Bali Post - Minggu, 11 Januari 2009

Page 17

Minggu Wage, 11 Januari 2009

BUKU Mandi Api Versi Inggris Judul: Ordeal By Fire Pengarang: Gde Aryantha Soethama Penerjemah: Vern Cork Tebal: i-viii, 152 halaman Penerbit: Arti Foundation, Denpasar

TIDAK sempat baca “Mandi Api” yang telah mendapat Khatulistiwa Literary Award tahun 2006 lantaran buku itu sudah ludes terjual di toko buku? Jangan khawatir. Baca saja versi bahasa Inggrisnya yang baru saja terbit. Pengarangnya Gde Aryantha Soetama yang sarjana Peternakan Unud tapi tak sempat beternak itu merupakan salah satu cerpenis terbaik yang dipunyai Bali. Gde Aryantha juga sudah dua kali menyabet gelar cerpenis Kompas terbaik, dan lebih lagi, kumpulan cerpennya “Mandi Api” mendapat hadiah bergengsi Khatulistiwa Literary Award yang melambungkan namanya. Beberapa saat lalu dia menunjukkan kepiawaiannya sebagai cerpenis dengan cerpen “Bantiran” yang dimuat Kompas Minggu dan tak mustahil akan menjadi cerpen terbaik Kompas tahun depan. Walau “Mandi Api” mendapat hadiah sastra, ternyata Aryantha tidak semenamena memasukkan ke-21 cerpennya dalam kumpulan itu ke dalam versi terjemahannya. Ternyata hanya 13 cerpen yang diterjemahkan ditambah dengan tiga cerpen lagi, sebuah ditulis tahun 1973. Jadi, delapan cerpennya harus dibuang, yang menurut Aryantha kurang merepresentasi persoalan Bali. Coba kita lihat cerpen-cerpen yang dimuat dalam “Ordeal by Fire” ini. Tiga cerpen yang ditambahkan adalah “Granpa Cekol” (1973), “Heaven for Farmers” (2006) dan “The Dancer from Timuhun” (2007). Kebanyakan cepennya dapat digolongkan menjadi cerpen-cerpen yang menampilkan tragedi terhadap orang Bali beserta budayanya karena pengaruh turisme. “Beautiful, Fertile Rice Fields” adalah sebuah ironi tentang dilahapnya dengan “santun” sawah-sawah indah di sebuah dusun di Bali oleh Pak Jamah yang semula ramah dan penolong sampai seluruh penduduk menggadaikan tanahnya padanya. Pada akhirnya, penduduk tunduk pada nafsu Pak Jamah membangun pondok-pondok untuk wisatawan di seluruh penjuru desa, dan para petani bekerja sebagai petani bohong-bohongan yang diupah untuk bertani menyenangkan turis, berfoto dengan turis. Aryantha memang menulis kenyataan pahit yang terjadi pada Bali. Akibat buruk turisme juga dikisahkan dalam “The Coconut Orchestra”, “The Dancer of Timuhun” dan “Rinjin’s Painting”. Kita menaruh simpati pada nasib tragis pada para seniman Bali berbagai bidang musikus, penari, pelukis. “The Coconut Orchestra” berkisah tentang harapan Mangku Rajeg untuk menghidupkan kembali kesenian Terompong Beruk yang sudah dinilai bagus oleh sejumlah ahli seni dan diundang pentas pada Pesta Kesenian Bali (PKB). Seni musik yang hampir punah itu dihidupkan kembali oleh Mangku Rajeg dengan harapan menyala, namun ketika dia sampai di arena PKB, dia kecewa karena tak ada penyambutan apapun, dan Gubernur yang dijanjikan tak muncul. Pertunjukan hanya dihadiri segelintir penonton dan lima orang turis asing. Peralatan musik di-

