Buletin Expedisi Edisi Reguler II September 2016 - Nyala Akademik Setelah Petang

Page 1

EXPEDISI EDISI II SEPTEMBER 2016

MEMBANGUN

Nyala Akademik Setelah Petang Ruang kelas yang kurang membuat perkuliahan diterapkan hingga malam hari, dipindah ke kampus wilayah, atau fakultas lain.

B U D AYA

KRITIS


surat pembaca Perpustakaan yang Belum Maksimal Perpustakaan merupakan salah satu sarana yang penting bagi mahasiswa, entah untuk belajar, mengerjakan tugas, skripsi, ataupun hanya sekadar melepas penat. Namun, kondisi ini tidak berlaku untuk perpustakaan di UNY saat ini. Perpustakaan UNY yang hanya me­nye­ di­a­kan waktu layanan hari Senin hingga Jumat, khusus hari jum’at hanya mulai pukul 09.00-11.00, sedangkan untuk hari Sabtu dan Minggu tutup. Belum lagi pada hari-hari biasa, jika hari libur nasional terdapat pada hari Jum’at. Selanjutnya, koleksi yang dibeli oleh pe­nge­lo­la per­pus­ta­ka­an sering tidak sesuai dengan ke­bu­tuh­an mahasiswa. Buku-buku langka yang menjadi bahan rujukan kuliah hanya ada di lantai 2 dan di lantai 3 tidak bisa dipinjam. Semoga hal ini bisa dilakukan perbaikan oleh pengelola perpustakaan. Berharapnya, jika ingin melakukan penambahan koleksi buku dan lainnya bisa berkoordinasi dengan jurusan dan fakultas. Atau bisa membuka usulan buku yang dibutuhkan dari masing-

masing jurusan/prodi agar buku yang dibeli atau yang akan digandakan memberi manfaat bagi masyarakat UNY hingga tidak hanya memenuhi rak dan menjadi mubadzir. Novianto Ari P Ketua DPM FIS 2016

Pembatasan Kegiatan Malam, Pembatasan Kreativitas FBS selalu ramai oleh mahasiswa setiap malamnya. Berbagai kegiatan seni dilakukan di dalam kampus FBS dan lebih ramai lagi di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) FBS. Para mahasiswa merasakan adanya atmosfer yang berbeda jika melakukan kegiatannya di dalam kampus, dengan kata lain mereka akan merasa kesulitan jika melakukan ak­ti­vi­tas­nya di luar kampus. Hal ter­se­but dika­re­na­kan hanya kampus, terutama PKM, adalah tempat paling aman dan nyaman untuk ber­ke­gi­a­tan dan menyimpan peralatan yang dibu­tuh­kan. Misal, mahasiswa musik tidak mungkin la­ti­ han saksofon di lingkungan kos, mahasiswa bahasa dan sastra tidak mungkin berlatih teater di bundaran UGM. Namun, pihak birokrat FBS mengeluarkan surat edaran yang mengatakan bahwa FBS

editorial

Kerancuan Ruang Kelas yang Tak Memadai Ruang kelas adalah salah satu saranaprasarana terpenting bagi mahasiswa, sebab ruang kelas adalah hal pertama yang akan berhubungan dengan mahasiswa dalam kampus. Keberadaan ruang kelas dan ketersediaan sarana penunjang di dalamnya tentulah vital bagi keberlangsungan pembelajaran bagi mahasiswa. Ketersediaan ruang kelas yang cukup dapat membantu mahasiswa dalam memenuhi haknya sebagai pembelajar di dalam universitas. Hal ini telah tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pada pasal 21 yang menjelaskan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi penetapan tempat/kelas untuk pembelajaran, beban kerja dosen, penyiapan sumber belajar dan pengelolaan proses pembelajaran. Banyaknya keluhan dari beberapa jurusan seperti Ilmu Komunikasi dan Pendidikan Administrasi Perkantoran tentang ku­rang­n ya ruang kelas serta prasarana penunjang yang belum memadai menjadi hal yang patut dipertanyakan. Sebab sedari awal masuk universitas, mahasiswa telah dijanjikan sarana dan prasarana yang akan mampu menunjang semua kegiatan mahasiswa. Namun, kenyataan di lapangan sangat jauh dari yang telah dijanjikan. 2

