Atstsabat edisi III Juli 2013

Page 1

Gambar sekelompok anak SD tengah menyatukan tangan memikat di mata saya. Sepadan dengan judulnya, Pendidikan Nilai-nilai Antikorupsi. Buku yang ditujukan untuk siswa SD kelas 5 itu menggelitik rasa ingin tahu saya lantaran tim yang mengerjakannya didominasi oleh guru-guru dari agama tertentu. Hanya satu nama dari sekolah Islam. Secara umum, buku ini dikontribusi oleh sebuah yayasan nonIslam.

Bila parameternya soal kejujuran dan antikorupsi, tidak masalah sebenarnya siapa saja yang mengerjakan isi buku untuk anak-anak SD itu. Kalau kemudian ada bias-bias yang bisa mengurangi kekentalan ekspresi simbol kalangan mayoritas, ini konsekuensi. Bagaimana bisa imbang wong satu guru penulis dikelilingi puluhan koleganya yang berbeda agama tapi beratap di satu yayasan?

Sebagaimana umumnya proyek pengadaan, siapa saja bisa masuk untuk ikut. Dalam konteks ini, yayasan tersebut yang terpilih memenangi untuk mengerjakan proyek buku bagi siswa SD. Di sini faktor agama tidak relevan dikaitkan dengan para komisioner KPK. Betapa tidak, nama-nama yang ada setahu saya semuanya Muslim. Kalaupun ada celah yang memenangkan (atas pertimbangan objektif) pastilah ada di tingkat level menengah di KPK. Di periode awal KPK, terbitanterbitan soal antikorupsi setahu saya masif dikerjakan ormas Islam. Tidak berarti di periode sekarang kalangan Islam seakan ditinggalkan. Sementara kita, kalangan Muslim, lebih baik mengevaluasi diri. Mengapa untuk pendidikan nilai antikorupsi sampai harus pihak minoritas yang proaktif membuat atau menghasilkan karya lebih baik? Menyebut mereka lebih baik tentu perlu pembuktian. Adanya kesamaan keagamaan yayasan itu dengan level menengah pejabat di KPK yang berwenang pihak mana yang layak diserahi proyek, kita abaikan dulu. Harus diakui, penanaman antikorupsi di tubuh umat Islam masihlah pas-pasan. Entah mengapa, syariat yang dimiliki tidak sebanding dengan pelaksanaan oleh umat. Bukti nyata, banyak pejabat didakwa atau disangka korupsi adalah dari pemeluk Islam. Karena mayoritas, mayoritas pulalah pelaku korupsi dari kalangan umat. Ini

bicara kuantitas. Soal nominal nanti dulu. Skandal BLBI melibatkan kalangan etnis tertentu umumnya. Meski tampak belasan orang saja namun uang negara yang dirampok jauh berlipat dari korupsi yang diperbuat anasir pemeluk Islam. Ini bukan untuk membandingkan soal kejahatan. Sama-sama jahat tapi kita harus objektif melihat fakta yang ada. Sebagai mayoritas, wibawa orang Islam—suka ataupun tidak—akan tergerusi lantaran perilaku korupsi. Bukan hanya soal mencuri uang jutaan, tapi juga korupsi dalam arti luas. Waktu, curi-curi di lampu merah, dan pelbagai bentuk ketidakdisiplinan, umat Islam banyak melakukannya. Sudah, akui saja sebelum menuding umat lain juga berlaku sama. Ya, kredibilitas kita bicara soal nilai sepertinya terkikis. Ini problem internal kita, selaku mayoritas. Karena ketidakkredibelan itulah kita sampai haru ‘meminta’ atau ‘mempersilakan’ umat lain untuk menuliskan pengajaran nilai yang bagi kita sudah tidak asing lagi. Metode sebaik apa pun sebenarnya akan berujung gagal bila tidak dijalankan. Termasuk isi buku ajar siswa SD. Terkait soal internal ini, akhirnya pihak di luar memanfaatkan kelemahan ini. Jadilah kita disetir dan dikendalikan. Seolah untuk bicara topik tertentu ada yang lebih pantas di luar kalangan mayoritas. (diambil dari yusufmaulana.com)

