haluan 16 oktober 2011

Page 17

17 PANGGUNG

MINGGU, 16 OKTOBER 2011 M 18 DZULKAIDAH 1432 H

KOLABORASI MUSIK DAN TARI DALAM “LEGARAN DEMOKRATIK”

Mempertahankan atau Mendobrak Konvensi

Oleh: EDIWAR CHANIAGO Pengamat Seni dan Budaya, Dosen Karawitan ISI Padang Panjang

ALDI PUDENG

KOLABORASI musik dan tari, antara komposer dengan koreagrafer, yang dipentaskan di Gedung Pertunjukan Hurijah Adam ISI Padang Panjang, dengan judul “Legaran Demokratik”. ANGGUNG Gedung Pertunjukan Hurijah Adam Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang pada awalnya hanya terletak beberapa peralatan berupa mesin jahit sebanyak tiga buah, satu buah alat tenun yang biasa digunakan oleh orang Pandai Sikek untuk merangkai benangbenang tenun untuk dijadikan kain songket Minangkabau. Namun ketika pertunjukan bermula, layar pun terangkat perlahan. Cahaya lampu redup berwarna merah menyinari panggung: telihat beberapa orang penari sedang mengambil posisi duduk di atas panggung. Pada bahagian sebelah kanan dan kiri depan duduk masing-masing satu orang penari wanita berkostum putih di atas mesin jahit. Pada bahagian kanan belakang duduk pula satu orang penari juga berpakaian putih di atas mesin tenun tradisional, dan dikelilingi oleh pemain laki-laki berpakaian hitam. Sedangkan pada bahagian kiri belakang berdiri satu orang penari di atas mesin jahit. Tidak lama kemudian suara dendang (music vokal) mengalun oleh penari yang sedang memainkan mesin tenun. Ia berdendang (bernyanyi) sambil menggerakan mesin tenun tradisional itu. Sementara yang lainnya diam dan kaku saja. Tidak lama kemudian, masuk laki-laki sambil menarik kain panjang berwarna kuning. Mereka membentuk lingkaran, sehingga penari terlihat berada dalam lingkaran yang dibatasi oleh kain kuning itu. Dalam posisi demikian, suara hep.. tah..tih.. dan disambut dengan tepuk tangan dan tepuk galembong menjadi satu kesatuan pertanda ciri dalam pertunjukan randai. Mereka menyatukan bunyi tepuk tangan, tepuk paha, tepuk galembong dan suara heapp..tah….tih… menjadi satu komposisi musik yang menarik. Posisi melingkar pemain memperkuat unsur-unsur randai itu. Sementara, dua penari berbaju putih duduk di atas mesin jahit tersenyum simpul. Kemudian empat penari yang dalam lingkaran pemain lakilaki bergerak dengan agresif

P

dan kadang-kadang tak menentu. Karya “Legaran Demokratis” merupakan suatu bentuk karya yang bersumberkan dari hasil pengembangan permainan randai tradisional Minangkabau. Di samping itu pengkarya melakukan penggarapan dengan cara bentuk-bentuk lain dalam tatanan kekinian. Bagian di atas menggambarkan kegalauan kehidupan manusia masa kini, baik pengaruh ekonomi, politik, pengaruh teknologi, sosial dan budaya. Selain itu, pada masa kini rasa kebersamaan, kegotong royongan, tolong menolong mulai memudar. Keprihatinan ini banyak dihadapi oleh berbagai pihak. Pada bahagian kedua menggambarkan suatu keadaan kehidupan manusia berusaha bersemangat, tidak putus asa dengan keadaan yang semakin tidak menentu. Spirit untuk menuju kepada yang lebih baik dan kedamaian diperlukan oleh setiap insan. Dalam hal ini lebih ditujukan kepada generasi muda. Jiwa muda yang telah memberikan inspirasi dan dorongan kuat bagi perubahan. Artinya, bagian kedua menggambarkan suasana memberikan spirit kepada manusia untuk peduli akan kehidupan yang lebih baik. Bahagian ini dimulai oleh nyanyian dayang daini yang dipimpin oleh seorang pemain dan diulang secara bersamasama oleh pemain laki-laki. Sementara empat orang penari melakukan gerakan pencak dan berlari keluar panggung. Kemudian disambung oleh tiga orang penari yang bergerak di atas mesin jahit dan mesin tersebut didorong oleh pemain yang lainnya. Dorongan mesin jahit itu berkeliling di atas panggung. Disini effek bunyi dari roda mesin jahit merupakan efek bunyi yang menjadi bahagian dari kolaborasi antara tari dan musik. Tidak lama kemudian, para penari mengambil posisi duduk di atas mesin jahit sambil bergerak yang menyimbolkan perempuan Minangkabau dalam bercengkerama mengisi waktu senggangnya dengan mencari “kutu”, menyisir

