Newsletter Bitranet 08

Page 1

newsletter

bitranet Edisi 8/Januari - Februari 2013 Untuk Kalangan Terbatas

Upaya Mengatasi Perubahan Iklim Daftar Isi Tajuk Utama - Pertanian Organik Cegah Perubahan Iklim - Kementerian Pertanian Siap Hadapi Tantangan Perubahan Iklim - PBB Serukan Dunia Kurangi Bahan Kimia Berbahaya - Lingkungan Kunci Pertumbuhan Asia-Pasifik - Solusi Pangan Selamatkan Alam Advokasi - Konversi Lahan di Sergai Mengkhawatirkan - Radio Komunitas Benteng Serangan “Budaya Luar” - Musrenbangdes & Perdes Wajib untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa - Penguatan Perempuan Desa Sebelum Musrenbangdes

2 3 4 5 5 6 7 8 9

Pertanian - Pertanian Berkelanjutan Penting untuk Selamatkan Iklim dan Ketahanan Pangan

10

Credit Union - Ekonomi Kolektif CU untuk Modal Perkebunan Polikultur

11

Kesehatan Alternatif - Terapi Listrik untuk Kesehatan Masyarakat 12 - Manfaat Buah Duku bagi Kesehatan Tubuh 13 Profil - Hadi Siswoyo, Buruh “Pocokan” yang Nyaris “Menaklukkan” British Council

14

Kabar Dari Kampung - Masih Minim Keanggotaan CU Rosella - Pengobatan Alternatif CU Rosella - Gagal karena tak Tersentuh

15 15 15

Memasuki tahun 2013, fenomena perubahan iklim dan dampak pemanasan global kembali menjadi isu hangat. Apalagi sejak konferensi perubahan iklim (COP18) yang diadakan di Doha, Qatar, akhir 2012 lalu, di mana sebanyak 200 negara sepakat memperpanjang periode Protokol Kyoto hingga 2020. Memang, perubahan iklim ini terjadi secara evolusioner, perlahan-lahan, sehingga tak banyak orang yang mau meributkannya. Lagipula, tingkat pencemaran sebelum tahun 2000-an dianggap masih relatif kecil dan bisa diserap oleh alam dan udara. Akan tetapi, dampak perubahan iklim jelas telah mengancam eksistensi kehidupan umat manusia dan makhluk hidup lainnya di Bumi. Ambil contoh saja, kalau suhu Bumi dibiarkan naik menjadi 2 derajat Celcius, diperkirakan akan terjadi gangguan alam dan cuaca secara ekstrem; seperti badai, banjir, kekeringan, tanah longsor, tsunami, dan kebakaran hutan, ditambah laut yang meluap akibat mencairnya es di kutub dan salju di puncak gunung. Puluhan pulau dari beberapa negara kepulauan bahkan terancam akan tenggelam. Berubahnya pola musim secara drastis yang mempengaruhi sistem pertanian juga berdampak pada ketahanan pangan. Lantas apa yang harus dilakukan umat manusia saat ini? Dari kajian para ahli Inter-governmental on Climate Change (IPCC) disimpulkan, berubahnya iklim bukan saja terjadi secara alamiah, tetapi karena ulah dan aktivitas manusia. Terutama aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber energi berbahan bakar fosil (minyak bumi, gas bumi dan batu bara). Pembabatan hutan dan alih lahan juga merupakan bagian dari persoalan serius ini. Industrialisasi yang dianggap sebagai primadona modernisasi ternyata juga menyumbang banyak persoalan pada perubahan iklim. Efek gas-gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida, metana, nitrat oksida, dan klorofluorokarbon yang meningkatkan pemanasan global adalah salah satu dampak dari industrialisasi tadi. Itu sebabnya diperlukan langkah bijak-preventif demi masa depan umat manusia dan makhluk hidup lainnya. Antara lain dengan melakukan upaya mitigasi, seperti program penghijauan atau mengurangi konversi lahan hutan yang bertujuan untuk membatasi dan menurunkan emisi GRK. Upaya adaptasi juga dibutuhkan untuk mengantisipasi bencana alam atau mengurangi risiko akibat perubahan iklim tersebut, termasuk soal dukungan pendanaan dan alih teknologi. Kecuali itu, pola pertanian polikultur dan pertanian organik dapatlah dijadikan sebagai program berkelanjutan. Karena untuk mengurangi pemanasan global, terbukti kedua sistem ini mampu menyimpan lebih banyak karbon. (red)

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

1


Tajuk Utama

Pertanian Organik Cegah Perubahan Iklim Pertanian organik ternyata sangat bermanfaat bagi upaya pelestarian lingkungan dan ikut berkontribusi dalam pencegahan perubahan iklim. Disebabkan sistem pertanian organik mampu menyimpan lebih banyak karbon, yaitu salah satu emisi gas rumah kaca (GRK) yang menyebabkan pemanasan global. Hasil penelitian Research Institute of Organic Agriculture (FiBL) dari Swiss yang dirilis Soil Association pada Oktober 2012 lalu menunjukkan bahwa sistem pertanian organik menyimpan lebih banyak karbon (sekitar 95%) dibanding pertanian konvensional. Simpanan karbonnya bahkan lebih tinggi hingga mencapai 3,5 ton. Tingginya potensi penyimpanan karbon pada metode pertanian organik tersebut disebabkan oleh sistem pengelolaan pertanian organik yang lebih berimbang (mixed farming). Ditambah lagi pola rotasi tanaman dan ternak, yaitu dengan sistem daur ulang pemanfaatan kompos dari kotoran hewan sebagai pupuk tanaman. Sistem ini memungkinkan metode pertanian organik tersebut mengembalikan lebih banyak karbon ke tanah.

Adanya berbagai temuan ini tentu sangat berguna sebagai rekomendasi bagi pemerintah untuk mengampanyekan pola pertanian organik. Termasuk di negara-negara berkembang yang rawan akan dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Dengan kata lain, pertanian organik dapat membantu program mitigasi perubahan iklim. Di Indonesia, menurut Wahyudhi, direktur BITRA Indonesia, kesadaran para petani melakukan praktek pertanian organik mulai tumbuh dan berkembang secara signifikan. Isu pertanian organik ini makin menguat seiring dengan berkembangnya isu back to nature (kembali ke alam). “Para petani bahkan mulai menyadari betapa pentingnya pertanian organik bagi pelestarian lingkungan, keberlangsungan rantai makanan di alam, dan juga untuk mengurangi dampak perubahan iklim,” jelasnya. Wahyudhi juga menilai, ada beberapa aspek yang memengaruhi pola pikir para petani kita untuk beralih dari pertanian

konvensional atau pertanian kimiawi ke pertanian organik. “Selain dosis pupuk yang dapat merusak unsur-unsur hara dalam tanah dan harganya yang menaik, faktor kesehatan juga jadi pertimbangan bagi petani untuk beralih ke pertanian organik,” paparnya. Kaitannya dengan perubahan iklim, tambah Wahyudhi, membuat para petani semakin menyadari bagaimana pergantian musim yang kini cenderung tidak menentu (anomaly). Dampak perubahan musim ini jelas memengaruhi pola tanam pertanian dan juga ketahanan pangan. Dengan kata lain, praktek pertanian kimiawi (yang menggunakan racun pestisida dan pupuk kimia) tersebut juga memengaruhi perubahan musim dan sangat merusak ekologi, serta menghancurkan ekosistem yang ada di alam. “Adapun program pertanian organik dan kebun tanaman campuran (polikultur) merupakan respons BITRA Indonesia terhadap fenomena alam dan lingkungan yang makin hari makin buruk kualitasnya,” katanya. (juhendri)

Penerbit: Yayasan BITRA Indonesia Medan. Pimpinan Umum: Wahyudhi Pimpinan Redaksi: M. Ikhsan Dewan Redaksi: Rusdiana, Iswan Kaputra, Swaldi, Listiani Reporter: Juhendri Chaniago, Ilham Pane, Aprianta, Erika Rosmawati, Hawari, Jumarni, Siska, Misdi, Rustam. Fotografer: Anto Ungsi Manajemen Pelaksana: Icen Sirkulasi: Fira Handayani Redaksi: Jl. Bahagia By Pass No. 11/35 Medan - 20218 Telepon: 061-787 6408 Fax: 061-787 6428 Email: newsletterbitranet@yahoo.com

Jurnalis BITRANET dalam melaksanakan tugasnya tidak dibenarkan menerima amplop atau imbalan apapun. Bagi masyarakat yang melihat dan dirugikan, silahkan menghubungi redaksi dan menggunakan hak jawabnya.

