Edisi 02 Juli 2011 | Balipost.com

Page 6

OPINI

6 Harian untuk Umum

Bali Post Pengemban Pengamal Pancasila

Terbit Sejak 16 Agustus 1948

Tajuk Rencana Pengumpulan Data dari Belakang Meja KESAHIHAN data di Indonesia sering dipertanyakan. Sebab, masingmasing instansi memiliki data sendiri. Sepertinya penetapan besarannya sesuai dengan kepentingan instansi bersangkutan. Persoalan kependudukan, misalnya. Data yang dimiliki pusat yang mengacu pada data badan statistik, KPU dan instansi di daerah sering berbeda. Demikian pula data penduduk miskin. Data yang dimiliki provinsi dengan kabupaten tak pernah sinkron. Data yang dimiliki tidak tertutup kemungkinan berubah-ubah sesuai keperluan. Seperti terjadi pada tahun 1990-an. Salah seorang bupati di Bali kala itu, dengan enteng menyatakan tidak memiliki KK tertinggal (kini disebut rumah tangga miskin). Semuanya dinyatakan masuk kategori sejahtera. Namun apa yang terjadi setelah pemerintah pusat mengumumkan, bahwa KK tertinggal akan mendapat bantuan berupa beras. Mendadak data di kabupaten tersebut berubah. KK tertinggalnya menjadi tinggi melebihi kabupaten yang lain. Harapannya, tentu mengalir bantuan ke kabupaten tersebut. Saat ini juga terjadi demikian. Menjelang pilkada, sejumlah pihak terutama incumbent mengklaim telah terjadi penurunan KK miskin. Tujuannya tentu mengangkat citra dan harapannya pula, simpati masyarakat untuk memilihnya kembali akan muncul. Namun apa yang terjadi setelah mereka berkuasa? Data yang dulu KK miskinnya kecil akan bertambah. Alasannya sederhana. Pertambahan KK miskin tersebut merupakan bertambahnya eksodus dari daerah lain. Sangat gampang untuk melakukan pembohongan tersebut. Sebab tidak ada satu pun instansi yang mempunyai data valid untuk melawan kebohongan itu. Biro pusat statistik pun tidak pernah melakukan ‘’bantahan’’ terhadap data yang dikeluarkan kabupaten/kota. Tak hanya di Bali, di berbagai kota di Indonesia terjadi hal serupa. Data yang dimiliki tidak pernah sinkron. Itu baru data soal orang miskin. Ada data lagi yang bisa diubah sesuai kepentingan pejabat. Misalnya swasembada pangan. Di Bali, banyak kabupaten yang menyatakan surplus beras. Bahkan jumlah setiap tahunnya semakin bertambah.

S URAT

Ini tentu menimbulkan keraguan banyak pihak. Alasannya, bagaimana surplus beras meningkat, sementara sawah setiap tahun berkurang karena beralih fungsi. Demikian pula berita gagal panen terus menghiasi berita media karena petani tidak kuasa melawan serawan tikus atau hama lainnya. Lalu di mana mereka mendapat data bahwa daerahnya surplus beras? Tentu tidak salah kalau banyak yang menyimpulkan para birokrat lebih banyak mengumpulkan data dari belakang meja. Mereka hanya mengutak-atik data sesuai kepentingan. Tentu banyak SKPD tidak mau dianggap gagal. Maka satu-satunya jalan data tersebut harus disesuaikan. Apabila terkait dengan kemiskinan maka data itu harus dikecilkan. Namun kalau terkait dengan produksi apakah itu hasil perkebunan, perikanan atau pertanian harus dibesarkan sehingga kelihatan ada kemajuan. Ini yang sekarang menjadi masalah birokrasi di Indonesia. Sehingga ketidakjelasan dan ketidakakuratan data akan menimbulkan kesalahan dalam mengambil kebijakan bagi pemimpinnya. Jadi kalau toh keluar kebijakan yang tidak prorakyat, tentu dikarenakan data yang dijadikan dasar kebijakan ‘’asal bapak senang’’. Sehingga para pejabat dan DPRD merasa tidak bersalah menghabiskan dananya untuk pergi keluar negeri atau kunker ke luar daerah di dalam negeri. Inilah yang seharusnya dicarikan jalan keluar. Harus ada kesadaran bagi para birokrat untuk menampilkan data yang riil, sehingga para pejabat dapat pengambil keputusan yang tepat guna dan tepat sasaran. Koordinasi dan sinkronisasi data dari pihak penyedia data menjadi sesuatu yang harus terus-menerus ditingkatkan. Di samping itu, mereka harus sadar atau melek statistik. Demikian pula adalah suatu keharusan untuk menampilkan data yang lengkap, terukur, akurat, dan mutakhir. Karena dengan data tersebut akan mampu melahirkan kebijakan yang cerdas. Kalau data yang dituangkan sudah cermat, namun kebijakan yang keluar juga tidak cerdas, berarti masyarakat tidak cerdas memilih pemimpinnya.

