Volume 2 Nomor 2 (Maret - September 2008)

Page 1

ISSN: 1978-3833

JURNAL

KESEHATAN MASYARAKAT Volume 2/Nomor 2/Maret - September 2008

EDITORIAL

STUDI LITERATUR

54 Pemanasan Global Vivi Triana

75 Dampak Pemanasan Global Terhadap Risiko Terjadinya Malaria Artha Budi Susila Duarsa

ARTIKEL PENELITIAN

80 Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Rizanda Machmud

59 Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dan Karakteristik Petugas dengan Kinerja Petugas Gizi Puskesmas di Kabupaten Karawang Tahun 2007 Endah Purwanti, Dian Ayubi 64 Dampak Kesehatan Akibat Kekerasan Terhadap Tenaga Kerja Indonesia Helfi Agustin 69 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007 Dien GA Nursal

85 The Baby Blues and Postnatal Depression Suryati 88 Gambaran Indikator P2TB di Propinsi Sumatera Barat Ade Suzana Eka Putri 93 Dampak Pencemaran Logam Timah Hitam (Pb) Terhadap Kesehatan Suksmerri

Diterbitkan Oleh/Published by : PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS PADANG E-mail : jurnalkesmas@gmail.com Website : http://psikm.unand.ac.id/jurnal


Pemimpin Umum

:

Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Penanggungjawab

:

FK- UNAND

Ketua Redaksi

:

Dr. dr. Rizanda Machmud, MKes

Anggota Redaksi

:

Deni Elnovriza, STP, MSi Nizwardi Azkha, SKM, MPPM, MPd, MSi Defriman Djafri, SKM, MKM Azrimaidaliza, SKM, MKM Syafrawati, SKM Vivi Triana, SKM Masrizal, SKM Fivi Melva Diana, SKM Ade Suzana Eka Putri, SKM Isniati, SKM

Penerbitan

:

2 x setahun (Maret, September)

Langganan

:

Rp.75.000,00 per tahun Rek. a/n Dr. H. Hafni Bachtiar, MPH No. Rek. 0051061837 BNI Padang Cabang Imam Bonjol

Alamat Redaksi

:

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK- UNAND Jln. Perintis Kemerdekaan Padang Telp. (0751) 38613

Jurnal Kesehatan Masyarakat merupakan majalah ilmiah Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK UNAND. Redaksi menerima sumbangan naskah ilmiah di bidang Gizi, Epidemiologi, Kebijakan Kesehatan, Kesehatan Reproduksi dan bidang-bidang lain yang terkait dengan kesehatan masyarakat. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman berikut ini. Jurnal Kesehatan Masyarakat dapat dikutip dengan menyebutkan sumbernya. i


PETUNJUK BAGI PENULIS 1. Jurnal ini memuat naskah di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat yang meliputi: Epidemiologi, Biostatistik, Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan Lingkungan, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Gizi Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Reproduksi. 2. Naskah yang dikirimkan kepada redaksi adalah naskah hasil penelitian atau studi literatur yang belum pernah dan tidak akan dipublikasikan di tempat lain dalam bentuk cetakan. 3. Naskah hasil penelitian memuat : judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, kesimpulan dan saran. Naskah studi literatur memuat unsur yang sama kecuali metode dan hasil. 4. Unsur-unsur naskah: a. Judul ditulis dengan singkat, maksimal 15 kata b. Identitas peneliti dicantumkan sebagai catatan kaki pada halaman pertama naskah c. Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris dengan kata kunci dalam 1 (satu) paragraf dengan jumlah maksimal 200 kata. d. Pendahuluan tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, sedikit tinjauan pustaka serta masalah dan tujuan penelitian. e. Metode yang digunakan dijelaskan secara rinci, memaparkan disain atau rancangan penelitian yang digunakan, sasaran penelitian (populasi, sampel dan sumber data), teknik dan instrumen pengumpulan data yang menggambarkan teknik atau prosedur analisis data. f. Pembahasan menginterpretasikan secara tepat hasil penelitian, mengaitkan secara argumentatif temuan penelitian dengan teori yang relevan, menggunakan bahasa dialog yang logis, sistematik dan mengalir g. Tabel diketik satu spasi dengan nomor yang sesuai dengan penyebutan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat. Semua singkatan yang tidak baku dijelaskan dalam catatan kaki. h. Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian, dibuat berdasarkan hasil penelitian, dan tepat guna. i. Rujukan ditulis sesuai dengan penulisan vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan. Nama penulis yang dicantumkan maksimal 6 orang, selebihnya diikuti et al. 5. Naskah diketik menggunakan program MS-Word, font Times New Roman 12, spasi ganda, garis tepi kiri 4 cm, tepi kanan 3 cm, atas 3 cm, bawah 3 cm. 6. Tebal naskah 8-15 halaman. Naskah dikirimkan dalam bentuk CD dan print out. 7. Naskah dikirim kepada: Redaksi Jurnal Kesehatan Masyarakat Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unand Jln. Perintis Kemerdekaan Padang Telp. (0751) 38613 Fax. (0751) 38613

ii


DAFTAR ISI

EDITORIAL Pemanasan Global (159-163) Vivi Triana

ARTIKEL PENELITIAN Hubungan antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dan Karakteristik Petugas dengan Kinerja Petugas Gizi Puskesmas di Kabupaten Karawang Tahun 2007 (164-168) Endah Purwanti, Dian Ayubi Dampak Kesehatan Akibat Kekerasan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (169-174) Helfi Agustin Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Seksual Murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007 (175-180) Dien G. A. Nursal STUDI LITERATUR Dampak Pemanasan Global terhadap Risiko Terjadinya Malaria (181-185) Artha Budi Susila Duarsa Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan (186-190) Rizanda Machmud The Baby Blues and Postnatal Depression (191-193) Suryati Gambaran Indikator P2TB di Propinsi Sumatera Barat (194-199) Ade Suzana Eka Putri Dampak Pencemaran Logam Timah Hitam (Pb) terhadap Kesehatan (200-202) Suksmerri

iii


DARI REDAKSI

Apa kabar pembaca, senang dapat menjumpai anda kembali.Ada beragam topik menarik yang dapat anda jumpai dalam edisi kali ini. Diantaranya adalah kekerasan terhadap tenaga kerja ditinjau dari sisi dampak kesehatannya, perilaku seksual remaja, Baby blues dan Postnatal Depresion, dan yang tidak kalah menariknya adalah pembahasan tentang global warming. Global warming kami jadikan topik editorial kali ini karena isu ini menjadi perhatian utama dunia akhir-akhir ini. Penyimpangan cuaca, dan perubahan iklim yang dihadapi dunia akhir-akhir ini menurut para ahli adalah dampak dari pemanasan global .Pemanasan global ini terjadi karena terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari yang dipancarkan kebumi akibat gas-gas umah kaca seperti CO, CH4, N2O, HFCs, CFCs dan SF6. Gas-gas tersebut sebagiannya berasal dari pembahakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Indonesia menjadi negara terbesar ketiga

iv

penyumbang gas rumah kaca karena kebakaran hutan. Efek dari global warming ini diantaranya adalah mencairnya es di kutub utara yag mengakibatkan bertambahnya tinggi permukaan air laut. Selain itu berkembangnya vektor pembawa penyakitmalaria, DBD dan cikungunya menjadi ancaman tersendiri. Agaknya, kita harus senantiasa meningkatkan kepedulian kita pada bumi yang kita tinggali ini. Kerusakan yang terjadi dibumi ini sesungguhnya diakibatkan ulah tangan manusia itu sendiri.Sepatutnya kita perlu bertanya pada diri kita, apa yang telah kita lakukan untuk menyelamatkan kehidupan kita dari kerusakan yang semakin parah ini? Pemabaca, selamat mengikuti bahasanbahasan ilmu kesehatan masyarakat kali ini. Semoga bermanfaat Salam Redaksi


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2) EDITORIAL

PEMANASAN GLOBAL Vivi Triana *

Pendahuluan Saat ini perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi dunia. Semakin banyak terjadi fenomena penyimpangan cuaca seperti badai, angin ribut, hujan deras, serta perubahan musim tanam. Belum lagi ancaman badai tropis, tsunami, banjir, longsor, kekeringan, meningkatnya potensi kebakaran hutan, punahnya berbagai jenis ikan dan rusaknya terumbu karang, serta krisis air bersih, bahkan peningkatan penyebaran penyakit parasitik seperti Malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD), serta terjadi peningkatan insiden alergi, penyakit pernafasan dan radang selaput otak ((encephalitis). Menurut sebagian besar pakar, kejadian ini diakibatkan oleh yang dinamakan pemanasan global (global warming), akibat dari meningkatnya kandungan gas rumah kaca . Isu pemanasan global ini sedang hangat dibicarakan di dunia, apalagi dengan adanya fenomena musim dingin yang hangat di tahun 2006-2007. Rata-rata temperatur global tahun 2006 1,2°C lebih hangat daripada rata-rata temperatur di abad ke-20. Hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang menunjukkan bahwa ternyata selama tahun 1990 - 2005 telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, yaitu antara 0,15 - 0,3°C. Hal ini menimbulkan berbagai masalah, antara lain tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat naiknya permukaan air laut sebagai dampak dari mencairnya es di Greenland dan Antartika (± 1 meter pertahun). Berdasarkan penelitian para ilmuan yang tergabung dalam Lembaga Survei Antartika (BIA) barubaru ini, lebih dari 1 juta hektar bongkahan es di wilayah bagian barat antartika atau lingkar kutub selatan terancam meleleh atau pecah. Hal ini merupakan indikator kondisi antartika yang berubah cepat, akibat peningkatan suhu bumi. PBB sangat mengkhawatirkan kondisi ini, karena ini merupakan acaman terbesar yang melanda dunia kedepannya.Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 (33 tahun dari sekarang) lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis meleleh. Luapan air laut makin lama makin luas, sehingga akhirnya menelan seluruh pulau.

Tanda lain yang tidak luput dari perhatian adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti beberapa tempat di wilayah Indonesia, seperti salju di puncak Gunung Jayawijaya di Papua. Serta dari hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2007 mengungkapkan bahwa, ternyata permukaan air laut Teluk Jakarta meningkat setinggi ± 0,8 cm. Mengingat pentingnya isu pemanasan global ini bagi dunia, maka pada Kongres Inter Parliamentary Union (IPU ) Assembly ke-116 di Nusa Dua, Bali 29 April sampai dengan 4 Mei 2007 memasukkan topik ini dalam sesi Debat Umum dengan dengan tema utama “Global Warming : ten years after Kyoto” ( Pemanasan Global : 10 tahun setelah Kyoto). Isu ini juga merupakan isu utama dalam pembahasan emergency issue-nya. Oleh sebab itu, patut kita mengenali lebih jauh, apa yang dimaksud dengan pemanasan global dan bagaimana kita di Indonesia menyikapi dan bahkan membantu menanggulanginya. Pemanasan Global Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi. Peneliti dari Center for International Forestry Research (CIFOR), menjelaskan, bahwa pemanasan global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (gelombang panas atau infra merah), yang dipancarkan ke bumi oleh gas-gas rumah kaca. Ada enam jenis gas rumah kaca, yaitu Karbondioksida ( CO ), Metana ( CH4 ), Nitrous oksida ( N2O ), Hydroperfluorokarbon ( HFCs ), Perfluorokarbon ( CFCs ), Sulfur Heksaflorida ( SF6). Gas-gas ini secara alami terdapat di udara (atmosfer). Efek rumah kaca adalah istilah untuk panas yang terperangkap di dalam atmosfer bumi dan tidak bisa menyebar. Penipisan lapisan ozon juga memperpanas suhu bumi. Karena, makin tipis lapisan-lapisan teratas atmosfer, makin leluasa memancarkan radiasi gelombang pendek matahari (termasuk ultraviolet) memasuki bumi. Selanjutnya radiasi gelombang pendek ini juga berubah menjadi gelombang panjang atau gelombang panas matahari atau

* Staf pengajar PSIKM FK Unand

159


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

infra merah, sehingga semakin meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Lebih jelasnya prosesnya pemanasan gobal ini adalah sebagai berikut : - Energi yang masuk ke bumi mengalami serangkaian proses - 25% energi dipantulkan oleh awan atau partikel lain ke atmosfer - 25% diadsorpsi oleh awan - 45% diadsorpsi oleh permukaan bumi - 5% lagi dipantulkan kembali oleh permukaan bumi - Energi yang diadsorpsi oleh awan dan permukaan bumi (25%+45% = 70%) dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah atau gelomabang panas matahari - Namun sebagian besar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh awan, gas CO2 dan gas gas lain (efek rumah kaca), untuk dikembalikan ke permukaan bumi. Dalam keadaan normal Efek Rumah Kaca alami diperlukan untuk mengurangi perbedaan suhu antara siang dan malam. Namun dengan meningkatnya Gas Rumah Kaca terutama (CO2), akan semakin banyak gelombang panas matahari atau infra merah yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer sehingga suhu permukaan bumi semakin meningkat. PENYEBAB PEMANASAN GLOBAL Planet Bumi telah menghangat juga mendingin berkali-kali selama 4,65 milyar tahun sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, para ilmuan beranggapan hal ini disebabkan oleh aktifitas manusia. Indonesia adalah menjadi Negara terbesar ke-3 di dunia setelah Cina sebagai penyumbang gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan pembakaran lahan gambut (yang diubah menjadi permukiman atau hutan industri). Belum lagi volusi udara yang ditimbulkan dari asap kendaraan bermotor di kota-kota besar, asap pabrik dari negara-negara industri. Bukan hanya itu, penyebab utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang melepas karbondioksida (CO²) dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer, yang menyebabkan Efek Rumah Kaca. Ketika atmosfer semakin kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insolator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi. Bumi memanas akibat dari sinar matahari yang sudah masuk ke bumi tidak bisa keluar karena gas-gas rumah kaca ini membentuk lapisan di atmosfer yang memantulkan sinar matahari. Hal ini terjadi akibat peningkatan jumlah gas ini melebihi kemampuan tumbuhan dan laut untuk mengadsorpsinya. Menurut perkiraan, efek rumah kaca telah meningkatkan suhu bumi rata-rata 1-5°C. Bila kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5°C sekitar tahun 2030. Dengan meningkatnya konsentrasi gas CO2 di atmosfer, maka akan

160

semakin banyak gelombang panas yang dipantulkan dari permukaan bumi diserap atmosfer. Hal ini akan mengakibatkan suhu permukaan bumi menjadi meningkat. Gambar. Mekanisme terjadinya efek rumah kaca

Sumber: Situs kementrian lingkungan hidup

Bumi secara konstan menerima energi, kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses radioaktif (Holum, 1998:237). Sinar tampak dan sinar ultraviolet yang dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar tersebut sebagian dipantulkan oleh atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di permukaan bumi sebagian radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada yang diserap oleh permukaan bumi dan menghangatkannya. Dampak Pemanasan Global Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi telah membuat beberapa perkiraan mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan hewan liar dan kesehatan manusia. Dijelaskan sebagai berikut : Cuaca Gejala yang sangat jelas dari pemanasan global adalah berubahnya iklim, contohnya, hujan deras masih sering datang, meski kini kita sudah memasuki bulan yang seharusnya sudah terhitung musim kemarau. Salah satu contoh di Indonesia, misalnya kejadian banjir besar pada bulan Februari 2007 lalu yang merendam lebih dari separuh DKI Jakarta. Menurut perkiraan, dalam 30 tahun terakhir ini, pergantian musim kemarau ke musim hujan terus bergeser. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat. Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah hujan, secara ratarata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

pemanasan. Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak terprediksi dan lebih ekstrim.Saat sekarang terutama 2-3 tahun ke belakang sangat sulit untuk memprediksi cuaca. Tinggi Permukaan Laut Ketika atmosfer menghangat, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi dan lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, akibatnya gunung-gunung es di kutub terutama sekitar Greenland akan mencair. Berdasarkan penelitian para ilmuan yang tergabung dalam Lembaga Survei Antartika (BIA) barubaru ini, lebih dari 1 juta hektar bongkahan es di wilayah bagian barat antartika atau lingkar kutub selatan terancam meleleh atau pecah. Tinggi permukaan laut di seluruh dunia telah meningkat 10 - 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan lebih lanjut 9 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21. Perubahan tinggi ratarata permuka laut ini diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi. Grafik. Perubahan Permukaan Air laut

Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : 1. Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir 2. Perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan manggove (hutan bakau) 3. Meluasnya intrusi air laut 4. Ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir 5. Berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil

Pertanian Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada sebagai contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam. Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh. Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum puncak bulan-bulan masa tanam. Seperti kita ketahui para petani memakai cuaca sebagai patokan penanaman mereka, jadi jika salah prediksi cuaca para petani bisa tidak panen atau hasil panennya tidak bagus sehingga akan mengalami kerugian. Hewan dan tumbuhan Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah kutub atau ke atas pegunungan. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah menuju kutub mungkin juga akan musnah. Sedangkan tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Kesehatan manusia Wabah penyakit yang biasa ditemukan di daerah tropis, seperti penyakit yang diakibatkan nyamuk dan hewan pembawa penyakit lainnya, akan semakin meluas karena mereka dapat berpindah ke daerah yang sebelumnya terlalu dingin bagi mereka. Anopheles misalnya adalah jenis nyamuk vektor utama penyakit malaria yang selama ini dianggap hanya mampu berkembang biak pada daerahdaerah tropis saja dengan suhu tidak kurang dari 16 derajat celcius dan pada ketinggian kurang dari 1000 m. Namun laporan terakhir menunjukkan nyamuk ini telah ditemukan juga di daerah-daerah subtropis dan pada ketinggian yang sebelumnya tidak ditemukan anopheles seperti di Afrika Tengah dan Ethiopia. Saat ini 45% penduduk dunia tinggal di daerah di mana mereka dapat tergigit oleh nyamuk pembawa parasit. Persentase ini akan meningkat menjadi 60% jika temperature meningkat. Perubahan temperatur, kelembaban udara, dan curah hujan yang ekstrem mengakibatkan nyamuk lebih sering bertelur sehingga vektor yang tertularkan penyakit pun bertambah. Penyakit-penyakit tropis lainnya yang dapat menyebar melalui nyamuk ini yatu seperti Malaria, Demam Berdarah Dengue (DBD), demam kuning, dan cikungunya.

161


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Guru Besar Tetap Ilmu Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (UNPAD), Ridad Agoes mengungkapkan : “Pemanasan global mengakibatkan arbovirus seperti dengue dan parasit protozoa seperti malaria sudah menyebar ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak ada, nyamuk yang menjadi vektor tersebut mampu untuk berkembang biak di daerah yang sebelumnya dianggap terlalu dingin untuk mampu bertahan dan mengakibatkan siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa lebih singkat, sehingga jumlah populasinya akan cepat sekali naik, saat ini setidaknya 270 juta penduduk dunia menderita malaria dan lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena malari.” Fenomena pemanasan global yang berpengaruh terhadap keganasan penyakit. Para ilmuan juga memprediksi meningkatnya insiden alergi, penyakit pernafasan dan radang selaput otak ((encephalitis),karena udara yang lebih hangat akan memperbanyak polutan, spora mold dan serbuk sari. Akibat Pemanasan Global yang berdampak pada bencana alam seperti banjir juga akan memicu masalah kesehatan masyarakat lain, termasuk juga jenis penyakit lainnya seperti Diare, Leptospirosis, Asma, Kanker Kulit dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (COPD). Bagaimana Dunia dan Indonesia Menyikapinya Isu pemanasan global ini bukanlah isu baru bagi dunia, dimana gagasan dan program menurunkan emisi secara internasional telah dilakukan sejak tahun 1979 dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu United Nation Framework Convention on Climate Change ( UNFCC )/ Konvensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim atau lazim disebut Konvensi Perubahan Iklim. Konvensi ini disahkan di Rio de Janeiro pada 14 Mei 1992 sebagai salah satu komitmen dalam KTT Bumi, dan mulai berlaku 21 Maret 1994. Pemerintah Indonesia mengesahkannya melalui UU no 6 tahun 1994. Melalui konvensi ini Negara Annex 1 ( negara negara industri termasuk Rusia dan Negara Eropa Timur lain yang ekonominya berada dalam transisi menuju ekonomi bebas ) diminta untuk melakukan upaya pengurangan terhadap emisi gas rumah kaca melalui pengembangan program nasional serta inventarisasi gas rumah kaca. Desember 1997, dari hasil COP 3 ( Conference of Parties ) / Konferensi Negara Pihak ke-3, di Kyoto, Jepang, Protokol Kyoto disahkan sebagai dasar bagi Negara Annex 1 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca minimal 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 menjelang komitmen periode pertama tahun 2008-2012. Target penurunan emisi ini disebut Quantified Emission Limitation and Reduction Objectives ( QELROs) dan diatur pada Annex B Protokol

162

Kyoto. Indonesia sudah meratifikasi Protokol Kyoto tanggal 28 Juli 2004 melalui UU no 17/2004. Sampai sekarang Amerika Serikat yang menjadi Negara penghasil terbesar gas rumah kaca ( 25% dari keseluruhan GRK ) dan Australia menolak meratifikasi protokol ini. Amerika menolak dengan alasan bahwa pengurangan penggunaan bahan bakar fosil dan menggantinya dengan gas akan memberi dampak negatif bagi perekonomiannya. Protokol Kyoto mulai berlaku efektif pada tahun 2005 setelah Rusia meratifikasinya tahun 2004. Ada tiga mekanisme pemenuhan komitmen Negara Annex 1 untuk menurunkan target emisinya, yaitu melalui Joint Implementation ( JI ) / Implementasi Bersama, Emission Trading ( ET ) / Perdagangan Emisi atau sering disebut sebagai Perdagangan Karbon dan Clean Development Program ( CDM ) / Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Kemudian pada Kongres Inter Parliamentary Union (IPU ) Assembly ke-116 di Nusa Dua, Bali 29 April sampai dengan 4 Mei 2007 memasukkan topik ini dalam sesi Debat Umum dengan dengan tema utama “Global Warming : ten years after Kyoto” ( Pemanasan Global : 10 tahun setelah Kyoto). Isu ini juga merupakan isu utama dalam pembahasan emergency issue-nya. Pada tahun 2007 itu Bali merehabilitasi 250 hektar dari total 4.000 hektar hutan mangrovenya di lima wilayah yaitu Denpasar, Kabupaten Badung, Jembrana, Buleleng dan Klungkung, dengan bantuan Japan International Cooperation Agency (JICA). Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi tsunami mengingat mangrove sangat efektif meredam tsunami. Ini merupakan upaya konkrit dalam mengurangi dampak pemanasan global yang dapat pula menyebabkan tsunami. Penerapan Tri Hita Karana sebagai wujud peran masyarakat dalam melestarikan alamnya. Konsep Tri Hita Karana• (Hubungan harmonis antar manusia dengan Tuhan, Manusia dengan sesamanya dan Manusia dengan alam lingkungannya) yang mengacu pada akar budaya Bali dapat menjadi acuan di dalam mengatasi masalah perusakan lingkungan yang menjadi penyebab pemanasan global dewasa ini. Pada skala kecil masyarakat dapat berpartisipasi dalam mengurangi akibatnya, antara lain dengan : 1. Menghemat pemakaian air 2. Mengurangi penggunaan kendaraan pribadi 3. Menggunakan bahan pembersih, sabun yang aman bagi lingkungan. 4. Mengurangi pembakaran bahan yang tak dapat didaur ulang 5. Menghijaukan lingkungan sekitar dengan penanaman pohon 6. Memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar 7. Membuat kompos 8. Mendorong usaha kerajinan dengan bahan sisa yang bisa didaur ulang 9. Menggunakan lampu hemat energi


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Penutup Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global termasuk Indonesia yang terjadi pada kisaran 1,5 – 40 °C pada akhir abad 21. Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosialekonomi masyarakat meliputi, gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, gangguan terhadap fungsi

prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara, gangguan terhadap permukiman penduduk, pengurangan produktivitas lahan pertanian, peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit parasitik, dan sebagainya. Pemanasan global sudah menjadi masalah yang harus kita hadapi atau kita pecahkan bersama. Marilah kita bersama-sama memulai dengan gaya hidup yang ramah lingkungan dimulai dari diri sendiri. Karena pada dasarnya yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim (climate change) adalah manusia selain faktor alam juga. Hal kecil penyumbang pemanasan globalpun harus diperhatikan, salah satunya dengan pengurangan pemanfaatan energi fosil bumi dan perlindungan terhadap hutan harus tetap dilakukan. Oleh sebab itu, patut kita mengenali lebih jauh, apa yang dimaksud dengan pemanasan global, sehingga kita dapat berperan untuk menyikapi, bahkan dapat membantu menanggulanginya.

