Dunia Simon

Page 1

- Kumpulan Cerita Pendek -




dunia simon Wihambuko Tiaswening Maharsi

Penerbit Tan Kinira Books e-mail:tankinirabooks@gmail.com twitter: @tan_kinira

Cetakan Pertama, April 2014

Š 2014. Wihambuko Tiaswening Maharsi

Ilustrasi Avira Paramastuti Desain Buku Gamaliel W. Budiharga Kotasis Kamar Desain 3x3x3 kotasis@kotasis.com www.kotasis.com

Dicetak di Indonesia



Kehendak untuk Merasa

Ko sko w W idyatm o ko

B

ahasa dapat diartikan sebagai cara ma­nusia mejalani hidup yang sehari-hari. Tiap peris­tiwa pun melibatkan cara berbahasa ma­sing-masing: upacara, ken­can, pre­sen­tasi kerja, pasar, doa, sidang penga­dil­an, dan lain sebagainya. Sastra -se­bagai se­buah cara bersenianmerupakan satu ru­ang berbahasa. Peristiwa sehari-hari, atau peristiwa biasa, dalam ruang sas­tra dapat dijel­makan sedemikian rupa se­hingga pe­ris­tiwa tersebut menjadi hal yang tidak biasa. Sastra, dalam pengertian yang demikian, jadi cara seseorang untuk tak menyerah begitu saja atas beragam peristiwa yang dialami oleh si penulis, atau orang lain. Karya rekaan tersebut menghadirkan beragam persoalan: nalar, emosi, jiwa, waktu, benda-benda dan ingatan, lirik lagu, pelaku, dan sebagainya. Dalam ruang sastra, semua hal dapat dipersoalkan. Lantas, sastra hadir tidak untuk mengisi waktu luang. Sebaliknya, waktu mesti diluangkan guna memberi ruang bagi sastra (seni). 8


d u nia S im o n

10


laut merah yang dihantam tongkat Musa. Mimpiku terlalu sederhana menurutmu. Sedangkan mimpimu? Kau bahkan tak pernah menceritakannya padaku. Selalu ada lupa untuk kukatakan padamu setelah tahun berlalu....� Dari arah timur laut datang seorang lelaki. Jaket panjang khas musim gugur membungkus tubuhnya. Dengan sebuah pandangan, lelaki itu menyapanya dengan pandangan mata. Senyum mereka berbalas. “Genki desu-ka?� Jakarta, 2009

13


d u nia S im o n

yang membuatnya sesedih itu? Apa ya? Aku sangat ingin tahu. Aku sangat ingin membuka hatinya, aku sangat ingin mendengar ceritanya, aku sangat ingin‌. Ah pasti pembacaku juga. Dan akulah yang harus menceritakan pada mereka saat ini. Kalimat kelima. Aku menghela napas. Kuketik bersamaan dengan datangnya kopi pesananku yang diantar oleh pramusaji yang lain. Perempuan berambut pendek tanpa tindik di hidung tapi terdapat tato di tangan kirinya. Sebuah tulisan. Mataku memicing. Nama! Sebuah nama! Tak kreatif, tapi menunjukkan kalau dia setia. Kutatap wajah manisnya yang tak semanis si tindik tiga. Dia tersenyum. Matanya terkesan tulus, walaupun tak terlalu bagus. Tapi dia manis. Aku balas tersenyum. Hujan reda. Kuhirup kopiku. Wangi kopi, bukan wangi gula. Kuseruput pelan. Sruput! Hangat. Gulanya pas. Sangat pas. Aku sangat bahagia. Entah mengapa tiba-tiba aku sangat bahagia. Pipiku basah. Hah? Perempuan itu menghilang dari jendela. 2007 - 2012 Life is too short for bad coffees. (anonim)