Alhasil, jurusan yang kekurangan ruang kelas harus berpindah tempat ke ruang lain seperti Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP). Belum lagi keluhan tentang prasarana kelas yang belum bisa disebut baik. Penyelesaian masalah kekurangan kelas ini juga masih jauh dari kata memuaskan. Permasalahan kekurangan kelas ini men­ ja­di se­dikit rancu sebab pihak birokrat selalu menginginkan kepada seluruh mahasiswanya agar berprestasi baik akademik maupun nonakademik. Namun, pihak birokrat sendiri tak mampu mem­berikan hak mahasiswanya mendapat sarana dan prasarana yang memadai. Harusnya pihak birokrat dapat menunaikan kewajibannya dulu sebagai pelayan mahasiswa, baru kemudian menuntut mahasiswanya agar berprestasi. Sebagai universitas yang merintis kampusnya agar menjadi World Class University, UNY wajib menyediakan ruang kelas yang cukup bagi seluruh mahasiswanya, baik kuantitas maupun kualitas penunjang ruang tersebut. Juga diperlukan konsistensi dari pihak birokrat untuk memperbaiki sarana dan prasarana wajib di kampus. Hal ini tentu mutlak diperlukan apabila UNY masih ingin mencetak generasi intelektual bagi bangsa Indonesia. Redaksi

akan diberlakukan pembatasan jam malam se­pe­rti fa­kul­tas lain. Kekhawatiran saya akan rencana birokrat ini akan me­ngu­ra­ngi kre­a­ ti­vi­tas mahasiswa atau bahkan yang paling buruk menghilangkannya sama sekali. Saya berharap agar pihak kampus me­ nim­bang ulang akan perencanaan pembatasan jam kegiatan mahasiswa FBS. Terutama apakah alasan rencana pelaksanaan aturan baru ini cukup kuat untuk mengesampingkan kreativitas seni mahasiswa FBS. Desvandi Sastra Indonesia 2014

Palang Pintu dan Koneksi Internet Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merupakan salah satu kampus pen­ di­di­kan yang saat ini sudah dikenal oleh banyak orang. Hal tersebut bisa dilihat dari jumlah pendaftar pada tiap tahunnya. Namun, menjadi kampus besar bukan berarti tidak banyak permasalahan yang dihadapi oleh birokrasi terhadap manajemen kampus. Fasilitas palang pintu yang terdapat di selatan FMIPA terlihat cukup aneh karena belum berfungsi secara maksimal. Terlebih terkait pemeriksaan STNK secara manual yang dilakukan oleh petugas. Hal sama juga terdapat pada jalan masuk timur FE menuju Taman Pancasila. Fasilitas lain yang belum mak­si­mal a­da­lah me­nge­nai jaringan internet. Pada awal per­ ku­li­a­han, pihak kampus mengatakan bahwa kecepatan internet di UNY mencapai 350 Mbps. Namun, kecepatan internet untuk ma­ ha­sis­wa masih rendah. Semoga UNY dapat terus meningkatkan pelayanan akademik di seluruh aspek dan pantas untuk dinobatkan sebagai World Class University. Faizul Ikhsan Pendidikan Mekatronika 2012

sempil + "Ruang kelas di UNY saja masih kekurangan" _ "Menuju World Class University!"

