Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Page 16

16

Rona Desa

pr desa

Menangguk Untung

dari Pilkades Serentak

Suasana Pemilihan Kades di Desa Pagu, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri.

Masyarakat Jawa Timur tahun ini punya gawe besar. Selain hajatan Pemilihan Gubernur Jawa Timur, yang tak kalah menariknya perhelatan besar tahun ini adalah pesta demokrasi di desa. Ya, hampir seluruh kepala desa di Jawa Timur tahun ini mengakhiri tugasnya, sehingga harus digelar pemilihan kepala desa (pilkades).

A

da daerah yang telah menjadwalkan pilkades serentak dalam sehari selesai, namun ada daerah yang memilih bertahap atau digelar dalam beberapa gelombang. Selain itu, ada juga kabupaten yang terpaksa menjadwal ulang pilkades di daerahnya, karena bertepatan dengan pemilu kepala dearah, seperti Kabupaten Lumajang, Bondowoso, Madiun, Magetan dan Jombang. Dari data yang dihimpun di lapangan, Kabupaten Lamongan misalnya, akan menggelar pilkades serentak di 381 desa mulai Mei 2013. Kemudian Kabupaten Sidoarjo ada 176 desa yang akan menggelar pilkades mulai September. Sedangkan Kota Batu, ada 11 desa dan Kab. Jember 161 desa, Gresik 245 desa yang akan dihelat Maret dan Agustus. Sementrara di Kabupaten Malang ada sebanyak 226 kepala desa yang meng­akhiri tugasnya dan pilkades akan dimulai April. Sedangkan di Kab. Jombang sebanyak 287 desa akan menggelar pilkades serentak September nanti, usai pimilu bupati dan pemilu gubernur. Di zaman demokrasi terbuka seperti sekarang ini, pelaksanaan pilkades semakin menyedot perhatian banyak orang. Tak hanya masyarakat desa setempat yang mempunyai kepentingan langsung dengan calon pemimpinnya, namun pilkades tak jarang mengun­dang nafsu para botoh (penjudi, red) dan politisi untuk ikut bermain. Tujuannya jelas, mereka ingin menginvestasikan modalnya untuk meraup keuntungan dari desa setempat dengan memanfaatkan momen pilkades. Bagi botoh, keuntungan finansial merupakan motif utama ikut bermian dalam pilkades. Sebaliknya bagi politisi, dengan berinvestasi melalui salah satu satu calon, harapannya kelak bisa mendapat imbal­ an berupa dukungan suara pada pemilu legislatif atau saat mereka mencalonkan diri dalam pemilu kepala daerah. Begitu strategisnya pilkades, sehingga dalam pesta demokrasi di desa sekarang ini sarat dengan kepentingan dan pertarungan. Pilkades tidak sekadar memilih pemimpin desa, tapi juga memilih bendera dan afiliasi politik. Konsekuensinya, pertarungan calon sekarang ini tidak hanya sebatas antar individu para calon, tapi bisa lebih luas antar partai atau golongan. Karena itu, menjelang pergantian kepala desa, berbagai cara pun dilakukan, tak terkecuali jika harus menggunakan politik uang atau menggunakan kekuasaan untuk menancapkan pengaruhnya.

Bahkan jauh sebelum pelaksanaan pilkades, pemindahan kekuasaan pun bisa ditransaksinonalkan. Seperti peristiwa heboh yang terjadi di Kabupaten Lumajang. Penundaan Pilkades di Lumajang, termasuk penunjukan Pejabat Sementara (PJs) menuai kritikan karena dianggap kontroversi. Akibat penundaan ini para calon kepala desa berikut para pendukungnya sempat menggelar demo besar-besaran di Lumajang. Agus Wicaksono, salah satu calon Bupati Lumajang menegaskan, penundaan pilkades di Kab. Lumajang menjelang Pemilihan Kepala Daerah adalah sebuah langkah yang sarat dengan kepentingan politik dan bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Menurut Agus, Pemilihan Kepala Desa adalah hak rakyat yang seharusnya digelar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. “Saya sangat menyayangkan langkah pemerintah Kabupaten Lumajang yang melakukan penundaan Pilkades di 134 Desa. Itu adalah hak rakyat. Saya tahu penundaan Pilkades hanya untuk kepentingan politik. Hanya untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara tidak melaksanakan Pilkades yang sebenarnya telah diatur dalam Perundang-undangan yang berlaku,” kata Agus Wicaksono pada aca­ ra deklarasi pencalonannya. Hampir sama juga terjadi di Sumenep. Tarik menarik kepentingan juga terjadi antara eksekutif dan legislatif. Keduanya sampai saat ini ternyata belum satu kata dalam menerjemahkan pilkades serentak. Padahal rencananya, pilkades serentak di Sumenep akan digelar pada Mei 2013 nanti. Pemkab Sumenep memaknai pilkades serentak bisa dilaksanakan dalam satu bulan dengan dibagi beberapa hari pelaksanaan. Pemkab merencanakan pilkades dilakukan dua tahap, yakni pada Mei dan Oktober. Sedangkan DPRD menerjemahkan pilkades serentak harus dilaksanakan serentak satu hari. Anggota Komisi A DPRD Sumenep, Rukminto menjelaskan, yang dimaksud dengan Pilkades serentak itu pelaksanaannya dilakukan dalam satu hari, bukan dalam satu bulan dengan beberapa hari pelaksanaan. Menurutnya, di beberapa daerah lain seperti di Malang, pilkades serentak dilakukan dalam satu hari. “Kami sudah studi banding ke beberapa daerah yang melaksanakan pilkades serentak. Ya semuanya dilaksanakan dalam satu hari. Kalau alasannya personel keamanan tidak cukup untuk