BUDAYA

17

Generasi Baru Wanita Sastrawan Bali Modern DUNIA sastra Bali modern dewasa ini menyaksikan munculnya pengarang generasi baru. Pengarang generasi baru ini adalah penulis-penulis wanita. Mereka adalah Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi (Denpasar, lahir 1965), I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini (Tabanan, lahir 1977), dan yang paling muda adalah Ni Kadek Widiasih (Karangasem, lahir 1984).

borong turis dengan harga lima belas juta rupiah tanpa izin Mangku Rajeg yang percaya bahwa alat-alat itu sakral dan tak bisa diganti begitu saja dengan alat baru, apalagi uangnya dibelikan peralatan gong kebyar, yang berarti membunuh Terompong Beruk. “The Dancer from Timuhun” kurang lebih menceritakan ironi yang sama tentang kelompok penari joged historis dengan penari utamanya Landri, yang menentang pendirian pentas di depan pura, sebuah tempat suci yang hendak dikomersialkan oleh Gusti Banturan pemilik Antarbenua Tour. Penolakan mereka direspons dengan angkuh oleh Gusti Banturan dengan mendatangkan musisi yang lebih wah dan penari-penari cantik dari Akademi Tari di Denpasar. Landri ngotot meninggalkan Timuhun untuk tinggal dengan neneknya. “Rinjin’s Painting” berkisah tentang ironi yang sama tentang nasib pelukis handal yang oleh art shop lukisannya hanya dihargai Rp 125.000 dan langsung laku dijual 750 dolar. Kejamnya dunia perdagangan seni yang dikuasi oleh art shop. Cerpen-cerpen lain berhubungan dengan adat Bali, agama dan budaya seperti “Ordeal by Fire”, “High Caste Walls”, “The Lie”, “Wayan Tanggu’s Grave”, dan “A Roast Chicken”. “The Gumatat Gumitit Puppets” adalah gabungan tentang tradisi dan akibat turisme, dan yang mengejutkan adalah kekejaman Karpu yang lemah lembut tetapi gara-gara sukses Soroh sampai hati membunuhnya di dalam suatu upacara menurunkan kepandaian mendalang. Agaknya, cerpen paling indah adalah “Heaven for Farmers” yang berkisah tentang petani tua yang meninggal dan diizinkan oleh Jogor Manik Penjaga Gerbang Sorga untuk memasuki sorga, sementara seorang pendeta terhormat tetap menunggu bertahun-tahun tetapi tak diperkenankan masuk sampai dia minta lahir kembali sebagai petani agar kelak bisa masuk sorga. Benar-benar ironis namun membuka mata hati kita tentang makna hidup dan pengabdian pada Tuhan. Pertanyaan sang petani pada akhir cerpen, “Is this heaven?” benar-benar satiris. Enam belas cerpen dalam kumpulan ini benar-benar menunjukkan keluasan dan kedalaman pandangan Aryantha tentang masalah Bali masa kini yang dilanda demam dolar. Namun dia juga mengungkap tradisi yang sudah mengungkung kehidupan orang Bali, sebagaimana dalam “High Caste Wall”, “An Auspicious Day”, “The Lie”, “A Roast Chicken”, serta kisah aneh tentang Pekak Cekol dalam “Grandpa Cekol” dan OKB dalam “Death by Misfortune”. Bagaimana pun juga, sebuah karya terjemahan sulit untuk menandingi karya asli dalam bahasa aslinya yang membawa emosi pembaca dalam merasakan ironi dan sarkasme yang terjadi dalam cerpen-cerpen ini. Namun Vern Cork sudah berusaha keras untuk mendekati karya aslinya sedekat-dekatnya. z sunaryono basuki ks, sastrawan dan pecinta buku