Pimpinan Proyek Wachid As-siddiq | Sekretaris Hanum Tirtaningrum | Bendahara Maria Purbandari | Redaktur Pelaksana Nisa Maulan | Redaktur Danang Suryo, Erya Ananda, Moh. Agung, Nisa MS, Umi Zuhriyah | Reporter Alan, Fahrudin, Hanum, Heni, Meida, Yayan | Redaktur Foto Dwi Putri | Artistik Danang Suryo, Fahrudin, Gigih Nindia | Produksi Heni Wulandari | Iklan Maria Gracia, Meida Rahma, Moh Agung | Tim Polling Umi Zuhriyah, Iwan Dwi, Jimal Arrofiqie | Sirkulasi Erya Ananda| Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email lpm_ekspresi@ yahoo.com | Web ­Ekspresionline.com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.

edisi II | SEPTEMBER 2016


sentra

Ruang Kelas Kurang, UNY Tunggu Proyek IDB UNY dicanangkan akan menjadi universitas pendidikan kelas dunia pada tahun 2025. Namun, pada kenyataannya masih memiliki permasalahan mengenai kekurangan ruang kelas pada beberapa fakultas. Prof. Edi Purwanta, M.Pd. selaku WR II meminta mahasiswa untuk memaklumi hal tersebut.

SEPTEMBER 2016 | edisi iI

menjelaskan bahwa selain ke kampus wilayah, kelasnya juga dioper ke fakultas lain setiap kali kampus pusat FIP kekurangan ruang kelas. “Untuk mata kuliah Bahasa Inggris bahkan selalu dilangsungkan di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS),” ujarnya, Senin (30/5). Saat ditemui pada Selasa (24/5) di Dekanat FIP, Dr. Cepi Safruddin A. J., M.Pd., WD II FIP, tidak membantah dengan apa yang terjadi di FIP. Ia membenarkan bahwa mahasiswa kampus pusat FIP melangsungkan perkuliahan di kampus wilayah bahkan menumpang di fakultas lain karena kekurangan kelas. Dengan tegas ia mengatakan, “Jangankan ruang kelas yang memenuhi standar, ruang kelas di UNY saja masih kekurangan.” Menurut Cepi, hal lain yang menyebabkan terjadinya kekurangan ruang kelas ialah mengenai sebaran mata kuliah di semester ganjil dan genap. “Misalnya di semester genap mahasiswa mengambil sistem kredit semester (SKS) lebih banyak, sedangkan di semester ganjil dikurangi,” jelas Cepi lebih rinci. Namun, hal tersebut adalah kebijakan dari masing-masing jurusan, tambahnya. Tidak berbeda dengan kondisi FIP dan

FE, salah satu program studi di Fakultas Ilmu Sosial (FIS) yaitu Ilmu Komunikasi juga meresahkan mengenai ruang kelas yang kurang. Ani Very Hepy selaku Sekretaris II Himpunan Mahasiswa (Hima) Ilmu Komunikasi menyatakan kegelisahannya mengingat penerimaan mahasiswa baru semakin dekat dan Ilmu Komunikasi hanya memiliki 2 ruang kelas. ”Mahasiswa baru tahun ajaran 2016 kemungkinan juga sama jumlahnya seperti tahun-tahun sebelumnya dan akan membutuhkan 2 ruang kelas. Nah, apakah nantinya kami akan melangsungkan kuliah sampai malam karena jumlah ruang kelas tetap dan mahasiswa bertambah?” ujar mahasiswa yang akrab disapa Evi itu, Senin (30/5). Selain mengeluhkan kekurangan ruang kelas, hal lain yang dikeluhkan Evi ialah mengenai sarana pendukung pembelajaran yang ada di kelas seperti AC, LCD/proyektor, dan pengeras suara. “LCD dan pengeras suara susah menyambung ke laptop jadi membuang waktu karena kami harus mencocokkan ke laptop mana yang pas dan bisa tersambung,” jelas Evi. Menurutnya, hal tersebut menjadi tidak efektif saat pembelajaran dilangsungkan.

