Musiclive Magazine #20

Page 17

semu. Karena kesejatian memang tak pernah berpihak pada kefanaan. Kepada sebuah alur yang hanya akan berujung pada kehancuran yang niscaya. Namun kesejatian-keindahan Abadi itu bisa menitis kepada siapa saja yang memiliki tradisi penyadarankesadaran manusia adikodrati (al-Insan al-Kamil) dalam termonilogi Islam, atau Atman dalam Budha, dan Brahman dalam Hindu. “Seorang yang terjaga,” sebagaimana yang disampaikan oleh Siddharta Gautama, adalah ia yang dengan kesadaran penuh memafhumi dirinya sebagai

jasadiah-akaliah-ruhaniah. Seperti Tuhan yang tak pernah usai, manusia pun demikian. Ada sekian gagasan yang masih akan terus bermunculan untuk menjelajahi proyek besar pencarian itu. Manusia takkan pernah berhenti mencari. Kendati kekhasan Manusia Indonesia adalah harga mahal yang sukar untuk ditandingi manusia dari bangsa lain, tapi pencapaian ini pun masih belum cukup. Sebab secara kasat, nyaris sukar menemukan jalan lempang untuk menuju ke arah itu. Kita terpaksadipaksa untuk melalui jalan berliku nan terjal pada hari ini, demi menggapai sebuah harapan tentang kehidupan baru. Menuju “tanah” yang dijanjikan tuhan itu—yang juga menjadi bagian terbesar dari cara kita tercipta. Puisi memang takkan habis mengonggok di tungku peradaban. Kata memang tak mudah menguap jika diproduksi dengan segenap kesadaran tingkat tinggi. Tapi manusia, yang dhaif dan lemah ini, bisa menjadi onggokan peradaban bahkan sampah di lautan kehidupan, jika ia gagal menyadari potensi berlebihnya untuk mengelola apa yang tersedia di dalam dirinya. Mungkin akan ada manusia lain yang kemudian menelurkan gagasan baru untuk penjelajahan ini. Mungkin pula takkan ada. Tapi di balik itu semua, kita jadi tahu bahwa di bawah langit di atas bumi, manusia adalah pemain tunggal. Aktor sejati yang siap jadi apa saja. Jadi setan, malaikat, bahkan tuhan sekali pun. LALU untuk hal itu pula, manusia takkan pernah henti bertanya tentang, AKU:

matanya lelaki bersumur hitam di fis gra bio t ura at, cac gan len berpeta liat di jidatnya, itulah ayahmu.

bagian terkecil dan terbesar kosmos ini. Aku itu kau. Kau adalah mereka. Kalian merupakan sekumpulan aku yang berdiam dalam sunyi. Kekosongan abadi—yang tak menyediakan apa-apa. Mencari “Manusia Indonesia” seperti yang dimaksudkan oleh Radhar, sama peliknya dengan mencari Indonesia dalam manusia. Manusia dan Indonesia, seperti sudah menjadi entitas yang berdiri sendiri. Seolah independen tapi rapuh dan dependen. Maka menjadi wajar jika kemudian kita selalu menemui jalan buntu untuk menawar-melipur kebhinekaan itu. Sebab di darah kita mengalir sungai abadi Yang Mahahidup, Yang Mahamenyeluruh. Hanya ada selembar kemungkinan untuk pencarian itu: terus menjadi dan terus mengada. Aku, adalah pasasi purba yang kerap dilontarkan manusia untuk menegaskan keberadaannya. Kediriannya di semesta tak bertepi ini. Ya, hanya dengan “Aku” itulah kita jadi tahu betapa yang liyan bisa terpahami-terdefinisikan. Setidaknya membuktikan bahwa kita sanggup mengikrarkan sebuah kenyataan sumir. Sebuah keniscayaan yang sejatinya semu. Kita ada sekaligus tiada. Karena kita adalah makhluk multidimensi:

bibir dan perempuan dengan ya ahn waj ro nte sea di ngkangnya, bertukarkatup dengan sela itu ibumu juga. lalu lihat lihatlah air terjun sunyi, di mana kenanganmu mencuci diri berhulu di katup mata berwajah tanpa pasi itu, sebenarnya kandungmu. anak... anakku, cur mobil mainan yang melun itu i kal di ang mb nga me jatuh ti itu, yang jadi perenang seja ternyata dirimu. siapa di antara itu sesungguhnya aku? Reno Azwir musiclive

I 17


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.