Rumah Silaban - Silaban's House

Page 1

rumahsilabansilaban’shouse

“i am an architect, but not an ordinary one”

supported by

mAAN

modern Asian Architecture Network I

N

D

O

N

E

S

I

A

rumahsilabansilaban’shouse


CREDITS Texts Johannes Adiyanto M. Nanda Widyarta Ratana Soun Setiadi Sopandi Sokly Yam Undi Gunawan William Sastrawanto Photos/illustrations Agung A. Rochman : inside cover David A. Sagita : pp 5, 38, 41, 46, 53, 55, 57, 58, 59, 85, cover Priscilla Epifania A. : pp 92 Ryouei Nagano : pp 43, 60, 68, inside cover, freehand sketch Sanita Sepwuchi : pp 50 Undi Gunawan : pp 38, 40, 44, 47, 48, 51, 56, 59, 61 Photographic editing Davd A. Sagita Ryouei Nagano Graphic layout Keiko Iwane David A. Sagita Architectural graphics Y. Khrisna Hadi Putra Nicholas Wijaya Rendy Aditya Andjarkusuma W. Hendrajati Cover graphics Christopher Surya Elvin Santoso

copyright Š 2008 mAAN Indonesia Publishing All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or otherwise, without prior consent of the publishers. The workshop and publication are a join cooperation between mAAN Indonesia and the School of Architecture, Tarumanagara University mAAN Indonesia - F. Silaban inventory research project is supported by cSUR, AGS of the University of Tokyo Printed in Indonesia ISBN

98



modern Asian Architecture Network Indonesia in cooperation with School of Architecture, Tarumanagara University

rumahsilabansilaban'shouse “ i am an architect, but not an ordinary one�

mAAN Indonesia Publishing


modern Asian Architecture Network Indonesia in cooperation with School of Architecture, Tarumanagara University

rumahsilabansilaban'shouse “ i am an architect, but not an ordinary one�

mAAN Indonesia Publishing


ACKNOWLEDGEMENTS Mrs. F. Silaban Panogu Silaban Prof. Shin Muramatsu Dr. Johannes Widodo Franky Liauw Mieke Choandi Prof. Tri Harso Karyono Ark. Djauhari Sumintardja Joko Priyono Dr. Lai Chee Kien Visca Yuliana Mulyadi Djajadi Felicia Lusita Djajadi Timoticin Kwanda Ryuichi Tanigawa Kengo Hayashi


ACKNOWLEDGEMENTS Mrs. F. Silaban Panogu Silaban Prof. Shin Muramatsu Dr. Johannes Widodo Franky Liauw Mieke Choandi Prof. Tri Harso Karyono Ark. Djauhari Sumintardja Joko Priyono Dr. Lai Chee Kien Visca Yuliana Mulyadi Djajadi Felicia Lusita Djajadi Timoticin Kwanda Ryuichi Tanigawa Kengo Hayashi


DAFTAR ISI CONTENTS

PENGANTAR

10

INTRODUCTION

LATAR

14

HISTORICAL BACKGROUND

PENGKURUNAN

20

TIMELINE

KISAH SINGKAT F. SILABAN

24

A BRIEF STORY OF F. SILABAN

RUMAH

34

THE HOUSE

riwayat rumah silaban

37

a story of silaban house

konsep umum rumah silaban

39

silaban house's general concept

"atap adalah keseluruhan rumah!"

44

"the roof is the whole house!"

kesederhanaan, kejelasan dan kejujuran

50

simplicity, clarity and honesty

material dan konstruksi

60

material and construction

catatan mengenai rumah

66

a note on the house

sumber acuan

67

sources of reference

70

ABOUT THE WORKSHOP

TENTANG WORKSHOP workshop silaban: hasil-hasil pentingnya

73

the silaban workshop: its significant result

tentang pappie, sang arsitek

76

about pappie, the architect

"apa yang harus dilakukan"

78

"what needs to be done"

tentang metode dan pelaksanaan workshop

82

about workshop methodology and implementation

gambar terbangun

86

as-built drawings

KONTRIBUTOR

93

CONTRIBUTORS

KREDIT

98

CREDIT


DAFTAR ISI CONTENTS

PENGANTAR

10

INTRODUCTION

LATAR

14

HISTORICAL BACKGROUND

PENGKURUNAN

20

TIMELINE

KISAH SINGKAT F. SILABAN

24

A BRIEF STORY OF F. SILABAN

RUMAH

34

THE HOUSE

riwayat rumah silaban

37

a story of silaban house

konsep umum rumah silaban

39

silaban house's general concept

"atap adalah keseluruhan rumah!"

44

"the roof is the whole house!"

kesederhanaan, kejelasan dan kejujuran

50

simplicity, clarity and honesty

material dan konstruksi

60

material and construction

catatan mengenai rumah

66

a note on the house

sumber acuan

67

sources of reference

70

ABOUT THE WORKSHOP

TENTANG WORKSHOP workshop silaban: hasil-hasil pentingnya

73

the silaban workshop: its significant result

tentang pappie, sang arsitek

76

about pappie, the architect

"apa yang harus dilakukan"

78

"what needs to be done"

tentang metode dan pelaksanaan workshop

82

about workshop methodology and implementation

gambar terbangun

86

as-built drawings

KONTRIBUTOR

93

CONTRIBUTORS

KREDIT

98

CREDIT


PENGANTAR INTRODUCTION

1

2

3

4

5

6

1 Tandatangan Silaban Silaban's signature 2 Keluarga Silaban di muka rumah The Silabans in front of the house 3 Kotak surat Silaban Silaban's mail box 4 5 6 Sketsa tangan oleh Ryouei Nagano A freehand sketch by Ryouei Nagano

9


PENGANTAR INTRODUCTION

1

2

3

4

5

6

1 Tandatangan Silaban Silaban's signature 2 Keluarga Silaban di muka rumah The Silabans in front of the house 3 Kotak surat Silaban Silaban's mail box 4 5 6 Sketsa tangan oleh Ryouei Nagano A freehand sketch by Ryouei Nagano

9


Pengantar Introduction - Josef Prijotomo Perdebatan mengenai arsitek dalam arsitektur modern di Indonesia telah dimulai awal tahun 1920-an. Perdebatan ini tidak sesederhana indikasi masuknya arsitektur modern di Indonesia, tapi juga keberadaan arsitektur kolonial (arsitektur barat pra-modern) dan Arsitektur Nusantara (arsitektur pribumi dan tradisional) pada pertengahan awal abad ke 20-an. Hal tentang adanya tiga aliran arsitektur menantang pemikiran dan praktis arsitektur di abad ke 20-an, termasuk Silaban. Friedrich Silaban, arsitek, kepala bagian Pekerjaan Umum (PU) di Kotamadya Bogor dari tahun 1947 sampai tahun 1965, salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), adalah seorang Protestan dan pernah menjadi ayah yang putus asa karena menghadapi masalah keuangan untuk menghidupi keluarga dengan 10 anak. Dia dididik secara formal di Ilmu Bangunan (bouwkunde ) di tingkat sekolah tinggi kejuruan, tapi memperoleh pengetahuan arsitektur dari berbagai sumber, termasuk pertemuan langsung dengan Frank Llyod Wright dan Louis I. Khan dan mengunjungi Chandigarh dan beberapa tempat lainnya. Kedewasaan arsitekturnya sejalan dengan awal tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Meskipun dia tidak ikut serta dalam politik, dia berkewajiban sebagai orang Indonesia yang membawa dia menyajikan karya arsitekturnya sebagai konstribusinya terhadap ide kebangsaan, modern dan kemerdekaan Indonesia. Masjid Istiqlal, Bank Indonesia, Monumen Irian Barat dan rumahnya hanya beberapa contoh dari karya-karyanya. Lebih dari hanya kepentingan untuk menerima kedatangan Presiden Soekarno, rumahnya memiliki hal-hal yang mengejutkan, menyuguhkan ‘pembacaan’ yang multidimensi. Melalui pembacaan dari sudut pandang arsitektur nusantara, sebagai contoh, satu hal yang ditemukan adalah sebuah transformasi

10

Debates among architects on modern architecture in Indonesia had started as early as 1920s. This debate does not simply indicate the place of modern architecture in Indonesia, but also the state of colonial architecture (premodern western architecture) and of Nusantara architecture (indigenous and traditional architecture) in the first half of the 20 th century. It is also those three genres of architecture that challenges the thinking and practice of architecture in the 20 th century to architects, including Silaban.

yang indah ke dalam arsitektur modern; dia pekerja yang kritis terhadap modern melalui penitikberatan pada ke-tropis-an, adalah pembacaan terhadap rumah. Mungkin, hal ini adalah sisi multidimensional yang mungkin dipahami mengapa Friedrich Silaban mengatakan tentang dirinya sendiri: "Saya seorang arsitek, tapi bukan arsitek biasa".

multidimensionality that one may understand why Friedrich Silaban said about himself: "I am an architect, but not an ordinary one".

Friedrich Silaban, architect, head of the department of Public Works in Bogor municipality from 1947 to 1965, co-founder of Indonesian Institute of Architect (IAI), is a protestant and once a desperate father who face financial trouble to maintain his family of ten children. He was formally educated in building science ( bouwkunde) at high-school level vocational school, but acquiring architectural knowledge through a wealth of sources, including his direct encounters with Frank Lloyd Wright and Louis I. Kahn, and a visit to Chandigarh among others. His maturity in architecture coincided with the early years of Indonesian independent from the Dutch. Even though he was not involved in politics, his obligation as an Indonesian led him to present his architecture as his contribution toward the idea of a ‘nation’, a modern and independent Indonesia. His Istiqlal Mosque, Bank Indonesia, Irian Barat Monument and his house are just examples of his work. More than just a need to welcome the visit of President Soekar no, his house has, surprisingly, allowed a multidimensionality of ‘reading’. Through a reading from Nusantara architecture perspective, for instance, one will find a beautiful transformation into modern; his critical employment of the modern through the imposition of tropicality, is another instance of reading upon that house. Perhaps, it is in this

11


Pengantar Introduction - Josef Prijotomo Perdebatan mengenai arsitek dalam arsitektur modern di Indonesia telah dimulai awal tahun 1920-an. Perdebatan ini tidak sesederhana indikasi masuknya arsitektur modern di Indonesia, tapi juga keberadaan arsitektur kolonial (arsitektur barat pra-modern) dan Arsitektur Nusantara (arsitektur pribumi dan tradisional) pada pertengahan awal abad ke 20-an. Hal tentang adanya tiga aliran arsitektur menantang pemikiran dan praktis arsitektur di abad ke 20-an, termasuk Silaban. Friedrich Silaban, arsitek, kepala bagian Pekerjaan Umum (PU) di Kotamadya Bogor dari tahun 1947 sampai tahun 1965, salah satu pendiri Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), adalah seorang Protestan dan pernah menjadi ayah yang putus asa karena menghadapi masalah keuangan untuk menghidupi keluarga dengan 10 anak. Dia dididik secara formal di Ilmu Bangunan (bouwkunde ) di tingkat sekolah tinggi kejuruan, tapi memperoleh pengetahuan arsitektur dari berbagai sumber, termasuk pertemuan langsung dengan Frank Llyod Wright dan Louis I. Khan dan mengunjungi Chandigarh dan beberapa tempat lainnya. Kedewasaan arsitekturnya sejalan dengan awal tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Meskipun dia tidak ikut serta dalam politik, dia berkewajiban sebagai orang Indonesia yang membawa dia menyajikan karya arsitekturnya sebagai konstribusinya terhadap ide kebangsaan, modern dan kemerdekaan Indonesia. Masjid Istiqlal, Bank Indonesia, Monumen Irian Barat dan rumahnya hanya beberapa contoh dari karya-karyanya. Lebih dari hanya kepentingan untuk menerima kedatangan Presiden Soekarno, rumahnya memiliki hal-hal yang mengejutkan, menyuguhkan ‘pembacaan’ yang multidimensi. Melalui pembacaan dari sudut pandang arsitektur nusantara, sebagai contoh, satu hal yang ditemukan adalah sebuah transformasi

10

Debates among architects on modern architecture in Indonesia had started as early as 1920s. This debate does not simply indicate the place of modern architecture in Indonesia, but also the state of colonial architecture (premodern western architecture) and of Nusantara architecture (indigenous and traditional architecture) in the first half of the 20 th century. It is also those three genres of architecture that challenges the thinking and practice of architecture in the 20 th century to architects, including Silaban.

yang indah ke dalam arsitektur modern; dia pekerja yang kritis terhadap modern melalui penitikberatan pada ke-tropis-an, adalah pembacaan terhadap rumah. Mungkin, hal ini adalah sisi multidimensional yang mungkin dipahami mengapa Friedrich Silaban mengatakan tentang dirinya sendiri: "Saya seorang arsitek, tapi bukan arsitek biasa".

multidimensionality that one may understand why Friedrich Silaban said about himself: "I am an architect, but not an ordinary one".

Friedrich Silaban, architect, head of the department of Public Works in Bogor municipality from 1947 to 1965, co-founder of Indonesian Institute of Architect (IAI), is a protestant and once a desperate father who face financial trouble to maintain his family of ten children. He was formally educated in building science ( bouwkunde) at high-school level vocational school, but acquiring architectural knowledge through a wealth of sources, including his direct encounters with Frank Lloyd Wright and Louis I. Kahn, and a visit to Chandigarh among others. His maturity in architecture coincided with the early years of Indonesian independent from the Dutch. Even though he was not involved in politics, his obligation as an Indonesian led him to present his architecture as his contribution toward the idea of a ‘nation’, a modern and independent Indonesia. His Istiqlal Mosque, Bank Indonesia, Irian Barat Monument and his house are just examples of his work. More than just a need to welcome the visit of President Soekar no, his house has, surprisingly, allowed a multidimensionality of ‘reading’. Through a reading from Nusantara architecture perspective, for instance, one will find a beautiful transformation into modern; his critical employment of the modern through the imposition of tropicality, is another instance of reading upon that house. Perhaps, it is in this

11


LATAR HISTORICAL BACKGROUND

5 Monumen Irian Barat, salah satu karya Silaban West Papua Liberation Monument, one of Silaban's works

12

13


LATAR HISTORICAL BACKGROUND

5 Monumen Irian Barat, salah satu karya Silaban West Papua Liberation Monument, one of Silaban's works

12

13


Latar Historical Background Sejak Perang Kemerdekaan, bangsa Indonesia telah melewati berbagai perjuangan untuk menentukan jati dirinya. Setelah perang berakhir di tahun 1949, terutama pada periode tahun 1950 – 1960, Sukar no menerapkan proyek besarnya dalam rangka "Nation Building". Proyek ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Sukarno untuk membentuk (kembali) jati diri bangsa. Dengan kata lain, usaha tersebut merupakan sebuah usaha bangsa untuk mendapatkan kejelasan dirinya menurut apa yang diinginkan bangsa itu sendiri. Di lain pihak, sebenarnya usaha yang sama terjadi di berbagai negara lain dalam periode yang sama, terutama pada negara-negara dunia ketiga, dalam konteks pasca-kemerdekaan dan Perang Dingin. Sebagai contoh, pada tahun 1950 di Brasilia, Presiden Kubitschek dengan kecenderungan sosialisnya telah mencoba untuk mengangkat citra Brasil seperti yang telah diarahkan oleh para pendiri Brasil modern, yang memiliki pandangan positifistik Auguste Comte. Kasus lain yang terjadi adalah visi Nehru pada Chandigarh. Walaupun proyek tersebut dirancang oleh Le Corbusier dan timnya, namun Nehru-lah yang telah memberikan arah orientasi dan pandangan akan kota tersebut untuk mengangkat citra India modern yang bebas. Dua contoh tersebut adalah beberapa kasus re-definisi proyek naratif, yang dapat mengingatkan seseorang akan imajinasi Benedict Anderson. Kasus yang sama terjadi pada Indonesia era Sukarno. Sukarno ingin membawa Indonesia menuju kebebasan yang terlepas dari pengalaman penjajahan. Dia ingin menghapuskan ingatan-ingatan akan sebuah bangsa terjajah, dan menggantikannya dengan memori baru akan sebuah bangsa yang maju, bebas serta progresif. Dengan kata lain, Sukarno ingin membawa Indonesia menuju narasi dan zaman yang baru. Arsitektur merupakan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut. Keinginan Sukarno ini perlu dilihat dengan

14

Since the War of Independence, Indonesians had overcome various struggles to redefine their nation. After the war ended in 1949, particularly during the period of 1950s to 1960s, Sukarno enacted his grand ‘Nation Building’ project. This project was none other an act of (re)defining oneself. That is to say, it was an effort of a nation to narrate its own narrative in accord to the nation’s own will. Such effort actually occurred in various countries around the world during the period, especially among third world countries, in the context of post-independence and the Cold War. For instance, in 1950s Brazil, President Kubitschek, with his socialist leaning, tried to propel an image of Brazil as had been envisioned by the founders of modern Brazil, who apparently had Auguste Comfste–type of positivistic view. Another example is Nehru’s vision for Chandigarh. Even though it was, obviously, Le Corbusier and his team who designed the city, but it was Nehru who had envisioned the city to be a means for projecting the image of a free and modern India. These were just two examples of such (re) definition of narrative projects, which may remind one with Benedict Anderson’s imagining. The same story also happened in Sukarno’s Indonesia. Sukarno wanted to break free from the colonial experience. He wanted to banish the memory of a colonized nation and replaced it with a new memory of a free and progressive country. In other words, he desired to bring Indonesia to a brand new narrative. Architecture was one of the means to achieve that. Sukarno’s desire has to be set against another context. During the colonial period, particularly in early half of the 20th century, there were attempts by some Dutch architects to define architecture for Indonesia (at that time, Indonesia was known as Netherland East-Indies). Hence the names of Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont and Wolff Schoemaker, etc. But one should notes that these Dutch architects attempts to define

mengingat sebuah konteks lain. Pada periode kolonial, terutama pada awal abad ke-20, beberapa arsitek Belanda telah mencoba berbagai upaya untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia (ketika itu Indonesia dikenal dengan Hindia Belanda). Muncullah nama-nama Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, Wolff Schoemaker dan lain sebagainya. Namun upaya tersebut sebenarnya merupakan upaya yang dilatarbelakangi oleh tujuan imperialis Belanda. Konteks tersebut tidak lain adalah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menciptakan komunitas tunggal Hindia Belanda, sehingga memper mudah dan mengefisienkan usaha pengendalian. Hal ini menjadi catatan penting pada tahun 1980-an oleh seorang sejarahwan Belanda, Jacques van Doorn. Upaya penyatuan komunitas ini dilakukan melalui sintesis budaya Timur dengan budaya Barat. Logika ‘beban (lelaki) kulit putih’ ini tercatat dalam volume buku tebal A.D.A Kat de Angelino dalam pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, terbit tahun 1931. Pada tahun 1920, masih di bawah kekuasaan Belanda, Technishe Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) didirikan di Bandung. Institusi ini tidak lain didirikan, antara lain, untuk memenuhi upaya Belanda dalam menciptakan kesatuan yang utuh antara budaya Timur dan Barat. Sukarno sendiri merupakan salah satu mahasiswa di institusi tersebut, bersama beberapa mahasiswa arsitektur lokal lainnya. Pada periode kolonial inilah, paling tidak dalam logika Siegfried Giedion, arsitektur modern mulai muncul di Indonesia. Beberapa contoh yang dapat disebut seperti sebuah rumah sakit di Medan oleh Groenewegen, atau "T iga Lokomotif" di Bandung oleh Aalbers. Namun arsitektur modern ini merupakan arsitektur modern ‘impor’, sedangkan modernisme arsitektur era Sukarno berada dalam konteks yang sangat berbeda. Mungkin karena konteks kolonial tersebut Sukarno menginginkan sesuatu yang lain untuk Indonesia.

the architecture for Indies had taken place in a rather imperialistic context. The context was an attempt by the colonial government to engineer the formation of a single Indies society, to enable the colonial government to monitor the colony in a more efficient manner. This was noted in 1980s by Jacques van Doorn, a Dutch historian. This attempt to create a single Indies society was carried out through a synthesis between Eastern and Western cultural elements. Such white-men’s-burden like logic within Dutch minds is evident in the thick volumes of books by A.D.A Kat de Angelino on Dutch colonial administration in Indonesia, published in 1931. In 1920, still under the Dutch authority, the Technische Hooge School (Technical Higher School) was established in Bandung. The institute was established to fulfill, among others, the purpose of the Dutch attempt that is to create a single entity out of a synthesis between the East and the West. Sukarno himself was one of the students at the institution, along with a few of other local architects. It was actually during this particular colonial period when modern architecture, at least in Sigfried Giedion’s kind of sense, started to appear in Indonesia. One can mention the hospital in Medan, designed by Groenewegen, or the "Three Locomotives" in Bandung by Aalbers, just to name a few samples. Yet the modern architecture was imported under the aforementioned colonial context; whereas the context of Sukarno era’s modernism was different. Perhaps it was due to such colonial context that Sukarno wanted something else for Indonesia. H e w a n t e d a m o d e r n a rc h i t e c t u r e a s a n image projector for the desired Indonesia. Simultaneously during the period of this ‘Nation Building’ projects, there were a number of young architects who began their tasks. They were the ones who helped to define the modernism in Indonesian architecture, so that they, too, played an important role in projecting the image of

15


Latar Historical Background Sejak Perang Kemerdekaan, bangsa Indonesia telah melewati berbagai perjuangan untuk menentukan jati dirinya. Setelah perang berakhir di tahun 1949, terutama pada periode tahun 1950 – 1960, Sukar no menerapkan proyek besarnya dalam rangka "Nation Building". Proyek ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Sukarno untuk membentuk (kembali) jati diri bangsa. Dengan kata lain, usaha tersebut merupakan sebuah usaha bangsa untuk mendapatkan kejelasan dirinya menurut apa yang diinginkan bangsa itu sendiri. Di lain pihak, sebenarnya usaha yang sama terjadi di berbagai negara lain dalam periode yang sama, terutama pada negara-negara dunia ketiga, dalam konteks pasca-kemerdekaan dan Perang Dingin. Sebagai contoh, pada tahun 1950 di Brasilia, Presiden Kubitschek dengan kecenderungan sosialisnya telah mencoba untuk mengangkat citra Brasil seperti yang telah diarahkan oleh para pendiri Brasil modern, yang memiliki pandangan positifistik Auguste Comte. Kasus lain yang terjadi adalah visi Nehru pada Chandigarh. Walaupun proyek tersebut dirancang oleh Le Corbusier dan timnya, namun Nehru-lah yang telah memberikan arah orientasi dan pandangan akan kota tersebut untuk mengangkat citra India modern yang bebas. Dua contoh tersebut adalah beberapa kasus re-definisi proyek naratif, yang dapat mengingatkan seseorang akan imajinasi Benedict Anderson. Kasus yang sama terjadi pada Indonesia era Sukarno. Sukarno ingin membawa Indonesia menuju kebebasan yang terlepas dari pengalaman penjajahan. Dia ingin menghapuskan ingatan-ingatan akan sebuah bangsa terjajah, dan menggantikannya dengan memori baru akan sebuah bangsa yang maju, bebas serta progresif. Dengan kata lain, Sukarno ingin membawa Indonesia menuju narasi dan zaman yang baru. Arsitektur merupakan salah satu cara untuk mencapai hal tersebut. Keinginan Sukarno ini perlu dilihat dengan

14

Since the War of Independence, Indonesians had overcome various struggles to redefine their nation. After the war ended in 1949, particularly during the period of 1950s to 1960s, Sukarno enacted his grand ‘Nation Building’ project. This project was none other an act of (re)defining oneself. That is to say, it was an effort of a nation to narrate its own narrative in accord to the nation’s own will. Such effort actually occurred in various countries around the world during the period, especially among third world countries, in the context of post-independence and the Cold War. For instance, in 1950s Brazil, President Kubitschek, with his socialist leaning, tried to propel an image of Brazil as had been envisioned by the founders of modern Brazil, who apparently had Auguste Comfste–type of positivistic view. Another example is Nehru’s vision for Chandigarh. Even though it was, obviously, Le Corbusier and his team who designed the city, but it was Nehru who had envisioned the city to be a means for projecting the image of a free and modern India. These were just two examples of such (re) definition of narrative projects, which may remind one with Benedict Anderson’s imagining. The same story also happened in Sukarno’s Indonesia. Sukarno wanted to break free from the colonial experience. He wanted to banish the memory of a colonized nation and replaced it with a new memory of a free and progressive country. In other words, he desired to bring Indonesia to a brand new narrative. Architecture was one of the means to achieve that. Sukarno’s desire has to be set against another context. During the colonial period, particularly in early half of the 20th century, there were attempts by some Dutch architects to define architecture for Indonesia (at that time, Indonesia was known as Netherland East-Indies). Hence the names of Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont and Wolff Schoemaker, etc. But one should notes that these Dutch architects attempts to define

mengingat sebuah konteks lain. Pada periode kolonial, terutama pada awal abad ke-20, beberapa arsitek Belanda telah mencoba berbagai upaya untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia (ketika itu Indonesia dikenal dengan Hindia Belanda). Muncullah nama-nama Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, Wolff Schoemaker dan lain sebagainya. Namun upaya tersebut sebenarnya merupakan upaya yang dilatarbelakangi oleh tujuan imperialis Belanda. Konteks tersebut tidak lain adalah upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menciptakan komunitas tunggal Hindia Belanda, sehingga memper mudah dan mengefisienkan usaha pengendalian. Hal ini menjadi catatan penting pada tahun 1980-an oleh seorang sejarahwan Belanda, Jacques van Doorn. Upaya penyatuan komunitas ini dilakukan melalui sintesis budaya Timur dengan budaya Barat. Logika ‘beban (lelaki) kulit putih’ ini tercatat dalam volume buku tebal A.D.A Kat de Angelino dalam pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia, terbit tahun 1931. Pada tahun 1920, masih di bawah kekuasaan Belanda, Technishe Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) didirikan di Bandung. Institusi ini tidak lain didirikan, antara lain, untuk memenuhi upaya Belanda dalam menciptakan kesatuan yang utuh antara budaya Timur dan Barat. Sukarno sendiri merupakan salah satu mahasiswa di institusi tersebut, bersama beberapa mahasiswa arsitektur lokal lainnya. Pada periode kolonial inilah, paling tidak dalam logika Siegfried Giedion, arsitektur modern mulai muncul di Indonesia. Beberapa contoh yang dapat disebut seperti sebuah rumah sakit di Medan oleh Groenewegen, atau "T iga Lokomotif" di Bandung oleh Aalbers. Namun arsitektur modern ini merupakan arsitektur modern ‘impor’, sedangkan modernisme arsitektur era Sukarno berada dalam konteks yang sangat berbeda. Mungkin karena konteks kolonial tersebut Sukarno menginginkan sesuatu yang lain untuk Indonesia.

the architecture for Indies had taken place in a rather imperialistic context. The context was an attempt by the colonial government to engineer the formation of a single Indies society, to enable the colonial government to monitor the colony in a more efficient manner. This was noted in 1980s by Jacques van Doorn, a Dutch historian. This attempt to create a single Indies society was carried out through a synthesis between Eastern and Western cultural elements. Such white-men’s-burden like logic within Dutch minds is evident in the thick volumes of books by A.D.A Kat de Angelino on Dutch colonial administration in Indonesia, published in 1931. In 1920, still under the Dutch authority, the Technische Hooge School (Technical Higher School) was established in Bandung. The institute was established to fulfill, among others, the purpose of the Dutch attempt that is to create a single entity out of a synthesis between the East and the West. Sukarno himself was one of the students at the institution, along with a few of other local architects. It was actually during this particular colonial period when modern architecture, at least in Sigfried Giedion’s kind of sense, started to appear in Indonesia. One can mention the hospital in Medan, designed by Groenewegen, or the "Three Locomotives" in Bandung by Aalbers, just to name a few samples. Yet the modern architecture was imported under the aforementioned colonial context; whereas the context of Sukarno era’s modernism was different. Perhaps it was due to such colonial context that Sukarno wanted something else for Indonesia. H e w a n t e d a m o d e r n a rc h i t e c t u r e a s a n image projector for the desired Indonesia. Simultaneously during the period of this ‘Nation Building’ projects, there were a number of young architects who began their tasks. They were the ones who helped to define the modernism in Indonesian architecture, so that they, too, played an important role in projecting the image of

15


Beliau membutuhkan arsitektur modern untuk mengangkat citra bangsa Indonesia sesuai visinya. Pada waktu yang bersamaan dengan proyek ‘Pembangunan Nasional’, beberapa arsitek muda Indonesia memulai tugasnya. Pada tahun 1959, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan, dan Silaban juga ikut terlibat di dalamnya. Organisasi ini tidak lain merupakan pengganti dari organisasi arsitek sebelumnya, NIAK. Upaya ini dapat dilihat sebagai upaya pembebasan diri dari ingatan kolonial. Untuk merealisasikan arsitektur modern sesuai visi Sukarno, para arsitek muda tersebut mencoba mencari identitas arsitektur modern Indonesia. Upaya menciptakan arsitektur modern Indonesia kemudian menjadi bagian dari proyek ‘Pembangunan Nasional’ melalui modernitas. Tentunya terdapat berbagai faktor lain di balik pemikiran Sukarno akan modernisme. Sebagai awal, Sukarno pernah magang di kantor Wolff Schoemaker. Schoemaker sendiri merupakan arsitek Belanda yang ingin membawa modernisme ke Indonesia untuk mendefinisikan ‘Arsitektur Indis’. Kedua, Sukarno berkuasa ketika modernisme menjadi fashion tersendiri (sekalipun para arsitek modernis cenderung menyangkal fashion ). Bagaimanapun juga, buku ini ingin mengangkat konteks politik yang melatar belakanginya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam konteks tersebut adalah dilema yang dihadapi Sukarno: keberagaman demografis Indonesia. T idak seperti, sebutlah, Kamboja, tempat sebuah budaya Khmer mendominasi. Sedangkan di Indonesia tidak ada satu pun budaya yang dominan. Justru akan menjadi berbahaya apabila Sukarno mengangkat salah satu budaya berdasarkan etnisitas untuk menyatukan bangsa Indonesia. Hal ini menyebabkan Sukarno membutuhkan sesuatu yang netral yang dapat diterima seluruh pihak–sesuatu yang modern– seperti yang ditulis oleh Abidin Kusno dalam disertasinya. Modernisme menjadi sebuah media

16

the nation. In 1959, the Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), or the Indonesian Institute of Architects, was established, and Silaban was involved in its formation. This professional institution was a replacement of its colonial predecessor, NIAK. One may read this particular narrative as an attempt to free the profession from colonial memory. In order to realize moder n architecture in accordance to Sukarno’s vision, those architects started to try finding the“ true” Indonesian identity modern architecture. Those attempts for creating Indonesian modern architecture became a part of the ‘Nation Building’ projects, via a particularly catchy term, ‘modernity’. Certainly there were some other factors behind Sukarno’s preferences for modernism. Firstly, Sukarno had been an intern at Wolff Schoemaker’s office. Schoemaker was a Dutch architect who wanted to bring in modernism into Indonesia, in order to define "Indies architecture". Second, Sukarno reigned when modernism was in fashion (it has to be said that way, eventhough modernist architects tended to despise fashion). However, it is the political context that this book wants to bring up hereby. One thing regarding the context that needs to be noticed is a particular dilemma faced by Sukarno: the demographical diversity of Indonesia. Unlike, say, Cambodia, in which Khmer culture is rather dominant, there is no single dominant culture in Indonesia. It is in fact dangerous to uphold one culture over the others, in the light of the desired united Indonesia. So Sukarno needed something neutral, which could be acceptable for all. Thus the opting for modernism as Abidin Kusno noted in his dissertation. Modernism became a neutral mass media to disseminate Sukarno’s ideology. As such, Sukarno wanted something that was not only modern, but also monumental. Such monumentality, as a language would produce an effect of the sublime. As an English

massa untuk menyampaikan ideologi Sukarno. Sukarno menginginkan sesuatu yang tidak hanya modern, tapi juga monumental. Monumentalitas tersebut menjadi sebuah karakter arsitektaral yang menyebabkan efek sublim. Efek sublim ini, seperti yang dikatakan oleh filsuf Inggris Edmund Burke, akan membuat orang takjub, dan orang akan tenggelam ke dalam pesona sublim tersebut. Dengan melihat dari beberapa proyek ‘mercu suar’ Sukarno seperti poros Thamrin – Sudirman di Jakarta, sublimitas terasa sebagai sesuatu yang memang diinginkan oleh Sukarno. Sublimitas tersebut tidak hanya terjadi pada proyek yang dibangun, namun juga dalam cara Sukarno menamakan anak-anaknya, seperti Guruh dan Guntur. Hanya saja, menurut Hannah Arendt, cara tersebut dapat dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan, yang mana massa dibentuk menjadi satu entitas untuk memenuhi tujuan tunggal. Cara tersebut merupakan cara yang digunakan Sukarno untuk menyebarkan idenya kepada massa, untuk merealisasikan Indonesia yang divisikan olehnya, Indonesia yang bebas dan berfokus menuju masa depan yang lebih baik. Untuk tujuan inilah, arsitektur modern memegang peranan penting. Dalam konteks-konteks yang disebutkan di ataslah Friedrich Silaban hidup sebagai arsitek. Silaban memiliki kecenderungan untuk menciptakan skema desain arsitektur modern dan monumental. Kebanyakan monumentalitas yang muncul dalam karyanya didapatkan melalui aplikasi prinsip desain klasik seperti proporsi, harmoni, ritme dan skala (mungkin berhubungan dengan personalitas Silaban yg menyukai musik klasik). Hal ini dapat dilihat pada desain Gedung Pola dan Mesjid Istiqlal, sebagai dua contoh. Tendensi untuk menciptakan arsitektur modern dan monumental inilah yang kemudian membuat Silaban menjadi arsitek pilihan Sukarno.