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

1


KAMMI, FSLDK, dan BEM Sumsel Seru Dunia Tolak Kudeta Mesir

Menyikapi isu Mesir beberapa pekan terakhir, beberapa mahasiswa berbagai kampus kampus di Sumsel yang tergabung dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Sumatera Selatan, Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Sumatera Selatan serta BEM Se-Sumsel (BEM SS) melakukan aksi solidaritas mendukung penegakan demokrasi serta penolakan terhadap kudeta di

Mesir (30/7). Aksi yang dimulai setelah shalat Ashar tersebut berlangsung damai. Start dari pelataran Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin I Palembang, aksi kemudian berlanjut di Bundaran Air Mancur. T au fi k, Presi d en Mahasiswa Universitas Sriwijaya menyampaikan dalam orasinya bahwa dunia harus membuka mata terhadap peristiwa kudeta dan pembantaian di Mesir. Amerika Serikat yang selama ini katanya menjadi penjaga demokrasi hanya diam saja dan terkesan merestui kudeta yang terjadi. Aksi juga diwarnai dengan long march, peserta aksi berjalan mulai dari Bundaran Air Mancur Masjid Agung sampai ke Bundaran Pasar Cinde. Di pasar Cinde, peserta aksi melaksanakan shalat ghaib secara berjamaah. Koordinator Aksi Bobi Sugara dalam pernyataan sikap menyampaikan

bahwa KAMMI Sumsel, FSLDK Sumsel dan BEM seSumsel mengutuk keras aksi kudeta dan pembantaian demonstran pro demokrasi dan anti kudeta oleh militer Mesir. Bobi juga mengajak seluruh rakyat Indonesia selaku warga dunia yang demokratis untuk mengutuk sikap agresif dan pembantaian di Mesir. Tuntutan yang tak kalah penting adalah mendesak pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden SBY melalui Menteri Luar Negeri untuk mengambil sikap tegas dan berperan aktif dalam menyuarakan tragedi kemanusiaan dan pelanggaran HAM di Mesir. “Kita berhutang pada Mesir, hutang kita adalah hutang sejarah kemerdekaan sebab Mesir-lah negara berdaulat yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia,” pungkasnya.(kabarmusi.com)

KAMMI ACEH Salurkan Bantuan ke Gayo Relawan KRC (KAMMI Reaksi Cepat) KAMMI Aceh menyalurkan langsung bantuan untuk korban bantuan gempa Gayo di Aceh Tengah pada tanggal 26 Juli 2013. “Kehadiran Relawan KRC KAMMI Aceh ini merupakan wujud kepedulian kaderkader KAMMI di Aceh dan Seluruh Indonesia atas Musibah Gempa di Gayo”, Ujar Ketua Sosmas KAMMI Aceh Fajri. Sepuluh Relawan KRC KAMMI Aceh melakukan kegiatan Penyaluran Bantuan Pembangunan Fisik, Bantual Perlengkapan sehari-hari, dan Rehabilitasi Mental anak korban Gempa. Posko KRC KAMMI Aceh berpusat di Simpang 4, Rajawali, Kabupaten Bener Meriah. Selama Lima hari, KRC KAMMI Aceh melakukan Pembangunan Sekolah Darurat di MIN Rataeli bekerja sama dengan PKPU Aceh yang hancur total karena gempa. Selain itu, KRC KAMMI ACEH juga melakukan kegiatan trauma healing untuk anak-anak, lomba mewarnai dan menggambar, lomba menulis puisi untuk ibu, buka puasa bersama serta kajian islam dan tahsin Alquran untuk ibu-ibu pengungsi. Di desa Cekal, Relawan KRC membantu pembangunan rumah korban

Trauma Healing Anak Korban Gempa

Gempa yang rumahnya hancur total. Selain itu. KRC Aceh juga menyalurkan bantuan keperluan alat sekolah, perlengkapan sholat dan uang kepada masyarakat di Desa Cekal, Rataeli dan Blang Moncong. Penyaluran ini merupakan penyaluran tahap kedua setelah sebelumnya Penyaluran di Aceh tengah. KAMMI Aceh telah berhasil mengimpun dana 40 juta rupiah dari kader dan berbagai pihak. Kedepan, KRC KAMMI Aceh menargetkan akan terus mela-

kukan penggalangan bantuan hingga masa rekonstruksi selesai. Dalam menanggapi proses rekonstruksi yang belum siap ini, KRC Kammi juga memprogramkan desa Bah menjadi desa binaan KAMMI Komisariat Aceh tengah, sebagai tindakan tindak lanjut pasca gempa dan relokasi, sehingga kedepan masyarakat yang belum terbantu dan belum mandiri dapat segera ditindaklanjuti. (*) www.anabawia.com

