Buletin Slilit ARENA Desember 2017

Page 1

LOBI-LOBI SISTEM PEMILWA

POLEMIK PEMILWA UIN SUNAN KALIJAGA

PRAKTIK KOTOR PEMILWA

SLiLiT

ARENA

Jelas & Mengganjal

EDISI KHUSUS PEMILWA DESEMBER 2017


Daftar isi SLiLiT Arena Laporan Utama

07 11 13

LOBI-LOBI SISTEM PEMILWA

POLEMIK PEMILWA UIN SUNAN KALIJAGA PRAKTIK KOTOR PEMILWA

06 KANCAH POLITIK KEKUASAAN MENGHANTUI ORGANISASI MAHASISWA 18 WAWANCARA PEMILWA MASIH TAK SEJALAN DENGAN PENDIDIKAN POLITIK 20 LEBIH DEKAT EYO: BERKARYA UNTUK BERBAGI 2I OPINI POLITIK MAHASISWA DAN WACANA REVOLUSI PENDIDIKAN 34 RESENSI “DEMOKRASI KITA”: BUKAN MENGHALALKAN SEGALA CARA

Universitaria

15

TIADA DANA, PRAKTIKUM TERLANTAR

DITERBITKAN OLEH: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PELINDUNG: Allah SWT // PENASEHAT: Rektor UIN Sunan Kalijaga // PEMBINA: Dr. Abdur Rozaki // DEWAN REDAKSI: Sabiq Ghidafian Hafidz, Lugas Subarkah // PEMIMPIN UMUM: Abdul Rohim // WAKIL PEMIMPIN UMUM: M. Abdul Rouf // SEKRETARIS UMUM: Lailatus Sa’adah // BENDAHARA: Alifah Amalia // PEMIMPIN REDAKSI: Isma Swastiningrum // REDAKTUR ONLINE: Wulan Agustina Pamungkas //REDAKTUR SLiLiT: Mujaeni // REDAKTUR Artistik: Agus Teriyana, Abdul Rohim // STAF REDAKSI: Ilham Habibi, Afin Nur Fariha, Mar’atus Shalihah, Rodiyanto, Ilham Rusdy, Anis N Nadhiroh, Rahmat Hidayat, Fikriyatul Islami Mujahidiyah, Muh. Abdul Qoni Akmaluddin, Khaerul Muawan, Dadan Maulana, Muyasharoh, Nia Kurniati Azizah, Rosi Salvajae, A. Hakiki, Hedi, Aliviatun N. // FOTOGRAFER: Mujaeni // DIREKTUR PERUSAHAAN & PRODUKSI: Agus Teriyana // KOORDINATOR PUSAT DATA & ANALISA (PUSDA): Dewi Anggraini // KOORDINATOR JARINGAN & KOMUNIKASI (JARKOM): Syakirun Ni’am // KOORDINATOR PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA (PSDM): Ajid Fu’ad Muzaki Kantor Redaksi: Student Center Lantai 1 No. 1/14 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jl. Laksda Adisucipto Yogyakarta 55281 // Telp.:+62858 788 067 11(Agus) // E-mail: lpm_arena@yahoo.com // Website: www.lpmarena.com // Fanspage: LPM Arena // Instagram: @lpmarena // Twitter: PersMaArena

SLILIT ARENA MENGUNDANG SEMUA KALANGAN AKADEMIKA UIN SUNAN KALIJAGA UNTUK MENGIRIMKAN TULISAN MAUPUN ARTIKEL KE ALAMAT REDAKSI LPM ARENA. BAGI PIHAK YANG MERASA TIDAK PUAS DENGAN PEMBERITAAN SLILIT ARENA,BISA MENULISKAN HAK JAWABNYA, ATAU DATANG LANGSUNG KE KANTOR REDAKSI LPM ARENA GUNA BERDISKUSI LEBIH LANJUT. WARTAWAN SLILIT ARENA DIBEKALI TANDA PENGENAL DALAM SETIAP PELIPUTAN DAN TIDAK MENERIMA AMPLOP DALAM BENTUK APAPUN.


BUAT MAHASISWA SEPERTI SAYA, PEMILWA ITU OMONG KOSONG

S

aya tidak tahu berapa tahun sekali Pemilwa diadakan, eh, ada Pemilwa lagi tahun ini. Maafkan saya yang tak mengerti kapan Pemilwa akan diselenggarakan. Toh acara model ini tak terasa bagi mahasiswa seperti saya. Jauh sekali dari jangkauan mahasiswa biasa macam saya ini. Tidak penting. Bahasa lisannya, omong kosong. Ya, biarlah saya menganggap semua itu omong kosong belaka. Saya ini juga dianggap angin lalu oleh orang-orang yang sedang ribut Pemilwa. Mereka ini, katanya, sibuk rapat setiap malam menyiapkan aturan demi aturan, negosiasi dengan rektorat, lalu nanti memilih salah seorang buat jadi presiden mahasiswa. Tapi sekali lagi, tidak penting buat saya. Entah mahasiswa lain, tapi tampaknya banyak yang setuju dengan pendapat saya. Hanya saja, saya yang menulis surat pembaca di SLiLit Arena. Seharusnya, ada seribu surat pembaca buat menanggapi Pemilwa. Sebab dua kali diadakan Pemilwa, ya gitu-gitu aja. Tidak berfaedah. Hanya ada keributan di antara sesama mahasiswa. Saya masih ingat, Pemilwa lalu diwarnai pengeroyokan seorang mahasiswa oleh sekelompok mahasiswa lain. Kasar sekali. Memalukan. Kalau pengeroyok itu baca tulisan ini, seharusnya malu dan bertaubat. Saya tidak tahu di hari apa pemilihan presiden mahasiswa akan dihelat. Siapa calonnya dan berbagai visi yang digenggam. Mayoritas orang Indonesia sudah trauma dengan pemilihan presiden negara. Saya pikir trauma tersebut berlaku buat Pemilwa. Ah, demokrasi dalam kampus ini sungguh sebuah kesia-siaan belaka. Saya tetap dikejar SPP, kualitas keilmuan yang cetek, dan, saya dengar, jarang sekali golongan wakil mahasiswa demontrasi lagi. Sebenarnya, presiden mahasiswa itu mengerjakan apa selama ini. Lebih mendasar lagi, siapa nama presiden mahasiswa saat ini? Jangan sebut saya apatis sebab saya membaca buku dan berita. Lebih baik Anda tanyakan, pernahkah presiden mahasiswa membela kepentingan mahasiswa seperti saya? Sebab sepanjang kewarasan, saya merasa tidak pernah dibela. Halah, perasaan muak ini makin kuat saja. Tidak penting sekali mengadakan Pemilwa dan memilih seseorang tampil di panggung kekuasaan. Saya tahu, presiden terpilih akan berpidato mengumbar narasi heroik. Tapi saya juga tahu, narasi itu sekadar heroisme ababil. Percuma. Percayalah, suara sinis seperti saya ini sangat banyak. Untungnya, hanya saya yang menuliskannya.[] Adib Kuncoro, Mahasiswa Semester XI Jurusan Komunikasi dan Penyiaaran Islam, Fakultas Dakwah dan Komuikasi

www.lpmarena.com Informasi kampus yang jelas dan mengganjal

lpmarena.com- 03 -


BERHENTILAH MENYINYIRI PEMILWA YANG HANYA DIKUASAI SATU PARTAI ITU!

H

anya mahasiswa nyinyir saja yang memandang bahwa, Pemilwa hanyalah ritual kesia-siaan yang tidak perlu karena pada akhirnya partai yang menang adalah partai yang itu-itu saja. Di mana Pemilwa melahirkan orang-orang dan kinerjanya yang juga hanya gitu dan itu saja. Saya kira penilaian seperti itu terlalu terburu-buru. Tanpa ada upaya untuk tahu, memahami, menghayati dan menghargai tujuan mulia dari perjuangan mereka sebagai partai yang berkuasa di kala Pemilwa tiba. Yang telah bekerja keras mempertahankan panggung kekuasaan demi tercapainya masa depan mahasiswa agar lebih baik, entah kapan. Ya, itu adalah tugas berat mereka yang harus dilaksanakan, yang semestinya patut kita apresiasi dengan Like, bukan malah dinyinyiri. Tidak sedikit anggaran yang dikeluarkan untuk setiap kali bertaruh di Pemilwa. Saya pernah mendengar bahwa sebagian anggaran partai selain dari senior, juga berasal dari iuran suka rela dari para tim suksesnya. Padahal kita sendiri tahu, dari mana uang itu berasal kalau bukan dari kiriman orang tua. Saya tidak kuat membayangkan kalau mereka harus menyantap mi instan tiap di akhir bulan. Miris. Apa itu belum cukup untuk dikatakan mulia? Jika saban Pemilwa mereka harus bolos dari kuliah, meliburkan diskusi, sampai absen ngapel gebetan di malam minggu hanya untuk bersusah payah membuat poster-poster, pamflet, dan bendera-bendera yang selebar papan-papan reklame Kapitalisma. Apalagi sampai meminta-minta fotocopy KTM mahasiswa. Sungguh ironis sekali ketika melihat mereka mengerjakan laporan anggaran di pojokan warung kopi, sedangkan kalian enak-enakan mengerjakan laporan skripsi. Saya kira sudah saatnya untuk berhenti nyinyir, acuh tak acuh atau menganggap apalah-apalah terhadap Pemilwa yang didominasi satu partai yang berkuasa dan hanya menghasilkan sosok representasi bagi mahasiswa di puncak kursi Dema-Sema yang ternyata gitu itu saja. Yakinlah mereka sebenar-benarnya agent of change. Sebagai corong representasi mahasiswa tentu mereka disibukkan dengan diskusi-diskusi memikirkan langkah strategis apa yang cocok untuk mengawal kebijakan kampus. Karena begitulah (semestinya) Pemilwa, melahirkan gerakan yang senantiasa menjadi counter kebijakan-kebijakan dari penyelewengan dan tidak

- 04 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

berpihak terhadap mahasiswa. Bukan pula justru menjadi pendorong kebijakan yang hanya menguntungkan satu golongan tertentu. Tidak. Itu sungguh perbuatan tercela. Jadi wajar saja, tugas seberat itu tidak bisa diselesaikan sekali duduk di ruang-ruang sempit macam kantor Dema-Sema di gedung Student Center yang luasnya tidak seberapa. Diskusi yang berat dan penting membutuhkan suasana ruang yang kondusif. Ruang yang menyediakan akses logistik dengan mudah, jauh dari hingar-bingar aktivitas mahasiswa agar bisa fokus. Apalagi kantin, tentu bukan levelnya bagi para pemimpin mahasiswa ini. Janganlah berprasangka dengan berpandangan bahwa ajang Pemilwa dan partai yang berkuasa hanyalah upaya untuk menyerap anggaran kampus demi kepentingan satu golongan. Apalagi cuma mengurusi program hits studi banding sana-sini yang kurang berfaedah bagi mahasiswa. Pemilwa tidak menghasilkan hal-hal sebajingan itu. Pemilwa bukanlah sepenggalan drama perih yang mempertontonkan rezim satu partai. Ia adalah ruang kolektif untuk belajar bagaimana semestinya pendidikan politik dijalankan di bawah nilai-nilai demokrasi. Di mana tidak ada suatu bentuk represifitas dari golongan atau partai dominan terhadap partai yang lain. Jika memang begitu, sebagai mahasiswa, cerdas-cerdaslah dalam menggunakan hak politik, bukan dengan nyinyiran. Tapi, kenyinyiran kita barangkali berangkat atas kecurigaan-kecurigaan dari memahami kondisi dan situasi politik nasional saat ini. Kegagalan-kegagalan dalam politik nasional melahirkan kekecewaankekecewaan publik yang membentuk citra politik yang negatif secara umum. Maka, dari sinilah “politik mahasiswa sebagai cerminan politik bangsa� perlu dipertegas, bukan malah sebaliknya. Pemilwa harus menjadi ruang bebas bagi ekspresi-ekspresi politik mahasiswa, bukan menjadi bahan nyinyiran pada akhirnya. Salam nyinyir![] Robandi, Mahasiswa Semester XI Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam.


TIDAK HANYA MEMPERSOALKAN “KULIT”

Redaksi

W

ACANA PENETAPAN Surat Keputusan Direktoral Jenderal (SK Dirjen) Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam mengenai organisasi mahasiswa, yang akan dijadikan landasan hukum Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa), cukup membuat Senat Mahasiswa (Sema) kebakaran jenggot. Pasalnya regulasi tersebut menghilangkan sistem partai yang selama ini diterapkan di UIN Sunan Kalijaga. Regulasi itu mengatur, jalannya Pemilwa berlangsung tertutup melalui musyawarah dari setiap Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) yang berdasarkan pada kualifikasi tertentu. Rencana penerapan SK tersebut disampaikan langsung oleh Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan. Menurutnya, SK Dirjen sudah seharusnya menjadi landasan bagaimana Pemilwa berjalan. Namun Sema beranggapan lain, sistem itu dinilai kurang mampu menghasilkan kandidat yang berkualitas. Sebab kandidat tidak akan mendapatkan pendidikan politik yang selama ini diterapkan oleh partai. Suara organisasi mahasiswa—ekstra—yang sering terlibat dalam Pemilwa pun terpecah. Sebagian besar mendukung mekanisme Pemilwa sesuai SK Dirjen. Sebab menurutnya regulasi tersebut bagai angin segar di tengah carut marutnya pelaksanaan Pemilwa tiap tahunnya. Sedangkan sistem partai yang sering diterapkan, dianggap hanya melanggengkan kekuasaan golongn mayoritas. Hal ini sudah menjadi rahasia umum jika Pemilwa selalu dikuasai satu golongan. Meski mayoritas suara gerakan mahasiswa menolak sistem partai. Sikap tersebut rupanya tak sejalan dengan keinginan Sema. Menurut catatan ARENA, beberapa kali Sema melakukan lobi-lobi dengan birokrat agar sistem Pemilwa tetap menggunakan partai. Beberapa kali juga melakukan rembug bersama gerakan mahasiswa yang ada di kampus. Sikap ini diklaim sebagai penyerapan aspirasi mahasiswa. Upaya ini mengindikasikan Pemilwa memiliki peran yang penting dalam pergolakan demokrasi kampus. Atas usulan dari Sema, birokrat sempat mengamini untuk tetap menggunakan partai, tapi dengan beberapa catatan. Panitia pelaksana harus menjamin Pemilwa berjalan lancar tanpa kerusuhan, serta mampu mengakomodir semua golongan. Sebab setiap perhelatan Pemilwa selalu identik dengan pertikaian. Namun, keputusan itu berubah setelah rapat besar yang melibatkan gerakan mahasiswa dan birokrat diadakan, pada hari-hari menjelang pendaftaran kandidat. Hasilnya forum tersebut lebih sepakat Pemilwa menggunakan mekanisme yang diatur SK Dirjen. Pergolakan mengenai prosedur Pemilwa pun tidak berhenti di situ. Di tengah-tengah pendaftaran kandidat, muncullah penolakan dari Wakil Dekan III tiap fakultas, yang menolak Pemilwa menggunakan SK Dirjen. Menurut mereka, hal itu mengamini Pemilwa berlangsung tertutup. Mekanisme perwakilan justru akan semakin mempersulit akses semua golongan untuk memenangkan ajang tersebut. Sebab HMPS dikuasai oleh satu golongan. Maka pertemuan pada Kamis 30 November 2017, bersama Sema dan jajaran mahasiswa

tiap fakultas, seluruh Dekan III serta pejabat yang terlibat termasuk Wakil Rektor III menjadi titik final palu keputusan. Pemilwa dikembalikan ke sistem partai. Tidak hanya itu, mekanisme pemungutan suara pun disepakati melalui e-voting berbasis online. Hal ini untuk menghindari praktik-praktik kotor pelaksanaan Pemilwa. Sampai di sini, Pemilwa memang dianggap hal yang serius oleh kampus. Anggapan bahwa Pemilwa merupakan ruang pendidikan politik bukanlah suatu hal yang salah. Mahasiswa sebagai subyek dari realitas sosial memang perlu mendapatkan hal tersebut. Agar ia tak menjadi gagap apabila berada pada realitas masyarakat sesungguhnya. Namun seberapa besar anggapan pendidikan politik ini dimaknai? Apakah pendidikan politik hanya sebatas pada ruang Pemilwa? Lalu setelah berada pada kursi jabatan mahasiswa, apa yang seharusnya dilakukan? Bukan hal yang asing lagi bila Student Government serta mahasiswa tak kunjung saling bersinergi. Kondisi ini berlangsung hampir saban tahun. Setelah Pemilwa selesai, atmosfer kampus menjadi sepi kembali seperti tak ada persoalan yang perlu dibicarakan. Hal itu juga menyerang kondisi ruang Student Government yang tak jarang terlihat senyap. Program kerja pun kadang tidak menyasar untuk menghadirkan pendidikan politik kepada mahasiswa. Jikapun ada, itu hanya sebatas seremonial tanpa melakukan pengawalan berkelanjutan. Padahal Student Government merupakan jabatan strategis, menjembatani kepentingan mahasiswa dengan birokrat. Jika kita percaya bahwa Student Government merupakan wahana pendidikan politik bagi mahasiswa. Sudah semestinya keseriusan itu tidak hanya berhenti pada wilayah yang sifatnya prosedural saja—pelaksanaan Pemilwa. Sebab Pemilwa hanyalah langkah awal dari perjalanan panjang yang kita sebut Student Government. Perjalanan yang akan membawa mahasiswa lebih memahami hak serta kewajibannya sebagai masyarakat kampus. Selama ini nyatanya sistem partai yang terus diterapkan tidak mampu menghasilkan ruang pendidikan politik yang diharapkan. Bahkan menurut jejak pendapat yang dilakukan Pusat dan Analisis Data (Pusda) ARENA pada bula Maret 2017. Sebanyak 82 persen dari sampel sebanyak 804 mahasiswa, menjawab tidak mengetahui program kerja Student Government. Namun bukan berarti sistem Pemilwa yang diatur SK Dirjen merupakan sistem yang ideal. Tentu saja tidak. Seharusnya dan selayaknya Pemilwa yang melahirkan Student Governtment tidak hanya sebatas agenda seremonial tahunan. Serta kandidat yang terpilih tidak sepantasnya menganggap jabatan yang nantinya ia emban sebagai prestis yang layak dibanggakan. Sebab di balik itu semua, ada amanat yang wajib dilaksanakan. Amanat bagaimana memperhatikan hak-hak yang selayaknya didapatkan semua masyarakat kampus. Ini lah yang harus kita perhatikan bersama sebagai bentuk pendidikan politik. Tidak hanya terjebak pada “kulit” demokrasi prosedural, tapi mampu mencapai demokrasi substansial yang menyejahterakan. []

lpmarena.com- 05 -


“Pada saat kekuatan cinta mampu mengatasi cinta terhadap kekuasaan, maka dunia akan memahami arti damai.� (Sry Chimony Ghuse) Dadan Maulana