philosopher Edmund Burke opined, something sublime would awe people, making them submit to the awesomeness of the sublime. Looking at some of Sukarno’s modernist projects such as the rather grand Thamrin – Sudirman axis in Jakarta, it seems that the sublime is precisely what Sukarno wanted. Such sublimity is not only evident in his projects, but also in the manner in which he gives his public speeches, and the manner he named his children, such as Guruh and Guntur (both mean "thunder" in English). Of course, to recall Hannah Arendt, such strategy can be regarded as a form of violence, in which the mass is formed into one to serve a single purpose. Such was the manner in which Sukarno tried to disseminate his ideas towards the mass, in order to realize his desired Indonesia, which is free and forward oriented. And for this very purpose, modern architecture had to play a pivotal role. It was exactly within the aforementioned contexts above Friedrich Silaban dwelled as an architect. Silaban had a tendency to create modernist and monumental architecture schemes. Usually, the monumentality at his works was obtained through the use of classical design principles, such proportion, harmony, rythm and scale (perhaps this was related to Silaban’s liking of classical music). This was evident in the cases of Gedung Pola and Istiqlal Mosque, to name just two. It was such monumental and modernist tendency that made Silaban as the architect of Sukarno’s choice. It is quite intriguing that after the demise of Sukarno, Silaban read a few books on Albert Speer. Could this be a sign that Silaban’s ponder upon himself through Speer? But one thing for sure is this: upon the end of Sukarno’s regime, the new, pro-Western Suharto regime (the so-called New Order regime) tried to banish anything and anyone related to Sukarno’s regime. Silaban was associated with Sukarno. Perhaps this was a factor behind the belated payment to Silaban for the design of Hotel Borobudur (initially called

17


Beliau membutuhkan arsitektur modern untuk mengangkat citra bangsa Indonesia sesuai visinya. Pada waktu yang bersamaan dengan proyek ‘Pembangunan Nasional’, beberapa arsitek muda Indonesia memulai tugasnya. Pada tahun 1959, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) didirikan, dan Silaban juga ikut terlibat di dalamnya. Organisasi ini tidak lain merupakan pengganti dari organisasi arsitek sebelumnya, NIAK. Upaya ini dapat dilihat sebagai upaya pembebasan diri dari ingatan kolonial. Untuk merealisasikan arsitektur modern sesuai visi Sukarno, para arsitek muda tersebut mencoba mencari identitas arsitektur modern Indonesia. Upaya menciptakan arsitektur modern Indonesia kemudian menjadi bagian dari proyek ‘Pembangunan Nasional’ melalui modernitas. Tentunya terdapat berbagai faktor lain di balik pemikiran Sukarno akan modernisme. Sebagai awal, Sukarno pernah magang di kantor Wolff Schoemaker. Schoemaker sendiri merupakan arsitek Belanda yang ingin membawa modernisme ke Indonesia untuk mendefinisikan ‘Arsitektur Indis’. Kedua, Sukarno berkuasa ketika modernisme menjadi fashion tersendiri (sekalipun para arsitek modernis cenderung menyangkal fashion ). Bagaimanapun juga, buku ini ingin mengangkat konteks politik yang melatar belakanginya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam konteks tersebut adalah dilema yang dihadapi Sukarno: keberagaman demografis Indonesia. T idak seperti, sebutlah, Kamboja, tempat sebuah budaya Khmer mendominasi. Sedangkan di Indonesia tidak ada satu pun budaya yang dominan. Justru akan menjadi berbahaya apabila Sukarno mengangkat salah satu budaya berdasarkan etnisitas untuk menyatukan bangsa Indonesia. Hal ini menyebabkan Sukarno membutuhkan sesuatu yang netral yang dapat diterima seluruh pihak–sesuatu yang modern– seperti yang ditulis oleh Abidin Kusno dalam disertasinya. Modernisme menjadi sebuah media

16

the nation. In 1959, the Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), or the Indonesian Institute of Architects, was established, and Silaban was involved in its formation. This professional institution was a replacement of its colonial predecessor, NIAK. One may read this particular narrative as an attempt to free the profession from colonial memory. In order to realize moder n architecture in accordance to Sukarno’s vision, those architects started to try finding the“ true” Indonesian identity modern architecture. Those attempts for creating Indonesian modern architecture became a part of the ‘Nation Building’ projects, via a particularly catchy term, ‘modernity’. Certainly there were some other factors behind Sukarno’s preferences for modernism. Firstly, Sukarno had been an intern at Wolff Schoemaker’s office. Schoemaker was a Dutch architect who wanted to bring in modernism into Indonesia, in order to define "Indies architecture". Second, Sukarno reigned when modernism was in fashion (it has to be said that way, eventhough modernist architects tended to despise fashion). However, it is the political context that this book wants to bring up hereby. One thing regarding the context that needs to be noticed is a particular dilemma faced by Sukarno: the demographical diversity of Indonesia. Unlike, say, Cambodia, in which Khmer culture is rather dominant, there is no single dominant culture in Indonesia. It is in fact dangerous to uphold one culture over the others, in the light of the desired united Indonesia. So Sukarno needed something neutral, which could be acceptable for all. Thus the opting for modernism as Abidin Kusno noted in his dissertation. Modernism became a neutral mass media to disseminate Sukarno’s ideology. As such, Sukarno wanted something that was not only modern, but also monumental. Such monumentality, as a language would produce an effect of the sublime. As an English

massa untuk menyampaikan ideologi Sukarno. Sukarno menginginkan sesuatu yang tidak hanya modern, tapi juga monumental. Monumentalitas tersebut menjadi sebuah karakter arsitektaral yang menyebabkan efek sublim. Efek sublim ini, seperti yang dikatakan oleh filsuf Inggris Edmund Burke, akan membuat orang takjub, dan orang akan tenggelam ke dalam pesona sublim tersebut. Dengan melihat dari beberapa proyek ‘mercu suar’ Sukarno seperti poros Thamrin – Sudirman di Jakarta, sublimitas terasa sebagai sesuatu yang memang diinginkan oleh Sukarno. Sublimitas tersebut tidak hanya terjadi pada proyek yang dibangun, namun juga dalam cara Sukarno menamakan anak-anaknya, seperti Guruh dan Guntur. Hanya saja, menurut Hannah Arendt, cara tersebut dapat dianggap sebagai sebuah bentuk kekerasan, yang mana massa dibentuk menjadi satu entitas untuk memenuhi tujuan tunggal. Cara tersebut merupakan cara yang digunakan Sukarno untuk menyebarkan idenya kepada massa, untuk merealisasikan Indonesia yang divisikan olehnya, Indonesia yang bebas dan berfokus menuju masa depan yang lebih baik. Untuk tujuan inilah, arsitektur modern memegang peranan penting. Dalam konteks-konteks yang disebutkan di ataslah Friedrich Silaban hidup sebagai arsitek. Silaban memiliki kecenderungan untuk menciptakan skema desain arsitektur modern dan monumental. Kebanyakan monumentalitas yang muncul dalam karyanya didapatkan melalui aplikasi prinsip desain klasik seperti proporsi, harmoni, ritme dan skala (mungkin berhubungan dengan personalitas Silaban yg menyukai musik klasik). Hal ini dapat dilihat pada desain Gedung Pola dan Mesjid Istiqlal, sebagai dua contoh. Tendensi untuk menciptakan arsitektur modern dan monumental inilah yang kemudian membuat Silaban menjadi arsitek pilihan Sukarno.

philosopher Edmund Burke opined, something sublime would awe people, making them submit to the awesomeness of the sublime. Looking at some of Sukarno’s modernist projects such as the rather grand Thamrin – Sudirman axis in Jakarta, it seems that the sublime is precisely what Sukarno wanted. Such sublimity is not only evident in his projects, but also in the manner in which he gives his public speeches, and the manner he named his children, such as Guruh and Guntur (both mean "thunder" in English). Of course, to recall Hannah Arendt, such strategy can be regarded as a form of violence, in which the mass is formed into one to serve a single purpose. Such was the manner in which Sukarno tried to disseminate his ideas towards the mass, in order to realize his desired Indonesia, which is free and forward oriented. And for this very purpose, modern architecture had to play a pivotal role. It was exactly within the aforementioned contexts above Friedrich Silaban dwelled as an architect. Silaban had a tendency to create modernist and monumental architecture schemes. Usually, the monumentality at his works was obtained through the use of classical design principles, such proportion, harmony, rythm and scale (perhaps this was related to Silaban’s liking of classical music). This was evident in the cases of Gedung Pola and Istiqlal Mosque, to name just two. It was such monumental and modernist tendency that made Silaban as the architect of Sukarno’s choice. It is quite intriguing that after the demise of Sukarno, Silaban read a few books on Albert Speer. Could this be a sign that Silaban’s ponder upon himself through Speer? But one thing for sure is this: upon the end of Sukarno’s regime, the new, pro-Western Suharto regime (the so-called New Order regime) tried to banish anything and anyone related to Sukarno’s regime. Silaban was associated with Sukarno. Perhaps this was a factor behind the belated payment to Silaban for the design of Hotel Borobudur (initially called

17


Adalah cukup menarik, bahwa pada masa setelah jatuhnya Sukarno, Silaban membaca b e b e r a p a b u k u m e n g e n a i A l b e r t S p e e r. Apakah ini merupakan pertanda bahwa Silaban merenungi dirinya sendiri melalui cerminan Albert Speer? Hanya satu hal yang pasti: setelah berakhirnya era Sukarno, rezim Orde Baru yang lebih pro-Barat mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Sukarno. Silaban merupakan seseorang yang diasosiasikan dengan Sukarno. Kemungkinan faktor inilah yang menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran jasa desain Silaban untuk Hotel Banteng (sekarang Hotel Borobudur). Kemungkinan juga hal ini yang menyebabkan posisi Silaban sebagai arsitek tersisihkan. Namun para arsitek dan mahasiswa arsitektur di Indonesia tetap menghormatinya secara terbuka, in spite of all.

Hotel Banteng, in Jakarta). Perhaps, this was also the reason why Silaban was, in a sense, censured in the post-Sukarno era. But architects and architecture students in Indonesia still openly revered him, in spite of all.

6

18

Maket Asli Masjid Istiqlal Istiqlal Mosque Original Model

19


Adalah cukup menarik, bahwa pada masa setelah jatuhnya Sukarno, Silaban membaca b e b e r a p a b u k u m e n g e n a i A l b e r t S p e e r. Apakah ini merupakan pertanda bahwa Silaban merenungi dirinya sendiri melalui cerminan Albert Speer? Hanya satu hal yang pasti: setelah berakhirnya era Sukarno, rezim Orde Baru yang lebih pro-Barat mencoba untuk menghapuskan semua hal yang terkait dengan rezim Sukarno. Silaban merupakan seseorang yang diasosiasikan dengan Sukarno. Kemungkinan faktor inilah yang menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran jasa desain Silaban untuk Hotel Banteng (sekarang Hotel Borobudur). Kemungkinan juga hal ini yang menyebabkan posisi Silaban sebagai arsitek tersisihkan. Namun para arsitek dan mahasiswa arsitektur di Indonesia tetap menghormatinya secara terbuka, in spite of all.

Hotel Banteng, in Jakarta). Perhaps, this was also the reason why Silaban was, in a sense, censured in the post-Sukarno era. But architects and architecture students in Indonesia still openly revered him, in spite of all.

6

18

Maket Asli Masjid Istiqlal Istiqlal Mosque Original Model

19


Pengkurunan Timeline

1900 - 1914

1915 - 1920

1921 - 1933

1934 - 1940

1941 - 1950

1951 - 1960

1961 - 1970

1971 - 1984

1923 Le Corbusier’s - Vers Une Architecture

1934 Museum of Modern Art - Machine Art

1941 Siegfried Giedion - Space, Time, and Architecture

1951 Le Corbusier - Chandigarh

1962-64 Robert Venturi - Vanna Venturi House

1971 Victor Papanek - Design for Real World

1923-25 Gerrit Rietveld - Schröder’s House

1935-37 Frank Lloyd Wright - Falling Water

1943-(51) Frank Lloyd Wright - Guggenheim Museum

1953 Oscar Niemeyer - Niemeyer House

1966 Robert Venturi - Complexity and Contradiction

1973 Arab boycott of oil, gaves Indonesia an opportunity for oil profit

1925 Walter Gropius - Bauhaus

1936 Water Benjamin - The Work of Art in an Age of Mechanical Reproduction

1945 1954 Atomic Bombs droped on Hirosima and Nagasaki, French’s defeat at Dien Bien Phu Japan (end of World War II) 1955 1945-51 Disneyland Mies van der Rohe - Fansworth House 1956 1947 Suez conflict Eames Plywood Chair 1957 (1947)-51 Sputnik Launched Levittown 1958 1941 Oscar Niemeyer and Lucio Costa’s - Brasillia Maxwell Fry and Jane Dry try developing modern architecture for the tropics in places like Nigeria. 1959 Architectural Association School opens a program Frank Lloyd Wright - Guggenheim Museum study the application of modernist architecture in Cuban Revolution the tropic

International Event 1900 Sigmund Freud - The Interpretation of Dream 1901 Frank Lloyd Wright - Art and Craft for the Machines 1902-04 August Perret - Rue Franklin Apartment 1903 Wrights - Flying Machines 1905 Albert Einstein proposes relativity theory 1908 Cubism movement

1917 Bolshevik Revolution, Marcel Duschamp puts urinal at a gallery in New York Theo van Doesburg, De Stijl movement in Holland 1918 Gerrit Rietveld - Red and Blue chair 1919 Treaty of Versailles, Wilson 14 points 1920 The Malaise in world general as an impact of World War I, it would affect Indonesia later on Harlem Renaissance Vladimir Tatin - Monument to the Third International

1925-26 Marcel Breuer - Wassily Chair 1927 Mies van der Rohe - Weissenhof Apartment 1928 Penicillin

1910 Frank Lloyd Wright - Robie House

1928-32 Pierre Chareau and Bernard Bijvoet - Maison de Verre

1914 World War I

1930 Stockholm Exihibition

1937 ‘Degenerate Art’ exibihition Picasso - Guernica 1939 World War II

1932 - 33 Hans Scharoun - Schminke House

1968 L’evenement, Paris

1975 USA’s defeat at Vietnam

1969 Pruitt-Igoe got demolished 1970 Jencks applied the term ‘Postmodernism’ on architectural discourse

1978 Rem Koolhas - Delirious New York 1979 Iranian Revolution 1980 Iraqi attack prompts Iraq - Iran War Postmodernist architects were presented at the Venice Bienalle, while an Italian architecture magazine proclaimed the death of postmodernism 1980s Derridean deconstructive method was applied by Bernard Tschumi and some other

1960 Archigram and techno theories by Banham

1982 Israeli invasion of Lebanon

1933 Bauhaus was closed down by Social Nationalists Hitler Ascend to Power CIAM - Athens Charter

Event in Indonesia (& Silaban affiliation) 1900s Ethical Policy was enacted in Indonesia 1901 Soekarno was born

1919-20 Technische Hoogeschool by Henri Maclaine Pont, partly due to Ethical Policy, partly due to Practical Factors

1920s The appearances of Art Deco and other modernist 1905 Moojen criticized the blind copying of European buildings in Indonesia architecture in Indonesia 1908 Boedi Oetomo was founded as the first organization in Indonesia 1912 F. Silaban was born

1925 1935 Some Indonesian students in Holland founded the F. Silaban won a number of design competitions Indonesian Association (Perhimpunan Indonesia) initiated by Dutch 1926 1938 Soekarno graduated from Bandung Technische Soekarno, as an architect, proposed during an Hoogeschool (TH-Bandung) interview with the Pujangga Baru literary journal an idea for Indonesian architecture which is akin 1927 to Sigfried Giedion’s logic on the development of Workers strikes against colonial goverments dimentionality initiated by communist elements 1928 “Sumpah Pemuda” was declared during the second youth congress in Jakarta 1929 Annual fair at Pasar Gambir in Koningsplein, Jakarta, where Silaban met Antonisse and eventually develop close relationship with the Dutch architect 1929 F. Silaban graduated by his tecnical high school, got a job in Public Works of Dutch Administration

1942 Japanese invation to Indonesia 1945 Indonesia proclaimed independence 1946 F. Silaban got married 1947 First Dutch aggression to Indonesia F. Silaban was appointed to be the head and then director of Bogor Publi Works

1954 F. Silaban won design competitions of Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia and Istiqlal Mosque 1955 Bandung Asia-Africa Conference 1958 CIA - sponsored rebellion in Sumatera and Sulawesi appeared, but quickly crushed by Soekarno F. Silaban designed his house as impact from Soekarno’s request of visit and the construction began

1948 Second Dutch aggression to Indonesia 1960 Kebayoran Baru satellite city development was Situationist International Manifesto started according to Soesilo’s planning

1960s 1949 Soekarno’s “Nation Building” project emerged Holland recognized Indonesia’s independence with Japanese reperation funds F. Silaban wents to the Netherlands to attend the lectures in Academie voor Bouwkunst

1963 Indonesia’s acqusition of West Irian (Irian Barat) from Holland

1984 F. Silaban’s death

1965 Coup in Indonesia, the fall of Soekarno, the rise of military regime under Soeharto (New Order) F. Silaban was retired from his civil public service 1968 Construction of Istiqlal Mosque, F. Silaban was appointed as Deputy Project Manager 1970 Soekarno’s death

LEGEND Events, Political Affairs and Institutions Critical Inventions Modern Art and Architecture Movement Philosophies and Manifestoes Silaban’s Affiliation


Pengkurunan Timeline

1900 - 1914

1915 - 1920

1921 - 1933

1934 - 1940

1941 - 1950

1951 - 1960

1961 - 1970

1971 - 1984

1923 Le Corbusier’s - Vers Une Architecture

1934 Museum of Modern Art - Machine Art

1941 Siegfried Giedion - Space, Time, and Architecture

1951 Le Corbusier - Chandigarh

1962-64 Robert Venturi - Vanna Venturi House

1971 Victor Papanek - Design for Real World

1923-25 Gerrit Rietveld - Schröder’s House

1935-37 Frank Lloyd Wright - Falling Water

1943-(51) Frank Lloyd Wright - Guggenheim Museum

1953 Oscar Niemeyer - Niemeyer House

1966 Robert Venturi - Complexity and Contradiction

1973 Arab boycott of oil, gaves Indonesia an opportunity for oil profit

1925 Walter Gropius - Bauhaus

1936 Water Benjamin - The Work of Art in an Age of Mechanical Reproduction

1945 1954 Atomic Bombs droped on Hirosima and Nagasaki, French’s defeat at Dien Bien Phu Japan (end of World War II) 1955 1945-51 Disneyland Mies van der Rohe - Fansworth House 1956 1947 Suez conflict Eames Plywood Chair 1957 (1947)-51 Sputnik Launched Levittown 1958 1941 Oscar Niemeyer and Lucio Costa’s - Brasillia Maxwell Fry and Jane Dry try developing modern architecture for the tropics in places like Nigeria. 1959 Architectural Association School opens a program Frank Lloyd Wright - Guggenheim Museum study the application of modernist architecture in Cuban Revolution the tropic

International Event 1900 Sigmund Freud - The Interpretation of Dream 1901 Frank Lloyd Wright - Art and Craft for the Machines 1902-04 August Perret - Rue Franklin Apartment 1903 Wrights - Flying Machines 1905 Albert Einstein proposes relativity theory 1908 Cubism movement

1917 Bolshevik Revolution, Marcel Duschamp puts urinal at a gallery in New York Theo van Doesburg, De Stijl movement in Holland 1918 Gerrit Rietveld - Red and Blue chair 1919 Treaty of Versailles, Wilson 14 points 1920 The Malaise in world general as an impact of World War I, it would affect Indonesia later on Harlem Renaissance Vladimir Tatin - Monument to the Third International

1925-26 Marcel Breuer - Wassily Chair 1927 Mies van der Rohe - Weissenhof Apartment 1928 Penicillin

1910 Frank Lloyd Wright - Robie House

1928-32 Pierre Chareau and Bernard Bijvoet - Maison de Verre

1914 World War I

1930 Stockholm Exihibition

1937 ‘Degenerate Art’ exibihition Picasso - Guernica 1939 World War II

1932 - 33 Hans Scharoun - Schminke House

1968 L’evenement, Paris

1975 USA’s defeat at Vietnam

1969 Pruitt-Igoe got demolished 1970 Jencks applied the term ‘Postmodernism’ on architectural discourse

1978 Rem Koolhas - Delirious New York 1979 Iranian Revolution 1980 Iraqi attack prompts Iraq - Iran War Postmodernist architects were presented at the Venice Bienalle, while an Italian architecture magazine proclaimed the death of postmodernism 1980s Derridean deconstructive method was applied by Bernard Tschumi and some other

1960 Archigram and techno theories by Banham

1982 Israeli invasion of Lebanon

1933 Bauhaus was closed down by Social Nationalists Hitler Ascend to Power CIAM - Athens Charter

Event in Indonesia (& Silaban affiliation) 1900s Ethical Policy was enacted in Indonesia 1901 Soekarno was born

1919-20 Technische Hoogeschool by Henri Maclaine Pont, partly due to Ethical Policy, partly due to Practical Factors

1920s The appearances of Art Deco and other modernist 1905 Moojen criticized the blind copying of European buildings in Indonesia architecture in Indonesia 1908 Boedi Oetomo was founded as the first organization in Indonesia 1912 F. Silaban was born

1925 1935 Some Indonesian students in Holland founded the F. Silaban won a number of design competitions Indonesian Association (Perhimpunan Indonesia) initiated by Dutch 1926 1938 Soekarno graduated from Bandung Technische Soekarno, as an architect, proposed during an Hoogeschool (TH-Bandung) interview with the Pujangga Baru literary journal an idea for Indonesian architecture which is akin 1927 to Sigfried Giedion’s logic on the development of Workers strikes against colonial goverments dimentionality initiated by communist elements 1928 “Sumpah Pemuda” was declared during the second youth congress in Jakarta 1929 Annual fair at Pasar Gambir in Koningsplein, Jakarta, where Silaban met Antonisse and eventually develop close relationship with the Dutch architect 1929 F. Silaban graduated by his tecnical high school, got a job in Public Works of Dutch Administration

1942 Japanese invation to Indonesia 1945 Indonesia proclaimed independence 1946 F. Silaban got married 1947 First Dutch aggression to Indonesia F. Silaban was appointed to be the head and then director of Bogor Publi Works

1954 F. Silaban won design competitions of Bank Indonesia, Bank Negara Indonesia and Istiqlal Mosque 1955 Bandung Asia-Africa Conference 1958 CIA - sponsored rebellion in Sumatera and Sulawesi appeared, but quickly crushed by Soekarno F. Silaban designed his house as impact from Soekarno’s request of visit and the construction began

1948 Second Dutch aggression to Indonesia 1960 Kebayoran Baru satellite city development was Situationist International Manifesto started according to Soesilo’s planning

1960s 1949 Soekarno’s “Nation Building” project emerged Holland recognized Indonesia’s independence with Japanese reperation funds F. Silaban wents to the Netherlands to attend the lectures in Academie voor Bouwkunst

1963 Indonesia’s acqusition of West Irian (Irian Barat) from Holland

1984 F. Silaban’s death

1965 Coup in Indonesia, the fall of Soekarno, the rise of military regime under Soeharto (New Order) F. Silaban was retired from his civil public service 1968 Construction of Istiqlal Mosque, F. Silaban was appointed as Deputy Project Manager 1970 Soekarno’s death

LEGEND Events, Political Affairs and Institutions Critical Inventions Modern Art and Architecture Movement Philosophies and Manifestoes Silaban’s Affiliation


KISAH SINGKAT F. SILABAN A BRIEF STORY OF F. SILABAN

7 Silaban dan Presiden Sukarno berbincang di ruang tamu (sekitar 1959) conversation between Silaban and Presiden Sukarno in Silaban's Living room (circa 1959)

22

23


KISAH SINGKAT F. SILABAN A BRIEF STORY OF F. SILABAN

7 Silaban dan Presiden Sukarno berbincang di ruang tamu (sekitar 1959) conversation between Silaban and Presiden Sukarno in Silaban's Living room (circa 1959)

22

23


“Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa” - Kisah Singkat Friedrich Silaban “I am an Architect, but Not an Ordinary One” - A Brief Story of Friedrich Silaban Sebelum dimulai, terdapat sebuah skrip mengenai otobiografi Friedrich Silaban yang b e l u m t e rc e t a k , d a l a m b a h a s a B e l a n d a . Sayangnya selama proses penulisan buku, skrip tersebut belum sempat diterjemahkan. Namun di luar itu, cerita singkat mengenai hidup Friedrich Silaban dapat ditulis secara singkat. Lahir pada 16 Desember 1912 di Bonandolok, Tapanuli, Sumatra Utara, Friedrich Silaban tumbuh dalam jaman kolonial. Ayahnya adalah seorang pendeta, yang menyebut 'Friedrich' sebagai 'Perderik'. Begitulah yang dituturkan dalam otobiografi yang belum tercetak tersebut. Bersekolah di H.I.S. Narumonda, Tapanuli, Sumatra Utara, dia kemudian melanjutkan pendidikan di Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta. Di sekolah ini, beliau mempelajari ilmu bangunan (bouwkunde ), dan lulus pada tahun 1931. Di K.W.S. inilah Silaban mulai tertarik dengan arsitektur. Sayangnya beliau tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat universitas karena masalah biaya. Tapi di luar itu semua, beliau telah mendedikasikan dan mengabdikan hidupnya hingga mencapai kemampuan menghasilkan berbagai desain arsitektur untuk Indonesia, melalui pembelajaran pribadi yang tiada henti.

8 Pengajuan pelayanan jasa kepada Persatuan Bangsa-Bangsa oleh Silaban Silaban's application letter to the United Nations

24

Memulai karir nya dengan ketertarikannya pada J.H. Antonisse, seorang arsitek Belanda yang mendesain skema Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia tahun 1929. DI kemudian hari, terjalin hubungan yang cukup dekat antara dua orang tersebut. Pasar Gambir itu sendiri merupakan acara tahunan. Silaban yang ketika itu masih sebagai siswa di K.W.S. mengunjungi Pasar Gambir, dan menemukan modernitas dalam skema Antonisse tersebut. Silaban mulai tertarik dengan apa dia lihat. Segera setelah kelulusannya pada tahun 1931, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Alhasil, Silaban dijadikan pegawai di Departemen Umum di bawah pemerintah kolonial. Kemudiannya Silaban bergabung di pelayanan teknis militer sebagai pengabdian pekerjaannya di pekerjaan umum. Sebagai bagian dari pekerjaannya,

There is, apparently, an unpublished script of Friedrich Silaban’s autobiography, written in Dutch. Unfortunately, during the preparation of this book, we did not get the chance to translate it to English. However, in spite of this, we can tell some parts of his life. Born on 16 th December 1912 in Bonandolok, Tapanuli, North Sumatra, Friedrich Silaban grew up during colonial period. His father was a priest, who pronounced "Friedrich" as "Perderik", so Silaban noted in his unpublished autobiography. He had his secondary education at the H.I.S. in Narumonda, Tapanuli, North Sumatra. He then continued his studies at Koningin Willhelmina School (Royal Wilhelmina School), a technical high school in Jakarta. Here, he studied the bouwkunde, or building science, and obtained his diploma in 1931. It was at the K.W.S. the young Silaban got his taste of architecture. Unfortunately, he was unable to continue his futher studies to university level, due to financial factor. Yet, he dedicated and devoted all his life to reach a stage of ability to produce architectural designs for Indonesia, through continous self study. He seemed to initiate his career by admiring to J.H. Antonisse, a Dutch architect who designed the 1929 scheme for the Pasar Gambir at Koningsplein in Jakarta ("Batavia", as Jakarta was then called. As for Antonisse, there would be a rather close relationship between him and Silaban afterward). The Pasar Gambir was an annual event, where an annual market was presented as a place for festivities. Silaban, then a student at the K.W.S., went to see the 1929 Pasar Gambir. He encountered the modernity of Antonisse’s scheme. He liked what he saw. Upon graduation in 1931, Silaban visited Antonisse’s office. In turn, Antonisse led him to a job the Public Department under Dutch municipality. Later, Silaban joined the military engineering service for public works. As a part of his serivice, Silaban was sent to Palembang and then to Pontianak in 1937 – 1939 (he was the chief of the engineering service in Pontianak). After the independence, he was appointed as the director

25


“Saya adalah Arsitek, tapi Bukan Arsitek Biasa” - Kisah Singkat Friedrich Silaban “I am an Architect, but Not an Ordinary One” - A Brief Story of Friedrich Silaban Sebelum dimulai, terdapat sebuah skrip mengenai otobiografi Friedrich Silaban yang b e l u m t e rc e t a k , d a l a m b a h a s a B e l a n d a . Sayangnya selama proses penulisan buku, skrip tersebut belum sempat diterjemahkan. Namun di luar itu, cerita singkat mengenai hidup Friedrich Silaban dapat ditulis secara singkat. Lahir pada 16 Desember 1912 di Bonandolok, Tapanuli, Sumatra Utara, Friedrich Silaban tumbuh dalam jaman kolonial. Ayahnya adalah seorang pendeta, yang menyebut 'Friedrich' sebagai 'Perderik'. Begitulah yang dituturkan dalam otobiografi yang belum tercetak tersebut. Bersekolah di H.I.S. Narumonda, Tapanuli, Sumatra Utara, dia kemudian melanjutkan pendidikan di Koningin Wilhelmina School, sebuah sekolah teknik di Jakarta. Di sekolah ini, beliau mempelajari ilmu bangunan (bouwkunde ), dan lulus pada tahun 1931. Di K.W.S. inilah Silaban mulai tertarik dengan arsitektur. Sayangnya beliau tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat universitas karena masalah biaya. Tapi di luar itu semua, beliau telah mendedikasikan dan mengabdikan hidupnya hingga mencapai kemampuan menghasilkan berbagai desain arsitektur untuk Indonesia, melalui pembelajaran pribadi yang tiada henti.