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

2


T A N TA N G A N U M AT I S L A M Nama Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) tentu tidak asing lagi di telinga para pembelajar muslim. Langgengnya nama penerima gelar kehormatan Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Kairo ini salah satunya disebabkan banyaknya buah karya yang masih menjadi rujukan dalam berbagai studi. Sebut saja kitab Tafsir Al-Azhar yang fenomenal itu. Kemudian, masih ada pula beberapa karya yang selalu diminati hingga kini. Adapun keseluruhan karya pemikiran Buya Hamka (panggilan akrab Hamka) sebenarnya jauh melampaui yang sudah dibukukan. Jam terbang mengisi ceramah, seminar, dan pertemuan lain yang sulit dihitung tentu mengharuskan Buya menulis banyak makalah. Buku “Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam” ini adalah satu di antara buku Buya Hamka yang disusun dari kompilasi makalah dalam berbagai forum. Diterbitkan oleh Pustaka Panjimas pada 1982 (cetakan pertama) buku yang tergolong tipis dengan jumlah halaman 92 ini mengajak kita berefleksi mengenai tantangan yang kini dihadapi umat Islam, utamanya tantangan perang pemikiran (ghazwul fikri). Ada delapan subjudul dalam buku ini. Namun, kalau dipetakan, menurut hemat saya, terdapat empat bahasan besar dalam buku yang telah mengalami cetak ulang pada Maret 1984 ini. Bagian pertama mengkaji secara teliti tentang makna, sebab, dan implementasi ghirah yang benar. Secara eks p li s i t d is ebu tka n o leh B u ya bahwa ghirah (kecemburuan) itu ibarat

hanya bagi seseorang, khususnya seorang muslim. Menurutnya, dengan ghirah lah dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar akan tetap hidup. Dengan ghirah pula kehormatan seorang muslimah akan terjaga. Jika ada pihak yang secara sengaja berusaha mengganggu keduanya (agama dan wanita), maka ghirah kita harus mendorong kita untuk berbuat sesuatu. Demikian kurang lebih pesan yang ingin Buya sampaikan dalam topik bahasan pertama. Berlanjut ke bagian kedua, Buya memberi label “Al-Ghazwul Fikri”. Menurut hemat saya, jika menelaah keseluruhan risalah buku ini agaknya bahasan bagian ini yang menjadi poin utama. Hal ini disimpulkan dari beberapa pernyataan Buya Hamka pada tiga bahasan lain yang ternyata mengaitkan dengan temaghazwul fikri. Pada bagian awal bahasan kedua ini, Buya simpulkan bahwa yang dimaksud ghazwul fikri ialah sebagai berikut: “suatu tehnik propaganda hebat, melalui segala jalan, baik kasar maupun halus, baik secara kebudayaan atau secara ilmiah, agar cara Dunia Islam berfikir berubah dari pangkalan agamanya dan dengan tidak disadarinya dia berfikir bahwa jalan benar satu-satunya supaya orang Islam maju, ialah dengan meninggalkan Fikiran Islam” (hal.29) Selanjutnya, Buya Hamka berpendapat bahwa biang dari ghazwul fikri ialah paham yang memisahkan antara agama dan negara (sekularisme). Intinya, sekularisme hendak menyeru seperti ini: “Kalian boleh menyebut Islam tetapi jangan Islam yang diajarkan Rasul, jangan Daulah Islamiyah, jangan Syari’at Islam. Dan kalian boleh juga duduk dalam pemerintah asal Islam itu kalian simpan jangan kalian perjuangkan. Hendak harta kami beri harta hendak pangkat kami beri pangkat tetapi kekuasaan tidak ada di tangan kalian” (hal. 34) Kemudian, bagian ketiga Buya menyoroti fenomena pergaulan bebas yang mulai merebak di kalangan umat Islam Indonesia. Tentu bahasan ini sekarang

