ePaper | METRO SIANTAR Online

Page 20

OPINI

4

SABTU

6 April 2013

METRO TAPANULI

Apa Kata Mereka

Metro_tapanuli@yahoo.com

Sikap Kami

Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso Panja akan melaporkan RUU Ormas untuk disahkan pada paripurna. Tapi kalau masih ada yang krusial yang menjadi perdebatan, saya kira Panja harus lapang dada untuk mendengarkan dari semua elemen. Kalau itu tidak dimungkinkan, saya anjurkan kita tunda sampai persidangan berikut,”

Anggota Komisi I DPR Tjahjo Kumolo “Pada awalnya pendapat saya membela korps elite Kopassus, sangat tidaklah mungkin, sebagai pasukan elite TNI yang tugas utamanya membela bangsa negara. Ternyata, ada oknum Kopassus yang belum mampu menahan emosi,”

Kasus Cebongan, Pintu Masuk Revisi Peradilan Militer

Mendengar Koreksi RUU Ormas POLEMIK mengenai rancangan undang-undang organisasi kemasyarakatan (RUU ormas) terus menggelinding. Hal itu tampak dari pernyataan sikap sejumlah ormas dalam keputusan resmi organisasi, diskusi publik, dan demonstrasi. Desakan agar pasalpasal kontroversial segera direvisi begitu kuat. Bila tidak, begitu disahkan jadi UU ormas, ormas-ormas itu telah berancang- ancang mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah dan legislatif selayaknya mendengar suara kritis in Oleh : Biyanto

Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan M Aman Wirakartakusumah “Sekarang setiap kursi akan mendapat setting soal berbeda, sehingga di satu ruang ada 20 setting (soal),”

Ketua Pansus Revisi UU Ormas Abdul Malik Haramain “Asas tunggal sudah tidak ada, kita hapus. Kita ingin redaksi di revisi UU Nomor 8 tahun 1985 tentang Ormas memang asas yang sama dengan UU Parpol,”

M

uhammadiyah ter masuk yang telah bersikap tegas me nolak RUU ormas. Sikap itu diambil karena menurut hasil telaah Muhammadiyah, RUU ormas yang dibahas di DPR dapat membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul serta berpotensi menimbulkan kegaduhan dan instabilitas politik (Jawa Pos, 29 Maret). Dalam pertemuan di Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, setidaknya ada 96 ormas lain yang juga menolak. Sementara, PB NU mengusulkan pembahasan RUU ditunda terlebih dulu hingga ada titik temu, terutama terkait pasal-pasal yang masih diperdebatkan. Sikap beberapa ormas tersebut dapat dipahami karena mereka ingin memastikan bahwa RUU ormas tidak menjadi pemasung. Apalagi, ormas sekelas Muhammadiyah dan NU yang telah banyak berkiprah dan, berusia jauh lebih tua dari negeri ini. Ormas ingin RUU itu menjamin kebebasan berserikat, sementara pemerintah berkepentingan mengendalikan ormas. Dalam perspektif pemerintah,

UU No 8/1985 tentang Ormas dianggap tidak lagi mampu mengikuti perkembangan. Itu karena perkembangan ormas, terutama pada masa reformasi, terasa sangat dinamis dan meriah. Alasan lain yang dimajukan pemerintah adalah keberadaan ormas anarkistis yang sering mengganggu masyarakat dan merongrong kewibawaan pemerintah. Dalam aksinya ormas anarkistis telah memanfaatkan simbol-simbol agama atau simbol negara. Padahal, Jalaluddin al-Suyuthi, ulama besar dan mujadid Islam, menyatakan bahwa tidak semua orang dapat melaksanakan tugas tersebut. Menurut al-Suyuthi, hanya ulama dan penguasa yang dapat bertugas amar ma’ruf nahi munkar. Ulama mengembang tugas itu karena memiliki ilmu, sedangkan penguasa memiliki kekuasaan. RUU ormas juga dirancang untuk mengatur keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik yang didirikan WNI maupun warga asing. Dalam penilaian pemerintah, keberadaan LSM harus diatur agar kiprahnya dapat diselaraskan dengan tujuan pemban-

