Buletin slilit arena februari 2015

Page 15

SASTRA

SLiLiT ARENA | SENIN, 15 FEBRUARI 2015

berproses selama satu tahun lebih dan menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah yang sangat langka. Jadi kami meluluskan kamu dengan predikat A.” Hal berikutnya yang dia ingat hanyalah kosong. ***

Kosong. Dalam luapan kegembiraan yang tak terkira, tak ada yang tersisa dalam hatinya selain adanya yang tiada. Adanya memenuhi hati yang sudah tak lagi dipenuhi. Kosong menjadi isi. Isi menuntut kosong. Yang tiada harus mengada, yang ada harus meniada. Dia yang mulanya tak ada, sedang duduk sendirian di kursi panjang di lantai satu laboratorium terpadu. Pandangannya tertuju pada lantai, berusaha menghitung yang tak ada sambil menunggu dia yang ada. Mereka yang hilir mudik tidak banyak peduli, terutama karena dia hanyalah mahasiswi dengan paras rata-rata yang berpakaian rata-rata dan memposisikan diri sebagai manusia rata-rata. Menjadi rata-rata adalah menjadi biasa, dan menjadi biasa adalah memaksimalkan apa yang ada tanpa meributkan apa yang tidak ada. Pandangannya teralihkan saat satu dari sekian yang hilir mudik itu mendekat dan berdiri di depannya. Dia menengadah. Dalam satu pandang dia menemukan sosok yang dikenalnya, senyum yang dikenalnya, serta sorot mata yang dikenalnya. Ya, dia mengenal semua yang bisa dikenali dari orang itu. “Aku mencarimu begitu keluar dari ruangan,” Abduh mengaku. “Kau tidak berada di tempat seharusnya engkau berada.” “Aku memisahkan diri supaya kau tidak terpisahkan dari teman-temanmu yang lain,” Ainun Najla menjawab. “Aku membatasi kehadiranku supaya kehadiranmu di sana tidak terbatasi. Bukankah kita sudah sepakat bahwa cinta tak boleh membatasi dua aku yang ingin bersatu?” Abduh mengangguk, tersenyum, lalu mendudukan diri di samping Najla. “Ya, itulah yang sudah kita sepakati. Dan lagi, ada kesepakatan lain yang sudah kita sepakati. aku harap kau tidak melupakannya.” “Tentu,” Najla menyahut riang. “Tapi pertamatama, aku ingin tahu apa yang terjadi di dalam sana.” “Itu cerita yang panjang,” Abduh berkata dengan nada malas. “Bisa menjadi trilogi atau bahkan sinetron beratus-ratus episode. Kesemuanya hanya berisi pengulangan. Pengulangan yang membosankan. Dan panjang.” “Tapi aku ingin mendengarnya,” Najla berkeras. Abduh menyerah. “Baiklah jika itu maumu.” Maka mengalirlah sebuah cerita yang selalu diceritakan oleh mereka yang pernah menjalani cerita

itu. Tentang kata-kata yang diucapkan sebagai kebenaran. Tentang bantah-bantahan yang disamarkan sebagai kegiatan ilmiah. Tentang kompromi yang diposisikan sebagai kebaikan hati. Di sekitar itulah tema ceritanya. “Dan hasilnya adalah?” “A.” Najla menutup mulut dengan kedua tangan. Kedua matanya terbelalak. Napasnya berhenti. Tubuhnya terdiam. Semua demi mendengar huruf A diucapkan oleh Abduh. Huruf A adalah prestisius, bahkan bagi yang mereka menolak kategori buatan dunia akademis sekalipun. Huruf A adalah tujuan para akademisi, diraih dengan cara apapun, dan huruf itu baru saja menjadi kawan Abduh. “Hebat,” satu kata muncul dari mulut Najla. “Kita memetik apa yang kita tanam,” Abduh meniru kata-kata orang bijak. “Satu tahun lebih aku menanam, hari ini aku memetik. Buah yang matang di pohonnya setelah melalui terik yang menyengat dan badai yang mengguncang. Buah yang melalui proses alamiah. Dan proses adalah tema yang sudah sangat langka dalam hidup kita.” “Kita hidup di dunia di mana rekayasa bisa mematangkan buah sebelum waktunya,” Najla mengiyakan. “Dan proses menjadi semakin tak dikehendaki dalam hidup kita.” “Tetapi kita, kau dan aku, akan mempelajari proses. Kau dan aku akan mengalami sebuah proses. Atau mungkin harus aku katakan, kau dan aku adalah proses.” “Itu termasuk hal yang sudah kita sepakati,” Najla mengingatkan. Abduh menatap Najla. “Aku tahu,” katanya. “Kau dan aku adalah proses. Kau dan aku ada di antara ada dan tiada, tanpa sekalipun menjadi salah satunya. Aku akan membawamu ke tempat di mana proses adalah tema yang tak bisa dihindari. Itu kesepakatan kita.” ***

UIN Sunan Kalijaga terletak tidak jauh dari jantung Kota Yogyakarta, berjarak empat kali lampu merah ke arah timur dari ikon Kota Yogya, Tugu Pal Putih yang legendaris itu; tugu yang merupakan penghubung antara Gunung Merapi dengan Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. UIN Sunan Kalijaga juga hanya berjarak dua persimpangan dari UNY, yang letaknya bersebelahan dengan UGM. Baik Sunan Kalijaga maupun Patih Gajah Mada memiliki popularitas yang sama dengan cara yang berbeda: Gajah Mada bersumpah untuk menghindari kesenangan dunia sebelum menyatukan nusantara, sementara Sunan SLiLiT

ARENA Jelas & Mengganjal

15


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.