Trio penulis wanita ini mulai berkarya sejak awal dekade ini. Karya mereka dimuat di media massa berbahasa Bali seperti Buratwangi, Canang Sari dan Bali Orti yang merupakan suplemen Bali Post edisi Minggu. Kemunculan mereka sebagai generasi baru ditandai dengan terbitnya karya-karya mereka dalam bentuk buku pada tahun 2008. Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi menerbitkan buku kumpulan cerpen “Luh Jalir” (Perempuan Nakal), I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini kumpulan puisi “Taji” (Taji), dan Ni Kadek Widiasih kumpulan puisi “Gurit Pangawit” (Syair Pemula). Sebetulnya, selain ketiga penulis wanita ini masih ada nama lain seperti Luh Suwita Utami, Ni Wayan Winarti dan LP Manika Hermayuni, tetapi sejauh ini mereka belum menerbitkan buku. Namun, yang lebih penting adakah yang istimewa dari karya pengarang wanita generasi baru ini? Awal Era Baru Munculnya penulis wanita dalam panggung sastra Bali modern pantas dicatat karena hal ini pertama kali terjadi. Sejak awal kelahirannya, panggung sastra Bali modern senantiasa didominasi pengarang pria. Kehadiran penulispenulis wanita ini bisa disebut sebagai awal dari era baru dalam sastra Bali modern. Sastra Bali modern pertama kali muncul zaman penjajahan, tepatnya 1910-an lewat cerpen-cerpen karya Made Pasek (asal Buleleng) dan Mas Nitisastro (seorang guru di Bali Utara). Tahun 1931 untuk pertama kalinya terbit novel berbahasa Bali berjudul “Nemu Karma” karya I Wayan Gobiah asal Panjer, Denpasar. Lalu, akhir 1930-an, majalah Djatajoe menerbitkan secara bersambung

novel “Melancaran ka Sasak” karya Gde Srawana, nama pena I Wayan Bhadra dari Singaraja. Setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1959 muncul puisi karya Suntari Pr. Dalam dekade berikutnya sampai 1970-an, karya sastra Bali modern bermunculan lewat lomba dan penerbitan yang diprakarsai oleh Prof Dr I Gusti Ngurah Bagus lewat Balai Bahasa (dulu berkedudukan di Singaraja). Ada banyak penulis menonjol dari era ini antara lain I Made Sanggra, I Nyoman Manda, dan Jelantik Santha. Semuanya adalah pria. Sepanjang sejarahnya, baru mulai dekade 2000-an inilah panggung sastra Bali modern mencatat munculnya penulis wanita. Karya mereka menambah jumlah buku sastra Bali modern yang terbit tahun 2008 ini. Tahun 2008 terbit sembilan judul buku, meningkat dari lima judul tahun 2007. Karya yang terbit mewakili berbagai genre, yaitu puisi, cerpen, novel dan drama. Karya tahun 2008 menunjukkan keragaman tema dan pencarian estetika. Selain tiga buku karangan penulis wanita yang disebutkan di atas, ada enam buku karya penulis senior lainnya, termasuk I Nyoman Manda, Made Suarsa, dan I Nyoman Tusthi Eddy. Di antara pengarang itu, Nyoman Manda yang paling produktif dengan menghasilkan empat buku. Dalam dua dekade terakhir, produktivitas Nyoman Manda tidak pernah bisa dilampaui penulis lainnya. Sudah tiga kali Nyoman Manda mendapat hadiah sastra Rancage atas jasa dan kualitas karyanya. Perspektif Wanita Kehadiran pengarang wanita dengan karya-karyanya tidak saja menambah jumlah buku yang terbit tahun 2008, tetapi juga memperagam tema-tema yang digarap.

