Edisi 5 Desember 2010 | Balipost.com

Page 15

15

Minggu Paing, 5 Desember 2010 MARI BERCERITA tentang hal yang tidak lumrah. Siapa tahu, kita akan mendapat informasi tambahan tentang hubungan mistis manusia dengan alam. TERJADI TAK JAUH dari tempat tulisan ini diketik. Seorang lelaki usia delapan puluh lima tahun berdiri menghadap ke timur. Perlahan ia menundukkan kepala, kemudian membungkukkan badan. Setengah berbisik ia berucap: ‘’Pakulun Ibu Pertiwi, Tabik, Tabik, Tabik’’. Setelah mengucapkan salam Tabik itu, kembali ia menegakkan badan. Diangkatnya tangan kanannya. Dihadapankannya telapak tangan kanan itu sekitar lima sentimeter di depan hidungnya. Dihembuskannya nafas dari kedua lubang hidungnya. Sekali, dua kali, dan tiga kali. Dirasa-rasakannya mana yang lebih berat, udara yang ke luar dari lubang hidung kanan, atau udara yang ke luar dari lubang hidung kiri. ENTAH APA maksudnya. Barangkali bila yang kiri lebih berat, maka ia akan memilih kiri sebagai langkah pertama. Sebaliknya, bila yang kanan lebih berat, ia akan mengambil langkah kanan sebagai langkah pertama. TERNYATA benar. Lelaki itu melangkahkan kaki kiri ke depan. Berjalannya sangat pelan. Sengaja dipelan-pelankan. Ia angkat kaki kiri, ia dorong ke depan, ia turunkan ke tanah. Seperti gerakan slowmotion di film-film. SAAT MENGANGKAT KAKI ia membatin ‘’pakulun’’. Waktu mendorong kaki ia membatin, ‘’ibu pertiwi’’. Ketika menurunkan kaki ke tanah, ia membatin ‘’tabik, tabik, tabik!’’ Selanjutnya ia angkat kaki kanan, ia dorong ke depan, ia turunkan ke tanah. Setiap mengangkat, mendorong dan menurunkan kaki ia batinkan ‘’Pakulun Ibu Pertiwi Tabik, Tabik, Tabik!’’ BEGITU seterusnya. Langkah kiri dan langkah kanan secara bergantian. Pandangan matanya tertuju pada tanah sekitar tiga atau lima meter di depan. Naik-turunnya kaki bersamaan dengan naik-turunnya nafas. Pelan-pelan. Pelan sekali. Makin pelan makin pelan. ENTAH APA maksudnya. Barangkali pada kepelanan langkah itu ia akan mengenal gerak pikirannya sendiri.

Sore Hari... APA YANG dibayangkan pepohonan ketika angin bertiup dari tenggara, lalu menghempas pelan helaihelai daunnya ke jalanan, tanpa pernah tahu di musim ke berapa ia akan kembali datang, dan kapan ia akan menghilang mencari tikungan lain yang lebih lapang. Apa yang dibayangkan tangkai mawar ketika kupu-kupu aneka warna datang entah dari mana, hinggap di mawar yang rekah, lalu seketi-

