Majalah Artefak edisi November 2019

Page 1

artefak media komunikasi arkeologi

“KEBUDAYAAN INDIS”

ISSN: 0215 6342

Edisi #1, November 2019


Kata Pengantar

Lukisan Javanese Jungle karya Raden Saleh sumber: Smithsonian Art American Museum

SALAM REDAKSI Salam sejahtera. Puji syukur senantiasa kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang atas karunia-Nya Majalah Artefak dapat kembali terbit setelah beberapa kali terhambat dalam proses penerbitannya.Kali ini Majalah Artefak kembali terbit dengan tema "Kebudayaan Indis", yang akan mengulas seputar kebudayaan Indis, arsitektur Indis, dan semua kebudayaan Indis yang dibahas dari sisi Arkeologi. Semoga dari tema tersebut, kita dapat memperluas wawasan kita semua, sehingga kita semakin mengenal identitas bangsa melalui tulisan-tulisan yang berkualitas dan disajikan dengan menarik. Harapannya, majalah ini dapat dinikmati bagi semua kalangan.Atas terbitnya majalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ibu Anggraeni selaku Kepala Departemen Arkeologi, Bapak Tjahjono selaku pendamping redaksi, bapak dan ibu dosen Arkeologi UGM, temanteman redaksi majalah, tim redaksi majalah sebelumnya serta teman-teman HIMA yang senantiasa mendukung terbitnya majalah ini. Seperti halnya gading, majalah ini juga tidak luput dari kekurangan, sehingga kami mengharapkan adanya kritik dan saran bagi pembaca semuanya, agar dapat menjadi lebih baik lagi. Terima kasih, selamat membaca.

Salam Redaksi, Segenap Awak Artefak, Kabinet Narasimha, Himpunan Mahasiswa Arkeologi (HIMA), Fakutas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Oktober 2019. Pelindung Kepala Departemen Arkelogi FIB UGM Dr. Anggraeni, M.A. Penanggung Jawab Ketua HIMA FIB UGM Abdul Salam Pimpinan Redaksi Nadia Ayu S. Sekretaris Katarina Almanda Bendahara Ayu Nur Widyastuti Editor Rachmat Krismono, M. Dziyaul Fikriy A., Antonius Satrio Wicaksono

I

artefak November 2019

Anita Puspitasari, Hot Tumpal M., Astari Syahputri Staff Redaksi Anjar Laksita M., Aziza Dwimas H. Publishing & Marketing Fatom Ahmad, Hasna Dzaki A., Layouter Pratama Dharma S., Alfian Dzaki A. Fatom Ahmad, Nadia Ayu S. Fotografer Sekretaris HIMA, Fakultas Ilmu Budaya Alamat Redaksi Jalan Nusantara 1, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 hima@ugm.ac.id email


Daftar Isi

artefak

media komunikasi arkeologi

Arsitektur Indis: Dinamika Hubungan antara Daerah Koloni dengan Metropole 1 pada Awal Abad 20 oleh: Adieyatna Fajri, S.S., M.A. Arsitektur Indisch Empire Stilj: Kemegahan yang Kini Sirna oleh: Lengkong Sanggar Ginaris, S.S.

5

Mempertahankan Bangunan Tua dengan Cara Modern 7 oleh: Tri Antika Pelestarian Bangunan Rumah Sakit Panti Rapih : Rumah Penyembuhan Bergaya Indis di Yogyakarta oleh: Elyada Wigati Paramesti, S.S

9

11Kajian Arsitektur Indis di Indonesia oleh: Jujun Kurniawan, S.S., M.A.

Tjong A Fie Mansion: Sekilas Mengenai Masuknya Orang Cina ke Indonesia oleh: Jenifer Papas

14

Kawa Daun: Cara Masyarakat Minangkabau Menikmati Kopi Masa Kolonial Belanda 15 oleh: D.K. Sandy

17

Menelisik Keramik Masa Indis: Masihkah Tetap Prestise? oleh: Sandy Maulana Makam dan Kemewahan 19 oleh: Salma Fitri Kusumastuti, S. Ark Sekilas tentang Keraton Matan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat oleh: Nurkhasanah Eka Riyani

21

Co-Working Space: Alternatif Baru Melestarikan Cagar Budaya 25 oleh: Wastu Hari Prasetya

Halaman Sampul: Lukisan Reruntuhan Candi karya Raden Saleh sumber: Smithsonian Art American Museum

artefak November 2019 II


Arsitektur Indis

ARSITEKTUR Dinamika Hubungan antara Daerah Koloni dan Metropole pada Awal Abad 20 INDIS ADIEYATNA FAJRI Dalam sebuah catatan perjalanannya ke Hindia-Belanda, seorang arsitek terkenal berkebangsaan Belanda, Hendrik Petrus Berlage (1854-1934) menegaskan kembali tentang visinya terhadap arsitektur masa depan di daerah koloni dan kebutuhan terhadap satu gaya arsitektur yang khas. Gaya arsitektur yang kemudian disebut sebagai "Indis" ini mewarnai perdebatan para arsitek di Hindia-Belanda pada kurun waktu awal abad 20. Perdebatan tersebut tidak berlangsung dalam ruang sejarah yang vakum. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Ann Laura Stoler bahwa daerah koloni bersifat sangat dinamis dimana hubungan antara etnik, maupun relasi antara daerah jajahan dan metropole secara konstan direkonfigurasi. Artikel ini akan membahas Arsitektur Indis sebagai perwujudan dialektika antara daerah koloni dan metropole dalam bingkai politik etis kalangan humanitarian. Pada kisaran tahun 1900-an, disiplin ilmu arsitektur di Hindia-Belanda mengalami sebuah periode professionalisasi dan independensi dari metropole. Selain didorong oleh kebijakan Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial, independensi ilmu arsitektur juga dipengaruhi oleh diberlakukannya undangundang Desentralisasi (1903) yang mempercepat proses urbanisasi di wilayah kota-kota besar di HindiaBelanda. Berdasarkan pada keadaan sosial dan politik tersebut, artikel ini berusaha memberi artikulasi pada peranan Politik Etis terhadap munculnya Arsitektur Indis di Indonesia.

Politik Etis dan Perkembangan Arsitektur Politik Etis yang diterapkan pemerintah kolonial dapat dilacak jejaknya pada sebuah figur yang mengkritisi kebijakan politik pemerintah saat itu. Adalah seorang jurnalis bernama Pieter Brosshoft yang sejak tahun 1884 secara aktif telah menentang kebijakan pemerintah kolonial yang eksploitatif melalui artikel-artikel yang diterbitkan di koran De Locomotief. Tidak lama kemudian, kritikannya terhadap pemerintah mendapat dukungan dari C. Th. van Deventer, seorang ahli hukum dan anggota parlemen di Belanda, melalui artikel yang berjudul Een eereschuld (diterbitkan tahun 1899).5 Dalam artikel tersebut, van Deventer mengungkapkan keresahannya pada situasi daerah koloni yang memprihatinkan dan menuntut pemerintah di Hindia-Belanda menerapkan kebijakan berdasar asas keadilan. Kritikan-kritikan tersebut mendapat sambutan dari Ratu Belanda saat itu, Queen Wilhelmina, yang dalam pembukaan sidang parlemen Belanda pada tahun 1903 menyerukan 1

artefak November 2019

pesan moral kepada pemerintah Hindia-Belanda terkait dengan kebijakan politik terhadap masyarakat pribumi. Pidato tersebut menandai dimulainya sebuah era baru dalam sejarah pendudukan Belanda di Indonesia yakni diberlakukannya Politik Etis. Yang dimaksud sebagai Politik Etis sesungguhnya adalah usaha pemerintah kolonial untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pribumi melalui bidang pendidikan, pembangunan perpustakaan, kredit usaha pertanian, proyek irigasi pertanian, dan penyediaan pemukiman yang layak bagi pribumi yang bekerja pada lahan perkebunan pemerintah. Pemberlakuan Politik Etis bersamaan dengan dikeluarkannya undang-undang Desentralisasi (1903) yang membagi wilayah di daerah koloni dalam beberapa kota otonom (gementee). Pada awalnya hanya ada tiga kota yang memiliki kantor pemerintahan yaitu Batavia, Semarang, dan Surabaya.


Adieyatna Fajri Pada tahun 1942 jumlah tersebut meningkat menjadi 18 kota di Pulau Jawa dan 12 kota di Luar Jawa. Pembagian wilayah koloni ke dalam beberapa kota ditambah dengan pertumbuhan demografis yang sangat cepat berdampak secara langsung pada proses urbanisasi yang menuntut dibangunnya fasilitas-fasilitas yang mendukung aktivitas perkotaan, baik itu fasilitas pemukiman maupun perkantoran. Kondisi tersebut secara signifikan merubah wajah daerah HindiaBelanda menjadi daerah koloni "European Neighbourhood" yang menjamin kehidupan masyarakat Eropa di negara jajahan melalui fasilitas sekolah, rumah sakit, pusat perbelanjaan, sarana transportasi, dsb. Seiring meningkatnya kebutuhan terhadap gedung-gedung fasilitas penunjang, disiplin ilmu arsitektur juga turut mengalami perkembangan. Arsitektur tidak lagi dipandang sebagai ilmu tentang teknis pembangunan semata, tetapi lebih mengarah pada desain dan estetika. Akan tetapi hal tersebut justru mendorong terjadinya paradoks di daerah koloni. Paradoks pertama, di tengah meningkatnya jumlah gedunggedung baru yang dibangun oleh pemerintah Hindia-Belanda, para arsitek menyadari keringnya nilai dalam karya-karya tersebut. Kondisi tersebut diakui oleh beberapa arsitek saat itu yang mengungkapkan betapa rendahnya mutu bangunan-bangunan di daerah koloni. Salah satunya adalah J.E. de Meijer, Direktur Departemen Pekerjaan Umum, yang memberikan komentar terhadap arsitektur di Hindia-Belanda pada tahun 1906 sebagai berikut: There is little of importance to be mentioned about the buildings (...) since weight was merely attached to efficiency and they don't undertake endeavours to beauty, which would, due to the demands of the climate, [and] the nature of the materials (...) lead to disproportionate high costs. Paradoks kedua, pembangunan gedunggedung baru tersebut juga menghadirkan kesenjangan yang semakin dalam antara masyarakat Eropa dan pribumi. Taraf kehidupan masyarakat Eropa yang semakin meningkat berseberangan dengan kenyataan yang harus

dialami masyarakat pribumi yang menghuni kampung-kampung kumuh di pinggiran kota. Hal tersebut tentu sangat bertentangan dengan spirit yang dimiliki oleh Politik Etis.

