komunitas. Publik sebagai warga negara (citizen) mesti dilihat dalam kerangka sistem politik demokrasi. Ketika RRI menyiarkan berita-berita politik, misalnya, maka pada dasarnya hendak menempatkan publik RRI sebagai warga negara. Media atau dalam konteks ini RRI menjadi jembatan antara penyelenggara negara dan warga negara dalam proses komunikasi politik yang termediasi (lihat Bennet dan Entman, 2001). Komunitas, di sisi yang lain, dapat didekati dengan menggunakan

10


LANDASAN TEORI

dua cara, yakni yang menggunakan pendekatan teritorial dan nonteritorial (Kuper dan Kuper, 2000: 145). Jika diartikan sebagai suatu bentuk kolektivitas, maka komuniitas biasanya merujuk pada suatu kelompok yang para anggotanya menghuni ruang fisik atau geografis yang sama di lingkungan tetangga, kota ataupun desa. Sementara itu, komunitas juga bisa diartikan sebagai suatu kelompok yang anggotaanggotanya memiliki ciri-ciri serupa, yang biasanya dihimpun oleh suatu rasa memiliki atau bisa pula oleh ikatan dan interaksi sosial tertentu yang menjadikan kelompok itu sebagai suatu entitas sosial tersendiri, misalnya, suku bangsa, kelompok etnik, kaum agamawan tertentu, kalangan profesional, maupun akademisi. Di luar pemahaman di atas, publik juga bisa didekati dengan cara lain. Publik bisa dipahami dalam kaitannya dengan isu atau masalah yang dihadapi oleh suatu kelompok. Herbert Blumer (Grunig dan Hunt, 1984: 143) mendefinisikan publik sebagai kelompok orang yang dihadapkan pada isu yang sama; terbagi-bagi oleh gagasan mereka menyangkut bagaimana seharusnya isu tersebut ditangani; dan terlibat dalam diskusi berkaitan dengan isu tersebut. Sementara itu, John Dewey mendefinisikan publik dalam cara yang kurang lebih sama (Grunig dan Hunt, 1984: 143-144). Menurutnya, publik merupakan sekelompok orang yang menghadapi persoalan yang sama; mengenali bahwa persoalan tersebut ada; dan mengorganisasikan diri untuk melakukan sesuatu guna menyelesaikan masalah tersebut. Dengan menggunakan dua kerangka yang disajikan oleh Blumer dan Dewey ini, maka publik dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang yang mendapati masalah atau isu yang sama dan kemudian melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut (Grunig dan Hunt, 1984: 144). Dalam kerangka lembaga penyiaran publik, keseluruhan pemahaman atas publik sebagaimana dikemukakan di atas seyogianya digunakan secara bersama-sama, yakni publik sebagai komunitas, warga negara, dan kelompok orang yang mendapati masalah atau isu yang sama. Dengan menggunakan multiperspektif semacam ini, publik dalam kerangka public broadcasting akan jauh lebih mudah didefinisikan. Dalam kasus kenaikan harga BBM, misalnya, maka publik yang harus “dilayani� oleh lembaga penyiaran publik adalah jelas, yakni keseluruhan kelompok yang menaruh minat pada isu tersebut, yakni rakyat kecil, pengusaha, parlemen, mahasiswa, pemerintah, dan lain sebagainya. Selain pendekatan isu atau masalah, publik dalam kasus kenaikan BBM ini juga bisa diterjemahkan sebagai warga negara. Jika kebijakan publik dipahami sebagai apapun yang ditetapkan oleh pemerintah (Winarno, 2008), maka kenaikan BBM harus dilihat sebagai

11


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

bentuk kebijakan publik dan karenanya bersinggungan dengan publik dalam pengertian warga negara. Di sini, menjadi hak setiap warga negara untuk mengetahui bagaimana kebijakan publik dirumuskan dan mengapa kebijakan-kebijakan tersebut yang diambil dan bukannya yang lain. Jika public broadcasting mampu memberikan informasi semacam ini, maka ia telah membantu publik untuk terlibat dalam proses-proses kebijakan. Kerangka inilah sebenarnya yang mendasari mengapa lembaga penyiaran publik harus mampu menjangkau seluruh masyarakat. Ini karena hanya dengan menjangkau keseluruhan masyarakat saja lembaga penyiaran publik dapat melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal. Ia bisa melayani baik kelompok mayoritas maupun minoritas, baik komunitas yang berada di pusat kota maupun pinggiran, dan seluruh warga negara berkenaan dengan isu-isu kebijakan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial ataupun budaya dalam konteks politik kenegaraan. Menurut definisi undang-undang, lembaga penyiaran publik seyogianya juga melayani kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, kita harus mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan publik itu? David Held (1970; seperti dikutip McQuail, 1992: 22-23) mengemukakan bahwa ada tiga perspektif teoritik dalam usahanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan publik tersebut. Pertama, preproderance theory. Menurut teori ini, kepentingan publik didefinisikan menurut cara mayoritas (mayoritarian way). Kepentingan publik hendaknya dirumuskan dalam pengertian pilihan-pilihan mayoritas atau ia harus merupakan keyakinan untuk memaksimalkan jumlah preferensi individu. Oleh karena itu, kepentingan publik, menurut pandangan ini, tidak boleh bertentangan atau berlawanan dengan kepentingan mayoritas (Pustlibangdiklat, 2009). Kedua, common interest theory. Kepentingan bersama (common interest) merujuk pada kasus dimana kepentingan hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang seluruh anggota menganggapnya sebagai milik bersama. Air, transportasi publik, sistem pemerintahan dan lain sebagainya merupakan hal-hal yang menjadi common interest setiap warga negara. Terakhir, unitary theory. Kepentingan publik hendaknya dipandang menurut tatanan dengan satu aturan dan skema yang konsisten bahwa apa yang valid bagi satu orang maka valid bagi semuanya. Perspektif teoritik pertama dan kedua tampaknya yang jauh lebih memungkinkan untuk menjelaskan bagaimana seharusnya kepentingan publik didefinisikan dan didekati. Di sini, adalah tepat jika kepentingan publik dilihat dalam kerangka dua hal, yakni

12


LANDASAN TEORI

sebagai kehendak mayoritas dan “milik� bersama. Dengan demikian, kepentingan publik dapat dipahami sebagai kepentingan orang banyak atau hal-hal yang menjadi milik bersama. Di sini, kepentingan publik berbeda dengan kepentingan kekuasaan dan perusahaan selagi keduanya melawan kepentingan sebagian besar orang.

13



BAB III ANALISIS KUALITATIF PEMAHAMAN JURNALIS TERHADAP PERAN DAN FUNGSI RRI SEBAGAI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

Pada bab ketiga ini, akan dianalisis secara kualitatif bagaimana pemahaman jurnalis terhadap peran dan fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Dengan kata lain, bab ini akan mengupas bagaimana reporter dan redaktur mempunyai pemahaman terhadap lembaga penyiaran publik. Sebagaimana diamanatkan undang-undang, sejak UU No. 32 tahun 2002 disahkan, status RRI telah berubah menjadi lembaga penyiaran publik. Status ini tentu berimplikasi pada peran dan fungsi yang seharusnya dijalankan oleh RRI. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan fungsi sebagai penyedia informasi, keberhasilan RRI dalam mengemban peran dan fungsinya yang baru sebagai lembaga penyiaran publik akan sangat ditentukan oleh pengetahuan para jurnalisnya mengenai hal tersebut. Jika peran dan fungsi tersebut tidak dipahami dengan baik, maka besar kemungkinan RRI gagal mengemban misi sebagai lembaga penyiaran publik. Kemudian, agar memudahkan dalam membaca hasil penelitian, maka paparan pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian besar, yakni reporter dan redaktur. Meskipun dalam konteks RRI kedua status tersebut sering tumpang tindih, tetapi dalam kerangka teoritik keduanya mestinya melaksanakan peran yang berbeda. Reporter lebih pada persoalan mengumpulkan informasi atau berita di lapangan, sedangkan redaktur menentukan berita dan bagaimana berita tersebut disiarkan. A.

Reporter 1. Latar Belakang Profesional

Dari keseluruhan reporter yang diwawancarai dalam penelitian ini, mereka mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, baik ditinjau dari pendidikan, motivasi, maupun kegiatan profesional yang diikuti selain sebagai reporter di RRI. Ditinjau dari segi pendidikan, ada beberapa reporter yang berasal dari pendidikan SLTA untuk kemudian

15


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

menempuh pendidikan di bidang penyiaran (MMTC) Yogyakarta, dan beberapa yang lain berasal dari pendidikan perguruan tinggi, dan hanya sedikit yang mempunyai latar belakang pendidikan jurnalistik atau setidaknya ilmu komunikasi. Reporter-reporter senior banyak diantaranya masih berpendidikan SLTA. Jika dilihat dari latar belakang pendidikan dan perjalanan karir mereka, maka pendidikan profesional reporter bisa dibedakan atas empat kategori. Pertama, mereka yang berasal dari jurusan ilmu komunikasi atau jurnalistik. Ini merupakan kategori paling sedikit dibandingkan dengan yang lain meskipun cerminan sebenarnya belum tentu seperti itu karena terbatasnya informan yang diwawancarai. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa orang-orang yang berasal dari pendidikan S1 Ilmu Komunikasi mempunyai pemahaman penyiaran ataupun jurnalistik yang lebih baik. Ini karena, pada umumnya, pendidikan komunikasi di Indonesia, minat studi yang diambil sangatlah umum sehingga tidak serta merta menjawab kebutuhan reporter. Kedua, para reporter yang berasal pendidikan tinggi (S1), tetapi tidak berasal dari jurusan ilmu komunikasi atau jurnalistik. Diantara reporter ada yang berpendidikan teknik atau administrasi negara. Ketiga, mereka yang dari pendidikan SLTA atau SMP untuk kemudian mengembangkan pendidikan media seperti di MMTC. Reporter dengan kategori pendidikan ini biasanya berangkat dari unit lain, misalnya, bagian umum. Ketika dibuka lowongan kerja, mereka menggunakan ijasah SMP ataupun SMA untuk mengisi lowongan tersebut. Kemudian, atas dasar pertimbangan tertentu, mereka kemudian direkrut untuk membantu di bagian pemberitaan. Proses belajar jurnalistik didapatkan melalui apa yang disering disebut sebagai mileopen (semacam magang). Keempat, reporter-reporter senior yang pendidikan hanya sampai dengan SLTA. Oleh karena sangat senior, ketrampilan dan pemahaman mereka di bidang jurnalisme ditopang oleh workshop, training ataupun mileopen yang mereka lakukan. Perjalanan karir reporter juga bermacam-macam. Jika dilihat dari perjalanan karir masing-masing reporter, maka ada dua bagian besar, yakni mereka yang langsung bergabung dengan redaksi pemberitaan dan kelompok reporter yang berasal dari bagian lain, diantaranya bagian umum dan teknik. Tentu saja, latar belakang pendidikan dan perjalanan karir ini akan menentukan bagaimana reporter memahami dunia jurnalisme, yang pada akhirnya berimbas pada kualitas berita yang mereka hasilkan atau setidaknya gaya penulisan berita yang mereka gunakan. Sebagaimana dikatakan salah seorang informan, â€œâ€ŚDan karena sebelum jadi reporter saya jadi penyiar. Jadi, dalam penulisan berita, saya lebih bermain dengan

16


ANALISIS KUALITATIF

seni kata-kata. Saya ingin bahasa saya lebih santai, tapi tetap tidak melepas bahasa Indonesia baku”. Motivasi reporter juga mempunyai banyak keragaman. Namun, diantara banyak motif informan masuk ke RRI, mencari pekerjaan merupakan yang paling utama. Motif tersebut bisa sangat kuat, dan acapkali dilatarbelakangi usaha tidak serius yang terefleksikan dalam ungkapan,”siapa tahu diterima”. Sri Wuryani, reporter yang bekerja di RRI sejak tahun 1986, misalnya, mengemukakan, ”Sebenarnya, tadinya, saya tidak ingin masuk ke RRI. Saya mendaftar di Deppen ketika tahun pertama lulus kuliah, tetapi tidak diterima. Baru tahun kedua lulus kuliah, saya mendaftar di Pemda dan RRI. Pikiran saya waktu itu, kenapa tidak mendaftar di RRI toh tidak ada salahnya karena waktu kuliah banyak materi yang sesuai dengan yang ada di RRI waktu itu”. Ia akhirnya memutuskan masuk ke RRI, tetapi bukan karena panggilan yang secara sadar ia ikuti. Namun, lebih karena Pemda terlambat memanggilnya. Maka, ketika Pemda mencoba melacaknya jawaban yang dia berikan karena alasan-alasan yang lebih bersifat kultural, perasaan tidak enak. Sebagaimana ia kemukakan, ” Aduh Pak, saya sudah di RRI kan nggak enak. Saya bilang begitu.” Sementara itu, informan lain, Nasrudin, mengemukakan keinginan dasar masuk ke RRI adalah kebutuhan untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu, ketika RRI membuka lowongan maka dengan ijasah SMA ia mendaftarkan diri di RRI. Motivasi masuk ke RRI memang bukan menjadi variabel paling utama dalam menentukan prestasi kerja karena hal ini pada akhirnya ditentukan oleh proses internal. Komitmen reporter untuk terus bekerja yang ditopang oleh motivasi yang tinggi serta bimbingan yang konsisten dari seniornya mempunyai andil besar dalam menentukan hasil kerja reporter. Meskipun demikian, motivasi atau alasan-alasan seorang reporter untuk masuk ke RRI menjadi indikasi seberapa kuat RRI sebagai sebuah media diinginkan oleh seseorang untuk bekerja di dalamnya. Hal ini sekaligus menjadi ”penanda” bagi kredibilitas lembaga tersebut sebagai sebuah lembaga yang paling diminati untuk bekerja. 2. Mekanisme Seleksi dan Rekruitmen Reporter Keberagaman latar belakang pendidikan dan pengalamanpengalaman profesional reporter tidak bisa dilepaskan dari mekanisme seleksi dan rekruitmen reporter RRI. Kemudian, proses seleksi dan rekruitmen ini tidak bisa dilepaskan dari dua kondisi awal yang melingkupi LPP RRI. Pertama, meskipun status lembaga RRI sekarang

17


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

ini merupakan lembaga penyiaran publik, tetapi jauh sebelumnya ia merupakan “lembaga penyiaran pemerintah�. Oleh karena itu, proses rekruitmennya akan sangat ditentukan oleh corak kebijakan birokrasi pemerintah pada waktu itu. Kedua, akibat yang ditimbulkan oleh kondisi pertama adalah munculnya kecenderungan dimana LPP RRI dikelola sebagai sebuah lembaga birokrasi dibandingkan sebagai institusi media yang profesional. Penelitian Puslitbangdiklat LPP RRI sebelumnya (2009a) menemukan kecenderungan ini. Akibatnya, reporter bisa diambil dari unit organisasi manapun sesuai dengan kebijakan pimpinan tanpa adanya seleksi yang didasarkan pada kriteriakriteria tertentu. Oleh karena itu, menjadi tidak mengherankan jika seorang petugas TU ataupun bagian teknik (maintenance) bisa menjadi reporter. Kondisi inilah yang membuat proses rekruitmen reporter tidak didasarkan pada kriteria-kriteria baku yang semestinya. Sebaliknya, rekruitmen reporter lebih didasarkan pada dua hal, yakni kebutuhan reporter waktu itu dan ketersediaan tenaga yang memungkinkan untuk dijadikan reporter. Jika tidak karena kombinasi kedua hal itu, maka rekruitmen biasanya juga terjadi ketika pimpinan yang berada dalam redaksi pemberitaan melihat kemampuan sumber daya manusia yang memungkinkan untuk “diangkat derajatnya� sebagai reporter. Untuk kategori kedua ini, biasanya, mereka adalah orang-orang dengan semangat kerja dan mempunyai motivasi yang kuat untuk berkembang. Dalam beberapa hal, reporter yang berasal dari model rekuitmen semacam ini biasanya lebih kreatif dan gigih dalam bekerja. Mereka adalah orang-orang yang bekerja secara otodidak dalam banyak hal, lebih kritis dan pemahaman terhadap LPP RRI sebagai lembaga penyiaran publik juga lebih baik. Model-model rekruitmen semacam itu tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap output berita yang dihasilkan oleh reporter. Proses bagaimana berita sampai ke pendengar bukanlah bersifat sederhana. Reporter harus mampu menangkap realitas sosial, ekonomi ataupun politik yang berada di sekelilingnya. Di sini, ada proses konstruksi atas realitas yang ada. Realitas dunia nyata kemudian masuk ke dalam realitas dunia media melalui proses konstruksi yang dilakukan oleh reporter. Dalam proses tersebut, reporter harus mempunyai pengetahuan, skill, dan pemahaman etik yang memadai sehingga realitas yang mereka hadirkan melalui berita mempunyai makna bagi publik (Siregar, 1993). Kemudian, ketika proses rekruitmen tersebut tidak didasarkan pada prasyarat sebagai seorang jurnalis profesional, tetapi lebih pada kepentingan-kepentingan pragmatis jangka pendek maka keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh proses yang berada di dalam organisasi internal pemberitaan. Terlebih, ketika jenjang