2

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Tajuk Utama

Kementerian Pertanian Siap Hadapi Tantangan Perubahan Iklim Di sela-sela pertemuan Perubahan Iklim PBB yang berlangsung di Doha, Qatar (UNFCCC COP 18/CMP 8), pemerintah Indonesia menyelenggarakan press conference berjudul Agriculture and REDD+ accomplishment in Indonesia, yang menghadirkan Prof Rachmat Witoelar sebagai ketua Delegasi RI, Dr. Prihasto Setyanto dari Kementerian Pertanian dan Yuyu Rahayu dari Kementerian Kehutanan. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dan salah satu negara pertanian yang besar di kawasan Asia Tenggara. Dengan jumlah penduduk yang mendekati 250 jiwa dalam tahun 2013 (terpadat nomor 4 di dunia), maka pertanian menghadapi tantangan luar biasa dalam bidang perubahan iklim. Dampak perubahan iklim terhadap ketahanan dan keamanan pangan perlu diantisipasi dengan sebaik-baiknya. Menurunkan emisi karbon dari sektor pertanian, meningkatkan produktivitas serta mengentaskan kemiskinan akan menjadi tantangan sektor pertanian Indonesia di masa depan. “Pertanian memiliki fungsi multi dimensi terhadap perubahan iklim, yaitu sebagai serapan (rosot) dan juga sumber dari emisi karbon,” ujar Dr. Prihasto. “Karena kerentanan pertanian, maka Pemerintah berupaya keras untuk menghasilkan teknologi yang adaptif terhadap Perubahan Iklim, diantaranya melalui pen-

gembangan varietas tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan (salinitas, kekeringan, rendaman), pengembangan kalender tanam terpadu untuk mengantisipasi variabilitas iklim untuk mengurangi resiko kegagalan petani, optimasi saluran irigasi dan water reservoir untuk antisipasi banjir dan kekeringan, serta program nasional diversifikasi pangan, dan pengembangan kawasan rumah pangan lestari (sustainable food reserve garden),” ujar Prihasto. “Kebijakan Kementan untuk mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) antara lain melalui pengembangan pertanian berkelanjutan diarahkan ke lahan terdegradasi baik di tanah mineral dan lahan gambut, intensifikasi pertanian padi melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (pemupukan efisien, intermittent irrigation, dan penambahan bahan organik), dan integrasi tanaman-ternak ramah lingkungan untuk tanaman pangan dan perkebunan,” tambahnya. Pada COP 17 di Durban, Afrika Selatan, isu pertanian mencuat dan mengalami deadlock karena tidak adanya kesepahaman antara negara maju dan berkembang dalam menempatkan pertanian sebagai isu spesifik yang patut dibahas tersendiri. COP kemudian meminta SBSTA (Subsidiary Body for Scientific Technical Advice) agar pertanian dibahas secara detil teknis untuk menentukan posisi pertanian.

Pada forum SBSTA UNFCCC COP 18 di di Doha masih terdapat perbedaan mendasar posisi negara maju dan berkembang terutama terkait sinkronisasi antara adaptasi dan mitigasi. SBSTA meminta perlunya diselenggarakan workshop lebih lanjut yang melibatkan para ahli untuk melakukan kajian terhadap pengetahuan terkini dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, dan bagaimana meningkatkan kapasitas adaptasi pertanian di wilayah pedesaan. “Indonesia pada prinsipnya menyetujui pertanian dibahas secara spesifik di forum UNFCCC, karena peran pertanian yang multi-dimensi, yaitu sebagai korban, sumber dan juga solusi dari perubahan iklim. Berdasarkan pengalaman, Indonesia mengarah agar mitigasi menjadi bagian penting untuk dibahas di SBSTA, namun tetap menempatkan adaptasi menjadi prioritas utama bagi sektor pertanian,” ujar Dr. Haryono, MSc, Kepala Badan Litbang Pertanian yang juga anggota Delegasi Republik Indonesia. Indonesia juga menyampaikan intervensi di dalam SBSTA agar pembahasan pertanian tidak melupakan keberlanjutan produksi pangan, ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Di sela berlangsungnya persidangan di Doha, telah berlangsung pertemuan bilateral antara Mr. Fahad Bin Mohammed Al-Attiya, Chairman of QNFSP (Qatar National Food Security Programme) dengan Dr. Haryono dan Yusni Emilia Harahap, Staf Ahli Menteri Bidang Lingkungan bersama Duta Besar RI di Qatar. Pembicaraan mengarah kepada peningkatan kerjasama di bidang pertanian, dan Kementerian Pertanian menawarkan peluang di bidang litbang untuk pengembangan pertanian di lahan kering. Pihak Qatar menyambut baik gagasan tersebut dan sepakat untuk menindaklanjuti dengan mengundang Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian ke Qatar dalam waktu dekat. “Kementerian Pertanian Indonesia siap bekerjasama dengan negara mana pun dalam berbagi pengalaman terkait teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” ujar Dr. Haryono. (FJ/YH/TAD/YS) Sumber: www.setkab.go.id

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

3


Tajuk Utama

PBB Serukan Dunia Kurangi Bahan Kimia Berbahaya Program Lingkungan PBB (UNEP) menyeru dunia untuk mengurangi bahanbahan kimia yang berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Menurut UNEP, penanganan bahan kimia yang baik memberikan manfaat besar pada perekonomian dan mendukung peralihan menuju ekonomi hijau. Dalam laporan berjudul “Global Chemicals Outlook”, UNEP menyeru pemerintah dan industri untuk berkoordinasi mengatasi masalah yang muncul akibat tata kelola bahan-bahan kimia yang tidak berkelanjutan. Salah satu bahan kimia yang berbahaya adalah pestisida. Menurut UNEP kerugian yang diderita penduduk di wilayah Sub-Sahara Afrika akibat penggunakan pestisida mencapai US$90 miliar antara tahun 2005-2020. Dari sekitar 140.000 bahan kimia yang beredar di pasaran saat ini, hanya sedikit yang telah diteliti dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan. Di negara-negara maju yang menjadi anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), bahanbahan kimia buatan seperti amonia, hidrogen sulfida, asam sulfur, dan asam hidroklorida serta bahan-bahan kimia organik seperti styrene,formaldehyde, toluene dan acetaldehyde telah menyumbang polusi udara dalam jumlah besar. Kasus keracunan akibat penggunaan bahan kimia di industri dan pertanian menduduki posisi lima besar penyebab kematian di seluruh dunia yaitu sebanyak lebih dari 1 juta kematian setiap tahun dan 14 juta tahun masa hilangnya produktivitas (Disability Adjusted Life Years). Sementara jumlah kecelakaan industri yang melibatkan bahan kimia terus meningkat. Menurut UNEP, nilai penjualan bahan kimia global diperkirakan naik 3% per tahun hingga 2050. Produksi bahanbahan kimia di negara-negara Afrika dan Timur Tengah akan naik rata-rata 40% dari tahun ini hingga 2020, sementara negara-negara di Amerika Latin akan tumbuh sebesar 33%. Dengan semakin tergantungnya ekonomi pada bahan kimia, menurut laporan UNEP, tingkat polusi dan limbah kimia juga akan terus meningkat sehingga semakin membahayakan manusia dan lingkungan.

4

Di Sudan, tingkat kematian ibu-ibu hamil yang terlibat dalam aktivitas pertanian yang menggunakan pestisida naik tiga kali lipat. Di Ekuador, air yang digunakan oleh penduduk desa untuk minum dan mandi di dekat lokasi penambangan minyak tercemar petroleum hydrocarbons 288 kali di atas standar aman Komunitas Eropa. Penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2009 menemukan 212 jenis bahan kimia tersebar dengan kandungan yang berbeda-beda di masyarakat. Lebih dari 3000 bahan kimia dikategorikan sebagai bahan kimia berbahaya bagi ekosistem perairan dengan tingkat mulai dari “sangat beracun” hingga “beracun dengan dampak berbahaya jangka panjang”. Masalah lingkungan lain yang wajib diwaspadai adalah pencemaran pupuk kimia dan pestisida di sungai dan danau, polusi logam berat oleh industri tekstil dan semen, serta pencemaran dioksin di industri pertambangan. Menurut laporan Global Environment Outlook 5 dari UNEP yang dirilis Juni 2012, pencemaran pupuk kimia dan pestisida telah menyebabkan semakin banyaknya “zona-zona mati” – wilayah yang miskin oksigen – di sejumlah wilayah perairan dunia dan hanya 13 dari 169 zona-zona mati tersebut yang akhirnya bisa dipulihkan. Bahan-bahan kimia berbahaya juga bisa dikirim dalam jarak jauh melalui udara dan mengendap di tanah dan air sehingga bisa mencemari rantai makanan. Merkuri misalnya bisa mencemari organisme laut dengan kandungan puluhan ribu kali lipat dibanding konsentrasi yang ditemukan di air. Pencemaran ini bisa berdampak parah pada industri perikanan yang menjadi ladang pencaharian jutaan penduduk dunia. Menurut UNEP, kerugian bagi kesehatan dan lingkungan akibat pencemaran merkuri diperkirakan mencapai US$ 22 miliar. Kerusakan akibat pencemaran air di industri perikanan di China mencapai US$ 634 juta dalam satu tahun. Di Amerika Serikat, penggunaan pestisida yang berlebihan telah menimbulkan kerugian panen senilai US$ 1,4 miliar dan US$ 2,2 miliar akibat berkurangnya populasi burung liar. Upaya mengurangi