163


ARTIKEL PENELITIAN Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

HUBUNGAN ANTARA KEPEMIMPINAN KEPALA PUSKESMAS DAN KARAKTERISTIK PETUGAS DENGAN KINERJA PETUGAS GIZI PUSKESMAS DI KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2007 Endah Purwanti* dan Dian Ayubi**

ABSTRACT Number of malnutrion of children under five year increased in Karawang District during 2001-2006. This situation represents a low performance of nutrient staff. Performance of nutrition staff is related to puskesmas‘s head leadership. This research aim is to assess relationship between performance of puskesmas‘s head leadership with nutrition staff in Karawang. The study design was a cross-sectional study. Total sample was 43 person nutrition staff in all puskesmas in Karawang. Data were analysed using multiple logistic regression. Result of this research found nutrition staff performance shows goodness (55,8%) in general, but management of malnutrition chidren under five years is still unsatisfied. Puskesmas‘s head leadership has a largest association with nutrition staff performace compared to other variables.. Staff who perceived good on puskesmas head leadership will have 13 times greater to have good performencec than staff who perceived poor. Karawang Health District Office should conduct a leadership training for nutrition staff and also for the head of Puskesmas. Keyword: leadership, performance

Pendahuluan Upaya penanggulangan masalah gizi khususnya pada anak usia di bawah lima tahun (balita) masih sangat diperlukan (1). Perkembangan kasus balita gizi buruk Kabupaten Karawang , menurut hasil laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terjadi kenaikan persentase sekitar 0,59% kasus, yaitu dari 1,17% pada tahun 2002 dan 1,76% pada akhir bulan Mei 2006. Tepatnya saat ini kasus gizi buruk berjumlah 2.058 balita dimana 11 menderita marasmus, 3 anak menderita marasmus-kwasiorkor dan 17 anak diantara mereka telah meninggal dunia. Sampai akhir Mei 2006 balita gizi buruk yang sudah dirawat sebanyak 16 anak dan yang masih dirawat di RSUD ada 3 orang (2) Cakupan program gizi diantaranya penca-paian status gizi merupakan hasil kerja /kinerja program itu sendiri. Berhasil atau tidaknya pelak-sanaan pemantauan status gizi balita tidak terlepas dari peran kepemimpinan kepala Puskesmas dalam memberikan motivasi, arahan atau tuntunan kepada tenaga pelaksana gizi dalam

melaksanakan tugasnya. Kepemimpinan adalah sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya tujuan (3). Menurut hasil penelitian Ayubi (2006) didapatkan bahwa kepemimpinan transformasional yang kuat mempengaruhi kinerja program imunisasi menjadi lebih baik, meskipun dalam keterbatasan biaya. Kepemimpinan transformasional mampu menumbuhkan semangat resourcefulness pengelola program imunisasi baik di tingkat Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota maupun di tingkat puskesmas (4). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepemimpinan kepala puskesmas dan karakteristik petugas dengan kinerja petugas gizi. Kinerja petugas gizi didasarkan pada pelaksanaan tugas sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) petugas gizi di Kabupaten Karawang. Penelitian ini mempunyai satu variabel terikat yaitu kinerja petugas gizi dalam melaksanakan kegiatan sesuai tupoksi, yang terdiri dari kegiatan rutin dan penatalaksanaan kasus balita gizi buruk. Variabel bebas

* Kepala Puskesmas Anggadita, Kabupaten Karawang, Jawa Barat ** Staf Pengajar Departemen Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

164


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

yaitu kepemimpinan kepala puskesmas (variabel organisasi) dan karak-teristik individu petugas gizi yang mempengaruhi kinerja yang terdiri dari umur, jenis kelamin, lama kerja, pendidikan, pengetahuan (variabel individu) dan pelatihan, motivasi diri petugas gizi (variabel psikologis). Metodologi Jenis rancangan penelitian yang digunakan adalah desain potong lintang (cross-sectional). Penelitian dilakukan di 43 Puskesmas di Kabupaten Karawang, yang dilakukan pada bulan Februari 2007 sampai dengan Mei 2007. Populasi yang diambil adalah seluruh petugas gizi Puskesmas. Pengambilan sampel untuk petugas gizi puskesmas dilakukan secara total sampling yang berjumlah 43 orang di Kabupaten Karawang. Data dikumpulkan dengan memberikan kuesioner kepada petugas gizi Puskesmas dimana pertanyaan pada setiap kuesioner dikelompokkan menjadi tiga yaitu data

karakteristik individu petugas gizi puskesmas, persepsi petugas gizi tentang kepemimpinan kepala puskesmas dan kinerja petugas gizi berupa kegiatan petugas gizi sesuai tupoksi rutin dan penatalaksanaan kasus gizi buruk di wilayahnya masing-masing, serta bukti fisik arsip-arsip laporan bulanan selama kurun waktu 3 bulan terakhir yaitu bulan Januari 2007 sampai akhir Maret 2007. Analisis multivariat yang digunakan adalah uji regresi logistik ganda, yang bertujuan untuk mengestimasi secara valid hubungan antara beberapa variabel utama/ independen dengan variabel dependen. Semua analisis dilakukan menggunakan program komputer. Hasil Dari Tabel 1 terlihat bahwa rerata skor tertinggi pada kegiatan rutin petugas gizi terletak pada kegiatan melaksanakan pencatatan dan pelaporan, hal ini didukung oleh bukti fisik yang ditemukan dengan nilai rerata total 0,88 (skala 0-1).

Tabel 1 Deskripsi Rerata Skor Butir-butir Kinerja Petugas Gizi Puskesmas dan Dimensinya di 43 Puskesmas Kabupaten Karawang Tahun 2007 Butir Kinerja Petugas Gizi * Kegiatan rutin petugas gizi Merencanakan kegiatan gizi Melaksanakan kegiatan gizi Melaksanakan koordinasi kegiatan gizi Melaksanakan pemantauan dan penilaian Melaksanakan pembinaan kegiatan perbaikan gizi Melaksanakan pencatatan dan pelaporan * Kegiatan penatalaksanaan gizi buruk Validasi dan hasil laporan Melakukan rujukan Pemberian PMT pemulihan Penanggulangan kekurangan Zat gizi mikro Evaluasi perkembangan berat badan balita gizi buruk Persiapan tindak lanjut dirumah Pengamatan terhadap balita gizi buruk Pencatatan dan pelaporan * Bukti fisik kinerja Laporan LB1 Laporan F3 gizi Laporan Distribusi Vitamin A Laporan distribusi tablet Fe Laporan sarana perbaikan gizi Laporan daftar nama balita gizi buruk Laporan rekapitulasi balita gizi buruk

Skor (1-4) 52,4 3,05 3,00 3,00 3,09 3,17 3,33 68,1 2,55 2,40 3,57 2,05 2,20 2,78 2,10 2,68 Skor (0-1) 6,18 0,93 0,95 0,95 0,88 0,95 0,72 0,79

165


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Berdasarkan rerata lalu dilakukan kategorisasi kepemimpinan kepala puskesmas. Tabel 2 menun-jukkan bahwa bahwa 58,1% Puskesmas mempunyai kepemimpinan

kepala Puskesmasnya baik, dan faktor komunikasi mempunyai nilai tertinggi yaitu 55,8%. Sedangkan nilai terendah terdapat pada faktor koordinasi yaitu 44,2%.

Tabel 2 Distribusi Puskesmas Menurut Kepemimpinan Kepala Puskesmas dan Dimensinya di 43 Puskesmas Kabupaten Karawang Tahun 2007 Variabel Kepemimpinan Kepala Puskesmas - Koordinasi - Motivasi - Supervisi - Komunikasi - Pendelegasian wewenang

Kategori ( Rerata Skala 100) Baik Kurang Baik Kurang Baik Kurang Baik Kurang Baik Kurang Baik Kurang

Tabel 3 memperlihatkan bahwa 62.8% petugas pernah mendapatkan pelatihan gizi dan 48.8% petugas

( ≥ 83,9) (< 83,9) ( ≥ 85,9) (< 85,9) ( ≥ 80,8) (< 80,8) ( ≥ 76,2) (< 76,2) ( ≥ 90,9) (< 90,9) ( ≥ 85,8) (< 85,8)

N

Persentase

25 18 19 24 23 20 21 22 24 19 21 22

58,1 41,9 44,2 55,8 53,5 46,5 48,8 51,2 55,8 44,2 48,8 51,2

berpengetahuan baik tentang tupoksi gizi dan penanganan balita gizi buruk.

Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Karakteristik Individu di 43 Puskesmas di Kabupaten Karawang Tahun 2007 Karakteristik Jenis Kelamin • Laki-laki • Perempuan Umur • Muda • Tua Pendidikan terakhir • SMU/sederajat • Perguruan Tinggi Lama kerja • Baru • Lama Pelatihan Gizi • Pernah • Tidak pernah Pengetahuan • Baik (> skor 64 skala 100) • Kurang Motivasi Diri • Baik (> skor 87 skala 100) • Kurang

166

n

Persentase 13 30

30.2 69.8

19 24

44.2 55.8

17 26

39.5 60.5

22 21

51.2 48.8

27 16

62.8 37.2

21 22

48.8 51.2

24 19

55.8 44.2


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Pemilihan model dilakukan dengan melakukan analisis hubungan antara kinerja dengan kepemimpinan dan semua faktor karakteristik individu, yaitu umur. jenis kelamin, pendidikan, pelatihan, lama kerja, pengetahuan dan motivasi diri. Bila hasil analisis mendapatkan nilai p< 0,25 maka variabel tersebut dapat dimasukan dalam analisis multivariat. Variabel tersebut adalah pendidikan terakhir, pelatihan, dan motivasi,

Tabel 4 menginformasikan bahwa variabel kepemimpinan kepala puskesmas mempunyai hubungan yang paling besar terhadap kinerja petugas gizi daripada variabel lainnya. Petugas gizi yang mempersepsikan kepemimpinan kepala puskesmasnya baik akan memberikan peluang sebesar 12.7 kali lebih besar untuk mempunyai kinerja yang baik daripada petugas gizi yang mempersepsikan buruk atas kepemimpinan kepala puskesmasnya.

Tabel 4 Regresi Logistik Ganda Antara Kepemimpinan Kepala Puskesmas dan Karakteritik Individu dengan Kinerja Petugas Gizi Variabel Kepemimpinan kepala Puskesmas Motivasi diri petugas gizi Pendidikan terakhir petugas gizi Pelatihan gizi yang diikuti

Pembahasan Apabila dilihat dari pelaksanaan kegiatannya (Tabel 1), menunjukan bahwa kinerja petugas gizi yang baik pada pelaksanaan kegiatan rutin sebesar 55,8%, sedangkan pada kegiatan penatalaksanaan kasus gizi buruk hanya sebesar 46,5% puskesmas yang pelaksanaan kegiatannya sudah baik. Keadaan seperti ini dimungkinkan terjadi karena biasanya petugas gizi dalam melaksanakan tugasnya menganggap sebagai tugas rutin dan hanya menunggu intruksi dari kepala puskesmasnya ataupun Dinas Kesehatan Kabupaten. Ismitaty menemukan bahwa 59.7% petugas gizi memiliki kinerja baik di Propinsi Sumatera Selatan (5). Kepemimpinan kepala puskesmas mem-punyai pengaruh paling besar terhadap kinerja petugas gizi Puskesmas dibandingkan variabel lainnya Hal ini sesuai dengan teori menurut kriteria Baldridge bahwa kesuksesan atau kegagalan suatu perusahaan tergantung kepada kualitas kepemimpinannya, dengan cara melakukan penilaian terhadap kemampuan pemimpin dan sistem kepemimpinannya serta mengaitkannya dengan hasil-hasil yang dicapai (6). Penelitian yang dilakukan oleh Karolin (2000) dimana faktor kepemimpinan kepala Puskesmas sangat berperan dalam pelaksanaan program gizi di Puskesmas di Kota Bogor (7). Penelitian Scarborough menemukan bahwa para pemimpin memainkan peran penting dalam keberhasilan melakukan perubahan budaya (8). Penelitian Adiono menemukan bahwa perawat yang mempersepsikan kepemimpinan atasannya baik memiliki peluang untuk mempunyai kinerja baik sebesar 4.3 kali dibandingkan dengan perawat yang mempersepsikan kepemimpinan atasannya kurang baik. Kinerja perawat dinilai berdasarkan kesesuaian tindakan keperawatannya terhadap standard operating procedure (SOP) (9) Penelitian ini menemukan bahwa untuk mencapai kinerja petugas gizi yang baik diperlukan tidak hanya

B

SE

Wald

Sig

OR

2,486 0,408

0,881 0,778

7,962 0,276

0,005 0,600

12,794 1,504

0,833 1,891

0,804 0,944

1,075 4,009

0,300 0,045

2,300 6,625

kepemimpinan yang baik atas kepala puskesmas juga ditentukan oleh motivasi petugas itu sendiri, pendidikan yang memadai dan pelatihan gizi. Simpulan Dari hasil analisa dan pembahasan variabelvariabel yang diteliti dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : a. Kepemimpinan kepala Puskesmas di Kabupaten Karawang pada umumnya baik (58,1%), namun dalam pelaksanaan fungsi koordinasi, supervisi dan pendelegasian wewenang masih kurang baik berkisar antara 44,2% - 48,8%. b. Kinerja petugas gizi Puskesmas di Kabupaten Karawang secara umum juga sudah baik (55,8%), didukung dengan bukti fisik berupa arsip pelaporan sebagian besar (86%) sudah baik. Namun pada item penatalaksanaan kasus balita gizi buruk memperlihatkan kurang baik dengan nilai 46,5%. c. Kepemimpinan kepala puskesmas, pendidikan terakhir, pelatihan dan motivasi petugas merupakan variable yang berhubungan secara statistic dengan kinerja petugas gizi puskesmas. Variabel kepe-mimpinan memiliki hubungan yang paling besar dibandingkan dengan variabel lainnya. Saran Bagi Dinas Kesehatan di Kabupaten Kara-wang diharapkan untuk lebih memperhatikan masalah pelatihan yang mendukung kinerja petugas gizi Puskesmas. Pelatihan yang diharapkan adalah pelatihan dengan metode baru yang memungkinkan petugas gizi untuk berkreativitas secara positif dan mampu mengaplikasikan hasil pelatihan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di Puskesmas. Guna meningkatkan pelaksanaan kepemimpinan kepala Puskesmas diusulkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten untuk melanjutkan program pelatihan khusus dalam hal kepemimpinan misalnya LMCB.

167


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

DAFTAR PUSTAKA 1. Permaesih, dkk, 2000, Prevalensi Anak Balita di Wilayah Indonesia Bagian Timur dalam Penelitian Gizi dan Makanan, Puslitbang Gizi, Bogor, 2000 2. Dinas Kesehatan Kabupaten Karawang, Laporan Tahunan Program Gizi, Dari Tahun 2002 Sampai dengan Tahun 2006, Karawang, 2002-2006. 3. Robbins, S.P. 2006. Perilaku Organisasi, Edisi Kesepuluh/ Edisi Lengkap, PT. Index Kelompok Gramedia, Jakarta. 4. Ayubi, D. 2006. Peran Kepemimpinan Transformasional Pengelola Program Imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Terhadap Status Imunisasi Anak di Tujuh Propinsi Di Indonesia Tahun 2004, Disertasi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta. 5. Ismitaty, A. 2004, Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kinerja Petugas Gizi Puskesmas di Propinsi

168

Sumatra Selatan, Thesis Program Pasca Sarjan IKMUI, Depok 6. Haris, A. 2005. 7 Pilar Perusahaan Unggul, Implementasi Kriteria Baldrige Untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan, PT. Gramedia Pustaka Utam,Jakarta. 7. Karolin, C. 2000, Evaluasi Manajemen Pelaksanaan Program Gizi Puskesmas Kota Bogor Tahun 1999, Thesis Program Pasca Sarjan IKM- UI, Depok. 8. Scarborough, J.D. 200, Transforming leadership in the manufacturing industry. Journal of Industrial Technology; February – April 2001; Vol. 17; No. 2; pg. 2 – 13 9. Adiono, S. 2002, Analisis kepemimpinan yang mendorong iklim kerja dan motivasi kerja serta dampaknya terhadap kinerja perawat di rumah sakit se-Kota Palu. Tesis. Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.


ARTIKEL PENELITIAN Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

DAMPAK KESEHATAN AKIBAT KEKERASAN TERHADAP TENAGA KERJA INDONESIA Helfi Agustin*

ABSTRACT Indonesian government has determined a policy of employment placement as national program. With the raising number of Indonesian migrant workers, also of problem about it. The research is qualitative research and data were taken by indepth interview methode. Aim’s to know what the health impacts resulting from violations of Indonesian migrant workers. It is used tematic analysis. The research was held in West Sumatera province, Jogjakarta, Jakarta, Banten in April –June 2006. As a result of the research found out that all of Indonesian Migrant Workers who left in young ages. All of the Indonesian migrant workers experience of abuses that impact to economic aspect, but women and Ilegal Indonesian migrant workers faced higher risk violation and undergo abuse with greater impact. Executive should have improve citizen awareness in the aim to prevent abuse through elliminate ilegal leaving by giving information to publict, and have political commitment to revise rules/diplomation which oriented to human right protection of Indonesian migrant workers. Indonesian Manpower Service Personnel is suggested to promoting and giving truth information for sale of job order. NGO could have improve citizen awareness about human right and fact that violation can be prevented. Keywords : violent, migrant workers.

Pendahuluan Program nasional pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri merupakan pemanfaatan pasar kerja Internasional yang diharapkan dapat mengurangi tingginya angka pengangguran di dalam negeri. Program pengiriman TKI di Propinsi Sumatera Barat seiring dengan kebijakan pengiriman TKI secara nasional. Namun seiring dengan pertumbuhan jumlah TKI, meningkat pula permasalahan yang menyertainya. Adanya masalahmasalah yang mengarah pada kasus kekerasan mendorong beberapa tokoh Minang di Malaysia menghimbau untuk menghentikan pengiriman tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita asal Minang ke Malaysia. Hal ini kemudian menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat. (Harian Padang Ekspress, 26 April 2006). Data resmi tentang tindak kekerasan terhadap TKI asal Prop. Sumatera Barat belum ada laporannya. Namun menurut analisis Trisakti dari sekretariat Konsorsium Pembela Buruh Migran (Kopbumi) Jakarta, sebenarnya banyak kasus kekerasan yang tidak terdata akibat adanya pola migrasi yang spesifik pada masyarakat Minang yaitu merantau dan dijadikannya Propinsi Sumatera Barat sebagai wilayah transit bagi TKI illegal. Sementara di sisi lain, peneliti menemukan beberapa kasus kekerasan terhadap mantan TKI asal Propinsi Sumatera Barat yang tidak terekspos di media massa.

Kekerasan mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan. Dampak fatal adalah pembunuhan atau bunuh diri, sedangkan dampak tidak fatal adalah menurunnya kondisi kesehatan fisik, mental, cacat dan perubahan perilaku seperti ketergantungan alkohol/obat. Selain berdampak pada masalah kesehatan TKI, secara implisit terjadi penurunan produktifitas dan peningkatan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan untuk pemulihan. Organisasi Kesehatan sedunia (WHO) memperkirakan bahwa biaya pengobatan terhadap korban kekerasan 2,5 kali lebih banyak dibandingkan dengan penyakit biasa. Hal ini meningkatkan pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan dan berdampak pada kinerja yang cenderung menurun. Secara umum hal ini akan berdampak pada perekonomian negara secara makro karena selama ini remitansi dari pengiriman TKI telah menjadi penghasil devisa kedua setelah minyak dan gas disamping dampak multiplier lainnya. (Komnas Perempuan, 2001) Begitu luasnya dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan, sehingga pada tahun 1996 anggota pertemuan kesehatan sedunia (World Health Asseambly) yang terdiri dari 190 negara menyetujui resolusi yang menyatakan kekekerasan menjadi prioritas kesehatan dunia. Resolusi ini mengarahkan WHO untuk membuat rencana tindak pencegahan kekerasan berdasarkan pendekatan kesehatan masyarakat.

* Staf pengajar STIKES Indonesia Padang

169


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak kesehatan akibat kekerasan yang dialami oleh TKI dilihat dari aspek fisik, psikologis, sosial dan ekonomi.

Alat penelitian yang digunakan adalah pedoman wawancara dan alat bantu penelitian berupa tape recorder sebagai alat perekam serta catatan lapangan untuk mencatat hal yang tidak dapat ditangkap oleh alat perekam seperti bahasa tubuh atau situasi wawancara. Sesuai dengan disain penelitian maka untuk menjamin validitas data dilakukan triangulasi data yaitu dengan triangulasi metode. Peneliti menggunakan thematic analysis sebagai teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan dengan cara menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis.

Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dianggap cocok untuk menggali informasi secara mendalam tentang dampak kesehatan akibat kekerasan terhadap TKI karena kekerasan merupakan masalah yang sensitif dan mempunyai fenomena yang sangat kompleks. Upaya pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April-Juni 2006 yaitu dengan cara wawancara mendalam (indepth interview). Peneliti memilih teknik ini karena informasi yang ingin didapatkan dianggap sensitif serta tempat tinggal informan secara geografis sangat berjauhan. Wawancara dilakukan di tempat tinggal informan pada saat penelitian yakni 2 orang di Solok, 1 orang di Padang, 1 orang di Jogjakarta, 1 orang di Jakarta dan 1 orang di Serang-Banten. Pemilihan informan dilakukan berdasarkan prinsip kesesuaian (appropriateness) dan kecukupan (adequacy) yaitu informan dipilih sesuai dengan topik penelitian dan dianggap cukup jumlahnya jika data yang didapat telah menggambarkan seluruh fenomena yang berkaitan dengan topik penelitian. Berdasarkan prinsip tersebut maka kriteria informan adalah tenaga kerja Indonesia yang mengalami kekerasan, berasal dari Prop. Sumatera Barat dan bersedia diwawancarai. Untuk memudahkan akses dan kepercayaan informan, peneliti meminta bantuan perkenalan melalui teman, saudara dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan perempuan dan buruh migran.

Hasil dan Pembahasan Gambaran Umum Konsep merantau dalam budaya Minangkabau merupakan sebuah gejala sosial yang berakar jauh di dalam keseluruhan sistem budaya dari masyarakat Minangkabau. Merantau bagi laki-laki Minang adalah sebuah kebiasaan yang bersifat mobilitas ekonomi dan sosial (Naim, 1979). Akan tetapi saat ini telah terjadi fenomena pergeseran nilai adat, dimana tuntutan ekonomi dan perkembangan zaman tidak hanya mendorong laki-laki akan tetapi juga perempuan Minangkabau untuk bergerak mencari pekerjaan termasuk sebagai buruh untuk menjadi TKW ke luar negeri. Dari penelitian didapati Informan yang terdiri atas informan perempuan dan laki, status keberangkatan legal dan ilegal, serta semua informan berusia muda. Berikut adalah gambaran umum profil TKI yang menjadi informan serta bentuk kekerasan yang mereka alami.

Tabel 1 Gambaran Umum Profil Informan TKI

Gambaran Umum

TKI 1

TKI 2

TKI 3

TKI 4

TKI 5

TKI 6

Umur

21 tahun

18 tahun

17 tahun

26 tahun

20 tahun

33 tahun

Jenis Kelamin

Laki2

Pr

Pr

Laki2

Laki2

Laki2

Status TKI Bentuk Kekerasan

Ilegal Ekonomi, terjebak human trafficking

Ilegal Fisik, seksual

Ilegal Fisik, psikis

Legal Ekonomi, psikis

Legal Ekonomi, fisik, psikis

Legal Ekonomi, fisik, psikis, seksual

Dampak kekerasan terhadap kesehatan TKI Kekerasan merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia. Menurut Mann (1999), hak azasi manusia terkait dengan kesehatan karena keduanya sama-sama bertujuan untuk meningkat kesejahteraan manusia. Sedangkan WHO mulai mendefinisikan kekerasan sejak dilaksanakannya konsultasi global mengenai kekerasan dan kesehatan pada tahun 1993. Keterkaitan antara kekerasan dan kesehatan dapat dilihat dari definisi WHO

170

tentang kekerasan dan kesehatan. Definisi kekerasan menurut WHO adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan dan perampasan hak orang lain. Sementara jauh sebelumnya WHO sudah mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan yang


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

sempurna fisik dan mental serta sejahtera secara sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Melalui definisi ini, WHO mengubah pola pikir lama yang membatasi sakit pada masalah biomedis dan kelainan patologi dengan memasukkan dimensi kesejahteraan mental dan sosial. Dimensi sosial ini juga ditegaskan dalam deklarasi AlmaAta (1978) yang menyatakan bahwa untuk mencapai kesehatan dibutuhkan sektor lain yaitu ekonomi dan sosial (Mann, 1999). Batasan ini kemudian diadopsi dalam UU Kesehatan no. 23 tahun 1992 yang memberikan batasan sehat sebagai suatu keadaan sejahtera badan, mental/jiwa, sosial dan ekonomi. Heise et.all (1999) membuktikan keterkaitan kekerasan dengan kesehatan dengan uraiannya mengenai dampak kesehatan akibat tindakan kekerasan pada perempuan. Menurut Heise dampak fatal akibat kekerasan adalah berupa pembunuhan dan tindakan bunuh diri, sedangkan dampak tidak fatal adalah 1) gangguan terhadap kesehatan fisik seperti : trauma/luka fisik, radang panggul, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, keguguran dini, sakit kepala, masalah ginekologis serta gangguan pencernaan, 2) gangguan kesehatan mental seperti : stress, depresi, kegelisahan, kelainan personal dan kelainan obsesif kompulsif, 3) Gangguan terhadap perilaku sehat seperti ; ketergantungan obat/alkohol, perilaku merokok, seks bebas, pola makan, 4) kecacatan. Dampak terhadap Kesehatan Fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Jenis kekerasan ini paling mudah diidentifikasi karena meninggalkan bekas seperti luka memar dan perdarahan. Berkisar antara dijambak, ditendang, dilukai, disetrika, sampai pemukulan berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Menurut Heise (1999) dampak kekerasan fisik adalah gangguan terhadap kesehatan fisik seperti: trauma/ luka fisik, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual, keguguran dini, sakit kepala, masalah ginekologis serta gangguan pencernaan. Pada TKI legal tidak ditemukan dampak fisik yang secara langsung menyerang tubuh/fisik karena tidak satupun yang mengalami kekerasan yang dapat menimbulkan luka memar dan pendarahan akibat dijambak, ditendang, dilukai atau mengalami pemukulan. Akan tetapi salah satu informan TKI legal beberapakali mengalami sakit di tempat kerja sebagai akibat beban kerja yang berat, waktu istirahat yang kurang dan dipaksa untuk bekerja pada saat sedang sakit. “Orang Jepang tu juga ndak peduli jika kita sakit atau apa. Pernah saya mengalami sakit kepala dan muntahmuntah. Walaupun saya sudah muntah di depan dia itu dibiarkan saja. Paling dikasih obat terus disuruh kerja lagi. Pernah juga saya kerja dari jam 7 sampai jam 5 saya sudah tidak kuat lagi, sampai jatuh ke got karena limbung/sempoyongan” (infk-5).

Hasil penelitian menemukan beberapa informan (TKI 2, 3, 5 dan 6) bekerja dalam waktu yang panjang dan penggunaan waktu libur sebagai jam kerja. Temuan ini tidak jauh berbeda dengan temuan Human Right Watch terhadap TKI pekerja rumah tangga di Malaysia yaitu bekerja selama 16 jam atau lebih dalam satu hari. Hampir seluruh pekerja yang diwawancarai oleh Human Right Watch (51 orang) mengalami jam kerja yang panjang. Hal yang sama juga terjadi pada TKW pekerja rumah tangga yang diteliti oleh Raharto (2002) dan Farida (2004) yang menemukan TKW Pekerja Rumah Tangga di Arab Saudi bekerja dengan beban yang berat dan dalam waktu yang sangat panjang. Hal ini bertentangan dengan hak buruh migran atas kesehatan pada konvensi ILO tahun 1990 yang menyatakan bahwa buruh migran dan anggota keluarganya berhak untuk menerima perawatan kesehatan untuk mempertahankan hidupnya berdasarkan perlakuan yang sama dengan warga yang bersangkutan. Jam kerja normal menurut ILO dalam satu hari adalah sekitar 8 jam/hari, akan tetapi peraturan yang ditetapkan oleh Depnakertrans RI menyatakan bahwa minimal TKI mempunyai waktu istirahat 8 jam sehari. Jika dibaca terbalik maka dengan peraturan tersebut, majikan yang mempekerjakan TKI selama 16 jam sehari belum termasuk sebagai suatu pelanggaran. Penetapan peraturan terbalik ini menguntungkan pihak pengguna dan terkesan tidak melindungi TKI. Kekerasan fisik yang berdampak langsung terhadap kondisi fisik sehingga menimbulkan luka fisik dan kehamilan tidak diinginkan, terutama terjadi pada informan TKI yang berangkat secara ilegal. Akibat kekerasan fisik yang dialami oleh informan TKI illegal yaitu mengalami luka yang cukup serius akibat pukulan majikan sehingga dirawat di rumah sakit sebelum akhirnya dipulangkan ke Indonesia. Selain itu informan TKI 2 pulang ke kampung dalam keadaan hamil. Informan ini juga mendapat pembatasan/larangan makan dari majikannya, padahal pekerjaan yang berat dan rentang waktu kerja yang panjang tentunya membutuhkan kondisi fisik yang kuat. “Dia disana katanya sering mendapat pukulan dan perlakuan yang kejam dari majikan...” (keluarga informan TKI3) “Majikan laki-laki suka melarang makan...tapi kalau saya tidak tahan lapar...saya makan secara sembunyisembunyi”...(infk-2) Kasus kekerasan fisik merupakan kasus yang cukup banyak dialami oleh TKI. Kasus-kasus lain yang tercatat pada dokumen LSM Kopbumi adalah TKI dipaksa untuk memakan makanan haram, mengalami penyiksaan dalam bentuk dipukul pakai tangkai besi, diseterika, kemaluannya ditusuk pakai besi atau kayu, disuruh tidur di lantai tanpa peralatan tidur yang memadai, dll. Menurut Kolibonso (2000) bekas fisik dapat menghilang, tetapi memiliki implikasi psikologis dan sosial yang serius pada korban. Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan temuan Human Right Watch yang menerima laporan

171


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

adanya para pekerja rumah tangga di Malaysia yang mengalami luka–luka akibat pelecehan fisik dan seksual baik pada saat di penampungan maupun di rumah majikan. Dampak terhadap Kesehatan Psikologis Kekerasan psikologis dapat mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan rasa tidak berdaya dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Dalam konteks beban kerja yang berat dan jam kerja yang panjang para majikan sering meningkatkan stress dan tekanan yang dirasakan oleh pekerja dengan seringnya berteriak dan memaki. (Kolibonso, 2000) Semua TKI legal maupun illegal pernah mendapat perlakuan pelecehan, hinaan dan makian dengan kata-kata kasar. Hal ini dikemukakan oleh informan TKI 5, 6 dan teman dari informan TKI 4 yang ketiganya merupakan TKI legal: “Kalau cacian, hinaan dan bentakan itu sudah biasa, sering sekali.. kena bentak dengan kata-kata kasar. ..”baka” (goblok/bodoh) atau “ossoy (lambat”)... (infk5). “ ...sifatnya yang kasar itu membuatnya mudah menyumpah serapah kita...seperti istilah ...khamar! (keledai)”.... (infk-6) Dampak psikologis yang dialami oleh beberapa informan terlihat dari munculnya perasaan tidak berdaya, serta keluarnya pernyataan-pernyataan informan yang mengungkapkan bahwa ia mengalami tekanan psikis/stres akibat para majikan yang sering berteriak dan memaki. Dampak psikis yang dialami oleh seluruh informan berkisar dari gradasi ringan sampai dengan berat. informan TKI legal mengalami dampak kekerasan psikologis dengan gradasi ringan. Kenapa yaa...malang sekali nasib saya ..(infk-4). “Adduhh stress kak...kalau pekerjaan ndak beres.. mereka memarahi benar-benar ndak ada ampun”.....(teman dari infk-4) Dampak kekerasan psikologis dengan gradasi yang lebih berat dialami oleh TKI illegal (TKI 3) yaitu depresi berat, namun menurut rumor di masyarakat, depresi yang dialami tersebut disebabkan oleh suntik pana yang dilakukan oleh pihak Malaysia. “Waktu pulang... di kapal kami itu ada 2 orang yang kena suntik “pana”, orang yang baru kena suntik itu air liurnya banyak dan meleleh-leleh, seperti orang sakit digigit anjing gila...setelah sebulan atau dua bulan orang itu menjadi “muna”...seperti orang bingung... infk1) Tidak ada satupun literatur yang membicarakan masalah suntik pana. Akan tetapi dari penuturan informan yang dapat peneliti tangkap, suntik pana adalah perlakuan petugas Malaysia terhadap TKI illegal yang terkena razia. TKI illegal diinjeksi dengan alat suntik yang tidak diketahui

172

mengandung cairan apa, tetapi dapat mengakibatkan si TKI mengalami mulut berbuih dan lama kelamaan menjadikan kehilangan kemampuan untuk berpikir secara normal (seperti linglung/bingung, informan menyebutkannya dengan istilah setempat; muna/pana) Dampak Kesehatan dari Aspek Sosial Semua informan TKI ilegal menyatakan trauma dan tidak ingin kembali bekerja keluar negeri. Peneliti melihat kecenderungan sikap menarik diri dari lingkungan sosial dan berbicara seperlunya pada informan TKI2 yang merupakan TKI ilegal. Krech dalam Suminar (2004) menyebutkan bahwa harga diri merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri apakah seseorang mampu, berarti dan berhasil yang diekspresikan melalui sikap-sikapnya. Lebih lanjut menurut Coopersmith dalam Suminar (2004), orang yang memiliki harga diri rendah cenderung merasa takut untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain, sehingga menyebabkan individu menarik diri dari lingkungannya. Hal yang sama juga ditekankan oleh WHO dengan menyatakan ciri jiwa yang sehat adalah seseorang akan merasa nyaman berhubungan dengan orang lain. Dampak kesehatan dari Aspek Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah segala upaya eksploitasi seseorang untuk menghasilkan uang bagi yang mengeksploitasi atau upaya pembatasan kegiatan untuk membuat ketergantungan finansial seseorang pada orang lain sehingga menimbulkan perasaan tidak berdaya pada dirinya. Informan mengungkapkan perasaan kecewa dan penyesalan yang disebabkan oleh kerugian-kerugian ekonomi yang mereka alami berkaitan dengan masalah penipuan yang dialami pada saat pra pemberangkatan serta masalah gaji/upah. Kekecewaan ini disebabkan karena alasan terpenting bagi semua informan saat memutuskan untuk menjadi TKI adalah karena ingin mendapatkan penghasilan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan penghasilan di dalam negeri. Beberapa ungkapan ketidakberdayaan informan seperti berikut ini: “kita dibeli dari orang yang menampung kita tu. mau ndak mau ya harus kerja. susah juga…. habis gimana ….mau apa…nggak ada uang…jadi kita nurut aja sama orang tu…mau nggak mau” (infk-1). “Kenyataannya terjadi kecurangan perjanjian, disana tanpa gaji...selama 1 tahun...Aturannya kami bisa mengirim uang ke Indonesia ternyata kami tidak berhasil”...(infk-6) Penelitian ini tidak jauh berbeda dengan temuan Kopbumi (2005), bentuk kekerasan yang banyak dialami oleh TKI adalah gaji yang tidak dibayarkan, gaji yang tidak sesuai dengan kontrak, ditipu dan diperas baik pada saat keberangkatan maupun pemulangan, penetapan kurs nilai


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

tukar uang yang jauh dibawah standar, dan diperdagangkan sebagai manusia. Menurut informan LSM, peran kedutaan menjadi sangat penting dalam memberikan jaminan terlindunginya hak azasi TKI di luar negeri dengan menuangkannya dalam MOU dan melakukan langkah-langkah diplomatik untuk menentukan standar perlindungan TKI yang sesuai dengan hak-hak buruh migran yang dinyatakan dalam konvensi ILO tahun 1990. Kesimpulan dan Saran Penelitian menemukan umumnya TKI berangkat pada usia muda. Semua TKI mengalami dampak kesehatan dari aspek fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi. TKI perempuan dan TKI yang berangkat dengan status ilegal mengalami kekerasan dengan resiko berkaitan dengan pelanggaran hak azasi manusia yang lebih besar dan gradasi dampak fisik, psikologis, sosial dan ekonomi yang lebih berat. Untuk mencegah pemberangkatan TKI illegal yang mempunyai resiko dan gradasi dampak yang lebih

besar, maka disarankan kepada pemerintah (Depnakertrans RI dan dinas-dinasnya) untuk bekerja sama dengan media massa dalam memberikan informasi publik tentang semua aspek yang berhubungan dengan migrasi internasional (misalnya persyaratan, tata cara dan tempat pendaftaran, biaya penempatan TKI serta bahaya trafficking kepada masyarakat) dalam bentuk pemberian iklan layanan masyarakat, mengutamakan perlindungan bagi TKI dengan upaya diplomasi yang berorientasi pada perlindungan Hak Azasi Manusia (HAM) , Kepada PJTKI diharapkan melakukan promosi dengan informasi yang seimbang dan benar ketika melakukan penawaran job order kepada masyarakat. Kepada LSM diharapkan menggalang kekuatan dan kesadaran publik dalam menegakkan Hak Azasi Manusia (HAM) TKI pada semua stakeholder dan advokasi/lobby/mediasi kepada pemerintah dan tokoh masyarakat/lembaga adat Minangkabau dalam rangka meningkatkan perhatian dan kesadaran bahwa kekerasan adalah sebuah fakta yang dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA Heise, L, 1999. Violence Againts Women: An Integrated, Ecological Frame Work Violence Againt Women, WHO, New York.

Laila, Nadjib, Sistem Penanganan dan Perlindungan TKI: Isu dan Pembenahan dalam Majalah Penduduk dan Pembangunan XIII (2) tahun 2002

Ka’Bati, Buruh Perempuan Minang dan Pergeseran Nilai Adat, dalam Jurnal Perempuan 33 tahun 2004

Luhulima, Achie Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, PT Alumni, Bandung, tahun 2000

Komnas HAM, Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia, Ameepro Jakarta tahun 2002 Komnas HAM, Indonesia/Malaysia : Hak Pekerja Rumah Tangga Diinjak, diakses 24 Juli 2005; http:// www.google.com.id Komnas Perempuan, Laporan Indonesia Kepada Pelapor Khusus PBB Untuk Hak Azasi Migran, Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga (TKW-PRT): Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru Untuk Perlindungan Hak Azasi TKW-PRT, Jakarta. 2003 Komnas Perempuan, Laporan Indonesia Kepada Pelapor Khusus PBB Untuk Hak Azasi Migran, Buruh Migran Indonesia: Penyiksaan Sistematis di Dalam dan Luar Negeri,, Jakarta. 2002 —————. Hak-hak Buruh Migran Menurut ILO Convention, tahun 2005 Krisnawati, Tati. Beberapa Catatan Pengalaman Advokasi Masalah Kekerasan Terhadap Perempuan Buruh Migran, dalam Warta Demografi tahun 27 No. 6 tahun 1997 Krisnawaty, Tati; Rusdi Tagaroa & Wahyu Susilo, Feminisasi Buruh Migran & Permasalahannya, dalam Jurnal Perempuan No. 05, tahun 1998

Mann, M. Jonathan, Sofia Gruskin, et.all, Health and Human Rigths, Routledge, New York and London, tahun 1999 MS, Amir. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Jakarta, 1997 Naim, Mochtar. Merantau: Pola Migrasi Suku Minang Kabau, UGM Press, 1979 Nasution, Arief M., Orang Indonesia di Malaysia Menjual Kemiskinan Membangun Identitas, Djogja, tahun 2000. Nurhayati, Elly ; Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan. Jurnal Perempuan 26, tahun 2002 Othman, Zarina. Trafficking of Women and Children in Southeast Asia: Focus on Malaysia, dalam Jounal of Population Vol. 10 No. 1. tahun 2004 Pigay, Natalis. Migrasi tenaga kerja internasional: sejarah, fenomena, masalahdan solusinya. Jakarta Pustaka Sinar Harapan. Tahun 2005 Raharto, Aswatini. Indonesia Female Labor Migrants: Experinces Working Overseas (Case Study

173


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Among Returned Migrants In West Java), dalam Journal of Population Vol. 8 No.1, tahun 2002 Suminar, Mira, Akibat Kekerasan terhadap 6 orang Istri Pada Aspek Fisik, Psikologis, Sosial dan Ekonomi yang Berdomisili di Wilayah Jakarta dan Bandung, tahun 2004. Tesis. FKM-UI, Depok

174

Charles dan Yvonne Suzy Handayani, Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai Masalah Kesmasy: Antara Kenyataan dan Harapan, dalam Majalah Kesehatan Perkotaan tahun VI No. 2. tahun 1999 WHO, A Universal Challenge, World Report on Violence and Health. Geneva, tahun 2000


ARTIKEL PENELITIAN Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL MURID SMU NEGERI DI KOTA PADANG TAHUN 2007 DIEN G. A. NURSAL*

ABSTRACT Adolescent marked with the unbalance physical and mental growth which is followed by behaviorally trying something often plung into sex before mariage, adolescent pregnancy, unsave abortion, infection STD and HIV/AIDS and drugs. The research is to know the sexual behavior of students at State Senior High School in Padang and factors that related. This research use the cross sectional method with 350 responder taken by multistage systematic random sampling and analysed with univariat, bivariate and multivariat. The result shown that 16,6% responder have the risky heavy sexual behavior. Mostly responder is women, puberty at normal age, have negatif attitude, do not have the active communications with its parents (64,9%) and friends (52,6%), have both parents (91,1%), democration parenting styles (49,9%) and have access to the electronic media and media print. Knowledge is equal between lower and higher and only small responder have boyfriend/girlfriend more than 3 times and meeting with the boyfiend/girlfriend less than 5 hour/week and more than 21 hour/week. At bivariate analysis found that gender, puberty age, knowledge, attitude, parents marriage status, parenting style, amount and meeting duration with boyfriend/girlfriend, electronic media and printing media have significantly relation with adolescent sexual behavior. At multivariate analysis found that gender, knowledge, parenting style and amount of boyfriend/girlfriend together influence the sexual behavior. From this research suggested for the increase students knowledge and performing seminar for parents, limit the pornography spreading through the television and porn magazine/book, accomodating and giving consultancy concerning about puberty early, risky sexual behavior and knowledge about sex health. Keywords : adolescent, sexual behavior

Pendahuluan Remaja memiliki peran besar dalam menentukan tingkat pertumbuhan penduduk yang diindikasikan dengan besarnya proporsi remaja (Indrawanti, 2002). Menurut WHO (1995) seperlima dari penduduk dunia adalah remaja berusia 10-19 tahun. Sekitar 20 persen dari penduduk Indonesia adalah remaja berusia 15-24 tahun atau setara dengan 41,4 juta orang (Kitting 2004). Pada masa ini terjadi perubahan fisik yang ditandai dengan munculnya tandatanda seks primer dan sekunder serta perubahan kejiwaan meliputi perubahan emosi menjadi sensitif dan perilaku ingin mencoba hal-hal baru (Depkes, 2003a). Perilaku ini jika didorong oleh rangsangan seksual dapat membawa remaja pada perilaku yang dampaknya merugikan remaja itu sendiri. Hubungan seks pranikah dapat mengakibatkan penularan PMS dan HIV-AIDS, kehamilan di luar nikah dan aborsi tidak aman (Depkes, 2003). Pada remaja sering terjadi penyalahgunaan NAPZA

yang biasanya diikuti hubungan seksual di luar nikah dengan berganti-ganti pasangan yang meningkatkan risiko tertular PMS dan HIV-AIDS (Depkes, 2003a). Penelitian yang dilakukan LD-FEUI melaporkan bahwa 50,3% remaja laki-laki dan 57.7% remaja perempuan mengetahui bahwa kehamilan dapat terjadi meskipun hanya satu kali melakukan hubungan seksual. Terlihat masih kurangnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi yang meningkatkan resiko terjadinya kehamilan tak diinginkan yang mengarah pada aborsi (Tanjung,2001). Data survei PKBI menunjukkan bahwa dari 2558 kejadian aborsi tahun 1994, 58% terjadi pada remaja usia 15-24 tahun, dimana 62% diantaranya belum menikah. Ditemukan pula 9 kasus aborsi pada remaja di bawah usia 15 tahun (Rosdiana, 1998). Penderita HIV-AIDS dilaporkan Depkes pada September 2000 sebahagian besar berusia di bawah 20 tahun yang tertular melalui hubungan seks tidak aman dan penggunaan jarum suntik terinfeksi bergantian (Tanjung,