18


ANALISIS KUALITATIF

karir tidak didasari pada kualifikasi personal (jenjang kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh reporter untuk suatu jabatan tertentu), maka komitmen personal dan kegigihan atasan atau tutornyalah yang pada akhirnya menentukan kualitas jurnalis. Meskipun pada akhirnya hal ini tidaklah cukup karena motivasi, ketekunan, dan tingkat inteligensia yang bersangkutan akan menentukan keberhasilannya sebagai reporter yang handal. Di beberapa kasus, setidaknya, ada kecenderungan semacam itu. Kombinasi antara kegigihan personal dari si reporter dengan komitmen atasan untuk melakukan kaderisasi menentukan kualitas si jurnalis. Hal ini dengan tegas dikemukakan oleh salah seorang informan, “...Tapi, menurut saya, ilmu itu lebih banyak saya dapatkan dari senior-senior saya, terutama dari ........ Jadi, lebih dalam proses bekerja, dalam pengalaman, bukan dalam pelatihan yang khusus atau formal begitu�. Informan lain juga mengatakan hal yang kurang lebih sama sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut. ...peluang karir di RRI itu tergantung dari kemauan kita. Jadi, saya di bagian administrasi sekitar setahun. Pada saat itu, kebetulan ada Jurpen (juru penerangan) di masa Orde Baru. Lalu, saya mencoba membuat sebuah redaksi berita tanpa sepengetahuan pimpinan. Dari situ, saya kemudian disuruh membantu sebagai redaktur. Namun, saya tidak puas di redaktur, lalu saya bilang ke pimpinan, �Saya ingin coba running bola�. Saya pun melopen�. Melopen adalah istilah yang digunakan oleh bagian pemberitaan untuk reporter-reporter baru yang sedang belajar menjadi reporter. Mereka, secara langsung, dididik oleh seniornya untuk masa yang tidak ditentukan. Melopen akan dinyatakan selesai jika dalam pandangan senior si reporter sudah mempunyai kemampuan cukup untuk dilepas secara mandiri, melakukan pekerjaan reporter sendiri. 3. Pemahaman Radio Publik Menurut undang-undang No. 22 tahun 2002, yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat (lihat pasal 14 (1)). Rumusan ini tampaknya mudah dan sederhana untuk dipahami, tetapi ternyata mempunyai implikasi yang berbeda-beda ketika konsep tersebut diturunkan dalam program atau berita. Setidaknya, ada reporter atau informan yang bertanya jika

19


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

lembaga penyiaran publik harus berpihak kepada kepentingan publik maka apa yang dimaksud dengan kepentingan publik tersebut atau secara lebih spesifik apa yang dimaksud dengan publik tersebut? Pada dasarnya, pemahaman reporter berkaitan dengan lembaga penyiaran publik mempunyai kesamaan mendasar yang sama, yakni bahwa lembaga penyiaran publik harus memperjuangkan kepentingan publik atau masyarakat. Keberadaan lembaga penyiaran publik yang harus memperjuangkan kepentingan publik ini merupakan, dalam pemahaman sebagian informan, antithesis lembaga penyiaran pemerintah, yang pada masa Orde Baru dipraktikkan oleh RRI. ‌LPP penjabarannya adalah sebagai wahana memberikan informasi sesuai keinginan atau kebutuhan masyarakat. Kalau dulu, RRI diperankan sebagai corongnya pemerintah, kalau sekarang pemerintah mungkin 20%, tapi masyarakat 80%. Kepentingan publiknya tinggi. Informan lain juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut. Peralihan dari Perjan ke LPP ini adalah sebuah kemajuan. Kita naik ke dalam paradigma baru bahwa LPP dengan RRI tempo dulu itu berbeda. Ibaratnya, bila kita bicara RRI dulu itu juru bicara pemerintah. Orang-orang pemerintah yang pro terhadap pemerintah dan memang faktanya dulu seperti itu, tetapi setelah beralih menjadi LPP stigmastigma seperti itu sudah mulai menghilang. RRI beralih bukan lagi menjadi corong pemerintah, tetapi menjadi sarana informasi yang benar-benar memberitakan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Ada sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal bahwa antara lembaga penyiaran pemerintah dengan lembaga penyiaran publik mempunyai perbedaan substansial. Lembaga penyiaran pemerintah hadir untuk melayani imperatif-imperatif pemerintah, sedangkan publik sebaliknya. Sejarah RRI yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi lembaga penyiaran pemerintah, sebagai corong pemerintah mendapatkan antitesisnya saat ini, dan menariknya dalam pandangan sementara informan keberadaan RRI sebagai lembaga penyiaran publik jauh lebih baik karena memberikan ruang yang lebih banyak kepada masyarakat. Dalam memberikan intepretasi atas siapakah yang dimaksud publik dalam kerangka lembaga penyiaran publik reporter yang

20


ANALISIS KUALITATIF

menjadi subyek penelitian ini rmempunyai beberapa pemahaman yang berbeda. Pertama, publik adalah pendengar RRI. Kedua, publik adalah masyarakat. Ketiga, publik adalah sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu. Keempat, publik sebagai keseluruhan anggota masyarakat yang seharusnya dilayani oleh lembaga penyiaran publik seperti kelompok-kelompok minoritas dan lain sebagainya. a. Publik sebagai Pendengar RRI Pemahaman pertama yang mengemukakan bahwa publik merupakan orang-orang yang mendengarkan RRI dilatarbelakangi asumsi bahwa para pendengar RRI inilah yang memberikan masukan, perhatian, dan lain sebagainya sehingga merekalah publik paling real LPP RRI. Sebagaimana dikemukakan salah seorang informan, �Menurut saya, publik itu adalah pendengar RRI. Kalau dia tidak mendengarkan RRI, ya lalu siapa yang disebut publik?�. Menurutnya, sebagai reporter yang turun ke lapangan dan menemui banyak kalangan, orang-orang yang mendengarkan RRI selalu memberinya saran atau kritik tentang RRI sehingga, menurutnya, suara-suara inilah yang harus ia akomodasi karena mereka adalah orang-orang yang mendengarkan dan memerhatikan RRI. Pandangan di atas tidak seratus persen keliru karena para pendengar inilah yang mempunyai kaitan langsung dengan RRI sehingga menjadi kelompok yang paling layak dianggap sebagai publik RRI. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah jika publik RRI sebatas pendengarnya, maka prinsip yang menyatakan bahwa lembaga penyiaran publik harus menjangkau keseluruhan warga masyarakat tidak lagi relevan. Padahal, prinsip ini didasari pada argumentasi bahwa lembaga penyiaran publik harus mampu melayani keseluruhan kelompok dalam masyarakat, terutama kelompok minoritas yang hampir tidak tersentuh oleh lembaga penyiaran swasta. Oleh karena itu, pemahaman publik RRI sebatas pada pendengar menjadi kurang tepat berdasarkan prinsip tersebut. b. Publik sebagai masyarakat. Beberapa informan menyamakan publik dengan masyarakat. Oleh karenanya, konsep mengenai masyarakat dan publik digunakan secara bergantian, merujuk untuk sesuatu yang sama. Kutipan berikut menunjukkan bagaimana informan memahami

21


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

konsep publik dan masyarakat sebagai sesuatu yang kurang lebih sama. Publik adalah masyarakat. Ketika saya bergerak di bidang broadcasting maka segala sesuatu siaran itu ini diperlukan untuk publik…. hiburan juga untuk publik. … Karya jurnalistik juga berkenaan dengan seputar publik. Ketika masalah aktual atau bencana alam, misalnya, banjir, bagaimana RRI bisa hadir di situ.” Di sini, publik dipahami sebagai masyarakat dan isu-isu yang berhubungan dengan publik. Berdasarkan kutipan di atas, kita bisa melihat bahwa publik tidak hanya menyangkut subyek yang menjawab pertanyaan siapakah pihak yang harus dilayani oleh RRI sebagai lembaga penyiaran publik, tetapi juga berkenaan dengan isu. Sebagaimana dikemukakan informan, “..Tetapi publik yang saya maksudkan di sini adalah persoalan-persoalan rakyat yang harus kita selesaikan”. Dengan kata lain, publik berarti pula persoalan-persoalan aktual yang menyentuh kepentingan mereka. c. Publik sebagai Kelompok Masyarakat yang Mendiami Suatu Wilayah Tertentu. Selain publik dipahamai sebagai masyarakat dalam pengertian yang lebih luas, ada informan yang mencoba mendefinisikan publik dalam pengertian yang lebih sempit. Dalam kaitan ini, publik LPP RRI dipahami sebagai sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu. Misalnya, masyarakat Kabupaten Lombok, masyarakat Kota Semarang, dan lain sebagainya. Di sini, aspek geografis mendapatkan penekanan yang lebih dibandingkan dengan aspek-aspek lain. Dengan dasar pijakan semacam itu, publik dalam RRI karenanya dipahami sebagai sekelompok orang yang mendiami wilayah tertentu dimana stasiun RRI berada. Meskipun demikian, definisi ini tetap problematis. Ini karena tidak semua berita yang disiarkan oleh LPP RRI selalu berkaitan dengan keseluruhan masyarakat, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Namun, hampir selalu berkaitan dengan kelompok-kelompok spesifik, misalnya, dalam kasus kenaikan harga BBM, pemilukada, dan lain sebagainya.

22


ANALISIS KUALITATIF

d. Lembaga Penyiaran Undang-Undang.

Publik

Sebagaimana

Didefinisikan

Undang-undang No. 32 tahun 2002 pasal 14 ayat (1) mendefinisikan lembaga penyiaran publik sebagai lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dua kata kunci yang layak mendapatkan perhatian, yakni independen dan netral. Menurut kamus bahasa Inggris (http://dictionary.reference. com/browse/independent), independen mengandung makna “not influenced or controlled by others in matters of opinion, conduct, etc.; thinking or acting for oneself: an independent thinker.� Dalam konteks RRI independen berarti tidak terpengaruh oleh tekanan apapaun kecuali demi melayani kepentingan publik berdasarkan kaidah etik yang telah dirumuskan. RRI bebas dari kepentingan pemerintah, pemilik modal, maupun kelompok-kelompok tertentu. Netral, di sisi lain, merupakan bagian dari prinsip imparsialitas dalam pemberitaan (lihat Rahayu, 2006; McQuail, 1992). Dalam kaitan ini, imparsialitas meliputi dua hal pokok, yakni balance dan netralitas. Balance berhubungan dengan bagaimana pihakpihak dimunculkan dalam suatu berita, sedangkan netralitas menyangkut bagaimana fakta tersebut direpresentasikan. Dimensi netralitas biasanya dilihat berdasarkan kata-kata yang digunakan, citra, dan lain sebagainya yang menunjukkan ada tidaknya keberpihakan suatu berita atas kelompok tertentu (Rahayu, 2006: 11) Secara umum, beberapa informan memang berusaha mendefinisikan lembaga penyiaran publik berdasarkan ciri di atas. Namun, operasionalisasi definisi atas konsep independen dan netral mengandung beberapa perbedaan. Netral, misalnya, sebagai salah satu ciri utama lembaga penyiaran publik dipahami sebagai usaha untuk menghadirkan baik suara pemerintah maupun masyarakat sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut. Lembaga penyiaran publik itu netral, tidak sebagai corong pemerintah, tapi justru balance. Dari pemerintah disampaikan ke masyarakat dan kejadian yang ada di masyarakat pun, disampaikan kepada pemerintah sehingga balance. Jadi, tidak, menjadi

23


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

alat bagi pemerintah. Itu tadi dikatakan independen, netral, tidak komersial. Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa netral dalam konteks lembaga penyiaran publik dipahami sebagai “tidak sebagai corong pemerintah�, sedangkan balance dipahami sebagai keseimbangan antara suara pemerintah dengan masyarakat. Dari sini, dapat dilihat bahwa meskipun informan mampu mendefinisikan lembaga penyiaran publik sesuai dengan undang-undang, tetapi mempunyai kekeliruan mendasar dalam mendefinisikan netral dan balance (lihat Rahayu, 2006; McQuail, 1992). Informan lain mengemukakan hal yang kurang lebih sama. Lembaga penyiaran publik harus independen dan netral, dalam pengertian tidak memihak kepada pemerintah. Sebaliknya, masyarakat atau publik harus juga menjadi sumber berita. Netral juga dipahami sebagai cover both side. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, “...Kita wajib memberikan informasi yang seimbang, cover both side, netral, misalnya, di Pilkada di daerah A, ada 2 kandidat, maka kita tidak bisa menyiarkan hanya satu, tapi dua-duanya�. Di sini, tampak jelas bahwa netral disamakan dengan cover both side. Padahal, sebagaimana dijelaskan di awal, keduanya mempunyai perbedaan yang jelas meskipun susah dibedakan satu dengan yang lain. Berdasarkan paparan di atas tampak bahwa ada kesalahan mendasar yang dilakukan oleh jurnalis dalam memahami makna independen dan netralitas. Mestinya, netralitas tidak sebatas keseimbangan antara pihak pemerintah dan masyarakat, tetapi lebih luas dari itu. Dalam memberitakan peristiwa kampanye pemilu, misalnya, yang tidak melibatkan pemerintah maka terjemahan netralitas menjadi bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam kampanye diberitakan. Kata-kata yang digunakan netral, dalam pengertian tidak menyudutkan atau berpihak kepada kelompok politik tertentu. Demikian juga ketika berita yang disiarkan berhubungan dengan kelompokkelompok masyarakat yang tidak ada kaitannya langsung dengan pemerintah. Sementara independen, mestinya dimaknai bahwa dalam memilih, menyeleksi dan menyiarkan berita LPP RRI tidak mendapatakan tekanan dari pihak manapun kecuali tuntutan profesionalnya sebagai jurnalis. Dengan cara demikian,

24


ANALISIS KUALITATIF

wartawan akan mampu menampilkan berita secara netral dan independen. Perbedaan-perbedaan yang muncul baik dalam merumuskan lembaga penyiaran publik pada satu sisi dan publik itu sendiri pada sisi yang lain mencerminkan bahwa belum adanya pemahaman yang seragam diantara informan. Kemudian, dilihat dari berbagai perbedaan yang ada, maka perbedaan-perbedaan tersebut juga mencerminkan perdebatan ataupun miskonsepsi yang ada dalam masyarakat. Misalnya, pemahaman publik yang diterjemahkan sebagai masyarakat seperti dapat kita lihat dalam istilah hubungan masyarakat yang sebenarnya berasal dari terjemahan public relations. Oleh karena sulit menemukan padanan kata publik maka public diterjemahkan sebagai �masyarakat� meskipun kedua kata tersebut mempunyai makna asal yang sangat berbeda. Di sisi lain, untuk kepentingan praktis liputan dan perencanaan program, penggunaan istilah yang berbeda untuk merujuk hal yang sama atau dimaksudkan sama tidaklah menjadi masalah. Persoalan muncul jika konsep tersebut ternyata juga merujuk pada sesuatu yang memang sama sekali berbeda. Ini bisa dilacak diantaranya melalui, misalnya, bagaimana para reporter ini menentukan angle berita. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap kurang lebih 20 reporter dengan latar belakang yang beragam, baik menyangkut jenis kelamin, usia, dan latar belakang karir menemukan banyak variasi dalam menentukan prinsip utama menentukan angle pemberitaan. Hal ini sejalan dengan keragaman pemahaman reporter terhadap fungsi dan peranan lembaga penyiaran publik sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya. Dalam menentukan angle, ada sementara reporter yang berpihak pada kepentingan publik dengan prinsip balance, tidak menjadi provokator, tetapi menjadi penengah yang menyampaikan fakta. Kutipan wawancara berikut merefleksikan maksud dan pandangan tersebut. ....Tetapi di LPP harus tegas. Kita adalah Lembaga Penyiaran Publik. Ini berarti bahwa kita harus membuat berita itu berimbang. Angle-nya juga harus berpihak ke publik. Kita tidak boleh menjadi media provokator, yang membuat resah. Kita sebagai penengah, tetapi tetap menyampaikan fakta. Sama teorinya (yg idealnya) seperti apa. Jangan sampai seperti media

25


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

yang bukan untuk publik. Kalau mereka pasti punya kepentingan tertentu, mempunyai program yang tergantung pemiliknya. Itu sudah jelas. Kalau kita sudah jelas, sebagai LPP, sebagai pemerintah, kita harus bijaksana. Kutipan di atas merefleksikan bagaimana lembaga publik dipahami dan bagaimana seharusnya sebuah angle berita ditentukan. Dari kutipan di atas, juga masih tercermin pencampuradukan antara lembaga penyiaran publik dengan pemerintah. Miskonsepsi lain juga bisa ditemukan dari bagaimana reporter memahami citizen journalism. Di sini, citizen journalism dipahami sebagai persoalan masyarakat bawah (grass root) dan bukannya suatu genre dalam jurnalisme dimana warga menjadi partisipan aktif dalam memproduksi dan menyebarkan berita. Dalam memahami citizen journalism dalam kerangka lembaga penyiaran publik, salah seorang informan mengemukakan sebagai berikut. Jadi begini, masalah radio swasta dengan radio publik kalau dalam hal pemberitaan saya pikir tidak jauh berbeda. Tetapi yang jelas bahwa kalau sudah berbicara masalah publik, maka yang diutamakan adalah publik. Melihat di masyarakat apa yang berkembang, persoalan yang terjadi di masyarakat. Itu yang mencirikan sebuah radio publik. Satu hal lagi adalah citizen journalism itu yang harusnya dikembangkan untuk mencirikan bahwa itu adalah radio publik. Jadi, mengangkat masalah dari bawah. Pemahaman radio publik sebagai pengutamaan terhadap kepentingan publik membuat pilihan-pilihan atas angle didasarkan pada liputan arus bawah. Suatu liputan yang didasarkan pada masalah-masalah yang timbul di masyarakat, yang oleh informan disamakan dengan citizen journalism. Di sini, citizen journalism diterjemahkan sebagai liputan yang berakar pada persoalan masyarakat dan bukannya liputan jurnalisme yang dilakukan oleh warga negara. Selain kepentingan publik, ada juga dalam menentukan berita didasari pada pertimbangan-pertimbangan kedekatan emosional (psikologis) sebagaimana biasa ditemukan dalam news value. Salah seorang informan mengemukakan, �Milih

