Edisi 11 April 2010 | Balipost.com

Page 16

16

Minggu Wage, 11 April 2010

Nusa Penida Dalam Lamunan Getaran Vibrasi...

zDialektika INI terjadi pada suatu sore di Padangbai. Puluhan orang tua muda laki perempuan berpakaian adat serba putih, masingmasing membawa keben dan rangsel, berdesakan memasuki ferry yang akan menyeberangkan mereka ke Nusa Penida, sebuah pulau kecil di selatan Klungkung. Siapakah mereka itu? Tanpa perlu memeriksa KTP, kita segera tahu bahwa mereka adalah rombongan orang yang ‘’disedot’’ oleh kekuatan magis Pura Dalem Ped, di Nusa Penida, yang kini menjadi salah satu tujuan tirtayatra. Rombongan orangorang itu dalam istilah sekarang disebut pamedek, atau bhakta. Dibandingkan dengan objek tirtayatra lainnya, seperti Alas Purwo, Semeru, Lombok, India, dan beberapa lainnya yang ada di Pulau Bali, Pura terkenal di Nusa Penida ini termasuk yang paling diunggulkan. Apa sebabnya? Barangkali karena banyaknya cerita yang tersebar dari mulut ke mulut bahwa pura itu lain daripada yang lain. Dan barangkali cerita itu benar, sehingga semakin banyak saja orang tersedot. Dan barangkali orangorang sekarang perlu bukti untuk bakti. Saya terkesima oleh apa yang saya lihat. Tepatnya, terkesima oleh apa yang saya pahami tentang apa yang saya lihat itu. Sekujur pikiran saya dipenuhi oleh lamunan tentang dialektika antara Yang Dituju di sana dengan yang menuju ke sana. Sebagaimana umumnya isi lamunan, tentulah tidak jelas mana ujung mana pangkalnya. Namun demikian, isi lamunan bukanlah sampah yang serta-merta mesti disingkirkan. Karena itulah saya menuliskannya. Apalagi saya percaya kata buku, bahwa bila di hati ada kerinduan untuk ‘’mendekat’’ kepadaNya, berarti Ia sedang bekerja di dalam hati. Ferry tujuan Nusa Penida itu telah bergerak semakin jauh ke tengah laut. Rombongan tirtayatra itu semakin dekat ke tujuan, baik secara geografis

zLukmanul Hakim SAJAK INSOMNIA bosan dengkur dalam jaga aku mau tidur saja lelah cerita alam nyata aku mau tidur saja gerah bercinta dengan kata aku mau tidur saja aku tidur moga saat bangun dengkur lupa jalan kata, nyata dan jaga

