Inclusive Urban Design_Buku Digital Kelompok B2

Page 1

Melihat Penerapan AgeFriendly City di Kota Amsterdam Buku Digital Kota Ramah Usia Kota Masa Depan

@2022 Kelompok B2 KKL Mata Kuliah Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik-Universitas Diponegoro Semarang

Buku Digital Kelompok 2 Mata Kuliah Kuliah Kerja Lapangan (KKL) 2022

Kelompok B2 KKL 2022 Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik-Universitas Diponegoro Semarang


@2022 Kelompok B2 KKL Mata Kuliah Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik-Universitas Diponegoro Semarang


DAFTAR ISI

Daftar Isi

i

Daftar Gambar dan Tebel

iii

Mari Memahami Pentingnya Sustainable Cities dan Inclusive Urban Design

2

1

Sumber : canadianarchitect.com

Apa yang disebut desain yang berkelanjutan dan inklusif ?

2

Apa itu Age-Friendly City?

5

Mata Kuliah Kuliah Kerja Lapangan (KKL) Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik-Universitas Diponegoro Semarang

Sumber : afe-activists.eu

9 Sumber : Winter et. al, 2021

@2022 Kelompok B2 KKL

Apa yang bisa dipelajari ?

14

Tahapan Perencanaan dan Perancangan Age - Friendly City di Amsterdam

14

Menjelajahi Amsterdam

9

Partisipasi Masyarakat

14

Mengapa Kota Amsterdam?

10

Amsterdam dan Age Friendly City

11

Program Age - Friendly City di Amsterdam jika diterapkan di Indonesia

15

Sumber : lifegate.com

Tema : Inclusive Urban Design

Mencermati Perbandingan AgeFriendly City di Indonesia dan di Belanda Age - Friendly City di Amsterdam dan Indonesia Indikator Age - Friendly City yang diterapkan di Belanda dan Indonesia

Daftar Pustaka

Judul : Buku Digital : Melihat Penerapan Age-Friendly City di Kota Amsterdam

24

24

30

31

i

Sub-Tema : Age-Friendly City Wilayah Studi : Kota Amsterdam

Penulis : Kelompok B2 KKL 2022

Departemen : Perencanaan Wilayah dan Kota

Mata Kuliah : Kuliah Kerja Lapangan (KKL)

Dosen Pembimbing : Novia Sari Ristianti, ST, MT (NSR)

ii


DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Gambar 1.1 Ilustrasi Lingkungan perumahan dengan desain ramah usia

1

Gambar 2.1 Ilustrasi desain lingkungan yang inklusif

2

Gambar 4.2 Proses diskusi penyusunan RTBL sebagai salah satu dokumen kebijakan

dalam aspek urban design di Indonesia

Gambar 2.2 Desain kemiringan tangga yang landai sebagai salah satu penerapan konsep inklusif pada desain di Amsterdam

Gambar 4.3 Kawasan perumahan akropolis Amsterdam

16

Gambar 4.4 Seorang lansia sedang berjalan-jalan di Westerpark

17

Gambar 4.5 Lansia sedang bersepeda di kawasan pusat kota Amsterdam

19

4

Gambar 4.6 Para lansia sedang melakukan pemeriksaan kesehatan di Surabaya

19

6

Gambar 4.7 Salah satu taman lansia di Surabaya

20

Gambar 5.1 Potret kawasan pusat kota di Amsterdam dan Surabaya

23

4

Gambar 2.3 Desain pintu masuk sarana transportasi umum dan halte yang tidak tinggi sebagai salah satu implementasi desain inklusif di Amsterdam Gambar 2.4 Ilustrasi interaksi antar lansia di ruang terbuka di atap bangunan Gambar 2.5 Ilustrasi dua lansia yang sedang mengobrol di kursi dalam bangunan apartemen

15

Gambar 5.2 Perbandingan desain taman lansia Surabaya (atas) dan Westerpark di

6

Gambar 2.6 Proses perumusan kota ramah usia di Belanda

8

Gambar 2.7 Diagram proses perancangan kota ramah usia

8

Gambar 3.1 Peta administrasi Belanda dan Amsterdam

9

Gambar 3.2 Peta administrasi kota Amsterdam

10

Gambar 3.3 Salah satu hasil desain di kawasan pusat kota Amsterdam

11

Gambar 3.4 Westerpark di Kota Amsterdam

11

Gambar 3.5 Trotoar dan Halte Trem di Kota Amsterdam

12

Amsterdam (bawah)

27

Gambar 5.3 Perbandingan desain kawasan pusat kota Amsterdam (kanan) dan Kota Surabaya (kiri)

28

Gambar 5.4 Perbandingan desain sarana transportasi di Amsterdam (atas) dan Kota Surabaya (bawah)

28

Gambar 5.2 Delapan indikator kota ramah usia WHO

30

Gambar 3.6 Apartemen di Kompleks Perumahan Akropolis, Amsterdam dan Konsep Baru Rumah untuk Lansia di Kota Amsterdam

12

Gambar 3.7 Kegiatan Bagi Para Lansia

12

Gambar 3.8 Persebaran Rumah Sakit di Kota Amsterdam

13

Gambar 3.9 Kondisi Traffic Light di Kota Amsterdam

13

Tabel 5.1 Analisis perbandingan implementasi Age-Friensly City di Indonesia dan Belanda

29

Tabel 5.2 Perbandingan indikator Age Friendly-City di Indonesia dan Belanda

30

Gambar 4.1 Para lansia sedang melakukan workshop dalam proses perancangan

kota ramah usia di Belanda

14

iii

iv


Apa yang disebut desain yang berkelanjutan dan inklusif ?

Mari Memahami Pentingnya Sustainable Cities dan Inclusive Urban Design Kota yang berada di seluruh dunia saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan yang menimbulkan kerentanan dan berdampak terhadap keberlangsungan hidup penduduknya. Tantangan yang dihadapi setiap kota, termasuk kota berkembang, meliputi peningkatan lalu lintas, perubahan iklim, dan masalah lingkungan, serta mempertahankan layanan dan masalah ekonomi dalam infrastruktur transportasi. Masalah utama yang terkait dengan peningkatan lalu lintas dan kemacetan memiliki efek negatif pada kualitas hidup warga kota (Wallström, 2007). Dominasi kendaraan bermotor di jalan raya dan jalan-jalan perkotaan memiliki dampak terhadap lingkungan, seperti pemanasan global, masalah kesehatan, kerusakan bangunan, dan polusi suara perkotaan. Untuk itu, berbagai solusi dan inovasi terus dikembangkan dalam mendesain kawasan perkotaan yang memiliki ketahanan dan keberlanjutan untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Saat ini, dunia memiliki rencana aksi global yaitu Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati oleh para pemimpin dunia, dengan harapan dan tujuan untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. Salah satu tujuan dari SDGs yakni tujuan 11, Sustainable Cities and Communities bertujuan untuk memastikan akses terhadap perumahan dan pelayanan

Gambar 2.1 Ilustrasi desain lingkungan yang inklusif Sumber : canadianarchitect.com

Gambar 1.1 Ilustrasi Lingkungan perumahan dengan desain ramah usia Sumber : bdpquadrangle.com

dasar yang layak, aman dan terjangkau bagi semua dan meningkatkan mutu pemukiman kumuh serta menyediakan akses terhadap sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan bagi semua, meningkatkan keamanan jalan, dengan memperbanyak transportasi publik, dengan perhatian khusus terhadap kebutuhan dari mereka yang berada di situasi rentan, perempuan, anak-anak, orang dengan disabilitas dan manula. Salah satu penerapan yang dapat dilakukan dalam mewujudkan tujuan SDGs tersebut dengan perancangan kota inklusif (inclusive urban design). Konsep inclusive urban design yaitu konsep dimana suatu kota memiliki kondisi ideal, dimana kehidupan masyarakatnya tidak ditentukan oleh hal tertentu, seperti materi ataupun SARA.

Tujuan dari konsep ini adalah menyederhanakan hidup bagi semua orang secara adil (Nygaard, 2018). Dalam keberlangsungan penerapan inclusive urban design ini, peran pemerintah dalam pembuatan regulasi dilakukan secara adil dan transparan. Pemerintahan kota dengan inclusive urban design dibangun atas kaidah-kaidah demokrasi yang mengutamakan HAM bagi masyarakat didalamnya. Dimana pengembangannya mengutamakan kebutuhan penduduknya, salah satunya lansia. Selain menjaga kualitas kesehatan, lansia membutuhkan lingkungan baik fisik maupun sosial yang mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan serta mempertimbangkan kapasitas dan tipe-tipe aktivitas lansia. 01

Sustainability adalah kata kunci dalam perencanaan dan pembangunan pada belakangan ini. Sustainable urban design merupakan desain kawasan perkotaan yang dapat menciptakan kemampuan masyarakat dan sistem perkotaan yang lebih luas untuk meminimalkan dampaknya terhadap lingkungan (Chan & Lee, 2008). Sehingga dalam pembangunannya perkotaan dapat memenuhi generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Kazimee, 2002). Konsep ini menjadi solusi atas krisis lingkungan global, pertumbuhan ekonomi yang drastis, meledaknya populasi dunia, berkurangnya sumber daya alam, rusaknya ekosistem serta terancamnya keragaman hayati dunia.

