EUROTRIP - on board

Page 1

ON BeOi A20R10D 12 M

Milano Stazione Centralea Verona Porta Nuova Kali ini saya tidak bingung mencari nomor kursi lagi. Tiket kereta reguler kelas ekonomi Trenitalia tidak bernomor kursi alias silakan pilih sendiri. Untunglah gerbong yang saya naiki masih memiliki banyak kursi kosong sehingga saya bisa leluasa memilih. Saya pilih yang di dekat pintu keluar supaya nggak terlalu repot jika nanti turun. Saya sengaja menggunakan kereta reguler untuk perjalanan kali ini. Alasannya sederhana saja, yaitu karena sewaktu ke Brussel dan Amsterdam saya sudah menggunakan kereta ekspres, baik yang kelas dua maupun kelas satu. Sekarang saatnya mencoba kereta Eropa kelas reguler yang tarifnya separuh lebih murah daripada kereta ekspres. Tiketnya seharga â‚Ź9 (Rp108.000,00), sedangkan kereta ekspres

131


seharga €17,50 (Rp210.000,00) untuk gerbong kelas dua. Jika menggunakan gerbong kelas satu kereta ekspres, tarifnya €23,50 (Rp282.000,00) dan jika menggunakan kereta reguler kelas satu, tarifnya €13,55 (Rp162.600,00). Kalau orang Jawa bilang, “ono rego ono rupo” (‘beda harga beda wujudnya’), kereta reguler Eropa ini pun terasa betul perbedaannya dengan kereta ekspres. Perbedaan yang paling terasa adalah soal waktu tempuh dan kenyamanan di dalam kereta. Waktu tempuh Milan–Verona dengan kereta reguler adalah 2 jam kurang 5 menit, sedangkan dengan kereta ekspres hanya 1 jam 20 menit perjalanan. Hal itu disebabkan hampir di setiap stasiun kereta reguler berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang. Kursi kosong di depan saya pun silih berganti penumpang. Setidaknya empat kali berganti penumpang. Menilik penam­ pilannya, mereka berasal dari etnis dan kelas sosial yang ber­ beda. Hhmmm, kereta kelas ekonomi justru membuat saya bisa mengenal lebih dekat warga kelas menengah ke bawah. Berbeda dengan kereta ekspres yang penuh kenyamanan dan membuat penumpang cenderung menjadi tak peduli. Penumpang pertama yang menduduki kursi kosong di depan saya adalah seorang lelaki paruh baya mengenakan jas. Dia naik di stasiun berikut setelah kereta bergerak me­ ning­galkan Milan pukul 18.25. Ketika lelaki berpakaian rapi itu turun, kursi kosong di depan dan samping saya segera diisi oleh dua pemuda berkulit gelap, rambut keriting, dan bajunya lusuh. Sepertinya dua migran ini kaum buruh rendahan. Atau malah preman? Di sepanjang perjalanan duduk di antara dua pemuda lusuh itu membuat saya sedikit merasa tak nyaman. Takut

132


jika tiba-tiba dia menodongkan pisau lipat dan meminta uang Euro saya. Duh! Buru-buru saya usir pikiran negatif itu dengan menghubungi Laura, host saya di Verona, untuk mengabarkan bahwa kereta akan tiba di Verona pada pukul 20.20. Dia sudah berjanji akan menjemput saya di stasiun. Untunglah setengah jam kemudian, di sebuah stasiun, dua pemuda lusuh itu berdiri dan turun. Saya menarik napas lega dan meluruskan kaki. Tempat duduk saya lengang kembali. Tapi sejurus kemudian, ketika kereta mulai bergerak meninggalkan stasiun, seorang gadis negro bertubuh gendut (lebih gendut dari saya) tersenyum pada saya seraya menjatuhkan pantat足 nya di kursi depan saya. Penampilannya agak modis lengkap dengan aksesori gelang dan anting segede gelang. Di sepanjang perjalanan dia tampak sibuk dengan ponselnya, menulis pesan pendek dan menelepon dengan nada ceria penuh tawa. Gadis modis itu turun di stasiun berikutnya dan digantikan dengan lelaki paruh baya yang duduk di depan saya hingga Stasiun Verona Porta Nuova.

133


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.