Umi | Expedisi

M

erujuk pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi nomor 44 tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi pasal 32 ayat 2 maka setiap PTN wajib menjamin terselenggaranya proses pembelajaran dengan menetapkan sarana dan prasarana berdasar rasio penggunaannya sesuai dengan karakteristik metode dan bentuk pembelajaran. Namun, penyediaan ruang kelas di UNY masih kurang dan beberapa kelas bahkan belum memenuhi standar. Hal itulah yang diakui oleh Feryanti, mahasiswa Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi (FE), terutama mengenai salah satu kelas yang ditempatinya hanya bersekat tripleks. Menurut Feryanti, keadaan ruang kelas yang seperti itu membuatnya kurang nyaman karena saat pembelajaran berlangsung suara dari kelas lain terdengar. “Seringkali mahasiswa yang melintas mengetuk tripleksnya sehingga mengganggu,” tambahnya lagi, Senin (30/5). Tidak hanya ruang kelas yang tidak nyaman, FE sebagai fakultas baru bahkan mengalami masalah kekurangan ruang. Hal tersebut dibenarkan oleh Drs. Nurhadi, M.M. selaku Wakil Dekan (WD) II FE. “Karena kekurangan ruang, maka diterapkan kuliah hingga malam hari,” jelas Nurhadi, Rabu (25/5). Nurhadi menjelaskan lebih lanjut bahwa seringkali mahasiswa dan dosen mengatakan lebih senang apabila perkuliahan selesai sesuai jam kerja. Sebagai solusi mengenai kekurangan ruang kelas, FE meminjam dua ruang di Lembaga Pengembangan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (LPPMP) untuk melangsungkan perkuliahan. “Prodi apa pun jika kekurangan ruang memang langsung dialihkan ke LPPMP dan sudah diatur pada jadwal,” terang Nurhadi. Hal serupa juga dialami oleh mahasiswi Prodi Bimbingan Konseling (BK) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP). Mereka harus ke kampus wilayah jika di kampus pusat FIP kekurangan ruang kelas. Findrie Puspa Sugita, salah satu mahasiswa Prodi BK FIP juga

Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd. selaku WR II menjelaskan fasilitas harus dijaga bersama.

3


sentra

4

isi

Umi Zuhriyah Alan, Fahrudin, Hanum, Heni, Meida, Yayan

ed

menegaskan bahwa selaku WR II, ia akan memprioritaskan fasilitas untuk perkuliahan terlebih untuk ruang kelas. Hanya saja, untuk masalah ruang kelas Edi meminta agar dimaklumi terlebih dahulu karena sedang proses pembangunan. “Saya yakin kekurangan ruang perkuliahan itu hanya periode ini, karena akan dipersiapkan untuk pembangunan,” ungkap Edi. Ia juga mengatakan bahwa kemungkinan pada tahun 2017 akan ada 13 gedung baru yang dibangun bersamaan. “Gedung-gedung sudah mulai banyak yang dikosongkan untuk proyek Islamic Development Bank (IDB) karena proyek IDB tidak akan dijalankan apabila masih ada gedung yang belum diratakan,” terang Edi lebih lanjut. Untuk saat ini, proses perkuliahan yang dilangsungkan hingga malam, berada di kampus wilayah, atau bahkan dioper ke fakultas lain dianggap oleh Edi sebagai solusi terdekat untuk mengatasi kekurangan ruang kelas. Menurut Edi, hal tersebut adalah suatu pengorbanan untuk mendapatkan kualitas yang baik.

xp

Dr. Cepi Safruddin A. J., M.Pd.

|E

Edi menuturkan bahwa terkait fasilitas kampus, seluruh warga UNY memiliki kewajiban untuk menjaga fasilitas. Cepi juga menegaskan hal serupa, “Setelah kuliah sebaiknya mahasiswa atau dosen mematikan lampu, LCD, dan AC dengan benar.” Akan tetapi, pendapat berbeda datang dari Evi. Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi itu berharap agar UNY terus berusaha memperbaiki keadaan terlebih dahulu. “Seperti halnya membuka jurusan baru, diharapkan perencanaannya juga lebih baik,” tuturnya. Hal serupa juga dikatakan Andi, “Untuk fakultas, diharapkan pada saat tahap perencanaan penerimaan ma­ha­sis­wa baru, benar-benar mempertimbangkan ruang kelas yang dimiliki.” Menurut Andi, jika UNY belum mampu dan siap me­ne­ri­ma lebih banyak ma­ha­siswa seharusnya tidak memaksakan, ka­rena pada akhirnya juga mahasiswa yang terkena dampaknya.

gih

“ Jangankan ruang kelas yang memenuhi standar, ruang kelas di UNY saja masih kekurangan.