Sustainable urban design berkonotasi hubungan antara lingkungan alam, bentuk dan struktur perkotaan, proses ekonomi dan kelembagaan, dan mata pencaharian sosial. Hal ini membutuhkan transformasi pengaturan desain sosial-ekonomi, lingkungan dan perkotaan yang ada. Atkinson dan Ting (2002) mengkonseptualisasikan sustainable urban design sebagai upaya untuk mengenali hubungan yang kompleks dan sampai sekarang diabaikan antara lingkungan alam (sustainable) dan kota sebagai artefak (urban design). Konsep sustainable urban design membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dari prinsip desain perkotaan baru untuk mempromosikan kota yang berkelanjutan (Aina et al. 2013).

Carmona (2001) menguraikan prinsip-prinsip utama dan menyoroti sepuluh prinsip dasar sustainable urban yang ditemukan dalam beberapa literatur yang kemudian diuraikan, diantaranya:

1

2

Kepengurusan

3

Keragaman dan pilihan

Perencanaan terpadu, peningkatan melalui perubahan dan peremajaan pusat kota.

Keragaman, permeabilitas, pengembangan campuran dan hierarki layanan dan fasilitas.

Efisiensi sumber daya 4

Kebutuhan Manusia

Ekonomi sarana, kerusakan lingkungan minimal, mengurangi perjalanan/pengurang an energi dan daur ulang

Keterbacaan, estetika, keamanan, kriminalitas rendah, campuran sosial dan citra.

5

Ketahanan Fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan.

6

Konsentrasi Kota polisentris, intensifikasi kompak dan layanan dukungan.

02


7

Pengurangan polusi

9

Polusi dan kebisingan rendah, strategi air, iklim dan kualitas udara.

8

Kekhasan Warisan, hubungan kreatif, rasa tempat dan identitas daerah.

Dukungan biotik Penghijauan kota, ruang terbuka, dukungan biotik dan simbiosis kota/negara.

10

Swasembada Literasi lingkungan, otonomi daerah, konsultasi dan partisipasi.

Perwujudan inclusive city dalam sebuah kota dapat diukur dengan menggunakan beberapa domain sebagai berikut : (1) Housing Physical and Social Infrastructure dengan komponen Hunian yang mudah diakses, akses air bersih, akses sanitasi, akses terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan dan fasilitas public, (2) Outdoor Environment dengan komponen penyediaan jalur pejalan kaki yang aman dan nyaman, Akses dan kemudahan dalam

mendapatkan informasi, adanya keamanan, (3) Urban Mobility and Public Transport dengan komponen ketersediaan angkutan, (4) IT Connectivity Digitalization, Governance, Public Participation dengan komponen konektivitas internet, pemerintahan yang inclusive dan partisipasi dari kelompok masyarakat, (5) Livelihood dengan komponen kesempatan kerja, tempat pelatihan, kesempatan untuk berkumpul, dll, (6) Recreation and Tourism dengan komponen rekreasi yang terbuka untuk seluruh golongan masyarakat.

Mengenal Kota yang inklusif Pengembangan sebuah kota yang inklusif (Inclusive Development) adalah sebuah proses pengembangan kota yang terjadi pada saat keuntungan sosial dan material terdistribusi secara merata di seluruh golongan masyarakat (Hickey et al. 2015, p.5). Kesetaraan pada dasarnya adalah sebuah tindakan yang menghindari terjadinya sebuah diskriminasi, kecuali jika diskriminasi tersebut menguntungkan golongan masyarakat yang rentan (Rawls, 1972). Inclusive Development pada dasarnya menawarkan sebuah konsep pengembangan kota yang berfokus pada pelayanan pada masyarakat golongan rentan. Sasaki (2010) menjelaskan bahwasannya semua penduduk kota terutama mereka golongan penduduk yang sering termarginalkan dan memiliki kekurangan dalam hal kemampuan fisik, psikologi dan kesehatan seharusnya mendapatkan akses yang sama terhadap fasilitas layanan sosial dan infrastruktur perkotaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa Inclusive City pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan sebuah kota yang aman, memiliki lingkungan yang nyaman serta menyediakan layanan perkotaan, fasilitas pelayanan sosial dan kesempatan untuk memperoleh kesejahteraan hidup yang terjangkau serta dapat dijangkau oleh seluruh kalangan masyarakat (Singru & Lindfield, 2016). Gupta dan Puow (2017) mengidentifikasi bahwasannya terdapat tiga dimensi utama dalam konsep kota yang inklusif, yang pertama

Desain inklusif bertujuan untuk menghilangkan hambatan yang mungkin mencegah individu menggunakan lingkungan secara bebas dan mudah (ASSA ABLOY, 2018). Namun, penting untuk diketahui bahwa desain inklusif harus diintegrasikan ke dalam prinsip-prinsip desain yang baik lainnya (Manley, 2016). Prinsip desain inklusif adalah: (1) Menempatkan orang di jantung proses desain, (2) Mengakui keragaman dan perbedaan, (3) Menawarkan pilihan bagi pengguna sehingga solusi tunggal yang cocok untuk semua pengguna tidak mungkin, (4) Fleksibilitas dalam penggunaan, dan (5) Ruang yang nyaman dan menyenangkan untuk semua orang (CABE, 2006 dalam Manley, 2016).

Gambar 2.2 Desain kemiringan tangga yang landai sebagai salah satu penerapan konsep inklusif pada desain di Amsterdam Sumber : Google Street View

adalah social inclusiveness yang memiliki korelasi dengan pemerataan berbagai macam sumberdaya ekonomi, sosial dan budaya. Kedua adalah ecological inclusiveness yang berkorelasi dengan pendistribusian sumberdaya alam dan risiko bencana alam secara adil dan merata. Ketiga adalah relational inclusiveness yang berarti adanya kesetaraan dalam partisipasi dalam sebuah kegiatan forum pemerintahan.

Gambar 2.3 Desain pintu masuk sarana transportasi umum dan halte yang tidak tinggi sebagai salah satu implementasi desain inklusif di Amsterdam Sumber : Google Street View

03

04


Apa itu Age-Friendly City? Age Friendly City atau Kota Ramah Lansia merupakan konsep pengembangan kota mengedepankan lingkungan yang aksesibel dan inklusif, mengoptimalkan peluang untuk kesehatan, partisipasi, dan keamanan agar kualitas hidup dapat tetap tercapai seiring bertambahnya usia (WHO, 2015). Age-Friendly City atau kota ramah usia juga dapat didefinisikan sebagai tempat orang tua secara aktif terlibat, dihargai, dan didukung dengan infrastruktur dan layanan yang secara efektif mengakomodasi kebutuhan mereka (Van Hoof et. al, 2021). Konsep AgeFriendly City merupakan konsep yang menjawab akan adanya hal tersebut dengan tujuan untuk mengoptimalkan peluang kesehatan, partisipasi, dan keamanan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup penduduk seiring bertambahnya usia (Van Hoof et. al, 2021). Kota ramah lansia dapat diwujudkan dengan pendekatan desain inklusif dengan tujuan untuk menciptakan lingkungan inklusif bagi lansia. Menurut WHO dalam Measuring The Age- 2 Friendliness Of Cities: A Guide To Using Core Indicators, Lingkungan ramah usia terdiri dari lingkungan fisik yang dapat diakses dan lingkungan sosial yang inklusif. Lingkungan fisik yang dapat diakses memilliki aksesibilitas ruang dan bangunan publik yang ramah

lansia, kemudahan mengakses sarana dan prasarana angkutan umum, keterjangkauan perumahan, dan kelayakan pejalan kaki lansia di lingkungan sekitar (WHO, 2015). Sedangkan lingkungan sosial yang inklusif merupakan lingkungan dengan tersedianya layanan kesehatan dan sosial, keamanan ekonomi, adanya keterlibatan dalam kegiatan sosial budaya, partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan lokal, sikap sosial yang positif terhadap orang yang lebih tua, dan keterlibatan dalam kegiatan sukarela serta keterlibatan dalam pekerjaan berbayar (WHO, 2015).

fasilitas pendukung yang memperhatikan keterbatasan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas (Lativa, O. H., Astuti, W., & Mukaromah, H., 2021). Indikatornya yaitu ketersediaan fasilitas pelayanan publik, akses rute moda

Gambar 2.4 Ilustrasi interaksi antar lansia di ruang terbuka di atap bangunan Sumber : canadianarchitect.com

Equity

Equity (kesetaraan) adalah pemerataan fasilitas pelayanan, baik dari segi fisik maupun sosial. Indikatornya yaitu perbandingan antara kondisi pelayanan yang berbeda (the best-off group) (WHO, 2015).