gunan nasional. LSM yang dikelola orang asing pun harus menunjukkan komitmen untuk kepentingan nasional dan turut menjaga keutuhan NKRI. Regulasi ini dinilai penting, karena diduga kuat banyak LSM yang bekerja tidak untuk kepentingan nasional, melainkan untuk funding agency asing. Jika dicermati secara mendalam dari RUU ormas, paling tidak ada tiga poin yang penting diperhatikan. Pertama, RUU ormas berpotensi menggeneralisasi semua lembaga sosial kemasyarakatan. Itu berarti posisi ormas yang telah berkontribusi luar biasa bagi perjuangan kemerdekaan dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional, seperti Muhammadiyah dan NU, tak berbeda dengan LSM baru. Berkaitan dengan persoalan ini, RUU ormas harus membedakan secara tegas peraturan untuk ormas dan LSM, apalagi ormas asing. Poin ini penting diperhatikan karena Muhammadiyah dan NU dengan ribuan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan pelayanan sosial lainnya memiliki jaringan yang luas mulai pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/desa. Itu berbeda dengan LSM yang hanya menekankan pekerjaan di satu bidang dan bersifat elitis. Karena itu, penyamaan ormas dan LSM jelas sebuah kesalahan yang mendasar. Kedua, RUU ormas membuka peluang munculnya otoritarianisme baru. Apalagi, dalam RUU itu ada ketentuan bahwa Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa

dan Politik (Ditjen Kesbangpol) dapat mencabut izin ormas. Jika itu yang terjadi, akan muncul budaya represif atas nama undangundang. Padahal, kebebasan berserikat dan berkumpul jelas diatur dalam konstitusi. Apalagi, konteks pembuatan UU No 8/1985 dan RUU Ormas jauh berbeda. UU No 8/1985 dibuat suasana rezim otoritarian Orde Baru. Sementara RUU ormas kini disusun dalam suasana demokratis. Karena itu, RUU ormas seharusnya menjamin ormas untuk menampilkan kekhasan asal tidak bertabrakan dengan nilainilai Pancasila dan kepentingan nasional NKRI. Ketiga, RUU ormas mewajiban pencantuman Pancasila sebagai asas bagi setiap ormas. Eloknya, RUU ormas memberikan kelonggaran bagi ormas yang ingin menggunakan asas lain, dengan syarat tidak bertentangan dengan Pancasila. Jika itu yang dilakukan, ormas berbasis agama tidak harus mengganti asasnya dengan Pancasila. Jangan korek lagi trauma sosial dan politik asas tunggal eraOrdebaruyangjustrumenyempitkan keterbukaan ideologi Pancasila. Tak perlu ada tafsir tunggal atas Pancasila dengan mena-fikan indahnya pelangi keragaman yang membentuk Indonesia tercinta. Jika beberapa hal yang berpotensi memicu pertentangan itu kembali didialogkan, rasanya masing pihak, yakni pemerintah, legislatif, dan ormas yang menjadi sasaran RUU, pasti menemukan jalan keluar. Aamin. (*) Penulis adalah Dosen IAIN Sunan Ampel