PEMBAC A

Persyaratan : Sertakan Fotokopi KTP atau SIM

Soal Pengenaan BPHTBL Tanah Konversi Kami warga Desa Padangsambian Klod, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar telah mengikuti program Larasita (layanan rakyat untuk sertifikat tanah), yaitu dalam hal membuat sertifikat tanah konversi periode 2010. Dengan adanya program Larasita tersebut, masyarakat Desa Padangsambian Klod secara kolektif mensertifikatkan tanah hak miliknya seperti tanah tempat tinggal yang sudah berisi bangunan, tanah tegalan/teba, dan tanah pertanian, yang diwarisi oleh para leluhurnya berdasarkan silsilah keluarga yang ada. Sampai saat ini proses administrasi tersebut telah sampai pada tahap pengumuman/diumumkan. Pertanyaan kami adalah: 1. Mengapa peserta program Larasita tetap dikenakan BPHTBL (biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan) berdasarkan NJOP (nilai jual objek pajak), padahal tanah yang disertifikatkan merupakan

tanah konversi atau warisan? 2. Jika peserta program Larasita tetap dikenakan BPHTBL, lalu apa bedanya dengan sertifikat berdasarkan akte jual beli (pemindahan hak)? 3. Andaikata peserta program Larasita tetap dikenakan pajak SSB dan BPHTBL, lalu di mana masyarakat mencari dana yang cukup besar untuk membuat sertifikat tanah konversi? Mungkinkah masyarakat harus menjual sebagian tanahnya? Jika nilainya di atas Rp 75.000.000, dibawa ke mana uang sebesar itu? Mohon kepada pihak terkait untuk memberikan penjelasan agar masyarakat bisa tenang dan tidak stres gara-gara mengurus sertifikat. Di samping karena pajak bumi dan bangunan meningkat terus. I Made Marajaya Jl. Tangkuban Perahu No.175 Denpasar

’’Penyelidikan’’ ala DPR Melihat acara di televisi yang menayangkan tentang Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Mafia Pemilu di Ruang Rapat Komisi II DPR, membuat saya ingin membuka kembali buku pelajaran tentang tugas dan wewenang DPR. DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi permintaan DPR tersebut. Rapat Panja Mafia Pemilu di Ruang Rapat Komisi II DPR tersebut menghadirkan Arsyad Sanusi (mantan Hakim MK). Panja meminta keterangan Arsyad terkait dugaan pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sengketa Pemilu 2009 di Daerah Pemilihan I Sulawesi Selatan. Putri Arsyad, Neshawati juga hadir memberikan keterangan. Sebagai masyarakat, saya meli-

hat apa yang sedang dilakukan oleh para anggota DPR tersebut laiknya dagelan politik belaka. Panja terlihat tidak serius dalam mengungkap kasus yang terjadi. Hal tersebut terdengar dari pernyataan dan pertanyaan yang dilontarkan oleh anggota Panja. Jika rapat tersebut dianggap sebagai sebuah bagian penyelidikan yang dilakukan oleh Panja dalam rangka mengumpulkan keterangan, maka dapat dikatakan, Panja DPR Komisi II hanya sedang mempertontonkan kepada publik mengenai rendahnya mutu mereka sebagai seorang wakil rakyat. Saya mengimbau kepada semua pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan ini sesuai dengan koridor hukum yang berlaku dan bekerja secara profesional sesuai dengan tugas dan wewenangnya masing-masing, agar menjadi pelajaran yang baik bagi proses penegakan hukum di masa yang akan datang. Jayadi Kebon Pala, Kp. Makasar, Jakarta Timur

Sabtu Umanis, 2 Juli 2011

Menyikapi Penataan dan Pengelolaan Administrasi Kependudukan Kita Sekali lagi, persoalan pendataan kependudukan menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. Di Kabupaten Jembrana, Bali misalnya, seperti dilansir Bali Post (Kamis, 23/6) lalu, Ketua DPRD Jembrana I Ketut Sugiasa mempertanyakan adanya ketidakcocokan antara data jumlah penduduk yang dikeluarkan pusat dengan daerah. Menurutnya, perbedaan jumlah itu didapat oleh DPRD Jembrana dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat. Dari data ini, jumlah penduduk Jembrana 260 ribu jiwa, sedangkan BPS Kabupaten Jembrana mendata 314 ribu jiwa.