2

3

Inclusiveness of the social environment

Inclusiveness of the social environment (aspek sosial yang inklusif) adalah tidak adanya kriminalisasi dan diskriminasi pada lansia. Indikatornya yaitu perlakuan sosial yang baik bagi lansia, ketersediaan informasi, ketersediaan layanan personal lansia, keterjangkauan biaya berdasarkan kondisi ekonomi lansia (WHO, 2015).

Check list pedoman kota ramah lansia menurut WHO dalam Hermawati (2015) mencakup 8 dimensi, terdiri dari:

Adapun prinsip-prinsip dasar Age Friendly City : (2015) menurut WHO adalah sebagai berikut

1

angkutan umum, akses halte angkutan umum, lingkungan ramah berjalan kaki dengan ketersediaan jalur pejalan kaki, akses bangunan fasilitas dengan adanya ruang parkir prioritas (WHO, 2015).

Accessibility of the physical environment

Accessibility of the physical environment (aspek fisik yang aksesibel) adalah fasilitas pelayanan publik dengan perspektif desain lingkungan,

Gambar 2.5 Ilustrasi dua lansia yang sedang mengobrol di kursi dalam bangunan apartemen Sumber : canadianarchitect.com

05

1

Gedung dan Ruang Terbuka (building and outdoor space),

2

Transportasi (transportation)

3

Perumahan (housing),

4

Partisipasi Sosial (social participation),

5

Penghormatan dan Keterlibatan Sosial (respect and social inclusion),

6

Partisipasi Sipil dan Pekerjaan (civil participation and employment),

7

Komunikasi dan Informasi (communication and information), dan

8

Dukungan Masyarakat dan Kesehatan (community support and health services).

Aspek-aspek fisik atau implementasi desain dari konsep ini dapat dilihat pada selain domain partisipasi sosial; partisipasi masyarakat dan lapangan kerja; dan penghormatan dan inklusi sosial (Van Hoof et. al, 2020). 06


Langkah-langkah perancangan desain Age-Friendly City seperti yang telah dirangkum dari Carroll & Kamilla (2022) yaitu terdiri dari : Perencanaan dan Rekrutmen yang dilakukan dengan pendekatan yang santai dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman menyeluruh tentang konteks sosial dan fisik, untuk membangun hubungan yang baik dan untuk menentukan tingkat kognitif, sosial dan fisik mana yang dapat dikembangkan oleh proses desain bersama. Kemudian dibentuk Struktur dan Fasilitasi Workshop yang mana masing-masing terstruktur sekitar satu atau dua kegiatan desain, dan setiap workshop dimulai dengan pengenalan program hari itu dan rekap dari apa yang telah terjadi terakhir kali. Setelah kegiatan desain, rekap pleno merangkum workshop bersama dengan beberapa kata tentang apa yang akan terjadi di workshop berikutnya. Workshop pertama merupakan pemetaan dan pembuatan kolase. Tujuan dari workshop ini adalah untuk mengidentifikasi suka dan tidak suka dalam ruang lingkungan yang ada sehingga tercipta pemahaman bersama tentang

berbagai pendapat dan persepsi di antara kelompok yang lebih besar. Workshop kedua merupakan pembuatan model. Setelah rekap temuan dari workshop terakhir, masing-masing peserta dapat membangun model ruang luar baru yang diinginkan di lingkungan mereka seperti Perencanaan, Perekrutan memberikan masukan terhadap bahan dan Lansia serta taktilitas, fungsionalitas dan estetika. Workshop Persiapan ketiga merupakan pembuatan prototipe Workshop di objek desain. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperkenalkan Implementasi pertimbangan dan Evaluasi arsitektur dan kontekstual seperti skala, lokasi, bentuk, ukuran, ketinggian, jarak, tekstur dalam upaya untuk beralih dari ide abstrak ke saran konkret. Workshop terakhir adalah presentasi. Dalam persiapan workshop Workshop IV : ini, tim desain telah Presentasi membuat sketsa dan penyatuan solusi desain yang usulan desain telah disepakati pada workshop sebelumnya. Workshop ini bertujuan. Workshop III : untuk mengkomunikasikan solusi dan Pembuatan mendiskusikan penyesuaian dan penyempurnaan prototipe pada dengan para peserta. Tahapan terakhir yaitu objek desain implementasi yang mana acara ini direncanakan dalam kolaborasi antara peserta dan tim peneliti serta dipandu oleh minat, kemampuan, dan sumber daya proyek. Hal ini berarti juga menjadi suatu evaluasi terhadap desain lama pada suatu lingkungan binaan

Berbagai kebijakan internasional telah dirumuskan untuk mewujudkan konsep Age-Friendly City. Pada tahun 2007, WHO mendefinisikan delapan topik utama yang penting ketika mengembangkan AgeFriendly City. Tiga yang pertama (ruang dan bangunan luar ruangan, transportasi, perumahan) terkait dengan lingkungan fisik, tiga berikutnya Workshop I : Identifikasi suka tidak suka pada suatu desain lingkungan

Proses Perancangan Kota Ramah Usia

07

mana kota memberikan peluang bagi semua, dengan akses ke layanan dasar, energi, perumahan, transportasi, dan banyak lagi (Carroll, 2020). Beberapa kota-kota di Eropa juga mulai menetapkan visi untuk mengembangkan kota mereka menjadi kota ramah usia. Beberapa contoh visi kota tersebut misalnya kota Belfast, UK dengan visi "Belfast akan menjadi kota di mana orang tua menjalani hidup

Gambar 2.7 Diagram proses perancangan kota ramah usia Sumber : diadopsi dari Carroll & Kamilla, 2022

Workshop II : Pembuatan model desain

Gambar 2.6 Proses perumusan kota ramah usia di Belanda Sumber : afe-activists.eu

(partisipasi sosial, rasa hormat dan inklusi sosial, dan partisipasi masyarakat dan pekerjaan) menyangkut lingkungan sosial dan budaya, dan dua terakhir (komunikasi dan informasi, dan dukungan masyarakat dan layanan kesehatan) terkait dengan lingkungan sosial dan layanan kesehatan (Carroll, 2020). WHO juga menyebutkan bahwa Perlu ada masa depan di

sepenuhnya", kota Bern Swiss dengan visi “Warga Bern yang lebih tua dapat membentuk kehidupan mereka sesuai dengan kemungkinan dan kebutuhan masing-masing dan mempertahankan kemandirian mereka. Bern akan menjadi kota di mana kualitas hidup orang tua tinggi”, dan kota Leeds, UK dengan visi “Leeds akan menjadi kota di mana orang-orang dari segala usia dapat membuat pilihan yang sehat, hidup sehat dan memenuhi kehidupan dan di mana kesenjangan kesehatan antara kelompok populasi berkurang” (WHO, 2016).

08


Amsterdam merupakan kota terbesar dan ibu kota kerajaan Belanda yang diatur

Menjelajahi Amsterdam Amsterdam verkennen

oleh konstitusi 24 Agustus 1815. Kota ini terletak di Provinsi Holland Utara atau sebelah barat Negara Belanda. Nama kota Amsterdam berasal dari kata Amstelredamme, yang merupakan asal-usul kota ini, yaitu sebuah bendungan di sungai Amstel yang dulunya dihuni sebagai desa nelayan kecil pada akhir abad

ke-12.

Sumber : amsterdam.info

Kota Amsterdam merupakan Ibu Kota dari Negara Belanda. Taman dan cagar alam membentuk 12% dari luas daratan Amsterdam. Amsterdam memiliki angka pertumbuhan penduduk sebesar 0,72%. Ras dan etnis di Kota Amsterdam pada tahun 2012 terdiri dari 49,5% Belanda dan 50,5%. keturunan asing. Amsterdam memiliki 176 kebangsaan berbeda, yang menjadikannya salah satu kota paling beragam di dunia dalam hal kewarganegaraan

Penduduk Lansia Tahun 2016

39%

1.165.898 Jiwa 219,4 km2

Gambar 3.1 Peta administrasi Belanda dan Amsterdam Sumber : commons.wikimedia.org dan 123rf.com

Gambar 3.2 Peta administrasi kota Amsterdam Sumber : Winter et. al, 2021

Batas Administrasi

Kawasan Pusat Kota

09

Mengapa Kota Amsterdam? Sejak tahun 2015, Amsterdam sudah menjadi bagian dari jaringan WHO di seluruh dunia sebagai kota dan komunitas ramah usia. Saat ini, Amsterdam menghitung 800.000 warga negara dimana sebesar 12% tergolong orang lanjut usia (65+ tahun), proporsi ini diperkirakan akan tumbuh hingga 16% pada tahun 2030 nanti. Tujuan dari kota ini ialah menggunakan inisiatif yang ramah usia untuk lebih memperkuat dan merampingkan kegiatannya pada topik perubahan demografis dan penuaan populasi.