BPM/ist

BUKU - Buku karya I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini kumpulan puisi “Taji”, Ni Kadek Widiasih dengan kumpulan puisi “Gurit Pangawit”, dan Anak Agung Sagung Mas Ruscitadewi dengan kumpulan cerpen “Luh Jalir”. Walau tidak merata di semua karya, artikulasi masalah gender dari perspektif wanita mulai terasa. Ekspresi masalah sosial dalam sajak penulis wanita tidak kalah tajamnya dari karya-karya yang sudah ada. Penggarapan tema gender misalnya bisa dibaca dalam sejumlah cerpen Mas Ruscitadewi dalam kumpulan “Luh Jalir”. Cerpen yang sekaligus menjadi judul buku ini menampilkan tokoh utama wanita yang melakukan pembelaan atau penolakan terhadap citra wanita nakal dengan mengatakan bahwa yang nakal dan yang senang selingkuh sebetulnya tokoh prianya. Kepada tokoh pria, tokoh wanita dalam cerpen ini dengan lantang mendebat, “Tiang sing nyeh, pidan Bli misunayang tiang mamitra, khwala Bli sujatinnh bek ngelah mitra (Saya tidak takut, dulu Kakanda memfitnah saya selingkuh, tetapi Kakanda sejatinya banyak punya wanita idaman lain)”. Tema selingkuh relevan dengan situasi sekarang dan dalam kasus selingkuh kuasa patriarkhi biasanya memojokkan wanita. Dalam cerpen “Purusa ” (status sebagai pria) pengarang mempersoalkan bahwa status purusa tidak mesti selalu identik dengan pria karena wanita pun dapat menyandangnya. Mempersoalkan ketimpangan gender dengan perspektif wanita adalah salah satu ciri penting dalam cerpen-cerpen karya Mas Rus-

Dr. Achim Sibeth:

Fotografer Itu Saksi Zaman Denpasar (Bali Post) Seni membuka peluang lebih lebar bagi masyarakat Bali untuk menuju kancah internasional. Fotografi adalah salah satu yang banyak membuat fotografer Bali meraih prestasi tinggi. Itu karena fotografi merupakan perkawinan antara teknologi dan seni. Mendapat kesempatan pameran di luar negeri juga merupakan tantangan tersendiri, terlebih di sebuah museum budaya. Adalah fotografer Bali Auw Kok Heng, K. Sujana dan IB Putra Adnyana (Gustra) yang akan berpameran di Museum der Weltkulturen di Frankfurt, Jerman. “Ya, kami bertiga akan berpameran di museum terkemuka di Jerman itu,” jelas Gustra kepada Bali Post, Sabtu (10/1) kemarin. Dr. Achim Sibeth kurator Museum der Weltkulturen mengatakan, ketiga fotografer ini dipilih karena masing-masing dapat mewakili zamannya. “Mereka adalah saksi zaman,” ujar Achim Sibeth. Auw Kok Heng dengan menggunakan negatif kaca, K. Sujana dengan menggunakan media film slide dan Gustra menggunakan media digital. Achim Sibeth telah tiga kali melakukan pengamatan ke Bali untuk melakukan komunikasi dan kurasi kepada para fotografer. Saat tiga fotografer

ini berpameran di Galeri Santrian, Achim Sibeth yang kebetulan sedang tinggal di Hotel Santrian, sangat tertarik melihat kaloborasi ketiga fotografer ini, sehingga berniat mengundang mereka untuk berpameran di Jerman. Proposal pun dibuat dan disetujui oleh direktur Museum der Weltkulutren. Untuk itu, Achim Sibeth kembali terbang ke Bali pada Agustus 2008 untuk melakukan kurasi foto-foto yang akan dipamerkan. Pada Januari 2009, Achim Sibeth kembali ke Bali untuk melihat hasil cetak foto. “Saya sangat puas dengan kualitas foto yang akan dipamerkan. Tidak kalah dengan fotografer Eropa,” ungkap Achim Sibeth. Bagi dia, meski foto Bali telah banyak dipublikasikan oleh fotografer Eropa, baru kali ada foto Bali yang dipublikasikan oleh orang Bali sendiri. Dari pengamatan Achim Sibeth, ketiga fotografer memiliki gaya tersendiri. Auw Kok Heng sebagai fotografer dan penerima order cuci cetak foto hitam putih untuk turis yang ke Bali, memiliki gaya yang tidak berbeda jauh dengan fotografer asing yang ke Bali. Banyak karyanya yang memamerkan keindahan anatomi gadis Bali. Atau pemandangan pantai Bali yang bernuansa tropis dengan nyiur melambai. Lantas, K. Sujana yang

