Info KM - Komunitas Pengelola Hutan dan REDD+

Page 1

Informasi ringkas seputar Kehutanan Masyarakat ini diterbitkan oleh FKKM.

SERI 004, MEI 2012 | www.fkkehutananmasyarakat.wordpress.com

Komunitas Pengelola Hutan dan Persiapan REDD+ PENGANTAR Pada tahun 2007, berbagai pihak dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) telah menyepakati Bali Roadmap, yang mendorong para pelaku dari berbagai negara maju dan berkembang untuk segera melakukan mitigasi emisi karbon dari sektor kehutanan sebagai salah satu upaya menghadapi perubahan iklim. Para pembuat kebijakan, investor, sektor swasta, organisasi donor, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) merespon inisiatif ini dengan memelopori berbagai kegiatan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta mendorong adanya konservasi, pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di sejumlah negara berkembang, yang lebih dikenal dengan sebutan “REDD+”. Saat ini REDD+ telah menjadi bagian penting perbincangan dalam proses kebijakan perubahan iklim global dan nasional. Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pelepas karbon, dengan lebih dari 80 persen emisi nasional berasal dari perubahan tata guna lahan – terutama deforestasi. Ini membuat kebijakan dan implementasi REDD+ di Indonesia tidak hanya penting secara nasional, tetapi juga global. Gagasan dasar REDD+ ialah agar negara berkembang dan kaya hutan memperoleh imbalan karena melestarikan hutan mereka. Ini melibatkan penetapan nilai karbon hutan yang akan memungkinkan konservasi hutan bersaing secara finansial dengan pemicu utama deforestasi, antara lain konversi pertanian, penebangan hutan, dan pembangunan prasarana. Selain untuk penyimpanan karbon, REDD+ juga dapat memberikan manfaat tambahan yang penting, misalnya pelestarian keanekaragaman hayati, pengurangan kemiskinan dan perbaikan tata kelola hutan. Kendati prinsip REDD+ terlihat lugas, penentuan bagaimana praktek implementasinya ternyata jauh lebih rumit. Dalam konteks Indonesia, sejumlah persoalan masih menghadang, diantaranya hak atas lahan dan adat, mekanisme pendanaan, korupsi dan tingkat acuan emisi, sekarang menjadi topik yang dibicarakan baik di kalangan pemerintah (pusat maupun daerah), juga sektor swasta, hingga pemangku kepentingan masyarakat. Dalam rezim hukum kehutanan di Indonesia, akses masyarat belum diakomodasi secara utuh seba­gaimana diusulkan oleh banyak komunitas yang hidupnya tergantung pada hutan. Skema yang disediakan bagi masyarakat tercakup dalam beberapa bentuk perizinan, antara lain HKm, Hutan Desa dan HTR. Dalam Rencana strategis 2010­2014, Kementerian Kehutanan akan mengalokasikan areal kehutanan masyarakat (KM) dengan ketiga skema ini seluas 7,9 juta ha dan sudah mencadangkan arealnya lebih dari 921.156 juta ha. Kebijakan ini dipandang sebagai salah satu upaya untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan melibatkan masyarakat. Kebijakan ini adalah bentuk pengakuan negara terhadap pengelolaan hutan oleh rakyat yang selama ini terabaikan, namun mampu menjaga kelestarian alam dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Bagi masyarakat, hutan tak hanya memiliki makna ekologis, tetapi juga sosial, budaya dan ekonomi. Info KM seri ke­4 ini mengulas tentang kesiapan, peraturan­kebijakan Kehutanan Masyarakat dalam upaya pencegahan (mitigasi) dan upaya adaptasi terhadap perubahan iklim, khususnya yang sejalan dengan skema REDD+ (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan penambahan cadangan karbon hutan di negara berkembang) serta tantangan dalam pelaksanaannya.