penggunaan pestisida telah dilakukan di sejumlah negara. Diantaranya adalah dengan beralih ke praktik pertanian yang berkelanjutan dengan menerapkan tata kelola hama terpadu atau integrated pest management (IPM). Tata kelola hama terpadu ini menerapkan sejumlah metode guna mengurangi pemakaian bahan-bahan kimia dan pestisida seperti rotasi tanaman untuk mencegah datangnya hama dan menciptakan kondisi pertanian yang menarik pemangsa alami. Indonesia, menurut UNEP berhasil menerapkan tata kelola hama terpadu ini pada 1990-an sehingga mampu membantu petani mengurangi penggunaan pestisida lebih dari 50% dan meningkatkan hasil panen hingga 10%. Keuntungan ekonomi yang diraih Indonesia dengan menerapkan sistem IPM ini setara dengan 3,65% produk domestik bruto Indonesia pada tahun 2000. Jika dihitung dalam jangka panjang (dalam periode 19 tahun) – termasuk 20.000 kasus keracunan pestisida yang bisa dihindari di kalangan petani – keuntungan yang diperoleh Indonesia bisa mencapai 22% dari PDB pada 2000, ditambah peningkatan pendapatan keluarga sebesar 5%. Semua data di atas menunjukkan, transisi menuju pemakaian, produksi dan pembuangan bahan kimia yang ramah lingkungan dan berkelanjutan bisa membawa manfaat besar bagi ekonomi, upaya pengentasan kemiskinan, meningkatkan kesehatan penduduk dan melestarikan lingkungan. Sumber: www.hijauku.com

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Tajuk Utama

Lingkungan Kunci Pertumbuhan Asia-Pasifik Negara-negara Asia Pasifik memiliki kesempatan untuk bertumbuh dengan cara yang berkelanjutan dengan tidak mengorbankan alam. Hal ini terungkap dalam Laporan Pembangunan Manusia Asia-Pasifik 2012 (AsiaPacific Human Development Report 2012) yang diluncurkan Program Pembangunan PBB (UNDP), Mei 2012 silam. Saat ini, 85% kebutuhan energi negara-negara di Asia-Pasifik masih bergantung dari bahan bakar fosil. Negara-negara di wilayah ini menyumbang 37% emisi gas rumah kaca dunia yang berasal dari sektor pertanian, peternakan, perubahan fungsi lahan dan deforestasi. Menurut laporan ini, masa depan dunia akan ditentukan oleh pilihan yang diambil negara-negara di wilayah Asia dan Pasifik untuk bertumbuh dengan cara yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. “Targetnya jelas, bagaimana negaranegara di Asia-Pasifik bisa mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan pada saat yang sama mengurangi emisi karbon,” ujar Ajay Chhibber, Direktur Re-

gional UNDP untuk wilayah Asia-Pasifik. Untuk beralih ke pertumbuhan yang rendah karbon, laporan ini memberikan beberapa rekomendasi. Dimulai dengan beralih ke pola pertanian yang lebih ramah lingkungan, mendukung produksi energi bersih, dan menjamin akses atas fasilitas modern seperti listrik dan bahan bakar yang lebih bersih untuk memasak, terutama bagi masyarakat miskin di pedesaan. Lebih dari separuh penduduk dunia tinggal di wilayah Asia-Pasifik dan separuh dari kota-kota besar dunia ada di wilayah ini. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, negara-negara Asia-Pasifik berpotensi memangkas emisi karbon dalam jumlah besar pula dengan mendorong masyarakat beralih ke gaya hidup yang ramah lingkungan. Ide peralihan ke gaya hidup ramah lingkungan ini harus didukung oleh kebijakan pemerintah dan digaungkan setiap hari. Pemerintah juga dituntut untuk menciptakan infrastruktur yang memadai misalnya dengan menciptakan sistem transportasi publik yang aman, nyaman dan terkoneksi

yang akan mengurangi kebutuhan akan kendaraan pribadi. Masyarakat harus disadarkan bahwa setiap tindakan mereka memerlukan energi dan menghasilkan emisi. Dengan mengetahui konsumsi energi dan emisi CO2 yang mereka hasilkan setiap hari, masyarakat akan semakin bertanggung jawab dalam pemakaian energi. Potensi peralihan ke gaya hidup ramah lingkungan di negaranegara Asia-Pasifik tidak hanya menjadi sebuah keharusan namun juga menjadi sebuah peluang untuk tidak mengulangi kesalahan negara maju yang telah bertumbuh dengan cara yang merusak lingkungan. “Negara-negara berkembang di AsiaPasifik saat ini masih terikat dengan pola produksi dan konsumsi lama yang menghasilkan emisi dalam jumlah besar. Mereka kini tidak hanya berkewajiban namun juga berpeluang untuk mengelola pembangunan dengan cara yang berbeda,” tulis laporan ini. Sumber: www.hijauku.com

Solusi Pangan Selamatkan Alam Tantangan memenuhi kebutuhan pangan tanpa merusak lingkungan semakin berat. Namun solusi tersedia. Jumlah penduduk bumi yang saat ini telah mencapai 7 miliar jiwa diperkirakan melonjak menjadi 9,2 miliar pada 2050. Untuk mengimbangi lonjakan penduduk tersebut, produksi pangan harus meningkat sebesar 70%. Dari sinilah masalah muncul. Menurut Soil Association, terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan produksi pangan dunia. Pasokan pangan lebih didominasi oleh bahan pangan dan produk makanan ala Barat berbahan gandum, daging dan susu. Pola makan a la Barat ini menyumbang emisi metana dan CO2 dalam jumlah besar. Dua gas ini adalah gas rumah kaca penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Menurut laporan Program Lingkungan PBB (UNEP), konsentrasi emisi gas rumah kaca akan mencapai 58 gigaton (Gt) pada 2020. Hal ini akan terjadi jika dunia (kembali) gagal beraksi memangkas emisi yang menyebabkan kenaikan suhu bumi antara 3-5° C pada akhir abad ini. Ketidakseimbangan produksi pangan, menurut Soil Association,

juga tak mampu menyelesaikan masalah kelaparan dan kekurangan gizi. Pada 2050, diperkirakan masih ada 290 juta penduduk dunia yang mengalami kedua krisis ini. Masalahnya kembali pada pola konsumsi penduduk di bumi. Sebanyak 35–40% produksi serealia (biji-bijian yang digunakan sebagai bahan pangan manusia) digunakan untuk pakan ternak, untuk memenuhi kebutuhan pangan hewani manusia. Jumlah serealia yang dipakai untuk pakan ternak ini diperkirakan akan naik hingga 50% pada 2050 jika konsumsi daging terus bertambah. Padahal, jika semua pasokan serealia tersebut dipakai untuk pangan manusia, dunia akan mampu menyediakan pangan ekstra untuk 3,5 miliar penduduk. Dan jika dunia mampu mempertahankan konsumsi daging dan susu seperti level tahun 2000, menurut Soil Association, akan ada surplus 400 juta ton serealia yang bisa dikonsumsi oleh penduduk dunia. Sehingga kebutuhan pangan untuk 1,2 miliar penduduk tambahan pada 2050 akan dengan mudah terpenuhi. Solusi ini semakin lengkap, jika dunia berhasil mengurangi

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

limbah makanan dan beralih ke sistem pertanian organik. Sistem peternakan organik murni, menurut penelitian terbaru dari University of Reading, Inggris, mampu memroduksi daging sapi dan kambing, 68% dan 55% lebih banyak dibandingkan sistem peternakan non-organik. Peternakan organik juga mampu memroduksi 75% dari jumlah telur yang diproduksi saat ini. Laporan ilmiah terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Science menyebutkan, pertanian organik terbukti lebih hemat air, energi dan nutrisi. Sistem pertanian organik memerlukan nitrogen, fosfat dan potasium 34-51% lebih rendah dibanding sistem pertanian konvensional. Pertanian organik juga lebih hemat air antara 70–90%. Jika semua strategi ini diterapkan secara simultan, dunia berpeluang menyelesaikan masalah pangan secara berkelanjutan. Dimulai dari pola pangan yang hijau dan sehat serta dengan peralihan ke sistem pertanian organik. Sumber: www.hijauku.com

