Pontianak Post

Page 8

Apresiasi

8

Pontianak Post

Minggu 9 Januari 2011

Aku dan Sepatu

A

Oleh : Vivi Al-Hinduan

ku mengenang kembali deretan sepatu yang tersusun rapi di lemari sepatuku. Sebagian besar berupa sepatu olahraga. Ada 50 pasang sepatu olahraga dari merek-merek terkenal. Adidas, Puma, Nike, Reebok, dan beberapa diantaranya merupakan limited edition yang kubeli sewaktu mengikuti Olimpiade di luar negeri, dan sewaktu pelesiran ke Eropa. Masa jayaku 20 tahun silam… Aku merasakan jantungku berdetak kencang. Selalu seperti itu. Meskipun sudah 10 tahun berlangsung. Debarannya masih sama seperti dulu. Sebentar lagi peluru akan ditembakkan ke udara, tanda pertandingan segera dimulai. Aku melirik samping kiriku, seorang pelari jarak pendek alias sprinter dari Belgia. Rambutnya pirang dan sekujur tubuhnya dipenuhi bintik merah seperti orang terkena demam berdarah. Disamping kananku, seorang sprinter dari Vietnam. Aku harus membawa medali emas bagi Indonesia di Olimpiade kali ini. Dorr! Sebuah tembakan melesat merobek udara. Aku berlari secepat angin. Medali emas ke-5 itu kukaitkan di paku dinding ruang tamu rumahku. Tak terhitung banyaknya medali perak dan perunggu yang sudah kuperoleh selama sepuluh tahun karirku sebagai atlet sprinter internasional. Kalau di bulutangkis, prestasiku sejajar dengan Taufik Hidayat. Aku adalah pahlawan bangsa yang berjuang mati-matian mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Tapi saat ini, di tempat ini, aku tak lebih dari seorang pecundang tengik. Kini aku berbaring di lantai semen yang dingin dengan hanya beralas kain sarung tipis, berhimpitan seperti ikan pepes bersama lima lelaki berbadan besar dan bertato. Tidur di ruang pengap tanpa ventilasi dan berbau pesing menyengat ini. Nasib. “ Burhan, ada tamu mencarimu. Cepat keluar!” bentak lelaki berperut buncit itu. Mataku mencari sosok itu ke sana kemari di ruang bezuk ini, tapi tak ada satupun yang ku kenal. Aku menghampiri petugas. “Siapa yang mencariku?” “Tadi ada seorang wanita datang. Dia membawa ini.” Petugas itu menyerahkan bungkusan plastik yang isinya sudah kutebak. Sebuah buku. Siapa yang iseng mengirimiku buku-buku bisnis ini? Ini sudah ketiga kalinya sosok misterius itu mengirimiku buku yang dikarang seorang ahli Kebebasan Finansial. Buat apa aku membaca itu? Aku sudah bangkrut. Bahkan sekarang membeli waktu pun aku tak mampu. Aku terperangkap di ruang kematian ini. Aku membawa buku itu ke kamar. Sepanjang perjalanan, aku berpikir keras dan mati-matian mencoba mengingat, siapa diantara teman-teman wanita yang dekat denganku yang senang membaca buku? Rasa-rasanya tidak ada…tunggu, aku ingat! ***

“Sylvia Vivi Wilhelmina,” gadis dihadapanku tersenyum. “Burhanuddin. Panggil aja Burhan.” Dia menghisap rokok dan menghembuskan udaranya lewat hidung. “Badanmu bagus sekali, Brur Hans.” “Maaf, namaku Burhan, bukan Brur Hans.” “Haha, aku tau. Namamu mengingatkanku pada almarhum abangku, Hans.” “Maksudnya?” “Iya, namanya Hans. Brur dalam bahasa Belanda artinya abang.” “Oh, oke.” “Dia satu-satunya saudaraku. Dia meninggal setahun lalu karena overdosis narkoba.” Aku menghela napas. Kasihan sekali. “Sering ke bar ini, Hans?” “Baru pertama kali. Aku kesini sama teman,” aku menunjuk Yudi yang tengah main billiard di pojok sana. “Kamu sendiri?” tanyaku. “Aku penyanyi jazz di sini.” “Senang jazz?”,tanyaku. Pertanyaan retorik. “Pastinya. Sebentar lagi aku tampil. Mau request lagu apa?” “Hmm, aku tidak terlalu suka jazz. Bikin ngantuk.” “Kamu sukanya apa?” “Dangdut.” *** “Dapat kiriman lagi ya dari pacarmu?” “Pasti buku lagi.” “Han, lo pacaran sama kutu buku ya? Salah pilih, lo.” “Muahahaha…” Aku merobek bungkusan hitam tipis itu. Sebuah buku tebal berwarna putih yang masih berbungkus plastik tipis transparan terlihat jelas. Di cover nya ada tulisan mencolok dari tinta merah : The Cashflow Quadrant. Nama penulisnya sama dengan dua buku sebelumnya, Robert Kiyosaki. Apakah Sylvi yang mengirimiku buku-buku ini? Apakah ia masih sudi mengingatku? Ach! “Kenapa kau bisa berada di tempat ini, Han?” Pertanyaan itu berasal dari Bowok. Seorang pria seusiaku yang berewokan dan sekujur tubuhnya dipenuhi tato. Rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai, menambah kesan angker dirinya. “Aku berada disini karena alasan yang sama denganmu, Wok.” Aku memperhatikan kamar pengap ini. Tempat terkutuk ini tak pernah sedikitpun terlintas di pikiranku. Bahkan dalam mimpi terliarku sekalipun….