* Staf Pengajar Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK Unand

175


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

2001). Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan pandangan perilaku seksual pada remaja karena pengawasan dan perhatian orang tua dan keluarga yang longgar, pola pergaulan bebas, lingkungan permisif, semakin banyaknya hal-hal yang memberikan rangsangan seksual sangat mudah dijumpai dan fasilitas seringkali diberikan oleh keluarga tanpa disadari. Perubahan pandangan yang mempengaruhi perilaku seksual tampak pada masa pacaran. Masa pacaran telah diartikan menjadi masa untuk belajar melakukan aktivitas seksual dengan lawan jenis, mulai dari ciuman ringan, ciuman maut, saling masturbasi, seks oral, bahkan sampai hubungan seksual (Pangkahila, 1997). Penelitian di Amerika Serikat tahun 1995 terhadap remaja berusia 15-19 tahun menunjukan 55% remaja telah melakukan hubungan seksual dan 75% diantaranya melakukan aktivitas seksual tersebut di rumah orang tua (Pangkahila, 2004). Sampai saat ini di Indonesia belum ada data berskala nasional tentang prevalensi hubungan seksual di luar nikah di kalangan remaja (Abraham, 2003). Hasil penelitian LD-FEUI tahun 1999 di 35 kota menunjukan 35% responden pernah melakukan hubungan seksual di luar nikah (Tanjung, 2001). Penelitian yang dilakukan PKBI pada tahun 1995 di Sumbar menemukan di Bukittinggi 21% remaja telah melakukan hubungan seks, di Payakumbuh 13%, dan di Padang 10,5% (Depkes,2003b). Penelitian yang dilakukan Neni A (2004) pada murid SMU 9 Padang menemukan 7,8% murid telah melakukan hubungan seks. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perilaku seksual murid SMU Negeri di Padang dan faktor-faktor yang berhubungan dengannya. Metode Penelitian Jenis penelitian deskriptif analitik dengan rancangan potong lintang (cross sectional)dimana variabel dependen dan independen diamati pada waktu yang bersamaan. Penelitian dilakukan di SMU Negeri Kota Padang pada Februari 2007. Populasi studi adalah semua murid SMU Negeri di Kota Padang. Sampel ditentukan dengan formula Lameshow (1990) dengan a=0, 05 dan presisi 5%, dan didapatkan sampel sebanyak 350 orang. Pengumpulan data dilakukan secara primer dengan alat bantu kuesioner yang diisi sendiri oleh murid. Analisis data dilakukan dengan uji Chi Square (karena variabel dependen dan independen keduanya kategorik), dengan derajat kepercayaan 95%. Bila nilai p<0,05 berarti hasil perhitungan statistik signifikan yang artinya ada perbedaan proporsi antara variabel dependen dengan independen. Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik untuk mengetahui variabel independen yang paling berhubungan dengan perilaku seksual remaja yang dilakukan. Pembahasan 1. Perilaku seksual remaja Hasil analisis univariat menunjukan sebanyak 58

176

orang (16,6%) murid SMU Negeri di Padang berperilaku seksual berisiko, diantaranya 15 orang (4,3%) telah melakukan hubungan seksual. Walaupun proporsinya kecil tetapi secara agama, budaya dan normatif menunjukan telah terjadi penyimpangan perilaku seksual pada remaja karena telah melakukan hubungan seksual yang boleh dilakukan oleh orang yang sudah menikah. Ada kemungkinan underestimate yang disebabkan remaja takut ataupun malu mengakui perilaku seksual mereka. Alasan terbanyak yang dikemukakan adalah untuk mengungkapkan kasih sayang (80%), tempat tersering adalah tempat rekreasi (53,3%) dan rumah (46,7%). Semua responden melakukan hubungan seksual dengan pacarnya (100%). Hampir setengah responden menyatakan hubungan seksual dimulai oleh keduanya (46,7%). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Bandi (1991) dari responden sebanyak 3967 orang, perilaku yang dilakukan pada waktu pacaran yaitu 41,4% hanya berkunjung ke rumah dan bercanda, 37,4% menyatakan cium pipi, cium bibir dan 4,1% menyatakan pernah bersanggama. Dari yang menyatakan pernah bersanggama 49,8% dilakukan pertama kali pada usia 1519 tahun. 37,5% melakukan dengan pacar dan 20,8% dengan WTS. Tempat melakukan adalah 31,1% di hotel/ motel dan 28,1% di rumah sendiri/pacar. Alasan melakukan, yaitu suka sama suka 75,8% dan 6,1% menyatakan karena dibohongi. Dari analisis bivariat didapatkan variabel yang berhubungan secara bermakna adalah jenis kelamin, usia pubertas, pengetahuan, sikap, status perkawinan orang tua, pola asuh orang tua, jumlah pacar, lama pertemuan dengan pacar, paparan media elektronik dan media cetak. Dari uji multivariat hanya jenis kelamin, pengetahuan, pola asuh orang tua dan jumlah pacar yang pernah dimiliki yang berhubungan secara bermakna. 2. Faktor yang berhubungan pada uji bivariat a. Jenis kelamin Responden terdiri dari perempuan 56% dan lakilaki 44%. Berdasarkan hasil analisis bivariat ditemukan bahwa laki-laki mempunyai peluang untuk berperilaku seksual berisiko berat sebesar 4.41 kali dibandingkan dengan perempuan (95%CI=2,48-8,81). Hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku seksual remaja juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan PPK-UI di Menado dan Bitung tahun 1997, didapatkan 6% dari 400 pelajar SMU puteri dan 20% dari 400 pelajar SMU putera pernah melakukan hubungan seksual. Penelitian yang dilakukan oleh Jawiah (2004) mendapatkan bahwa laki-laki lebih banyak melakukan perilaku seksual berisiko berat dibandingkan dengan perempuan. Proporsi perilaku seksual berat lebih tinggi pada laki-laki karena secara sosial laki-laki cendrung lebih bebas dibanding perempuan dan orang tua cendrung lebih protektif pada perempuan. Pengekpresian dorongan seksual pada laki-laki (hubungan seksual/onani) terkesan


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

lebih ditolerir dibanding jika hal tersebut dialami oleh kaum perempuan. Di Kota Padang yang menganut sistem matrialkat, anak perempuan merupakan penerus nama keluarga sehingga penjagaannya lebih ketat dibanding anak laki-laki. b. Usia pubertas Remaja yang mengalami usia puber dini mempunyai peluang berperilaku seksual berisiko berat 4,65 kali dibanding responden dengan usia pubertas normal (95%CI=1,99-10,85). Dari penelitian Affandi tahun 1991 dinyatakan terjadi percepatan masa pubertas bagi perempuan. Sekarang pada usia 12 tahun atau kurang telah terjadi pubertas pada perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil analisa WHO (2004) bahwa pubertas dini merupakan faktor risiko perilaku seksual. Pubertas sebagai tanda awal keremajaan tidak lagi valid sebagai patokan pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang dahulu terjadi pada 15-18 tahun kini terjadi pada awal belasan bahkan sebelum usia 11 tahun. Menurunnya usia kematangan ini disebabkan oleh membaiknya gizi sejak masa anak-anak dan keterpaparan remaja pada media informasi melalui media elektronik dan cetak. c. Pengetahuan tentang kesehatan seksual Remaja dengan pengetahuan relatif rendah mempunyai peluang 11,90 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan pengetahuan relatif tinggi (95%CI=4,5628,61). Pengetahuan remaja tentang kesehatan seksual masih rendah, umumnya yang menjawab benar dibawah 50%, hanya mengenai PMS, HIV-AIDS diatas 50%. Hal ini sejalan dengan penelitian Kitting dan Tanjung dan serta hasil Survai Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia tahun 2002-2003. Rendahnya pengetahuan pada remaja disebabkan kurangnya informasi yang diterima remaja. Remaja lebih banyak menerima informasi dari media elektronik seperti televisi. Di televisi informasi sebagian besar informasi hanya sebatas mengenai PMS dan HIV-AIDS sedangkan informasi kesehatan reproduksi dan seksual masih jarang. Adanya anggapan bahwa membicarakan tentang kesehatan seksual adalah hal yang memalukan dan tabu bagi keluarga dan masyarakat membuat remaja yang haus informasi berusaha sendiri mencari informasi. Terkadang informasi yang di dapat malah menyesatkan dan setengah-setengah. Menurut Surono (1997) pengetahuan yang setengahsetengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali, tetapi ketidaktahuan juga membahayakan. Pengetahuan seksual yang hanya setengah-setengah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi. d. Sikap terhadap berbagai perilaku seksual Remaja dengan sikap relatif negatif memiliki peluang 9,94 kali berperilaku seksual berisiko berat dibanding sikap relatif positif (95%CI=4,14-23,6). Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kitting dan Jawiah yang memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap dan perilaku seksual remaja. Sikap merupakan respon tertutup yang manifestasinya tidak dapat dilihat langsung dan merupakan predisposisi tingkah laku. Dalam hal ini dapat diartikan jika remaja mempunyai sikap positif terhadap berbagai jenis perilaku seksual maka potensi untuk berperilaku positif cukup besar pula. e. Status perkawinan orang tua Responden dengan struktur keluarga tidak lengkap mempunyai peluang 3,75 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibanding struktur keluarga lengkap (95%CI=1,71-6,38). Hasil ini sejalan dengan penelitian Prastana tahun 2005 pada remaja Puertorico. Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap perilaku remaja. Ayah akan menjadi panutan bagi remaja laki-laki dan ibu menjadi panutan bagi remaja perempuan. Perilaku orang tua merupakan contoh bagi anaknya, umumnya remaja bermasalah datang dari keluarga yang tidak utuh. f. Pola asuh orang tua Umumnya responden diasuh oleh orang tuanya dalam 3 tahun terakhir (94,6%). Sekitar 92,6% orang tua tahu kapan anaknya pulang dan 84,3% tahu apa yang dikerjakan anaknya di rumah. Sebagian besar responden langsung pulang ke rumah seusai sekolah (67,4%). Responden yang tidak langsung pulang ke rumah biasanya karena pergi les (42,2%), pergi ke rumah teman (31%), jalanjalan ke pasar/pusat perbelanjaan (20%) dan pergi dengan pacarnya (6%). Pada penelitian ini pola asuh demokratis diletakkan sebagai pola asuh di antara pola asuh permisif dan pola asuh otoriter. Untuk interpretasinya dilihat kecendrungan dari responden pada salah satu pola asuh orang tuanya Responden dengan pola asuh permisif mempunyai peluang 600,92 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan demokratis&otoriter (95%CI=131,9-2736,8). Berdasarkan analisis multivariat pola asuh merupakan faktor yang paling berhubungan dengan perilaku seksual setelah dikontrol oleh variabel lain. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Prastana tahun 2005 dan analisa WHO pada berbagai literatur kesehatan reproduksi dari seluruh dunia yang menyatakan bahwa pola asuh adalah merupakan faktor risiko perilaku seksual risiko berat. Berbagai interaksi antara remaja dengan orang tua menunda bahkan mengurangi perilaku hubungan seksual pada remaja. Tidak adanya pengawasan dari orang tua akan mempercepat remaja melakukan hubungan seksual. Menurut Mesche (1998) remaja yang diawasi oleh orang tuanya, remaja dengan pola asuh otoriter, remaja yang berasal dari keluarga yang konservatif dan memegang kuat tradisi dan remaja mempunyai hubungan akrab dengan orang tuanya akan menunda umur pertama melakukan hubungan seksual. Pengawasan orang tua merupakan faktor penting

177


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

yang mempengaruhi perilaku seksual remaja. Pada remaja yang diawasi orang tuanya akan menunda bahkan menghindari hubungan seksual sedangkan pada remaja tanpa pengawasan orang tua akan melakukan hubungan seksual pertama pada usia lebih dini. Dari Studi Kesehatan Remaja Nasional Amerika Serikat yang dilakukan Esther Wilder dari Lehman College di New York dan Toni Terling Watt dari Southwest Texas State University (2006) menyebutkan lebih dari 50 persen remaja yang orang tuanya perokok, ditemukan sudah memiliki pengalaman seksual sejak usia 15 tahun. Remaja yang orang tuanya terlibat dalam perilaku berbahaya untuk kesehatan, seperti merokok, umumnya memiliki perilaku seksual yang sangat aktif, sejak usia sangat muda. Selain meniru perilaku merokok orang tua mereka, anak-anak ini juga minum alkohol, berhubungan seks, menggunakan narkotika atau apapun yang biasa digunakan kawan-kawan sebayanya. Selain itu, mereka juga lebih mudah terjerumus dalam tindak kejahatan. g. Jumlah pacar yang pernah dimiliki Dari 350 orang responden, 225 orang (64,3%) diantaranya pernah punya pacar dan 125 orang diantaranya sedang memiliki pacar (56,4%). Responden mulai berpacaran pada usia 6 tahun sampai 18 tahun. Rata-rata usia pertama pacaran responden adalah 13,5 tahun. Responden dengan jumlah pacar berisiko mempunyai peluang 6,54 kali berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan jumlah pacar tidak berisiko (95%CI=3,5811,94). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tanjung tahun 2001 dan Setyonaluri (2005). Pacaran bukan merupakan hal yang asing bagi remaja bahkan sudah merupakan tuntutan jaman dan jika tidak punya pacar akan dicap kuno dan tidak gaul. Bila sudah punya pacar pun sudah ada “standarnya� apa yang harus dilakukan, karena itu remaja yang tidak mempunyai dasar/konsep diri yang kuat dapat terjebak pengaruh lingkungan. Yang perlu ditekankan pada remaja adalah pacaran bukan ajang uji coba seksual tapi merupakan proses mengenal dan memahami lawan jenis yang nantinya akan menjadi pasangan hidupnya. h. Lama pertemuan dengan pacar Responden yang lama pertemuan dengan pacar berisiko akan mempunyai peluang 2,88 kali berperilaku seksual berisiko berat lama pertemuan dengan pacar tidak berisiko (95%CI=1,57-5,31). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Roozanty tahun 2003 pada mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Waktu pertemuan yang terlalu sedikit ataupun terlalu lama sangat memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Jika terlalu singkat maka waktu akan dimanfaatkan seefektif mungkin untuk saling melepas rindu, sedangkan jika terlalu lama akan memberi kesempatan untuk berusaha mencoba-coba hal baru agar pacarannya tidak membosankan. i. Paparan media pornografi elektronik dan cetak Responden yang terpapar media elektronik

178

mempunyai peluang 3,06 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat tidak terpapar dengan media elektronik (95%CI=1,01-18,40), sedangkan responden yang terpapar media cetak mempunyai peluang 4,44 kali untuk berperilaku seksual berisiko berat dibanding tidak terpapar dengan media cetak (95%CI=1,04-8,94). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Jawiah tahun 2004 dan Roozanty tahun 2003. Penelitian Andrew (2001) pada remaja perempuan kulit hitam 14-18 tahun melaporkan mereka yang terpapar dengan film porno punya lebih banyak pacar, melakukan hubungan seksual lebih sering, tidak suka menggunakan kondom dan banyak yang terinfeksi dengan Clamidia. Media massa sebagai media infomasi selain mengandung nilai manfaat sering tidak sengaja menjadi media informasi yang ampuh untuk menabur nilai-nilai baru yang tidak diharapkan masyarakat itu sendiri. Media elektronik maupun cetak, menjadi penyumbang terbesar bagi rusaknya pergaulan remaja. Apalagi televisi karena kehadirannya hampir full time (24 jam) di hadapan kita. Bisa dibayangkan kalau remaja tiap hari kerjanya hanya menonton televisi maka tingkah laku dan prinsip hidupnya (way of life) adalah hasil contekan dari apa yang dia lihat di televisi. 3. Faktor-faktor yang tidak berhubungan pada uji bivariat. a. Komunikasi dengan orang tua Sebagian besar responden (64,3%) sulit berkomunikasi dengan orang tua karena malu. Sebanyak 49,6% responden membicarakannya 3 minggu terakhir. Pada responden yang berkomunikasi dengan orang tua (35,7%), dilakukan setiap ada kesempatan (75,2%). Responden dengan komunikasi tidak aktif mempunyai peluang 0,56 kali terproteksi berperilaku seksual berisiko berat dibanding dengan komunikasi aktif. Hal ini sejalan dengan penelitian Endang (2002) pada pelajar SLTPN di Depok dan penelitian Wahyuni (2004) pada SMU 36 Jakarta Timur. Rendahnya persentase komunikasi antara remaja dengan orang tuanya juga dapat dilihat pada penelitian Bandi (1991)dan Kitting tahun 2004. Orang tua yang seharusnya pertama kali memberikan pengetahuan seksual bagi anaknya Melalui komunikasi orang tua dapat menjelaskan norma dan ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan sorang remaja terhadap lawan jenisnya. Ketertutupan orang tua mendorong remaja untuk mengetahui menurut cara mereka sendiri. Pembicaraan antara ibu dan anak hanya terbatas mentruasi. Hal ini merupakan penyebab terjerumusnya remaja. b. Komunikasi dengan teman sebaya Pembicaraan terakhir responden dengan temantemannya bervariasi, 48% membicarakannya dalam 1 minggu terakhir, 16% dalam 2 minggu terakhir dan 36% dalam 3 minggu terakhir. Komunikasi responden dengan teman sebaya biasanya dilakukan setiap ada kesempatan (81,3%), pada waktu makan (1,2%), dan pada waktu khusus (17,5%). Responden yang berkomunikasi tidak aktif


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

dengan teman sebaya akan mempunyai peluang 0,56 kali terproteksi untuk berperilaku seksual berisiko berat dibandingkan berkomunikasi aktif dengan teman sebaya (95%CI=0,46-1,85). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Roozanty tahun 2003. Faktor lain yang mungkin menyebabkan remaja dengan komunikasi aktif tetap berperilaku seksual risiko berat adalah adanya faktor psikososial dan agama. Kedua faktor ini telah ada dalam diri masing-masing remaja sehingga bagaimana perilakunya adalah keputusannya sendiri, tidak terpengaruh oleh teman. Jika pengaruh negatif dari teman kuat dan benteng perlawanan dalam dirinya tidak kuat maka remaja ini akan terpengaruh karena remaja ingin diterima oleh kelompoknya walaupun hal itu bertentangan dngan ajaran orang tuanya. Bahkan sumber informasi yang dianggap penting adalah teman. Bila pengetahuan teman tentang kesehatan seksual tidak memadai, maka dia bisa memberikan informasi yang salah pada temannya yang lain. 4. Analisis multivariat Variabel yang secara bersama-sama mempengaruhi perilaku seksual murid SMU Negeri di Kota Padang Tahun 2007, yaitu jenis kelamin, pengetahuan tentang kesehatan seksual, pola asuh orang tua dan jumlah pacar yang pernah dimiliki. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang paling kuat diantara 4 variabel ini. Kesimpulan 1. Didapatkan 16.6% responden berperilaku seksual berisiko berat. Sebagian besar responden perempuan, pubertas normal, sikap relatif negatif. Tingkat pengetahuan sebanding antara relatif rendah dan tinggi. Sebagian besar responden tidak melakukan komunikasi aktif dengan orang tua (64,9%) dan teman (52,6%), mempunyai orang tua yang masih lengkap (91,1%) dan menerapkan pola asuh demokratis (49,4%). Sebagian kecil responden memiliki jumlah pacar lebih dari 3 kali dan lama pertemuan dengan pacar kurang dari 5 jam/minggu dan lebih dari 21 jam/ minggu. Sebagian besar responden terpapar dengan media elektronik dan cetak.

2. Pada analisis bivariat ditemukan variabel yang berhubungan bermakna dengan perilaku seksual remaja adalah jenis kelamin, usia pubertas, pengetahuan, sikap, status perkawinan orang tua, pola asuh orang tua, jumlah pacar, lama pertemuan dengan pacar dan paparan media elektronik dan media cetak. 3. Pada analisis multivariat ditemukan bahwa jenis kelamin, pengetahuan, pola asuh orang tua dan jumlah pacar yang pernah dimiliki secara bersama-sama mempengaruhi perilaku seksual. SARAN 1. Saran bagi pihak SMU Peningkatan pengetahuan remaja dengan memasukkan dalam pelajaran dan seminar tentang kesehatan reproduksi remaja. Menyelenggarakan seminar untuk orang tua mengenai pola asuh yang baik. yang diadakan sewaktu penerimaan raport atau pada waktu pendaftaran murid baru. 2.Saran bagi pemerintah dan departemen yang terkait. Penerapan kurikulum pendidikan reproduksi remaja untuk meningkatkan pengetahuan murid SMU Negeri di Kota Padang. Pengawasan terhadap tayangan yang disiarkan di televisi dan majalah dan buku-buku porno yang beredar. 3.Saran bagi Dinkes/Puskesmas Menampung dan memberi konsultasi remaja tentang reproduksi remaja. 4.Saran bagi LSM yang peduli dengan masalah remaja. Mengadakan seminar untuk remaja dan orang tua tentang kesehatan reproduksi. 5.Saran bagi toma, ulama & masyarakat Peningkatan kontrol sosial terhadap remaja Peningkatan kualitas spiritual agama dan moral remaja melalui wirid, tadarus dan pengajian remaja. 6. Saran bagi peneliti lain Kerjasama lintas perguruan tinggi dengan IAIN dalam meneliti kualitas spiritual beragamadan dengan Fakultas Psikologi dalam meneliti pola asuh orang tua.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Abraham, L. 2003, Risk behaviour and misperceptions among low-income college students of Mumbai. WHO Department of Reproductive Health and Research.

4.

Hartono, S. 2007. Analisis Data Kesehatan. Jurusan Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

2.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2003a. Pedoman Operasional Pelayanan Terpadu Kesehatan Reproduksi di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan UNFPA.

5.

Lemeshow, S., Hoesmer, D.W., Klar, J., Lwanga, S.K.. 1997. Besar Sample Dalam Penelitian Kesehatan.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

6.

3.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2003b. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja Materi Pelatihan Bagi Petugas Kesehatan.Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan UNFPA.

Indrawanti, R. 2002. Pengetahuan Guru Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Kotamadya Yogyakarta Mengenai Kesehatan Reproduksi Remaja. Berkala Ilmu Kedokteran Vol 34, No. 4: 257-268.

