Tabloid ProDesa Edisi Perdana Maret 2013

Page 1

BKD, Hak Desa RUU Desa Sulit yang Diabaikan! Selesai April Hal 5

Hal 11

Biaya Pilkades, Pemicu Korupsi Hal 17

Desa Pinggiran

Bantuan Meluap Semangat Menguap Hal 19-21

pr desa edisi perdana, maret 2013

Desa Sejahtera, Negara Berjaya

khofifah menantang lagi

aspirasi desa

PEMIMPIN BARU UNTUK

JAWA TIMUR BARU


2

pr desa

Edisi Perdana, Maret 2013

Catatan Redaksi ProDesa Memihak Wong nDeso Salam sejahtera desaku ! Beberapa kepala desa bertanya, sudah ada Majalah Suara Desa mengapa harus ada Tabloid Pro Desa ? Apakah tidak duplikasi ? Apakah mampu menembus pasar desa ? Pertanyaan beragam, namun jawaban normatifnya, bahwa Tabloid ProDesa diterbitkan sebagai media yang memihak orang desa, mulai dari masyarakat miskin di desa, kepala desa, perangkat desa, hingga pelaku ekonomi mikro serta beragam potensi desa di Jawa Timur. Media ini sekaligus mengisi ‘ruang publik’ yang ditinggalkan kebanyakan media massa, yakni memberitakan desa dan menyuarakan masyarakat desa. “Kebanggaan dan kepuasan terbesar saya, apabila saya telah berbagi semua berkah dan anugerah Allah SWT yang telah dilimpahkan kepada saya,”ujar R.H. Dwi Putranto Sulaksono, Pembina AKD Jatim sekaligus investor Tabloid ProDesa maupun Suara Desa. Pria kelahiran Tuban ini ingin berbagi anugerah Tuhan yang diterimanya bagi pemberdayaan dan pencerahan kepala desa maupun masyarakat desa. Jika mereka berdaya diharapkan dapat memajukan dan memakmurkan desa. Jika desa sejahtera, maka negara pun akan berjaya. Sebab desa adalah pondasi sebuah negara. Sudah menjadi keniscayaan, tolok ukur kemajuan negara dapat dilihat dari pembangunan di desa. Kemakmuran sebuah negara tergantung dari kese­jahteraan masyarakat di desa. Data BPS tahun 2005 menyebutkan sebanyak 32.379 desa atau sekitar 45 persen dari 70. 611 desa di Indonesia masuk dalam kategori desa tertinggal. Di Jawa desa

pr desa Pembina /Penasehat : R.H. Dwi Putranto Sulaksono Pemimpin Umum : Samari Pemimpin Redaksi : Budi Harminto Dewan Redaksi : R.H. Dwi Putranto Sulaksono, Samari, Tulus Setyo Utomo, Sugeng Budiyono, Budi Harminto, Nur Fakih, M. F. Tony, G.S. Sutanto

tertinggal paling banyak terdapat di Jawa Timur, yakni 3.668 desa dari 8.477 desa/kelurahan (saat ini 8.506 ). Sembilan besar paling banyak di Kabupaten Sampang yakni 225 desa, diikuti Bangkalan (180), Malang (154), Bondowoso (146), Blitar (131), Ponorogo (124), Sidoarjo (103), Situbondo (85), dan Lumajang (97). Lalu pada tahun 2009 Kementerian Pemberdayaan Daerah Tertinggal merilis, bahwa dari sekitar 32 ribu desa terting gal di Indonesia, 17 persen berada di Jatim. Laporan Sekdaprov Jatim Dr. Rasiyo juga menyebutkan, sampai pada 2010, ada tujuh kabupaten di Jatim tergolong wilayah tertinggal, yaitu Kabupaten Sampang, Pamekasan, Bondowoso, Situbondo, Pacitan, Trenggalek, dan Kabupaten Madiun. Bahkan hingga penghujung 2011, Kabupaten Bangkalan, Sampang dan Pamekasan, belum mampu me- naikkan statusnya dari daerah tertinggal. “Itu dilihat dari tiga aspek berupa ketersediaan pang­ an, pelayanan kesehatan dan akses pendidikan,”ujar Menteri PDT Ir. Helmy Faizal Zaini. Rilis BPS Jatim menunjukkan, penduduk miskin Jatim sampai September 2011 tercatat 5,227 juta (13,85 persen) dari jumlah warga Jatim sekitar 37,7 juta jiwa. Kawasan perdesaan masih menjadi daerah dengan penyumbang jumlah kemiskinan terbesar, mencapai 66,82% atau sekitar 3,493 juta jiwa. Sisanya berada di perkotaan. Ketertinggalan dan kemiskinan itu, menurut Ketua AKD Jatim Drs. H. Samari, MM, hanya dapat ditanggulangi jika desa menjadi paradigma pembangunan nasional. Saat ini semua energi dan potensi harus diarahkan ke desa. Sebab di desa merupakan akar per-

masalahan di tanah air, seperti kemiskinan, pengangguran, kebodohan, sanitasi kesehatan, usaha kecil, infrastruktur, dan sebagainya. Sebenarnya sejarah masa lalu di negeri ini telah mengajarkan, bahwa kejayaan negara memang di­awali dari kesejahteraan di desa. Lihat saja, kejayaan Kerajaan Majapahit tidak lepas dari keberhasilan mereka membangun lumbung pangan yang kuat dan stabil. Dari negara agraris di daerah pedalaman Jawa Timur, Majapahit berkembang dan memiliki armada maritim maupun perdagangan yang sangat besar dan tangguh. Tengok juga kebangkitan Amerika Serikat yang dilanda malaise (kelesuan) pada 1920-an. Saat itu seluruh sektor kehidupan lumpuh. Banyak pabrik gulung tikar, perban­kan bangkrut, bursa saham ambruk, nilai tukar dollar jatuh, pengangguran dimana-mana, fakir miskin ‘meledak’, dan kejahatan merajalela. Namun era malaise itu dapat diatasi dengan cepat, setelah mereka menyadari kesalahan fundamental dalam paradigma pembangunan. Tanpa ditopang sistem pangan atau pertanian yang benar, kehebatan suatu negara adalah semu. Kemegahan industri tanpa ditopang pertanian yang kuat, ibarat istana lapuk dimakan rayap. Jika sebuah negara ingin maju, maka pertaniannya juga harus maju. Pertanian adalah sendi penopang kehidupan ekonomi sebuah negara. Membangun pertanian, itu membangun desa. Membangun desa, berarti membangun segenap kebutuhan fisik di desa, sekaligus membangun manusianya. So, itu memberdayakan masyarakat desa. Tabloid ProDesa hadir untuk merefleksikan suara dari hati untuk menyalurkan aspirasi wong ndeso. *

Redaktur Pelaksana : Nur Fakih, MF. Tony, GS. Santo Reporter : T. Huda (Banyuwangi), Fatur Hadi (Situbondo), Syamsu Sahal (Bondowoso), M. Hasan (Jember), R Ziqi (Malang), Ali Machmudi (Lumajang), Fathoni (Pasuruan), Achmad Faiz (Probolinggo), Sujiwo (Kediri), Hendra Yunantoro (Blitar), Sugiono (Nganjuk), Sakti Prawira (Tulung­agung), Handrawan (Trenggalek), S. Prawiro (Madiun), Maksum Chairi (Magetan), Sumarsono (Ponorogo), Arie Wahyu (Pacitan), Riyanto (Ngawi), Dodik Hendra (Gresik), G Susanto (Sidoarjo), Irfan Bachmid (Mojokerto), Nurul (Jombang), Abdul “Willy” Barry (Tuban), M. Mustika (Lamongan), Zaenal C.M. (Bojonegoro), Fatkul Amin (Bangkalan), Aminullah (Pamekasan ), Kasiono (Sampang), Alan Nuari (Sumenep). Pemimpin Perusahaan : Budi Harminto

Sekretaris Redaksi : GS. Santo, Reza Pahlevi

Pracetak : Tatik AS, S. Rini

Alamat Redaksi: Komplek Pasar Wisata Juanda Blok D-1, Jalan Raya Tropodo-Juanda, Desa Pabean Sedati, Sidoarjo. Telp. 031-8679999, www.prodesa.com

Diterbitkan: CV Suara Desa Sejahtera


Edisi Perdana, Maret 2013

Keliling Desa

pr desa

3

Warga Kalipancing Bangun Rabat Beton

LUMAJANG – Warga Dusun Kalipancing Desa Lempeni, Kecamatan Tempeh berhasil membangun jalan rabat beton sepanjang 400 meter. Pembangunan infrastruktur itu memanfaatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang diterima dari APBD tahun 2012. Abdi Rohkman, Kepala Desa (Kades) Lempeni, menjelaskan, pembangunan rabat beton itu adalah wujud dari pemerataan pembangunan yang ada di desanya. Dana ADD yang diterima setiap tahunnya adalah sebesar Rp. 67.900,300,- diantaranya untuk pembangunan infrastruktur yang ada di desanya. “Sebelumnya pembangunan dilakukan di 5 dusun lainnya,” terang Abdi. Desa Lempeni sendiri terbagi menjadi 6 Dusun, diantaranya Dusun Krajan 1, Dusun Krajan 2, Dusun Mujur 1, Dusun Mujur 2 dan Dusun Kalipancing. Sebagian besar penduduk Desa Lempeni adalah bertani dan buruh penambang pasir. Desa Lempeni sendiri diapit 2 sungai besar yang kaya akan pasir berasal dari aliran Gunung Semeru. Masyarakat Dusun Kalipancing berjumlah 1.191 jiwa atau 306 KK. Dusun Kalipancing merupakan satu diantara enam dusun yang masuk wilayah Desa Lempeni. Sedangkan total penduduk warga Desa Lempeni adalah 5.947 jiwa atau 1.482 Kepala Keluarga (KK).(ali)

Desa Tanjung, Masuk Zona Minapolitan

SUMENEP - Panitia khusus (pansus) Raperda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD Sumenep menetapkan Desa Tanjung, Kecamatan Saronggi, sebagai zona minapolitan, meskipun di Desa tersebut ada

pengeboran minyak dan gas bumi (migas) oleh PT Energi Mineral Langgeng (EML). Ketua Pansus Raperda RTRW DPRD Sumenep, Iskandar, Selasa (15/01/13) menjelaskan, desa Tanjung ditetapkan sebagai zona minapolitan, karena daerah tersebut merupakan sentra budidaya rumput laut dan ikan. “Kalau ada perubahan zona, maka dikhawatirkan penghasilan masyarakatnya tidak berkembang. Lagipula keberadaan pengeboran migas di daerah tersebutkan baru dimulai dan belum diketahui berapa kandungan migasnya,” katanya. Ia memaparkan, sebagai wakil rakyat, pihaknya tetap berupaya melindungi masyarakat. “Kami tidak akan mengorbankan masyarakat. Kalau pengeboran itu menguntungkan masyarakat, silahkan dilanjutkan. Tetapi apabila justru merugikan masyarakat, maka perusahaan migas harus bertanggung jawab. Harus ada ganti rugi yang diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak pengeboran,” tegasnya.(lan)

Lahar Dingin Tutup Desa Krajan

Desa Tanpa Listrik

NGANJUK – Ironi kehidupan modern terjadi di Nganjuk Jawa Timur. Sudah puluhan tahun Dusun Pongkol Desa Macanan Kecamatan Loceret Nganjuk yang berada di kawasan hutan ini tidak bisa menikmati penerangan listrik sebagaimana daerah lain. Padahal, kampung ini sudah ada sejak tahun 1940 lalu. Kampung yang berada di kaki Gunung Wilis ini memang sejak sepuluh tahun lalu sudah dimasuki proyek pemasangan tiang listrik PLN. Namun ironisnya, hingga sekarang belum juga terpasang kabel listrik yang akan menerangi rumah warga. Secara ekonomi kampung yang dihuni 70 kepala keluarga dengan penduduk sekitar 220 jiwa ini relatif mapan, meskipun mayoritas bekerja sebagai petani. Setidaknya ini terlihat dari bangunan rumah warga, berdinding dan berkeramik. Bahkan peralatan elektronik seperti televisi dan juga handphone, bukan barang asing lagi. Namun demikian, peralatan elektronik itu belum bisa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Televisi malah masih banyak yang terbungkus di dalam kardus. Satriyo kepala desa setempat, mengatakan, sudah tujuh tahun yang lalu ia mengajukan listrik ke pemda, namun sampai sekarang belum ada kejelasannya. “Ada sekitar 70 kepala keluarga atau 200 jiwa hidup dalam kegelapan tanpa listrik PLN di desa saya dan sudah puluhan tahun,” ujar Satriyo.(tni,dtc)

LUMAJANG - Banjir lahar dingin Gunung Semeru menyebabkan Desa Kajang Kosong, Kecamatan Candi­puro Kabupaten Lumajang, terisolir. Jalan keluar masuk desa tersebut tertutup material lahar, seperti batu besar yang terbawa banjir. Banjir lahar dingin yang terjadi Rabu, 23 Januari 2013. Banjir menyebabkan aliran Sungai Besuk Kobok­ an meluap. Kendaraan roda dua pun sulit melintasi lokasi. Jalan tersebut merupakan satu-satunya akses keluar masuk warga. Daerah yang terisolir itu dihuni 30 kepala keluarga atau 200 jiwa. Desa Kajang Kosong merupakan desa terpencil. Untuk menuju desa tersebut harus melintasi cek dam Sungai Besuk Kobokan. Bila terjadi hujan deras di puncak Semeru, sungai ini kerap dialiri lahar dingin. (ali,okz)

Kades Karangkates Terpilih Dilantik

MALANG - Bupati Malang H. Rendra Kresna melakukan pelantikan dan pengambilan sumpah Triwahyudi, Kades Karangkates Kecamatan Sumberpucung, terpilih. Ia memangku jabatan kades masa bhakti 2013-2019 menggantikan Tukimun yang mengabdi sebagai Kades selama sepuluh tahun, 2003-2013. Pelantikan Kades berlangsung meriah dihadiri para Pejabat Pemkab Malang, Muspika Kecamatan Sumberpucung serta masyarakat Desa Karangkates. Pelantikan berlangsung di pendopo Balai Desa Karangkates, Kamis (14/02). Anang, ketua panitia pemilihan Kades sekaligus ke­ tua panitia pelantikan Kades Karangkates mengatakan, Triwahyudi yang akrab disapa Gayong berhasil memenangkan pilkades yang berlangsung 24 Desember 2012 lalu. Triwahyudi memperoleh 1.881 suara, sedangkan tiga calon lain yakni Siti Aminah 179 suara, Sekar Karmiati 1.260 dan Utari 598 suara. Terdapat 88 surat suara yang rusak dari 4 ribuan orang yang menggunakan hak pilih-

nya. Sedangkan total hak pilih adalah 7.760 orang yang tersebar di 5 RW dan 40 RT. Pada hari yang sama, Bupati Malang juga melantik dan mengambil sumpah Kades terpilih Desa Purwodadi Kecamatan Donomulyo, Sutarmin. Sutarmin menggantikan Kades lama Sudono yang telah mengabdi selama kurun waktu 2003-2013. (tni)

Petani Lombok Gagal Panen LUMAJANG - Akibat curah hujan tinggi ditambah cuaca yang tidak menentu, banyak tanaman palawija mati dan terancam gagal panen. Salah satunya adalah tanaman lombok merah milik Arifin (37), warga Desa Sumbersari, Kecamatan Rowokangkung, Lumajang. Lombok merah yang siap panen seluas hampir satu hektar tersebut, kondisinya mulai membusuk dan meng­ ering. Padahal jika dilihat dari batangnya, tanaman itu sudah saatnya untuk dipanen. Namun, batang lombok yang mulai berbuah itu justru layu. “Lombok ini sebetulnya sudah waktunya dipetik, tapi karena curah hujan tinggid dan cuaca tidak menentu, buahnya mulai banyak yang membusuk dan mengering,” terang Jumadi (45), petani yang merawat tanaman tersebut. Dikatakan, sebetulnya pada saat tanaman mulai menampakan layu, ia sudah melakukan berbagai upaya untuk menanggulanginya. Diantaranya, memberi pupuk ulang serta menyemprotkan beberapa vitamin daun pada tanaman tersebut. Namun , hasilnya sia-sia dan hanya membuang biaya. “Jelas rugi, karena belum ada yang bisa dipanen,” tandasnya. (ali)

Jembatan Singowangi Putus MOJOKERTO- Jembatan yang menghubungkan Desa Singowangi, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto dengan desa di sekitar putus akibat kuatnya arus sungai setelah hujan lebat mengguyur dalam beberapa hari terakhir. Akibatnya, warga yang biasa menggunakan akses jembatan untuk menghubungkan dengan desa lain ini harus memutar hingga satu kilometer. Kepala Dusun (Kadus) Singowangi, Desa Singowangi, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto, Sutomo mengatakan, Jembatan Singowangi menghubungkan tiga kecamatan. “Ada tiga kecamatan yang bisa melalui jembatan ini, yakni Kecamatan Kutorejo, Kecamatan Bangsal dan Kecamatan Mojosari “ ungkap Sutomo, ditemui Rabu (06/03). “Tak hanya warga, siswa sekolah yang memang lokasi berdekatan dengan SMPN 2 Kutorejo harus memutar sejauh satu kilometer. Bahkan, anak-anak terpaksa menyebrang sungai untuk menghemat waktu agar tidak telat masuk sekolah dibanding harus memutar sejauh satu kilometer,” tambahnya. Sutomo menjelaskan, sedikitnya sebanyak empat RT di Dusun Singowangi atau sekitar 190 Kepala Keluarga (KK) yang setiap hari melintas jembatan ini. Padahal, lanjut Sutomo, ada warga di tiga kecamatan yang biasa menggunakan akses jembatan ini. “Ada 190 KK, jumlah itu hanya di Dusun Singowangi, belum warga yang berada di Kecamatan Bangsal dan Kecamatan Mojosari. Warga berharap pemerintah segera diperbaiki agar aktifitas warga sekitar tidak memutar dan terganggu,” harapnya. (dtc)


4 e­

pr desa

Utama

Edisi Perdana, Maret 2013

Janji Yang Tak Tertagih

Kembalikan APBD untuk Rakyat

muh Malang ini. Lantas bapak empat anak ini menunjuk alokasi anggaran yang tidak tepat sasaran, seperti program nampang dan membaik-baikkan diri sendiri. Menurutnya, pemerintahan itu dikatakan baik, kalau rakyat merasakan manfaatnya dan akhirnya menilai baik. Dan kenyataannya, banyak desa di Jatim yang megap-megap karena tidak memiliki dana cukup untuk membangun jalan desa atau untuk memperbaiki balai desa. Tidak itu, saja, desa-desa yang tdak memiliki sumber dana sendiri, jika pemerintahannya pelit semakin tidak mampu untuk menjadikan masyarakat berdayaguna. “Mas, mbok ya tolong Jambepawon diusahakan dapat BKD. Itu untuk rabat jalan ke rumah Ribut dan Pak Karji, agar mereka mudah mengirim susu,”keluh Gianto, Kades Jambepawon, Kec. Doko, Kab. Blitar, kepada Budi Harminto, wartawan Suara Desa. Sebelumnya, beberapa kepala desa juga menyampaikan keinginan serupa. Misalnya, Jatmiko, Kades Tambaksari, Kec. Puwodadi, Pasuruan, meminta dicarikan dana BKD untuk menambah dana rehab kantor desa. Demikian juga Nanang Sudarmawan, Kades Pucuk, Kec. Dawarblandong, Mojokerto, minta tolong ‘dicarikan’ BKD. Tidak hanya Gianto, Jatmiko, dan Nanang Sudarmawan, beberapa kades juga menelpon dan mengharapkan hal serupa. Sepertinya mereka paham, bahwa BKD adalah hak pemerintahan desa. Menurut Sekretaris AKD Jatim Moch. Moezamil, S.Sos, alokasi dana ke desa sebesar Rp 60 juta/tahun untuk 1400 desa, maka sampai lima tahun masa kepemimpinan Pak De Karwo seluruh desa se-Jatim akan mendapatkan dana BKD.”Ini nggak sesuai janjinya yang setiap tahun akan menyalurkan BKD sebesar Rp 100 juta/desa,” tegas Kades Bono ini. Dari sektor pemberdayaan bidang ekonomi masyarakat desa, pemprop Jatim juga belum pro desa. Bantuan koperasi wanita misalnya, belum diterima secara merata oleh seluruh Kopwan seJatim. Dana bantuan R 25 juta/Kopwan itu hanya diberikan utuk sebagian kecil saja, sehingga Kopwan lainnya semakin tidak bisa berkembang untuk meningkatkan taraf hidup warga. Dalam bidang pendidikan, Pemprop Jatim sering ingkar janji. Dana bantuan BOS Daerah yang seharusnya digulirkan sebagai dana sharing degan BOS Kabupaten gagal disalurkan. “Banyak sekolah-sekolah, terutama di desa kecewa, karena sudah dianggarkan dalam RAPBS ternyata Pemprop urung menyalurkan dana BOS Propinsi,” kata seorang anggota Dewan Pendidikan Gresik Nur Fakih.(tni,nf)

Siapa Gubernur Jatim Selain Basofi Soedirman yang concern pada progam pembangunan desa? Program kembali ke desa, telah menyadarkan betapa pentingnya peranan desa dalam kehidup­ an berbangsa dan bernegara. Namun setelah itu, program pembangunan desa terbengkalai tak ada yang mengurus lebih serius.

N

ama desa telah menjadi komoditas politik untuk mendulang perolehan suara pada setiap Pemilu legislatif maupun pemilihan kepala daerah dan presiden. Janji peningkatan produk pertanian agar lebih kompetetif untuk meningkatkan ke­ sejahteraan petani sering dilupakan kandidat, begitu pula dengan program pemberdayaan masyarakat desa, Dari sisi legalitas, RUU Desa yang diharapkan menjadi landasan kuat untuk mengelola desa lebih baik, ternyata gagal digedok sesuai jadual, sehingga desa masa depannya semakin temaram. Banyak kepala desa yang dipenjara, karena banyak kasus, baik soal korupsi, penyalahgunaan wewenang maupun soal moral. “Itu semua akibat dari aturan yang melandasi tata cara pelaksanaan pemerintahan desa belum jelas,” kata Samari Ketua AKD Jatim. RUU Desa yang tidak lagi bisa direalisasi pada tahun ini, bukan satu-satunya persoalan yang membuat kepala desa pusing tujuh keliling. UU 32/2004 dan PP 72/2005 yang menyebutkan setiap desa aka memperoleh Bantuan Keuangan Desa juga tidak direalisasi oleh Gubernur Jatim sesuai janji kampanyenya menjelang Pilgub 2008. Asosiasi Kepala Desa Jawa Timur (AKD Jatim) tidak pernah berhenti mendesak Pemerintah Provinsi Jawa Timur menyalurkan Bantuan Keuangan Desa (BKD) secara menyeluruh dan merata setiap tahun. Namun desakan itu, tidak pernah didengar.”Jangankan setiap tahun Rp 100 juta untuk setiap desa, sampai saat ini saja masih banyak desa yang belum menerima dana BKD dari Pemprop Jatim,” Kata Rabiul Usman Ketua AKD Jombang. Menurut Rabiul, setiap tahun sekitar 1500 desa yang menerima dana BKD. Angka yang diterima desa juga tidak sesuai jumlah yang dijanjikan Pak De sebesar Rp 100 juta, sebab desa penerima BKD hanya diberi Rp 60 juta.”Jadi selama lima tahun satu desa menerima sekali. Ini sama saja dengan janji palsu,” ujarnya. Padahal jika dihitung, dengan kekuatan APBD Jatim sebesar Rp 12 Triliyun lebih, maka jika jumlah desa sebanyak 7.721 dan masing-masing desa memperoleh Rp 100 juta, berarti Pemprop hanya menyediakan dana sekitar Rp 800 miliyar/tahun. Angka ini akan turun jika Pemprop Jatim menyediakan Rp 60 juta/tahun.”Dengan BKD itu, diharapkan akan terjadi pemerataan pembanguna di desa sesuai cita-cita bersama,” kata Rabiul.