BPM/ist

KURATOR - IB Putra Adnyana (Gustra) bersama Dr. Achim Sibeth, kurator Museum der Weltkulturen, Jerman, tampak sedang memegang dua karya Gustra.

meneruskan bisnis ayahnya, lebih bernuansa klasik. Keindahan dan kesegaran cahaya matahari pagi saat membangunkan embun pagi adalah kesukaannya. Keceriaan penari Bali atau kelokan sawah Bali sangat menarik saat diabadikan K. Sujana yang banyak mengandalkan keindahan pencahayaan dan komposisi ini. Sedangkan pada karya Gustra yang pernah kerja di media massa, banyak terselip pesan yang bersifat humanis, sosial terkadang ada unsur humor. Namun sebagai orang Bali, pesan budayanya terasa kental. Karya Gustra nampak lebih terkonsep, bukan hanya mengandalkan snapshot. Seperti foto nenek di atas kursi roda dengan cucunya, gadis Bali berjalan dengan sesajen yang berisi dupa di tas titian kayu di tengah danau atau penari Manukrawa yang nampak dinamis. Snapshotnya juga tak kalah menarik denga sudut pengambilan lensa sudut lebar atau longshot. Untuk melengkapi era digital ini, juga dipamerkan foto infrared. Warna yang nampak tidak alami jadi indah dengan komposisi menawan. Dengan berkembangnya fotografi digital, kata Gustra, penguasaan teknologi fotografi bisa lebih memasyarakat. Bagi yang serius menekuninya, terbuka kesempatan untuk meraih prestasi dunia. “Untuk bisa mengikuti kompetisi internasional, biayanya relatif lebih murah karena fotografer cukup mengirim foto dalam bentuk file melalui internet. Jadi, rajin-rajinlah mengikuti perkembangan lomba foto berskala international di internet, kesempatan berprestasi terbuka lebar,” katanya. Dijelaskan Gustra, semua karya foto ketiga fotografer ini akan dijadikan koleksi permanen Museum Der Welkultren dan dilengkapi katalog setebal 120 halaman. Pemeran ini akan berlangsung pada 21 Agustus 2009 sampai 28 Februari 2010. (tin)

citadewi. Tema ketimpangan gender tidak begitu eksplisit dalam kumpulan puisi “Taji” karya Mahindu Purbarini dan kumpulan puisi “Gurit Pangawit” karya Kadek Widiasih. Meski demikian, karya-karya mereka bisa dianggap sebagai artikulasi aspirasi atau perasaan wanita. Sajak Mahindu Purbarini “Nengil Sing Nengil Bengil” (Diam tak diam tertindas) bisa ditafsirkan sebagai artikulasi atas takdir wanita sebagai insan tertekan. Sajak ini secara simbolik mengingatkan bahwa wanita tak punya pilihan lain, bertindak atau tidak, mereka sepertinya akan selalu tertekan di bawah kuasa patriarki. Sajak Kadek Widiasih “Beli Made” mengekspresikan kesetiaan wanita kepada seorang pria yang dicintainya (beli made tiang masatya). Kesetiaan wanita terhadap pria membuat mereka semestinya mendapat cinta yang selayaknya. Walaupun sajak ini dan sajak-sajak Kadek Widiasih dan Mahindu Purbarini lainnya tidak secara spesifik mengangkat masalah gender, karya mereka merupakan artikulasi situasi sosial dan budaya di Bali dari perspektif wanita. Dalam mengungkapkan masalah sosial budaya Bali, ekspresi pengarang wanita tidak kalah tajamnya dengan pengarang pria. Dalam sajak “Baline Dadi Titi Ugal Ugil” (Bali bak Jembatan Kropos), Mahindu Purbarini dengan keras mengungkapkan bahwa