mengamankan, itu kurang rasional. Di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, saat pelaksanaan pilkades itu hanya ada tiga personel keamanan di setiap desa yang menyelenggarakan pilkades,“ katanya. Menurut Rukminto, salah satu tujuan dari pilkades serentak adalah untuk meminimalisir terjadinya konflik dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan pilkades seperti judi. “Teorinya memang apabila terjadi konflik, pihak keamanan yang harus mengamankan. Tapi realitas di lapangan, masyarakat lebih bertanggung jawab atas pelaksanaan pilkades itu,“ ujarnya. Rukminto bersikukuh, apabila pilkades serentak dimaknai dengan dilaksanakan dalam satu bulan, berarti sudah menyalahi maksud dan tujuan dari dilaksanakannya pilkades serentak. “Kami sudah susah-susah melakukan studi banding ke beberapa kabupaten/ kota. Kami juga sudah menganggarkan dana pelaksanaannya. Tapi ternyata Pemkab kok masih akan melaksanakan pilkades secara bertahap, ada apa ?. Tujuan kami melaksanakan pilkades serentak itu untuk mempersempit terjadinya judi yang menyebabkan konflik di masyarakat,“ paparnya. ’Sengketa’ kepentingan menjelang pilkades serentak juga terjadi di Malang. Pilkades secara serentak yang dijadwalkan berlangsung pada Minggu, 7 April 2013 mendatang mendapat tentangan dari paguyuban camat se Kabupaten Malang. Tapi sumber persoalannya bukan karena pilkades itu dilakukan serentak atau bertahap, melainkan waktu pemilihan. Menurut Suroto, ketua paguyuban camat, pilkades serentak yang digelar Minggu 7 April di 226 desa yang tersebar di 33 kecamatan itu, dinilai tidak efisien. “Kami hanya minta Pemerintah Kabupaten Malang mempertimbangkan pelaksanaan. Tujuannya, pemilih yang memiliki hak suara bisa maksimal dalam menyalurkan aspirasi atau hak pilihnya. Mengingat, jadwal yang ditentukan itu, bertepatan dengan hari libur,” kata Ketua Paguyuban Camat seKabupaten Malang, Suroto. Pria yang juga Camat Karangploso itu menegaskan, pengalaman tahun-tahun sebelumnya, jika pelaksanaan pilkades dilakukan di hari libur, maka aspirasi atau hak pilih warga tidak maksimal. Penyebabnya, bisa jadi karena hari libur dioptimalkan warga atau masyarakat untuk urusan pribadi atau keluarga. ”Kondisi ini, berbeda dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Karenanya, mohon ada pertimbangan untuk penetapan waktunya. Mau dimajukan silahkan, dimundurkan juga silahkan. Jika perlu, camat diajak bicara mengenai ini,” terangnya.(*)

Edisi Perdana, Maret 2013

Pilkades, Akar Demokrasi Berbuah Korupsi DESA sebagai akar dari demokrasi, ‘terlupakan’ dari perhatian pemerintah pusat. ������� Terbukti dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades), tak ada dana yang dianggarkan oleh pemerintah. Para calon ‘dipaksa’ untuk membayar biaya pelaksanaan Pilkades. Itulah kondisi yang terjadi di desa saat pelaksanaan Pilkades. Rosiki, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) mengatakan, seharusnya pemerintah pusat juga memikirkan alokasi dana untuk pilkades. Karena pilkades itu juga amanat konstitusi. Tidak hanya pemilihan gubernur dan kepala daerah yang harus didanai pemerintah. “Sebenarnya dana Pilkades yang dibebankan kepada calon itu adalah paradigma yang keliru. Karena hadirnya pemerintahan di level desa bukan keinginan masyarakat. Tapi karena mandat konstitusi,” jelasnya. Seharunya, tambahnya, segala biaya penyelenggaraan pilkades juga diatur oleh pemerintah pusat. Akibat tak dibiayai peme­ rintah pusat, tak jarang pesta demokrasi desa itu malah menjadi ajang bisnis bagi oknum pemerintah daerah. “Kalau calon sudah dipe­ ras, jangan salahkan jika terpilih, malah rakyat yang jadi mangsa,” katanya. Bambang Sutrisno, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), di Desa Cerme, Kabupaten Bondowoso, mengatakan, sekarang ini hampir setiap pemilihan kepala desa, marak dengan praktik politik uang. Tradisi tersebut, akibat dari tidak adanya kepedulian pemerintah pusat pada proses pilkades yang menjadi akar munculnya demokrasi. Pilkades, yang merupakan salah satu instrumen terbentuknya demokrasi lokal, jelas Bambang, seharusnya masyarakat mendapatkan nilai-nilai pendidikan demokrasi di


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.