Ketua AKD Jatim Drs. H. Samari Karena ‘pelit’ mengucurkan anggaran BKD ke desa, para kepala desa dan beberapa anggota DPRD Jatim menilai, bahwa slogan ‘APBD untuk Rakyat’ hanya omong kosong. Ketua AKD Jatim Drs. H. Samari mengungkapkan, awalnya pihaknya memaklumi, ketika Gubernur Jatim H. Soekarwo mengungkapkan uang provinsi tidak cukup untuk membantu keuangan desa.” Namun ketika mengetahui APBD Jatim mencapai Rp 12 triliun pada tahun 2012 ini, Saya mempertanyakan alasan tersebut. Pemerintah Provinsi harus terbuka dan transparan terhadap alokasi dan penggunaan APBD untuk rakyat,” katanya. Hal senada juga disampaikan Prof. Dr. M. Mas’ud Said, asisten staf khusus presiden bidang otonomi daerah dan pembangunan daerah. Banyak UU atau peratauran pemerintah ditetapkan, tapi tidak dijalankan. Atau, kalau dilaksanakan “bolong-bolong” dan tidak menyeluruh. Mas’ud sangat setuju anggaran ke desa harus diberikan secara rutin dan ditingkatkan tiap tahun.Menurutnya, selama ini yang terjadi, pemanfaatan anggaran belum sepenuhnya tepat sasaran, terutama dalam mengatasi masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur yang ada di pedesaan. “Kalau aturannya sudah ada, harus dilaksanakan, Meski jumlahnya belum maksimal dan sesuai harapan kepala desa,”ujar Guru Besar Un-

Belum Pro Rak

yat

Karena tidak banyak yang di kucurkan ke de diam. Anggota Fr sa itulah, kalang aksi Kebangkita an DPRD Jatim n Bangsa (FKB) untuk Rakyat’ te juga tak bisa DPRD Jatim Badr rnyata omong ko ut Tamam menila song. Ia menila berpihak kepada i jargon ‘APBD i APBD Jawa Tim rakyat miskin. ur Tahun 2012 m Terbukti, dari Rp khususnya peng endatang tidak 12 triliun dana entasan kemisk APBD Jatim, ya inan hanya dial Dari total aggara ng pro rakyat, ok as ik an 3,2 n 12,214.783.35 persen. 9.822,00 Pempr runan tingkat ke ov Jatim hanya miskinan sebesa mengalokasikan r 3,26 % atau Rp kemiskinan itu untuk penu398.631.272.283 dibagi dengan ju ,00. Bila anggar mlah warga misk Badrut, maka sa an pengantasan in di Jatim yang tu orang warga mencapai 12,1 miskin hanya ak tiap bulan. juta jiwa, kata an mendapat ja m inan Rp 110 sam APBD Jatim, term pai 120 ribu asuk rancangan APBD Jatim 2012 lam Negeri dala m berkas bernom , yang sempat di evaluasi Kemen or 903-836 Tahu Pertama, Gube terian Dan 2011 tentang Ha rnur Jatim belu sil Evaluasi APBD m menyambut minimal 20% da Tahun 2012. dengan benar ri kekuatan APBD UU Pendidikan . “Kedua, pengen yang mewajibka tasan kemiskin n an masih kecil seka dalam menerim a dana Jamkesm li, dengan gam baran per kelu as tidak sampai Ketiga, soal infra arga miskin Rp 2 juta/bulan struktur dan ko ,” kata Badrut Ta ordinasi. Bahw perkuat dan m man. a Pemprop Jatim erealisasi infra belum konsisten struktur. Hal in 10,84% saja dari untuk memi sesuai lapora kekuatan APBD n Kemendagri Jatim yang ham yang hanya plot Khusus terkait in pir sebesar Rp 12 ing frastruktur yang ,5 triliun. bersifat tambal lemahnya koordi sulam di lapanga nasi dan sinkron n itu, terbukti ole isasi. Sehingga m masing mengepu h fakta atas asih ada jalan ru ng berbagai wilay sak, jembatan ru ah,” tutur Badrut Anggota Fraksi sak dan banjir . PDIP Suharti, S.Psi, MM men kemiskinan belu ilai pelaksanaa m memberikan n program pe hasil yang men seremonial dan nanggulangan ggembirakan. Pr program-program ogram tersebut charity. Belum mengatasi kem masih bersifat menunjukkan iskinan dan kese niat luhur dan ngsaraan rakyat kesungguhan Jatim. (tni)


Utama

Edisi Perdana, Maret 2013

pr desa

5

Drs Robiul Usman

BKD, Hak Desa yang Diabaikan! Dalam Undang-Undang 32/2004 ten­tang Pe­me­ rin­­­tahan Daerah dan le­bih spesifik lagi da­lam Pe­ra­tu­ran Pemerintah (PP) 72/2005 ten­tang Desa disebutkan, salah satu sumber pendapatan desa adalah be­ru­pa Ban­­tuan Keuangan Desa (BK). Bantuan keuangan itu di luar Alo­kasi Dana Desa (ADD), se­perti yang selama ini sudah ber­ja­lan.

B

ahkan secara tegas disebutkan, ban­­tuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota itu disalurkan me­­­la­­lui kas desa. Itu artinya, ada ke­­­­wa­ji­ban dari Pemerintah, Pe­­me­rin­tah Pro­pinsi dan Pemerintah Ka­bupaten se­tiap ta­hun­nya mem­ beri bantuan keuangan se­­cara langsung ke de­sa yang disa­lur­kan melalui APBDesa. Ban­tuan ke­uangan ini, dalam ka­it­annya de­ngan pe­lak­­sanaan urusan pe­ merintahan. Na-

mun, mes­ki da­sar hukum ban­tuan ke­­u­ang­­ an desa itu sudah ada –yakni PP 72/2005--, dalam pelak­sa­na­an­­­nya tetap tidak semulus yang di­­harapkan para kepala desa. Ma­­lah ada kesan, Pe­merintah ter­u­tama Pemerintah Propinsi me­nga­­­baikan amanat UU tersebut. Ter­­­­bukti sampai sekarang, yang na­­manya bantuan keuangan, ba­ik dari Pemerintah, Pemerintah Pro­­­­­vinsi, Pemerintah Kabupaten, belum pernah dikucurkan. Berkaitan dengan Bantuan Ke­u­ang­an Desa (BKD) ini, Suara De­sa berbincang dengan Drs Robiul Us­man, Kepala Desa Pagerwojo, Kec. Pe­­rak Jom­bang, Wakil Sekretaris AKD Jawa Timur. Bapak empat anak yang sudah dua periode memimpin desanya ini, menyampaikan pokok-po­kok pikirannya berkaitan dengan BKD. Terlebih ia adalah salah satu sak­si sejarah bagaimana penguasa Pe­­­me­rintah Propinsi

Jawa Timur ‘men­­­­jan­jikan’ anggaran untuk rak­yat, ter­­­­m­asuk mengucurkan bantuan ke­uang­an untuk desa pada saat kam­panye tempo dulu. Bagaimana Anda melihat Pelak­sa­naan UU 32/2004 khususnya PP 72/2005 tentang Desa ? Masih jauh dari harapan. Banyak hak-hak desa yang diabaikan pemerintah, mes­ki dalam UU 32 maupun PP 72 se­ca­ra tegas diatur. Malah ada kesan, Pe­me­rintah, terutama Pemerintah Pro­pinsi se­perti menutup mata akan hak-hak yang ha­rusnya diterimakan ke desa. Bisa memberi contoh ? Misalnya, bantuan keuangan untuk de­sa (BKD). Dalam pasal 68 Peraturan Pe­merintah nomor 72/2005 tentang De­sa disebutkan, sumber pendapatan de­sa itu terdiri atas : Pendapatan asli desa, terdiri dari ha­sil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swa­ daya dan partisipasi, hasil gotong ro­yong dan lain-lain pendapatan asli de­sa yang sah. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/ Ko­ta paling sedikit 10% untuk desa dan dari retribusi Kab/Kota sebagian di­per­u­n­ tukkan bagi desa. Bagian dari dana perimbangan ke­ uang­an pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling se­dikit 10% yang pembagiannya untuk se­tiap desa secara proporsional yang me­ rupakan alokasi dana desa (ADD) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Ka­­ bu­paten/Kota dalam rangka pelak­sanaan urusan pemerintahan. Hibah dan sumbangan dari pihak ke­tiga yang tidak mengikat. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan, ban­tuan keuangan dari Pemerintah, Pe­merintah Provinsi dan Pemerintah Ka­bu­paten/ Kota sebagaimana dimak­sud a­yat 1 huruf d disalurkan melalui

kas desa. Itu artinya, bantuan keuangan desa itu harusnya diterima desa setiap tahun tu­nai dan disalurkan melalui APBDesa. Ke­nyataannya, sejak peraturan itu di­un­­ dangkan sampai sekarang belum per­­nah desa menerima kucuran baik da­ri pemerintah apalagi Pemerintah Pro­pin­si. Bukankah ada alokasi dana desa (ADD) yang diterima desa setiap tahun? Itu berbeda klausulnya. Kalau ADD jelas sumbernya, yakni bagian da­ri de­sa yang berasal dari dana per­im­ba­ngan keuangan pusat dan daerah yang diterima melalui Kabupaten. Pe­run­tuk­an­nya juga jelas, yakni 30% untuk biaya apa­rat dan administrasi sisanya 70% un­tuk biaya publik dan pemberdayaan. Se­dangkan bantuan ke­uangan desa se­­bagaimana diatur dalam pasal 68 ayat 1 huruf d, ada­lah dalam rangka pe­lak­sanaan

urusan pemerintahan desa. Karena itu, harus­nya bantuan keuangan dari pemerintah, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten diterimakan se­tiap tahun juga. Ironisnya, sampai se­ka­rang ini samasekali tidak ada yang me­ngu­curkan. Okelah pemerintah kabupaten sudah ter­bebani dengan ADD, demikian juga pe­ merintah pusat sudah menyalurkan DAU. Tapi kalau Pemerintah Propinsi, mem­beri bantuan apa untuk desa. Lagi pula, buat apa anggaran Pemerintah Pro­pinsi Jawa Timur yang nilainya sekitar Rp 12 triliun kalau tidak disalurkan ke desa. Kalaupun setiap desa diberi bantuan ke­ uangan desa (BKD) rata-rata Rp 100 juta per tahun –sesuai janji gubernur ke­­pada pa­ra kepala desa pada saat pencalonan--, Pe­ merintah Propinsi juga tidak akan ke­ku­rang­ an. Paling setahun anggaran propinsi ha­nya kecuil sekitar Rp 700 miliar. Tapi, manfaatnya jauh lebih besar. Menurut Anda, mengapa Peme­rintah Propinsi meng­abaikan memberi bantuan keuangan desa ? Saya tidak mengerti me­ngapa Pe­me­rintah Pro­pinsi mengabaikan ‘ke­wa­ji­bannya’. Tapi saya melihat pen­­de­katan penguasa Pe­me­­ rintah Pro­pinsi yang se­karang ini memang cen­de­rung po­­litis. Artinya, hampir se­mua ke­giatan, program yang di­ja­­lankan cenderung sudah di­politisasi daripada me­mi­kir­kan kesejahteraan ma­­sya­ ra­kat desa. Salah satu indikatornya ada­lah pen­dekatan pem­ba­ngun­an yang sekarang di­la­kukan cen­derung untuk ke­pentingan pen­citraan peng­uasa. Program-pro­­gram­­nya ba­nyak dilaksanakan a­tau di­be­rikan melalui partai atau ke­lom­pok-kelompok tertentu, sehingga ada kesan sekarang ini mereka lagi ber­ba­ik-baik dan berbagi dengan partai po­litik. Pemerintah Propinsi sekarang ini tidak pernah lagi melibatkan kepala desa, yang dulunya sebagai salah satu pendukung utamanya. Kebijakan Pemerintah Propinsi ini bertolak belakang dengan penguasa era Pe­ merintahan Propinsi sebelumnya, di­mana kepala desa ma­sih diajak rem­bugan untuk program-pro­gram ke desa. Melalui Asosiasi Kepala Desa (AKD), Pemerintah Propinsi masih mem­beri por­si peran kepala desa dalam me­nen­tu­kan program-program di Jawa Ti­mur. Jadi, ada semangat kebersamaan untuk membangun

desa di Jawa Timur. Sekarang, nuansanya sudah jauh ber­ beda. Bahkan penguasa Pemerintah Propinsi sekarang sudah lupa dengan jan­jinya pada saat kampanye dulu. Pa­dahal, di depan kepala desa ia men­­janjikan akan memberi ban­tuan ke­ uang­an per desa Rp 100 juta melalui APBD. Ke­ nyataannya, tidak te­re­alisasi sampai seka­rang. Kalaupun ada desa yang men­­dapat kucuran dana, nilai­nya jauh dari yang di­jan­ jikan, yak­ni hanya sekitar Rp 60 ju­­ta. Itu pun informasi dari te­man-teman kepala desa, de­­­sa yang mendapat ban­tu­an dibatasi hanya 1.400 de­sa selama lima tahun ke­ku­asannya. Karena itu, apa yang dijanjikan penguasa da­­­l­am kampanyenya du­lu, sekarang ini hanya isap­an jempol. Semangat untuk men­se­jahterakan ma­ sya­ra­kat desa dan anggaran un­tuk rakyat, ternyata hanya sebuah mim­pi. (***)


6

pr desa

Utama

Edisi

Perdana, Maret 2013

Jebol ‘Pintu Muka’ Khofifah Menantang Lagi KEJAMNYA dunia politik hari-hari ini sungguh dirasakan oleh Khofifah Indar Parawansa. Sebagai putri terbaik Nahdlatul Ulama (NU)—ormas Islam terbesar di Jawa Timur (Jatim)—, Ketua Umum PP Muslimat NU ini hanya ingin mengemban amanah dari para ulama, kiai, dan masyayich, bahwa sudah saatnya NU memimpin Jatim dengan menjadikan kadernya sebagai gubernur.

H

arapan ini seharusnya sudah menjadi kenyataan lima tahun silam saat pasangan cagub-cawagub Khofifah – Mudjiono (Kadji) nyaris menumbangkan duet Karwo – Gus Ipul (Karsa). Kesaktian Khofifah jelas-jelas sudah teruji di Pilgub 2008 lalu sehingga Srikandi NU ini pun sangat yakin saat memutuskan untuk running lagi mengemban tugas dari ulama memenangkan Pilgub 2013. Dia haqul yakin para ulama NU mendukung penuh. Namun kenyataan di lapangan justru jauh panggang dari api. Khofifah, satu-satunya yang berani mewujudkan cita-cita ulama dan warga NU merebut kursi gubernur Jatim, malah “disio-sio”. Khofifah diperlakukan seperti “anak tiri” oleh sebagian ulama garis politik, antara lain dengan memunculkan lagi wacana fatwa haram pemimpin perempuan (baca pula laporan “Tarik Ulur Fatwa Pemimpin Perempuan, Red.). Sejumlah ulama sibuk bermanuver hingga akhirnya “menclok” ke Karsa II dengan dalih sudah terbukti sukses memimpin Jatim. Lalu benarkah klaim ulama garis politik NU ini? Biar fakta lapangan yang bicara. (Baca juga laporan “APBD Belum Pro Rakyat!”) Para ulama garis politik mungkin lupa cita-cita ulama sepuh yang meminta agar Jatim dipimpin kader NU. Tapi bukankah mereka mendukung Saifullah Yusuf juga? Ah, Gus Ipul kan hanya wakil. Sampai sekarang Gus Ipul terkesan masih “pejah gesang nderek Karwo” alias merasa cukup puas hanya menjadi wakil gubernur. Sempat bermanuver sedikit, tapi toh Gus Ipul akhirnya balik kucing juga ke Karwo. Dia dianggap tidak setegar Khofifah yang istiqomah ingin mengemban amanah merebut kursi gubernur Jatim. Meski sudah “memegang” Gus Ipul, Karwo ternyata masih ke­takutan “titah” ulama sepuh itu beberapa bulan ke depan akan benar-benar menjadi kenyataan. Karwo masih gundah gulana kursinya akan direbut Srikandi NU. Maka, “politik kunci di pintu muka” pun dijalankan. Karwo berusaha mati-matian agar Kho­fifah tak bisa maju sebagai bakal calon gubernur. Rasa takut membuat mantan Sekda Jatim ini menafikan alam demokrasi yang mengedepankan persaingan secara fair dan elegan. Karwo sesumbar mengunci “pintu muka” pilgub dengan menggaet semua parpol parlemen dan non-parlemen agar Khofifah tak bisa masuk untuk ikut bertanding. Bayangkan saja, hanya untuk masuk ikut berlomba saja “tidak boleh”. Pada

loket seolah sudah dipampang papan pengumuman “Tiket Sold Out!” Rasa takut itu pula yang membuat Karwo, yang merasa sebagai bos parpol penguasa sekaligus penguasa Jatim, terkesan juwana. Dia sebelumnya malah sering mewacanakan pilgub secara aklamasi melalui DPRD. “Karwo itu suka menciptakan gondoruwo politik bagi dirinya sendiri. Khofifah kan punya hak maju sebagai calon gubernur, mengapa harus dihadang sana sini?” kata seorang kader PKB, partai yang meng­ usung Khofifah, kepada Pro-Desa. Langkah Karwo mengunci “pintu muka” itu terlihat dari betapa sulitnya Khofifah mendekati parpol pengusung. Sejumlah parpol yang dulu membelanya, kini berbalik arah mendukung Karsa jilid II. Masih segar dalam ingatan publik Jawa Timur, lima tahun lalu, tepatnya di Pilgub Jatim 2008, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang saat itu memiliki 8 kursi di DPRD bersama 12 Parpol non-kursi, tampak mantap mengusung Khofifah Indar Parawansa yang berpasangan dengan Mudjiono (Kadji). Bahkan, kegigihan mereka sukses mengalahkan pasangan SoekarwoSaifullah Yusuf (Karsa). Saat itu hasil pilgub versi quick count LSI Denny JA, pasangan Kadji unggul dengan 50,76%, Karsa 49,24%. Lalu LSI Syaiful Mujani, Kadji menang dengan 50,44%, Karsa 49,56%. Begitu pula Puskaptis, Khofifah juga menang 50,83%, dan Karsa 49,17. Padahal Karsa diusung koalisi parpol besar seperti Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat (PD), kemudian didukung Partai Golkar (PG), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Nah syair lagu Iwan Fals bahwa “politik itu kejam” dirasakan oleh Khofifah di Pilgub 2013 sekarang sebab situasi tahun 2008 itu berubah 180 derajat. PKB balik arah menjadi Parpol terdepan mengusung Khofifah, sementara PPP dan parpol non kursi ramai-ramai meninggalkannya dan memilih berbaris di belakang Karsa jilid II. Tak hanya di level DPW yang menyatakan dukungan, Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali (SDA) juga angkat bicara, “PPP sudah pasti memberikan suaranya ke Karsa. Kami sudah sepakat dan tidak mungkin lagi memberikan suara ke pasang­an lain,” katanya kepada wartawan saat dicegat usai mengunjungi Ketua Umum DPP Partai Kebangkit­ an Nasional Ulama (PKNU) Choirul Anam, di Gedung Astra Nawa, Surabaya, Sabtu (9/2) lalu. Bukan hanya PPP, PKNU pun meski belum resmi juga menyatakan dukungannya ke Karsa II. Soal ini, Cak Anam

menyatakan, tradisi di PKNU, untuk pilgub urusan DPW, pilbup ranah DPC. “Saya sebagai ketua umum tak bisa ikut campur,” katanya. Maksudnya, keputusan dukungan PKNU ditentukan Dewan Syura dan ketua DPW PKNU. Parpol gurem juga ramai-ramai merapat ke Karsa. Lewat bendera Aliansi Parpol Non Parlemen (APNP), sebanyak 23 parpol, di antaranya PKPB dan PPPI, mengaku sudah menyerahkan surat dukungan untuk Karsa II ke KPU Jatim, Rabu (13/2) lalu. Ketua APNP Jatim, H Jailani, mengatakan, hal itu dilakukan agar suara ke-23 Parpol tersebut tidak “dicuri” pasangan calon lain. “Kami 23 Parpol mendukung pasangan Karsa. Kami sudah melihat kepemimpinan keduanya. Selama empat tahun ini banyak kebijakan yang menguntungkan rakyat, maka tidak ada alasan lain untuk menolak keduanya untuk maju kembali,” kata Ketua DPD Partai Barisan Nasional (Barnas) Jatim itu. Tapi banyak kalangan tahu di negeri ini politik adalah uang, atau setidaknya politik adalah janji-janji peluang? Lalu apa kompensasi untuk APNP? “Tak ada?” katanya. Benarkah? Wallahua’lam. Sejak itu Pakde Karwo pun semakin pede untuk memenangi lagi di Pilgub 29 Agustus 2013 mendatang sebab dia yakin akan berhadapan dengan “bumbung kosong”. Artinya, Karwo – Gus Ipul maju sendirian. Dan klaim Karwo bahwa hampir semua parpol sudah dia pegang, bisa jadi benar adanya. Setidaknya itulah yang dirasakan Khofifah yang sulit untuk mengajak parpol yang dulu

sekawan dengannya untuk menjadi sahabat pada pilgub Jatim tahun ini. Betapa tidak, dia sudah mendekati Cak Anam—bahkan dia orang pertama yang didekati saat ada “krentek” maju pilgub—agar mau mendukungnya sekaligus menggandeng PKNU, tapi ternyata benar adanya, bahwa dia merasa “pintu muka” itu sudah ditutup oleh Karwo. Oke, dia maklum Cak Anam tak bisa intervensi ke DPW. Karena itu, Khofifah dengan ditemani Arif Djunaidi, Ketua DPW PKNU Jatim, pun sowan ke KH Ubaidillah Faqih di Langitan-- sebagai pemegang mandat untuk menentukan dukungan PKNU--, pada Rabu 26 Februari 2013 lalu. Gus Ubed—panggilan ketua dewan syura DPW PKNU ini— kala itu menerima Khofifah dengan baik, tapi itu sebagai kader NU. Sedang soal dukungan, tunggu dulu. Hingga kini pun Khofifah hanya bisa menunggu. “Ini ada apa?” katanya, heran, dengan mata berkaca-kaca, kepada Pro-Desa. Belum mendapat kepastian dari PKNU, Khofifah tak patah se­mangat. Masih terngiang di benaknya akan tugas dari ulama agar kader NU benar-benar memimpin Jatim. Hal itu pula yang selalu menjadi amunisinya untuk terus berjuang. Dan perjuangan itu semakin berat sebab waktunya semakin mepet. Maklum, dengan hanya diusung PKB, Khofifah hanya punya modal 13 kursi alias butuh tambahan 2 kursi lagi sesuai yang dipersyaratkan KPU. Yang jadi masalah, dari 11 Parpol lain yang memiliki kursi di DPRD Jatim, ma­ yoritas di level DPP maupun DPW/ DPD sudah menyatakan dukungan-


Utama

Edisi Perdana, Maret 2013

nya ke Karsa II yakni PD (22 kursi), Gerindra (8), PKS (7), PAN (7), PKNU (5), PPP (4) dan Hanura (4). Sedang PDIP de­ ngan 17 kursi bisa mengusung calon sendiri-- meski ada juga kabar partai pimpinan Megawati ini hanya menyiapkan calon wakil gubernur yang akan digandengkan dengan cagub Khofifah. Lalu Golkar dengan 11 kursi belum menentukan sikap, apakah mendukung Karsa atau memilih Khofifah. Untuk mengusung calon sendiri tampaknya Golkar kesulitan. Sementara dua Parpol lainnya, Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Damai Sejahtera (PDS), masing-masing dengan 1 kursi, sinyalnya memilih incumbent.

