Percakapan Diam-diam

Page 1


Percakapan Diam-Diam Lelaki Budiman Penerbit Tan Kinira Books e-mail: surat@lelakibudiman.com twitter: @lelakibudiman

Edisi Kedua Cetakan Kedua, April 2012

© 2012, Lelaki Budiman dan Widyatmoko ‘Koskow’

Ilustrasi Widyatmoko ‘Koskow’ Desain Buku Gamaliel W. Budiharga Kotasis Kamar Desain 3x3x3 kotasis@kotasis.com www.kotasis.com

Dicetak di yogyakarta, Indonesia



“Octavio Paz, menyebut puisi sebagai ‘suara lain”; puisi, pada akhirnya, menjadi suara sunyi, yang bisa kita dengar kembali. Percakapan Diam-diam, menjadi sebuah upaya untuk mendengar ‘suara lain’ itu, mengenali yang (mungkin) tak terdengar dari sebuah percakapan. Puisi hadir bukan hanya sebagai yang terkatakan, tetapi juga yang tak terkatakan dalam diam. Puisi-puisi Lelaki Budiman yang lembut ini, mengajak kita untuk itu: mendengarkan percakapan-percakapan lain, suara-suara lain, hal ikhwal yang mungkin.” Agus Noor, penulis

“Di tengah lalu lintas informasi dan komunikasi yang kian tinggi intensitasnya, sajak-sajak Lelaki Budiman ibarat hujan malam yang mengajak kita untuk diam mendengarkan suara hujan, sebagaimana kita juga sesekali perlu diam mendengarkan burung berkicau di dahan-dahan. Menulis adalah sebentuk percakapan dalam diam untuk menjernihkan ingatan di tengah sampah komunikasi yang bertimbunan.” Joko Pinurbo, pengarang puisi


“Sajak-sajak Lelaki Budiman berlarian di antara keramaian dan kesepian, kelonggaran dan kepadatan. Kadang ia tampak seperti tengah memuja bentuk tapi di lain waktu ia mengabaikannya begitu saja dan membiarkan isi muncrat tanpa aling-aling. Membacanya seperti membaca sungai dalam berbagai cuaca. Membacanya seperti bertemu langsung dengan dirinya yang menolak pasti.� Gunawan Maryanto, penyair

“Puisi-puisinya yang singkat menunjukkan bahwa pergulatan penyair dengan kata-kata berlangsung cukup intens. Kata-kata yang dipilihnya meskipun terkesan sederhana namun efektif dan fungsional. Penyair nampaknya sudah paham apa yang ingin diungkapkan dan bagaimana cara mengungkapkannya.� Acep Zamzam Noor, penyair



Untuk Emak dan Bapak yang mengajarkan kesabaran dan keberanian


Sublim

2


Aku iri kepada air yang tak bisa ditusuk dan dilukai.

Aku terpana kepada udara yang bisa menelusup ke mana saja. 2009

3


4


Jejak Kemarau

Tak ada yang bisa menghapus jejak kemarau.

Tak hujan atau angin mendesau.

Satu yang mampu: waktu. 2009

5


Waktu Han y

a Tanda Ta

nya

Ada yang haru

s segera ditulis kan sebelum cuaca m enua dan isyarat tak la gi terbaca.

Ada yang haru s segera dikisahk an sebelum panggu ng kehilangan ca ha ya dan kitab suci m enjadi dongeng belaka.

nya tanda tanya.

Sebab, waktu ha

2011

6


7


8


Ketika Sepi Adalah sepasang kursi tanpa kata-kata, percakapan menguap bersama udara, : sebuah panggung tanpa cahaya.