7.

Kitting, A.S., Siregar, S.R., Kusumaryani, M.S.W.,

179


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Hidayat, Z. 2004. Menyiapkan Generasi Muda yang Sehat & Produktif : Kebutuhan akan Pelayanan dan Informasi Kesehatan Reproduksi. Jakarta: BKKBN bekerja sama dengan LD-FEUI & Bank Dunia. 8.

Pangkahila, A. 2004. Perilaku Seksual Remaja Dalam Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: CV Sagung Seto.

9.

Pangkahipa, W. 1997. Kesehatan Reproduksi Remaja.

180

YLKI dan The Ford Foundation. 10. Rosdiana 1997. Pokok-Pokok Pikiran Pendidikan Seks Untuk Remaja dalam Kesehatan Reproduksi Remaja. YLKI dan The Ford Foundation. 11. Tanjung, A., Utamadi, G., Sahanaja, J., Tafal, Z. 2001. Kebutuhan Akan Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja. Kerjasama PKBI, UNFPA dan BKKBN


STUDI LITERATUR

Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP RISIKO TERJADINYA MALARIA

Artha Budi Susila Duarsa*

Pendahuluan Malaria adalah salah satu penyebab utama penyakit dan kematian di seluruh dunia. Sekitar 2.4 milyar manusia berhadapan dengan risiko penyakit ini. Saat ini malaria endemik di 92 negara, dan terdapat pada kantungkantung penularan malaria di berbagai negara (WHO dalam Martens, 2002). Terdapat 300-500 juta kasus klinis malaria, dimana lebih dari 90% terjadi di Sub Sahara Afrika. Di seluruh dunia, malaria menyebabkan 2 juta kematian setiap tahun, dan kematian ini terbanyak terjadi pada anak-anak dibawah lima tahun. Dari semua penyakit menular, malaria selalu menjadi penyebab terbesar penderitaan dan kematian di dunia1. Risiko terjadinya malaria ditentukan oleh banyak faktor, terutama jenis spesies nyamuk Anopheles, perilaku manusia, dan adanya parasit malaria. Suatu perubahan dari faktor yang manapun, akan mempengaruhi risiko terjadinya malaria. Saat ini perhatian dunia kepada risiko terjadinya malaria mengarah kepada dampak potensial perubahan global. Lingkungan geografis malaria telah berubah sebagai respon terhadap perubahan iklim, pola penggunaan lahan, biodiversitas (keneka ragaman hayati), dan struktur sosiodemografi (termasuk urbanisasi). Pemanasan Global Gas rumah kaca yang menumpuk di atmosfer berlaku seperti tirai yang memerangkap pancaran radiasi panas bumi. Seperti kaca, ia mudah ditembus oleh sinar tampak, tapi mengurung gelombang panjang. Dalam konteks rumah kaca secara harfiah, radiasi gelombang panjang yang terpancar itu tak bisa keluar, karena tak mampu menembus atap dan dinding kaca. Ia berputar-putar di dalam dan sebagian terserap molekul oleh gas-gas rumah kaca. (CO2, N2O dll) dan membuat suhu udara lebih panas. Dalam kontek pemanasan global (global warming), kehadiran gas-gas pencemar di atmosfer itu berperan seperti atap atau dinding kaca. Mereka menghalangi pancaran radiasi gelombang panjang oleh permukaan bumi, laut dan benda-benda di atasnya, baik itu mahluk hidup maupun benda mati14.

Diantara gas-gas rumah kaca yang kini diketahui lebih dari 30 jenis. Gas rumah kaca yang penting adalah karbondioksida (CO2), methane (CH4), nitrous okside (N2O), Chloroflourcarbon (CFC) yang terdiri dari Haloflourocarbon (HFC) dan Perflourocarbon (PFC) serta Sulfur Hexafluoride (SF6). Sumbangan terjadinya pemanasan global yang terbesar adalah CO2 sebesar 61%, CH4 sebesar 15%, CFC sebesar 12%, N2O sebesar 4% dan sumber lain sebesar 8%. Di awal-awal revolusi industri sekitar tahun 1800, konsentrasi CO2 di atmosfer rata-rata baru pada 280 ppm (parts per million). Artinya, ada 280 molekul CO2 dalam setiap satu juta molekul udara. Namun, juli 2007 lalu IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) melaporkan konsentrasi karbon dioksida telah mencapai 383 ppm (Trihusodo, P, Gatra 22 – 28 November 2007). Hingga kini CO2 masih terus meningkat rata-rata mencapai 0,4% per tahun, yang disebabkan oleh karena pembakaran bahan bakar fosil dan pembotakan hutan. Kalau tidak ada upaya yang serius untuk menekan emisi gas-gas rumah kaca , tahun 2050 nanti konsentrasinya akan melampaui 560 ppm. Suhu bumi akan naik rata-rata 2 - 3° C dan dipastikan akan terjadi perubahan iklim dunia. Atmosfer bumi dengan bagian utamanya troposfer yang tebalnya tak sampai 13 kilometer, akan mengalami guncangan luar biasa. Peran atmosfer, yang selama lebih dari dua juta tahun menjaga harmoni kehidupan di muka bumi akan hancur lebih cepat14 . Perubahan Iklim Perubahan suhu global akan berdampak pada perubahan iklim dan akan menambah daftar risiko kesehatan lingkungan bagi manusia. Paparan terhadap perubahanperubahan lingkungan di atas dapat menimbulkan berbagai problem kesehatan, seperti penyakit-penyakit terkait suhu dan cuaca ekstrim, penyakit yang menular lewat makanan, air dan vektor serta penyakit akibat pencemaran udara12. Perubahan iklim akan mempengaruhi suhu lingkungan dan juga kesehatan, seperti diperlihatkan pada gambar 1.

*Staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat FK. Universitas Yarsi

181


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Modulating Influences

Regional Weather Changes • Heatwaves CLIMATE CHANGE

• Extreme weather • Temperature

Microbial contamination pathways Transmission dynamic

Health Effect Temperaturerelated illness and death Extreme weather-related health effects Air pollutionrelated health effects Water and ffod borne diseases

Agro- ecosystem, hydrology

Vector-borne and rodent-born diseases

Socioeconomics, demographics

Effects of food and water shortages

• Precipitation

Mental, nutrional, infectious and other health effects

Gambar 1. Pengaruh Perubahan Iklim, Suhu, Lingkungan dan Kesehatan (IPPC dalam Romadhiyani, 2007)

Malaria sangat peka terhadap perubahan iklim. Diperkirakan bahwa rata-rata suhu global akan meningkat 1,0° - 3,5° C pada tahun 2100, yang akan meningkatkan jumlah vector-borne disease dan terjadinya transmisi penyakit. Perubahan iklim akan memiliki dampak jangka panjang dan jangka pendek terhadap transmisi malaria. Dalam jangka pendek dapat dilihat pada suhu dan curah hujan5. Udara panas dan lembab paling cocok untuk nyamuk Anopheles. Dulu, nyamuk Anopheles lebih sering muncul di musim pancaroba, transisi antara musim hujan dan kemarau. Namun kini rentang waktu serangan nyamuk ini hampir sepanjang tahun. Udara panas lembab berlangsung sepanjang tahun, ditambah dengan sanitasi buruk yang selalu menyediakan genangan air untuk bertelur, sehingga nyamuk Anopheles dapat menyerang sewaktu-waktu secara ganas. WHO menjelaskan bahwa kontribusi perubahan iklim terhadap kasus malaria mencapai 6% di sejumlah negara8. Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa inkubasi intrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi intrinsik, begitu juga sebaliknya. Siklus hidup nyamuk makin pendek, populasinya gampang meledak dan penularan semakin cepat. Sejak tahun 1988, terdapat sejumlah laporan mengenai epidemi malaria di Afrika Selatan

182

dan Timur. Selama periode ini terjadi peningkatan suhu sekitar 2° C pada rata-rata suhu maksimum bulanan antara daerah pada 2° LU - 2° LS dan 30° BB - 40° BT. Selanjutnya epidemi malaria yang berhubungan dengan iklim juga dilaporkan di Rwanda, Tanjania dan Kenya Barat. Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan terjadinya epidemi malaria. Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (breeding places). Hujan yang diselingi panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya Anopheles2. Menurut WHO dalam Susanna (2005), di banyak tempat kejadian malaria berhubungan dengan musim hujan, namun korelasinya tidak selalu jelas dan terkadang anomali. Hujan akan menguntungkan perkembang biakan nyamuk jika tidak terlalu deras, karena bila terlalu deras akan membilas larva nyamuk. Namun di daerah lain, musim kemarau justru menyebakan epidemi malaria, juga sebaliknya di daerah lain dapat melenyapkan nyamuk Anopheles. Variasinya amat beragam, sehingga pengaruh hujan hanya dapat diperkirakan hubungannya dalam pola lokal perkembang biakan vektor.


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Hujan juga dapat meningkatkan kelembaban relatif, sehingga memperpanjang usia nyamuk dewasa. Curah hujan minimum yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang adalah 1,5 mm per hari (Martens, 2002). Curah hujan 150 mm per bulan mengakibatkan perkembangan yang pesat populasi An. gambiae, vektor malaria di Kenya (Malakooti, dalam Susanna, 2005). Suwasono dalam Susanna (2005) dalam studinya di Kabupaten Kulonprogo, menunjukkan bahwa kasus malaria meningkat setelah terjadi peningkatan curah hujan yang relatif tinggi. Untuk menilai dampak kesehatan yang berhubungan dengan perubahan iklim, pemodelan

Kondisi Politik dan Ekonomi

framework MIASMA ecoepidemiological (Modeling Framework for Health Impact Assessment of Man-Induced Atmospheric Changes) telah dikembangkan di Universitas Maastricht. Model diarahkan oleh skenario dari gambaran populasi dan perubahan atmosfer, berdasarkan data dasar mengenai insidens penyakit, keadaan iklim, dan ketebalan lapisan ozon (Martens, 2002). Integrated Model terjadinya malaria tersebut merupakan pendekatan pemodelan yang terintegrasi yang berupaya memberikan gambaran yang komprehensif interaksi antara perubahan atmosfer dan masyarakat.

Kapasitas Kesehatan Publik & Privat

Risiko Malaria

Populasi Host Penggunaan Lahan

Habitat Vektor

Parasit

Kondisi untuk Malaria

Perubahan Iklim

Gambar 2. Model Hubungan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria (Fischhoff dkk. 2002). Fischhoff dkk. dalam Casman (2002), menjelaskan model tersebut dimana, kondisi-kondisi untuk malaria terdiri dari habitat, vektor dan parasit. Iklim mempengaruhi variable upstream (tingkat yang lebih tinggi) melalui berbagai jalan, terhadap risiko malaria. Satu jalan yang umum adalah dengan mempengaruhi tingkat perubahan lingkungan lain. Berkurangnya hujan akan mengurangi regenerasi hutan, sedangkan meningkatnya hujan akan sebaliknya. Perubahan waktu hujan akan mempengaruhi kelangsungan hidup pertanian tradisional. Penggunaan lahan dapat mempengaruhi dan dipengaruhi “Kondisi Politik dan Ekonomi�. Kemiskinan sendiri dapat mendorong kegiatan pertanian pada tanah yang kritis, penebangan hutan, dan urbanisasi yang tidak direncanakan. Penggunaan lahan dan kondisi politik dan ekonomi dapat mempengaruhi keberadaan populasi

manusia sebagai host, dengan demikian mempengaruhi risiko malaria. Sebagai contoh, membuka suatu daerah untuk pertanian atau pertambangan akan mendorong migrasi ke daerah populasi yang tidak mendapat pajanan malaria sebelumnya dan mendorong migrasi populasi yang telah terpajan. Semua yang mempengaruhi kondisi politik dan ekonomi dapat mempengaruhi kapasitas kesehatan publik dan privat untuk menanggulangi risiko malaria. Penggunaan Lahan Malaria sebaiknya dipandang sebagai bagian dari suatu ekologi manusia yang lebih besar di mana sistem sosial manusia, aktivitas ekonomi, interaksi dengan lingkungan, dan gaya hidup yang menggambarkan interaksi yang mempengaruhi terjadinya infeksi dan risiko penyakit. Setiap perubahan lingkungan, apakah terjadi akibat peristiwa yang alami atau melalui intervensi manusia,

183


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

akan merubah keseimbangan ekologi dalam konteks penyakit, host, vektor dan jenis parasit dalam perkembangan dan transmisi penyakit. Secara umum, vektor nyamuk malaria sangat kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mempengaruhi kemampuan hidup dan perkembangan vektor tersebut. Smith dkk. dalam Pattanayak (2003) menemukan bahwa 7090% risiko dari malaria adalah faktor lingkungan. Variasi dan besar pengaruh lingkungan kepada vektor malaria sangat besar11 tidak hanya melalui elemen yang abiotik seperti hujan dan suhu yang akan mempengaruhi peningkatan jumlah vektor nyamuk dan perkembangan parasit di dalam vektor, tetapi juga faktor biotik melalui penebangan hutan, pertanian, dan konstruksi perumahan. Dampak dari penebangan hutan pada suhu, hujan, dan tumbuh-tumbuhan saling berinteraksi dan berkorelasi dalam pengaruh lingkungan. Duarsa, A, 2007, dalam penelitiannya mendapatkan bahwa besar peran lingkungan terhadap kejadian infeksi malaria yang terdiri dari tingkat rumah tangga (level 2) dan tingkat desa (level 3) adalah 99,7 %, dimana 43,8% adalah besar peran tingkat rumah tangga (level 2) dan 55,9% adalah besar peran tingkat desa (level 3). Risiko Malaria Dan Transmisi Potensial Malaria Risiko malaria adalah probabilitas untuk terserang malaria yang dapat dihitung baik dalam waktu jangka pendek maupun jangka panjang. Secara umum, risiko individu untuk mengalami infeksi adalah fungsi dari suatu dose-response relationship dari probabilitas pajanan yang didapatkan berkali-kali. Konsep ini didasarkan pada beberapa faktor seperti: kepadatan populasi vektor, probabilitas vektor menjadi infeksius, keberadaan dan prevalensi dari sumber penularan (manusia yang telah terinfeksi) di dalam populasi, probabilitas untuk menerima gigitan yang infektif, tingkat imunitas di populasi dan efektivitas strategi penanggulangan malaria yang digunakan di tempat itu. Risiko malaria berbeda dengan Transmisi Potensial Malaria (TP), yang fokusnya adalah kecepatan nyamuk dan parasit menjadi matang1. Pengukuran risiko malaria perlu menjadi perhatian di masa yang akan datang, oleh karena akibat terjadinya pemanasan global, malaria akan menjadi endemik di daerah yang saat ini bebas malaria. Transmisi Potensial Malaria (TP) berasal dari basic reproduction rate (R o ), yaitu jumlah infeksi sekunder yang kemungkinan terjadi ketika satu individu terinfeksi masuk ke dalam populasi yang rentan1,6 Ro didefinisikan sebagai banyaknya kasus baru yang muncul dari kasus saat ini pada populasi host yang rentan selama satu siklus transmisi9. Basic reproduction rate (Ro) malaria dipengaruhi oleh jumlah gigitan nyamuk per orang, jumlah gigitan per nyamuk per hari, efisiensi infeksi nyamuk ke manusia, efisiensi infeksi manusia ke nyamuk, probabilitas survival nyamuk, waktu maturasi parasit di dalam nyamuk dan tingkat kesembuhan manusia9.

184

R0 =

ma 2 bcp n − ln( p)r

(3-1)

Dimana: m = jumlah gigitan nyamuk per orang a = jumlah gigitan per nyamuk per hari b = efisiensi infeksi, nyamuk ke manusia c = efisiensi infeksi, manusia ke nyamuk p = probabilitas survival nyamuk sehari-hari n = waktu maturasi parasit di dalam nyamuk r = tingkat kesembuhan manusia Versi yang disederhanakan pada persamaan ini, ditetapkan bahwa b, c, r = 1 (konstan) yang disebut kapasitas vektorial (vectorial capacity/VC). Kapasitas vektorial adalah jumlah maksimum orang yang belum terinfeksi, yang kemungkinan digigit oleh vektor yang telah menggigit satu orang sumber penularan per harinya. Garrets Jones dan Shidrawi dalam Susanna (2005), menjelaskan bahwa kapasitas vektorial adalah jumlah orang yang secara efektif mampu digigit dan ditulari parasit malaria (sporosoit) oleh seekor nyamuk Anopheles spesies tertentu persatuan waktu (12 jam – satu malam penuh) dari satu sumber penularan (manusia yang telah terinfeksi malaria).

VC =

ma 2 p n − ln( p )

(3-2)

Persamaan (3-1) dan (3-2) tidak digunakan dalam MIASMA (Modeling Framework for the Health Impact Assessment of Man-Induced Atmospheric Changes), sebab m memerlukan pengetahuan yang mendetil mengenai kepadatan populasi manusia dan nyamuk. Dengan demikian, TP diperoleh dengan menghitung kepadatan nyamuk (mc) ketika Ro = 1 (intensitas transmisi stabil). Penetapan b,c,r menjadi 1 (konstan) membuat persamaan yang digunakan di dalam MIASMA (Modeling Framework for the Health Impact Assessment of Man-Induced Atmospheric Changes) menjadi sederhana, jumlah orang per nyamuk pada saat VC = 1 adalah:

TP =

a2 pn − ln( p )

(3-3)

Persamaan yang dihasilkan tersebut berasal dari Ro, sehingga persamaan untuk TP dapat dituliskan sebagai berikut ma 2 bcp n menjadi: Ro = mbc.Tp R0 = r − ln( p)r Ro.r Sehinga TP = mbc


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Malaria dapat menyebar dengan mudah pada tempat dengan nilai transmisi potensial (TP) yang lebih tinggi sebab memerlukan nyamuk yang lebih sedikit perorang untuk mempunyai efek yang sama. Dengan mengetahui transmisi potensial (TP) kita dapat membandingkan daerah yang cenderung menjadi epidemi Aktifitas antimalaria tertentu mempunyai hubungan yang jelas untuk parameter pada persamaan Ro. Imagociding (adulticiding) mempengaruhi p (probabilitas survival nyamuk sehari-hari). Kelambu, kawat kasa, dan repellent mengurangi a (jumlah gigitan per nyamuk per hari). Larvaciding dan modifikasi dari landscape mengurangi m (jumlah nyamuk per orang). Terapi medik mempengaruhi r (tingkat kesembuhan manusia), yang bersama-sama dengan chemoprophylaxis (terapi pencegahan) mempengaruhi b (tingkat infeksi nyamuk kepada manusia).

Temperatur rata-rata (t)

Lamanya siklus gonotropik (f1)

Temperature minimum gonotropik (g1)

Interval gigitan nyamuk (u)

Rasio manusia terhadap darah hewan (h)

Penggunan insektisida Cuaca ekstrim yg menyebabkan

Probabilitas survival nyamuk sehari-hari (p)

kematian Periode perkembangan ekstrinsik (n)

Lamanya siklus sprogoni (f2)

Basic reproduction rate

Ro =

Temperature minimum sporogoni (g2)

ma 2 bcp n − ln( p ) r

Tingkat infeksi nyamuk ke manusia (b)

Kemoprofilaxis

Tingkat infeksi manusia ke nyamuk (c)

Jumlah gigitan per nyamuk per hari (a)

Jumlah gigitan nyamuk per orang (m)

Lavarsida

Reduksi pada kontak antara manusia-nyamuk

Reduksi tempat perkembangbiakan nyamuk

Pengaruh iklim terhadap habitat nyamuk

Tingkat kesembuhan manusia (r)

Pengobatan kasus medis

Gambar 3. Hubungan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Dengan Basic Reproduction Rate (Casman, 2002) DAFTAR PUSTAKA 1. Casman, Elizabeth A. 2002 Malaria Potential and Malaria Risk. Dalam: Casman, Elizabeth A dan Dowlatabadi, H. The Contextual Determinants of Malaria. Resources for the Future. Washington, DC:28-32. 2. Departemen Kesehatan RI. 1999 Modul 1. Epidemiologi Malaria. Jakarta: Direktorat Jenderal PPM & PLP. 3. Duarsa, A. 2007 Pengaruh Perpaduan Berbagai Determinan Di Tingkat Individu Dan Determinan Di Tingkat Agregat/Ekologi Terhadap Kejadian Infeksi Malaria (Studi Ekologi Dengan Pendekatan Analisis Multilevel Di Kecamatan Endemis Malaria Kabupaten Lampung Selatan). Disertasi. Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 4. Fischhooff, B, dkk. 2002 Integrated Assessment of Malaria Risk. Dalam: Casman, Elizabeth A dan Dowlatabadi, H. The Contextual Determinants of Malaria. Resources for the Future. Washington, DC:331-348. 5. Githeko, A, dkk. 2000 Climate change and vector-borne diseases: A regional analysis. Bulletin World Health Organization. Geneva. Vol 78: 1136-1144. 6. Halloran, M. 2001 Concept of Transmission and Dynamics. Dalam: Thomas, J dan Weber, D. Epidemiologic Methods for the Study of Infectious Disease. Oxford University Press; New York: 56-111. 7. Hidayat, dkk. 2007 Berselimut Gas Rumah Kaca. Gatra 22 – 28 November 2007

8. Kelana, dkk. 2007 Bumi Memanas, Kuman Penyakit Mengganas. Gatra 22 – 28 November 2007 9. Martens, P. 2002 Of Malaria and Models, challenges in Modeling Global Climate Change and Malaria Risk. Dalam: Casman, Elizabeth A dan Dowlatabadi, H. The Contextual Determinants of Malaria. Resources for the Future. Washington, DC:14-24. 10. Myrnawati. 2000 Epidemiologi. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Yarsi. Jakarta. 11. Pattanayak, S, dkk. 2003 Malaria, Deforestation and Poverty: A Call for Interdiciplinary Policy Science. Research Triangle Institute. 12. Romadhiyani, Q. 2007 Ancaman Pencemaran Udara Terhadap Pemanasan Global dan Fungsi Paru. Pidato Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Fisiologi Kedokteran pada Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi. Jakarta 5 Desember 2007. 13. Susanna, D. 2005 Pola Penularan Malaria Di Ekosistem Persawahan, Perbukitan Dan Pantai (Studi di Kabupaten Jepara, Purworejo Dan Kota Batam). Disertasi. Program Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat. Program Pasca Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia. 14. Trihusodo, P. 2007 Rumah Kaca. Gatra 22 – 28 November 2007