Pertolongan Langit

Namun gelapnya belantara politik bagi Khofifah bisa terang bila rujukannya tetap pada Sang Maha Politikus: Gusti Allah SWT. Kepada Pro-Desa, Khofifah mengaku, selama ini dirinya telah “salah”, bahwa mengabdi—kepada siapa pun seperti ke organisasi atau kepada seseorang-- dengan harapan mendapat sesuatu dari hal itu. Dia menjalin pertemanan

dengan banyak orang, lalu mengharapkan pertolongan dari si teman tersebut bila membutuhkan seperti sekarang ini. Kadang harapan itu begitu besar sehingga bila ternyata, baik si teman maupun organi­ sasi itu, akhirnya tak mau memberi pertolongan padanya, akhirnya dia pun kecewa. “Ini kekeliruan saya. Padahal minta pertolongan kan seharusnya kepada Allah. Dan alhamdulillah, sekarang jalan semakin terang setelah saya meminta dengan sungguh-sungguh pertolongan Allah,” kata calon gubernur Jatim yang juga menyiapkan “strategi langit” ini. Meski demikian, dia sangat yakin, masih banyak teman mendukungnya untuk maju dalam pilgub ini. Bahkan, saat ini banyak berdatangan temanteman baru yang mau membantunya tanpa pamrih. “Sekarang sejumlah tokoh, ormas, organisasi profesi, dll, mensupport saya,” katanya. Dengan jalan terang itu pula langkah Khofifah semakin mantap menuju palagan menghadapi Karwo. Hal itu setelah sejumlah parpol non-parlemen juga merapat ke Khofifah. Sabtu (2/3) lalu mereka teken komitmen dukungan. “Saya harus memastikan

pr desa

diri bisa maju di Pilgub, sambil menunggu kepastian dari Golkar dan PDIP. Dan alhamdulillah, sekarang sudah memenuhi persyaratan KPU, ya sudah 16,5 persen, dari syarat KPU 15 persen,” katanya. Saat ini Khofifah mendapat dukungan PKB dengan 1.996.129 suara sah hasil Pemilu 2009 (12,26%), sehingga parpol yang kelahirannya dibidani Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu tinggal butuh tambahan 2,74% untuk menggenapi syarat pencalonan 15%. Di Jatim, terdapat 26 Parpol nonkursi hasil Pemilu 2009 dan Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) menjadi satu-satunya Parpol yang tak memiliki suara (0%) dari 11 Dapil yang ada. Anehnya, PPIB masuk APNP bersama 22 Parpol lain. Minus PPIB yang tak memiliki suara, total dari 25 Parpol terkumpul 1.883.603 suara (11,57%). Kini tinggal tiga Parpol yang belum menyatakan dukungannya, yakni Partai Bulan Bintang (PBB) yang memiliki 217.425 suara (1,34%), Partai Patriot dengan 161.605 suara (0,99%) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) dengan 39.100 suara (0,24%). Bila Khofifah bisa menggandeng tiga parpol non-APNP

PEROLEHAN SUARA PARPOL PERAIH KURSI DPRD JATIM NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

PARPOL Partai Demokrat (PD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Golongan Karya (Golkar) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Partai Bintang Reformasi (PBR) Partai Damai Sejahtera (PDS) JUMLAH

SUARA

%

3.342.267 20,53 2.602.861 15,99 1.996.129 12,26 1.494.611 9,18 730.319 4,49 810.291 4,98 870.765 5,35 872.599 5,36 763.349 4,69 615.846 3,78 165.743 1,02 130.738 0,80 14.395.518 88,43%

KURSI

%

22 17 13 11 8 7 7 5 4 4 1 1 100

22,00 17,00 13,00 11,00 8,00 7,00 7,00 5,00 4,00 4,00 1,00 1,00 100%

PEROLEHAN SUARA PARPOL NON KURSI DI JATIM NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.

PARPOL

SUARA

Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) 241.464 Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) 84.832 Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) 165.811 Partai Barisan Basional (Barnas) 111.155 Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 140.848 Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB) 0 Partai Kedaulatan (PK) 80.905 Partai Persatuan Daerah (PPD) 45.911 Partai Pemuda Indonesia (PPI) 40.933 Partai Nasional Indonesia (PNI) Marhaenisme 54.773 Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) 138.357 Partai Karya Perjuangan (PKP) 10.114 Partai Matahari Bangsa (PMB) 33.262 Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) 19.995 Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) 42.165 Partai Republik Nusantara (Republikan) 76.399 Partai Pelopor 36.743 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI) 53.209 Partai Bulan Bintang (PBB) * 217.425 Partai Patriot * 161.605 Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI) 16.511 Partai Indonesia Sejahtera (PIS) 15.368 Partai Merdeka 12.421 Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) * 39.100 Partai Sarikat Indonesia (PSI) 14.369 Partai Buruh 29.928 JUMLAH 1.883.603

TOTAL PEROLEHAN SUARA PARPOL DI JATIM *Ket: PBB, Patriot dan PPNUI tidak masuk APNP

16.279.121

% 1,48 0,52 1,02 0,68 0,87 0,00 0,50 0,28 0,25 0,34 0,85 0,06 0,20 0,12 0,26 0,47 0,23 0,33 1,34 0,99 0,10 0,09 0,08 0,24 0,09 0,18 11,57% 100%

7

TANDA-TANDA DARI “LANGIT” A. Partai Demokrat—pengusung utama Karsa jilid II—kalah di tiga pertempuran besar. Pertama di pilgub DKI Jakarta, Demokrat gagal mengantarkan Foke kembali jadi gubernur. Direktur Eksekutif IndoBarometer M. Qodari di Jakarta, Jumat 8 Maret lalu, mengingatkan, saat itu Demokrat belum pecah seperti sekarang ini. Kedua, Pilgub Jawa Barat, Demokrat keok saat jagonya Dede Yusuf - Lex Laksamana Zaenal kalah melawan incumbent pasangan Ahmad Heryawan – Deddy Mizwar. Bahkan Demokrat di posisi tiga. Ketiga, di Pilgub Sumatera Utara 7 Maret lalu, lagi-lagi Demokrat kalah sebab jagonya Amri Tambunan – RE Nainggolan kalah melawan pasangan Gatot Pujonugroho – Tengku Ery Nuradi. Bahkan posisi Demokrat melorot lagi di peringkat empat. Skor 3 : 0 ini secara psikologi politik membuat Demokrat sulit menang lagi di Pilkada lain. Apalagi di pilgub Jatim. Dan apalagi kecenderungan perolehan suaranya terus menurun. B: Tanda-tanda lebih spesifik muncul dari Langit Jakarta, yakni: 1. Karwo – Foke, sama-sama berstatus petahana (incumbent) dengan ikon “kumis tebal”. Calon lawannya (Jokowi dan Khofifah) juga sama-sama dipandang enteng sebelum bertarung padahal memiliki dukungan grass root yang kuat dan mengakar: Jokowi didukung masyarakat urban dan militansi kader PDIP maupun Gerindra, sementara Khofifah bakal didukung massa PKB yang berbasis Nahdliyin (warga NU) serta militansi Muslimat dan Fatayat NU. 2. Sama-sama ‘pecah kongsi’ dengan pasangan (Wagub) jelang pencalonan di periode kedua. Bedanya Wagub Prijanto benar-benar ‘cerai’ dengan Foke, sementara Gus Ipul memilih balik kucing tetap bersama Pakde Karwo, setelah melakukan penjajakan untuk maju sendiri sebagai Cagub maupun berpasangan dengan Khofifah. 3. Sama-sama diusung Parpol kakap yang dimotori Demokrat -- Parpol penguasa yang reputasinya sedang terjun bebas karena skandal korupsi, konflik internal yang menajam, dan sekarang tersandera kasus Anas Urbaningrum. Foke diusung Partai Demokrat (32 kursi) bersama PAN (4), Partai Hanura (4), PKB (1) dan Parpol non kursi di putaran pertama, lalu PPP (7), Golkar (7) dan PKS (18) menyusul di putaran kedua. Pakde Karwo hampir pasti dicalonkan Partai Demokrat (22 kursi) bersama Gerindra (8), PKS (7), PAN (7), PKNU (5), PPP (4), Hanura (4) dan 23 Parpol non kursi. 4. Sama-sama diunggulkan sejumlah lembaga survei, bahkan diyakini bakal memenangi Pilgub dalam satu putaran. 5. Sama-sama “nanggap OVJ” sebelum pencalonan (pra deklarasi) yang juga sama-sama digelar pada Hari Sabtu malam. Foke di Monas Sabtu (23/6/2012), Pakde Karwo di Jatim Expo (JX) Sabtu (9/2/2013). 6. Foke kalah dari Jokowi dalam dua putaran, Pakde Karwo “kalah” sebelum bertanding sebab belum pilgub sudah “ketakutan” menghadapi Khofifah!

sebenarnya belum mencukupi. Suara ketiga Parpol tersebut jika dijumlahkan hasilnya hanya 2,57%, ditambah suara PKB 12,26% baru 14,83%. Sementara yang dibutuhkan PKB yakni 2,74% atau kurang 0,17%. Nah, bila Khofifah memastikan suaranya sudah mencapi 16,5 persen, berarti Srikandi NU ini dengan segala kecerdikannya, bisa mengambil suara parpol yang sudah mengaku merapat ke Karsa II. Bahkan, ada kabar PKNU juga menunggu injury time untuk benar-benar menentukan pilihan sebab hal ini juga sangat menentukan masa depan ulama dan tokoh PKNU. “Memang kami sudah bertemu dengan Karsa untuk memberi dukungan, tapi bila hasil istikharah Kiai Langitan memberi tanda ke Khofifah, lalu mau apa lagi...ya kita dukung Khofifah,” kata seorang tokoh PKNU, memberi sinyal bahwa Gus Ubed—KH Ubaidillah Faqih—masih melakukan istikharah untuk menentukan pilihan dalam Pilgub. “Ingat, suara Pak Karwo saat ini masih kalah dengan Khofifah yang didukung resmi PKB. Ini kalo resmi-resmian lo ya. Pak Karwo malah belum dapat rekom resmi dari DPP Demokrat, ini juga tanda-tanda dari langit. Kalau Demokrat saja belum, PKNU apalagi. Dan bila PKNU dan PKB bersatu di Jatim, ya sing ada lawan (tak ada yang bisa melawan, Red.),” katanya. Dan bila itu benar, lawan tanding Khofifah pun tak ada

artinya apalagi parpol penguasa sudah kalah di tiga pemilu besar di Indonesia. Pertama DKI Jakarta, disusul kalah di Jawa Barat dan Sumatera Utara (lihat tabel Tanda-tanda dari Langit). Dan ketika tahu Khofifah mendapat tambahan suara/ kursi, Pakde Karwo disebutsebut lagi-lagi cemas. Kepada wartawan yang mengkonfirmasi di sela-sela acara sarasehan di Hotel Mercure Surabaya, Karwo tidak percaya bila Khofifah bisa mendapatkan tiket dari parpol. “Parpol apa... parpol apa coba...?” katanya saat ditemui wartawan di acara sarasehan “Menuju Jatim Lebih Baik, Tinjauan Hukum dan Ekonomi” pada Kamis (7/3) lalu. Karwo tak percaya Khofifah bisa membuka “kunci pintu muka” pilgub. Karwo mungkin lupa bila dukungan parpol itu baru lisan alias baru komitmen awal. Belum resmi. Sebanyak 23 parpol kecil anggota APNP yang menyerahkan dukungan ke KPU pun sifatnya sebatas “titip suara” karena pendaftaran baru dimulai 13-21 Mei mendatang. “Dokumen tersebut akan saya simpan, nanti akan saya sampaikan saat pendaftaran Bacagub ke KPU Jatim sesuai jadwal. Dengan begitu surat dukungan tersebut dapat menambah Parpol pendukung dari salah satu Bacagub yang akan maju nanti,” papar Ketua KPU Jatim, Andry Dewanto. (Bagas Satrio)


8

Utama

pr desa

Edisi Perdana, Maret 2013

Membangun Desa dengan APBD Plus Khofifah Indar Parawansa dijuluki Presiden KH Abdurrahman Wahid sebagai superministry. Tugas utamanya adalah Menteri Pemberdayaan Perempuan, namun dalam keseharian dia juga terlibat mengurusi persoalan pertahanan dan keamanan, pertanian, dan membangun jaringan kerja dengan negara-negara asing. Pada waktu, Presiden Wahid berkunjung ke luar negeri Khofifah tidak pernah sekalipun ikut mendampingi Gus Dur, tetapi setiap dirinya berkunjung ke Eropa, Asia maupun Timur Tengah banyak informasi yang diterima bahwa dalam lawatan presiden ke luar negeri ada saja negara yang memberi bantuan ke Indonesia. “ Tetapi saya heran bantuan itu kok nggak pernah diterima,” jelasnya. Belanda, misalnya pernah menjanjikan bantuan ribuan traktor bagi petani. Selain itu juga ada negara yang akan mengirim beras 15 kapal di Tanjung Priok.”Karena bantuan-bantuan itu tidak ada yang ngurus maka saya yang mengusahakan agar bantuan itu bisa dimanfaatkan untuk petani,” tuturnya. Menurut Khofifah, petani dan desa di Indonesia, jauh tertinggal baik dari sisi penggunaan teknologinya maupun pendapatannya. Bahkan, petani di Indonesia, lanjut dia belum menjadi kelompok penekan untuk mempengaruhi kebijakan negara. “Di Amerika, para petani sudah menjadi kelompok penekan yang bisa mempengaruhi kebijakan negara. Hal ini disebabkan, hasil produk pertanian menjadi indikator stabilitas ekonomi di sana.”katanya. Di Jepang, petani di Negeri Sakura ini secara politik turut menentukan apakah seseorang bisa menjadi perdana menteri atau tidak. Disamping itu, petani Jepang secara ekonomi telah mandiri.”Hampir semua restoran di Jepang milik petani, sebab para petani mampu menerapkan konsep memproduksi bahannya, kemudian menyajikannya, mengemas dan menjualnya. Dengan demikian, petani Jepang hidupnya makmur,” ucap alumni Fisipol Unair ini. Contoh lain, kata dia, Gorontalo yang dikenal sebagai daerah kering dan tandus, tetapi sejak Fadil Muhammad menjadi gubernur, propinsi ini menjadi pintu keluar ekspor produk jagung. Bahkan saat ini, Gorontalo juga sudah men jadi daerah yang menentukan naik turunnya harga telur se-Indonesia dan susu sapi.”Petani Gorontalo lebih maju, meskipun berusia muda dibanding dengan petani di Jawa,”

ucapnya. Itu sebabnya, Khofifah optimistis bisa memajukan petani desa di Jatim.Kekuatan APBD Jatim yang mencapai Rp 13 Triliyun lebih gampang membaginya untuk pembangunan desa. Dana yang dialirkan untuk desa akan lebih besar jika anggaran CSR dari ribuan perusahaan di Jatim juga dialirkan ke desa-desa.”Sekarang ini banyak perusahaan yang belum mengerti cara penggunaan dana CSR, sehingga kita berharap CSR perusahaan bisa digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Membangun desa tidak hanya tergantun APBD,” jelasnya. Menurut data yang dihimpun Pro Desa, dari perusahaan asing yang bergerak di minyak dan gas ditambah BUMN dan perusahaan lainnya, total dana CSR perusahaan di Jatim itu mencapai sekitar Rp 2,7 triliyun. Dibanding APBD Propinsi yang disalurkan untuk desa, maka dana CSR ini akan lebih dahsyat untuk membangun desa-desa tertinggal di Jatim. Dalam bidang peningkatan kualitas SDM, Ketua Umum Muslimat NU ini memiliki strategi khusus. Hubungan kerja Khafifah dengan lembaga pendidikan di Eropa, Amerika dan Timur Tengah akan dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak desa ke luar negri melalui program beasiswa.”Melalui kerja jaringan ini kita akan menyekolahkan anak-anak desa ke luar negeri,” tuturnya. Program ini sudah diterapkan Malaysia. Warga negaranya yang terbelakang dari etnis Melayu disekolahkan gratis sampai perguruan tinggi.”Kini etnis Melayu hidupnya lebih baik dibanding sebelumnya,” kisahnya.(nf)

BIODATA Nama : Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya 19 Mei 1965 Agama : Islam Jabatan : Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU 2006 – Sekarang RIWAYAT PENDIDIKAN - - - - - -

SD Taquma (1972-1978) SMP Khadijah – Surabaya (1978-1981) SMA Khadijah – Surabaya (1981-1984) Strata I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya (1984- 1991) Strata I Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah, Surabaya (1984-1989) Strata II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Jakarta (1993- 1997)

RIWAYAT PEKERJAAN - - - - - - - - - -

Pimpinan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR RI (1992-1997) Pimpinan Komisi VIII DPR RI (1995-1997) Anggota Komisi II DPR RI (1997-1998) Wakil Ketua DPR RI (1999) Sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa MPR RI (1999) Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (1999-2001) Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (1999-2001) Ketua Komisi VII DPR RI (2004-2006) Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa MPR RI (2004- 2006) Anggota Komisi VII DPR RI (2006)

PENGALAMAN ORGANISASI - - - - - - - - -

Ketua Divisi Pendidikan dan Pelatihan Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Surabaya (1987-1992) Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Surabaya (1987-1988) Ketua Cabang Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama Surabaya (1987-1989) Ketua Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (1990) Ketua Biro Lingkungan Hidup Komite Nasional Pemuda Indonesia Jawa Timur (1992) Wakil Sekretaris Gerakan Muda Persatuan (1990-1995) Ketua Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (1995-1997) Kepala Bidang Ekonomi Koperasi Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama (1995-2000) Ketua Lembaga Pemenangan Pemilu Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2000)

- - - - -

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (1998-2001) Ketua Gerakan Masyarakat Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat Nahdlatul Ulama (2000-sekarang) Wakil Ketua Dewan Koperasi Indonesia (2010) Wakil Ketua Nasional Demokrat (2010-sekarang)

FORUM INTERNASIONAL - Studi banding pada penyiapan ratifikasi “Convention Against Illicit Trafic Psychotropic and Narcotic Drug” di Austria dan Belanda, yang diselenggarakan International Narcotic Control Board, Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Wina, Austria, 1996. - Studi banding Antar-Parlemen di Mongolia, 1994 - Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Conventi on on The Elliminati on of All Forms of Discriminati on Against Women” di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 28 Febuari 2000. - Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam “Women 2000, Gender Equality, Development and Peace for the Twenty First Country”: Beijing +5) Sidang Khusus ke-23 Majelis Umum Perserikatan Bangsa- Bangsa, di New York, Amerika Serikat, 5-9 Juni 2000. - Ketua Delegasi Republik Indonesia pada pertemuan The Exchanges and Cooperation in the Field of Family Planing Between China and Indonesia, 9-11 April 2001. - Ketua Delegasi Republik Indonesia pada Pertemuan Konsultasi Tingkat Menteri AsiaPasifi k di Beijing, China, pada 14-16 Mei 2001. - Menjadi narasumber pada Conference G ender Equity and Development in Indonesia yang diselenggarakan The Australian Nasional University, di Canberra, Australia, pada 21-22 September 2001. - Menjadi narasumber pada Conference On Women In Islam As Role Model di Berlin, Jerman, pada 24-26 Mei 2004. - Menjadi peserta World Council of Churches di Brazil, 15-21 Februari 2006. - Menjadi narasumber utama pada Commission on the Advancement of Women, Commission on the Status of Women, di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat, 1-2 Maret 2006. - Menjadi narasumber pada International Conference on Parliaments, Crisis Preventi on and Recovery, hosted by UNDP and the Government of Representatives of Belgium, 19-21 April 2006. - Menjadi narasumber pada International Conference of Islamic Scholars di Jakarta, Indonesia, Mei 2006. - Menjadi narasumber di Muktamar ke-5 Pertumbuhan- Pertumbuhan Perempuan Islam Dunia Islam Kontemporari di Shah Alam, Selanggor, Darul Ehsan, Malaysia, pada 13-15 Agustus 2006.


Utama

Edisi Perdana, Maret 2013

pr desa

9

Tarik Ulur Fatwa Pemimpin Perempuan Duh lagi-lagi fatwa halal haram pemimpin perempuan dimunculkan lagi oleh bakal calon gubernur Jatim. Tujuannya jelas untuk menembak bakal calon perempuan: Khofifah Indar Parawansa. Pelakunya pun jelas: rival yang paling takut bila Khofifah maju lagi. Dan saking takutnya, bakal cagub ini meminjam tangan ulama untuk memukul Khofifah dengan fatwa haram pemimpin perempuan tersebut.

L

alu ulama siapa? Seperti dikutip Ha­rian Duta Masyarakat, kiai struktural di Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim pernah mengungkapkan penolakannya pada Khofifah dengan menganalogikan “bunda Muslimat NU” itu bak nasi kebuli: disukai banyak orang tapi bikin perut mulas. Kalimat itu dicetuskan sang kiai saat pertemuan ikhtiar politik terkait pemilihan calon tunggal kader NU yang akan maju di Pilgub Jatim, antara Khofifah dan Saifullah Yusuf (Gus Ipul). Intinya: sang kiai menolak Khofifah maju sebagai Cagub karena perempuan. Toh masih ada Gus Ipul yang laki-laki. Tapi masalahnya lagi, Gus I p u l ternyata balik kucing

jadi “ban serep” Karwo. Sedang Khofifah istiqomah dengan tugas dari ulama, yakni kader NU harus menjadi gubernur Jatim supaya warga Jatim, khususnya NU, bisa lebih sejahtera ketimbang sekarang. Jadi, Khofifah menjadi satu-satunya calon gubernur dari NU sehingga fatwa itu otomatis batal demi kemaslahatan NU sendiri. Sebenarnya, isu ini bukan hal baru. Analogi “nasi kebuli” pun sudah basi karena antara fatwa dan kepentingan personal maupun politik kerap masuk wilayah abu-abu (grey area). Jejak politik ulama NU bisa dilihat lagi baik Pilpres maupun Pilgub. Saat itu, Pilpres 2004 silam, ketika KH Hasyim Muzadi maju sebagai Cawapres berpasang­an dengan Capres Megawati Soe­ karnoputri. Perdebatan pun se­ ngit, karena gelombang besar di NU menegaskan perempuan haram menjadi presiden (imam a’dham). Jadi tak sepatutnya Kiai Hasyim menjadi “ban serep” Ketua Umum PDIP tersebut. Tak mau perdebatan ini membingungkan kiai NU dan Nahdliyin, Kiai Hasyim bersama 20-an kiai lain -- di antaranya KH Masduqi Mahfudz, KH Idris Marzuki, Lirboyo,

Kediri; KH Zainuddin Jazuli, Ploso, Kediri; KH Agoes Ali Masyhuri, Tulangan, Sidoarjo; KH Nuru­ d­din A Rahman, Bangkalan; dan KH Hisyam Syafaat, Blok Agung, Banyuwangi -- sowan ke ulama besar di Semenanjung Arabia, Syekh Dr Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki Alhasani. Syekh yang bertempat tinggal di Distrik Sulthoniah, 10 kilometer arah utara Masjid Nabawi itu adalah pakar hadits. Peraih doktor bidang hadits di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir di usia 25 tahun. Muridnya tersebar di berbagai dunia, termasuk di Indonesia, di antaranya KH Hanif Muslih (Jawa Tengah). Ayah Syekh Muhammad, Syekh Alawi adalah guru KH Maemun Zubair (Sarangan, Jawa Tengah) dan KH Abdullah Faqih (Langitan, Tuban, Jawa Timur). Sedangkan kakeknya, Syekh Abbas al-Maliki adalah guru KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU. Lalu apa kata Syekh Muhammad ketika dimintai fatwa terkait pencapresan Megawati yang berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi? Guru besar Universitas Ummul Qura, Makkah ini berujar, “Indonesia bukan negara dengan sistem khilafah, imam a’dham atau imarah. Indonesia adalah negara dengan sistem kepresidenan. Sehingga tidak ada masalah, meski presidennya wanita,” ujar Syekh Muhammad. Dari hasil meminta restu itu kemudian lahirlah “Deklarasi Madinah”. Empat tahun ber-

selang, saat Pilgub Jatim 2008, tepatnya 20 Agustus di Asrama Haji Sukolilo, muncullah kaukus ulama, habaib dan kiai pendukung Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) secara tersirat meng­gulirkan kembali wacana fatwa haram pemimpin perempuan. Hal ini terkait pencalonan Khofifah sebagai Cagub berpasangan dengan Mudjiono (Kadji). Bisa ditebak, polemik 2004 pun terulang lagi dalam pertarungan Pemilu di skala lebih kecil, yakni gelanggang Pilgub Jatim. Menggelikan, memang. Membanding Pilgub 2007 de­ ngan Pilpres 2004 ada keunikan yang mengusik. Setidaknya ada dua kiai di Kaukus Sukolilo yang meneken taushiyah mengusung Karsa, ternyata di 2004 disebut-sebut turut juga menandatangani “Deklarasi Madinah” yang mengusung Capres perempuan. Yakni KH Idris Marzuki dan KH Zainuddin Jazuli. Pada satu dimensi, ini agak membingungkan. KH Agoes Ali Mashuri, peng­ asuh Ponpes Bumi Shalawat, Tulangan, Sidoarjo yang juga turut hadir dalam pertemuan dengan Syekh Muhammad, saat itu menyebut fatwa haram di Kaukus Sukolilo itu tidak murni lagi bagi kepentingan umat melainkan bernuansa politik. Nah, kini di Pilgub Jatim 2013, halal haram pemimpin perempuan kembali mengemuka. Lewat pertemuan kiai NU yang digagas PWNU Jatim, Khofifah disebut-sebut tak akan direkomendasi sebagai calon tunggal dari NU karena alasan jender: perempuan. *