rambut, menjalin rambut. Perempuan lain ada pula yang menjahit kain sambil berdendang simarantang. Mereka seakan menghadapi kehidupan yang damai. Bagian ketiga adalah menggambarkan capaian tekat manusia dalam menuju kebersamaan, kegotongngroyongan dalam menempuh kehidupan menuju lebih baik. Manusia memerlukan saling memberi dan menerima. Nilai kebersamaan merupakan nilai luhur yang harus ada dalam setiap masyarakat, sebagaimana nyanyian barek samo dipikua, ringan samo dojinjiang. Secara bergantian semua pemain melakukan gerakan sambil tepuk tangan, tepuk paha, dan membentuk posisi tiga kelompok melingkar dan melakukan gerakan dengan pola yang berbeda, yaitu satu kelompok memainkan tapuak tingkah tangan dan hentakan kaki, kelompok kedua memainkan gerakan gelombng randai, dan kelompok ketiga bergerak sambil berdendang. Kemudian mereka bersatu membentuk lingkaran randai. Kepiawaian memainkan tepuk galembong, tepuk tangan, tepuk paha dan bertingkah dengan suara hep…tah …tih…memberikan kekuatan tersendiri pada karya Legaran Demokatis ini yang berangkat dari randai itu. Kedinamisan pola garapan karya ini memberikan makna tersendiri bagi pengembangan kebudayaan randai yang ditransformasikan menjadi karya baru yang penuh energik. Gerak lincah dan cepat memerlukan kemampuan teknik yang luar biasa. Mereka serempak. Bersatu dalam kebersamaan. Pada bahagian-bahagian tertentu karya ini juga memperlihatkan hentakan-hentakan kaki ke lantai menjadi musik yang saling bertingkah. Hentakan kaki memberikan efek musikal yang penting dalam karya ini. Properti yang Akrab M. Arif Anas sepertinya tidak hanya menggunakan alat musik yang biasanya berlaku. Akan tetapi ia juga menggunakan peralatan lain seperti sepeda. Sebuah sepeda yang jari-jarinya diselipkan balon, sehingga menghasilkan bunyi

memasuki panggung dari arah kiri. Bunyi tersebut berpadu dengan bunyi mesin jahit yang diputar pemainnya, sekali-kali diikuti oleh bunyi sentakan botol aqua yang ditempelkan ke roda jari-jari mesin sehingga menderu. Kemudian beberapa orang pemain memasuki panggung dengan membawa alat penyedot debu vacuum cleaner. Alat ini difungsikan sebagaimana mestinya, akan tetapi penggarap mengambil efeek bunyi vacuum cleaner itu yang dipadu dengan bunyi alunan saluang. Kolaburasi aspek bunyi yang tidak biasa sebagai musik itu juga ditingkah dengan bunyi tepuk galembongan suara hep… tah… tih. Ternyata kolabuasi bunyi ini menghasilkan sebuah komposisi musih yang indah juga. Dalam kondisi permainan bunyi itu, empat orang penari perempuan kembali memasuki panggung. Mereka bergerak dengan kemampuan teknik yang tinggi, melompat, berlari, meliuk dan bersalto tidak luput dalam karya ini. Garis-garis gerak penarinya yang jelas, tegas dan kuat serta permainan properti kain sarung menambah kekuatan karya Legaran Demokratik ini. Selanjutnya sekelompok pemain laki-laki melantunkan kata “oyak-oyak hosen kalio bantai”, sambil mengangkat tangan yang memegang sebuah alat pemukul kasur. Disini muncul semangat kebersamaan. Mereka bersatu dan terkungkung dalam satu helai kain hitam. Dalam ruang yang terbatas, pemain masih bisa bergerak dan bersorak. Kemudian penari perempuan juga membentuk legaran mengilingi pemain lakilaki itu. Mereka membentangkan kain sarung dan menyatukan sudut kain, sehingga legaran penari perempuan itu juga mengelilingi pemain laki-laki. Disini menggambarkan spirit kebersamaan dalam satu lingkaran kehidupan yang harus dipertahankan sepanjang masa. Kemudian lama-kelamaan kain hitam yang berada pada pemain laki-laki itu ditarik oleh pemain lainnya sehingga membentuk lingkaran besar. Posisi penari perempuan berada dalam lingkaran besar itu. Kemudian alunan saluang Mak Lenggang membawa suasana kedamaian. Dendang Simpang Balai memperkuat kolaborasi musik dan tari ini. Para pemain seakan diikat dalam kesatuan lingkaran itu. Ia bagaikan cerminan dalam kebersamaan. Kain disimbolkan sebagai tali pengikat batin warganya tetap membangun kebersamaan dan sifat kegotongroyongan. Tidak bercerai berai dalam situasi yang tak menentu. Mempertahankan atau Mendobrak Konvensi Randai sebagaimana pandangan umum memiliki ciriciri utamanya adalah dalam posisi melingkar. Di dalamnya ada cerita yang disampaikann dalam bentuk dialog dan pelakonan. Ada juga gurindam yang dinyanyikan. Tapi dalam karya