Ketika sepi adalah aku berlari, menangkap bayanganku : sendiri. 2011

9


Hutan Jauh di Dalam Dadaku

10


Maka biarkan kususur hutan jauh dalam dadaku. Di mana bayangmu tak lagi bisa menemuiku. Sebab tubuhku, hanya bayangan. enggan kau baca. 2012

11


12


Surat Pendek untuk Calon Istriku Selamat malam kekasih rahasia Tuhan. Bidadari tak bersayap denganmu agama menggenap. Kelak, suatu waktu kita berbagi sajadah rindu. Menebus rindu kepada Sang Maha Rindu. Engkau, makmum pertamaku dalam jamaah Qalbu. 2010 13


Kelak, Ketika Kita Bertemu

Kelak, ketika kita bertemu akan kutadah kata-kata yang mengalir dari matamu. Kutampung dalam helai-helai daun. Kubiarkan malam menguapkan menjadi embun. Dan, di suatu pagi akan kau temukan puisi di samping tempat tidurmu. Puisi dari kata-katamu sendiri. 2010

14


Pun Angin Tak Mampu

Ijinkan aku sejenak menikmati lembut denyut yang tak sempat kau ucapkan. Hingga esok kubisikkan lirih selamat pagi. Pun angin tak mampu mencuri dengar, debar itu dari hatimu. 2011

15


Cinta, Suatu Pagi

Aku mencintai pagi, saat pertama membuka mata. Bayangmu kutangkap pertama. Aku mencintai pagi, saat jemari bergenggam lirih. Luruh sudah segala perih. Aku mencintai pagi, saat tawamu mulai terdengar. Bening embun dalam mata berbinar. 2010

16


Mencari Aku dalam Kau

Sebelum matahari datang, membangunkan mimpimu yang tenang. Biarkan aku terus berjalan. Menyusur yang telah lalu, segala kata-katamu. Mungkin masih ada namaku. Nama yang pernah kau tulis dan belum terbaca olehku. Nama yang pernah kau sebut dan belum didengar telingaku. Aku berjanji, setelah kutemukan kembali, akan kusimpan namaku baik-baik. Dalam kenanganmu. Sebagaimana aku, tetap menyimpan namamu dalam ingatanku. Sekalipun kau berusaha menyembunyikan namaku dalam ingatanmu, percayalah kau tak akan pernah bisa melupakanku. Sebab aku selalu ada dalam kau! 2011

17


Adalah Kau

terungk

Dalam d

oa-doa ta

Kata-ka ta tak

k lengka

p.

Adalah Kau.

ap,

kap.

k tersing

rahasia ta 2011

18


19


Percakapan Diam-diam

Dalam diammu, aku justru lancar membaca kata-katamu. Rahasia itu. Semakin engkau diam, bacaanku semakin lancar. Kata-kata tumpah ruah saat kutatap matamu diam-diam. Dalam diam. Teruslah diam, hingga kuselesaikan membaca semua rahasia diam-diam. Dan semua rahasiamu akan kusimpan dalam diam. Hingga kelak kau datang padaku. Menanyakan rahasia itu. Rahasiamu. 2010

20


Kepada Hujan Aku Cemburu

Setiap hujan mengunjungiku, kulihat genap sayap di punggungmu. Tak seperti kupu-kupu, sayapmu warna tak bernama. Matamu hijau cahaya. Tak lagi aku hirau pada cahaya, selain matamu. Basah tubuhmu adalah dedaunan, yang terbangun pertama kali. Menjaga embun paling perawan agar tak disentuh matahari. Kepada hujan aku cemburu. Entah kapan bisa menggenapi sayapmu. Atau sekedar menjadi hiraumu, mencuri cahaya matamu. 2011

21


Aku Ingin Memanggil Hujan

22


Aku ingin memanggil hujan. Semoga masih ada sedikit waktu untuk menghapus dahagaku. Haus aku pada kata-katamu, pada tangismu, pada tawamu. Dan segala apapun yang kau lagukan untukku. Aku ingin memanggil hujan. Seperti malam itu, saat kau mengirim air matamu. Saat kata-kataku mencoba mengusap pipimu, mengusap punggungmu, mendekap tubuhmu. Dan segala apapun yang menjadi tenangmu. Aku ingin memanggil hujan. Sapalah sepiku: Kau! 2011

23


Menujumu

Kata-kata berjalan pelan, mengiringiku. Menujumu. Mengusung puisi-puisi rindu. Dan, apapun yang mendekatkanku pada jarakmu. Apapun yang bisa menjadikanku sebagai detikmu. Hingga kau tak lagi asing menatapku, tubuh yang dibaringkan hening. Tak lagi asing, mendekapku dalam tubuh yang paling bening. 2011

24


25


Adakah Magenta?