Program age-friendly city ini membuat kegiatan yang melibatkan warga dalam membentuk suatu kebijakan. Untuk mengatur kota yang ramah usia dibentuklah sebuah tim multidisiplin untuk mewakili delapan domain yang memainkan peran penting dalam kota yang ramah usia. Kota ini akan menggunakan inisiatif ramah usia untuk lebih memperkuat dan merampingkan kegiatannya sehubungan dengan perubahan demografis besar yang berkembang saat ini. Warga sipil khususnya masyarakat

lanjut usia sudah terlibat dalam pembuatan kebijakan Amsterdam. Belanda (khususnya Amsterdam) membutuhkan waktu sekitar 5 tahun untuk mengubah beberapa kawasan yang dijadikan percontohan menjadi lebih ramah lansia dengan adanya keterlibatan lansia mulai dari persiapan perancangan, implementasi, hingga evaluasi (Agefriendlyeurope, 2015). Menurut catatan dari Agefriendlyeurope (2015) di Belanda, terutama Amsterdam, pemerintah kota madya memiliki dewan/kelompok khusus yang menangani permasalahan lansia di daerahnya. Kelompok/dewan yang dipimpin oleh perwakilan pemerintah tersebut kemudian merumuskan hingga mengevaluasi berbagai kebijakan yang mereka keluarkan untuk kenyamanan hidup lansia di kota mereka (termasuk pada aspek desain). Bahkan, pemerintah kota membimbing dan memfasilitasi mahasiswa jika 10


diperlukan untuk mendukung tujuan kota ramah usia mereka. Berkaitan dengan aspek bangunan dan ruang luar bangunan, Belanda (khususnya Amsterdam) telah menerapkan desain yang ramah lansia di sebagian besar bangunan serta ruang terbuka yang ada. Pada daerah pusat kota bangunanbangunan terutama bangunan pertokoan dan fasilitas umum didesain dengan ketinggian lantai yang sama dengan jalur pedestrian serta memiliki pintu masuk yang lebar (Gambar 3.3a). Selain itu, jalur di depan bangunan-bangunan di pusat kota juga didesain lebar serta diberikan kantong-kantong parkir untuk pengguna sekuter dan sepeda (Gambar 3.3-b). Hal ini akan mempermudah mobilitas orang tua terutama bagi pengguna sekuter maupun kursi roda.

Amsterdam dan Age - Friendly City

1

Gedung dan Ruang Terbuka Ruang terbuka di Kota Amsterdam dapat dinikmati oleh segala kalangan, tak terkecuali bagi para lansia. Salah satu contoh ruang terbuka di Kota Amsterdam adalah Westerpark yaitu taman yang telah lama dibangun. Pada awalnya, taman ini dibangun untuk mengurangi polusi dari industri yang saat itu sedang marak.

tujuan untuk memotivasi lansia supaya aktif dalam kegiatan sosial. Desain halte trem juga dibuat setara dengan trotoar. Hal tersebut memungkinkan untuk segala kalangan tidak kesulitan ketika menunggu kendaraan umum.

Inti dari penyediaan rumah lansia adalah tersedianya ruangan khusus untuk para lansia saling berinteraksi. Dapat dilihat pada gambar 3.6 bahwa konsep rumah yang akan diterapkan terdiri atas rumah, restoran, supermarket, dan ruang makan bersama. Ruang makan digunakan untuk makan bersama dan saling berinteraksi. Selain itu, terdapat restoran yang dapat dijalankan para lansia sehingga mereka tetap memiliki aktivitas aktif. Penyediaan rumah untuk para lansia mendapat dukungan yang terbukti dari adanya Housing of The Elderly Programme tahun 20192022. Program ini dirasa penting sebab panti jompo di Kota Amsterdam sebagian ditutup, sedangkan jumlah lansia diproyeksikan meningkat hingga tahun 2030. Hasil dari program penyediaan rumah lansia adalah sebanyak 375 lansia telah pindah sesuai dengan skema relokasi dari tahun 2017 hingga 2018.

4

Partisipasi Sosial

Dimensi ini berkaitan dengan dimensi perumahan dimana apartemen khusus lansia menyediakan suatu ruang untuk saling berbincang dan melakukan aktivitas bersama. Akan tetapi, untuk tinggal di fasilitas tersebut membutuhkan biaya yang cukup besar sebanding dengan layanan yang ditawarkan. Lansia juga dapat bekerja di restoran dan supermarket pada lantai dasar sehingga lansia tetap dapat melakukan kegiatan sosial.

Gambar 3.5 Trotoar dan Halte Trem di Kota Amsterdam Sumber : Google Street View Gambar 3.4 Westerpark di Kota Amsterdam Sumber : spacehuntr.com, 2021

3

Westerpark menyediakan ruang terbuka dengan kursi yang dapat dimanfaatkan untuk beristirahat ketika lelah berjalan kaki. Hal tersebut mendukung salah satu dimensi Age-Friendly City yaitu ruang terbuka. Ruang terbuka dibutuhkan oleh para lansia untuk beraktivitas dan melepas penat ketika bosan di rumah. Kota Amsterdam telah menerapkan trotoar untuk seluruh kawasan yang dapat membantu lansia dalam berjalan kaki. Trotoar yang tersedia memiliki ketinggian yang hampir sama sehingga memudahkan para lansia untuk melewatinya.

2

Transportasi

Perumahan

Keberadaan lansia yang tinggal sendiri dapat ditemukan pada berbagai negara, tak terkecuali di Belanda. Tak sedikit lansia yang kemudian kesulitan untuk merawat rumahnya sendiri. Oleh sebab itu, mulai disediakan rumah-rumah untuk para lansia di Kota Amsterdam. Salah satu contoh apartemen untuk lansia adalah di kawasan permukiman Akropolis.

Gambar 3.7 Kegiatan Bagi Para Lansia Sumber : mymodernmet.com, 2021

5

Penghormatan dan Keterlibatan Sosial

Tema - tema terkait lansia menjadi salah satu hal yang sering dibahas dalam open sources beberapa website. Website Kota Amsterdam

Dimensi transportasi merupakan dimensi yang tidak terlalu diprioritaskan dalam mewujudkan Age - Friendly City di Amsterdam. Dikutip dari web dutchamsterdam.nl, penduduk Kota Amsterdam yang berusia lebih dari 64 tahun dapat menggunakan transportasi publik secara gratis. Langkah ini merupakan inisiatif Pemerintah Kota Amsterdam Bidang Penelitian dan Statistik yang memiliki Gambar 3.6 Apartemen di Kompleks Perumahan Akropolis, Amsterdam dan Konsep Baru Rumah untuk Lansia di Kota Amsterdam Sumber : nws.eurocites.eu, 2020

Gambar 3.3 Salah satu hasil desain di kawasan pusat kota Amsterdam Sumber : Google Street View

11

12


Website yang membahas mengenai Age - Friendly City di Amsterdam adalah www.amsterdam.nl dan amsterdamsmartcity.com. Berita seputar lansia yang dimuat berkaitan dengan kebijakan seperti subsidi transportasi publik bagi lansia. Selain itu, bentuk penghormatan diperlihatkan melalui desain fasilitas kota yang ramah bagi lansia. Contohnya desain trotoar yang datar dan penyediaan nursing home untuk memenuhi kebutuhan para lansia.

6

Partisipasi Sipil dan Pekerjaan

Dimensi ini merupakan salah satu dimensi yang bukan menjadi prioritas utama Pemerintah Kota Amsterdam untuk mewujudkan Age - Friendly City. Meski demikian, beberapa upaya telah dilakukan untuk mendukung para lansia agar dapat menghasilkan upah dan tetap produktif. Beberapa upaya tersebut yakni adanya program pelatihan bagi relawan yang telah berumur di berbagai fasilitas kota, pendekatan bagi para lansia yang menjadi pengangguran, dan penyediaan fasilitas dasar perkotaan yang dapat mengasah minat dan bakat para lansia.

Upaya lain yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Amsterdam adalah tersedianya platform digital untuk mencari pekerjaan. Salah satu platform yang menyediakan jasa tersebut yaitu www.iamsterdam.com. Pada platform tersebut, terdapat informasi lengkap mengenai

pekerjaan mulai dari panduan mencari pekerjaan hingga informasi mengenai sukarelawan di Kota Amsterdam.

Kota Amsterdam mendukung dimensi kesehatan yang dapat dibuktikan dengan keberadaan rumah sakit di beberapa kawasan.

Apa yang bisa dipelajari ? Lesson Learned

Gambar 3.8 Persebaran Rumah Sakit di Kota Amsterdam Sumber : Google Maps

Layanan kesehatan salah satunya Komunikasi dan berupa rumah sakit tersebar di 7 beberapa distrik di Kota Informasi Amsterdam. Dapat dilihat pada gambar 5. bahwa rumah sakit tidak Sebagai upaya menerapkan hanya dibangun di daerah pusat dimensi komunikasi dan informasi, terdapat program Live kota, melainkan juga pinggir kota. and Learn dan penyediaan media Apabila dibandingkan dengan baik tulis maupun elektronik yang gambar 4. terlihat distrik dengan jumlah lansia yang besar juga dapat menjangkau para lansia. disediakan rumah sakit. Pada Desain yang mendukung Distrik Zuid, terdapat dua rumah komunikasi untuk lansia salah sakit yang dapat mendukung satunya dapat ditemukan di layanan kesehatan. Hal tersebut kawasan traffic light. Tombol mendukung pernyataan bahwa kuning yang umum disebut Kota Amsterdam berfokus pada yellow crosswalk button khusus dimensi dukungan masyarakat dan diletakkan pada tiang pelayanan kesehatan. penyeberangan yang berfungsi mengirimkan sinyal supaya lampu hijau untuk pejalan kaki dapat diperlama. Tombol tersebut sangat menguntungkan bagi kaum lansia sebab lampu hijau untuk pejalan kaki memiliki durasi yang cukup lama sehingga para lansia dapat menyeberang dengan selamat.