26


ANALISIS KUALITATIF

beritanya sejauh mana sih berita itu memiliki nilai kedekatan emosi dengan warga masyarakat. Mungkin warga masyarakat punya kedekatan emosi dengan permasalahan‌. Jadi di mana sesuatu berita itu hangat dibicarakan menjadi topik sehari-hari, kita coba angkat�. Pertanyaan yang kemudian layak diajukan adalah mengapa masing-masing reporter mempunyai perbedaan dalam merumuskan dan mendefinisikan lembaga penyiaran publik? Termasuk, dalam menentukan angle berita. Jawaban atas pertanyaan ini dapat ditemukan dalam dua hal, yakni motivasi dan pola-pola interaksi yang dialami oleh reporter dan kedua model pendidikan atau sosialisasi yang dilaksanakan oleh LPP RRI. Pada yang pertama, motivasi yang dimiliki oleh reporter untuk mengembangkan diri, belajar dari berbagai sumber, serta aktivitas profesional mereka di luar pekerjaan rutin menentukan pengetahuan mereka terhadap lembaga penyiaran publik. Dalam banyak kasus, reporter yang secara aktif mencari pengetahuan di luar mempunyai komitmen dan pemahaman yang lebih baik terhadap lembaga penyiaran publik. Di sisi lain, model sosialisasi internal yang dilakukan oleh RRI menentukan bagaimana lembaga penyiaran publik dipahami oleh reporter. 4. Mekanisme Sosialisasi Salah satu faktor yang cukup menentukan pemahaman reporter mengenai peran dan fungsi lembaga penyiaran publik adalah mekanisme sosialisasi yang dilakukan oleh RRI. Mekanisme sosialisasi ini menentukan tingkat pemahaman seorang reporter di tengah perubahan yang dialami oleh RRI dari semula lembaga penyiaran pemerintah untuk kemudian berubah menjadi lembaga penyiaran publik. Dalam kaitan ini, ada banyak media yang bisa dilakukan untuk melakukan sosialisasi, baik informal maupun internal. Pelatihan ataupun workshop menjadi salah satu mekanisme sosialisasi yang penting. Sayangnya, dalam konteks RRI, hanya sedikit reporter yang mengikuti pelatihan atau workshop yang secara spesifik diorientasikan untuk mempertajam pemahaman reporter berkenaan dengan status RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Pelatihan dan workshop memang banyak diikuti oleh reporter, tetapi untuk mempertajam pengetahuan yang lain, misalnya, citizen journalism, diklat kehumaasan, diklat penulisan naskah dan berita, dan lain sebagainya. Sementara itu, pelatihan berkaitan dengan lembaga penyiaran publik ternyata juga kurang mampu memberikan pemahaman terhadap reporter karena

27


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

terlalu bersifat makro. Pelatihan yang pernah diikuti oleh salah seorang reporter mengenai lembaga penyiaran publik ternyata hanya menjelaskan, dalam pandangan informan, lembaga penyiaran publik Korea, penyiaran publik Swedia, dan juga BBC London. Pertanyaannya kemudian lembaga penyiaran publik RRI seperti apa? Ini yang menurut salah reporter yang menjadi informan dalam penelitian ini belum jelas. Sebagaimana ia kemukakan dalam kutipan berikut. Isinya, kalau konsepnya di Swiss katanya itu anggarannya dari publik, kalau di Korea Selatan dari pemerintah, Jepang juga begitu. BBC London dari iuran. Nah, RRI yang mana?. Ya pemerintah dong, anggarannya dari negara, tapi pertanggungjawabannya seperti apa? Ketika mendapat anggaran dari negara apakah benar commit kepada publik?�. Oleh karena mekanisme sosialisasi melalui pelatihan dan workshop sangat minim, proses pemahaman dan internalisasi mengenai peran dan fungsi lembaga penyiaran publik sangat ditentukan oleh sosialisasi formal melalui ceramah pimpinan dan mekanisme informal ketika diskusi dan obrolan dengan teman kerja berlangsung. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, “Biasanya kita dipanggil pimpinan lalu dijelaskan tentang RRI. Juga lewat ngobrol dengan senior.� Informan ini berharap ke depan ada sistem pelatihan yang bagus di RRI sehingga reporter memiliki kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Persoalan yang kemudian dihadapi dalam model sosialisasi semacam ini adalah besarnya distorsi yang muncul dalam memahami keberadaan RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Setiap Kepsta tentu mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda ketika mendapatkan sosialisasi mengenai lembaga penyiaran publik. Demikian juga dengan aspek-aspek yang dipertajam. Keseluruhannya akan menentukan aspek mana yang kemudian dipahami secara lebih baik oleh para reporter. Di sisi lain, minimnya akses reporter terhadap buku-buku panduan yang dibuat oleh LPP RRI membuat distorsi semakin besar. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika secara prinsipil reporter yang dijadikan informan dalam penelitian ini memahami peran dan fungsi radio publik, tetapi dalam implementasinya yang lebih detil mempunyai banyak perbedaan.

28


ANALISIS KUALITATIF

5. Etika Jurnalistik Ahli komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Ashadi Siregar (1993), mengemukakan bahwa pekerjaan jurnalistik tanpa disertai dengan etika hanya menjadi pekerjaan pertukangan biasa. Kode etik lebih dari sekedar apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan oleh seorang jurnalis. Kode etik menunjukkan bahwa pekerjaan reporter tidak hanya sebagai tukang, tetapi juga sebagai seorang pekerja profesional. Dilihat dari sudut bagaimana reporter LPP RRI memahami kode etik, terlihat bahwa pada dasarnya reporter memahami dengan baik arti penting kode etik dalam pekerjaan mereka. Keseluruhan reporter yang diwawancara mengatakan bahwa kode etik penting. Perbedaan terletak pada prinsip dasar kode etik yang seharusnya dipegang oleh reporter RRI. Di sini, ada banyak varian menyangkut prinsipprinsip dasar etis yang seharusnya dimiliki oleh reporter. Perbedaanperbedaan ini disebabkan oleh latar belakang reporter seperti aliansi jurnalis yang diikuti, kemauan untuk selalu meng-up date pengetahuan yang dimiliki, serta sosialisasi LPP RRI mengenai kode etik yang telah dirumuskan. Berkenaan dengan kode etik LPP RRI, hampir seluruh informan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui secara pasti apakah LPP RRI telah merumuskan kode etik bagi reporter dan segenap angkasawan RRI. Beberapa diantaranya mengatakan jika LPP RRI tidak mempunyai rumusan kode etik sehingga perlu untuk segera merumuskan kode etik sendiri. Akibatnya, masing-masing reporter mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai prinsip etis yang seharusnya mereka pegang. Reporter yang bergabung dengan PWI mempunyai sedikit perbedaan dengan AJI. Demikian juga dengan reporter yang tidak bergabung dengan aliansi jurnalis meskipun secara prinsipil sama atau hampir sama. Persamaan-persamaan dalam memahami kode etik terletak pada seberapa penting reporter seharusnya berpegang pada kode etik jurnalistik. Di sini, tidak satu perbedaanpun yang bisa dikatakan menyolok. Bahkan, Sudarsono, reporter yang bekerja di RRI Semarang mengatakan bahwa kode etik adalah keharusan sebab jika tidak, maka pekerjaannya akan ngawur sebagaimana ia kemukakan di bawah ini. Kode etik jurnalistik wajib dimiliki oleh seorang reporter karena kita bersinggungan dengan banyak pihak. Di satu sisi, ada pertanggungjawaban moral dan prestige lembaga atas hasil output siaran kita. Tentang kode etik jurnalisik, undang-undang penyiaran dan dari PWI sendiri. Di situ,

29


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

cukup membantu kita, isinya memilah mana yang boleh, mana yang tidak, mana yang harus diwawancarai mana yang tidak. Itu sangat penting sekali, makanya seorang yang bergelut di bidang jurnalistik paling tidak harus itu, paling nggak harus ada bekal, bekal utama, kalau nggak ya bisa ngawur Setiap reporter sepakat bahwa mereka harus menaati kode etik yang berlaku. Namun, sumber-sumber yang dijadikan rujukan berbeda. Akibatnya, implementasi di lapangan mengenai apa yang disebut kode etik itu sendiri pada akhirnya mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat jelas. Setidaknya, ada dua area besar mengenai bagaimana kode etik diimplementasikan pada tataran praktis. Implementasi atas kode etik di lapangan berasal dari proses internalisasi dan pembelajaran reporter dalam kehidupan keseharian mereka. Pertama, etika dipahami pada sejauh mana reporter menghayati atau mengambil nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat. Reporter yang menerjemahkan etika sebagai “ketaatan” akan norma yang berlaku cenderung melihat etis tidaknya mereka dalam memilih dan menyiarkan berita terletak pada seberapa jauh mereka menerima dan menaati norma-norma dalam masyarakat. Ini bisa dilihat, misalnya, dari wawancara dengan reporter yang mengatakan bahwa prinsip utama etis yang seharusnya dipegang oleh reporter adalah norma yang berlaku. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, “Ya…norma-norma itu. Dalam menuliskan berita, kita selalu menggunakan norma-norma. … Dalam menuliskan berita, kita mempunyai bahasa yang lebih halus”. Ada latar budaya Jawa yang kuat, yang tampaknya menginspirasi reporter untuk mengadopsi prinsip etis dalam setiap usaha mencari, menuliskan, dan menyiarkan berita. Reporter lain di stasiun yang sama yang diwawancarai dalam penelitian ini mengemukakan, “Rumusan khusus saya pikir tidak ada. Hanya saja, kita senantiasa berpegang pada kultur sajalah, kultur sebagaimana layaknya orang Jawa”. Pemahaman etika dalam sudut pandang ini juga menempatkan reporter menjadi sangat peduli dalam dua hal, yakni reporter selalu melihat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh berita-berita yang akan mereka siarkan, dan bagaimana mereka seharusnya menghadapi narasumber. Reporter yang memahami etika dalam garis norma dan kultur Jawa akan menjaga dengan baik “adat” kesopanan ketika berhadapan dengan narasumber. Mereka selalu mengawali permintaan wawancara dengan narasumber dengan perkataan “maaf”, yang kemudian diikuti dengan menjelaskan identitas dan tujuan-tujuan wawancara mereka. Di sisi lain, reporter yang berpegang pada kaidah ini juga sangat

30


ANALISIS KUALITATIF

memperhatikan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh berita yang mereka siarkan. Jika mereka menganggap bahwa berita yang akan mereka siarkan mempunyai dampak buruk dalam bentuk, misalnya, munculnya kerusuhan, maka mereka tidak menyiarkan. Jika tidak demikian, maka berita atau kutipan narasumber yang mereka siarkan akan diperhalus terlebih dahulu agar dampak buruk yang ditimbulkan atas berita tersebut minimal. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang reporter, “Kalau narasumber sih dia mau ngomong apa saja boleh. Terserah. Tapi, dalam penyajian berita akan kita perhalus. Ini karena kadang ketika narasumber ngomong dan kita tulis apa adanya maka masyarakat menjadi ribut sehingga perlu kita perhalus”. Kode etik juga dipahami sebagai rasa. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, “Menurut saya begini, perlu dan haruslah orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik itu memahami sehingga mereka mempunyai rambu-rambu untuk melakukan liputan dan kemudian menyiarkan”. Berita menurut informan ini tidak hanya sebatas fakta, tetapi dalam proses penyiarannya, ketika sebuah berita akan disiarkan ataukah tidak, terdapat manajemen, yakni ada rasa yang berkenaan dengan pantas tidaknya suatu berita disiarkan. Menurutnya, ”ketika kita menyiarkan, ada manajemen, ada rasa di sini, pantas ataukah tidak?”. Kategori kedua adalah reporter yang memahami kode etik dalam kerangka kode etik mainstream. Reporter yang memahami kode etik dalam kerangka ini akan menekankan pemberitaannya pada objektivitas, prinsip cover both side, dan lain sebagainya sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut. Prinsip kode etik yang paling pokok adalah balancing dalam artian keseimbangan dan tetap memperhatikan 5 W 1 H. Itu yang tidak bisa ditawar-tawar karena kalau kita menawar hal tersebut berarti independensi kita secara seorang jurnalis dipertanyakan. Perbedaan-perbedaan dalam mengintepretasikan kode etik terjadi karena proses sosialisasi kode etik angkasawan LPP RRI yang belum menyentuh level bawah, reporter. Kode etik yang dirumuskan oleh LPP RRI menjadi fenomena elit, hanya pimpinan teras yang membaca dan menyimpan buku tersebut. Ketiadaan perpustakaan di stasiun-stasiun lokal membuat akses buku tersebut semakin sulit. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan wawancara berikut.

31


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

“Di RRI, kita tidak mempunyai kode etik. Selama ini, saya jarang diberikan penjelasan mengenai kode etik. Kode etik penyiaran itu seperti apa, tidak pernah….Saya justru memperoleh kode etik jurnalistik organisasi (PWI). …Apakah ini juga kitab suci yang disimpan di lemari? Saya tidak tahu persis. Ini baru saja dikasih kemarin, kode etik itu”. Yang dimaksud informan dengan buku suci dan yang diberikan oleh atasan sehari sebelum wawancara adalah buku Pedoman Penyelenggaraan Siaran yang diterbitkan oleh RRI. Dalam buku ini, memang dimuat banyak hal, termasuk di dalamnya kode etik angkasawan LPP RRI. Meskipun ia merupakan “buku suci”, merujuk ungkapan salah seorang informan, tetapi keberadaannya beredar secara terbatas. Beberapa reporter yang menjadi informan dalam penelitian ini memang sempat menyinggung keberadaan buku tersebut yang mereka dapatkan ketika mengikuti training di Jakarta, tetapi sayangnya buku tersebut tidak dibaca dengan baik sehingga jawaban yang diberikan ketika diajukan pertanyaan apakah RRI telah merumuskan kode etik internal bagi reporternya ia jawab, “Kaya’nya ada ya. Saya pernah membaca di salah satu buku yang saya dapat dari Jakarta”. Di luar kedua reporter tadi, hampir semua informan yang diwawancarai dalam penelitian menjawab bahwa, menurut mereka, RRI belum merumuskan kode etik bagi para angkasawannya. Kita belum punya. Saya ingin itu, kode etik khusus untuk kepenyiaran RRI. Nah, di situ, perlu ada aturan-aturan khusus. Yang membuat orang RRI, yang melaksanakan orang RRI, dan nanti juga ada sanksinya. Misalnya, tentang tanggung jawab. Dalam pemberitaan, ada kesalahan reporter, berita sudah terlanjur disiarkan. Ini yang bertanggung jawab siapa? Ini belum jelas. Apakah harus Kepsta, Kepala Pemberitaan, Kasie Reportase, di luar itu lalu siapa? Apakah mungkin semuanya bertanggung jawab?” Kutipan di atas hanya satu dari sekian banyak pendapat informan mengenai apakah LPP RRI telah merumuskan kode etik ataukah belum. Kurangnya pengetahuan menyangkut kode etik yang dirumuskan oleh RRI berimbas pada kode etik yang dirujuk oleh masing-masing reporter. Bagi reporter yang ikut dalam organisasi PWI, rumusan kode etiklah yang digunakan, sedangkan yang bergabung dengan AJI maka rumusan kode etik AJI-lah yang digunakan. Yulianti, misalnya, reporter dari

32


ANALISIS KUALITATIF

Cirebon ini mengemukakan, “..karena saya menjadi anggota PWI maka saya mengikuti kode etik PWI. AJI mempunyai kode etik sendiri. RRI sendiri tidak mempunyai kode etik sehingga kita ya mengikuti PWI�. Sementara itu, bagi reporter yang tidak aware terhadap kode etik yang dirumuskan kedua institusi, mereka cenderung mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Tempat dimana mereka berinteraksi dan menyerap segala nilai-nilai dan norma yang baik seperti adat kesopanan, kejujuran, dan lain sebagainya. Beberapa pemahaman reporter mengenai prinsip-prinsip etika dan kode etik jurnalistik dapat dilihat dalam tabel no 1 berikut. Tabel 1 Pemahaman Reporter Mengenai Prinsip dan Kode Etik Jurnalistik Kode etik jurnalistik menurut PWI. Seperti tidak menerima suap dan memberikan hak kepada narasumber jika memang tidak mau diwawancarai.

Sikap menghadapi narasumber, bagaimana harus menghargai narasumber dan menjaga kepercayaan narasumber.

Rumusan Kode Etik LPP RRI sendiri dalam pemahaman mereka belum ada Tidak menjatuhkan, menggunakan bahasa yang lebih halus, dan senantiasa memikirkan dampaknya ke publik (lebih menjaga agar tidak terjadi kisruh di masyarakat)

Tata pergaulan dengan narasumber, tidak ikut-ikutan reporter bodrex

Rumusan Kode Etik LPP RRI sendiri dalam pemahaman mereka belum ada Kode etik itu kan sudah (ditentukan). Tahun 2006 itu ada 29 organisasi kereporteran yang mendukung dan merumuskan kode etik yang pada prinsipnya kita dalam mencari berita kita santun, tidak merugikan narasumber. Yang kedua dalam menyajikan berita kita harus balance, jadi tidak merugikan salah satu pihak.

Persoalan kode etik adalah penerapan moralitas reporter. Reporter seharusnya memperhatikan bagaimana orang lain akan melihat dirinya sebagai reporter yang baik.

33


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Reporter belum mengetahui adanya rumusan kode etik RRI Intinya jurnalistik ‘jangan berbohong’

Rumusan khusus‌ saya pikir tidak ada ya. Cuma kita hanya kultur saja lah, kultur orang Jawa. Itu saja. Mungkin kalau rumusan khusus kode etik buat reporter, mungkin ada ya

Yang jelas ya norma-norma itu ya. Kitapun dalam penulisan berita juga pakai. Jadi kita tidak menjatuhkan. Begitu. Jadi kita punya bahasa yang lebih halus. Karena sesama reporter pun dalam penulisan berita, kita yang akan ngomong, kalau kita menulis berita pun, kita masih mikir, kalau tulisannya seperti ini, ini tulisan anak kemarin sore. Anak yang masih muda, gitu. Hanya ingin menonjolnya saja, tapi tanpa memikirkan dampak dari itu.

Rumusan Kode Etik RRI tidak diketahui

‌Kaya dikatakan tadi, etika kalau kita berpakaian. Ketika kita akan melakukan wawancara, etika mau menghadap seorang pimpinan.

Meskipun saya tidak hafal seluruhnya pasal-pasal di kode etik jurnalistik itu, setidaknya ada bagian-bagian tertentu yang saya patuhi, saya jalankan. Bagaimana kita menemui narasumber, ada intervensi atau tidak, bagaimana kita bersikap, itu pasti ada mbak. Tetap itu menjadi acuan kita.