ideologi Arsitektur Indis Adanya tantangan untuk menciptakan suatu gaya arsitektur baru yang lebih bernilai dan meningkatnya kesadaran untuk lebih mengapresiasi masyarakat pribumi melahirkan generasi arsitek humanis yang mengedepankan prinsip asosiasi dan sintesis budaya. Beberapa tokoh ternama yang meskipun sangat berbeda dalam tataran praksisnya, tetapi turut membentuk ideologi arsitektur kolonial pada awal abad 20 antara lain: Wolff Schoemaker, Henri Maclaine Pont, dan Thomas Karsten. Gaya arsitektur yang belakangan disebut sebagai Arsitektur Indis tersebut berpengaruh tidak hanya pada ranah desain bangunan saja melainkan juga menyentuh aspek-aspek penataan kota. Apresiasi terhadap unsur lokal dalam desain bangunan di daerah HindiaBelanda sebelum diberlakukannya Politik Etis terbilang sangat minim. Tendensi tersebut terlihat dalam beberapa karya publikasi yang diterbitkan di Indies Architecture Journal (Indisch Bouwkundig Tijdschrift) yang mengungkapkan rendahnya kualitas arsitektur lokal di Hindia-Belanda saat itu. Dalam beberapa desain bangunan, unsur-unsur lokal hanya berperan secara superfisial pada aspekaspek dekoratif. Hal tersebut nampak misalnya pada desain ambang pintu brangkas pada gedung NHM. Melangkah lebih jauh dari sekedar pengaplikasian unsur-unsur dekoratif, Henri Maclaine Pont mengusulkan diterapkannya unsur-unsur lokal dalam hal teknik konstruksi bangunan. Meskipun argumennya mendapat sanggahan dari Wolff Schoemaker yang lebih mengedepankan teknik arsitektur di dunia Barat,

artefak November 2019 2


Arsitektur Indis , kepedulian Pont terhadap arsitektur lokal ditransformasikan dalam desain bangunan yang terinspirasi struktur yang dimiliki bangunan pendopo. Ia bahkan memuji konstruksi yang dimiliki pendopo sebagai berikut: "Contrary to European constructions, in the pendopo the climax of spatial effect is fully accomplished. (‌) I deem this an extraordinary example of complete unity of form and content, of expression and function". Argumentasi yang dibangun oleh Pont tersebut mendapat dukungan dari koleganya semasa kuliah di TU Delft, Thomas Karsten. Bagi Karsten, solusi yang ditawarkan oleh ilmu arsitektur di dunia Barat tidak dapat diaplikasikan sepenuhnya di Hindia-Belanda, terutama pada desain tata ruang sebuah kota. Oleh karenanya, Karsten juga menyerukan pentingnya untuk melihat unsur lokal, baik itu budaya maupun karakteristik sosial masyarakat di daerah koloni dalam mendesain sebuah karya arsitektur. Meskipun pada akhirnya ketiga arsitek tersebut tidak berhasil merumuskan satu gaya arsitektur di daerah koloni secara defintif, karyakarya yang mereka tinggalkan secara tegas merepresentasikan sebuah aliran gaya arsitektur yang mewakili sebuah era munculnya simpati terhadap unsur-unsur lokal yang sejalan dengan semangat yang dibawa Politik Etis. Apresiasi tersebut tidak terbatas pada unsur dekoratif maupun adaptasi terhadap iklim lokal, namun juga aspek konstruksi dan nilai bangunan. Salah satu contohnya adalah Gereja Katolik Pohsarang yang didesain secara eklektik oleh Pont pada tahun 1937 (gambar 2.). Arsitektur Indis pada gilirannya juga membentuk sikap dan praktek pemerintah kolonial karena kehadirannya mencerminkan eksistensi masyarakat peng-koloni (colonizer) dan masyarakat yang dikoloni (colonized) yang hidup secara berdampingan.

3

artefak November 2019

(gambar 1. Hiasan kala pada ambang pintu brangkas NHM. Sumber: Weststeijn, "De Indische wortels van het Nederlandse modernisme", 6)


Adieyatna Fajri

Kesimpulan Buildings are embodiment of culture, demikian ungkapan yang dikemukakan oleh Chris Gosden dan Chantal Knowles. Dalam artikel ini telah dijelaskan bahwa kehadiran Arsitektur Indis tidak mengisi ruang hampa dalam sejarah Indonesia. Arsitektur Indis tumbuh dan berkembang seiring dengan dinamika hubungan antara daerah koloni dan metropole yang terus menerus dievaluasi. Arsitektur Indis dapat dipandang sebagai dampak sekaligus referensi praktek Politik Etis pemerintah kolonial. Tanpa adanya kebijakan Politik Etis, simpati terhadap masyarakat pribumi maupun unsur-unsur lokal mustahil untuk muncul yang selanjutnya akan menghalangi berkembangnya independensi arsitek dalam menciptakan gaya arsitektur yang lebih humanis. Di sisi lain, kehadiran Arsitektur Indis secara tidak langsung juga merupakan wujud pengakuan eksistensi masyarakat pribumi dalam struktur masyarakat kolonial.

(gambar 2. Gereja Pohsarang. Sumber: SV-Messie, 1937

artefak November 2019 4


Indisch Empire Stilj

Arsitektur Indisch Empire Stijl ; Kemegahan yang Kini Sirna Di seberang halaman yang hijau- luas, dengan barisan pot yang berjajar rapi dan pohon-pohon besar, terlihat sebuah rumah yang terlihat megah dengan barisan kolom-kolom klasik berjejer rapi di bagian depan. Terlihat pula tiga buah pintu depan yang menjulang bagai raksasa karena saking besarnya. Di bagian dalam, terdapat kamar-kamar tidur milik keluarga pemilik rumah yang dipisahkan oleh sebuah lorong. Di dalam ruangan kamar, terlihat jendela krepyak yang menjulang tinggi dengan kisi-kisinya yang membuat udara lebih mudah keluar masuk ke dalam ruangan. Bergerak ke bagian belakang, terdapat sebuah serambi yang ternyata tidak kalah besarnya dari serambi depan. Di sampingnya, terlihat sebuah bangunan tambahan yang dihubungkan dengan bangunan utama oleh sebuah doorlop atau selasar. Di bangunan tambahan ini, terdapat ruang-ruang seperti dapur, kamar mandi, gudang, kandang kuda, dan kamar pembantu. Begitulah kira-kira gambaran mengenai rumah bergaya arsitketur Indisch Empire Stijl, sebuah gaya arsitektur yang banyak dilihat pada rumah-rumah dari masa kolonial. Menurut Handinoto, gaya arsitektur ini aslinya berasal dari Perancis, dan diperkenalkan pertama kali oleh Napoleon Bonaparte. Gaya arsitektur ini berusaha menonjolkan keangkuhan dan kekuasaan kekaisaran Perancis yang diperintah oleh Napoleon. Kemudian gaya arsitektur ini dibawa ke Nusantara oleh bawahan Napoleon yang sangat mengaguminya, Gubernur Jenderal H. W. Daendels. Selain karya jalur Anyer –Panarukan-nya, Daendels juga membawa gaya arsitektur Empire Style dan dengan sedikit penyesuaian pada iklim dan budaya setempat, jadilah arsitektur Indisch Empire Stijl.

Bagaimanakah kira-kira kehidupan di dalam sebuah rumah bergaya Indisch Empire Stijl ? Untuk mengetahuinya, putarlah jarum jam kembali ke tahun 1880an, dimana pada masa itu sedang marak rumahrumah bergaya Indisch Empire Stijl yang biasanya dirancang oleh dinas dari zeni militer yang ilmu arsitekturnya masih minim. Orang-orang yang memiliki sebuah rumah Indisch Empire Stijl pastinya adalah orang-orang yang terpandang dan memiliki kekayaan dalam jumlah lumayan besar karena untuk membangun sebuah rumah Indisch Empire Stijl memakan banyak biaya. Mereka terdiri dari para pejabat pemerintah kolonial seperti residen atau asisten residen, jenderal militer, pemilik perkebunan, kepala pabrik gula, juragan-juragan Tionghoa, hingga kalangan arsitokrat Jawa. Di bagian beranda depan atau voorgalerij, biasanya dipakai oleh si tuan rumah untuk menerima tamu dan biasanya mereka menghabiskan waktu nya di sini sambil memandang halaman depan yang luas dan hijau oleh tumbuhan dan rumput-rumputan yang dirawat oleh tukang kebun yang dibayar murah.

5

artefak November 2019


Lengkong Sanggar G.

Kadang di sini terdapat sebuah air mancur. Kadang serambi depan ini ditambahkan dengan kerai untuk mengurangi silaunya sinar matahari yang masuk ke dalam. Terlihat perabotan seperti sebuah meja bundar yang dikelilingi oleh empat buah kursi serta beberapa pot-pot tanaman berisi paku suplir atau jambangan berisi bunga kana yang selalu mekar sepanjang tahun. Pemilik rumah tidur di kamar yang mengapit sebuah selasar. Di bagian belakang terdapat beranda belakang atau achtergalerij. Bagian ini merupakan bagian privat yang hanya boleh dimasuki anggota keluarga atau kerabat dekat. Di sinilah tuan rumah makan bersama keluarga atau bersama tamu yang dijamunya. Di atas meja makan terlihat sajian rijstafel yang disiapkan oleh pembantu di dapur yang berada di samping rumah. Ruangan seperti dapur, gudang, kamar mandi, kandang kuda, dan kamar pembantu sengaja dipisah dengan bangunan utama karena menurut mereka daerah ini kotor, lembab, dan bau sehingga harus dijauhkan dari aktivitas kehidupan santai yang berlangsung di bangunan utama.