A. PERUBAHAN IKLIM, REDD+ dan KEHUTANAN MASYARAKAT Penyebab utama perubahan iklim dan pema­nasan global adalah aktivitas manusia dari kegiatan industri dan deforestasi serta perubahan penggunaan lahan. Ada dua cara untuk menghadapi perubahan iklim yaitu pencegahan (mitigasi) dan penyesuaian (adaptasi). Mitigasi perubahan iklim merupakan cara

dan aksi yang dilakukan untuk mengurangi gas rumah kaca, menurunkan tingkat konsentrasi gas itu di udara atau lapisan atmosfir bumi. Cara yang dilakukan dapat melalui pengurangan sumber masalahnya atau meningkatkan penyerapan karbon untuk menurunkan 2o Celsius perubahan suhu dunia. Sedangkan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah aksi yang dilakukan untuk meminimalisir dampak dari perubahan iklim.


2

info KM Salah satu cara untuk mengurangi dan and Land use change) atau di kenal dengan menyerap emisi sekaligus sebagai upaya istilah REDD++. Namun REDD++ belum mitigasi dan adaptasi adalah menghindari mendapat kesepakatan. Dengan demikian kegiatan­kegiatan perambahan, penebangan REDD+ lah yang masih disepakati oleh berbagai dan pembakaran yang merusak hutan. Diperkira­ pihak6 dan istilah itu pula yang digunakan dalam kan dari sekitar 15% permukaan bumi dipenuhi Info Brief KM ini. oleh hutan, dan dari jumlah itu berisi sekitar 25% Kaitan dan peranan KM terhadap karbon1. Perusakan hutan dan perubahan perubahan iklim dengan skema REDD+ sangat penggunaan lahan menyebabkan lepasnya besar. Dukungan masyarakat dan bentuk serta (emisi) karbon ke atmosfir. Lembaga Intergo­ pola KM menjadi salah satu kebijakan kehutanan vernmental Panel on Climate Change (IPCC, penting di negara­negara hutan tropis dan turut kelompok panel antar­ dalam mitigasi perubahan iklim. Di pemerintahan untuk perubahan Indonesia, berdasarkan kajian Kaitan dan iklim) memperkirakan emisi antara Badan Pusat peranan KM terhadap bersama karbon yang bersumber dari Statistik dan Kementerian deforestasi di kawasan tropis perubahan iklim dengan Kehutanan tahun 2007, pada tahun 1990­an sekitar 1,6 sensus ekonomi dan skema REDD+ sangat berdasarkan juta ton setiap hari, atau sama data potensi desa didapatkan dengan 20% emisi karbon bahwa 52,5% desa berada di besar. Dukungan global2. Upaya mitigasi kawasan hutan. Dalam masyarakat dan bentuk dalam perubahan iklim di sektor konteks ini, peran masyarakat kehutanan dianggap cara yang serta pola KM menjadi menjadi sangat penting dalam manjur menurunkan emisi. kehutanan demikian pula salah satu kebijakan konteks Argumentasi tersebut diperkuat dalam konteks karbon hutan atau oleh Pacala dan Socolow, dua kehutanan penting di perubaan iklim. Sebagaimana pakar Universitas Princeton, dan pilar yang diamanatkan negara­negara hutan empat Prof. Nicholas Stern bahwa dari dalam Bali Action Plan (2007) 15 cara untuk mengurangi emisi tropis dan turut dalam terkait kehutanan yaitu butir 1.b.iii gas rumah kaca, yang paling terdiri dari REDD, mitigasi perubahan yang utama dan efektif adalah Konservasi, Penambahan Stok menurunkan laju deforestasi Karbon Hutan dan Pengelolaan iklim. dan melakukan penghijauan Hutan Lestari. atau reforestasi 300 juta ha tanaman hutan Dari mekanisme perdagangan karbon baru3. Kajian Stern telah mempengaruhi yang diatur dalam REDD+, negara maju pemangku kepentingan dan menjadi isu yang mungkin akan mengeluarkan dana miliaran luas yang dibicarakan dalam upaya mitigasi dollar. Sebagian dari dana itu seharusnya dapat perubahan iklim saat ini dengan skema REDD+4. meningkatkan ekonomi masyarakat hutan, mengurangi kemiskinan, dan pengembangan Konsep dasar REDD+ pada awalnya masyarakat karena adanya keterbatasan akses sederhana, yaitu negara, pemerintah, akibat skema REDD+7. REDD+ juga harus bisa perusahaan, proyek atau pemilik hutan di negara menghasilkan keuntungan tambahan bagi jasa Selatan/berkembang harus diberi insentif atau lingkungan, ketersediaan air bersih dan imbalan (reward) atas upaya dan kegiatan perlindungan budaya serta keanekaragaman penyelamatan hutan yang dilakukannya oleh hayati. negara­negara Utara/maju. Emisi yang dikredit­ kan kemudian disertifikat dan dijual di pasar B. KEBIJAKAN REDD+ dan KEHUTANAN internasional. Ada dua mekanisme penghitungan MASYARAKAT kredit emisi (karbon), (1) dengan menggunakan Dalam Konferensi antar Pihak ke­16 patokan sejarah (gross­net) yaitu memperhitung­ (COP 16) di Cancun, Meksiko, tahun 2011 kan selisih emisi dengan melihat sejarah kesepakatan REDD+ lebih menekankan adanya deforestasi, dan (2) dengan mekanisme net­net pengakuan hak­hak masyarakat adat dan tidak memperhitung­kan sejarah yang penting keterlibatannya dalam setiap proses. Di karbon bisa meningkat5. Namun, Indonesia Indonesia, kebijakan transfer REDD+ telah belum menetapkan pilihan dari kedua model dilakukan dalam berbagai kebijakan dan tersebut. pengaturan institusi. Walau pada satu sisi, ada Saat ini berbagai pakar dan pihak persoalan besar tentang transfer kebijakan mendorong agar skema REDD+ bisa mencakup internasional karena terkait dengan sistem politik pertanian, hutan dan penggunaan lahan, dan pemerintahan, ideologi, dan buruknya tata serta perubahan penggunaan lahan yang kelola hutan. disebut AFOLU (Agricultural, Forestry, Land use Kementerian Kehutanan telah