5


Advokasi

Konversi Lahan di Sergai Mengkhawatirkan Te rj ad i n ya pen u r u n a n a ta u penyempitan lahan pangan sebesar 10,5 % pada tahun-tahun terakhir ini di Kabupaten Serdang Bedagai membuat para petani di daerah tersebut sangat khawatir. Luas lahan sawah yang sudah terkoreksi sebanyak 3.841 ha, yaitu dari 40.598 ha (tahun 2010) menjadi 36.757 ha (tahun 2011). Karena itu, para petani Sergai perlu melakukan upaya bersama untuk melihat urgensi kebijakan dalam hal memperbaiki kondisi di atas. Diantaranya dengan mencari rumusan strategis sebagai upaya menahan laju alih fungsi lahan pertanian tersebut. Hawari, Staf Divisi Advokasi BITRA Indonesia, memaparkan hal tersebut saat beraudiensi ke kantor Komisi B DPRD Serdang Bedagai, Desember 2012 lalu. Bersama para petani yang tergabung dalam Serikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), dia menuturkan hasil diskusi yang dilakukan BITRA Indonesia dengan para petani Sergai pada tahun-tahun terakhir ini. “Ser-

6

gai merupakan daerah agraris, tapi tren isu penurunan lahan pertanian sungguh mengkhawatirkan, misalnya seperti isu konversi lahan menjadi perumahan atau industri batu bata. Malah terjadinya konversi lahan sekitar 5 – 11 hektar per desa. Di lain pihak, kebijakan untuk menangani konversi lahan tersebut belum ada,” katanya. Senada dengan Hawari, Ketua SPSB M. Yamin menegaskan, pentingnya bicara tentang alih fungsi lahan adalah mengingat banyaknya lahan pertanian yang kini menjadi zona industri di Sergai. “Bahkan dibutuhkan sebuah peraturan daerah (Perda) untuk menyelesaikan persoalan tersebut,” jelasnya. Ketua Kelompok Tani Subur Sarman mengingatkan, dalam mendukung program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN), sudah seharusnya persoalan alih fungsi lahan pertanian ini mendapat perhatian dari pihak DPRD dan pemerintah. “Apalagi Sergai merupakan

satu dari lima kabupaten di Sumatera Utara yang diprogramkan jadi lumbung beras nasional,” ujarnya. Menyikapi realitas yang dipaparkan para audiens tersebut, Drs Hartoyo dari Komisi B DPRD Sergai mengatakan, masalah alih fungsi lahan ini memang harus disikapi dengan cermat. Namun dia menyarankan, hendaknya BITRA dan SPSB juga bekerja sama dengan dinas pertanian, agar anggaran untuk hal tersebut disediakan. “Sebab tanpa ada anggaran, takkan jalan kegiatan itu. Begitupun, pada prinsipnya Komisi B DPRD Sergai akan mendukung,” katanya. Untuk soal Perda, tambah Hartoyo didampingi anggota Komisi B lainnya, kami berharap petani punya program yang berbasis riset. “Dengan kata lain, BITRA dan SPSB perlu membuat naskah akademik mengenai alih fungsi lahan ini yang nantinya akan menjadi acuan DPRD Sergai dalam membuat Perda,” katanya. (juhendri)

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Advokasi

Radio Komunitas Benteng Serangan “Budaya Luar” Ternyata belum banyak warga kelompok radio komunitas (Rakom) yang paham secara jelas istilah manajemen dan pengelolaan Rakom secara menyeluruh, termasuk istilah off-air (kegiatan organisasi radio diluar siaran on-air), misalnya. Itu sebabnya pelatihan manajemen radio sangat dibutuhkan untuk menambah wawasan kelompok Rakom tersebut. Dengan tujuan, pelatihan semacam ini dapat menambah pengetahuan tentang pengembangan dan manajemen kelompok penyiaran serta pengelolaan radio komunitas bagi masyarakat, khususnya yang sudah memiliki Rakom. Masalah ini terungkap dalam “Pelatihan Manajemen Radio Komunitas” di Radio Salam FM, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, akhir 2012 lalu. Kegiatan yang diadakan BITRA Indonesia bekerjasama dengan Jaringan Radio Komunitas Indonesia Sumatera Utara (JRKI Sumut) dan Radio Salam FM ini diikuti 24 orang yang terdiri dari penyiar dan Forum Kelompok Pendengar (Foker) Rakom kelompok dampingan BITRA yang ada di Sei Lepan, Stabat, Pangkalan Susu, bahkan satu orang berasal dari Sidikalang. Staff RD-ICT BITRA Indonesia, Muhamad Ikhsan, selaku panitia kegiatan pelatihan, mengemukakan bahwa pelatihan ini merupakan salah satu program BITRA Indonesia di bidang informasi dan teknologi. “Meski dalam pelaksanaannya masih terdapat kekuarangan, tapi saya merasa senang melihat antusiasnya para peserta mengikuti pelatihan ini. Ke depannya, semoga pelatihan ini dapat diterapkan warga dalam mengelola Rakom-nya,” ujarnya. Iswan Kaputra, Manager RD-ICT BITRA Indonesia, juga menekankan pentingnya pelatihan manajemen radio ini adalah untuk meningkatkan kemampuan warga Rakom dalam memanfaatkan serta mengembangkan informasi yang ada di sekitar masyarakat. “Eksistensi kebudayaan lokal sekarang sudah sangat tergerus oleh kebudayaan baru yang tidak jelas, datang dari luar dan tidak mencerminkan kepribadian setempat, datangnya gilasan kebudayaan baru ini perlu dihempang dengan sifat dan nilai-nilai

lokal, terutama kearifan lokal berdasarkan sumberdaya alam di sekitarnya,” jelasnya. “Radio komunitas sangat diperlukan sebagai alat komunikasi massa dan menggalang kekukuh-satuan tekad dan pemikiran untuk menjaga nilai-nilai dan kearifan lokal tersebut dari serangan luar. Radio komunitas juga alat yang efektif untuk mengorganisir dan memobilisir pikiran jadi tindakan dalam bentuk kegiatan on-air dan off-air,” ungkap Iswan. Pada sesi pertama pelatihan, Muhammad Hidayat, fasilitator yang berasal dari JRKI Sumut mengatakan, manajemen radio terbagi ke dalam beberapa persoalan. Pertama, penyiaran yang mencakup perihal reportase, program acara dan jadwal acara. Kedua, mengenai keuangan radio komunitas. Ketiga, administrasi. Dalam hal manajemen, tentu ada yang namanya by design, yaitu sistem manajemen yang direncanakan. Dan by accident, suatu peristiwa manajemen yang situasional. “Oleh sebab itu, supaya tidak ngawur, setiap mata acara apa pun di Rakom harus punya format dan tujuan, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat. Tentu saja tujuan ini harus dikelola dengan sistem manajemen yang baik,” katanya. Tohap Simamora, fasilitator yang juga berasal dari JRKI Sumut juga menambahkan, jangan sampai program radio melenceng dari tujuan. Artinya, kita tidak mungkin membuat acara kalau ternyata acara tersebut dinilai tidak mendidik. Karena tujuan radio komunitas adalah untuk mendidik, sesuai tujuan dasar berdirinya radio yang berlandaskan nilai-nilai dan asas dari radio. Informasi yang ada di radio, tambah Tohap lagi, harus sesuai dengan informasi yang dibutuhkan kelompok sosial Rakom tersebut. Selain itu, masyarakat jangan jadi penerima informasi saja, tapi juga harus jadi produsen informasi. Sebab prinsip radio komunitas adalah “dari, oleh, dan untuk”. Mengenai karakter penyiar, Tohap menjelaskan, tak cuma bisa bicara dan punya SDM, karakter seorang penyiar adalah hal penting. “Karakter seorang penyiar akan membuat pendengar jadi betah mendengar radio. Misalnya seperti cerita