26


Cahayamu begitu biru menembus tubuhku. Larutlah kau dalam merahku. Darahku. Adakah magenta? Apakah cinta? 2011

27


28


Kepada Perempuan yang Menjala Rembulan

Aku sering menatapmu, dari kejauhan, dari jendela kamarku. Kau menyisir, mengandam anak-anak rambut di dahi. Setiap pagi. Sore hari, sebelum matahari meninggalkanmu pergi, kau duduk sendiri. Merajut jala dari helai rambutmu. Rembang petang, kau biarkan tubuhmu telanjang. Tubuhmu menjelma suluh. Lalu kau sibuk mencari, menyigi, barangkali ada helai terjatuh di lantai. Menjelang tengah malam, kau menghitung rembulan. Hingga purnama tiba, kau berdiri di halaman. Melemparkan jala rambutmu, menangkap cahaya biru. Seketika dada para perempuan tak lagi bercahaya. Aku pun buta. 2011

29


Mata Air Kata

Matamu mata air, setia mengalirkan air kata. Akulah telagamu, menampung, mengendapkan dalam sajak menyisakan jejak. 2008

30


Kata-kata

Kata-kata menggurit luka agar kita tak bernyanyi lupa. Kata-kata menulis duka untuk terus kita baca sebagai durma. 2011

31


Radio

Klik. Kau pun berada di sebuah benua yang jauh. Kau menatap asing tubuhmu : berjalan sendiri dalam mimpimu. Klik. 2011

32


33


Pada Sebuah Titik

34


Waktu tiba-tiba seperti adegan film yang menampilkan gerak lambat. Setiap gerakan terlihat lebih nyata. Gerak tangan, gerak kaki, tak lagi mampu mengelabui mata. Di saat yang sama, ingatan bergerak begitu cepat. Menjelajah lorong-lorong yang tak lagi kita ingat. Ingatan menjadi tubuhmu, pikiran adalah perjalananmu. Dan kau pun berhenti di satu titik, perhentian yang tak direncanakan sebelumnya. Namun, mau tak mau, harus berhenti. Menatap sekeliling, semuanya nampak begitu asing. Menatap diri yang tak lagi kau kenali. Lalu, diam. “Apa yang sesungguhnya telah aku lakukan?� 2011

35


36


Di Sebuah Taman

Bukanlah kau yang menyembunyikan ingatan tentang tubuhku. Aku sengaja menunggu waktu, membuka segala yang melekat di tubuhmu. Maka kubiarkan kau terus berlarian menyusur ingatan. Dalam diam. Sebab diam adalah taman rahasia yang diciptakan Tuhan. 2011 - 2012

37


Kau Sebut Kita sedang Bercakap

Kau sebut kita sedang bercakap, sementara kata-kata terus kau sembunyikan dalam gelap. Isyaratmu lindap, tak tertangkap. 2011

38


Selembar Tiket di Halaman 150 - 151

Adalah ingatan, tentang sebuah keberangkatan yang hampir terlambat. Entah siapa yang sesungguhnya berkhianat. Aku, kamu, atau waktu?

2011

39


Sore, Stasiun Kereta

(1) Seharusnya aku menjemputmu dari dulu, kini semua telah mengabu. (2) Tak selamanya kedatangan adalah kebahagiaan, kadang ia berselubung kesedihan. 2009

40


41


Sebab Waktu

42


Kulihat, ribuan cahaya memancar dari punggung namamu. (Sebelum mimpi menceritakan rindu sebagai bisik di tengah malam paling bisu) Tersebab kau, aku menunggu. Sebab waktu, tengah menyusun kebenaran ceritaku : bersamamu. 2011

43


Membaca Puisi Bersamamu

Dan, seperti biasa sebelum baris terakhir terbaca.

Menjelmalah kita menjadi Adam Hawa.

2011

44


45


Sebelum Malam Menelan Semua Kesadaran

Ijinkan kutiupkan doa-doa - harapan tentang rindu yang sering kali cemas oleh cemburu - di antara dadamu. Pusat dari segala pusaran perasaanmu- kesadaran rindu dan cemburu. Pusat dari apa yang sering kau tanyakan padaku: apakah aku mencintaimu? Sebab dadamu adalah jalanku menembus hatimu.