*** Aku sudah menjual satu persatu medali emasku di pasar gelap. Aku kehabisan duit. Istriku terus-terusan mengomel dari tadi karena susu bubuk untuk bayi kami sudah habis. Sejak memutuskan untuk ‘gantung sepatu’ setahun lalu karena desakan usia, aku beralih profesi sebagai pelatih. Ternyata, penghasilan sebagai seorang pelatih tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ku dengan seorang istri dan dua anak balita kami. Belum lagi ditambah gaya hidup istriku yang mewah. Dia masih saja mengira aku adalah seorang atlet nasional yang hidup berlimpah uang. Ia tidak mau menerima kenyataan bahwa masa-masa indah itu telah lama berakhir. Dan sekarang aku harus mencari kerja sampingan diusia 40 tahun. Adakah kantor yang mau menerimaku? “Mau kerja, Han? Aku punya kerjaan bagus buat kau.” “Kerja apa, Bang?” “Kerjanya ringan. Cuma ngantar paket. Tapi gajinya tiga kali lipat dari gajimu sebgai pelatih.” Bang Joni menjelaskan apa yang harus kulakukan. Semula aku ragu, namun desakan ekonomi memaksaku untuk mengambilnya, dengan segala resiko yang harus kuhadapi. “Jadi kau ketangkap basah aparat yang menyamar jadi pembeli narkoba?” tanya Paul. “Iya. Dan Joni sudah kabur ke luar negeri. Sial!” “Hahaha... makanya, Han. Jangan jadi atlet. Mati-matian membela bangsa, apa yang kau dapat?” tanya Roy. “Apa yang kudapat? Banyak. Selama masa jayaku, aku sering liburan ke luar negeri dengan Sylvi, yang akhirnya kusunting menjadi istriku. Kami mendapat apa saja yang kami inginkan. Bulan madu ke Paris, belanja habis-habisan di Roma, dan liburan ke kampung halaman Omanya Sylvi di Delf, Belanda.” “Han, kamu ndak pernah nabung buat masa depanmu, selain foya-foya?” tanya Ibenk. “Waktu itu aku tidak memikirkannya…” ** Ingatanku melayang ke masa 15 tahun silam, di sebuah rumah elit di kawasan Menteng. “Han, kamu tidak terpikir untuk berbisnis?” “Halah, kok mikirin bisnis seh? Hidup untuk dinikmati.” Yuke menghisap hashis yang dibelinya di Turki. “Atau menginvestasikan uangmu di saham misalnya? Pokoknya biar duitmu muter, nggak habis begitu aja.” “Aku nggak mau mikirin bisnis. Aku nggak berbakat sama sekali.” “Ini bukan soal bakat, bung. Ini suatu ketrampilan yang bisa dipelajari siapapun.” “Kamu kebanyakan baca buku ya?” Aku menatap deretan buku-buku tebal yang memenuhi lemari buku raksasa milik Yuke, selingkuhanku yang cantik itu. “Kerjaanmu itu sangat mengandalkan fisik, Han. Setauku, semua kerjaan yang mengandalkan fisik itu dibatasi faktor usia, betul tidak?” Aku mengangguk. “Han, apa kamu pernah berpikir mau makan apa setelah pensiun dari atlet?” Aku terdiam. Yuke benar. “Han, liat aku. Aku seorang penulis. Aku menulis novel dan buku-buku motivasi yang laris manis. Dan semua itu memberiku royalty. Aku bisa hidup setahun penuh tanpa harus bekerja sama sekali. Hebat kan?” “Kok bisa?” “Aku dapat duit dari cetak ulang buku-bukuku. Ya, royalty itu yang menghidupiku.” “Oh, jadi sekarang kamu menyuruhku jadi penulis? Kamu gila ya.” “Aku menyuruhmu mulai memikirkan bisnis, karena aku tau kamu nggak mungkin bisa jadi penulis sepertiku. Baca buku aja nggak pernah.” “Bisnis apa? Aku tuh nggak berbakat, sayang.” “Hei, dengar, persetan dengan bakat! Mulailah dari hobimu.” “Kamu ngelantur ya?” “Atau mungkin Sylvi bisa membuka butik di rumahmu, dia kan hobi belanja.” “Hahaha..Yuke, dia itu bisanya hanya ngabisin duitku. Taunya belanja saja, tapi nggak bisa ngasilin duit.” Yuke menatap mataku dalam-dalam. “Kalau begitu, mungkin kamu sudah salah pilih istri.” Aku menghela napas, “Ya, mungkin kamu benar.” ** * Penulis, freelance writer di sejumlah media.