P

ergeseran paradigma politik Indonesia dari kesejahteraan menuju mendapatkan kekuasaan, bermula dari Orde Baru (Orba). Di mana proses depolitisasi yang mengakibatkan partai politik berkontribusi hanya sekedar prosedural pemilihan saja, hal ini yang mengakibatkan jauhnya politik dengan masyarakat. Sebelum Orba, para politikus dan partai berasal dari rakyat dan suara rakyat, sehingga rakyat menaruh kepercayaan terhadapnya. Pergeseran paradigma politik ini mempengaruhi semua elemen yang terlibat di dalamnya, termasuk gerakan mahasiswa. Hal ini dapat dilihat dengan kebijakan yang diwujudkan dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoep No 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang turunannya adalah pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) yang dilegalkan melalui SK No. 0124. Disusul dengan SK No. 0230/U/J/1980 Tentang Pedoman Umum Organisasi dan Keanggotaan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK). Kebijakan ini mengakibatkan pergerakan mahasiswa terkontrol dan terisolasi hanya dalam ranah kampus semata. Akibatnya mahasiswa tidak lagi menjadi gerakan yang menjunjung kepentingan masyarakat, karena kepercayaan masyarakat telah memudar terhadapnya. Hal ini diperparah lagi oleh kesibukan mahasiswa dengan politik kampusnya sendiri. Pertautan politik mahasiswa tak luput dari paradigma kekuasaan, sehingga mengakibatkan mereka bergerak sendiri-sendiri sesuai benderanya. Alhasil pergerakan mereka hanya dalam lingkup perluasan basic dukungan dengan kaderisasi. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan suara demi mempermudah menuju kekuasaan. Tujuan itulah yang sebenarnya telah mencederai organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi arena edukasi, kini terfokus menjadi politik partisipan. Apabila kaderisasi yang bertujuan untuk melancarkan pencapaian kekuasaan, maka ada tiga yang akan membentuk paradigma pengkaderan. Pertama, mahasiswa akan bersifat ideologis, artinya pengkaderan ini akan membentuk kadernya menjadi apa yang diinginkan suatu organisasi. Bertujuan untuk sifat loyalitas dan cenderung fanatik, alhasil mereka akan lebih tertutup dari organisasi lain. Kedua, non edukasi, artinya mereka akan diajarkan pendidikan yang sesuai dengan frame organisasi dan menganggap frame-nyalah yang paling benar. Ketiga, apolitik mahasiswa akan cenderung memahami politik hanya dalam perspektif mereka. Sehingga akan diarahkan kepada politik yang sesuai dengan organisasi tersebut. Ketakutannya adalah apabila dalam proses pengkaderan tersebut bertujuan untuk mempertahankan organisasi dalam status quo-nya. Akibatnya dari hasil kaderisasi ini akan membentuk kader militan bagi organisasi. Namun setelah itu tujuan apa yang akan mereka lakukan terhadap kadernya. Ada dua kemungkinan, pertama untuk mendapatkan kekuasaan dan kedua, mempertahankan kekuasaan.

- 06 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

Alhasil antara gerakan mahasiswa tidak bisa bersama, karena mereka mempunyai ideologi berbeda dan cenderung mempunyai kepentinganya yang berbeda pula. Selain itu, mereka terus bersaing dan pada akhirnya tolak ukur keberhasilan organisasi adalah kemenangan saat Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa). Apabila tolok ukur organisasi dilihat dari keberhasilan dalam Pemilwa, maka otomatis jalan keluarnya memperluas basic massa. Namun apakah sesederhana itu, ketika fungsi dari organisasi adalah intermediate, yakni garis tengah yang menghubungkan antara mahasiswa dengan kepentingannya. Sehingga tidak dapat dipungkiri mahasiswa yang ada dalam organisasi, belum tentu tahu hak dan kewajibannya berada di kampus, karena mereka sudah direduksi sebagai massa semata. Padahal syarat demokrasi adalah rasional dan tolok ukurnya tentu mahasiswa harus tahu hak dan kewajibannya. Habitus itulah yang terjadi dalam perpolitikan kampus khususnya di organisasi. Pandangan yang melihat bahwa signifikasi atas pemahaman harus dilakukan dengan dominasi. Dominasi perlu sebuah power dan hal itu harus diperjuangkan dengan politik partisipan. Sehingga legitimasi perlu perulangan yang harus dilakukan, yang pada akhirnya akan menjadi habitus. Ketika proses mencapai dominasi organisasi saling bersaing, entah jalan apa yang ditempuh, sebab terpenting kekuasaan harus ada di tangan. Namun semua itu akan menyisakan patologi yang kuat, di mana para aktivis tidak bekerjasama, melainkan bersaing demi kursi semata. Sedangkan ada hal yang terlupakan seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan�. Pemilwa menjadi hal yang urgent bagi organisasi, hal itu bukan hanya permasalahan ideologi semata, melainkan menunjukan eksistensi yang membawa kepentingan. Apabila hal itu terus dilakukan, makna politik sejati akan hilang. Dahulu politik berkata apa yang seharusnya dilakukan, kini berubah siapa yang harus kita jatuhkan. Namun bukan berarti hal itu membuat benci terhadap politik dan organisasi, melainkan harapan untuk memikirkan kembali apa yang seharusnya mereka lakukan. Kembali pada dasarnya, politik secara harfiah berasal dari kata polis yang artinya kota, suatu tempat di mana semua tertata secara harmonis. Namun realita yang ada, politik tidak menggambarkan seutuhnya dalam pengertian polis, melainkan bagaimana untuk mendapatkan kekuasaan. Hal itulah yang membuat aktor politik melakukan segala cara untuk mendapatkannya, bahkan mempertahankannya. Dalam mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, aktor politik tentu tidak berdiri sendiri melainkan membentuk strukturasi bersama. Di dalamnya ada yang mempunyai kepentingan, distributor, dan massa.[]


LOBI-LOBI SISTEM PEMILWA Wacana dihapusnya sistem partai pada Pemilwa tahun ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai pihak yang terlibat. Senat Mahasiswa Universitas berkali-kali melakukan negoisasi dengan rektorat dan organisasi ekstra kampus. Sempat bolak-balik ke perubahan sistem, tapi tetap ke partai juga. Oleh Hedi

A

pril lalu, Viky Arthiando Putra ketua umum Sema UIN Sunan Kalijaga (Suka) mendapat informasi dari jaringan Sema se-Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), terkait keputusan Direktur Pendidikan Islam Nomor 4961 tahun 2016 tentang pedoman umum organisasi kemahasiswaan pada PTKI, dan sering disebut sebagai SK Dirjen

tentang Organisasi Mahasiswa (Ormawa) di tingkat PTKI. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Rabu (11/10) Viky mendapat undangan rapat bersama pihak rektorat yang diwakili Waryono sebagai Wakil Rektor (Warek) III, Bidang Kemahasiswaan. Pertemuan itu membicarakan persiapan Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) yang dihelat

pada 11 Desember 2017. Menurut keterangan Viky, rapat itu dihadiri langsung Warek III bersama dirinya. Pertemuan itu menghasilkan gambaran perihal pola dan sistem Pemilwa tahun ini. Viky menjelaskan, rektorat menghendaki SK Dirjen dijadikan landasan jalannya Pemilwa. “Kalau rektorat secara gamblang berpatokan kepada SK Dirjen tentang Ormawa,� ungkap

lpmarena.com- 07 -


Viky saat ditemui ARENA di kantor Sema, Selasa (31/10). Setelah pertemuannya itu, Viky melakukan rembuk bersama lintas organisasi ekstra yang ada di UIN Suka. Langkah ini dianggap sebagai upaya menjaring aspirasi mahasiswa perihal mekanisme Pemilwa yang diwakili oleh organ-organ ekstra kampus. Rapat berlangsung pada Minggu (29/10) dihadiri beberapa perwakilan organisasi ekstra seperti, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan elemen-elemen organ ekstra lainnya. Sejak saat itu, Pemilwa menjadi bahan perbincangan di kalangan Ormawa dan mahasiswa pada umumnya. Bermula dari perbincangan, dan akhirnya sampai kepada perbedaan pendapat. Antara yang mengamini aturan SK Dirjen, yang berarti medukung Pemilwa tanpa sistem partai dengan pihak yang lebih sepakat menggunakan partai, seperti tahun sebelumnya. SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 4961 Tahun 2016 tentang pedoman umum Ormawa PTKI, mengatur beberapa hal. Antara lain, mekanisme, syarat, dan proses pemilihan perangkat Ormawa. Ormawa yang dimaksud ialah Sema, Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema), serta Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS). Pada dasarnya SK tersebut sudah ditetapkan pada tahun 2016 lalu. Akan tetapi, baru hangat diperbincangakan di kalangan sivitas akademika UIN Suka pertengahan tahun ini. Termasuk yang paling masif mendiskusikan ialah Sema bersama organisasi-organisasi esktra yang ada di UIN Suka. Sebab kampus sebentar lagi akan memasuki iklim politik mahasiswa yakni Pemilwa. Jika selama ini Pemilwa UIN Suka mengamalkan sistem partai politik untuk mengajukan calon ketua Sema maupun Dema. Maka, beda halnya dengan ketetapan SK Dirjen. Peraturan itu tidak memuat ketetapan, bahkan kalimat sekalipun yang membahas tentang sistem Pemilwa melalui partai. Sebaliknya, SK Dirjen mengatur sistem Pemilwa berdasarkan perwakilan melalui musyawarah mufakat. Misal, untuk memilih ketua HMPS, Sema terlebih

- 08 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

Kita harus berani untuk melangkah pada jenjang lebih tinggi. Agar kita mendapatkan sebuah pembelajaran demokrasi politik yang lebih berharga dibanding sebelumsebelumnya,” tutur Nanda. dahulu membuat panitia yang akan menjaring kandidat calon. Setelah itu calon yang terkumpul akan dimusyawarahkan di internal HMPS kepengurusan sebelumnya. Secara umum pola ini diikuti ke ranah pimilihan Dema maupun Sema. Pemilihan tertutup menjadi mekanisme yang diamini SK Dirjen. Perbedaan itu kemudian mengarahkan mahasiswa, khususnya organisasi ekstra yang selama ini berkiprah dalam perpolitikan kampus, pada dua kecenderungan. Pertama, kubu yang menganggap SK Dirjen merupakan angin segar untuk memperbaiki demokrasi kampus. Kecenderungan kedua, yaitu pihak yang menilai diterapkannya SK Dirjen justru menjadi malapetaka terhadap perjuangan mahasiswa. Dan menghilangkan praktik-praktik demokrasi negara dalam kampus. Salah satu organ ekstra yang lebih cenderung pada kubu pertama adalah HMI. Nanda Fanindi, selaku Ketua Kordinator Komisariat (Korkom) HMI UIN Suka, menuturkan SK Dirjen menjadi sebuah pengetahuan, pengalaman, serta pendidikan politik yang baru di kalangan mahasiswa. Selain itu, sistem tanpa partai juga akan mengubah cara pandang mahasiswa. Sebab, yang dikedepankan adalah tokohnya bukan latar belakang partai atau organ tertentu. “Jadi yang dilihat bukan lagi partainya,

tetapi kredibilitas dan kapabilitas seorang tokoh atau sosok yang dicalonkan,” ungkap Nanda saat ditemui ARENA di Kafe Barndobos Sleman, Jumat (3/11). Selain itu, menurut Nanda SK Dirjen seharusnya menjadi cambuk dan pemantik untuk semua mahasiswa, termasuk seluruh organ ekstra. Keputusan itu secara tidak langsung mendorong mahasiswa untuk berubah lebih baik. Menata sistem baru, yang sekiranya menjadi solusi bobroknya demokrasi kampus saat ini. “Karena sepengetahuan saya, sampai saat ini hanya UIN yang masih mengamalkan sistem kepartaian,” ujarnya. Sistem Pemilwa dari tahun ke tahun cenderung monoton. UIN Suka harus berani melangkah lebih jauh, untuk menjawab persoalanpersoalan yang selama ini terjadi. “Kita harus berani untuk melangkah pada jenjang lebih tinggi. Agar kita mendapatkan sebuah pembelajaran demokrasi politik yang lebih berharga dibanding sebelumsebelumnya,” tutur Nanda. Menurutnya selama ini dampak sistem partai yang diterapkan cenderung stagnan dan monoton. Hal itu bisa dilihat dari menurunnya partisipasi mahasiswa dalam Pemilwa dari tahun ke tahun. Ia mengklaim sistem partai menjadi penyebab atas kondisi itu. Partai lebih dekat dengan rezim kekuasaan, dan lebih cenderung kepada kekuasaan yang mengakar. Dari kondisi tersebut, bisa dipastikan golongan atau kelompok siapa yang akan berkuasa. Kondisi itu membuat mahasiswa menjadi apatis dan tidak peduli soal Pemilwa. ”Ya, kalau gitu ngapain buat Pemilwa? Langsung kasi aja kepada golongan penguasa,” jelas Nanda sembari menggerakkan tangannya, seolah berusaha mencontohkan ekspresi mahasiswa apatis. Senada dengan Nanda, Staf Departemen Kebijakan Publik organisasi KAMII Muhammad Rizki mengungkapkan, ketidaksetujuannya terhadap sistem partai. “Jika sistem partai masih diberlakukan, ya, tidak usah ada Pemilwa. Sebab sudah jelas siapa dan golongan mana yang akan menguasai,” tutur Rizki kepada ARENA, Senin (6/11) di Student Center. Selain itu, Rizki juga menilai salah satu kelemahan sistem partai


yakni tidak mampu mengakomodir semua golongan. Hanya mahasiswa yang punya akses ke partai sajalah yang mampu mencalonkan sebagai kandidat Pemilwa. Sedangkan mereka yang tidak punya akses, harus mengurungkan niatnya. Jika kecenderungan pertama lebih mendukung SK Dirjen. Beda halnya dengan kubu kedua yang lebih mempertahankan sistem partai. Kubu ini menganggap kampus merupakan miniatur negara, oleh karenanya kampus mestinya merepresentasikan kondisi demokrasi negara saat ini. Seperti disampaikan Muhammad Shofiyulloh, Ketua Umum Komisariat PMII UIN Suka, yang lebih memilih sistem partai. Menurutnya sistem partai akan lebih memudahkan dalam menentukan kader yang layak dan mampu menjadi seorang pemimpin. Kader pun akan lebih mampu memahami apa yang mesti diperjuangkan. Hal itu karena mereka sudah mendapatkan pendidikan politik dari partai atau kelompok tertentu. Selain itu adanya partai merupakan betuk dari representasi sistem negara saat ini. Dengan partai, mahasiswa masih benarbenar memakai dan mengamalkan aspek-aspek di negara ini. “Kalau misalkan kampus sebagai ajang latihan berdemokrasi. Ya, kenapa harus non partai?” tutur Shofi, saat ditemui ARENA di teras Gedung Prof. Amin Abdullah, Minggu (5/11). Viky menilai, sistem partai akan melahirkan sebuah proses pendidikan politik yang baik kepada mahasiswa. Partai-partai politik itu akan memberikan pendidikan politik kepada kadernya. Sehingga kaderkader yang terpilih nantinya sudah memiliki misi dan tahu apa yang mesti diperjuangkan. Meski begitu, kedua kubu di atas tetap akan difasilitasi oleh Sema. Termasuk golongan yang tetap memperjuangkan sistem partai. Sema berperan sebagai fasilitator dari aspirasi mahasiswa. Sehingga pihaknya tidak memutuskan secara otoriter. Aspirasi-aspirasi dari semua golongan akan tetap Sema fasilitasi. Termasuk teman-teman yang tetap mempertahankan sistem partai. Sementara itu ia melakukan lobi-lobi syarat pencalonan dalam SK Dirjen tersebut.