2011

46


Tentang Kemungkinan yang Harus Kuceritakan

Ijinkan aku sejenak bercerita tentang kemungkinan. Kemungkinankemungkinan yang mungkin kita satukan. Atau mungkin, kemungkinan yang memisahkan kita. Kita mungkin akan menempuh perjalanan jauh, bersama melewati berbagai jalan yang sebelumnya tak pernah kita tempuh. Mungkin kita akan berhenti sejenak di tengah perjalanan. Mengistirahatkan kemungkinan-kemungkinan. Mungkin kita akan memilih untuk berjalan sendiri, meneruskan perjalanan kemungkinan masing-masing. Dan pada akhirnya harus berpisah sebab kemungkinan mengharuskan berpisah. Selalu ada kemungkinan, untuk kita rawat atau matikan. Mungkin. Teramat mungkin. 2011

47


48


Halaman Kosong

Kita begitu sibuk mencari halaman-halaman kosong, untuk sekedar menuliskan tentang apapun. Tentang ingatan, mungkin juga kenangan, yang sering mencegat kita di tengah jalan. Tiba-tiba. Atau mungkin hal-hal yang ingin kita lupakan, namun diam-diam kita terus kita simpan di bawah bantal, setiap malam. Berharap mimpi menghentikan kenyataan, yang sering kali teramat menyakitkan. (Pun membuat kita berharap berhenti bermimpi) Kita terus sibuk mencari halaman-halaman kosong - untuk menulis apapun yang ingin kita tuliskan. Lupa bahwa sesekali kita harus membaca kekosongan. 2011

49


Surat Pendek Kepada Penyair

Jika kau sudah selesai menulis puisi, kembalikan kata-kata yang kau pinjam kemarin pagi. Aku ingin bermimpi. 2012

50


Malam Tahun Baru

Malam ini kita nyalakan matahari. Sebab esok tak ada lagi ucapan selamat pagi. 2010-2011

51


Suatu Pagi di Alun-alun Kecil

Kegelisahan mengental dalam gelas kopi. Pagi ini: sendiri. 2010

52


53


Kalender

Entah berapa banyak angka kita lupa, Sementara masih banyak nama menunggu disapa. 2011

54


Selamat Pagi Air Mata

Pintu-pintu mulai dibuka. Kata-kata mulai saling sapa : Apa kabar Saudara? Matahari menggeliat, membuka matanya. Menyaksikan anak-anak cahaya berlarian mengejar udara. Semoga tak ada yg terjatuh dan terluka. Luka? Ah, bahkan kita lupa berapa banyak luka sia-sia Lupa? Ingatan seringkali memaksa luka keluar dari persembunyiannya. Kemana sesungguhnya kita akan bersembunyi dari segala luka lupa, lupa luka. Sementara air mata tak henti menggiring kita masuk dalam perangkap duka. Sia-sia. 2011

55


56


Kembali Aku Tuliskan Puisi

Malam ini, kembali aku tuliskan puisi untukmu. Dari helai daun kata-kata yang kupetik dari reranting. Pucuk-pucuk rindu asing. 2010

57


Sajak Kecil tentang Rindu

58


Mungkin tak semua hal membutuhkan alasan, seperti kerinduan. Datang begitu saja, tiba-tiba. Tanpa alasan, namun menyenangkan. Kita tak pernah tahu alasan apa yang membuat kita saling merindukan? Jarak? Sebelumnya kita tak pernah dipersatukan jarak. Atau mungkin kita merindukan sebuah pertemuan? Kita belum pernah bertemu sebelumnya. Rindu itu menelusup tiba-tiba. Kita tak saling memikirkan, namun saling merindukan. Sebab kerinduan teramat jujur hingga tak mampu membuat alasan. Alasan kerinduan adalah rindu itu sendiri.