8

Dukungan Masyarakat dan Kesehatan

Gambar 3.9 Kondisi Traffic Light di Kota Amsterdam Sumber : www.dreamstime.com, 2021

13

Gambar 4.1 Para lansia sedang melakukan workshop dalam proses perancangan kota ramah usia di Belanda Sumber : afe-activists.eu

27/05/2022

Tahapan Perencanaan dan Perancangan Age - Friendly City di Amsterdam Tahapan perencanaan dan perancangan Kota Ramah Usia (Age-Friendly City) di Belanda pada umumnya mengadopsi pada tahapan perencanaan dan perancangan yang telah dikemukakan oleh WHO (World Health Organization). Berdasarkan WHO, dalam menerapkan dan merencanakan sebuah kota dengan konsep Age-Friendly City, terdapat tiga tahapan yang perlu dilakukan, yang pertama ialah tahapan perencanaan (planning) dimana pada tahapan ini melakukan perencana mengidentifikasi indikator apa saja pada konsep Age-Friendly City, melibatkan orang tua, mulai mengembangkan aksi rencana, dan melakukan penilaian pada konteks ramah usia, tahapan kedua adalah implementasi (implementation) dimana perencana melakukan implementasi perencanaan dan melakukan monitor, tahapan ketiga adalah evaluasi (evaluation) dimana perencana mengidentifikasi kemajuan dan gap yang ada serta melaporkan progres. Ketiga tahapan tersebut dilakukan selama lima tahun dengan rincian planning (1-2 tahun), implementation (35 tahun), dan evaluation (3-5 tahun). Setelah ketiga tahapan tersebut dilaksanakan, tahapan Age-Friendly City akan berlanjut dengan peningkatan yang dilakukan secara terus menerus.

Dalam tahapan perencanaan dan perancangan tersebut, Kota Amsterdam mengacu terhadap indikator kota ramah usia yakni delapan domain Age Friendly City yang berpedoman dari WHO dan prioritas serta isu yang berkaitan terhadap delapan domain Age Friendly City. Kedelapan domain Age Friendly City yang berpedoman dari WHO terdiri atas Gedung dan Ruang Terbuka, Transportasi, Perumahan, Partisipasi Sosial, Penghormatan dan Inklusi Sosial, Partisipasi Sipil dan Pekerjaan, Komunikasi dan Informasi, dan Dukungan Komunitas dan Pelayanan Kesehatan. Sedangkan prioritas dan isu di Kota Amsterdam meliputi empat garis aksi yakni Loneliness, Dementia, Fall prevention and physical exercise, dan Housing.

Partisipasi Masyarakat Dalam pembuatan kebijakan maupun penerapan Age Friendly City di Amsterdam, masyarakat khususnya lansia turut serta dalam prosesnya sehingga lebih transparan serta dapat memaksimalkan pelayanan kebutuhan bagi masyarakat khususnya para lansia. Hal tersebut dapat menjadi acuan di Indonesia yang mana pada penerapannya, pemerintah masih mendominasi dalam pembuatan kebijakan. Dengan adanya transparansi dalam perumusan kebijakan, dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat selain itu, masalahmasalah yang ada pada tiap wilayah dapat tersampaikan serta dalam upaya mengatasinya dapat lebih optimal. Selain itu, di Indonesia Masih banyak bangunan 14


infrastruktur atau fasilitas umum bagi masyarakat yang belum ramah lansia contohnya, halte yang dibangun tinggi sehingga akan sulit di akses oleh masyarakat lansia. Di Amsterdam, hampir seluruh fasilitas umumnya dibangun sesuai standar kota ramah usia.

Program Age - Friendly City di Amsterdam jika diterapkan di Indonesia 1

Gedung dan Ruang Terbuka

Kota Amsterdam memiliki program berupa Kota Bergerak dalam rangka mendukung perwujudan konsep Age - friendly City. Program tersebut ditujukan untuk menata kota Amsterdam sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan aktivitas luar ruangan warganya terkhusus kaum lansia, adapun bentuk aktivitas yang dimaksudkan adalah seperti berolahraga, bersepeda, senam dan lain sebagainya.

Gambar Gambar 4.3 kawasan perumahan akropolis Amsterdam Sumber : Google Street View

Gambar 4.2 Proses diskusi penyusunan RTBL sebagai salah satu dokumen kebijakan dalam aspek urban design di Indonesia Sumber : pertarung.kulonprogokab.go.id

Bentuk adopsi tersebut dapat dilihat di Kota Surabaya, dimana sudah terdapat beberapa ruang terbuka dan tempat pelayanan umum yang ramah lansia di beberapa sudut kota. Dinas Pertamanan Kota Surabaya sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam hal penyediaan dan perawatan taman taman kota di Surabaya telah meluncurkan sebuah program tamanisasi kota. Rangkaian kegiatan program tersebut berupa perawatan trotoar yang berkala, penyediaan lampu dan drainase di seluruh ruang terbuka, penyediaan loket khusus lansia pada fasilitas pelayanan kesehatan, pembangunan jalur khusus pesepeda dan lain sebagainya.

2

Transportasi

Sebagai upaya dalam memotivasi lansia untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial, diperlukan akses transportasi yang mudah dan murah. Kota Amsterdam memiliki program gratis bayar bagi lansia sehingga seluruh kalangan lansia dapat menggunakan transportasi publik. Program tersebut dapat diterapkan di Indonesia dengan cara pengadaan subsidi bagi lansia yang umumnya memiliki penghasilan terbatas. Salah satu langkah yang mulai diterapkan di Kota Surabaya adalah pembayaran bus kota menggunakan botol bekas. Langkah ini dapat dicontoh di kota-kota lain sehingga memudahkan seluruh kalangan untuk menggunakan transportasi public.

Pengadopsian desain tempat tinggal untuk lansia dari Belanda dapat dilakukan pada panti-panti jompo ataupun rumah rehabilitasi untuk meningkatkan keaktifan lansia. Beberapa aktivitas yang dapat dikelola oleh lansia seperti pengelolaan kantin panti atau rumah rehsos bisa diserahkan kepada lansia untuk meningkatkan keaktifan mereka yang akan berdampak pada peningkatan daya ingat mereka.

Desain halte dapat dimodifikasi supaya aman dan mudah bagi lansia untuk menggunakannya secara mandiri. Tak dapat dipungkiri

15

16


bahwa sebagian desain halte di Indonesia kurang nyaman bagi lansia seperti akses naik yang curam. Oleh karena itu, diperlukan kajian ulang mengenai desain yang telah diterapkan apakah benar-benar menjawab kebutuhan penduduk secara universal.

3

Perumahan

Desain rumah bagi lansia disediakan ruang berkumpul yang memungkinkan para lansia untuk saling berkomunikasi. Selain itu, luas bangunan perlu diperhatikan sebab lansia membutuhkan ruang gerak lebih untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Kota Surabaya merupakan contoh dari kota yang memiliki tujuan untuk mewujudkan Kota Ramah Lansia. Kota Surabaya mengalami kesulitan dalam menerapkan dimensi ini karena luas lahan yang semakin sempit sehingga harga lahan melambung tinggi.

Program pengadaan rumah bagi lansia merupakan salah satu langkah yang dapat mewujudkan Age - Friendly City di Indonesia. Rumah berjenis apartemen dapat menjadi salah satu solusi penyediaan rumah bagi lansia, terlebih untuk kawasan perkotaan dengan harga lahan yang relatif tinggi.

Gambar 4.4 Seorang lansia sedang berjalan-jalan di Westerpark Sumber : Google Street View

17

27/05/2022

18


4

Partisipasi Sosial

Berdasarkan penerapan dimensi partisipasi sosial di Kota Amsterdam, hal yang dapat diterapkan di Indonesia adalah penyediaan sarana untuk berkumpul dan melakukan aktivitas bagi para lansia. Langkah selanjutnya yang perlu dirancang yakni pengadaan kegiatan khusus lansia seperti senam bersama di lokasi yang mudah dijangkau. Kegiatan ini juga seharusnya dapat diakses atau diikuti oleh lansia dengan penghasilan rendah.

6

Partisipasi Sipil dan Pekerjaan

Dalam domain partisipasi sipil dan pekerjaan, Kota Amsterdam telah melakukan beberapa upaya ataupun program dalam mendukung perwujudannya. Adapun beberapa program yang dilakukan adalah melakukan pelatihan terhadap relawan yang lebih tua di berbagai fasilitas kota, penyediaan platform digital terkait lowongan kerja, melakukan pendekatan pengangguran untuk kaum lansia dan penyediaan fasilitas dasar kota yang dapat membantu masyarakat dalam mengembangkan minat dan bakatnya.