TARIK ULUR KEPENTINGAN Pihak rektorat tidak menginginkan adanya partai dalam Pemilwa tahun ini dan tetap berpatokan pada SK Dirjen. Meskipun menurut Viky, SK tersebut butuh penafsiran lebih luas dan dikontekstualisasikan dengan kultur UIN Suka selama ini. Selain memperjuangkan sistem partai, juga ada tiga poin persyaratan calon yang ingin dinegoisasikan Sema bersama Warek III. Petama. tentang IPK minimal 3,25. Kedua, penentuan semester, dari semester V-VII. Ketiga, pernah menjadi pengurus aktif Ormawa intra kampus dibuktikan dengan Surat Keputusan (SK). Viky menilai persyaratan yang ditetapkan dalam SK tersebut cukup memberatkan mahasiswa, khususnya bagi organ-organ ekstra. Mengenai IPK minimal 3,25 misalkan. Bagi mahasiswa yang di jurusan atau fakultas sosial, dengan mudah mendapatkan IPK sebesar itu. Namun tidak di ilmu saintis, IPK 3,25 sangat memberatkan. Oleh karenanya perlu ada penurunan dan standarisasi yang rasional sesuai kontekstual di UIN Suka. Persoalan semester yang termaktub dalam SK, yang berhak mencalonkan diri menjadi Sema dan Dema adalah mereka yang duduk antara semester V-VII. Artinya semester III tidak terakomodir. Itulah sebabnya pihak Sema mencoba melobi pihak rektorat, agar ada regenerasi dan akselerasi kepemimpinan di lingkup mahasiswa. Bagian ketiga menurut Viky adalah yang paling urgen. Akan menjadi persoalan jika patokannya pengurus aktif di Ormawa intra. Sebab tidak semua mahasiswa yang memiliki kapasitas memimpin aktif di organ intra. Bisa jadi bakat-bakat pemimpin hebat itu lahir dari organorgan ekstra kampus lainnya, yang itu mesti diakomodir oleh SEMA. Tiga poin tersebut akan diajukan kepada Warek III sebagai upaya lobi dari Sema. Juga tetap memperjuankan sistem Pemilwa yang berbasis partai. Upaya lobi tersebut tidak bertujuan untuk mengingkari SK Dirjen. Apalagi menabrak dari aturan-aturan itu. Akan tetapi beberapa ketetapan SK tersebut yang kurang sesuai dengan

kultur UIN Suka. “Nah, itu yang coba kita rumuskan, hal-hal yang mungkin tidak dilarang dalam peraturan. Itu yang kemudian kita coba tafsirkan,” ungkap Viky. Setelah melalui beberapa perbincangan di lingkaran Sema. Tutuntan itu kemudian dilimpahkan dalam rapat rutin Warek III bersama Sema. Rapat tersebut diadakan pada Rabu, (1/11) di ruang rapat Lt. I Gedung Rektorat UIN Suka. Berdasarkan pantauan ARENA selain dihadiri Warek III, Sema, dan Dema, pertemuan itu juga dihadiri beberap Wakil Dekan III (Wadek III) serta Kepala Bagian (Kabag) tingkat universitas. Siang hari mulai berganti petang, Waryono sebagai pemimpin rapat mengakhiri pertemuan itu. Peserta satu persatu keluar dari ruang pertemuan. Terlihat dari luar ruangan, Warek III bersama Viky dan pengurus Sema lainnya masih melakukan obrolan intim yang diselingi tawa, sembari berjabat tangan satu sama lain. Selang beberapa menit, Waryono beranjak keluar dari ruang rapat. Kemudian disusul Viky dari belakang sambil menggenggam berkas di tangannya. ARENA meminta konfirmasi terkait hasil rapat tersebut. Namun Waryono enggan memberikan tanggapan secara jelas mengenai hasil pertemuannya. “Tidak ada yang mesti diklarifikasi, SK Dirjen itu sudah cukup jelas,” singkatnya, sambil tetap berjalan menaiki tangga dengan tergesa-gesa menuju ruangannya. Perdebatan panjang dari lobi ke lobi yang dilakukan Sema kepada pihak rektorat akhirnya menuai hasil. Tiga poin yang di perjuangkan Sema, dengan rasionalisasi dan beberapa pertimbangan, akhirnya diamini Warek III. “Dan ini sudah disepakati dalam rapat tersebut,” jelas Viky saat ditemui ARENA sehari setelah rapat, Kamis (2/11) di Kantor Sema. Walaupun tiga persoalan yang dibahas mendapat respon yang baik dari rektorat. Namun tidak dengan sistem partai. Perdebatan mengenai sistem Pemilwa pada pertemuan itu sempat menemui kebuntuan. Antara tetap memakai partai atau perwakilan. “Itu yang sempat dead lock adalah persoalan mekanisme dan sistem pemilwa,” tutur Viky.

lpmarena.com- 09 -


Pertemuan itu akhirnya membuahkan dua pilihan. Pertama, menerapkan partai tetapi penjaringan suara melalui sistem evoting berbasis online. Hal ini untuk menghindari kecurangan yang dikhawatirkan apabila partai diterapkan. Kedua, tanpa partai tapi pemilihannya manual. “Dari dinamika itu, saya ke Wadek III, ke Sema-U dan organ ekstra. Nah diputuskanlah Partai dan e-voting,” tutur Waryono.

- 10 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

Karena tak kunjung menemukan kesepakatan antara Sema dengan pihak rektorat. Maka selepas pertemuan itu, ia dipanggil Yudian Rektor UIN Suka, untuk berunding bertiga bersama Warek III. Bagi Sema pertemuan itu berhasil manis, sebab birokrat sepakat tetap menggunakan partai dalam Pemilwa tahun ini. Namun dengan beberapa catatan yang diberikan Yudian. Yakni Pemilwa harus mengakomodir semua kalangan, dijalankan dengan tertib, dan tidak menimbulkan konflik antar partai. “Akhirnya disepakati oleh rektor, ya, udah pakai partai, asalkan bisa mengakomodir semua,” terang Viky. Hal itu diamini Waryono, perihal kesepakatan sistem Pemilwa bersama rektor dan Sema. Sema diberi kewenangan untuk mengatur mekanisme Pemilwa termasuk dengan partai. Namun harus memperhatikan catatan-catatan Rektor yang sudah ditekankan. Hal itu melihat pengalam tahun-tahun sebelumnya, Pemilwa kerap kali identik dengan kisruh. Akibatnya gesekan-gesekan antar partai sering tidak bisa dihindarkan. ”Sebenarnya kami tidak setuju, tapi anak-anak maunya kaya gitu,” ungkap Waryono saat ditemui ARENA di dalam mobil dinasnya saat menghadiri agenda organ intra, Jumat (3/11). Hasil pertemuan itu disinyalir mendapatkan banyak gugatan dari lingkup rektorat maupun mahasiswa sendiri. Menanggapi hal itu Warek III berinisiatif mengadakan pertemuan kembali pada Sabtu (4/11), di salah satu warung makan Jl. Solo. Selain dihadiri Sema dan Dema, pertemuan itu juga dihadiri berbagai organisasi ekstra; PMII, HMI DPO dan MPO, serta IMM. Pada pertemuan itu kebanyakan organ ekstra lebih condong pada SK Dirjen yang mengatur Pemilwa dengan sistem perwakilan. Hal ini menjadi pertimbangan atas keputusan yang diambil. Meskipun begitu PMII tetap kukuh pada pendiriannya, sedangkan IMM cenderung lebih moderat. Dengan pembahasan yang begitu panjang forum tersebut menyepakati menolak sistem partai dalam Pemilwa. Artinya sistem perwakilan (non-partai) lebih menjadi pilihan bersama yang diambil. Mekanisme

pemilihannya adalah musyawarah mufakat. Rektorat menganggap SK Dirjen tidak mengatur tentang sistem kepartaian. “Sebatas, karena tidak disebutkan dalam SK Dirjen soal partai,” tulis Viky saat dihubungi melalui pesan WhatsApp, Rabu (8/11). KEMBALI KE PARTAI Polemik penetapan prosedur tidak sampai di situ. Di tengah-tengah penjaringan kandidat Pemilwa, muncul penolakan sistem perwakilan yang sudah diputuskan. Penolakan tersebut datang dari Wakil Dekan (Wadek) III tiap fakultas. Mereka menganggap perwakilan hanya akan membuat golongan tertentu makin berkuasa. Jajaran Wadek III mengusulkan agar Pemilwa dilaksanakan secara terbuka, tanpa harus melalui partai. Menurut Waryono, mengacu pada SK Dirjen, jika sistem tanpa partai diterapkan otomatis pemilihannya harus melalui musyawarah. “Ternyata apa, Wadek III tidak setuju,” jelas Waryono, Kamis (30/11). Di sisi lain Sema menyarankan jika tetap tidak menghendaki adanya partai, musyawarah bisa dilakukan dengan skala besar yang merepresentasikan seluruh elemen mahasiswa. Pertemuan itu akhirnya membuahkan dua pilihan. Pertama, menerapkan partai tetapi penjaringan suara melalui sistem evoting berbasis online. Hal ini untuk menghindari kecurangan yang dikhawatirkan apabila partai diterapkan. Kedua, tanpa partai tapi pemilihannya manual. “Dari dinamika itu, saya ke Wadek III, ke Sema-U dan organ ekstra. Nah diputuskanlah Partai dan e-voting,” tutur Waryono. Menurut Nanda pihaknya tetap tidak menerima sistem tersebut. “Dan itu yang akan kami protes,” ujar Nanda saat dihubungi melalui layanan Whatsapp, Selasa (28/11). Ia juga menegaskan akan melakukan aksi untuk menolak keputusan tersebut. Viky sendiri tidak menampik bahwa penetapan itu akan menuai tanggapan yang beragam, termasuk penolakan. “Tetapi saya tetap mangambil pilihan kerena ini sudah mendesak dan harus segera berjalan,” terang Viky.[]


POLEMIK PEMILWA UIN SUNAN KALIJAGA

Pendaftaran panitia KPUM sebagai lembaga pelaksana Pemilwa dianggap terlalu singkat. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari calon pendaftarnya. Di sisi lain, kritik terhadap Pemilwa masih menjadi tugas besar bagi penyelanggara. Oleh Muh. Abdul Qoni Akmaluddin

J

abatan kepemimpinan Dewan Mahasiswa (Dema) dan Senat Mahasiswa (Sema) UIN Sunan Kalijaga, periode 20152017 akan segera berakhir. Gejolak politik untuk menghadapi Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) sudah mulai panas dirasakan mahasiswa UIN Suka. Hal itu terlihat dari mulai buka dan ramainya kantor Dema dan Sema. Kantor yang pada aktivitas kesehariannya tutup, dan banyak serangga bergelantungan mulai rapi. Walau terkadang tersisa ceceran bungkus makanan. Hal itu menandakan mulai ada aktivitas kembali anggota Dema dan Sema. Pola demokrasi yang masih tertutup dan kurangnya transparasi serta sosialisasi penjaringan calon Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (KPUM) yang begitu singkat, membuat beberapa mahasiswa kecewa. Seperti yang disampaikan Amin mahasiswa semester VII Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam saat ditemui ARENA. Amin mengatakan bahwa dirinya merasa kecewa terhadap sistem yang telah diberlakukan Sema pada pendaftaran dan penjaringan anggota. Hal tersebut didasari pada keterlambatan informasi yang diberikan Sema kepada mahasiswa. “Kami mendapat informasi adanya pendaftaran KPUM itu pada tanggal 23 Oktokber malam, sedangkan penutupannya tanggal 25 dan hari ini kami daftar kantornya malah tutup,” ucap Amin saat bertemu dengan ARENA di Student Center, Rabu (25/10). Perasaan kekecewaan juga bukan hanya dirasakan oleh Amin. Saat waktu pendaftaran, beberapa mahasiswa terlihat menampakkan wajah masam saat melihat kantor Dema dan Sema tutup. ARENA

yang kebetulan bersebelahan dengan kantor Sema, beberapa kali mendapat pertanyaan terkait keberadaan Sema. “Tidak tau, coba ditelpon, di pintu ada nomernya,” ujar pengurus ARENA padanya. Seketika juga ia langsung mengeluarkan telepon genggam dan mencoba menghubungi seseorang. Ruangan Sema memang kerap terlihat tutup, kondisi itu terjadi pula saat hari pengumpulan terakhir berkas pendaftaran KPUM. Terpantau dari pukul 07.00-12.00 masih tak berpenghuni, baru sekitar pukul 13.00 anggota Sema datang. Berdasarkan penelitian Pusat Data dan Analisa (Pusda) ARENA yang diambil dari lintas jurusan dengan penyebaran angket sebanyak 150 mahasiswa, serta pengambilan sampel secara acak, hasilnya sebanyak 35 persen atau 53 mahasiswa menganggap Pemilwa tidak lagi relevan. Hal itu seperti yang disampaikan oleh Irwan Mulia Suranto mahasiswa Studi AgamaAgama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Menurut Irwan Pemilwa tidak memiliki dampak bagi mahasiswa. Kalau pun ada dampaknya tidak menyeluruh, hanya dikuasai golongan tertentu. Sebab alasan itulah Irwan dengan tegas menolak adanya Pemilwa. “Mending nggak usah, nggak penting,” kata mahasiswa Semester VII ini saat ditemui ARENA, Rabu (25/10). Di samping itu, berdasarkan hasil riset Pusda ARENA terkait dengan Student Government (SG) periode 2015-2017 pada Maret 2017 dengan jumlah 804 mahasiswa dari masing-masing fakultas; terdapat 82 persen (659 mahasiswa) tidak mengetahui program kerja SG sedangkan 18 persen (145

mahasiswa) mengetahui. Pada sektor advokasi sebanyak 61 persen (490 mahasiswa) tidak mengetahui advokasi SG dalam membantu mahasiswa menyelesaikan permasalahan dengan birokrasi kampus, 33 persen (265 mahasiswa) mengetahui, dan 6 persen (48 mahasiswa) tidak menjawab. Fatalnya lagi banyak mahasiswa yang tidak paham dengan peran adanya SG. Angka ini mencapai 59 persen (474 mahasiswa) yang tidak mengetahui informasi peran tersebut. Untuk keikutsertaan mahasiswa dalam kegiatan yang diadakan SG, sebanyak 50 persen (402 mahasiswa) pernah mengikuti kegiatan yang diselenggarakan SG dan 50 persen tidak. Ketidaktahuan ini disampaikan Thoirul Firdaus mahasiswa jurusan Teknik Industri semester VII Fakultas Sains dan Teknologi. Dia menjelaskan, tidak tahu menahu perihal program kerja Dema maupun Sema. Dia mengeluh selama ini SG tidak pernah mendengarkan keluh kesah yang dirasakan mahasiswa. “Melihat kondisi yang seperti itu lebih baik Pemilwa tidak usah diadakan,” ujarnya. Selain itu Amin juga mengkritik praktik Pemilwa yang pernah ia temui. “Ruang TPS yang tertutup rapat, bahkan dosen pun tidak bisa masuk. Media tidak boleh meliput padahal kan pesta demokrasi,” imbuhnya saat diwawancarai ARENA via WhatApps, Minggu (29/10). Hal ini menurutnya bukti Pemilwa masih jauh dari nilai-nilai demokrasi yang mestinya lebih terbuka dan transparan. Berdasarkan data yang diperoleh Pusda ARENA dari angket yang disebarkan ke 150 mahasiswa semester V yang dipilih secara

lpmarena.com- 11 -


random. Didapati sebanyak 64 persen (96 mahasiswa) menginginkan Pemilwa untuk tetap diadakan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Muhammad Yahya Sukri mahasiswa semester VII Hukum Ekonomi Islam. “Pemilwa masih relevan, karena Pemilwa buat sarana belajar demokrasi di tingkat mahasiswa. Kalau nggak ada Pemilwa di kampus tidak ada sarana lagi,” tegas Yahya, Rabu (1/11). Menurut Muhammad Maksum Yusron, mahasiswa semester IX, jurusan Manejemen Pendidikan Islam menjelaskan, Pemilwa masih relevan untuk dilaksanakan. Hal itu sebagai wahana untuk memberikan pendidikan politik bagi mahasiswa terlepas dari kecurangan yang terjadi pada Pemilwa-Pemilwa sebelumnya. “Terlepas dari itu aku kira penyelenggaraan Pemilwa masih harus dilakukan, apalagi itu menjadi amanah pendidikan nasional yang diterjemahkan oleh Dirjen-Diktis, Dirjen Pendidikan Tinggi Agama Islam, supaya di dalam Pendidikan Tinggi itu terdapat perwakilan mahasiswa,” ucap Yusron, Selasa (30/10). Dewan perwakilan mahasiswa yang mempunyai tugas menampung aspirasi mahasiswa, advokasi kebijakan kampus, dan memberikan pendidikan politik kepada mahasiswa. Menurut Yusron akan menjadi fatal ketika Pemilwa yang diselenggarakan malah memberikan pandangan politik kepada mahasiswa yang tidak jelas. Ia mencontohkan, dalam rangka memberikan pendidikan politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat kampus yang demokratis. Namun, dalam penyelengaraannya jauh dari tujuan yang ditetapkan. Maka tujuan dari pendidikan tersebut tidak dapat tercapai. Mahasiswa sebagai masyarakat kampus terkonstruk bahwa fanatisme serta kepentingan golongan masih berada di atas kepentingan umum. “Itu malah merasuk kuat, menjangkit akut dalam diri mahasiswa,” tambah Yusron. MEKANISME PEMILWA YANG EFEKTIF Secara historis, sistem demokrasi langsung muncul pertama kali di negara Yunani Kuno. Sistem