T

Oleh Achmad Ali, SST., M.Agb.

ak hanya di Jembrana, masalah kependudukan juga menjadi sorotan utama terkait laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPJ) Wali Kota Surabaya tahun 2010. Kali ini mengenai data angka kelahiran bayi dan kematian warga Kota Surabaya di tahun 2010 yang dinilai sejumlah anggota DPRD Surabaya masih amburadul. Hal senada juga terjadi di Kabupaten Aceh Barat, di mana kalangan anggota DPRD setempat mempertanyakan perbedaan data jumlah penduduk di daerah itu yang dikeluarkan BPS dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, serta hasil analisis sejumlah lembaga non pemerintahan terkait pelaksanaan Pilkada 2011. Lantas, pelajaran apa yang bisa kita lihat dari semua ini? Apakah pengelolaan sistem informasi dan database administrasi kependudukan kita sudah lengkap, terukur, akurat, dan mutakhir untuk dilaksanakan atau malah sebaliknya masih amburadul? Paling tidak ada tiga hal yang pantas kita beri perhatian. Pertama, menyangkut masalah sumber data kependudukan. Sejauh ini, sumber data kependudukan yang kerapkali menjadi rujukan dalam melakukan proses pendataan penduduk di suatu wilayah/kabupaten/ kota adalah berdasarkan hasil registrasi penduduk dan sensus penduduk. Registrasi penduduk merupakan kegiatan pencatatan dan pelaporan data kependudukan meliputi kelahiran, perkawinan, perpindahan, dan kematian penduduk, serta statistik kependudukan lainnya yang dilakukan mulai dari level desa/ kelurahan hingga level provinsi. Registrasi penduduk ini dilaksanakan dengan tujuan untuk menjembatani tersedianya data kependudukan tahunan. Sebab, data kependudukan yang ada hanya dapat diperoleh dari hasil sensus penduduk sesuai amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 pasal 8 ayat 1

yang menghendaki agar sensus penduduk di Indonesia diselenggarakan paling tidak sekali dalam setiap 10 tahun, serta Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) setiap lima tahun di antara dua sensus penduduk. Pelaksanaan registrasi penduduk dilakukan oleh aparat pemerintah daerah di setiap provinsi, sedangkan sensus penduduk dikoordinir oleh BPS yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia, seperti yang baru saja selesai dilakukan di tahun 2010 lalu. Pada konteks lain, konsep yang digunakan di Indonesia untuk sensus penduduk adalah kombinasi dari konsep de jure, yakni pendataan penduduk ditempat mereka biasa menetap/tinggal, dan de facto, yakni pendataan penduduk di tempat mereka ditemui oleh petugas pada waktu pendataan seperti tuna wisma, masyarakat terpencil/suku terasing, penghuni perahu/rumah terapung, dan penduduk yang sedang bepergian. Sebaliknya, registrasi penduduk hanya menggunakan konsep de jure. Sayangnya, hingga kini hasil registrasi penduduk di Indonesia — tanpa menyalahkan pihak mana pun — relatif masih sangat lemah. Kelengkapan dan akurasi serta kemutakhirannya masih jauh dari pencapaian level kualitas yang kita harapkan. Hal ini terbukti dari kekisruhan dan kekacauan isi daftar pemilih tetap ketika pemilihan legislatif pada pelaksanaan Pemilu April 2009 lalu. Lantaran sejak awal database kependudukan yang lengkap, akurat, dan mutakhir belum ada, sehingga dapat dipahami kalau Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengalami kesulitan dalam melaksanakan pemutakhiran daftar pemilih sementara menjadi daftar pemilih tetap. Padahal, registrasi penduduk di Indonesia sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pel-

aksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006, serta Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan serta Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil. Landasan hukumnya jelas, demikian pula pedoman teknis seperti tercantum dalam peraturan pelaksanaannya pun sudah jelas. Tapi, mengapa setelah lima tahun dikeluarkannya undang-undang tentang administrasi kependudukan ternyata registrasi penduduk di Indonesia masih tak kunjung membaik ? Kedua, apa yang terjadi dari kasus perbedaan data penduduk di Kabupaten Jembrana misalnya, semestinya ditelusuri terlebih dahulu apakah data itu merupakan pelaporan data yang sifatnya baru sementara dari hasil registrasi penduduk atau sebaliknya? Sebab, dari hasil olah cepat Sensus Penduduk 2010 bulan Mei 2010 yang dilakukan BPS, kondisi jumlah penduduk di Bumi Makepung itu tercatat sebanyak 261.618 jiwa, terdiri dari 130.049 jiwa laki-laki dan 131.569 jiwa perempuan, dengan sex ratio (perbandingan jumlah penduduk laki-laki per 100 penduduk perempuan) tercatat sebesar 99. Artinya, jumlah penduduk perempuan lebih banyak satu persen dibandingkan penduduk lakilaki. Laju pertumbuhan penduduknya sebesar 1,22 persen per tahun dalam sepuluh tahun terakhir. Sedangkan distribusi penduduk Kabupaten Jembrana hanya 6,72 persen dari jumlah penduduk Bali yang mencapai 3.891.428 jiwa. Ketiga, masalah pokok yang menjadi penghambat terselenggaranya registrasi penduduk dengan baik adalah masih minimnya sosialisasi yang mengakibatkan terbatasnya pemahaman penduduk tentang hak dan kewajiban mereka terkait dengan administrasi kependudukan. Selama ini, yang lebih banyak disiapkan adalah pelaksana dan petugas pendaftaran penduduk. Sementara itu, masyarakat luas tidak pernah memperoleh informasi lengkap mengenai dampak dikeluarkannya Undang-undang nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan peraturan pelaksanaannya. Masyarakat merasa bahwa kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil berlangsung as usual saja. Artinya, tidak ada hal baru dan tidak perlu memperbarui sikap akan pentingnya melaporkan kejadian atau peristiwa kependudukan dan kejadian lainnya yang terjadi dalam keluarga. Karena itu, penting kiranya bila sosialisasi mengenai administrasi kependudukan lebih digalakkan lagi atau bila perlu menjadi suatu gerakan nasional terhadap pemaha-

Arsitektur Tradisional Bali Dalam ’’Penjajahan’’ Budaya Asing ARSITEKTUR tradisional Bali merupakan salah satu warisan budaya Bali yang sekaligus juga merupakan salah satu aset kekayaan bangsa. Dengan dilandasi konsep Tri Hita Karana serta mengacu pada berbagai lontar (Lontar Asta Kosala, Asta Kosali, Keputusan Sanghyang Anala dan sebagainya) menjadikan arsitektur tradisional Bali sebagai salah satu napas budaya Bali. Sangat disayangkan kemudian, ketika salah satu napas budaya Bali ini disisihkan dengan masuknya gaya arsitektur modern. Hal ini terlihat pada berbagai ruko di pinggir jalan-jalan utama atau pada kawasan pemukiman elite di Bali yang terlihat bebas menampilkan gaya arsitektur modern. Misalnya, arsitektur bergaya minimalis, Eropa, Mediterania dan sebagainya. Meski disadari pula, arsitektur tradisional Bali sebelumnya juga dipengaruhi corak-corak asing yang terimplementasikan melalui pepatran, misalnya, patra Cina, patra Mesir, patra Wolanda (Belanda) dan sebagainya. Namun, corak-corak asing yang terimplementasikan melalui pepatran

tersebut mampu tampil dengan napas arsitektur Bali yang terlihat anggun, unik, mengagumkan dan tentunya harmonis serta selaras dengan alam Bali. Sejatinya, penerapan arsitektur tradisional Bali pada bangunanbangunan baru sudah diatur dalam sebuah perda. Perda tersebut juga mengatur tentang batas ketinggian suatu bangunan. Pertanyaannya, sejauh mana aturan tersebut telah diberlakukan? Berkaitan dengan hal tersebut, perlu kemauan dan ketegasan dari pihak instansi terkait untuk menegakkan aturan yang ada. Terutama memeriksa secara teliti desain dan gaya arsitektur bangunan yang akan didirikan ketika proses IMB diajukan oleh owner. Tentunya harus ada keberanian dari instansi terkait untuk tidak mengeluarkan IMB apabila bangunan yang akan didirikan nantinya tidak mencerminkan arsitektur tradisional Bali. Termasuk pula keberanian tidak menerima ‘sogokan’ untuk memuluskan keluarnya IMB bagi bangunan yang tidak bercorak kebalian. Sehingga, pada akhirnya arsitektur tradisional Bali tetap terlestarikan