artefak November 2019 6


Bangunan Tua

Mempertahankan Bangunan Tua dengan Cara Modern -Tri AntikaPenggusuran situs cagar budaya seringkali membuat resah para arkeolog dan para pengamat budaya. Pasalnya situs-situs yang ditetapkan sebagai cagar budaya dianggap memiliki nilai sejarah yang penting sehingga tidak bisa dihancurkan begitu saja. Di antara berbagai jenis cagar budaya, salah satu yang paling riskan mengalami penggusuran adalah bangunan-bangunan kolonial. Selain karena lokasinya yang berada di jantung kota, letaknya yang biasanya terhimpit bangunan-bangunan modern membuat bangunan-bangunan tua peninggalan Bangsa Eropa ini harus siap termakan kepentingan lain apabila terjadi perluasan bangunan di sekelilingnya. Dari hari ke hari situs cagar budaya harus terus bersaing dengan kebutuhan-kebutuhan manusia itu sendiri. Sebuah tantangan untuk menyelamatkan warisan leluhur ditengah hiruk pikuk soal menyoal keuntungan. Perihal pertambahan penduduk dan kesejajarannya dengan kebutuhan lahan yang semakin tinggi adalah masalah utama yang menjadikan bangunan-bangunan kolonial sebagai sasaran perluasan lahan. Selain itu bangunan-bangunan kolonial juga diingini oleh para pemilik saham untuk dimanfaatkan sebagai wilayah usahanya karena letaknya yang strategis. Biasanya front paling terdepan untuk membela dan menyelamatkan bangunan-bangunan tersebut adalah para arkeolog. Tentunya para arkeolog akan terus menentang penggusuran tersebut dengan berbagai negosiasi dan argumen. Menyebutkan alasan bahwa bangunan-bangunan kolonial tersebut adalah warisan budaya nenek moyang yang menyimpan sejarah pahit-manis perjalanan dan identitas bangsa yang harus dihargai, menjadi tameng utama dalam bernegosiasi. Serta pasal-pasal dalam Undang-Undang yang menyebutkan bahwa pelestarian cagar budaya harus dilakukan, menjadi senjata untuk membuat para pemodal mangkir. Tapi siapa sangka kalau saat ini mereka sudah jauh lebih pintar, dengan mempertanyakan guna dan manfaat konkret dari dipertahankannya bangunan-bangunan tersebut. Para arkeolog seringkali menjelaskan makna pentingnya bangunan-bangunan kolonial dengan nilai-nilai sejarah yang terkandung secara filosofis dalam bangunan tersebut yang mungkin tidak sepenuhnya mereka pahami. Maka ditengah berbagai macam kepentingan dan urgensi akan timbul pertanyaan 'perlukah bangunan kolonial dipertahankan?'. Mereka bisa saja akan mengatakan, bahwa pelestarian bangunan kolonial tidak perlu dilakukan karena pencatatan dan pemotretan suatu bangunan cagar budaya sebelum dihancurkan sudah cukup untuk menyimpan suatu sejarah. Tentu argumen ini akan membuat mati kutu. Apalagi bila masyarakat berpihak pada kepentingan lain karena ketidakpahamannya dan kegagalan arkeolog dalam menjelaskan pentingnya bangunan-bangunan kolonial. Untuk itu diharapkan arkeolog dapat berargumen lebih dari sekadar berfilosofi dan menyebutkan pasal dalam undang-undang. Apabila para arkeolog masih merasa perlu untuk melestarikan bangunan kolonial maka para arkeolog harus menghadirkan hal konkret yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam kehidupan seharihari. Para arkeolog harus meninggalkan pemikiran kuno yang selalu berkeras hati ingin melestarikan bangunan kolonial hanya karena esensinya. Arkeolog harus membuang jauh-jauh egoismenya karena yang dihadapi adalah orang-orang yang tidak mengerti makna sesungguhnya dari bangunan-bangunan warisan leluhur tersebut. Untuk itu, arkeolog harus melakukan hal baru untuk membuat masyarakat percaya akan pentingnya pelestarian sekaligus membuatnya bangga atas kehadiran bangunan-bangunan kolonial tersebut. Arkeolog harus tahu kedepannya bangunan-bangunan kolonial tersebut akan menjadi apa dan bermanfaat untuk apa sehingga sejalan dengan kebutuhan manusia yang semakin mendesak.

Selama ini bangunan-bangunan kolonial yang selalu diargumentasikan sebagai hal yang penting dan memiliki nilai sejarah nyatanya hanya menjadi bangunan-bangunan lusuh di jantung kota. 7

artefak November 2019


Tri Antika Bangunan tua yang ditinggal begitu saja, pintu-pintunya tertutup dan terkunci sehingga tidak ada akses yang mudah untuk memasuki bangunan tersebut meski hanya sekadar melakukan analisis arsitektur dan ornamen bangunannya. Memang beberapa bangunan kolonial yang besar dan masih utuh sudah dirawat oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) atau Balai Penelitian Arkeologi (BALAR). Bangunan-bangunan lain seperti rumah-rumah indis, benteng, pabrik gula atau pabrik-pabrik lain peninggalan masa kolonial hanya menjadi pemandangan di pinggir jalan. Tak jarang bangunan-bangunan ini menjadi sasaran vandalisme. Bangunan kolonial yang diharapkan dapat memperbaiki moral bangsa ternyata hanya dijadikan objek selfie dan seringkali berbau pesing karena menjadi tempat banyak orang yang buang air kecil sembarangan. Sungguh ironis apabila arkeolog memaksa bangunan-bangunan kolonial itu tetap dipertahankan tetapi tidak tahu akan digunakan untuk apa. Tentu akan terlihat menyedihkan bila melakukan suatu hal yang tak kita tahu manfaatnya. Bangunan kolonial biasanya terletak di satu kawasan dengan bangunan-bangunan yang berjejer membentuk satu kompleks. Dalam satu kompleks tersebut biasanya hanya satu atau dua bangunan saja yang sudah dirawat dan dilestarikan, sementara bangunan-bangunan kolonial lain dibiarkan begitu saja. Seringkali kita lengah dengan hanya memberikan perhatian pada bangunan-bangunan yang besar dan utuh dan justru melupakan bangunan-bangunan kolonial lain yang ada di sekitarnya yang merupakan bagian penyusun dari kawasan tersebut. Kita lupa bahwa satu kawasan dapat disebut kota tua karena adanya bangunan-bangunan kolonial lain yang saling menyertai. Apabila hanya satu atau dua bangunan kolonial yang dilestarikan sementara yang lain digusur maka kita akan mendapat banyak kerugian. Untuk itu pelestarian secara menyeluruh di kawasan kota tua atau kompleks bangunan kolonial perlu dilakukan. Kita selalu berpatokan bahwa pelestarian suatu bangunan kolonial harus diarahkan ke sektor wisata, namun ternyata ada banyak cara lain untuk melestarikan bangunan-bangunan kolonial. Salah satu opsi untuk melestarikan bangunan-bangunan kolonial adalah dengan menghidupkan kembali kompleks yang mati tersebut. Dengan kreativitas anak-anak muda, bangunan-bangunan tua tersebut masih bisa dimanfaatkan ditengah kehidupan sosial masyarakat yang modern. Bangunan-bangunan kolonial tersbut dapat disulap menjadi bengkel kesenian atau tempat perniagaan tanpa mengubah bentuk atau merusak bangunan cagar budaya tersebut. Bukan tidak mungkin apabila bangunan-bangunan tersebut dimanfaatkan kembali sebagai kafe, galeri seni, tempat pementasan, sanggar kesenian atau kegiatan perekonomian lainnya. Sehingga dalam satu kawasan kota tua atau kompleks bangunan kolonial seluruhnya menjadi hidup dan bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Contohnya Kota Tua Semarang, memang beberapa bangunan kolonial sudah dimanfaatkan sebagai bank, museum atau tempat pameran. Tapi alangkah lebih baiknya lagi apabila semua bangunan tua yang terbengkalai dimanfaatkan kembali, daripada hanya menjadi sasaran vandalisme. Contoh lainnya adalah kompleks bangunan kolonial di sekitar BAT (British American Tobacco) Cirebon. Kompleks bangunan kolonial di daerah ini seluruhnya mati, belum ada yang memanfaatkan dan hanya dijadikan sebagai objek foto. Kawasan ini menjadi sepi, maka perlu adanya pemanfaatan kembali bangunan-bangunan kolonial yang berkaitan dengan sektor kehidupan daerahnya masing-masing. Hal tersebut juga merupakan salah satu cara untuk menarik orang-orang datang, berinteraksi dengan bangunan-bangunan kolonial. Apabila masyarakat sudah akrab dengan bangunan-bangunan tersebut, maka dengan sendirinya akan tumbuh ikatan batin terhadap bangunan cagar budaya disekelilingnya, akan muncul perasaan memiliki terhadap warisan budaya dan timbul kesadaran untuk menjaga dan melestarikan bangunanbangunan kolonial. Maka ketika terjadi benturan kepentingan dengan pihak lain, arkeolog akan mendapat dukungan dari masyarakat untuk mempertahankan bangunan kolonial tersebut. Dapat dibayangkan apabila ada banyak orang yang peduli dan memiliki ide cemerlang untuk memanfaatkan kembali bangunan kolonial, maka seluruh kompleks kolonial tersebut akan hidup, sehingga mereka dapat menjalankan roda perekonomian dan kehidupannya, dan secara tidak sadar mereka telah membantu pelestarian bangunan cagar budaya, pun dapat menarik kunjungan wisatawan asing.

artefak November 2019 8


Pelestarian Bangunan

Pelestarian Bangunan Rumah Sakit Panti Rapih, Rumah Penyembuhan Bergaya Indis di Yogyakarta Oleh: Elyada Wigati Pramaresti Kebudayaan Indis merupakan sebutan untuk berbagai kebudayaan campuran antara Eropa/Belanda dengan Indonesia. Percampuran budaya tersebut memberi pengaruh besar pada gaya hidup masyarakat Hindia Belanda. Kehidupan masyarakat lokal dipengaruhi oleh budaya Indis umumnya melalui jalur formal, misalnya melalui pendidikan dan pekerjaan. Selain gaya hidup, arsitektur bangunan pun tidak luput dari pengaruh budaya Indis. Hingga masa kini, kita masih bisa menemukan bangunan-bangunan dengan gaya Indis, terutama di Yogyakarta. Salah satu bangunan bergaya Indis di Yogyakarta adalah Rumah Sakit Panti Rapih. Bangunan unik semacam itu tentu harus dilestarikan karena merupakan bukti fisik bercampurnya kebudayaan lokal dengan Belanda sekaligus identitas budaya yang pernah ada di Yogyakarta. Topik yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah fokus pelestarian bangunan Rumah Sakit Panti Rapih sebagai cagar budaya yang menyimpan sejarah panjang.

Sejarah RS Panti Rapih

seorang uskup dari Semarang memberi nama Rumah Sakit

Rumah Sakit Panti Rapih didirikan oleh yayasan

Panti Rapih yang artinya "rumah penyembuhan�

bernama "Onder de Bogen Stichting" yang

Pelestarian Rumah Sakit Panti Rapih

didukung oleh pengurus Gereja Yogyakarta.

Pelestarian adalah upaya dinamis untuk

Pencetusan pendirian rumah sakit dilatar

mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya

belakangi oleh keinginan misionaris Belanda yang

dengan cara melindungi, mengembangkan, dan

ingin berkarya bagi masyarakat pribumi dalam

memanfaatkan (UU no 11 tahun 2010). Perlu diingat

bidang kesehatan. Pembangunan fisik rumah sakit

bahwa cagar budaya memiliki lima nilai penting yaitu

dimulai dengan peletakkan batu pertama pada

sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan

tanggal 14 September 1928 oleh Ny. C.T.M.

kebudayaan. Dalam melestarikan cagar budaya, kita harus

Schmutzer van Rijckevorsel. Bangunan tersebut

mengusahakan agar kelima nilai penting tersebut tetap

selesai dibangun pada pertengahan Agustus 1929

bertahan dan meminimalisasi kemungkinan terjadinya

dan resmi dibuka oleh Sri Sultan Hamengku

pengurangan nilai penting. Piagam Burra sendiri

Buwono VIII pada bulan September 1929 dengan

menyebutkan bahwa pelestarian dimaksudkan untuk

nama "Onder de Bogen"

mempertahankan makna kultural dari suatu cagar budaya.