2012

59


Dua Cerita Bersama Hujan

(1)

Malam ini hujan kembali mengunjungiku, kunjungan yang kesekian puluh. Tak pasti hujan mengunjungiku (benar-benar berkunjung dan bercakap denganku). Terkadang ia hanya lewat di depan halaman, lalu pergi usai menyapa bunga dan rerumputan. Sesekali hujan menggodaku, mengetuk jendela kamarku, tersenyum, dan berlalu. Lain waktu, hujan singgah cukup lama (setelah cukup lama pula ia menunggu di depan pintu). Kami lantas bercerita apa saja, tentang cuaca ataupun cerita perjalanan dari satu kota ke kota lainnya. Aku tak pernah bosan mendengar ceritanya. Seperti ia yang tak pernah bosan mendengar ceritaku. Tentangmu. Seperti malam ini, kami asik berbincang hingga jam dua pagi. Kau tahu, aku tadi menceritakan tentang bintang dan kupu-kupu biru. Sebelum pergi, aku menitipkan pesan untukmu (kau akan tahu pesanku saat ia mengunjungimu). Apakah hujan mengunjungimu malam ini?

60


(2)

Hujan bertandang kembali, tepat tiga hari setelah kunjungan terakhirnya. Tiga hari sejak aku menitipkan pesan untukmu. Entah, malam ini hujan begitu pendiam. Tak seperti biasanya. Sesekali bergumam, lebih banyak diam, mendinginkan secangkir teh hitam yang kuseduhkan. Aku, entah mengapa, kali ini tak berani menanyakan apa-apa. Tak pula ada niat sekedar menyakan apakah pesanku sudah diterima olehmu. Malam ini kami hanya saling menatap diri. Entah, apa yang hendak diceritakan hujan malam ini : sunyi. 2011

61


S e t e l a h S u ny i

62


Setelah sunyi, apalagi yang akan kita ziarahi malam ini. Mimpi? 2011

63


Di Beranda Belakang

Kulihat sepasang kursi dan meja menatap langit kemerahan. Tak ada siapa-siapa di sana. Tak ada kata-kata saling sapa. Hanya sisa secangkir teh dan senja yang meleleh. 2011

64


Di Sebuah Kafe

Kita terus bercakap dari kebisuan demi kebisuan. Sementara rahasia terlalu pekat untuk dicairkan dalam gelas minuman. 2011

65


Telepon-Mu

66


Malamku pecah oleh sebuah dering. Telepon-Mu. Suara-Mu terdengar begitu asing, atau mungkin, suaraku tak lagi mengenal kata-kata-Mu. Entah, dengan bahasa apa harus kujawab. 2011

67


68


Di Lorong Rumah Sakit

Wajahwajah pucat, merapal doa lamatlamat. Tuhan diam, menyembunyikan jawaban di antara reruntuhan harapan. Sementara, kecemasan berlarian riang. Antara hidup dan kematian. 2011

69


Sebab Kematian adalah Berhala Semua Agama

Mungkin membicarakan kematian bisa menjauhkanku dari rasa lapar yang terus mengejar.

Kematian membentengi tubuhmu dari rasa lapar, bahkan yang paling liar sekalipun.

Berhentilah memuja rasa lapar. Sembahlah kematian. : berhala semua agama. 2011

70


71


Mungkin, Malam Ini

Apa yang akan dituliskan kata malam ini? Mungkin, malam ini, kata-kata tengah menyusun nama dan tanggal kematianku. Sebagai sebuah berita yang kau dengar pertama kali. Esok pagi. 2011

72


Tiga Hari Menjelang Pertemuan

Sering kubayangkan dirimu Adalah angin, yang kerap bermain-main Di antara lelap dan sadarku Sering kubayangkan dirimu Adalah air, yang berkali-kali mengalir Di antara dosa dan doaku Kelak, aku tak lagi bisa membayangkanmu Ketika engkau telah menjelma Menjadi bayanganku Ketika aku telah menubuh Dalam seluruh hidupmu Ketika cinta adalah kita 2012

73


Tiga Sajak Kecil yang Kutulis Sebagai Surat Cinta

(1) Aku Tingkap jendela Menunggu cahaya Datang memberi nama Pada warna

74


(2)

(3)