info KM

Program Kehutanan Masyarakat (KM) telah mendukung implementasi REDD+ yang mendorong peningkatan ekonomi masyarakat.

menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P.30/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan (REDD). Kebijakan ini menjelaskan REDD sebagai semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau penurunan pengurangan jumlah tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Kementerian Kehutanan juga menerbit­ kan Permenhut No. P.36/2009 tentang Tata Cara Perizin­an Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung, dimana usaha ini merupakan salah satu jenis usaha pemanfaatan jasa lingkungan. Baru­baru ini Kementerian Kehutanan mengeluarkan Permenhut P.20/Menhut­II/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan. Peraturan ini berisi prinsip dasar, kriteria kegiat­ an dan tatacara permohonan penyelenggaraan karbon hutan dalam bentuk kegiatan percontoh­ an (demonstration activities) dan pelaksanaan kegiatan karbon hutan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa izin penyelenggaraan karbon hutan terintegrasi dengan izin yang melekat pada pemanfaatan hutan/hasil.

Foto: Hasantoha Adnan

Pelaku REDD+ dapat berasal dari komunitas pengelola hutan, yaitu pemegang IUPHH­HKm, pemegang IUPHHK­HTR, pengelola Hutan Adat, pemilik atau pengelola Hutan Hak, dan pengelola Hutan Desa. Kepastian kepemilikan lahan hutan atau tenurial menjadi penting dalam hal ini. Tenurial HKm dipastikan dengan IUPHH­ HKm, skema HTR dengan IUPHHK­HTR, pe­ ngelola Hutan Desa dengan Hak Pengelolaan Hutan Desa, pemilik atau pengelola Hutan Hak dengan bukti kepemilikan yang ada (sertifikat hak, dan sebagainya). Akan tetapi pengelola Hutan Adat belum memiliki kepastian tenurial, sistem politik pemerintah yang menempatkan Hutan Adat adalah hutan negara belum disepakati para pihak. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah komunitas­komunitas yang mengelola di hutan konservasi dan konsesi. Ketidakpastian tenurial kedua skema ini dan belum ada kebijak­ an tentang Kemitraan menjadikan mereka belum menjadi pelaku potensial dalam REDD+. Keterli­ batan komunitas­komunitas ini akan sangat tergantung pada distribusi ulang penguasaan hutan yang saat ini lebih banyak di bawah kontrol para pemegang konsesi hutan alam, hutan tanaman, hutan restorasi ekosistem dan