Pada masa kolonial Jepang, rumah sakit

Pada pelestarian bangunan Rumah Sakit Panti

Onder de Bogen diambil alih menjadi rumah sakit

Rapih, terdapat tiga aspek arstektur yang harus

pemerintah Jepang. Di masa ini pula Jepang tidak

diperhatikan. Pertama adalah aspek fungsi, yaitu untuk

menghendaki penggunaan segala sesuatu yang

apa bangunan tersebut dimanfaatkan di masa lalu,

berbahasa Belanda di Indonesia. Karena kebijakan

kegiatan apa saja yang pernah dilakukan pada masa lalu,

itu, nama rumah sakit diganti dengan nama

dan kegiatan apa yang dilakukan di masa kini. Bangunan

pribumi. Maka Mgr. Alb. Soegijopranoto, SJ,

lama Rumah Sakit Panti Rapih yang fungsinya masih tetap

9

artefak November 2019


Elyada Wigati P. sama dengan fungsi lamanya adalah bangunan

Kesimpulan

administrasi di bagian depan dan bangunan perawatan di

Pada dasarnya, nilai penting adalah dasar

bagian belakang. Menurut saya alangkah lebih baik

dari kelayakan suatu objek (benda, bangunan,

apabila kedua bangunan tersebut tidak diubah baik

struktur, dan yang lain) untuk dilestarikan. Bangunan

secara fisik maupun fungsi agar wujud bangunan lama

Rumah Sakit Panti Rapih memiliki keunikan

serta fungsi aslinya masih bisa terlihat hingga saat ini.

tersendiri dari segi arsitektur yaitu perpaduan gaya

Kedua adalah aspek bentuk. Rumah Sakit Panti

Belanda berupa busur dinding lengkung yang

Rapih memiliki dua jenis selasar (Suryono, 2013). Selasar

terinspirasi dari rumah induk biara suster di

muka bangunan disangga oleh dinding bangunan dan

Maastritch, Belanda dengan gaya pribumi, yang

deretan kolom. Yang lain adalah selasar lepas bangunan

terlihat pada atap rumah sakit. Selain itu, Rumah

yang disangga oleh struktur busur dinding pasangan bata.

Sakit Panti Rapih juga memiliki sejarah

Aslinya kedua selasar itu difinish dengan batu tempel.

pembangunan yang didasari oleh keinginan

Sayangnya, sekarang hampir semua finishingnya sudah

misionaris Belanda untuk berkarya bagi rakyat

diganti dengan acian dan dicat halus seperti pada rumah

pribumi yang pada masa Kolonial dianggap sebagai

sakit modern lainnya. Langkah pelestarian yang dapat

masyarakat kelas terendah.

ditempuh saat ini adalah dengan mempertahankan bentuk dasar kedua selasar tersebut. Ketiga adalah makna kultural. Dari nilai sejarah

Referensi: Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.

yang ada, kita dapat menangkap bahwa pendirian Rumah

Jakarta: PT.Rineka Cipta

Sakit Panti Rapih awalnya diperuntukkan untuk menolong

Schiffer, Michael B dan George J. Gummerman. 1997.

masyarakat pribumi. Karena pada masa kolonial Jepang

Conservation Archaeology, a Guide for Cultural Resources

tidak diperbolehkan menggunakan nama Belanda,

Management Studies. New York: Academic Press

akhirnya nama rumah sakit diganti menjadi Rumah Sakit

Suryono, Alwin. 2013. Fokus Pelestarian dan Makna

Panti Rapih. Nilai sosial yang didapat adalah fungsi rumah

Kultural Pelestarian Arsitektur Bangunan Arsitektur Indis di

sakit yang bereputasi baik (Suryono, 2013). Sedangkan

Kota Bandung dan Yogyakarta. Fakultas Teknik, Universitas

dari nilai arsitektur dapat terlihat dari bangunan beratap

Katolik Parahyangan, Bandung

Jawa yang disangga oleh busur dinding pendukung.

Tjandrasasmita, Uka. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III.

Bangunan ini hanyalah satu-satunya yang tersisa di

Jakarta: PN Balai Pustaka

Indonesia. Bentuk lengkungan terinspirasi dari rumah

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar

induk biara suster-suster di Maastritch, Belanda yang

Budaya

sangat unik apabila dipadukan dengan atap bergaya Jawa.

Wahyuhono, Bambang Prasetya. 1997. "BangunanBangunan Indis di Yogyakarta: Tinjauan Kelestarian dan Pelestarian" dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi VIII-Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda D.I Yogyakarta-Jawa Tengah

artefak November 2019 10


Kajian Arsitektur Indis Seluruh unsur budaya tersebut menampilkan

Kajian Arsitektur Indis di Indonesia Jujun Kurniawan jujun.fib@ugm.ac.id

bentuk materinya (tangible) yang merepresentasikan suatu pencampuran budaya yang terwujud dalam kebudayaan indis. Budaya materi inilah yang

menjadi perspektif keilmuan

arkeologi. Dalam pada itu, karena gagasan dan perilaku manusia (terutama pada masa lalu) sering kali tidak dapat diamati secara konkret, maka objek studi arkeologi yang

Kebudayaan Indonesia yang terbentuk saat ini utama adalah wujud kebudayaan yang berupa kebudayaan merupakan hasil pengaruh dari bangsa-bangsa lain di dunia materi yang merupakan hasil karya manusia masa lalu. Salah yang melakukan kontak pada sepanjang sejarah Nusantara. Hal satu wujud atau ekspresi tiga dimensi dari kebudayaan ini antara lain disebabkan oleh faktor kondisi geografis unik manusia adalah arsitektur. kepulauan Nusantara yang terletak tepat di persimpangan jalur

Kehadiran bentuk arsitektur ini tidak muncul transportasi perdagangan dunia pada saat itu. Banyak bangsa- semata-mata secara inspirasi saja, sehingga tidak dapat bangsa lain yang datang ke Nusantara seperti India, Cina, Arab, disama-artikan dengan lukisan atau karya seni semata. Portugis, dan Belanda, yang memberikan pengaruh kepada Arsitektur memiliki unsur tampilan karya, cara membangun, budaya lokal. Kedatangan mereka tidak hanya menghasilkan dan konsep yang melatarbelakanginya, hal ini identik dengan pertukaran komoditas, melainkan juga ide, teknologi, gaya kebudayaan yang berwujud material, perilaku, dan konsep hidup, bahkan religi.

ide. Oleh karena itu kebudayaan indis ini terwujud juga dalam Telah dipahami bersama bahwa kebudayaan bentuk arsitektur yang kemudian dijuluki sebagai arsitektur bersifat dinamis yang memiliki kecenderungan mengikuti indis. Bahkan pembahasan arsitektur indis ini memiliki porsi perubahan yang terjadi di lingkungannya. Faktor kontak budaya yang cukup signifikan dalam disertasi Djoko Soekiman. dengan bangsa-bangsa lain yang kebudayaannya berbeda,

Arsitektur indis ini merupakan asimilasi unsurmenjadi salah satu pengaruh pada perubahan kebudayaan. Dari unsur budaya barat (terutama Belanda) dengan budaya kedatangan bangsa-bangsa lain ke Nusantara, Belanda dan Indonesia (khususnya Jawa). Arsitektur yang menampilkan Portugis memberikan pengaruh mendalam pada kebudayaan unsur-unsur budaya Eropa dengan penyesuaian kondisi tropis pribumi. Pengaruh budaya kolonial barat di Nusantara ini dan lingkungan budaya yang ditampilkan dalam bentuk menghasilkan suatu kebudayaan campuran yang disebut komposisi ruang, konstruksi, pemilihan bahan, dan tampilan dengan Kebudayaan Indis.

Sebutan Indis ini berasal dari istilah "Nederlandsch Indie" yang berarti "Hindia Belanda" dalam bahasa Indonesia. Istilah itu untuk penyebutan suatu daerah jajahan Pemerintah Belanda pada abad ke17 di wilayah "timur jauh", karena itu sering disebut juga Nederlandsch Oost Indie. Fenomena kebudayaan indis ini kemudian diulas secara rinci oleh sejarawan UGM Djoko Soekiman dalam disertasinya di tahun 1996 yang kemudian dibukukan pertama kali pada tahun 2000. Soekiman membahas pengaruh Eropa (terutama Belanda) terhadap kebudayaan lokal Jawa pada abad ke-18 hingga abad ke-20, mulai dari bahasa, benda-benda kelengkapan hidup, profesi, sistem edukasi, bentuk-bentuk kesenian, ilmu pengetahuan dan gaya hidup, bahkan religi (yang terwujud dalam bentuk enkulturasi Nasrani Katolik dengan unsur budaya Jawa).

11

artefak November 2019

facade. Pada bangunan gedung-gedung perkantoran dan rumah kedinasan pejabat pemerintah Hindia Belanda pada saat itu tidak lagi murni bergaya Eropa dan telah bercampur dengan desain rumah tradisional Nusantara. Sejak saat itulah sudah dikenal istilah Indische Huizen atau Indo Europeesche Bouwkunst untuk bangunan yang bergaya indis tersebut.