zNuryana Asmaudi SA SEPEDA PEREMPUAN

Tabik Pertiwi... zPenjelasan(Kita)Heran... Atau barangkali, pada kepelanan langkah itu ia akan merasakan sentuhan telapak kaki yang telanjang dengan tanah yang juga telanjang. Kaki telanjang adalah kaki tanpa alas kaki. Tanah telanjang adalah tanah tanpa alas tanah. Atau, barangkali ada sesuatu yang lain, yang tidak dikomunikasikannya secara verbal dengan siapa pun dan dengan apa pun. PADA HITUNGAN langkah entah yang keberapa, lelaki itu sampai di sebuah pohon. Disentuhnya batang pohon itu dengan tangan. Bibirnya kemudian komat-kamit. Entah apa yang dibisikannya. Hanya ia yang tahu. Tapi dengan caranya sendiri, pohon jelas tahu bahwa dirinya sedang disentuh, dan bahkan dibisiki. JANGAN DULU BERTANYA, siapa lelaki delapan puluh lima tahun itu. Tunda dulu pertanyaan, apa sebenarnya yang sedang ia lakukan itu. Kita ikuti saja setiap gerakannya. Biarkan gerakannya sendiri yang bercerita. DARI POHON ITU ia berbalik. Caranya berbalik juga sangat pelan. Kemudian ia melangkah pelan satu-satu menuju titik dari mana ia tadi memulai langkahnya. Tempo langkahnya samasama pelan, sepelan keluar-masuknya nafas. Salam yang dibisikkannya sama, ‘’Pakulun Ibu Pertiwi Tabik, Tabik, Tabik’’. SESAMPAI di titik semula, ia berbalik lagi dengan langkah yang sama menuju pohon tadi. Begitu yang dilakukannya bulak-balik selama mungkin satu jam lebih. Butir-butir keringat nampak di keningnya. Tapi ekspresi wajahnya tidak berubah. Ekspresi wajah yang seakan berkata bahwa ia tahu apa yang sedang dilakukannya. Ia yakin dengan apa yang dilakoninya. Pandangan matanya memberitahu bahwa memang begitulah semestinya yang dilakukan oleh dirinya. Entah apa penjelasannya kepada dirinya, mengapa justru itu yang ia lakukan terhadap tanah, dan terhadap dirinya. PENJELASAN SERING datang kemudian setelah sesuatu terjadi. Tapi dalam kasus lelaki elapan puluh lima tahun itu, rupanya penjelasan tidak akan dicarinya. Yang memerlukan penjelasan adalah orang-orang seperti kita, yang heran mengapa ia melakukan itu. zibm. dharma palguna ka kelopak itu jatuh layu. Hanya meninggalkan harum yang sejenak, kemudian menyatu dengan angin bebas. Lenyap. LALU SEMUA akhirnya menyatu. Kota seperti bayangan yang merindukan tubuhnya. Matahari lekas pergi meninggalkan warna gelap yang kusam dan menjemukan. Lampu-lampu jalan tak lebih hanya senyala kunang-kunang, berkelip seakan setitik lagi habis sudah cahayanya. Dengan apa kututup kedua mata, jika segala yang nampak, adalah semua yang tak tersentuh. Dengan apa kututup kedua pasang telinga, jika yang terdengar hanya gema yang dulu riang di ujung waktu. Kedua tanganku han-

yang datang dari nan berkendara sepeda perempuan menebar salam sepanjang jalan pohonpohon menyulam daun menembangkan nyanyian angin kami yang terusir dari keramaian mengungsi ke ranah persemaian membalut luka hari petani menambal cinta yang koyak kelak rekah bunga-buah kehidupan dari pucuk reranting sukma