8 Pengajuan pelayanan jasa kepada Persatuan Bangsa-Bangsa oleh Silaban Silaban's application letter to the United Nations

24

Memulai karir nya dengan ketertarikannya pada J.H. Antonisse, seorang arsitek Belanda yang mendesain skema Pasar Gambir di Koningsplein, Batavia tahun 1929. DI kemudian hari, terjalin hubungan yang cukup dekat antara dua orang tersebut. Pasar Gambir itu sendiri merupakan acara tahunan. Silaban yang ketika itu masih sebagai siswa di K.W.S. mengunjungi Pasar Gambir, dan menemukan modernitas dalam skema Antonisse tersebut. Silaban mulai tertarik dengan apa dia lihat. Segera setelah kelulusannya pada tahun 1931, Silaban mengunjungi kantor Antonisse. Alhasil, Silaban dijadikan pegawai di Departemen Umum di bawah pemerintah kolonial. Kemudiannya Silaban bergabung di pelayanan teknis militer sebagai pengabdian pekerjaannya di pekerjaan umum. Sebagai bagian dari pekerjaannya,

There is, apparently, an unpublished script of Friedrich Silaban’s autobiography, written in Dutch. Unfortunately, during the preparation of this book, we did not get the chance to translate it to English. However, in spite of this, we can tell some parts of his life. Born on 16 th December 1912 in Bonandolok, Tapanuli, North Sumatra, Friedrich Silaban grew up during colonial period. His father was a priest, who pronounced "Friedrich" as "Perderik", so Silaban noted in his unpublished autobiography. He had his secondary education at the H.I.S. in Narumonda, Tapanuli, North Sumatra. He then continued his studies at Koningin Willhelmina School (Royal Wilhelmina School), a technical high school in Jakarta. Here, he studied the bouwkunde, or building science, and obtained his diploma in 1931. It was at the K.W.S. the young Silaban got his taste of architecture. Unfortunately, he was unable to continue his futher studies to university level, due to financial factor. Yet, he dedicated and devoted all his life to reach a stage of ability to produce architectural designs for Indonesia, through continous self study. He seemed to initiate his career by admiring to J.H. Antonisse, a Dutch architect who designed the 1929 scheme for the Pasar Gambir at Koningsplein in Jakarta ("Batavia", as Jakarta was then called. As for Antonisse, there would be a rather close relationship between him and Silaban afterward). The Pasar Gambir was an annual event, where an annual market was presented as a place for festivities. Silaban, then a student at the K.W.S., went to see the 1929 Pasar Gambir. He encountered the modernity of Antonisse’s scheme. He liked what he saw. Upon graduation in 1931, Silaban visited Antonisse’s office. In turn, Antonisse led him to a job the Public Department under Dutch municipality. Later, Silaban joined the military engineering service for public works. As a part of his serivice, Silaban was sent to Palembang and then to Pontianak in 1937 – 1939 (he was the chief of the engineering service in Pontianak). After the independence, he was appointed as the director

25


Silaban per nah dikirim ke Palembang dan Pontianak pada tahun 1937 – 1939, dimana beliau menjadi kepala bagian pelayanan teknis di Pontianak. Setelah kemerdekaan, beliau diangkat sebagai direktur Pekerjaan Umum di Bogor sejak tahun 1947, sebuah jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1965, setelah jatuhnya Sukarno, presiden pertama Indonesia. Silaban pernah mengunjungi Belanda selama satu tahun untuk mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst, Akademi Seni Bangunan, di Amsterdam tahun 1949 – 1950. Tujuan beliau adalah untuk mengevaluasi kemampuannya di bidang arsitektur. Pada masa inilah beliau mendapatkan pendalaman pada arsitektur Belanda. Tentunya saat itu bukan pertama kalinya Silaban mempelajari arsitektur Belanda, tapi pada saat itulah beliau melihat langsung pertama kali. Selama pengabdiannya di Departemen Pekerjaan Umum tahun 1947 – 1965, beliau telah mengunjungi berbagai negara. Lebih dari 30 kota besar telah dikunjunginya di Eropa, Asia dan Amerika. Jepang, China, Perancis, Italia, Mesir, Yunani, Singapura, Jerman, Meksiko, Brasil, Filipina, Australia merupakan beberapa tempat yang ia kunjungi. Dia menemukan dan mengamati serta mempelajari berbagai kebudayaan dan karya-karya arsitektur di tempat-tempat tersebut. Beliau juga mengunjungi beberapa universitas besar di kota-kota yang dikunjungi dan mengadakan pertemuan serta berdiskusi dengan profesor dan mahasiswa setempat. Terkadang juga ia mengunjungi arsitek lokal. Di India, ia mengunjungi para arsitek India yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Di Amerika, belau bertemu dan berdiskusi dengan Louis I. Kahn, Eero Saarinen (yang mengunjungi Indonesia tahun 1957) dan Frank Lloyd Wright, di antara beberapa arsitek lainnya. Satu hal yang menarik adalah salah satu dari laporan kunjungannya ke India (diserahkan ke Departemen Pendidikan tanggal 19 Agustus 1954). Di India, beliau menemukan beberapa

26

of Public Works of the Bogor municipality since 1947, a position he held until 1965, just after the fall of Sukarno, Indonesia’s first president. He spent a year in Holland to attend the lectures at Academie voor Bouwkunst, the Academy for Building Arts, in Amsterdam, 1950. His purpose for attending the school was to evaluate his architectural aptitude. It was during this oneyear stay in Holland he obtained a profound exposure of Dutch architecture. Surely it was not the first time for Silaban to learn about Dutch architecture, but it was during this period when he received the direct exposure to it. During his service for Indonesia’s Public Works Department between 1950 – 1965, he travelled to various countries. Thus his visitations to 30 big cities in Europe, Asia and America. Japan, China, France, Italy, Egypt, Greece, Singapore, Ger many, Mexico, Brazil, the Philippines, Australia, are amongst the places he visited. He found and observed various traditions and architectural works in these countries, and he visited universities in the cities by holding discussions with professors and students. Sometimes, he visited local architects. When he visited India, he met Indian architects working for India’s Public Works Department. While in the United States, he met and discussed with Louis I. Kahn, Eero Saarinen (who had visited Indonesia in January 1957) and Frank Lloyd Wright, among others. It is rather intriguing to note his report on his journey to India (submitted on 19th August 1954 to the Ministry of Education, Teaching and Culture). While in India, he saw—among others—the Taj Mahal, Chandigarh, and the government complex in New Delhi (a Lutyens’ design scheme, with its rather orientalist—in Edward Said’s kind of sense—leaning). Silaban concluded—from his rather brief Indian experience—that in India it was the sub-continent’s climate and other geographical factors which "really create its architecture throughout the ages with the daily lives of its inhabittants".

karya arsitektur di India – sebutlah Taj Mahal, Chandigarh, dan kompleks pemerintahan di New Delhi (skema desain Lutyens, dengan kecenderungan orientalis – menurut logika Edward Said). Beliau menyimpulkan – dari pengalaman pribadinya di India – bahwa di India, faktor iklim dan geografislah yang "menciptakan arsitektur yang melewati berbagai jaman dengan kehidupan sehari-hari penghuninya". Silaban juga berkesimpulan dari perjalanannya ke Chandigarh, bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut. Sepulangnya dari perjalanan tersebut, tahun 1954, Silaban berpendapat bahwa arsitektur modern Indonesia dapat diciptakan melalui sistem konstruksi modern dan pembangunan di semua sektor aktifitas publik yang berhubungan dengan produksi bangunan. Dengan cara itulah – menurut Silaban – ‘arsitektur Indonesia modern yang asli’ dapat diciptakan melalui ‘jiwa dan cara hidup masyarakat Indonesia modern’. Jadi cukup jelas bahwa seluruh perjalanan Silaban telah mempengaruhi keinginannya dalam manifestasi identitas asli (atau imajinatif) Indonesia; negara yang bebas dan progresif, seperti apa yang telah divisikan oleh Sukarno. Sebagai anggota dalam Konsul Perencanaan Nasional di Indonesia dan salah satu pendiri IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), Silaban telah mendapatkan pengakuan dari seluruh rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia selama 10 tahun, dan dianggap sebagai arsitek luar biasa dalam negeri. Dengan hal ini, tidak heran ketika dilihat pada surat pengajuan pelayanan jasanya ke PBB di akhir tahun 1960-an, beliau membuka suratnya dengan kalimat, "Saya adalah arsitek, tapi bukan arsitek biasa". Pada kenyataannya beliau memang arsitek terkemuka yang telah membangun dan memperkenalkan modernisme ke Indonesia. Demikian, beliau telah membantu dalam merealisasikan visi Sukarno: menciptakan Indonesia modern. Pada puncaknya, beliau diberikan penghargaan Satya Lencana oleh pemerintah Indonesia atas pencapaian yang

Silaban also concluded in the report, upon visiting Chandigarh, that it is in the end the spirit, not the form, which defined a nation’s architecture. Out of this visit, Silaban concluded in the 1954 report that modern Indonesian architecture could be created through the use of modern construction techniques and the development of all sectors of people’s activities which were related to building production. That was the manner—according to Silaban—through which "authentic Indonesian modern architecture" could be created in accord with "the spirit and way of life of modern Indonesia". It is apparent that Silaban’s numerous travels affected his desire to manifest Indonesia’s true (or imagined?) identity – the free and progressive Indonesia, akin to what was being envisioned by Sukarno. Appointed to be a member of National Planning Counsel in Indonesia and became one of the co-founder of IAI, the Indonesian Architects Association, Silaban had earned the acknowledgement of the Indonesian people and government for about a decade, and was regarded as an outstanding architect of the country. It is intriguing that, in his application letter for a job position at the United Nations in late 1960s, he started his letter with the phrase: "I am an architect, but not an ordinary one". In fact, he was a very prominent architect who developed modernism in Indonesia By doing so, he helped to realize the aforementioned vision of Sukarno: to create the modern Indonesia. He was awarded medal and acknowledgments from Indonesian government for what he had done. State-bestowed awards were not the only things he got. Silaban had won architectural competition prizes. Say, in 1935, (probably his first award-winning design competitions), he won the 3rd prize for designing a hotel up on a hill (unbuilt), and the 3 rd prize for designing a house. He also won another 3 rd prize in a design competition for Agricultural Faculty in Bogor (1949), 2nd prize for designing the National Monument in Jakarta (1954), 1st prize for his design of Bank Indonesia in

27


Silaban per nah dikirim ke Palembang dan Pontianak pada tahun 1937 – 1939, dimana beliau menjadi kepala bagian pelayanan teknis di Pontianak. Setelah kemerdekaan, beliau diangkat sebagai direktur Pekerjaan Umum di Bogor sejak tahun 1947, sebuah jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1965, setelah jatuhnya Sukarno, presiden pertama Indonesia. Silaban pernah mengunjungi Belanda selama satu tahun untuk mengikuti kuliah tahun terakhir di Academie voor Bouwkunst, Akademi Seni Bangunan, di Amsterdam tahun 1949 – 1950. Tujuan beliau adalah untuk mengevaluasi kemampuannya di bidang arsitektur. Pada masa inilah beliau mendapatkan pendalaman pada arsitektur Belanda. Tentunya saat itu bukan pertama kalinya Silaban mempelajari arsitektur Belanda, tapi pada saat itulah beliau melihat langsung pertama kali. Selama pengabdiannya di Departemen Pekerjaan Umum tahun 1947 – 1965, beliau telah mengunjungi berbagai negara. Lebih dari 30 kota besar telah dikunjunginya di Eropa, Asia dan Amerika. Jepang, China, Perancis, Italia, Mesir, Yunani, Singapura, Jerman, Meksiko, Brasil, Filipina, Australia merupakan beberapa tempat yang ia kunjungi. Dia menemukan dan mengamati serta mempelajari berbagai kebudayaan dan karya-karya arsitektur di tempat-tempat tersebut. Beliau juga mengunjungi beberapa universitas besar di kota-kota yang dikunjungi dan mengadakan pertemuan serta berdiskusi dengan profesor dan mahasiswa setempat. Terkadang juga ia mengunjungi arsitek lokal. Di India, ia mengunjungi para arsitek India yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Di Amerika, belau bertemu dan berdiskusi dengan Louis I. Kahn, Eero Saarinen (yang mengunjungi Indonesia tahun 1957) dan Frank Lloyd Wright, di antara beberapa arsitek lainnya. Satu hal yang menarik adalah salah satu dari laporan kunjungannya ke India (diserahkan ke Departemen Pendidikan tanggal 19 Agustus 1954). Di India, beliau menemukan beberapa

26

of Public Works of the Bogor municipality since 1947, a position he held until 1965, just after the fall of Sukarno, Indonesia’s first president. He spent a year in Holland to attend the lectures at Academie voor Bouwkunst, the Academy for Building Arts, in Amsterdam, 1950. His purpose for attending the school was to evaluate his architectural aptitude. It was during this oneyear stay in Holland he obtained a profound exposure of Dutch architecture. Surely it was not the first time for Silaban to learn about Dutch architecture, but it was during this period when he received the direct exposure to it. During his service for Indonesia’s Public Works Department between 1950 – 1965, he travelled to various countries. Thus his visitations to 30 big cities in Europe, Asia and America. Japan, China, France, Italy, Egypt, Greece, Singapore, Ger many, Mexico, Brazil, the Philippines, Australia, are amongst the places he visited. He found and observed various traditions and architectural works in these countries, and he visited universities in the cities by holding discussions with professors and students. Sometimes, he visited local architects. When he visited India, he met Indian architects working for India’s Public Works Department. While in the United States, he met and discussed with Louis I. Kahn, Eero Saarinen (who had visited Indonesia in January 1957) and Frank Lloyd Wright, among others. It is rather intriguing to note his report on his journey to India (submitted on 19th August 1954 to the Ministry of Education, Teaching and Culture). While in India, he saw—among others—the Taj Mahal, Chandigarh, and the government complex in New Delhi (a Lutyens’ design scheme, with its rather orientalist—in Edward Said’s kind of sense—leaning). Silaban concluded—from his rather brief Indian experience—that in India it was the sub-continent’s climate and other geographical factors which "really create its architecture throughout the ages with the daily lives of its inhabittants".

karya arsitektur di India – sebutlah Taj Mahal, Chandigarh, dan kompleks pemerintahan di New Delhi (skema desain Lutyens, dengan kecenderungan orientalis – menurut logika Edward Said). Beliau menyimpulkan – dari pengalaman pribadinya di India – bahwa di India, faktor iklim dan geografislah yang "menciptakan arsitektur yang melewati berbagai jaman dengan kehidupan sehari-hari penghuninya". Silaban juga berkesimpulan dari perjalanannya ke Chandigarh, bahwa jiwa sebuah bangsalah yang mendefinisikan arsitektur bangsa tersebut. Sepulangnya dari perjalanan tersebut, tahun 1954, Silaban berpendapat bahwa arsitektur modern Indonesia dapat diciptakan melalui sistem konstruksi modern dan pembangunan di semua sektor aktifitas publik yang berhubungan dengan produksi bangunan. Dengan cara itulah – menurut Silaban – ‘arsitektur Indonesia modern yang asli’ dapat diciptakan melalui ‘jiwa dan cara hidup masyarakat Indonesia modern’. Jadi cukup jelas bahwa seluruh perjalanan Silaban telah mempengaruhi keinginannya dalam manifestasi identitas asli (atau imajinatif) Indonesia; negara yang bebas dan progresif, seperti apa yang telah divisikan oleh Sukarno. Sebagai anggota dalam Konsul Perencanaan Nasional di Indonesia dan salah satu pendiri IAI (Ikatan Arsitek Indonesia), Silaban telah mendapatkan pengakuan dari seluruh rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia selama 10 tahun, dan dianggap sebagai arsitek luar biasa dalam negeri. Dengan hal ini, tidak heran ketika dilihat pada surat pengajuan pelayanan jasanya ke PBB di akhir tahun 1960-an, beliau membuka suratnya dengan kalimat, "Saya adalah arsitek, tapi bukan arsitek biasa". Pada kenyataannya beliau memang arsitek terkemuka yang telah membangun dan memperkenalkan modernisme ke Indonesia. Demikian, beliau telah membantu dalam merealisasikan visi Sukarno: menciptakan Indonesia modern. Pada puncaknya, beliau diberikan penghargaan Satya Lencana oleh pemerintah Indonesia atas pencapaian yang

Silaban also concluded in the report, upon visiting Chandigarh, that it is in the end the spirit, not the form, which defined a nation’s architecture. Out of this visit, Silaban concluded in the 1954 report that modern Indonesian architecture could be created through the use of modern construction techniques and the development of all sectors of people’s activities which were related to building production. That was the manner—according to Silaban—through which "authentic Indonesian modern architecture" could be created in accord with "the spirit and way of life of modern Indonesia". It is apparent that Silaban’s numerous travels affected his desire to manifest Indonesia’s true (or imagined?) identity – the free and progressive Indonesia, akin to what was being envisioned by Sukarno. Appointed to be a member of National Planning Counsel in Indonesia and became one of the co-founder of IAI, the Indonesian Architects Association, Silaban had earned the acknowledgement of the Indonesian people and government for about a decade, and was regarded as an outstanding architect of the country. It is intriguing that, in his application letter for a job position at the United Nations in late 1960s, he started his letter with the phrase: "I am an architect, but not an ordinary one". In fact, he was a very prominent architect who developed modernism in Indonesia By doing so, he helped to realize the aforementioned vision of Sukarno: to create the modern Indonesia. He was awarded medal and acknowledgments from Indonesian government for what he had done. State-bestowed awards were not the only things he got. Silaban had won architectural competition prizes. Say, in 1935, (probably his first award-winning design competitions), he won the 3rd prize for designing a hotel up on a hill (unbuilt), and the 3 rd prize for designing a house. He also won another 3 rd prize in a design competition for Agricultural Faculty in Bogor (1949), 2nd prize for designing the National Monument in Jakarta (1954), 1st prize for his design of Bank Indonesia in

27


telah dilakukannya. Penghargaan tersebut sebenarnya hanya satu dari sekian banyak penghargaan yang pernah didapatnya. Silaban telah memenangkan berbagai sayembara arsitektur. Sebutlah di tahun 1935 (mungkin merupakan pernghargaan pertama yang didapatnya dalam sayembara arsitektur), beliau memenangkan hadiah ke-3 dalam sayembara desain sebuah hotel di daerah pegunungan, dan hadiah ketiga dalam sayembara desain rumah walikota. Beliau juga pernah memenangkan hadiah ketiga dalam sayembara desain Fakultas Pertanian di Bogor tahun 1949, juara ke-2 untuk desain Monumen Nasional di Jakarta tahun 1954, juara pertama dalam sayembara desain Bank Indonesia tahun 1954 (dibangun dan masih menjadi ikon di Jalan Thamrin, Jakarta) dan juara pertama sayembara desain Mesjid Istiqlal tahun 1954. Konsepsi desain arsitekturalnya telah membuatnya menjadi arsitek favorit Sukarno, kedekatannya dengan Sukarno secara tidak langsung telah mengangkat hidupnya ke puncak karir yang dialami pada tahun 1957 – 1964, dimana beliau merancang banyak bangunan penting dan monumental di Indonesia. Beberapa bangunan yang dibangun adalah rancangan yang dimenangkannya dalam sayembara desain, seperti Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian di Bogor, Bank Indonesia dan beberapa bangunan lain seperti Gedung Pola di Pegangsaan Timur, Jakarta, bangunan kantor dan apartemen untuk LAAPLN, Markas Besar AURI, Jakarta, Hotel Banteng (sekarang Hotel Borobudur) dan Mesjid Istiqlal. Rumahnya sendiri menjadi perhatian internasional ketika rumahnya diliput dan dimuat dalam majalah "The Japan Architect" pada Januari 1964. Tentunya masih banyak bangunan lain yang telah diselesaikannya, seperti rumah-rumah tinggal atau bangunan kecil lainnya, walaupun beberapa diantaranya tidak jadi dibangun karena resesi ekonomi negara yang dihadapi pada saat itu.

28

Jakarta (1954, built and still adorns the Thamrin Road) and 1 st prize for Istiqlal Mosque design competition (1954). His architectural conceptual design led him to be the favorite architect of Sukarno. His close relationship with Sukar no helped boosting his career, and it reached its peak at 1957 – 1964, when he designed many important and monumental buildings in Indonesia. Among them are those buildings he won in his competition like the School for Agriculture Building in Bogor, National Bank of Indonesia, and some other buildings like Exhibition Building (Gedung Pola) in Pegangsaan T imur, Jakarta, Office and Apartment Buildings for LAAPLN, Headquarters of the Indonesian Airforce, Jakarta, Banteng Hotel (now Borobudur Hotel) in Jakarta and Istiqlal Mosque, Jakarta. Even his own house had caught international attention, when the review of the house was published in "The Japan Architect" magazine in January 1964. There were certainly many other buildings that he had designed, small houses or small other buildings which has been constructed, and also many designs that has not yet been erected, due the economic reccesion during that period.

9

1960) Silaban di ruang ruang gambarnya gambarnya (sekitar (sekitar1960) 1960) Silaban at his his studio studio (circa (around 1960)

29


telah dilakukannya. Penghargaan tersebut sebenarnya hanya satu dari sekian banyak penghargaan yang pernah didapatnya. Silaban telah memenangkan berbagai sayembara arsitektur. Sebutlah di tahun 1935 (mungkin merupakan pernghargaan pertama yang didapatnya dalam sayembara arsitektur), beliau memenangkan hadiah ke-3 dalam sayembara desain sebuah hotel di daerah pegunungan, dan hadiah ketiga dalam sayembara desain rumah walikota. Beliau juga pernah memenangkan hadiah ketiga dalam sayembara desain Fakultas Pertanian di Bogor tahun 1949, juara ke-2 untuk desain Monumen Nasional di Jakarta tahun 1954, juara pertama dalam sayembara desain Bank Indonesia tahun 1954 (dibangun dan masih menjadi ikon di Jalan Thamrin, Jakarta) dan juara pertama sayembara desain Mesjid Istiqlal tahun 1954. Konsepsi desain arsitekturalnya telah membuatnya menjadi arsitek favorit Sukarno, kedekatannya dengan Sukarno secara tidak langsung telah mengangkat hidupnya ke puncak karir yang dialami pada tahun 1957 – 1964, dimana beliau merancang banyak bangunan penting dan monumental di Indonesia. Beberapa bangunan yang dibangun adalah rancangan yang dimenangkannya dalam sayembara desain, seperti Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian di Bogor, Bank Indonesia dan beberapa bangunan lain seperti Gedung Pola di Pegangsaan Timur, Jakarta, bangunan kantor dan apartemen untuk LAAPLN, Markas Besar AURI, Jakarta, Hotel Banteng (sekarang Hotel Borobudur) dan Mesjid Istiqlal. Rumahnya sendiri menjadi perhatian internasional ketika rumahnya diliput dan dimuat dalam majalah "The Japan Architect" pada Januari 1964. Tentunya masih banyak bangunan lain yang telah diselesaikannya, seperti rumah-rumah tinggal atau bangunan kecil lainnya, walaupun beberapa diantaranya tidak jadi dibangun karena resesi ekonomi negara yang dihadapi pada saat itu.

28

Jakarta (1954, built and still adorns the Thamrin Road) and 1 st prize for Istiqlal Mosque design competition (1954). His architectural conceptual design led him to be the favorite architect of Sukarno. His close relationship with Sukar no helped boosting his career, and it reached its peak at 1957 – 1964, when he designed many important and monumental buildings in Indonesia. Among them are those buildings he won in his competition like the School for Agriculture Building in Bogor, National Bank of Indonesia, and some other buildings like Exhibition Building (Gedung Pola) in Pegangsaan T imur, Jakarta, Office and Apartment Buildings for LAAPLN, Headquarters of the Indonesian Airforce, Jakarta, Banteng Hotel (now Borobudur Hotel) in Jakarta and Istiqlal Mosque, Jakarta. Even his own house had caught international attention, when the review of the house was published in "The Japan Architect" magazine in January 1964. There were certainly many other buildings that he had designed, small houses or small other buildings which has been constructed, and also many designs that has not yet been erected, due the economic reccesion during that period.

9

1960) Silaban di ruang ruang gambarnya gambarnya (sekitar (sekitar1960) 1960) Silaban at his his studio studio (circa (around 1960)

29


ketika itu menjabat di Departemen Pekerjaan Umum, yang menjadikannya musuh utama penjajah Jepang saat itu. Tapi pada saat inilah beliau bertemu dengan calon istrinya. Silaban kemudian menikah dan memiliki sepuluh anak, delapan di antaranya anak lelaki dan dua perempuan, satu diantaranya meninggal karena kecelakaan. Karena kesibukan pekerjaannya, seringkali beliau tidak memiliki cukup waktu untuk keluarganya. Namun bagaimanapun juga, beliau merupakan seorang seniman yang selalu menikmati pekerjaannya, dan dia tidak menjadi ‘budak’ profesi. Beliau selalu bekerja dengan kesenangan, dan pada saat yang bersamaan, menyatukan hidupnya dengan seni.

9 Silaban dan keluarga (sekitar 1961) Silaban and his family (circa 1961)

Dalam kehidupan pribadinya, Silaban merupakan sosok yang bersemangat yang mencurahkan keseriusannya dalam pekerjaan. Beliau meningkatkan statusnya dari anak seorang pendeta desa menjadi seorang arsitek terkenal. Beliau juga tidak pernah mendiskriminasikan orang lain berdasarkan latar belakangnya. Beliau pernah menceritakan ke anak-anaknya – setelah ia kehilangan uangnya karena dicuri dalam perjalanannya ke Jakarta – Silaban ditolong oleh seorang Arab. Silaban sendiri juga pernah ditahan sebagai tahanan politik pada Perang Dunia II karena posisinya yang

30

In his personal life, he was a strong determined man who endeavored in his work. He boldly came across obstacles to change his own status from a village priest’s son to a famous architect. He did not see differentiate people based on their backgrounds. He told his children how— upon finding out that somebody had stolen his money on board of the ship to Jakarta—Silaban was helped by an Arab passenger. Silaban was once detained by Japanese during the Second World War due to his public work service (earning him, to the Japanese Occupation Force’s eyes, a status of an enemy accomplish), and met his

Perlu disebutkan beberapa hobi dan kesenangannya yang sering dilakukan pada waktu luangnya. Silaban sangat menyukai musik, sastra dan catur, terutama ketika menghabiskan hidupnya dalam keluarga besar yang dimilikinya. Dia pernah bermain klarinet dan belajar dengan Schell sebagai guru musiknya. Dari otobiografinya yang belum tercetak juga, musik pertama yang beliau mainkan adalah ‘Suite l’Anssiene ’ oleh Bizet, dan ‘Moldan ’ oleh Smetana. Beliau juga mengoleksi beberapa musik klasik seperti Beethoven, Bach, Mozart, Brahms, Schubert, Tchaikovsky, Chopin, Liszt, Wagner, Bizet, Puccini dan lain sebagainya. Cukup menarik ketika ditemukan bahwa Silaban memiliki banyak koleksi Beethoven. Beliau memikirkan satu hal: apabila para komposer musik klasik tersebut dapat menciptakan kebebasan di tengahtengah masa dimana peraturan dan keterikatan sangat diharuskan, apakah mungkin arsitek modernist melakukan hal yang sama? Juga dari otobiografi yang sama, beliau juga membaca Shakespeare, Göthe, Hein, Multatuli (alias Max Havelaar) dan lainnya. Singkat kata, Silaban mengalami tiga periode dalam narasi Indonesia: lahir dan tumbuh pada masa kolonialisme, bertahan di masa Perang Dunia II, dan menjadi terkenal setelah masa kemerdekaan. Beliau melewati krisis dan ketidak

future wife during the detention. Silaban then extended his family, where he had ten children; eight sons and two daughters, one of whom had passed away. Because of his hectic professional life, he did not have much time for his family. However, he was an artist who enjoyed most of his works, and he did not become what we commonly as a ‘job slave’. He worked with fun, and at the same time, shared his life with art. Worth to mention are some of his hobbies and passion that he possesed. Silaban's fondness of music, literature and chess are his personal activities he enjoyed during his spare time, especially after having such a big family. He played clarinet, and took a course under the guidance of a certain Schell, a music teacher. From Silaban’s unpublished autobiography, we know that the first composition he played was ‘ Suite l’Arlessienne’ by Bizet, and then ‘ the Moldan’ by Smetana. He also bought many records of Beethoven, Bach, Mozart, Brahms, Schubert, Tchaikovsky, Chopin, Liszt, Wagner, Bizet, Puccini, etc. It is interesting that Silaban had many records of Beethoven. Silaban did ponder on one thing: if it was possible for classical music composers to compose with high amount of freedom in the midst of the orderliness of classical music, could it be possible for modernist architect to do the same? Also from the same autobiography, we know that he read Shakespeare, Göthe, Hein, Multatuli (alias Max Havelaar) and others. In short, Silaban has gone through three epochs of Indonesian narrative: growing up in the latecolonial period, surviving the Second World War, and getting famous after the Indonesian independence. He had passed through unstabilities and crises. Yet, he managed to overcome the hardship; he even managed building his family and his whole life along with his professional skill. Moreover, he had devoted his ability and his life to serve the country, in which at that time was still in its infancy.

31


ketika itu menjabat di Departemen Pekerjaan Umum, yang menjadikannya musuh utama penjajah Jepang saat itu. Tapi pada saat inilah beliau bertemu dengan calon istrinya. Silaban kemudian menikah dan memiliki sepuluh anak, delapan di antaranya anak lelaki dan dua perempuan, satu diantaranya meninggal karena kecelakaan. Karena kesibukan pekerjaannya, seringkali beliau tidak memiliki cukup waktu untuk keluarganya. Namun bagaimanapun juga, beliau merupakan seorang seniman yang selalu menikmati pekerjaannya, dan dia tidak menjadi ‘budak’ profesi. Beliau selalu bekerja dengan kesenangan, dan pada saat yang bersamaan, menyatukan hidupnya dengan seni.

9 Silaban dan keluarga (sekitar 1961) Silaban and his family (circa 1961)

Dalam kehidupan pribadinya, Silaban merupakan sosok yang bersemangat yang mencurahkan keseriusannya dalam pekerjaan. Beliau meningkatkan statusnya dari anak seorang pendeta desa menjadi seorang arsitek terkenal. Beliau juga tidak pernah mendiskriminasikan orang lain berdasarkan latar belakangnya. Beliau pernah menceritakan ke anak-anaknya – setelah ia kehilangan uangnya karena dicuri dalam perjalanannya ke Jakarta – Silaban ditolong oleh seorang Arab. Silaban sendiri juga pernah ditahan sebagai tahanan politik pada Perang Dunia II karena posisinya yang

30

In his personal life, he was a strong determined man who endeavored in his work. He boldly came across obstacles to change his own status from a village priest’s son to a famous architect. He did not see differentiate people based on their backgrounds. He told his children how— upon finding out that somebody had stolen his money on board of the ship to Jakarta—Silaban was helped by an Arab passenger. Silaban was once detained by Japanese during the Second World War due to his public work service (earning him, to the Japanese Occupation Force’s eyes, a status of an enemy accomplish), and met his

Perlu disebutkan beberapa hobi dan kesenangannya yang sering dilakukan pada waktu luangnya. Silaban sangat menyukai musik, sastra dan catur, terutama ketika menghabiskan hidupnya dalam keluarga besar yang dimilikinya. Dia pernah bermain klarinet dan belajar dengan Schell sebagai guru musiknya. Dari otobiografinya yang belum tercetak juga, musik pertama yang beliau mainkan adalah ‘Suite l’Anssiene ’ oleh Bizet, dan ‘Moldan ’ oleh Smetana. Beliau juga mengoleksi beberapa musik klasik seperti Beethoven, Bach, Mozart, Brahms, Schubert, Tchaikovsky, Chopin, Liszt, Wagner, Bizet, Puccini dan lain sebagainya. Cukup menarik ketika ditemukan bahwa Silaban memiliki banyak koleksi Beethoven. Beliau memikirkan satu hal: apabila para komposer musik klasik tersebut dapat menciptakan kebebasan di tengahtengah masa dimana peraturan dan keterikatan sangat diharuskan, apakah mungkin arsitek modernist melakukan hal yang sama? Juga dari otobiografi yang sama, beliau juga membaca Shakespeare, Göthe, Hein, Multatuli (alias Max Havelaar) dan lainnya. Singkat kata, Silaban mengalami tiga periode dalam narasi Indonesia: lahir dan tumbuh pada masa kolonialisme, bertahan di masa Perang Dunia II, dan menjadi terkenal setelah masa kemerdekaan. Beliau melewati krisis dan ketidak

future wife during the detention. Silaban then extended his family, where he had ten children; eight sons and two daughters, one of whom had passed away. Because of his hectic professional life, he did not have much time for his family. However, he was an artist who enjoyed most of his works, and he did not become what we commonly as a ‘job slave’. He worked with fun, and at the same time, shared his life with art. Worth to mention are some of his hobbies and passion that he possesed. Silaban's fondness of music, literature and chess are his personal activities he enjoyed during his spare time, especially after having such a big family. He played clarinet, and took a course under the guidance of a certain Schell, a music teacher. From Silaban’s unpublished autobiography, we know that the first composition he played was ‘ Suite l’Arlessienne’ by Bizet, and then ‘ the Moldan’ by Smetana. He also bought many records of Beethoven, Bach, Mozart, Brahms, Schubert, Tchaikovsky, Chopin, Liszt, Wagner, Bizet, Puccini, etc. It is interesting that Silaban had many records of Beethoven. Silaban did ponder on one thing: if it was possible for classical music composers to compose with high amount of freedom in the midst of the orderliness of classical music, could it be possible for modernist architect to do the same? Also from the same autobiography, we know that he read Shakespeare, Göthe, Hein, Multatuli (alias Max Havelaar) and others. In short, Silaban has gone through three epochs of Indonesian narrative: growing up in the latecolonial period, surviving the Second World War, and getting famous after the Indonesian independence. He had passed through unstabilities and crises. Yet, he managed to overcome the hardship; he even managed building his family and his whole life along with his professional skill. Moreover, he had devoted his ability and his life to serve the country, in which at that time was still in its infancy.