Engkau Cahaya, tanpa nama Menyapa Tanpa kata Tanpa swara

Kita Hanyalah kecil ruang Menjamu cahaya Meramu warna Dan, menamainya: Cinta

2012

75


Menutup Percakapan

76


Scripta manent, verba volant Berawal dari kata-kata yang berserakan di blog hingga outbox, akhirnya saya mengajak Anda bercakap dalam Percakapan Diam-diam. Buku yang Anda baca sekarang, semula adalah “hadiah� kecil bagi kedua orang tua saya pada perayaan ulang tahun saya. Edisi pertama Percakapan Diam-diam (Maret 2011) dicetak terbatas, hanya sekitar 80 buku. Atas dorongan beberapa kawan, akhirnya edisi kedua Percakapan Diam-diam diterbitkan. Beberapa perubahan dalam buku edisi kedua ini, antara lain ilustrasi, layout dan desain sampul. Tak sekadar tampilan fisik yang berubah, dalam edisi kedua Percakapan Diam-diam terdapat puisi-puisi baru dan penyusunan ulang susunan puisi. Penyusunan ulang tersebut lebih dimaksudkan agar keseluruhan puisi memiliki alur cerita juga irama yang berbeda dari buku sebelumnya. Berbahagialah mereka yang tak melulu bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Mereka yang memiliki teman untuk mendengarkan dan mengoreksi kesalahankesalahan yang kadang tak pernah saya disadari.

77


Kepada Yang Mahapuitis, terima kasih telah menjadi kawan bercakap setiap menjelang tidur. Terima kasih selalu memberiku kesempatan untuk bertanya dan menemukan jawabannya (sendiri). Matur nuwun, Gusti. Sebelum diam, ijinkan saya menyampaikan terima kasih kepada beberapa sahabat: Bung Widyatmoko ‘Koskow’ yang telah membuat ilustrasi dan menjadikan Percakapan Diam-diam tak hanya berhenti sebagai pengalaman verbal semata. Bung Gamaliel W. Budiharga atas kesediaannya menjadi pengarah artistik untuk keseluruhan proses penerbitan (kembali) Percakapan Diam-diam. Mbak Ra’ a.k.a. Syaharani @Jazzy_Syaharani yang dengan senang hati menjadi teman berdiskusi tentang hidup dan kehidupan. Gabriella “Gie” a.k.a. @bleedingie yang telah menjadi penyunting paruh waktu untuk Percakapan Diam-diam (cetakan pertama) di sela-sela kesibukannya belajar menjadi jurnalis. Fitria Agustina a.k.a. @flafea yang telah menjadi penyunting dan meluangkan waktu (di sela-sela kesibukannya mendidik Mata Air) membantu saya untuk menyusun kembali tulisan yang tercerai berai.

78


Terima kasih kepada Mas Danarto dan Mas Acep Zamzam Noor yang telah memberikan endorsment untuk buku ini. Mas Joko Pinurbo a.k.a. @jokopinurbo, Mas Agus Noor a.k.a. @agus_noor, Mas Gunawan Maryanto a.k.a. @gunawanmaryanto yang telah bersedia memberikan catatan-catatan kecil bagi buku ini. Tabik. Terima kasih kepada Mas Patriatmoko dan Kamikoti yang telah menyediakan tempat dan membantu segala tetek bengek persiapan peluncuran buku ini. “Terima kasih telah mau mendengarkanku bercakap dalam sebuah percakapan diam-diam. Semoga kau tak hanya diam saat aku kembali mengajakmu menikmati percakapan diam-diam.�

Yogyakarta, Februari 2012

Lelaki Budiman

79


Daftar Ilustrasi

tinggal biji, 4-5

dalam senyap, 18-19

di antara, 7

menyimpan ingatan, 25

hasrat dalam diam, 8-9

helai melegam, 28-29

presisi, 12

titik (tak) hilang, 32-33

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

80

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011


menunda rembulan, 36-37

persoalan, 52-53

spasi, 41

ambang kata, 56

bayangmu, 45

mati muda, 68-69

kosong, 48

purba, 71

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

cat air dan tinta cina pada kertas 215 x 140 mm 2011

81


Indeks Baris Pertama

82


A

D

Adalah ingatan 39 Adalah Kau 18 Adalah sepasang kursi 9 Ada yang harus segera dituliskan 6 Aku 74 Aku ingin memanggil hujan 23 Aku iri kepada air 3 aku justru lancar membaca kata-katamu 20 Aku mencintai pagi 16 Aku sering menatapmu 29 Apa yang akan dituliskan kata malam ini 72