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

seorang penyiar radio SAR FM, yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang pangkas. Penyiar ini punya pendengar sendiri, bahkan suka ditraktir oleh pendengar setianya tersebut. Untuk menguatkan karakter itu, tentu kemauan belajar warga Rakom harus kuat,” katanya. Perlunya memakai bahasa lokal juga dapat menjadi ciri khas radio komunitas tersebut. Karena penyiar juga berkewajiban menjaga, mempertahankan, serta melestarikan bahasa dan seni budayanya. “Kalau radio punya komunitas sosial yang beragam, persoalan bahasa juga harus diperhatikan dengan mengundang komunitas yang berbeda tadi,” katanya. Di sesi praktek penulisan naskah radio, Tohap juga menjelaskan bagaimana merubah informasi menjadi aksi. Menurut Tohap, membuat berita bukan hanya kerja wartawan. Warga Rakom-pun harus punya pemahaman dan kemauan untuk memberitakan persoalan yang terjadi di sekelilingnya, namanya “pewarta warga”. Bagaimanapun, tambah Tohap, informasi dalam radio komunitas adalah sesuatu yang perlu diketahui masyarakat. Terutama tentang kinerja pejabat atau aparat pemerintah, mulai dari tingkat kepling, kadus, lurah, sampai pejabat level atas. Untuk itu, panduan dasar dalam penulisan karya jurnalistik radio (5W+1H) perlu dipahami penyiar atau warga yang ingin menulis berita tersebut. Darmadi, ketua penyiar Rakom Salam FM, mengaku senang atas pelatihan manajemen yang diadakan BITRA ini. Menurutnya, wawasannya tentang pengelolaan radio jadi bertambah. Darmadi juga berharap pelatihan manajemen seperti ini mampu memotivasi penyiar Rakom Salam lainnya, yang menurutnya masih suka minder. Mengapresiasi Darmadi, Tohap selaku fasilitator siap berdiskusi dengan para peserta yang berasal dari berbagai kelompok Rakom tersebut, yaitu Salam FM, Harapan FM, Sukma FM, Petrasa, dan Foker Radio Salam. “JRKI Sumut terbuka bagi siapa saja yang ingin berdiskusi lebih jauh mengenai radio komunitas, baik melalui email maupun telepon, karena kawankawan yang ada di jaringan Rakom sudah seperti saudara,” katanya. (juhendri)

7


Advokasi

Musrenbangdes & Perdes Wajib untuk Kesejahteraan Masyarakat Desa Menurut Undang-Undang No. 72 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 5, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan kepentingan adat istiadat masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem kesatuan Negara Republik Indonesia. Oleh sebab itu, dalam mencapai tujuannya untuk mensejahterahkan masyarakat desa, Pemerintahan Desa (Pemdes) berhak membuat suatu Peraturan Desa (Perdes), yaitu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa bersama Badan Permusyawaratan Desa yang berlaku di wilayah desa tertentu. Akan tetapi dalam menentukan keputusan serta isi dalam Perdes dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, masyarakat juga berhak memberi masukan baik itu secara lisan maupun tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Peraturan Desa. Namun kenyataannya, pihak Pemdes sangat jarang melibatkan masyarakat dalam menentukan serta menetapkan Perdes yang berlaku di desa. Itulah sebabnya, sebagai sebuah lembaga yang konsen melakukan pemberdayaan di desa, BITRA Indonesia, pada akhir Nopember 2012 lalu, bekerjasama dengan Association for Community Empowerment (Perhimpunan Peningkatan Keberdayaan Masyarakat– ACE/PKM), Jakarta, memandang perlu dilakukannya sebuah kegiatan “Pelatihan Penyusunan

8

Peraturan Desa yang Partisipatif, Pro Poor dan Responsif Gender” yang melibatkan pemerintahan desa dan masyarakat untuk sama-sama berlatih dan berbagi pengalaman. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta tentang hukum dan kebijakan serta meningkatkan pengetahuan peserta tentang tahapan penyusunan Perdes. Selain itu pelatihan ini juga bermanfaat untuk memberikan kemampuan teknis dalam penyusunan Perdes serta mendorong pihak Pemdes untuk dapat menyusun Perdes yang dianggap sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat desa tersebut. “Kita berharap dengan mengikuti pelatihan ini dapat bermanfaat, dan nantinya dapat dilakukan secara berkesinambungan. Sehingga desa kita masing-masing bisa lebih maju daripada sekarang ini,” ungkap Sudarmo, Sekretaris Desa Melati II saat membuka pelatihan. Pelatihan penyusunan peraturan desa yang partisipatif, pro poor dan responsif gender ini juga melibatkan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) Kabupaten Serdang Bedagai dengan menyampaikan materi tentang “Kewenangan dan tugas Pemerintahan Desa. “Setiap desa dapat mengatur sendiri peraturannya, dimana hal tersebut lebih dikenal dengan nama otonomi desa. Akan tetapi jika Kades ingin membuat serta menetapkan Perdes, maka mereka harus mengajukan terlebih dahulu rancangan Perdes tersebut kepada BPD,” ungkap

Deny R. Suganda, S.Sos perwakilan dari BPMPD. Menanggapi pernyataan salah seorang peserta pelatihan tentang kebiasaan masyarakat desa jika ada permasalahan lebih sering bermusyawarah kepada LKMD, Deny menjelaskan, “LKMD merupakan mitra daripada Kepala Desa, karena yang mengangkat LKMD adalah Kepala Desa. Tetapi jika Kepala Desa ingin memberhentikan LKMD, mereka harus mendapat persetujuan dari BPD setempat. Sebab peran dari BPD bisa di ibaratkan seperti anggota DPR-nya di suatu desa.” “Dalam menentukan serta menetapkan Perdes pihak pemerintahan desa juga harus melibatkan peran serta dari masyarakat desa yang bersangkutan. Sebab tujuan utama dibentuknya Perdes adalah untuk meningkatkan serta menjamin kesejahteraan masyarakat desa itu sendiri. Peran masyarakat desa sangatlah besar dalam penentuan dan penetapan sebuah Perdes. Karena pada hakikatnya yang mengalami pertama sekali kejadian di lapangan adalah masyarakat itu sendiri, sebelum akhirnya diangkat dan dibawa dalam musyawarah perangkat desa,” terang Deny lagi. Selain itu, Koordinator Program Gender Budgeting Siska Barimbing mengingatkan, dalam penentuan Perdes kaum perempuan selama ini juga selalu mendapat perlakuan diskriminatif. Padahal kaum perempuan juga merupakan salah satu bagian dari masyarakat desa. “Untuk itu dalam penetapan sebuah Perdes kaum perempuan juga memiliki hak yang sama seperti halnya kaum laki-laki,” jelasnya. (Ilham Pane)

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Advokasi

Penguatan Perempuan Desa Sebelum Musrenbangdes Terkait dilaksanakannya Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di beberapa desa di Kabupaten Serdangbedagai (Sergai), BITRA Indonesia dan kelompok masyarakat dampingannya bekerjasama dengan Association for Community Empowerment (PKMACE) Jakarta, pada Desember 2012 lalu, melakukan Focus Group Discussion (FGD). Kegiatan ini bertujuan untuk membantu masyarakat, khususnya kaum perempuan desa, agar dapat menyampaikan aspirasi dan kebutuhan mereka untuk didesakkan menjadi program prioritas pembangunan desa. FGD dilakukan di Desa Pekan Tanjung Beringin, Kec. Tanjung Beringin, Desa Pulau Gambar Kec. Serbajadi, dan Desa Lubuk Bayas, Kec. Perbaungan. FGD difasilitasi oleh Siska Barimbing selaku Koordinator Program Gender Budgeting BITRA Indonesia dan Kominta Sari Purba selaku Koordinator Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Sergai. “Selama ini dalam Musrenbang peran masyarakat marginal di pedesaan kurang diperhitungkan, terlebih lagi peran serta kaum perempuan. Jelas dalam hal ini kaum perempuan telah diasingkan secara tidak langsung, padahal dalam suatu

desa kebutuhan yang paling besar adalah kebutuhan untuk kaum perempuan,” kata Siska pada FGD yang hanya dikhususkan bagi kaum perempuan desa saja. Hal tersebut dapat dibuktikan saat FGD berlangsung. Saat ditanyakan pada peserta, bantuan apa saja yang diberikan pihak pemerintah kabupaten? Sebahagian besar peserta FGD menjawab, program Beras Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), dan Jaminan Persalinan (Jampersal). Meski bantuan tersebut diterima masyarakat golongan menengah ke bawah (miskin), namun tidak sedikit juga masyarakat mampu (kaya) yang juga mendapatkan bantuan tersebut. Mirisnya lagi, berdasarkan pengakuan ibu-ibu yang mengikuti FGD tersebut, meski bantuan kesehatan mereka terima dari Pemerintah, tetapi jika ada dari mereka yang sakit dan membutuhkan perawatan intensif, pihak rumah sakit tetap memungut biaya perawatan tanpa memperdulikan jaminan kesehatan untuk rakyat miskin yang mereka miliki. Selain masalah kesehatan, yang digali oleh fasilitator dalam FGD ini juga masalah pendidikan, khususnya