3


4

info KM Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumber daya Alam atau Taman Nasional.

pengurangan emisi dari tiap kabupaten/provinsi untuk menunjang pengurangan emisi nasional. Pemerintah bisa sekaligus melakukan PDD, MRV dan berkewajiban melakukan sertifikasi pada hutan­hutan yang dikelola komunitas ini menjadi bagian dari pengurangan emisi per kabupaten atau provinsi.

C. KESIAPAN KOMUNITAS PENGELOLA HUTAN dan PENDANAAN BERBASIS PASAR Setidaknya terdapat 3 skema dalam perdagangan karbon: mandatory, voluntary, dan pasar domestik karbon sukarela (PDKS). Perdagangan karbon mandatory adalah Penyiapan Dokumen PDD dan MRV. Salah perdagangan karbon yang didorong dan dikelola satu syarat jika komunitas pengelola hutan mau oleh badan dan instansi ikut skema REDD+, maka harus pemerintah yang ditunjuk, dari dokumen Kelompok­kelompok pengelola mempersiapkan pusat hingga daerah. rancangan proyek atau PDD. KM tidak akan mampu Sedangkan perdagangan Dokumen ini ada dua, yaitu karbon secara voluntary atau Karbon Sukarela membayar biaya tersebut Standar sukarela mewajibkan (Voluntary Carbon Standard tanpa ada hibah dan pembuatan dokumen Standar atau VCS) dan Standar Desain Desain Proyek Iklim, Proyek Iklim, Masyarakat dan dukungan donor jika Masyarakat dan Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman Hayati (The mengikuti skema perdagangan (CCBS). Keduanya harus Climate, Community and voluntary. Sebaliknya bila dilakukan karena mengingat Biodiversity Project Design skema perdagangan karbon menggunakan peluang Standards atau CCBS). saat ini yang masih ada adalah mandatory, akan sangat skema sukarela (voluntary). Dokumen ini harus menjelaskan aspek masyarakat di dalam dan mempengaruhi pembagian Disamping itu, harus ada sekitar proyek termasuk dokumen MRV, atau keuntungan karena informasi dasar sosial ekonomi Measureable, Reportable and dengan menggunakan metode Verifiable, yang menghitung tergantung dari tingkat yang tepat, seperti livelihood karbon, dilaporkan, dapat prestasi dan keberhasilan kredit framework (kerangka kerja dinilai dan diverifikasi oleh pihak kerja. sumber pendapatan). Kepastian manapun. kepemilikan lahan atau tenurial Untuk penyiapan ketiga menjadi syarat dalam dokumen CCBS ini. dokumen di atas memerlukan biaya yang tidak Merujuk pada skema REDD+, ada sedikit. Sementara ini, banyak ahli dan konsultan beberapa hal yang dapat dijadikan acuan untuk yang dilibatkan berasal dari luar negeri dengan melihat bagaimana kesiapan KM, yaitu: luasan, biaya yang sangat mahal disamping peralatan penyiapan dokumen PDD dan MRV, sertifikasi canggih dan data citra satelit (satelite image) dan kredit karbon dioksida (CO2), kelembagaan sebagai alat pemantauan, pelaporan dan dan sumber daya, penambahan (additionality), pengecekan (MRV). Kelompok­kelompok kebocoran (leakage), pasar (market), distribusi pengelola KM tidak akan mampu membayar manfaat/keuntungan (benefit distribution), dan biaya tersebut tanpa ada hibah dan dukungan monitoring dan evaluasi kegiatan REDD. donor jika mengikuti skema perdagangan voluntary. Sebaliknya bila menggunakan peluang Luasan dan Sebaran. Jika kita melihat luasan mandatory, akan sangat mempengaruhi hutan yang dikelola komunitas relatif kecil­kecil pembagian keuntungan karena tergantung dari dan terpencar. Luasan ini berkaitan dengan tingkat prestasi dan keberhasilan kerja. besaran pembiayaan dalam proses penyiapan dokumen rancangan proyek (Project Design Kelembagaan dan Sumber Daya. Kelembaga­ Document atau PDD), dokumen pemantauan, an dalam hal ini adalah organisasi dan aturan pelaporan dan pemeriksaan/pengecekan main pada komunitas pengelola hutan. Salah (Monitoring, Reporting and Verification atau satu tantangan yang harus dihadapi adalah MRV), dan sertifikasi. Jika skema yang akan persoalan kelembagaan. Hal ini menyangkut diikuti adalah voluntary, maka biayanya cukup bagaimana komunitas membuat aturan main, besar. Ada peluang jika hutan­hutan yang mengorganisasikan diri mereka, dan melakukan dikelola komunitas tersebut diorganisir dan manajemen organisasi dan keuangan. Di sisi lain dikelola dengan satu pintu sehingga prosesnya sumber daya manusia dan teknologi bagi bisa sekaligus dan biayanya akan lebih ringan. komunitas pengelola hutan juga masih rendah. Sedangkan jika mengikuti kegiatan mandatory, Jika pengelola hutan komunitas akan terlibat maka kontribusi pengurangan emisi yang kecil­ dalam skema REDD+ maka harus menguasi kecil tersebut bisa dimasukkan ke dalam teknologi modern berbasis internet dan bahasa