maupun fisik. Dekat secara geografis berarti sisa jarak tempuh semakin pendek. Dekat secara fisik berarti (barangkali) badan kasar dan badan halus masing-masing orang mulai merasakan getaran vibrasi Pura Dalem Ped. Ketika ferry itu nampak seperti sebuah titik kecil dan kemudian menghilang di kejauhan, mata saya tidak bisa lagi mengikuti rombongan itu. Karena secara fisik mata saya dibatasi oleh apa yang disebut jarak pandang. Telebih lagi saya sedang diam di satu titik. Diam berarti tidak mendekat dan tidak juga menjauh. Tapi yang namanya lamunan, ternyata bisa sampai duluan di Pura Dalem Ped. Namun demikian, tidak ada shastra yang mengatakan bahwa seseorang bisa mendekat ke Tujuan secara lamunan. Tapi biarlah! Saya toh tidak sedang ber-shastra. Saya hanya sedang melamun dalam perjalanan dari Bali menuju Lombok. Jadi bagaimana pun juga, tirtayatra itu pertama-tama adalah bagaimana fisik, dalam arti gerak, nyata, keringat, debu, uang, waktu, tempuh, dan seterusnya. Orang yang hanya diam di satu tempat, tidak akan pernah dikatakan sedang melakukan tirtayatra atau dharmayatra, walaupun pikirannya meloncat dari satu pura, ke kuburan, ke puncak gunung, ke dalam gua, ke tengah laut, ke pura lagi. Tidak ada tirthayatra atau dharmayatra dalam lamunan. Tidak juga tirtayatra dalam tidur. Apalagi tidur yang penuh mimpi dan mengigau. Barangkali bukan hanya tirtayatra, tapi agama itu sendiri adalah masalah action yang nyata. Itukah yang ingin disampaikan oleh para Dang Hyang dan para Mpu yang dulu dari satu pulau melakukan dharmayatra ke pulau lain? Barangkali saja. Bukankah terbukti mereka datang dan pergi selalu ‘’membawa’’ fisiknya. Tidak satu cerita agama pun yang pernah mengatakan bahwa mereka melakukan dharmayatra dengan cara meninggalkan fisiknya di pasraman masing-masing. Barangkali cerita itu ada, dan barangkali banyak jumlahnya. Namun itu bukan cerita tentang tirtayatra, tapi tentang sebuah kedigjayaan batin. Baiklah action kalau begitu. Apakah action rombongan ke Pura Dalem Ped itu terjadi karena kekuatan besar yang dibangun secara bersama-sama oleh bermacan cerita yang pernah dibuat orang tentang Pura itu, baik kisah nyata maupun kisah imajinasi? Ataukah action mereka itu terjadi justru karena

suatu hari nanti kucium dadamu dan kuselipkan mawar yang diwariskan dewa-dewa, lalu segera kemasi deru mesin kapal dan riuh ombak agar kita bebas berlayar menempuh jalan camar jalan bergurat rapi di tepi tebing sorga

tak ada surga di lautmu hanya tubuh lumut bau bacin di atas batu batu yang kemarin mewakili rinduku pada awan dan hujan kamu berteriakteriak di tengah samudera memanggilku berkalikali dengan umpatan aku purapura membangun candi dari pasir

KAKEK TUA tua itu berjalan lagi seperti biasa. Seekor anjing kecil mendahului langkahnya, sambil mengendus-endus sesuatu di jalan beraspal. Hujan semalam telah membuat segalanya basah. Pohon, atap rumah, trotoar. Kakek itu tidak berusaha menghindar dari genangan air di sisi jalan. Ia biarkan saja kakinya yang terbungkus sepatu kets abu-abu itu menginjak air sehingga menimbulkan ciprat kecil yang mengenai anjing di depannya. Si anjing, yang seakan meniru tingkah tuannya, juga tak peduli pada air yang menimbulkan warna coklat yang nampak kotor di bulu putihnya. Mereka berjalan seperti yang lainnya. Dari sini, masingmasing seperti berada di dunianya sendiri. Si kakek menatap lurus ke depan, sama sekali tak nampak hirau pada beberapa orang yang juga menikmati kesegaran pagi hari bulan Mei ini. Sedang anjing putih itu, asyik mengendus kesana kemari, entah apa yang dicari. Tak ada yang tahu, darimana ia berasal. Tiba-tiba saja beberapa bulan lalu, ia menempati pondok kosong di pinggir desa. Melihat kakek tua sebatang kara yang hanya ditemani seekor anjing kecil serta keterpencilannya dari keramaian desa, orang-orang pasti akan mengingat salah satu film lama yang persis menggambarkan keseharian kakek itu. Orang û orang tentu menduga-duga siapa sebenarnya dia. Jangan-janganiaagennegarayangtengahmenyamar untuk sebuah kasus kriminal rahasia. Atau ia adalah profesor yang menyembunyikan diri karena penemuannya yang dianggap berbahaya bagi kehidupan manu-