31


RUMAH THE HOUSE stabilan. Tetapi, beliau berhasil untuk keluar dari itu semua; bahkan dapat membina keluarganya dan hidupnya bersama karirnya. Beliau juga mengabdikan keahlian dan hidupnya untuk melayani negaranya, yang saat itu masih muda. Cukup ironis memang, dalam fase hidup terakhirnya, ketika Silaban pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya. Kedekatannya dengan Sukarno telah menyebabkan kejatuhan karirnya pada rezim Orde Baru Suharto. Beliau kemudian mulai mencari pekerjaan yang membutuhkan keahliannya. Di saat surutnya karirnya, beliau mencoba melamar pekerjan ke PBB. Hal ini terlihat pada beberapa suratnya dan surat balasan dari Alvaro Ortega, Kepala Penasihat Bangunan Inter-Regional; Departemen Pusat untuk Perumahan, Bangunan dan Perencanaan. Namun perlu dicatat bahwa, di luar surat-surat yang menyentuh dan Klarifikasi Sejarah Pribadi (Personal Statement History) yang ditulisnya, beliau memperlihatkan bagaimana kesulitan dan kehidupan yang susah di tengah-tengah krisis ekonomi membebani kehidupannya d a n k e l u a r g a n y a . Te t a p i , s u r a t i t u t e t a p mengekspresikan dedikasi dan pengabdian hidupnya sebagai seorang arsitek untuk melayani rakyat, menciptakan kehidupan yang lebih baik, melalui modernitas.

It is quite lugubrious that, in the last phase of his life, just after Silaban retired from his Public Work Service, he was desperate for job and income. His retirement allowances were, in fact, not enough for his big family, and his dignity. His association with Sukarno made him unfavorable to the newly-ascending Suharto regime. He then started to find any jobs that would need his service. After the downfall of his career, he tried to apply for a job at the United Nation. This was apparent in some of his letters and the replies by a particular Alvaro Ortega, UN’s Head of Inter-Regional Advisor Building; Center for Housing, Building and Planning. One should note that, despite his touching letters and Personal Statement History of his life that he wrote himself, it shows how was it, really, the hardship he faced and the deteriorated economy burden his life and his family. Yet, it expresses his dedication and devotion as an architect, to serve the people, to make a better living, through modernity. He passed away in 1984, unable to see his own house renovation when it was finished. He died as a man of remembrance, a modern hero who had helped to build the country, and his name still remains as an outstanding architect of Indonesia.

Beliau meninggal tahun 1984, dan tidak sempat melihat dan menikmati hasil renovasi rumahnya sendiri. Namun beliau meninggal sebagai tokoh bangsa, pahlawan modern yang ikut dalam pembangunan nasional, dan namanya tetap diingat sebagai arsitek luar biasa Indonesia.

32

33


RUMAH THE HOUSE stabilan. Tetapi, beliau berhasil untuk keluar dari itu semua; bahkan dapat membina keluarganya dan hidupnya bersama karirnya. Beliau juga mengabdikan keahlian dan hidupnya untuk melayani negaranya, yang saat itu masih muda. Cukup ironis memang, dalam fase hidup terakhirnya, ketika Silaban pensiun dari Departemen Pekerjaan Umum, beliau sangat haus akan pekerjaan dan penghasilan. Upah pensiunannya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya yang besar, juga harga dirinya. Kedekatannya dengan Sukarno telah menyebabkan kejatuhan karirnya pada rezim Orde Baru Suharto. Beliau kemudian mulai mencari pekerjaan yang membutuhkan keahliannya. Di saat surutnya karirnya, beliau mencoba melamar pekerjan ke PBB. Hal ini terlihat pada beberapa suratnya dan surat balasan dari Alvaro Ortega, Kepala Penasihat Bangunan Inter-Regional; Departemen Pusat untuk Perumahan, Bangunan dan Perencanaan. Namun perlu dicatat bahwa, di luar surat-surat yang menyentuh dan Klarifikasi Sejarah Pribadi (Personal Statement History) yang ditulisnya, beliau memperlihatkan bagaimana kesulitan dan kehidupan yang susah di tengah-tengah krisis ekonomi membebani kehidupannya d a n k e l u a r g a n y a . Te t a p i , s u r a t i t u t e t a p mengekspresikan dedikasi dan pengabdian hidupnya sebagai seorang arsitek untuk melayani rakyat, menciptakan kehidupan yang lebih baik, melalui modernitas.

It is quite lugubrious that, in the last phase of his life, just after Silaban retired from his Public Work Service, he was desperate for job and income. His retirement allowances were, in fact, not enough for his big family, and his dignity. His association with Sukarno made him unfavorable to the newly-ascending Suharto regime. He then started to find any jobs that would need his service. After the downfall of his career, he tried to apply for a job at the United Nation. This was apparent in some of his letters and the replies by a particular Alvaro Ortega, UN’s Head of Inter-Regional Advisor Building; Center for Housing, Building and Planning. One should note that, despite his touching letters and Personal Statement History of his life that he wrote himself, it shows how was it, really, the hardship he faced and the deteriorated economy burden his life and his family. Yet, it expresses his dedication and devotion as an architect, to serve the people, to make a better living, through modernity. He passed away in 1984, unable to see his own house renovation when it was finished. He died as a man of remembrance, a modern hero who had helped to build the country, and his name still remains as an outstanding architect of Indonesia.

Beliau meninggal tahun 1984, dan tidak sempat melihat dan menikmati hasil renovasi rumahnya sendiri. Namun beliau meninggal sebagai tokoh bangsa, pahlawan modern yang ikut dalam pembangunan nasional, dan namanya tetap diingat sebagai arsitek luar biasa Indonesia.

32

33


10 Gambar pra-rencana asli Original preliminary design drawing

34

35


10 Gambar pra-rencana asli Original preliminary design drawing

34

35


Riwayat Rumah Silaban A Story of Silaban House

12

Keluarga Silaban di rumah awal mereka (sekitar 1952) The Silaban's at their original house (circa 1952)

Friedrich Silaban, seorang arsitek yang mempunyai hubungan khusus dengan Presiden Sukarno, merancang rumahnya sendiri ditanahnya sendiri pada tahun 1958 untuk mempersiapkan kunjungan Sukarno. Suatu hari, Presiden mengatakan keinginannya mengunjungi rumah arsitek. Bagaimanapun, rumah Silaban pada mulanya hanya berupa rumah kecil – sangat sederhana yang membuatnya tidak percaya diri untuk dikunjungi oleh presiden. Hal pertama yang langsung dilakukannya adalah meminta Sukarno menunda kunjungannya. Dia segera merancang rumahnya dan menyelesaikan rencananya dalam waktu satu malam. Diperlukan waktu satu tahun untuk membangun rumah itu. Kemudian, rumah baru tersebut dapat menggantikan rumah lama yang berada pada lokasi yang sama. 11 Gambar asli perspektif Rumah Silaban Original perspective drawing of Silaban’s House

36

Atap dalam rancangan awal dari rumah baru ini terbuat dari sirap. Tetapi, ketidaktersediaan sirap dengan ketebalan yang cukup – sebab lebih tahan cuaca – pada tahun 1980-an ia memutuskan untuk menggantinya dengan

Friedrich Silaban, an architect with a close relationship with President Sukarno, designed his own house on his own plot of land in Bogor in 1958 in order to prepare for Sukarno’s visit. One day, the president told Silaban of his wanting of visiting the architect’s house. However, Silaban’s original house was just a small house—so simple that the architect did not feel confident to have his house visited by the president. The first thing he did was to ask Sukarno to postpone the visit. He then rapidly designed his house and finished the scheme in one night. It took a year for construction. Then, a new house came to replace the old house on the same site. The original roof of the new house was covered by wooden shingles (sirap). But, due to the unavailability of sirap shingles with sufficient thickness—hence its rather indurable nature— he decided in 1980s to replace with concrete. Another new element is a canopy for the carport, which was not seen in the original plan. It was constructed as an addition, due to arising need to have more space to park new vehicle.

37


Riwayat Rumah Silaban A Story of Silaban House

12

Keluarga Silaban di rumah awal mereka (sekitar 1952) The Silaban's at their original house (circa 1952)

Friedrich Silaban, seorang arsitek yang mempunyai hubungan khusus dengan Presiden Sukarno, merancang rumahnya sendiri ditanahnya sendiri pada tahun 1958 untuk mempersiapkan kunjungan Sukarno. Suatu hari, Presiden mengatakan keinginannya mengunjungi rumah arsitek. Bagaimanapun, rumah Silaban pada mulanya hanya berupa rumah kecil – sangat sederhana yang membuatnya tidak percaya diri untuk dikunjungi oleh presiden. Hal pertama yang langsung dilakukannya adalah meminta Sukarno menunda kunjungannya. Dia segera merancang rumahnya dan menyelesaikan rencananya dalam waktu satu malam. Diperlukan waktu satu tahun untuk membangun rumah itu. Kemudian, rumah baru tersebut dapat menggantikan rumah lama yang berada pada lokasi yang sama. 11 Gambar asli perspektif Rumah Silaban Original perspective drawing of Silaban’s House

36

Atap dalam rancangan awal dari rumah baru ini terbuat dari sirap. Tetapi, ketidaktersediaan sirap dengan ketebalan yang cukup – sebab lebih tahan cuaca – pada tahun 1980-an ia memutuskan untuk menggantinya dengan

Friedrich Silaban, an architect with a close relationship with President Sukarno, designed his own house on his own plot of land in Bogor in 1958 in order to prepare for Sukarno’s visit. One day, the president told Silaban of his wanting of visiting the architect’s house. However, Silaban’s original house was just a small house—so simple that the architect did not feel confident to have his house visited by the president. The first thing he did was to ask Sukarno to postpone the visit. He then rapidly designed his house and finished the scheme in one night. It took a year for construction. Then, a new house came to replace the old house on the same site. The original roof of the new house was covered by wooden shingles (sirap). But, due to the unavailability of sirap shingles with sufficient thickness—hence its rather indurable nature— he decided in 1980s to replace with concrete. Another new element is a canopy for the carport, which was not seen in the original plan. It was constructed as an addition, due to arising need to have more space to park new vehicle.

37


Konsep Umum dari Rumah Silaban Silaban House’s General Concept genteng beton. Salah satu elemen baru pada rumah ini adalah kanopi pada carport , yang tidak dijumpai pada denah aslinya. Ini merupakan konstruksi tambahan, disebabkan kebutuhan yang membutuhkan ruang tambahan untuk tempat parkir kendaraannya.

Originally, it had just a few vegetatives, providing a rather friendly openness of the house to its environment. Today the front garden was full of plants in order to block the public view, for privacy.

Rumah ini memiliki halaman yang cukup luas. Awalnya, hanya ada beberapa tanaman, yang memberikan nuansa keterbukan ter hadap lingkungan sekitarnya. Sekarang ini halaman depan dipenuhi tanaman yang menghalangi pandangan publik, dan memberikan privasi.

17 Sketsa Silaban tentang orientasi rumah Silaban's sketch on houses orientation

Rumah ditempatkan sejajar dengan lahan yang menghadap ke Selatan dengan jalur utama terdapat pada garasi yang sisi Barat dan sirkulasi kecil seperti jalan masuk pada sisi Timur. Sirkulasi yang panjang, sejajar dengan sisi panjang rumah, menghubungkan jalur utama ke ruang tengah dan ke dapur. Semua ruangan diatur dalam lajur, mengikuti sumbu Timur – Barat.

The house is situated parallel to the land facing south with a main entrance pointing to the garage at the West, and another small passagelike entrance at the East. A long passage, parallel to the house’s length, connects from the main entrance to the living room and to the kitchen. All rooms are arranged in a row, following the EastWest axis.

Untuk menjawab kebutuhan dari rumah keluarga dengan 10 anak, Silaban merancang sebuah rumah besar dengan enam kamar tidur, termasuk sebuah kamar tidur utama yang bersebelahan dengan garasi (sebuah posisi yang sebetulnya agak janggal untuk sebuah inner sanctum), ruang kerja, sebuah ruang keluarga, dapur dengan beranda yang sangat luas di bagian depan dan lantai atas yang panjang (dibuat untuk area bermain anak-anak dan tempat duduk-duduk) berfungsi sebagai pembagi lantai dan penyatu ruang.

To answer the requirement of a 10-children family house, Silaban designed a big house with six bedrooms, including a master bedroom next to the garage (which is a rather intriguing position for such an inner sanctum), a working room, a living room, a kitchen with a very large porch in the front and a long upper storey part (consisting of children’s playing area and a place to sit around) to divide the floor and to link the space.

Rumah mengindikasikan kepolosan yang dinamis dari garis horisontal, dipotong oleh garis vertikal yang tipis, berupa kolom beton. Semua ruang diatur dengan sederhana di bawah sebuah atap yang besar dengan serambi yang panjang. Keseluruhan rumah merupakan perwujudan dari ide modernis Indonesia dari Silaban.

13

14

15

16

38

13 14

Kanopi tambahan pada carport terlihat pada foto di sebelah kanan, sedangkan pada foto di atas menunjukkan ketidakhadiran dari kanopi tersebut The additional canopy for the carport can be seen on the photograph above, while the photograph on the left shows the absence of the canopy

15 16

Halaman Depan Rumah Silaban dahulu (15), dan sekarang (16) The lawn of Silaban's house then (15), and now (16)

Silaban juga yakin bahwa bangunan mempunyai peran sosial. Baginya, mungkin karena pengaruh buku Bouwkunde, orientasi bangunan menunjukkan karakter sosial dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Sketsa Silaban di halaman ini menunjukkan bagaimana orientasi rumah yang berinteraksi sosial dengan satu sama lain.

The house indicates clear dynamic horizontal lines, cut by thick vertical lines, concrete columns. All the rooms are simply arranged underneath one big roof with long overhang. The whole house is a manifestation of his Indonesian modernist ideas. Silaban also held that buildings had their social roles. To him, perhaps under the spell of the Bouwkunde textbook, a building’s orientation shows its social character in relation to its surrounding neighbors. Silaban's sketch below shows how houses which socially interact with each other should be oriented.

39


Konsep Umum dari Rumah Silaban Silaban House’s General Concept genteng beton. Salah satu elemen baru pada rumah ini adalah kanopi pada carport , yang tidak dijumpai pada denah aslinya. Ini merupakan konstruksi tambahan, disebabkan kebutuhan yang membutuhkan ruang tambahan untuk tempat parkir kendaraannya.

Originally, it had just a few vegetatives, providing a rather friendly openness of the house to its environment. Today the front garden was full of plants in order to block the public view, for privacy.

Rumah ini memiliki halaman yang cukup luas. Awalnya, hanya ada beberapa tanaman, yang memberikan nuansa keterbukan ter hadap lingkungan sekitarnya. Sekarang ini halaman depan dipenuhi tanaman yang menghalangi pandangan publik, dan memberikan privasi.

17 Sketsa Silaban tentang orientasi rumah Silaban's sketch on houses orientation

Rumah ditempatkan sejajar dengan lahan yang menghadap ke Selatan dengan jalur utama terdapat pada garasi yang sisi Barat dan sirkulasi kecil seperti jalan masuk pada sisi Timur. Sirkulasi yang panjang, sejajar dengan sisi panjang rumah, menghubungkan jalur utama ke ruang tengah dan ke dapur. Semua ruangan diatur dalam lajur, mengikuti sumbu Timur – Barat.

The house is situated parallel to the land facing south with a main entrance pointing to the garage at the West, and another small passagelike entrance at the East. A long passage, parallel to the house’s length, connects from the main entrance to the living room and to the kitchen. All rooms are arranged in a row, following the EastWest axis.

Untuk menjawab kebutuhan dari rumah keluarga dengan 10 anak, Silaban merancang sebuah rumah besar dengan enam kamar tidur, termasuk sebuah kamar tidur utama yang bersebelahan dengan garasi (sebuah posisi yang sebetulnya agak janggal untuk sebuah inner sanctum), ruang kerja, sebuah ruang keluarga, dapur dengan beranda yang sangat luas di bagian depan dan lantai atas yang panjang (dibuat untuk area bermain anak-anak dan tempat duduk-duduk) berfungsi sebagai pembagi lantai dan penyatu ruang.

To answer the requirement of a 10-children family house, Silaban designed a big house with six bedrooms, including a master bedroom next to the garage (which is a rather intriguing position for such an inner sanctum), a working room, a living room, a kitchen with a very large porch in the front and a long upper storey part (consisting of children’s playing area and a place to sit around) to divide the floor and to link the space.

Rumah mengindikasikan kepolosan yang dinamis dari garis horisontal, dipotong oleh garis vertikal yang tipis, berupa kolom beton. Semua ruang diatur dengan sederhana di bawah sebuah atap yang besar dengan serambi yang panjang. Keseluruhan rumah merupakan perwujudan dari ide modernis Indonesia dari Silaban.

13

14

15

16

38

13 14

Kanopi tambahan pada carport terlihat pada foto di sebelah kanan, sedangkan pada foto di atas menunjukkan ketidakhadiran dari kanopi tersebut The additional canopy for the carport can be seen on the photograph above, while the photograph on the left shows the absence of the canopy

15 16

Halaman Depan Rumah Silaban dahulu (15), dan sekarang (16) The lawn of Silaban's house then (15), and now (16)

Silaban juga yakin bahwa bangunan mempunyai peran sosial. Baginya, mungkin karena pengaruh buku Bouwkunde, orientasi bangunan menunjukkan karakter sosial dalam kaitannya dengan lingkungan sekitarnya. Sketsa Silaban di halaman ini menunjukkan bagaimana orientasi rumah yang berinteraksi sosial dengan satu sama lain.

The house indicates clear dynamic horizontal lines, cut by thick vertical lines, concrete columns. All the rooms are simply arranged underneath one big roof with long overhang. The whole house is a manifestation of his Indonesian modernist ideas. Silaban also held that buildings had their social roles. To him, perhaps under the spell of the Bouwkunde textbook, a building’s orientation shows its social character in relation to its surrounding neighbors. Silaban's sketch below shows how houses which socially interact with each other should be oriented.

39


Beranda dikenal sebagai kebutuhan utama dalam mengantisipasi iklim tropis. Rumah Silaban mempunyai satu beranda depan dan satu beranda belakang. Beranda depan terjadi dari ruang yang didefinisikan lewat bayangan yang tercipta oleh emper yang lebar. Sedangkan emper didukung oleh balok horisontal. Silaban memberi komentar tentang keunggulan emper yang lebar. Dia mencatat bahwa: Emper yang panjang adalah elemen yang penting bagi arsitektur tropis sebagai menangkal sinar matahari langsung, melindungi dari hujan dan mengarahkan aliran udara di bawahnya.

18

Verandahs are well-known tropical necessities. The Silaban House has one front verandah and one back verandah. The front verandah consists of a space defined by the shade created by the wide overhang. The overhang, in its turn, is supported by horizontal beams. Silaban had a comment on the virtue of such wide overhang. He wrote in his note: Long over hang is a necessary element for tropical architecture as it can block direct sun light, protect from the rain and allow air circulation beneath.

19

18 Sebuah sudut di beranda depan A corner of the front verandah 19 Beranda depan Front verandah

40

41


Beranda dikenal sebagai kebutuhan utama dalam mengantisipasi iklim tropis. Rumah Silaban mempunyai satu beranda depan dan satu beranda belakang. Beranda depan terjadi dari ruang yang didefinisikan lewat bayangan yang tercipta oleh emper yang lebar. Sedangkan emper didukung oleh balok horisontal. Silaban memberi komentar tentang keunggulan emper yang lebar. Dia mencatat bahwa: Emper yang panjang adalah elemen yang penting bagi arsitektur tropis sebagai menangkal sinar matahari langsung, melindungi dari hujan dan mengarahkan aliran udara di bawahnya.

18

Verandahs are well-known tropical necessities. The Silaban House has one front verandah and one back verandah. The front verandah consists of a space defined by the shade created by the wide overhang. The overhang, in its turn, is supported by horizontal beams. Silaban had a comment on the virtue of such wide overhang. He wrote in his note: Long over hang is a necessary element for tropical architecture as it can block direct sun light, protect from the rain and allow air circulation beneath.

19

18 Sebuah sudut di beranda depan A corner of the front verandah 19 Beranda depan Front verandah

40

41


Kolom sederhana dilapisi oleh batu belah, lantai dan balok putih terpadu dalam satu komposisi yang baik sebagai karya seni, dan karenanya menciptakan sebuah nuansa yang khas terhadap beranda depan.

Simple columns covered by thinly-cut stones. floors and white painted beams are assembled into one good composition of art work, and hence create a particular ambience of the front verandah.

Serambi belakang berprinsip yang sama dengan bagian depan. Ruangnya juga terdefinisi oleh emper atap. Ini mengarah pada bagian belakang rumah tempat dimana kamar anakanak berorientasi.

The back porch shares the same principle with the one at the front. Its space is also defined by the roof overhang. It is toward this back side of the house where children rooms are oriented.

Emper yang panjang dan dinding yang tipis dibawah jendela menciptakan sebuah tempat duduk yang bersahabat dengan mendorong sebuah interaksi sosial dan menciptakan kehidupan sosial di ruang luar di iklim tropis. Hadirnya satu beranda di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang pada sebuah rumah (terutama rumah dari sebuah keluarga besar) telah menjadi kejadian umum selama periode kolonial. Bagian beranda depan adalah tempat tamu – terutama tamu pria – diterima oleh tuan rumah. Sebaliknya, istrinya akan menjamu tamu wanita di bagian belakang (seperti dipengaruhi oleh konsep moralitas masa Victorian). Beranda belakang juga berfungsi sebagai tempat dimana keluarga menghabiskan waktu bersama. Setelah itu posisi beranda belakang akan memberikan privasi kepada anggota keluarga. Kemungkinan konsep beranda kolonial mempengaruhi Silaban untuk menyajikan dua beranda di rumahnya.

Long overhang and the thick wall under the window create a friendly sitting place which encourages social interaction and spending outdoor life in tropical climate. The presence of one verandah at the front and another at the back of a house (especially the house of a colonist family) had been a common occurrence during the colonial period. The front verandah was where guests –especially male ones –were received by the man of the house. Whereas his wife would entertain female guests at the back verandah (such was the affect of Victorian era’s notion of morality). The back verandah also functioned as the place where the family would spend their time together. After all, the position of the back verandah would provide them with some privacy. Perhaps such colonial concept of the verandah prompted Silaban to provide two verandahs at his own house.

20 Beranda belakang Back verandah

42

43


Kolom sederhana dilapisi oleh batu belah, lantai dan balok putih terpadu dalam satu komposisi yang baik sebagai karya seni, dan karenanya menciptakan sebuah nuansa yang khas terhadap beranda depan.

Simple columns covered by thinly-cut stones. floors and white painted beams are assembled into one good composition of art work, and hence create a particular ambience of the front verandah.

Serambi belakang berprinsip yang sama dengan bagian depan. Ruangnya juga terdefinisi oleh emper atap. Ini mengarah pada bagian belakang rumah tempat dimana kamar anakanak berorientasi.

The back porch shares the same principle with the one at the front. Its space is also defined by the roof overhang. It is toward this back side of the house where children rooms are oriented.

Emper yang panjang dan dinding yang tipis dibawah jendela menciptakan sebuah tempat duduk yang bersahabat dengan mendorong sebuah interaksi sosial dan menciptakan kehidupan sosial di ruang luar di iklim tropis. Hadirnya satu beranda di bagian depan dan satu lagi di bagian belakang pada sebuah rumah (terutama rumah dari sebuah keluarga besar) telah menjadi kejadian umum selama periode kolonial. Bagian beranda depan adalah tempat tamu – terutama tamu pria – diterima oleh tuan rumah. Sebaliknya, istrinya akan menjamu tamu wanita di bagian belakang (seperti dipengaruhi oleh konsep moralitas masa Victorian). Beranda belakang juga berfungsi sebagai tempat dimana keluarga menghabiskan waktu bersama. Setelah itu posisi beranda belakang akan memberikan privasi kepada anggota keluarga. Kemungkinan konsep beranda kolonial mempengaruhi Silaban untuk menyajikan dua beranda di rumahnya.

Long overhang and the thick wall under the window create a friendly sitting place which encourages social interaction and spending outdoor life in tropical climate. The presence of one verandah at the front and another at the back of a house (especially the house of a colonist family) had been a common occurrence during the colonial period. The front verandah was where guests –especially male ones –were received by the man of the house. Whereas his wife would entertain female guests at the back verandah (such was the affect of Victorian era’s notion of morality). The back verandah also functioned as the place where the family would spend their time together. After all, the position of the back verandah would provide them with some privacy. Perhaps such colonial concept of the verandah prompted Silaban to provide two verandahs at his own house.

20 Beranda belakang Back verandah

42

43


"Atap adalah Keseluruhan Rumah!" "The Roof is the Whole House!" Bagi Friedrich Silaban: "Struktur atap adalah bagian terpenting. Atap seharusnya tidak didefinisikan oleh ruang dalam, karena ruang dalam justru terlindungi oleh atap itu sendiri".

To Friedrich Silaban: The roof structure is the most important element. The roof shall not be defined by the interior spaces, as interior spaces are actually protected by the roof itself.

Ia juga mengatakan, "Bentuk atap dalah kenyataan tidak diperkuat atau didefiniskan oleh interior! Sebuah bentuk atap yang murni adalah tidak dibuat untuk keindahan interior! Itu menciptakan sebuah ruang dalam yang jujur".

Silaban also once said, "The form of the roof is in fact is not forced, or defined by the interior! A pure roof form is not made to beautify the interior. It creates an honest space inside".

Demikian Silaban menulis dalam catatannya. Atap tidak dibuat dari bentuk sebuah ruang, malahan, sebuah ruang dibentuk sebagai sebuah hasil, pemberian untuk manusia seperti perlindungan dan diterima sebagai kebutuhan yang utama bagi manusia. Di bawah atap itu, kemudian, ruangan, langit-langit atau ruang mulai terdefinisikan dengan sendirinya. Sederhananya, atap adalah pelindung yang melindungi dari atas, sebagai yang utama, dan bentuk ruang dibawahnya sebagai tujuan kedua.

So Silaban wrote in his note. The roof is not be made to form a space, instead, a space are formed as a result, a gift for the people as it protects, and accepted as a main necessity for men. Beneath this, then, rooms, ceilings or spaces begin to define themselves. Simply put, roof is a shield which protects from the above, primarily, and forms the spaces beneath it as a secondary purpose.

22 23

21 Ruang rekreasi anak-anak Children space

44

22

Sketsa Silaban untuk keperluan perkuliahan, yang menunjukkan keutamaan atap dalam memberikan karakter bagi sebuah bangunan . Sketches by Slaban for a lecture, to show the importance of roof to give a building’s character.

23

Sketsa Silaban untuk perkuliahan, memperlihatkan pentingnya atap Silaban’s sketches for a lecture, on the importance of the roof

45


"Atap adalah Keseluruhan Rumah!" "The Roof is the Whole House!" Bagi Friedrich Silaban: "Struktur atap adalah bagian terpenting. Atap seharusnya tidak didefinisikan oleh ruang dalam, karena ruang dalam justru terlindungi oleh atap itu sendiri".

To Friedrich Silaban: The roof structure is the most important element. The roof shall not be defined by the interior spaces, as interior spaces are actually protected by the roof itself.

Ia juga mengatakan, "Bentuk atap dalah kenyataan tidak diperkuat atau didefiniskan oleh interior! Sebuah bentuk atap yang murni adalah tidak dibuat untuk keindahan interior! Itu menciptakan sebuah ruang dalam yang jujur".

Silaban also once said, "The form of the roof is in fact is not forced, or defined by the interior! A pure roof form is not made to beautify the interior. It creates an honest space inside".

Demikian Silaban menulis dalam catatannya. Atap tidak dibuat dari bentuk sebuah ruang, malahan, sebuah ruang dibentuk sebagai sebuah hasil, pemberian untuk manusia seperti perlindungan dan diterima sebagai kebutuhan yang utama bagi manusia. Di bawah atap itu, kemudian, ruangan, langit-langit atau ruang mulai terdefinisikan dengan sendirinya. Sederhananya, atap adalah pelindung yang melindungi dari atas, sebagai yang utama, dan bentuk ruang dibawahnya sebagai tujuan kedua.

So Silaban wrote in his note. The roof is not be made to form a space, instead, a space are formed as a result, a gift for the people as it protects, and accepted as a main necessity for men. Beneath this, then, rooms, ceilings or spaces begin to define themselves. Simply put, roof is a shield which protects from the above, primarily, and forms the spaces beneath it as a secondary purpose.

22 23

21 Ruang rekreasi anak-anak Children space

44

22

Sketsa Silaban untuk keperluan perkuliahan, yang menunjukkan keutamaan atap dalam memberikan karakter bagi sebuah bangunan . Sketches by Slaban for a lecture, to show the importance of roof to give a building’s character.

23

Sketsa Silaban untuk perkuliahan, memperlihatkan pentingnya atap Silaban’s sketches for a lecture, on the importance of the roof

45


24 25

24 25 Sebuah foto dari arsip Silaban yang menunjukkan dominasi atap. A photograph of the house from Silaban’s archive shows the dominance of the roof.

26 Ruang keluarga yang dibentuk oleh atap The living room, as formed by the roof

Ruang keluarga juga menunjukkan pentingnya atap. Perasaan lapang sangat berhasil diciptakan dengan bentuk yang murni dari atap dan dinding putih. Pintu kaca pada sisi lain pada ruang keluarga yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang luar dan keleluasaan ruang pada ruang keluarga mengkaitkan dengan lingkungan. Pe-revolusi-an ruang tertutup tradisional, Silaban merancang sebuah ruang hidup modern yang bersahabat dengan menghubungkan antara interior dan eksterior.

46

The living room also shows the importance of the roof. The sense of spaciousness was successfully created by the pure form of the roof and the white painted wall. The glass doors on the either sides of the living room connect the indoor space with the outdoor space and widen the space of living room to interact with the environment. Revolutionizing the traditional enclosed space, Silaban designed a modern friendly living space which connects the interior and the exterior.

47


24 25

24 25 Sebuah foto dari arsip Silaban yang menunjukkan dominasi atap. A photograph of the house from Silaban’s archive shows the dominance of the roof.

26 Ruang keluarga yang dibentuk oleh atap The living room, as formed by the roof

Ruang keluarga juga menunjukkan pentingnya atap. Perasaan lapang sangat berhasil diciptakan dengan bentuk yang murni dari atap dan dinding putih. Pintu kaca pada sisi lain pada ruang keluarga yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang luar dan keleluasaan ruang pada ruang keluarga mengkaitkan dengan lingkungan. Pe-revolusi-an ruang tertutup tradisional, Silaban merancang sebuah ruang hidup modern yang bersahabat dengan menghubungkan antara interior dan eksterior.

46

The living room also shows the importance of the roof. The sense of spaciousness was successfully created by the pure form of the roof and the white painted wall. The glass doors on the either sides of the living room connect the indoor space with the outdoor space and widen the space of living room to interact with the environment. Revolutionizing the traditional enclosed space, Silaban designed a modern friendly living space which connects the interior and the exterior.

47


Analisa desain iklim-mikro Micro-climatic design analysis

27 Transparansi pintu Transparency of the sliding door

Keutamaan pintu kaca adalah lebih dari sekedar menghubungkan dua buah ruangan. Transparansi mengurangi kepadatan dari d i n d i n g . S i l a b a n p e rc a y a b a h w a s e b u a h bangunan tidak didefinisikan oleh dinding, tapi oleh atap dan elemen pendukungnya.

The importance of the glass doors is more than connecting two spaces. The transparency diminishes the solidity of the walls. Silaban believed that a building is not defined by walls, but by roof and its supporting elements. Hence the diminutive effect.

Pentingnya atap juga diperkuat oleh sebuah celah di antara pintu dan langit-langit, yang membiarkan masuknya cahaya alami. Efeknya adalah sebuah nuansa ringan, seakan-akan atap mengambang.

The importance of the roof is also acentuated by a gap between the door and ceiling which allow natural light to come across. Such effect creates an ethereal nuance nuance, as if the roof is "hoovering".

Pernah dalam catatannya, Silaban menganalogikan atap sebagai topi. Ia pun menganalogikan ruang di antara kepala dan topi sebagai ruang arsitektural yang tercipta oleh atap. Begitu pentinglah atap baginya.

Once in his note, Silaban analogized roof as a hat. He then analogized the space between the hat and the covered head as the architectural space created by the roof. Such was the importance of roof for him.

Dari gambar ini, terlihat bahwa peletakan lantai atas yang asimetris menciptakan luasan area bagian belakang bangunan lebih kecil daripada bagian depan bangunan. Hal ini menyebabkan bagian belakang bangunan akan terasa lebih dingin di siang hari.Dengan demikian sistem yang mungkin terjadi adalah sistem efek cerobong, dan bukan sistem ventilasi silang.

From the picture, upper floor’ s assymetrical position provides less area at the house's back side compared to the front side. Due to this, the house's back side gets cooler during the day. So, the only possible system is the stack effect, instead of the cross ventilation.

Berdasarkan aliran udara, rumah ini dibagi menjadi tiga zona : 1. area ruang keluarga yang dihubungkan dengan lantai atas menimbulkan kesan lapang. 2. lantai atas tanpa dinding pada bagian kanan kirinya 3. kamar tidur utama serta ruang-ruang yang tersekat menimbulkan kesan padat. Ketiga hal tersebut sangat berpengaruh pada aliran angin di dalam rumah, yang akan menekan ke zona 3,untuk dapat keluar melalui lubang kecil di ujung zona 3.