Aku pernah Kadang aku mendinikahkan dengambil lakon dari gan laut. telapak tanganya. Ketika, tuKubuat cincin, buh kanakkalung, dan antk a n a k k u ing. Aku dimandmengelupas. Seikan oleh buih buah upacara laut. Kulitku dibesar digelar. gosok biji pasir. Sesaji, bunga, Lelaki itu siapatujuh mata air kah dia? Aku pernah diruapkan di tudinikahkan denbuh kurusku. gan laut Mataku diraOrang-orang jah. UbunDengan Laut ubunku ditantak pernah bisa capkan mantra. mengupas Kepalaku ditaburi beragam bunga. Ku- pikiranku. Mereka juga takut menatap mataku yang bulat, tajam. Bertabur litku ku dibakar cairan kuning. Aku menjelma bidadari. Tubuhku nanah dan racun Mata milikku mampu membunuh siapapun yang menyendililitkan kain-kain kuno. Aku berenang di rimba semesta. Tak tuh kulitku. Aku pernah dinikahkan dengan laut. pernah kupercaya laki-laki yang tumPagi-pagi orang-orang menbuh dalam kepala teman-teman perempuanku. Aku sering menatap mere- gantarku. Mereka tidak lagi memiliki ka sambil mengunyah gulali. Atau mata. Tubuhku dibalut bunga, juga air menelan kacang sukro. Menatap per- mata. Mereka dudukkan aku di pingempuan-perempuan kecil bergaya bak gir pantai. Angin laut, menjatuhkan badut-badut aneh di depanku. Seorang satu kuntum bunga di atas kepalaku. perempuan telah meninggalkan se- Tak ada matahari. Cuaca gelap. Para orang kanak-kanak di altar ditemani perempuan membacakan mantra. batang pohon. Udara dingin. Dan sen- Para pemangku menghidupkan dupa, yap yang terus-menerus menyuapkan unga, dan sesaji. Orang-orang terus meapi dalam tubuh kecilku. Membakar mejamkan mata. Sambil mengulang mantra yang sama. Aku duduk diam. kaki-kakiku. sambil menunggu orang-orang seleAku tak ingin tumbuh. Orang-orang menatapku sambil mengiris hati, jan- sai meleburku dengan laut. Aku pernah dinikahkan dengan laut tung, dan memeras keringatku. KesKuharap seorang lelaki muncul. Dan unyian terus mengepung. Tak ada lelaki dan perempuan yang menyusui tubuhku. aku akan jatuh cinta padanya. Lalu berlindung di dadanya yang bidang. Kemana ibuku? Dimana bapakku? Perempuan-perempuan bertubuh Mengusap rambutnya yang tajam. batu memahat tulangku, meniupkan Menyentuh kulitnya yang harum. Mencium bibirnya yang lentur. Mengusap darah ke jantungku. Siapa yang mengirimku ke ladang matanya dengan bibirku. Menghirup ubun-ubunnya. Lalu mememeluknya tandus ini? kukenal para penyapu Pura. Juga erat sambil bercerita rahasia operajalapara pemetik bunga kamboja. Mereka na darah dalam tubuhku. Aku pernah dinikahkan dengan laut mengabarkan: Kubayangkan seorang laki-laki Ibuku telah hilang. Bapakku sibuk mendekap perempuan bercadar. Ram- muncul dari buih laut. Sambil membacakan sajak-sajak erotik yang menybutnya ular. Hatinya panah beracun. Kulitnya umbat lubang-lubang tubuhku. Aku pernah dinikahkan dengan laut pandan berduri. Dari manakah mahlEntah apa yang dicari orang-orang uk itu berasal. Aku pernah dinikahkan dengan laut padaku. Subuh merayap. Kau tidak Seorang lelaki berdiri di depanku. juga datang dan menjemputku. SemenDengan sekerat taman bunga. Kata- tara aku kuyup diguyur mata air dan kata manis. kedua lengannya selalu siap bunga-bunga yang mulai membusuk. menyentuh kulit kanak-kanakku. Apa- Mungkin aku akan menjelma bangkai. Aku pernah dinikahkan dengan laut. kah aku telah jatuh cinta padanya? Matanya biru. Dengan laut ombak, Kau percaya padaku? zdayu oka rusmini dan aliran sungai yang terus mengalir. ya bayang kenangan yang tersipu, malu-malu melihat celah bisu di hatiku, diam-diam menggoda dengan ingatan yang selalu tentang hari lalu. AKU SEPERTI BATU yang apung di sungai entah, tak tahu kemana alir yang getir membawaku berlabuh. Barangkali ikan-ikan akan menyambutku di kedalaman, membujukku tenggelam, tanpa pernah tahu betapa cerah jalinan cahaya matahari yang pernah kautawarkan padaku. Sedang matamu adalah lorong-lorong dengan seribu tikungan bersilangan, membawaku ke teman-teman, aneka hutan dengan harum rumputan, lalu membiarkanku menyusuri sendiri setapak jalan yang dipenuhi jejak murungmu. Kau penyanyi, sekaligus dawai yang bermain sendiri. Kau irama juga