Beberapa kota di Indonesia seperti Kota Surabaya telah menerapkan dimensi ini dan menjadi salah satu dimensi dengan tingkat kepuasan cukup tinggi berdasarkan survei penduduk. Penerapan program telah mulai dilakukan, namun beberapa kegiatan hanya dapat diakses oleh lansia tertentu saja. Hal lain yang dapat dipelajari dari Kota Amsterdam yaitu akses informasi kegiatan yang mudah sehingga para lansia tahu mengenai kegiatan tersebut dan dapat mengikutinya

Gambar 4.5 Lansia sedang bersepeda di kawasan pusat kota Amsterdam Sumber : john-adams.nl

5

Penghormatan dan Keterlibatan Sosial

Upaya dalam meningkatkan penerapan dimensi ini dapat dilakukan dengan pembuatan website atau aplikasi khusus lansia yang salah satu fungsinya adalah membahas penerapan Age - Friendly City di Indonesia. Berita mengenai lansia di Indonesia sendiri masih terbatas aksesnya. Beberapa artikel hanya membahas permasalahan lansia di suatu daerah, sedangkan permasalahan lansia antar wilayah mungkin berbeda dan membutuhkan perhatian yang lebih.

Gambar 4.6 Para lansia sedang melakukan pemeriksaan kesehatan di Surabaya Sumber : jawapos.com

Indikator partisipasi sipil dan pekerjaan merupakan salah satu indikator Age-friendly City yang paling sulit untuk diterapkan di Indonesia, mengingat kebijakan dan keberpihakan dari pemerintah itu sendiri yang masih mengutamakan pemenuhan pekerjaan bagi kaum muda dan pemodal. Namun sudah terdapat adopsi program yang dilakukan di beberapa kota terkait dengan aspek ini, sebagai contohnya adalah Kota Makassar, dimana bentuk penerapan yang dilakukan adalah dengan menyediakan asrama bagi orang cacat yang mempekerjakan kaum lansia dan pensiunan TNI, yang bekerja sesuai dengan kompetensi dan bakatnya masing - masing.

19

Gambar 4.7 Salah satu taman lansia di Surabaya Sumber : surabayastory.com

20


7

Komunikasi dan Informasi

Penerapan domain komunikasi dan informasi di Kota Amsterdam diwujudkan dengan menerapkan beberapa program seperti Live and Learn, penyediaan platform digital aktif dimana warga dapat menemukan informasi tentang penawaran dan dukungan misalnya peta sosial atau jekntmeer.nl dan penyediaan Media tulis atau elektronik menjangkau lansia, tayangan khusus lanjut usia, media khusus lanjut usia.

Beberapa peluang dalam implementasi Age-Friendly City di Kota Surabaya :

Kota Surabaya memiliki partisipasi sosial lansia yang tinggi Kota Surabaya memiliki beberapa aturan terkait dengan lansia seperti Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, Peraturan Walikota Surabaya Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pemberian Permakanan Bagi Lanjut Usia Sangat Miskin Dan Lanjut Usia Terlantar, dan Keputusan Walikota Surabaya Nomor: 188.45/612/436.1.2/2014 Tentang Komisi Daerah Lanjut Usia Kota Surabaya. Selain itu, partisipasi masyarakat yang tinggi juga ditunjukkan oleh banyaknya organisasi lansia seperti Karang Wedha dan Bina Keluarga Lansia (BKL). Hal ini tentunya akan mempermudah implementasi beberapa domain kota ramah usia terutama domain dukungan masyarakat dan kesehatan, partisipasi sosial, dan penghormatan dan keterlibatan sosial.

Bentuk adopsi yang dilakukan pemerintah Kota Surabaya dalam mewujudkan indikator ini berupa, memberikan sosialisasi program kelanjutusiaan melalui posyandu lansia dan bekerja sama dengan TV lokal Surabaya, bahkan dilakukan sistem ‘jemput bola’ di beberapa bagian kota, dimana terdapat petugas yang bertugas untuk memberikan informasi dengan mendatangi langsung kaum lansia yang beresiko terisolasi dari komunitas di sekitarnya.

Infrastruktur dan Fasilitas Umum Ramah Lansia Salah satu keunggulan dari Kota Surabaya adalah ruang terbuka hijau berupa taman-taman dan pelayanan umum sudah cukup dirasakan ramah terhadap kebutuhan lansia. Salah satu contoh ruang terbuka hijau yang terkenal di Kota Surabaya adalah Taman Lansia yang terletak di jalan Kalimantan. Dengan luas sekitar 2000 m2 merupakan lahan bekas SPBU yang berubah fungsi menjadi taman kota. Pemerintah kota hanya perlu mengeluarkan beberapa strategi supaya taman-taman tersebut dapat secara optimal meningkatkan keaktifan lansia.

8

Gambar maskot kota Surabaya Sumber : tripadvisor.co.id

Pelayanan Kesehatan Kota

Dukungan Masyarakat dan Kesehatan

Pelayanan kesehatan bagi penduduk lansia dapat melalui berbagai bentuk fasilitas pelayanan. Pelayanan tersebut diselenggarakan oleh pemerintah, lembaga non pemerintah (LSM) dan swadaya masyarakat. Pelayanan kesehatan bagi lansia yang tersedia di Kota Surabaya ialah Pelayanan Kesehatan Usia Lanjut, Puskesmas Santun Lansia, dan Posyandu Lansia. Peningkatan kesehatan lansia untuk turut serta aktif dalam perwujudan kota ramah usia di Surabaya semakin terjamin seiring bertambahnya pelayanan kesehatan terhadap lansia yang salah satunya banyak dilakukan di taman-taman lansia.

Bentuk penerapan indikator Dukungan Masyarakat dan Kesehatan yang dilakukan di Amsterdam berupa penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersebar merata di seluruh sudut kota dan tenaga medis yang berkompetensi. Bentuk adopsi yang sudah diterapkan di Kota Surabaya adalah dengan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan layanan sosial yang tersebar dalam kota dan mudah dijangkau. Dokter khusus lanjut usia sebulan sekali melayani di kelurahan. Puskesmas keliling menjangkau semua posyandu lansia dengan kegiatan penyuluhan kesehatan. Lanjut usia terlantar diberi makanan tambahan setiap hari, dan banyak lagi

Gambar suasana malam hari di salah satu taman di Kota Surabaya Sumber : enciety.co

21

22


T A N T A N G A N

Infrastruktur Fisik Fasilitas umum seperti trotoar yang tidak rata sehingga sulit dilalui oleh kaum lansia serta seringkali digunakan sebagai parkir sepeda motor, masih banyak toilet umum yang belum memasang pegangan pada dindingnya, masih minimnya area singgah (drop-in) untuk memberikan area duduk dan beristirahat dalam jarak tertentu bagi lansia. Pemenuhan dan perbaikan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut tentunya membutuhkan anggaran yang besar ditambah dengan turunnya pertumbuhan ekonomi Kota Surabaya pada masa pandemi. Hal ini akan menjadi penghambat yang memberikan tantangan kepada Kota Surabaya untuk berinovasi dalam sistem perancangan kota mereka.

Implementasi Kebijakan dan Program Implementasi kebijakan dan program-program yang dilaksanakan oleh pemerintah Kota Surabaya menghadapi berbagai kendala seperti kurangnya tenaga medis untuk memberikan pelayanan dan penyuluhan kesehatan kepada penduduk lansia. Selain itu, sedikitnya promosi terkait kepedulian masyarakat kepada penduduk lansia menjadi tantangan tersendiri bagi Kota Surabaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat umum terhadap penduduk lansia.

Mencermati Perbandingan Age-Friendly City di Indonesia dan di Belanda

Age - Friendly City di Amsterdam dan Indonesia Perbedaan kondisi sosial ekonomi negara menjadikan beberapa poin implementasi Age-Friendly City di Belanda dan Indonesia memiliki beberapa perbedaan. Namun, penerapan masing-masing negara memiliki kekurangan dan kelebihan tertentu atau memiliki hal yang tidak bisa diimplementasikan di daerah lain dikarenakan ada kekhususan tertentu seperti kondisi sistem pemerintahan atau kemampuan ekonomi. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari adanya tahapan perancangan di Belanda yang memiliki waktu yang relatif lama dan tentunya akan memakan biaya yang lebih besar.

Program Implementasi Kota Ramah Usia Belanda

Indonesia

Memiliki program Housing of The Elderly Programme sebagai respon dari adanya penutupan beberapa panti jompo di Amsterdam. Perumahan dengan bentuk apartemen dan melibatkan LSM untuk lansia didesain untuk meningkatkan interaksi lansia bahkan menjadikan lansia aktif beraktivitas misalnya dengan adanya restoran yang dijalankan oleh lansia. Perumahan terbuka untuk semua lansia.