sawah-sawah di Bali digempur petir bermata dolar (carike sander tatit mamata dolar). Dilihat dari segi temanya, sajak ini merupakan salah satu sajak yang baik dalam kumpulan ini karena merefleksikan kondisi Bali dewasa ini yang tereksploitasi. Belum Merata Satu catatan penting yang perlu disampaikan dalam karya-karya sastra penulis wanita Bali adalah belum meratanya kekuatan ekspresi estetis. Dalam kumpulan puisi ada sajak yang kuat, ada yang tidak. Beberapa cerita mengambil tema yang baik seperti masalah kasta atau keturunan di luar pernikahan tetapi penulisannya masih terlalu sederhana, kurang kompleks, kurang dalam. Lukisan konflik dan ending (akhir) cerita di sana-sini masih belum berhasil membangun cerita yang utuh. Meski demikian, kehadiran generasi baru pengarang wanita dalam panggung sastra Bali modern tetap pantas dicatat sebagai awal era baru. Kehadiran mereka dan karyanya tidak saja meramaikan panggung sastra tetapi juga ikut membentangkan fondasi estetis yang akan menentukan karakteristik sastra Bali modern di masa datang. Usia mereka masih relatif muda yang berarti bentang waktu untuk mematangkan kreativitas cukup panjang. z i nyoman darma putra, dosen Faksas Unud

AGENDA PENTAS DRAMA DI UNDIKSHA — Awal tahun 2009 ini disemarakkan pementasan 4 naskah drama dari mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universita Pendidikan Ganesha dalam memenuhi ujian akhir mata kuliah drama. Empat naskah itu adalah “Oedipus the King” karya Sophocles, “Antigone” karya Sophocles, “The Importance of Being Earnest” karya Oscar Wilde, dan “The Woman of No Importance” karya Oscar Wilde yang dipentaskan berturut-turut pada 4, 6, 10, dan 12 Januari 2009. Pentas ini digelar di Aula Kampus Bawah Undiksha, Jalan Ahmad Yani 67A Singaraja, pukul 19.00 Wita. Acara ini dibuka untuk umum dan tidak dipungut bayaran. PAMERAN DAVINA STEPHENS — Perupa Davina Stephens menggelar pameran tunggal bertajuk “This Side of Paradise” di Ganesha Gallery, Four Seasons Resort Bali, Jimbaran. Pameran digelar 18 Desember 2008 s.d. 12 Januari 2009. PAMERAN DI KLUNGKUNG — Sejumkah pelukis dan pematung memamerkan hasil karyanya di Bharata Museum & Gallery yang dibuka resmi 15 Desember 2008 lalu dan berlangsung hingga 14 Januari 2009. Pameran ini dalam rangka HUT ke-3 museum yang berlokasi di Banjarangkan Klungkung itu. Para seniman yang terlibat dalam pameran ini adalah IB Gede Sutama, W. Beratha Yasa, M. Bratayasa, IB Sunartama, Michael O’Faolin, N. Suyasa, IB Dharma Putra, P.W. Mataram, N. Sudarta dan W. Gawiartha. Aliran atau gaya yang ditampilkan para seniman senior dan yunior ini adalah kontemporer, abstrak dan naturalis. PAMERAN DI BIASA ARTSPACE — Biasa Artspace Jln. Raya Seminyak Kuta menggelar pameran bertajuk “Fools’lore: Folklore Reload”. Pameran ini menampilkan sejumlah karya lukis-grafis dari Santi Ariestyowanti dari Desain Komunikasi Visual dan Dyatmiko Bawono dari Desain Interior FSR ISI Yogyakarta. Kedua perupa ini melihat dan menampilkan ulang berbagai simbol dari cerita rakyat, dongeng, dan berbagai epos yang dikenal di Nusantara.

BPM/ist

PAMERAN - Dyatmiko Bawono dan Santi Ariestyowanti yang memamerkan karya-karyanya dalam pameran “Fools’lore: Folklore Reload” di Biasa Artspace, Kuta.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.