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

penyaluran beasiswa bagi keluarga miskin. Menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pemandu, salah seorang peserta mengatakan bahwa beasiswa memang mereka terima dari pihak sekolah, tetapi besarnya nominal beasiswa yang diberikan itu tidak merata di setiap tempat. “Selain itu, di beberapa tempat ada juga beberapa oknum guru yang memotong beasiswa tersebut sebelum diberikan kepada penerima beasiswa dengan alasan uang administrasi,” ungkap salah seorang ibu peserta FGD. Mendengar fakta-fakta tersebut, Siska menegaskan, “Inilah yang menjadi alasan kenapa perempuan juga harus berperan aktif dalam Musrenbang desa.” Siska juga menambahkan, keluh kesah yang disampaikan oleh ibu-ibu selama ini adalah karena selama ini kaum perempuan desa hanya dipandang sebelah mata. “Padahal jika kita melihat secara keseluruhan, perempuanlah yang lebih berperan aktif dalam kehidupan seharihari dan pembangunan suatu desa. Maka dari itu, dalam Musrenbang desa yang akan dilakukan nanti, kaum perempuan harus ikut serta dan berperan aktif dalam Musrenbang tersebut,” tambah Siska memotivasi kaum ibu-ibu desa. (Ilham Pane)

9


Pertanian Pertanian Berkelanjutan Penting untuk Selamatkan Iklim dan Ketahanan Pangan Oleh: Dr. Mae-Wan Ho Dalam makalah diskusinya saat Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (United Nations Conference on Trade and DevelopmentUNCTAD), Dr. Mae-Wan Ho menyebutkan bahwa perubahan cepat dan signifikan dari industri pertanian konvensional, monokultur, menuju sistem produksi yang berkelanjutan diperlukan. Demikian juga laporan Olivier de Schutter, Reporter Khusus PBB tentang Hak untuk Pangan, menunjukkan bahwa agroekologi atau eco-farming (pertanian ekologis) dapat melipatgandakan produksi makanan di seluruh daerah dalam waktu 10 tahun. Eco-farming juga bisa menjadi mitigasi perubahan iklim dan mengurangi kemiskinan di pedesaan. Dalam presentasinya kepada Dewan HAM PBB pada 8 Maret 2011, De Schutter menyimpulkan, metode agroekologi mengungguli penggunaan pupuk kimia dalam mendorong produksi pangan di mana ada kelaparan, terutama di lingkungan yang kurang baik. “Agroekologi meniru alam, bukan proses industri. Dalam hal ini menggantikan input eksternal seperti pupuk dengan pengetahuan tentang bagaimana kombinasi tanaman, pohon dan hewan untuk meningkatkan produktivitas tanah,” katanya. De Schutter juga mengkritik upaya pemerintah dan lembaga dana utama seperti Aliansi untuk Revolusi Hijau di Afrika (Alliance for a Green Revolution in Africa - AGRA) yang menganggarkan 400 juta dolar untuk subsidi pupuk dan benih hibrida (yang meningkatkan hasil dengan cepat tetapi tidak berkelanjutan dalam jangka panjang). Adapun emisi gas-gas rumah kaca dari industri pertanian tidak sekadar karbon dioksida dari pembakaran bahan bakar fosil. Lebih dari itu emisi meliputi sejumlah besar gas-gas rumah kaca super seperti metana dari penggemukan hewan intensif, dan nitro oksida dari pupuk kimia. Ditambah deforestasi yang dilakukan untuk meningkatkan lahan pertanian atau perkebunan, dan itu semua sekitar sepertiga dari seluruh emisi. “Sistem pangan tidak harus menjadi sumber utama emisi, masalahnya hanya

10

pada cara yang dirancang di sekitar energi bahan bakar fosil murah,” kata De Schutter. Eco-farming dapat menghasilkan lebih banyak makanan untuk dunia yang miskin, di samping itu juga mengurangi emisi. Juga dapat menyimpan karbon dalam tanah. De Schutter juga menyerukan kepada komunitas peneliti, termasuk pusat Kelompok Konsultatif Penelitian Pertanian Internasional (Consultative Group on International Agricultural Research) dan Forum Global Penelitian Pertanian (Global Forum on Agricultural Research) untuk meningkatkan anggaran penelitian agroekologi di semua tingkatan: mulai dari desain sistem agroekologi berkelanjutan dan tangguh di lapangan, sehingga berpengaruh pada pendapatan dan mata pencaharian di pertanian dan masyarakat, dan mempengaruhi strategi partisipatif dan kebijakan publik dalam pembangunan sosial-ekonomi di tingkat nasional dan sub-nasional. Pertanian sebagai penyerap karbon Sektor pertanian dapat berubah dari penyebab masalah perubahan iklim menjadi bagian penting dari solusinya, bahkan dapat menetralkan iklim atau menjadi penyerap karbon bersih. Untuk itu, pen-

dekatan holistik lebih dibutuhkan, di mana petani tidak hanya sebagai produsen komoditas pangan dan pertanian, tetapi juga sebagai manajer sistem agroekologi yang berkelanjutan. Untuk menuju praktik berkelanjutan (regeneratif), harus ada langkah-langkah kebijakan yang berani dan visioner. Bagaimanapun peningkatan pengeluaran publik untuk pertanian sangat diperlukan. Misalnya dengan pendidikan dan pelayanan penyuluhan serta peningkatan prasarana lokal yang bertujuan untuk memberdayakan petani kecil dalam skala tertentu sehingga dapat secara signifikan meningkatkan produktivitas total sistem baru pertanian regeneratif. De Schutter mengatakan teknik dan manfaat dari agroekologi sekarang telah mapan, sehingga berperan dalam mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakan dan mendukung transformasi produksi pangan. “Jika kita tidak secara radikal mengubah arah sistem pangan global, kita tidak akan pernah memenuhi pangan masyarakat lapar yang jumlahnya miliaran, juga kita akan bisa memberi makan diri kita di masa depan,” lanjutnya. Sumber: www.beritabumi.or.id.

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Credit Union

Ekonomi Kolektif CU untuk Modal Perkebunan Polikultur Kelompok Credit Union (CU) Ertunas Baru dari Desa Rambung Baru, Kec. Sibolangit, Kab. Deliserdang patut merasa bangga setelah merayakan hari jadinya yang ke-7. Terbentuknya CU ini sendiri bermula dari Sekolah Lapang Pertanian Selaras Alam (SL-PSA) atau lebih dikenal dengan nama Sekolah Lapang Polikultur (SLP). SL-PSA/SLP ini merupakan salah satu program BITRA Indonesia yang bertujuan agar para petani tanaman campuran dengan daya dukung lingkungan tinggi (polikultur) dapat menjaga keselarasan alam lewat pertanian/perkebunan yang mereka lakukan. Setelah sukses menjalankan program SL-PSA/SLP, para petani ini kemudian dikenalkan pada model ekonomi kolektif simpan pinjam credit union (CU) oleh BITRA. Fungsinya untuk dapat membantu para petani di sektor keuangan/modal. CU adalah lembaga keuangan yang bergerak di bidang simpan pinjam yang berasal dan dimiliki serta dikelola oleh anggotanya sendiri. Selain itu CU juga bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya. Tiga asas utama CU, pertama asas swadaya (tabungan hanya diperoleh dari anggotanya), asas setia kawan (pinjaman hanya diberikan kepada anggota), dan asas pendidikan dan penyadaran (membangun kesadaran dan watak yang baik adalah yang utama, karena hanya yang

berwatak baik yang dapat diberi pinjaman). Pada awal pembentukan, CU Ertunas Baru hanya beranggotakan 25 orang. Setiap anggota juga baru boleh meminjam sebanyak Rp 300.000 saja. Namun seiring berjalannya waktu, anggota CU Ertunas Baru kini sudah mencapai 200 orang, dan setiap anggotanya berhak mendapatkan pinjaman yang jumlahnya 3 kali lipat dari modal simpanan yang dimiliki anggota.