Memiliki program ATENSI berbasis residensial untuk lansia melalui pembangunan dan peningkatan kualitas Balai Rehabilitasi Sosial (Rehsos), Panti Rehsos, maupun LKS Lanjut Usia. Program ini ditujukan untuk para lansia yang tidak memiliki keluarga, ditelantarkan keluarga, maupun lansia dari keluarga dengan perekonomian yang kurang.

Gambar 5.1 Potret kawasan pusat kota di Amsterdam dan Surabaya Sumber : lifegate.com dan booking.com

23

24


Tahapan perencanaan Age-Friendly City

Program Implementasi Kota Ramah Usia Belanda

Belanda

Indonesia

Keunggulan :

Keunggulan :

Pembangunan perumahan ramah lansia dengan desain dan kegiatan yang meningkatkan keaktifan lansia akan semakin meningkatkan kualitas hidup lansia terutama dalam meningkatkan daya ingat dan kebugaran badan.

Panti jompo dan bangunan tempat tinggal bagi lansia lain yang hanya diperuntukkan bagi lansia dengan ketentuan yang telah disebutkan sangat cocok pada negara atau daerah dengan kondisi sosial yang mana lansia lebih disarankan untuk tinggal bersama keluarga.

Kekurangan :

Kekurangan :

Pada negara atau daerah dengan kultur sosial yang sangat menghormati lansia (seperti harus adanya pendamping saat lansia melakukan aktivitas di luar ruangan) program seperti ini kurang efektif dikarenakan akan banyak masyarakat yang lebih memilih para lansia untuk tetap tinggal bersama keluarga dibandingkan tinggal terpisah di rumah khusus lansia.

Beberapa bangunan panti jompo dan lain-lain kurang mempertimbangkan kebutuhan lansia serta kurang mendorong untuk meningkatkan keaktifan lansia. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya panti jompo yang terlihat hanya memiliki beberapa kegiatan untuk mendorong keaktifan lansia atau bahkan sepi dari aktivitas lansia.

Belanda

Indonesia

Durasi siklus tahapan Age-Friendly adalah 5 Durasi siklus tahapan Age-Friendly adalah 5 tahun tahun

Tahapan dalam mewujudkan kota ramah lansia di Tahapan dalam mewujudkan kota ramah lansia di Kota Amsterdam dibagi menjadi tiga tahapan: Indonesia dibagi menjadi empat tahapan yang 1. Perencanaan (tahun 1-2) : perencanaan kontinyu yaitu: berdasarkan data statistik dan pelibatan 1. Perencanaan (tahun 1-2) : perencanaan senior serta melibatkan para lansia sebagai melibatkan para lansia, adanya penilaian peneliti dan kelompok penasehat, keramahan kota terhadap lansia, mengembangkan rencana kerja, dan mengembangkan rencana kerja, dan mengidentifikasi indikator - indikator serta mengidentifikasi indikator - indikator rencana Aksi diadopsi oleh Dewan kota 2. Implementasi (tahun 3-5) : mencakup untuk diimplementasikan pelaksanaan rencana kerja dan memonitor 2. Pelaksanaan (tahun 3-5): mencakup indikator pelaksanaan rencana kerja dan memonitor 3. Evaluasi kemajuan (akhir tahun ke 5): indikator mengukur kemajuan keramahan kota 3. Evaluasi kemajuan (akhir tahun ke 5): terhadap lansia, mengidentifikasi Laporan kemajuan ini menjelaskan keberhasilan dan kelemahan implementasi yang telah dilaksanakan 4. Perkembangan keberlanjutan program : selama satu setengah tahun dari rencana Perkembangan berkelanjutan siklus 5-tahun aksi sampai dengan 2030

25 Sumber gambar : lonelyplanet.com

Keunggulan: Keunggulan: Memperhatikan data statistik dalam mewujudkan Adanya tahapan yang berkelanjutan hingga tahun kota ramah lansia. Dalam implementasinya, 2030 partisipasi masyarakat benar dilibatkan Kelemahan:

Kelemahan:

Tidak diketahui adanya tahapan berkelanjutan

Dalam implementasi, partisipasi masyarakat termasuk lansia diabaikan. Penyusunan perencanaan kota ramah lansia cenderung hanya dari pihak pemerintah saja

Tahapan Perancangan Desain Age Friendly-City Belanda −

Tahapan perencanaan Age-Friendly City

Indonesia

− − − −

Perancangan dimulai dari perekrutan lansia dengan pendekatan yang santai (seperti sambil minum teh, dan lain-lain) untuk menjadi perwakilan dalam proses desain kawasan. Workshop I : Pemetaan dan pembuatan kolase (identifikasi suka/tidak suka pada suatu desain) Workshop II : Pembuatan Model Workshop III : Pembuatan prototipe sederhana di lapangan Workshop IV : Presentasi dan penyatuan usulan Implementasi

Indonesia − − −

Tahapan perancangan kawasan di Indonesia (dalam kasus RTBL) (PUPR, 2016) : Tahap analisis kawasan perancangan (termasuk forum diskusi bersama masyarakat minimal 2 kali) Tahap perumusan dan pengembangan, hasil dari tahap pertama diolah kembali pada tahap ini sesuai ketentuan perancangan kawasan. Tahap pengembangan, pada tahap ini dirumuskan strategi investasi dan pengendalian rencana

(Carroll & Kamilla, 2022) Keunggulan :

Keunggulan :

Desain menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan Waktu dan biaya lebih sedikit, proses lansia dikarenakan lansia terlibat dan sebagai perancangan kawasan menjadi lebih simpel pemeran utama dalam proses desain kawasan. dikarenakan berjalan sesuai arahan pihak perencana (urban designer/pemerintah) Kekurangan :

Kekurangan :

Memerlukan waktu yang lebih lama dengan biaya yang lebih besar terutama dalam memfasilitasi lansia dalam kegiatan workshop yang terbagi dalam 4 tahapan.

Desain banyak tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk suatu kawasan (terutama kelompok seperti lansia) dikarenakan peran dominan banyak dipegang oleh planner/pemerintah..

26


Taman lansia Kota Surabaya disediakan lokasi sebagai arena terapi dengan menggunakan material batu pada jalurnya. Hal ini menimbang banyak lansia yang menyukai terapi kaki dengan berjalan di atas batu-batu kerikil yang ditata sedemikian rupa. Selain itu, ditambahkan juga pegangan-pegangan pada jarak-jarak tertentu untuk membantu mobilitas lansia. Westerpark di Amsterdam didesain dengan memberikan ruang yang lebih luas untuk lansia pengguna sepeda, skuter, maupun kursi roda. Selain itu ditambahkan juga suatu cafe sebagai tempat lansia bersosialisasi dengan orang lain.

Sementara itu, bangunan-bangunan di Kota Surabaya masih memiliki pintu masuk yang tinggi. Namun, pada bangunan-bangunan tersebut disediakan ramp yang cukup landai serta pegangan tangga untuk membantu mobilitas lansia. Jalur pedestrian yang lebar juga diberikan di Kota Surabaya untuk memfasilitasi lansia yang beraktivitas dengan pendampingnya di kawasan pusat Kota Surabaya.

Amsterdam menerapkan desain pintu masuk yang lebar serta dengan ketinggian yang sama dengan jalur pedestrian pada bangunan-bangunan di pusat kota. Hal ini mempertimbangkan kultur lansia di kota tersebut yang suka bermobilitas dengan skuter maupun sepeda sehingga perlu pintu masuk yang lebih lebar. Selain itu, disediakan juga kantong-kantong parkir sepeda dan skuter di beberapa titik pada kawasan pusat kota.

a

Gambar 5.2 Perbandingan desain taman lansia Surabaya (atas) dan Westerpark di Amsterdam (bawah) Sumber : enciety.co dan Google Street View

Gambar 5.4 Perbandingan desain sarana transportasi di Amsterdam (atas) dan Kota Surabaya (bawah) Sumber : Google Street View dan suarasurabaya.net

b

Amsterdam dan Kota Surabaya telah menerapkan desain pintu masuk moda transportasi yang rendah sebagai bentuk pelayanan terhadap lansia. Namun, moda transportasi di Kota Surabaya (seperti dalam gambar 5.3 bawah) masih belum cukup untuk memfasilitasi lansia pengguna kursi roda. Hal ini berbeda dengan desain moda transportasi di Amsterdam yang memiliki pintu masuk yang lebih lebar dan ketinggian pintu masuk yang lebih rendah.

Gambar 5.3 Perbandingan desain kawasan pusat kota Amsterdam (kanan) dan Kota Surabaya (kiri) Sumber : Google Street View

27

28


Indikator Age - Friendly City yang diterapkan di Belanda dan Indonesia

Proses dan Prosedur Belanda

Indonesia

Perencanaan pembangunan menggunakan pendekatan partisipatif yaitu memberikan porsi yang besar pada keterlibatan lansia secara aktif menjadi peneliti dengan tujuan membantu pengumpulan informasi di antara sesamanya penduduk. Selain itu, para lansia juga terlibat dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan kebijakan.

Perencanaan pembangunan menggunakan pendekatan partisipatif yaitu melibatkan peran lansia bersama pemerintah dalam menyusun perencanaan tata ruang untuk mewujudkan kota ramah lansia.