KH Hasyim Ajak Rebut Kursi Gubernur MANTAN Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menegaskan akan all out mendukung Khofifah Indar Parawansa untuk bertarung dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur pada Agustus 2013 mendatang. Alasan Kiai Hasyim, Khofifah merupakan kader NU yang memiliki integritas dan kemampuan untuk memimpin Jatim. Apalagi Khofifah satu-satunya calon gubernur dari NU, setelah kader lain memilih hanya jadi cawagub. “Saya bisa membantu dengan bebas karena tidak lagi terikat aturan organisasi sebagai Ketum PBNU,” ujar Kiai Hasyim di Jakarta, Rabu (6/3). Kehadiran sosok gubernur dari kalangan NU, kata Kiai Hasyim, merupakan sebuah keniscayaan karena Jawa Timur merupakan basis nahdliyin. Terlebih lagi selama dipimpin gubernur dari luar NU, keberpihakan kepada nahdliyin masih jauh dari memadai. Sehingga tidak ada opsi lain, kecuali merebut kursi kepemimpinan di Jawa Timur. Karena itu pula para ulama di Jatim mestinya mendukung perjuangan Khofifah ini. “Warga NU Jatim kalau ingin terhormat, harus punya cagub yang berani melawan incumbent. Kalau tidak warga NU Jatim tidak akan ada perubahan kemajuan,” cetusnya. Sehubungan dengan posisi warga NU sebagai wakil gubernur di Jawa Timur, Sekjen ICIS ini menegaskan sejak awal tidak setuju kader NU menjadi orang nomor dua. Dalam kaitan ini, Kiai Hasyim memaparkan setidaknya ada dua alasan yang mendasari pilihan politiknya. “Pertama, tidak sesuai dengan kehormatan mayoritas warga NU atau tidak punya peran cukup untuk membina umat. Kedua, ikut orang

lain akan dipakai alat untuk menghadapi teman sendiri dan hasilnya untuk orang lain dan itu akan merusak NU. Lain halnya kalau jadi nomor 1, hal tersebut tidak akan terjadi,” tegasnya. Adapun terkait dukungan ke Khofifah, Kiai Hasyim juga tetap melampirkan sejumlah syarat. Di antaranya, Khofifah harus bisa membuktikan berkompetisi secara jujur tanpa kecurangan dan pencurian suara. Kemudian bila terpilih mampu mengelola APBD yang bebas korupsi, birokrasi yang bebas kepalsuan dan mismanagement, kekuasaan yang bebas dari intrik dan cara-cara hitam, serta Jawa Timur yang produktif dan maju. “Saya juga berharap Khofifah tidak menggunakan kiai, apalagi yang sepuh untuk reklame karena tentu merendahkan martabat beliau-beliau. Cukup menggunakan anak-anak muda yang cerdas dan berani dan dinamis untuk mengadakan perubahan di Jawa Timur. Para ulama cukup diberi penjelasan tentang situasi negara dan politik yang sehat agar tidak termakan tipu muslihat serta mempersilahkan beliaubeliau tenang di pesantrennya,” pinta Kiai Hasyim. Kiai Ha­

syim pun akan memenuhi janji untuk mendukung Khofifah, sekali pun di Jatim Surat Keputusan DPP PKB masih diganggu orang yang membayar sana sini. Tapi Kiai Hasyim menegaskan persyaratan dukungan parpol telah cukup. “DPP PKB telah jelas ada SK-nya mulai bulan Januari yang lalu, ditambah beberapa partai,” imbuhnya. * gus

KH Hasyim Muzadi


10

Utama

pr desa

Edisi Perdana, Maret 2013

KH Ma’ruf Amin:

Kader NU Terbaik Layak Gubernur Lalu, bagaimana sebenarnya Islam mendudukkan pe­rempuan dalam kepemimpinan? Apakah dalam konteks saat ini pemimpin perempuan berdiri di antara fatwa haram dan politik? Berikut wawancara dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat KH Ma’ruf Amin, seperti dikutip Duta Masyarakat.

Kalau memang dia (Khofifah Indar Parawansa) menjadi yang terbaik, itu tidak menjadi masalah (maju sebagai calon atau terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur).

Kiai, hingga kini pemimpin perempuan masih debatable di kalangan ulama, termasuk di internal Nahdlatul Ulama (NU). Ada yang memperbole­ hkan ada pula yang dengan tegas mengharamkan. Bagaim­ ana sebenarnya kedudukan pemimpin perempuan dalam Islam? Begini. Kedudukan pemimpin perempuan tertinggi (al imammul a’dham) yakni jabatan sebagai presiden, itu hukumnya memang ada yang memperbolehkan dan tidak memperbolehkan. Kalau ulama yang memperbolehkan pemimpin perempuan tertinggi itu selain menduduki jabatan presiden. Artinya, selain menjabat presiden itu diperbolehkan. Artinya, dalam Islam, perempuan menjadi pemimpin sebenarnya diperbolehkan dan tak perlu diperdebatkan lagi, begitu... Intinya adalah permasalahan perempuan yang menjadi pemimpin masih menjadi perbedaan (khilaf) ada yang memperbolehkan dan tidak. Hanya pe­rempuan menjadi presiden yang tidak boleh. Selain itu tidak menjadi masalah apakah menjadi gubernur, walikota, bupati dan sebagainya. Mengapa cara pandang

para kiai terkait halal haram pemimpin perempuan bisa sangat ber­ beda? Ya karena ada hadits yang memperbolehkan dan tidak. Itulah sebabnya terjadi perbedaan, cara pandang yang berbeda. Nah, kemudian ada yang menafsirkan yang tidak diperbolehkan itu hanya untuk posisi presiden. Tetapi ada pula yang mutlak untuk presiden dan gubernur. Ha­nya saja, umumnya memang posisi presiden yang tidak diperbolehkan, kalau yang lainnya masih memperbolehkan. Bukankah urusan halal haram pemimpin perempuan ini sebenarnya sudah final, karena dalam Munas Alim Ulama NU di Lombok 1987 hukum tentang itu khilaf atau ada perbedaan? Situasi saat itu, terjadinya perbedaan pandangan pada saat Munas, ada khilaf di antara para musyawirin. Sampai sekarang pun masalah pemimpin perempuan jawabannya atau hukumnya tafsil (opsi). Tetap ada dalil yang memperbolehkan dan tidak. Perempuan menjadi pemimpin yang bagaimana boleh dan tidak boleh, ya itu tadi... begitu.

KH Ma’ruf Amin Ataukah isu halal haram perempuan di Pemilu, baik itu Pilpres maupun Pilkada seba­ tas politis. Artinya sengaja di­ hembuskan untuk mengganjal calon tertentu dengan menga­ tasnamakan hukum Islam? Itulah sebabnya karena terjadi perbedaan pandangan di antara ulama, makanya hadist dijadikan bahan dan masuk ke wilayah politik. Apakah perempuan bisa jadi pemimpin atau tidak, saya kira begitu... Baiklah Kiai. Terkait Pilgub Jawa Timur, bagaimana dengan pencalonan Khofifah Indar Parawansa. Sebagai calon pemimpin dia dinilai mempunyai kapasitas untuk maju sebagai Cagub. Dalam konteks ini, apakah halal atau haram jika dia terpilih menjadi Gubernur Jatim? Oh, kalau memang dia (Khofifah, red) menjadi yang terbaik, itu tidak menjadi masalah. Yang terbaik apa nggak kan? Tapi kalau yang terbaik itu bagus tidak

menjadi masalah. Walaupun semua kandidat baik semua, tapi kan ada salah satu kandidat atau calon terbaik dan yang terbaik itulah tentu yang menjadi gubernur. Agar Pilkada berjalan damai dan tidak ada perpeca­ han, bagaimana seharusnya menurut Kiai? Ya memang susah sih kalau sekarang (Pilkada) tenteram karena hampir 100 persen Pilkada itu berlangsung rusuh. Yang terjadi sekarang pendukung gampang nggak puas dan akibatnya masyarakat yang menjadi korban. Padahal hanya 1-2 orang yang bermasalah tapi bisa melibatkan ribuan orang. Coba, bagaimana itu? Makanya, kalau bisa, Pilkada tetap berlangsung tapi jangan sampai ada kerusuhan. Jangan ada bentrokan, ya berbeda pendapat, berbeda pandangan tidak apa-apa, tapi jangan terjadi keributan. Cukup ya, terima kasih.*

Gus Sholah: Ini Baru Pemanasan KH Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, termasuk yang mencermati proses pemilihan Gubernur Jawa Timur yang akan berlangsung 29 Agustus 2013 mendatang. Bagaimana sikapnya? Berikut wawancara dengan adik kandung Gus Dur ini. Gus, bagaimana Anda melihat proses Pilgub Jatim saat ini? Sekarang masih tahap pemanasan. Namanama yang muncul masih banyak kemungkinan berubah pada detik-detik terakhir. Jadi belum ada yang pasti. Pilgub Jawa Tengah saja yang lebih dahulu digelar belum dapat diketahui siapa calon yang pasti. Soal keterlibatan kiai NU bagaimana? Faktanya memang selalu begitu setiap kali ada momen politik. Ya harus menerima dengan lapang dada.

KH Shalahuddin Wahid

Sebaiknya sikap para kiai... Saya sendiri sedang melakukan survei

terkait pelaksanaan pilgub Jawa Timur. Hasilnya segera saya umumkan. Ini soal tanggapan masyarakat, terutama warga NU, tentang nama-nama calon gubernur yang beredar saat ini di media massa. Siapa yang paling pantas menduduki Gubernur Jawa Timur. Termasuk survei calon dari kader NU? Semisal Gus Ipul berpasangan dengan siapa. Ibu Khofifah berpasangan dengan siapa. Dan juga keinginan warga NU untuk memiliki gubernur dari kalangan sendiri. Soal Pilgub biarlah itu menjadi ranah partai politik dan NU kultural. PWNU harus bisa mengayomi semua golongan dan semua calon. NU harus berdiri disemua golongan. Saya dengar PWNU sudah menyatakan sikap netral. Bagaimana menyatukan partai politik berbasis NU, seperti PKB, PPP dan PKNU agar bersatu mengusung kader NU? Kalau betul-betul bisa disatukan

memang akan menjadi kekuatan besar. Tapi apakah mungkin. Saya kira kok sulit terwujud. Masing-masing punya agenda dan kepentingan sendiri. Nah inilah yang sedang saya survei, yang ingin mengetahui keinginan konstituen masing-masing partai. Saya harapkan hasil survei dapat memberikan, mendorong dan menginspirasi partai politik untuk segera menentukan pilihan. Setahu saya, PDIP, PKB, PKNU, dan PPP hingga saat ini belum menentukan sikap. Partai lain sudah jelas sikapnya mendukung Pak Karwo. Ini memang sikap logis dari partai politik untuk menentukan sikapnya. Kan masih banyak waktu. Kita tunggu saja. Gus Sholah mendukung Ibu Khofifah? Ya, dalam pengertian Beliau maju sebagai calon gubernur. Masa orang mau maju tidak saya dukung. Soal pilihan, saya punya pilihan, tapi tidak untuk publik. Apakah ini akan terjadi pengulangan Pilgub 2008, Khofifah vs Karsa? Sangat mungkin. Pemilihan calon harus benar-benar memperhatikan elektabilitasnya. Melihat kondisinya, Khofifah bisa kembali melawan Pak Karwo. Ini akan ramai. *


Edisi Perdana, Maret 2013

Utama

pr desa

11

RUU Desa Sulit Selesai April Rasanya, hampir mustahil pengesahan RUU Desa menjadi UU Desa pada bulan April 2013 ini. Selain faktor material dari undangundang yang cukup rumit. Banyak pasal yang secara substansial harus disinkronkan dengan RUU lainnya, seperti RUU Pemda. Lebih penting lagi, juga karena kondisi psikologis anggota DPR yang mempersiapkan diri menghadapi “Tahun Pemilu 2014”.

“Sulit, tidak mungkin selesai April 2013. Tapi targetnya tetap tahun 2013 ini, prediksi kami sekitar Agustus 2013,”ujar Ketua Pansus RUU Desa, Ahmad Muqowam, Kamis, 7 Maret 2013. Pernyataan Muqowam dibenarkan oleh Totok Daryanto, Ketua Pansus RUU Pemda, yang juga anggota Pansus RUU Desa. Apalagi saat ini banyak anggota DPR yang turun ke daerah untuk mempersiapkan diri menghadapi Pemilu 2014. Akibatnya rapat pun sering tidak quorum, sehingga terpaksa ditunda atau molor. Pernyataan kedua anggota DPR RI itu

disampaikan kepada tim AKD Jatim H. Tulus Setyo Utomo dan Robiul Usman, serta Anang Suhari (AKD Sidoarjo), ketika menemui Pansus RUU Desa DPR RI pada Kamis, 7 Maret 2013. Lantas Totok pun menunjukkan, soal rapat Pansus RUU Pemda yang direncanakan hari itu pukul 10.00 WIB, akhirnya molor sampai pukul 12.00 WIB belum ada memenuhi quorum. Terlepas dari itu, Ahmad Muqowam mengakui, bahwa Pansus sulit menyelaraskan dengan konstitusi. Pembahasan bukan masalah sederhana. Ada

beberapa hal yang awalnya terlihat mudah namun ternyata sulit ditemui kesepakatan. Sebagai contoh adalah pemilihan kata yang akan digunakan sebagai judul undang-undang. Dalam membahas RUU Desa harus dilakukan sejernih mungkin. Pasalnya, regulasi itu nantinya digunakan untuk menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada terkait desa. Seperti UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Untuk itu, sangat penting untuk ditelusuri tentang desa secara komprehensif. Mi­ salnya, seperti apa pengelolaan desa di masa pemerintahan kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, Orde Lama, Orde Baru dan reformasi. Ketika reformasi, pengaturan desa kembali diubah, salah satunya lewat UU Pemda. Walau ditujukan untuk menyejahterakan daerah, tapi secara umum regulasi itu gagal mencapainya. Beberapa persoalan di UU Pemda di antaranya terkait kedudukan dan kewenangan. Oleh karenanya, UU Desa diharapkan mampu memecah berbagai persoalan

yang ada dalam pengaturan desa. “Misalnya, pembangunan desa harus disesuaikan dengan kondisi sumber daya alam dan manusia yang ada di desa tersebut.”ujar politisi dari Fraksi PPP ini. Menurut Totok Daryanto, secara teknis memang sulit dilakukan. Dalam pembahasan RUU Desa menggunakan dua metode, yaitu metode klaster dan pembasahan detail. Metode cluster meng­ akomodasi berbagai persoalan pasal per pasal secara fiilosofis dan substansif. Setelah itu, baru akan di bahasa pasal per pasal sesuai masukan yang tercantum dalam DIM (daftar inventaris masalah). “RUU Desa secara keseluruhan memiliki delapan culster. Saat ini baru 4 dari 8 cluster itu yang sudah diselesaikan,”ujar ketua tim asistensi RUU Desa, Prayudi. Keempat cluster yang sudah diselesaikan, masing-masing mengenai judul, konsiderans, dan ketentuan umum (cluster 1), lalu cluster 2 mengenai penataan desa, kewenangan desa, hak dan kewajiban masyarakat desa. Sedangkan cluster 3 tentang pemerintahan desa, pemilihan kepala desa, badan Permusyaratan desa, dan musyawarah desa. Cluster 4 mencakup keuangan desa, badan usaha milik desa, pembangunan desa, pemngunan kawasan pedesaan, kawasan pedesaan, dan kerjasama desa. “Namun cluster ke-4 itu juga belum sempurna. Hanya saja cluster 4 ini juga belum selesai sepenuhnya,”ujar Totok, anggota Fraksi PDIP. DIM yang akan dibahas pemerintah dan DPR RI tak bisa selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya. Apalagi dari segi isi material juga banyak kepentingan yang menimbulkan tarik ulur antar berbagai pihak. Sementara DIM yang diserahkan ke Mendagri Gamawan Fauzi pada 12 Oktober 2012, RUU Pemda memiliki 1.490 DIM dan RUU Desa 540 DIM. Menurut Ketua Pansus RUU Pemda Totok Daryanto (FPAN), banyaknya DIM membuat kedua RUU tak akan selesai Maret atau April 2013. Sebab ba­nyak kepentingan terkait RUU Desa maupun Pemda, sehingga butuh waktu panjang untuk membahasnya. (bdh)

Pengurus AKD Jatim bersama Ketua Pansus RUU Desa DPR RI Ahmad Muqowam (kedua dari kiri) dan Totok Daryanto Ketua Pansus RUU Pemda dan Dirjen Pemda Kemendagri, I Made Suwandi.


12

Utama

pr desa

Edisi Perdana, Maret 2013

Tetap Upayakan Dialog dan Lobi Meskipun mendapatkan kabar RUU Desa sulit selesai April 2013 ini, Ketua AKD Jatim Samari akan terus melakukan upaya lobi dan dialog dengan pemerintah dan DPR. Sangat disayangkan jika terus molor dan berlarut-larut. Hal ini menunjukkan ada indikasi pemerintah se­ngaja melakukan pembiaran atau tidak serius menerbitkan RUU Desa. Demikian pula dua pengurus AKD Jatim lainnya, yakni Tulus Setyo Utomo dan Robiul Usman akan berjuang sampai titik darah penghabisan, setelah bertemu Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam dan Ketua Pansus RUU Pemda Totok Daryanto, di Ruang Komisi II DPR RI, 7 Maret 2013. “Apa yang dilakukan AKD Jatim saat ini terus menggalang lobi-lobi dan meningkatkan proses dialog. Ini sudah menjadi filosofi AKD Jatim untuk menyikapi pembahasan RUU Desa,” kata Robiul Usman, yang juga Kades Pagerwojo, Kec. Perak, Jombang. Sedangkan Samari menegaskan, kepala desa harus memiliki stamina yang panjang dan kesabaran tinggi untuk berjuang agar desa memiliki kekuatan hukum dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Kenyataannya tuntutan itu sejak tahun 2005, ternyata baru dilaksanakan pada tahun 2012. Sebagai bagian dari negara, keberadaan desa memegang peran penting, baik sebagai sumber data maupun sebagai penjaga stabilitas politik, keamanan, budaya dan ekonomi. Untuk itu, RUU Desa harus segera disahkan. Menurut Samari, pihaknya akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengawasl RUU Desa ini agar menjadi undang-undang

Tulus Setyo Utomo

Robiul Usman

Ketua AKD Jatim H. Samari menyerahkan proposal RUU Desa pada Pansus DPR RI.

dengan cara yang elegan. Dialog dan lobi merupakan pilihan AKD untuk membangun kesadaran berpolitik dalam negara demokrasi ini. Apa­ lagi saat menjelang Pemilu 214, berbagai kepentingan parpol mau nggak mau akan ikut serta memanfaatkan se­tiap peristiwa besar untuk tujuan politik. “Persoalan desa adalah persoalan yang strategis untuk dijadikan tunggang­ an. Untuk itu kita harus hati-hati,” kata Samari, yang juga Kades Jrebeng, Kec. Dukun, Gresik ini.

Menyikapi hal demikian, menurut Samari, AKD Jatim akan merapatkan barisan. Bila perlu AKD Jatim akan membuat gerakan lebih besar, dengan melebarkan sayap menjadi Asosiasi Kepala Desa Indonesia (AKDI). Dengan gerakan lebih besar, suara kepala desa akan lebih didengar. AKD Jatim sendiri sejak 2005 tak pernah berhenti menuntut terbitnya UU Desa. UU itu diharapkan memberikan kejelasan posisi kepala desa dan pemerintahan desa. UU Desa sekaligus

diinginkan menjadi landasan konstitusi bagi pembangunan desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Sejak gerakan massa pada 3 Oktober 2010, AKD Jatim memilih aksi damai dengan mengintensifkan lobi dan dialog, baik dengan kalangan eksekutif maupun legislatif, serta tokoh masyarakat. Termasuk pada 10 Oktober 2012, AKD Jatim mengikuti RDPU Pansus RUU Desa bersama Forum Wali Nagari Sumatera Barat, PN Karang Taruna Indonesia, dan beberapa LSM lainnya. (bdh)

Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam

Mendagri Gamawan Fauzi

Posisi Desa Daerah Istimewa

Tolak Satu Miliar Satu Desa

Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam menilai, sedikitnya terdapat tiga kunci dalam melakukan reformasi desa. Pertama, ada penjelasan asal-usul atau pengakuan atas desa dan adat. Asal-usul itu harus menegaskan apa yang dimaksud dengan desa dan hubungannya dengan adat, serta memberi dasar yang kuat. Karena, di Indonesia kondisi desa yang ada di tiap daerah berbeda-beda. Misalnya, di Sumatra Barat, dimana desanya memiliki sistem adat telah berjalan dinamis. Ada pula desa, yang sinergisitasnya dengan adat tergolong minim, seperti di Jawa. Serta ada kondisi yang mengakibatkan tidak ada desa dan adat, itu terjadi di wilayah kota. Kedua, keistimewaan desa. UU Desa harus memposisikan desa sebagai daerah istimewa di hadapan negara, sehingga desa dapat melakukan pengelolaan atas sumber daya yang ada dengan baik dan kuat. Selama ini, pandangan yang ada adalah desa menjadi bagian dari pemerintah. Padahal desa itu sudah ada sebelum negara ini ada. Ketiga, soal struktur desa. Tiap suku yang ada di Indonesia punya sistem kepemimpinan yang berbeda-beda. Hal itu mempengaruhi kondisi struktural yang ada di desa. Oleh karenanya, tiap desa perlu memiliki mekanismenya sendiri dalam menentukan struktur desa. Misalnya, sebuah desa dengan suku yang menggunakan sistem marga. Maka kepala desa dapat dipilih berdasarkan sistem yang berlaku di marga tersebut. Muqowam pun menjelaskan Pansus RUU D e s a menemukan kesulitan dalam menyelaraskan r a n cangan itu dengan UUD RI 1945. Pasalnya, dalam konstitusi, setelah amandemen, desa tidak disebut secara spesifik. Ketentuan di konstitusi yang paling mendekati tentang desa dijelaskan Pasal 18B UUD RI 1945. Sebagai salah satu solusi, Muqowam memperkirakan dalam RUU Desa nanti akan dimasukkan beberapa pasal. Seperti ketentuan penghormatan atas hak-hak masyarakat hukum adat, serta pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Bagi Muqowam landasan hukum untuk UU Desa sangat penting, dia khawatir ketika diterbitkan, UU Desa tak bergigi untuk menyejahterakan desa. (bdh)

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi meminta Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa harus dilakukan secara jernih. Karena itu, dalam audiensi dengan Panja RUU Desa, Gamawan meminta Komisi II DPR untuk bisa objektif dalam memberikan masukan. “Saya sudah berbicara dengan Ketua Panja Ahmad Muqowam dari hati ke hati, itu kita tidak mau kepentingan negara yang lebih besar terganggu kepentingan lebih kecil,” kata Gamawan.. Gamawan menilai ada motif dari pihak tertentu yang ingin memasukkan kepentingannya dalam RUU Desa harus dicegah. Karena jangan sampai muatan politik kecil mengalahkan kepentingan negara. Titik poin krusial yaitu, permintaan adanya pengucuran dana Rp 1 miliar per desa jelas tidak bisa dipenuhi. Pasalnya, kalau sampai permintaan itu dipenuhi bisa berbahaya. Nanti bakal muncul banyak desa baru yang memisahkan diri dari desa induk gara-gara ingin mendapatkan dana Rp 1 miliar. Lagipula, sangat tidak tepat pemerintah pusat mengucurkan dana bantuan langsung ke desa. Lebih ideal adalah pemerintah kabupaten yang tahu situasi dan kebutuhan, serta jumlah warga desa yang bisa mengucurkan dana agar tepat sasaran. “Bukan semua desa dibantu rata Rp 1 miliar. Nanti sangat pragmatis dan tidak boleh terjebak politik sempit,”kata Gamawan.