Based on the air flow, we divided the house into three zones : 1. living room connected to the upper floor, with its spacious atmosphere. 2. upper floor without walls on its left and right sides 3. master bedroom and partitioned spaces, with its stuffy atmosphere All the above effect the air flow in the house, which tends to press toward zone

pagi morning Solar shading simulation of the house showing the extensive roof design protects main living areas from the excessive tropical sun.

48

siang noon

sore afternoon

Simulasi pembayangan matahari memperlihatkan rancangan ekstensif atap melindungi daerah utama dari sinar matahari tropis yang panas.


Analisa desain iklim-mikro Micro-climatic design analysis

27 Transparansi pintu Transparency of the sliding door

Keutamaan pintu kaca adalah lebih dari sekedar menghubungkan dua buah ruangan. Transparansi mengurangi kepadatan dari d i n d i n g . S i l a b a n p e rc a y a b a h w a s e b u a h bangunan tidak didefinisikan oleh dinding, tapi oleh atap dan elemen pendukungnya.

The importance of the glass doors is more than connecting two spaces. The transparency diminishes the solidity of the walls. Silaban believed that a building is not defined by walls, but by roof and its supporting elements. Hence the diminutive effect.

Pentingnya atap juga diperkuat oleh sebuah celah di antara pintu dan langit-langit, yang membiarkan masuknya cahaya alami. Efeknya adalah sebuah nuansa ringan, seakan-akan atap mengambang.

The importance of the roof is also acentuated by a gap between the door and ceiling which allow natural light to come across. Such effect creates an ethereal nuance nuance, as if the roof is "hoovering".

Pernah dalam catatannya, Silaban menganalogikan atap sebagai topi. Ia pun menganalogikan ruang di antara kepala dan topi sebagai ruang arsitektural yang tercipta oleh atap. Begitu pentinglah atap baginya.

Once in his note, Silaban analogized roof as a hat. He then analogized the space between the hat and the covered head as the architectural space created by the roof. Such was the importance of roof for him.

Dari gambar ini, terlihat bahwa peletakan lantai atas yang asimetris menciptakan luasan area bagian belakang bangunan lebih kecil daripada bagian depan bangunan. Hal ini menyebabkan bagian belakang bangunan akan terasa lebih dingin di siang hari.Dengan demikian sistem yang mungkin terjadi adalah sistem efek cerobong, dan bukan sistem ventilasi silang.

From the picture, upper floor’ s assymetrical position provides less area at the house's back side compared to the front side. Due to this, the house's back side gets cooler during the day. So, the only possible system is the stack effect, instead of the cross ventilation.

Berdasarkan aliran udara, rumah ini dibagi menjadi tiga zona : 1. area ruang keluarga yang dihubungkan dengan lantai atas menimbulkan kesan lapang. 2. lantai atas tanpa dinding pada bagian kanan kirinya 3. kamar tidur utama serta ruang-ruang yang tersekat menimbulkan kesan padat. Ketiga hal tersebut sangat berpengaruh pada aliran angin di dalam rumah, yang akan menekan ke zona 3,untuk dapat keluar melalui lubang kecil di ujung zona 3.

Based on the air flow, we divided the house into three zones : 1. living room connected to the upper floor, with its spacious atmosphere. 2. upper floor without walls on its left and right sides 3. master bedroom and partitioned spaces, with its stuffy atmosphere All the above effect the air flow in the house, which tends to press toward zone

pagi morning Solar shading simulation of the house showing the extensive roof design protects main living areas from the excessive tropical sun.

48

siang noon

sore afternoon

Simulasi pembayangan matahari memperlihatkan rancangan ekstensif atap melindungi daerah utama dari sinar matahari tropis yang panas.


Kesederhanaan, Kejelasan dan Kejujuran Simplicity, Clarity and Honesty

29 Kejujuran struktur di lantai atas Structural honestly on the upper floor 28 Tiang dan balok struktur atap Column and beam of roof structure

Sebagai seorang modernis Silaban percaya bahwa sebuah bangunan harus sederhana, jernih dan jujur. Pasti terdapat kaitan konsep Silaban dengan pemikiran modern yang diketahui dan berpengaruh luas. Tapi untuk Silaban mungkin terdapat faktor lain. Terlepas dari apa yang dia baca (seperti buku teks Bouwkunde ). Silaban yang juga putra dari seorang pendeta dari Tapanuli, yang merupakan daerah Protestan tempat moralitas Calvinis disebarkan. Hal ini juga menjadi faktor lain yang mungkin memberi pengaruh pada pilihan Silaban pada keserhanaan, kejernihan dan kejujuran.

50

Yes, as a modernist Silaban believed that a building should be simple, clear and honest. Surely one might relate his concept with the rather well-known and widely-accepted modernist thinking. But for Silaban there may be another factor. Aside from what he read (such as the textbook-like Bouwkunde). Silaban was a son of a priest from Tapanuli. This is a protestant area, where Calvinist-type of morality is disseminated. This, along other factors, might have affected Silaban’s preference on simplicity, clarity and honesty.

Rumah memiliki lantai bawah dan lantai atas. Denah adalah sebuah persegi panjang yang besar dikomposisi oleh pengaturan yang sederhana dengan persegi panjang kecil yang menempati sepanjang sumbu timur–barat. Ruang kerja, Kamar tidur utama, dan ruang keluarga menghadap selatan untuk memandang pekarangan. Dapur berada di sisi timur dari rumah dengan teras panjang yang disesuaikan dengan aktivitas di dapur yang biasanya di pagi hari dan memerlukan sinar matahari. Garasi, bertempat di sudut lokasi, berada di sisi barat, sinar matahari sore di iklim tropis merupakan bagian terpanas sepanjang hari.

The house consists of ground floor and the upper floor. The floor plan is a big rectangle composed by simple arrangement of small rectangles placed along the east –west axis. Working room, master room and living room face to the south to capture the view of the garden. The kitchen is at the east side of the house with a long terrace to be suitable with activities in the kitchen which usually takes place in the morning and requires sunlight. The garage, the least used place, is at the west side, for the afternoon sun in tropical climate is the hottest during the day.

51


Kesederhanaan, Kejelasan dan Kejujuran Simplicity, Clarity and Honesty

29 Kejujuran struktur di lantai atas Structural honestly on the upper floor 28 Tiang dan balok struktur atap Column and beam of roof structure

Sebagai seorang modernis Silaban percaya bahwa sebuah bangunan harus sederhana, jernih dan jujur. Pasti terdapat kaitan konsep Silaban dengan pemikiran modern yang diketahui dan berpengaruh luas. Tapi untuk Silaban mungkin terdapat faktor lain. Terlepas dari apa yang dia baca (seperti buku teks Bouwkunde ). Silaban yang juga putra dari seorang pendeta dari Tapanuli, yang merupakan daerah Protestan tempat moralitas Calvinis disebarkan. Hal ini juga menjadi faktor lain yang mungkin memberi pengaruh pada pilihan Silaban pada keserhanaan, kejernihan dan kejujuran.

50

Yes, as a modernist Silaban believed that a building should be simple, clear and honest. Surely one might relate his concept with the rather well-known and widely-accepted modernist thinking. But for Silaban there may be another factor. Aside from what he read (such as the textbook-like Bouwkunde). Silaban was a son of a priest from Tapanuli. This is a protestant area, where Calvinist-type of morality is disseminated. This, along other factors, might have affected Silaban’s preference on simplicity, clarity and honesty.

Rumah memiliki lantai bawah dan lantai atas. Denah adalah sebuah persegi panjang yang besar dikomposisi oleh pengaturan yang sederhana dengan persegi panjang kecil yang menempati sepanjang sumbu timur–barat. Ruang kerja, Kamar tidur utama, dan ruang keluarga menghadap selatan untuk memandang pekarangan. Dapur berada di sisi timur dari rumah dengan teras panjang yang disesuaikan dengan aktivitas di dapur yang biasanya di pagi hari dan memerlukan sinar matahari. Garasi, bertempat di sudut lokasi, berada di sisi barat, sinar matahari sore di iklim tropis merupakan bagian terpanas sepanjang hari.

The house consists of ground floor and the upper floor. The floor plan is a big rectangle composed by simple arrangement of small rectangles placed along the east –west axis. Working room, master room and living room face to the south to capture the view of the garden. The kitchen is at the east side of the house with a long terrace to be suitable with activities in the kitchen which usually takes place in the morning and requires sunlight. The garage, the least used place, is at the west side, for the afternoon sun in tropical climate is the hottest during the day.

51


Kamar tidur anak-anak menghadap ke halaman belakang sehingga mereka dapat keluar dan bermain bersama di belakang rumah. Halaman belakang sangat baik untuk area ber main semenjak ruang keluarga sering digunakan untuk menerima tamu. Semua ruang dirancang dengan memiliki dua jendela yang dimaksudkan untuk mendapatkan sinar matahari dan ventilasi alamiah. Lantai atas menghubungkan ruang keluarga dengan ruang kerja. Tidak ada ruang/kamar di rumah ini, terkecuali kamar tidur utama, dapur dan garasi, yang benar-benar tertutup. Lantai atas nampak seperti jembatan dari tempat yang bisa melihat aktivitas di ruang keluarga. Kombinasi semua ruangan ke dalam satu kesatuan. Ini baik untuk interaksi antar ruang tapi ada efek yang lain, yaitu: berkurangnya privasi untuk kamar tidur anak-anak. Sebuah aspek yang cukup menarik tentang rumah ini adalah aspek privasi. Silaban tidak mengikuti ide Barat tentang privasi. Menurutnya, ada beberapa kegiatan sehari-hari yang tidak begitu membutuhkan privasi.

Children’s bed rooms face to the back yard garden so they can come out and get together to play behind the house. Back yard is good for playing area since living room is frequently for the guest. All the rooms were designed to have windows in order to get sunlight and natural ventilation. The upper floor connects the living room with the bed room and working room. No rooms in this house, accept the main bedroom, the kitchen and the garage, was completely enclosed. The upper floor seems like a bridge from which we can see the activities in the living room, room and working room. The space combines all the rooms into one whole unity. It is good for space interaction but there is another effect, too; the lack of privacy for the children’s bedrooms. Another interesting aspect of the house has to do with the notion of privacy. Silaban did not subscribe to the Western idea on privacy. He argued that some activities, such as dining, cooking and reading did not require high level of privacy. One of his articles in Indonesian even stated that,

Di salah satu artikel pada peristiwa di Indonesia dinyatakan bahwa: "Pada kenyataannya, hampir semua aktivitas manusia tidak memperlukan privasi. Di Jepang, contohnya, mereka menyatakan bahwa di dalam rumahnya dinding tidak terlalu diperlukan". Menurut anaknya, Panogu, semua kamar anakanak tidak cukup mempunyai privasi. Ayahnya pernah mengatakan: "jika kamu ingin privasi, kamu dapat pindah dan hidup di rumahmu sendiri, sebab ini rumahku". Inilah sisi lain dari rancangannya.

"In fact, most of human activities are not necessarily need privacy. In Japan, for example, they imply in their houses that walls are not primary needs". According to his son, Panogu, all the children’s bed rooms are lacking of privacy. His father once said "if you want privacy, you can move and live in your own house, because this is my house". Such is another side of his design.

30 Terlihat hubungan visual langsung antara lantai atas dan kamar anak di bawah yang mengurangi privasi.

Direct visual connection between the upper floor and children's rooms below is evident, diminishing privacy.

Denah rumah Silaban disusun secara sederhana berdasarkan fungsi yang diembannya. Merupakan sebuah bentuk persegi besar yang terdiri dari persegi-persegi yang lebih kecil. Ruang keluarga memisahkan ruang tidur dan ruang kerja dari ruang makan. Perhatikan pengaturan denah untuk rumah, per hatian mungkin akan mengarah pada sebuah buku, Homes for Moderns oleh Henry M. Hesse, diterbitkan pada tahun 1946. Ini tidak bisa disebut sebagai buku akademis, untuk buku tipis ditujukan untuk segmen populer (yang berharga US$ 1 ketika diterbitkan). Buku ini ditemukan di Studio Silaban. Tentu sangat spekulatif untuk menyatakan bahwa buku tersebut membentuk pemahaman pada rumah Silaban. Kemudian buku tersebut mendefinisikan desain yang bagus untuk rumah sebagai (kutipan): • Semua ruangan dalam rumah seharusnya diatur untuk mempunyai akses dari satu ke yang lain terhadap area ruang utama yang mungkin diperoleh tanpa melalui area utama ketiga.

52

The floor plan of Silaban’s house was simply arranged based on its function. It is a big rectangle composed of many small rectangles. Living room divides sleeping and working space from eating place. As far as the floor plan’s arrangement for the house is concerned, attention may be turned to a book, Homes for Moderns, by Henry M. Hesse, published in 1946. It is not what one might call an academic book, for it is a thin book for popular segment (it was priced at US$ 1). This book has been found at Silaban’s studio. Of course it would be highly speculative at this point to say that the book co-shaped the conceivement of Silaban’s house. Yet the book defines "good design for a house" as (in quote): - All rooms in the house should be so arranged that access from one to another of the major living areas maybe gained without passing through the third major area.

53


Kamar tidur anak-anak menghadap ke halaman belakang sehingga mereka dapat keluar dan bermain bersama di belakang rumah. Halaman belakang sangat baik untuk area ber main semenjak ruang keluarga sering digunakan untuk menerima tamu. Semua ruang dirancang dengan memiliki dua jendela yang dimaksudkan untuk mendapatkan sinar matahari dan ventilasi alamiah. Lantai atas menghubungkan ruang keluarga dengan ruang kerja. Tidak ada ruang/kamar di rumah ini, terkecuali kamar tidur utama, dapur dan garasi, yang benar-benar tertutup. Lantai atas nampak seperti jembatan dari tempat yang bisa melihat aktivitas di ruang keluarga. Kombinasi semua ruangan ke dalam satu kesatuan. Ini baik untuk interaksi antar ruang tapi ada efek yang lain, yaitu: berkurangnya privasi untuk kamar tidur anak-anak. Sebuah aspek yang cukup menarik tentang rumah ini adalah aspek privasi. Silaban tidak mengikuti ide Barat tentang privasi. Menurutnya, ada beberapa kegiatan sehari-hari yang tidak begitu membutuhkan privasi.

Children’s bed rooms face to the back yard garden so they can come out and get together to play behind the house. Back yard is good for playing area since living room is frequently for the guest. All the rooms were designed to have windows in order to get sunlight and natural ventilation. The upper floor connects the living room with the bed room and working room. No rooms in this house, accept the main bedroom, the kitchen and the garage, was completely enclosed. The upper floor seems like a bridge from which we can see the activities in the living room, room and working room. The space combines all the rooms into one whole unity. It is good for space interaction but there is another effect, too; the lack of privacy for the children’s bedrooms. Another interesting aspect of the house has to do with the notion of privacy. Silaban did not subscribe to the Western idea on privacy. He argued that some activities, such as dining, cooking and reading did not require high level of privacy. One of his articles in Indonesian even stated that,

Di salah satu artikel pada peristiwa di Indonesia dinyatakan bahwa: "Pada kenyataannya, hampir semua aktivitas manusia tidak memperlukan privasi. Di Jepang, contohnya, mereka menyatakan bahwa di dalam rumahnya dinding tidak terlalu diperlukan". Menurut anaknya, Panogu, semua kamar anakanak tidak cukup mempunyai privasi. Ayahnya pernah mengatakan: "jika kamu ingin privasi, kamu dapat pindah dan hidup di rumahmu sendiri, sebab ini rumahku". Inilah sisi lain dari rancangannya.

"In fact, most of human activities are not necessarily need privacy. In Japan, for example, they imply in their houses that walls are not primary needs". According to his son, Panogu, all the children’s bed rooms are lacking of privacy. His father once said "if you want privacy, you can move and live in your own house, because this is my house". Such is another side of his design.

30 Terlihat hubungan visual langsung antara lantai atas dan kamar anak di bawah yang mengurangi privasi.

Direct visual connection between the upper floor and children's rooms below is evident, diminishing privacy.

Denah rumah Silaban disusun secara sederhana berdasarkan fungsi yang diembannya. Merupakan sebuah bentuk persegi besar yang terdiri dari persegi-persegi yang lebih kecil. Ruang keluarga memisahkan ruang tidur dan ruang kerja dari ruang makan. Perhatikan pengaturan denah untuk rumah, per hatian mungkin akan mengarah pada sebuah buku, Homes for Moderns oleh Henry M. Hesse, diterbitkan pada tahun 1946. Ini tidak bisa disebut sebagai buku akademis, untuk buku tipis ditujukan untuk segmen populer (yang berharga US$ 1 ketika diterbitkan). Buku ini ditemukan di Studio Silaban. Tentu sangat spekulatif untuk menyatakan bahwa buku tersebut membentuk pemahaman pada rumah Silaban. Kemudian buku tersebut mendefinisikan desain yang bagus untuk rumah sebagai (kutipan): • Semua ruangan dalam rumah seharusnya diatur untuk mempunyai akses dari satu ke yang lain terhadap area ruang utama yang mungkin diperoleh tanpa melalui area utama ketiga.

52

The floor plan of Silaban’s house was simply arranged based on its function. It is a big rectangle composed of many small rectangles. Living room divides sleeping and working space from eating place. As far as the floor plan’s arrangement for the house is concerned, attention may be turned to a book, Homes for Moderns, by Henry M. Hesse, published in 1946. It is not what one might call an academic book, for it is a thin book for popular segment (it was priced at US$ 1). This book has been found at Silaban’s studio. Of course it would be highly speculative at this point to say that the book co-shaped the conceivement of Silaban’s house. Yet the book defines "good design for a house" as (in quote): - All rooms in the house should be so arranged that access from one to another of the major living areas maybe gained without passing through the third major area.

53


• Tiap rumah kecil seharusnya mempunyai sudut sarapan, ruang kecil untuk makan malam atau keduanya dpat digabung dalam perencanaan, ditempatkan didalam atau berdekatan dengan dapur. • Tiap rumah seharusnya berorientasi pada bidang sebuah patio atau area taman dalam batas kapling. Area ini dirancang untuk menjadi focal point dari jendela dan kehidupan luar.

- Each small home should have a breakfast nook, dining alcove, or both incorporated in the plan, placed within or adjacent to the kitchen. - Each house should be so oriented on the lot to allow a patio or garden view area within the property confines. This area designed to be the focal point for view windows and outdoor living. Silaban’s house lets one to experience spatial effect of different parts of the house.

Rumah Silaban memberikan pengalaman ke-ruangan dari tiap bagian yang berbeda dalam rumah tersebut.

32 Tangga di ruang keluarga Stair at the living room

31 Pandangan dari ruang keluarga ke arah taman depan (arsip Silaban) View from the living room to the garden (Silaban’s archive)

54

Sebagian dari lantai atas dapat dilihat dari ruang keluarga. Lantai atas ini dihubungkan ke ruang keluarga oleh sebuah tangga. Saat Silaban merancang rumah ini, ia membayangkan pernikahan anak perempuannya. Karenanya, ia rancang lantai atas dan tangga sebagai panggung bagi anaknya, yang di hari pernikahan berjalan dari lantai atas, menuruni tangga di hadapan para undangan.

A part of the upper floor can be seen from the living room. And it is connected to the living room by a stair. When Silaban designed this house, he thought of his daughter. So he designed this upper floor not only as another floor for getting more space but also as a stage for her daughter in wedding dress coming out and come down via this stair in her wedding day, to be seen by the guests.

Balok tangga dicat warna kuning dan railing dengan warna biru. Konon bahwa suatu hari di tahun 1929, Silaban pergi untuk melihat festival Pasar Gambir. J.H. Antonisse menyusun rencana rancangan untuk Festival Pasar Gambir di tahun 1929. Salah satu hal yang dari rencana tersebut yang menarik perhatian Silaban adalah penggunaan warna-warna dasar.

The stair beam was painted in yellow and the railing in blue. It is said that one day in 1929, Silaban went to see the Pasar Gambir Festival. It was J.H. Antonisse who had conceived the design scheme for the 1929 Pasar Gambir Fair. One of several things of the scheme that impressed Silaban was the use of primary colors.

55


• Tiap rumah kecil seharusnya mempunyai sudut sarapan, ruang kecil untuk makan malam atau keduanya dpat digabung dalam perencanaan, ditempatkan didalam atau berdekatan dengan dapur. • Tiap rumah seharusnya berorientasi pada bidang sebuah patio atau area taman dalam batas kapling. Area ini dirancang untuk menjadi focal point dari jendela dan kehidupan luar.

- Each small home should have a breakfast nook, dining alcove, or both incorporated in the plan, placed within or adjacent to the kitchen. - Each house should be so oriented on the lot to allow a patio or garden view area within the property confines. This area designed to be the focal point for view windows and outdoor living. Silaban’s house lets one to experience spatial effect of different parts of the house.

Rumah Silaban memberikan pengalaman ke-ruangan dari tiap bagian yang berbeda dalam rumah tersebut.

32 Tangga di ruang keluarga Stair at the living room

31 Pandangan dari ruang keluarga ke arah taman depan (arsip Silaban) View from the living room to the garden (Silaban’s archive)

54

Sebagian dari lantai atas dapat dilihat dari ruang keluarga. Lantai atas ini dihubungkan ke ruang keluarga oleh sebuah tangga. Saat Silaban merancang rumah ini, ia membayangkan pernikahan anak perempuannya. Karenanya, ia rancang lantai atas dan tangga sebagai panggung bagi anaknya, yang di hari pernikahan berjalan dari lantai atas, menuruni tangga di hadapan para undangan.

A part of the upper floor can be seen from the living room. And it is connected to the living room by a stair. When Silaban designed this house, he thought of his daughter. So he designed this upper floor not only as another floor for getting more space but also as a stage for her daughter in wedding dress coming out and come down via this stair in her wedding day, to be seen by the guests.

Balok tangga dicat warna kuning dan railing dengan warna biru. Konon bahwa suatu hari di tahun 1929, Silaban pergi untuk melihat festival Pasar Gambir. J.H. Antonisse menyusun rencana rancangan untuk Festival Pasar Gambir di tahun 1929. Salah satu hal yang dari rencana tersebut yang menarik perhatian Silaban adalah penggunaan warna-warna dasar.

The stair beam was painted in yellow and the railing in blue. It is said that one day in 1929, Silaban went to see the Pasar Gambir Festival. It was J.H. Antonisse who had conceived the design scheme for the 1929 Pasar Gambir Fair. One of several things of the scheme that impressed Silaban was the use of primary colors.

55


Ruang terbuka pada sisi lain pada lantai atas nampak seperti sebuah jembatan. Kejujuran bentuk pada balok, dinding terpancung berwarna putih dan pengaturan logis menghasilkan sebuah ruang yang hidup. Focal point ini menjadi persimpangan pada garis horizontal di railing. Struktur yang tidak ditutupi menciptakan sebuah keseimbangan keindahan yang sederhana tanpa ada tambahan lagi. Mengenai tidak perlunya tambahan, Silaban berpendapat bahwa rumah kecil sebaiknya hanya terdiri dari tubuh utama, harus mempunyai sebuah proporsi bagus tanpa tambahan lagi. Penambahan hanya akan menonjolkan "kekerdilan" sebuah rumah. Jikalau penambahan bagian tidak dapat dihindarkan, bagian itu seharusnya dibuat sesederhana mungkin, dan sebagai sesuatu yang lebih tidak penting.

Opened spaces in either side of the upper floor make it seems like a bridge. The honest form of the beams, the vertical white cutting walls and its logical arrangement result in an exiting space. A small open in the middle of the wall becomes a focal point by its lighting contrast of the indoor and the outdoor. This focal point becomes an intersection of the horizontal lines of the railings. Unhidden structures create a balanced pure simple beauty without any secondary additions. As far as the unnecerariness of addition, Silaban would advise that small houses to consist only of a main body, which is obliged to have a good proportion without any secondary additions, as those additions would only accentuate the ‘smallness’ of the house. Even if the additional parts are unavoidable, those elements should be made as simple as possible, and as something with less importance.

33

34

33 34

Kedua foto ini menunjukkan tidak terhubungnya dinding dan atap secara langsung The photos on this page tell us that there are no single wall is directly connected to the roof.

Di balik ke-abstrak-an pengaturan denah lantai yang dapat dilihat sebagai sebuah kotak yang ditempatkan pada sumbu timur–barat, salah satu gambaran yang luar biasa adalah efek pembingkaian. Terdapat tiga sumbu horisontal pada denah yang menghubungkan sema ruang di timur ke ruang di barat. Sumbu ini adalah koridor yang terhubung dari satu pintu ke pintu lain : • Sebuah sumbu menghubungkan beranda depan dengan kamar tidur utama melalui ruang kerja. • Sumbu berikutnya menghubungkan antara ruang keluarga dengan garasi • Terakhir menghubungkan pintu dapur dengan ruang seterika.

56

Behind Silaban’s abstracted simple floor plan arrangement which could be visible as boxes placed along the East –West axes, another one remarkable figure is the framing effect. There are three horizontal axes in the plan linking all the space at the East to the space at the West. These axes are the corridors connecting from a door to another: - An axis connects the front porch to the master bedroom via working room. - The next axis is the linkage between living room and the garage. - The last relates the kitchen door to the ironing room

57


Ruang terbuka pada sisi lain pada lantai atas nampak seperti sebuah jembatan. Kejujuran bentuk pada balok, dinding terpancung berwarna putih dan pengaturan logis menghasilkan sebuah ruang yang hidup. Focal point ini menjadi persimpangan pada garis horizontal di railing. Struktur yang tidak ditutupi menciptakan sebuah keseimbangan keindahan yang sederhana tanpa ada tambahan lagi. Mengenai tidak perlunya tambahan, Silaban berpendapat bahwa rumah kecil sebaiknya hanya terdiri dari tubuh utama, harus mempunyai sebuah proporsi bagus tanpa tambahan lagi. Penambahan hanya akan menonjolkan "kekerdilan" sebuah rumah. Jikalau penambahan bagian tidak dapat dihindarkan, bagian itu seharusnya dibuat sesederhana mungkin, dan sebagai sesuatu yang lebih tidak penting.

Opened spaces in either side of the upper floor make it seems like a bridge. The honest form of the beams, the vertical white cutting walls and its logical arrangement result in an exiting space. A small open in the middle of the wall becomes a focal point by its lighting contrast of the indoor and the outdoor. This focal point becomes an intersection of the horizontal lines of the railings. Unhidden structures create a balanced pure simple beauty without any secondary additions. As far as the unnecerariness of addition, Silaban would advise that small houses to consist only of a main body, which is obliged to have a good proportion without any secondary additions, as those additions would only accentuate the ‘smallness’ of the house. Even if the additional parts are unavoidable, those elements should be made as simple as possible, and as something with less importance.

33

34

33 34

Kedua foto ini menunjukkan tidak terhubungnya dinding dan atap secara langsung The photos on this page tell us that there are no single wall is directly connected to the roof.

Di balik ke-abstrak-an pengaturan denah lantai yang dapat dilihat sebagai sebuah kotak yang ditempatkan pada sumbu timur–barat, salah satu gambaran yang luar biasa adalah efek pembingkaian. Terdapat tiga sumbu horisontal pada denah yang menghubungkan sema ruang di timur ke ruang di barat. Sumbu ini adalah koridor yang terhubung dari satu pintu ke pintu lain : • Sebuah sumbu menghubungkan beranda depan dengan kamar tidur utama melalui ruang kerja. • Sumbu berikutnya menghubungkan antara ruang keluarga dengan garasi • Terakhir menghubungkan pintu dapur dengan ruang seterika.

56

Behind Silaban’s abstracted simple floor plan arrangement which could be visible as boxes placed along the East –West axes, another one remarkable figure is the framing effect. There are three horizontal axes in the plan linking all the space at the East to the space at the West. These axes are the corridors connecting from a door to another: - An axis connects the front porch to the master bedroom via working room. - The next axis is the linkage between living room and the garage. - The last relates the kitchen door to the ironing room

57


Ye t , i t i s n o t a l l a b o u t l i n k a g e ; i t c a n b e speculated that oin effect Silaban created a framing effect. The effect plays an important role as a zoom of the camera to attract viewer to pay attention to a set point.

Kemudian tidak semua tentang keterkaitan, dapat juga dilakukan spekulasi bahwa dalam efek Silaban diciptakan sebuah efek pembingkai-an. Efek ini bermain sebagai sebuah aturan penting seperti sebuah zoom pada kamera untuk menarik pemerhati untuk memperhatikan sebuah rangkaian ruang.

Such framing effect may remind one with Dutch Baroque paintings, such as those by Vermeer and others (Silaban purchased a book titled The World of Vermeer, in 1970s. It can be found at his studio).

Seperti efek pembingkaian mungkin men gi n ga t k a n p a d a l uk i sa n j a m an B a r o k Belanda, seperti Vermeer dan yang lainnya (Silaban membeli sebuah buku dengan judul The World of Vermeer, pada tahun 1970an. Buku ini ditemukan di studionya).

35

58

Sebuah tangga papan kayu sederhana menunjukkan keindahannya dan menghubungkan dinding-dinding putih, lantai atas, dan lantai bawah. Simply standing wooden panel stair boasts its beauty and connects the white walls, the upper floor, and the ground floor together.

36

37

36 Jalur sirkulasi utama Main passage 37 beranda depan dilihat dari ruang kerja front verandah as seen from working room

59


Ye t , i t i s n o t a l l a b o u t l i n k a g e ; i t c a n b e speculated that oin effect Silaban created a framing effect. The effect plays an important role as a zoom of the camera to attract viewer to pay attention to a set point.

Kemudian tidak semua tentang keterkaitan, dapat juga dilakukan spekulasi bahwa dalam efek Silaban diciptakan sebuah efek pembingkai-an. Efek ini bermain sebagai sebuah aturan penting seperti sebuah zoom pada kamera untuk menarik pemerhati untuk memperhatikan sebuah rangkaian ruang.

Such framing effect may remind one with Dutch Baroque paintings, such as those by Vermeer and others (Silaban purchased a book titled The World of Vermeer, in 1970s. It can be found at his studio).

Seperti efek pembingkaian mungkin men gi n ga t k a n p a d a l uk i sa n j a m an B a r o k Belanda, seperti Vermeer dan yang lainnya (Silaban membeli sebuah buku dengan judul The World of Vermeer, pada tahun 1970an. Buku ini ditemukan di studionya).

35

58

Sebuah tangga papan kayu sederhana menunjukkan keindahannya dan menghubungkan dinding-dinding putih, lantai atas, dan lantai bawah. Simply standing wooden panel stair boasts its beauty and connects the white walls, the upper floor, and the ground floor together.

36

37

36 Jalur sirkulasi utama Main passage 37 beranda depan dilihat dari ruang kerja front verandah as seen from working room

59


Material dan Konstruksi Material and Construction Penggunaan ubin teraso, teraso cor, dan ubin kepala basah (ubin semen) untuk lantai dan bahan finishing bukanlah hanya menciptakan nuansa khusus. Material tersebut selain sesuai dengan iklim tropis karena terasa sejuk pada badan dan tidak memantulkan panas. Teraso dan ubin semen juga merupakan material yang memiliki daya tahan tinggi. Ta l a n g a i r h u j a n d a n e l e m e n s t r u k t u r n y a diperlihatkan dan menonjol. Ini berkaitan dengan gagasan Silaban terhadap kejujuran. Sehingga elemen seperti talang tidak hanya berguna untuk tujuan praktis, tapi juga fungsi keindahan. Estetika kejujuran Silaban mungkin mendahului Pompidou Center.

TThe use of terazzo tiles, cast-in terazzo, and PC tiles for floorings and furnishings was not for just certain look. It fits with the tropical climate for it feels comfortable when it is touched and it does not reflect heat. Terazzo and PC tiles are also known for their durability. Rain gutter and structural elements are exposed and accentuated. This is related to Silaban’s belief in honesty. So elements such as the gutter should not only serve practical purpose, but also aesthetical one. That is written on a note by Silaban. His aesthetics of honesty at his house perhaps preceded the Pompidou Center.

38 Tektonika Silaban The tectonics of Silaban

Rumah dibangun dengan menggunakan material lokal seperti beton, baja, kaca, kayu dan batu. Dinding beton adalah sederhana dan ditempatkan vertikal secara jernih sepanjang sumbu x dan y. Semua dinding secara sederhana dicat warna putih. Semua pintu dan jendela dilengkapi oleh bingkai kayu dan kaca. Kolom beton ditutup oleh batu lokal. Mengingat tangga dikonstruksi dari balok baja dicat kuning, baja biru balustrade dan anak tangga dengan kayu. Beberapa kolom seperti yang ada di ruang kerja dicat warna kuning terbuat dari baja. Perlu dicatat bahwa baja waktu itu, 1958, material yang sangat eksklusif dan jarang didapatkan.