- 12 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

Pemilwa masih relevan, karena Pemilwa buat sarana belajar demokrasi di tingkat mahasiswa. Kalau nggak ada Pemilwa di kampus tidak ada sarana lagi,” tegas Yahya, tersebut menjelaskan suatu bentuk pemerintahan yang mengatur hak untuk membuat keputusankeputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara. Dalam buku Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiarjo, John Locke mengatakan bahwa hak-hak politik mencakup hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan untuk mempunyai milik (life, liberty, and property). Pakar ilmu politik Perancis, Montesquieu memberikan gagasan terkait dengan sistem yang menjamin kebebasan berpolitik. Sistem politik yang demokrasi harus memenuhi unsur-unsur eksekutif (menjalankan), yudikatif (mengawasi), dan legislatif (membuat) yang biasa dikenal dengan Trias Politika. Gagasan politik inilah yang juga diterapkan di beberapa negara yang ada di dunia termasuk Indonesia. Kampus dianggap sebagai miniatur negara juga mengadopsi gagasan-gagasan politik tersebut. Dema yang bertindak sebagai badan eksekutif mahasiswa mempunyai peran penting dalam menjalankan undang-undang. Sebab itu, mekanisme pelaksanaan Pemilwa pun menjadi salah satu unsur penting yang harus diperhartikan. Mengenai sistem pemungutan suara Pemilwa sendiri, berdasarkan riset Pusda ARENA dari 150 mahasiswa berbagai jurusan, didapati sebanyak 63 persen (95 mahasiswa) lebih memilih menggunakan pungutan suara secara langsung. Mekanisme online yang digadang-gadang akan diterapkan hanya sebanyak 15 persen (23 mahasiswa). Meskipun

begitu Amin menjelaskan dirinya berharap sistem online menjadi mekanisme pemungutan suara. Sebab mekanisme tersebut mampu menyalurkan hak-hak suara mahasiswa secara baik. “Pun kalau memang tidak bisa online. Pemilu harus terlaksana secara luberjurdil dengan tegaknya prinsip demokrasi,” imbuhnya. Senada dengan Amin, Yahya menjelaskan dirinya lebih sepakat dengan pelaksanaan Pemilwa secara online. Hal itu menurutnya mampu mengantisipasi adanya kecurangan. “Ya Pemilwa lebih baik dilaksanakan online, mengurangi adanya kecurangan,” tegasnya. Menurut Amin Pemilwa akan berjalan efektif ketika panitia penyelenggara Pemilwa melaksanakan tugas sebagai berikut: (1) Bawaslu dari dosen memantau jalannya Pemilwa; (2) Pemilwa dilaksanakan di tempat terbuka yang dapat dilihat oleh khalayak umum. Juga dapat diliput oleh pers pada prosesnya dari awal hingga akhir; (3) Perhitungan suara dilaksanakan pada siang hari, sehabis selesainya Pemilwa. Jangan sampai ada perhitungan malam, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terlepas dari itu Yusron berpendapat bahwa pelakasanaan Pemilwa harus menggunakan asasasas demokrasi. Target dari Pemilwa yaitu menciptakan masyarakat yang demokratis. Maka melalui jalur-jalur demokrasi pula hal itu dapat tercapai. Menurutnya akan lebih menarik Pemilwa diselenggarakan setelah masyarakat kampus menerima pendidikan politik. “Menarik ketika Pemilwa besok itu diselenggarakan setelah masyarakat kampus dibekali setidak-tidaknya diberikan sosialisasi pemahan siapa dan tugas pokok, fungsinya seperti apa sih baik Dema ataupun Sema,” tegas Yusron. Yusron juga berharap pendidikan politik di kampus mampu diberikan kepada mahasiswa. Sehingga mahasiswa mengetahui tugas dan fungsinya sebagai masyarakat kampus. “Harapanku sih selain Pemilwa itu diselenggarakan, juga nantinya pasca Pemilwa masyarakat kampus atau mahasiswa itu diserap Sema ataupun Dema dalam agendaagenda pendidikan politik. Entah itu dilaksanakan oleh partai ataupun Sema atau Dema itu sendiri,” tutupnya.[]


saat ini KOTOR PRAKTIK Germa sulit menemukan

yang idealis

PEMILWA

Rekam jejak Pemilwa banyak diwarnai aksi kecurangan dan kekerasan. Tidak sedikit mahasiswa yang enggan memberikan suaranya. Sistem e-voting diklaim mampu menangkal aksi kotor tersebut. Oleh Fikriyatul Islami Mujahidiyah

P

emilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) UIN Sunan Kalijaga diadakan setiap dua tahun sekali. Sejarah Pemilwa dari tahun ke tahun penuh diwarnai dengan berbagai konflik mulai dari keributan, kekerasan, bahkan kecurangan. Teror-teror kekerasan dari satu golongan terhadap golongan lain, atau terhadap orang-orang yang berusaha meluruskan jalannya Pemilwa. Dimulai dari hal sederhana dalam Pemilwa, yakni masalah tinta. Tinta merupakan penanda untuk seseorang yang telah memilih dalam Pemilwa, karena itu sangat diperlukan kualitas tinta yang baik untuk mengurangi peluang kecurangan yang mungkin dilakukan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Sayangnya kualitas tinta dalam Pemilwa dari tahun ke tahun tak kunjung ditingkatkan. Sejak tahun 2011, tinta yang digunakan selalu mudah hilang. Padahal menurut peraturan, yang tertuang dalam Undang-Undang Komisi Pemilihan Umum Mahasiswa (UU KPUM) Pasal 27, keputusan KPUM Nomor 004.A/kpum/I/2011 tentang petunjuk teknis Pemilwa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2006. Tinta yang seharusnya digunakan dalam Pemilwa adalah tinta pekat, tidak luntur, dan tidak mudah dihapus. Ternyata kualitas tinta ini tidak kunjung diperbaiki di tahun 2013 dan 2015. Lagi-lagi tinta yang digunakan mudah hilang apabila terkena air. Selain tinta, kecurangan lain yang terjadi pada pelaksanaan ialah penyalahgunaan surat suara dan hak memilih. Salah satunya terjadi pada

Pemilwa tahun 2015 tepatnya di Fakultas Tarbiyah. Berdasarkan penelusuran, Yudiawan yang merupakan calon independen ketua Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Manajemen Pendidikan Islam (MPI) menuturkan, saat pengambilan nomor urut ia berada di nomor urut empat. Namun di surat suara namanya tercantum sebagai nomor urut lima. Adanya kesalahan pada surat suara tersebut membuat mahasiswa jurusan MPI protes pada KPUM-F Tarbiyah dan mengajak keluar mahasiswa jurusan MPI lainnya yang sedang mengantri. Yudiawan sempat mendesak untuk melakukan pencabutan surat suara MPI, karena dianggap tidak sah. Namun pada akhirnya mereka memilih tidak mempersalahkan hal ini lebih lanjut dengan alasan takut mengganggu proses Pemilwa hingga tataran universitas. Salah seorang peserta Pemilwa tahun 2015 yang ditemui ARENA juga membenarkan banyaknya kecurangan dalam prosesi Pemilwa. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum ini mengaku melihat beberapa orang menggunakan hak pilihnya tidak hanya dengan satu surat suara. "Satu orang mencoblos lebih dari satu surat suara, entah tiga atau lebih," papar narasumber yang tak mau disebutkan identitasnya itu, saat membayangkan kejadian dua tahun silam. "Waktu itu saya protes, tapi mereka segera menahan dan mengancam saya untuk diam," ujarnya lebih lanjut. Ia mengaku kecewa dengan proses politik yang

terjadi di kampus. Hal ini juga dibenarkan oleh Jeki Sahrawi dari KPUM-F Dakwah dan Komunikasi pada Pemilwa tahun 2015. Ia memaparkan banyak terjadi kejanggalan pada saat pencoblosan dan penghitungan surat suara. Ada beberapa kertas surat suara yang lubangnya sejajar, menandakan dicoblos dalam satu waktu bersamaan oleh orang yang sama. Selain itu, awalnya hanya ada 499 orang yang masuk untuk mencoblos, tetapi saat penghitungan surat suara, ada 1413 surat suara. "Pertanyaannya darimana muncul pemilih sebanyak itu? Tidak mungkin masuk lewat pintu belakang. Karena pintu belakang itu jendela, masa mau naik jendela? Kan tidak lucu," tanyanya heran. Tidak hanya praktik kecurangan, kekerasan juga identik dengan Pemilwa UIN Suka. Pada Pemilwa 2011 terjadi baku hantam di Tempat Pemungutan Suara (TPS) Fakultas Ushuluddin. Kericuhan ini terjadi karena protes dari salah satu anggota Panitia Pemilihan Fakultas (PPF), yang melihat salah seorang pemilih memasuki tempat pencoblosan sebanyak dua kali. Bukan respon positif yang didapat, justru malah sebaliknya. Protes tersebut dibalas dengan pukulan ke arah punggung. Selain itu, korban yang bernama Kiraman juga mengaku sering mendapat teror melalui telepon. Kekerasan memiliki banyak bentuk, dalam kajian ilmu psikologi salah satu bentuk kekerasan adalah kekerasan psikis yang dilakukan melalui bahasa tubuh atau secara tidak langsung. Kekerasan model ini

lpmarena.com- 13 -


terjadi kepada lembaga pers yang notabene bertugas mengawal jalannya Pemilwa. Dalam Pemilwa 2013, Buletin HumaniusH Fakultas Ushuluddin dengan tema "Masih Pentingkah Pemilwa?" dibakar oleh beberapa oknum yang dianggap tersinggung. Buletin itu ditemukan dengan sisasisa asap masih mengepul di Kantin Dakwah tepat pada pukul 09.23 WIB, saat pemungutan suara baru saja berlangsung. Kerusuhan yang terjadi pada Pemilwa tahun 2015 juga tidak kalah dengan Pemilwa sebelumnya. Pasalnya, kampanye dialogis yang dilaksanakan di Gedung Multi Purpose pada 30 November 2015 diwarnai kericuhan. Ketika salah satu anggota Partai Demokrasi Mahasiswa (PDM), As'ad Bukhori mengajukan pertanyaan, tiba-tiba empat orang dari kubu berlawanan memukuli As'ad. Mereka mengaku tidak suka dengan pertanyaan As'ad yang tidak substansial. Kericuhan ini juga disoroti oleh media televisi kampus Suka TV dan diunggah dalam chanel youtube berjudul "Suasana Pemilwa UIN Suka 2015". Video berdurasi 57 menit itu memperlihatkan dengan jelas bagaimana seorang mahasiswa dikeroyok oleh beberapa orang di antara keramaian. Menurut sumber ARENA, kekerasan terjadi terutama pada saat pemungutan surat suara. Selalu ada yang bersitegang antara partai satu dengan partai yang lain. Bahkan salah satu mahasiswa Fakultas Saintek dilarikan ke Poliklinik karena terkena lemparan pot bunga saat kerusuhan Pemilwa. SISTEM YANG SOAK Berdasarkan data yang dimiliki Divisi Pusat Data dan Analisa (Pusda) ARENA, UU Pemilwa dari tahun 2005-2011, tidak mengalami perubahan yang signifikan. Bahkan sampai tahun ini, belum ada revisi yang berarti dari UU Pemilwa. ARENA pernah bekerjasama dengan Pusat Studi Kajian Hukum (PSKH) untuk melakukan analisis atas UU Pemilwa tahun 2011, dan hasilnya banyak ditemukan kesalahan dalam UU Pemilwa. Baik dari segi teknis maupun isi. Dari segi teknis pembuatan undang-undang, misalnya: tanda baca dan pemilihan

- 14 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

huruf kapital kacau. Sementara dari segi isi, PSKH menemukan beberapa pasal yang bermasalah. Motifnya ada yang kontradiktif, menyalahi aturan ketatanegaraan, hingga menyalahi asas demokrasi. Misalnya UU Pemilwa tahun 2011 ternyata ditangani oleh Dema, padahal itu merupakan hak dan kewajiban Sema. Ketika disinggung mengenai UU Pemilwa, Sema berjanji akan membahasnya dengan lebih matang demi kelancaran Pemilwa selanjutnya. Namun sampai sekarang hal itu tak kunjungan dilakukan. Salah satu yang harus diperbaiki adalah sistem yang digunakan untuk memilih KPUM. Sebagai pihak yang seharusnya netral, KPUM dari masa ke masa masih banyak dicampuri oleh kepentingan dan kekuatan salah satu organisasi. Sehingga panitia yang berada di dalamnya berkesempatan melakukan berbagai kecurangan demi kepentingan pribadi. "Semua ini terlalu tertutup, bahkan kaca di pintu yang kecil juga ditutup. Media tidak boleh masuk, bahkan WR 3 dan WD 3 tidak diperkenankan memasuki ruangan," tambah Jeki saat ditemui di Kantin Dakwah. Selain sistem teknis Pemilwa, sosialisasinya pun masih dianggap bermasalah. Sebab masih banyaknya mahasiswa yang tidak mengetahui tentang bagaimana Pemilwa itu dilaksanakan. Sebagian ketidaktahuan ini dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan mahasiswa sekaligus kurangnya sosialisasi terkait pelaksanaan Pemilwa. Padahal menurut Jeki, seharusnya Pemilwa menjadi pesta politik bagi seluruh lapisan mahasiswa. Bukan hanya diketahui oleh segelintir mahasiswa saja. Menurut data dari Pusda ARENA tahun 2013, yang melakukan survei minat mahasiswa terhadap Pemilwa dengan sampel sebanyak 370 mahasiswa. Berasal dari semester II, IV dan VI di setiap fakultas. Didapati sebanyak 56 persen mahasiswa mengaku tidak akan ikut memilih dalam Pemilwa. Adapun mahasiswa yang berminat memilih hanya 32 persen. Sementara 12 persen mahasiswa menyatakan tidak tahu akan memilih atau tidak dalam pencoblosan Pemilwa.

Viky selaku ketua Sema terpilih periode tahun 2015-2017, saat dikonfirmasi terkait sejarah kelam Pemilwa, mengaku turut menyesalkannya. Kesadaran politik mahasiswa belum mencapai level hakikat dari politik. “Banyak yang hanya memaknai politik sebagai why to power saja, bukan why to life, makanya hanya ada hasrat kekuasaan," tuturnya. Viky menjelaskan, mestinya jika para calon itu memang menghayati perannya sebagai wakil mahasiswa, ia mampu mengerti kebutuhan dan masalah yang sedang dihadapi mahasiswa pada umumnya. Salah satunya isu mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang seharusnya mampu diperjuangkan para wakil mahasiswa. Paling tidak memperjuangkan agar UKT tidak naik terlalu tinggi. Atau berkomitmen untuk membantu memperjuangkan mahasiswa yang penggolongannya tidak tepat sasaran. “Jika dalam perjalanannya tidak ngopeni teman-teman ini, maka perlu diingatkan,” ujar Viky. Seharusnya pola pikir seperti itulah yang dibangun oleh para calon perwakilan mahasiswa. Untuk menanggulangi dan meminimalisir kecurangankecurangan yang terjadi pada Pemilwa sebelumnya, tahun ini panitia mengusahakan adanya evoting, atau digitalisasi kertas suara. Mahasiswa yang ikut pemilwa sistem memilihnya bukan lewat surat suara tapi lewat aplikasi. “Jika hak nama itu sudah digunakan, ya, sudah, akan terblokir, jadi tidak bisa memilih lagi. Sepertinya itu akan meminimalisir indikasi-indikasi atau potensi kecurangan," ujar Viky. Untuk menghindari adanya praktik hacking, maka diupayakan e-voting menggunakan sistem jaringan Local Area Network (LAN). Sehinga tidak bisa diakses di luar ruangan. Menurut beberapa pakar IT, metode ini cukup aman untuk digunakan. Pihak Sema mencoba terus memperbaharui (update) apa yang dibutuhkan agar e-voting ini bisa berjalan. Jika e-voting tidak terlaksana, nanti akan tetap ada tim abritase dan Panwaslu. “Saya akan tetap berusaha ikut mengawasi di lapangan seperti itu. Semoga lebih transparan jalannya Pemilwa," ujar Viky.[]


TIADA DANA, PRAKTIKUM TERLANTAR

Kelangkaan dana praktikum berimbas pada minimnya minat mahasiswa menjadi asisten praktikum (asprak). Akibatnya jumlah asprak dan mahasiswa timpang, kualitas praktikum pun menurun. Oleh Muyasharoh Muyasharoh/LPM ARENA

Seorang mahasiswi jurusan Pedidikan Biologi sedang mengamati objek penelitian praktikum, di Laboratorium Fisiologi Fakultas Sains dan Teknologi, Kamis (15/11).