info KM Tabel Komposisi Distribusi Keuntungan Kegiatan REDD di Indonesia

Sumber : Lampiran III. Permenhut No. P. 36 /Menhut­II/2009, tanggal 22 Mei 2009.

Inggris. Hal ini akan sulit karena akses internet sangat lemah di daerah­daerah sehingga komunitas akan terus menyewa atau membayar ahli yang berbasis internet dan translator. Belum lagi harus membeli data image per series sebagai alat untuk MRV. Additionality. Additionality adalah suatu konsep tentang nilai perubahan emisi yang terjadi dengan adanya proyek CDM atau REDD+ dibandingkan dengan baseline (tanpa adanya proyek CDM atau REDD+). Additionality ini terjadi apabila terdapat perbedaan positif antara emisi yang terdapat pada skenario baseline dengan emisi yang terjadi di dalam proyek yang diusulkan. Additionality ini harus dibuktikan oleh semua pihak dalam Project Design Document (PDD). Untuk hal ini hutan komunitas pasti memiliki prospek yang tinggi dalam peningkatan penyerapan maupun peyimpanan karbon. Namun persoalannya adalah dalam biaya pembuktian additonality melalui PDD. Disamping itu, pembayaran akan hak additionality karbon dilakukan di akhir. Komunitas biasanya tidak akan dapat berinvestasi hingga 25­30 tahun. Karena itu, sebaiknya pembayaran additionality bisa dilakukan bertahap dengan adanya penilaian tim independen. Leakages. Leakages adalah kebocoran­ kebocoran emisi yang diakibatkan oleh anggota komunitas pengelola hutan. Pembayaran kredit karbon akan dila­kukan oleh investor dalam jangka waktu lama dan di akhir periode, berkisar 30 tahun. Akan sulit menjamin persoalan kebocoran ini karena petani baik itu di dalam dan sekitar hutan masih bergantung dan berbasis pada ketersediaan hutan dan lahan. Sementara keuntungan dari kegiatan REDD pada hutan komunitas belum didapatkan.