zEko Putra DALAM RANGKAIAN HUJAN kuhabiskan rangkaian hujan yang berceceran jatuh di atas tanah para leluhur dengan kata-kata yang bercokol di tandan masalalu membelah tanah perjanjian dengan tangan yang begitu sedikit memberi makna dimana segala tetes mulai menjadi bunyi dalam pertanyaan yang kubuat sendiri

sepeda perempuan terguncangguncang di jalan tanah inilah saatnya mendengar kalbu mengenal segala yang tak nampak sebelum hasrat hati terikrarkan sebelum hajat pikiran ditolak atau terkabulkan tak ada kesempatan lain selagi daun nyiur masih segar dan hari sedang meranum tuailah hari baik yang tak sengaja kaudapat agar rahasia terkuak kau yang selalu terlambat mengerti membuang kesempatan tak mungkin lagi mengulur benang nasib yang kusut tengoklah jika terdengar sepeda terguncangguncang di jalan tanah

(bila malam tiba, kunyanyikan lagi raungan yang berdarah kulihat masadepan dan aku bergandengan dalam maut dan panggung-panggung sajak)

perempuan itu letih mengayuh waktu singgahkan dulu ke rumahmu jangan biarkan ia mengayuh sepeda sendiri karena kaulah yang dinasibkan melanjutkan nasab bersepeda dengannya

akupun paham aku berpalingan dalam misteri dan mendesah sendiri

SUARA LANTANG itu melesak ke telinga dan menggetarkan hati saya hingga bermenit-menit lamanya. Suara yang keluar dari mulut seorang pemuda berperawakan tinggi kurus dan berambut gimbal itu begitu menyentuh karena puisi yang diucapkannya dan gaya yang digunakan untuk menyampaikannya. Sebagian puisi tersebut berbunyi begini: Ibu adalah burung kembara tawanan masa depan. Sejauh apa pun melanglang, dia akan segera pulang ke sarang. Lebih awal dari yang lainnya. Karena harus menghangatkan sarang, lalu mengerami dan menetaskan masa depan! PUTU PACUL, begitu panggilan si pemuda bersuara menawan itu. Dipanggil demikian karena setiap kali digoda oleh temannya, dengan gaya jenaka ia selalu menggerakkan kaki panjangnya sembari mengatakan bahwa itu adalah jurus Tendangan Pacul. Ia membacakan puisi itu pada peringatan Hari Ibu sekitar dua puluh tahun lalu di sebuah kantong kesenian di Kota Mataram, Lombok. Putu Pacul bukan pembaca puisi. Juga bukan penyair. Ia mahasiswa doyan mabuk yang kebetulan lewat dan menyaksikan para penyair sedang membacakan puisi pujapuji bagi para Ibu. Tak dinyana, malam itu Putu Pacul nekat melanggar protokoler dan menyelonong ke atas mimbar. Matanya sayu dan gerakannya gontai. Alkohol telah

dengan gerimis tersisa miratku melayang berharap langit ‘kan mencipta cinta dalam nyala zikirku

meringkus sebagian sarafnya. Di mimbar, ia diam beberapa saat sembari menebar pandangan ke arah para penyair di depannya. Entah kenapa, seketika belasan penggiat kata-kata itu mati kata. Semuanya diam seperti tersihir. Dan, saya terselip di dalamnya. Lima belas detik setelah itu, barulah Putu Pacul membacakan bait-bait puisi yang ia dapatkan entah di mana. SEUSAI MEMBACA, Putu Pacul tak mau begitu saja melepaskan pesonanya. Seperti seorang Juru Kampanye, ia memulai orasinya tentang ibu. Karena yang ia ucapkan kisah-kisah nyata, orasi itu pun tak kalah memikat dibanding puisi yang ia bacakan tadi. Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana Putu memaparkan beberapa kasus dengan kalimat-kalimatnya yang sederhana yang menyentuh. MESKI TERPESONA, saya tak mau ikut larut dalam sihir si Putu Pacul. Benak saya biarkan sibuk sendiri membongkar ingatan tentang berbagai peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan sosok ibu. Tapi, harus saya akui, ucapan-ucapan Putu Pacul beberapa kali membetot saya untuk segera berpindah ketika saya terlampau asyik pada ingatan mengenai satu peristiwa tertentu. Ada beberapa sosok ibu yang saya temui dari gudang ingatan itu. Tentu sosok ibu bijaklah yang mulamula. Saya duga karena sosok ini paling melekat di benak kebanyakan orang sebab paling diidam-idamkan. Tapi karena sudah ribuan tulisan dan ulasan membahas soal itu, maka saya tak