D

ewi Nurul Hasni merasa kesal sebab kondisi ruangan praktikumnya tak senyaman dibadingkan semester kemarin. Mahasiswa semester III, jurusan Pendidikan Fisika ini menjelaskan, sebelumnya praktikum dibagi menjadi tiga atau dua shift, tapi kini disatukan. Hal itu berdampak pada kondisi ruangan yang sumpek dan cenderung dipaksakan. Ditambah lagi dengan fasilitas ruangan yang dirasanya kurang memadai. “Sumpek, kipas nggak muter, pengap, nggak paham. Pokoknya nggak enaklah,” ungkap Dewi mengomentari keadaan ketika ia praktikum, Selasa (14/11). Padahal ruang praktikum maksimal hanya memuat 25 mahasiswa, tapi kini ditambah menjadi 50 mahasiswa. “Kita kira dijadiin dua shift pagi siang atau sore, ternyata masuk semua,” tambah Dewi dengan wajah jengkel. Menurutnya kondisi tersebut akibat perubahan sistem praktikum yang diterapkan Fakultas Sains dan

Teknologi. Kelangkaan dana asisten praktikum (asprak) menjadi penyebab mengapa kebijakan ini diterapkan. Dewi menjelaskan setiap praktik terdiri dari 47 mahasiswa yang dibagi menjadi 8 kelompok. Setiap kelompok bisa terdiri dari enam bahkan sampai tujuh mahasiswa yang masing-masing memiliki satu asprak. Padahal di semester sebelumnya, satu asisten hanya menangani satu keolompok yang terdiri dari dua atau tiga mahasiswa. Perubahan sistem ini menimbulkan berbagai persoalan, baik secara kenyamanan maupun pemahaman terhadap materi praktikum yang diajarkan. “Dulu dua orang satu asisten praktikum kita masih kesulitan, apalagi tiga kali lipat,” ucap Dewi menahan kesal. Perubahan lainnya terjadi pada persyaratan rekrutmen menjadi asprak yang dipermudah. Jika sebelumnya minimal harus mahasiswa semester IV, maka sekarang berubah menjadi semeseter III. Hal ini untuk menarik

minat mahasiswa agar mau menjadi asprak. Namun diturunkannya kualifikasi tersebut, berdampak pada kualitas asprak yang menurun. “Beda sama kita hanya satu tahun. Penyampaian juga kurang greget, menganggap kita paham padahal belum. Mungkin karena yang maumau aja yang jadi (asprak),” tambah Dewi. Dewi menjelaskan, setiap praktikum pasti ada salah satu asprak yang tidak masuk. Sehingga terkadang ada dua kelompok dijadikan satu, dengan didampingi satu asprak. Padahal setiap kelompok memiliki judul praktikum yang berbeda. “Kebijakan ini mungkin menurunkan motivasi asprak,” tutur akhir Dewi. Permasalahan ini juga dialami di beberapa program studi lain di Fakultas Sains dan Teknologi. Seperti yang dituturkan oleh Restin Ambangsih, mahasiswa semester III Pendidikan Biologi. Ia menuturkan pemaksaan kapasitas ruangan juga terjadi di jurusannya. Jika seharusnya satu ruangan penelitian

lpmarena.com- 15 -


menampung maksimal 20 mahasiswa, saat ini setiap praktikum selalu dipaksakan menjadi 50 mahasiswa. Bahkan ada salah satu praktikum yang menggunakan ruangan penelitian sebagai tempat mata kuliah wajib. Resti menjabarkan, satu ruangan terdapat enam kelompok. Setiap satu kelompok ada tujuh sampai delapan mahasiswa, dengan fasilitas satu mikroskop.”Jika satu anak ngamatin, yang lain ada yang bantu fotoin, sisanya cuma cerita-cerita nggak jelas,” ungkap Restin. Permasalahan juga diperkeruh dengan asisten yang hanya tiga orang, jadi setiap asisten bertanggung jawab sekitar 14 sampai 15 mahasiwa. “Ada juga praktikum dengan dua orang asisten, satu asisten bertanggung jawab dengan 25 mahasiwa,” tutur Restin dengan kesal. Sehingga asisten kurang bisa mengkondisikan ruangan dan memberikan pemahaman. Sebab terlalu banyak mahasiswa yang harus didampingi, fokus asprak pun pecah. “Kalau ditanya jadi bingung,” tambah Restin. Linda Ardita Putri, asprak Pendidikan Fisika tahun 2015 sampai sekarang menjelaskan, pengaruh dari kebijakan ini menyebabkan asprak bermalasmalasan. Banyak dari mereka yang hanya mengambil sedikit shift, sebab menjadi asprak perlu mengorbankan tenaga dan pikiran. Menurutnya kebanyakan hanya mementingkan sertifikat sebagai apresiasi selama mendampingi. “Kalau nggak ada dana buat asisten sangat kacau jadinya,” ujarnya. Menurut keterangan Linda,

berita tentang ketiadaan upah untuk asprak sudah berhembus sejak semester kemarin, tapi baru diterapkan sekarang. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi sebagian asisten. Sebab sebelumnya asprak selalu mendapatkan upah di setiap acara praktikum. Berupa uang tranportasi, juga ada upah untuk mengoreksi responsi. Perbedaan keadaan tersebut menyebabkan turunnya ketertarikan mahasiswa untuk menjadi asprak. “Sertifikat aja nggak mampu untuk menarik menjadi asisten,” tambah Linda. Sedangkan Andika Cindy, asprak Pendidikan Biologi menjelaskan, kebijakan ini memang benar dan dana asprak dialihkan menjadi tanggung jawab dosen pengampu. Dosen bisa memberikan upah, mamanfaatkan mahasiswa bimbingan skripsi, atau berbagai cara lain yang mungkin bisa dilakukan. Sementara menurut Nur Untoro kepala jurusan Pendidikan Fisika, sebelumnya asprak memang dibayar kampus. Namun sejak ada temuan dari audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) yang menganggap ini sebuah pelanggaran. Akhirnya anggaran asprak itu dicabut. Meskipun begitu ia menyadari keberadaan asprak sangat dibutuhkan. Apalagi fisika mempunyai alat-alat yang menggunakan listrik. Sehingga perlu adanya asisten yang paham agar tidak membahayakan mahasiswa dan meminimalisir kerusakan alat. Dari hasil perdebatan yang cukup panjang, pihak audit dari BPK mengusulkan jika asisten dibutuhkan itu merupakan tanggung

jawab dosen. “Dosen tidak mungkin membayar meskipun ada sertifikasi, karena praktikum hanya 1 SKS. Di mana idealnya harus memberi uang untuk 24 asisten setiap acara,” tambah Nur Untoro. Mempertimbangkan hal itu maka diputuskan asisten tidak dianggarkan, tapi mendapat sertifikat. Bahkan uang yang telah diberikan pada asprak semester sebelumnya, diminta BPK untuk dikembalikan ke kas negara. Hamdan Daulay Wakil Dekan II Fakultas Sains dan Teknologi membenarkan adanya temuan itu. Menurutnya pihak audit BPK menilai anggaran asprak yang selama ini dibayarkan telah melanggar Undang-Undang Peraturan Menteri Keuangan No.54 tahun 2016. “Tidak boleh honor asprak dari uang negara,” tutur Hamdan. Ia juga membenarkan semua Program Studi harus mengembalikan uang yang sebelumnya digunakan untuk membayar asprak kepada negara. Jumlah nominal yang harus dikembalikan itu sebesar Rp. 141.336.000,00. Sampai saat ini pihak fakultas terus mencari solusi bagaimana caranya agar uang tersebut bisa dikembalikan. menurutnya tidak mungkin meminta kembali uang yang telah diberikan asprak pada tahun sebelumnya. Pihaknya juga sedang mencari solusi agar asprak bisa diberikan upah tanpa harus menjadi temuan yang bermasalah. “Kita pusing untuk membayar, ini masih mencari jalan keluar,” keluhnya. []

Tabel: Data dana yang harus dikembalikan ke kas negara dari masing-masing prodi berdasarkan hasil temuan Audit BPK 2016

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Program Studi Matematika Biologi Fisika Kimia Pendidikan Matematika Pendidikan Biologi Pendidikan Fisika Pendidikan Kimia Teknik Industri Teknik Informatika Jumlah

- 16 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

Honor Asisten 5.076.000,00 9.235.500.00 9.080.400,00 3.948.000,00 8.967.600,00 5.992.500,00 11.392.800,00 5.922.000,00 5.0762.000,00 8.290.800,00 72.981.600,00

Transport Asisten 4.860.000,00 9.165.000,00 5.325.000,00 4.200.000,00 9.540.000,00 6.375.000,00 8.370.000,00 6.300.000,00 5.400.000,00 8.820.000,00 68.355.000,00

Jumlah 9.936.000,00 18.400.500,00 14.405.400,00 8.148.000,00 18.507.600,00 12.367.500,00 19.762.800,00 12.222.000,00 10.476.000,00 17.110.800,00 141.336.000,00


Pemilihan Umum Mahasiswa (Pemilwa) dilaksanakan di UIN Sunan Kalijaga setiap dua tahun sekali. Tujuannya untuk memilih wakil mahasiswa yang nanti akan duduk di kursi pemerintahan mahasiswa (Student Government). Kegiatan itu dianggap sebagai ajang pendidikan politik, sekaligus perwujudan dari sistem demokrasi. Merespon pesta demokrasi itu ARENA kembali melakukan jajak pendapat kepada 150 mahasiswa dari lintas jurusan. Jajak pendapat ini dilakukan mulai 26 Oktober - 15 November 2017. Sampling yang digunakan dalam jajak pendapat kali ini menggunakan random sampling yang ditujukan kepada mahasiswa semester V (lima). Jajak pendapat yang dilakukan ARENA menggunakan media kuisioner. Berikut adalah ulasan hasil jajak pendapat kepada mahasiswa UIN Sunan Kalijaga:

PENGETAHUAN MAHASISWA TENTANG PEMILWA

17% Tidak Tahu

83% Tahu

APAKAH ANDA MENGETAHUI WAKTU PELAKSANAAN PEMILWA? SISTEM PEMUNGUTAN SUARA PILIHAN MAHASISWA

Tidak Menjawab Tahu

13% 14% 63% LangsungTerbuka

7% LangsungTertutup 15% Online 13% Tidak tahu

2% Tidak Menjawab APAKAH ANDA MEMBERIKAN HAK SUARA PADA SAAT PEMILWA TAHUN LALU ?

73% Tidak Tahu

SISTEM PENCALONAN YANG DIINGINKAN MAHASISWA 57% 27% Ya 16% Tidak Menjawab

Tidak Tidak Tahu

MASIH RELEVANKAH UIN SUNAN KALIJAGA MELAKSANAKAN PEMILWA?

35%

Tidak Menjawab

35% 25%

Relevan 1%

24%

16%

64%

Perwakilan Prodi

Tidak Relevan Partai

Independen


Maman Suratman

Oleh Abd. Hakiki

P

emilihan Umum Mahasiswa yang akrab disebut dengan Pemilwa merupakan mekanisme yang digunakan UIN Sunan Kalijaga untuk memilih pemimpin di lembaga kemahasiswaan (Student Government). Pemilwa merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan mahasiswa dalam memilih pemimpin di antara mereka. Hal itu berdasarkan konstitusi Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Keluarga Besar Mahasiswa Universitas (KBMU) UIN Sunan Kalijaga. Pemilwa juga merupakan salah satu wujud dari pendidikan politik dan demokrasi di kalangan mahasiswa untuk menciptakan Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) yang sehat dan baik (Good Student Government). Serta mengembangkan idealisme serta suasana demokratis di UIN Sunan Kalijaga yang didasarkan pada budaya akademik, religius, dan nilainilai kemanusiaan. Namun dalam realitasnya, penyelenggaraan Pemilwa sering kali melahirkan pertentangan bahkan konflik antara partai politik mahasiswa. Hampir setiap momen dalam penyelenggraan Pemilwa terdapat dua sikap yang berbeda di antara partai politik. Ada pihak yang mendukung penyelenggaraan Pemilwa dan ada pula pihak yang menolaknya. Adapun pihak yang mendukung diwakili oleh partai politik yang menguasai lembaga kemahasiswaan, yakni Partai Rakyat Merdeka (PRM). Sedangkan pihak yang menolaknya diwakili oleh partai politik di luar lembaga kemahasiswaan, yakni pihak partai oposisi. Pendapat di atas diungkapkan Maman Suratman selaku pengamat Pemilwa di UIN Sunan Kalijaga. Maman merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, prodi Aqidah Filsafat. Dalam sebuah kesempatan, ARENA mewawancarainya terkait Pemilwa di UIN Sunan Kalijaga tahun 2017 ini di Blandongan, Jumat (17/11). Berikut petikan selengkapnya: Bagaimana polarisasi Pemilwa di UIN Sunan Kalijaga dari tahun ke tahun? Pola Pemilwa dari tahun ke tahun dalam konteks sejarahnya, Pemilwa UIN Sunan Kalijaga memang selalu panas, dan Pemilwa dalam pelaksanaan tiap tahunnya nyaris sama, dan selalu berujung anarkis. Paling tidak, tensi keinginan bagi setiap golongan yang ingin menguasai kampus naik tak terkondisikan, dan berujung meledak. Salah satu Pemilwa geger pada periode 2011

- 18 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

yang memakan korban salah satu dari aktivis HMI bocor kepalanya, yang kemudian dibawa ke Rumah Sakit Bathesda. Entah apa penyebabnya. Menurut beberapa media Kompas Jogja, Kedaulatan Rakyat, dan LPM Arena ia dibacok. Tapi bukti-bukti yang kuat belum ditemukan, semisal bukti forensik dan bukti-bukti yang lain. Apa makna demokrasi kampus untuk mahasiswa? Makna demokrasi kampus bagi mahasiswa tidak lain adalah sebagai tempat pembelajaran, karena Pemilwa sendiri merupakan salah satu bentuk dari proses pembelajaran. Terutama dalam proses pembelajaran perpolitikan dan penyelenggaraan Pemilwa (KPUM). Dengan adanya kegiatan Pemilwa dapat dijadikan wadah bagi mahasiswa untuk belajar berpolitik dan sebagai penyelenggara Pemilwa (KPUM), yang kemudian menduduki sekaligus mengurusi struktur Student Government sebagai bentuk pembelajaran mahasiswa mengurusi sistem pemerintahan, sebab kampus setidaknya bagi mahasiswa adalah miniatur sebuah negara. Hal ini menjadi penting, sebab mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa, sehingga patut kiranya mereka diberikan ruang dalam hal kepemimpinan untuk menerpa mentalitas serta membekalinya dengan pengalaman sedemikian rupa. Mengenai sistem demokrasi terdapat pra-syarat yang harus dilengkapi yakni partai politik, penyelenggara Pemilwa (KPUM), dan peserta Pemilu yang ikut andil di dalamnya. Karena Pemilwa, seperti halnya pemilihan umum dalam konteks negara, juga merupakan media di mana kekuasaan dipertahankan atau direbut secara demokratis. Yang jelas, sistem pemilihan umum transparan, dan adil, juga menjadi suatu keharusan bagi stiap peserta Pemilwa, toh pun dengan adanya partai politik, KPUM tanpa adanya transparansi dan adil (fair) bagi peserta Pemilwa, maka Pemilwa akan menghasilkan pemenang tanpa legitimasi. Untuk itu penting kiranya dalam pelaksanaan Pemilwa melibatkan partisipasi masyarakat kampus yang seluas luasnya. Lantas apakah Pemilwa sudah merepresentasikan dan dikategorikan demokratis di UIN Sunan Kalijaga? Saya rasa tidak, karena sistem Pemilwa secara konsep memang demokratis. di mana mekanisme Pemilwa dari


aspek penyelenggaranya (KPUM) dipilih secara demokratis sebagaimana dalam undang-undang republik mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Nomor 26 tahun 2010 tentang pemilihan umum anggota Senat Mahasiswa Universitas dan jajarannya pada bab IV, tentang penyelenggara Pemilwa pasal 13 ayat 2 yang berbunyi: KPUM terdiri atas unsur partai-partai politik mahasiswa, peserta Pemilwa dan pemerintahan mahasiswa yang bertanggung jawab kepada presiden mahasiswa. Begitupun dari aspek peserta Pemilwa yakni partai politik sebagai alat penunjang menduduki pemerintahan mahasiswa dalam ajang Pemilwa. Nah, hal ini, dalam mekanisme Pemilwa saya anggap demokratis dalam tataran konsepnya, akan tetapi realitasnya sama sekali jauh dari apa yang diidealkan dari demokrasi itu sendiri. Saya kira, sistem yang selama ini berjalan tidak berjalan secara efektif, dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, bahkan tidak sejalan dengan amanat demokrasi kampus. Karena sistem Pemilwa yang selama ini diterapkan tidak lain hanya milik satu golongan penguasa rezim sehingga tidak signifikan mampu mewujudkan perpolitikan yang jujur dan adil. Begitu juga dengan mekanisme Pemilwa baik dari mekanisme keputusan perundang-undangan Pemilwa, bahkan sampai monopoli dalam pelaksanaan di lapangan. Jadi tidak heran, jika Pemilwa dalam pelaksanaan tiap tahunnya nyaris sama, dan selalu berujung anarkis dan berakhir dari rezim penguasalah yang menang. Mengapa mahasiswa penting belajar politik? Penting kiranya mahasiswa belajar politik di kampus, di mana hal itu dapat dijadikan ajang pembelajaran politik bagi mahasiswa, dan kampus sebagai mediasinya, sebagaimana bentuk representasi dari miniatur negara. Karena mahasiswa mau tidak mau pasca kuliah akan terjun ke masyarakat yang tidak mungkin dinafikan akan bersentuhan langsung dengan politik. Dan juga penting kiranya dalam pembentukan partai politik di kampus, itu bener-bener memang pure dari afiliasi mahasiswa sendiri. Namun partai politik di kampus yang sudah ada sekarang masalahnya partai berafiliasi dari organ. Mengenai partai politik di dalamnya pasti ada pendidikan politik, adakah pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga secara kontinuitas dalam agenda-agenda politiknya? Selama ini tidak ada pendidikan politik sih, dari berbagai partai politik di UIN yang ada. Toh pun ada, hanya momentuman Pemilwa saja tidak secara kontinu, dan itupun dijadikan kedok belaka. Saya kira hal ini bukanlah disebut sebagai pendidikan politik. Pentingnya pendidikan politik bagi suatu partai, di mana pendidikan politik merupakan usaha yang sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai politik tersebut kepada massanya. Agar mereka sadar akan peran dan fungsinya, serta hak dan kewajibannya sebagai manusia atau warga kampus dalam lingkup Pemilwa. Pendidikan politik bukan hanya sekedar mengarahkan dan mengajarkan bagaimana cara memilih pemimpin dan memenangkan kursi jabatan belaka. Yang jelas di mana pendidikan politik mempunyai perjuangan, dan keberpihakan. Adapun visinya berorientasi kerakyatan