Rumusan kode etik RRI tidak diketahui

34


ANALISIS KUALITATIF

Saya sendiri sebenarnya sudah baca, tetapi kalau ditanya pasal ini isinya apa, atau ini ada pasal berapa, saya nggak hapal. Tapi memang banyak teman-teman reporter yang belum pernah membaca kode etik jurnalistik. Tapi menurut saya begini, perlu dan haruslah orang-orang yang bekerja di dunia jurnalistik itu memahami. Sehingga mereka mempunyai rambu-rambu untuk melakukan liputan dan kemudian menyiarkan. Menurut saya ada satu hal yang sangat penting, buat kode etik adalah ada rasa. Di kode etik itu kan ada 5S, S yang terakhir, yakni security itu yang kadang dilupakan. Security ini ’kan masalah keamanan. Ketika berita itu disiarkan apa dampaknya terhadap masyarakat.

Menurut saya, kode etik adalah sebuah lampu yang harus dipatuhi yang prinsip-prinsipnya diantaranya adalah enciptakan perdamaian, supaya tidak terjadi kerusuhan, membuat konflik

Rumusan kode etik RRI tidak diketahui Ya untuk menyiarkan berita secara berimbang, kemudian bagaimana menghargai narasumber juga, yang tidak mau diwawancara bagaimana, sebetulnya untuk etika-etika seorang jurnalis yang bisa kita sebagai jurnalis mempertanggungjawabkannya kepada masyarakat

Kode etik jurnalistik wajib dimiliki oleh seorang reporter, karena kita bersinggungan dengan banyak pihak, disatu sisi ada pertanggungjawaban moral, pertanggungjawaban prestige lembaga atas hasil output siaran kita‌.isinya memilah mana yang boleh, mana yang tidak, mana yang harus diwawancarai mana yang tidak.

Rumusan kode etik RRI tidak diketahui 6. Pengembangan Diri Masyarakat selalu berkembang secara dinamis. Teknologi pun demikian. Perubahan-perubahan lingkungan masyarakat yang berlangsung sangat kompleks tersebut menuntut respon yang berbeda. Dalam dunia baru, dibutuhkan pengetahuan dan skill baru untuk mengatasinya. Oleh karena itu, penting bagi reporter untuk terus-

35


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

menerus mengembangkan diri agar tidak tertinggal oleh kemajuan jaman. Proses pengembangan diri dilakukan oleh reporter yang menjadi informan dalam penelitian ini melalui banyak cara. Mengikuti pelatihan, misalnya, merupakan salah satu usaha untuk mengembangkan diri reporter. Dalam beberapa kasus, pelatihan ternyata mampu menyuntikan pengetahuan dan motivasi kerja baru. Namun, beberapa pelatihan hanya mengulang dari apa yang telah dilakukan oleh reporter selama bertahun-tahun. Akibatnya, pelatihan hanya memberikan refreshing pengetahuan saja dibandingkan sebagai usaha untuk meng-up grade pengetahuan dan skill reporter. Di luar mengikuti pelatihan, ada beberapa reporter yang mampu mengembangkan dirinya baik dari segi wacana maupun skill melalui keaktifanny dalam organisasi profesi. Melalui organisasi inilah beberapa reporter mampu mengembangkan diri, termasuk dalam hal etika jurnalistik. Selain melalui asosiasi profesi dan pelatihan, beberapa reporter mengembangkan diri dengan membaca banyak buku dan literatur sehingga pemahaman mereka mengenai realitas lebih baik. Reporter-reporter yang aktif mengembangkan diri ini, dalam banyak hal, lebih kritis. 7. Kepuasan Kerja Kecintaaan terhadap institusi bukanlah satu-satunya motivasi yang menentukan output kerja. Meskipun demikian, ia turut serta dalam mempengaruhi reporter untuk menghasilkan kerja yang baik. Reporter-reporter yang peduli dan mencintai institusinya akan berusaha untuk bekerja lebih baik sebagai usaha menjaga citra institusi, demikian sebaliknya. Dalam kaitannya dengan spirits de corps ini, hampir sebagian besar reporter yang menjadi informan dalam penelitian ini mempunyai kebanggaan yang baik terhadap RRI. Bahkan, meskipun mereka kritis terhadap institusi, tetapi ketika dihadapkan dengan lembaga swasta, misalnya, kebanggaan mereka terhadap institusi sangatlah besar. Kebanggaan ini didasari oleh setidaknya dua hal, yakni sumber daya yang dimiliki (peralatan dan besarnya SDM yang dimiliki) serta keberadaan RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Meskipun begitu, ada hal yang cukup merisaukan mereka, yakni rendahnya insentif yang mereka dapatkan. Akibatnya, sering muncul dilema antara bekerja keras pada satu sisi, dan rendahnya insentif pada sisi lain. Meskipun hal tersebut tidak dianggap sebagai faktor pengganggu, menurut pengakuan informan, tetapi jelas hal ini menjadi faktor

36


ANALISIS KUALITATIF

pengganggu bagi kemajuan reporter dalam usaha meningkatkan profesionalismenya. B.

Redaktur 1. Latar Belakang Profesional

Sama halnya dengan reporter, masa kerja merupakan hal penting untuk menunjukkan apakah seorang redaktur telah memiliki pengalaman yang cukup. Redaktur dari Pusat Pemberitaan, misalnya, yang menjadi informan dalam penelitian ini memiliki pengalaman tiga puluh tahun bekerja di RRI sehingga dianggap memiliki pengalaman yang cukup memadai untuk menempati posisinya sekarang. Meskipun tetap harus disadari bahwa lama bekerja tidak selalu berkaitan erat dengan pengalaman dan kompetensi karena hal tersebut sangat tergantung pada proses yang ia jalani selama menjadi redaktur di RRI. Redaktur lainnya dari Bandung yang menjadi informan penelitian ini juga mempunyai lama bekerja yang kurang lebih sama. Pertama kali bekerja di RRI pada 1978 dengan posisi awal sebagai reporter. Sampai kini, kedua peran tersebut dia jalani secara bersamaan. Sementara itu, informan dari Purwokerto bergabung dengan RRI sejak tahun 1986 ketika berusia 24 tahun dan langsung masuk ke bagian pemberitaan. Dalam konteks ini, pengalaman sebagai reporter sangat penting bagi seorang redaktur karena memberikan gambaran komprehensif dalam proses kerja sebagai redaktur. Latar belakang pendidikan bagi seorang redaktur juga penting. Informan dari Bandung bekerja di RRI dengan latar belakang pendidikan SMA. Begitu pula informan dari Jakarta karena dia tidak sempat menyelesaikan pendidikan akademinya (setara diploma) di akademi Publisistik di Padang karena pindah bertugas ke Jakarta. Oleh karenanya, hingga sekarang, mereka masih berpendidikan SMA. Hal yang sedikit berbeda adalah redaktur dari Yogyakarta. Ia mempunyai latar belakang pendidikan SMEA dengan spesifikasi ketrampilan mengetik. Informan dari Semarang yang bergabung dengan RRI sejak tahun 1982 memiliki latar belakang pendidikan yang lebih “unik� karena menggunakan ijazah setingkat SMP,yaitu Sekolah Teknik (ST). Kekhasan juga dicontohkan oleh informan dari Denpasar. Walaupun ia perempuan, ia relatif menjalani karir yang bagus karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris. Informan ini seorang lulusan Sastra Inggris. Stasiun Denpasar memang memiliki program berita

37


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

berbahasa Inggris sejak lama. Perannya dalam memproduksi program berbahasa Inggris berkontribusi besar untuk tempatnya bekerja bahkan ia pernah dikirim untuk meliput pertemuan-pertemuan internasional, misalnya GNB dan APEC, juga berbagai pelatihan internasional. Beragamnya latar belakang redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini layak dicermati. Terlebih, latar belakang pendidikan tersebut sangat jarang berhubungan secara langsung dengan dunia media dan jurnalistik, bahkan dapat dikatakan sangat jauh. Seorang redaktur dengan latar belakang pendidikan Sekolah Teknik (ST), misalnya, sangat jauh hubungannya dengan dunia jurnalistik. Untuk pendidikan setaraf SMA untuk seorang redaktur wajar untuk dekade 1970-an, tetapi mungkin tidak memadai untuk masa kini. Ini karena latar belakang pendidikan berhubungan langsung dengan kompetensi yang dimiliki. Seorang wartawan berpendidikan master mestinya mempunyai kompetensi yang jauh berbeda dibandingkan dengan seorang wartawan dengan pendidikan SLTP ataupun SLTA. Oleh karenanya, kualitas liputan yang dihasilkannya juga akan berbeda. 2. Mekanisme Seleksi dan Rekruitmen Sistem kerja adalah konsep yang lebih makro dibandingkan dengan pemahaman atas jurnalisme dan LPP. Dalam konsep ini, akan coba dianalisis proses seleksi sumber daya manusia dan beragam hal lain. Proses penentuan sumber daya manusia yang baru selalu mengikut proses seleksi penerimaan wartawan di RRI yang dahulu menggunakan sistem penerimaan CPNS Departemen Penerangan. Meskipun demikian, untuk reporter yang baru dengan sistem kontrak, seleksi dilakukan melalui serangkaian tes, yaitu psikotest, test tertulis, tes bicara, dan running karena untuk reporter olah raga. Seleksi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pada tiap bagian. Di sisi lain, kebijakan penerimaan sepenuhnya langsung dari pimpinan karena sumber daya manusia sudah tidak memadai. Tenaga kerja kontrak digunakan agar kecepatan mencari berita tidak berkurang. Walau begitu, tenaga kontrak bisa menjadi masalah baru karena seringkali dianggap belum memahami visi RRI yang netral, dan tidak menyinggung pihak lain dalam pemberitaan. Salah seorang redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini mengungkapkan hal tersebut sebagai berikut. Kadang dia hanya mengikuti aliran teman-temannya seperti swasta, koran-koran itu kan vulgar menceritakan apa aja. Padahal di RRI itu jangan kita terlalu..ada

38


ANALISIS KUALITATIF

istilahnya kita menyinggung atau bersingungan dan pokonya berita kita itu pantas untuk dikonsumsi publik.“ Sementara itu, informan lain mengungkapkan hal yang kurang lebih sama. Menurutnya, tidak ada yang mengetahui mengenai proses seleksi penerimaan wartawan baru karena seleksi ditentukan oleh level yang lebih tinggi. Walau begitu, ia tetap mengharapkan wartawan RRI mesti memahami LPP secara baik terlebih dulu sebelum bekerja sebagai wartawan. Padahal, sumber daya manusia adalah elemen penting bagi LPP. Dalam beberapa kasus, stasiun “kekurangan� reporter karena ternyata beban atau volume kerja yang dipikul cukup berat. Dalam kasus Stasiun Denpasar, misalnya, walau sebenarnya secara jumlah sudah memadai, tetapi tetap dinilai oleh informan belum memadai. Salah satu penyebabnya, menurut mereka, banyaknya event besar, baik nasional maupun internasional yang sering diselenggarakan di Bali, yang harus diliput. Persoalan mendasar yang dihadapi oleh LPP RRI dalam hal rekruitmen redaktur adalah ketiadaan kriteria yang tegas sejauh mana seorang reporter berhak menduduki jabatan redaktur. Bahkan, dalam banyak kasus dan ini terjadi di hampir semua stasiun yang menjadi objek penelitian ini, seorang wartawan dapat melakukan pekerjaan reporter dan redaktur dalam waktu bersamaan. Akibatnya, seringkali terjadi, tidak ada pembedaan yang tegas antara keduanya. Kondisi ini tentu mengundang persoalan karena seharusnya ada syarat-syarat tertentu yang bersifat teknis (skill) ataupun pengetahuan (knowledge) sehingga seseorang tidak bisa begitu saja menduduki posisi redaktur. Ketiadaan pembedaan yang ketat ini membuat pelatihan redaktur menjadi tidak efektif. Seperti dikemukakan oleh salah seorang informan, pelatihan redaktur yang diberikan oleh RRI hanya mengulang apa yang telah mereka jalani selama ini, tidak ada pengetahuan baru yang cukup signifikan dalam menambah ketrampilan ataupun pengetahuan mereka guna meningkatkan kapasitas mereka sebagai redaktur di LPP RRI. 3. Pemahaman Radio Publik Konsep pokok dalam riset ini sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya adalah pemahaman jurnalis atas RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Seperti halnya bagi seorang reporter, bagi seorang redaktur, pemahaman ini penting karena menggabungkan konsepsi atas pemahaman struktur dan pemahaman atas tugas mereka sebagai jurnalis. Redaktur yang menjadi informan penelitian ini semuanya

39


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

mengetahui bahwa RRI telah berubah menjadi LPP sejak disahkannya UU No. 32 Tahun 2002. Permasalahannya adalah pada pemaknaan publik yang terlalu luas, terutama mengaitkan publik dengan semua anggota masyarakat. Salah seorang informan bahkan mengemukakan jika publik adalah anggota DPR. Ini karena, menurutnya, DPR merupakan representasi rakyat sehingga dialah yang dianggap paling sah sebagai publik. Di luar itu, semua informan juga mengetahui perbedaan antara lembaga penyiaran publik dengan penyiaran komersial meskipun mereka memiliki pemahaman yang sangat umum mengenai keduanya. Dengan demikian, sangat sulit untuk mendalami pemahaman mereka atas LPP, termasuk posisi wartawan atau jurnalis LPP bila memberitakan sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan dan angle berita tertentu. Hal ini tidak berbeda jauh dengan pemahaman reporter terhadap peranan dan fungsi lembaga penyiaran publik sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Sebagai ilustrasi, dalam pemahaman salah seorang informan, RRI tidak boleh menjadi provokator atau pembuat resah masyarakat. Pemahaman ini sebenarnya masih keliru dalam konteks masyarakat demokratis yang sudah kita rasakan sejak tahun 1998. Pihak yang meminta kejelasan dan berbeda posisi dengan kekuasaan tidak bisa semerta-merta diposisikan sebagai provokator. Sementara itu, redaktur lainnya yang menjadi informan dalam penelitian ini mengemukakan bahwa lembaga penyiaran publik merupakan lembaga yang melayani publik. Sebagaimana ia kemukakan di bawah ini. Kalau pemahaman saya lembaga penyiaran publik adalah lembaga yang melayani publik. Kalau bisa mayoritas publik, mengutamakan kebesaran publik. Kalau dulu selama Orde Baru RRI hanya sebagai layaknya corong pemerintah, maka sekarang harus, meskipun masih milik pemerintah, kapasitas lebih diperbanyak atau setidaknya 50:50. 50 persen untuk melayani publik�. Dari kutipan di atas, ada tiga hal yang perlu dicatat. Pertama, lembaga penyiaran publik melayani publik. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu prinsip pokok lembaga penyiaran publik. Kedua, RRI sebagai lembaga penyiaran publik masih dianggap milik pemerintah. Pemahaman ini barangkali berangkat dari kenyataan bahwa LPP RRI dibiayai oleh APBN sehingga dianggap sebagai pemerintah. Padahal, sebagaimana bisa dirunut dalam undang-undang, LPP bukanlah

40


ANALISIS KUALITATIF

lembaga pemerintah, tetapi lembaga yang didirikan oleh negara. Dalam teori-teori politik, ada perbedaan yang jelas antara pemerintah dengan negara. Pemerintahan hanya salah satu saja elemen berdirinya negara. Oleh karena itu, lembaga negara berbeda dengan lembaga pemerintah (Lihat, misalnya, Heywood, 2002). “Pelayanan publik� juga dimaknai sebagai pengungkapan persoalan-persoalan publik. Dalam kaitan ini, RRI harus mengangkat hal-hal yang terkait dengan permasalahan publik secara umum. Persoalan-persoalan publik harus diungkap, dan aspirasi dari masyarakat harus lebih banyak ditampung, melalui acara-acara, misalnya, dialog interaktif. Salah seorang informan, dengan tegas, mengatakan bahwa lembaga penyiaran publik haruslah melayani kepentingan publik meskipun tersurat bahwa itu bisa tidak seratus persen karena sebagai lembaga penyiaran publik menimal 50% untuk melayani kepentingan publik. Pendapat ini perlu digarisbawahi karena dalam pandangan sementara informan RRI masih merupakan lembaga penyiaran milik pemerintah. Namun, karena statusnya sebagai lembaga penyiaran publik maka harus lebih diorientasikan untuk melayani publik. Berbagai persoalan publik yang perlu diangkat oleh LPP RRI adalah masalah-masalah seperti hukum sebagai sesuatu yang harus diketahui oleh masyarakat. Selanjutnya, dengan pemahaman lembaga penyiaran publik semacam itu, informan bisa membuat perbedaan antara lembaga penyiaran publik dengan swasta. Menurutnya, lembaga penyiaran swasta mengejar profit, sedangkan lembaga penyiaran publik tidak. Oleh karena itu, lembaga penyiaran swasta lebih mementingkan acara-acara yang sifatnya lebih menguntungkan. Jika acara tersebut tidak menguntungkan, maka tidak akan disiarkan. Sebagai lembaga penyiaran publik, dalam menyampaikan berita, RRI juga mempunyai prinsip-prinsip dasar. Sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan, berita RRI seyogianya aktual dan dibutuhkan masyarakat. Sesuatu yang aktual pasti dibutuhkan masyarakat, misalnya, kenaikan BBM. Namun, tidak semua yang dibutuhkan oleh masyarakat bersifat aktual. Ada berita yang tidak aktual, tetapi dibutuhkan masyarakat, misalnya, kasus banjir atau rob di Semarang. Kejadian ini sudah berulang-ulang, tidak aktual, tetapi masih dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara itu, informan dari Bandung mengaku mengetahui pemberlakuan UU No.32 tahun 2002 dari lingkungan kantor dan media. Kemudian, yang paling ia rasakan berkenaan dengan perubahan status RRI menjadi LPP adalah ia dan teman-teman sekarang memberikan