185


STUDI LITERATUR Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

MANAJEMEN MUTU PELAYANAN KESEHATAN Rizanda Machmud*

Pendahuluan Saat ini mutu layanan kesehatan merupakan fokus utama bagi masyarakat. Kesadaran dan kepedulian terhadap mutu memang semakin meningkat. Hal-hal yang berkaitan dengan mutu saat ini antara lain : kepercayaan bahwa sesuatu yang bermutu pastilah merupakan hal yang bersifat luks, mewah, dan mahal. Mutu juga dianggap sesuatu hal yang bersifat abstrak sehingga tidak dapat diukur Upaya peningkatan mutu memerlukan biaya yang cukup mahal. Apa yang Disebut Mutu? Definisi Mutu Menurut Ali Gufran, 2007; istilah mutu memiliki banyak penafsiran yang mungkin berbeda-beda, ketika ia digunakan untuk menggambarkan sebuah produk atau pelayanan tertentu. Bisa saja beberapa orang mengatakan bahwa sesuatu dikatakan bermutu tinggi ketika sesuatu tersebut dianggap lebih baik, lebih cepat, lebih cemerlang, lux, lebih wah dan biasanya lebih mahal dibandingkan produk atau layanan yang mutunya dianggap lebih rendah. Hal ini tentu tidak sepenuhnya benar. Beberapa orang mengartikan layanan kesehatan bermutu adalah layanan yang memuaskan pelanggan. Padahal layanan yang diberikan tidak memenuhi standar pelayanan medis profesional. Bahkan bisa terjadi di sebuah institusi layanan kesehatan seperti rumah sakit jika pasien datang di Unit Gawat Darurat langsung ditangani “diinfus�. Pasien puas karena mereka merasa langsung “ditangani� padahal infus tidak selalu diperlukan. Bahkan jika tidak terkontrol dapat menimbulkan efek samping seperti oedem pulmo1,2. Ada dilema dalam upaya untuk mewujudkan mutu dalam layanan kesehatan. Pada satu pihak mutu juga diartikan sejauh mana layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan standard operating procedure (SOP) atau prosedur tetap medis. Ketika SOP tersebut dilaksanakan seperti misalnya di beberapa rumah sakit pendidikan milik pemerintah, dianggap oleh pasien terlalu lama dan berbelitbelit. Dari pihak lainnya, menurut kacamata pasien, justru rumah sakit pendidikan milik pemerintah dianggap kurang bermutu dibanding rumah sakit swasta yang bisa lebih cepat karena prosedur yang diterapkan lebih fleksibel1,2. Lebih lanjut dalam uraian Ali Gufran, 2007; layanan bermutu dalam pengertian yang luas diartikan sejauh mana realitas layanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan

* Staf Pengajar PSIKM FK Unand

186

kriteria dan standar profesional medis terkini dan baik yang sekaligus telah memenuhi atau bahkan melebihi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan tingkat efisiensi yang optimal. Abstrak mutu dapat dinilai dan diukur dengan berbagai pendekatan. Pendekatan maupun metode pengukuran yang digunakan dalam upaya meningkatkan mutu tersebut telah tersedia baik dari dimensi input, proses dan output. Mutu memiliki karakteristik melakukan pelayanan yang benar dengan cara yang benar, pertama benar dan selanjutnya diharapkan benar1,2. Perkembangan Upaya Perbaikan Mutu Pelayanan kesehatan di Indonesia Sejarah perkembangan tentang upaya perbaikan mutu yang dikutip dari Tjahyono Koentjoro, 2004 menerangkan bahwa upaya perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan di Indonesia telah mulai di lakukan sejak tahun 1986 dengan diterapkannya gugus kendali mutu di rumah sakit dan di puskesmas serta pada pelayanan kesehatan yang lain. Perbaikan ini dilanjutkan dengan dikenalkannya total quality management pada tahun 1994 dan performance management pada tahun 19963. Untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas, diperkenalkan program jaminan mutu (quality assurance) pada tahun 1995 di Provinsi Jawa Barat, Jawa timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Barat melalui Proyek Kesehatan IV (Health Project IV). Di Jawa Tengah, pelayanan kesehatan tersebut diperkenalkan melalui Proyek Community Health and Nutrition III, sedangkan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pengenalan dilakukan melalui Provincial Health Project I dengan tiga tahapan, yakni analisis sistem, supervisi dan pembinaan, dan pendekatan tim. Empat standar pelayanan telah disusun melalui program jaminan mutu tersebut, yaitu standar penanganan diare, standar pelayanan imunisasi, standar penanganan infeksi saluran nafas atas, dan standar pelayanan antenatal, dalam bentuk lembar periksa yang harus diikuti oleh petugas pelayanan kesehatan di puskesmas3. Apa Saja Prinsip Penting dalam Perbaikan Mutu? Dua hal yang perlu dipantau dalam upaya perbaikan mutu adalah Kepuasan Pelanggan dan Standar Pelayanan Kesehatan. Kedua aspek ini haruslah seimbang. Kesetiaan dan Kepuasan Pelanggan Dari berbagai sumber disebutkan bahwa. Prinsip


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

utama perbaikan mutu dan kinerja pelayanan kesehatan adalah kepedulian terhadap pelanggan. Pasien sebagai pelanggan eksternal tidak hanya menginginkan kesembuhan dari sakit yang diderita yang merupakan luaran (outcome) pelayan, tetapi juga merasakan dan menilai bagaimana ia diperlakukan dalam proses pelayanan3,4. Berangkat dari pelayanan yang peduli pada pelanggan, yakni pelayanan yang memerhatikan kebutuhan (needs), harapan (expectation) pelanggan, dan penilaian manfaat (value) oleh pelanggan sebagai persyaratan yang diajukan oleh pelanggan, upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja perlu merujuk pada trilogi persyaratan pelanggan tersebut. Harapan (expectation) dari pelanggan tidak hanya diartikan seperti apa yang diinginkan atau diharapkan akan didapatkan oleh pelanggan, tetapi juga apa yang diharapkan terjadi selama menjalani proses pelayanan dan menikmati produk yang dibeli, yang antara lain tidak akan mengalami kesalahan tindakan medis ataupun kejadiankejadian yang tidak diinginkan3. Hasil pelayanan kesehatan adalah luaran klinis, manfaat yang diperoleh pelanggan, dan pengalaman pelanggan yang berupa kepuasan atau kekecewaan. Pengalaman pelanggan tersebut sangat tergantung pada proses pelayanan pada lini depan atau sistem mikro pelayanan, suatu sistem pelayanan yang bersentuhan langsung dengan pelanggan3. Standar Pelayanan Kesehatan Dalam proses pelayanan kesehatan akan terjadi variasi pelaksanaan kegiatan dari waktu ke waktu yang akan menghasilkan luaran yang bervariasi juga. Salah satu upaya untuk mengurangi variasi proses adalah dengan melakukan standardisasi. Proses standardisasi meliputi penyusunan, penerapan, monitoring, pengendalian, serta evaluasi dan revisi standar (PP 102/2000)3-6. Keberadaan standar dalam pelayanan kesehatan akan memberikan manfaat, antara lain mengurangi variasi proses, merupakan persyaratan profesi, dan dasar untuk mengukur mutu. Ditetapkannya standar juga akan menjamin keselamatan pasien dan petugas penyedia pelayanan kesehatan. Dikuranginya variasi dalam pelayanan akan meningkatkan konsistensi pelayanan kesehatan, mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan efisiensi dalam pelayanan, dan memudahkan petugas dalam pelayanan2,3. Bagaimana Melakukan Perbaikan Mutu? Pada pembahasan ini akan diutarakan lebih lanjut bagaimana upaya yang dilakukan dalam perbaikan mutu, fokus apa yang perlu diperhatikan. Fokus tersebut yang harus diperhatikan dalam Rantai Efek Perbaikan Mutu Pelayanan Kesehatan Menurut Tjahyono Koentjoro 2004, Untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan empat tingkat perubahan, yaitu : 1. Pengalaman pasien dan masyarakat 2. Sistem mikro pelayanan 3. Sistem organisasi pelayanan kesehatan 4. Lingkungan pelayan kesehatan Di samping harus memiliki tujuan yang jelas dan

komprehensif, pelayanan kesehatan yang harus berfokus pada pelanggan. Pengalaman pasien dan masyarakat yang menjadi pelanggan pelayanan kesehatan harus mendapat perhatian utama sehingga kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan dapat dipenuhi oleh organisasi pelayanan kesehatan. Mekanisme untuk mengenal adanya perubahan kebutuhan, harapan, dan nilai pelanggan perlu ada dalam pengelolaan organisasi pelayanan kesehatan, demikian juga mekanisme untuk mengelola pengalaman pelanggan. Dengan demikian, organisasi pelayanan kesehatan akan mampu memberikan yang terbaik kepada pasien dan masyarakat3. Berikut pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam upaya mewujudkan pelayanan kesehatan yang harus berfokus pada pelanggan seperti Total Quality Management (TQM), Layanan Prima. Total Quality Management (TQM) Sejak empat dekade yang lalu, Joseph Juran (1974) telah menggambarkan komponen-komponen dasar pendekatan manajemen kualitas secara komprehensif. Juran telah mengidentifikasikan elemen-elemen yang diperlukan dalam sebuah sistem untuk mengukur, meningkatkan, dan merancang proses yang secara konsisten dapat memberikan hasil yang optimal. Dia menamakan sistem tersebut sebagai manajemen kualitas secara menyeluruh atau Total Quality management1,3,4. Menurut Ali Gufran, 2007, Dalam Total Quality management, seluruh aspek dalam organisasi memerlukan perubahan secara luas dan mendasar pada budaya organisasi dan sifat dan kharakter manajemen. Kegiatankegiatan peningkatan kualitas ini merupakan bagian dari rencana bisnis organisasi. Seluruh tingkat manajemen mulai dari top manajemen sampai front-liner mereka yang paling terdepan dalam memberikan layanan pada pasien menghargai pentingnya mutu dan data statistik. Selain itu, Total Quality management juga dimaknai sebagai proses memobilisasi sumber daya manusia untuk meraih tujuan mutu. Secara internal, proses tersebut termotivasi oleh perhatian yang besar terhadap praktik-praktik pencegahan timbulnya masalah mutu layanan1-5. Merujuk kepada arti kata dari Total Quality management itu, total berarti bahwa kegiatan tersebut dilaksanakan di seluruh tingkatan dan seluruh bagian atau departemen dalam organisasi serta pada seluruh waktu (setiap hari). Sementara itu, istilah quality menggambarkan peningkatan yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Di satu sisi, management merupakan keseluruhan sistem dan lingkungan yang mendukung budaya peningkatan mutu secara berkelanjutan tersebut2,4.

187


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Tabel 1. Perbandingan pemikiran tradisional dan Total Quality Management

Pemikiran Tradisional

TQM

• Peningkatan mutu merupakan tanggung • Peningkatan mutu merupakan tanggung jawab setiap anggota dalam organisasi jawab pihak manajemen (internal dan eksternal) • Pelanggan merupakan pihak luar dan kita • Pelanggan merupakan bagian vital organisasi menjual kepada mereka • Tidak ada yang kurang dari 100% usaha • Cukup baik adalah cukup baik yang dilakukan • Kita membutuhkan orang-orang yang lebih • Kita telah memiliki orang-orang terbaik untuk yang mereka kerjakan baik untuk meningkatkan mutu • Vendor dan pemasok adalah bukan bagian • Vendor dan pemasok adalah anggota penting dari tim kita dari kita, melainkan relasi • Mutu diperoleh dari inspeksi, rejeksi, dan • Mutu dibangun dalam pelayanan dan produk mulai dari awal input dan proses kerja ulang tidak rusak, tingkatkankah” • Jika tidak ada yang rusak, tidak perlu • “Jika Peningkatan yang terus-menerus diperbaiki merupakan satu-satunya jalan • Peningkatan kualitas adalah suatu hal yang • Peningkatan kualitas akan menurunkan biaya dan meningkatkan produktivitas mahal Sumber : Ali Ghufron Mukti, Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan Implementasi, Pusat Pengembangan Sistem Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/ Jaminan Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, 2007.

Lebih lanjut Ali Gufran, 2007 mengulas, mengapa kita menggunakan Total Quality management? Hal ini disebabkan karena keempat prinsip yang dimiliki oleh TQM akan sangat membantu dalam upaya peningkatan mutu layanan kesehatan. Keempat prinsip itu adalah2,4: 1) Mengukur mutu sehingga dapat mengelolanya; 2) Melakukan perncanaan secara strategis sehingga dapat berpikir jangka panjang, tetapi tetap melakukan aksi-aksi jangka pendek; 3) Menghimpun kekuatan otak dan gagasan dari setiap orang di organisasi sehingga diperoleh manfaat dari sinergi yang sedang dan telah dibangun, serta 4) Berfokus kepada pasien (customer focused) sehingga dapat memberi mereka kepuasan Dengan demikian, terdapat beberapa asumsi mengenai pelaksanaan TQM, yaitu fokus kepada konsumen, penglibatan secara total seluruh komponen dalam organisasi layanan kesehatan termasuk dokter, karyawan dan seluruh orang yang ada dalam strukturstruktur yang terdapat di dalamnya, serta pengukuran, dukungan sistematis, dan peningkatan mutu layanan yang berkelanjutan2,4. Program TQM tersebut dikatakan berhasil apabila telah terjadi serangkaian perubahan-perubahan mendasar tentang banyak hal termasuk paradigma berpikir dan cara pandang. Misalnya, bagaimana anda melihat pelanggan, melihat komunitas yang dihadapi, melihat karyawan, melihat hubungan yang terjalin, dan juga perubahan dalam budaya organisasi atau perusahaan dan perubahan dalam mindset atau cara berpikir2,4.

188

Oleh karena itu, untuk menjamin agar program peningkatan mutu ini dapat berhasil dan berjalan sukses, perlu keyakinan mengenai kesiapan dan iklim budaya organisasi, komunikasi, dan komitmen berbagai pihak, serta perhatian terhadap pendidikan dan perwujudan dari rencana strategis yang telah disusun bersama. Pelayanan prima Dari kutipan yang diambil dari buku Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan Implementasi; Pelayanan prima dimaknai sebagai pelayanan terbaik dan telah memenuhi standar pelayanan dipandang dari perspektif pengguna atau donor, perspektif proses pelayanan dan perspektif keuangan yang dapat dicapai jika kualitas sumber daya manusianya cukup profesional. Sementara itu, LAN RI mengartikan pelayanan prima sebagai pelayanan yang terbaik dan melebihi, melampaui, serta mengungguli pelayanan yang diberikan pihak lain atau pelayanan sebelumnya2. Istilah pelayanan prima sendiri merupakan terjemahan dari excellent service, yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik atau pelayanan yang terbaik. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana maksud pelayanan yang sangat baik atau yang terbaik dalam konteks pelayanan kesehatan atau rumah sakit. Departemen kesehatan telah memberikan pengertian pelayanan prima. Pelayanan prima adalah pelayanan kepada pasien berdasarkan standar mutu untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien sehingga pasien dapat memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan kepercayaannya kepada rumah sakit2.


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Dalam usaha untuk mencapai usaha Indonesia sehat 2010, Departemen Kesehatan menjelaskan bahwa pelayanan prima seharusnya meliputi aspek-aspek berikut: · Kemudahan akses informasi (aspek kepuasan pengguna) · Pelaksanaan peraturan secara tepat, konsisten, dan konsekuen (aspek proses pelayanan) · Pelaksanaan hak dan kewajiban pemberi dan penerima pelayanan (aspek SDM dan kepuasan pelanggan) · Penanganan dan pendokumentasian kegiatan pelayanan dilakukan oleh tenaga yang berwenang/ kompeten (aspek proses dan SDM) · Penciptaan pola pelayanan yang sesuai dengan sifat dan jenisnya sebagai efisiensi dan efektivitas (aspek SDM, dan proses pelayanan) · Penetapan tarif sesuai dengan kemampuan masyarakat dengan mekanisme pungutan yang transparan serta adanya pengendalian dan pengawasan yang cermat (aspek finansial dan kepuasan pelanggan) · Tidak ada pembedaan dalam memberikan pelayanan serta pemerataan distribusi cakupan (aspek kepuasan pelanggan) · Kebersihan fasilitas pelayanan dan lingkungan (aspek proses pelayanan) · Sikap ramah dan sopan petugas serta meningkatkan kinerja secara kualitatif dan kuantitatif dengan kapasitas optimal (aspek kepuasan pelanggan dan aspek SDM) BAGAIMANAAGAR MUTU TETAPTERUS TERJAGA? Dalam upaya menjaga mutu layananan kesehatan agar terus bekesinambungan maka diperlukan suatu proses perbaikan mutu yang bekesinambungan.

Perbaikan Proses Berkesinambungan (Continuous Process Improvement) Upaya perbaikan proses yang berkesinambungan pada sistem mikro pada dasarnya mengikuti siklus Deming: Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan untuk seterusnya (Action), yang dikenal dengan siklus PDCA. Salah satu model perbaikan pada sistem mikro adalah model Nolan (Langley dkk, 1996). Nolan memperkenalkan suatu model perbaikan sistem mikro pelayanan yang pada prinsipnya tidak terlepas dari langkah-langkah proses perbaikan yang meliputi: Perencanaan (Plan), Dikerjakan (Do), Cermati hasilnya (Check), dan Amalkan untuk seterusnya (Action). Akan tetapi, harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai apa yang menjadi sasaran perbaikan sebelum dilakukan perubahan (setting aims), dilanjutkan dengan cara untuk mengetahui bahwa perubahan yang dilakukan akan menghasilkan perbaikan (measurement). Setelah menetapkan sasaran perbaikan dan menetapkan pengukuran atas perubahan, barulah ditetapkan dan direncanakan kegiatan-kegiatan perbaikan pada apa saja yang perlu dilakukan dalam bentuk siklus PDCA yang multipel. Pada dasarnya, langkah perbaikan sistem mikro pelayanan model Nolan terdiri dari tujuh langkah, yaitu: 1. Bentuk tim 2. Tetapkan sasaran perbaikan 3. Tentukan pengukuran 4. Pilih perubahan yang perlu dilakukan 5. Uji coba beberapa perubahan dalam skala kecil 6. Implementasikan perubahan 7. Sebarkan ke unit yang lebih luas

Apa yang ingin kita capai? Bagaimana kita tahu bahwa perubahan yang dilakukan adalah perbaikan? Perubahan apa yang dapat kita lakukan yang hasilnya adalah perbaikan?

Amalkan untuk seterusnya

Perencanaan

Act

Plan

Cermati Hasilnya

Diujicoba dilaksanakan

Check

Do

Gambar 1. Model Perbaikan Sistem Mikro (Nolan) Sumber: Tjahyono Koentjoro, Regulasi Kesehatan di Indonesia, Andi Yogyakarta, 2007

189


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Apa Saja Alat-alat Peningkatan Mutu (Quality Tools)? Berdasarkan berbagai asupan, antara lain keluhan pelanggan, hasil audit internal, hasil surveilan kepuasan pelanggan, hasil tinjauan manajemen, serta hasil studi kasus, dapat disimpulkan adanya berbagai masalah atau adanya potensi terjadinya masalah yang harus dikoreksi atau dicegah kemunculannya di kemudian hari. Sasaran mutu disusun berdasarkan adanya hasil identifikasi masalah, baik yang telah terjadi maupun yang potensial yang akan terjadi, dan peluang-peluang untuk perbaikan yang diharapkan akan lebih memuaskan pelanggan2,3. Untuk menganalisis masalah, menetapkan sasaran mutu, menganalisis masalah, dan menyusun rencana perbaikan digunakan berbagai alat perbaikan mutu, baik menggunakan maupun tidak menggunakan metode statistik. Alat-alat tersebut adalah: a. Alat-alat mutu bukan statistik (Non-statistical tools) merupakan alat untuk mengembangkan ide,

b.

mengelompokkan, memprioritaskan, dan memberikan arah dalam pengambilan keputusan. Alat-alat tersebut meliputi: - curah pendapat - multivoting - matriks prioritas masalah - fishbone - bagan alir - failure mode and effect analysis - bagan gantt Alat-alat mutu statistik (Statistical tools), yang meliputi: - lembar periksa (check sheet) - diagram kecendrungan (run chart) - diagram pencar - histogram - diagram Pareto - diagram kendali

DAFTAR PUSTAKA 1. Djoko Wiyono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press, 2000.

4. AA Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004

2. Ali Ghufron Mukti, Strategi Terkini Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan: Konsep dan Implementasi, Pusat Pengembangan Sistem Pembiayaan dan Manajemen Asuransi/ Jaminan Kesehatan Fakultas Kedkteran Universitas Gajah Mada, 2007.

5. Fandy Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management (TQM), edisi Revisi, Andi Yogyakarta, 2003

3. Tjahyono Koentjoro, Regulasi Kesehatan di Indonesia, Andi Yogyakarta, 2007

190

6. HAS Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, 2006


STUDI LITERATUR

Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

THE BABY BLUES AND POSTNATAL DEPRESSION SURYATI*

Pendahuluan Kematian dan kesakitan pada ibu hamil sejak lama telah menjadi masalah, khususnya ditemui di negara-negara berkembang. Sekitar 25%-50% kematian perempuan usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan kehamilan. WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 210 juta kehamilan di seluruh dunia. Dari jumlah ini, 20 juta perempuan mengalami kesakitan sebagai akibat kehamilan, sekitar 8 juta mengalami komplikasi yang mengancam jiwa, dan lebih dari 500.000 meninggal pada tahun 1995 (1) Indonesia mempunyai populasi ibu PUS (Pasangan Usia Subur) sebanyak 38.787.347 orang. Adapun jumlah ibu yang hamil adalah sebanyak : 1.509.656 orang (3,90%) (2) Di Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Barat, populasi ibu hamil adalah : 106.866 orang, dan yang datang memeriksakan diri ke tenaga kesehatan (K-1) adalah 92.362 orang (86.43%), dan K-4 adalah 79.872 orang (74.74%). Untuk Kota Padang populasi ibu hamil adalah : 18.614 orang, dan yang memeriksakan diri ke tenaga kesehatan (K-1) sebanyak 17.931 orang (96.33%), dan yang K-4 sebanyak 16.484 orang (88.55%) (3) Diperkirakan jumlah ibu yang melahirkan setiap tahunnya adalah 3 juta orang, dan 60% berasal dari keluarga miskin, keluarga yang berpendidikan rendah, keluarga yang sulit dijangkau, dan daerah tertinggal.(4) Setiap ibu atau wanita pasti mempunyai reaksi emosi yang berbeda-beda dalam menghadapi masa hamil, persalinan, dan nifas. Setiap reaksi yang muncul sangat tergantung kepada : kepribadian ibu masing-masing, pengalaman masa lalu, krisis hidup yang pernah dialami ibu, pendidikan, pengetahuan, dan lain-lain. Baby Blues termasuk depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu setelah melahirkan, di mana ibu ini merasa sedih yang hebat tanpa sebab yang jelas, dan disertai dengan gejala penyertanya. Dari beberapa hasil penelitian ditemukan kasus ibu yang mendapat Baby Blues dan Postnatal Depression cukup tinggi, yaitu : 1. Satu dari dua ibu yang melahirkan (50%) pernah mengalami Baby Blues, dan sekitar 10% akan berlanjut menjadi Postnatal Depression. (5) 2. Sekitar 70% dari semua ibu yang melahirkan pernah mengalami Baby Blues, dan sekitar 10%20% dari ibu-ibu yang baru melahirkan mengalami Postpartum Depression.(6)

3. 4.