atau yang mampu mengakomodir kepentingan dan aspirasi mahasiswa untuk membangun demokrasi yang sesungguhnya. Melihat tidak adanya pendidikan politik secara kontinuitas, lantas bagaimana dampak dari Pemilwa? Secara garis besar tidak ada efek dan dampak yang signifikan yang dirasakan mahasiswa. Paling tidak di mana momen Pemilwa dijadikan sebagai pembelajaran politik di kampus. Adapun dampak dari segi kepemimpinan (leader) sebagai hasil representasi dari Pemilwa terjerumus apatisme. Kemudian terkait dengan isu-isu kerakyatan tidak terakomodir. Di mana yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya sebagai Student Government dan wakil rakyat (mahasiswa), justru organorgan ekstra maupun intra yang mampu mengakomodir isu-isu kerakyatan secara bersama. Dan juga terkait yang mewadahi kepentingan-kepentingan mahasiswa bukanlah Student Government, justru lagi-lagi organ ekstra maupun intra bahkan UKM yang mampu mewadahi segala kepentingan-kepentingan mahasiswa. Saya kira hal ini akibat dari tidak adanya pendidikan politik secara maksimal sehingga melahirkan sosok pemimpin yang jauh dari harapan mahasiswa. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkan Pemilwa yang ideal? Yang pertama, dari segi partai politik, di mana upaya partai politik dibangun oleh atas nama mahasiswa sendiri. Karena partai politik yang ada saat ini atas nama organ bukan lahir dari mahasiswa itu sendiri, sangat wajar jika partai politik berafiliasi pada organisasi, dan ketika menduduki kursi jabatan kepemimpinan justru rentan sekali mengakomodir kepentingan-kepentingan organ tersebut, sedangkan kepentingan mahasiswa menjadi bias. Kedua, adanya pendidikan politik dan kaderisasi partai secara kontinu untuk melahirkan sosok pemimpin yang benar-benar sesuai dengan harapan mahasiswa. Ketiga, dari segi KPUM selaku penyelenggara Pemilwa, juga penting adanya pendidikan KPU. Agar supaya tahu sistem kerja KPU seperti apa, dan ketika ada problem di tengah terselenggaranya Pemilwa, bentuk dan pengaduannya kepada siapa dan seperti apa. Dan juga untuk mewujudkun KPU yang bersifat institusional, tetap, dan mandiri seperti yang dicanangkan di UU Pemilwa. Keempat, adanya partisipasi dari peserta Pemilwa seluas luasnya. Karena selama ini Mahasiswa selaku peserta Pemilwa kurang antusias dan sangat minim dalam partisipasi Pemilwa. Mungkin penyebabnya ada dua kemungkinan ya, yang pertama memang karena mahasiswa tidak mengetahui pelaksanaan Pemilwa, dan yang kedua memang karena mahasiswa merasa kecewa atas Pemilwa yang berjalan sebelumnya. Dan yang terakhir, ketika pemimpin sudah terpilih, maka perlu adanya pengawalan kerja-kerjanya dan visi/misi yang sudah dikampanyekan. Apa harapan Anda untuk agenda Pemilwa selanjutnya? Ya, pokoknya yang terbaiklah. Dan saya mengharapkan hadirnya partai politik baru yang benar-benar lahir dari mahasiswa sendiri. Kalau boleh sih, saya siap mengkampanyekan.[]

lpmarena.com- 19 -


Oleh Nia Kurniati Azizah

W

aktu menunjukan pukul 21.09, diiringi gerimis dan sisa semerbak bau tanah, setelah sebelumnya diguyur hujan deras. ARENA bermaksud menemui seorang penggiat seni gambar di salah satu kafé, Sabtu (4/11). Kafe itu bernama Ayumi, tempat tongkrongan bagi anak muda, khususnya para mahasiswa. Di tempat ini pengunjung bisa melakukan beragam aktivitas, mulai dari berdiskusi, mengerjakan tugas kelompok, berbincang santai, atau hanya sekedar ingin menikmati secangkir minuman saja. Di salah satu meja, ARENA menemui sosok pria, ia bernama Aleyo Sas Melas, yang biasa disapa Eyo. Pria berusia 26 tahun ini, sudah cukup lama menyukai dunia seni. Sedari kecil ia memang memiliki hobi menggambar dan menyanyi. Meskipun baru serius menggelutinya saat masuk kuliah di UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2010 silam. Kecintaan terhadap dunia gambar membawanya mengikuti berbagai perlombaan karya seni. Ia sempat mengikuti lomba mural di Universitas Sanata Dharma. Meskipun tidak meraih gelar juara. Namun karyanya juga pernah dijadikan ilustrasi lagu dari grup band asal Yogyakarta yang bernama Black Stocking. Pria yang pernah menempuh studi Aqidah Filsafat ini sempat aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa Gita Savana. UKM yang fokus di dunia tarik suara tersebut telah membawanya meraih medali emas saat mengikuti lomba di Universitas Negeri Semarang (UNNES). Tidak hanya itu, bersama Gita Savana ia juga meraih medali perak di Universitas Negeri Brawijaya (UNBRAW). Meskipun pada tahun 2016 ia memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya karena masalah pribadi. Sebelum ia mengakhiri studinya, pada tahun 2015 Eyo mulai berkarya dengan membuat beragam stiker yang unik kemudian dibagi-bagikan secara gratis. Sering juga barter dengan sesama temannya yang memiliki karya yang sama. Untuk mencetak satu karya ia membutuhkan waktu sebulan bahkan lebih. Setiap produksi ia kerap mengandalkan ongkos dari kantongnya sendiri. Hal inilah yang kadang menjadi kendala, lamanya proses produksi dan distribusi. Bersedekah menjadi alasan utama mengapa ia tetap bersemangat untuk berkarya. Ia juga merasa senang dan asyik saat melakoni kegiatan tersebut. Pernah suatu ketika ia pergi ke Bandung hanya untuk menyebarkan karyanya berbentuk stiker secara gratis. “Karena aku belum berpenghasilan, aku ingin berbagi. Jadi aku kasih karyaku yang berbentuk stiker,” kata Eyo dengan raut wajah bahagia. Hal yang paling membahagiakan menurutnya, saat karyanya berhasil disebarkan ke teman-teman terdekat. “Itu menjadi kepuasan tersendiri,” tambahnya. Apalagi saat mereka mempublikasikannya melalui media sosial. Biasanya setelah itu ada juga yang sengaja memesan hasil kreasinya tersebut.

- 20 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

Keep working lan sumringah (tetap bekerja dan bahagia) menjadi motto hidup Eyo. Kasih sayang seorang ibu dan perempuan-perempuan calon ibu juga membuat ia selalu bersemangat untuk terus berkarya. Karyanya banyak dilahirkan dari pengalaman hidup yang ia alami. Bagi Eyo, apa pun yang dilihat dan ia alami bisa dijadikan ilustrasi ke dalam bentuk karya. Kontennya pun kadang membahas isu-isu sosial yang terjadi di sekitarnya. “Karya yang kubuat adalah kesenangan semata, sukursukur bisa kritik sosial,” tutur Eyo. Eyo juga sering mendengar orang lain mengomentari karyanya. Baik bernada positif atau negatif. Hal yang paling diingat, saat hasil goresan tangannya terpampang di sebuah dinding kafé, dan menuai kritikan yang tidak sedap dari seorang pengunjung. Tidak hanya itu, cibiran orang sekitar pun kadang pernah mendarat padanya “Sedih, sakit, padahal aku cuma pengen gambar aja dan bagi-bagi stiker aja. Kalau gak suka ya sudah gak papa,” ujarnya kepada ARENA. Meski begitu ia tak ambil pusing dengan kritikan tersebut. Justru sebaliknya, ia semakin termotivasi untuk terus berkarya, bahwa menggambar itu tidak ada batasnya. Tidak sedikit pula yang menggemari karyanya. Seperti karya yang ia namai “The Anamuslimtomi”, yang banyak mendapatkan sambutan positif dari penikmatnya. Menurutnya, “The Anamuslimtomi” terinspirasi dari karya Leonardo da Vinci. Ia menganggap itu karya terbaik yang pernah ia buat. Sebab waktu itu banyak yang menyukai sekaligus memesan stiker dengan gambar tersebut. Ia dengan senang hati memberikannya secara cuma-cuma. Bahkan ada juga yang sengaja menyablonnya di beberapa pakaian. Lewat karya itu, ia juga mengkritik fenomena mudahnya mengkafirkan orang lain. Padahal menurutnya semua ciptaan sama, everybody poop. Saat ini Eyo bekerja di tempat penyablonan. Di tengah kesibukannya ia masih menyempatkan diri untuk terus berkarya. Di tahun 2017 ini pula, kali pertamanya ia menjual karyanya berupa stiker, jaket bergambar yang ia desain sendiri, serta block note di acara Sanggar Nuun beberapa bulan yang lalu. Di tahun sebelumnya ia juga pernah mengikuti pameran stiker yang bertempat di kota Bandung.. Selain berkarya, ia juga mendirikan sebuah komunitas Worker Company. Sebuah wadah kerja kreatif yang menghasilkan barang-barang seni (art), yang masih membutuhkan anggota di dalamnya. Eyo ingin mengajak teman-teman yang suka seni di UIN Suka untuk berkarya, agar bakatnya dapat dikembangkan. Sebab ia melihat banyak mahasiswa UIN yang punya potensi di bidang seni. Itulah sebuah harapan yang ada di pikiran Eyo. “Berkarya seni itu berat. Beratnya itu sedikit yang mengapresiasi, tapi sebenernya orang-orang sendiri itu butuh,” tutur Eyo berpesan pada penggemar seni.[]


Di ilustrasikan Agus

O

rang bilang, kampus atau universiteit adalah benteng idealisme. Pasalnya, di habitus tersebutlah suasana diskursus mengenai apapun senantiasa berlangsung. Suasana yang sedemikian rupa, tentu terbangun karena berbagai elemen masyarakat dengan latar belakang pandangan terwadahi di dalamnya. Setidak-tidaknya, keberagaman masyarakat di dalam habitus yang bernamakan kampus itu tadi, dapat terlihat dari sisi sosiologis, akademik maupun ideologis. Terdapat ikatan kedaerahan, kejurusan, keprofesian (ikatan dosen contohnya), ikatan ke-non-akademik-an (seperti organisasi intra maupun ekstra), kalangan difabel, dan sebagainya. Dari kalangan mereka, ada yang memiliki cara pandang konservatif ataupun progresif. Semuanya

memiliki kesempatan yang sama untuk bertukar pengalaman dan pikiran, dalam rangka kemajuan dan kebaikan bersama. Sebagaimana yang ditorehkan oleh sejarah, masyarakat dari habitus ini memang memiliki signifikansi dan urgensi dalam membawakan sebuah pembangunan dan kemajuan. Cukup mudah dapat dibuktikan; pengetahuan serta tindakan mereka yang berasal (dan/atau keluaran) dari lingkungan tersebut, hingga hari ini memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Hingga tak aneh apabila kampus dikatakan sebagai lingkungan (lembaga) pemacu kemajuan hidup dan penghidupan masyarakat.

lpmarena.com- 21 -


Membicarakan tentang kemajuan hidup dan penghidupan masyarakat, tentu tidak lepas dari pembicaraan mengenai peranan negara dalam mewujudkan kemajuan yang disebut itu tadi. Sebab, negara hadir dan dibicarakan, adalah untuk itu; membawakan harapan asa bangsa manusia yang ada di dalamnya. Sehingga dapat kita katakan pula, di dalam dan melalui lembaga kampuslah (salah satunya), pembicaraan mengenai negara dan masyarakat berlangsung. Bukan lain, keberlangsungan pembicaraan mengenai hal itu, adalah untuk memandang lebih jauh, menyikapi hingga menindaklanjuti apa yang terjadi di dalam masyarakat serta negara itu sendiri. Memang begitulah baik dan seharusnya yang terbangun di lingkungan kampus. Terkhusus di kalangan mahasiswa, yang seringkali dicap sebagai pembawa perubahan dan kontrol sosial. Namun, pada hari ini perlu kita telisik kembali. Masihkah suasana yang kita ungkap sebelumnya tadi, menghiasi kampus dan kerumunan mahasiswa sebagai kalangan terdidik. Jangan-jangan, harapan yang ditangguhkan kepada kampus serta mahasiswa itu tadi, pupus akibat realitasnya, suasana yang kita bicarakan tadi, sudah tidak diketemukan lagi. Bilamana kondisi yang terjadi adalah sedemikian rupa, siapa atau apa yang hendak disalahkan atau dikritisi? Jika pertanyaan ini memang layak disuarakan, tentu pemberi jawabannya adalah semua kalangan yang menyadarinya; penulis sendiri maupun pembaca sekalian. Bagi penulis, kampus maupun masyarakat yang ada di dalamnya, tengah mengalami krisis (kesadaran) politik. Terlebih mahasiswa sebagai salah satu elemen yang ada di dalam kampus. Mengapa hal itu terjadi? Bukankah diskursus wacana pengetahuan serta pengalaman sekalipun masih berlangsung di dalam kampus? Dua pertanyaan yang baru saja kita sebut ini tadi, sekaligus merupakan pertanyaan kritis guna menjawab satu pertanyaan yang lebih awal kita lontarkan tadi. Mari kita jawab bersama-sama satu per satu pertanyaan tersebut dengan teliti dan mendalam, namun dengan penjelasan yang sederhana. AKIBAT PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN Sebagai sarana pembentukan manusia dari kondisi mulamula menuju berikutnya, pendidikan dan pengajaran tidak dapat disisihkan dari pembacaan kita. Kenyataannya, pendidikan dan pengajaran yang kita ikuti sejauh ini, acapkali bukan mengarahkan kita kepada diskursus mengenai kehidupan kita sebagai masyarakat dan rakyat Indonesia. Melainkan justru menyibukkan kita dengan berbagai teori yang diobral janjikan mampu memberikan seenggok kemajuan pada pribadi kita masing-masing. Pahami ilmu ini itu, supaya kamu menjadi bla bla bla. Kerjakan ini itu supaya kamu menjadi bla bla bla yang kompeten dan profesional. Raihlah ini itu dengan maksimal supaya kamu dapat duduk di kursi bla bla bla. Itulah yang didengungkan di telinga kita. Pendidikan dan pengajaran yang kita nikmati selama ini, seolah-olah tidak tahu menahu tentang situasi bangsa masyarakat dan negara kita sendiri. Apalagi kita yang memang pada dasarnya belum tahu dan seharusnya dipantik untuk tahu. Lalu untuk siapa dan apakah keilmuan dan keahlian