bangkan program CU di desa mereka. “Paham keswadayaan yang kita bangun sejak 10 tahun yang lalu bermula dari SL-PSA/SLP, kemudian kita kembangkan lagi menjadi CU. Jelas hal ini membuat saya bangga terhadap masyarakat Desa Rambung Baru, khususnya karena saat ini mereka sudah mampu untuk mandiri secara ekonomi kolektif dan menjalankan program yang pernah diajarkan dan disampaikan oleh BITRA kepada mereka,” ungkapnya saat menghadiri Rayakan Ulang Tahun perayaan ulang tahun CU Ertunas Baru Sabtu, 15 Desember 2012, CU Ertu- tersebut. nas Baru merayakan ulang tahun dimana Selain itu, Yulianti selaku Ketua CU pada perayaan ulang tahun tersebut diisi Ertunas Baru juga mengatakan, “Dengan dengan pembacaan saldo, pembagian diperkenalkannya program CU pada sisa hasil usaha (SHU) atau keuntungan masyarakat Desa Rambung Baru, CU yang diperoleh, serta pemberian bing- Ertunas Baru sudah banyak membantu kisan kepada para perintis CU dan juga masyarakat, dimana modal kolektif dari penghargaan pada BITRA yang telah CU menjadi andalan masyarakat di desa mendampingi CU Ertunas Baru, hingga kami ini untuk menjalankan aktifitas pertajadi seperti sekarang ini. nian/perkebunan.” Hal tersebut juga disampaikan langYuli juga menambahkan, dalam hal sung oleh Ir. H. Soekirman, pendiri BITRA pengelolaan CU sepenuhnya dilakukan Indonesia dan salah seorang yang telah oleh anggota yang ada di CU. “Sementara memperkenalkan program SL-PSA/SLP fungsi dan peranan BITRA dalam CU hamaupun program CU kepada masyarakat nya sebagai pendamping serta membanDesa Rambung Baru. Ir. H. Soekirman, tu memberi masukan-masukan jika ada yang akrab dipanggil Bang Kirman, ini masalah yang dihadapi oleh CU, namun merasa bangga atas kesuksesan masya- penyelesaian permasalahan sepenuhnya rakat Desa Rambung Baru karena telah dilakukan oleh kelompok CU itu sendiri,” mampu mempertahankan serta mengem- ungkap Yuli. (Ilham Pane)

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

11


Kesehatan Alternatif

Terapi Listrik untuk Kesehatan Masyarakat Mahalnya biaya pengobatan modern jadi salah satu penyebab kenapa masyarakat enggan untuk berobat ke rumah medis secara umum ke rumah sakit. Kondisi ini sangat terasa bagi masyarakat yang tidak mampu di desa-desa dan daerah pinggiran kota. Untuk itulah, BITRA Indonesia berusaha melakukan pendampingan kepada masyarakat yang memiliki bakat menjadi seorang terapis secara tradisionil agar mudah memberikan akses pada sesama untuk bidang kesehatan. Salah satunya yaitu melalui program kesehatan alternatif dan tanaman herbal berkhasiat obat. Hal ini disampaikan Iswan Kaputra saat membuka “Training Terapi Elektron dan Iridologi” di Aula Bitra Indonesia, November lalu. Training yang dilaksanakan selama 2 hari ini ditargetkan dapat menambah wawasan para praktisi pengobat alternatif dalam hal terapi elektron (listrik) dan mendeteksi penyakit (diagnosa) melalui iris mata (iridology). Paling sedikit

12

14 praktisi peserta pelatihan yang berasal dari wilayah Langkat, Serdang Bedagai dan Deli Serdang ini dapat memahami dasar-dasar terapi listrik, serta mempraktekkannya di daerah masing-masing. “Akan tetapi, harapan saya kepada para praktisi, dalam pelatihan-pelatihan berikut hendaknya keikut-sertaan para praktisi perempuan bisa mencapai 30-35%,” ujar Iswan Kaputra. William Sidiq, selaku fasilitator terapi elektron mengingatkan, dalam hal praktek terapi elektron hendaknya para praktisi tidak melakukan kegiatan pengobatan dengan sikap ragu-ragu. “Memang, mulanya ketika mendengar kata listrik saja, tak cuma ragu, malah ada rasa takut,” tutur lelaki yang kerap disapa Pak Willy ini saat mengenang pertama kali dia belajar terapi listrik, tahun 2006 silam. Menyinggung soal praktisi terapi listrik perempuan, Pak Willy mengakui di Medan memang belum ada. “Saya berharap, kalau praktisi Yanti (yang seka-

rang ikut pelatihan ini), nanti benar-benar menekuni teknik terapi ini, mungkin baru dialah satu-satunya perempuan,” ujarnya kepada satu-satunya peserta perempuan yang mengikuti pelatihan tersebut. Terapi listrik, tambah Pak Willy lagi, mempunyai beberapa manfaat, yaitu membersihkan darah, melancarkan aliran darah, perbaikan jaringan sel dalam tubuh, serta menormalkan seluruh fungsi organ tubuh. Juga berguna untuk meningkatkan energi tubuh dan organ tubuh yang mengalami sakit, seperti jantung, paru, ginjal, limpa dan hati. Terapi listrik akan lebih baik bila dipadukan dengan teknik pijat akupresur. Tak hanya terapi listrik, di hari kedua peserta juga diberikan pelatihan untuk mendiagnosa penyakit dengan teknik iridology, yaitu mendeteksi penyakit melalui mata. Hal ini untuk lebih mempermudah para praktisi melakukan terapi kepada pasiennya. (juhendri)

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Kesehatan Alternatif

Manfaat Buah Duku bagi Kesehatan Tubuh Duku (Lansium Domesticum Corr) adalah salah satu buah asli yang tumbuh di Indonesia dan merupakan tanaman berkayu yang hidup menahun. Buah duku yang bentuknya hampir seperti kelengkeng ini termasuk jenis pohon buah musiman yang hanya berbuah setahun sekali. Di Indonesia, sentra buah duku tersebar luas di wilayah Sumatra dan Jawa. Buah duku yang terkenal di Indonesia adalah buah duku asal Palembang. Karena rasanya yang manis dan bijinya sedikit. Selain itu, jenis yang banyak dibudidayakan adalah varietas Komering, Metesih, Condet dan Kalikajar. Buah duku dapat tumbuh subur di daerah beriklim basah dengan curah hujan tinggi. Saat ini buah duku sudah mulai tersebar luas di belahan benua Asia, khususnya di Asia Tenggara (dari semenanjung Thailand sampai dengan ujung Timur Kalimantan). Kandungan Gizi dan Khasiat Buah Duku Banyak sekali kandungan buah duku yang memang sangat baik untuk kesehatan, diantaranya adalah komposisi zat gizinya yang cukup banyak. Dilihat dari

komposisi zat gizinya, setiap 100 gr buah duku terkandung kalori 70 kal, protein 1,0 g, lemak 0,2 g, karbohidrat 13 g, mineral 0,7 g, kalsium 18 mg, fosfor 9 mg, zat besi 0,9 mg dan berbagai zat lainnya. Untuk kandungan kalori, mineral dan zat besi, duku setingkat lebih tinggi dibandingkan buah apel atau jeruk manis. Kandungan-kandungan zat gizi inilah yang menyebabkan manfaat buah duku sangat baik untuk kesehatan tubuh. Dengan mengkonsumsi buah duku ini, kita bisa memenuhi setiap energi yang dibutuhkan setiap hari oleh tubuh kita, sekaligus dapat mencegah beberapa penyakit mematikan seperti kanker. Berikut beberapa manfaat buah duku sebagai bahan obat tradisional: 1. Kulit dan biji buah duku mampu menurunkan demam dan juga sebagai obat diare. Biji duku yang pahit rasanya, ditumbuk dan dicampur air untuk obat cacing dan juga obat demam. 2. Kulit kayu dari buah duku ini mampu mengobati dari gigitan serangga mematikan. 3. Kulit kayunya bisa bermanfaat sebagai obat disentri dan malaria. Sementara

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

tepung kulit kayu ini dijadikan tapal untuk mengobati gigitan kalajengking. 4. Kandungan serat yang ada pada buah duku mampu membantu melancarkan pencernaan di dalam tubuh. 5. Buah duku mampu mencegah akan terserangnya penyakit kanker. 6. Kulit buah yang dikeringkan, di Filipina biasa dibakar sebagai pengusir nyamuk. Selain sebagai buah meja dan berkhasiat sebagai obat, buah duku segar dapat dijadikan beragam sajian lezat dan nikmat, seperti untuk isi puding, campuran fruits cocktail atau sebagai bahan baku selai. Untuk selai duku, misalnya, siapkan 1500 gr daging buah duku yang sudah diblender halus, 600 gr gula pasir, 100 ml air, 5 gr gelatin, 30 ml air jeruk lemon dan ½ sdt vanila essens. Semua bahan dicampur jadi satu, panaskan hingga tekstur mengental dan warna kekuningan. Selagi panas simpan di dalam botol kaca, tutup rapat, dan siap digunakan kapan saja. Demikianlah sekilas tentang manfaat buah duku. (Dari berbagai sumber)