Jujun Kurniawan Secara politis arsitektur indis ini kemudian dimaksudkan sebagai pembeda dengan bangunan tradisional yang telah ada sebelumnya. Gaya indis ini kemudian dipahami sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran pihak penguasa pada saat itu. Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan gaya arsitektur ini sebagai standar dalam pembangunan gedung baik milik pemerintah, maupun swasta. Bentuk-bentuk itu kemudian ditiru oleh golongan penduduk berstatus ekonomi tinggi terutama para pengusaha niaga dari etnis tertentu dengan tujuan memperoleh kesan penyamaan status sosial yang sama dengan penguasa dan priyayi. Namun, bentuk konstruksi adaptasi terhadap iklim dan kondisi geografis ini merupakan tahapan awal dari perkembangan arsitektur indis. Penerapan gaya arsitektur klasik Eropa namun tanpa memperhatikan fungsi bangunan ini kemudian dikritik. Dua abad kemudian muncul gerakan peningkatan arsitektur (dan juga tata kota) yang mengusahakan arsitektur indis yang kontemporer yang secara fisik cocok dengan keadaan setempat sekaligus menampilkan keindahan estetis. Perkembangan yang muncul kemudian terfokus pada beberapa aspek seperti penggunaan bahan, metode konstruksi, gaya, dekorasi, dan penerapan motif-motif ornamen lokal. Hasil dari gerakan arsitektur indis yang kontemporer ini adalah percobaan penerapan berbagai bentuk metode konstruksi dan gaya arsitektur mulai dari Art Deco hingga Ekspresionis. Nusantara di awal abad ke-20 menjadi laboratorium arsitektur indis yang menampilkan eksperimental, arsitektur campuran dan sekaligus menerapkan gaya arsitektur internasional pada kala itu namun dengan menambahi sedikit corak khusus di dalamnya. Pengamatan terhadap arsitektur indis ini dapat juga fokus pada deskripsi keindahan bentuk tampilan luarnya semata, tetapi juga hendaknya menyingkap makna, simbol, atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hubungan sosial dan kegiatan yang terjadi di dalam bangunan bergaya indis ini merupakan hubungan pertukaran nilai budaya Jawa dengan Belanda. Pembauran manusia Belanda ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya. Namun seiring perubahan zaman dan terhapusnya kolonialisme, berakhir pula budaya feodal-kolonialisme termasuk kebudayaan indis. Karena faktor historis sosial-politis dalam periode kemerdekaan, bangsa

Indonesia menganggap arsitektur indis sebagai monumen dan simbol budaya priyayi yang tidak bisa lagi dipertahankan dan dibanggakan, oleh karena itu sempat muncul anggapan bahwa kehancuran atau musnahnya arsitektur indis ini tidak perlu diratapi. Kemudian pada tahun 1985 terjadi perubahan sikap yang lebih menghargai bangunan-bangunan landmark peninggalan sejarah setelah peristiwa penghancuran bangunan Societeit de Harmonie di Jakarta karena alasan perluasan jalan. Sejak itu beragam elemen masyarakat dan organisasi telah mendokumentasi, mengkaji, menerbitkan, mendiskusikan, dan menciptakan kesadaran tentang arti penting tinggalan masa kolonial di Indonesia sebagai bagian dari warisan budaya yang harus dilestarikan.

Di dunia akademik pun telaahan mengenai warisan budaya masa kolonial ini setidaknya dapat terlihat dari munculnya kajian arkeologi kolonial yang baru muncul dua dekade belakangan ini. Seiring perkembangan zaman dan teknologi, kajian ini diuntungkan oleh aksesibilitas bahan materi kajian yang tersedia secara melimpah di jaringan internet. Selain pemanfaatan artikel-artikel jurnal ilmiah yang telah dilanggan oleh UGM via lib.ugm.ac.id, saat ini, aksesibilitas kepada sumber utama kajian masa kolonial di Indonesia terutama kebudayaan indis dan khususnya arsitektur indis ditandai dengan diaktifkannya situs colonialarchitecture.nl pada awal tahun 2014 sebagai repository media elektronik berisi berbagai sumber berupa dokumen teks, foto, gambar bergerak, peta, dan arsip. Situs web ini berisi data yang berkaitan dengan arsitektur masa kolonial Eropa di negeri-negeri luas Eropa yang dapat diakses dan diunduh secara gratis. Sumber data primer yang luar biasa ini diinisiasi oleh Delft University of Technology bekerja sama dengan beberapa universitas dan institusi di negeri Belanda.

artefak November 2019 12


Kajian Arsitektur Indis Sementara itu, terdapat situs web delpher.nl yang berisi materi literatur format digital berbahasa Belanda yang di dalamnya tersimpan informasi berkaitan dengan kebudayaan indis. Sistem navigasi menu situs ini menggunakan bahasa Belanda, oleh karena itu untuk pemanfaatannya harus mengetahui kata-kata kunci dalam bahasa Belanda yang berkaitan dengan arsitektur indis. Situs serupa yang memuat beragam multimedia dapat diperoleh di gahetna.nl. Selain itu, data gambar berupa foto-foto yang berkaitan dengan bangunan berarsitektur indis dapat diperoleh di spaarnestadphoto.nl, media-kitlv.library.leiden.edu, dan collectie.tropenmuseum.nl. data mengenai peta-peta masa Hindia Belanda termasuk di dalamnya peta tata kota dan beberapa data berupa denah bangunan disediakan di maps.library.leiden.edu. Alamat situsweb dengan isi serupa dari Indonesia dapat dijumpai di perpusnas.go.id dan/atau sejarahnusantara.anri.go.id yang dikembangkan oleh institusi Arsip Nasional Republik Indonesia. Dibalik kemudahan dan kenyamanan dalam mengakses data-data tersebut, situs web tidaklah bersifat permanen, dengan kata lain sewaktu-waktu alamat-alamat situs tersebut ditutup atau berganti. Dengan demikian kemajuan teknologi informasi saat ini memberikan keuntungan dengan memberikan akses kepada sumber daya kajian yang melimpah. Tentunya hal ini diharapkan dapat memacu peningkatan kajian-kajian mengenai arsitektur indis yang karena kondisi dan posisinya sangat rentan terhadap kehancuran dan kehilangannya sebagai salah satu warisan budaya di Indonesia.

1Pembahasan bukti-bukti kontak perdagangan dan pelayaran global di Nusantara salah satunya pernah dilakukan pada kegiatan Semarak Arkeologi 2010 oleh Balai Arkeologi Bandung dalam bentuk Seminar Nasional: Nusantara Dalam Perdagangan Dunia (22–24 Juni 2010) dan telah diterbitkan dalam proceeding: “Perdagangan, Pertukaran, dan Alat Tukar di Nusantara Dalam Lintasan Masa” (2010). 2Faktor pengubah kebudayaan yang lain adalah perubahan jumlah penduduk, modifikasi lingkungan, penemuan baru, peminjaman kebudayaan, penerimaan masyarakat, dan akulturasi. Lihat Mulyono Joyomartono, Perubahan Kebudayaan dan masyarakat Dalam Pembangunan (1991: 30–42). 3Etimologi istilah Indis ini dapat dilihat pada disertasi Djoko Soekiman, 1996, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII Sampai Medio Abad XX. Sebelum ditegaskan oleh Djoko Soekiman, istilah ini dikenal pula dengan sebutan “indo”. 4Arkeologi sebagai disiplin ilmu berkaitan erat dengan Sejarah dan Antropologi, namun terdapat perbedaan yang mendasar terutama dalam hal penggunaan metode. 5Kemunculan gaya arsitektur indis yang lebih kontemporer ini disinggung dalam beberapa tulisan van Roosmalen. Lihat Pauline van Roosmalen, 2003, “Changing Views on Colonial Heritage” dalam Oers & Haraguchi: World Heritage Papers No. 5 (UNESCO, 2003: 121–128). Sebagian berpendapat bahwa munculnya gaya arsitektur ini sebagai akhir dari gaya indis yang kemudian berubah menjadi bangunan-bangunan baru yang disebut dengan istilah nieuwe bouwen.

13

artefak November 2019


Tjong A Fie Mansion

TJONG A FIE MANSION Sekilas Mengenai Sejarah Masuknya Orang Cina ke Indonesia oleh: Jenifer Papas Kedatangan orang Cina ke Indonesia secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 gelombang. Pertama pada abad ke-12 antara Cina dan Nusantara sudah terjalin hubungan datang. Pedagang Cina datang menjual keramik dan membeli rempah-rempah, emas dan perak di Nusantara. Hubungan tersebut dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah dan arekologi yaitu sekarang adanya pemukiman Cina atau yang dikenal dengan pecinan di Gresik, Banten, Palembang, dan disebagian pesisir timur Sumatera Utara. Kedua, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, mereka membuka banyak lahan perkebunan dan pertambangan sehingga membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah yang sangat banyak, sehingga mereka memanfaatkan tenaga kerja pribumi (kebanyakan orangorang tahanan) dan tenaga kerja yang didatangkan langsung dari Cina daratan dan etnis Cina di Semenanjung Malaya. Pada abad ke-17 terjadi pergantian Dinasti Ming ke Dinasti Machu. Banyak orang Cina lebih memilih mengasingkan diri dari pada menetap dan memihak kepada orang Machu. Salah satu destinasi perpindahan mereka adalah Indonesia. Ketiga, pada abad ke-19 terjadi kekacauan di Cina daratan, salah satunya pecahnya Perang Candu (1839). Hali ini menjadi faktor pendorong migrasi besarbesaran orang Cina daratan ke Indonesia. Pada awalnya banyak yang menetap di Pulau Jawa karena perdagangan yang cukup ramai. Ribuan tenaga kerja Cina didatangkan tiap tahunnya. Kemudian pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20, Belanda membuka lahan-lahan perkebunan di wilayah yang memanjang barat laut ke tenggara di tepian barat selat malaka, dari Langkat ke Asahan.

Perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara berkembang cukup pesat, sehingga dimanfaatkan oleh pengusaha Cina untuk menanam modal namun dilarang oleh orang Eropa. Pengusaha Cina hanya diperbolehkan menetap sebagai petani sayuran atau pemelihara babi. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh seorang pengusaha asal Cina bernama Tjong A Fie. Pada awalnya beliau ke Indonesia mengkuti jejak kakaknya dan mencari pekerjaan. Tjong A Fie karena kepribadiannya yang baik menarik perhatian Sultan Seli, Ma'muen Al rasyid dan pejabat-pejabat Belanda. Hal ini mempermudah jalan beiau untuk membangun usaha, menanam modal yang cukup banyak di perkebunan di Sumatera dan tambang batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Pada tahun 1900 beliau mendirikan sebuah rumah yang dewasa ini dijadikan Tjong A Fie Memorial Institue atau yang lebih dikenal dengan Rumah Tjong A Fie atau Tjong A Fie's Mansion. Rumah ini di desain gaya arsitektur Tionghoa (Cina), Eropa, Melayu, dan art-deco. dengan kata lain bangunan bergaya indis.

Rumah Tjong A Fie Sumber : wisatajiwa.wordpress.com

artefak November 2019 14


Kawa Daun

Kawa Daun : Cara Masyarakat Minangkabau Menikmati Kopi Masa Kolonial Belanda oleh D.K. Sandy Kawa daun merupakan minuman dari Minangkabau dan sekitarnya, terbuat dari daun kopi yang diseduh layaknya minuman teh. Kawa daun atau lebih akrab disebut “Aia Kawa” berasal dari bahasa arab yang dibaca “Qahwah” berarti kekuatan dan daun dari bahasa Indonesia yang berarti bagian dari

15

tumbuhan untuk pembuatan makanan. Biasanya

Gambar 1 : Penyajian Kawa Daun Namun seperti pepatah minang “Alam takambang

para penikmat kawa daun akan meminum aia kawa

jadi guru” yang berarti alam bisa menjadi guru,

ini pada malam hari di “dangau-dangau” atau tempat

masyarakat Minangkabau mencari cara untuk bisa

tongkrongan. Penyajiannya juga unik, kawa daun

menikmati kopi. Terinspirasi dari cara pengelolaan

tidak menggunakan gelas kaca atau plastik melainkan

teh yang diajarkan orang-orang Belanda di

menggunakan batok kelapa dan potongan bambu

perkebunan teh Kerinci, mereka pun akhirnya

sebagi penyangga batok kelapa.

mencoba membuat minuman dari daun kopi.