Gi

Melihat kondisi tersebut perlu ditanyakan kembali mengenai perencanaan UNY terkait sarana dan prasarana, khususnya perencanaan ruang kelas untuk prodi baru seperti Psikologi FIP dan Ilmu Komunikasi FIS. Keadaan tersebut menjadikan Andi Wijayanto selaku Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FIS mengecam UNY. “Bisa dikatakan, UNY yang terus mengalami kekurangan ruang kelas, terkesan hanya mengejar kuantitas daripada kualitas dari mahasiswa,” tegas Andi. Ia juga mengatakan bahwa lebih baik UNY mengurangi penerimaan mahasiswa baru jika memang dirasa belum mampu menyediakan sarana dan prasarana dengan baik. Pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 73 ayat 4 menjelaskan bahwa dalam penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi perlu menjaga keseimbanganantara jumlah maksimum mahasiswa dalam setiap program studi dan kapasitas sarana dan prasana, dosen dan tenaga kependidikan serta layanan dan sumber daya kependidikan lainnya. WD II FIS, Lena Satlita, M.Si. men­je­ las­kan bahwa dalam rangka tahun ajaran baru, FIS akan kembali melakukan penataan ruang agar kebutuhan ruang kelas terpenuhi. “Perencanaan ada yang jangka panjang dan jangka pendek, selama 30 tahun di UNY, saya rasa UNY sudah semakin bagus dalam penyediaan sarana dan prasarana,” jelas Lena menanggapi perencanaan sarana dan prasarana di UNY, Jumat (24/6). Sedangkan Cepi sendiri menerangkan bahwa perencanaan yang dilakukan seharusnya berdasar pertimbangan antara lain jumlah dosen, ruangan kelas yang tersedia, dan kebutuhan masyarakat. Berbicara terkait permasalahan di beberapa fakultas UNY, sesuai yang di­tu­ tur­kan oleh Wakil Rektor (WR) II, Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd., pengaturan ruang kelas memang diserahkan pada masingmasing fakultas. “Namun, untuk mengatasi kekurangan ruang kelas tampaknya nanti akan ada kebijakan dari WR I,” ujar Edi. Ia menyetujui kebijakan bahwa Mata Kuliah Universitas (MKU) dan Mata Kuliah Dasar Kependidikan (MDK) akan diatur oleh pihak universitas. “Jadi, nanti mahasiswa FIP bisa kuliah di FIS,” jelas Edi. Edi menegaskan bahwa dalam perencanaan sudah dipertimbangkan dengan ruang kelas yang tersedia. “Dibukanya prodi baru juga sudah dipertimbangkan konsekuensinya. Seperti pascasarjana yang langsung membangun gedung baru,” tuturnya, Selasa (24/5). Ia juga

edisi iI | SEPTEMBER 2016


polling

Fasilitas dan Ruang Kelas Kurang Apakah fasilitas di dalam kelas nyaman? 57,9% 42,1%

Ya Tidak

Kepuasan terhadap fasilitas dan ruang kelas yang ada. Puas Belum Puas Danang | Expedisi