Pemerintah bakal berhati-hati apabila tetap meneruskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa. Apabila tidak teliti, produk hukum ini bisa hanya akan melahirkan elite lokal baru. Pemerintah meminta Komisi II DPR untuk bisa objektif dalam memberikan masukan. Begitu pun dengan adanya desakan aparat desa yang ingin diubah statusnya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Apabila status ini diberikan, desa-desa itu kemudian memekarkan diri agar bisa menambah jumlah PNS. Bisa-bisa desa yang saat ini jumlahnya sudah mencapai 78 ribu membengkak menjadi 200 ribu desa. (bdh)


Edisi Perdana, Maret 2013

Wawancara Khusus

pr desa

13

R.H. Dwi Putranto Sulaksono soal Pilgub Jatim 2013 :

Pemimpin Baru untuk Jawa Timur Baru

Provinsi Jawa Timur akan menggelar Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur (Pilgub Jatim) pada 29 Agustus 2013. Pesta demokrasi itu diharapkan dapat memilih pemimpin untuk membuat Jawa Timur yang baru. Ya, Jawa Timur yang lebih greget, makmur, dan sejahtera bagi seluruh rakyat. Paling penting lagi, pemimpin yang komit dan konsen terhadap pemberdayaan dan pem­bangunan pedesaan. Pemimpin baru untuk Jawa Timur baru ! Mengapa harus pemimpin baru ? Apakah selama ini Pakde Karwo dan Gus Ipul tidak berhasil ? Lalu Jawa Timur baru itu seperti apa ? Bagaimana untuk memulai perubahan itu ? Berikut wawancara Budi Harminto dari Suara Desa dengan Pembina AKD Jatim R.H. Dwi Putranto Sulaksono tentang berbagai persoalan politik dan perubahan kepemimpinan di Jawa Timur.

P

ak Dwi memiliki gambaran bahwa pada Pilgub Jawa Timur 2013 menjadi titik tolak bagi Jawa Timur baru, yakni Jawa Timur yang lebih maju dan mak­ mur, terutama mengangkat harkat dan marta­ bat Wong Cilik. Seperti apa gambaran pemikiran itu ? Jawa Ti­mur yang baru bagi saya se­perti Provinsi DKI Jakarta. Paradigma berpikir, tata kelola peme­ rintahan dan kebijakan publik yang dilakukan gubernur mencerminkan keberpihak­an kepada rakyat, ter­utama di pedesaan. Setelah melihat, me­­ rasakan, dan mencermati ke­pemimpinan Pakde Karwo-Gus Ipul selama ini, ternyata sa­ngat tendensius untuk memberikan ke­san sebagai kepemimpinan yang harmonis yang di­butuhkan rakyat secara konseptual. Namun aplikasi dan aktualisasinya masih jauh dari harapan rakyat itu sen­diri. Contohnya, program yang ditawarkan saat kampanye dan program yang dijadikan unggulan tidak memuaskan rakyat. Bahkan kepala desa sebagai ujung tombak pemerintahan merasa tidak puas dengan apa yang dijanjikan dalam kampanye beliau. Mungkin yang tereali­sasi hanya sekitar 10 persen tidak sampai 20 persen, itupun tidak sempurna. Maka rakyat Jawa Ti­mur yang akan me­milih pemimpin yang baru, harus mampu membuat format pe­merintahan yang baru, mengubah paradigma sistem dan tata ke­lola pemerintahan. Tidak meng­ ulang apa yang sudah dilakukan Pakde Karwo dan Gus Ipul. Jatim itu terkenal gudangnya orang pinter, bikin saja tim task force dan tim kebijakan publik. Silakan melibatkan unsur perguruan tinggi, karena di Jatim banyak universitas terkemuka dan bagus. Juga libatkan masyarakat, LSM, dan para profesional. Saya pikir Indonesia ke depan pun akan terpeng­aruh oleh Jawa Timur baru. Jakarta saja yang baru memilih pemimpin berani berubah menjadi baru. Dalam Islam dikenal istilah hijrah, yang berarti berubah, kurang baik menjadi baik, dari baik menjadi lebih baik, serta dari tidak karu-ka­ruan menjadi teratur dan sistematis. Jadi Jatim baru ke depan harus lebih memberikan manfaat secara langsung dan tidak hanya slogan. Buat apa kepala daerah atau gubernur kerjanya pasang gambar, poster dan menggelar aca­ ra seremonial untuk memberikan kesan kepada rakyat bahwa mereka sudah bekerja. Tolok ukurnya adalah pencapaian secara lang­sung dan the end of product-nya. Sudah bukan saatnya became popular dan became trusted by people. Ke­sempatan lima tahun harus diisi dengan prestasi. Jangan hanya jadi orang yang haus popularitas. Saya lihat sudah banyak koran dan majalah isinya gambar Pakde Karwo dan keluarganya, de­ngan menggunakan anggar­an negara. Buat apa, itu kebiasaan lama yang harus ditinggalkan. Saatnya bersama rakyat dengan rakyat membangun rakyat lebih sejahtera dan sandang pangan tercukupi. Permasalahan klasik yang tiap tahun muncul harus dapat diselesaikan.

Disinilah level kepemimpinan se­seorang dinilai. Kalau kerjanya cuma mempo­pulerkan dirinya ya buat apa. Promosi 1-2 kali cukuplah, tapi kalau tiap hari lama-lama rakyat menjadi muak. Perubahan Jawa Timur baru harus dimulai dari mana ? Perubahan itu harus dimulai dari perubahan pemimpinnya. Bila pemimpin be­rubah, maka mindset juga berubah. Berubah pola tindakan, tata kelola, pola pikir, berubah juga pola kepemimpinannya. Pemimpin yang sama tidak akan memberikan efek yang berbeda. Pasti ia tidak akan meneruskan apa yang diyakini. Kalau rakyat Jatim mau berubah harus mengubah pemimpinnya. Se­mua bisa me­nilai, jika kepemimpinan Pak­de Karwo tetap di­per­tahankan hasilnya ya seperti selama beberapa tahun ini. Rakyat Jawa Timur kalau ingin ber­ubah nasib dan masa depannya, harus meng­ubah pemimpinnya. Bukan sekedar berubah orangnya, tapi berubah cara berfikir, tata ke­lola pemerintahan, be­rubah sistemnya, yakni berpihak pada rakyat cilik. Ini harus ada upgrading dan achievement. Kita ini sering keblinger dengar gelar, harus di­ pimpin doktor, tapi semua angka di atas kertas, di lapangan nol. Kalau saya lebih baik seperti Jokowi yang tidak me­nunjukkan gelarnya, S1-nya, S2-nya, atau S3-nya. Ia bahkan rela berjalan kaki. Ia menunjukkan sense of awareness tidak sekedar masuk gang dan keluar gang, tapi the end of product-nya sudah ada. Buat apa habis-habisan promosi di media massa, tapi aplikasinya nol tidak me­nyentuh akar persoalan dan kesulitan ekonomi rakyat. Kalau ingin meng­ubah rakyat Jatim ya harus mendukung RUU Desa. Karena RUU Desa adalah cikal bakal untuk mempermudah pemerintah pusat memberikan kontribusi dan perhatian untuk percepatan peme­ rataan pembangunan dan pemerataan kesejahteraan rakyat di desa. Itu poin paling penting. Kepemimpinan di Jatim harus bagaimana? Apa yang harus dilakukan ? Saya pikir seorang pemimpin atau gubernur itu dapat dinilai, apakah selama lima tahun ini dapat memenuhi apa sudah yang dijanjikan dalam kampanye. Pemimpin itu harus memiliki lima hal, yakni speak by data (bicara dengan data), promise must be deli­ver (selalu menepati janji), saying by action (berkata dengan tindakan), doing with your hearth (bekerja dengan hati), dan proven by evident (membuktikan dengan kenyataan). Lebih penting pula seorang pemimpin itu harus dapat menjadi teladan, bertanggungjawab, dan rela berkorban. Itu sebenarnya yang tidak disadari Pakde Karwo-Gus Ipul. Saya tidak menilai, tapi saya hanya mengkritisi apa yang sudah dijanjikan kepada rakyat Jawa Timur. Silakan saja sambang desa tiap hari, tapi the end of product-nya apa, hasil akhir­nya apa, tindaklanjutnya ba­gai­mana. Apakah hanya rakyat ingin di­dengar, tapi tidak ada follow up.

Apa ha­nya ingin menunjukkan sense of awareness (rasa kepedulian). Buat apa itu. Kalau cuma ingin itu, bikin saja kotak pos, daripada perjalanan dinas menghabiskan biaya, malah negara yang dirugikan. Yang pa­ling penting the end of product, hasil akhir­ nya apa, yang dapat bermanfaat untuk rakyat. Lihatlah Jokowi. Fenomena Jokowi ini memang luar biasa, mem­bongkar stigma atau dogmatis kebiasaan yang mengadopsi ketokohan. Ia menunjukkan aplikasi langsung dan lapangan yang dirasakan rakyat. Fenomena Jokowi merupakan barometer pencapaian yang baru. Jakarta saja baru, meng­apa Jawa Timur tidak baru juga. Siapapun pemimpinnya nanti, maka Jawa Timur harus menyongsong era yang baru. Jawa Timur yang lebih baik dan le­bih maju dari sebelumnya, lebih mulia, lebih beradab, lebih beretika, dan lebih agamis. Paling penting lagi lebih makmur rakyatnya. Bagaimana menurut Pak Dwi ke­pe­mim­pin­ an di Jawa Timur selama ini ? Kesan yang saya lihat banyak teoritis, banyak publikasi yang tidak perlu. Rakyat itu tidak perlu propaganda. Rakyat kan sudah memilih jadi rakyat tidak perlu dikenalkan lagi. Saya de­ngar Pakde Karwo maunya lima tahun, tapi sekarang kok maju lagi. Itu saja sudah mencederai janjinya di depan orang lain. Katanya kalau pilihan langsung sudah kapok, tapi sekarang ditelan sendiri. Orang itu kalau bicara ya yang bisa dipegang omo­ngannya. Rakyat de­ngar itu semua. Janjinya dengan AKD Jatim saja diingkari dan tidak bisa dipenuhi. Bukan nominal uangnya, untuk desa, tapi janji itu yang harus ditepati. Berpihak kepada kepala desa dan rakyat di desa saja tidak bisa. Saya pikir kita sama-sama tahu apa­kah selama ini dinilai maju atau tidak. Apakah selama ini le­bih baik dari Pak Imam Utomo atau tidak. Apakah selama ini dapat dirasakan manfaatnya? Saya kira Pakde Karwo tidak bisa menilai rakyatnya, dan rakyat tidak bisa menilai Pakde Karwo, tapi rakyat bisa merasakan. Saya kira nanti amal ibadahnya yang akan menilai malaikat. Selama ini Jatim dinilai sebagai barometer nasional. Misalnya Jatim juga dikenal sebagai lumbung pangan nasional, penghasil susu sapi segar dan sebagainya. Apa ada yang kurang ? Jatim adalah gudangnya apapun. Gu­dangnya permasalahan, pemim­pin nasional, pangan, pertanian, perikanan, pe­­­­­­ter­­nakan, kelautan, per­ tambang­an, per­­minyakan, dan sebagainya. Tapi satu hal yang perlu disadari kita semua selama ini, bahwa penataan tata kelola pemerintahan di Jawa Timur dialami dan dirasakan masih banyak yang konseptual, tidak aplikatif. Seorang kepala daerah tidak mau all out memberikan kontribusi secara langsung. Ada kesan seorang kepala daerah tidak mau memberikan kontribusi total secara nyata dan langsung dan total di awal peme­


14

pr desa

rintahan. Mereka seolah-olah takut akan kehilangan poin lagi untuk achievement, takut ke­hi­langan poin pencapaian lagi. Mereka khawatir kalau diberikan di awal masa peme­rintahan akan mentok, sehingga tidak ada lagi yang dicapai di masa berikutnya. Padahal kita tidak bisa begitu kalau ingin mempertahan­kan jabatan atau posisi itu. Hidup ini kalau kita berkarya kita akan punya check of track record. Kalau hal ini kita jaga kita akan jadi reference, refe­rensi, atau patokan. Dan kalau reputasi itu kita pertahankan, kita akan akan menjadi guaranteed person. Apapun yang pekerjaan yang diserahkan pasti berhasil, pasti oke. Saya kira Pakde Karwo dan Gus Ipul lupa hal ini. Mereka sebagai pejabat publik seharusnya tidak berpikir lagi popularitasnya untuk melawan siapa. Masak garagara muncul Khofifah Indarparawansa me­ reka sudah goyang semua. Saya kira Pakde Karwo tidak pede. Saya kira kalau sudah dijawab dengan kerja yang baik dan maksimal selama ini tidak khawatir lagi ada penantang lamanya, yang konon dia sebenarnya yang berhak jadi gubernur. Allahu a’lam bishawaab. Allah Yang Maha Tahu. Saya kira Pakde Karwo tahu, apakah dia berhak betul jadi gubernur atau tidak. Figur seperti apa yang harus dipilih oleh rakyat Jatim dalam Pilgub 2013 nanti ? Tahun 2013 adalah point of no return. Istilah itu dalam dunia penerbang­an, adalah titik yang harus dilewati, mau tidak mau harus dilalui dan ditembus. Juga mau tidak mau harus dipilih dan harus dilaksanakan proses pemilihan pemimpin di Jawa Timur. Saran saya, rakyat Jawa Ti­mur harus benar-benar bisa memilih pemimpin yang mampu mengubah nasib rakyat secara kongkrit, bukan teoritis di kertas, konseptual tapi tidak aplikatif di lapangan. Buat apa memilih doktor atau profesor kalau bisanya hanya ngajar teoritis saja, tapi tidak bisa menunjukkan secara langsung aplikatif di lapangan yang langsung berdampak pada rakyat itu sendiri, baik secara ekonomi, sosial, kultural, politik , dan sebagainya. Jadi kalau rakyat berpikir akan ada satrio piningit tidak apa-apa. Karena masyarakat Jawa Timur sangat majemuk dan plural baik secara etnik dan kultural. Saya rasa ada beberapa kelompok kultur, seperti madura, ma­taraman, pendalung­ an, arek, osing, pe­sisir dan sebagainya. Demikian juga banyak etnis, ada China, Gujarat, Jawa, Madura, dan sebagainya. Meskipun masyarakat Jawa Timur plural dan tidak homogen, tapi ketika dihadapkan pada satu pilih­an dan satu titik yang bersinggungan de­ngan kepenting­an bersama, mereka akan kompak. Mereka akan mengatakan pemimpin ini benar atau tidak, efektif atau tidak efektif. Itu yang akan dijadikan patokan bagi mereka. Kalau selama ini Pakde Karwo-Gus Ipul dinilai cukup memberikan kontribusi nyata sesuai janji kampanye, mereka akan terpilih lagi. Tapi saya kira masyarakat Jawa Timur tidak bodoh. Saya kira masyarakat Jawa Timur tidak mau apes atau sengsara. Kalau dalam film James Bond ada seri 1-2, maka tidak ada yang mau apes atau sengsara 1-2 kali. Saya kira kita rindu pemimpin se­perti Pak Noer, Pak Sunandar Prijosudarmo, dan Ali Sadikin seperti di Jakarta. Kita rindu dijadikan rakyat oleh pemimpin yang bijaksana seperti Raja Hayamwuruk. Silakan pesta demokrasi 2013 dijadikan kesempat­an secara arif dan bijaksana, tidak menista incumbent, misalnya bila incumbent kalah. Atau muncul calon yang baru atau incumbent menang lagi. Paling penting poin yang harus disikapi adalah masa depan Jawa Timur dengan pilihan yang tepat, pilih­an yang benarbenar bisa diharapkan secara akal sehat bukan hanya bersifat analitas dengan gelar ilmu tertentu. Pimpinlah Jawa Timur dengan nurani. Jangan awali dengan kebohong­an. Saya pikir kepala desa, rakyat Jawa Timur, dan siapapun yang mendukung Pakde Karwo

Wawancara Khusus

Edisi Perdana, Maret 2013

n menrikan analisis dan kajia be i, ila en m an ak sil D AK penting. nya, saya kira ini paling dalam. Pelajari karakter lah ji, ya jangan dipilih. Sa jan ar gk in , ng ho bo ng ji ia Kalau tuka ara ia bohong, kalau jan bic lau ka k, afi un m iri i-c satu cir i amanah ia khianat. ingkar, dan kalau diber

pemimpin yang akan dipertanggungjawabkan dunia akhirat.

tahu apakah janjinya ditepati atau dilaksanakan Pakde Karwo sebagai pemimpin. Saya kira itu sudah cukup untuk dijadikan pencitraan yang langsung bukan rekayasa, apa­kah Pakde Karwo layak diteruskan atau tidak, layak diberi kepercayaan untuk memimpin Jawa Timur dua kali. Saya kira kita bisa menyikapi, apakah kepemimpinan beliau berpihak pada rakyat atau tidak. Kalau tidak bisa menyediakan kambing yang bagus ya jangan bikin program kambing, hanya akan ngelarani (melukai) hati rakyat kecil. Kalau tidak melaksanakan pem­bangunan di desa dengan baik ya jangan berjanji. Janganlah mengumbar janji, janji itu adalah utang, dan nanti akan ditagih. Juga janganlah ngumbar publikasi untuk mencari ketenaran. Kalau sudah jadi pemimpin itu sudah terkenal. Rakyat paling goblok dan miskin pun tahu beliau pemimpin atau gubernurnya. Jangan gampang memberikan pendapat atau statemen kalau memang tidak akan dipilih untuk dilaksanakan. Apapun rakyat Jawa Timur silakan saja memilih. Siapapun yang terpilih harus kita dukung. Sebab secara de jure dan de facto, dia adalah

Sebagai Pembina AKD Jatim, bagaima­ na saran dan hara­ pan Pak Dwi terhadap kepala desa dalam Pil­ gub tersebut ? Saran saya seluruh anggota AKD Jatim harus merapatkan barisan. Pilih yang betul-betul bisa dipercaya. Ja­ngan pilih tukang bohong. Jangan pilih yang tukang ingkar janji. Jangan pilih yang masih haus popularitas. Sudah saatnya kita memimpin dengan hati nurani yang bicara. Kita menggerakkan rakyat untuk memilih rakyat dengan hati nurani untuk memilih pemimpin yang benar. Kalau pilih­an kita salah kita akan sengsara lima tahun ke depan. Saya kira kita bisa menilai dan memilih siapa yang paling bisa layak untuk meng­ubah rakyat Jawa Timur. Saya kira banyak calon yang layak. Ada Khofifah, Bambang DH, Untung Rajab, dan sebagainya. Saya kira kita bisa bikin matrik sama-sama mengenai para calon. AKD silakan menilai, berikan analisis dan kajian secara mendalam. Pelajari karakternya, saya kira ini paling penting. Kalau tukang bohong, ingkar janji, ya jangan dipilih. Salah satu ciri-ciri munafik, kalau bicara ia bohong, kalau janji ia ingkar, dan kalau diberi amanah ia khianat. Ya, khianat kepada janjinya sendiri, berkhianat kepada AKD Jatim. Saya kira AKD Jatim punya perjanjian dengan Pak De Karwo hingga menyeret ke Mahkamah Konstitusi. Saya kira perjanjian itu perlu ditunjukkan kepada teman-teman, kepala desa yang baru, bahwa AKD Jatim pernah bermitra dengan Pak De Karwo. Ini Pak De tidak komit dan berkhianat. Ja­ngan jadi penjilat, pelacur politik. Pilih yang benar sesuai hati nurani. Kalau Pak D e masih bisa didandani ya silakan dipilih. Tapi ada pepatah b i -

lang, kalau watuk bisa diobati, tapi watak dibawa mati. Provinsi Jawa Timur yang hetero­ gen ini, menurut Bapak membutuhkan figur gubernur yang bagaimana ? Secara umum, saya kira figur gubernur yang dibutuhkan rakyat Jawa Timur sekarang ini adalah sosok pemimpin yang amanah dan merakyat. Yakni, pemimpin yang bisa dipercaya ucapannya, mau menepati janjinya, tidak suka berbohong dan bekerja dengan hati nurani, bukan karena tendensi. Dengan kata lain, Jawa Timur butuh orang jujur yang mau bekerja keras dengan memberi contoh serta teladan yang baik kepada masyarakat. Saya kira sudah bukan waktunya lagi rakyat memilih orang yang suka ‘bersolek’. Siapapun orangnya yang akan maju menjadi cagub, untuk mengubah Jawa Timur agar lebih maju dan sejahtera dari sekarang, dibutuhkan pemimpin yang berani dan jujur. Hanya dengan dipimpin orang yang baik, Jawa Timur akan semakin melesat ekonominya dan sejahtera rakyatnya. Sebab, Jawa Ti­mur itu kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Siapapun yang memimpin Jawa Timur tinggal meng­elola dan memanejnya. Karena itu, sudah saatnya rakyat Jawa Timur dengan cerdas memilih pemimpin yang baik dan amanah. Dan, menjadi pemimpin yang baik itu harus dimulai sebagai hamba Allah yang sholeh, anak yang sholeh bagi orang tuanya, suami yang baik bagi istri­nya, ayah yang baik bagi anak-anaknya, saudara yang baik bagi sesamanya dan umat yang baik bagi agama­nya. Kalau syarat men­ jadi pemimpin yang baik itu belum terpatri pada diri pemimpin itu, saya kira tidak pantas memimpin rakyat Jawa Timur. Kelihatannya pandangan yang dis­ ampaikan Bapak itu sangat idealis dan subjektif sekali, apakah itu kare­ na Bapak punya keinginan untuk men­ calonkan diri menjadi Gubernur Jawa Timur ? Maaf, sekali lagi maaf. Saya ingin tegaskan, saya sama sekali tidak punya ambisi untuk menjadi gubernur Jawa Timur. Jangankan menjadi gubernur, jadi menteri saja saya tidak bermimpi. Saya sangat bersyukur dengan kondisi sosial ekonomi keluarga saya seperti sekarang ini. Itu nikmat yang luar biasa yang dikaruniakan Allah kepada sekeluarga. Jadi, kalau ada yang mencurigai saya selama ini, dengan anggapan saya punya ambisi memimpin Jawa Timur, berarti mereka tidak paham saya. Apakah salah saya berpendapat seperti itu sebagai warga Jawa Timur. Justru yang saya lakukan selama ini merupakan bentuk kecintaan saya terhadap Provinsi Jawa Timur dan rasa empati saya kepada masyarakat di Jawa Timur. Saya tidak punya kepentingan politik, kepentingan ekonomi dan kepenting­ an apa­pun namanya di Jawa Timur. Itu semua saya lakukan sematamata karena rasa cinta saya sebagai orang Jawa Timur. Sudah delapan