jalinan nada-nada. TAK INGIN kukabarkan tentang kepedihan. Sebab kau adalah kelengangan yang indah. Sedang aku hanya kumpulan kata penghibur yang resah, di celah terhening mimpi malam harimu. Kau perjalanan, dan aku di dalamnya, melakoni tiap peristiwa, tanpa pernah tahu, kau berdiri di peron yang mana dan tiket untukku di gerbong ke berapa. Tak ingin kukabarkan tentang hari yang jadi pasi, tentang malam yang cemas sendiri, atau sehelai kertas yang tak juga jadi puisi.

TIDAK PENTING mengetahui siapa lelaki yang melakoni ritual berjalan pelan itu. Tidak juga perlu mengetahui apakah ia seorang bhiksu dari kuil sekte tertentu, ataukah ia seorang ‘’bhiksu’’ dari dalam dirinya sendiri, ataukah ia bukan keduanya. Lelaki itu bisa siapa saja. Bisa salah satu di antara kita. APAKAH ia sedang bermeditasi tertuju pada Pertiwi? Entahlah. Lelaki itu tidak mengatakan dirinya bermeditasi. Tidak juga ia mengatakan dirinya sedang tidak bermeditasi. Lelaki itu tidak mengatakannya. Ia hanya melakukannya dengan sepenuh hatinya. JADI APA ritual berjalan pelan itu? SUNGGUH contoh sebuah pertanyaan klasik. Orang yang tidak melakukannya, ingin tahu apa sebenarnya semua itu. Sedangkan orang yang asyik melakoninya, seperti lelaki itu, tidak lagi perduli mau disebut apa. BAIKLAH! Sebagai orang yang tidak melakoninya, kita sepakati saja bahwa itu adalah sebuah bentuk meditasi. Sebut saja meditasi berjalan. Dengan tambahan penjelasan, bahwa tidak setiap berjalan adalah meditasi, dan tidak setiap meditasi mesti berjalan. Lalu, di mana ada orang bermeditasi seperti itu? BISA JADI di mana-mana ada. Tidak perlu mencari jauh-jauh. Asalkan ihlas membuka mata dan membuka hati, orang bermeditasi seperti itu mungkin akan ditemukan barangkali di sekitar tempat Anda membca tulisan ini. Barangkali yang melakukannya bukan hanya golongan bhiksu. Tidak mesti sahabat atau keluarga bhiksu. Barangkali ia juga tidak sedang bermaksud bermeditasi. Bisa jadi ia sedang memberi bentuk dari rasa terharunya pada tanah, pada bhumi, pada ibu yang kita sebut Pertiwi ini. Bentuk memang bisa dibuat, tapi keterharuan bukan sesuatu yang gampang dibangkit-bangkitkan, dengan mantra sekalipun, dengan upacara sekalipun. Apalagi dengan