Dalam diammu 20 Dan 44 E Entah berapa banyak angka kita lupa 54 H Hujan bertandang kembali 61 I

C

Ijinkan aku sejenak 15 Ijinkan aku sejenak bercerita tentang kemungkinan 47 Ijinkan kutiupkan doa-doa - harapan tentang rindu 46

Cahayamu begitu biru 27

J

B Bukanlah kau 37

Jika kau sudah selesai menulis puisi 50

83


84

K

M

Kata-kata berjalan pelan 24 Kata-kata menggurit luka 31 Kau sebut kita sedang bercakap 38 Kegelisahan mengental 52 kekasih rahasia Tuhan 13 Kelak 14 kembali aku tuliskan puisi untukmu 57 ketika kita bertemu 14 Kita begitu sibuk mencari halaman-halaman kosong 49 Kita terus bercakap dari kebisuan demi kebisuan 65 Klik 32 Kulihat 43 Kulihat sepasang kursi dan meja menatap langit kemerahan 64 kunjungan yang kesekian puluh 60

Maka biarkan kususur 11 Malam ini 57 Malam ini hujan kembali mengunjungiku 60 Malam ini kita nyalakan matahari 51 Malamku pecah oleh sebuah dering 67 Matamu mata air 30 membangunkan mimpimu 17 Mungkin 70 Mungkin tak semua hal membutuhkan alasan 59 P Pintu-pintu mulai dibuka 55 R ribuan cahaya memancar 43


S saat pertama membuka mata 16 Sebelum matahari datang 17 Seharusnya aku menjemputmu dari dulu 40 Selamat malam 13 seperti biasa 44 Sering kubayangkan dirimu 73 Setelah sunyi 63 Setiap hujan mengunjungiku 21 T Tak ada yang bisa menghapus jejak kemarau 5 W Wajahwajah pucat 69 Waktu tiba-tiba seperti adegan film yang menampilkan gerak 35

85


Sosok

Lelaki Budiman lahir 27 Maret, dibesarkan di sebuah dusun kecil di Bantul dan di sebuah kampung di pesisir utara Pulau Jawa. Sekarang menetap di Yogyakarta dan menjadi pekerja lepas, sesekali menjadi volunteer acara seni budaya. Masih berjuang menghadapi kompleksnya birokrasi untuk menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di sebuah universitas. Penikmat senja, jazz dan kopi ini (terus) belajar menulis dan memotret sembari menjadi reporter dadakan untuk beberapa media. Saat ini tengah masih sibuk menyunting beberapa naskah buku beberapa kawan. Penggalan percakapan saya bisa diikuti via twitter: @lelakibudiman atau www.flickr. com/photos/lelakibudiman.

Widyatmoko ‘Koskow’, dilahirkan di Semarang, 10 Juli 1975. Menekuni perbukuan, sebagai desainer sampul, ilustrator isi, dan layout. Pemateri workshop layout pers mahasiswa (Jurnal Mahasiswa “Balairung” UGM, Majalah Mahasiswa “Pendapa” Taman Siswa, “Artffect” ISI Yogyakarta). Pameran seni rupa yang pernah diikuti antara lain Pameran Seni Rupa “The Highlight” ISI Yogyakarta (Jogja National Museum, 2008), Biennale X ‘Jogja Jammin’ (Desember 2009 Januari 2010), “Speak Of” (Jogja Artnews, Jogja Natioanl Museum, 2011), “Food and Paper” (ArtCafe, Magelang, Desember 2011 - Januari 2012). Buku yang sudah diterbitkan yaitu “Merupa Buku” (LKiS, 2009). Saat ini mengajar di Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, dan sebagai anggota redaksi jurnal ARS Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Bisa dihubungi di: koskowbuku@gmail.com.

86


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.