Wawancara Khusus

Edisi Perdana, Maret 2013

tahun lebih saya sebagai pembina AKD Jawa Timur dan selama itu pula saya tidak pernah menungganginya atau memanfaatkannya. Kalau saya punya kepentingan atau nafsu politik, sejak dulu saya sudah menggunakan AKD untuk alat kepentingan saya. Justru saya selaku Pembina AKD Jawa Timur, selama delapan tahun le­bih, selalu menjaga AKD sebagai organi­sasi yang independen dan bebas dari kepentingan kelompok-kelompok tertentu. AKD bisa berjalan sesuai relnya, yakni wadah bagi kepala desa memperjuangkan kepentingan masyarakat desanya. Catat besar-besar, saya hanya ingin menjadi kiai yang memimpin pesantren, dan menghasilkan generasi yang mengamalkan ajaran al-Qur’an secara kaaffah (sempurna). Pesantren yang melahirkan para enterpreneur yang berpijak pada Hadist dan Quran. Kalau memang demikian, apa yang harus dilakukan rakyat Jawa Timur dalam Pemilu Gubernur nanti ? Jawa Timur saat ini pada posisi yang kritis. Kritis kenapa, seolah-olah tidak ada calon lain yang dapat mengalahkan incumbent. Padahal tidak demikian. Kalau Khofifah maju masih tetap berpeluang menang. Kalau Bambang D.H. berpasangan dengan Khofifah bukan tidak mungkin akan menang. Apalagi masih ada Untung Rajab dan putra-putra terbaik Jawa Timur di negeri ini. Fenomena Jokowi menunjukkan bahwa incumbent tetap bisa dikalahkan. Padahal kurang bagaimana reputasi Foke, ia seorang doktor yang hebat lulusan Jerman, dan sudah menyiapkan segalanya. Tapi ia kalah dalam satu hal, yakni dalam kepemimpinan itu track recordnya sudah tercatat, dan the end of productnya sudah

bisa kelihatan. Karena itu saya hanya berpesan satu hal dalam pesta demokrasi nanti, jangan salah memilih pemimpin. Sebab, sekali salah memilih pemimpin, akan rugi selama lima tahun ke depan. Pilihlah pemimpin yang bertanggungjawab dan amanah. Banyak para kepala desa dan masyarakat desa yang sependapat dengan Pak Dwi. Namun juga ada yang menilai Pak Dwi terlalu “nylekit” (pedas, red.) mengkritisi kepemimpi­ nan di Jawa Timur. Apa sih yang di­ inginkan Pak Dwi sesungguhnya? Sampean kok juga belum percaya terhadap apa yang saya sampaikan dan saya inginkan. Sebagai seorang yang beragama Islam, keinginan saya hanya satu, ingin punya pesantren dan menjadi kiai yang mengasuh pondok pesantren. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, saya ingin melahirkan generasi yang hafal dan kaffah menjalankan ajaran al-Qur’an, yang mampu memberikan teladan dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat di sekeli­lingnya. Alhamdulillah dalam kehidupan du­ niawi, Allah SWT telah memberikan saya segalanya. Pencapaian duniawi saya sudah tidak bisa diukur lagi oleh harta yang sudah dilimpahkan Allah SWT, atau memburu kekuasaan dan mengangkangi sebuah jabatan di republik ini. Saya ingin seperti Rasulullah Muhammad SAW yang seluruh hidupnya diabdikan untuk ummat dan menjalankan semua perintah Allah SWT. Saya ingin seluruh kehidupan saya, benar-benar untuk pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara, serta agama. Ya, kehidupan saya

pr desa

sudah tidak pada level pencapaian untuk menjadi A, B, C, atau D, saya hanya ingin pengabdian total terhadap perubahan masyarakat yang lebih baik. Apakah dengan menjadi Pembina AKD Jatim, tidak dapat disebut keingi­ nan terhadap pencapaian tertentu ? Mas, tolong dicatat besar-besar, bahwa hampir sembilan tahun saya membidani AKD Jatim, saya tidak pernah memanfaatkan para kepala desa di Jawa Timur untuk kepentingan saya agar saya menjadi ini itu. Sudah ratusan miliar uang saya keluarkan untuk AKD Jatim, tapi sampai sekarang saya tetap bukan siapa-siapa. Waktu sembilan tahun adalah waktu yang panjang untuk sebuah investasi sosial, politik, atau ekonomi agar saya menjadi siapa dan siapa. Masak ada orang di Jawa Timur atau kepala desa yang belum mengerti juga dengan apa yang sudah saya lakukan untuk AKD Jatim. Tolong juga dicatat tebal-tebal, saya hanya ingin kepala desa berdaya, saya hanya ingin memberikan pencerahan kepala desa lewat pemikiran saya, tena­ga saya, maupun harta saya. Lihatlah sekarang ini, kepala desa lebih berani dan terorganisasi. Akibatnya, dana pembangunan ke desa sekarang ini meningkat diban­ dingkan sebelum tahun 2004. Meski demikian, masih banyak aturan yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintahan di atasnya. Misalnya, saja Bantuan Keuangan Desa (BKD) dari Pemerintah Provinsi yang seharusnya diturunkan tiap tahun untuk tiap-tiap desa, belum juga dilaksanakan hingga kini. Ke mana larinya APBD Jatim sekitar Rp 12 triliun ? Ini hak desa, maka kepala desa harus menuntut hak itu. APBD jangan hanya dihambur-

kan untuk pencitraan para penguasa anggaran, seperti pasang gambar dan baliho besar-besar dan membayar iklan di media massa. Coba dihitung berapa jumlah APBD yang dihamburkan untuk kepentingan pribadi para bupati atau gubernur, bukan untuk membantu dan mengentaskan kemiskin­an. Semboyannya makmur bersama wong cilik, tapi dana jamkesmas dihapus, kambing-kambing yang diterima orang miskin pada mati semua, dan jalanjalan rusak di desa dibiarkan, dan saluran irigasi pada amburadul tak berfungsi. Para pemimpin dan pejabat bisanya berlombalomba ngakali bagaimana menggarong uang negara. Saya melihat dan mempelajari, bahwa kemajuan di negeri ini harus dimulai dari desa. Selama ini posisi desa dan masyarakat desa tidak atau belum menjadi prioritas utama bagi program pembangunan di negeri ini. Karena itu, kemajuan itu harus dimulai dari cara berpikir para pemimpin yang ada di desa, yakni kepala desa. Apalagi, kepala desa merupakan ujung tombak dalam sistem pemerintahan, maka sesungguhnyalah mereka yang paling langsung dan berperan terhadap kemajuan bangsa ini. Bagi saya, kalau kepala desa berdaya, maka desa akan sejahtera, dan negara pun akan berjaya. Kepala desa berdaya luas artinya. Ya, dia akan menjadi paham tugas dan kewajibannya dalam sistem pemerintahan, paham persoalan hukum, tahu menggali potensi ekonomi masyarakatnya, dan sebagainya. Lebih penting lagi, mereka memiliki keberanian untuk mengatakan mana yang lebih baik atau lebih buruk. Juga diingat, dalam mem­ besarkan AKD Jatim saya tidak menggunakan uang negara se­peser pun. (bdh, fat)

Selalu Impikan Kades Jadi Bupati Sepuluh kepala desa menjadi bupati atau wakil bupati di Jawa Timur. Itulah impian dan tekad R.H. Dwi Putranto Sulaksono (DPS), pembina sekaligus figur utama yang membidani berdirinya AKD Jatim. Betapa tidak, sejatinya jika bersatu para kepala desa akan dapat mewujudkan keinginan mereka selama ini. “Yaitu, kedaulatan desa dan dana yang mencukupi bagi pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat desa,”ujar DPS. Karena itu, DPS berharap AKD Jatim sebagai wadah bagi perjuangan tersebut. Potensi kepala desa menjadi pemimpin di daerahnya, seperti bupati atau wakil bupati sebenarnya cukup besar. Toh, saat ini sudah ada kepala desa yang menjadi bupati, seperti M. Amin di Ponorogo. Demikian pula sudah banyak kepala desa yang menjadi anggota DPRD, seperti M. Nizar Zahro (Bangkalan) menjadi anggota DPRD Jatim. Demikian pula beberapa kades yang menjadi anggota DPRD di wilayahnya, misalnya H. Toni MS di Nganjuk, Ali Basri di Magetan, dan Harley Priyatomoko di Bondowoso. Bahkan di Pasuruan ada tiga mantan kades sudah menjadi anggota DPRD, juga di Sumenep, Pamekasan, dan sebagainya. DPS mendirikan dan membesarkan AKD Jatim pada 5 Mei 2005, dilandasi niat yang tulus dan ikhlas agar kepala desa memiliki profesionalisme, independensi dan amanah. Selanjutnya mereka dapat ikut berkiprah dalam pembangunan di tanah air, khususnya di Provinsi Jawa Timur. Salah satu caranya, merebut kekuasaan di wilayahnya masing-masing. “Toh ada mekanisme calon dari unsur independen. Bila perlu dibuat kontrak politik dengan calon bupati dari kepala desa yang akan diusung bersama.,”ujar pria kelahiran Tuban ini. Lebih jauh DPS menegaskan, selain berjuang secara politik AKD Jatim diharapkan memberi manfaat besar bagi pemberdayaan anggotanya maupun masyarakat desa, sehingga lebih professional, independen, dan amanah. Setiap kades harus professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai birokrasi pemerintahan. Pengetahuan kepala desa tentang hukum dalam sistem administrasi negara, keuangan negara,

manajemen pemerintahan, hingga berbagai kebijakan pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah kabupaten diharapkan selaras dengan pembangunan yang berlangsung. “Sehingga tidak ada lagi berita bahwa para kepala desa tersandung kasus hukum hanya karena ketidaktahuannya terhadap hukum dan sistem administrasi negara di republik ini,”ujar Ketua Yayasan Dwiyuna Jaya ini. AKD Jatim perlu menunjukkan sikap independen. Seringkali kepala desa dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu, bahkan ‘dijual’. Misalnya, dimanfaatkan memberi suara dalam pilpres, pilgub, pilbub dan pileg. Ironisnnya setelah hajatan selesai, tidak ada program pro desa, bahkan para pemimpin maupun wakil rakyat itu

15

seolah-olah lupa janji-janjinya. Dalam kondisi seperti ini, AKD Jatim harus berani bersikap independen dalam setiap kegiatan pemilihan presiden, kepala daerah maupun legislatif. AKD Jatim harus berani melakukan tawar menawar. Lebih tepatnya, AKD Jatim harus berani membuat kontrak politik dengan para calon peserta pemilihan kepala daerah maupun calon anggota legislatif. Keberanian dan kekuatan dalam tawar menawar ini harus semata-mata didasarkan pada kepentingan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa untuk terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan di desa itu sendiri. Sebab jabatan kepala desa merupakan amanah rakyat desa, yang sebagian besar masih miskin dan kondisi desa yang terbelakang. (bdh)


16

Rona Desa

pr desa

Menangguk Untung

dari Pilkades Serentak

Suasana Pemilihan Kades di Desa Pagu, Kec. Pagu, Kabupaten Kediri.

Masyarakat Jawa Timur tahun ini punya gawe besar. Selain hajatan Pemilihan Gubernur Jawa Timur, yang tak kalah menariknya perhelatan besar tahun ini adalah pesta demokrasi di desa. Ya, hampir seluruh kepala desa di Jawa Timur tahun ini mengakhiri tugasnya, sehingga harus digelar pemilihan kepala desa (pilkades).

A

da daerah yang telah menjadwalkan pilkades serentak dalam sehari selesai, namun ada daerah yang memilih bertahap atau digelar dalam beberapa gelombang. Selain itu, ada juga kabupaten yang terpaksa menjadwal ulang pilkades di daerahnya, karena bertepatan dengan pemilu kepala dearah, seperti Kabupaten Lumajang, Bondowoso, Madiun, Magetan dan Jombang. Dari data yang dihimpun di lapangan, Kabupaten Lamongan misalnya, akan menggelar pilkades serentak di 381 desa mulai Mei 2013. Kemudian Kabupaten Sidoarjo ada 176 desa yang akan menggelar pilkades mulai September. Sedangkan Kota Batu, ada 11 desa dan Kab. Jember 161 desa, Gresik 245 desa yang akan dihelat Maret dan Agustus. Sementrara di Kabupaten Malang ada sebanyak 226 kepala desa yang meng­akhiri tugasnya dan pilkades akan dimulai April. Sedangkan di Kab. Jombang sebanyak 287 desa akan menggelar pilkades serentak September nanti, usai pimilu bupati dan pemilu gubernur. Di zaman demokrasi terbuka seperti sekarang ini, pelaksanaan pilkades semakin menyedot perhatian banyak orang. Tak hanya masyarakat desa setempat yang mempunyai kepentingan langsung dengan calon pemimpinnya, namun pilkades tak jarang mengun­dang nafsu para botoh (penjudi, red) dan politisi untuk ikut bermain. Tujuannya jelas, mereka ingin menginvestasikan modalnya untuk meraup keuntungan dari desa setempat dengan memanfaatkan momen pilkades. Bagi botoh, keuntungan finansial merupakan motif utama ikut bermian dalam pilkades. Sebaliknya bagi politisi, dengan berinvestasi melalui salah satu satu calon, harapannya kelak bisa mendapat imbal­ an berupa dukungan suara pada pemilu legislatif atau saat mereka mencalonkan diri dalam pemilu kepala daerah. Begitu strategisnya pilkades, sehingga dalam pesta demokrasi di desa sekarang ini sarat dengan kepentingan dan pertarungan. Pilkades tidak sekadar memilih pemimpin desa, tapi juga memilih bendera dan afiliasi politik. Konsekuensinya, pertarungan calon sekarang ini tidak hanya sebatas antar individu para calon, tapi bisa lebih luas antar partai atau golongan. Karena itu, menjelang pergantian kepala desa, berbagai cara pun dilakukan, tak terkecuali jika harus menggunakan politik uang atau menggunakan kekuasaan untuk menancapkan pengaruhnya.

Bahkan jauh sebelum pelaksanaan pilkades, pemindahan kekuasaan pun bisa ditransaksinonalkan. Seperti peristiwa heboh yang terjadi di Kabupaten Lumajang. Penundaan Pilkades di Lumajang, termasuk penunjukan Pejabat Sementara (PJs) menuai kritikan karena dianggap kontroversi. Akibat penundaan ini para calon kepala desa berikut para pendukungnya sempat menggelar demo besar-besaran di Lumajang. Agus Wicaksono, salah satu calon Bupati Lumajang menegaskan, penundaan pilkades di Kab. Lumajang menjelang Pemilihan Kepala Daerah adalah sebuah langkah yang sarat dengan kepentingan politik dan bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Menurut Agus, Pemilihan Kepala Desa adalah hak rakyat yang seharusnya digelar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. “Saya sangat menyayangkan langkah pemerintah Kabupaten Lumajang yang melakukan penundaan Pilkades di 134 Desa. Itu adalah hak rakyat. Saya tahu penundaan Pilkades hanya untuk kepentingan politik. Hanya untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara tidak melaksanakan Pilkades yang sebenarnya telah diatur dalam Perundang-undangan yang berlaku,” kata Agus Wicaksono pada aca­ ra deklarasi pencalonannya. Hampir sama juga terjadi di Sumenep. Tarik menarik kepentingan juga terjadi antara eksekutif dan legislatif. Keduanya sampai saat ini ternyata belum satu kata dalam menerjemahkan pilkades serentak. Padahal rencananya, pilkades serentak di Sumenep akan digelar pada Mei 2013 nanti. Pemkab Sumenep memaknai pilkades serentak bisa dilaksanakan dalam satu bulan dengan dibagi beberapa hari pelaksanaan. Pemkab merencanakan pilkades dilakukan dua tahap, yakni pada Mei dan Oktober. Sedangkan DPRD menerjemahkan pilkades serentak harus dilaksanakan serentak satu hari. Anggota Komisi A DPRD Sumenep, Rukminto menjelaskan, yang dimaksud dengan Pilkades serentak itu pelaksanaannya dilakukan dalam satu hari, bukan dalam satu bulan dengan beberapa hari pelaksanaan. Menurutnya, di beberapa daerah lain seperti di Malang, pilkades serentak dilakukan dalam satu hari. “Kami sudah studi banding ke beberapa daerah yang melaksanakan pilkades serentak. Ya semuanya dilaksanakan dalam satu hari. Kalau alasannya personel keamanan tidak cukup untuk

mengamankan, itu kurang rasional. Di beberapa kabupaten/kota yang kami kunjungi, saat pelaksanaan pilkades itu hanya ada tiga personel keamanan di setiap desa yang menyelenggarakan pilkades,“ katanya. Menurut Rukminto, salah satu tujuan dari pilkades serentak adalah untuk meminimalisir terjadinya konflik dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan pilkades seperti judi. “Teorinya memang apabila terjadi konflik, pihak keamanan yang harus mengamankan. Tapi realitas di lapangan, masyarakat lebih bertanggung jawab atas pelaksanaan pilkades itu,“ ujarnya. Rukminto bersikukuh, apabila pilkades serentak dimaknai dengan dilaksanakan dalam satu bulan, berarti sudah menyalahi maksud dan tujuan dari dilaksanakannya pilkades serentak. “Kami sudah susah-susah melakukan studi banding ke beberapa kabupaten/ kota. Kami juga sudah menganggarkan dana pelaksanaannya. Tapi ternyata Pemkab kok masih akan melaksanakan pilkades secara bertahap, ada apa ?. Tujuan kami melaksanakan pilkades serentak itu untuk mempersempit terjadinya judi yang menyebabkan konflik di masyarakat,“ paparnya. ’Sengketa’ kepentingan menjelang pilkades serentak juga terjadi di Malang. Pilkades secara serentak yang dijadwalkan berlangsung pada Minggu, 7 April 2013 mendatang mendapat tentangan dari paguyuban camat se Kabupaten Malang. Tapi sumber persoalannya bukan karena pilkades itu dilakukan serentak atau bertahap, melainkan waktu pemilihan. Menurut Suroto, ketua paguyuban camat, pilkades serentak yang digelar Minggu 7 April di 226 desa yang tersebar di 33 kecamatan itu, dinilai tidak efisien. “Kami hanya minta Pemerintah Kabupaten Malang mempertimbangkan pelaksanaan. Tujuannya, pemilih yang memiliki hak suara bisa maksimal dalam menyalurkan aspirasi atau hak pilihnya. Mengingat, jadwal yang ditentukan itu, bertepatan dengan hari libur,” kata Ketua Paguyuban Camat seKabupaten Malang, Suroto. Pria yang juga Camat Karangploso itu menegaskan, pengalaman tahun-tahun sebelumnya, jika pelaksanaan pilkades dilakukan di hari libur, maka aspirasi atau hak pilih warga tidak maksimal. Penyebabnya, bisa jadi karena hari libur dioptimalkan warga atau masyarakat untuk urusan pribadi atau keluarga. ”Kondisi ini, berbeda dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Karenanya, mohon ada pertimbangan untuk penetapan waktunya. Mau dimajukan silahkan, dimundurkan juga silahkan. Jika perlu, camat diajak bicara mengenai ini,” terangnya.(*)

Edisi Perdana, Maret 2013

Pilkades, Akar Demokrasi Berbuah Korupsi DESA sebagai akar dari demokrasi, ‘terlupakan’ dari perhatian pemerintah pusat. ������� Terbukti dalam pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades), tak ada dana yang dianggarkan oleh pemerintah. Para calon ‘dipaksa’ untuk membayar biaya pelaksanaan Pilkades. Itulah kondisi yang terjadi di desa saat pelaksanaan Pilkades. Rosiki, Direktur Institute for Research and Empowerment (IRE) mengatakan, seharusnya pemerintah pusat juga memikirkan alokasi dana untuk pilkades. Karena pilkades itu juga amanat konstitusi. Tidak hanya pemilihan gubernur dan kepala daerah yang harus didanai pemerintah. “Sebenarnya dana Pilkades yang dibebankan kepada calon itu adalah paradigma yang keliru. Karena hadirnya pemerintahan di level desa bukan keinginan masyarakat. Tapi karena mandat konstitusi,” jelasnya. Seharunya, tambahnya, segala biaya penyelenggaraan pilkades juga diatur oleh pemerintah pusat. Akibat tak dibiayai peme­ rintah pusat, tak jarang pesta demokrasi desa itu malah menjadi ajang bisnis bagi oknum pemerintah daerah. “Kalau calon sudah dipe­ ras, jangan salahkan jika terpilih, malah rakyat yang jadi mangsa,” katanya. Bambang Sutrisno, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), di Desa Cerme, Kabupaten Bondowoso, mengatakan, sekarang ini hampir setiap pemilihan kepala desa, marak dengan praktik politik uang. Tradisi tersebut, akibat dari tidak adanya kepedulian pemerintah pusat pada proses pilkades yang menjadi akar munculnya demokrasi. Pilkades, yang merupakan salah satu instrumen terbentuknya demokrasi lokal, jelas Bambang, seharusnya masyarakat mendapatkan nilai-nilai pendidikan demokrasi di


Edisi Perdana, Maret 2013

dalamnya. Misalnya, bagaimana masyarakat bisa memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nurani masyarakat setempat. “Tidak memilih karena ada duit,” katanya. Prof. Dr Mas’ud Said, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, menyatakan, demokrasi lokal itu tumbuh dari proses pemilihan kepala desa. Hal itu sudah ada sebelum Indonesia terbentuk, yakni antara tahun 1920 hingga tahun 1945. Pilkades, sebagaimana tercantum dalam peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 72 tahun 2005 tentang desa, dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari warga setempat, yang dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). “Proses demikian harus berlangsung secara demokratis. Jangan malah mencederai proses demokrasi lokal,” katanya. Melihat kondisi tersebut, Airlangga Pribadi, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, maraknya praktik politik uang saat pilkades itu karena tidak ada transparansi dan keterbukaan. “Akhirnya, pe­ laksanaan dan sistem pilkades jalan sendiri. Tanpa ada aturan yang mengontrolnya,” jelasnya. Sekretaris Asosiasi Kepala Desa (AKD) se-Jawa Timur, Muhammad Muzammil, menilai bahwa praktik korupsi yang terjadi di desa merupakan salah satu dampak dari maraknya kasus korupsi pada tingkat daerah, provinsi maupun nasional. “Terjadinya politik uang di desa setiap akan pilkades, itu karena masyarakat masih belum paham apa itu demokrasi,” katanya. Karena itu, tambahnya, ke depan tugas pemerintah, mulai dari daerah hingga pusat, tidak me­lupakan proses demokrasi di level desa. Masyarakat harus terselamatkan dari politik uang. Bagi calon kepala desa, juga ha­ rus tidak membeli suara rakyat dengan uang.Jika masyarakat tak dididik dengan politik uang, secara perlahan akan memahami apa makna demokrasi yang sebenarnya. Menurut Umami, Ketua Forum Komunikasi antar Kepala Desa dan Aparat Desa (FOKAP) Ka­bupaten Situbondo, untuk memberikan kesadaran nilainilai demokrasi, masyarakat desa harus terus menerus diberikan pemahaman tentang filosofi demokrasi. “Tanpa ����������� pendidikan dan pemahaman demokrasi akan tetap rendah,” kata Umami. Karena itu, tambah Umami, harus ada perhatian khusus dari pemerintah untuk memberikan pemahaman yang utuh tentang demokrasi. “Tugas kita bersama, pemerintah desa, tokoh masyarakat, pemerintah daerah hingga pusat memberi pemahaman yang utuh kepada masyarakat akan makna demokrasi,” katanya “Termasuk konflik yang terjadi antar warga desa pasca pilkades, itu sebetulnya tanggung jawab bersama. Bukan hanya pemerintah desa dan kepolisian. Tapi semua masyarakat ikut bertanggungjwab,” tambah perempuan berbadan subur ini memaparkan.(*)

Rona Desa

pr desa

17

Biaya Pilkades, Pemicu Korupsi Bukan hanya tarik menarik kepen­ tingan yang mewarnai pemilihan kepala desa (pilkades), masalah pembiayaan pilkades ternyata juga sering menjadi permasalahan krusial. Apalagi UU tidak mengatur secara tegas, berapa anggaran pemerintah yang dikucurkan dalam pesta demokrasi di desa. Termasuk tidak ada sedikitpun kucuran untuk pilkades dari pemerintah pusat. Karena itu, masing-masing daerah mempunyai hitungan sendiri. Besar ��������� kecilnya suntikan dana ke panitia pilkades tergantung selera daerah setempat. Di Kabupaten Jember, misalnya, pemerintah daerah hanya menyumbang Rp 10 juta per desa yang melaksanakan pilkades. Padahal kebutuhan penyelenggaran pilkades, bisa mencapai ratusan juta rupiah. Dalam menentukan besarannya biaya pilkades perhitungannya adalah ditentukan dari jumlah pemilih dikalikan ‘harga’ satu suara wajib pilih. Di Malang, misalnya, ‚harga‘ satu suara wajib pilih dihargai Rp 10 ribu. Sementara di Jember berkisar Rp 20-25 ribu per suara. Sedangkan di Pamekasan Rp 40 ribu per suara. Melihat ketentuan tersebut, total biaya pelaksanaan pilkades bisa tembus angka ratusan juta rupiah. Di salah satu desa di Kecamatan Kalisat, Jember, biayanya mencapai Rp 250 juta dan biaya terendah pada salah satu desa di Kecamatan Sumberjambe, yakni Rp 40 juta. Bahkan biaya pilkades di Pamekasan bisa jauh lebih mahal mencapai Rp 500 juta lebih. Sebab, mengacu Peraturan Daerah (Perda) Pamekasan Nomor 6/2012, tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa (Pilkades), besaran biaya pilkades dipatok Rp 40 ribu per hak pilih. Sehingga Desa Blumbungan yang mempunyai 13.280 hak pilih, harus menanggung biaya pilkades Rp 531 juta. “Sungguh berat kalau semua biaya pilkades itu dibebankan ke kami (para calon, Red). Dapat dari mana uang sebanyak itu. Gaji kami (Kades, Red) per bulan hanya Rp 1.250.000,” kata Junaedi Kades Blum-