lebih ko n-

tekstual lagi, bukan? Kata Buya Hamka persoalan ini layak menjadi PR bersama, sehingga dia membuat tajuk “Untuk Kita Fikirkan Bersama” dalam mengkaji persoalan ketiga ini. Mulai dari membahas tentang amat terlarangnya pebuatan zina, perintah menjauhi sarana yang mendekati zina, hingga solusi yang ditawarkan komplet disajikan oleh Buya. Adapun pada bagian akhir, Buya mengetengahkan kajian tentang “Siri”. Siri yang berarti “harga diri” atau “rasa malu” ini adalah kata yang biasa dipakai masyarakat Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja di Sulawesi Selatan. Pengalaman Buya tinggal di daerah tersebut selama tiga tahun (19311934) mengilhami topik ini. Singkatnya, Buya Hamka menilai budaya “siri” yang sudah tumbuh di sana sejatinya akan lebih bagus manakala dibingkai dengan nilai Islam. Artinya, jangan sampai dalam rangka membela harga diri kita melakukan suatu hal secara membabi buta. Terakhir, saya ingin menyampaikan apresiasi tinggi terhadap karya salah satu pemikiran pahlawan nasional kita ini. Dalam bahasa yang lugas, ringkas, namun bernas buku ini sepertinya akan berhasil membagi keresahan penulis tentang tantangan terhadap umat Islam. Hanya saja, sebagaimana karya Hamka lainnya, penggunaan bahasa Indonesia yang kental citarasa Melayu mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi pembaca ketika mencerna buku ini. Namun, diksi dalam beberapa bagian buku ini yang agaknya sengaja dibuat berima khas karya seorang sastrawan menambah nilai keunggulan lain. (Resensi oleh Nur Afilin, KAMMI Komsat Madani)

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

3


Di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan seperti di Indonesia? Nahdlatul Ulama (NU) dan para penganut mazhab ahlusunnah waljamaah (aswaja) mengenalnya dengan istilah “tasamuh“ dan masyarakat Indonesia kebanyakan memaknainya dengan istilah “toleransi“ Di kalangan NU, bersi-

diterima, salah satu sebabnya karena mampu berinteraksi dengan lingkungan secara damai. Istilahnya, berakulturasi dengan sehat. Bukan karena meyakini suatu kebenaran lalu menutup pintu munculnya tafsir berbeda atas kebenaran tersebut. Islam, karena itu, amat kuat menjunjung sikap tasamuh agar dapat menjadi solusi dan alternatif. Demikian juga yang

mun belakangan, karena sifatnya yang tidak tasamuh dan rigid serta terus mengklaim kebenaran hanya datang dari “pihaknya”, maka paham transnasional yang datang bergelombang sejak era reformasi, telah menyebabkan keresahan di beberapa daerah. Kalau sebatas menyampaikan ajakan, tidak menjadi masalah. Urusan berubah menjadi masalah karena

Indonesia:Surga Toleransi fat dan bersikap tasamuh bukan semata pilihan organisasi, tetapi sudah menjadi “laku“ yang melekat dalam kehidupan umat sehari-hari. Sifat tasamuh dalam bermuamalah dijadikan landasan. Bahkan, ketika teks-teks keagamaan mengenai muamalah tumbuh dalam praksis kemasyarakatan, sikap tasamuh didahulukan dibanding sikap-sikap positif lainnya. Begitu kuatnya sikap tasamuh itu dalam praktik kehidupan sehari-hari, hingga muncul kesan seolah-olah mereka yang bersikap tasamuh sama dengan bersikap abu-abu alias tidak jelas. Padahal, di situlah inti kehidupan. Ajaran Islam bisa

terjadi di tengah-tengah kita. Begitu biasanya bangsa ini bersifat tasamuh, hingga bermacam-macam “ideologi“ boleh tumbuh dan berkembang di negeri ini dengan bebas. Namun begitu, ketika berkaitan dengan urusan prinsip, seperti masalah akidah keyakinan atau hal-hal yang mengancam konstitusi, maka bersikap toleransi dalam keyakinan dan pandangan menjadi tidak pada tempatnya. Ketika Orde Reformasi bergulir, keran kebebasan terbuka lebar sehingga beragam ideologi juga bebas masuk. Situasi ini membuat Indonesia seperti pasar bebas yang kaya akan pilihan. Na-