60

The house was built by using local material such as concrete, steel, glass, wood and stone. The concrete walls are simply and clearly placed vertically along the x and y axis. All the walls are simply painted white. All doors and windows are equipped by wooden frames and the glasses. The concrete columns are covered by locally available stones. Whereas the stairs are constructions of metal I-beam painted in yellow, blue metal balustrades and wooden steps. Some columns, such as the yellow-painted ones at the working room, are made of steel. It should be noted that steel was, in 1958, a rather exclusive material to be obtained.

39

Talang baja merah The red rain gutter

61


Material dan Konstruksi Material and Construction Penggunaan ubin teraso, teraso cor, dan ubin kepala basah (ubin semen) untuk lantai dan bahan finishing bukanlah hanya menciptakan nuansa khusus. Material tersebut selain sesuai dengan iklim tropis karena terasa sejuk pada badan dan tidak memantulkan panas. Teraso dan ubin semen juga merupakan material yang memiliki daya tahan tinggi. Ta l a n g a i r h u j a n d a n e l e m e n s t r u k t u r n y a diperlihatkan dan menonjol. Ini berkaitan dengan gagasan Silaban terhadap kejujuran. Sehingga elemen seperti talang tidak hanya berguna untuk tujuan praktis, tapi juga fungsi keindahan. Estetika kejujuran Silaban mungkin mendahului Pompidou Center.

TThe use of terazzo tiles, cast-in terazzo, and PC tiles for floorings and furnishings was not for just certain look. It fits with the tropical climate for it feels comfortable when it is touched and it does not reflect heat. Terazzo and PC tiles are also known for their durability. Rain gutter and structural elements are exposed and accentuated. This is related to Silaban’s belief in honesty. So elements such as the gutter should not only serve practical purpose, but also aesthetical one. That is written on a note by Silaban. His aesthetics of honesty at his house perhaps preceded the Pompidou Center.

38 Tektonika Silaban The tectonics of Silaban

Rumah dibangun dengan menggunakan material lokal seperti beton, baja, kaca, kayu dan batu. Dinding beton adalah sederhana dan ditempatkan vertikal secara jernih sepanjang sumbu x dan y. Semua dinding secara sederhana dicat warna putih. Semua pintu dan jendela dilengkapi oleh bingkai kayu dan kaca. Kolom beton ditutup oleh batu lokal. Mengingat tangga dikonstruksi dari balok baja dicat kuning, baja biru balustrade dan anak tangga dengan kayu. Beberapa kolom seperti yang ada di ruang kerja dicat warna kuning terbuat dari baja. Perlu dicatat bahwa baja waktu itu, 1958, material yang sangat eksklusif dan jarang didapatkan.

60

The house was built by using local material such as concrete, steel, glass, wood and stone. The concrete walls are simply and clearly placed vertically along the x and y axis. All the walls are simply painted white. All doors and windows are equipped by wooden frames and the glasses. The concrete columns are covered by locally available stones. Whereas the stairs are constructions of metal I-beam painted in yellow, blue metal balustrades and wooden steps. Some columns, such as the yellow-painted ones at the working room, are made of steel. It should be noted that steel was, in 1958, a rather exclusive material to be obtained.

39

Talang baja merah The red rain gutter

61


40 Gambar asli rancangan pola dan material penutup lantai Original design drawing for flooring patterns and materials

62

63


40 Gambar asli rancangan pola dan material penutup lantai Original design drawing for flooring patterns and materials

62

63


64

41

43

42

44

41

Gambar asli detail varian akhiran kolom dari bahan teraso Original detailed drawing of terazzo corner stone variants

42

Gambar asli detail sambungan tangga dengan balok beton Original detailed drawing of staircase showing steel and concrete joinery

43

Gambar asli rancangan fasad dan detail bagian timur rumah Original design drawing for east faรงade with details

44

Foto asli kamar mandi utama Original photo of the master bathroom

65


64

41

43

42

44

41

Gambar asli detail varian akhiran kolom dari bahan teraso Original detailed drawing of terazzo corner stone variants

42

Gambar asli detail sambungan tangga dengan balok beton Original detailed drawing of staircase showing steel and concrete joinery

43

Gambar asli rancangan fasad dan detail bagian timur rumah Original design drawing for east faรงade with details

44

Foto asli kamar mandi utama Original photo of the master bathroom

65


Catatan Mengenai Rumah A Note on the House Sepanjang 1950an -1960an, masyarakat Indonesia yang modern, bebas dan berpandangan ke depan yang dihasratkan oleh Sukarno. Jati diri arsitektural yang modernis dikedepankan. Dalam konteks inilah modernisme rumah Silaban ditampilkan. Dengan prinsip arsitektural seperti kesederhanaan, kejernihan, kejujuran dan efisiensi, Silaban menjadi salah satu arsitek awal yang membentuk kisah jatidiri arsitektural bagi Indonesia di masa tersebut. Bagi Silaban, masyarakatlah, bukan bentuk, yang mendefinisikan semangat arsitektur. Arsitektur harus praktis, punya nilai estetis dan sesuai dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan penghuni. Ta p i b a g a i m a n a S i l a b a n m e m a n d a n g ”Indonesia" modern via arsitektur? Baginya, arsitektur modern Indonesia tidak dapat dirancang dengan bentuk-bentuk tradisional. Semangat, atau geist , yang dapat membentuknya. Silaban pun pernah berkata: "Terkadang, yang tradisional harus ditinggalkan. Dan untuk memenuhi pembangunan masa mendatang, ada saatnya untuk mengakhiri bentuk tradisional dan memulai bentuk yang baru dengan lebih cocok untuk mengatasi abad yang baru". Kemudian, bagaimana dia mengaplikasikan p r i n s i p n y a ? Ke s e d e r h a n a a n d a r i r u m a h Si laban memuat pesan yang jelas melal ui kesede r hanaan pengat u ran denah dan ko m pos i s i e l e m en ya n g se m p u r n a sepe r t i d i n d i n g , b a l o k , ta n g g a d a n ata p. H a l i n i menuntun pada nuansa keseimbangan dan harmonisasi serta pesan kejujuran terhadap pemikiran modernisme melalui estetika murni hasil dari permainan cahaya, pembayangan dan keasl ian elemen itu sendi r i. Sebab itu Silaban merancang suatu arsitektur baru yang bersahabat dengan semua orang.

Sumber Acuan Sources of Reference During the 1950s-1960s, moder n, free and forward looking Indonesian society was desired by Sukarno. The concept of national architectural identity based on the international style was encouraged. This was the context in which Silaban, being inspired toward modernity, designed his house. Within some basic principles—simplicity, clarity, honesty and efficiently--Silaban became the first generation architect who shaped the architectural narrative in effort for defining an architecture for free Indonesia. To Silaban, it is not the form which defines the spirit of one’s architecture but it is the inhabitants themselves, living in their own era, who reflect the spirit of the architecture. Yet, the architecture has to be practical, aesthetically sound and fits with the environment in order to answer the requirements of the dwellers.

Sumber Utama

Primary Source

Silaban, Friedrich. Laporan singkat tentang Perjalan ke India untuk Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, 19 Agustus 1954.*

Silaban, Friedrich. Short Report on His Journey to India. Submitted to the Ministry of Education, Teaching and Culture, 19th August 1954.*

---------------------------. Laporan Singkat tentang Perjalanan ke Amerika Serikat untuk Kementerian Dalam Negeri, November 1957.*

-----------------------. Short Report on His Journey in the United State. Submitted to the Ministry of Internal Affairs, November 1957.*

---------------------------. Pidato Acara Pekan Arsitektur. 1974.*

--------------. Speech for Architecture Week Event. 1974.*

-------------------------------------. Catatan Pribadi untuk Kuliah.*

--------------------------------------------. Personal Lectures Notes.*

--------------------. Surat Lamaran kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1968.*

--------------. Application Letter to the United Nation, 1968.*

But how did Silaban perceive "modern Indonesia?" He seems to believed that modern Indonesian architecture would not be created through the use traditional form. It is rather what he would call "the spirit", or geist, which should create Indonesian modern architecture. He had the following to say:

Sumber Sekunder

"Sometimes, tradition has to be left out. And in order to overcome the development for the future, there are moments to end the traditional forms and start new ones with which more able to cope with the new age". Yet, how d id he i mplement h i s p r i nci ples? Simplicity of Silaban's house has projects a clear message via its simple arrangement of the fl oor plan and well composed elements such as walls, beams, staircases and roof. This has lead to balanced and harmonious atmospheres and honest messages of modernism through its pure aesthetic results from the play of light, shadow and the nature of the element itself. Hence, he has designed a new architecture to please everyone.

-----------------------------------. Hand Writing Curriculum Vitae.* ------------------------------------------------------. Curriculum Vitae.*

Awal, Han. Catatan Kecil Beberapa Pertemuan dengan Silaban (1960-1978). Dipresentasikan dalam sesi diskusi workshop tentang rumah Silaban, Bogor, 16 Juli 2007. Giedion, Sigfried. Space, Time and Architecture. Harvard University Press, Cambridge, Mass.: 1954.* Hesse, Henry M. Homes for Moderns. Murray & Gee, Inc., Culver City: 1946.* Jellema, R., M.C.A. Meische and J.A. Muller, eds. Bouwkunde, voor de Afedeling Bouwkunde van de Middlebare Technische Hoogeschoolen.* Koningsberger, Hans. The World of Vermeer: 1632-1675. Time Life Library of Art, Time Life International, N.V.* Kusno, Abidin. Behind the Postcolonial: Arhitecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia, Routledge, London: 2000. Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press, Cambridge: 2006. Widyarta, M. Nanda. Mencari Arsitektur Sebuah Bangsa: Sebuah Kisah Indonesia. Wastu Lanas Grafika. 2007. * Sumber-sumber yang ditemukan di Rumah Silaban.

66

Secondary Source Awal, Han. Small Notes on Meetings with Silaban (19601978). Delivered in a discussion during the workshop on Silaban’s house, Bogor, July 16th, 2007. Giedion, Sigfried. Space, Time and Architecture. Harvard University Press, Cambridge, Mass.: 1954.* Hesse, Henry M. Homes for Moderns. Murray & Gee, Inc., Culver City: 1946.* Jellema, R., M.C.A. Meische and J.A. Muller, eds. Bouwkunde, voor de Afedeling Bouwkunde van de Middlebare Technische Hoogeschoolen.* Koningsberger, Hans. The World of Vermeer: 1632-1675. Time Life Library of Art, Time Life International, N.V.* Kusno, Abidin. Behind the Postcolonial: Arhitecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia, Routledge, London: 2000. Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press, Cambridge: 2006. Widyarta, M. Nanda. Searching an Architecture for a Nation: an Indonesian story. Wastu Lanas Grafika. 2007. * Source found at Silaban’s House 67


Catatan Mengenai Rumah A Note on the House Sepanjang 1950an -1960an, masyarakat Indonesia yang modern, bebas dan berpandangan ke depan yang dihasratkan oleh Sukarno. Jati diri arsitektural yang modernis dikedepankan. Dalam konteks inilah modernisme rumah Silaban ditampilkan. Dengan prinsip arsitektural seperti kesederhanaan, kejernihan, kejujuran dan efisiensi, Silaban menjadi salah satu arsitek awal yang membentuk kisah jatidiri arsitektural bagi Indonesia di masa tersebut. Bagi Silaban, masyarakatlah, bukan bentuk, yang mendefinisikan semangat arsitektur. Arsitektur harus praktis, punya nilai estetis dan sesuai dengan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan penghuni. Ta p i b a g a i m a n a S i l a b a n m e m a n d a n g ”Indonesia" modern via arsitektur? Baginya, arsitektur modern Indonesia tidak dapat dirancang dengan bentuk-bentuk tradisional. Semangat, atau geist , yang dapat membentuknya. Silaban pun pernah berkata: "Terkadang, yang tradisional harus ditinggalkan. Dan untuk memenuhi pembangunan masa mendatang, ada saatnya untuk mengakhiri bentuk tradisional dan memulai bentuk yang baru dengan lebih cocok untuk mengatasi abad yang baru". Kemudian, bagaimana dia mengaplikasikan p r i n s i p n y a ? Ke s e d e r h a n a a n d a r i r u m a h Si laban memuat pesan yang jelas melal ui kesede r hanaan pengat u ran denah dan ko m pos i s i e l e m en ya n g se m p u r n a sepe r t i d i n d i n g , b a l o k , ta n g g a d a n ata p. H a l i n i menuntun pada nuansa keseimbangan dan harmonisasi serta pesan kejujuran terhadap pemikiran modernisme melalui estetika murni hasil dari permainan cahaya, pembayangan dan keasl ian elemen itu sendi r i. Sebab itu Silaban merancang suatu arsitektur baru yang bersahabat dengan semua orang.

Sumber Acuan Sources of Reference During the 1950s-1960s, moder n, free and forward looking Indonesian society was desired by Sukarno. The concept of national architectural identity based on the international style was encouraged. This was the context in which Silaban, being inspired toward modernity, designed his house. Within some basic principles—simplicity, clarity, honesty and efficiently--Silaban became the first generation architect who shaped the architectural narrative in effort for defining an architecture for free Indonesia. To Silaban, it is not the form which defines the spirit of one’s architecture but it is the inhabitants themselves, living in their own era, who reflect the spirit of the architecture. Yet, the architecture has to be practical, aesthetically sound and fits with the environment in order to answer the requirements of the dwellers.

Sumber Utama

Primary Source

Silaban, Friedrich. Laporan singkat tentang Perjalan ke India untuk Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, 19 Agustus 1954.*

Silaban, Friedrich. Short Report on His Journey to India. Submitted to the Ministry of Education, Teaching and Culture, 19th August 1954.*

---------------------------. Laporan Singkat tentang Perjalanan ke Amerika Serikat untuk Kementerian Dalam Negeri, November 1957.*

-----------------------. Short Report on His Journey in the United State. Submitted to the Ministry of Internal Affairs, November 1957.*

---------------------------. Pidato Acara Pekan Arsitektur. 1974.*

--------------. Speech for Architecture Week Event. 1974.*

-------------------------------------. Catatan Pribadi untuk Kuliah.*

--------------------------------------------. Personal Lectures Notes.*

--------------------. Surat Lamaran kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1968.*

--------------. Application Letter to the United Nation, 1968.*

But how did Silaban perceive "modern Indonesia?" He seems to believed that modern Indonesian architecture would not be created through the use traditional form. It is rather what he would call "the spirit", or geist, which should create Indonesian modern architecture. He had the following to say:

Sumber Sekunder

"Sometimes, tradition has to be left out. And in order to overcome the development for the future, there are moments to end the traditional forms and start new ones with which more able to cope with the new age". Yet, how d id he i mplement h i s p r i nci ples? Simplicity of Silaban's house has projects a clear message via its simple arrangement of the fl oor plan and well composed elements such as walls, beams, staircases and roof. This has lead to balanced and harmonious atmospheres and honest messages of modernism through its pure aesthetic results from the play of light, shadow and the nature of the element itself. Hence, he has designed a new architecture to please everyone.

-----------------------------------. Hand Writing Curriculum Vitae.* ------------------------------------------------------. Curriculum Vitae.*

Awal, Han. Catatan Kecil Beberapa Pertemuan dengan Silaban (1960-1978). Dipresentasikan dalam sesi diskusi workshop tentang rumah Silaban, Bogor, 16 Juli 2007. Giedion, Sigfried. Space, Time and Architecture. Harvard University Press, Cambridge, Mass.: 1954.* Hesse, Henry M. Homes for Moderns. Murray & Gee, Inc., Culver City: 1946.* Jellema, R., M.C.A. Meische and J.A. Muller, eds. Bouwkunde, voor de Afedeling Bouwkunde van de Middlebare Technische Hoogeschoolen.* Koningsberger, Hans. The World of Vermeer: 1632-1675. Time Life Library of Art, Time Life International, N.V.* Kusno, Abidin. Behind the Postcolonial: Arhitecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia, Routledge, London: 2000. Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press, Cambridge: 2006. Widyarta, M. Nanda. Mencari Arsitektur Sebuah Bangsa: Sebuah Kisah Indonesia. Wastu Lanas Grafika. 2007. * Sumber-sumber yang ditemukan di Rumah Silaban.

66

Secondary Source Awal, Han. Small Notes on Meetings with Silaban (19601978). Delivered in a discussion during the workshop on Silaban’s house, Bogor, July 16th, 2007. Giedion, Sigfried. Space, Time and Architecture. Harvard University Press, Cambridge, Mass.: 1954.* Hesse, Henry M. Homes for Moderns. Murray & Gee, Inc., Culver City: 1946.* Jellema, R., M.C.A. Meische and J.A. Muller, eds. Bouwkunde, voor de Afedeling Bouwkunde van de Middlebare Technische Hoogeschoolen.* Koningsberger, Hans. The World of Vermeer: 1632-1675. Time Life Library of Art, Time Life International, N.V.* Kusno, Abidin. Behind the Postcolonial: Arhitecture, Urban Space and Political Cultures in Indonesia, Routledge, London: 2000. Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. Cambridge University Press, Cambridge: 2006. Widyarta, M. Nanda. Searching an Architecture for a Nation: an Indonesian story. Wastu Lanas Grafika. 2007. * Source found at Silaban’s House 67


TENTANG WORKSHOP ABOUT WORKSHOP

68

69


TENTANG WORKSHOP ABOUT WORKSHOP

68

69


Tentang Workshop About Workshop Pada Desember 2005, kami menemukan sebuah jalan atas kerinduan memiliki sebuah historiografi Arsitektur (Modern) Indonesia yang representatif. Diawali lewat sebuah kunjungan ke rumah keluarga F. Silaban di Bogor kami menyaksikan bergulung-gulung gambar karya F. Silaban tersusun pada rak-rak ruang kerja bekas kantor N.V. F. Silaban Arsitek di Jalan Gedung Sawah Bogor dalam kondisi tak tersentuh perawatan yang memadai. Bersama dengan itu, tumpukan album foto beserta dengan memorabilia, bukubuku, dan berbagai buah pikiran lainnya tersusun sehingga kami juga yakin akan dapat menserap berbagai pemikiran dan kehidupan dari sang maestro Arsitektur Indonesia di tempat itu. Seketika itu pula kami berpikir cara bagaimana semua itu bisa dinikmati secara luas oleh berbagai kalangan khususnya di Indonesia.

In December 2005, we discover a way to fullfil a longing for a representative historiography on Modern Indonesian Architecture. It began with a visit to Silaban Residence. The drawings stacked in shelves of the bureau N.V. F. Silaban at Jalan Gedung Sawah were rather untouched by sufficient maintenance. Along with the drawings were also found photo albums, memorabilia, books, etc. We felt that through these findings, we would be able to understand the life and ideas of the maestro. Simultaneously, we were thinking of how the archives could be accessed by all, especially in Indonesia. After planning and doing several things, we started the inventory works on Silaban’s original works in 2007. This activity was conducted parallel to the activity of Comprehensive Inventory Workshops of Modern Urban and Architectural Heritage (Phase II). Kind support by cSUR, AGS of the University of Tokyo was utilized to set up and organize the archives and legalities necessary for the work. Initially it was thought that the inventory would only consist of digitalization of Silaban’s working drawings.

Setelah merencanakan dan mengusahakan berbagai hal, kami memulai pekerjaan inventarisasi karya-karya asli F. Silaban pada tahun 2007 berbarengan dengan kegiatan Comprehensive Inventory Workshops of Modern Urban and Architectural Heritage (Phase II). Dukungan murah hati dari cSUR, AGS dari Universitas Tokyo kami gunakan secara optimal untuk menyusun dan merapikan berkas-berkas dan berbagai legalitas yang dibutuhkan untuk pengkondisian kerja. Kegiatan inventarisasi awalnya hanya direncanakan sebagai pekerjaan sederhana digitalisasi dokumendokumen gambar F. Silaban, namun pada perkembangannya dokumen-dokumen baru dan penting (dan dalam kondisi fisik rapuh) terus ditemukan dan menyebabkan waktu dan dana yang direncanakan tidak lagi memadai.

But, as time went by, newly discovered documents (in rather frail conditions) prompted us to realize the necessity to do more.This made us to think of how to set up a special formula, which might work in longer term, while it would effectively disseminate knowledge and ignite interests on the subject matter. The formula should also accommodate the diversity of interpretation and analyses, while tur ning the activity of narrating history into collaborative works of all, for all.

Namun hal tersebut tidak serta merta dapat menyelesaikan kerja besar yang akan datang sehingga membuat kami berpikir keras untuk dapat menciptakan sebuah formula khusus yang akan dapat bertahan lama sekaligus dapat secara efektif menyebarluaskan minat dan pengetahuan. Formula tersebut juga harus dapat mengakomodasi keragaman tafsir dan telaah

In the Modern Indonesian Architecture Workshop I (12 th-25th July 2007), modern Asian Architecture Network Indonesia (mAAN Indonesia), together with Tarumanagara University conducted a series of activities, such as inventory, survey, lecture, seminar, and discussion, as well as preparation of a monograph. In accordance to mAAN’s spirit, the workshop involved students/fresh graduates,

70

sekaligus membuat usaha penyusunan sejarah merupakan suatu usaha dari dan untuk bersama. Pada Modern Indonesian Architecture Workshop I (12-25 Juli 2007) ini modern Asian Architecture Network Indonesia (mAAN Indonesia) bersinergi dengan Universitas Tarumanagara melaksanakan serangkaian kegiatan mulai dari usaha inventarisasi dan survey, kuliah, seminar, dan diskusi, hingga penyusunan monograf. Sejalan semangat konstruktif yang merupakan jiwa dari mAAN, kegiatan ini menghadirkan mahasiswa/ lulusan baru, pengajar, praktisi dari berbagai penjuru dunia untuk bergabung bersama dalam memulai menelaah dan mengkaji (dalam hal ini sosok F. Silaban dan karya rumah tinggal pribadinya) dan akhirnya menyusun sebuah penerbitan monograf. Kegiatan ini meninggalkan pola pendekatan atas-bawah yang konvensional dan menempatkan peserta (yang umumnya adalah mahasiswa) sebagai ujung tombak penulisan (sejarah) Arsitektur Indonesia. Dalam waktu dekat, mAAN Indonesia akan terus mengembangkan formula ini paralel dengan penyusunan dan penerbitan biografi profesional F. Silaban.

academics, and practicioners from around the world to collaborate in studying Silaban and his own house. This was followed by the publication of this monograph. This activity abandoned the conventional top-down approach. Instead, it placed the participants (mostly students) to spear-head the writing of (a history of) Indonesian architecture. In the near future, mAAN Indonesia would develop this formula in parallel with the writing and publication of Silaban’s professional biography.

halaman 68 page 68 45

Sisi barat interior rumah Silaban West end interior of Silaban's house halaman berikut next page

46

Silaban di Parthenon (awal 1960s) Silaban at the Parthenon (early 1960s)

71


Tentang Workshop About Workshop Pada Desember 2005, kami menemukan sebuah jalan atas kerinduan memiliki sebuah historiografi Arsitektur (Modern) Indonesia yang representatif. Diawali lewat sebuah kunjungan ke rumah keluarga F. Silaban di Bogor kami menyaksikan bergulung-gulung gambar karya F. Silaban tersusun pada rak-rak ruang kerja bekas kantor N.V. F. Silaban Arsitek di Jalan Gedung Sawah Bogor dalam kondisi tak tersentuh perawatan yang memadai. Bersama dengan itu, tumpukan album foto beserta dengan memorabilia, bukubuku, dan berbagai buah pikiran lainnya tersusun sehingga kami juga yakin akan dapat menserap berbagai pemikiran dan kehidupan dari sang maestro Arsitektur Indonesia di tempat itu. Seketika itu pula kami berpikir cara bagaimana semua itu bisa dinikmati secara luas oleh berbagai kalangan khususnya di Indonesia.

In December 2005, we discover a way to fullfil a longing for a representative historiography on Modern Indonesian Architecture. It began with a visit to Silaban Residence. The drawings stacked in shelves of the bureau N.V. F. Silaban at Jalan Gedung Sawah were rather untouched by sufficient maintenance. Along with the drawings were also found photo albums, memorabilia, books, etc. We felt that through these findings, we would be able to understand the life and ideas of the maestro. Simultaneously, we were thinking of how the archives could be accessed by all, especially in Indonesia. After planning and doing several things, we started the inventory works on Silaban’s original works in 2007. This activity was conducted parallel to the activity of Comprehensive Inventory Workshops of Modern Urban and Architectural Heritage (Phase II). Kind support by cSUR, AGS of the University of Tokyo was utilized to set up and organize the archives and legalities necessary for the work. Initially it was thought that the inventory would only consist of digitalization of Silaban’s working drawings.

Setelah merencanakan dan mengusahakan berbagai hal, kami memulai pekerjaan inventarisasi karya-karya asli F. Silaban pada tahun 2007 berbarengan dengan kegiatan Comprehensive Inventory Workshops of Modern Urban and Architectural Heritage (Phase II). Dukungan murah hati dari cSUR, AGS dari Universitas Tokyo kami gunakan secara optimal untuk menyusun dan merapikan berkas-berkas dan berbagai legalitas yang dibutuhkan untuk pengkondisian kerja. Kegiatan inventarisasi awalnya hanya direncanakan sebagai pekerjaan sederhana digitalisasi dokumendokumen gambar F. Silaban, namun pada perkembangannya dokumen-dokumen baru dan penting (dan dalam kondisi fisik rapuh) terus ditemukan dan menyebabkan waktu dan dana yang direncanakan tidak lagi memadai.

But, as time went by, newly discovered documents (in rather frail conditions) prompted us to realize the necessity to do more.This made us to think of how to set up a special formula, which might work in longer term, while it would effectively disseminate knowledge and ignite interests on the subject matter. The formula should also accommodate the diversity of interpretation and analyses, while tur ning the activity of narrating history into collaborative works of all, for all.

Namun hal tersebut tidak serta merta dapat menyelesaikan kerja besar yang akan datang sehingga membuat kami berpikir keras untuk dapat menciptakan sebuah formula khusus yang akan dapat bertahan lama sekaligus dapat secara efektif menyebarluaskan minat dan pengetahuan. Formula tersebut juga harus dapat mengakomodasi keragaman tafsir dan telaah

In the Modern Indonesian Architecture Workshop I (12 th-25th July 2007), modern Asian Architecture Network Indonesia (mAAN Indonesia), together with Tarumanagara University conducted a series of activities, such as inventory, survey, lecture, seminar, and discussion, as well as preparation of a monograph. In accordance to mAAN’s spirit, the workshop involved students/fresh graduates,

70

sekaligus membuat usaha penyusunan sejarah merupakan suatu usaha dari dan untuk bersama. Pada Modern Indonesian Architecture Workshop I (12-25 Juli 2007) ini modern Asian Architecture Network Indonesia (mAAN Indonesia) bersinergi dengan Universitas Tarumanagara melaksanakan serangkaian kegiatan mulai dari usaha inventarisasi dan survey, kuliah, seminar, dan diskusi, hingga penyusunan monograf. Sejalan semangat konstruktif yang merupakan jiwa dari mAAN, kegiatan ini menghadirkan mahasiswa/ lulusan baru, pengajar, praktisi dari berbagai penjuru dunia untuk bergabung bersama dalam memulai menelaah dan mengkaji (dalam hal ini sosok F. Silaban dan karya rumah tinggal pribadinya) dan akhirnya menyusun sebuah penerbitan monograf. Kegiatan ini meninggalkan pola pendekatan atas-bawah yang konvensional dan menempatkan peserta (yang umumnya adalah mahasiswa) sebagai ujung tombak penulisan (sejarah) Arsitektur Indonesia. Dalam waktu dekat, mAAN Indonesia akan terus mengembangkan formula ini paralel dengan penyusunan dan penerbitan biografi profesional F. Silaban.

academics, and practicioners from around the world to collaborate in studying Silaban and his own house. This was followed by the publication of this monograph. This activity abandoned the conventional top-down approach. Instead, it placed the participants (mostly students) to spear-head the writing of (a history of) Indonesian architecture. In the near future, mAAN Indonesia would develop this formula in parallel with the writing and publication of Silaban’s professional biography.

halaman 68 page 68 45

Sisi barat interior rumah Silaban West end interior of Silaban's house halaman berikut next page

46

Silaban di Parthenon (awal 1960s) Silaban at the Parthenon (early 1960s)

71


Workshop Silaban: Hasil-Hasil Pentingnya The Silaban Workshop: Its Significant Results - Shin Muramatsu Saya ingin menyatakan kegembiraan hati saya bahwa workshop yang baru-baru ini diadakan untuk mendokumentasikan karya Friedrich Silaban (1912-84), seorang arsitek Indonesia dari Bogor, telah dilaksanakan dengan sukses. Diselenggarakan oleh mAAN Indonesia dari 12 hingga 25 Juli di tempat tinggal sang arsitek, workshop internasional ini menandai sebuah pijakan penting bagi organisasi mAAN internasional, yang selama ini mencoba mengevaluasi, melestarikan, dan merevitalisasi lingkungan binaan abad ke-19 dan ke-20 di Asia dengan kesadaran dan metodologi Asia. Keunggulan utama dari workshop ini adalah bahwa kegiatan ini telah memberikan perhatian pada pencapaian sang arsitek dan berbagai pengaruhnya. Kita di Asia-katakan, dunia bukanBarat cenderung mendapatkan banyak sekali pengetahuan sejarah mengenai para arsitek Barat namun hampir tidak sama sekali mengenai para arsitek kita sendiri dan negara-negara lain di Asia. Ini bukan dikarenakan tidak adanya pencapaian hebat dari para arsitek di dunia kita. Kita hanya tidak mengenal dan tidak memiliki kesempatan untuk mengenal mereka. Banyak negara di Asia, terutama yang memperoleh kemerdekaan setelah PD II, memiliki keinginan untuk mengekspresikan semangat kemerdekaan dalam rancangan arsitektur dan penataan kota. Hal ini menghasilkan "arsitek-arsitek nasional" seperti Kenzo Tange (1913-2005) dari Jepang, Liang Xicheng (1901-72) dari China, Leandro V. Locsin (1928-94) dari Filipina, Kim Swoo-guen (1931-86) dan Kim Chung-up (1922-88) dari Korea Selatan, dan Vann Molyvann (1926) dari Kamboja. Dan, menjadi penting bagi kita untuk berbagi dan dengan kritis mewarisi kehidupan dan karyakarya mereka, tidak terbatas pada negara asal mereka tapi meliputi Asia. Aktivitas menyelidiki dokumen-dokumen asli ter hubung dengan Silaban dan secara sistematis mengilustrasikan pencapaian arsitek nasional Indonesia pascakemerdekaan merupakan langkah pertama menuju penulisan kembali sejarah arsitektur kita.

72

I’d like to express my heartfelt delight that the recent workshop designed to document the works of Friedrich Silaban (1912-84), an Indonesian architect from Bogor, has concluded with great success. Hosted by mAAN Indonesia from July 12th to 25th at the site of the architect’s old home, this international workshop marks another significant milestone for mAAN international organizations, which have been trying to evaluate, conserve, and revitalize the 19 th and 20th century built environments in Asia with Asian awareness and methods. The primary significance of the workshop is that it has shed light on the achievements of the architect and their significance. We who belong to Asia-say, the non-Western world-tend to have an extraordinary amount of historical knowledge about Western architects while knowing almost nothing about the architects of our own and other countries in Asia. This is not because there has been no architect of great achievements in our own sphere. We simply didn’t know them, and didn’t have opportunities to know about them. In many Asian countries, especially those that gained their independence after the WW II, there was a need to express their joy of the new independence in terms of architecture and urban design. Thus came into being the "national architects" such as Kenzo Tange (1913-2005) of Japan, Liang Xicheng (1901-72) of China, Leandro V. Locsin (1928-94) of the Philippines, Kim Swoo-guen (1931-86) and Kim Chung-up (192288) of South Korea, and Vann Molyvann (1926) of Cambodia. And, it is necessary for us to share and critically inherit their life and work, not only in their own native countries but across Asia. To examine the original documents related to Silaban and systematically illustrate the achievements of this Indonesian post-independence national architect is the first step in the direction of rewriting our history of architecture.