Sejarah kawa daun tidak terlepas dari peran

Pembuatan minuman ini tidak terlalu sulit, cukup

penanam kopi di daerah Minangkabau dan

mengasapkan daun kopi selama 12 jam. Setelahnya

sekitarnya. Tanaman kopi menjadi komoditas mahal

daun-daun yang telah kering kemudian dimasukkan

di pasar eropa pada rentang abad 19 sampai awal

ke dalam bambu dan diseduh dengan air panas. Kawa

abad 20. Selain itu sebelum penemuan tambang

daun akan terasa nikmat jika ditambah gulo saka

batubara Ombilin di Sawahlunto, kopi telah menjadi

(gula khas Minangkabau). Memang rasa yang

pendapatan utama daerah yang sekarang dikenal

dihasilkan jauh dari rasa kopi sesungguhnya dan

sebagai Provinsi Sumatera Barat.

Belanda yang

bahkan lebih terasa seperti teh. Namun aroma yang

menguasai nusantara menerapkan sistem tanam

dimunculkan dari kawa daunlah yang menjadi

paksa pada tahun 1846 oleh Gubernur Van de Bosch

incaran masyarakat pada masa itu. Dengan

di seluruh wilayah termasuk wilayah Minangkabau.

menghirup aroma kopi dari kawa daun, mereka

Mereka memaksa masyarakat Minangkabau untuk

merasa telah meminum kopi.

menananm kopi di tanah-tanah mereka dan hasil

Pada tahun 1908, sistem tanam paksa dihentikan di

dari tanaman kopi harus dimasukan ke dalam

Minangkabau. Masyarakat pun diperbolehkan untuk

Koffiepakhuis atau gudang kopi. Masyarakat

meminum kopi, namun meski begitu, masyarakat

Minangkabau tidak sempat menikmati kopi lantaran

Minangkabau masih tetap mempertahankan tradisi

semua hasilnya harus dimasukkan ke dalam gudang.

meminum kawa daun sampai sekarang.

artefak November 2019


D.K. Sandy Jika kita mencari peninggalan material mengenai

hubungan sosial antar masyarakat dan

kawa daun, maka akan sangat sulit ditemukan.

menghilangkan sikap individualisme karena Kawa

Material seperti batok kelapa dan alat-alat

Daun akan terasa sangat nikmat jika diminum

pembuatan merupakan material yang mudah hancur.

bersama teman dengan ditemani gorengan hangat.

Salah satu bukti peninggalan kawa daun dapat kita

Di masa sekarang walau kebebasan minum kopi telah

amati dari foto di bawah ini.

dirasakan oleh banyak pihak, kawa daun masih menjadi primadona di kalangan muda Sumatera

Nampak dari foto tersebut ibu-ibu sedang

Barat. Tradisi ini tentu tidak buruk meskipun sejarah

menyiapkan minuman kawa daun. Mereka

munculnya kawa daun ini terbilang kurang baik. Akan

melakukan “Bakalumun asok� yaitu aktivitas

tetapi hal yang harus digarisbawahi ialah selama

mengasapi daun-daun kopi. Istilah Bakalumun asok

suatu budaya masih dipandang baik untuk

muncul karena pembuat kawa daun akan berada di

dipraktekkan di masa yang akan datang, meskipun

kerubungan asap selama berjam-jam. Kegiatan ini

sejarahnya kurang baik, hal itu tidak menjadi soal.

biasa dilakukan ketika ibu-ibu telah selesai

Kawa daun bukanlah lambang kerendahan suatu

mengerjakan kebun mereka. Mereka akan selalu

status sosial masyarakat tetapi merupakan lambang

memantau keadaan api agar tidak membakar daun

kearifan lokal dan kecerdasan budaya masyarakat

kopi.

Minangkabau.

Api yang digunakan untuk mengasapi tidak boleh terlalu besar dan terlalu kecil. Yang paling penting adalah asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan sabuk kelapa. Pengasapan sendiri tidak harus selalu berada di dekat perapian, tujuannya jelas supaya terhindar dari gangguan pernafasan.

Dari terciptanya minuman Kawa Daun, kita dapat mengambil banyak pelajaran. Salah satunya ialah rasa pantang menyerah yang tinggi. Masyarakat penanam kopi Minangkabau tidak menyerah begitu

Sumber : RanahMinang.com Gambar 2 : Proses Pengelolaan daun kopi menjadi kawa daun Sumber : Koleksi Museum Tropen Amsterdam dikutip dari Idrusalam.wordpres.com

saja ketika tidak memiliki kesempatan untuk mencoba kopi yang mereka tanam walau rasanya sangat berbeda. Yang kedua, mampu bersikap kreatif

Referensi Zaiyardam, Zubir. Pertempuran Nan Tak Usai : Eksploitasi Buruh Tambang Ombilin Oleh Belanda 1891-1927. Padang: Andalas University Press, 2006.

di masa-masa sulit; suatu hal yang sangat bertolak

idrusalam.wordpress.com/2015/04/19/mengenal-

belakang dengan kehidupan mewah dan canggih

kopi-kawa-daun-minuman-khas-rang-minang-

masa sekarang. Pelajaran berikutnya yang bisa

dengan-sejarah-perihnya akses 2 Oktober 2016

dipetik, kawa daun ternyata bisa mempererat

artefak November 2019 16


Menelisik Keramik

MENELISIK KERAMIK DI MASA INDIS: MASIHKAH TETAP PRESTISE? oleh: Sandy Maulana (Arkeologi 2015) Kedatangan Belanda ke wilayah nusantara di akhir abad 16 mengawali sejarah panjang hubungan kita dengan negara kincir angin. Kebanyakan orang selalu fokus dengan ironi penjajahan, pilu penderitaan, dan segala berita buruk lainnya. Padahal, hadirnya Belanda di tanah ibu pertiwi juga membawa budaya baru yang telah menambah khazanah kebudayaan kita. Djoko Soekiman menyebutnya sebagai kebudayaan Indis. Salah satu dari banyaknya budaya baru (tapi lama) yang dibawa Belanda adalah penggunaan keramik bermotif Cina. Keramik adalah semua barang yang dibuat dengan bahan-bahan tanah/batuan silikat dan yang proses pembuatannya melalui pembakaran pada suhu tinggi (Astuti, 1997). Jauh sebelum kedatangan Belanda, keramik (utamanya keramik Cina) sudah terlebih

Sumber : Metropolitan Museum of Art seorang keturunan raja di Maluku pernah

mengatakan bahwa untuk membeli satu barang dahulu dikenal masyarakat nusantara di masa keramik Cina yang indah, moyang mereka harus kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Buddha

dan membayar dengan 1000 buah kelapa. Jumlah yang

kerajaan Islam. Salah satu situs yang memiliki sangat banyak dan pastinya hanya orang yang memiliki status tinggi saja yang mampu membayar temuan keramik Cina yang cukup banyak adalah dan menyuruh orang untuk memetikkan 1000 buah Trowulan. Di situs ini ditemukan banyak sekali kelapa. Dikarenakan hal tersebut, keramik Cina sering keramik berbentuk mangkok berwarna hijau diasosiasikan sebagai penanda kekayaan dan tingginya status seseorang. keabuan yang berasal dari dinasti Yuan dan Ming Meloncat ke abad 18, pengaruh keramik awal. Cina ternyata telah sampai di Belanda. Hal ini Keramik di masa Klasik dan masa Islam kemudian mengakibatkan adanya perubahan dalam kebiasaan makan dan minum dan orang Belanda. memiliki kedudukan yang amat tinggi. Hanya para Minum teh atau kopi telah menjadi kebiasaan seharibangsawan ataupun keluarga raja yang dapat hari, untuk itu dibutuhkan cangkir dan piring keramik, memilikinya. Hal ini disebabkan karena harga sedangkan untuk makan dibutuhkan satu set alat makan. Dekorasi rumah ala Perancis yang keramik Cina yang amat tinggi sehingga hanya diperkenalkan Daniel Marot ke Belanda juga kalangan yang memiliki status dan uang berlebih lah memunculkan selera baru dalam dekorasi interior yang dapat membelinya. Salah satu contoh kasus, rumah, dimana keramik dibutuhkan sebagai pajangan di atas perapian atau rak-rak hiasan.

17

artefak November 2019


Sandy Maulana Bahkan untuk memenuhi permintaan

Ringkasnya, pengaruh Belanda di masa

keramik oleh masyarakat Belanda yang semakin

kebudayaan Indis telah mengubah peranan keramik di

meninggi, didirikanlah sebuah pusat pembuatan

nusantara yang pada awalnya hanya sebagai lambang

keramik bernama Delft (Jorg, 1984).

prestise dan pajangan (contohnya di Keraton Cirebon)

Kepopuleran keramik bergaya kini telah bertambah fungsi yaitu sebagai bahan untuk membuat peralatan makan (sendok, piring, cangkir dll) Chinoiserie (separuh Cina) di tanah Belanda dan tetap memiliki fungsi sebagai pajangan juga. ternyata ikut terbawa sampai ke nusantara. Penambahan fungsi ini menurut pendapat penulis Keramik Chinoiserie yang memiliki ciri khas sedikit menurunkan nilai prestise barang keramik. Pada awalnya keramik di Masa Hindu Buddha dan Masa Islam berwarna biru putih juga banyak ditemukan di hanya dapat dimiliki kalangan keluarga raja atau Batavia pada abad 18. Tidak hanya sekadar bangsawan kaya, kini setelah keramik memiliki fungsi berbentuk piring, sendok, atau cangkir, motif sebagai peralatan makan, keramik jadi lebih bisa keramik Cina juga diaplikasikan pada tegel dijangkau oleh banyak orang. Sebagai penutup, artikel ini menjadi salah satu bukti pemerkuat bahwa tidak bergambar. Salah satunya yang ada di rumah selamanya apa yang Belanda tinggalkan adalah sesuatu Reinier de Klerck yang menceritakan kisah dalam yang buruk. Perjanjian Lama. DAFTAR PUSTAKA Astuti, A. (1997). Pengetahuan Keramik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Jorg, C. (1984). Interaksi Porselin Delft dan Keramik Timur. Jakarta: Museum Nasional.Soekiman, D. (2000). Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa. Yogyakarta: Bentang.

artefak November 2019 18


Makam dan Kemewahan MAKAM DAN KEMEWAHAN Salma Fitri Kusumastuti (Arkeologi 2015) Gaya hidup mewah seakan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan orang-orang Eropa yang tinggal di Indonesia. Pada tahun 1690 VOC mencapai masa-masa keemasannya dan inilah salah satu faktor yang mengilhami gaya hidup mewah mereka terutama pegawai dan pejabat VOC. Upacaraupacara pada setiap daur hidup seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian adalah upacara yang diadakan dengan gaya mewah. Tamu-tamu yang banyak, pakaian-pakaian bagus, serta tempat dan asesori upacara yang istimewa memberikan gambaran gaya hidup mewah Indis. Namun pada masa kejayaan VOC dan Hindia Belanda, upacara kematianlah yang paling istimewa. Kematian biasa diiringi berbagai upacara mewah yang memerlukan biaya tidak sedikit (Soekiman, 2011: 85).