“Legaran Demokratik” terjadi pendobrakan konvensi-konvensi randai itu sendiri. Bongkar pasang pola randai itu sangat terlihat. Saat tertentu pemain membentuk lingkaran, tepuk tangan, tepuk galembong dan sebagainya, dan saat tertentu konvensi randai ia lepaskan. Walaupun demikian, M. Arif Anas dan Syahril Alek sebagai penggarap penuh tenggang rasa menjaga etika, estetika lokal yang dipersembahkan. Di dalamnya ada harmoni, ada ketegangan, gebrakan, cumbuan, alunan kontras dan sebagainya. Artinya, walaupun pada era berkecamuknya kontak budaya, namun Minangkabau tetap diikat oleh falsafahfalsafah kebudayaannya. Mereka bebas berekspresi namun tetap dalam lingkaran hidup budaya alam Minangkabau. Itulah pesan tersirat dalam karya ini. “Legaran Demokratik” mampu juga merangkum berbagai pola gerak tari dan pencak sebagai upaya memberi keseimbangan antara misteri tradisi Minang dan pembaharuan. Gerak tari, musik, silat, busana dan bunyi bagaikan kebebasan yang terkungkung. Hasil lebih dari uji kemampuan penggarapan, bukan sekedar tempelantempelan bunyi dan gerak, akan tetapi enak didengar dan dipandang (ditonton). Walaupun demikian, pada babak terakhir karya “Legaran Demokratik” sangat kental dengan pesan-pesan kebudayaan. Lingkaran besar dengan semua pemain laki-laki memegang kain hitam panjang sebagai simbol kebersamaan, dan memiliki batas-batas tertentu dalam menerima berbagai pengaruh budaya luar. Namun, yang merisihkan adalah gerakan-gerakan kaum hawa dan berkolaburasi dengan nyanyian (dendang) yang seakan tidak mencerminkan kehalusan jiwa pada bahagian ini. Penari perempuan yang berada dalam lingkaran melakukan gerakan yang sulit dicerna pesan yang diberikan. Ia berontak. Kaki mengacung tinggi ke atas dan kepala ke bawah. Manggalentang, melompat, merayap dan sebagainya Apakah penggarap lebih mengutamakan teknik saja, atau memang menggambarkan kegelisahan warga Minang pada masa kini. Tapi sepertinya demikian, penari itu menyadari diri dalam ratapannya. Mereka berjalan bagaikan kembali pada fitrahnya sebagai perempuan. Kemudian melakukan gerakan serempak bersatu dengan bunyi musik sebagai kesadaran akan kebebasan dalam kebersamaan. Penari perempuan yang berada dalam lingkaran saling berpegang tangan dalam ikatan kain sarung. Demikian juga pemain laki-laki yang diikat oleh kain hitam bergerak melingkar berlawanan antara penari perempuan dan lingkaran luar. Disinilah puncak demokratis yang mencerminkan perbedaan dalam kebersamaan. Semoga selamat dan sukses pada Festival Kesenian Indonesia di ISI Surakarta.