24


Rokok

T

ak ada rokok. Aku tak bisa memutuskan mana hal yang lebih membuatku merasa gamang. Tak ada rokok, atau memang karena tak tahu apa lagi yang mesti kulakukan. Mungkin aku salah tingkah karena tak ada rokok, mungkin juga karena tak tahu apa yang harus kulakukan membuatku merasa membutuhkan rokok. Saat ini tak ada rokok dan aku merasa gamang. Tak ada hal yang bisa kulakukan. Tak ada yang kutunggu. Tak ada hal penting yang layak kupikirkan. Semua hal di sekitarku tak layak. Semua hal yang kumiliki tak layak. Semua hal yang menimpaku kuanggap tak layak. Aku pun tak layak. Tak layak untuk pikiran, tubuh atau sekedar mata coklat mudaku yang mewah. Aku hanya layak untuk rokok. Tapi tak ada rokok; dan aku gamang. Hmmm. Orang di sebelahku merokok, dan melihatnya merokok membuatku ingin merokok juga. Sebatang rokok kurasa 25


D an G adis I t u D atang

S

epasang bola mata yang kutangkap tak sengaja itu berwarna hitam. Biasa, seperti bola mata orang kebanyakan. Tak coklat seperti bola mataku, tak abu-abu seperti bola mata kucingku, tak biru seperti bola mata sosok mati di dinding kamarku, tak juga hijau seperti bola mata sahabatku yang harganya dua ratus ribu. Aku lalu duduk menyilangkan kaki, tak mengindahkan tatapan balasan darinya. Tatapan dua detik, tak sengaja dan penuh penyesalan sesudahnya. Dia seperti menyesal telah menangkap tatapan bola mataku yang coklat. Aku tak tahu mengapa. Dia lalu mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan sibuk membaca. Sibuk atau hanya menyibukkan diri untuk memutuskan interaksi dengan sekitarnya, termasuk denganku. Aku tersinggung, di luar kesadaranku bahwa rasa tersinggung sangatlah mengada-ada. Hal itu membuatku terus berpikir, apa dia lari dariku? 37


D an G adis I t u D atang

berdiri terpaku di samping gerbong. Kakiku mundur dua langkah, badanku berbalik, mataku kupaksa beralih pandang. Satu. Dua. Aku berhitung. Mari berjalan pulang seperti biasa. Jogja, Maret 2004 (Ditulis ulang pada 2012)

49


M impi M impi y ang dit e rbangkan P agi

A

ku masih bisa mendengar langkahnya men­ jauh dari pintu. Aku berharap dia berbalik mengetuk pintu lalu meminta maaf padaku, tapi suara langkah itu justru pelan-pelan menghilang. Aku tak pernah sungguhsungguh memintanya pergi tentu saja. Aku juga tak bermaksud menggertak atau mengetesnya. Sama sekali tidak. Tapi aku memang mengatakan kalau dia tak ingin berada di sini dia boleh memilih untuk pergi. Dan dia pergi. Benar-benar pergi. Aku tak tahu siapa yang memulai perdebatan tadi. Sepertinya dia. Atau aku? Aku tak ingat lagi. Apa yang kami perdebatkan? Aku juga tak ingat lagi. Aku tak pernah benarbenar mendebatnya. Aku hanya suka melihatnya berbicara panjang lebar tentang sesuatu. Aku suka melihatnya dalam mimik serius meyakinkanku tentang suatu hal. Dia akan sangat kaget seandainya tahu dalam hati bahwa aku hanya senang mengamati detil raut wajahnya.

51


d u nia S im o n

52


M impi M impi y ang dit e rbangkan P agi

53


and life is so okay, after you’re not here….

S

emua akan baik-baik saja,” suara Sandra di ponsel, lalu menutupnya.

Semua akan baik-baik saja, aku mengulang kata-kata itu dalam hati. Tentu saja semua akan baik-baik saja. Hari itu akan menjadi hari yang baik untukku. Bodoh sekali beranggapan seperti itu. Aku merasa sesuatu yang kurang mengenakkan akan terjadi, dan semakin kupikirkan semakin membuatku gelisah. Aku meremas tanganku sendiri sampai terasa perih. Kutatap sekeliling. Orang-orang berpasangan, banyak sekali. Biasanya aku tak terlalu peduli pada mereka, mengapa saat ini aku jadi begitu peduli? “Satu latte,” kataku pada salah satu pramusaji.

57



d u nia S im o n

122


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.