Gambar 2:

Kematian erat hubungannya dengan Makam seorang Pastur dengan pahatan patung yang indah penguburan. Maka tidak heran apabila makam- Saat ini lokasinya termasuk dalam wilayah Undaan, makam Belanda atau kerkhof bermunculan di daerah Genteng, Kota Surabaya. Di sekitar makam juga masih yang pernah menjadi permukiman orang-orang dapat kita temukan rumah-rumah bergaya Cina dan juga asing. Kemewahan kerkhof dapat dilihat dari ukuran Indis. Dalam pandangan saya, makam ini termasuk bagian nisan marmer berukuran besar, hiasan berupa dari Kebudayaan Indis karena tak jarang orang-orang yang patung, ukiran nama dan puisi yang indah, hingga dimakamkan disini adalah orang asing kelahiran tegel bermotif untuk menambah kesan raya pada Indonesia (diantaranya lahir di Surabaya, Semarang, sebuah makam. Banten, Rembang, dll). Beberapa waktu yang lalu saya sempat

Bentuk nisan dan hiasan pada Makam Belanda mengunjungi salah satu Makam Belanda yang Peneleh sangat bervariasi. Hiasan ini dipahatkan pada “padat� penghuni. Makam tersebut adalah Makam nisan makam. Simbol-simbol seperti salib, tengkorak, Belanda Peneleh di Surabaya. Makam ini diresmikan bunga-bunga, pepohonan, hewan-hewan (kupu-kupu, pada tahun 1847 dengan nama De Begraafplaats singa, ular), tangan, mahkota, tanda alfa dan omega, Peneleh Soerabaia. Terletak tidak jauh dari Pusat hingga freemason dapat dengan mudah ditemukan disini. Kota Surabaya. Hanya kurang lebih 1 km saja dari Walaupun tak jarang, adapula nisan yang polos saja. Alun-alun Contong dan Tugu Pahlawan.

Bentuk nisan pada umumnya persegi. Biasanya pada nisan yang besar terdapat beberapa nama orang yang dimakamkan, tetapi ada pula yang tidak demikian. Selain nama, keterangan yang dapat diperoleh dari nisan adalah tempat dan tanggal lahir. Terkadang dituliskan pula jabatan dan keterangan keluarga. Ungkapan-ungkapan kesedihan dari orang terdekat juga menjadi isi dari nisan. Jenis huruf yang digunakan tidak sama antara satu nisan dengan yang lain, hal ini mungkin bergantung pada

Gambar 1: “Pemandangan� di Makam Peneleh, Surabaya.

19

artefak November 2019

dimana nisan tersebut dipesan.


Salma Fitri K. Karena ada juga beberapa nisan yang memiliki

atas nisan. Sejenak terbayang iring-iringan kereta

“merek” sama, yaitu Ai Marmi Italiani. Selain itu,

jenazah yang ditarik oleh dua, empat, enam, hingga

ternyata tidak semua makam disini “berbahasa”

delapan ekor kuda (Soekiman, 2011: 89). Semoga

Belanda. Ada beberapa yang berbahasa Inggris,

siapapun yang beristirahat di tempat ini senantiasa

Prancis, Ibrani dan Italia.

tenang dan terhindar dari para pelaku penjarahan serta

Menurut salah seorang petugas, dahulu

vandalisme seperti beberapa waktu yang lalu.

sebelum ada yang merawat, penjarahan seringkali terjadi terjadi disini. Maka sekarang dapat kita

Referensi lebih lanjut mengenai Makam Belanda

temukan makam yang berlubang di bagian depan.

Peneleh dan Kebudayaan Indis :

Namun sekarang, di bawah komando Pemerintah

Bok, L & Versnel, H 2013. Peneleh Conservation and

Kota Surabaya, kondisi makam dapat dikatakan

Development Workshop, The Netherlands Cultural and

lumayan terawat. Walaupun ada kambing-kambing

Heritage Agency.

yang berkeliaran, saat ini dapat dipastikan rumput

Mahendrani, C R 2013. 'Nisan Makam Belanda Peneleh

ilalang tidak akan dibiarkan meninggi. Setiap

Surabaya (Kajian Tentang Bentuk dan Ragam Hias)',

harinya, baik siang maupun malam sudah ada

Skripsi Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

petugas yang rajin membersihkan dan menjaga

Soekiman, D 2011,Kebudayaan Indis Dari Zaman

makam. . Seperti saat saya datang kemari, para

Kompeni sampai Revolusi, Komunitas Bambu, Jakarta.

petugas sedang mengecat tembok dan memperjelas tulisan di bagian gerbang makam. Sekadar informasi, kunjungan untuk kegiatan komersial seperti mengambil foto untuk dijual saat ini tidak diperbolehkan. Namun untuk keperluan akademik atau mencari keluarga yang dimakamkan akan dengan senang hati diterima disini. Demikianlah sedikit cerita mengenai Makam Belanda Peneleh Surabaya. Menyusuri makam dan mengamati nama-nama yang terukir pada nisan menjadi suatu pengalaman yang menarik bagi saya. Kemewahan masa lalu masih terasa, tergambar melalui bentuk-bentuk nisan, ragam hias, patungpatung, serta “potongan cerita” yang diabadikan di

Gambar 3: Makam dengan nisan berbahan marmer Italia (Marmi Italiani)

atas nisan. Sejenak terbayang iring-iringan kereta jenazah yang ditarik oleh dua, empat, enam, hingga delapan ekor kuda (Soekiman, 2011: 89). Semoga siapapun yang beristirahat di tempat ini senantiasa tenang dan terhindar dari para pelaku penjarahan serta vandalisme seperti beberapa waktu yang lalu. Demikianlah sedikit cerita mengenai Makam Belanda Peneleh Surabaya. Menyusuri makam dan mengamati nama-nama yang terukir pada nisan menjadi suatu pengalaman yang menarik bagi saya. Kemewahan masa lalu masih terasa, tergambar

Gambar 4: Makam dengan nisan berupa patung berbahan marmer

melalui bentuk-bentuk nisan, ragam hias, patungpatung, serta “potongan cerita” yang diabadikan di

artefak November 2019 20


Keraton Tanjungpura Sekilas tentang Keraton Matan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat Oleh : Nurkhasanah Eka Riyani

Bulan Juli 2016 lalu tepatnya dari tanggal 23 sampai 31 penulis beserta salah seorang rekan penulis (Afifah Sholihah) mendapat kesempatan untuk menjadi pendamping adik-adik SMA di Ketapang Kalimantan Barat dalam acara Workhshop Arkeologi (Rumah Peradaban) oleh Balai Arkeologi Banjarmasin. Acara workshop kali ini diadakan di lingkungan situs Candi Negeri Baru, Desa Negeri Baru, Mulia Kerta, Benua Kayong, Ketapang, Kalimantan Barat. Dalam acara workshop ini peserta terdiri atas dua orang siswa dan satu orang guru perwakilan dari sepuluh sekolah di Kabupaten Ketapang. Peserta dikenalkan tentang apa itu arkeologi, bagaimana cara kerja arkeolog yang meliputi pembuatan proposal, pengumpulan data melalui survey dan ekskavasi, penyusunan laporan sampai presentasi hasil penelitian dan ekskavasi. Selain pemaparan materi dan diskusi yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan ekskavasi, pada hari kedua peserta juga diajak mengunjungi situs-situs sekitar lokasi workshop. Sebagai oleh-oleh untuk majalah Artefak edisi kali ini, penulis ingin menampilkan beberapa foto tentang arsitektur bangunan yang menjadi salah satu tujuan kunjungan situs dalam acara workshop kali ini yaitu Keraton Matan Tanjungpura. Sebagai Kabupaten yang memiliki banyak jejak sejarah peradaban masa silam, sisa-sisa sejarah yang masih dapat ditemui di Ketapang antara lain Istana Panembahan Matan-Tanjungpura, Makam Keramat Sembilan di Desa Tanjungpura dan Makam Keramat Tujuh di Mulia Kerta, berbagai peninggalan lain seperti makam-makam dan reruntuhan bangunan kuno di Kecamatan Sandai dan Nanga Tayap, dan masih banyak lagi. Pada acara kunjungan situs dalam workshop arkeologi, situs yang dikunjungi adalah struktur Candi Negeri Baru, Makam Keramat Tujuh, Makam Keramat Sembilan, dan Keraton Matan Tanjungpura. Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura di Kabupaten Kayong Utara ini merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Didirikan pada abad ke-14, Kerajaan Tanjungpura menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya yang didigua karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau yang dikenal sebagai Lanon. Konon, pada masa itu Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kuat dugaan juga pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura sering berpindah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain (Zulfikar,2012). Negeri baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665-1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan kemudian berpindah lagi pada 1637 ke wilayah Indra Laya di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kemudian berpindah ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri (Zulfikar,2012).