ALEK PACU JAWI

Antara Tradisi dan Kepentingan Wisata KABUPATEN Tanah Datar menyimpan sangat banyak atraksi budaya yang unik, langka dan menarik yang tidak dimiliki oleh semua daerah di Sumatera Barat. Salah satu di antaranya adalah lek tradisi Pacu Jawi yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dan telah merambah ke dunia internasional. Alek Pacu Jawi sangat kental nuansa adat budayanya karena acara ini disusun melalui rapat-rapat di tingkat nagari oleh tokoh-tokoh masyarakat dengan prosesi adat. Mulai dari penentuan lokasi alek, baik itu sawah tempat pacuan, tempat mandi jawi, galanggang, tempat main laying-layang, areal parkir kendaraan hingga jadwal kegiatan dan peserta pacuan dibicarakan dalam rapat nagari. Bahkan untuk mengundang peserta Pacu Jawi juga dilakukan secara adat dengan siriah pinang. Alek Pacu Jawi di Tanah Datar pada awalnya lahir di Nagari Tuo Pariangan sejak ratusan tahun yang lalu sebagai bentuk rasa syukur masyarakat atas telah selesainya masa panen dan sekaligus sebagai ajang hiburan sambil menunggu masa tanam selanjutnya. Di samping itu juga menjadi wahana untuk mencari bibit jawi-jawi unggul yang sehat dan kuat. Kemudian dari Nagari Tuo inilah Pacu Jawi berkembang di Kecamatan Pariangan dan tiga kecamatan lainnya, yaitu Kecamatan Lima Kaum, Rambatan dan Sungai Tarab. Pada empat kecamatan tersebut Pacu Jawi tidak berkembang pada seluruh nagarinya. Hingga saat ini nilai-nilai tadisional alek Pacu Jawi masih terpelihara dengan baik di Tanah Datar, hal itu terlihat dari prosesi adat yang tetap terlaksana dengan baik. Misalnya pada acara penutupan ada sumbangan talam/dulang dari masyarakat yang berisikan penganan spesifik local, seperti pinyaram, kambang loyang, kue bolu cetak, batiah, agaragar, lapek dan sebagainya. Pada acara penutupan juga dilakukan pidato pasambahan sambia tagak oleh para pemuka masyarakat serta penampilan tari-tarian dan musik talempong pacik. Sementara itu beberapa ekor jawi juga dihias dengan pernak-pernik pakaian yang kemudian diperlombakan. Di galanggang tempat orang ramai berkumpul juga terlihat kedai-kedai nasi dengan makanan spesifik gulai kambing dan kopi daun (kawa) dengan gelas tempurung. Juga ada permainan buayan kaliang yang sangat diminati oleh anak-anak serta lomba layang-layang pada sisi lainnya. Penampilan tradisi yang asli inilah yang menarik bagi wisatawan mancanegara dan domestic sehingga banyak mereka yang ingin mencoba makanan spesifik serta ikut menari dan bermain musik. Uniknya lagi dalam alek Pacu Jawi ini yang dinilai bukanlah jawi yang berlari paling kencang, tetapi yang berlari paling lurus dan konsisten. Jawi itulah jawi yang sehat dan kuat sehingga harganya bisa menjadi dua kali lipat. Kemudian pada setiap iven biasanya ada 500 hingga 700 ekor jawi yang ikut berpacu. Pemerintah Kabupaten Tanah Datar melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Budparpora) senantiasa memfasilitasi pelaksanaan alek Pacu Jawi yang dilakukan masyarakat. Sejak dua tahun yang lalu iven ini telah mendunia dan ditunggu-tunggu oleh wisatawan. Awalnya pada 30 September 2009 diadakan Lomba Foto Pacu Jawi tingkat Internasional yang diikuti oleh 125 orang fotografer dari tujuh Negara, yaitu Malaysia, Singapore, Thailand, Hongkong, Taiwan, Filipina dan Indonesia. Sejak saat itu ribuan buah foto Pacu Jawi dapat diakses di internet dan telah empat kali menjuarai lomba foto internasional lainnya, seperti: National Geographic, Garuda Indonesia, Belanda dan Kemenbudpar RI. Kini alek Pacu Jawi di Tanah Datar sangat diminati oleh wisatawan terutama oleh fotografer. Hampir tiap hari telpon masuk yang menanyakan jadwal acara tersebut. Memang alek ini tidak selalu ada sehingga perlu informasi yang akurat karena para fotografer itu dating dari berbagai kota dan Negara, seperti Batam, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Singapore, Malaysia, Hongkong, China, Filipina, Australia dan Eropah. Hampir seluruh stasiun televise juga sudah meliput alek Pacu Jawi secara khusus, termasuk TV3 Malaysia. Adapun yang menarik bagi fotografer itu adalah cipratan lumpur sawah dari jawi yang berlari hingga 80 Km per jam sehingga menghasilkan foto yang unik. Mereka juga tertantang masuk ke sawah, berlumpur dan bahkan hamper terserempet oleh jawi. Katanya lebih fastastik dibanding Karapan Sapi di Madura dan Makepung di Bali, sehingga ada yang mengatakan bahwa belum afdhol seorang fotografer apabila belum meliput Pacu Jawi. Dalam waktu dekat menurut informasi dari Ketua Persatuan Olah Raga Pacu Jawi (PORWI) Tanah Datar ada alek Pacu Jawi di Nagari Tuo Pariangan (sekitar 15 Km dari Batusangkar) pada Sabtu, 15, 22 dan 29 Oktober 2011. Melihat kondisi yang berkembang seperti sekarang ini, maka suatu saat nanti mungkin saja alek Pacu Jawi menjadi ikon pariwisata Sumatera Barat dan bahkan Indonesia. Semoga terwujud hendaknya.

ALFIAN

ALEK Pacu Jawi yang merupakan tradisi Tanah Datar. Sebelum berpacu, jawi didandan “secantik” mungkin.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.