Sekitar 10%-22% ibu-ibu yang baru pertama melahirkan menderita Postpartum Psychosis (7) Satu dari dua ibu yang melahirkan, dalam beberapa menit atau beberapa jam pertama setelah melahirkan, merasa bahagia, kemudian secara tibatiba tanpa sebab yang jelas dia menangis seharian tanpa bisa dihentikan.(8)

The Baby Blues adalah depresi ringan yang terjadi pada ibu-ibu dalam masa beberapa jam setelah melahirkan, sampai beberapa hari setelah melahirkan, dan kemudian dia akan hilang dengan sendirinya jika diberikan pelayanan psikologis yang baik.(5) Kita sebagai tenaga kesehatan sangat mengharapkan semua ibu-ibu dapat menjalani masa hamil, bersalin, dan nifas dalam keadaan sehat dan bahagia, namun karena banyak hal tetap saja kita ditemui masalahmasalah, khususnya adalah masalah psikologis, seperti Baby Blues dan Postnatal Depression Jika dilihat jumlah kunjungan ibu hamil ke pelayanan kesehatan di Provinsi Sumatera Barat tahun 2006, yaitu K-1 (86,43%) dan K-4 (74,74%). Sedangkan untuk Kota Padang khususnya : K-1 (96,33%) dan K-4 (88,55%), hal ini sebetulnya sudah cukup tinggi. Jika pelayanan psikologis yang diberikan kepada ibu-ibu sewaktu hamil cukup baik, seharusnya tidak banyak lagi ditemui kasus-kasus Baby Blues dan Postnatal Depression pada ibu-ibu setelah melahirkan. Gejala Baby Blues Banyak para ibu-ibu setelah melahirkan mengalami emosi yang berlebihan dan merasa sangat sedih sekali, dan diiringi tangisan tanpa alasan yang jelas. Dalam masa ini tidak mungkin lagi kita akan melihat ibu tersenyum atau tertawa. Sebagian ibu merasa sangat khawatir, cemas, dan tegang. Masalah – masalah kecil saja jika tidak cepat diatasi pada masa hamil, atau sebelum melahirkan dapat menimbulkan Baby Blues. Sebagian ibu merasa tidak enak, tidak nyaman, sakit, nyeri di mana-mana, dan tidak ada obat yang dapat menolongnya atau menyembuhkannya. Hampir semua ibuibu ini merasa sangat capek, lesu ataupun malas pada hampir setiap waktu setelah melahirkan. Selain itu juga sering ditemui para ibu-ibu ini mengalami sulit untuk tidur, bahkan ada yang tidak bisa tidur sama sekali.(5.8)

*Staf Pengajar Prog. Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Unand

191


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Penyebab Kemungkinan Timbulnya Baby Blues Baby Blues disebabkan oleh banyak hal, di antaranya bisa dari faktor biologi, dan bisa dari faktor emosional.(5) Pada saat bayi lahir, akan terjadi perubahan kadar hormon secara tiba-tiba dalam tubuh ibu. Di mana kadar hormon itu ada yang turun dengan cepat, dan ada pula yang naik dengan pesatnya. Nah perubahan kadar hormorhormon dalam waktu singkat dan tiba-tiba inilah salah satu pemicu timbulnya Baby Blues. Banyak ibu-ibu hamil tidak tahu, dan tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kelelahan pada saat melahirkan. Rasa lelah yang berlebihan yang dialami ibu pada saat melahirkan juga merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya Baby Blues. Dari beberapa kasus juga ditemui ada ibu-ibu ini sebetulnya dia tidak suka atau tidak mau lagi untuk melahirkan. Dari banyak hasil pemeriksaan fisik memang banyak ditemui penyebab Baby Blues ini adalah karena kelelahan, keletihan yang dialami ibu pada saat proses persalinan. Selain itu juga ditemui penyebab Baby Blues ini adalah karena kecemasan, kekhawatiran ibu untuk tidak siap, tidak bisa, tidak mau, dan lain-lain untuk merawat bayinya sendiri.(5) Postnatal Depression Posnatal Depression adalah merupakan suatu masa terganggunya fungsi psikologis ibu setelah melahirkan, yang berkaitan dengan alam perasaan sedih yang berlebihan, dan diikuti dengan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur, dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya, serta adanya gagasan ingin bunuh diri (9) Apa yang Bisa Dilakukan Tenaga Kesehatan Untuk Membantu Ibu yang Mengalami Baby Blues Tenaga kesehatan di sini bisa dokter, bidan, atau perawat yang sedang memberikan pelayanan kepada ibu yang habis melahirkan, baik di rumah sakit, di klinik, di puskesmas, ataupun di tempat praktek bidan swasta, hendaklah memberikan istirahat dan ketenangan yang banyak kepada ibu setelah melahirkan. Ini merupakan hal yang sangat penting bagi ibu-ibu yang baru selesai menjalani persalinan. Sebagai tenaga kesehatan, bidan khususnya, berilah ibu-ibu yang selesai bersalin itu waktu dan kesempatan untuk istirahat dalam keadaan tenang yang banyak, batasi dan atur jumlah tamu dan jam tamu berkunjung, dan jangan biarkan tamu berkunjung terlalu lama. Jika ditemui ibu-ibu menderita Baby Blues setelah melahirkan, di mana dia merasa sangat sedih dan menangis, maka sebagai tenaga kesehatan, para bidan khususnya, sebaiknya kita merawat ibu ini dalam ruangan yang terpisah, atau ruangan khusus, dan selanjutnya membiarkan saja ibu ini menangis dalam ketenangan, tetapi tetap diawasi. Biarkan saja ibu ini menangis dan meluapkan

192

semua emosinya sampai reda, tidak perlu disuruh berhenti nangisnya. Kita baru bisa memberikan bantuan setelah dia tidak menangis, dan tidak emosi lagi. Pada saat ini, baru ibu tersebut bisa mendengarkan apa yang kita bicarakan. Jika ibu sudah tenang baru kita bisa menanyakan apa yang membuat dia begitu sedih. Di sini sangat dibutuhkan konseling, agar ibu ini terbebas dari masalah yang dirasakannya. Ibu-ibu yang sedang mengalami Baby Blues sangat memerlukan ketenangan dan istirahat yang banyak agar Baby Blues nya cepat hilang. Hal penting lain yang harus diketahui tenaga kesehatan, khususnya para bidan adalah : banyak di antara ibu-ibu yang habis melahirkan ini over-sensitiv, terhadap kata-kata atau perkataan penolong atau bidan. Oleh sebab itu para bidan dan petugas kesehatan lainnya, berikanlah pelayanan yang baik, ramah, cepat, menyenangkan ibu, serta lihatkanlah perilaku yang baik dan rasa empati yang tinggi terhadap ibu-ibu yang habis bersalin ini. Jangan sekali-kali berkata-kata kasar, menyakitkan, judes, tidak sopan, menyindir, memaksakan, memerintah dengan kasar, dan lain-lain. Apa yang Dilakukan Bila Ibu Sudah Menderita Posnatal Depression Jika ditemui ibu-ibu postpartum yang mengalami depresi lebih dari 10 hari, atau paling lama 15 hari. sebaiknya didiskusikan dengan dokter. Jika memungkinkan ikutkan suami dan keluarga dalam diskusi tersebut). 10%-22% Postpartum Depression ditemukan pada ibu-ibu muda, atau ibu-ibu baru pertama melahirkan7 Jika sudah masuk ke Postnatal Depression, ini namanya sudah penyakit, dan akan berhasil bila diberikan obat-obat anti-depressant. Dukungan dari suami dan keluarga sangat dibutuhkan dalam rangka penyembuhan ibu ini. Adapun gejala-gejala dari Postnatal Depression ini dapat dilihat dari perilaku ibu sebagai berikut : merasa sedih hampir setiap hari, minat dan rasa senang menurun, tidak pernah tertawa, berat badan makin berkurang , tidak bisa berfikir dan konsentrasi, hampir setiap hari tidak bisa tidur, resah, gelisah, menyalahkan diri sendiri, merasa berdosa, rasa tidak berguna, buah pikiran tentang kematian, punya gagasan ingin bunuh diri9 Untuk menghadapi hal ini, para penolong atau bidan khususnya, harus hati-hati sekali, pengawasan harus ketat terhadap ibu-ibu ini, karena emosi ibu bisa saja berubah sewaktu-waktu. Berhubung ibu dalam keadaan depresi, tidak mungkin kita memberikan bayi kepadanya, kecuali jika selalu didampingi oleh bidan pada waktu memberikan ASI. Untuk pengasuhan bayi sampai ibu ini betul-betul dinyatakan sembuh oleh dokter, sebaiknya diserahkan dulu kepada suami atau keluarga terdekat, atau bisa juga di tempat khusus perawatan bayi. Berhubung ibu yang mengalami depresi lupa, tidak mau, atau malas untuk makan, maka para bidan harus rajin mencoba memberikan makanan dalam porsi kecil, dan


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

memberikan minuman manis yang panas secara teratur Khusus untuk ibu-ibu muda, atau ibu-ibu baru pertama melahirkan sangat membutuhkan bantuan bidan, suami dan keluarga, misalnya untuk mandi, ganti pakaian, makan, minum obat, dan lain-lain. Selain itu juga dibutuhkan dukungan emosi dari ibu-ibu lain yang ada di sekitarnya Agar ibu selalu dalam keadaan sehat dan bahagia selama hamil, bersalin, dan nifas, memang sangat dibutuhkan dukungan dari : suami, keluarga, teman sejawat, teman kelompok, para bidan dan tenaga kesehatan lainnya, serta tenaga profesi lainnya sesuai kebutuhan ibu.(10) Pada waktu pelaksanaan konseling kepada ibuibu yang mengalami Postnatal Depression ada baiknya para ibu-ibu tersebut diberitahu bahwa depresi itu biasa atau umum terjadi pada ibu-ibu setelah melahirkan. Dalam konseling kita berusaha mencari tahu penyebab stressor yang jelas atau spesifik, dan selanjutnya kita membantu para ibu-ibu tersebut untuk mengurangi atau menghilangkan stressor yang dialami sebelumnya. Dengan demikian kita mengurangi apa yang dirasakan ibu, misalnya rasa tidak berguna, rasa putus asa, rasa berdosa, rasa rendah diri, ingin bunuh diri, dan lainlain.

Dalam memberikan pelayanan kita harus selalu bersikap ramah, empati, selalu di dekat ibu sehingga ibu tidak merasa dia dikucilkan, tidak kesepian, tidak takut, bisa menenangkan ibu, dan mengatakan selalu siap membantu ibu bila diperlukan. Dengan demikian ibu akan merasa tenang, aman, dan nyaman Rujukan : 1. YBPSP 2005. Bunga Rampai Obstetri Dan Ginekologi Sosial. Jakarta 2. BKKBN 2005. Data BKKBN Pusat. BKKBN. Jakarta 3. Dinkes Prop. Sumbar 2006. Profil Kesehatan Sumatera Barat. Padang 4. BKKBN 2006. Data BKKBN Pusat. Jakarta 5. The NFC Foundation (2000).The Baby Blues And Postnatal Depression. London 6. Bella 2007. Baby Blues After Childbirth. London 7. Luczaj Sarah 2007. Just The Baby Blues. Cambridge. 8. Tucker Glymnnis 1998. Pregnancy, Bitrh, And Parenthood. Melborne. 9. Kaplan Harold I 2004. Pocket Handbook of Emergency Psychiatric Medicine. London 10. Bryar Rosamund M 2001. Theori For Midwifery Practice. Macmillan, London.

193


STUDI LITERATUR Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Gambaran Indikator P2TB di Propinsi Sumatera Barat Ade Suzana Eka Putri*

Pendahuluan Program pemberantasan penyakit menular mempunyai peranan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian. Diantaranya, program pemberantasan tuberkulosis (P2TB) yang merupakan salah satu prioritas. Hal ini ditandai dengan dimasukkannya pemberantasan tuberkulosis dalam target pembangunan millenium (Millenium Development Goals, MDGs) tahun 2015. Jauh sebelum MDGs dicanangkan, program penanggulangan TB telah mulai dilaksanakan. Dimulai dengan ditemukannya vaksin BCG, Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan strategi Directly Observed Treatment, Shortcourse (DOTS) yang dimulai sejak 1994 seiring dengan pembentukan Gerakan Terpadu Nasional Pemberantasan Tuberkulosis (Gerdunas TB). Namun hingga saat ini TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Menurut WHO, Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Dan sejak tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena pada sebagian besar negara di dunia, penyakit TB tidak terkendali terutama di negara-negara berkembang. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara berkembang, dan 75% penderita TB adalah kelompok usia produktif.1 Hasil Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit infeksi. Tahun 1999, WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB dengan kematian sekitar 140.000. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah.1 Apabila hal ini belum teratasi, tentu akan berakibat buruk bagi kesejahteraan bangsa. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat, prevalensi TB di Sumatera Barat tahun 2005 sebesar 160/100.000 penduduk. Angka konversi tahun 2006 sebesar 84,8% yang relatif sama dengan angka konversi 85,7% pada tahun 2005 yang telah mencapai target

nasional sebesar 85%.2 Namun pencapaian itu bertolak belakang dengan angka case detection rate (CDR) yang hanya mencapai 50,1% di tahun 2006.2 Hal ini sejalan dengan evaluasi WHO yang menggolongkan Indonesia sebagai negara yang menjalankan program dengan baik tetapi ekspansi sangat lambat.3 Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis bermaksud menggambarkan pencapaian program P2TB di Propinsi Sumatera Barat, terutama dalam perjalanan menuju target MDGs 2015. Tulisan ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada kita semua mengenai program pemberantasan penyakit tuberulosis. Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat domant (tertidur lama) selama beberapa tahun.1 TB adalah penyakit yang dapat menular melalui udara (airborne disease). Kuman TB menular dari orang ke orang melalui percikan dahak (droplet) ketika penderita TB aktif batuk, bersin, bicara atau tertawa.1,4 Seseorang dengan TB yang telah diobati dengan pengobatan yang tepat selama paling kurang dua minggu, tidak menularkan bakteria kepada orang lain.4 Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Kuman yang masuk melalui saluran pernafasan akan dibawa ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru. Hal ini disebut kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Sedangkan masa inkubasi diperkirakan selama enam bulan.1 Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon

* Staf Pengajar Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

194


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant. Apabila daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan orang yang bersangkutan akan menjadi penderita TB.1 Gejala umum TB berupa batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai adalah:1 1. Dahak bercampur darah 2. Batuk darah 3. Sesak nafas dan nyeri dada 4. Badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan, berkeringat malam tanpa kegiatan dan demam meriang lebih dari sebulan. Sebagai penyakit menular, penanggulangan TB

hanya dapat dilakukan dengan pemutusan rantai penularan dan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita TB akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronis yang tetap menular.5 Fakta Saat Ini 1. Indonesia Dalam laporan WHO tahun 2007, Indonesia tergolong dalam kategori high-burden countries. Sebagai peringkat ketiga di Asia Tenggara, Indonesia terus meningkatkan case detection rate (CDR), namun masih kurang dari target global sebesar 70% di akhir tahun 2005. Peningkatan kualitas DOTS pada pusat pelayanan kesehatan, termasuk peningkatan manajemen dan pelatihan staf sangat mendasari kemajuan ini. Namun Indonesia membutuhkan jaringan laboratorium yang kuat untuk menjaga sustainabilitas pencapaian tersebut. Dan peningkatan anggaran seharusnya bisa mencapai CDR yang lebih tinggi.6

Gambar 1. Peringkat Indonesia di Asia Tenggara Sumber : WHO Report 2007, Global Tuberculosis Control

195


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Tabel 1. Insiden, Prevalen dan Mortalitas TB di Indonesia Tahun 2005 Grafik 2. Pencapaian Case Detection Rate (CDR) Indonesia Sumber : WHO Report 2007, Global Tuberculosis Control

Sumatera Barat Berbagai usaha menanggulangi TB di Propinsi Sumatera Barat telah dilakukan berbagai pihak. Proses ini dimulai dari perencanaan di tingkat pengambil keputusan hingga pelaksanaan di pusatpusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas, BP4 dan rumah sakit. Tentu saja hal ini ditunjang oleh petugas terlatih, sarana dan prasarana yang lengkap dan dukungan finansial yang memadai. Bagaimanapun, program yang telah dilaksanakan harus dimonitor dan dievaluasi menggunakan indikator-indikator tertentu demi kelangsungan program itu sendiri. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat, kegiatan penemuan penderita TB yang menular (BTA+) di antara seluruh kasus TB paru yang diobati telah berjalan baik. Bahkan angka ini lebih tinggi dari target nasional sebesar 65%. Diketahui bahwa proporsi kasus BTA+ di antara jumlah kasus TB paru di Propinsi Sumatera Barat tahun 2004 adalah 72,8%, naik menjadi 77,8% tahun 2005. Namun angka ini turun menjadi 75,3% di tahun

196

2006.2 Indikator lain adalah persentase penderita TB paru BTA+ yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif, yang digambarkan sebagai angka konversi atau convertion rate. Angka konversi Sumatera Barat tahun 2004 hingga 2006 bisa dikatakan telah mencapai target nasional sebesar 85%. Hal ini berarti bahwa program pengobatan telah berhasil dilaksanakan dan pengawasan langsung menelan obat telah dilakukan dengan benar. Angka konversi yang tinggi seharusnya diikuti oleh angka kesembuhan yang tinggi pula. Sedangkan persentase penderita TB paru BTA+ yang sembuh setelah selesai masa pengobatan di antara penderita TB paru yang tercatat disebut angka kesembuhan atau cure rate. Angka kesembuhan Sumatera Barat tahun 2004 hingga 2005 hampir mendekati target nasional sebesar 85%. Kedua indikator angka konversi dan angka kesembuhan Sumatera Barat tergambar pada grafik berikut.


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

87 86 85

85,7 84,8

84,8

Persentase

84 83 82

Angka konversi

82,2

Angka kesembuhan

81 80,2

80 79 78 77 2004

2005

2006

Tahun

Grafik 3. Angka Konversi dan Angka Kesembuhan Prop. Sumatera Barat Sumber : Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat

Trend penemuan kasus TB paru di Propinsi Sumatera Barat yang diukur dengan case notification rate (CNR) cenderung meningkat dari tahun 2004 hingga 2006. Angka ini diukur dengan membandingkan jumlah BTA+ baru yang tercatat dengan jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat. CNR Sumatera Barat tahun 2004 sebesar 68,94% naik menjadi 75,57% tahun 2005 dan 78,79% tahun 2006.2 Peningkatan CNR seharusnya diikuti oleh peningkatan case detection rate (CDR). CDR menggambarkan cakupan penemuan kasus baru BTA+ dari perkiraan jumlah penderita TB. Diketahui bahwa CDR Propinsi Sumatera Barat tahun 2006 sebesar 50,1% mengalami penurunan tahun 2007 menjadi 48,35%.2 Angka ini lebih rendah dari target nasional yaitu 70%. Berdasarkan indikator-indikator di atas, tergambar bahwa program penanganan penderita TB di Propinsi Sumatera Barat telah berjalan baik. Terlihat dari penemuan kasus menular (BTA+) di antara seluruh kasus TB paru yang diobati, convertion rate dan cure rate yang telah mencapai target nasional. Hal ini berbeda dengan penemuan kasus yang rendah di Sumatera Barat. Jika convertion rate dan cure rate yang tinggi diikuti dengan penemuan kasus yang tinggi pula, tentu saja TB dapat ditanggulangi segera. Dan target MDGs dalam penanggulangan TB dapat dicapai di Propinsi Sumatera Barat. Strategi Pada dekade yang lalu telah diperlihatkan kemajuan dalam penanggulangan TB dunia, terutama setelah implementasi strategi DOTS. Dan untuk dekade berikut, negara-negara di dunia sepakat untuk sebuah tugas besar yaitu mencapai target MDGs dan Stop TB

Partnership sebagai target dalam kontrol TB, dengan visi A world free of TB. Untuk mencapai target tersebut, WHO menyusun sebuah strategi yang disebut sebagai Global Plan to Stop TB (2006-2015).7 Components of The Strategy and Implementation Approaches 1. Pursue high-quality DOTS expansion and enhancement· a. Political commitment with increased and sustained financing· b. Case detection through quality-assured bacteriology· c. Standardized treatment, with supervision and patient support· d. An effective drug supply and management system· e. Monitoring and evaluation system, and impact measurement 2. Address TB/HIV, MDR-TB and other challenges· a. Implement collaborative TB/HIV activities· b. Prevent and control MDR-TB· c. Address prisoners, refugees and other high-risk groups and situation 3. Contribute to health system strengthening· a. Actively participate in efforts to improve system-wide policy, human resources, financing, management, service delivery, and information systems· b. Share innovations that strengthen systems, including the Partical Approach to Lung Health (PAL)· c. Adapt innovations from other fields 4. Engage all care providers· - Public-Public and Public-Private mix (PPM) approaches· - International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

197


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

5. a. b. c. 6. a. b.

Empower people with TB, and communities· Advocacy, communication and social mobilization· Community participation in TB care· Patients’ Charter for Tuberculosis Care Enable and promote research· Programme-based operational research· Research to develop new diagnostics, drugs and vaccines Sumber :The Stop TB Strategy, WHO,2006

Dalam pertemuan Komite Ahli Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) TB dengan pejabat lintas program dalam upaya akselerasi program penanggulangan TB di Indonesia tahun 2003, terkemuka bahwa sejumlah negara berkembang seperti Vietnam, Peru, Thailand, Filipina dan Myanmar akan segera keluar dari jajaran negara dengan beban tinggi TB. India dan Cina sebagai penyandang beban nomor satu dan dua terbesar di dunia aktif meningkatkan cakupan DOTS serta penemuan kasus. Indonesia sebagai salah satu negara penyandang beban tinggi TB (high burden country) akan naik peringkat jika tidak melakukan hal serupa. Pada pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia juga bertekad mempercepat penemuan dan pengobatan penderita TB. Selain peningkatan penemuan kasus secara aktif maupun pasif, perluasan cakupan DOTS serta pembenahan sistem pencatatan dan pelaporan, perlu pertemuan intensif agar semua pihak merasa memiliki program percepatan penanggulangan TB. Berbagai upaya akselerasi yang disepakati antara lain : 1. Perluasan cakupan namun tidak mengorbankan mutu program 2. Pasien drop-out (putus obat) dan resistensi obat harus dicegah 3. Alokasi anggaran daerah bagi program TB harus mencukupi 4. Meningkatkan kerja sama antar pihak, yakni berbagai sektor pemerintah, tenaga kesehatan, organisasi profesi, LSM serta masyarakat umum 5. Mengoptimalkan peran puskesmas yang sangat strategis, selain intervensi medis (DOTS) juga intervensi kesehatan masyarakat (penyuluhan dan perubahan perilaku, gizi dan kesehatan lingkungan) 6. Pengelola program TB perlu mengintegrasikan kegiatan penemuan kasus dan kegiatan lain yang melibatkan peran serta masyarakat. Menurut Prof. Dr. dr. Azrul Azwar, MPH dalam pertemuan Komite Ahli Gerakan Terpadu Nasional (Gerdunas) TB dengan pejabat lintas program dalam upaya akselerasi program penanggulangan TB di Indonesia tahun 2003, hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan program TB diantaranya :

198

1.