TERUNGKAPNYA penyerangan yang menewaskan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) IIB Cebongan, Sleman, Yogyakarta, 23 Maret 2013 lalu, oleh 11 oknum Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura, Solo, Jawa Tengah, membuka celah bagi DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Upaya ini sebagai bentuk reformasi di sektor keamanan. Sehingga kejadian demi kejadian yang melibatkan anggota TNI terhadap sipil sebagai korbannya, tidak terus terjadi. TNI mencatat, selama 2012, kasus demi kasus kriminal yang dilakukan oleh anggotanya cukup mencolok. Penganiayaan yang melibatkan prajurit TNI mencapai 355 kasus, terlibat narkoba sebanyak 161 kasus, serta penyalahgunaan senjata api sebanyak 49 kasus. TNI juga mencatat sebanyak 3.634 prajurit terlibat pelanggaran hukum dan sedang diproses. Dari jumlah tersebut, TNI telah menyelesaikan perkara sebanyak 3.298 kasus. Narapidana dan tahanan militer, sisa tahanan tahun 2012 sebanyak 414 orang. Tahanan masuk 1.812 orang, tahanan bebas 1.795 orang. Jumlah tersebut tentu bukan angka kecil, dan akan terus bertambah setiap tahunnya bila penegakan hukum dikalangan militer tidak segera ditertibkan. Karena itu, perlunya DPR merevisi RUU Peradilan Militer, apakah perlu prajurit TNI yang terbukti melakukan tindak kejahatan dapat disidangkan di pengadilan umum. Dengan begitu, masyarakat perlu tahu, dan bagi mereka keterbukaan, transparansi dan juga keseriusan dari aparatur negara, khusus militer tidak lagi jadi barang yang tabu. Selamaini,tindakanparatersangkamasukkategori pidana umum, mereka akan ditangani oleh pengadilan militer. UU Peradilan Militer memang secara tegas menyebutkan, setiap anggota TNI yang melakukan tindak pidana, termasuk pidana umum, diadili di pengadilan militer. Apabila para tersangka tersebut dibawa ke pengadilan militer, dikhawatirkan proses di pengadilan militer tersebut tidak bisa berlangsung secara transparan, terbuka, dan akuntabel. Para pelaku tidak mendapat hukuman yang setimpal. Sehingga,akanmunculimpunitas-impunitasbaru yang kemudian jadi pijakan bagi mereka untuk membuka kemungkinan terjadinya hal yang sama di masa mendatang. Padahal, seharusnya adalah dapat memberikan efek jera terhadap pelakunya. Dalam kasus Cebongan ini, diharapkan proses hukum ini tuntas dalam waktu singkat dan juga transparan. Terlebih, korban dari aksi brutal pasukan baret merah ini menyangkut korban sipil. Bila sudah demikian, akan semakin jelas bahwa reformasi TNI yang sudah berjalan maju, betul-betul berjalan, tidak jalan ditempat atau tidak tuntas sama sekali, seperti yang sering di gaung-gaungkan oleh para petinggi TNI pascareformasi. Lalu, akankan kasus Cebongan ini, dengan 11 tersangka oknum anggota Kopassus dapat diadili dan disidangkan secara terbuka dan transparan, pelaku yang bersalah harus dilakukan pemecatan atau hanya sekedar hukum disiplin saja? Kita tunggu saja. (*)

LOWONGAN KERJA Kami lembaga keuangan yang Non Bank yang bergerak di bidang simpan pinjam yang bekerja sama dengan Beberapa Bank terkemuka dan PT Pos Indonesia Persero membutuhkan karyawan/ti untuk di tempatkan di SIBOLGA dengan posisi sebagai:

KARYAWAN PELAKSANA

Persyaratan: 1. Pria/Wanita Usia Min 20 tahun 2. Pendidikan Terakhir Min SMA/SMK 3. Berpenampilan Menarik 4. Dapat bekerja dengan baik,Jujur,Teliti dan bertanggung jawab 5. Mampu mengoperasikan Komputer 6. Berwawasan Luas,Komunikatif 7. Berpengalaman lebih dibutuhkan Lamaran diterima paling lambat 2minggu setelah iklan ini diterbitkan, Dengan melampirkan FC KTP,FC Ijazah Terakhir,Pas foto 3X4 Dua(2) Lembar dan daftar riwayat hidup Hanya Lamaran yang dikirim melalui pos yang akan diproses

Nasari Simpan Pinjam KCP Sibolga Jl. Brigjen Katamso No.16 D Sibolga Telp. 0631-21341


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.