Market/Pasar. REDD+ adalah mekanisme berbasis pasar. Pasar REDD+ adalah intangible dan berbasis teknologi tinggi seperti internet. Dalam kondisi keterbatasan akses internet, rendahnya sumber daya manusia pada komunitas pengelola hutan dan persoalan bahasa pasar REDD+ yang menggunakan bahasa Inggris, jelas komunitas akan berat untuk mampu menguasai pasar. Jika pasar tidak bisa maka akan memperlemah posisi tawar mereka dan berujung pada rendahnya harga dan keuntungan karbon yang akan didapat. Sebalik­ nya, yang akan memperoleh untung adalah investor dan para makelar atau broker karbon yang menjadi perantara antara pembeli dan penjual. Distribusi Keuntungan. Pada Permenhut P.36/2009, telah dibuat komposisi distribusi manfaat dari kegiatan REDD dimana tertera bahwa keuntungan yang didapat masyarakat jauh lebih tinggi daripada pemerintah dan perusahaan pada areal KM. Namun perlu ditelusuri lebih jauh keadilan atas upaya yang dilakukan masing­masing pihak untuk mengecek angka­angka tersebut. Misal, dengan mengacu pada hak atas karbon dengan hitungan per unitnya mulai dari proses penanaman, pemeliharaan, hak tanah dll. Monitoring dan Evaluasi. Kegiatan monitoring dan evaluasi serta MRV dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif, secara bersama oleh pendamping dan kelompok. Sebelum melakukan perhitungan karbon dan monitoring MRV, perlu pelatihan bagi kelompok masyarakat. Model pelatihan penghitungan karbon sudah dua kali dilakukan oleh FKKM, yaitu di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur dan di HKm Rigis Jaya II Lampung. Model perhitungan karbon, evaluasi dan monitoring bersama ini

5


6

info KM

Alur Penurunan Emisi Melalui Perdagangan Domestik Karbon Sukarela

PEMERINTAH

Paket Kebijakan: ­ Alih teknologi ramah lingkungan ­ Membeli CER di PDKS

PDKS Rp

Insentif: 1. Pelayanan 2. (­) Pajak 3. Investasi

Rp

Sertifikat Pengurangan Emisi (CER)

Kewajiban: Menghitung Emisi dengan jejak karbon

Aktivitas Industri

Penyerapan Karbon Emisi Industri

akan jauh lebih efektif dan efisien dibanding menggunakan konsultan. Walau ada peluang kebijakan bagi komunitas pengelola hutan sebagai pelaku REDD+, namun jika dilihat dari aspek kesiapan­ nya sangat kecil, terutama jika mengikuti perdagangan karbon sukarela. Yang paling memungkinkan adalah mengikuti skema mandatory dan tidak berbasis pasar. Alasannya, pertama biaya yang dikeluarkan untuk penyiapan hal­hal tersebut di atas tidak akan mampu ditutupi dengan hasil penjualan karbon. Kedua, prosesnya rumit, panjang dan secara keuangan tidak dapat dijangkau (affordable) masyarakat. Harus ada pembedaan dan peremajaan khusus bagi pelaksanaan REDD+ pada hutan­hutan yang dikelola komunitas. Terakhir, ketidakmam­ puan menguasai pasar, rendahnya sumber daya manusia dan teknologi. D. PERDAGANGAN DOMESTIK KARBON SUKARELA (PDKS) dan KOMUNITAS PENGELOLA HUTAN Peluang dan kesiapan komunitas pengelola hutan dalam perdagangan karbon sukarela (skema saat ini) masih kecil. Namun, terdapat kemungkinan skema ketiga, yaitu Perdagangan Domestik Karbon Sukarela (PDKS) yang diusulkan juga melibatkan