36,5% 62,5%

M

a­ha­sis­wa UNY meng­e­luh ter­ha­ dap ke­ku­rang­an kelas dan fa­si­ li­tas kelas dalam proses be­la­jar meng­a­jar. Paling tidak, i­tu­lah yang ter­gam­ bar dalam jajak pen­da­pat yang di­la­ku­kan LPM EKSPRESI me­la­lui tim polling bu­le­tin EXPEDISI. Me­to­de sampel yang di­gu­na­kan a­da­lah accidental, yaitu pem­ba­gi­an angket se­ca­ra langsung ke­pa­da res­pon­den yang di­ te­mu­i se­ca­ra acak dan me­ra­ta. Peng­am­bi­ lan sampel di­ten­tu­kan meng­gu­na­kan rumus slovin dengan sampling error 5% se­hing­ga di­pe­ro­leh se­ban­yak 394 sampel untuk me­wa­ ki­li dari 25.110 ma­ha­sis­wa S1 UNY dengan men­can­tum­kan enam per­ta­nya­an dan empat per­nya­ta­an. Ber­da­sar­kan hasil riset dari pe­ngo­la­ han data angket yang di­se­bar me­nun­juk­kan hasil se­ba­nyak 57,9% ma­ha­sis­wa men­ja­wab nyaman dan si­sa­nya 42,1% men­ja­wab tidak nyaman untuk per­ta­nya­an terkait fa­si­li­tas di dalam kelas. Menangga­pi hal ini, se­be­sar 36,5% res­pon­den men­ja­wab puas dengan SEPTEMBER 2016 | edisi iI

ruang dan fa­si­li­tas kelas yang sudah ada, sedangkan 62,5% res­pon­den men­ja­wab belum puas dengan ru­ang­an dan fa­si­li­tas kelas, dan si­sa­nya 1% res­pon­den tidak men­ja­wab. Masih a­da­nya fa­si­li­tas kelas yang kurang ter­se­but juga di­u­ta­ra­kan Feryanti ma­ha­sis­wa Administrasi dan Perkantoran (ADP) Fakultas Ekonomi. Ia men­je­las­kan bahwa fa­­si­li­tas dalam kelas memang kurang. “AC di be­be­ra­ pa kelas bahkan ada yang mati,” ung­kap­nya. Per­nya­ta­an meng­e­nai pe­ra­wa­tan fa­si­li­ tas yang di­la­ku­kan UNY belum mak­si­mal meng­ha­sil­kan 12,7% ma­ha­sis­wa men­ja­wab sangat se­tu­ju, 69,3% se­tu­ju, 15,2% tidak se­tu­ju, 2,8% sangat tidak se­tu­ju, dan 0,9% tidak men­ja­wab. Se­ba­nyak 15,7% ma­ha­sis­wa sangat se­tu­ju, se­ba­nyak 35% se­tu­ju meng­e­nai jumlah ruang kelas belum me­ma­da­hi dengan jumlah ma­ha­sis­wa, dan si­sa­nya men­ja­wab tidak se­tu­ju se­be­sar 38,1% lalu 11,2% sangat tidak se­tu­ju. Belum mak­si­mal­nya pe­ra­wa­tan fa­si­ li­tas di UNY juga di­be­nar­kan oleh Wakil

Dekan II Fakultas Ekonomi, Drs. Nurhadi, M.M., meng­e­nai ke­ku­rang­an ruang kelas yang bahkan ter­ka­dang me­min­jam ru­ang­an di LPPM. Pen­da­pat ter­se­but juga tidak di­tam­pik oleh Wakil Rektor II, Prof. Dr. Edi Purwanta, M.Pd., yang men­je­las­kan bahwa ken­da­la ke­ku­rang­an ruang kelas ter­se­but nan­ti­nya ter­pe­nu­hi dengan gedung-gedung baru yang akan di­bang­un. “Se­per­ti nanti di FIS dapat gedung baru dari IDB. Mungkin di tahun 2017 akan ada 13 gedung baru di­bang­un se­ca­ra se­ren­tak,” ung­kap­nya. Tim Polling