Dipicu biaya pilkades yang mahal, jangan salahkan jika nanti banyak kades yang korupsi. Karena Perda-nya saja tidak berpihak pada kepentingan rakyat. bungan, yang rencananya bakal macung lagi dalam pilkades yang akan digelar Mei nanti. Menurutnya, karena biaya pilkades mahal inilah maka ia khawatir bisa menjadi pemicu calon kades yang terpilih, nantinya melakukan korupsi. ”Jangan salahkan jika nanti banyak kades yang korupsi. Karena Perda-nya saja tidak berpihak pada kepentingan rakyat,” tegasnya. Menanggapi besarnya biaya pilkades dan tidak adanya keseragaman aturan penganggaran pilkades, Ketua Komisi A Bagian Hukum dan Pemerintahan DPRD Jember, Jufriyadi mengatakan, ada dugaan bahwa besarnya biaya penyelenggaraan pilkades itu karena rencana anggaran biaya (RAB) disusun berdasarkan keinginan panitia dan bukan berdasarkan standar kelayakan kebutuhan. ”Yang disusun pertama kali adalah gaji panitia, baru kemudian menghitung biaya administrasi penyelenggaraan,” kata Jufriyadi. Karena itu, tambahnya, untuk menekan biaya tersebut, Komisi A meminta kepada Pemkab Jember mengeluarkan

surat edaran kepada panitia yang akan menggelar pilkades serentak 26 dan 28 Maret mendatang. “Ke depan hendaknya seluruh biaya pilkades ditanggung APBD sehingga ada standar patokan biaya,” kata Jufriyadi. Sepakat dengan Jufriyadi, Dimyati, Ketua MCW (Madiun Coruption Watch) menegaskan, jika pelaksanaa Pemilu, Pilpres serta Pilgub semua anggaran dibebankan pada APBN, seharusnya pelaksanaan pilkades anggarannya juga dibebankan pada APBD. Di Kabupaten Madiun sendiri sudah ada ketentuan, biaya penyelenggaraan pilkades ditetapkan Rp 40 juta - Rp 70 juta per desa, tergantung jumlah pemilih. Biaya tersebut dibebankan pada masingmasing calon Kades, sehingga untuk maju menjadi calon kades mereka setidaknya memerlukan biaya Rp 14 juta-Rp 20 juta. Kondisi sangat berbeda terjadi di Kabupaten Sidoarjo. Menurut Kepala Bagian Pemerintahan Pemkab Sidoarjo, Ali Imron, Pemkab Sidoarjo sudah menganggarkan bantuan biaya pilkades hingga pelantikannya pada tahun anggaran 2013. Total anggaran anggaran Pilkades sebesar Rp2,843 miliar. Sedangkan jumlah Kades yang habis masa jabatannya tahun ini sebanyak 178 desa, tersebar di 18 kecamatan. “Para kepala desa yang purna tugas juga akan diberikan tunjungan masa purna bakti sebesar Rp10 jutaan per Kades. Bukan hanya itu, bantuan biaya pelantikanpun juga disediakan oleh Pemda sebesar Rp 445 juta, masing-masing desa Rp 2,5 juta, ” jelasnya. Terlepas dari pro kontra besaran biaya penyelenggaraan pilkades, pemerintah seharusnya sudah waktunya memikirkan dan mengambil alih pembiayaan pilkades. Sebab, desa adalah ujung tombak pemerintahan terdepan sekaligus pusat pendidikan demokrasi alami. Selama pilkades masih dibayangbayangi besarnya biaya, jangan harap pemerintahan desa berjalan bersih dan bebas korupsi. Demikian juga jangan bermimpi demokrasi berjalan sesuai dengan ghirohnya, selagi para calon kepala desa masih dibebani biaya yang macammacam untuk pilkades. Politik uang pasti masih merajalela.(*)


18

pr desa

Tilik Desa

Edisi Perdana, Maret 2013

Desa Pinggiran

Bantuan Meluap Semangat Menguap Di balik kesepian tersimpan bekas kejayaan. Di balik ketandusan ditemukan limpahan kekayaan. Di balik keterpaksaan, nasib dipertaruhkan. Kemiskinan bukan lagi mimpi, tetapi di balik mimpi itu segudang asa direngkuh. Dengan apa dan bagaimana warga desa yang hidup di tapal batas Jatim dan Jateng melepaskan jerat-jerat kemiskinan? Berikut laporan Suara Desa yang menelurusuri desa-desa yang terletak di tapal batas Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui jalur Utara, Tuban, Bojonegoro, Ngawi, Ponorogo dan Pacitan.

H

amparan hutan jati mengering. Daun-daunnya sudah tiga bulan ini jatuh meranggas. Tanah tandus berbatuan terbentang memanjang di atas Pegunungan Kapur. Jalan mendaki dan berkelok-kelok baru saja diaspal, hanya truk-truk peng­ angkut beras raskin yang melewatinya mengirim beras murah ke desa-desa. Lahan kosong ditumbuhi batu-batu besar menjadi pemandangan khas di sepanjang perjalanan yang melewati kawasan hutan gundul milik perhutani. Di tengah terik matahari itu, terlihat petani memanfaatkannya untuk memelihara hewan ternak seperti sapi dan kambing. Di atas lahan kering pada musim kemarau ini, petani masih bisa menanami jagung dan lombok.”Kalau sekarang harga lombok sedang turun, paling tinggi Rp 7000/Kg,” kata Sumaningsih petani lombok. Di atas puncak bukti di ujung jalan paling akhir dari daratan Jawa Timur bagian barat Tuban, perjalanan dihentikan ka­rena selangkah lagi sudah menginjak

Blora, Jateng. Di tempat itu, Desa Jamprong, Kec. Kenduruan, Tuban menjadi pembatas antara dua propinsi; Jatim dan Jateng. Desa yang dihuni 1500 KK ini memiliki tiga dusun; Gunung Wurung, Kedung Duren dan Jamprong Krajan. Masing-masing dusun berdiri berkelompok menempati lembah perbukitan di lokasi yang terpencar berjauhan. Meski terpencil, Desa Jamprong menyimpan khasanah lokal yang masih diperta­ hankan, yaitu rumah joglo. Deretan rumah berdinding kayu jati berdiri ringkih tak ter­awat tapi kekunoannya menebarkan aroma kewibawahaan. Tiang penyanggah dari kayu jati berdiameter 20 cm berdiri tegak dan di atasnya terpasang silangan kayu membentuk tumpangsari menggambarkan kerangka rumah tua yang masih terlihat anggun. Rumah-rumah khas Jawa ini patut dika­ gumi sebagai artefak kejayaan ma­syarakat yang pernah menikmati kekayaan hutan jati.“Jamprong bisa dijadikan wisata heritage rumah tua. Pemkab harus melindunginya

sebelum warga menjual rumah joglo itu ke luar negeri,” ujar seorang pengunjung desa. Di teras rumah joglo itu, sengatan matahari menusuk-nusuk pori-pori kulit yang terus menerus mengeluarkan ke­ringat pekat. Para lelaki desa duduk santai melepas kaos oblongnya untuk sekadar mengangin-anginkan tubuhnya yang penuh peluh. Idem dento dengan para perempuan desa yang sudah terbiasa de­ngan baju terbuka di bagian dada. Wajah lelaki dan perempuan desa itu sudah tak bercahaya lagi. Berharap dari sawah ladang bagaikan mimpi panjang yang tidak berujung, se­hingga kaum remajanya harus bermigrasi menjadi buruh kasar di kota metropolian atau berburu ringgit dan riya. ”Hal ini disebabkan tingkat pendidik­an warga yang rendah, sehigga banyak warga yang bekerja menjadi buruh kasar,” kata Pakat Kades Jambrong (42). Ada yang menamatkan sekolahnya sampai SMA tetapi jumlahnya sedikit. Paling banyak lulusan SMP. Namun demikian tingkat pendidikan warga saat ini lebih baik dibanding 10 tahun lalu yang sebagian besar pemudanya lulus sekolah dasar, ” kata Kades. Perhatian pemerintah terhadap desa

pinggiran juga tampak pada bidang kesehatan. Warga sakit pada zaman dulu, semakin sakit sudah biasa. Hal ini karena letak rumah sakit jauh dan sulit ditempuh denga cepat. Tetapi berkat Polindes dan bidan desa, warga berpenyakit ringan bisa diobati lebih cepat, sementara pasien berpenyakit berat direkomendasi berobat di Blora, Jateng. Menurut Pakat, secara geografis, Blora dan Jamprong sudah tidak berjarak. Kedekatan jarak itu sejak lama desanya bergantung pada Blora, termasuk kebutuhan penerangan. Pada 10 tahun lalu, sebelum dicanangkan listrik masuk desa, kebutuhan listrik warga dipenuhi masyarakat Blora.”Sampai saat ini, masih ada satu dusun, yaitu Kedung Duren yang dialiri listrik dari warga Blora, Jateng,” kata Pakat. Pembangunan jalan desa yang menghubungkan Jamprong dengan kawasan lain turut memicu perubah­an. Pada saat jalan masih makadam dan berbatuan, kata Pakat untuk rapat ke kantor kecamatan berjarak 4 Km membutuhkan waktu 2 jam. “Setelah jalan diaspal mulus, perjalanan yang jauh bisa ditempuh lebih cepat dan nyaman,” tuturnya. Menelusuri jalanan di Tuban mulai dari kota sampai desa yang terpelosok


Tilik Desa

Edisi Perdana, Maret 2013

sekalipun sudah mulus beraspal. Bahkan jalan sempit di perkampungan juga diaspal. Jalur transportasi diprio­ritaskan untuk memperlancar arus di­stribusi barang kebutuhan dari desa ke kota atau sebaliknya. Pembangunan jalan juga menjadi pintu pembuka era kehidupan baru bagi masyarakat yang puluhan tahun tertinggal di kawasan hutan tertutup, seperti Jamprong. Era reformasi telah membuka harap­an baru. Banjir bantuan meluap, mulai dari BLT, konversi minyak gas ke LPG, BOS, bantuan pendidikan anak miskin dige­lontorkan ke desa. Begitu pula bantuan jaminan kesehatan masyarakat dan penjualan beras murah. Bidang pemberdayaan ekonomi, pemerintah juga menyalurkan bantuan kambing meski­pun kecil dan banyak yang mati sakit. Selain itu bantun modal usaha, pembangunan jalan poros desa dan bantuan lainnya telah membangun budaya baru masyarakat. Masyarakat sering kaget dengan bantuan yang puluhan tahun tidak pernah mereka nikmati. “Bade wonten bantuan maleh toh pak,” begitu ungkapan Warsini warga Desa Jomprang saat Suara Desa berkunjung bulan lalu. “Nek wonten bantuan, kulo didaftaraken, pak,” ungkat Parmin.”Sampun lami bonten wonten bantuan male, pak,” kata yang lain. Menurut Pakat, sejak bantuan membanjiri desa, mentalitas warga berubah. Kebiasaan hidup yang pantang menyerah menghadapi tekan­an alam yang ganas bergeser menjadi masyarakat yang melemah. Semangat kerjanya yang keras menguap, karena selalu berharap ada bantuan.” Sikap selalu berharap ada bantuan membuat warga sedikit malas bekerja. Kepasrahan yang disertai bekerja keras, kini berubah menjadi masyarakat yang berharap ada bantuan, sehingga berdampak pada etos kerja,”kata kades. Bantuan juga diharapkan masyarakat Luwihaji, Kec.Ngraho, Bojonegoro. Desa yang terletak di pinggiran Bengawan Solo ini memiliki tanah subur, tetapi pasokan air yang kurang berakibat pada hasil panen yang sering gagal. Warga desa sudah berupaya dengan membuat sumur bor, tetapi jika musim kemarau tiba sumber air itu menjadi kering.”Kita berharap ada embung untuk menampung limpahan Bengawan Solo,” ujar Kades Luwihaji Djakib (55). Luwihaji terletak di ujung Barat Bojonegoro dan hanya menyebrangi Bengawan Solo dengan baito sudah menginjakkan kaki di Blora, Jateng. Meski Bengawan Solo kaya air, saat musim kemarau warga menderita karena air juga.”Saat ini ada warga yang harus pergi ke tengah hutan untuk menunggu tetesan air dan setelah 2 jam menunggu hanya dua jirigen air. Untuk itu kami butuh pembangunan embung (waduk),”ujarnya. Desa-desa di Kec.Ngraho kondi­sinya masih lebih buruk dibanding dengan desa-desa di Tuban. Di Bojonegoro, jalan desa masih banyak yang belum dibangun, kecuali menjelang Pilkada dirancang program sharing paving.”Pemkab menyediakan paving dan desa yang membiayai pembangunannya. Dana­nya diambilkan dari ADD,” ujar Kades Djakib. (nf, bd)

pr desa

19

Hujan Rupiah di Tanah Tak Bertuah

D

i balik alam yang tandus dan kering, Desa Jamprong, Kec. Kenduruan, Tuban hujan rupiah. Lahan pegunungan kapur ini, selama ratusan tahun dianggap tak bertuah dan tidak produktif. Tetapi sejak empat tahun lalu, justru lahan yang disia-siakan itu menghidupi warga desa yang telah lelah memikul beban kemiskinan. Menyok daplang menjadi tambang emas baru di kawasan hutan Jamprong. Tanaman berumbi ini dibudidayakan untuk diproses menjadi tepung tapioka. Pola tanam yang sederhana, biaya investasi rendah dan aman dari hama namun keuntungannya melimpah mendorong petani berbondong-bondong menanam menyok.”Apalagi tanaman ini tumbuh subur di lahan kering seperti di Desa Jamprong,” kata Kades Jamprong Pakat. Dalam kalkulasi bisnis, untuk membudidayakan menyok daplang

di atas lahan satu hektar membutuhkan investasi sebesar Rp 5 juta. Setelah ditanam selama 8 bulan, petani mendapat uang sebesar Rp 12 juta/hektar, sehingga setiap satu hektar petani memperoleh keuntungan Rp 7 juta. “Keuntungan ini lebih menjanjikan dibandingkan lahan tandus itu dibiarkan mangkrak atau ditanami produk pertanian lainnya,” ujar Pakat. Petani menyok daplang juga memperoleh keuntungan tambahan dari batang ketela pohon yang dipanen. Batang menyok ini digunakan untuk bibit. Harga setiap satu truk batang pohon menyok dijual Rp 2 juta, padahal dalam satu hektar menghasilkan sekitar 2 truk batang, sehingga setiap panen petani memperoleh tambahan keuntungan Rp 4 juta/hektar. Keuntungan paling besar dari menyok daplang diperoleh dari hasil pengelolaan menyok menjadi tepung tapioka. Menurut pemilik pabrik peng­ elolaan tepung topiaka, Pakat, setiap hari, mesinnya mampu memproses 10

ribu ton menyok daplang. Setelah digiling, pihaknya mampu memperoleh 3 ton tepung tapioka. Jika harga tepung tapioka saat ini mencapai Rp 4 ribu/kg berarti Pakat memperoleh Rp 12 juta/hari dan dalam satu bulan dia akan mengantongi Rp 360 juta. Setelah dikurangi biaya operasioanl; gaji karyawan, bahan baku, solar dan lainnya, seorang pengusaha penggilingan tepung tapioka bisa menyimpan dana sebesar Rp 75 juta/bulan. Keuntungan ini, kata Irul pengusaha muda asal Tuban, bisa bertambah besar karena, sisa penggiling­an menyok berupa ampas masih memiliki nilai jual tinggi, yaitu berkisar Rp 400/kg. “Jika saja setiap bulan mampu menggiling 300 ribu ton, berarti terdapat sekitar 200 ribu ton ampas yang bisa dijual sebagai hasil sampingan. Menyok daplang memang menjanjikan baik bagi petani maupun pengusaha,” katanya. Irul menuturkan, menyok daplang ini awalnya diperkenalkan pedagang tepung tapioka dari Pati, Jawa Tengah. Hasil uji coba penanaman menyok daplang di lahan kering seperti Jamprong ternyata sukses, sehingga seluruh hasil panen petani diborong para pedagang Pati untuk dikirim ke pabrik-pabrik pengelolaan tepung tapioka di Pati. Hasil menggiurkan itu menarik minat Kades Jomprang, Pakat untuk membuat mesin pengelolaan menyok menjadi tepung tapioka. Investasinya cukup besar. Untuk membuat 1 unit mesin pengelolaan tepung tapioka membutuhkan dana sekitar Rp 500 juta.”Dari mana uangnya, kalau tidak pinjam ke bank. Namun karena kebutuhan tepung tapioka ini masih kurang, kami memberanikan diri untuk pinjam bank sebagaiu modal mendirikan pabrik pengelolaan tepung tapioka,” kisahnya. Mesin dan perangkatnya didatagkan dari Pati termasuk disainer konstruksinya. Halaman rumah kades yang tidak berfungsi dijadikan lahan pabrik


20

pr desa

Menyok daplang menjadi tambang emas baru di kawasan hutan Jamprong. Tanaman berumbi ini dibudidayakan untuk dipro­ ses menjadi tepung tapioka. Pola tanam yang sederhana, biaya investasi rendah dan aman dari hama namun keuntungannya melimpah mendorong petani berbondongbondong menanam menyok.

Tilik Desa

pengelolaan bahan baku menjadi bahan jadi. Setelah berdiri, hampir semua petani Jamprong dan sekitarnya meng­irimkan hasil panennya ke Pakat, bahkan kiriman bahan baku juga datang dari petani Jawa Tengah. “Suplai bahan baku yang melimpah dan jumlah permintaan tepung tapioka yang tinggi akhirnya hanya dibutuhkan selama 3 tahun semua pinjaman bank, sudah bisa saya lunasi,”ujar Pakat. Dengan mesin pengelolaan yang dimiliki kades itu, Irul akhirnya tertarik untuk menanam menyok daplang dengn memanfaatkan lahan perhutani yang gundul. Lahan yang sedang direboisasi itu perlu perawatan, tetapi perhutani kekurangan tenaga dan dan dana untuk menjaga agar pohon jati yang ditanaminya itu tetap hidup. Untuk itu, pihak perhutani menawarkan program pengelolaan lahan kepada Ponpes Raudlatul Ma’rufiyah, Sidorejo Kec. Kenduruan. Pihak pondok diijinkan memanfaatkan lahan perhutani dengan kompensasi bisa menjaga tanaman reboisasi dari kematian. Berdasar perjanjian itu, pada progam awal ini ditanami lahan seluas 25 hektar untuk budidaya menyok dan jika berhasil akan diperluas lagi ke lahan yang masih kosong.“Kini menyok yang dike­lola ponpes itu sudah berusia 6 bulan dan tinggal 2 bulan lagi, akan melaksanakan panen raya,”

ujar Irul invstor menyok. Kelebihan menyok daplang menurut Irul, rasanya pahit dan getahnya mengandung racun. Babi hutan yang biasa merusak hasil hutan akan mati jika mengkonsumsi menyok daplang ini. Selain itu jenis daplang memiliki kandungan tepung tapioka yang paling tinggi, apalagi cara pembudidayaannya relatif gampang begitu pula dengan perawatanya. Sebagai desa di daerah perbatasan, Jamprong terus menerus melakukan inovasi agar kelak lebih mandiri. Selain tanaman lombok dan budidaya sapi yang sudah menjadi trademark Jamprong, saat ini juga mulai dikembangkan tanaman jeruk.”Ada uji coba tanaman jeruk yang dikawal oleh petugas penyuluhan pertanian. Alhmdulillah hasilnya juga sudah cukup bagus,”kata Pakat. Upaya Jamprong mengurai be­nang ruwet kemiskinan tidak ditempuh para kepala desa yang hidup di daerah perbatasan Jateng dan Jatim. Desa Luwihaji, Kec. Ngraho, Bojonegoro misalnya, dari sisi geo­grafis terletak di pinggiran Bengawan Solo. Tetapi warganya selalu kekurangan air, bahkan di saat menjelang musim panen, banyak lahan sawah nya­ris gagal panen.”Padahal setiap petani sudah membuat su­mur bor untuk menyi­ rami sawah la­dang­nya, tetapi tetap tidak bisa mengatasi,” kata Kades Luwihaji Djakib (56) Bagaimana dengan Hippam, kades mengeluh karena bantuan pemerintah

Edisi Perdana, Maret 2013

berupa satu unit diesel untuk mengalirkan air bengawan ke sawah rusak. Namun demikian diakui, jika desanya belum memiliki kelompok tani yang khusus mengurusi bidang air. Untuk mengatasi kesulitan air, warga Desa Tapelan, tetangga Luwihaji, membuat saluran irigasi berbentuk jembatan beton kecil yang melewati di atas tanah persawahan. Air bengawan dialirkan ke sawah melintasi jembatan sepajang 500 meter dan banyak petani yang menikmatinya. Potensi yang dimiliki desa yang sampai saat ini belum digarap adalah sektor perdagangan. Desa Luwihhaji dan Sukorejo, Blora hanya dipisahkan oleh Sungai Bengawan Solo. Warga desa di pinggiran bengawan itu selalu melalui jalan desa untuk berbelanja ke pasar Kecamatan Ngraho. “Kalau di lokasi penambangan itu didirikan pasar desa, pasti ramai karena selain warganya, penduduk desa dari Blora juga akan mendatangi pasar desa ini. Dari pasar inilah bisa ditarik retribusi untuk pembangunan di desa,”jelas Djakib. Pendapatan desa selain diperoleh dari ADD yang dikucurkan Pemkab Bojonegoro, para pengusaha penggalian pasir di aliran Bengawan Solo menurut informasi turut memberi kontribusi ke kas desa. Itu sebabnya truk-truk pengangkut pasir bebas keluar masuk desa, meskipun jalan desa bertambah rusak termasuk lingkungan sungai yang terancam longsor.(nf,bdh)


Edisi Perdana, Maret 2013

Tilik Desa

pr desa

Jalan Desa di Perbatasan Kurang Perhatian MAGETAN - Sayutan adalah sebuah nama desa di wilayah Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, Provinsi Jawa Timur. Desa ini berada di lereng Gunung Blego sebelah selatan. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Nguneng (Jawa tengah) di sebalah barat dan di selatan berbatasan dengan Desa Pohijo( Ponorogo). Penduduk Desa Sayutan mayoritas bermata pencarian petani, peternak dan pedagang. Hasil pertanian dari desa ini antara lain padi, ketela pohon, jagung, kacang tanah dan cabe. Untuk menuju ke Desa Sayutan dari magetan, dibutuhkan waktu sekitar satu jam, dengan melewati jalan aspal yang kondisinya sangat memprihatinkan. Jalan ini merupakan jalur utama menuju ke Kecamatan Parang, sentra perekonomian wilayah selatan Magetan. Desa Sayutan merupakan Desa paling ujung selatan Kabupaten Magetan, dengan kondisi geografis perbukitan, dengan kearif­an budaya lokal yang masih tinggi dalam tatanan kehidupan kemasyarakatan. Hampir setiap Minggu ada kegiatan kerja bakti, budaya tersebut mempererat persaudaraan antar warga. Menurut Kepala Desa Sayutan, Tumijo, warga Desa Sayutan masih menjunjung tinggi nilai- nilai kerjasama/ gotong royong dalam bersinteraksi sosial. Seperti pada saat ada warga yang membuat rumah, mereka beramai- ramai gotong- royong ikut membangunnya sampai selesai, tradisi tersebut tidak ada di desa/ daerah lainnya. “Hampir setiap Minggu, di sini ada kerja bakti. Paling sering kerja bakti memperbaiki jalan desa, karena kondisi jalan di sini sangat memprihatinkan sekali. Mereka sangat guyub, terlebih jika ada kegiatan,” terangnya. Menurut Tumijo, anggaran ADD Desa senilai Rp 114.000.000 per tahun belum bisa untuk mengatasi kerusakan jalan desa dan pembangunan infrastruktur yang lain. Sebab, dana dari ADD sudah terserap untuk pos- pos seperti PKK, Posyandu dan lainlain. “Dengan jumlah penduduk yang mencapai 6.000 lebih, dana ADD lebih banyak kami peruntukkan kembali untuk kesejahteraan warga. Jadi, untuk pembangunan infrastruktur desa belum bisa terealisasi hingga sekarang. Padahal, kami sering juga mendapat laporan warga terjatuh dari sepeda motor dikarenakan terpeleset akibat jalan yang rusak,” jelasnya.

Saat ditanya mengenai bantuan perbaikan jalan dari Pemerintah, Kepala Desa yang bersahaja ini mengatakan, terakhir pada tahun 2008 lalu pernah dapat bantuan dari Dinas PU untuk penyemiran jalan. Namun jumlahnya sangat sedikit sekali, akhirnya malah jalan semakin rusak karena penyemiran tidak merata. Dari pantaun di lapangan, kondisi jalan menuju Desa Sayutan ini memang rusak parah. Kondisinya semakin memprihatinkan karena banyak truk galian C hilir mudik melalui jalan desa. Mereka sepertinya tidak memikirkan keseimbang­an alam dan kerusakan jalan yang mereka lalui setiap harinya. Salah satu warga Desa Sayutan, Kodo, saat menunjukkan jalan desa menuju perbatasan antara Sayutan Dengan Desa Nguneng Jawa Tengah itu memang kon-

disinya sangat parah. Menurutnya, jika mau kesana jalannya rusak dan harus hati- hati. Bahkan dari pantauan di lapangan, jalan tersebut sudah tidak kelihatan aspalnya. Karena itu Tumijo berharap, pemerintah daerah memperhatikan desanya, termasuk desa- desa yang ada di daerah perbatasan dengan propinsi lain. Itu penting agar ada pemerataan dan keseimbangan program maupun proyek antara desa yang ada di perbatasan dengan desa lainnya, sehingga desa di pinggiran tidak tertinggal. (khoiri)

Kondisi jalan Desa Sayutan yang belum mulus.