Hutan yang dikelola Masyarakat

komunitas pengelola hutan. PDKS saat ini didorong oleh berbagai pihak agar skema perdagangan karbon melibatkan hutan­hutan yang dikelola oleh masyarakat, seperti hutan rakyat. Saat ini, beberapa skema mengusulkan agar PDKS dirancang untuk memberi kesempatan bagi rakyat dalam mendapatkan manfaat dari hutan yang dikelolanya. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan menunjang komitmen penurunan emisi secara nasional. Namun, skema ini pun sangat sulit dijangkau oleh komunitas. Bahkan informasi teknis mengenai REDD+ pun masih sulit dijangkau dan prosedur untuk mendapatkan hak atas suatu kawasan masih berbelit­belit. Kendati demikian, setidaknya terdapat dua skenario dalam menjalankan PDKS ini: Pertama, pemerintah harus membuat kebijakan dan mekanisme perdagangan karbon di dalam negeri yang mengharuskan perusahaan membeli hak dan sertifikasi emisi ke pengelola hutan karena perusahaan mengeluarkan emisi atau eksternalitas negatif. Skema ini tentunya menjadi peluang bagi komunitas pengelola hutan karena perusahaan­perusahaan kecil dan menengah akan membeli sertifikat karbon yang telah disiapkan oleh komunitas. Namun harus ada intervensi dan kebijakan pemerintah dalam fasilitasi proses­proses menuju sertifikasi karbon


info KM Masyarakat di HKm Rigis Jaya II, Provinsi Lampung melakukan praktek penghitungan karbon yang difasilitasi oleh FKKM. Sebelum melakukan perhitungan karbon dan monitoring MRV, pelatihan perlu dilakukan untuk mendukung kesiapan kelompok masyarakat di area kerja HKm dalam perdagangan karbon sukarela.

Foto: Andri Santosa

layaknya seperti sertifikasi kayu pada hutan rakyat yang saat ini diimplementasikan. Disam­ ping itu, kebijakan nasional perlu memastikan permanennya emisi dan mencegah kebocoran (leakage) yang potensial dilakukan oleh para pelaku yang mendorong deforestasi (drivers of deforestation) Kedua, Pemerintah juga bisa membuat kebijakan dan menangani langsung skema pajak emisi. Pemerintah bisa memberlakukan pajak emisi ke perusahaan karena mereka menge­ luarkan green house gas (GHG) atau gas efek rumah kaca sebagai eksternalitas negatif. Pajak emisi yang dibebankan ke perusahaan kemudian digunakan untuk membayar hak atas karbon pada hutan­hutan komunitas yang telah mendapat sertifikasi. E. MEMPERSIAPKAN KOMUNITAS PENGELOLA HUTAN dalam REDD+ REDD+ masih dianggap sebagai bisnis tanpa wujud atau intangible, sulit dijalankan dan prosedurnya sangat kompleks. Di samping itu, REDD+ adalah isu yang bermuatan politik dan cenderung mengandung gangguan dan kekacauan. Untuk itu pegiat Kehutanan Masyarakat (KM) harus fokus pada kegiatan inti untuk mencapai visi KM dan distribusi serta akses pengelolaan hutan yang berkeadilan. Kegiatan utama harus difokuskan pada lima titik kegiatan KM ditambah dengan kelembagaan. Jika pengelolaan hutan berkelanjutan tercapai dengan program KM dan bisnis karbon juga ada

titik terang, maka itu dianggap sebagai bonus atau co­benefit. Dalam proses pengembangannya, KM atau hutan komunitas sebenarnya sudah melak­ sanakan prasyarat REDD+ tersebut. Jika sudah ada kejelasan mekanisme dan skema perda­ gangan karbon tinggal menyesuaikan di mana proses pelibatan masyarakat dari perencanaan, persiapan hingga MRV dilakukan. Oleh karena itu hal­hal yang seharusnya dilakukan oleh pegiat KM dan komunitas terhadap kesiapan REDD+ adalah: 1. Mengetahui proses dan biaya melalui studi kelayakan. Menghitung dan menilai biaya investasi dan keuntungan yang didapat. 2. Mempersiapkan komunitas dalam menguasai pasar karbon. Kondisi saat ini jelas komunitas belum siap. Jika pasar tidak bisa dikuasai, maka mekanisme pasar tidak menguntungkan bagi pihak yang lemah. 3. Memastikan validasi yang berjangka 5 tahun untuk mendapatkan pembayaran kredit karbon di akhir proyek dan memastikan tidak adanya kebocoran (leakage). 4. Khusus hutan­hutan komunitas skema pembiayaan karbon yang paling memungkinkan adalah berbasis bantuan