Akan kau maknai apa karang yang gerigis Diserang gelombang itu, sayangku Mungkin kau bayangkan Nuh Tengah mengangkut gelisah, Biri-biri dan bait-bait puisi Yang teduh buat pemujaan bagi Kebijaksanaan Dalam semangkuk kesunyian Atau sekadar kau bayangkan aku Yang keping, Terserat ke pinggir bersama pasir Tempat kanak-kanak berlarian Memburu jingking. Mungkin juga sri ayati: mengenang Chairil Pada senja di pelabuhan kecil. Tinggal sepi. Lalu kau usap jejak kaki, sebelum Diamisi laut kembali

tempelkan lagi pumflet-pumflet kosong di atas bambu renta, mimpi yang menyangsang pada kail kosong di pintu laut bergeming ribuan ikan kelaparan ‘’hari ini tak ada nelayan berkapal’’

matahari tenggelam dalam air garam sinar asin menghitam pekatkan kulitmu mirip neraka yang kucipta di hari sabtu selusin warna tak bisa kucatat di sini membuatmu tergigil; lalu kamu menganggapku laut dengan ribuan gelombang yang berbeda

■ CERPEN

zNdika Mahrendra CERITA MURUNG DARI LAUT

zFairuzul Mumtaz PERJAMUAN YANG LINDAP

zAhmad Muchlish Amrin LAUT (2)

lalu badai datang mengayunkan tubuhnya mirip dewidewi yang menawarkan perselingkuhan abadabad laut jadi debur cinta di luar suka cita; mata air mata ditumpahkan camar ketika mencelupkan sayapnya di puncak ombak menggelora dan kamu segera mengirim kabar lewat angin

mereka sedang mencari bukti demi bakti? Bukankah bukti dan bakti itu dua hal yang saling memperkuat satu sama lainnya. Rasa bakti akan semakin menguat dengan adanya buktibukti. Sebaliknya, semakin bakti semakin mudah menemukan bukti. Karena kembali buku juga mengatakan, bagi orang yang memiliki ketajaman hati, apa saja yang ada bisa menjadi bukti tentang Yang Ada itu. Lamunan saya terputus. Tiba giliran saya untuk masuk ke dalam konstruksi besi bernama ferry. Saya tidak sedang tirtayatra atau sedang ber-dharmayatra. Saya hanya sedang membawa fisik saya menuju satu tempat yang mesti ditempuh juga dengan action! Lamunan seperti yang saya ceritakan di atas, hanyalah sekadar bumbu sebuah action. Jangan tanya apakah itu bumbu penyedap atau bumbu pemberat sebuah perjalanan. Ketika sandhyakala turun di tengah laut, Nusa Penida nampak seperti sebuah ferry raksasa dengan posisi terbalik. Tidak ada action apa pun yang bisa saya lakukan dari dalam ferry untuk sebuah Nusa Penida yang seakan memanggil-manggil, selain lagi-lagi melamunkannya. Tapi ini bukan lamunan agama, apalagi agama lamunan! zibm. dharma palguna

tangis itu, kini, di dasar laut. aku membawanya dari cerita yang dipanggul waktu dari suratan pemakaman tanda yang tertulis pada alamat cinta telah sampai kisah cerita telah membahasakan dirinya sendiri : di suatu pagi yang tak kukenal mataharinya di suatu pagi yang menerbitkan tangis itu lagi. kita ini binatang laut, katamu. aku menerjemahkannya jadi kerlip kunang-kunang yang berebutan menyala di padang pasir, lalu kau pergi tanpa membawa nafasmu, kusimpan di dada kiriku agar a menjadi setia, menunggu angin : pemukiman kepak sayap dan jerit malaikat. aku tak menemukan siapapun untuk pulang gerit waktu tak mampu menjinakkan gelombang yang berlari ke gelombang. matanya tertutup gerhana yang membakar, dan dari segala pintu aku lindap di mimpi anak nelayan.