21


22

Tokoh

pr desa

Pitoyo, SH, Kades Bendosari, Blitar

Prihatin Pemimpin Tak Bijak Pemimpin itu harus bijak. Ia harus bisa mengayomi orang yang dipimpinnya. Kalau ada perselisihan diantara orang yang dipimpin, ia harus menjadi penengah dan problem solver, dengan mengedepankan azas musyawarah demi kebaikan bersama. Hal itulah yang dialami dan dipegang teguh Pitoyo, SH, selama satu dasa warsa lebih menjabat Kades Bendosari, Kec. Sanankulon, Kab. Blitar. Win-win solution menjadi azas terpenting dalam menyelesaikan berbagai persoalan atau konflik diantara warga. “Saya sedih dan sangat prihatin, ternyata masih ada pejabat atau pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyat bertindak mentang-mentang dan adigang- adigung. Tidak memperhatikan hati rakyat yang dulu ikut mendukung dan memilihnya,”ujar Pitoyo. Lalu Pitoyo menunjukan kasus sengketa perbatasan Gunung Kelud antara Kabupaten Blitar dan Kediri. Selama ini orang mengenal Gunung Kelud merupakan milik Blitar, bahkan menjadi lambang pemerintahan kabupaten. Bila gunung itu meletus, warga Blitar juga ikut menderita akibat dampaknya. Menurut Pitoyo, jika kemudian terjadi sengketa perbatasan terkait Gunung Kelud, maka kebijakannya bukan gunung tersebut milik salah satu kabupaten. Sebab ada beberapa kecamatan dan desa masuk wilayah di kedua kabupaten, Blitar dan Kediri. Mestinya, kebijakan itu tidak kontroversial dan sifatnya tetap menguntungkan kedua kabupaten. Pitoyo berpedapat, biarkan Kabupaten Kediri mengelola Gunung Kelud dari sisi wilayah Kediri. Demikian juga beri kesempatan Kabupaten Blitar mengelola dari sisi wilayah Blitar. Ini adalah solusi yang adil, karena seorang pejabat pimpin­an wilayah harus berpikir adil. Bukan emban cinde emban ciladan alias pilih kasih. “Lihat Bandara Juanda, meski namanya Surabaya tapi terletak di Sidoarjo, kedua pemerintah daerah setempat tetap dapat berbagi. Seharusnya seorang pemimpin atau kepala daerah juga berpikir demikian,”ujar Pitoyo, dengan nada agak tinggi. (bdh)

Edisi Perdana, Maret 2013

Djakip, Kades Luwihaji, Bojonegoro

Kisah Cempe ‘Gudiken’ “Oalah Mbah Lurah, nyukani bantuan kok kalian penyakite pisan. Niki lho wedhuse pada gudiken, malah saget nulari sing ngopeni. Pripun toh sakjane karepe pemerintah niku.” Itulah cerita Djakip (52 tahun), Kades Luwijahi, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro dalam bahasa Jawa, menirukan salah satu warganya yang menerima bantuan kambing dari Pemprov Jatim. Artinya, bagaimana ini Mbah Lurah (se­ butan Kades, red.) memberi bantuan de­ ngan penyakitnya sekalian. Ini lho kambingnya bisulan atau korengan malah menulari yang memelihara. Bagaimana sebenarnya yang diinginkan pemerintah itu. Lalu Djakip menguraikan cerita menarik kambing gudiken bantuan Gubernur Jatim Soekarwo. Menurutnya, sebanyak 125 KK di Desa Luwihaji telah menerima bantuan kambing yang ukurannya kecil-kecil (cempe). Tiap KK rata-rata memperoleh 3-4 ekor. Saat ini hanya 25 KK yang masih memiliki kambing itu, dan itupun jumlahnya tidak utuh lagi alias tinggal 1-2 ekor di tiap KK. “Kambing-ka­ mbing itu banyak yang mati, karena terlalu kecil dan kena p e ­n y a k i t . Tapi ada juga yang dijual, takut mati se­perti yang lain,”ujar Dja­kip, yang menjabat kepala desa sejak 2007 lalu. Tanpa mengu-

rangi rasa terima kasih, bapak tiga anak itu menceritakan banyak hal yang memprihatinkan dalam program bantuan kambing. Betapa tidak, sebagian besar kambing yang diberikan tidak layak pelihara, kecil-kecil, dan banyak yang sudah berpenyakitan ketika diterima warga. Tak jarang ia diprotes dan dikomplain warga­ nya, karena tertular penyakit kambing gudiken itu. Lebih jauh Djakip menceritakan desanya yang masih jauh dari sarana dan prasarana yang memadai. Pada musim kemarau, banyak warganya kesulitan air, terutama di Dusun Weru dan Karang­ nongko. Tidak hanya air untuk minum, tapi untuk pengairan sawah atau ladang. Sebab kalau sudah kering tidak ada yang bisa ditanami. “Ironisnya pada musim hujan, malah seringkali banjir. Areal persawahan pun tidak bisa ditanami,”ujar kakek tiga cucu ini. Selain air bersih, warga di desanya membutuhkan embung untuk menampung air hujan atau sungai yang bisa mengairi sawah dan lading. Dulu sekali, ketika dirinya menjabat modin (Kaur Kesra) pernah dilakukan survei untuk pembuatan embung. Namun hingga kini tak kunjung terealisasi. Menurut Djakip, warganya juga membutuhkan bantuan mesin pompa dan pipa untuk mengambil air dari Bengawan Solo untuk mengairi sawah. Saat ini yang dilakukan warga menggali sumur, namun tetap saja sering kering saat musim kemarau. (bdh,nuf)

warung Prodesa Jadi Pemimpin Jangan Suka Ingkar Janji suasana warung ProDesa di sebelah balai desa hampir tiap hari kelihatan ramai. Banyak warga berkumpul di tempat berukuran 25 m x 40 m itu. Ada yang main pingpong, main gaple, karambol, skak, nonton televisi, atau hanya sekedar cangkrukan ngobrol ngalor ngidul sambil minum kopi jahe. Bahkan kadang-kadang pada malam Minggu, Pak Kades menyewa in focus untuk menyaksikan pertandingan sepak­ bola Liga Inggris atau memutar film-film bagus. Saat-saat tertentu digelar panggung campur sari yang diikuti grup ke­ senian dari desa tetangga. ”Saya ingin mengembalikan suasana balai desa seperti zaman para leluhur kita. Bahasa muluk-muluknya balai desa sebagai ruang publik,”ujar Pak Kades, saat menemui empat sahabatnya Kang Min, Gus Nuf, Cak Fat, dan Wak Gas, di Wa­ rung ProDesa. Mengapa dulu rakyat sangat hormat, tunduk dan patuh kepada rajanya ? Menurut Pak Kades, karena raja selalu mendengarkan suara rakyatnya, menjaga kehormatan dan martabat rakyatnya, serta memenuhi kebutuhan dan apa-apa yang menjadi hak rakyat. Rakyat pun akhirnya sangat hormat dan patuh pada raja. Konsep seperti itu berarti pemimpin harus membuka hati dan telinga lebar-lebar. Pemimpin yang dipilih rakyat jangan menjelma seperti ndoro atau juragan. Karena sudah ditunjuk oleh rakyat, maka hukumnya harus melayani, bukan malah minta dilayani, disembah-sembah, dan disubyo-subyo. “Saiki wis gak jamane kayak ngono. Kita memang harus menghormati pemimpin, tapi tetap harus kritis. Mereka kan juga manusia biasa. Jelas doyan duwit, juga butuh makan, ada iri, ada dengki, dan pasti juga punya sifat rakus tamak,”tutur Pak Kades, penuh semangat. Sesaat kemudian Kades muda itu bercerita saat dirinya bertemu dan berdebat dengan bupati, yang kebetulan kakak iparnya. Justru karena punya hubungan famili itulah, Pak Kades tak segan-segan mengkritik program maupun kinerja Pak Bupati. Tak jarang mereka berdiskusi panjang lebar, lalu berdebat hingga bersitegang sampai gebrak-gebrakan meja.

”Terus terang Pakde, semboyan kampanye Makmur Bersama Wong Cilik ternyata kaspo, cuma isapan jempol belaka ....,”kata Pak Kades. “Awakmu ojok ngomong sembarangan. Aku baru saja menggelontorkan ribuan kambing, ratusan ribu bibit ikan lele, gurami, tombro, dan bibit ayam bagi rumah tangga miskin di desa,”jawab Pak Bupati, dengan nada tinggi. “Lihat saja sekarang di desa sudah banyak rumah magrongmagrong. Hampir di semua rumah sudah ada sepeda motor. Itu salah satu tanda kemakmuran di desa, “tambah Pak Bupati. Mendengar jawaban seperti itu, Pak Kades malah tambah panas. Menurutnya, mereka yang punya rumah bagus itu rata-rata warga desa yang bekerja di luar negeri menjadi TKI, bukan semata-mata dari uang APBD yang digerakkan di desa. Demikian juga bantuan dan program hibah hanya menciptakan korupsi yang terstruktur, sistematis dan massif. Sebab kambing atau barang-barang yang diterima masyarakat sudah banyak yang tidak layak pakai. Kambing yang diterima warga miskin kecil-kecil, sehingga mudah kena penyakit, gudiken, dan akhirnya banyak yang mati. Warga yang pintar langsung dijual daripada dipelihara terus mati. “Kalau ingin makmur bersama wong cilik, program-program sampeyan harus didesain benar-benar untuk wong deso ...,” sahut Pak Kades. Ucapan Pak Kades sejenak membuat Pak Bupati kaget dan hanya bisa melongo. Sedangkan Pak Kades terus bicara menumpahkan semua isi hatinya lebih blak-blakan, seperti ia bicara dengan temannya. Ia lupa yang dihadapinya itu bupati, orang yang paling disegani di kabupaten. “Wong cilik, wong mlarat, jumlahe akeh nang ndeso. Mereka yang miskin di kota pun juga dari desa-desa. Programe ya kudu berkelanjutan dan memberdayakan, gak cuma pencitraan dan seremonial...,” terang Pak Kades, sambil memandang Kang Min. “Dorong pemerintahan desa itu bekerja seolah-olah mengelola sebuah negara. Beri dana stimulan secara rutin dan berkelanjutan untuk menggairahkan ekonomi dan semangat

sosial masyarakat desa,”ujar Pak Kades. Menurut Pak Kades, Pak Bupati hanya diam mendengarkan usulan dan ide-idenya. Malah ia bercerita, bagaimana sulitnya membuat program yang benar-benar pro desa dan membumi. Ia merasa terhambat oleh arogansi dewan dan budaya birokrasi yang lambat dan korup. “Pakde, pemilih sampeyan paling banyak niku rakyat, wong cilik, bukan anggota dewan, para birokrat, atau wong licik. Sudah semestinya membela wong cilik, bukan wong licik ....,ujar Pak Kades, “Wong cilik itulah yang hakikatnya mengangkat pangkat, martabat dan kehormatan panjenengan sak keluarga ....,“ cecar Pak Kades. Melihat Pak Bupati masih diam, Pak Kades terus nyerocos. “Ingat Pakde, wong licik itu hanya numpang kamukten, cari enaknya sendiri, dan kalau ada apa-apa, yang nanggung Pakde sendiri ....,”jelas Pak Kades, sembari mengakhiri kisah dialognya dengan suami kakaknya yang kini bupati itu. “Terus pripun komentare Pakde jenengan itu, Pak Kades,” tanya Cak Fat sambil mesam-mesem. “Jawabnya, ‘dasar bocah semprul gak duwe dur ”. Itu saja, lalu mengajak makan dan tidak boleh bicara urusan negara,” jawab Pak Kades, sembari mengajak empat sohibnya itu nonton layar lebar pertandingan MU vs Arsenal. (cak bud)


Hukum

Edisi Perdana, Maret 2013

pr desa

23

Pemda ‘Wajib’ Anggarkan Bantuan Keuangan Desa

G

una memperkuat kemandirian serta kelancaran pembangunan desa, pemerintah kabupaten/kota dipandang perlu memperhatikan pengalokasian dana bantuan keuangan untuk pemerintah desa dalam penyusunan Rancangan APBD (RAPBD) Tahun 2013. Termasuk, persoalan alokasi dana bantuan keuangan untuk desa. Hal itu ditegaskan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2013. “Dalam point c Permendagri Nomor 37 Tahun 2012 dikatakan pemerintah kabupaten/kota menganggarkan bantuan keuangan kepada pemerintah desa paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterimanya, kecuali DAK (dana alokasi khusus),” kata Reydonnyzar dari Kemendagri. Reydonnyzar mengatakan bantuan keuangan dari pemda kepada pemerintah desa ini merupakan penegasan alokasi dana desa (ADD) sesuai Pasal 68 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pembagian ADD untuk setiap desa ditetapkan secara proporsional dengan kepu-

tusan kepala daerah. Selain itu, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota dapat memberikan bantuan keuangan lainnya kepada pemerintah desa dalam rangka percepatan pembangunan desa sesuai kemampuan keuangan daerah. “Pengaturan tentang desa ke depan dimaksudkan untuk menjawab permasalahan sosial, budaya, ekonomi dan politik desa, memulihkan basis penghidupan masyarakat desa serta memperkuat desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang kuat dan mandiri,” katanya. RUU Desa, tambah Reydonnyzar juga semakin memperjelas posisi keuangan desa. RUU ini memastikan desa memiliki pendapatan yang bersumber dari pendapatan asli desa, bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Dengan adanya kepastian soal pendapatan desa ini diharapkan dapat meningkatkan kemandirian desa untuk menjawab permasalahan dan kebutu-

han masyarakat yang berkembang di desa ke depan. Disebutkan, dana untuk desa pada prinsipnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pasal 68 UU 72/2005, menyebutkan sumber pendapatan desa terdiri atas pendapatan asli desa, meliputi hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan pendapatan asli desa yang sah. Kemudian, sumber pendapatan desa juga berasal bagi hasil pajak daerah kabupaten/kota paling sedikit 10 persen untuk desa dan dari retribusi kabupaten/kota sebagian diperuntukkan bagi desa. Desa juga berhak mendapatkan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10 persen yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional, yang merupakan alokasi dana desa. Selain itu, sumber pendapatan desa lainnya yakni bantuan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan, serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.(atr, tni)

Renungan WARGA Jawa Timur bisa jadi tengah menunggu datangnya pemimpin seperti Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Umar bin Abdul Azis. Yang satu Presiden dengan karakter sederhana, tegas, dan selalu memihak rakyat. Begitu pula satunya, Kepala Negara yang memiliki sifat ulama yang zuhud. Bagi Presiden yang merakyat bisa mencontoh Umar Ibnu Khattab. Sebagai kepala negara Beliau sampai harus memanggul sendiri sekarung tepung dan lemak ketika tahu ada warganya kelaparan. Saking miskinnya, umar yang blusukan pada malam hari, melihat sendiri warganya memasak batu untuk sekadar menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Bukan hanya itu, Umar juga disambati anaknya yang diejek teman-temannya di sekolah karena bajunya tambalan. Dan pakaian Sayyidina Umar RA, selaku Amirul Mu’minin sendiri, bertambalan sebanyak empat belas tempat dan sebagian tambalannya ada yang terbuat dari kulit kayu. Maka Sayyidina Umar pun berbicara kepada Bendaharawan Baitul Maal (kas negara): “Hutangilah kami uang dari Baitul Maal (kas negara) sebanyak empat dirham sampai awal bulan. Dan bila sudah awal bulan maka anggaplah sebagai bayaran bulanan saya, yakni yang kami pinjam itu bayaran sebulan kami bekerja dan yang sebulan dari negara,” kata Beliau. Bayangkan, seorang Presiden sampai ngutang hanya untuk membelikan baju anaknya. Itu pun ditolak dengan halus oleh sang bendahara sebab belum tentu umar hidup selama satu bulan. Umar maklum dengan penolakan tersebut. Ya, bandingkan dengan baju anak-anak pejabat kita sekarang yang glamor. Satu lagi sosok Umar yang patut kita teladani. Suatu ketika sahabat Abdullah bin Zubair berkata, “Suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. Ketika merasa lelah, dia bersandar ke sebuah dinding di malam gelap buta. Dia mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, ‘Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.’ Maka putrinya menjawab, ‘Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin?’ Ibunya bertanya, ‘Wahai putriku, apa maklumatnya?’ Putrinya menjawab, ‘Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air.’ Ibunya berkata, ‘Putriku, lakukan saja, campur susu itu dengan air, kita di tempat yang tidak dilihat oleh Umar dan petugas Umar.’ Maka gadis itu menjawab, ‘Ibu, Amirul Mukminin memang tidak melihat kita. Tapi Rabb Amirul Mukminin melihatnya.“ Lagi-lagi Umar yang suka sidak langsung warganya mendengar perbincangan ibu dan anak itu. Maka dia menugaskan pengawalnya untuk menandai rumah itu dan mencari informasi lebih lanjut tentang anak gadis itu. Setelah itu, Umar kemudian memanggil putra-putranya dan mengumpulkan mereka, Umar berkata, ‘Adakah di antara kalian yang ingin menikah?’ Ashim menjawab, ‘Ayah, aku belum beristri, nikahkanlah aku.’ Maka Umar meminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan inilah kelak lahir seorang putri yang di kemudian hari menjadi ibu bagi Umar bin Abdul Aziz. Sedangkan ayahnya adalah Abdul Aziz bin Marwan, salah seorang gubernur yang shaleh dari Bani Umayah. Nuim Hidayat penulis buku “Imperialisme Baru” dalam salah satu tulisannya memaparkan Umar bin Abdul Aziz terkenal dengan kezuhudannya, kealimannya, dan kepeduliannya yang tinggi terhadap urusan rakyat. Suatu ketika seorang penduduk mengadukan kepada Umar tentang nasibnya. Ia melaporkan bahwa ada pejabatnya yang telah merampas

Ya Umara Ya Ulama

toko-tokonya. Pejabat itu lantas dipanggil Umar dan kemudian ia memerintahkan pejabat itu untuk mengembalikan toko itu kepada penduduk yang memilikinya. Tapi pejabat itu bandel, ia tidak menaati perintah Umar. Khalifah Umar kemudian memanggil polisinya dan mengatakan, ”Jika dia mengembalikan toko itu kepada pemiliknya, maka tinggalkanlah dia. Tetapi bila orang itu (pejabat) masih membangkang juga, maka pancunglah kepalanya.” Karena ancaman yang keras itu, akhirnya pejabat itu mengembalikan toko itu kepada pemiliknya. Kiai Firdaus AN dalam bukunya “Kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz” menceritakan, di masa Umar bin Abdul Aziz, terjadi fitnah adanya ‘saling mencaci’ antara pengikut Sayidina Ali dan Bani Umayah. Pencacian itu kadang-kadang dilakukan di mimbar-mimbar. Umar bersedih, karena dia mengetahui kehebatan dan kealiman Sayidina Ali. Maka kemudian dia memerintahkan kepada rakyatnya untuk menghentikan pengutukan terhadap Sayidina Ali dan menyuruh para khatib untuk menggantinya dengan membaca surah an Nahl ayat 90 dan atau surah al Hasyr ayat 10. “Sesungguhnya Allah menyuruh berbuat adil dan berbuat kebajikan (ihsan), memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS: an Nahl 90) “Ya Tuhan beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orangorang yang beriman. Ya Tuhan Kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS: al Hasyr 10) Untuk menjaga keadilan dan kelancaran administrasi Negara, maka Umar bin Abdul Aziz melarang para gubernur dan pejabat-pejabat berdagang untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun familinya. Umar menulis surat berikut: “Kami berpendapat, bahwa seorang Imam (pemimpin Negara) tidak pantas untuk berdagang. Begitu pula tidak halal bagi seorang gubernur untuk berdagang di dalam wilayah kekuasannya. Karena seorang Amir bila ia berdagang ia akan

mudah melakukan monopoli dan membenarkan perbuatan yang merusak Negara, sekalipun ia berusaha keras untuk tidak berbuat demikian.” Untuk itu, agar para pejabatnya tidak berbisnis dan tidak menyelewengkan uang negara, maka Umar memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para pejabatnya. Karena begitu makmurnya Negara saat itu, hingga gaji para pejabat itu sampai ada yang berjumlah tiga ratus Dinar. Memang kemakmuran dan keadilan mewarnai Negara pada saat itu. Yahya Ibnu Said berkata, ”Umar bin Abdul Aziz telah mengutus aku ke Afrika Utara untuk membagi-bagikan zakat penduduk di sana. Maka aku laksanakanlah perintah itu. Lalu aku cari orang-orang fakir untuk kuberikan zakat itu pada mereka. Tetapi kami tidak mendapatkan seorang pun juga dan kami tidak menemukan orang-orang yang menerimanya. Umar betul-betul telah menjadikan rakyatnya kaya. Akhirnya kubeli dengan zakat itu beberapa orang hamba sahaya yang kemudian kumerdekakan.” Meski rakyatnya kaya, Umar hidup sederhana. Kezuhudannya terkenal di seluruh penjuru wilayahnya. Ia memberi anak-anaknya pakaian dan makanan yang sederhana. Sering anak-anak perempuannya disuguhi dengan makanan kacang dan bawang merah, sambil dia menangis dan berkata, ”Apa gunanya wahai anak-anakku. Kalian hidup dengan mengecap bermacam-macam makanan yang lezat, tetapi yang mempersiapkan itu karenanya pergi masuk neraka.” Umar memang umara yang sekaligus ulama. Pendalamannya yang mendalam terhadap agama, menjadikannya pemimpin yang adil, bijaksana dan menjadikan Islam bersinar terang karena pemimpin dan masyarakat menerapkannya bersama. Ia bukan pemimpin yang zalim yang menyebabkan agama menjadi rusak. Dalam Mukhtarul Haditsun Nabawiyyah, Sayyid Ahmad Hasyimi mengutip hadits Rasulullah saw: “Penyakit agama ada tiga: orang yang faqih tapi fajir (suka berbuat dosa besar), imam yang jair (suka berbuat zalim) dan mujtahid yang jahil (bodoh).” (HR Ad Dailami dari Ibnu Abbas). Karena itu, kakeknya Umar bin Khattab pernah memberi nasehat kepada rakyatnya. ”Perdalamlah ilmu agama, sebelum kamu menjadi pemimpin.” (tafaqqahu qabla an tusawwadu). Dan Umar bin Abdul Aziz pernah memberi nasihat kepada gubernur-gubernurnya: “Adapun kemudian daripada itu, Allah Azza Wajalla telah memuliakan pemeluk-pemeluknya dengan agama Islam, menjunjung tinggi mereka serta menghormatinya. Sebaliknya mengecilkan dan merendahkan martabat orang-orang yang menentang mereka itu. Dan Allah telah menjadikan mereka sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk kepentingan umat manusia. Dari itu janganlah sekali-kali kalian menyerahkan kepemimpinan mereka kepada orang-orang dzimmi. Karena nanti mereka membelenggu tangan dan mengunci lisan orang Islam, yang dengan begitu kalian berarti merendahkan mereka setelah Allah memuliakan mereka dan menghinakan mereka setelah Allah meninggikan martabat mereka…” Khalifah yang mulia ini lahir pada 63H (682M) dan hanya memerintah selama dua setengah tahun saja (717-720M). Ia meninggal pada usia 38 tahun, karena diracun oleh sekawanan orang yang dendam dengannya. Pembunuhnya berhasil ditangkap dan mengaku mendapat bayaran seribu Dinar. Uang itu akhirnya dimintanya dan dimasukkan ke Baitul Mal.* Bagas Susanto


SELAMAT & SUKSES Atas Penerbitan Perdana Tabloid

pr desa

Semoga bisa membawa aspirasi rakyat dan kemajuan masyarakat desa yang sejahtera

R.H. Dwi Putranto Sulaksono sekeluarga


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.