7


8

info KM pendanaan (fund based), bukan mekanisme pasar. Menciptakan PDKS dan mekanisme pajak emisi. 5. Para pengembang REDD+ dan pegiat KM harus memberikan informasi yang luas kepada masyarakat dan pemerintah tentang REDD+ dan Kehutanan Masyarakat.

*** Catatan Kaki

carbon financing for pro­poor community forestry, (2007).

Daftar Bacaan Andri Santosa dan Mangarah Silalahi, (2011). Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD. FKKM, Bogor. Arild Angelsen dan Stibniati Atmaja edt., (2010). Melangkah Maju dengan REDD: Isu, Pilihan dan Implikasi. CIFOR, Bogor.

1. http://ftp.fao.org/docrep/fao/meeting/011/j9242e.pdf 2. www.REDD+­monitor.org, and www.REDD+.or.id 3. http://cmi.princeton.edu/wedges/

Nur Masripatin, (2010), “Hutan Indonesia: Penyerap atau Penyumbang Emisi Dunia?”, Prisma No. 2, Vol. 29, April 2010. LP3ES, Jakarta.

4. Isu REDD secara resmi muncul pada COP (Convention of Party) 11 di Montreal, Kanada, tahun 2005, yang dikenal dengan RED (Reduction Emission from Deforestation). Papua New Guinea dan Costa Rica yang didukung oleh 8 negara yang tergabung dalam Coalition for Rainforest Nation (CfRN) mengajukan mekanisme insentif dari pencegahan deforestasi. Dengan adanya masukan dan kontribusi dari berbagai pihak, kemudian RED berkembang menjadi REDD, dimana ditambahkan degradasi hutan dan disepakati pada COP 13 di Bali. Konsep REDD dinilai belum sempurna dan prosesnya tidak partisipatif dan pro poor (mengabaikan keberadaan masyarakat). Maka pada COP 15 di Copenhagen, Denmark, para pihak sepakat untuk skema REDD+ yang ditambah dengan memperhitungkan peranan konservasi, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan penyimpanan dan penyerapan karbon. Kemudian pada COP 16 di Cancun, Meksiko, kesepakatan REDD+ lebih menekankan adanya pengakuan hak­hak masyarakat adat dan keterlibatannya dalam setiap proses. 5. www.cifor.org 6. www.unfccc.int/meetings/cop_13/items/4049.php 7. T Griffiths, Seeing ‘REDD’ Forests, climate change mitigation and the rights of indigenous peoples and local communities (2008). C Luttrell, K Schreckenberg and L Peskett, The implications of

Info KM ini merupakan bagian dari upaya FKKM dalam mendorong Kehutanan Masyarakat untuk mewujudkan sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh rakyat melalui organisasi masyarakat yang berlandaskan pada prinsip keadilan, transparansi, pertanggung­jawaban, dan keberlanjutan pada aspek ekologi, ekonomi dan sosial­budaya. Untuk mencapai misi ini, FKKM mendukung proses­proses pengembangan kelembagaan kehutanan masyarakat melalui penyebaran informasi, pengembangan konsep, penguatan kapasitas (capacity building), dan perumusan kebijakan kehutanan. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat

Alamat : Gedung Kusnoto, LIPI, lantai 1. Jln. H Juanda No. 16, Bogor 16002. Telp/faks : 021­8310396. Email : seknas­fkkm@indo.net.id


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.