73


Workshop Silaban: Hasil-Hasil Pentingnya The Silaban Workshop: Its Significant Results - Shin Muramatsu Saya ingin menyatakan kegembiraan hati saya bahwa workshop yang baru-baru ini diadakan untuk mendokumentasikan karya Friedrich Silaban (1912-84), seorang arsitek Indonesia dari Bogor, telah dilaksanakan dengan sukses. Diselenggarakan oleh mAAN Indonesia dari 12 hingga 25 Juli di tempat tinggal sang arsitek, workshop internasional ini menandai sebuah pijakan penting bagi organisasi mAAN internasional, yang selama ini mencoba mengevaluasi, melestarikan, dan merevitalisasi lingkungan binaan abad ke-19 dan ke-20 di Asia dengan kesadaran dan metodologi Asia. Keunggulan utama dari workshop ini adalah bahwa kegiatan ini telah memberikan perhatian pada pencapaian sang arsitek dan berbagai pengaruhnya. Kita di Asia-katakan, dunia bukanBarat cenderung mendapatkan banyak sekali pengetahuan sejarah mengenai para arsitek Barat namun hampir tidak sama sekali mengenai para arsitek kita sendiri dan negara-negara lain di Asia. Ini bukan dikarenakan tidak adanya pencapaian hebat dari para arsitek di dunia kita. Kita hanya tidak mengenal dan tidak memiliki kesempatan untuk mengenal mereka. Banyak negara di Asia, terutama yang memperoleh kemerdekaan setelah PD II, memiliki keinginan untuk mengekspresikan semangat kemerdekaan dalam rancangan arsitektur dan penataan kota. Hal ini menghasilkan "arsitek-arsitek nasional" seperti Kenzo Tange (1913-2005) dari Jepang, Liang Xicheng (1901-72) dari China, Leandro V. Locsin (1928-94) dari Filipina, Kim Swoo-guen (1931-86) dan Kim Chung-up (1922-88) dari Korea Selatan, dan Vann Molyvann (1926) dari Kamboja. Dan, menjadi penting bagi kita untuk berbagi dan dengan kritis mewarisi kehidupan dan karyakarya mereka, tidak terbatas pada negara asal mereka tapi meliputi Asia. Aktivitas menyelidiki dokumen-dokumen asli ter hubung dengan Silaban dan secara sistematis mengilustrasikan pencapaian arsitek nasional Indonesia pascakemerdekaan merupakan langkah pertama menuju penulisan kembali sejarah arsitektur kita.

72

I’d like to express my heartfelt delight that the recent workshop designed to document the works of Friedrich Silaban (1912-84), an Indonesian architect from Bogor, has concluded with great success. Hosted by mAAN Indonesia from July 12th to 25th at the site of the architect’s old home, this international workshop marks another significant milestone for mAAN international organizations, which have been trying to evaluate, conserve, and revitalize the 19 th and 20th century built environments in Asia with Asian awareness and methods. The primary significance of the workshop is that it has shed light on the achievements of the architect and their significance. We who belong to Asia-say, the non-Western world-tend to have an extraordinary amount of historical knowledge about Western architects while knowing almost nothing about the architects of our own and other countries in Asia. This is not because there has been no architect of great achievements in our own sphere. We simply didn’t know them, and didn’t have opportunities to know about them. In many Asian countries, especially those that gained their independence after the WW II, there was a need to express their joy of the new independence in terms of architecture and urban design. Thus came into being the "national architects" such as Kenzo Tange (1913-2005) of Japan, Liang Xicheng (1901-72) of China, Leandro V. Locsin (1928-94) of the Philippines, Kim Swoo-guen (1931-86) and Kim Chung-up (192288) of South Korea, and Vann Molyvann (1926) of Cambodia. And, it is necessary for us to share and critically inherit their life and work, not only in their own native countries but across Asia. To examine the original documents related to Silaban and systematically illustrate the achievements of this Indonesian post-independence national architect is the first step in the direction of rewriting our history of architecture.

73


Arti penting lain dari workshop ini adalah dalam bidang pendidikan. Di berbagai negara Asia, ketika seseorang mencoba mempelajari sejarah arsitektur dan kota sebuah negara, ia akan menemukan bahwa institusi-institusi intelektual dan materi-materi sejarah yang diperlukan secara keseluruhan masih terikat pada pandangan sebagai bekas-jajahan, yang mana merupakan masalah besar. Untuk membebaskan diri dari batasan tersebut, peneliti-peneliti Asia perlu untuk membangun program pendidikan mereka sendiri. Melalui workshop ini, saya percaya bahwa para arsitek muda dan para mahasiswa diberikan kesempatan berpartisipasi dalam proses mengungkapkan, merekam, dan menganalisa materi dan juga menyebarkan hasilnya ke dunia, yang pastinya memberikan mereka pengalaman akan jati diri mereka dan makna penulisan sejarah. Pengalaman demikian hendaklah memberikan mereka peluang untuk merangkul kembali infrastruktur intelektual arsitektur mereka sendiri; yang pada waktunya akan memberikan bekal bagi mereka dalam menciptakan rancangan arsitektural dan penataan kota di masa depan. Besar harapan saya bahwa tak hanya orang Indonesia tapi juga orang Kamboja dan Jepang yang turut menjadi peserta akan membangun pengalaman mereka sendiri dari workshop tersebut dan terus turut melibatkan diri dalam perkembangan arsitektur Asia dan dunia di masa mendatang. Arti penting ketiga dari workshop ini adalah menciptakan dan mengumpulkan catatancatatan. Proyek ini tidak akan berhenti hanya pada mengemukakan pencapaianpencapaian Silaban, tapi juga bertujuan untuk mencatat, mengakumulasikan, dan pada saatnya membukanya pada publik sehingga lebih banyak orang lagi memiliki akses untuk mempelajarinya. Dengan tujuan ini, para peserta telah mengelola banyak hal yang diwariskan Silaban – gambar-gambar arsitektural, suratsurat, foto-foto, buku-buku, dan rumahnya sendiri – dan juga mencoba mengumpulkan materimateri sekunder sebanyak mungkin dengan,

74

Another importance of this workshop is in terms of education. In many Asian nations, when someone tries to study the country’s architectural and urban history, he or she will find out that the intellectual institutions and available historical materials necessary for such studies are overall still very much bound to the side of the excolonizers, which is a major problem. In order to get free from such constraints, what is necessary for Asian researchers is to build their nations own educational programs. Through the recent workshop, I believe that the young architects and students were given a chance to participate in the process of unearthing, recording, and analyzing materials as well as disseminating the results to the outside world themselves, which should have given them an experience of who they are and what the writing of history should mean. Such experiences should certainly allow them to reclaim as their own the intellectual infrastructure relevant to architecture; such bases in turn will help them create architectural designs and urban planning in the future. It is also my hope that not only Indonesian, but also Cambodian and Japanese students who participated will build on their experiences of the workshop and continue to have better involvement with Asian and the world’s architecture in the future.

misalnya, mewawancarai anggota keluarga sang arsitek, yang mana memberikan petunjuk tidak langsung. Sementara itu, seluruh proses tersebut direkam dalam video. Banyak hal baru yang ditemukan bagi penyelenggara maupun para peserta pada workshop ini, dan, sebagaimana kita saksikan dalam penerbitan ini maupun dalam video, bahwa semangat dan rasa tanggungjawab telah membuahkan hasil yang baik. Saya berharap bahwa workshop ini akan mempelopori kelanjutan dari kegiatan serupa di Indonesia maupun di Asia, dan berkontribusi pada pemanfaatan ingatan dan praktek-praktek masa lampau demi tujuan-tujuan di masa mendatang.

So many things were new to the host as well as the participants of this workshop, and, as all of us can see in this publication as well as in the video, their fresh excitement and sense of mission have brought such fruitful results. I hope that this workshop will lead to continuation of similar activities in Indonesia as well as across all Asia, contributing to our utilization of past memory and practices for the purposes of the future.

The third significance of the workshop is that of creating and accumulating records. This project does not just stop at unearthing Silaban's achievements, but it also aims to record, accumulate, and eventually make them public so that many more people can have access to them. With this goal in mind, the participants this time organized many things Silaban himself leftarchitectural drawings, letters, photos, books, and the residence itself-and also tried to obtain the secondary materials as much as possible by, for example, interviewing the architect’s family members, which would illuminate Silaban’s achievements indirectly. Meanwhile, these processes themselves were recorded on video.

75


Arti penting lain dari workshop ini adalah dalam bidang pendidikan. Di berbagai negara Asia, ketika seseorang mencoba mempelajari sejarah arsitektur dan kota sebuah negara, ia akan menemukan bahwa institusi-institusi intelektual dan materi-materi sejarah yang diperlukan secara keseluruhan masih terikat pada pandangan sebagai bekas-jajahan, yang mana merupakan masalah besar. Untuk membebaskan diri dari batasan tersebut, peneliti-peneliti Asia perlu untuk membangun program pendidikan mereka sendiri. Melalui workshop ini, saya percaya bahwa para arsitek muda dan para mahasiswa diberikan kesempatan berpartisipasi dalam proses mengungkapkan, merekam, dan menganalisa materi dan juga menyebarkan hasilnya ke dunia, yang pastinya memberikan mereka pengalaman akan jati diri mereka dan makna penulisan sejarah. Pengalaman demikian hendaklah memberikan mereka peluang untuk merangkul kembali infrastruktur intelektual arsitektur mereka sendiri; yang pada waktunya akan memberikan bekal bagi mereka dalam menciptakan rancangan arsitektural dan penataan kota di masa depan. Besar harapan saya bahwa tak hanya orang Indonesia tapi juga orang Kamboja dan Jepang yang turut menjadi peserta akan membangun pengalaman mereka sendiri dari workshop tersebut dan terus turut melibatkan diri dalam perkembangan arsitektur Asia dan dunia di masa mendatang. Arti penting ketiga dari workshop ini adalah menciptakan dan mengumpulkan catatancatatan. Proyek ini tidak akan berhenti hanya pada mengemukakan pencapaianpencapaian Silaban, tapi juga bertujuan untuk mencatat, mengakumulasikan, dan pada saatnya membukanya pada publik sehingga lebih banyak orang lagi memiliki akses untuk mempelajarinya. Dengan tujuan ini, para peserta telah mengelola banyak hal yang diwariskan Silaban – gambar-gambar arsitektural, suratsurat, foto-foto, buku-buku, dan rumahnya sendiri – dan juga mencoba mengumpulkan materimateri sekunder sebanyak mungkin dengan,

74

Another importance of this workshop is in terms of education. In many Asian nations, when someone tries to study the country’s architectural and urban history, he or she will find out that the intellectual institutions and available historical materials necessary for such studies are overall still very much bound to the side of the excolonizers, which is a major problem. In order to get free from such constraints, what is necessary for Asian researchers is to build their nations own educational programs. Through the recent workshop, I believe that the young architects and students were given a chance to participate in the process of unearthing, recording, and analyzing materials as well as disseminating the results to the outside world themselves, which should have given them an experience of who they are and what the writing of history should mean. Such experiences should certainly allow them to reclaim as their own the intellectual infrastructure relevant to architecture; such bases in turn will help them create architectural designs and urban planning in the future. It is also my hope that not only Indonesian, but also Cambodian and Japanese students who participated will build on their experiences of the workshop and continue to have better involvement with Asian and the world’s architecture in the future.

misalnya, mewawancarai anggota keluarga sang arsitek, yang mana memberikan petunjuk tidak langsung. Sementara itu, seluruh proses tersebut direkam dalam video. Banyak hal baru yang ditemukan bagi penyelenggara maupun para peserta pada workshop ini, dan, sebagaimana kita saksikan dalam penerbitan ini maupun dalam video, bahwa semangat dan rasa tanggungjawab telah membuahkan hasil yang baik. Saya berharap bahwa workshop ini akan mempelopori kelanjutan dari kegiatan serupa di Indonesia maupun di Asia, dan berkontribusi pada pemanfaatan ingatan dan praktek-praktek masa lampau demi tujuan-tujuan di masa mendatang.

So many things were new to the host as well as the participants of this workshop, and, as all of us can see in this publication as well as in the video, their fresh excitement and sense of mission have brought such fruitful results. I hope that this workshop will lead to continuation of similar activities in Indonesia as well as across all Asia, contributing to our utilization of past memory and practices for the purposes of the future.

The third significance of the workshop is that of creating and accumulating records. This project does not just stop at unearthing Silaban's achievements, but it also aims to record, accumulate, and eventually make them public so that many more people can have access to them. With this goal in mind, the participants this time organized many things Silaban himself leftarchitectural drawings, letters, photos, books, and the residence itself-and also tried to obtain the secondary materials as much as possible by, for example, interviewing the architect’s family members, which would illuminate Silaban’s achievements indirectly. Meanwhile, these processes themselves were recorded on video.

75


Tentang Pappie , Sang Arsitek About Pappie, The Architect - Panogu Silaban Saya menikmati betul tinggal di rumah ini. Setiap ruang dan pojoknya memiliki arti dan makna mendalam dalam kehidupan saya, bahkan setiap jengkal tanah halamannya serta pepohonan dan rumput yang tumbuh di atasnya, turut memberikan andil dan peran dalam seluruh peristiwa dan sangat mempengaruhi perkembangan pribadi saya. Di rumah ini saya di besarkan dalam nafas, keringat, dan energi arsitektur. Sosok pappie , ayah saya, dengan aktivitas studio arsitekturnya, memperkenalkan saya dengan dunia aritektur secara dini semenjak saya dilahirkan. Rasanya, hal inilah yang membawa saya untuk mengambil sebagai dunia dan hidup saya. Pada masa studi, saya pernah meragukan kemampuan teori-akademikal arsitektur pappie, meskipun pada saat bersamaan saya juga takjub pada kepandaiannya, bakat, kemampuan, ketekunan, kerja keras, kesetiaan, dan kecintaannya pada profesi, serta pada karya-karyanya yang tidak biasa itu. Daya cipta massa-ruang serta kemahiran menuangkan dan mengekspresikan idea-gagasan ke dalam media gambar, saya yakin telah diakui banyak orang, mulai dari masyarakat luas, kolega arsiteknya, bahkan sampai pada pengakuan dan kekaguman seorang Soekarno. Mungkin keraguan ini timbul akibat kurangnya kesempatan pappie berbagi pengatahuan dan pikirannya dengan saya. Kami tidak pernah bekerja sama sebagai dua orang arsitek yang berkarya dengan semangat sinergi senior-junior. Tidak pernah terjadi paduan indah, selayaknya simfoni Beethoven, antara professional yang sarat pengalaman dengan pemula yang magang. Oleh karena itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk berani mengaku-aku, bahwa saya adalah arsitek generasi penerus F. Silaban. Sungguh, suatu ironi yang patut disayangkan. Namun, bersama mAAN saya seolah menemukan kembali kesempatan yang tidak pernah ada itu. Melalui rangkaian kegiatan yang

76

I truly enjoyed living in the house. Every room and corner gave deep meanings and values into my own life, even every inch of the yard, foliage and grass growing upon it had contributed to all events and influenced my personal development. At the house, I was raised by the breath, sweat, and energy of architecture. The pappie figure, my father, with his architectural studio activities, had introduced me into the world of architecture even since I was born. I think that had brought me into what I am today. During my study, I doubted my father’s theoretical-academical skill, though at the same time I also admiring his inteligence, talent, skill, diligence, hard work, faith, and his love to the profession, and to his extraordinary works. His ability to create form-space and his capability of pouring and expressing ideas into drawings, which I believe had been acknowledged by many, among the public, colleagues, even by the appreciative and admiring, charismatic Soekarno. Probably my doubts had triggered by the lack of thoughts/ideas sharing between pappie and me. We had never collaborated as a synergy of senior-junior professionals. There has not been a beautiful fusion as in a Beethoven symphony, between experience-laden professional and a junior apprentice. Because of that, it is never crossed my mind to claim that I am a successor of F. Silaban. Truly, a regretful irony. However, with mAAN, I have regained the missed opportunity. With the chain of events done by mAAN, I tried to revisit pappie’s works along with imagining the pleasure of sharing ideas and experiences as two colleagues working together.

dilakukan mAAN, saya mencoba menelusuri karya-karya pappie , seraya membayangkan kenikmatan berbagi idea dan pengalaman sebagai dua orang kolega arsitek yang berkarya bersama. Kini, pappie telah ber henti berkarya dan mencipta. Ia telah lama kembali ke Rumah Bapa, Sang Maha Pencipta. Namun, karya dan pemikirannya tetap hidup diantara kita, dalam diri saya, dalam bangsa dan Negara Indonesia, serta dalam dunia dan masyarakat arsitektur. Meskipun kita yakin, bahwa segala yang baik dan menyenangkan selalu terjadi di Rumah Bapa, namun saya yakin apa yang kita persembahkan untuknya saat ini akan membuatnya sangat bangga dan terhormat sekaligus berterima kasih kepada para arsitek generasi kini, yang dengan sepenuh hati memberikan penghargaan yang pantas pada buah pikir, buah karya, dan buah ciptanya.

heavens, but I am pretty sure that what we are presenting for him at the moment will make him proud and honored as well as thankful to present generation of architects who wholeheartedly give an appropriate appreciation to his ideas, works, and creations. Thanks to mAAN, thanks to architecture colleagues, thanks to the uniqueness and power of the architecture which united pappie with Soekarno as two friends, which had given him the opportunities to create with all his heart and mind, pouring everything he got. Thanks to Holy Father who granted the extraordinary talent and architectural skill. Cinere, August 11th 2007

Terima kasih mAAN, terima kasih kolega arsitektur, terima kasih kepada keunikan dan kekuatan arsitektur yang telah mempertemukan pappie dengan Soekarno sebagai dua orang sahabat, yang telah memberinya kesempatan berkarya dengan sepenuh kekuatan hati dan pikirannya, penumpahan segenap jiwa raganya. Terima kasih dan sujud syukur kepada Bapa yang telah menganugerahi bakat dan kemampuan arsitektur yang tidak biasa itu. Cinere, 11 Agustus 2007

Now, pappie had stopped working and creating. He had gone to heaven for sometime. But, his works and ideas continue to live among us, inside me, inside the Nation, as well as in the world and architectural community. Even if we are sure that everything good is already happening in the

77


Tentang Pappie , Sang Arsitek About Pappie, The Architect - Panogu Silaban Saya menikmati betul tinggal di rumah ini. Setiap ruang dan pojoknya memiliki arti dan makna mendalam dalam kehidupan saya, bahkan setiap jengkal tanah halamannya serta pepohonan dan rumput yang tumbuh di atasnya, turut memberikan andil dan peran dalam seluruh peristiwa dan sangat mempengaruhi perkembangan pribadi saya. Di rumah ini saya di besarkan dalam nafas, keringat, dan energi arsitektur. Sosok pappie , ayah saya, dengan aktivitas studio arsitekturnya, memperkenalkan saya dengan dunia aritektur secara dini semenjak saya dilahirkan. Rasanya, hal inilah yang membawa saya untuk mengambil sebagai dunia dan hidup saya. Pada masa studi, saya pernah meragukan kemampuan teori-akademikal arsitektur pappie, meskipun pada saat bersamaan saya juga takjub pada kepandaiannya, bakat, kemampuan, ketekunan, kerja keras, kesetiaan, dan kecintaannya pada profesi, serta pada karya-karyanya yang tidak biasa itu. Daya cipta massa-ruang serta kemahiran menuangkan dan mengekspresikan idea-gagasan ke dalam media gambar, saya yakin telah diakui banyak orang, mulai dari masyarakat luas, kolega arsiteknya, bahkan sampai pada pengakuan dan kekaguman seorang Soekarno. Mungkin keraguan ini timbul akibat kurangnya kesempatan pappie berbagi pengatahuan dan pikirannya dengan saya. Kami tidak pernah bekerja sama sebagai dua orang arsitek yang berkarya dengan semangat sinergi senior-junior. Tidak pernah terjadi paduan indah, selayaknya simfoni Beethoven, antara professional yang sarat pengalaman dengan pemula yang magang. Oleh karena itu, tidak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk berani mengaku-aku, bahwa saya adalah arsitek generasi penerus F. Silaban. Sungguh, suatu ironi yang patut disayangkan. Namun, bersama mAAN saya seolah menemukan kembali kesempatan yang tidak pernah ada itu. Melalui rangkaian kegiatan yang

76

I truly enjoyed living in the house. Every room and corner gave deep meanings and values into my own life, even every inch of the yard, foliage and grass growing upon it had contributed to all events and influenced my personal development. At the house, I was raised by the breath, sweat, and energy of architecture. The pappie figure, my father, with his architectural studio activities, had introduced me into the world of architecture even since I was born. I think that had brought me into what I am today. During my study, I doubted my father’s theoretical-academical skill, though at the same time I also admiring his inteligence, talent, skill, diligence, hard work, faith, and his love to the profession, and to his extraordinary works. His ability to create form-space and his capability of pouring and expressing ideas into drawings, which I believe had been acknowledged by many, among the public, colleagues, even by the appreciative and admiring, charismatic Soekarno. Probably my doubts had triggered by the lack of thoughts/ideas sharing between pappie and me. We had never collaborated as a synergy of senior-junior professionals. There has not been a beautiful fusion as in a Beethoven symphony, between experience-laden professional and a junior apprentice. Because of that, it is never crossed my mind to claim that I am a successor of F. Silaban. Truly, a regretful irony. However, with mAAN, I have regained the missed opportunity. With the chain of events done by mAAN, I tried to revisit pappie’s works along with imagining the pleasure of sharing ideas and experiences as two colleagues working together.

dilakukan mAAN, saya mencoba menelusuri karya-karya pappie , seraya membayangkan kenikmatan berbagi idea dan pengalaman sebagai dua orang kolega arsitek yang berkarya bersama. Kini, pappie telah ber henti berkarya dan mencipta. Ia telah lama kembali ke Rumah Bapa, Sang Maha Pencipta. Namun, karya dan pemikirannya tetap hidup diantara kita, dalam diri saya, dalam bangsa dan Negara Indonesia, serta dalam dunia dan masyarakat arsitektur. Meskipun kita yakin, bahwa segala yang baik dan menyenangkan selalu terjadi di Rumah Bapa, namun saya yakin apa yang kita persembahkan untuknya saat ini akan membuatnya sangat bangga dan terhormat sekaligus berterima kasih kepada para arsitek generasi kini, yang dengan sepenuh hati memberikan penghargaan yang pantas pada buah pikir, buah karya, dan buah ciptanya.

heavens, but I am pretty sure that what we are presenting for him at the moment will make him proud and honored as well as thankful to present generation of architects who wholeheartedly give an appropriate appreciation to his ideas, works, and creations. Thanks to mAAN, thanks to architecture colleagues, thanks to the uniqueness and power of the architecture which united pappie with Soekarno as two friends, which had given him the opportunities to create with all his heart and mind, pouring everything he got. Thanks to Holy Father who granted the extraordinary talent and architectural skill. Cinere, August 11th 2007

Terima kasih mAAN, terima kasih kolega arsitektur, terima kasih kepada keunikan dan kekuatan arsitektur yang telah mempertemukan pappie dengan Soekarno sebagai dua orang sahabat, yang telah memberinya kesempatan berkarya dengan sepenuh kekuatan hati dan pikirannya, penumpahan segenap jiwa raganya. Terima kasih dan sujud syukur kepada Bapa yang telah menganugerahi bakat dan kemampuan arsitektur yang tidak biasa itu. Cinere, 11 Agustus 2007

Now, pappie had stopped working and creating. He had gone to heaven for sometime. But, his works and ideas continue to live among us, inside me, inside the Nation, as well as in the world and architectural community. Even if we are sure that everything good is already happening in the

77


“Apa yang Harus Dilakukan” “What Needs to be Done” Komentar oleh/Remarks by : Sutrisno Murtiyoso, Josef Prijotomo & Gunawan Tjahjono Cukup berlebihan untuk mengatakan monograf ini sudah lengkap, berhubung waktu persiapan yang terbatas. Karenanya, tiga sejarawan arsitektur diundang untuk mengomentari pekerjaan ini. Ada beberapa hal yang diangkat. Pertama, pengaruh rumah vernakular, terutama dari etnis Silaban, Batak, terhadap rumah Silaban. Sekalipun memiliki penampilan moder nis, nampaknya rumah Silaban memiliki logika rumah vernakular. Misalnya kemiripan dengan rumah Lamin, yang kemungkinan diperoleh ketika Silaban berdinas di Kalimantan. Lalu pengalaman Silaban. Ayahnya adalah seorang pendeta, jadi nampaknya ia berasal dari sebuah keluarga penting. Dalam keluarga Batak seerti itu, figur ayah sangat penting. Mungkin ini dapat menjelaskan kurangnya privasi pada rumah Silaban (kecuali pada kamar tidur utama dan kamar mandi). Ini mungkin juga dapat menjelaskan posisi kamar tidur utama di bagian depan rumah, seakan-akan ada di situ untuk mengawasi jalan masuk. Lalu memori masa kecil Silaban. Sayangnya, otobiografi Silaban yang belum diterbitkan, dalam bahasa Belanda, belum sempat diterjemahkan. Padahal bagian ini dapat menjelaskan beberapa hal mengenai rumah Silaban. Mengenai latar belakang relijiusnya, Silaban mungkin mengikuti konsep kemurnian desain karena afiliasinya dengan Gereja Reformed, dengan calvinismenya. Tentang analisis klimatis rumah Silaban, standar kenyamanan yang ada dan dipakai dibuat berdasarkan keadaan Eropa Barat-Amerika Utara. Ini dapat mempengaruhi pembacaan analisis klimatis rumah Silaban. Perlu diingat

78

It would be pretentious to claim completeness in the making of this monograph, for time was limited. So the three architectural historians were invited to comment on the work. Some points were brought up. First, the effect of vernacular houses, especially of the Bataks, Silaban ethnic group, on Silaban’s house. In spite of its modernist look, it seems that Silaban’ s house shares some logics of vernacular house. The similarity with ver nacular long-houses, for instance, Silaban did spend some time in Kalimantan.

bahwa ada perubahan iklim di Bogor. Saat rumah Silaban dibangun (1958-1959), Bogor lebih dingin dan sering hujan. Sejak 1980an, Bogor menjadi lebih panas. Perlu juga dicatat bahwa pernah ada pohon besar di taman depan. Hal ini juga mempengaruhi aspek klimatis rumah Silaban. Demikianlah hal-hal yang dicatat dalam sesi diskusi bersama tiga sejarahwan selama workshop berlangsung. Ada banyak hal yang harus dilakukan mengenai rumah dan arsiteknya.

construction (1958-1959), Bogor was cooler and it rained frequently. In 1980s however, the city started to get hotter. Hence a consideration upon the house in this climatic concept. It was also noted that there used to be a large, shaddy tree at the front garden. This would effect the climatic aspect of the house as well. There are the points being discussed during the session between 3 architectural historians and workshop's participants. There are more things to be done on the matter of the house and the architect.

Another thing has to do with Silaban’s experience. His father was a priest, so he might have come from an important family. In such Batak family, the father figure is paramount. This may explain why the lack of privacy (except for main bedroom and bathroom) at Silaban’s house. This also explains the position of the main bedroom, which is located rather at front, as if to watch over the entry passage. Another thing is Silaban’s childhood memory. Unfortunately the unpublished autobiography of Silaban, written in Dutch, had not been translated. It might explains some things about the house if one can trace Silaban’s childhoood memory. Considering his religious background, Silaban might have subscribed to the concept of design purity due to his affiliation with the Reformed Church, with its calvinist leaning. On the subject of the climatic analyses on the house, the standard of comfort available was set according to Western European - North American condition. This would effect the result of climatic analyses on Silaban’s house. And, something to be noticed is a shift of climatic condition of Bogor. At the time of the house

79


“Apa yang Harus Dilakukan” “What Needs to be Done” Komentar oleh/Remarks by : Sutrisno Murtiyoso, Josef Prijotomo & Gunawan Tjahjono Cukup berlebihan untuk mengatakan monograf ini sudah lengkap, berhubung waktu persiapan yang terbatas. Karenanya, tiga sejarawan arsitektur diundang untuk mengomentari pekerjaan ini. Ada beberapa hal yang diangkat. Pertama, pengaruh rumah vernakular, terutama dari etnis Silaban, Batak, terhadap rumah Silaban. Sekalipun memiliki penampilan moder nis, nampaknya rumah Silaban memiliki logika rumah vernakular. Misalnya kemiripan dengan rumah Lamin, yang kemungkinan diperoleh ketika Silaban berdinas di Kalimantan. Lalu pengalaman Silaban. Ayahnya adalah seorang pendeta, jadi nampaknya ia berasal dari sebuah keluarga penting. Dalam keluarga Batak seerti itu, figur ayah sangat penting. Mungkin ini dapat menjelaskan kurangnya privasi pada rumah Silaban (kecuali pada kamar tidur utama dan kamar mandi). Ini mungkin juga dapat menjelaskan posisi kamar tidur utama di bagian depan rumah, seakan-akan ada di situ untuk mengawasi jalan masuk. Lalu memori masa kecil Silaban. Sayangnya, otobiografi Silaban yang belum diterbitkan, dalam bahasa Belanda, belum sempat diterjemahkan. Padahal bagian ini dapat menjelaskan beberapa hal mengenai rumah Silaban. Mengenai latar belakang relijiusnya, Silaban mungkin mengikuti konsep kemurnian desain karena afiliasinya dengan Gereja Reformed, dengan calvinismenya. Tentang analisis klimatis rumah Silaban, standar kenyamanan yang ada dan dipakai dibuat berdasarkan keadaan Eropa Barat-Amerika Utara. Ini dapat mempengaruhi pembacaan analisis klimatis rumah Silaban. Perlu diingat

78

It would be pretentious to claim completeness in the making of this monograph, for time was limited. So the three architectural historians were invited to comment on the work. Some points were brought up. First, the effect of vernacular houses, especially of the Bataks, Silaban ethnic group, on Silaban’s house. In spite of its modernist look, it seems that Silaban’ s house shares some logics of vernacular house. The similarity with ver nacular long-houses, for instance, Silaban did spend some time in Kalimantan.

bahwa ada perubahan iklim di Bogor. Saat rumah Silaban dibangun (1958-1959), Bogor lebih dingin dan sering hujan. Sejak 1980an, Bogor menjadi lebih panas. Perlu juga dicatat bahwa pernah ada pohon besar di taman depan. Hal ini juga mempengaruhi aspek klimatis rumah Silaban. Demikianlah hal-hal yang dicatat dalam sesi diskusi bersama tiga sejarahwan selama workshop berlangsung. Ada banyak hal yang harus dilakukan mengenai rumah dan arsiteknya.

construction (1958-1959), Bogor was cooler and it rained frequently. In 1980s however, the city started to get hotter. Hence a consideration upon the house in this climatic concept. It was also noted that there used to be a large, shaddy tree at the front garden. This would effect the climatic aspect of the house as well. There are the points being discussed during the session between 3 architectural historians and workshop's participants. There are more things to be done on the matter of the house and the architect.

Another thing has to do with Silaban’s experience. His father was a priest, so he might have come from an important family. In such Batak family, the father figure is paramount. This may explain why the lack of privacy (except for main bedroom and bathroom) at Silaban’s house. This also explains the position of the main bedroom, which is located rather at front, as if to watch over the entry passage. Another thing is Silaban’s childhood memory. Unfortunately the unpublished autobiography of Silaban, written in Dutch, had not been translated. It might explains some things about the house if one can trace Silaban’s childhoood memory. Considering his religious background, Silaban might have subscribed to the concept of design purity due to his affiliation with the Reformed Church, with its calvinist leaning. On the subject of the climatic analyses on the house, the standard of comfort available was set according to Western European - North American condition. This would effect the result of climatic analyses on Silaban’s house. And, something to be noticed is a shift of climatic condition of Bogor. At the time of the house

79


(3268 PLEASE GIVE ME EDITED ONE)

47

48

47 Gambar asli pra-rencana rumah Original preliminary design drawing of the house 48 Foto diambil tidak lama setelah rumah berdiri, menampilkan bagian samping timur Photo was taken not long after the house was completed, showing the east side

80

81


(3268 PLEASE GIVE ME EDITED ONE)

47

48

47 Gambar asli pra-rencana rumah Original preliminary design drawing of the house 48 Foto diambil tidak lama setelah rumah berdiri, menampilkan bagian samping timur Photo was taken not long after the house was completed, showing the east side

80

81


Tentang Metode dan Pelaksanaan Workshop About Workshop Methodology and Implementation Monograf ini adalah usaha bersama yang dihasilkan para peserta sesuai minat dan keahlian selama berlangsungnya workshop ini. Para peserta terdiri dari mahasiswa S1, lulusan baru S1, dan mahasiswa S2 dari universitas dalam maupun luar negeri. Keseluruhan, sebanyak 27 orang turut serta dalam workshop yang dituntun oleh 6 orang penyelenggara/anggota badan editor. Para peserta dipandu oleh anggota komite ilmiah (yang terdiri dari pengajar, arsitek profesional, dan peneliti) dengan pancinganpancingan dan kritik untuk mendapatkan pemahaman yang meluas tentang rumah Silaban dan sang arsiteknya. Pada hari pembukaan, kami menyelenggarakan sebuah kuliah dan diskusi menampilkan 3 dosen senior dari National University of Singapore (NUS) dan Universitas Tarumanagara (Untar) untuk mengenalkan F. Silaban dan arsitektur modern Indonesia pada para peserta. Dr. Johannes Widodo (NUS) menghadirkan latar belakang sejarah arsitektur modern Indonesia dalam kaitan warisan Belanda di Indonesia. Dr. Lai Chee Kien (NUS) menampilkan materi buku (yang akan terbit) tentang arsitektur modern Malaysia pada tahun 1950an. Dr. Lai juga menjelaskan penggunaaan sumber-sumber acuan yang tidak biasa pada penelitiannya untuk menghadirkan pendekatan baru dan otentik pada kajian sejarah arsitektur modern. Dr. Tri Harso Karyono (Untar) secara singkat menampilkan hipotesa perancangan iklim-mikro pada Rumah Silaban, yang dipergunakan sebagai kerangka kerja analisa rancangan iklim-mikro pada rumah tersebut. Acara ini diadakan di STPP (Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian), sebuah sekolah pelatihan/penyuluhan pertanian yang dirancang oleh F. Silaban (pada kurun 1940an). Pada 3 hari pertama, para peserta ditugaskan ke dalam 8 kelompok survey bertugas mendokumentasikan bagian-bagian tertentu dari rumah. Setiap kelompok terdiri dari 3 orang anggota; dilengkapi dengan sebuah kamera digital, lembaran survey, dan alat-alat ukur.