Kakek Tua Oleh Ni Putu Rastuti sia. Bahkan mungkin ada juga yang mengira ia adalah residivis yang bertobat setelah hampir membunuh dirinya sendiri dengan terjun ke jurang, tapi berhasi diselamatkan seekor orang hutan baik hati, persis seperti film Tarzan. Suatu hari, di musim kemarau awal bulan April, seorang pria muda dengan tubuh tegap yang mengendarai mobil merah marun, mendatangi rumah kakek yang terletak di pinggir desa itu. Seorang penduduk melihatnya, lalu memanggil warga - warga yang lain. Dari balik semak berduri yang tumbuh di sisian jalan, mereka mengintip rumah itu. Tapi hingga sore hari tak ada apapun yang terjadi. Sebagian besar menyerah, ada yang tetap berdiam sambil menahan kesemutan di kakinya. Ada yang berulang menggerutu tetapi tetap memilih untuk bertahan. Selama sekian jam, tak ada hal menarik, yang diharap-harapkan orang-orang itu. Mungkin mereka berpikir akan menyaksikan suatu adegan aksi, dimana kakek itu berjuang mati-matian menangkis pukulan dari lelaki bertubuh tegap. Atau mereka menyangka akan melihat dan mendengar adu tembak di antara keduanya, persis seperti filmfilm action tengah malam yang ditayangkan di TV. Ah, ada dua kemungkinan dari keingintahuan warga itu. Satu, imajinasi mereka yang memang tiada batas, sedangkan yang kedua sebenarnya mereka cuma butuh hiburan yang lain, karena televisi akhirnya sungguh-sungguh membuat bosan. Kisah hidup si kakek yang penuh misteri itu merupakan contoh hiburan yang menarik, satu-satunya, selain tayangan gosip yang berulang mengabarkan berita-berita yang sama.

Pemandangan kakek dan anjingnya tiap sore, selama beberapa waktu belakangan, selalu menjadi sesuatu yang mampu menyita perhatian warga. Seakan, justru karena kesendirian dan kebungkamannya itulah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi warga untuk terus menerus berkhayal tentang siapa sesungguhnya dia. Setiap pukul 4 sore, ketika matahari hampir sampai di arah barat, kakek itu akan mulai melakukan kegiatan hariannya. Dari gerbang sekolah, saya dan teman-teman biasa duduk memperhatikannya. Meski sore itu hari agak panas, ia selalu memakai sweter rajutan. Kalau dihitung-hitung, dia punya 3 jenis sweter masing-masing dengan 2 warna yang berbeda. Dua yang berwarna merah, berpola horizontal sederhana, sepertinya itu adalah buatan tangan. Dua yang hijau bergaris-garis putih vertikal dan ada angka tujuh di depannya. Dua yang coklat berpola menyamping, dengan leher yang agak tinggi, dan salah satunya tampak kekecilan untuk tubuh tingginya itu. Mula-mula, ia membuka pintu rumahnya, berdiri sebentar sambil menggerak-gerakkan lehernya, seolah baru saja usai mengerjakan sesuatu yang melelahkan. Lalu ia akan mengambil kunci di saku kiri celananya, menguncinya kembali, kemudian menuju kandang anjing. Ia tak pernah menutup pintu gerbangnya. Lalu ia akan berbelok ke kiri, ke perbatasan kota. Pada pukul setengah 6 sore ia akan nampak dari arah yang sama. Ia sepertinya tak pernah mengambil jalan memutar yang melewati taman kota, karena ia selalu kembali dari arah mula ia berjalan. Kalau dipikir-pikir apa yang kira-kira ia lakukan sebelum pukul 4 sore. Apakah ada

SEBUAH perahu bermotor dari Nusa Penida berlabuh di pesisir Sanur. Satu persatu penumpangnya turun. Beberapa di antaranya adalah perempuan muda belasan tahun. Tak jauh dari tempat perahu berlabuh, beberapa orang sedari tadi menanti kedatangan mereka. Siapa itu yang dinanti, dan siapa pula itu yang menanti? Yang dinanti adalah para pembantu rumah tangga, baik yang balik ke Bali setelah pulang kampung untuk Galungan, maupun yang baru pertama kalinya datang sebagai calon

Nusa Penida: Cerita Grubug ... zMistisia Urusan

Peristiwa Epidemik...