Tata cara penyusunan kebijakan penataan ruang kota ramah lansia di Kota Amsterdam: 1. Pembuatan kebijakan berdasarkan data statistik dan pendapat senior 2. Pelibatan lansia dalam pembuatan kebijakan 3. Dewan kota mengembangkan arah kebijakan umum; kabupaten/kota memiliki ruang untuk mengembangkan langkah-langkah tambahan sendiri.

Tata cara penyusunan RTRW provinsi, kabupaten, dan kota meliputi: 1. Proses penyusunan; 2. Pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan; dan 3. Pembahasan rancangan peraturan daerah tentang RTRW provinsi, kabupaten, dan kota oleh Pemangku Kepentingan sesuai wilayahnya.

Keunggulan: Keunggulan: Penyusunan perencanaan penataan ruang kota • Perencanaan penataan ruang telah disusun ramah lansia, melibatkan para lansia baik dari tingkat nasional hingga kab/kota yang sebagai peneliti, kelompok nasihat maupun didetailkan dalam rencana rinci sehingga narasumber (orang tua diwawancarai) sehingga perencanaan dan perancangannya sangat memberikan informasi tentang pengalaman, detail dan lebih terarah. harapan, dan kebutuhan orang tua terkait • Dokumen rencana tata ruang dapat diperoleh lingkungan ramah lansia. Dengan demikian, dapat dengan mudah, bisa diperoleh secara langsung disusunnya perencanaan penataan ruang yang kepada instansi terkait maupun dapat diunduh dapat mewujudkan kota ramah lansia. di website resmi

Kelemahan: Kelemahan • Dokumen rencana tata ruang sulit diperoleh, • Kenyataannya, partisipasi masyarakat namun terdapat situs yang menampilkan peta termasuk lansia diabaikan. Penyusunan rencana zonasi. perencanaan tata ruang cenderung hanya dari • Hanya sebagian masyarakat yang mengetahui pihak pemerintah saja, hal inilah yang menjadi tentang rencana tata ruang salah satu alasan penyelenggaraan penataan ruang sering terjadi masalah. • Hanya sebagian masyarakat yang mengetahui tentang rencana tata ruang Tabel 5.1 Analisis perbandingan implementasi Age-Friensly City di Indonesia dan Belanda Sumber : Hasil Analisis, 2022

Gambar 5.5 Delapan indikator kota ramah usia WHO Sumber : fostercity.org

Dalam melihat penerapan Age - Friendly City di Belanda dan Indonesia dilakukan dengan cara membandingkan setiap 7 indikator yang dikeluarkan oleh WHO. Tabel dibawah ini merupakan perbandingan penerapan Age - Friendly City di Kota Amsterdam dan Kota Surabaya.

Indikator

Kota Amsterdam

Kota Surabaya

Gedung dan Ruang Terbuka

Penyediaan ruang terbuka dengan tempat duduk, penyediaan trotoar yang aman bagi lansia

Taman dilengkapi CCTV, penataan trotoar, penyediaan toilet lansia, meningkatkan pelayanan kepada lansia, meningkatkan loket khusus Lansia dengan pelayanan mobil keliling dan pemeliharaan fasilitas umum serta aksesibilitas fasilitas umum terhadap Lansia.

Transportasi

Desain halte trem yang ramah bagi lansia

Sistem angkutan yang terjadwal, menerapkan low deck (lantai didesain rendah) untuk semua angkutan agar ramah bagi lansia

Perumahan

Perumahan khusus lansia, adanya Housing of The Elderly Programme;

Memperbanyak ruang kegiatan untuk lansia serta memberikan pemahaman kepada masyarakat dan developer untuk membangun rumah dengan fasilitas Lansia

Dukungan Masyarakat dan Pelayanan Kesehatan

Layanan kesehatan yang tersebar di berbagai distrik

Pemberian makanan tambahan untuk lansia yang aktif ke posyandu lansia, mengintensifkan kunjungan puskesmas keliling ke rumah lansia, pemberian pelayanan kesehatan lansia dan menjadikan semua fasilitas kesehatan menjadi ramah lansia

Partisipasi Sosial

Penyediaan tempat pertemuan sosial

Pemberian pelatihan-pelatihan kepada lansia, pengadaan pertemuan untuk mengevaluasi kegiatan lansia, pengadaan acara hiburan

Penghormatan dan Inklusi /Keterlibatan Sosial

Tidak adanya diskriminasi terhadap lansia

Meningkatkan kualitas produk olahan lansia, meningkatkan keterampilan karyawan khusus melayani lansia, mempublikasikan kegiatan-kegiatan lansia

Partisipasi Sipil dan Pekerjaan

Meningkatkan peran orangtua, orang tua memiliki kemungkinan yang cukup untuk bekerja

Meningkatkan peran lansia, memberikan pelatihan kepada lansia dan membentuk kelompok usaha lansia

Komunikasi dan Informasi

Informasi diberikan kepada orang tua dalam bentuk non-digital, tertulis atau pribadi.

Peliputan kegiatan lansia dan mempublikasi melalui berbagai media massa dengan bahasa yang mudah

Tabel 5.2 Perbandingan indikator Age Friendly-City di Indonesia dan Belanda Sumber : Hasil Analisis, 2022

29

30


Referensi Agefriendlyeurope. 2015. Amsterdam: een Age-friendly City. Amsterdam : Agefriendlyeurope. ASSA ABLOY 2018, Inclusive Design – Why Should You Care ?, ASSA ABLOY, Ireland.

Centre for Community Child Health. (2020). Policy Brief Policy Brief. Pancanaka, 1(2), 14. Chan, E., & Lee, G. K. L. (2008). Critical Factors for Improving Social Sustainability of Urban Renewal Projects. Social Indicators Research, 85(2), 243–256.

Carroll, Sidse. (2020). Co-designing Age-friendly Cities and Communites - towards an age-friendly spatial practice. Copenhagen : Rosendahls. Carroll, Sidse & Kamilla Nortoft. (2022). Co-Designing Age-Friendly Neighborhood Spaces in Copenhagen: Starting with an AgeFriendly Co-Design Process. Architecture. Vol. 2 : 214–230. https://doi.org/10.3390/architecture2020012 Ergenoglu, Sungur & Bayraktaroglu 2016, ‘Integrating Inclusive Design Awareness Into Architecture Education’ . Barcelona : EDULEARN16 Conference. Ervianto, Wulfram Indri. (2018). Kajian Tentang Kota Berkelanjutan Di Indonesia (Studi Kasus Kota Yogyakarta). Jurnal Media Teknik Sipil 16(1): 60. GGD Amsterdam. 2018. Gezondheid in Beeld Resultaten Amsterdamse Gezondheidsmonitor 2016. Amsterdam : GGD Amsterdam.

Hermawati, I., & Sos, M. (2015). Kajian tentang kota ramah lanjut usia. Yogyakarta: Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS). Kazimee, B. A. (2002). Sustainable Urban Design Paradigm: Twenty Five Simple Things to Do to Make an Urban Neighborhood Sustainable. In the Sustainable City II. WIT Press. Lativa, O. H., Astuti, W., & Mukaromah, H. (2021). Aksesibilitas Fisik Puskesmas Ramah Lansia Menuju Age Friendly City Kota Yogyakarta. Desa-Kota, 3(1), 1. https://doi.org/10.20961/desa-kota.v3i1.42692.1-16 Manley, Sandra 2016, Inclusive Design in the Built Environment (Who do we design for ?), University od the West of England, Bristol. Nygaard, Knut M. 2018. What is Universal Design (Theories, terms and trends). Kuala Lumpur : IFLAWLIC2018. Ossenbruggen, Erik van. (2019). ACPA – Adapting European Cities to Population Ageing: Policy Challenges and Best Practices.

Osté, Johan. Housing of the Elderly The Challenge for Amsterdam Ageing as a Process : Impact on Housing. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization 2017, Instrumen Penilaian Kota Inklusif, UNESCO, Jakarta Vibriyanti, D. (2018). Surabaya Menuju Kota Ramah Lansia: Peluang Dan Tantangan (Surabaya Toward Age-Friendly City: Opportunities and Challenges. Jurnal Kependudukan Indonesia, 13(2), 117–132. Van Hoof, Joost et. al. (2020). Age-Friendly Cities in The Netherlands : An Explorative Study of Facilitators and Hindrances in The Built Environment and Ageism in Design. Indoor and Built Environment. Vol. 29 (3) : 417-437. Van Hoof, Joost et. al. (2021). The Participation of Older People in The Concept and Design Phases of Housing in The Netherlands : A Theoretical Overview. Healthcare. https://doi.org/10.3390/healthcare9030301. World Health Organization. (2016). Creating Age-Friendly City Environments in Europe. Copenhagen : WHO.

World Health Organization. (2015). Measuring the Age-Friendliness of Cities. 128. http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/203830/9789241509695_eng.pdf?sequence=1%0Ahttps://www.who.int/ag eing/publications/measuring-cities-age-friendliness/en/

31


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.