41


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

informasi kepada publik dengan lebih bebas meskipun dengan catatan bebas tersebut masih terkendali. Sebagaimana ia kemukakan, “Maksudnya, bebas tapi masih terkendali. Kita memberikan informasi yang jangan sampai meresahkan publik.” Sebagaimana disinggung di awal, hampir semua informan mampu membedakan lembaga penyiaran publik dengan swasta. Salah seorang redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini, misalnya, mengemukakan “Sesuai namanya, kita bekerja untuk kepentingan publik. Sesuai bidang saya, untuk dialog, kalau swasta biasanya ditarik bayaran, tetapi kalau kita tidak melakukan seperti itu.” Setelah ditanya lebih mendalam tentang perbedaan apa saja di antara keduanya, ia menyebutkan, “Penyiar RRI lebih santun, bahasanya juga lebih dalam batas-batas ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Kalau radio swasta ada bahasa-bahasa prokem.” Redaktur yang menjadi informan dari Purwokerto lebih lanjut mengemukakan bahwa RRI sebagai lembaga penyiaran publik harus mengangkat persoalan-persoalan di masyakat sebagaimana ia kemukakan di bawah ini. Kalau sekarang lebih mengangkat masalah-masalah yang ada di masyarakat meskipun kontra. Namun, tentu saja, tidak harus yang kontra semua. Istilahnya cover both side. Jadi, dari pemerintah kalau bagus kita beritakan bagus, tetapi kalau jelek, ada proyek-proyek yang jelek, kita beritakan juga seperti itu. Sekarang, masyarakat menilai bahwa RRI berbeda Informan lain juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan berikut. Kalau dulu memang dari sana seperti itu. Saya rasa perubahan itu cuma itu. Berubah itu jelas berubah, kalau dulu penemuan mayat itu nggak ada. Iya kan, waktu jaman masih ada Deppen itu kita nggak ada itu. Setelah kita LPP itu kita seperti itu, pokoknya, berita yang mungkin sangat membantu kepentingan masyarakat, warga. Sekarang itu, perbedaannya di situ. Saya kira itu. Kalau dulu waktu ada Deppen itu kita sepertinya corong pemerintah apalagi waktu ada Golkar dulu, semacam ada intervensi dari atas.” Di sisi lain, perubahan-perubahan yang dilakukan RRI sudah mulai dirasakan oleh para jurnalis. Salah seorang informan mengungkapkan

42


ANALISIS KUALITATIF

bahwa berita tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi juga, yang lebih penting, bagaimana masyarakat melihat tersebut. Hal ini dengan tegas dikemukakan oleh redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini sebagaimana dapat dilihat dalam kutipan di bawah ini. ‌. karena saya dari kecil jadi saya juga merasakan ada perubahan yang cukup signifikan. Kita dulu dijulukinya corong pemerintah, beritanya kebanyakan tentang pemerintah. Dulu kita juga tidak banyak dialog interaktif yang melibatkan masyarakat. Kalau sekarang ada program dari pemerintah dan bagaimana menurut masyarakat?.... Jadi, sekarang ini, perubahan menjadi lembaga penyiaran publik kita lebih memperhatikan kepentingan publik dan juga mengubah pola pikir masyarakat bahwa RRI bukan corong pemerintah, tapi memperhatikan suara dari masyarakat Menurut informan, perubahan-perubahan tersebut telah membuat pendengar menjadi lebih banyak dan antusias. Meskipun demikian, penting bagi RRI agar tetap menjaga kesopanan dalam menyiarkan berita. Ini penting untuk menjaga kepentingan publik sehingga RRI harus berhati-hati. 4. Mekanisme Sosialisasi dan Training Latar belakang pendidikan pekerjaan mempunyai hubungan erat. Asumsinya, latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang kerja akan membantu kinerja wartawan yang bersangkutan. Namun sayangnya, dalam konteks penelitian ini, hanya sedikit redaktur yang memiliki latar belakang sesuai dengan dunia jurnalisme. Sebagai ilustrasi, salah seorang redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini mempunyai latar belakang pendidikan Sarjana Hukum. Ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dengan bidang kerja jurnalisme sebagaimana terjadi dalam kerja-kerja redaktur sebenarnya bisa diatasi dengan pelatihan yang cukup. Pelatihan ini terdiri dari dua macam, yaitu pelatihan yang dilakukan oleh institusi atau yang ditempuh oleh keinginan personal. Persoalan pokok berikutnya adalah penjadwalan pelatihan dan topik pelatihan. Dalam konteks ini, penjadwalan pelatihan mesti disusun dengan lebih baik agar pelatihan bisa diikuti oleh jurnalis yang bersangkutan. Topik juga penting karena jurnalisme radio telah mengalami perkembangan yang pesat, terutama bila dikaitkan dengan konvergensi media. Di sisi lain, peningkatan kompetensi menyangkut aspek

43


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

manajerial dari media, antara lain pelatihan sebagai redaktur juga tidak kalah pentingnya. Pelatihan semacam ini sudah ada walau belum spesifik. Selain itu, pelatihan manajerial dianggap kurang sesuai dengan tujuannya karena materinya sudah dipahami dan merupakan pengulangan sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan berikut ini. ‌Jadi, waktu diklat itu, memang informasi yang kita peroleh sudah kita lakukan sehingga, menurut saya, hanya mengingatkan kembali pada tugas-tugas kita di daerah selaku jurnalis radio. Sebenarnya, di pemberitaan, tanpa disuruh kita kerja gitu, tanpa ada pimpinan kita juga kerja karena tanggung jawab sebagai seorang jurnalis. Sementara itu, mengenai training yang secara spesifik membahas lembaga penyiaran publik, dalam pemahaman redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini, belum pernah mereka dapatkan. Sebaliknya, sebagian informan mendapatkan informasi mengenai lembaga penyiaran publik (LPP) tidak melalui suatu training khusus, tetapi dari proses pencarian yang sifat mandiri. Informasi mengenai LPP sudah cukup memadai karena sudah disebarkan melalui bukubuku, internet, dan selalu disampaikan dalam pertemuan dengan atasan. Selain itu, informasi mengenai LPP juga didapatkan melalui pertemuan langsung denagn Direktur Utama LPP RRI ketika, misalnya, berkunjung ke stasiun lokal. 5. Etika Jurnalistik Pemahaman lain yang berkaitan dengan LPP adalah pemahaman atas kode etik. Dalam pemahaman sementara informan, prinsip etika jurnalistik bila dikaitkan dengan LPP belumlah ada. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan salah seorang informan, etika yang diterapkan adalah etika yang bersifat umum, berkaitan dengan etika jurnalistik yang sama untuk semua wartawan di LPP ataupun tidak. Kemudian, berkenaan dengan kode etik jurnalistik, hampir semua redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini setuju bahwa dalam setiap kegiatan jurnalistik, penerapan kode etik adalah suatu keharusan. Di sini, prinsip etika yang harus diterapkan adalah informasi yang disajikan harus aktual, benar, dan mengabdi pada kepentingan publik. Lebih lanjut, informan lain mengatakan bahwa meskipun di RRI sendiri tidak ada etika jurnalistik secara tertulis, tetapi ada rambu-rambu yang biasanya diingatkan oleh pimpinan mengenai

44


ANALISIS KUALITATIF

etika tersebut. Prinsip-prinsip etika yang dimaksud antara lain, menghormati asas praduga tak bersalah, penghinaan terhadap seseorang, konfirmasi narasumber, penggunaan bahasa yang harus sopan dan tidak menyinggung orang lain. Informan lainnya dari Surabaya menambahkan bahwa ada ukuran kepantasan berita yang dapat dikonsumsi publik, yaitu jangan menyinggung atau bersinggungan dengan pihak lain. Menurutnya, “Kepantasannya ya umpama, jalan kereta api yang tenggelam di Porong itu kan, kita ngangkat kasusnya itu musibah bukan langsung gara-gara Lapindo, ada kalimat seperti itu kita edit”. Pendapat ini menunjukkan bahwa pada tataran normatif, informan memiliki pengetahuan tentang pengertian jurnalistik publik, tetapi pada pelaksanaan niat ‘kepantasan’ dan ‘solutif’ justru menjauhkan pendengar dari kenyataan. 6. Pengembangan Diri Aktivitas di tempat kerja tentu saja merupakan aktivitas yang utama bagi semua reporter dan juga redaktur. Sebagian besar waktu dihabiskan di kantor. Hal ini terutama terjadi di stasiun Purwokerto dan Yogyakarta. Bahkan untuk beberapa redaktur, waktu luang dan waktu di luar jam kantor pun digunakan untuk menjalin hubungan yang baik dengan narasumber dan mengembangkan kompetensi diri. Informan dari Sumenep, misalnya, mengatakan selalu mencari berita dan informasi baru melalui internet bila tidak bekerja, antara mencari isu nasional yang bisa dikembangkan di daerah. Sementara di luar kantor, wartawan memiliki kegiatan masingmasing. Ada yang berusaha meningkatkan kompetensi diri, ada pula yang sepenuhnya untuk kepentingan keluarga dan lingkungan sosial sekitar. Menurut informan dari Bandung, di luar kegiatan rapat dan peliputan, setahu dia, kegiatan wartawan RRI bermacam-macam. Biasanya, mereka berusaha menjalin hubungan baik dengan narasumber atau membangun relasi dengan banyak pihak. Informan dari Jakarta mengatakan bahwa di luar kantor dia berusaha “mengabdi” pada lingkungannya. Dia dikenal sebagai pemuka masyarakat di lingkungan sosial sekitar tempat tinggalnya. 7. Mekanisme Keredaksian Sebuah berita tidak hadir begitu saja di hadapan pendengar. Ia melibatkan proses dan sistem kerja. Sebuah berita bisa lahir dari “kreasi” jurnalis di lapangan dalam menemukan berita yang layak,

45


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

tetapi lebih diantaranya merupakan proses keredaksian, yang dalam konteks RRI lahir dari apa yang sering mereka sebut sebagai agenda setting. Selanjutnya, oleh karena berita merupakan hasil sebuah proses, maka proses tersebut akan sangat menentukan kualitas berita. Untuk itu, wawancara mendalam yang dilakukan dengan redaktur melibatkan usaha untuk menyingkap bagaimana mekanisme keredaksian mereka kerjakan. Salah seorang informan mengungkapkan bahwa pertimbanganpertimbangan untuk menentukan kualitas dan kelayakan berita terletak pada seberapa besar hal tersebut berhubungan dengan kepentingan publik. Namun, hal tersebut tidak didasarkan ada ukuran-ukuran yang jelas, tetapi lebih pada feeling. Kriteria kelayakan berita juga bisa dicari persamaannya dengan media lain sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang informan di bawah ini. Kadang kami berpikiran publik kan tidak hanya mendengarkan RRI ya, jadi kami memonitor informasi dari media-media lain. Berita apa yang sedang mencuat di media massa. Nah, berarti itulah yang dibutuhkan publik. Lalu, kami baca-baca koran, mencari apa yang belum diangkat, dari situlah menentukan angle-nya Selanjutnya, dalam hal mencari dan menyajikan berita, termasuk menentukan angle berita, menurutnya, yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan publik. Dalam kata-katanya, ”Mana yang sesuai dengan kepentingan publik. Misalnya, tentang demonstrasi mahasiswa mengenai suatu kebijakan atau isu. Kita mewawancarai mahasiswa, lalu pengamat, dan para pengambil kebijakan. Jadi, jangan sampai kita memberikan informasi yang mengambang”. Mengenai penentuan mekanise dan agenda pemberitaan atau di RRI dikenal dengan nama agenda setting adalah aspek penting. Sayangnya, untuk stasiun tertentu, hal tersebut tidak dilakukan. Seorang redaktur yang menjadi informan penelitian ini mengemukakan, “Perlu ada agenda setting, jadi ada penentuan hari ini harus ada berita apa, sudah harus masuk jam berapa, saya sangat berharap mekanisme seperti itu ada.” Pernyataan ini mengindikasikan bahwa di stasiun tersebut tidak dilakukan agenda setting, yang di tempat lain hal tersebut dilakukan. Redaktur yang menjadi informan dari Jakarta, misalnya, mengemukakan bahwa agenda setting adalah suatu keharusan. Agenda setting atau sistem kerja dalam menentukan berita dilakukan dua kali sehari. RRI menyebutnya “agenda setting”,

46


ANALISIS KUALITATIF

yaitu pukul 10.00 dan pukul 15.00. Agenda setting yang dilaksanakan sore hari mendapatkan perhatian lebih karena reporter telah kembali dari tugasnya. Agenda setting sore hari yang peneliti ikuti berjalan sangat dinamis dan menarik walau pemahaman mengenai agenda setting perlu dipertajam dari sisi kepublikannya. Selain mengikuti agenda setting, informan juga memiliki memiliki tugas lain, yaitu menjabarkan topik dan berkoordinasi dengan koordinator liputan untuk mencari dan membuat janji dengan narasumber. Redaktur juga berupaya mencari topik-topik berita baru dengan mencari melalui media lain semisal internet. Bila di Jakarta dilakukan sehari dua kali, tidak demikian halnya di Bandung. Rapat yang dinamakan rapat produksi dilakukan seminggu sekali. Hal yang dibicarakan adalah pembuatan agenda, agenda setting tentang topik-topik yang aktual, kemudian penugasan reporter sesuai dengan bidang liputannya. Di stasiun Semarang, sistem kerja juga berdasarkan pada rapat agenda setting. Rapat ini dilakukan pada waktu pagi. Namun, seringkali hanya dilakukan oleh beberapa orang karena reporter sudah harus di lapangan sehingga instruksi mengenai berita disampaikan melalui telepon. Hal serupa terjadi di stasiun Mataram. Dalam menyiarkan berita, RRI Stasiun Mataram biasa melakukan rapat agenda setting yang dilakukan setiap hari pada waktu pagi. Biasanya, membahas topik apa yang akan diangkat pada hari itu. Kemudian, untuk menentukan topik aktual yang akan diangkat, beberapa media nasional seringkali dijadikan rujukan. Keunikan di Mataram adalah mempunyai apa yang disebut sebagai Dewan Redaksi Daerah. Dewan ini beranggotakan para kasi yang tugasnya adalah melakukan evaluasi setiap minggu berkenaan dengan “perjalanan� RRI selama seminggu. Temuan di Cirebon sedikit berbeda. Menurut redaktur yang menjadi informan penelitian ini, sebenarnya, pimpinan mengharapkan ada rapat tema setiap hari, tetapi karena reporter sudah lebih dekat dengan kejadian atau sumber berita daripada ke kantor, maka biasanya banyak yang sudah liputan sebelum ada rapat. Akhirnya, yang ditempuh bukan rapat tema, tetapi lebih pada sistem penunjukan atau penugasan. Selain itu, juga tergantung ide dari masing-masing wartawan untuk mencari berita. Jadi, memang tidak ada rapat umum yang membahas strategi dalam menentukan berita.

47



BAB IV ANALISIS KUANTITATIF PEMAHAMAN JURNALIS TERHADAP PERAN DAN FUNGSI RRI SEBAGAI LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK

Sesuai dengan karakter penelitian kuantitatif dengan metode survei, analisis data dalam penelitian ini diperlukan untuk mengetahui jawaban responden berdasarkan Skala Likert atas item-item pertanyaan kuesioner sehingga menghasilkan kecenderungan pola-pola tertentu. Kemudian, dilakukan penghitungan terkait dengan kategori penilaian akhir pada dua variabel (variabel latar belakang profesional dan variabel pemahaman jurnalis LPP RRI menyangkut peran dan fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik). Kedua variabel tersebut diukur dengan melihat persentase keseluruhan coding unit dengan menggunakan sistem pembobotan interval 1 sampai 5. Nilai 5 untuk jawaban yang diasumsikan positif dan 1 memiliki bobot terkecil. Dalam penelitian ini, pembobotan diberikan sesuai dengan konteks pertanyaan, misalnya, untuk item pertanyaan mengenai apakah latar belakang pendidikan jurnalis mencukupi untuk berkarir sebagai jurnalis RRI, maka jawaban sangat setuju diberi bobot nilai 5 dan jawaban sangat tidak setuju diberi nilai 1. Selanjutnya, bobot yang telah diberikan pada masing-masing jawaban atas variabel diakumulasi untuk memberikan skor/nilai pada aspek latar belakang profesional jurnalis (15 item pertanyaan) dan pemahaman secara keseluruhan jurnalis terhadap RRI sebagai LPP (20 item pertanyaan). Akumulasi skor minimal dan maksimal dari dua variabel tersebut dikelompokkan dalam skala tertentu dengan memberikan nilai berjenjang berdasarkan lima kategori, yakni sangat buruk, buruk, sedang, baik, dan sangat baik atau sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Persentase nol atau 0% dengan kategori yang tidak ada dalam interval, tidak ditampilkan dalam penyajian data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dimulai dari aktivitas menyebarkan kuesioner kepada redaktur dan reporter RRI

49


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

sebanyak 100 kuesioner di 10 stasiun RRI (Stasiun Jakarta, Bandung, Cirebon, Purwokerto, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Sumenep, Denpasar, dan Mataram). Kuesioner yang diisi dan dikembalikan oleh responden sebanyak 88 lembar kuesioner (88%). Setelah terkumpul, selanjutnya, dilakukan koding, yakni memasukkan data ke dalam kategorisasi yang ditentukan sesuai instrumen yang ada dalam lembar koding (coding sheet). Setelah data dimasukkan dalam lembar koding, tahapan selanjutnya memasukkan data ke dalam komputer (data entry) guna proses pengolahan data. Langkah berikutnya, peneliti menganalisis data dan kemudian menginterpretasikannya berdasarkan kerangka pemikiran yang dibangun pada bab 1 dan 2. Tahapan terakhir, peneliti mengambil kesimpulan dan memberikan rekomendasi penelitian. Dalam riset ini, digunakan metode analisis deskriptif, yakni teknik analisis data yang bertujuan memberikan informasi mengenai data yang diamati agar bermakna dan komunikatif. Meskipun demikian, penelitian ini tidak bertujuan menguji hipotesis serta menarik kesimpulan yang digeneralisasikan terhadap hipotesis (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007: 94; Azwar, 2007: 6-7). Hasil akhir penelitian deskriptif biasanya berupa tipologi atau pola-pola mengenai fenomena atau gejala yang diteliti (Prasetyo dan Jannah, 2005: 42). Dalam kaitan ini, tujuan utama analisis deskriptif, yaitu menggambarkan karakteristik data, meringkas, serta mendeskripsikan data (Purwanto dan Sulistyastuti, 2007: 109). Berikut ini ditampilkan temuan datanya. A.