mereka mengusung ajaran yang menyebut keyakinan “penduduk“ asli sebagai ajaran sesat. Mereka bahkan menyediakan neraka bagi yang berada di pihak lain. Dalam beberapa kasus, mereka malah mencaplok masjid yang sudah sekian lama menjadi tempat berbadah penduduk asli mazhab tasamuh. Mengambil sebagian ajaran Islam dan memasukkan ajaran lain yang bukan dari Islam. Tindakan semacam ini yang lantas mengganggu harmoni sosial yang sudah biasa bertasamuh. Di satu-dua daerah, pemaksaan keyakinan dan kebenaran ini memunculkan

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

4


KH. Hasyim Muzadi. foto: vivanews aksi membela diri yang kadang berbau kekerasan. Ahmadiyah salah satu contoh dan GKI Yasmin, Bogor, contoh lainnya. Begitulah kehidupan penuh toleransi itu berlangsung selama ratusan tahun. Paling kurang, ada beberapa agama yang mendapatkan pengakuan negara. Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu, dan belakangan Kong Huchu, adalah contohnya. Kalau demikian, di mana di punggung bumi ini ada negara yang demikian toleran sehingga umat dari beragam agama bisa hidup berdampingan? Jangan hanya gara-gara kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin, para kolonialis mengutuk kita negara yang intoleran dalam beragama. Menjadi tidak beralasan jika sidang PBB di Jenewa, Swiss, lantas menuding Indonesia sebagai tidak toleran dalam praktik keberagamaan sehari -hari. Sebenarnya, tahukah mereka tentang toleransi di Indonesia? Tahu apa mereka soal Ahmadiyah di Indonesia dan kasus GKI Yasmin? Penulis sungguh sangat menyayangkan tuduhan intoleransi agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena ada laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, penulis belum bertemu negara Muslim setoleran Indonesia. Bagaimana bisa mereka mengukur kehidupan keagamaan kita sementara mereka menggunakan ukuran yang tidak pas dan bahkan menyiapkan ukuran dengan desain mereka sendiri. Oleh sebab itu, penting dipertanyakan

ukuran intoleransi beragama yang dituduhkan oleh peserta sidang PBB di Jenewa Swiss. Kalau ukuran yang dipakai semata masalah Ahmadiyah, memang sejatinya Ahmadiyah sendiri telah menyimpang dari pokok ajaran Islam. Namun, mereka selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam Indonesia. Sementara kasus GKI Yasmin Bogor, Jawa Barat, juga tidak bisa dijadikan ukuran Indonesia intoleransi beragama. Penulis berkali-kali berkunjung ke lokasi (GKI Yasmin), namun tampaknya mereka memang tidak ingin masalahnya selesai. Mereka lebih suka Yasmin jadi masalah nasional dan dunia daripada masalahnya selesai. Kalau ukurannya pendirian gereja, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. Jika yang dijadikan ukuran adalah protes konser Lady Gaga dan feminis Irsyad Manji, maka tidak ada bangsa di dunia ini yang mau tata nilainya dirusak orang lain. Tidak ada bangsa manapun yang ingin tata nilainya

dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan intelektualisme kosong. Kalau ukurannya HAM di Papua, mengapa TNI, Polri, dan imam masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM? Indonesia lebih baik toleransinya ketimbang Swiss yang tidak memperbolehkan pendirian menara masjid. Indonesia lebih baik dari Prancis yang terus mengurus jilbab, dan lebih baik dari Denmark, Swedia, dan Norwegia yang tak menghormati agama karena di sana ada UU perkawiman sejenis. Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis? Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia dan kaum Muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar humanisme dan mana yang sekadar Westernisme? Sungguh disayangkan penilaian sejumlah delegasi negara anggota Dewan HAM PBB yang menyebut Indonesia intoleran dalam beragama dalam sidang tinjauan periodik universal II (Universal Periodic Review UPR) di Jenewa, Swiss. Wallaahu a'lamu bish-showaab.[] Ditulis Oleh KH Hasyim Muzadi yang dimuat di REPUBLIKA (edisi cetak Ahad 3/6/12)