Puisi HATI Mata hati terbuka lebar untukmu Ruang mataku masih menjadi tempat singgahmu Sudut, tengah, sisi ini telah terbuat Hawa panas dingin membuat berdebar Menghayal ke awan hanya untukmu Kira-kira Kau hinggap di salah satu sisi hatiku Ronamu membuat pesona dunia Indahnya kebersamaan tuk ku jalani Mengenang apa yang terjadi Menjadi hal yang berarti

Kehendak Takdir

Aku nak berkelana dahulu

Belum sempat kunyatakan isi hati… Perpisahan telah menjauhkan kita Sesal pun tiada guna Hanya ada rindu yang menyiksa

Tuhan……. Beri aku kekuatan untuk menjaga kesucian ini, Aku tak pengen terburu-buru, Walau pada realitanya aku selalu meminta untuk dipercepat

Ini adalah kehendak takdir Tak dapat kuubah Sekeras apa pun ku coba Mendapatkanmu seperti angan belaka

Dengan secangkir kopi instan, Kami akan berkelana terpisah mencari penghidupan dan pengamalan ilmu Pertemukan kami dengan satu jalan Melalui kopi instan yang bernama jodoh. Hidup mati dan jodoh terbaik ada di takdir – Nya Aku mencintai dia, yang berbaju hitam hijau.

Andai ada lagi kesempatan itu Kan kuungkapkan semua rasa ini Akan kuucapkan aku cinta kamu Biar rasaku kau tahu Belum sempat kau tahu isi hatiku Perpisahan telah memisahkan kita Hanya bulan bintang menjadi saksi rindu Sayangnya kamu tidak tahu By : Tony Dolay tony_dolay@yahoo.co.id

Kini, hadirmu sudah pudar Air mata hadir untukmu terdahulu Tuangkan keinginan kepada Yang Tahu Curah rasa melambung tinggi

Dalam Kopi Instan Malam itu hujan turun rintik-rintik, Sinetron keadaanya, tapi memang itulah yang terjadi Suasananya dingin dan sedikit romance serta sepi

Hanya inginku darimu, teman Aku sadar kehilanganmu tiada terbalas Tiada hari kulewati untuk dan bersama Itulah ungkapan rasa By : Juhari Mahasiswa PGSD

Orang berbaju hitam hijau datang Dengan senyum nakal penuh kemenangan Karena telah sukses menjahili Kikuk, seperti gak kenal Itulah yang terjadi... Apa yang akan terjadi kelaknya 2 tahun lagi? 3 tahun lagi?

By : Fitry Lotus Mahasiswa STAIN VII’07

“Kasih Tanpa Batas” Keringat lelah di sekujur tubuhmu Yang mengalir membasahimu Tak sempat memutuskan Panjang tali semangat Mendidik dan mendewasakanku… Jerih susah kau tempuh Menuangkan kristal jernih air Masuk ke dalam jiwa ragaku Membawa sinar mengusir gelap hidup Pergi jauh lenyap ditelan bumi… Luas tak terbatas kasihmu Tak secantik si peri bidadari Tak juga seputih kilauan emas permata… Wahai kau malaikat penuntunku Pengorbanan seluas lautan

Pengabdian setinggi gunung Yang ku untukkan padamu Hanya membayar setetes keringat Yang mengguyur keluar Dari tubuhmu, Ibundaku tercinta… By : Beni Mahasiswa PGSD FKIP Untan.

Ilalang Ilalang liar tumbuh bersama dandelion Bersama-sama melewati hari Melewati teriknya matahari Dinginnya malam Derasnya hujan yang mengguyur Biarkanlah ilalang yang meneduhkan dandelion dari teriknya matahari Biarkanlah ilalang yang memeluk dandelion dari dinginnya malam Biarkanlah ilalang yang memeluk dandelion dari guyuran hujan Biarkanlah ilalang yang menemani dandelion dari sepinya hari Biarkanlah ilalang yang menjaga dandelion dari terpaan angin Ilalang-lah yang akan selalu melindungi dandelion Dari terpaan angin yang akan menerbangkan kelopak makhota dandelion Bila memang sudah takdir dandelion untuk selalu terbang tertiupangin Maka izinkanlah ilalalang untuk melepaska pucuknya itu Agar ilalang dapat ikut terbang bersama dandelion Kemanapun angin membawanya ilalang akan selalu bersama dandelion By : Yuniarto Tokiman <yuniartotokiman@rocketmail.com>


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.