Profil Responden 1. Asal Stasiun

Penelitian ini mengambil 100 responden dari 10 stasiun RRI yang berada di Jawa dan Bali, yakni RRI Stasiun Jakarta, RRI Stasiun Bandung, RRI Stasiun Cirebon, RRI Stasiun Purwokerto, RRI Stasiun Semarang, RRI Stasiun Yogyakarta, RRI Stasiun Surabaya, RRI Stasiun Sumenep, RRI Stasiun Denpasar, dan RRI Stasiun Mataram. Pilihan atas stasiun dilakukan secara purposif, yakni satu stasiun koordinator dan satu stasiun yang berada di bawahnya. Satu stasiun yang berada di bawahnya ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi sosioekonomi masyarakatnya. Termasuk di dalamnya, kategori-kategori yang bersifat budaya.

50


ANALISIS KUANTITATIF

Dari 100 responden yang menerima kuesioner, sebanyak 88 orang (88%) mengisi dan mengembalikan berkas. Sisanya, 12% tidak mengisi atau mengembalikan kuesioner. Persebaran 88 responden dari sepuluh stasiun dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Stasiun RRI Tempat Responden Bekerja Stasiun

Jumlah

%

Jakarta Bandung Cirebon Purwokerto Semarang Yogyakarta Surabaya Sumenep Denpasar Mataram

9 10 10 6 10 9 8 7 9 10

10.2% 11.4% 11.4% 6.8% 11.4% 10.2% 9.1% 8.0% 10.2% 11.4%

Total

88

100.0%

2. Usia Dari 88 responden yang mengembalikan kuesioner, rata-rata usia responden adalah 43,29 tahun. Responden paling muda berusia 20 tahun, sedangkan responden dengan usia tertua adalah 55 tahun. Namun demikian, terdapat data missing /kuesioner tentang usia yang tidak diisi, sebanyak 15 responden (17%). Dari data ini, terlihat bahwa secara umum usia reporter RRI mendekati paruh baya yang dalam tinjuan manajemen sumber daya manusia tidak lagi termasuk kategori usia produktif. 3. Jenis Kelamin Dari 88 responden yang mengembalikan kuesioner, sebanyak 61.4 % berjenis kelamin laki-laki dan 28.4% berjenis kelamin perempuan. Tercatat sebanyak 10.2% responden tidak mengisi data jenis kelamin.

51


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Tabel 2. Jenis Kelamin Responden Jenis kelamin

Jumlah

%

Laki-laki Perempuan Tidak mengisi

54 25 9

61.4% 28.4% 10.2%

Total

88

100.0%

4. Pendidikan Data kuesioner menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terakhir jurnalis RRI dengan persentase terbesar adalah lulusan S1 sebanyak 47 orang (53.4%) dan urutan kedua adalah lulusan SMA atau sederajat sebanyak 23 orang (26.1%). Sisanya dengan persentase kecil adalah lulusan Diploma IV (5,7%), Diploma I (3.4%), Diploma III (3.4%), dan masing-masing satu orang 1,1%) yang memiliki tingkat pendidikan pascasarjana, Diploma II, dan SLTP/Sederajat. Sebanyak 4 responden (4.5%) tidak mengisi data tingkat pendidikan. Tabel 3. Tingkat Pendidikan Responden Pendidikan

Jumlah

%

SLTP sederajat SMA sederajat S1 S2 Diploma I Diploma III Diploma IV Diploma II Tidak mengisi

1 23 47 1 3 3 5 1 4

1.1% 26.1% 53.4% 1.1% 3.4% 3.4% 5.7% 1.1% 4.5%

Total

88

100.0%

5. Latar Belakang Keilmuan Latar belakang keilmuan responden tergolong sangat beragam, tidak ada bidang kelimuan tertentu yang menonjol. Berikut ini daftar ragam latar belakang keilmuan reporter RRI yang menjadi responden penelitian.

52


ANALISIS KUANTITATIF

Tabel 4. Latar Belakang Keilmuan Responden Jurusan/Program Studi

N

%

Tidak Mengisi Administrasi Administrasi Negara Akuntansi Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Dakwah / Komunikasi & Penyiaran Islam Disain Komunikasi Visual Ekonomi Fisipol Hubungan Internasional Hubungan Masyarakat Ilmu Hukum Ilmu Komunikasi Ilmu Pemerintahan IPA IPS Jurnalistik Jurnalistik (MMTC) Kedokteran Hewan Komunikasi Komunikasi Penyiaran Islam Manajemen Berita (STMM MMTC) Manajemen Bisnis Manajemen Produksi Berita (MMTC) Manarita Manarita (MMTC) Otomotif Penyiaran Perencana Publistik Radio - TV / Bhs. Indonesia Rebrisat Sastra Sastra Indonesia dan daerah Sosiologi Tata Niaga

17 1 3 1 1 1 1 1 5 3 3 1 5 5 2 4 6 2 1 1 3 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 3 1 2 1

19.3% 1.1% 3.4% 1.1% 1.1% 1.1% 1.1% 1.1% 5.7% 3.4% 3.4% 1.1% 5.7% 5.7% 2.3% 4.5% 6.8% 2.3% 1.1% 1.1% 3.4% 1.1% 1.1% 1.1% 1.1% 2.3% 2.3% 1.1% 1.1% 1.1% 1.1% 1.1% 1.1% 3.4% 1.1% 2.3% 1.1%

Total

88

100.0%

53


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

6. Lama Bekerja Rata-rata lama bekerja jurnalis RRI jika dilihat dari 88 responden yang mengembalikan kuesioner adalah 19.248 tahun. Tercatat, responden yang masa kerjanya paling baru adalah 0.6 tahun (7 bulan), sedangkan responden yang paling lama bekerja tercatat memiliki masa kerja 30 tahun. 7. Pengalaman Pelatihan Terkait dengan keikutsertaan dalam pelatihan, sebanyak 71 orang (80.7%) responden yang mengembalikan kuesioner menyatakan pernah mengikuti pelatihan dan sebanyak 14 orang (15.9%) tidak pernah mengikuti pelatihan, sedangkan 3 orang (3.4%) tidak memberikan jawaban. Tabel 5. Pengalaman Pelatihan Pernah Mengikuti Pelatihan

Jumlah

%

Tidak Ya Tidak mengisi

14 71 3

15.9% 80.7% 3.4%

Total

88

100.0%

B. Deskripsi Jawaban Responden Berikut ini rangkuman deskripsi jawaban 88 responden terhadap 35 item pertanyaan kuesioner untuk memberikan gambaran data umum penelitian yang diperoleh berdasarkan persepsi jurnalis terhadap diri dan lingkungan pekerjaannya. Cetak tebal menunjukkan kategori jawaban tertinggi/paling banyak dipilih responden. Catatan umum berkaitan dengan temuan yang menonjol diberikan pada akhir deskripsi data. 1. Latar Belakang Profesional Profesionalitas seorang jurnalis akan sangat menentukan output berita yang dihasilkan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting untuk melihat latar belakang profesional masing-masing jurnalis. Di sini, latar belakang profesional akan dilihat berdasarkan dua hal, yakni latar belakang pendidikan dan perjalanan karir masing-masing jurnalis.

54


ANALISIS KUANTITATIF

Latar belakang pendidikan jelas memberikan kontribusi besar dalam menentukan output jurnalis karena menjadi dasar pengembangan pengetahuan dan ketrampilan, sedangkan latar belakang karir perlu dilihat karena berkenaan dengan jam terbang seorang jurnalis. Temuan penelitian adalah sebagai berikut. a. Dalam persepsi responden, latar belakang pendidikan mencukupi untuk berkarir sebagai reporter RRI Tabel 6. Persepsi tentang Latar Pendidikan Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 5 7 52 23

1.1% 5.7% 8.0% 59.1% 26.1%

Total

88

100%

b. Dalam persepsi responden, latar belakang profesional (pengalaman karir) membantu pekerjaan sebagai reporter RRI Tabel 7. Persepsi tentang Pengalaman Karir Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

4 6 43 34 1

4.5% 6.8% 48.9% 38.6% 1.1%

Total

88

100%

Dari data di atas, tampak bahwa persentase responden yang setuju mengenai latar belakang pendidikan dan jenjang karir membantu pekerjaan sebagai jurnalis di RRI menduduki persentase terbesar, masing-masing 59.1% dan 48,9%. Dari sudut pandang ini, tampak sebenarnya bagaimana kontribusi pendidikan dan jenjang karir dalam mendukung pekerjaan wartawan. Bahkan, jika digabung

55


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

dengan persentase responden yang menjawab sangat setuju, maka persentasenya menjadi sangat besar sekali sehingga bisa dikatakan bahwa dari segi ini tidak mempunyai masalah yang mendasar. Meskipun demikian, tetap harus disadari bahwa jawaban pertanyaan ini melibatkan persepsi responden yang secara teoritik mungkin masih bermasalah mengingat pendidikan dengan latar jurnalis sebagaimana dapat dilihat pada data sebelumnya masih sangat rendah (lihat tabel 40) 2. Seleksi dan Rekruitmen Jawaban responden mengenai latar belakang pendidikan dan karir pada dasarnya juga dipengaruhi oleh proses seleksi yang dijalani oleh seorang jurnalis. Di sini, ada dua pertanyaan pokok yang diajukan, yakni apakah penerimaan reporter RRI adil dan transparan serta proses kaderisasi di RRI. a. Dalam pandangan responden, seleksi dan rekuitmen jurnalis sudah adil dan transparan Tabel 8. Persepsi tentang Transparansi Proses Seleksi dan Rekruitmen Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

2 11 28 37 10

2.3% 12.5% 31.8% 42.0% 11.4%

Total

88

100%

b. Proses regenerasi dan kaderisasi pengelola dan reporter di RRI berjalan baik

56


ANALISIS KUANTITATIF

Tabel 9. Persepsi tentang Proses Regenerasi dan Kaderisasi Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

5 27 16 36 2 2

5.7% 30.7% 18.2% 40.9% 2.3% 2.3%

Total

88

100%

3. Sosialisasi dan Training Penelitian ini berkenaan dengan lembaga penyiaran publik atau lebih tepatnya bagaimana pemahaman jurnalis terhadap peran dan fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Perubahan status RRI dari sebelumnya, katakanlah, sebagai lembaga penyiaran pemerintah menjadi lembaga penyiaran publik tentu saja memerlukan proses sosialisasi dan mungkin internalisasi. Proses sosialisasi tersebut bisa dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui training, workshop maupun melalui berbagai media yang lain. Pada penelitian kuantitatif ini, pertanyaan pokok yang diajukan adalah apakah mereka mendapatkan training ataupun workshop yang berkaitan dengan lembaga penyiaran publik. Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut. a. Menurut responden, mereka pernah mendapatkan pendidikan, training, dan workshop yang secara khusus berhubungan dengan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik Tabel 10. Persepsi tentang Pengalaman Training terkait RRI Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

2 6 7 51 22

2.2% 6.8% 8.0% 58.0% 25.0%

Total

88

100%

57


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

b. Materi yang diberikan dalam pelatihan yang diikuti sudah sesuai dengan tuntutan profesi sebagai reporter radio bersatus Lembaga Penyiaran Publik Tabel 11. Persepsi tentang Kesesuaian Materi Training Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

3 4 13 53 15

3.4% 4.5% 14.8% 60.2% 17.0%

Total

88

100%

c. Pelatihan, training, workshop dan semacamnya yang pernah diikuti menambah pemahaman tentang RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik Tabel 12. Persepsi tentang Manfaat Training Bagi Pemahaman Reporter Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 2 4 58 23

1.1% 2.3% 4.6% 65.9% 26.1%

Total

88

100%

d. Training, workshop dan semacamnya yang pernah diikuti reporter menunjang ketrampilan melakukan peliputan berita yang memenuhi kebutuhan publik

58


ANALISIS KUANTITATIF

Tabel 13. Persepsi tentang Manfaat Training Bagi Ketrampilan Reporter Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

2 1 4 60 21

2.3% 1.1% 4.5% 68.2% 23.9%

Total

88

100%

4. Pengembangan Diri Pengembangan diri memang tidak secara langsung berhubungan dengan pemahaman jurnalis mengenai peran dan fungsi lembaga penyiaran publik. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa para jurnalis yang aktif dalam mengembangkan diri baik dalam kerangka peningkatan structure of knowledge maupun ketrampilan mereka akan sangat mendukung tugas-tugasnya dalam memproduksi berita. Dengan begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa jurnalis-jurnalis yang aktif akan mempunyai pemahaman yang lebih baik mengenai peran dan fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Hal ini berbeda dengan jurnalis yang hanya mengandalkan sosialisasi atasan atau semacamnya. Untuk melihat hal ini, ada satu pertanyaan yang diajukan kepada jurnalis, yakni apakah jurnalis akan terus meningkatkan pemahaman dan ketrampilannya dalam mendukung perwujudan RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Jawaban atas pertanyaan ini dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14. Pengembangan Diri Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 4 56 27

1.1% 4.6% 63.6% 30.7%

Total

88

100%

59


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

5. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja mungkin tidak ada hubungannya dengan tingkat pemahaman jurnalis terhadap peran dan fungsinya sebagai bagian dari lembaga penyiaran publik. Namun, kepuasan kerja akan memberikan rasa nyaman dan dengan demikian akan memberikan lebih banyak energi bagi para jurnalis untuk mengembangkan diri dan bekerja secara maksimal. Rasa puas juga akan mendorong rasa peduli atas keberadaan institusi, yang dalam hal ini sebagai lembaga penyiaran publik. Pada akhirnya, hal tersebut akan mendorong untuk terus belajar dan bekerja secara profesional. Kemudian, untuk melihat hal ini, ada lima pertanyaan kunci yang diajukan kepada jurnalis, yakni bagaimana perasaan mereka sebagai jurnalis RRI, seberapa besar keuntungan yang mereka dapatkan, beban kerja dengan imbalan yang mereka dapatkan, reward and punishment serta kemungkinan pindah kerja. Keseluruhan jawaban responden dapat dilihat dalam paparan berikut. a. Perasaan bangga menjadi reporter RRI Tabel 15. Kepuasan Kerja (Perasaan Bangga) Jawaban

Jumlah

%

Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

1 44 42 1

1.1% 50.0% 47.7% 1.1%

Total

88

100%

b. Mendapat keuntungan atau manfaat yang besar menjadi reporter RRI Tabel 16. Kepuasan Kerja (Mendapat Manfaat)

60


ANALISIS KUANTITATIF

Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 1 52 34

1.1% 1.1% 59.1% 38.6%

Total

88

100%

c. Beban kerja dan penghasilan yang diperoleh (gaji dan tunjangan) sudah seimbang Tabel 17. Kepuasan Kerja (Beban Kerja dan Penghasilan) Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

6 17 24 38 1 2

6.8% 19.3% 27.3% 43.2% 1.1% 2.3%

Total

88

100%

d. Mekanisme reward dan punishment/sanksi yang diberikan terhadap reporter RRI sudah adil dan transparan Tabel 18. Kepuasan Kerja (Reward and Punishment) Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

3 32 28 18 6 1

3.4% 36.4% 31.8% 20.5% 6.8% 1.1%

Total

88

100%

61


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

e. Rencana pindah kerja dari RRI karena menjadi reporter RRI tidak sesuai dengan apa yang diharapkan Tabel 19. Kepuasan Kerja (Keinginan Pindah Kerja) Jawaban

C.

Jumlah

%

Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju

1 3 11 55 18

1.1% 3.4% 12.5% 62.5% 20.5%

Total

88

100%

Pemahaman Jurnalis terhadap RRI sebagai LPP

Ditinjau dari sudut pandang teoritik, sebuah institusi media pasti mempunyai kerangka ideologi yang mendasari setiap penyusunan program, baik hiburan maupun berita. Bagi lembaga penyiaran swasta, orientasi mereka adalah mengejar keuntungan. Oleh karena itu, mereka akan cenderung mengeksploitasi pasar yang besar. Lembaga siaran swasta juga akan cenderung mengejar rating karena hal ini berhubungan dengan jumlah pendengar. Semakin banyak pendengar maka semakin besarlah iklan yang masuk sehingga tidak mengherankan jika lembaga penyiaran swasta kurang mendidik karena yang paling diutamakan adalah mengeksploitasi selera dan keinginan masyarakat dibandingkan dengan memberikan apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Hal ini berbeda dengan lembaga penyiaran publik. Lembaga ini diwajibkan untuk melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Terutama, kelompok-kelompok minoritas yang kemungkinan besar kurang dilayani oleh lembaga siaran swasta. Lembaga penyiaran publik juga harus mendidik, baik dalam konteks politik, sosial, atau bahkan budaya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan jika ada yang mengatakan bahwa khalayak yang menonton atau mendengarkan lembaga penyiaran publik lebih paham politik dibandingkan dengan para penonton atau pendengar media swasta. Ini terjadi karena lembaga penyiaran publik mempunyai nilai edukasi yang tinggi dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta. Dengan demikian, lembaga penyiaran publik mempunyai tugas yang jauh lebih berat dibandingkan dengan lembaga penyiaran swasta. Untuk itu, para

62


ANALISIS KUANTITATIF

penyelenggara lembaga penyiaran publik harus memahami dengan baik filosofi tersebut. Jika tidak, maka lembaga penyiaran publik hanya merupakan status, yang secara substansial sangat berbeda. Kemudian, untuk mengetahui sejauh mana jurnalis mengetahui peran dan fungsi lembaga penyiaran publik, maka ada beberapa pertanyaan yang diajukan, yakni apakah mereka mengetahui status RRI setelah disahkannya UU No. 32 tahun 2002; apakah mereka mampu menjelaskan apa yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik tersebut; dan lain sebagainya. Keseluruhan jawaban pertanyaan tersebut dapat dilihat dalam uraian berikut. 1. Mengetahui bahwa setelah UU No. 32 tahun 2002 disahkan, status RRI berubah menjadi Lembaga Penyiaran Publik Tabel 20. Persentase Reporter yang Mengetahui Perubahan Status RRI Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

1 8 52 25 2

1.1% 9.1% 59.1% 28.4% 2.3%

Total

88

100%

2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar Lembaga Penyiaran Publik Tabel 21. Persentase Reporter yang Mengetahui Prinsip Lembaga Penyiaran Publik Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 17 59 11