13


Profil

Hadi Siswoyo, Buruh “Pocokan” yang Nyaris “Menaklukkan” British Council

Ibarat mutiara, walau dibenamkan ke lumpur terdalam tetap akan memancarkan kilaunya. Tak ubahnya dengan manusia, di mana pun tumbuh atau besarnya, yang namanya “bibit unggul” pasti akan membawa manfaat besar bagi warga dan lingkungannya. Hadi Siswoyo (32) adalah salah satu bukti sahih konklusi bijak tersebut. Sudah tiga periode (sejak 2005) Hadi memimpin institusi keuangan berskala mikro Credit Union (CU) “Amarta” yang berdiri di desanya, Desa Air Hitam, yang berada nun jauh dari ibukota Sumatera Utara, Medan. Dari Aek Kanopan (ibukota kabupaten) saja jaraknya 60 km dan harus ditempuh dalam waktu 2,5 jam dengan menggunakan sepeda motor. Akan tetapi, di desa yang akses jalannya baru terbuka pada 2005 itulah lelaki berperawakan ramping dan tinggi tersebut senantiasa semangat mewujudkan karyakarya “besar”nya kepada masyarakat. Adalah BITRA Indonesia yang “menyulap” lelaki yang cuma berpendidikan sampai kelas 3 Sekolah Dasar itu menjadi melek akan pemberdayaan masyarakat kecil melalui CU. Kedekatan Hadi dengan BITRA berawal saat terjadi sengketa kepe-

14

milikan tanah warga seluas kurang lebih 4000 Ha yang diambil paksa PT Sawita Ledong Jaya pada 1997. Lalu pada 1999, dengan maksud melakukan advokasi agar Hadi Cs mempertahankan lahan miliknya, lembaga swadaya masyarakat yang salah satu pendirinya adalah Ir. H. Soekirman (Wakil Bupati Serdang Bedagai) tersebut memperkenalkan berbagai cara perlawanan baik litigasi maupun non-litigasi. Singkat kata, lewat dukungan BITRA, pada Februari 2005, bersama dua orang rekannya sedesa, Supriadi dan Sarwanto, CU Bima berhasil didirikan (kini bernama Amarta). Setelah mengalami dinamikanya berorganisasi, keteguhan mereka pun lantas membuahkan hasil. Dari yang semula beranggotakan 9 orang kini berkembang menjadi 400 orang lebih. Dari modal awal Rp 273.000 kini mencapai Rp 1,5 miliar lebih. Diproyeksikan tahun 2016 akan meluas menjadi se-kabupaten dengan target anggota 5000 orang. British Council dan Mimpi Besar Menguatnya perekonomian warga ternyata belum menjawab persoalanpersoalan lain yang ada di Desa Air Hitam. Salah satunya adalah pemenuhan

air bersih. Itu sebabnya lahir gagasan baru, yakni membuat sarana pengelolaan air sungai menjadi layak guna untuk kemudian dapat didistribusikan ke seluruh warga. Bersama warga, Hadi mencoba merancang proyek pembangunan sarana pengelolaan air bersih tersebut. Pada 2010 rencana tersebut ditawarkan ke lembaga internasional British Council yang dikenal aktif mendorong inisiatif-inisiatif pemberdayaan wirausaha di Indonesia dan di dunia. Ketika itu British Council menyelenggarakan perlombaan Wirausaha Sosial dengan mengundang para pelaku wirausaha dari Sabang sampai Merauke untuk dipilih tiga terbaik dengan hadiah uang dan penghargaan lainnya. Inilah pengalaman pertama Hadi ke Jakarta guna mempresentasikan proyek pembangunan sarana air bersih Desa Air Hitam tersebut. Beruntung, proyeknya menembus posisi 20 besar untuk diuji kelayakannya. “Akan tetapi, saya mengalami kesulitan, terutama ketika harus mempresentasikan dengan bahasa Inggris. Saya gagal masuk ke tiga besar,” kata Hadi. Dan pada 2011, untuk kedua kalinya Hadi mengajukan proyek serupa ke British Council untuk diperlombakan. Sayangnya, lagi-lagi British Council belum berhasil ditaklukkannya. Kendati demikian, mimpi “besar” yang jauh lebih prestisius kini dicanangkan Hadi. Beberapa tahun ke depan Hadi memimpikan CU memperluas keanggotaannya hingga mencapai Sumatera Utara dengan target 100.000 anggota. “Saya juga ingin CU memiliki usaha Bank Perkreditan Rakyat,” katanya. Kini Hadi merasa mimpi awalnya mendirikan CU sudah berhasil digapai. Pengorbanannya yang besar yang dulu sempat menggoncang perekonomian rumah tangganya akhirnya tak sia-sia. Hadi yang semula hanya sebagai buruh “pocokan”, alias bekerja serabutan, kini telah beralih profesi. Sebagai pimpinan CU, sejak 2011 lalu dia sudah mendapat gaji bulanan. “Hidup hanya sekali, kalau mati harus ada bekas pernah hidup di bumi”, demikian motto Hadi yang kini diterapkannya dalam pengembangan CU Amarta. Sumber: www.thepoliticanews.com

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Kabar Dari Kampung

Masih Minim Keanggotaan CU Rosella Sudah hampir setahun CU Rosella yang berada di Stabat Lama melakukan berbagai aktivitasnya. Menurut Nining Supriani, Sekretaris CU Rosella, berdirinya CU tersebut guna dapat membantu perekonomian masyarakat di Stabat Lama. Namun CU tersebut masih minim anggota atau nasabahnya.

Nining menambahkan, minimnya anggota CU tersebut karena masyarakat Stabat Lama masih meragukan dengan adanya CU Rosella. Berbagai upaya pun dilakukan kepada masyarakat Stabat Lama agar masyarakat mau bergabung dalam CU tersebut, namun masih gagal karena banyaknya

CU-CU yang dijumpai masyarakat di Stabat Lama. Apakah minimnya anggota CU Rosella ini akan membuat CU tersebut menjadi vakum? Penulis: Roy Martin Sembiring (ARSIB), Kec. Sei Bingai, Kab. Langkat

Pengobatan Alternatif CU Rosella Seorang ibu rumah tangga yang bernama Fadilah Hanum dan bergerak di bagian pengobatan alternatif ini sangat antusias dalam menekuni bidangnya. Ibu rumah tangga yang kini berusia 36 tahun ini menjabat sebagai anggota di kelompok pengobatan

alternatif tersebut. Nama kelompok pengobatan alternatif tersebut adalah CU Rosella, beralamat di Jalan Stabat Lama, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat. Pengobatan alternatif CU Rosella bertugas untuk mencari titik-titik urat

pada setiap bagian tubuh dan kemudian melakukan pengobatan atas masalah-masalah yang ada pada tubuh pasiennya. Kelompok ini sudah pernah mengikuti pelatihan pengobatan alternatif yang difasilitasi oleh BITRA Indonesia, yaitu di Training Centre Sayum Sabah (TCSS), Sembahe. Dan sampai saat ini, CU Rosella masih beranggotakan sekitar 5 orang. Kelompok tersebut memang ingin menambah anggotanya, tetapi pengurus pada kelompok tersebut masih ragu dan belum dapat memilih anggota yang dapat mereka percaya. Harapan mereka mendirikan kelompok tersebut untuk memajukan kehidupan anggotanya dan mendirikan klinik sendiri untuk CU mereka. Penulis: Fernado Tarigan, anggota Kelompok Tani ARSIB (Arih Ersada Sei Bingai)

Gagal karena tak Tersentuh Kurang pahamnya masyarakat dalam hal ilmu beternak menyebabkan banyak kematian pada ternak milik masyarakat, seperti kambing misalnya. Hal itu disebabkan tidak adanya penyuluhan dan pelatihan dari dinas terkait. Demikianlah keluhan yang disampaikan masyarakat Desa Air Hitam,

Kec. Kualo Ledong, Kabupaten Labuhan Batu Utara, mengenai keadaan tersebut. Kendala yang mereka hadapi yaitu bagaimana merawat dan mengantisipasi agar ternak mereka tidak banyak yang mati. Untuk menekan kerugian yang lebih besar lagi, harapan masyarakat agar pemerintah daerah atau dinas peternakan dan per-

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013

tanian sudi memberikan penyuluhan dan memfasilitasi mereka. Narasumber: Praja Gunawan Penulis: Budi Manyaldi (Kelompok Tani Murni), Jln. Dondong Timur Desa Stabat Lama Barat, Kec. Wampu, Kab. Langkat, Sumut 15


16

Newsletter Bitranet / Edisi 8: Januari-Februari 2013


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.