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

5


Kudeta Mesir dan Prospek Demokratisasi di Dunia Islam Oleh: Andriyana (Ketua Umum Pengurus Pusat KAMMI) PADA tanggal 3 Juli 2013, secara mengejutkan masyarakat Internasional mendapatkan kabar duka: Kudeta baru saja terjadi Mesir. Presiden yang terpilih secara demokratis di pertengahan tahun 2012 lalu, Mohammad Morsy, diambil alih kekuasaannya secara paksa. Militer menunjuk pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Adly Mansour. Penggulingan kekuasaan oleh militer ini segera mendapatkan respons dari kelompok pro-Morsy. Rangkaian demonstrasi telah digelar sejak hari Jumat di Rab’ah al-Adawea, Nasr City, Alexandria, dan beberapa titik lain. Sementara itu, demonstrasi anti-Morsy berpusat di Tahrir Square dan beberapa titik lain. Gerakan tersebut berada di bawah beberapa payung, seperti National Salvation Front pimpinan Mohammad ElBaradei dan Hamdeen Sabbahi, atau Tamarrud yang diinisiasi oleh eksponeneksponen Kifaya.

PROBLEM DEMOKRATISASI Jatuhnya pemerintahan yang terpilih dari Pemilu paling demokratis pertama di Me-

sir ini menjadi sebuah preseden buruk pada proses demokratisasi yang berlangsung di Timur Tengah. Kembalinya militer dalam politik adalah cermin dari rapuhnya infrastruktur demokrasi di Timur Tengah, khususnya Mesir. Analisis Alfred Stepan dan Juan J. Linz (2013) melihat bahwa struktur militer yang tidak professional di Mesir –yang didukung oleh political discontent yang mewarnai Mesir dalam satu tahun terakhir –menyebabkan sangat rawannya proses demokratisasi terganggu. Analisis ini kemudian menjadi kenyataan ketika kudeta terjadi di bulan Juni 2013. Dalam beberapa kajian tentang proses demokratisasi yang terjadi di negaranegara dunia ketiga, termasuk Indonesia, setidaknya ada beberapa syarat dilangsungkannya proses demokratisasi yang matang. Pertama, militer yang professional dan tidak lagi memiliki hasrat untuk kembali dalam politik. Kedua, pelembagaan politik yang matang, salah satunya Pemilihan Umum yang terjadwal, bebas dan demokratis. Ketiga, adanya penopang masyarakat sipil yang kuat yang menopang proses demokratisasi melalui grass-root initiatives. Militer yang professional adalah prasyarat paling utama dari proses demokratisasi di negara-negara yang baru saja keluar dari otoritarianisme. Selama bertahun-tahun, Mesir berada di bawah rezim yang mencampur-adukkan posisi ‘militer’ sebagai penjaga keamanan negara dengan kekuasaan politik yang mengatur hajat hidup masyarakat banyak. Akibatnya, posisi militer sering disalahgunakan untuk menjaga kekuasaan politik tertentu (praetorian guard). Oleh sebab itu, militer harus berada di bawah kontrol sipil; salah satunya dengan melakukan normalisasi anggaran militer dan menempatkan Kementerian Pertahanan berada di bawah komando sipil. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dalam proses transisi menuju demokratisasi.