1.1% 19.3% 67.1% 12.5%

Total

88

100%

63


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

3. Dapat menjelaskan prinsip-prinsip dasar Lembaga Penyiaran Publik. Tabel 22. Persentase Reporter yang Mampu Menjelaskan Prinsip LPP Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

2 30 46 7 3

2.3% 34.1% 52.3% 8.0% 3.4%

Total

88

100%

4. Terdapat perbedaan yang jelas antara radio dengan status Lembaga Penyiaran Publik dengan radio swasta. Tabel 23. Persepsi tentang Perbedaan Lembaga Penyiaran Publik dan Swasta Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

2 10 47 29

2.3% 11.3% 53.4% 33.0%

Total

88

100%

5. Terdapat perbedaan yang jelas antara radio dengan status Lembaga Penyiaran Publik dengan radio komunitas Tabel 24. Persepsi tentang Perbedaan Lembaga Penyiaran Publik dan Komunitas Jawaban

64

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

3 8 54 23

3.4% 9.1% 61.4% 26.1%

Total

88

100%


ANALISIS KUANTITATIF

6. Praktik kerja di RRI sebagai radio publik saat ini telah sesuai dengan amanat UU No. 32 tahun 2002. Tabel 25. Persepsi bahwa Praktik Kerja RRI Sesuai Amanat Undang-Undang Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

5 31 44 7 1

5.7% 35.2% 50.0% 8.0% 1.1%

Total

88

100.0%

7. Terdapat berbagai kendala dalam mewujudkan status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Tabel 26. Persepsi Adanya Kendala RRI sebagai Lembaga Penyiaran Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

6 14 58 9 1

6.8% 15.9% 65.9% 10.2% 1.1%

Total

88

100%

8. Kendala mewujudkan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik berasal dari faktor eksternal (Pemerintah, Parpol, Regulasi Penyiaran, pemberi dana, kompetisi dengan radio lain) Tabel 27. Persepsi bahwa Kendala RRI Sebagai LPP Berasal dari Luar Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 6 16 48 17

1.1% 6.8% 18.2% 54.6% 19.3%

Total

88

100%

65


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

9. Kendala mewujudkan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik berasal dari faktor internal (birokasi, SDM, senioritas, manajemen anggaran) Tabel 28. Persepsi bahwa Kendala RRI Sebagai LPP Berasal dari Internal Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

1 6 64 15 2

1.1% 6.8% 72.7% 17.1% 2.3%

Total

88

100%

10. Mengetahui kriteria berita yang memenuhi kebutuhan publik. Tabel 29. Reporter Mengetahui Kriteria Berita Sesuai Kebutuhan Publik Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

1 6 64 15 2

1.1% 6.8% 72.7% 17.1% 2.3%

Total

88

100%

11. Berita yang berperspektif publik pemerintah sebagai sumber berita.

selalu

melibatkan

Tabel 30. Persepsi bahwa Berita Publik Selalu Berkaitan dengan Pemerintah

66

Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

12 48 11 12 4 1

13.6% 54.6% 12.5% 13.7% 4.5% 1.1%

Total

88

100%


ANALISIS KUANTITATIF

12. Berita berperspektif publik selalu melibatkan petani, buruh, dan pedagang sebagai sumber berita. Tabel 31. Persepsi bahwa Berita Publik Selalu Berkaitan dengan Petani, Buruh, dan Pedagang Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 18 7 48 14

1.1% 20.5% 8.0% 54.5% 15.9%

Total

88

100%

13. Agenda liputan pemberitaan RRI selama ini sudah sesuai dengan status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Tabel 32. Persepsi tentang Kesesuaian Agenda Liputan RRI dengan Status Lembaga Penyiaran Publik Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

1 3 20 54 10

1.1% 3.4% 22.7% 61.4% 11.4%

Total

88

100%

14. Terdapat perbedaan kerangka referensi dan pemahaman individu yang dimiliki masing-masing reporter RRI terhadap RRI sebagai LPP.

67


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Tabel 33. Persepsi tentang Perbedaan Pemahaman Antar-reporter Terhadap RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik Jawaban

Jumlah

%

Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju

12 55 16 5

13.6% 62.5% 18.2% 5.7%

Total

88

100%

15. Perbedaan kerangka referensi dan pemahaman individu yang dimiliki masing-masing reporter RRI terhadap RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik memengaruhi penentuan angle pemberitaan. Tabel 34. Persepsi bahwa Perbedaan Pemahaman Reporter Terhadap RRI Berpengaruh pada Angle Pemberitaan Jawaban

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

14 58 8 7 1

15.9% 65.9% 9.1% 8.0% 1.1%

Total

88

100%

16. Berita tentang publik yang disiarkan RRI selalu bersaing dengan berita dari radio lain, khususnya dalam memperebutkan perhatian pendengar. Tabel 35. Persepsi bahwa Berita RRI Bersaing dengan Radio Lain untuk Mendapatkan Perhatian Pendengar Jawaban

68

Jumlah

%

Sangat tidak setuju Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju

20 56 6 4 2

22.7% 63.6% 6.8% 4.6% 2.3%

Total

88

100%


ANALISIS KUANTITATIF

17. Dalam mencari, menyajikan, dan menentukan angle berita, kebutuhan publik selalu menjadi pertimbangan utama. Tabel 36. Persepsi bahwa Kebutuhan Publik sebagai Pertimbangan Utama dalam Reportase Berita Jawaban

Jumlah

%

Tidak Setuju Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

3 1 50 33 1

3.4% 1.1% 56.8% 37.5% 1.1%

Total

88

100%

18. Dalam mencari, menyajikan, dan menentukan angle berita, keinginan pendengar selalu menjadi pertimbangan utama. Tabel 37. Persepsi bahwa Keinginan Pendengar sebagai Pertimbangan Utama dalam Reportase Berita Jawaban

Jumlah

%

Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Tidak Mengisi

29 39 9 10 1

33.0% 44.3% 10.2% 11.4% 1.1%

Total

88

100%

19. Dengan menjadi reporter pada radio publik, telah memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang berkualitas. Tabel 38. Persepsi tentang Pemenuhan Hak Publik atas Informasi yang Berkualitas oleh Reporter Radio Publik Jawaban

Jumlah

%

Ragu-ragu Setuju Sangat Setuju Tidak Mengisi

10 61 16 1

11.4% 69.3% 18.2% 1.1%

Total

88

100%

69


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Dari trend jawaban responden tentang pemahaman RRI sebagai LPP, terdapat beberapa temuan penting terkait beberapa item pertanyaan yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Pertama, menjawab pertanyaan tentang kemampuan reporter RRI dalam menjelaskan prinsip-prinsip dasar Lembaga Penyiaran Publik, mayoritas responden menjawab setuju (52.3%) yang artinya reporter bisa menjelaskan hal tersebut. Namun, terdapat 34.1% menjawab ragu-ragu yang artinya masih banyak reporter RRI merasa kurang tahu atau kebingungan dengan prinsip-prinsip dasar LPP. Kondisi ini memerlukan sosialisasi atau training lebih lanjut. Kedua, menjawab pertanyaan tentang apakah status RRI sebagai radio publik saat ini telah sesuai dengan amanat UU No. 32 tahun 2002, mayoritas responden menjawab setuju (61.3%). Urutan kedua menjawab raguragu (27.3%). Dari banyaknya jawaban ragu-ragu ini, mengindikasikan masih banyak reporter RRI yang merasa bahwa status RRI belum sepenuhnya memenuhi tuntutan Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002. Demikian pula, jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah praktik kerja di RRI sebagai radio publik saat ini telah sesuai dengan amanat UU No. 32 tahun 2002, maka mayoritas reporter RRI menjawab setuju (50%). Namun, urutan kedua yang menjawab ragu-ragu,sebesar 35,2%. Artinya menurut sebagian reporter RRI, praktik kerja LPP RRI saat ini masih belum memenuhi ketentuan undang-undang. Ketiga, terkait ada atau tidaknya kendala dalam mewujudkan status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, mayoritas responden (65.9%) menjawab setuju adanya kendala. Lebih lanjut, jika asal kendala tersebut dikaitkan faktor eksternal (pemerintah, parpol, regulasi penyiaran, pemberi dana, kompetisi dengan radio lain), responden mayoritas menjawab setuju sebanyak 54.6%. Jika kendala tersebut dikaitkan berasal dari faktor internal (birokasi, SDM, senioritas, manajemen anggaran), maka responden menjawab setuju (64%). Dengan demikian, terlihat di mata jurnalis RRI, faktor internal terlihat lebih menonjol sebagai kendala dalam mewujudkan RRI Sebagai LPP. Keempat, menjawab pertanyaan tentang apakah agenda liputan pemberitaan RRI selama ini sudah sesuai dengan status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, mayoritas responden menjawab setuju (61.4%). Urutan kedua menjawab ragu-ragu sebesar 22.7%. Dari angka ini, terlihat bahwa tidak sedikit reporter RRI yang meragukan agenda peliputan mereka telah sesuai dengan status RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Kondisi ini memerlukan penyikapan lebih lanjut khususnya mengenai pembuatan dan pelaksanaan agenda peliputan. Kelima, sebanyak 55% reporter RRI menyetujui adanya perbedaan

70


ANALISIS KUANTITATIF

kerangka referensi dan pemahaman individu yang dimiliki masingmasing reporter RRI terhadap RRI sebagai LPP. Namun, reporter RRI melihat bahwa perbedaan kerangka referensi dan pemahaman individu yang dimiliki masing-masing reporter RRI terhadap RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik tidak memengaruhi penentuan angle pemberitaan, terbukti dari 65.9% menjawab tidak setuju jika perbedaan kerangka referensi dan pemahaman individu yang dimiliki masing-masing reporter RRI terhadap RRI sebagai LPP. Meskipun demikian, hal ini perlu dikaji lebih lanjut apakah benar bahwa perbedaan-perbedaan persepsi dan kerangka referensial benar-benar tidak berpengaruh terhadap penentuan berita dan angle berita. Keenam, menjawab pertanyaan tentang keinginan pendengar yang selalu menjadi pertimbangan utama dalam mencari, menyajikan, dan menentukan angle berita, mayoritas responden menjawab setuju (44.3%) dan sangat setuju (33.0%). Hanya 11.4% yang menjawab tidak setuju. Angka ini menunjukkan bahwa dalam mencari, menyajikan, dan menentukan angle berita, reporter RRI masih mengikuti selera pasar (pendengar). Dengan kata lain, reporter RRI cenderung kurang memprioritaskan agenda peliputan sendiri sesuai dengan kebijakan RRI sebagai LPP. Dalam konteks ini, LPP RRI dituntut memiliki standar pertimbangan tersendiri bagi pendengarnya. Inilah yang membedakan konsepsi radio swasta/komersial dengan radio publik. D. Pembobotan (Skoring) Setelah trend jawaban responden dipaparkan sebagaimana dapat dilihat dalam paparan data di atas, berikutnya adalah membuat pembobotan (skoring) pada 35 item pertanyaan yang diberi interval nilai 1 sampai 5. Sebelum dilakukan skoring, masing-masing item pertanyaan dikelompokkan berdasarkan item-item yang sesuai. Dalam hal ini, ada 6 kategori, yakni latar belakang profesional, seleksi dan rekruitmen, sosialisasi dan training, pengembangan diri, kepuasan kerja, dan pemahaman jurnalis itu sendiri mengenai peran dan fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Hasil skoring dari keseluruhan item pertanyaan adalah sebagai berikut. 1. Latar Belakang Profesional Latar belakang profesional diukur dengan dua indikator, yakni latar belakang pendidikan dan pengalaman profesional (pengalaman karir) reporter RRI. Dari data kuesioner, terlihat bahwa dukungan latar belakang profesional reporter RRI terhadap profesinya sebagai

71


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

jurnalis menunjukkan kategori tinggi sebanyak 64.8%. Sebanyak 20,5% menunjukkan kategori sedang, 12.5% dengan kategori sangat tinggi, dan hanya 1.1% latar belakang jurnalis yang mendukung terhadap profesi berkategori rendah. Kondisi ini menunjukkan kondisi awal yang positif untuk menunjang profesionalisme kerja jurnalis RRI. Grafik 1. Skoring Latar Belakang Profesional

64,8% 20,5% 12,5% 1,1% rendah

sedang

tinggi

sangat tinggi

2. Seleksi dan Rekruitmen Mekanisme seleksi dan rekruitmen dilihat dengan dua indikator, yakni proses seleksi penerimaan dan regenerasi/kaderisasi pengelola dan reporter di RRI. Data kuesioner menunjukkan bahwa mekanisme seleksi-rekruitmen dan regenerasi di mata reporter RRI sudah berjalan baik sebanyak 40.9%. Persentase kedua sebesar 30.7%, yang menunjukkan bahwa mekanisme seleksi dan rekruitmen di mata reporter RRI tergolong buruk. Selanjutnya, kategori cukup sebanyak 18.2%, sangat buruk 5.7%, dan sangat baik 2.3%. Dari data ini, terlihat bahwa di mata reporter RRI, mekanisme seleksi dan rekruitmen serta regenerasi tidak sepenuhnya baik, bahkan masih tergolong buruk dan sangat buruk yang dibuktikan dari persentase 30.7% dan 5.7%. Kondisi ini memerlukan perhatian lebih lanjut.

72


ANALISIS KUANTITATIF

Grafik 2. Skoring Mekanisme Seleksi, Rekruitmen, dan Regenerasi

40,9% 30,7% 18,2% 5,7%

2,3%

sangat buruk buruk

cukup

baik

sangat baik

3. Sosialisasi dan Training Mekanisme seleksi dan training dilihat dari empat indikator, yakni: (1) keikutsertan reporter mendapatkan pendidikan, training, dan workshop yang secara khusus berhubungan dengan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik, (2) kesesuaian materi yang diberikan dengan tuntutan profesi sebagai reporter radio bersatus LPP, (3) pelatihan, training, workshop dan semacamnya yang pernah diikuti menambah pemahaman tentang RRI sebagai LPP, dan (4) training, workshop dan semacamnya yang pernah diikuti reporter menunjang ketrampilan melakukan peliputan berita yang memenuhi kebutuhan publik Grafik 3. Skoring Sosialisasi dan Training bagi Reporter RRI 60,2%

22,7% 14,8% 1,1%

1,1%

sangat buruk buruk

cukup

baik

sangat baik

73


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Data kuesioner menunjukkan bahwa mekanisme sosialiasasi dan training di mata jurnalis RRI sudah berjalan baik dengan persentase 60.2%. Persentase kedua sebesar 22.7%. Hal ini menunjukkan mekanisme sosialisasi dan training di mata jurnalis tergolong sangat baik. Selanjutnya, kategori cukup sebanyak 14.8%. sementara itu, sisanya melihat sosialisasi dan training untuk kategori sangat buruk dan buruk masing-masing sebesar 1.1%. Secara umum, dalam penilaian responden, sosialisasi dan training yang baik di mata jurnalis ini menunjukkan potensi awal yang baik untuk menunjang pemahaman jurnalis terhadap RRI sebagai LPP yang harapannya dapat terimplementasikan dalam kegiatan operasional sehari-hari. 4. Pengembangan Diri Pengembangan diri dilihat dari pemahaman dan ketrampilan untuk mendukung perwujudan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik. Data kuesioner menunjukkan bahwa pengembangan diri responden tergolong sedang dengan persentase 62.5%. Persentase kedua sebesar 35.2% menunjukkan tingkat pengembangan diri responden tergolong tinggi. Selanjutnya, pengembangan diri dalam kategori sangat tinggi dan rendah dalam masing-masing sebesar 1.1%. Dari data ini, terlihat bahwa pengembangan diri belum menjadi prioritas utama responden karena didominasi kategori sedang, bukan tinggi atau sangat tinggi. Berbagai faktor memengaruhi kurangnya hasrat untuk mengembangkan diri. Kemungkinan yang terkait dengan sub-variabel ini adalah usia dan relasi beban kerja-penghasilan. Grafik 4. Skoring Pengembangan Diri Reporter RRI 62,5%

35,2%

1,1% rendah

74

1,1% sedang

tinggi

sangat tinggi


ANALISIS KUANTITATIF

5. Kepuasan Kerja Kepuasan kerja dilihat dari lima indikator, yaitu kebanggaan menjadi reporter RRI, keuntungan atau manfaat yang besar menjadi reporter RRI, beban kerja dan penghasilan yang diperoleh (gaji dan tunjangan) sudah seimbang, mekanisme reward dan punishment/ sanksi yang diberikan terhadap reporter RRI sudah adil dan transparan, serta ada tidaknya keinginan keluar dari RRI karena menjadi reporter RRI tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Data kuesioner menunjukkan bahwa tingkat kepuasan kerja di mata responden adalah sedang dengan persentase 52.3%. Persentase kedua sebesar 37.5% yanag menunjukkan tingkat kepuasan kerja yang tinggi. Selanjutnya, kategori kepuasan kerja sangat tinggi sebanyak 4.5%, dan tingkat kepuasan kerja yang rendah sebesar 3.4%. Dari data ini, terlihat bahwa kepuasan kerja dalam pandangan responden belum sepenuhnya baik ditandai dengan dominasi penilaian kategori sedang, bukan tinggi atau sangat tinggi. Berbagai faktor memengaruhi tingkat kepuasan kerja. Kemungkinan yang terkait dengan sub-variabel ini adalah mekanisme ketidakjelasan reward dan punishment serta relasi beban kerja-penghasilan. Grafik 5. Skoring Kepuasan Kerja Reporter RRI 52,3% 37,5%

4,5%

3,4% rendah

sedang

tinggi

sangat tinggi

6. Pemahaman Jurnalis terhadap RRI sebagai LPP Data kuesioner menunjukkan bahwa tingkat pemahaman responden terhadap RRI sebagai LPP cukup tinggi dengan persentase 47.7%. Sisanya sebanyak 43.2% responden memiliki pemahaman sedang terhadap RRI sebagai LPP. Dari data ini, terlihat bahwa pemahaman

75


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

responden terhadap RRI sebagai LPP cenderung berimbang antara yang benar-benar memahami maupun yang masih abu-abu cenderung ragu atau kebingungan memahami). Dibuktikan dari selisih kategori tinggi dan sedang yang tidak besar (4.5%). Grafik 6. Skoring Pemahaman Reporter terhadap RRI Sebagai LPP

47,7%

43,2%

sedang

tinggi

Angka di atas menunjukkan bahwa masih perlu dilakukan sosialisasi kepada para jurnalis mengenai peran dan fungsi RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Jika dibiarkan terus berlanjut, maka hal ini akan mempengaruhi performance LPP RRI untuk mencapai misinya sebagai lembaga penyiaran publik. Berbagai media sosialisasi dapat dilakukan, diantaranya melalui workshop atau training, seminar, dan lain sebagainya.