5


persepsi

Pendidikan Karakter Komprehensif Semakin Mendesak

A

khir-akhir ini kasus ke­ke­ra­san se­ ma­kin marak ter­ja­di di ber­ba­ga­i se­ ko­lah, mu­la­i dari bentuk ke­ke­ra­san verbal, psi­ko­lo­gis, hingga ke­ke­ra­san fisik dan sek­su­al. Bukan hanya per­ke­la­hi­an an­tar­pe­ la­jar atau ta­wu­ran, bahkan lebih kejam dari itu. Pe­mer­ko­sa­an ramai-ramai, pem­bu­nu­han be­ren­ca­na, dan mu­ti­la­si sering di­be­ri­ta­kan di ber­ba­ga­i me­di­a. Pe­la­ku ke­ke­ra­san bukan hanya re­ma­ja dan orang de­wa­sa, anak usia SD pun telah be­ra­ni me­la­ku­kan ke­ke­ra­san ke­pa­da teman se­ke­las­nya yang me­nye­bab­kan ke­ma­ti­an. Fe­no­me­na se­per­ti itu me­nan­da­kan pen­di­di­kan di Indonesia, te­ru­ta­ma dalam aspek pen­di­di­kan ka­rak­ter, belum ber­ha­sil di­lak­sa­na­kan se­ca­ra op­ti­mal. Se­sung­guh­nya tu­ju­an pen­di­di­kan na­s­io­ nal te­lah men­ca­kup dua as­pek pen­ting pe­ngem­bang­an ke­mam­ pu­an ma­nu­sia, ya­itu men­ja­di pe­ser­ta di­dik yang pin­tar (me­ mi­li­ki il­mu dan ke­te­ram­pi­lan) se­ ka­li­gus ber­ka­rak­ter ba­ik (ber­i­man ber­tak­wa, ber­akh­lak mu­lia). Ha­nya sa­ja, un­tuk me­wu­jud­ kan ma­nu­sia ber­ka­rak­ter ba­ik bu­kan­lah per­ka­ra mu­ dah. Sa­lah sa­tu se­bab­nya ka­re­na pen­di­di­kan ka­rak­ ter ki­ta ha­nya di­lak­sa­na­ kan se­po­tong-se­po­tong, ti­dak kom­pre­hen­sif. Se­ba­ gai­ma­na di­nya­ta­kan o­leh Kirschenbaum (1995) bah­wa pen­di­di­kan ka­rak­ter ha­rus di­ lak­sa­na­kan kom­pre­hen­sif, ar­ ti­nya me­li­pu­ti ber­ba­gai as­pek dan pi­hak yang se­ca­ra sa­dar dan kon­ti­nu ber­ge­rak ber­sa­ma ba­gi ter­ca­pai­nya ma­sya­ra­kat yang ber­ka­rak­ter mu­lia. Pen­ di­di­kan ka­rak­ter kom­pre­hen­sif harus di­u­pa­ya­kan ter­pa­du men­ca­kup nilai-nilai yang akan di­in­ter­na­li­sa­si­kan, pen­di­dik, pro­ses (ter­ma­suk me­to­de), e­va­lu­asi, dan ke­a­da­an ling­ku­ngan ma­sya­ra­kat yang men­du­kung. Ni­lai-ni­lai yang akan di­in­ter­na­li­sa­si­kan te­lah di­pi­lih dan di­ten­tu­kan se­ba­gai ni­lai tar­get yang akan di­wu­jud­kan se­hing­ga je­las a­rah­nya. Se­ba­gai con­toh, ma­sya­ra­kat Je­pang se­pa­kat men­di­dik a­nak-a­nak me­re­ka de­ngan ni­lai ke­ju­ju­ran, ke­ber­si­han, kerja keras, dan di­sip­lin. Ber­ba­ga­i pihak baik ke­lu­ar­ga, se­ko­ 6

lah, dan pe­me­rin­tah Jepang kon­sis­ten dengan nilai-nilai target ter­se­but se­hing­ga ling­kung­an ke­lu­ar­ga, ling­kung­an se­ko­lah, dan fa­si­li­tas umum di­a­rah­kan ke­pa­da per­wu­ju­dan nilainilai ter­se­but. Ba­ga­i­ma­na dengan Indonesia? Saat ini pusat-pusat pen­di­di­kan di Indonesia se­per­ti keluarga, masyarakat, sekolah, bahkan universitas telah mengalami banyak kehilangan hal-hal penting bagi upaya mewujudkan tujuan pendidikan. Suyata (2012) mengatakan kita telah banyak kehilangan. Identitas bersama (sense of identity), hilangnya rasa kemanusiaan (sense of humanity), hilangnya rasa sebagai satu komunitas (sense of community), hilangnya nilai-nilai luhur/budaya (sense of culture/values), dan