SANG SAKA smkn-1, LAYOSE smak Santo Yoseph, LIMAS0sman-5, sambil berlatih bawa karya bahan diskusi, infoNONSTOPkring: 081529-040-616, 085237-153-087, 081236-980-644- (Trisneza...)

BANYAK cerita yang dibuat orang tentang Pura yang satu ini. Salah satunya adalah cerita yang berhubungan dengan pengayah (‘pembantu’). Bukan pembantu rumah tangga seperti kasus di atas, tapi pembantu ‘’alam lain’’ di pura itu. Cerita ini sering dituturkan oleh orang-orang tua, terutama ketika Bali mengalami apa yang disebut grubug, sejenis wabah, atau sampar. Pada masa grubug konon banyak orang mati secara misterius. Pagi sehat, siang sakit, sore mati. Dalam sehari orang-orang bisa lima kali lebih bulakbalik ke kuburan untuk menguburkan sanak saudara, teman, tetangga. Tidak hanya itu, pada masa grubug konon banyak pula orang melihat berbagai makhluk alam lain yang berwujud anehaneh di siang bolong, di jalan, di tegalan, di sawah, di sungai, bahkan di pekarangan rumah. Pada malam hari sering terdengar suara memanggil-manggil dari pekarangan atau dari jalanan. Konon kalau ada yang sampai telanjur menyahut, maka esok harinya adalah gilirannya mati. Begitulah antara lain penuturan mereka tentang grubug. Penuturan secara lisan tentu jauh lebih seram daripada apa yang mampu ditulis di sini. Apa yang terjadi? Orang-orang tua dulu punya penjelasan tersendiri. Katanya utusan Bathari yang sakti yang beristana di Pura Dalem Ped sedang menyusup ke desa-desa di seluruh Bali bertugas mencari orang-orang yang akan dijadikan pengayah di pura itu. Penjelasan itu sangat mereka yakini, selain karena didukung oleh pembenaran suara balian taksu (medium) yang kerasukan, juga karena peristiwa mencekam itu terjadi berulang kali sesuai dengan siklus waktu tertentu. Begitulah cerita yang tersebar, warisan dari masa lalu. Masih ada tambahan penjelasan dari cerita itu. Konon yang direkrut sebagai pengayah adalah orang-orang yang tidak mengenakan gelang tridatu, yaitu gelang yang dibuat dari benang tiga warna: putih, merah, hitam. Juga orangorang yang pintu pekarangan dan pintu rumahnya tidak dipasangi sarana penolak yang terdiri dari ujung daun pandan berduri, kasa putih berajah, dan selengkapnya. Begitulah cerita yang tersebar di balik grubug: roh orang yang mati menjadi pembantu alam lain di Pura Dalem Ped Nusa Penida. Bagaimana cara memahami peristiwa epidemik yang berubah menjadi cerita mistis ini? Bermacam-macam pemahaman orang. Ada yang memahaminya sebagai versi berbeda atas ‘’sejarah resmi’’ yang selama ini mendongengkan Nusa Penida sebagai tempat pembuangan orangorang yang dihukum oleh raja-raja Bali. Ada pula yang memahaminya sebagai ‘’perlawanan mistis’’ ala Nusa Penida terhadap dominasi Bali. Atau sebaliknya, justru sebagai pengakuan Bali atas ‘kedaulatan’’ Nusa Penida, karena cerita itu ada di Bali. Dan jangan lupa, banyak yang memahaminya sebagai kebenaran apa adanya. Maksudnya, memang benar utusan Bathari Pura Dalem Ped melanglang di Bali mencari calon pengayah. Lalu, apa hubungannya orang kota di Bali sekarang yang mencari pembantu dari Nusa Penida? Entahlah. Sepintas lalu keduanya seperti tidak berhubungan. Yang satu adalah fakta sekarang, sedangkan yang satunya lagi adalah cerita masa lalu. Yang satu murni urusan domestik, sedangkan yang satunya lagi menyangkut urusan mistik. Yang satu bisa dijelaskan dengan sederhana dan rasional, sedangkan yang satunya lagi rumit dan cederung irasional. Yang satu berhubungan dengan kehidupan di rumah tangga, sedangkan yang satunya lagi berhubungan dengan kehidupan di alam lain. Jadi, ‘’barangkali’’ keduanya terpisah. Barangkali sangat berhubungan! Sebuah selat menghubungkan atau memisahkan Nusa Penida dengan Bali? zibm. dharma palguna