- 22 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

yang diberikan kepada kita selama ini? Jika menurut nilai idealnya layak kita berikan kepada saudara sebangsa Indonesia, bukankah akan berakibat fatal jika sejak pembentukan pandangan di dalam lembaga pendidikan, kita tidak coba ditanamkan pengetahuan tentang kenyataan yang terjadi pada masyarakat dan negara? Sebab tentu saja pengetahuan dan teori kita, sebatas onderdil yang akan kita pasangkan dengan kearifan masyarakat. Jika onderdil itu tidak sesuai atau cocok, barang tentu akan menimbulkan kerusakan yang sama sekali tidak kita inginkan. Jika sedikit menggunakan keseriusan dalam menjawab, singkat jawabannya adalah pendidikan serta pengajaran kita selama ini, sangat jauh dari keberpihakan. Dapat diartikan pula, pendidikan kita berorientasi a-politik dan a-sosial. Pendidikan dan pengajaran kita selama ini sibuk dengan orientasinya yang berupa pengkayaan diri lembaga, aparatus serta keluarannya kelak. Barangkali lembaga pendidikan dan pengajaran kita tidak tahu menahu, seberapa ketergantungannya negara dan masyarakat kita terhadap modal, teknologi dan pengetahuan dari asing. Seberapa besar Sumber Daya Alam (SDA) tanah air yang dikuras habis oleh asing. Seberapa parah dan banyaknya rakyat Indonesia yang kurus melarat akibat distribusi kesejahteraan yang timpang. Seberapa bungkam diam rakyat kita akibat melompongnya pengetahuan dan masif intensifnya pembodohan sejak Cultuurstelsel sampai indie stelsel Orde Baru. Mau tidak mau, kondisi itulah yang layaknya kita insyafi kemudian sikap tindaki bersama. Sejauh ini, politik pendidikan dan pengajaran kita, masih dikehendaki untuk penggunungan kekayaan dan pemenuhan kepentingan kalangan yang menguasai sumbu ekonomi maupun politik, kawan pembaca yang budiman. Lalu mulai dari mana kita yang sadar dan insyaf berucap dan bertindak? Dari manapun dan dengan pedoman ide apapun, kita layaknya segera berucap dan bertindak. DARI POLITIK MAHASISWA Satu-satunya pilihan ketika melihat situasi kampus dan mahasiswa yang sedemikian rupa kita bahas lebih awal tadi, adalah selekas dan setuntas-tuntasnya membangun politik mahasiswa. Yang kita maksudkan di sini, tentu bukan sekedar politik praksis guna memenangkan politik elektoral memperebutkan kursi jabatan di kampus (ataupun masyarakat nantinya). Melainkan yang kita maksud perihal politik mahasiswa adalah antusiasme hingga keterlibatan aktif mahasiswa terhadap isu-isu yang menyangkut kehidupan masyarakat serta penyelenggaraan negara (setidak-tidaknya penyelenggaran kampus). Hal ini menjadi kebutuhan penting dan mendesak, ketika pada kenyataannya, apatisme mahasiswa semakin akut menjauhkannya dari alam (sadar) dan sosio-politik-historisnya. Sebagaimana yang dapat dipelajari dalam sejarah gerakan mahasiswa (serta kalangan pemuda terdidik lainnya), dengan politik intelektualitasnya generasi terdidik sebelum kita begitu turut memberi sikap dan tindakan atas isu sosial budaya ekonomi bahkan politik. Semangat jaman itu harus segera kita temukan bersama, guna menyeruakkan kembali, geliat kesadaran bertindak


politik mahasiswa. PENTINGNYA PENDIDIKAN POLITIK Tidak sekedar memberikan pahaman mengenai UUD 1945. Tidak hanya mengumbar penjelasan mengenai sistem penyelenggaraan negara. Apalagi sekedar mengajarkan bagaimana cara memilih sosok pemimpin. Pendidikan politik yang kita nanti-nantikan adalah pendidikan yang mengarahkan kita menjadi masyarakat politik dan sipil, baik dalam spektrum kampus (sebagai miniatur negara masyarakat) maupun spektrum negara. Pendidikan politik semacam itu, harus memiliki kejelasan keberpihakan. Visi orientasi kerakyatan (sebagai nilai yang terkandung dalam lokalitas masyarakat kampus maupun negara) merupakan dasar pijak pendidikan politik yang diselenggarakan. Dari segi muatannya, pendidikan yang kita tunggu tersebut wajib mampu membangunkan kritisisme massa sebagai modal terbangunnya demokrasi yang sesungguhnya, sebagai pra-syarat mewujudkan good government dan clear governance. Bukankah pendidikan nasional kita sampai hari ini juga mendambakan keluaran lembaga pendidikan yang demokratis serta bertanggung jawab? Seiramalah kita menyuarakan ini, kawan. Namun karena pendidikan dan pengajaran yang dihidangkan kepada kita dari pagi hingga sore selama ini tidak berkeinginan kritisisme ada pada diri kita, tak ayal, jika kita tumpul gagap mengambang tidak jelas berdiri dengan kaki siapa dan hendak menuju kemana sebagai bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat ini, kawan. Setidak-tidaknya kita masih memiliki peluang melalui berbagai jalan yang tersedia di hadapan kita. Ikatan mahasiswa dengan istilah apapun, adalah ruang bagi kita menyemai pendidikan politik yang berkerakyatan. Student Government yang revolusioner, UKM yang revolusioner, organisasi ekstra apapun yang revolusioner serta organisasi mahasiswa kedaerahan maupun kejurusan yang revolusioner, masih memungkinkan untuk terwujudkan. Tunduk patuh karena ketergantungan maupun sekedar patron ikatan mahasiswa terhadap penguasa di atasnya (termasuk senior) harus dipatahkan demi mewujudkan ikatanikatan mahasiswa di atas. Sebab ikatan-ikatan mahasiswa itulah yang menjadi sarana alternatif pendidikan politik diselenggarakan (di tengah hipokritnya penguasa dan melompongnya lumbung pengetahuan massa). MENYOAL STUDENT GOVERNMENT DAN GOVERNANCE Student Government adalah lembaga dan orang-orang yang ada di dalamnya. Sedang Student Governance adalah watak karakter serta perangainya dari Student Government itu tadi, menyangkut keberpihakan, kebijakan, serta orientasi politiknya sebagai perwakilan dari kelompok kepentingan (termasuk rakyat minoritas). Dalam waktu dekat, kita dihadapkan pada pemilihan pemimpin baru yang nantinya mengisi kursi jabatan pada Student Government. Agenda yang biasa dilakukan setiap satu periode pemerintahan mahasiswa ini, sesungguhnya merupakan sarana pendidikan politik diselenggarakan. Di mana dengan pemilihan pemimpin baru di setiap periode baru, diharapkan akan terlaksanakan secara demokratis

(sebagai agenda pembentukan manusia Indonesia yang demokratis). Akan tetapi, pelaksanaan pemilihan pemerintah atau perwakilan mahasiswa tersebut, sejauh ini masih sekedar prosedural dan terkesan milik atau agenda beberapa kalangan belaka. Mahasiswa sebagai unsur utama dalam demokratisasi pemerintahan mahasiswa (dalam spektrum kampus) justru sedikit sekali yang berpartisipasi aktif. Setidak-tidaknya, turut memilih saja, hanya sebagian kecil dari mereka yang terlibat. Apalagi sampai melakukan pengawalan, lebih sedikit lagi faktanya. Namun karena memang agenda dan ruang tersebut cukup strategis guna melancarkan kepentingan beberapa kalangan, akhirnya tidak menutup kemungkinan, tetap diselenggarakannya pemilihan dan pemerintahan mahasiswa, dipenuhi dengan cara apapun. Hingga seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, terkesan, agenda dan ruang ini hanya milik beberapa kalangan semata. Jikapun ternyata dari beberapa kalangan yang merasa penting mengikuti dan mengisi agenda serta ruang strategis tersebut, terjadi kontradiktif atau dialektika (yang seakan-akan mencerminkan demokratisasi Student Government), tidak menutup kemungkinan, itupun demi pemenangan elektoral kalangannya semata, membawa nama massa, tanpa pernah membangun kerja kolektif di dalam ruang massa. Ketika naik podium pentas perpolitikan, malah sibuk mementingkan dan mengamankan kelompok kalangannya belaka. Kepentingan umum, telah terlupakan oleh rasa kenyang ng-OSIS dan (mr)oyeknya. Kondisi Student Government dan Governance di atas harus segera diubah. Penyelenggaraan perwakilan mahasiswa akan sia-sia ketika sekedar ditumpangi oleh segelintir kelompok kepentingan. Keberadaan Student Government adalah sebagai sarana pendidikan politik dapat terselenggarakan, sebagaimana yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional. Terlebih melihat sosio psikologisnya, mahasiswa merupakan generasi muda yang kelak akan terjun ke masyarakat. Tibalah kemudian, mahasiswa menjadi masyarakat seutuhnya. Yang, tentu tidak berdiam diri di lingkungan sekitarnya. Ia harus memberi dan mengabdikan segala sesuatu yang telah diperolehnya, dengan jangkauan pemahaman lebih awal mengenai konteks lokalitas masyarakatnya, dalam rangka membangun politik masyarakat, melalui pendidikan politik yang dilaksanakan melalui obrolan ringan, musyawarah desa, pertemuan warga, arisan keluarga, karang taruna, kelompok tani, ibu PKK, perbincangan di antara anggota keluarga dan forum lain sebagainya. Barangkali, (dengan) sederhana beginilah kita dapat memaknai perubahan sosial melalui jalan pendidikan, atau yang kita istilahkan sebagai 'Revolusi Pendidikan'. Yaitu, tentang bagaimana membangun politik mahasiswa menuju politik masyarakat. Tentang bagaimana membangun gerakan mahasiswa ke gerakan pemuda.[]

Mohammad Ma'sum Yusron, Kepala Suku Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KeMPeD) periode 2016/2017 dan anggota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimkot Yogyakarta.

lpmarena.com- 23 -


D

i masa pra kemerdekaan, bangsa Indonesia berjuang demi kemerdekaannya, dan kini hasil dari perjuangan tersebut telah dapat dirasakan. Sebuah cita-cita kedaulatan rakyat yang dulu didambakan kini telah nyata hadirnya. Namun, terlepas dari hadirnya sebuah kedaulatan rakyat yang dulu dikehendaki, kini bangsa Indonesia dihadapkan pada persoalan bagaimana mempraktikan apa yang menjadi angan-angannya dahulu. Di mana saat ini kedaulatan rakyat sudah sampai taraf mempraktikan. Rakyat punya kuasa menentukan dan mengarahkan kemana bahtera kedaulatannya hendak dilayarkan. Namun bukan berarti rakyat bebas memaknai kedaulatan sebagai sebuah legitimasi untuk bertindak sesuka hati. Makna kedaulatan rakyat banyak disalah tafsirkan menjadi sebuah kebebasan sepenuhnya. Akibatnya tiaptiap individu maupun kelompok sering bertindak dengan sekehendaknya. Bukankah kedaulatan rakyat berarti kedaulatan ada pada rakyat. Rakyat mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negeri? Apabila penafsiran terhadap kedaulatan itu salah, maka tataran praktiknya pun akan ikut bermasalah. Dalam logika demokrasi rakyat yang merupakan instrumen tertinggi pemegang kekuasaan, konsekuensinya bahwa seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh negara harus selalu berdasarkan pada kebutuhan dan kepentingan rakyat. Apabila hal ini tidak dilaksanakan, secara tidak langsung negara telah mengkhianati nilai kedaulatan rakyat sebagai puncak tertinggi kekuasaan di negara demokrasi. Seperti yang telah tertuang dalam Undang-Undang Dasar kita, pasal 1 ayat 2, yang berbunyi �Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat�. Bahwa sesungguhnya kedaulatan memang berada di tangan rakyat, yang diwakili oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kedaulatan tidak terpecah-pecah, melainkan satu kesatuan berada di tangan majelis tertinggi sebagai wakil rakyat. Seperti halnya yang diterangkan dalam buku Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta. Buku ini coba menjelaskan tentang demokrasi Indonesia dan kedaulatan rakyat. Di dalamnya memuat pemikiran penulis yang akrab disapa Bung Hatta ini, tentang sistem

- 24 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

demokrasi bagi rakyat Indonesia yang berisi demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi. Buku tersebut juga menjelaskan tentang berbagai tugas pemerintah sebagai perwakilan rakyat. Juga bagaimana sistem pemerintahan yang dianut negara Indonesia pada awal paska kemerdekaan. Di akhir buku ini juga memuat surat-surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno. DEMOKRASI INDONESIA DAN KEDAULATAN RAKYAT Demokrasi Indonesia yang dijalankan pada masa awal kemerdekaan banyak mengalami pergeseran. Berbagai teori demokrasi dari barat ditolak karena tidak sesuai dengan budaya asli Indonesia. Sistem demokrasi yang dicita-citakan bangsa Indonesia berbeda dengan demokrasi yang dirumuskan ala negara barat. Sebab Indonesia tidak cocok dengan demokrasi impor. Indonesia membutuhkan sebuah sistem demorasi yang berdasarkan pada budaya musyawarah khas rakyat pedesaan Indonesia. Di mana meninggalkan kepentingan individualisme ke arah kepentingan kolektivisme. Kondisi rakyat Indonesia yang terlalu banyak, sehingga tak mungkin semuanya diberi kewenangan untuk menjalankan pemerintahan. Untuk mengatasinya, pemerintahan diatur melalui mekanisme perwakilan. Mulai dari tingkat kecil di desa-desa, hingga sampai pada tingkat yang besar yakni negara. Demikianlah susunan demokrasi Indonesia menurut dasar “kedaulatan rakyat�. Buku ini juga menjelaskan tentang proses awal mula sistem demokrasi yang asli dari Indonesia, yang diubah dan dikembangakan secara matang. Namun tetap berdasarkan kepada budaya asli masyarakat Indonesia. Juga proses demokrasi tidak hanya di ranah politik, akan tetapi juga mencakup ranah perekonomian. DEMOKRASI KITA: DEMOKRASI POLITIK DAN DEMOKRASI EKONOMI. Berdasar pada akulturasi pengalaman dari dunia barat, dengan bersendi pada susunan masyarakat desa di Indonesia yang asli, akhirnya dapat mewujudkan kedaulatan rakyat yang lebih relevan bagi dasar


Judul:

Demokrasi Kita Penulis: Mohammad Hatta // Tebal: 155 Halaman // Cetakan: Cetakan pertama, 2008 // Penerbit: SEGA ARSY Jl. Cingised, No.10. Griya Asri, Cisarentan Kulon, Bandung.

pemerintahan republik Indonesia. Kedaulatan rakyat kita yang meliputi kedua-duanya: demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, dengan mudah kita dapat mengemukakannya. Sebab masyarakat kita tidak berpaham individualisme, melainkan masih bersendi kepada kolektivisme. Kondisi berbagai desa di Indonesia yang masih menjalankan budaya tolong menolong, serta jika ada sebuah permasalahan, diselesaikan dengan jalan musyawarah desa atau rapat desa. Inilah yang memebedakan negara Indonesia dengan negara-negara lain di belahan dunia. Sifat inilah yang bisa dijadikan dasar demokrasi di Indonesia dengan karakter gotong royong dan mengambil jalan musyawarah. Sifat pertama, adanya sebuah musyawarah yang dijadikan sebagai suatu langkah penyelesaian masalah, yang berlaku di desa-desa Indonesia. Hal ini menjadi dasar demokrasi politik di Indonesia yang berdasarkan musyawarah. Sifat kedua, sifat saling tolong menolong. Di mana masyarakat desa Indonesia masih menjalankannya. Yakni jika ada sebuah permasalahan rumit, maka diselesaikan bersama- sama. Maupun jika ada anggota kelompok masyarakat yang membutuhkan bantuan maka muncullah budaya gotong royong dan saling membantu. Hal ini menjadi penggerak dari demokrasi ekonomi yang berlaku di Indonesia. Penting adanya sebuah relasi dari kedua-duanya, baik demokrasi politik maupun demokrasi ekonomi, agar nantinya bisa menjalankan sebuah sistem demokrasi yang sempurna dan benar-benar ideal bagi negara Indonesia. Sebab Indonesia memang menjalankan sistem demokrasi, akan tetapi tidak menghendaki sistem demokrasi yang dijalankan negara barat, yang menganut free fight democracy. Sebuah sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara agar dapat memperoleh kekuasaan, hantam menghantam dan saling menjatuhkan. Praktik tersebut menurut pandangan Hatta, sangat tidak layak dan menyalahi budaya demokrasi di Indonesia yang didasarkan pada demokrasi gotong royong.

KEDAULATAN RAKYAT, PEMERINTAHAN RAKYAT Kemudian setelah adanya teori demokrasi yang ideal bagi Indonesia, kini tugasnya beralih kepada bagaimana praktik terhadap teori demokrasi yang sudah dicitacitakan. Ini tidak lepas dari peran pemerintah atau badan-badan perwakilan rakyat. Karena dalam praktek demokrasi yang ideal bagi masyarakat Indonesia, pemerintah perlu memberikan sebuah pembelajaran dan pendidikan politik kepada rakyat. Politik dalam arti yang sebenarnya ialah perbuatan yang menimbulkan hal-hal kenegaraan. Mustahil demokrasi dapat dijalankan apabila pemahaman akan sebuah sistem pemerintahan dan politik tidak dipahami secara mendalam. Dalam buku Demokrasi Kita menjelaskan pentingnya sebuah pendidikan politik bagi masyarakat. Tugas tersebut juga merupakan usaha yang harus diadakan oleh partai politik agar masyarakat mendapatkan keinsyafan politik. Agar rakyat insaf akan posisinya yang berdaulat dan mampu memperjuangakan hak-haknya, apabila suatu saat ditemukan sebuah praktek pemerintahan yang menyalahi aturan. Di sini rakyat bertugas sebagai hakim, apabila suatu ketika ditemukan praktik penyalahgunaan kekuasaan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka rakyat berhak menuntut agar mencopot para pemerintah yang tidak mengusung kepentingan rakyat. Jelas bahwa kedaulatan rakyat memposisikan rakyat berada di atas pemerintah. Selama menjalankan kekuasaanya pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat, agar nantinya cita-cita yang diharapkan oleh rakyat dapat benar-benar tercapai. Pemerintah tidak hanya menjalankan dan bebas bertindak sekehendaknya dan mementingkan kepentingan pribadinya. Karena kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat, yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Rakyat kuasa![] Royan Muhammad, Mahasiswa Semester I, jurusan Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum

lpmarena.com- 25 -


Oleh M. Abd Rouf

“Mari kita sukseskan PEMILWA 2017”. Begitulah kata dari spanduk yang kemarin terpampang di gerbang utama kampus kita tercinta, UIN Sunan Kalijaga. Juga sepertinya nampang di banyak tempat lain, dekat dengan aktivitas mahasiswa. Tertanda di situ dari si panitia acara. Tidak ketinggalan juga ada dari alumni kampus yang putihnya mulai memudar ini memberi ucapan “Selamat dan Sukses” dengan cetakan tebal ikut nongol. Saya yang kebetulan lewat berhenti, memakirkan kendaran dan berimajinasi, pastinya para mahasiswa dari yang kenow-nowan sampai keaktipis-aktipisan akan tahu tulisan itu. Lantas pikiran mulai bandel—untung waktu itu saya masih bisa mikir—seperti apa kata “sukseskan” ini diejawantahkan dalam praktiknya? Apakah sukses itu dengan terlewatinya acara demi acara dan terpilihnya si presiden mahasiswa sebagai puncak? Atau hanya mengganti sang pemimpin yang habis masa aktifnya? Tidakkah itu sama dengan beberapa tahun kemarin? Atau memang demikian kodrat dari agenda PEMILWA? Malang sekali nasibnya kalau begitu. Saya rasa si penyelenggara sangat bersemangat untuk mewujudkan kata “menyukseskan” tadi dalam laku. Rapat sampai malam, berdiskusi yang membuat kepala pening, dan berargumentasi yang melelahkan bibir. Itu yang saya kira hanya dalam rasa. Namun sayangnya mereka tidak memberitahukan yang lain untuk turut serta bagaimana “menyukseskan” agenda ini. Entah mereka sangat pelit, atau memang pengetahuannya hanya untuk si penyelanggara saja. Lah ini ya namanya sukses setengah hati kalau begitu. Sempat saya kemarin dengar dari teman bahwa “menyukseskan” agenda tersebut bisa berwujud dengan pendistribusian kekuasaan. Tetapi melihat partisipasi mahasiswa dalam organisasi ekstra yang ikut berkompetisi dalam PEMILWA juga tidak menjadi jaminan. Bisa-bisa hanya jadi ajang arisan kekuasaan dua organisasi ekstra yang berlaga. Calon independen saja—yang benar-benar hadir di luar kepentingan organisasi ekstra lho ya—tidak diberikan ruang yang memihak kepada mereka. Kalau seperti ini mending diundi aja wes. Tahun ini siapa yang berkuasa, besoknya yang lain, dan besoknya lagi yang belum dapat jatah. Seterusnya seperti itu. Biar merata. Tetapi saya mencoba untuk tidak bersikap pesimis. Optimisme harus tetap dikobarkan. Kita ini mahasiswa lho. Yang katanya tempat idealisme tetap tercengkeram erat dalam tekad. Ruang bagi ide kretaif masih bebas. Bukankah begitu kiranya kisanak? Maka dari itu saya mencoba membantu