82

This monograph is a collective effort produced by the participants accordingly to their skills and interests during the intensive workshop. The participants are consisted of undergraduate students, fresh graduates, and graduate students (master candidates) from local and overseas universities. In total, 27 participants officially joined the workshop and guided/organized by 6 organizing commitees/board of editor members. The participants were throughly guided by members of scientific commitee (consisted of lecturers, design professionals, and researchers) with hints and critiques to have a broad understanding of the Silaban house and the architect. At the opening day, we had a lecture followed by discussion session featuring 3 senior lecturers from National University of Singapore (NUS) and Tarumanagara University (Untar) to introduce F. Silaban and modern Indonesian architecture to the participants. Dr. Johannes Widodo (NUS) presented the historical background on Indonesian (modern) architectural history and the Dutch legacy in Indonesia. Dr. Lai Chee Kien (NUS) presented his forthcoming book on Malaysian modern architecture during the 1950s. Dr. Lai also explained the use of unconventional sources in his research to help acquiring fresh and authentic approach in studying modern architectural history. Dr. Tri Harso Karyono (Untar) was briefly presenting his micro-climatic design hypothesis on Silaban House, which was used as the framework of micro-climatic design analysis of the house. The lecture was held in STPP (Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian), an agricultural training school designed by F. Silaban (in late 1940s). In the first 3 days, the participants were assigned into 8 survey teams in-charge of documenting specific parts of the house. Each team consists of at least 3 team members; equiped with a digital camera, survey sheets, and measurement tools. Every evening each team reports, coordinates, inputs the findings into computers (CAD). The

Setiap sore setiap kelompok melaporkan, mengkoordinasikan, dan memasukkan temuan ke dalam komputer (dalam format CAD). Proses ini dikoordinasikan oleh 3 orang koordinator. Di luar dari survey inventarisasi dan dokumentasi, beberapa peserta terpilih ditugaskan untuk melakukan kajian sketsa dan fotografi dari rumah tersebut. Salah satu peserta bertugas untuk mendokumentasikan seluruh proses workshop menggunakan kamera video. Hampir setiap malam, kami mengadakan presentasi singkat oleh setiap kelompok untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kegiatan pada hari yang bersangkutan. Sokly Yam, seorang peserta dari Kamboja, membagikan pengalamannya dalam metodologi survey dan standarisasi yang dia pelajari sewaktu mendokumentasikan Angkor Wat. Survey inventarisasi meliputi detail-detail konstruksi yang spesifik dan fitur-fitur desain yang unik; berikut pula furnitur-furnitur built-in dan lepas. Setiap detail orisinil dan furniture didaftar, didokumentasi, dan digambar ulang. Sejak hari pertama, komite ilmiah mulai mengumpulkan seluruh acuan yang ada mengenai F. Silaban dan rumah tersebut. Sumber-sumber konvensional yang dikumpulkan meliputi gambar-gambar asli (rumah tersebut), foto-foto asli, dan tulisan/ catatan asli. Kami juga menggunakan sumber-sumber tidak biasa; seperti: wawancara dengan anggota keluarga, diskusi terpandu maupun tidak terpandu diantara para peserta, buku-buku dan album foto yang ditemukan di ruang kerja Silaban. Sumbersumber tersebut membantu kami menjelaskan rancangan rumah tersebut dan sejarah karir F. Silaban. Kami menyelenggarakan kuliah pada hari ke-5 yang menampilkan Han Awal, seorang arsitek senior Indonesia yang pernah bekerja sama dengan F. Silaban pada tahun 1960an, dan Panogu Silaban, seorang arsitek senior d a n s a l a h s e o r a n g p u t r a d a r i F. S i l a b a n sendiri. Panogu Silaban berbicara mengenai

process is coordinated by three supervisors/ coordinators. Apart from the inventory survey and documentation, selected participants are appointed to make sketch and photographic studies of the house. One participant is documenting the whole process with video recording device. At (almost) every evening, we held a short presentation by every team to discuss the difficulties and questions arose from recents activities. Sokly Yam, a participant from Cambodia, shared his experience on survey methodology and standards he got from documenting Angkor Wat. The inventory survey included specific construction details and unique design features; as well as built-in and loose furniture. Every original details and furniture are listed, documented, and redrawn. Since the first day, the scientific committee had begun collecting all available sources about F. Silaban and the house. Conventional sources gathered include original drawings (of the house), original photographs, and original handwrittings/notes. We also use uncoventional sources; such as: interviews with family members, guided and unguided discussions among workshop participants, books and photo album found in Silaban’s working studio. The sources help us explains the design of the house as well as F. Silaban’s professional history. We had another lecture on the 5th day featuring Han Awal, a senior Indonesian architect who worked once with F. Silaban in the 1960s, and Panogu Silaban, a senior architect and F. Silaban’s own son. Panogu Silaban talked about how he feels about the house he spent his childhood in and his personal recollections on his father as an architect. Han Awal presented his recollections on several encounters with F. Silaban. He went on with the topic about design experimentation on private houses in Indonesia. From the 6 th until 11th day, participants were re-assigned into into several teams, in-charge for specific tasks: design analysis, historical

83


Tentang Metode dan Pelaksanaan Workshop About Workshop Methodology and Implementation Monograf ini adalah usaha bersama yang dihasilkan para peserta sesuai minat dan keahlian selama berlangsungnya workshop ini. Para peserta terdiri dari mahasiswa S1, lulusan baru S1, dan mahasiswa S2 dari universitas dalam maupun luar negeri. Keseluruhan, sebanyak 27 orang turut serta dalam workshop yang dituntun oleh 6 orang penyelenggara/anggota badan editor. Para peserta dipandu oleh anggota komite ilmiah (yang terdiri dari pengajar, arsitek profesional, dan peneliti) dengan pancinganpancingan dan kritik untuk mendapatkan pemahaman yang meluas tentang rumah Silaban dan sang arsiteknya. Pada hari pembukaan, kami menyelenggarakan sebuah kuliah dan diskusi menampilkan 3 dosen senior dari National University of Singapore (NUS) dan Universitas Tarumanagara (Untar) untuk mengenalkan F. Silaban dan arsitektur modern Indonesia pada para peserta. Dr. Johannes Widodo (NUS) menghadirkan latar belakang sejarah arsitektur modern Indonesia dalam kaitan warisan Belanda di Indonesia. Dr. Lai Chee Kien (NUS) menampilkan materi buku (yang akan terbit) tentang arsitektur modern Malaysia pada tahun 1950an. Dr. Lai juga menjelaskan penggunaaan sumber-sumber acuan yang tidak biasa pada penelitiannya untuk menghadirkan pendekatan baru dan otentik pada kajian sejarah arsitektur modern. Dr. Tri Harso Karyono (Untar) secara singkat menampilkan hipotesa perancangan iklim-mikro pada Rumah Silaban, yang dipergunakan sebagai kerangka kerja analisa rancangan iklim-mikro pada rumah tersebut. Acara ini diadakan di STPP (Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian), sebuah sekolah pelatihan/penyuluhan pertanian yang dirancang oleh F. Silaban (pada kurun 1940an). Pada 3 hari pertama, para peserta ditugaskan ke dalam 8 kelompok survey bertugas mendokumentasikan bagian-bagian tertentu dari rumah. Setiap kelompok terdiri dari 3 orang anggota; dilengkapi dengan sebuah kamera digital, lembaran survey, dan alat-alat ukur.

82

This monograph is a collective effort produced by the participants accordingly to their skills and interests during the intensive workshop. The participants are consisted of undergraduate students, fresh graduates, and graduate students (master candidates) from local and overseas universities. In total, 27 participants officially joined the workshop and guided/organized by 6 organizing commitees/board of editor members. The participants were throughly guided by members of scientific commitee (consisted of lecturers, design professionals, and researchers) with hints and critiques to have a broad understanding of the Silaban house and the architect. At the opening day, we had a lecture followed by discussion session featuring 3 senior lecturers from National University of Singapore (NUS) and Tarumanagara University (Untar) to introduce F. Silaban and modern Indonesian architecture to the participants. Dr. Johannes Widodo (NUS) presented the historical background on Indonesian (modern) architectural history and the Dutch legacy in Indonesia. Dr. Lai Chee Kien (NUS) presented his forthcoming book on Malaysian modern architecture during the 1950s. Dr. Lai also explained the use of unconventional sources in his research to help acquiring fresh and authentic approach in studying modern architectural history. Dr. Tri Harso Karyono (Untar) was briefly presenting his micro-climatic design hypothesis on Silaban House, which was used as the framework of micro-climatic design analysis of the house. The lecture was held in STPP (Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian), an agricultural training school designed by F. Silaban (in late 1940s). In the first 3 days, the participants were assigned into 8 survey teams in-charge of documenting specific parts of the house. Each team consists of at least 3 team members; equiped with a digital camera, survey sheets, and measurement tools. Every evening each team reports, coordinates, inputs the findings into computers (CAD). The

Setiap sore setiap kelompok melaporkan, mengkoordinasikan, dan memasukkan temuan ke dalam komputer (dalam format CAD). Proses ini dikoordinasikan oleh 3 orang koordinator. Di luar dari survey inventarisasi dan dokumentasi, beberapa peserta terpilih ditugaskan untuk melakukan kajian sketsa dan fotografi dari rumah tersebut. Salah satu peserta bertugas untuk mendokumentasikan seluruh proses workshop menggunakan kamera video. Hampir setiap malam, kami mengadakan presentasi singkat oleh setiap kelompok untuk mendiskusikan kesulitan-kesulitan dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dari kegiatan pada hari yang bersangkutan. Sokly Yam, seorang peserta dari Kamboja, membagikan pengalamannya dalam metodologi survey dan standarisasi yang dia pelajari sewaktu mendokumentasikan Angkor Wat. Survey inventarisasi meliputi detail-detail konstruksi yang spesifik dan fitur-fitur desain yang unik; berikut pula furnitur-furnitur built-in dan lepas. Setiap detail orisinil dan furniture didaftar, didokumentasi, dan digambar ulang. Sejak hari pertama, komite ilmiah mulai mengumpulkan seluruh acuan yang ada mengenai F. Silaban dan rumah tersebut. Sumber-sumber konvensional yang dikumpulkan meliputi gambar-gambar asli (rumah tersebut), foto-foto asli, dan tulisan/ catatan asli. Kami juga menggunakan sumber-sumber tidak biasa; seperti: wawancara dengan anggota keluarga, diskusi terpandu maupun tidak terpandu diantara para peserta, buku-buku dan album foto yang ditemukan di ruang kerja Silaban. Sumbersumber tersebut membantu kami menjelaskan rancangan rumah tersebut dan sejarah karir F. Silaban. Kami menyelenggarakan kuliah pada hari ke-5 yang menampilkan Han Awal, seorang arsitek senior Indonesia yang pernah bekerja sama dengan F. Silaban pada tahun 1960an, dan Panogu Silaban, seorang arsitek senior d a n s a l a h s e o r a n g p u t r a d a r i F. S i l a b a n sendiri. Panogu Silaban berbicara mengenai

process is coordinated by three supervisors/ coordinators. Apart from the inventory survey and documentation, selected participants are appointed to make sketch and photographic studies of the house. One participant is documenting the whole process with video recording device. At (almost) every evening, we held a short presentation by every team to discuss the difficulties and questions arose from recents activities. Sokly Yam, a participant from Cambodia, shared his experience on survey methodology and standards he got from documenting Angkor Wat. The inventory survey included specific construction details and unique design features; as well as built-in and loose furniture. Every original details and furniture are listed, documented, and redrawn. Since the first day, the scientific committee had begun collecting all available sources about F. Silaban and the house. Conventional sources gathered include original drawings (of the house), original photographs, and original handwrittings/notes. We also use uncoventional sources; such as: interviews with family members, guided and unguided discussions among workshop participants, books and photo album found in Silaban’s working studio. The sources help us explains the design of the house as well as F. Silaban’s professional history. We had another lecture on the 5th day featuring Han Awal, a senior Indonesian architect who worked once with F. Silaban in the 1960s, and Panogu Silaban, a senior architect and F. Silaban’s own son. Panogu Silaban talked about how he feels about the house he spent his childhood in and his personal recollections on his father as an architect. Han Awal presented his recollections on several encounters with F. Silaban. He went on with the topic about design experimentation on private houses in Indonesia. From the 6 th until 11th day, participants were re-assigned into into several teams, in-charge for specific tasks: design analysis, historical

83


bagaimana kesan-kesan pribadi beliau terhadap rumah tempat dirinya tumbuh dan kesankesan pribadi mengenai ayahnya sebagai seorang arsitek. Han Awal bercerita mengenai beberapa pertemuannya dengan F. Silaban. Beliau melanjutkan paparannya pada topik eksperimentasi rancangan rumah tinggal di Indonesia. Dari hari ke-6 hingga ke-11, para peserta ditugaskan ke dalam beberapa kelompok, dengan tugas-tugas spesifik: analisa desain, analisa sejarah, analisa rancangan iklim-mikro, fotografi, dan presentasi arsitektural (maket, CAD, dan sketsa arsitektural). Beberapa peserta mengembangkan teks latar sejarah dan analisa rancangan rumah dan biografi singkat F. Silaban (beserta kajian sejarahnya). Mereka bekerja sama dengan kelompok analisa rancangan iklim-mikro dalam menyusun kajian mengenai interpretasi F. Silaban tentang tropikalitas rumah tersebut. Kelompok presentasi arsitektural dan fotografi membantu kelompok analisa dengan model komputer dan maket skala 1:50. Bagian ini merupakan kegiatan paling intensif dan melelahkan sepanjang workshop karena harus berpacu dengan jadwal yang disepakati. Pada hari ke-12, seluruh kelompok menampilkan temuan dan hasil di depan 3 orang anggota senior komite ilmiah; Prof. Gunawan Tjahjono, Sutrisno Murtiyoso, dan Dr. Josef Prijotomo. Mereka memberikan pandangan menyeluruh dan beberapa kunci bagi para peserta untuk dikembangkan lebih jauh pada langkah selanjutnya. Kemudian, komite ilmiah mengadakan pertemuan untuk membahas arah dan langkah-langkah strategis yang akan diambil mengenai kelanjutan Penelitian Inventarisasi F. Silaban. Dari hari ke-14 hingga ke-15, 11 peserta terpilih dan 4 anggota badan editor melanjutkan persiapan publikasi. Pada hari ke-15, kami menghasilkan sebuah versi kasar monograf yang siap diperiksa dan diberi sentuhan akhir.

84

background analysis, micro-climatic design a n a l y s i s , p h o t o g r a p h y , a n d a rc h i t e c t u r a l presentation (scale-model, CAD, and architectural sketching). Few participants were in-charge for building up texts for the historical background and design analysis of the house and F. Silaban’s brief biography (and historical settings). They worked together closely with the micro-climatic design analysis team to build up knowledge on F. Silaban’s interpretation of tropicality on the house. The architectural presentation team and the photographic team backed up the analysis team with necessary computer graphics/ models and 1:50 scalemodel of the house. This session was the most intensive and exhaustive one since we raced against the given schedule. A t t h e 1 2 th d a y , a l l t e a m s p r e s e n t e d t h e findings in front of 3 senior members of scientific committee; Prof. Gunawan Tjahjono, Sutrisno Murtiyoso, and Dr. Josef Prijotomo. They provided the participants with overall review of the workshop and key points to be developed further in the future. The scientific committee, then, held a meeting to discuss the content direction of this book and further strategic moves to be taken regarding the F. Silaban Inventory Research. From the 13 th up to 15 th day, 11 selected participants and 4 members of the board of editor continued with the publication preparation. By the 15th day, we produced with a draft version of the monograph ready for proof reading and final touch.

49 50

49 Studio Silaban yang masih dilengkapi dengan dokumen-dokumen asli Silaban’s studio with the original documents still intact 50 Gambar asli rancangan meja kerja dilengkapi rak buku dan gambar Original design drawing of desk with book and drawing shelves

85


bagaimana kesan-kesan pribadi beliau terhadap rumah tempat dirinya tumbuh dan kesankesan pribadi mengenai ayahnya sebagai seorang arsitek. Han Awal bercerita mengenai beberapa pertemuannya dengan F. Silaban. Beliau melanjutkan paparannya pada topik eksperimentasi rancangan rumah tinggal di Indonesia. Dari hari ke-6 hingga ke-11, para peserta ditugaskan ke dalam beberapa kelompok, dengan tugas-tugas spesifik: analisa desain, analisa sejarah, analisa rancangan iklim-mikro, fotografi, dan presentasi arsitektural (maket, CAD, dan sketsa arsitektural). Beberapa peserta mengembangkan teks latar sejarah dan analisa rancangan rumah dan biografi singkat F. Silaban (beserta kajian sejarahnya). Mereka bekerja sama dengan kelompok analisa rancangan iklim-mikro dalam menyusun kajian mengenai interpretasi F. Silaban tentang tropikalitas rumah tersebut. Kelompok presentasi arsitektural dan fotografi membantu kelompok analisa dengan model komputer dan maket skala 1:50. Bagian ini merupakan kegiatan paling intensif dan melelahkan sepanjang workshop karena harus berpacu dengan jadwal yang disepakati. Pada hari ke-12, seluruh kelompok menampilkan temuan dan hasil di depan 3 orang anggota senior komite ilmiah; Prof. Gunawan Tjahjono, Sutrisno Murtiyoso, dan Dr. Josef Prijotomo. Mereka memberikan pandangan menyeluruh dan beberapa kunci bagi para peserta untuk dikembangkan lebih jauh pada langkah selanjutnya. Kemudian, komite ilmiah mengadakan pertemuan untuk membahas arah dan langkah-langkah strategis yang akan diambil mengenai kelanjutan Penelitian Inventarisasi F. Silaban. Dari hari ke-14 hingga ke-15, 11 peserta terpilih dan 4 anggota badan editor melanjutkan persiapan publikasi. Pada hari ke-15, kami menghasilkan sebuah versi kasar monograf yang siap diperiksa dan diberi sentuhan akhir.

84

background analysis, micro-climatic design a n a l y s i s , p h o t o g r a p h y , a n d a rc h i t e c t u r a l presentation (scale-model, CAD, and architectural sketching). Few participants were in-charge for building up texts for the historical background and design analysis of the house and F. Silaban’s brief biography (and historical settings). They worked together closely with the micro-climatic design analysis team to build up knowledge on F. Silaban’s interpretation of tropicality on the house. The architectural presentation team and the photographic team backed up the analysis team with necessary computer graphics/ models and 1:50 scalemodel of the house. This session was the most intensive and exhaustive one since we raced against the given schedule. A t t h e 1 2 th d a y , a l l t e a m s p r e s e n t e d t h e findings in front of 3 senior members of scientific committee; Prof. Gunawan Tjahjono, Sutrisno Murtiyoso, and Dr. Josef Prijotomo. They provided the participants with overall review of the workshop and key points to be developed further in the future. The scientific committee, then, held a meeting to discuss the content direction of this book and further strategic moves to be taken regarding the F. Silaban Inventory Research. From the 13 th up to 15 th day, 11 selected participants and 4 members of the board of editor continued with the publication preparation. By the 15th day, we produced with a draft version of the monograph ready for proof reading and final touch.

49 50

49 Studio Silaban yang masih dilengkapi dengan dokumen-dokumen asli Silaban’s studio with the original documents still intact 50 Gambar asli rancangan meja kerja dilengkapi rak buku dan gambar Original design drawing of desk with book and drawing shelves

85


Gambar Terbangun As-Built Drawings

15

9

8

7

22 22

16

12

13

14

14

14

14

5

22 6

22

22

22

22

21

22 22

22 19 22

4 17

12

11

10

20

3

1

86

Selasar depan/Front passage Teras beratap/Terrace Teras depan/Front verandah Ruang tamu/Living room Ruang makan/Dinning room Ruang makan dan dapur/Dinning room and kitchen Dapur/Kitchen Teras belakang/Back verandah Selasar belakang/Back passage

22

18

2

Rencana Lantai 1/Ground Floor Plan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

22

Rencana Lantai 2/Second Floor Plan

10 11 12 13 14 15 16 17

Kamar gambar/Drawing room Kamar tidur utama/Master bedroom Kamar mandi/Bathroom Kamar pelayan/Maid room Kamar tidur anak/Children bedroom Tempat setrika/Utility room Garasi lama/Old garage Garasi baru/New garage

18 19 20 21 22

Ruang duduk-duduk/Sitting room Ruang rekreasi anak/Children recreation room Kamar tidur darurat/Spare bedroom Lantai kayu/Wood deck Void/Void

87


Gambar Terbangun As-Built Drawings

15

9

8

7

22 22

16

12

13

14

14

14

14

5

22 6

22

22

22

22

21

22 22

22 19 22

4 17

12

11

10

20

3

1

86

Selasar depan/Front passage Teras beratap/Terrace Teras depan/Front verandah Ruang tamu/Living room Ruang makan/Dinning room Ruang makan dan dapur/Dinning room and kitchen Dapur/Kitchen Teras belakang/Back verandah Selasar belakang/Back passage

22

18

2

Rencana Lantai 1/Ground Floor Plan

1 2 3 4 5 6 7 8 9

22

Rencana Lantai 2/Second Floor Plan

10 11 12 13 14 15 16 17

Kamar gambar/Drawing room Kamar tidur utama/Master bedroom Kamar mandi/Bathroom Kamar pelayan/Maid room Kamar tidur anak/Children bedroom Tempat setrika/Utility room Garasi lama/Old garage Garasi baru/New garage

18 19 20 21 22

Ruang duduk-duduk/Sitting room Ruang rekreasi anak/Children recreation room Kamar tidur darurat/Spare bedroom Lantai kayu/Wood deck Void/Void

87


Tampak Selatan/South Elevation

Tampak Timur/East Elevation

Potongan G-G/Section G-G

Rencana Lantai Dasar beserta lahan/Ground Floor Plan Potongan H-H/Section H-H 88

89


Tampak Selatan/South Elevation

Tampak Timur/East Elevation

Potongan G-G/Section G-G

Rencana Lantai Dasar beserta lahan/Ground Floor Plan Potongan H-H/Section H-H 88

89


90

Potongan A-A/Section A-A

Potongan E-E/Section E-E

Potongan B-B/Section B-B

Potongan F-F/Section F-F

Potongan C-C/Section C-C

Tampak Utara/North Elevation

Potongan D-D/Section D-D

Tampak Barat/West Elevation 91


90

Potongan A-A/Section A-A

Potongan E-E/Section E-E

Potongan B-B/Section B-B

Potongan F-F/Section F-F

Potongan C-C/Section C-C

Tampak Utara/North Elevation

Potongan D-D/Section D-D

Tampak Barat/West Elevation 91


CONTRIBUTORS

51 52

53

51 Pandangan keseluruhan maket Overall model view

Agung Ainul Rochman

Agus

Student at 17 Agustus 1945 University, Surabaya Architectural Inventory and Survey Architectural Photography

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Anjarkusuma Widi Hendrajati

A.Y.D. Ajeng Dewayani

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis Illustrator

Christopher Surya

David A. Sagita

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation Graphic Designer

mAAN Indonesia - Organizing Committee Architectural Photography Graphic/Photographic Editor Co-editor

Dely Anggi Afianti

Denny Husin

Student at Bina Nusantara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation

Graduated from Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Dessy Syarlianti

Desti Mandasari Putri

Graduated from Sriwijaya University, Palembang Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Student at Sriwijaya University, Palembang Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Dewi Sartika

Elvin Santoso

Graduated from Tarumanagara University, Jakarta Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation Graphic Designer

52 Pandangan beranda depan maket Front verandah model view 53 Pandangan sisi barat interior maket West end interior model view 92

93


CONTRIBUTORS

51 52

53

51 Pandangan keseluruhan maket Overall model view

Agung Ainul Rochman

Agus

Student at 17 Agustus 1945 University, Surabaya Architectural Inventory and Survey Architectural Photography

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Anjarkusuma Widi Hendrajati

A.Y.D. Ajeng Dewayani

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis Illustrator

Christopher Surya

David A. Sagita

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation Graphic Designer

mAAN Indonesia - Organizing Committee Architectural Photography Graphic/Photographic Editor Co-editor

Dely Anggi Afianti

Denny Husin

Student at Bina Nusantara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation

Graduated from Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Dessy Syarlianti

Desti Mandasari Putri

Graduated from Sriwijaya University, Palembang Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Student at Sriwijaya University, Palembang Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Dewi Sartika

Elvin Santoso

Graduated from Tarumanagara University, Jakarta Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation Graphic Designer

52 Pandangan beranda depan maket Front verandah model view 53 Pandangan sisi barat interior maket West end interior model view 92

93


94

Indara Wila

Ivan Tirtadian

Rama Wisnu Putra

Ratana Soun

Student at Merdeka University, Malang Architectural Inventory and Survey Archive Documentation

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation Illustrator

Student at Soegijapranata Catholic University, Semarang Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis Architectural Photography

Graduated from Royal University of Fine Art, Phnom Phen, Cambodia Architectural Inventory and Survey Architectural Design and Historical Analysis

Johannes Adiyanto

Keiko Iwane

Rendy Aditya

Ryouei Nagano

Faculty Staff at Sriwijaya University, Palembang Board of Editor/Scientific Committee

Master Student at Muramatsu Lab., Tokyo University Architectural Inventory and Survey Graphic/Photographic Editor Documentary

Graduated from Parahyangan Catholic University, Bandung Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis Architectural 2-D/3-D Presentation

Master Student at Fujimori Lab., Tokyo University, Japan Architectural Photography Graphic/Photographic Editor Illustrator Documentary

Kezia Paramita

Laurensia Ineke Kurniasari

Sanita Sepwuchi

Setiadi Sopandi

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation

Student at Merdeka University, Malang Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Bina Nusantara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Photography Illustrator

mAAN Indonesia - Organizing Committee Professional Architect Board of Editor/Scientific Committee

Larasati Widjaja

Lidwitianingrum

Sokly Yam

Undi Gunawan

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Royal University of Fine Art, Phnom Phen, Cambodia Architectural Inventory and Survey Architectural Design and Historical Analysis

Faculty Staff at Pelita Harapan University, Jakarta Architectural Photography Board of Editor/Scientific Committee

Luisa Oktameika Widiaputri

M. Nanda Widyarta

William Sastrawanto

Yohannes Khrisna Hadi Putra

Student at Bina Nusantara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Faculty Staff at Tarumanagara University, Jakarta Board of Editor/Scientific Committee

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Design and Historical Analysis

Student at Soegijapranata Catholic University, Semarang Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Nicholas Hardianto Wijaya

Priscilla Epifania Ariaji

Yogi Ferdinand

Yohan Buana Iskandar

Graduated from Petra Christian University, Surabaya Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation Graphic Designer

Tarumanagara University - Organizing Committee Faculty Staff at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Model Photography Co-editor

Graduated from Pelita Harapan University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Student at Sriwijaya University, Palembang Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

95


94

Indara Wila

Ivan Tirtadian

Rama Wisnu Putra

Ratana Soun

Student at Merdeka University, Malang Architectural Inventory and Survey Archive Documentation

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation Illustrator

Student at Soegijapranata Catholic University, Semarang Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis Architectural Photography

Graduated from Royal University of Fine Art, Phnom Phen, Cambodia Architectural Inventory and Survey Architectural Design and Historical Analysis

Johannes Adiyanto

Keiko Iwane

Rendy Aditya

Ryouei Nagano

Faculty Staff at Sriwijaya University, Palembang Board of Editor/Scientific Committee

Master Student at Muramatsu Lab., Tokyo University Architectural Inventory and Survey Graphic/Photographic Editor Documentary

Graduated from Parahyangan Catholic University, Bandung Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis Architectural 2-D/3-D Presentation

Master Student at Fujimori Lab., Tokyo University, Japan Architectural Photography Graphic/Photographic Editor Illustrator Documentary

Kezia Paramita

Laurensia Ineke Kurniasari

Sanita Sepwuchi

Setiadi Sopandi

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Scale-model Presentation

Student at Merdeka University, Malang Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Bina Nusantara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Photography Illustrator

mAAN Indonesia - Organizing Committee Professional Architect Board of Editor/Scientific Committee

Larasati Widjaja

Lidwitianingrum

Sokly Yam

Undi Gunawan

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Student at Royal University of Fine Art, Phnom Phen, Cambodia Architectural Inventory and Survey Architectural Design and Historical Analysis

Faculty Staff at Pelita Harapan University, Jakarta Architectural Photography Board of Editor/Scientific Committee

Luisa Oktameika Widiaputri

M. Nanda Widyarta

William Sastrawanto

Yohannes Khrisna Hadi Putra

Student at Bina Nusantara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Micro-climatic Analysis

Faculty Staff at Tarumanagara University, Jakarta Board of Editor/Scientific Committee

Student at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural Design and Historical Analysis

Student at Soegijapranata Catholic University, Semarang Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Nicholas Hardianto Wijaya

Priscilla Epifania Ariaji

Yogi Ferdinand

Yohan Buana Iskandar

Graduated from Petra Christian University, Surabaya Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation Graphic Designer

Tarumanagara University - Organizing Committee Faculty Staff at Tarumanagara University, Jakarta Architectural Model Photography Co-editor

Graduated from Pelita Harapan University, Jakarta Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

Student at Sriwijaya University, Palembang Architectural Inventory and Survey Architectural 2-D/3-D Presentation

95


96

97


96

97


CREDITS Texts Johannes Adiyanto M. Nanda Widyarta Ratana Soun Setiadi Sopandi Sokly Yam Undi Gunawan William Sastrawanto Photos/illustrations Agung A. Rochman : inside cover David A. Sagita : pp 5, 38, 41, 46, 53, 55, 57, 58, 59, 85, cover Priscilla Epifania A. : pp 92 Ryouei Nagano : pp 43, 60, 68, inside cover, freehand sketch Sanita Sepwuchi : pp 50 Undi Gunawan : pp 38, 40, 44, 47, 48, 51, 56, 59, 61 Photographic editing Davd A. Sagita Ryouei Nagano Graphic layout Keiko Iwane David A. Sagita Architectural graphics Y. Khrisna Hadi Putra Nicholas Wijaya Rendy Aditya Andjarkusuma W. Hendrajati Cover graphics Christopher Surya Elvin Santoso

copyright Š 2008 mAAN Indonesia Publishing Disclaimer This is the digital version of the book. All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or otherwise, without prior consent of the publishers. The workshop and publication are a join cooperation between mAAN Indonesia and the School of Architecture, Tarumanagara University mAAN Indonesia - F. Silaban inventory research project is supported by cSUR, AGS of the University of Tokyo Printed in Indonesia

98


CREDITS Texts Johannes Adiyanto M. Nanda Widyarta Ratana Soun Setiadi Sopandi Sokly Yam Undi Gunawan William Sastrawanto Photos/illustrations Agung A. Rochman : inside cover David A. Sagita : pp 5, 38, 41, 46, 53, 55, 57, 58, 59, 85, cover Priscilla Epifania A. : pp 92 Ryouei Nagano : pp 43, 60, 68, inside cover, freehand sketch Sanita Sepwuchi : pp 50 Undi Gunawan : pp 38, 40, 44, 47, 48, 51, 56, 59, 61 Photographic editing Davd A. Sagita Ryouei Nagano Graphic layout Keiko Iwane David A. Sagita Architectural graphics Y. Khrisna Hadi Putra Nicholas Wijaya Rendy Aditya Andjarkusuma W. Hendrajati Cover graphics Christopher Surya Elvin Santoso

copyright Š 2008 mAAN Indonesia Publishing All rights reserved. No part of this publication may be reproduced, stored in a retrieval system, or transmitted in any form or by any means, electronic, mechanical, photocopying, recording, or otherwise, without prior consent of the publishers. The workshop and publication are a join cooperation between mAAN Indonesia and the School of Architecture, Tarumanagara University mAAN Indonesia - F. Silaban inventory research project is supported by cSUR, AGS of the University of Tokyo Printed in Indonesia ISBN

98


rumahsilabansilaban’shouse

“i am an architect, but not an ordinary one”

supported by

mAAN

modern Asian Architecture Network I

N

D

O

N

E

S

I

A

rumahsilabansilaban’shouse


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.