21

artefak November 2019


N. Eka Riyani Kerajaan Tanjungpura atau Tanjompura di Kabupaten Kayong Utara ini merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Barat. Didirikan pada abad ke-14, Kerajaan Tanjungpura menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada masa lampau. Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya yang diduga karena serangan dari kawanan perompak (bajak laut) atau yang dikenal sebagai Lanon. Konon, pada masa itu Lanon sangat kejam dan meresahkan penduduk. Kuat dugaan juga pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura sering berpindah demi mempertahankan diri karena sering mendapat serangan dari kerajaan lain (Zulfikar, 2012). Negeri Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin (1665–1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di daerah Sungai Matan kemudian berpindah lagi pada 1637 ke wilayah Indra Laya di tepian Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kemudian berpindah ke Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri (Zulfikar, 2012). Setelah era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir Dinasti Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan Matan. Maka kemudian disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang-Matan dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan adalah wilayah Kerajaan Simpang-Matan sementara wilayah Kerajaan Kayon-Matan adalah di sebelah kanan sungai. Istana Panembahan terakhir atau yang kita kenal dengan nama Keraton Matan Tanjungpura dipergunakan sebagai pusat pemerintahan kerajaan pada zaman Panembahan Gusti Muhammad Saunan, dan menurut berbagai sumber, Panembahan terakhir inilah yang juga mendesain arsitektur keraton yang bentuknya masih dapat dilihat sampai sekarang ini (Zulfikar, 2012). Kemudiaan Penembahan Gusti Muhammad Saunan (1908-1944) merombak keraton tersebut secara besar-besaran dan menggati arsitektur keraton Kerajaan Matan dengan gaya arsitektur Eropa karena beliau pernah belajar di Belanda dan tinggal cukup lama di Negeri Kincir Angin tersebut (Menong, 2014).

Doc : Balar Banjarmasin Memasuki lingkungan keraton jika kita dari jembatan Sungai Pawan maka kita akan disambut oleh gapura warna kuning dengan atap yang terbuat dari kayu. Ada dua gapura baik ketika memasuki maupun keluar dari lingkungan keraton.

artefak November 2019 22


Keraton Tanjungpura Arsitektur keraton Matan juga tidak terlepas dari tipologi rumah tradisional Melayu yang berupa rumah panggung atau berkolong dan memiliki tiang-tiang tinggi. Hal ini disesuaikan dengan keadaan iklim dengan kebiasaan turun menurun. Tinggi tiang penyangga rumah setinggi kurang lebih 70 cm dari permukan tanah (M.Natsir, 2010). Ruangan yang terbuka membuat sirkulasi udara cepat berganti dan angin dengan mudah masuk melalui ventilasi yang cukup banyak. Selain itu ada unsur hierarki yang ditonjolkan dalam pembangunan keraton ini. Hirarkhi pada arsitektur tradisional Kalbar dapat ditemui pada penggunaan ukuran yang luar biasa, bentukbentuk unik dan lokasi strategis (Studiomelayu, 2009) Hal ini terlihat dari lokasi Keraton Matan Tanjungpura sangat strategis karena terletak di pinggir jalan raya yaitu Jalan P.Kesuma Jaya. Kel. Mulya Kerta. Selain itu warna kuning yang mencolok mencadi ciri khas bangunan Melayu.

Source : Youtube Unsur Eropa paling mencolok pada hiasan kaca patri di atap. Saat ini keraton yang menjadi icon daerah Ketapang ini dimanfaatkan sebagai museum oleh Pemerintah Kabupaten setempat. Koleksi yang ada di dalam keraton berupa barang-barang peninggalan Para Panembahan Matan-Tanjungpura seperti meriam, mesin jahit, berbagai jenis kain, perabotan kamar tidur, senjata, keramik, dan masih banyak lagi. Sayang sekali pengelolaan dan promosi museum belum maksimal. Selain sebagai museum, keraton juga bisa menjadi tempat pusat pengembangan, pembinaan adat dan seni-budaya. Secara arsitektur pun, istana ini amatlah menarik, yakni sebagai cerminan kekayaan arsitektur Melayu Kayong. Melihat potensi yang ada, sudah seharusnya ada peningkatan pengelolaan keraton dari segi bangunan dan koleksi. Koleksi yang saat ini hanya diletakkan seadanya di salah satu ruangan juga memerlukan penataan supaya display lebih menarik. Bagian lain di keraton juga belum dimanfaatkan dan kurang terawat. Semoga dengan adanya kegiatan maupun kunjungan ke keraton bisa meningkatkan perhatian pemerintah dan masyarakat untuk pengelolaan keraton dan koleksi. Referensi M.Natsir. (2010, Januari 27). Arsitektur Rumah Melayu Kayong. Dipetik November 27, 2016, dari Informasi Budaya: http://ace-informasibudaya.blogspot.co.id/2010/01/arsitektur-rumah-melayu-kayong.html Menong, R. (2014, Desember 24). Keraton Kesultanan Tanjungpura di Kabupaten Ketapang, Kalbar. Dipetik November 27, 2016, dari Budak Sepok: https://rahmatmenong.blogspot.co.id/2014/12/normal-0-false-false-in-xnone-x.html Studiomelayu. (2009, Maret 18). Bentuk, Susunan, Dan Pola Ruang Arsitektur Melayu Kalimantan Barat. Dipetik N o v e m b e r

2 7 ,

2 0 1 6 ,

d a r i

A r s i t e k t u r

M e l a y u

K a l b a r :

https://studiomelayu.wordpress.com/category/arsitekturrumah-melayu/ Zulfikar, A. (2012). Sejarah Gemilang Kerajaan-Kerajaan Islam Kalimantan Barat.Pontianak: Paguyuban Bina Insan Mulia

23

artefak November 2019


N. Eka Riyani

Doc. Riyani (kelompok 4 di kotak ekskavasi) Doc. Anif (ruangan penyimpanan koleksi)

Doc Balar Banjarmasin (Full team bersama Gusti Kamboja dan Kepala Balar Banjarmasin) Doc. Anif (beberapa koleksi kain tradisional)

Doc. Anif (Singgasana, diletakkan di ruang utama keraton) Doc. Riyani (Pak Bambang, Riyani, Afifah)

artefak November 2019 24


Co-Working Space

CO-WORKING SPACE Alternatif Baru Melestarikan Cagar Budaya Wastu Hari Prasetya Arkeologi 2013 wastupraseta@gmail.com Pernah mendengar istilah co-working space?

space juga memungkinkan para entepreneurs dari

Bingung dan asing mungkin mendengar istilah tersebut.

berbagai bidang baik itu freelancers atau profesional

Tapi kalau anda pernah melihat, mendengar atau

untuk bisa berkolaborasi dalam suatu proyek yang

membaca tentang startup, mungkin anda akan langsung

bertemu dalam satu co-working space. Hal ini tentu

ngeh dengan istilah co-working space. Startup yang

akan membuat geliat dunia industri kreatif akan

sedang digandrungi oleh pecinta teknologi dan industri

semakin beragam. Di luar dunia bisnis, co-working

kreatif Indonesia memang tidak dapat dipisahkan

space juga sangat diminati oleh komunitas, NGO dan

dengan yang namanya co-working space. Sesuai

kalangan pelajar/mahasiswa yang tergabung dalam

namanya co-working space atau collaborative

organisasi tertentu untuk melakukan meeting atau

workspace merupakan space atau ruang untuk bekerja

rapat terhadap suatu proyek non profit.

secara bersama-sama tanpa dibatasi oleh latar belakang

Demam co-working space dan startup

bidang pekerjanya. Saat pertama kali hadir di Indonesia,

belum lama ini juga menghampiri penggiat industri

konsep co-working space memang ditujukan untuk

kreatif di Semarang. Sekitar bulan Agustus lalu telah

memfasilitasi para penggiat industri kreatif terutama

dibuka sebuah co-working space di Kota Lama

dalam bidang teknologi untuk mengembangkan

Semarang yang bernama Impala Space. Co-working

berbagai jenis teknologi masa kini terutama aplikasi

space satu ini mengusung tema kekunoan bergaya

ringan dan games. Namun karena perkembangan di era

kolonial sesuai dengan tempat yang digunakan

modern yang begitu dinamis, co-working space saat ini

berupa bangunan kolonial peninggalan Belanda.

tidak hanya sebagai arena 'bermain' industri kreatif di

Impala Space berada disatu bangunan dengan

bidang teknologi tapi juga mulai dilirik oleh industri

restoran Spiegel Bar and Bistro yang juga mengusung

kreatif di luar teknologi. Sampai saat ini telah banyak

tema yang sama. Fasilitas yang ditawarkan Impala

bermunculan co-working space di beberapa kota besar.

Space tidak jauh berbeda dengan co-working space

di Indonesia dalam rangka memenuhi gairah kaum

kebanyakan seperti akses internet kecepatan tinggi,

kreatif. Diantaranya yang terkenal yaitu Hackerspace

ruang pertamuan, document center, inkubasi bisnis,

yang tersebar di Bandung, Jogja, dan Bali; Bandung dan

area bermain, area pantry, dan area olahraga. Semua

Jogja Digital Valley yang diinisiasi oleh Telkom, Freeware,

fasilitas tersebut bisa didapatkan dengan harga yang

Comma, Code Depok dan masih banyak lagi.

terjangkau baik untuk personal ataupun corporate.

Pada dasarnya konsep co-working space yaitu

Perpaduan yang unik dan autentik antara nuansa

mengubah ruang kerja konvensional menjadi lebih

kental khas kekunoan berpadu dengan kreativitas

homey. Dengan begitu suasana tegang ala kantor bisa

dinamis hasil modernitas. Bukan tidak mungkin dari

diubah menjadi lebih tenang dan nyaman layaknya di

hasil kolaborasi tersebut menghasilkan suatu karya

rumah namun tetap menghasilkan karya yang luar bisa.

yang masterpiece.

Selain bisa mengubah atmosfer ruang kerja, co-working

25

artefak November 2019


Wastu Hari P.

Pemanfaatan bangunan kolonial terlebih bangunan cagar budaya sebagai co-working space seperti yang dilakukan Impala, tentu memberikan gambaran alternatif baru terhadap konsep pelestarian bangunan cagar budaya yang bergaya kolonial. Saat ini kebanyakan bangunan kolonial baru sebatas dimanfaatkan kembali sebagai hotel, restoran, dan obyek wisata sejarah seperti museum. Sementara pemanfaatan untuk ruang publik seperti co-working space baru pertama kali dilakukan oleh Impala Space. Dengan model pelestarian seperti coworking space diharapkan mampu mewujudkan ide-ide kreatif terutama yang berkaitan dengan pelestarian Foto 1. Penataan ruang dan interior di Impala Space. (sumber: www.instagram.com/impala.space)

bangunan cagar budaya. Karena kemungkinan bertemu dan berkolaborasi antar penggiat industri kreatif dari berbagai bidang menjadi sangat tinggi ketika berada dalam coworking space yang tanpa 'sekat'. Dan pada akhirnya akan muncul co-working space lain di seluruh Indonesia dan juga ide-ide kreatif dalam hal pemanfaatan bangunan cagar budaya sekaligus menjadi langkah konkret dalam melestarikan aset sejarah budaya bangsa..

Foto 2. Suasana meeting klien Impala Space. (sumber: www.instagram.com/impala.space)

Foto 3. Suasana kegiatan di Impala Space. (sumber: www.instagram.com/impala.space)

artefak November 2019 26


Himpunan Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada #VivaArkeologi


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.