76


BAB V KESIMPULAN

A.

DAN

SARAN

Kesimpulan

Penelitian ini berusaha menjawab tiga pertanyaan dasar sebagaimana dirumuskan pada bab pendahuluan. Metode yang digunakan adalah triangulasi, yakni suatu metode penelitian yang menggabungkan penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penggabungan metode ini dilakukan dalam rangka mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik. Penelitian kualitatif mampu menjelaskan latar belakang dan konteks, sedangkan penelitian kuantitatif lebih objektif dalam pengertian ukuran-ukuran yang digunakan jauh lebih jelas karena berhubungan dengan angka-angka atau persentase. Berdasarkan metode triangulasi ini tampak bagaimana sumbangan masing-masing pendekatan/metode dalam memberikan ketajaman analisis atas penelitian ini. Penelitian kualitatif mampu membidik dengan tajam perbedaan-perbedaan yang muncul menyangkut intepretasi wartawan RRI atas peran dan fungsinya sebagai lembaga penyiaran publik dimana perbedaan-perbedaan tersebut tidak muncul dalam penelitian kuantitatif. Analisis kuantitatif menemukan bahwa lebih dari 50% menyatakan mengerti peran dan fungsi lembaga penyiaran publik. Namun, dalam kenyataannya, mereka mempunyai persepsi dan definisi yang berbeda-beda dalam menerjemahkan apa yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik. Ini terjadi bukan karena secara metodologis keliru, tetapi lebih pada sifat dan karakteristik masing-masing metode. Penelitian kuantitatif didasarkan atas persepsi responden sehingga ketika diberi pertanyaan mengenai peran dan fungsi lembaga penyiaran publik mayoritas menjawab mengetahui. Namun, ketika pertanyaan tersebut lebih diperdalam dengan meminta para informan (dengan menggunakan metode kualitatif) untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik dan perbedaannya denga lembaga penyiaran swasta

77


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

ternyata mereka mempunyai banyak perbedaan. Secara lengkap, kesimpulan penelitian akan dipaparkan dalam uraian berikut. Pertama, secara prinsipil, baik redaktur maupun reporter yang menjadi informan dalam penelitian ini mengetahui prinsipprinsip lembaga penyiaran publik. Mereka menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan lembaga penyiaran publik adalah lembaga penyiaran yang memperjuangkan kepentingan masyarakat. Keberadaan lembaga penyiaran publik yang harus memperjuangkan kepentingan publik ini merupakan, dalam pemahaman sebagian informan, antithesis lembaga penyiaran pemerintah, yang pada masa Orde Baru dipraktikkan oleh RRI. Pendapat ini ditemukan baik di kalangan redaktur maupun reporter. Kemudian, dalam memberikan intepretasi atas siapakah yang dimaksud publik dalam kerangka lembaga penyiaran publik, para informan yang menjadi subyek penelitian ini mempunyai beberapa pemahaman yang berbeda. Publik dipahami sebagai pendengar RRI; publik sebagai masyarakat; publik sebagai sekelompok orang yang mendiami suatu wilayah tertentu; dan publik sebagai keseluruhan anggota masyarakat yang seharusnya dilayani oleh lembaga penyiaran publik seperti kelompok-kelompok minoritas dan lain sebagainya. Di sisi lain, intepretasi jurnalis atas konsep independen dan netral juga beragam. Meskipun tidak banyak informan yang mendefinisikan lembaga penyiaran publik berdasarkan atas undang-undang ini, tetapi pemahaman mereka atas kedua konsep tersebut juga kurang clear. Independen dan netral lebih dipahami sebagai keseimbangan antara (suara) pemerintah dengan masyarakat dibandingkan sebagai bentuk pemberitaan yang tidak bias. Dengan kata lain, pemahaman mereka atas netralitas sangat dipengaruhi oleh proses historis dibandingkan berdasarkan atas kaidah-kaidah jurnalistik sebagaimana seharusnya dalam pemberitaan. Temuan kuantitatif menegaskan hal ini. Berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar Lembaga Penyiaran Publik, mayoritas responden menjawab setuju (52.3%) yang artinya responden bisa menjelaskan hal tersebut. Meskipun demikian, terdapat 34.1% menjawab raguragu yang artinya masih banyak responden merasa kurang tahu atau kebingungan dengan prinsip-prinsip dasar LPP. Sebagaimana dapat dilihat dalam penelitian kualitatif, secara prinsipil, mereka paham lembaga penyiaran publik. Namun, pada tataran operasional menyangkut pengejawantahannya dalam liputan berita masih beragam. Inilah barangkali yang membuat persentase yang ragu-ragu masih sangat besar. Temuan ini dipertegas oleh jawaban responden menyangkut status RRI saat ini. Mayoritas responden menjawab setuju (61.3%) ketika ditanyakan apakah status RRI telah sesui dengan

78


KESIMPULAN DAN SARAN

undang-undang, berikutnya ragu-ragu (27.3%). Dari banyaknya jawaban ragu-ragu ini mengindikasikan masih banyak reporter RRI yang merasa bahwa status RRI belum sepenuhnya memenuhi tuntutan Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002. Demikian pula, jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah praktik kerja di RRI sebagai radio publik saat ini telah sesuai dengan amanat UU No. 32 tahun 2002, mayoritas reporter RRI menjawab setuju (50%). Namun urutan kedua yang menjawab ragu-ragu sebesar 35,2%. Artinya, menurut sebagian responden, praktik kerja LPP RRI saat ini masih belum memenuhi ketentuan undang-undang. Perbedaan-perbedaan yang muncul baik dalam merumuskan lembaga penyiaran publik pada satu sisi dan publik itu sendiri pada sisi yang lain mencerminkan bahwa belum adanya pemahaman yang seragam diantara jurnalis LPP RRI. Keragaman ini pada akhirnya juga menentukan bagaimana sebuah berita beserta angle-nya ditentukan. Dalam menentukan angle, ada sementara jurnalis yang berpihak pada kepentingan-kepentingan publik dengan prinsip balance, tidak menjadi provokator, tetapi menjadi penengah yang menyampaikan fakta. Sementara di sisi lain, terdapat informan yang menentukan berita didasari pada pertimbangan-pertimbangan kedekatan emosional (psikologis) sebagaimana biasa ditemukan dalam news value. Perbedaan-perbedaan pemahaman yang muncul diantara reporter dan redaktur dalam penelitian disebabkan oleh setidaknya dua hal, yakni motivasi dan pola-pola interaksi yang dialami oleh wartawan dan model pendidikan atau sosialisasi yang dilaksanakan oleh LPP RRI. Pada yang pertama, motivasi yang dimiliki oleh jurnalis atau wartawan untuk mengembangkan diri, belajar dari berbagai sumber, serta aktivitas profesional mereka di luar pekerjaan rutin menentukan pengetahuan mereka terhadap lembaga penyiaran publik. Di sisi lain, model sosialisasi internal yang dilakukan oleh RRI menentukan bagaimana lembaga penyiaran publik dipahami oleh jurnalis. Menariknya, baik reporter maupun redaktur yang menjadi informan dalam penelitian tidak mempunyai perbedaan yang signifikan dalam berbagai varian mengenai peran dan fungsi lembaga penyiaran publik. Reporter dan redaktur yang berasal dari daerah yang sama mempunyai kecenderungan untuk memberikan intepretasi yang kurang lebih sama juga. Hal ini tidak mengherankan karena sosialisasi internal lebih mempunyai besar pengaruhnya dibandingkan mekanisme lain. Di luar, tentu saja, pengaruh budaya-budaya lokal. Kedua, kendala dalam menyelenggarakan lembaga penyiaran publik. Berkenaan dengan kendala yang dihadapi RRI untuk

79


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

melaksanakan radio publik, mayoritas responden (65.9%) menjawab setuju adanya kendala. Kemudian, jika asal kendala tersebut dikaitkan faktor eksternal (pemerintah, parpol, regulasi penyiaran, pemberi dana, kompetisi dengan radio lain), maka responden mayoritas menjawab setuju sebanyak 54.6%. Jika kendala tersebut dikaitkan berasal dari faktor internal (birokasi, SDM, senioritas, manajemen anggaran), maka responden menjawab setuju (64%). Dengan demikian, terlihat bahwa di mata responden, faktor internal terlihat lebih menonjol sebagai kendala dalam mewujudkan RRI Sebagai LPP. Ketiga, pemahaman atas etika jurnalistik. Jika informan dalam beberapa hal mempunyai pemahaman yang berbeda dalam mendefinisikan lembaga penyiaran publik, maka dalam melihat etika pun mereka juga mempunyai beberapa perbedaan penting. Secara prinsip, hampir seluruh reporter dan redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini sepakat bahwa melaksanakan kode etik merupakan suatu keharusan. Namun, prinsip etis semacam apakah yang seharusnya mereka pegang masih banyak perbedaan. Bahkan, hampir tidak ada informan yang mengetahui bahwa LPP RRI telah merumuskan kode etik bagi para jurnalisnya. Akibatnya, mereka lebih cenderung memberikan intepretasi atas prinsip dan kode etik dalam kerangka referensinya masing-masing. Ketiga, mekanisme keredaksian. Sebagian besar stasiun RRI sebagaimana dijelaskan oleh para redaktur yang menjadi informan dalam penelitian ini mengemukakan bahwa agenda setting merupakan mekanisme untuk menentukan berita mana yang diangkat dan mana yang bukan. Pertimbangan pokok yang dijadikan dasar dalam merumuskan kelayakan berita adalah pada kepentingan publik. Diangkat tidaknya suatu berita ditentukan oleh apakah hal tersebut berkenaan dengan kepentingan publik ataukah bukan. Meskipun demikian, sebagaimana pemahaman operasional publik yang beragam, pada akhirnya, ukuran publik pun menjadi beragam. Kepentingan publik berarti yang berhubungan dengan rakyat, melibatkan lembaga perwakilan, atapun secara teknik tidak memihak dengan menjunjung tinggi prinsip praduga tak bersalah, mengacu pada kesopanan bahasa, dan lain sebagainya. Meskipun demikian, agenda liputan dalam pemahaman responden sebagian besar mengatakan telah sesuai dengan status LPP RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Namun, terdapat 22.7% yang masih menjawab ragu-ragu. Tidak semua stasiun juga melakukan rapat agenda setting secara ketat. Ada stasiun yang melakukannya di pagi hari secara informal, sedangkan yang lainnya secara rutin. Di sini, belum ada

80


KESIMPULAN DAN SARAN

suatu standart baku yang dijalankan oleh seluruh stasiun dengan kriteria dan petunjuk yang jelas untuk menentukan sebuah berita beserta angle-nya. Bahkan, ada beberapa kasus dimana penentuan berita yang didasarkan pada kepentingan publik didasarkan pada feeling. Akhirnya, dari hasil penelitian kuantitatif, responden mengakui bahwa sebagian besar reporter RRI menyetujui adanya perbedaan kerangka referensi dan pemahaman individu yang dimiliki masing-masing responden RRI terhadap RRI sebagai LPP. Kurang lebih 30% responden mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan tersebut berpengaruh dalam menentukan berita. Dari hasil penelitian kuantitatif, dilakukan pembobotan yang hasilnya adalah sebagai berikut. Pertama, tingkat pemahaman responden terhadap RRI sebagai LPP cukup tinggi dengan persentase 47.7%. Sisanya sebanyak 43.2% responden memiliki pemahaman sedang terhadap RRI sebagai LPP. Dari data ini terlihat, pemahaman responden terhadap RRI sebagai LPP cenderung berimbang antara yang benar-benar memahami maupun yang masih abu-abu cenderung ragu atau kebingungan memahami). Dibuktikan dari selisih kategori tinggi dan sedang yang tidak besar (4.5%). Dengan demikian, pemahaman responden terhadap RRI sebagai LPP perlu terus ditingkatkan melalui berbagai strategi. Kedua, mekanisme sosialiasasi dan training di mata jurnalis RRI sudah berjalan baik dengan persentase 60.2%. Persentase kedua sebesar 22.7% mengatakan sangat baik, dan cukup sebesar 14.8%. Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa di mata responden training yang dilakukan oleh LPP RRI sudah berjalan sangat baik. Namun, indepth interview dengan berbagai informan berkenaan dengan hal ini menemukan bahwa training yang dilakukan sedikit sekali lembaga penyiaran publik. Bahkan, beberapa training yang dilakukan cenderung mengulang apa yang sudah dikerjakan oleh jurnalis. B.

Saran

Dari kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang bisa diekomendasikan. Pertama, perlunya training intensif dan spesifik berkenaan dengan peran dan fungsi radio publik. Dalam kaitan ini, perlu juga ada training intensif menyangkut bagaimana mengerjakan teknik jurnalistik liputan radio publik. Training seyogianya memberikan pengetahuan dan skill kepada reporter dan redaktur yang mencakup hal-hal seperti pemilihan narasumber, menangkap realitas dan angle berita yang berpihak pada kepentingan publik, dan lain sebagainya. Termasuk di dalamnya, konsep independen dan netralitas sebagai kata kunci dalam mendefinisikan lembaga penyiaran publik. Kedua,

81


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

formalisasi mileopen. Selama ini, sebenarnya, ada mekanisme yang cukup baik untuk mendidik reporter pemula, yakni melalui mileopen. Barangkali, hal ini bisa lebih diformalkan lagi dengan menunjuk senior yang berkompeten untuk memberikan milepone. Ketiga, perlu dibuat suatu prosedur yang baku dalam menentukan pemberitaan melalui agenda setting yang diturunkan ke dalam agenda liputan. Penting bagi RRI untuk memberikan semacam guidance menyangkut hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan agenda setting dan liputan. Panduan tersebut hendaknya berpijak pada prinsip-prinsip radio publik. Keempat, model rekruitmen dan jenjang karir yang terbuka. Baik penelitian kualitatif maupun kuantitatif, menemukan bahwa model rekruitmennya tidak bagus. Seorang reporter, misalnya, semestinya direkrut dengan standart tertentu. Demikian juga dengan redaktur. Meskipun dalam kasus RRI keduanya bisa dikerjakan bersama-sama, tetapi penting memberikan kriteria ataupun syarat bagaimana seorang reporter bisa menjadi redaktur. Artinya, ada proses yang harus dijalani sebelum seseorang menempati posisi reporter ataupun redaktur. Termasuk di dalamnya, reward and punishement-nya. Oleh karena itu, perlu bagi RRI untuk merumuskan standar baku model-model perekrutan reporter ataupun redaktur, jenjang karir, dan mekanisme reward and punishement. Dalam hal jenjang karir, RRI mestinya mengembangkan suatu standart bagi orang-orang yang akan menduduki suatu jabatan tertentu dalam struktur organisasi pemberitaan. Kelima, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dengan metode partisipasi observasi berkaitan dengan sistem kerja keredaksian LPP RRI baik di pusat maupun di daerah. Melalui penelitian ini diharapkan mekanisme keredaksian beserta preferensi yang melingkupinya bisa lebih dijelaskan untuk kemudian merumuskan perbaikan.

82


DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin (2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bennet, W. Lance dan Robert M. Entman (2001). Mediated Politics: Communication in the Future Democracy. Cambridge University Press Brannen, Julia (2002). “Menggabungkan Pendekatan Kualitatif dan Pendekatan Kuantitaif: Sebuah Tinjauan”. Dalam Julia Brannen (ed.). Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bryman, Alan (2002). “Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif: Pemikiran Lebih Lanjut Tentang Penggabungannya”. Dalam Julia Brannen (ed.). Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (1994). Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication. Franklin, Bob, Martin Hamer, Mark Hanna, Marie Kinsey & John E. Richardson (2005). Key Concepts in Journalism Studies. London: Sage Publications. Gazali, Effendi (2002). Penyiaran Alternatif tapi Mutlak: Sebuah Acuan tentang Penyiaran Publik dan Komunitas. Jakarta: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Grossberg, Lawrence; Ellen Wartella, D. Charles Whitney, and J. Macgregor Wise (2006). Media Making: Mass Media in Popular Culture. Second edition. Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication. Grunig, James E dan Todd Hunt (1984). Managing Public Relations. Holt, Rinehart And Wisnton, Inc: Fort Worth, Chicago

83


Melacak Ideologi Jurnalis LPP RRI

Heywood, Andrew (2002). Politics. Second edition. Palgrave Hohenberg, John (1978). The Professional Journalist: A Guide to the Practices and Principles of the News Media. New York: Newsday. Kuper, Adam dan Jessica Kuper (2000). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali Press McQuail, Denis (1992). Media Performance: Mass Communication and the Public Interest. London: Sage Publications. McQuail, Denis (2005). Mass Communication Theory. Fifth Edition. London: Sage Publications. Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman (1992). Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UIP Newman, Lawrence W. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon. Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah (2007). Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Purwanto, Agus Erwan dan Dyah Ratih Sulistyawati (2007). Metode Penelitian Kuantitatif untuk Administrasi Publik dan Masalahmasalah Sosial. Yogyakarta: Gava Media. Puslitbangdiklat (2010). Menyapa Publik. Yogyakarta: Pusdiklat LPP RRI - PKMBP Puslitbangdiklat (2009). Publik untuk Publik. Yogyakarta: Pusdiklat LPP RRI - PKMBP Rahayu (2006). Menyingkap Profesionalisme Surat Kabar di Indonesia. Yogyakarta: PKMBP, Dewan Pers, dan Depkominfo. Shoemaker, Pamela J. & Stephen D. Reese (1996). Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content. Second Edition. New York: Longman. Siregar, Ashadi (1993). Etika Komunikasi. Laporan Penelitian Kepustakaan, Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM.

84


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.