dan mampu menjadi salah satu identitas Bali. Pertanyaan kritis lainnya berkaitan dengan mulai disisihkannya arsitektur tradisional Bali dewasa ini juga patut dikemukakan. Yakni, tidakkah ada sebuah seting besar untuk menenggelamkan atau bahkan menghancurkan Bali melalui budayanya yang adiluhung ini? Mengingat, budaya Bali sedang mengalami ‘penjajahan’ dari derasnya aliran budaya luar yang menyaingi keunikan dan keluhuran budaya Bali. Salah satu unsur budaya yang ‘terjajah’ itu adalah arsitektur tradisional Bali tersebut. Yang jelas, arsitektur tradisional Bali harus menjadi tuan rumah di Pulau Dewata ini. Sangat memalukan, ketika warisan luhur para leluhur Bali tersebut ‘dibunuh’ secara pelan-pelan dengan sebuah pembiaran dari pemimpinpemimpin Bali maupun oleh generasi Bali. I Made Mirta Anggota Komisi A dan Anggota Badan Kehormatan DPRD Kota Denpasar

Suara Hati Topik : Ornamen arsitektur Bali terabaikan. Banyak jalan di Bali yang kini tidak memcerminkan Bali lagi. Selain dipadati PKL, bangunan yang ‘’memagari’’ jalan protokol sudah miskin ornamen stil Bali. Lihat saja Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Dari timur sampai ujung barat, sebagian besar berarsitektur apa adanya. Bahkan, tak jarang mengadopsi arsitektur luar daerah, sehingga tak salah kalau banyak wisatawan yang mengeluhkan bahwa Bali tak lagi mencerminkan kebaliannya. Sebagai masyarakat bagaimana suara hati Anda? Silakan sampaikan suara hati, kirim ke E-mail: balipost@indo.net.id. Panjang tulisan maksimal 1.000 karakter. Pendapat Anda juga bisa ditulis melalui surat dikirim ke Sekretariat Bali Post Jln. Kepundung 67 A Denpasar. Suara hati Anda yang beragam akan kami turunkan sesudah kami edit seperlunya. Redaksi

man akan registrasi penduduk. Sebagai sebuah gerakan nasional, partisipasi publik serta respons pemahaman dan kesadaran penduduk bisa digugah, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajibannya untuk memperoleh hak masing-masing. Dari sejumlah kasus tadi — tanpa mempersoalkan siapa yang salah atau benar — menurut penulis perbedaan hasil pendataan penduduk suatu wilayah/kabupaten/kota merupakan hal yang wajar karena adanya perbedaan sistem yang digunakan untuk pendataan tersebut, sehingga hasil akhir pendataan dipastikan akan mengalami perbedaan. Misalnya saja, pendataan yang dilakukan pemerintah daerah bersumber dari registrasi penduduk atau melalui dinas kependudukan dan pencatatan sipil berdasarkan aspek legalitas kependudukan yang dimiliki anggota masyarakat baik KTP maupun kartu keluarga. Sistem pendataan itu menyebabkan cukup banyak warga masyarakat yang tidak terdata dengan baik karena banyak warga masyarakat yang sudah lama tinggal/menetap di suatu daerah, tetapi tidak memiliki identitas secara resmi. Sementara data yang dikumpulkan BPS diperoleh melalui kondisi riil penduduk yang tinggal/menetap di suatu daerah, dan keberadaannya didata sesuai wilayah di mana penduduk tersebut tinggal/menetap. Kendati begitu, adanya perbedaan data kependudukan hendaknya tidak perlu dipersoalkan berlarutlarut. Sebab, data yang dihimpun pada akhirnya bisa saling melengkapi sesuai kebutuhan dan kegunaan, di samping tidak akan mempengaruhi program pembangunan kependudukan atau kegiatan pemerintah atau suatu lembaga apa pun lainnya. Memang keperluan data kependudukan yang digunakan biasanya berbeda, semisal data untuk penyaluran program Bantuan Langsung Tunai/Subsidi Langsung Tunai dan Jaminan Kesehatan Masyarakat. Jumlah keluarga atau anggota masyarakat yang menerima bantuan ini berbeda karena kriteria dan metodologi (kaidah statistiknya) juga berbeda. Karena itu, lagi-lagi, koordinasi dan sinkronisasi data kependudukan dari pihak penyedia data menjadi sesuatu yang harus terus-menerus ditingkatkan. Di samping itu, sadar atau melek statistik kependudukan dari segenap elemen masyarakat juga menjadi suatu keharusan karena dengan data penduduk yang lengkap, terukur, akurat, dan mutakhir akan mampu mencerdaskan bangsa. Penulis, Kepala Seksi Neraca Produksi, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali

POJOK Terima suap Rp 200 juta, hakim ditangkap. - Uang memang memabukkan. *** Mantan Bupati Jembrana I Gede Winasa bebas. - Jurus uang, bukan ya? *** Bupati Bagiada akui pengelolaan APBD belum optimal. - Gara-gara uang juga.

z Perintis : K.Nadha, z Pemimpin Umum: ABG Satria Naradha z Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Wirata z Redaktur Pelaksana/Wakil Penanggung Jawab: Alit Purnata zSekretaris Redaksi: Sugiartha z Redaksi: Alit Susrini, Alit Sumertha, Daniel Fajry,Dira Arsana,Mawa, Sri Hartini, Suana, Sueca, Wirya, Yudi Winanto z Anggota Redaksi Denpasar: Giriana Saputra, Oka Rusmini, Umbu Landu Paranggi, Subrata, Sumatika, Asmara Putra, Diah Dewi, Yudi Karnaedi, Wira Sanjiwani, Pramana Wijaya, Eka Adhiyasa, Dedy Sumartana, Parwata. Bangli: Pujawan, Buleleng: Adnyana, Gianyar: Agung Dharmada, Karangasem: Budana, Klungkung: Bali Putra Ariawan, Negara: IB Surya Dharma. Jakarta: Nikson, Hardianto, Ade Irawan. NTB: Agus Talino, Syamsudin Karim, Izzul Khairi, Raka Akriyani. Surabaya: Bambang Wiliarto. z Kantor Redaksi: Jalan Kepundung 67 A Denpasar 80232. Telepon (0361)225764, Facsimile: 227418, Alamat Surat: P.O.Box:3010 Denpasar 80001. Perwakilan Bali Post Jakarta, Bag.Iklan/Redaksi: Jl.Palmerah Barat 21F. Telp 021-5357602, Facsimile: 021-5357605 Jakarta Pusat. NTB: Jalam Bangau No. 15 Cakranegara Telp. (0370) 639543, Facsimile: (0370) 628257. Manajer Iklan: Suryanta, Manajer Sirkulasi: Budiarta, Manajer Percetakan: Mahadita, Marketing/Pengaduan Pelanggan: Kariawan, z Alamat Bagian Iklan: Jl.Kepundung 67A, Denpasar 80232 Telp.: 225764, Facsimile : 227418 Senin s.d. Jumat 08.00-19.00, Sabtu 08.00-13.00, Minggu 08.00-19.00. Tarif Iklan : Iklan Mini: minimal 2 baris maksimal 10 baris, perbaris Rp 35.000,- Iklan Umum: < 100 mmk Rp 40.000 per mmk, >100 mmk Rp 45.000 per mmk. Iklan Keluarga/Duka Cita: Rp 30.000 per mmk. Advertorial Rp 22.000 per mmk. Iklan Warna: 2 warna Rp 55.000, 4 warna Rp 65.000 per mmk. Pembayaran di muka, iklan mendesak untuk dimuat besok dapat diterima sampai pukul 18.00. Alamat Bagian Langganan/Pengaduan Langganan: Jl.Kepundung 67A Denpasar 80232 Tel: 225764, Facsimile: 227418. Harga Langganan: Rp 60.000 sebulan, Pembayaran di muka. Harga eceran Rp 3.000. Terbit 7 kali seminggu. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers: SK Menpen No. 005/SK/Menpen/ SIUPP/A.7/1985 Tanggal 24 Oktober 1985, ISSN 0852-6515. Anggota SPS-SGP, Penerbit: PT Bali Post. Rek. BCA KCU Hasanudin Denpasar AC: 040-3070618 a/n PT. Bali Post. Rek. BRI Jl. Gajahmada Denpasar A/C: 00170 1000320 300 an Pt.Bali Post. Sumbangan untuk orang sakit Rek. BPD Capem Kamboja, Denpasar No. 037.02.02.00016-8 A/n Simpati Anda, Dana Punia Pura Rek.BPD Capem Kamboja, Denpasar No. 037.02.02.00017-1 A/n Dana Punia Pura. WARTAWAN BALI POST SELALU MEMBAWA TANDA PENGENAL, DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA/MEMINTA APA PUN DARI NARA SUMBER


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.