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

6


Agenda berikutnya adalah membangun institusi demokrasi seperti Pemilu dan Partai Politik. Mesir sudah membentuk ini pada tahun 2012, yang mendudukkan Freedom Justice Party (FJP) sebagai pemenang Pemilu dan Mohammad Morsy sebagai Presiden terpilih. Institusionalisasi tersebut kemudian dilanjutkan melalui pembentukan Konstitusi baru yang berhasil disahkan melalui proses referendum di akhir tahun 2012. Prosesproses demokratisasi semacam ini adalah sebuah bentuk konsolidasi menuju pematangan demokrasi di Mesir. Oleh sebab itu, proses ini harus dilanjutkan tanpa intervensi politik dari kekuatan manapun, termasuk militer. Selain itu, proses demokratisasi juga harus ditopang oleh kekuatan masyarakat sipil yang kuat. Kekuatan masyarakat sipil ini perlu menempuh upaya-upaya legal, formal, dan konstitusional untuk melakukan grass root initiatives. Oleh sebab itu, salurannya bukan lagi sekadar ‘demonstrasi’ atau upayaupaya penggulingan kekuasaan, melainkan melalui pelibatan-pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Kudeta militer di Mesir akan menghancurkan tiga fondasi besar dari demokratisasi tersebut, sehingga akan menjadi catatan dari proses demokratisasi yang sekarang sedang berlangsung. Kudeta militer tidak saja mengembalikan militer ke dalam proses politik yang sangat tidak demokratis, tetapi juga memberangus lembaga-lembaga demokrasi dan masyarakat sipil yang ada. Oleh sebab itu, kami berkesimpulan bahwa proses kudeta militer yang terjadi saat ini sangat kontraproduktif dengan proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Mesir. DAMPAK BAGI DUNIA ISLAM Kudeta yang terjadi di Mesir pada tanggal 3 Juli 2013 ini tidak hanya memberikan dampak pada Mesir dan Timur Tengah, tetapi juga berdampak

pada dunia Islam secara keseluruhan. Kami melihat beberapa dampak ini sebagai berikut. Pertama, Mesir adalah negara yang baru saja mengalami transisi menuju demokratisasi. Kudeta Militer, disadari atau tidak, akan memberikan dampak pada terhambatnya proses-proses transisi menuju demokratisasi yang tidak hanya terjadi di Mesir, namun juga seluruh dunia Islam lain. Sebab, harus diakui, Mesir-lah negara terbesar di dunia Islam yang mengalami proses demokratisasi dan mendudukkan Presidennya dari proses Pemilu yang jujur dan adil. Oleh sebab itu, kudeta akan berdampak pada proses demokratisasi di negara-negara lain di dunia Islam. Kedua, Mesir adalah salah satu

potret keberhasilan gerakan Islam dalam ‘berdamai’ dengan demokrasi. Mengutip analisis Asif Bayat (2007), gerakan-gerakan Islam saat ini tidak lagi menampilkan ‘kekerasan’ sebagai media artikulasi, namun lebih mengedepankan demokrasi, HAM, dan jalan-jalan damai sebagai artikulasi politik. Hal ini mestinya disambut sebagai kemajuan bagi hubungan antara Islam dan Barat yang sempat mengendur sejak 9/11. Akan tetapi, kudeta militer memutus tren positif ini dan mengembalikan Mesir ke dalam bayang-bayang otoritarianisme. Ketiga, Kudeta yang terjadi di Mesir akan berdampak pada semakin memanasnya ketegangan antara pihak oposisi dan gerakan Islam. Melihat tren demonstrasi baik dari kubu pro dan anti-Morsy, ada kecenderungan kedua kekuatan untuk melakukan show of force. Kondisi semacam

ini jelas kontraproduktif bagi masa depan Mesir dan dunia Islam pada umumnya. Jika tidak ada proses rekonsiliasi nasional, pola-pola semacam ini akan berujung pada pertumpahan darah yang, tentu saja, tidak diinginkan oleh dunia Islam. Sehingga, kudeta militer yang terjadi justru akan berdampak banyak terhadap dunia Islam. Ironisnya, Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa yang dikenal mengusung demokrasi dan HAM justru tidak memberikan penolakan terhadap kudeta yang terjadi. Padahal, menurut catatan Human Rights Watch, terjadi pelanggaran atas hak-hak perempuan di Lapangan Tahrir. Sikap ambigu AS dan UE ini perlu dikritisi sebagai sikap yang tidak konsisten dan memberikan standard ganda. Pengalaman Indonesia dalam mengalami proses transisi menuju demokrasi di tahun 1998 hingga saat ini menunjukkan bahwa proses demokratisasi bisa berjalan lancar, asalkan militer tidak turun tangan. Kemauan semua pihak untuk melakukan political crafting –dialog dan rekonsiliasi nasional—akan sangat penting. Indonesia bisa menggunakan cerita sukses proses demokratisasi tersebut untuk mendorong dialog dan rekonsiliasi nasional di Mesir, melalui struktur perangkat diplomasi yang dimiliki oleh pemerintah. S eba g a i ba g ia n ta k terpisahkan dari dunia Islam. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menyatakan keprihatinan atas kudeta militer yang terjadi di Mesir beberapa hari yang lalu dan menyatakan solidaritas atas kekuatan umat Islam yang berjuang untuk Mesir yang demokratis. KAMMI mendorong seluruh elemen umat Islam, terutama di Indonesia, untuk dapat mendorong penyelesaian masalah ini. Minimal, memberikan doa kepada rakyat Mesir agar segera memperoleh jalan penyelesaian dari krisis yang melanda mereka.***