2. 3. 4.

Luasnya wilayah kerja puskesmas, besarnya jumlah penduduk dan adanya stigma terhadap TB menyebabkan jangkauan penemuan kasus menjadi terbatas Tidak semua puskesmas memiliki fasilitas laboratorium Kesinambungan penyediaan obat belum terjamin Sejak desentralisasi, dana program di banyak daerah menurun. Daerah miskin yang alokasi anggaran kesehatannya kurang, perlu dibantu pemerintah pusat.

Bagaimanapun, cara tepat untuk meningkatkan cakupan dalam menjaring penderita TB harus dilakukan. Pendeteksian dan penjejakan merupakan langkah awal. Sehingga kehilangan jejak dalam penjaringan dapat diatasi.8 Selama ini program pemberantasan TB dilakukan melalui pemeriksaan dahak penderita untuk menemukan kuman pada tersangka TB yang mengalami keluhan utama batuk lebih dari tiga minggu. Namun cara ini masih bias, karena keluhan batuk juga terjadi pada penyakit selain TB. Selain itu, pemeriksaan ini juga tidak dapat dilakukan pada penderita anak-anak.8 Cara lain untuk menjaring penderita TB adalah dengan tes tuberkulin yang dapat dilakukan pada semua kelompok umur termasuk anak-anak. Seseorang dengan hasil tes tuberkulin mantoux yang positif harus segera dirujuk ke BP4 atau rumah sakit untuk pemeriksaan laboratorium. Apabila hasil pemeriksaan labor dinyatakan prositif, penderita dirujuk untuk mendapat pengobatan yang telah disediakan. Dengan langkah ini penyebaran TB dapat dihentikan.8 Kesimpulan Usaha global untuk memberantas TB semakin diperkuat, termasuk di Indonesia sebagai salah satu negara dengan beban tinggi TB. Untuk mewujudkannya tentu dibutuhkan jaringan program yang kuat di semua daerah. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Barat ikut memberikan kontribusi dalam hal ini. Terlihat dari penemuan kasus menular (BTA+) di antara seluruh kasus TB paru yang diobati, convertion rate dan cure rate yang telah mencapai target nasional. Namun bila convertion rate dan cure rate yang tinggi diikuti dengan penemuan kasus (CDR) yang tinggi pula, tentu saja TB dapat ditanggulangi segera. Banyak cara dan strategi yang dapat dilakukan sebagai upaya akselerasi pemberantasan TB melalui penjaringan penderita. Pemerintah sebagai decision maker perlu memilih rencana yang paling efektif dan efisien untuk dilaksanakan di daerahnya. Selain itu dibutuhkan komitmen semua pihak untuk menjamin keberhasilan program TB. Sehingga visi a world free of TB bisa terwujud.


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Daftar Pustaka [1] Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke 5. Jakarta : 2000. [2] Dinkes Prop. Sumatera Barat. Rekapitulasi Laporan Tahunan TB Per Kabupaten/Kota Tahun 2007. [3] Permatasari, Amira. Pemberantasan Penyakit TB Paru dan Strategi DOTS. Diakses dari www.library.usu.ac.id/download/fk/ tanggal 28 Maret 2008. [4] National Institute of Health USA. Tuberculosis. Diakses dari www.nlm.nih.gov/medlineplus/ tanggal 28 Maret 2008.

[5] WHO, 1996. Dalam : Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke 5. Jakarta : 2000. [6] WHO. WHO Report 2007, Global Tuberculosis Control Surveillance, Planning, Financing. Diakses dari www.who.int/tb/publications/ global_report/en/ tanggal 28 Maret 2008. [7] WHO. The Stop TB Strategy. Diakses dari www.who.int/tb/publications/ tanggal 28 Maret 2008. [8] Rizanda M. Menjaring Penderita Tuberkulosis yang Aman. Diakses dari www.korantempoonline tanggal 28 Maret 2008.

199


STUDI LITERATUR Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

DAMPAK PENCEMARAN LOGAM TIMAH HITAM (Pb) TERHADAP KESEHATAN Suksmerri*

Pendahuluan Keracunan logam berat Pb yang berasal dari lingkungan ambien pada dekade terakhir telah merupakan resiko kesehatan lingkungan utama yang dihadapi baik di negara-negara maju maupun yang sedang berkembang. Pb memasuki tubuh dapat melalui saluran pernafasan, saluran cerna, bahkan melalui kontak dermal. Namun jalur penting untuk paparan Pb terhadap manusia adalah melalui pernafasan (inhalasi). Paparan Pb yang berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan terhadap berbagai sistem organ seperti darah, sistem syaraf, ginjal, sistem reproduksi dan saluran cerna (Manahan ,1992). Sumber-sumber Pb dapat berasal dari alam dan sebagai akibat antropogenik. Secara alamiah Pb di lingkungan berasal dari pelapukan geologis dan letusan gunung berapi. Aktivitas antropogenik masuknya Pb ke lingkungan berasal dari berbagai aktivitas antara lain pertambangan,peleburan, dan sebagai hasil samping dari industri accu (aki), kabel,pigmen , produksi baja serta dari hasil pembakaran bahan bakar bensin yang mengandung zat aditif TEL dan TML.Diperkirakan dari kegiatan pertambangan dan peleburan jumlah Pb yang diemisikan ke dalam lingkungan sekiatar 126.000 ton/tahun, dan dari kegiatan lainnya sekitar 3 juta ton/tahun (Manahan, 1992). Udara yang tercemar dengan partikel dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berbeda tingkatan dan jenisnya, tergantung dari macam, ukuran dan komposisi kimianya.Gangguan tersebut utama terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru-paru dan pembuluh darah. Pencemaran udara karena partikel debu biasanya menyebabkan penyakit pernafasan kronis seperti bronchitis kronis, emfiesma paru, asma bronchial dan bahkan kanker paru Menurut Palar (1994), konsentrasi Pb yang tinggi di udara dapat mengganggu pembentukan sel darah merah. Gejala keracunan dini mulai ditunjukkan dengan terganggunya fungsi enzim untuk pembentukan sel darah merah, pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan kesehatan lainnya seperti anemia, kerusakan ginjal. Beberapa penelitian telah memperlihatkan cemaran akibat Pb ke lingkungan dengan konsentrasi yang tinggi. Cemaran logam Pb terbanyak dilakukan pada lingkungan perairan, untuk cemaran di lingkungan udara

*Staf pengajar Politeknik Kesehatan Padang

200

telah dilakukan oleh Browne, dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa tingkat cemaran Pb udara tertinggi di Kotamadya Semarang terdapat di Tambaklorok Kecamatan Semarang Utara, pada musim kemarau rata-rata 8,41 μg/m3 dan dimusim penghujan 10,85 μg/m3. Konsentrasi tersebut telah jauh melampau nilai ambang baku mutu lingkungan maksimal 2 μg/m3 per 24 jam (PP RI No. 41 Tahun 1999, tentang Pengendalian Pencemaran Udara). Penelitian lain memperlihatkan adanya pengaruh gas buang kendaraan bermotor terhadap konsentrasi timbal darah yang berlokasi di Yokyakarta dengan 3 titik pengambilan sampel, konsentrasi Pb di lokasi 1 menunjukkan 0,486 μg/m3, kadar Pb darah pedagang sebesar 49,59 μg/100 ml. Lokasi 2 konsentrasi Pb adalah 33,63 μg/m3 , serta Pb dalam darah pedagang 24,17 μg/100 ml. Lokasi 3 konsentrasi Pb sebesar 0,45 μg/m3, serta Pb dalam darah pedagang adalah 33,53 μg/ 100 ml (Widiati,1992) Dari latar belakang diatas maka perlu dilakukan suatu kajian melalui studi literatur tentang keberadaan Pb di lingkungan, dengan meningkatnya Pb di lingkungan akan mengakibatkan gangguan kesehatan manusia, yang selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan Pb dalam darah, dengan tujuan untuk melihat apakah seseorang itu telah keracunan Pb. Tujuan dari studi literatur ini yakni diketahuinya sumber-sumber Pb yang terdapat di lingkungan dan diketahui dampak Pb terhadap kesehatan manusia.Adapun sebagai ruang lingkup dalam studi literatur ini hanya melihat gambaran tentang dampak Pb terhadap kesehatan menusia akibat adanya logam Timah hitam (Pb) di lingkungan. SUMBER PENCEMARAN TIMAH HITAM (Pb) DI LINGKUNGAN. Timah hitam (Pb) tergolong kedalam logam berat, yang dalam sistem periodik unsur ini terletak pada unsur golongan IV A, dan periode ke 6. Di alam Pb terdapat dalam bentuk senyawa sulfat (PbSO4), karbonat (PbCO3) dan sulfida (PbS). Biji Pb yang utama adalah galena yang mengandung PbS. Pb dapat diperoleh dengan memanaskan PbS pada suhu tinggi, kemudian PbO yang terbentuk direduksi dengan karbon, untuk memurnikannya dari logam lain, maka dilakukan elektrolisa sehingga menghasilkan


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

Pb.Penggunaan Pb dalam industri kimia cukup luas antara lain, dalam industri batery, industri keramik, industri cat (Clarke, 1981) Selain itu meningkatnya konsentrasi Pb di udara dapat berasal dari hasil pembakaran bahan bakar bensin dalam berbagai senyawa Pb terutama PbBrCl dan PbBrCl.2PbO. Senyawa Pb halogen terbentuk selama pembakaran bensin, karena dalam bensin yang sering ditambahkan cairan anti letupan (anti ketok) yang terdiri dari 62% TEL, 18% etildiklorida dan 2% bahan-bahan lainnya.Senyawa yang berperan sebagai zat anti ketok adalah timbal oksida. Timbal oksida ini terdapat dakam partikel-partikel yang tersebar dala ruang bakar bensin . Senyawa Pb sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam minyak atau lemak (Fardiaz, 1992). Tujuan penambahan bahan tersebut untuk mendapatkan tingkat oktan yang lebih tinggi, agar pemakaian bahan bakar bensin lebih ekonomis. Pada proses pembakaran mesin, senyawa ini dilepaskan dalam bentuk partikel melalui asap gas buang kendaraan bermotor ke udara, dimana sebagiann besar mengandung partikel Pb berdiameter dibawah 1 mikron. Besarnya ukuran partikel tersebut merupakan batas ukuran partikel yang dapat diserap melalui pernafasan. Pada proses pembakaran mesin yang menggunakan bahan bakar bensin, dihasilkan gugus radikal bebas yang dapat menyebabkan letupan pada mesin, sehingga mengakibatkan menurunnya efisiensi mesin. Untuk mengatasi hal tersebut ditambahkan bahan berupa TEL atau TML. Tujuannya adalah untuk mengikat radikal bebas yang terbentuk selama proses pembakaran. Bahan tersebut akan bereaksi dengan gugus radikal bebas, dan menghalangi terjadinya reaksi pembentukan PbO. Pb dalam bensin akan bereaksi dengan oksigen dan bahanbahan pengikat, selanjutnya dikeluarkan melalui sistem pembuangan dalam bentuk partikel. Partikel yang mengandung Pb akan diemisikan ke dalam lingkungan, sehingga menyebabkan terjadinya pencemaran udara oleh Pb (Kumar, De, 1979). Dampak Pencemaran Logam Timah Hitam (Pb) Terhadap Kesehatan Timah hitam (Pb) merupakan bahan toksik yang mudah terakumulasi dalam organ manusia dan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan berupa anemia, gangguan fungsi ginjal, gangguan sistem syaraf dan otak dan kulit (Kumar,De, 1979). Selama dalam darah Pb 90% terikat pada sel darah merah, akibatnya sintesis hemoglobin terhambat, karena dapat menghalangi enzym aminolaevulinic acid dehidratase (ALAD) untuk proses sintesa tersebut, dan anemia biasa bisa terjadi dan umur sel darah merah lebih pendek. Terhadap syaraf mengakibatkan menurunnya kecepatan konduksi syaraf (Malaka, 1994). Pb yang masuk ke dalam tubuh dapat dalam bentuk Pb-organik seperti tetra etil Pb, dan Pb anorganik seperti oksida Pb. Toksisitas Pb baru akan terlihat bila orang mengkomsumsi Pb lebih dari 2 mg perhari, ambang batas dari Pb yang boleh dikonsumsi adalah 0,2-2,0 mg perhari

(Darmono, 1995). Pb yang masuk ke dalam tubuh tidak semua dapat tinggal di dalam tubuh, kira-kira 5% -10% dari jumlah yang tertelan akan diadsorbsi oleh saluran pencernaan dan sekitar 5% dari 30% yang terserap lewat pernafasan akan tinggal di dalam tubuh. Pb yang tertinggal di dalam tubuh akan mengumpal terutama di skeleton (90-95%). Untuk menentukan seseorang keracunan Pb dilakukan analisis kandungan Pb dalam darah (Fardiaz, 1992). Intoksikasi Pb yang memerlukan perhatian berlebih adalah terjadinya paparan konsentrasi rendah dan berlangsung lama sehingga menimbulkan efek subklinik. Seperti halnya substansi-substansi toksik lain, efek Pb berhubungan dengan konsentrasi paparannya. Pada konsentrasi yang tinggi menyebabkan keracunan akut yang ditandai dengan gejala klinis. Hal ini perlu diwaspadai larena Pb mempunyai sifat afinitas yang kuat terhadap gugus sulfuhidril dari sistein, gugus amino dari lisin, gugus karboksil dari asam aspartat dan glutamat, dan gugus hidroksil dari tirosin. Pb juga dapat berikatan dan memodifikasi struktur tertiter protein dengan demikian menginaktifkan properti enzimatik, terlebih lagi enzim-enzim yang kaya akan gugus -SH.Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa setiap atom Pb dapat menginduksi kerusakan biokimia tubuh (Manahan,1992) Efek sub klinik dari Pb secara jelas terjadi pada sistem syaraf dan hematopoetik. Pada sistem syaraf menyebabkan difungsi susunan syaraf, gangguan motorik dan perubahan perilaku. Efek neorologik ini terjadi pada dosis Pb > 30 μg. Sedangkan efek hematologik (sistesis heme) terjadi pada konsentrasi yang jauh lebih rendah dari konsentrasi tersebut. Apabila gangguan berlanjut akan terjadi efek neorologik dan efek-efek lainnya dapat mengakibatkan anemia, dan terhadap syaraf mengakibatkan menurunnya kecepatan konduksi saraf ( Malaka, 1994). Berbagai perubahan anatomi akibat keracunan Pb baik pada sistem syaraf pusat maupun perifer telah banyak dilaporkan. Karena perkembangan Pb ensefalopati lebvih sering ditemukan pada anak dari pada orang dewasa, kebanyakan penelitian dilakukan terhadap pengaruh toksisitas Pb pada sistem syaraf pusat yang terjadi pada masa pertumbuhan anak (Frank, 1991). Telah ditetapkan bahwa Tolerable Weekly Intake adalah 25 μg/kg BB, nilai ini merujuk pada Pb yang berasal dari semua sumber pencemar dan berlaku untuk semua usia. Penentuan nilai tersebut berdasarkan perkiraan penyerapan perhari sebesar 3-4 μg/kg BB pada bayi dan anak dan tidak berasosiasi dengan Pb dalam darah. Sedangkan untuk konsentrasi Pb dalam darah WHO merekomendasikan konsentarsi 20μg/dl untuk semua populasi dengan asumsi rata-rata Pb ambient 0,5-1,0 μg/m3 pertahun (WHO, 1995). Kadar Pb dalam darah adalah merupakan suatu keseimbangan yang dinamis, antara pemaparan, retensi serta pelepasan. Pada pemaparan yang telah berlangsung lama, maka kadar Pb darah tersebut merupakan indikator yang terbaik,lebih dijelaskan bahwa 15 ton Pb yang diemisikan di Los Angeles, didapatkan konsentrasi Pb udara sebesar 2,5 μg/m3, sementara pada kegiatan jam sibuk dan padat lalu lintas, konsentrasi Pb dapat meningkat sampai

201


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

45 μg/m3. Pada penduduk perkotaan kadar Pb darah adalah perkotaan sebesar 20 μg/100 ml, sedangkan pada penduduk pedesaan hanya sebesar 15 μg/100 ml (WHO, 1995). Penelitian Suksmerri tahun 2005, tentang Analisis Lingkungan Kerja pada Bengkel Cat Mobil di Kota Padang, hasil pengukuran lingkungan kimia yakni terhadap partikel (debu) dan logam-logam yang terkandung dalam partikel seperti, Timah hitam (Pb), Kadmium (Cd) dan Krom (Cr), dari 20 lokasi yang diteliti diantaranya 11 lokasi telah melebihi dari baku mutu yang ditetapkan yaitu (Pb = 0,1 mg/m3, Cd = 0,2 mg/m3 dan Cr = 0,1 mg/m3)., dalam hal ini adanya logam Pb di lingkungan udara berdasal dari debu cat mobil. Toksisitas Pb Dosis Tendah terhadap Tingkah Laku Anak Dewasa ini sarana pencegahan pencemaran lingkungan telah berkembang dengan cepat sehubungan dengan ditemukannya tekmnologi industri dan pengurangan penggunaan bahan penyebab pencemaran polutan Pb, termasuk mengurangi kandungan dalam beberapa industri seperti industri cat. Hal ini menyebabkan kasus keracunan Pb secara akut akan berkurang, tetapi kecenderungan keracunan kronis Pb masih merupakan kasus yang perlu diwaspadai ( Darmono,1994). Dalam penelitian Needleman dkk (1979) mempelajari pengaruh kronis toksisitas Pb pada anak umur 6-7 tahun berdasarka analisis kandungan Pb pada giginya yang tanggal dan dikelompokkan menurut besarnya konsentrasi Pb. Konsentrasi Pb diatas 24 ppm Pb dan konsentrasi dibawah 6 ppm Pb, masing-masing sebagaim kelompok kandungan Pb tinggi dan rendah. Hasil tes berdasarkan kecerdasan (IQ) menunjukkan bahwa anak yang kandungan Pb dalam giginya tinggi ternyata kecerdasan (IQ) lebih rendah dari pada yang konsentrasi

Pb rendah. Penelitian selanjutnya dengan mempelajari fungsi dan kebiasaan dan penampilannya di sekolah pada anak umur 6-7 tahun. Ternyata hasil sangat nyata, dimana anak yang mempunyai kandungan Pb tinggi pada giginya menunjukkan resiko dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu mengikuti pelajaran. Anak yang menderita toksisitas Pb kronis tersebut menunjukkan kelemahan daya pikir, lamban, sulit menangkap pelajaran, sulir berkonsentrasi sehingga mereka tidak dapat melanjutkan sekolah ke tingkat lebih tinggi (Needleman dkk, 1990) Walaupun tidak menunjukkan gejala keracunan, tetapi pengaruhnya sangat mengkhawatirkan,baik berupa penurunan neurobihaviour maupun daya intelektualitasnya. Hasil penelitian tersebut masih dalam pertimbangan, karena biasanya anak yang menderita keracunan kronis Pb kebanyakan berasal dari keluarga yang kurang mampu yang dalam kehidupan sehari-hari kurang memperhatikan kualitas lingkungan. Dari studi literatur ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa lingkungan yang mengandung Pb dengan konsentrasi tinggi, dapat berdampak terhadap gangguan kesehatan manusia, seperti halnya terjadi peningkatan kadar Pb dalam darah yang mengakibatkan gangguan terhadap sistem syaraf pusat, dan dapat mengurangi kecerdasan (IQ) bagi anak-anak. Saran yang dapat dikemukakan yakni mengurangi keterpaparan dengan udara yang mengandung Pb berkonsentrasi tinggi, serta lebih memperhatikan dalam pelestarian lingkungan seperti penanaman tumbuhan hijau di sepanjang jalan raya, dimana pohon berperanan dalam mengurangi pencemaran udara, salah satunya adalah partikel yang bersumber dari kendaraan bermotor.

DAFTAR BACAAN Browne D.R., A Husni, Risk M.J.1999. Airbone lead and particulat levels in Semarang.Indonesia and potential health impacks. The Science of the Total Environment. Clarke, M.L., D.G.Harvey. 1981. Lead in: Veterinary Toxicology 2 nd “ The English Language Book Society, Bailliere Tindall. Darmono. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup.UI. Press.jakarta Fran, C, Lu.1997. Toksikologi Dasar.Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko, Edisi kedua. Jakarta Fardiaz, Srikandi.1992.Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius Hariono, B. 1991. A Study of Lead (Pb) levels in animals and the Environment with particular reference to the fruit bat.Thesis pada University of Queensland, Brisbane, Australia Kumar De Anil. 1979.Environmental Chemistry. New Delhi Bangalore Bombay Calcuta : Wiley and Sons. Malaka, Tan.1994. Biomonitoring Proceding Simposium Pantauan Biologik dalam Proteksi Kesehatan Tenaga Kerja. Jakarta :Kedokteran UI. EGC Manahan S.E.1992. Toxicological chemistry. New York :

202

Lewis Publishers. Needleman, H.L., dkk. 1979.Defisit in psichologic and classroom performance of children with elevated dentine lead levels. New England J OF Medicine. Needleman, H.L., dkk. 1979.The longterm effects of exposurto low doses of lead in childhood. New England J OF Medicine Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi logam berat. Penerbit Rineka Cipta. Jakatta Peratutan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Suksmerri .2005. Analisis Lingkungan Kerja pada Bengkel Cat Mobil di Kota Padang. Tesis.Program Studi Ilmu Lingkungan. Pascasarjana.UNP:Padang WHO. 1989. Lead. Environmental Aspects. Environmental Health Criteria 85, Geneva. Widiati, Wiwik. 1994. Pengaruh Gas Buang Kendaraan Bermotor Terhadap Kadar Timbal Darah Pedagang Kaki Lima di Yogyakarta. Yogyakarta: Tesis Program Pascasarjana UGM.


Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret 2008 - September 2008, II (2)

FORMULIR BERLANGGANAN

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama

: ...........................................................................................................................

Alamat

: ...........................................................................................................................

Telepon

: ...........................................................................................................................

e-mail

: ...........................................................................................................................

Bersedia untuk menjadi pelanggan Jurnal Kesehatan Masyarakat dengan biaya Rp. 75.000,00/tahun/2 Edisi (sudah termasuk ongkos kirim). Pembayaran ditransfer ke Rek a/n. PSIKM Fakultas Kedokteran Unand No. Rek. 0132783036 BNI Padang Cabang Imam Bonjol Bukti Transfer berikut Formulir ini dikembalikan ke : Redaksi Jurnal Kesehatan Masyarakat Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Jl. Perintis Kemerdekaan Padang Telp. (0751) 38613

203


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.