sesuatu yang bisa membuatnya betah tinggal seharian di dalam rumah. Ia tak mungkin bermain dengan anjingnya, karena anjing itu berada di luar, hanya sekali yakni pada siang hari ia keluar rumah membawakan makanan. Ia tak mungkin menonton sinetron apalagi DVD, sebab setahu saya tak ada aliran listrik ke rumahnya. Lalu bagaimana bisa ia menghabiskan malam dalam kegelapan, sendirian pula. Suatu hari terdorong desakan yang benarbenar dahsyat dari dalam diri, saya mengumpulkan keberanian mendatangi rumah kakek itu. Tapi, alangkah kecewanya saya, sebab setelah hampir seminggu saya kumpulkan tetes demi tetes keberanian itu untuk memasuki rumah itu, saya tak menemukan satupun hal yang tak biasa, atau keanehan-keanehan pada rumahnya. Seperti rumah-rumah lain di kota, ada berbagai perabotan, hanya saja lebih sederhana. Ada rak buku dan kursi goyang di samping jendela, ada beberapa lukisan tergantung di dinding. Semuanya benar-benar tidak memperlihatkan suatu keanehan. Tapi setelah sampai di rumah, kemudian menonton film tentang sekelompok penyihir, saya jadi kembali menduga-duga, tak mungkin semuanya tampak begitu sederhana. Penampilan luar hanya mengecoh saja. Saya begitu terperanjat dengan jalan pikiran sendiri. Kemudian saya merencanakan untuk kembali ke rumah kakek itu. Saya yakin, pasti ada ruang rahasia di balik lukisan-lukisan atau rak penuh bukunya. Ya, pasti ada suatu tempat tersembunyi, yang biasa ia masuki, untuk menghabiskan waktu hariannya, dengan mengerjakan proyek-proyek rahasianya. Jika salah satu lukisan-lukisan itu saya pegang ujungnya maka akan muncul lorong gelap di dinding, dan satu tombol di samping dinding pastilah saklar lampu yang bisa menyala seketika jika disentuh. Tapi tunggu dulu, bagaimana mungkin ada saklar lampu jika tidak ada aliran listrik di rumah itu. Ah, semakin saya berpikir, waktu akan terbuang percuma.