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

7


B E L A JA R

Bulletin Ats-Tsabat adalah Bulletin Komunitas Group KAMMI Lintas Generasi. Dibuat untuk dibaca dan disebarluaskan secara Gratis. Untuk beraprtisipasi mengirim tulisan, mendownload, dll, silahkan kunjungi & bergabung di : www.facebook.com/groups/ kammilintasgenerasi/

DA R I BU RU N G P I P I T

Ketika sore hari menampakan semburat senja di ufuk barat memaksa orang untuk kembali pulang bertemu dengan hangatnya senyuman anak dan istri, mengisi kembali rongga-rongga jiwa yang sudah menipis terkoyak lelah aktivitas seharian. Hampir setiap orang berfikir untuk pergi pagi pulang sore , seperti halnya burung pipit yang keluar pagi hari untuk mengisi perutnya yang kosong dan pulang ke sarangnya di sore hari dengan perut yang kenyang. Tak jauh beda dengan aktivitas manusia pada umumnya. Pada sore itu aku lihat berbondong bondong burung pipit terbang di langit senja dengan suara ceria seakan ingin memberi tahu bahwa seluruh kebutuhannya telah terpenuhi. Tak lama gerombolan burung pipit itu hinggap di atas pohon dan berkicau saling bersahutan satu sama lain seolah dia ingin mengucapkan selamat bertemu lagi esok hari serta berpamitan untuk masuk sarang dan bersiap menyambut gelapnya malam. Pada saat yang sama aku melihat aktivitas manusia yang sibuk saat senja,hilir mudik di jalanan ibu kota dengan penuh kegaduhan bunyi klakson yang memekakan telingaa. Terdengar suara umpatan dan makian pengendara mobil yang tak sabar mengantri dari kemacetan yang di akibatkan volume kendaraan yang tak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia. Rupanya makian dan umpatan manusia di kala senja telah menjadi pemandangan biasa di ibu kota,berbeda dengan suara ceria burung pipit saat senja yang memancarkan optimismenya dalam mencari kehidupan. Seolah ingin memberikan pelajaran tentang optimisme dalam kehidupan. Burung pipit ini membuka pagi dengan kicauan ceria,mengajak temannya yang lain untuk segera pergi keluar dari sarang untuk memenuhi perutnya yang kosong. Dengan berbekal optimisme dan keyakinan mereka terbang mencari kehidupan dan berikhtiar seperti sedia kala. Burung pipit ini hanya di bekali sayap dan kemampuan terbang serta sedikit pengetahuan di otaknya. Tapi setiap senja datang dia pulang dengan perut yang kenyang,begitu setiap hari. Berbeda dengan dengan manusia yang di bekali akal yang luar biasa,sebuah anugerah yang tidak di berikan allah kepada makhluk yang lain. Allah berikan hati dan perasaannya, yang memberikan anggota badan dengan fungsinya,yang memberikan bentuk yang paling indah di antara makhluk yang lain. Tapi mengapa terkadang optimisme manusia itu kalah dengan optimisme burung pipit. Dengan seluruh kelebihan yang di berikan kepada manusia,seharusnya manusia lebih optimis daripada makhluk yang lainnya. Dengan potensi luar biasa yang di berikan kepada manusia seharusnya sanggup memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan seharusnya pula manusia bisa berbuat lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan perutnya saja,karena kalau hanya itu burung pipit pun bisa, bahkan lebih pandai karena tak perlu modal untuk melakukan usaha memenuhi kebutuhan perutnya. (Andriyana)

Bulletin Ats-tsabat Edisi III/Juli 2013

8


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.