- 26 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017

“menyukseskan” dengan memberikan beberapa argumen penting yang bisa jadi referensi. Tidak banyak-banyak. Nanti dikira sok tahu, sok pintar sendiri, sok optimis, dan masik banyak sok-sok yang lain. Sedikit saja. Salah satunya itu hadir dari Robert Dahl, ilmuan bidang politik yang lahir di Amerika. Partisipasi penuh dari masyarakat jadi salah satu bagian yang haram untuk dilewati. Kepenuhan ini bukan hanya terwakili oleh organisasi ekstra kampus barang satu apa dua saja. Tetapi menyeluruh kepada seluruh mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang masih aktif umurnya di kampus. Mungkin spanduk tadi mau mengarah ke sini. Tetapi ya ragu juga sih kalau melihat berapa mahasiswa yang antusias menyambut agenda ini dibandingkan dengan mereka yang acuh. Tetapi harus tetap optimis. Mahasiswa lho. Tentu penghadiran partisipasi penuh tidak akan menjadi masalah serius bagi kelancaran agenda tersebut jika edukasi soal perpolitikan kampus menjuru para mahasiswa yang acuh tadi. Serta diskursus yang menandakan sebuah kemajuan demokrasi bisa dihadirkan oleh organisasi ekstra yang sudah sadar politik benar-benar hadir. Kalau ini hanya persoalan kemauan, agak pesimis kiranya. Perihal kepentingan kelompoklah yang paling menonjol di sini. Ego yang secara gamblang mengatakan kepentingan mahasiswa ini seharusnya direvisi ulang. Soal maknanya pun harus didekonstruksi kembali. Agar membumi dan tertuju pada semua kepentingan yang nantinya akan terwakili. Begitu kiranya dari yang saya maksud sedikit tadi. Tidak banyak bukan? Cukup segitu. Lumayan lho kalau mau dipraktikkan. Bisa meminimalisir ungkapan tak sedap dari beberapa penjuru. Sudahlah, pusing rasanya kepala. Selebihnya saya kembalikan kepada penyelenggara. Ingat, harus optimis. Mahasiswa lho kita. Salam mahasiswa. Salam, salam, salamu'alaikum.[]


lpmarena.com- 27 -


I Dua gadis kecil tertawa hingar. Sesenggukan. Bola matanya tak lagi nampak, wajahnya penuh kegembiraan. Tawa itu mengkristal seperti keping-keping salju, memanggil hati seorang ibu untuk merengkuh anakanaknya. Memeluk segala rasa yang keluar dari tenggorokan mungil dua bidadarinya. “Jangan tertawa kencang-kencang, Cil! Nanti kamu bisa digigit ikan,” ibu menegur, sembari mengusap ubunubun dua putri kesayangannya secara bergantian. Mereka terus tertawa. Jemari mungilnya asyik mengacak-acak arus danau dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan, begitu terus berulang-ulang. Sementara angin musim hujan berhembus lembut, meriapkan rambutnnya ke belakang, juga meriapkan sekawanan ilalang liar untuk berdansa mengikuti daya gerak angin. Lesung bermesin itu membelah sekelompok bebek yang sedang mengembara di atas aliran danau yang sama. Ayah mengemudikan lesung dan mengganggu bebekbebek. Terdengar para bebek memprotes setiap orang yang ada dalam lesung. “Ayah, aku suka air yang berwarna ungu, baunya pasti harum seperti buah beri,” celoteh si kakak. “Satu warna, akan sangat membosankan, Ta. Tak mau kau, danau yang airnya warna-warni? Semua warna permen, akan ada di danau warna-warni.” Dua bocah itu tertawa lagi, membayangkan betapa indahnya sungai dengan air banyak warna. “Danau warna-warni indah, Ta! Besok kita gambar danau pelangi. Ikan-ikan pasti juga akan suka tinggal di air yang warnanya banyak. Sepanjang hari, ikan hidupnya cuma main. Mereka akan bermain petak umpet, mencari kawannya yang susah kelihatan dalam air warna-warni. Kalau setiap hari mereka bermain petak umpet, berarti mereka tidak lagi bekerja seperti ayah. Ikan bermain terus sepanjang hari. Mereka akan gembira,” si bungsu terus mencercau, seolah ia seorang Dewi yang sedang menulis manuskrip kehidupan di atas daun papirus. II Sudah lama aku tidak berbicara dengan orang lain. Maksudku, bicara yang sesungguhnya. Membicarakan apa saja sesuka hati. Membiarkan segala kata mengalir dan menjalin makna dengan sendirinya. Bukan bicara

- 28 -SLiLiT -SLiLiT ARENA DESEMBER NOVEMBER 2017

seperti apa yang selalu kulakukan sehari-hari, dengan semua staffku. Aku merasa sepi dalam ramai. Aku merasa dingin dalam jayaku. Sebuah jemu yang menjerat. Sebuah alur yang terus kuulang. Aku seperti manusia otommotic. Tiga tahun setengah belajar ilmu Perbankan, membuatku pintar meramu dan menghasilkan uang. Tubuhku sempurna tunduk pada pepatah Ekonom Klasik, dengan jargon waktu adalah uang. Aku membekukan waktu menjadi uang. Aku sudah lupa, kapan terakhir kalinya kunikmati waktu yang keluar dari detak jantung sendiri. Membiarkan seluruh tubuh berinteraksi secara sadar dengan rasa. Sesungguhnya aku butuh melamun, sebuah ruang yang menciptakan jeda. Dalam jeda, bisa bercakap apa saja dengan diriku, melukiskan kembali apa saja yang sudah lewat, mungkin dengan warna yang berbeda. Aku merindu kakak. Dia yang liar dan tak mau menurut ibu. Dia yang kuliahnya tak kunjung rampung. Dia yang pernah menceburkanku ke danau, karena aku tidak cepat bisa berenang. Dia yang memberitahu tempat persembunyian paling aman, ketika ayah dan ibu hendak mengajak kami ke Pura. Juga dia yang selalu kusuruhsuruh mendorong tubuhku di atas sepeda roda empat, berkeliling kebun blimbing. “Kapan kamu akan pulang, Ta?” III Pertengkaran itu masih saja membekas dalam hatinya. Berkali-kali ibunya memberiku pesan, agar mengantarkan ia ke Warujayeng, kota di mana ia menghabiskan masa kecilnya. “Tidak ada sesiapa lagi yang aku kunjungi di sana. Rumah itu sudah aku anggap kosong,” selalu kudapati jawaban itu saat kuajakinya pulang. Aku sangat mengenalnya. Sebenarnya aku juga tahu, tidak ada guna kutawari gadis itu pulang. Dia memang gadis yang keras kepala sejak kecil, bahkan dia pernah menceburkan adiknya ke danau belakang rumah, karena adiknya tidak cepat bisa berenang. Dia selalu tertawa keras, sambil mendorong adiknya di atas sepeda, berkeliling kebun blimbing Uti Mira. Aku biasa melihat kakak-adik itu berlarian di depan


jendela kamar, dan tawanya sungguh menggangguku yang sedang asik berimaji bersama teman-teman Ranger ku. Waktu kecil, aku sangat pemalu dan tidak suka berteman dengan orang nyata, aku sering menangis dan tidak pandai bersahabat. Tapi pelan-pelan kutepis semua itu. Cetta sering menggedor-gedor pintu rumahku, aku selalu bilang pada ibu, aku tidak mau dicari Cetta, tidak mau bermain dengan Cetta, bermain dengan anak perempuan tidak asik. Semua anak perempuan cerewet dan tidak bisa tenang. Ah, biar bagaimanapun pernah kusebali, namun dia berjasa dalam hidupku. Karenanya, aku jadi berani menghadapi kenyataan, membaur dengan manusia nyata. Dia adalah teman sekelasku sejak kecil hingga SMP. Sejak pertengkaran itu, dia kabur dari rumah, menyusul neneknya yang ada di Solo, meneruskan sekolah di sana. Dia sering berkirim surat kepadaku, menceritakan perasaannya yang terkungkung dalam bangku SMA. Saat ia disuruh patut dan rajin terhadap apa yang diperintahkan oleh guru dan tidak ada kesempatan untuk mempertanyakan itu semua. Ia merasa seperti celengan, yang pasif dan terus saja diisi koin demi koin. Sekarang dia satu kampus denganku. Dia mempunyai banyak teman, dan ada saja yang dikerjakannya. Kadang kulihat, dia orasi di depan gedung gubernur dengan kostum yang aneh-aneh. Kadang kulihat, dia orasi di depan gedung Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, meminta kenaikan upah bagi buruh. Hidupnya selalu aneh, mengapa tidak dia urusi dirinya sendiri saja? Sore ini, kami sedang duduk di warung kopi. Tadi sempat kubayangkan, kami berdua akan ngobrol indah tentang masa-masa sebelum ia pergi ke Solo. Akan ada banyak kebodohan yang kami tertawai bersama. Tetapi bayanganku menghambur dalam kenyataan. Ia justru asyik membaca buku-buku berat yang tidak penting untuk perkuliahannya. Filsafat, sastra, sosial, psikologi, dia menggilai itu semua, pengetahuannya, ketertarikannya, puja-pujanya. Semua mentasbihkan kata-kata dalam laku dan pikirannya. Kurasai dia sudah semakin jauh dariku. Meski, diam-diam aku merasa seperti hidup dalam bayangnya, walau aku berusaha melepaskan diri dari penampakannya.

Semenjak pertengkaran itu, dia tak pernah mau pulang. IV Namaku Cetta. Banyak orang mendaftar jadi musuhku. Tidak tahu karena apa. Tapi aku juga punya banyak teman yang memberi warna pada hidupku yang pernah gelap. Orang bilang, aku keras kepala, dan aku akui, memang begitu. Aku sedang duduk termenung di pinggir danau. Dulu, danau ini begitu akrab, ada tawa dan kehidupan di dalamnya. Aku tahu, tidak ada sesuatu yang abadi dalam hidup ini kecuali sunyi. Segalanya akan menempuh perjalanan menuju kebinasaan dengan kendaraan, cerita, dan warnanya masing-masing. Lalu, kebinasaan itu haruslah mencari jalan kebangkitannya untuk menulis cerita kehidupan yang baru. Kebinasaan yang berwarna-warni mungkin menakjubkan. Meski kurasai luka pada setiap kebinasaan. Tujuh tahun yang lalu, ayah pamit ke Eropa, entah dengan alasan apa. Aku sangat marah, ibu hanya diam dan pasrah. Dulu kukenali ibu sebagai perempuan yang penuh kehidupan, tiba-tiba ia menjadi sayu dan tak berdaya. Aku mengomel-mengomel dengan udara, lalu kuputuskan untuk tinggal di rumah nenek. Kubasuh mukaku dengan air danau. Dingin menjalari kulit wajah. Aku menghitung, sudah berapa kali Hari Raya tidak pulang? Bertahun-tahun kurayakan Galungan dengan nenek dan bibi. “Ta, kamu pulang juga akhirnya,� suara itu kembali mengakrabi telingaku. Angin yang membawa lembap, meriapkan rambutku ke belakang. “Ibu memasakkan bebek. Terbayang kau, pada sekawanan bebek yang pernah kita usik dengan lesung, pada sebuah pagi yang menghembuskan angin musim hujan?�[]

Afin Nur Fariha, Mahasiswa biasa-biasa saja yang senang melintasi waktu

lpmarena.com- 29 -


SEBUAH SUARA DI RIMBA DEMOKRASI Suaraku parau menggema di tengah kerumunan suara yang berteriak tentang rakyat. Suaraku lenyap tertelan nada-nada sumbang, tidak tahu aturan main irama berimbang. Kerumunan suara beriak, meradang menerjang segala hal yang tidak sepandang merayapi bangunan megah demokrasi yang kini tampak usang. Inilah rimba demokrasi masa kini. Mayoritas akan abadi dan minoritas akan mati. Kebenaran, keadilan tak lebih sebuah ilusi. Mahasiswa dibuli mimpi-mimpi, tanpa ada kontribusi. Suaraku lenyap mendesah dalam gelap menanyakan hakikat demokrasi dan rakyat. Nafas kata-kata yang lahir dari salak memengap di tengah kerumunan yang tak habis-habisnya merayap. Yogyakarta, 12 Oktober 2017

SI KURSI MERAH Betapa banyak manusia buta karenamu dan lupa hakikat cinta. Beribu tangan tengadah, memujimu sampai kita lupa jati diri seorang manusia. Kusebut kau tempat penuh pesona dan wibawa tak jarang, pendusta menyinggahi singgasana. Kau si kursi merah, permata dunia Nyala kemilau, dunia dalam genggamnya. Di bawah kakimu, berjuta suara anarki menyalak mengusungmu sampai batas cakrawala bagai gelombang yang menyisihkan buih ke pinggir pantai, tempat ditanam luka dan air mata. Kusebut kau si kursi merah Nyalamu membakar segala Menyapu habis dengan derita Membenamkan luka pada rakyat jelata

Yogyakarta, 12 November 2017

RAKYAT Sepanjang jalan kampus aku mendengar teriakan tentang rakyat. Dalam ruang kampus gemar kusimak diskusi tentang rakyat. Ternyata rakyat menjadi buah bibir yang teramat manis dan segar hingga gemar untuk dipolitisi. Rakyat menjadi gincu pemikat di bibir para penguasa yang amis, pandai mengilusikan dan memalsukan sebuah arti. Yogyakarta, 12 November 2017 RHD Akronim Rahmat Hidayat, seorang tukang puisi di Yogyakarta.

- 30 -SLiLiT ARENA DESEMBER 2017


Kontak: 0822 1780 3244 // Desa Soditan RT 06 No. 101 Kec. Lasem Kab. Rembang - Jawa Tengah // FB: Kopi Mlete // IG: @kopimlete

adalah istilah yang kami gunakan dalam menyusun materi pembelajaran. Di Lovable kami akan memulai mengajari kalian dengan menghafal vocabulary. kami memberikan vocabulary agar nanti ketika kalian belajar grammar kalian akan mampu menerjemahkan setiap contoh-contoh yang kami berikan. Pronunciation, pun kami ajarkan sebagai bekal kalian untuk mengucapkan vocabulary dengan baik dan benar. Jadi, bagi kalian yang belum pernah belajar bahasa Inggris atau sering tidak masuk kelas bahasa Inggris. kalian dapat mengucapkan vocabulary dengan baik dan benar. Grammar yang kami akan ajarkan ke kalian adalah cara singkat dan cepat untuk bisa memahami grammar. Disini kalian tidak perlu menghafal istilah -istilah grammar dan rumus-rumus grammar yang rumit. kami akan menunjukkan cara yang sangat mudah dalam belajar grammar. Speaking, adalah puncak atau target yang kita akan capai.

PROGRAM 2 MINGGU // Belajar 4 kali sehari (Senin-Sabtu) // Materi: Vocabulary, Grammar, Speak English, Listening // Fasilitas: Kaos, Tempat Tinggal, Serti ikat, Modul // Biaya: 470K. PROGRAM 1 BULAN // Belajar 4 kali sehari (Senin-Sabtu) // Materi: Vocabulary, Grammar, Speak English, Listening // Fasilitas: Kaos, Tempat Tinggal, Serti ikat, Modul // Biaya: 650K. PROGRAM TRAVELLING // Belajar 2 Minggu + Bromo // Biaya: 670K. PROGRAM TRAVELLING // Belajar 1 Bulan + Bromo // Biaya: 870K.

Website: www.kampunginggrisq.com // Narahubung: 0856 4685 2822 // Alamat: Jl. Glagah No. 38 Tulungrejo Pare Kediri - Jawa Timur


IKLAN LAYANAN MASYARAKAT INI DIPERSEMBAHKAN OLEH LEMBAGA PERS MAHASISWA ARENA


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.