semacam keinginan untuk membeberkan segala rencana saya. Tapi memberi tahu mereka apa yang akan saya lakukan tentu membuang-buang waktu. Jadi, saya hanya menyapa sekilas lalu segera melanjutkan langkah. Saat saya berada kurang lebih seratus meter dari arah rumah si kakek, sebuah mobil merah marun yang beberapa waktu lalu dibawa seorang lelaki bertubuh tegap, terlihat parkir di depan pintu gerbang. Awalnya saya ragu, tetapi akhirnya saya beranikan diri untuk mendekat kesana. Kali ini saya sungguh tak berharap akan menyaksikan adegan aksi seperti di televisi. Tinggal beberapa langkah dari pintu depan si kakek, seorang wanita muda menghampiri saya. Sepanjang ingatan saya, saya belum pernah bertemu dengannya, tapi ia tersenyum begitu ramah, hingga seolah saya merasa dialah yang ingin saya temui di sini. Setelah berbasa-basi, menanyakan nama dan asalnya, akhirnya dia mengatakan bahwa kakek tua itu adalah kakeknya. Ia kehilangan kemampuan bicara setelah kematian istrinya, setahun lalu. Menurut dokter, kakeknya menderita gangguan psikologis karena kehilangan orang yang sungguh disayanginya. Mendengar semua itu, saya diliputi perasaan yang sungguh aneh. Di perjalanan pulang, tiba-tiba saya menyadari sesuatu. Seketika kepala saya begitu sakit. Tak saya pedulikan beberapa teman yang menyapa. Sampai di rumah, segera saya menuju kamar Ibu. Saya minta maaf padanya atas kekeliruan saya, atas ketidakpahaman saya mengenai perasaannya terhadap ayah. Dan karena saya lebih mementingkan menguak misteri seorang kakek tua, seperti adegan-adegan film yang saya tonton, daripada memikirkan keadaan ayah dan memahami perasaan ibu saya. Saya pun paham, mengapa Ibu berulang mencoba menelepon ayah di perjalanan. Ketakutan karena kehilangan orang yang disayang.

zChairan Hafzan Yurma PERUNTUNGAN BERMAIN NASIB

menyedu maut dalam teh pagi semalam, angin menyumbat pori kemana hendak kutendang sakit gelap? hari ini, matahari menepis tamu halaman istana cahaya sejumlah pasir telah dikirimkan dari muara sebagian lagi hening disaku pedagang -selain uang ‘’makan atau hidup?’’ menjelmalah semua harap meski remah tersisa di tembikar tua sesaat lagi, dayang menitis pelacur malam berdiri di atas lantai yang gemetar menyapu tuntas segala yang kita lupa

zAs’adi M. Samilona PADANG SEPI maka tumbuhlah sepi di padang semesta akar akarnya menjalari jantung dan persendianku ke mana bulan dan matahari sirna meninggalkan selaut malam yang dalam memanggil manggil kematian kubaca sepi yang telah berdaun ranting rantingnya menusuk langit : ada sembilu dan maut menguntitku

pembantu rumah tangga. Sedangkan yang menanti adalah keluarga-keluarga kaum urban yang membutuhkan jasa seorang pembantu untuk mengurus rumah dan anak-anak yang sehari-harinya mereka tinggalkan kerja. BEGITULAH, Nusa Penida belakangan juga dikenal sebagai pulau kecil yang banyak memasok pembantu rumah tangga bagi kota-kota seperti Denpasar misalnya. Menurut penuturan beberapa keluarga yang mempergunakan jasa mereka, masih lebih bagus memakai jasa pembantu rumah tangga asal Nusa Penida daripada memesannya lewat biro jasa. Dari beberapa alasan yang mereka paparkan, hampir semuanya masuk akal. Tapi tulisan ini bukan tentang nasib pembantu rumah tangga, bukan pula tentang Undang-Undang Ketenagakerjaan, tapi masih tentang Nusa Penida yang secara politis ada di wilayah Kabupaten Klungkung. Bahwa Nusa Penida belakangan dikenal sebagai pemasok tenaga pembantu rumah tangga yang andal, itu hanyalah salah satu identitas tambahan yang dipasangkan pada pulau kecil itu. Sedangkan identitas utama Nusa Penida dari dulu sampai sekarang tetap Pura Dalem Ped, yang seakan menjadi ‘’ibu kota’’ Nusa Penida. Sebuah ibu kota mistis!