upacara yang sifatnya dibuat-buat. Tapi bukan pada meditasi letak masal a h n y a . Bagaimana lelaki tua itu menghubungkan dirinya dengan alam atau tanah, itulah intinnya. SEPERTINYA ia sedang membayarkan rasa hormatnya pada tanah. Dan sepert itulah caranya ia membayar hormat. Dan tidak mesti begitu cara orang lain bila hendak bayar hormat kepada tanah. Tapi kita semua mestinya berpikir untuk bayar hormat selagi bisa. Jika tidak, alam akan menagih hormat itu secara paksa. Alam yang sejatinya sumber keriangan hati, jangan sampai menjadi sumber kemalangan hati. BILA ORANG MEMBAYAR lebih maka ia akan mendapatkan kembaliannya. Tanah memberikan kembaliannya berupa apa yang orang Bali sebut perasaan ngeh. BAGAIMANA perasaan ketika tiba-tiba ngeh bahwa kita sedang menginjak-injak seorang Ibu bernama Pertiwi? Kita memang tidak selalu sadar ketika sedang menginjak seorang Ibu. Di antara jutaan langkah kaki yang pernah kita injakkan, masak tidak ada satu atau dua injakan yang membuat kita tiba-tiba terhenti. Pikiran dan hati mendadak ngeh, kita sedang menginjak-injak seorang Ibu. Bagaimana perasaan ketika ngeh itu terjadi? Itulah maksud pertanyaannya. Jadi bukan sekadar pertanyaan yang dibuat-buat. MOMEN ketika ngeh itu terjadi adalah peristiwa besar. Dari ngeh pertama itu, dan bila dilanjutkan dengan ngeh-ngeh berikutnya, orang bisa menumbuhkan keterharuan di dalam dirinya. Dari keterharuan itu akan tumbuh lagi rasa hormat pada tanah. Keterharuan dan hormat menjadi dasar untuk sebuah hubungan yang harmonis. MALAM INI saya tiba-tiba sangat merindukan lelaki tua itu. Walau saya tahu, tanah yang diinjaknya adalah tanah yang sama dengan yang saya injak. zibm. dharma palguna

zBode Riswandi PADA HUJANLAH Pada gerimislah kau menitipkan segalanya Batang-batang rindu yang tak jelas arahnya Seperti ada yang terdorong keras ke dalam Kanal, bisa gelisah atau kenanga yang bebal Pada hujanlah kau sendiri benturkan wajahmu Jadi gerimis baru, jadi embun yang menjentik Di daun waktu. Tapi akulah daun di pohon waktu Itu, yang tenggelam di sungai atau jatuh ke ngarai

Ibrahim SEKANTONG LUKA DARI SEORANG IBU

supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada yang terhimpit ini: dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis atau sekadar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah benarbenar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh kepergian yang dipaksakan, ia ingin mengutuki dirinya jadi batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya menyebrangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah, namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat memandunya berdoa. di sebelah sana: di ujung pantai terjatuh, ia melihat kapal-kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya. dadanya sesak. Dada seorang ibu yang tak sanggup memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang menampung sunyi nyanyian mantra para tetua adat. di punggungnya, ribuan tanda tanda tanya dipikulkan anak-anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam perisai para tentara yang disarungkan pada tangan sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan. lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya. darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah. darah yang dikemudian hari akan ia lrung ke laut banda. laut yang akan menenggelamkan suaranya. bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih: mendefenisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya. yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-bunga di halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh, saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka, ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat ia balut pada tubuh suaminya.

zBurung Kembara Melanglang, Segera Pulang ke Sarang ya senang. Di luar itu, semuanya ia abaikan. Kalau pun terpaksa ia kerjakan, ia lakukan hal itu dengan sejuta umpatan. Baik yang diucapkan langsung dengan mulut maupun yang dinyatakan dengan raut muka dan gerakan tubuh. KEDUA, sosok ibu

run silent..., run deep.... in the long long run, sail along SMSoliloquy

Coming on Age in Balidwipamandala ... 16 Agustus 2010

zRasa (Ibu) Tanah...

zIrianto zNPS Rainia Rastiti

Sosok Ibu dan Utang Kita hendak memperpanjangnya. SAYA MELONCAT saja pada sosok ibu yang lain. Pertama, sosok ibu yang tak peduli dengan apa pun yang seharusnya ia pedulikan. Ia hanya senang mengerjakan apa yang membuat hatin-

Bayar Hormat...