zAhmad Muchlish Amrin LAUT (3) memang laut yang agung itu telah menyusun sekian penghianatan dan teriteri tak pernah melepas senapan merombak manikam mutiara di dasar dewidewi laut memuntahkan isi perutnya ke pantai; anak binimu mengambang bagai ikanikan bintangbintang bagai binatangbinatang yang mulai main curang; pelaut-pelaut menutup mata untuk tiba di jangkar hmm, memang aku mencipta laut dari tekateki silang yang kubuat sendiri bila kamu tak bisa menaruh kata dan gambar hiu dengan tepat kamu akan mengambang seperti anakbinimu ternyata, kamu mengumpatku di dalam kamarkamar kapal pesiar kamu menyetubuhi waktu dan membohongi kabar badai yang tersiar di loudspiker ujung tiang pancang yang mirip bulu matamu; aku akan merayakan semerbak duka cita.

run silent..., run deep.... in the long long run, sail along SMSoliloquy

Coming on Age in Balidwipamandala ... 16 Agustus 2008

16 Agustus 2010

zSMPN-Desa Kutampi Nusa Penida, Hallo Bli Sukarma dkk... Sabar Menanti Pengumuman Hasil UNAS, Mana Monolog nya... KLUNGKUNG April BULELENG Juni KARANGASEM Agustus

BANGLI Mei JEMBRANA Juli BADUNG September

zBulan Oktober BULAN (Yoga-Sastra) BAHASA SP - 81 Tahun... Siung-buih, Kacang Merah Nusa Penida, Bypass Dasar Segara... TABANAN November IBUNDA-SR Desember GIANYAR Januari DENPASAR Februari SINGARAJA Maret

zRegresi Re-IntenS-Beh di Kampung SEBUD Snerayuza... Yang SMP yang Menulis Kreatif di TRISULA Denpasar’art...

Setelah meyakinkan diri beberapa kali, saya memutuskan untuk kembali masuk ke rumah kakek tua itu. Baru saja saya keluar beberapa langkah dari halaman, ibu memanggil-manggil. Ada kepanikan dari nada suaranya. Ternyata ibu baru saja mendapat kabar dari Surabaya bahwa ayah masuk rumah sakit, karena serangan jantung ringan. Karena itu, kami harus segera ke sana. Saya bertugas menemani ibu sedang kakak saya mengurus rumah sepenuhnya. Meski saya keberatan dengan pembagian tugas oleh kakak, saya tak bisa membantahnya. Mana ada seorang anak yang tidak mau menjenguk ayahnya karena alasan ingin menguak misteri kakek tua yang sebatang kara. Uuh... saya mesti besar hati, toh seminggu lagi saya akan kembali dan tentu segera melancarkan aksi. Setelah seminggu menemani ayah, saya kembali bersama ibu. Meski ayah sudah dinyatakan sehat oleh dokter, masih tersisa begitu banyak kekhawatiran dari ibu. Di kereta, hampir setiap jam ia menghubungi ayah. Saya berulang kali harus mengingatkan ibu bahwa ayah perlu istirahat. Namun jika ibu terus menerus menelepon ayah, maka istirahatnya tentu akan terganggu. Alangkah malangnya, nasehat saya itu malah membuat ibu menangis, dan pada sisa perjalanan kami, ia hanya diam, sambil terus menerus memandang layar ponselnya. Sampai di rumah, meski dengan kelelahan yang luar biasa, saya sempatkan diri untuk melihat rumah kakek itu dari sisian jalan. Masih ada perasaan tak enak melihat ibu yang belum juga bicara apa-apa sedari tadi. Saya membuatkannya teh, lalu menawarkan bubur padanya, tapi ia hanya diam saja, langsung menuju kamar dan terdengar bunyi pintu terkunci dari dalam. Saya pun tak berani mengusiknya lagi. Saya melangkah ke arah rumah kakek tua yang terletak di ujung desa pada pukul setengah lima, jadi saya masih punya waktu sekitar sejam. Di perjalanan, saya bertemu dengan beberapa orang. Entah mengapa ketika bertemu dengan orang-orang itu, ada


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.