16 Agustus 2012

zPercikan MONOLOG Permenungan Jelajah Bumi Nusantaragung... ASSA Tiga Baris Puisi itu ASAS Anacaraka Benih Gagasan... TIGA (3) Alinea Catatan Kecil (CAKIL) Prosapuisi, CERMIN (Cerita Mini) Lirisprosa VS CAKIL tetap menjadi PRIORITAS sampai Desember 2011...

zSimbol Penaklukan Diri, Megah Mendung Zona Misteri dan Ancaman... Great things are done when men and mountains meet... these are not done by jostling in the street... RIBUAN pulau (terdepan dan terluar) BUMI Nusantara menimang, menimbang dan menghadang 2011 dengan NYEGARA Revolusi Biru... GUNUNG...

yang serba ingin menguasai. Seluruh hubungan, kecuali yang membuatnya happy, dipandangnya sebagai semacam transaksi utang-piutang. Aturan main transaksi itu pun ditentukan sepihak olehnya dan berlaku mutlak: semua kebaikan ibu adalah utang yang harus dibayar oleh anak. Jika tidak demikian, maka durhakalah si anak. Alamat bagi anak macam ini kehidupan pada kehidupan berikutnya sangat jelas: neraka jahanam! KETIGA, sosok ibu yang lemah yang membiarkan semua hal terjadi di depan matanya. Entah hal-hal yang baik maupun yang sebaliknya. Dalam pandangan orang-orang yang tak begitu mengenalnya, ibu macam ini kerap terlihat sebagai seorang ibu yang baik dan penuh pengertian. Bahkan terasa sebagai seorang ibu penyabar yang lemahlembut. KEEMPAT, sosok ibu yang lembam. Ibu macam ini macam hasil persilangan antara kura-kura dan karet. Geraknya pelan, reaksinya lamban. Tak banyak bisa diharapkan dari ibu macam ini selain penggenap posisi agar struktur keluarga inti menjadi lengkap dalam Kartu Keluarga. SISI BAIK dari semua sosok ibu di atas, terangkum dalam sosok ibu yang bijak dan mulia. Ibu yang tindakannya selalu tepat tempat dan tepat saat. Pada sosok ibu macam ini, tak ada lain yang kita harus lakukan kecuali memberinya rasa hormat yang sedalam-dalamnya, yang sebesar-be-

sarnya. LALU BAGAIMANA terhadap sosok-sosok ibu yang lebih banyak sisi buruknya? Terhadap mereka, beberapa orang bijak mengatakan bahwa kita boleh meminta Semesta mendidik ibu kita agar menjadi sosok yang lebih baik untuk kebahagiaan mereka sendiri. DI LUAR itu, apa pun jenis sosok ibu kita, ada satu hal yang tak bisa kita tolak darinya, yaitu bahwa dialah tempat di mana benih kehidupan disemaikan. Pada dirinyalah sarang di mana cikalbakal diri kita menjadi dan menetas. Dan, ini adalah utang yang tak mungkin dibayar dengan apa pun. KETIKA MENYINGGUNG soal ini, saya teringat kembali pada Putu Pacul. Malam itu, setelah berdiskusi meladeni para penyair hingga dini hari, ia tergeletak tepar diringkus alkohol. Tapi, pukul empat dini hari, Putu Pacul bangun. Dalam keadaan sempoyongan ia menghidupkan motornya dan melaju pulang. Sebelum tancap gas saya sempat mencegah dan memintanya tidur kembali sampai mabuknya hilang. Putu Pacul menolak. ‘’Saya harus mengantarkan kue-kue dan nasi bungkus ke langganan ibu saya. Kalau saya telat, ibu saya akan malu. Anak yang mempermalukan ibunya adalah anak durhaka,’’ ucapnya. zAgung Bawantara


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.