Gigih | Expedisi

hilangnya rasa saling menghargai (sense of respect). Pendidikan selama ini mencerminkan adanya fragmentasi kehidupan, kompetisi individual, berkembangnya materialisme dan konsumerisme, ketidakpedulian pada orang lain, terhambatnya kreativitas, prakarsa, sikap kritis, inovasi, dan kurangnya keberanian untuk mengambil risiko. Selama ini praktik pendidikan Indonesia yang cenderung individualistik, intelektualistik, dan pragmatik

sehingga kurang mengaktualisasikan aspek sosial dan hormat akan martabat manusia. Pendidikan karakter seolah cukup diserahkan kepada keluarga dan sekolah saja. Sementara itu berbagai sistem sosial, politik, dan budaya yang diciptakan tidak mendukung upaya keluarga dan sekolah. Keluarga dan sekolah telah mendidik karakter, tetapi hukum dan politik negara belum mendukung sepenuhnya. Contoh nyata, di tengah silang pendapat mengenai Perpu yang menambah hukuman berat dan kebiri kimia untuk pelaku kekerasan seksual, di sisi lain justru Perda tentang pelarangan minuman keras dibatalkan. Bukankah ini ironi? Para pakar telah menganalisis berbagai kasus bahwa terjadinya kejahatan karena pelaku dalam keadaan mabuk sehingga pelaku tidak dapat berpikir sehat dan mudah melakukan perbuatan kriminal. Mengapa mabuk menjadijadi sekarang ini? Karena mudah sekali orang dapat membeli minuman keras, bahkan anak-anak saja sering mengadakan pesta miras. Kalau sudah demikian tentu saja pendidikan karakter tidak akan berhasil membangun generasi muda menjadi insaninsan yang berkarakter. Maka, mendesak kiranya bagi semua pihak secara serius untuk duduk bersama, baik orang tua, tokoh masyarakat, DPR, pendidik, aparat penegak hukum, maupun pemerintah untuk mencanangkan gerakan pendidikan karakter yang komprehensif dan berkelanjutan. Di samping itu, institusi keluarga dan sekolah tetap digalakkan untuk mendidik karakter anak sejak usia dini. Sekolah perlu me­ngem­bang­kan model pen­di­di­kan yang meng­a­ mal­k an nilai-nilai kebaikan dalam kehidupannya (living values education) sehingga anak tidak hanya mengetahui yang baik, tetapi juga yang lebih penting adalah kepekaan nuraninya terasah sehingga cenderung untuk mengamalkan nilai-nilai yang baik itu dalam tingkah lakunya seharihari. Dr. Rukiyati, M.Hum. Dosen Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan FIP

edisi iI | SEPTEMBER 2016


persepsi

Pengalihan Intelektual Mahasiswa

M

a­ha­sis­wa me­ru­pa­kan agen suatu pe­ ru­ba­han atau sering disebut dengan agent of change. Peran ma­ha­sis­wa saat ini sangat dibutuhkan di dunia ke­ma­sya­ ra­ka­tan, khu­sus­nya ma­sya­ra­kat yang ter­tin­das. Baik ter­tin­das oleh sistem maupun ter­tin­das ka­re­na ma­sya­ra­kat­nya yang masih awam. Se­hing­ga me­re­ka dengan mu­dah­nya ter­ti­pu dan tidak tau harus ber­bu­at apa. Dengan a­la­san masih banyak ma­sya­ ra­kat yang ter­ja­jah oleh sistem dan bahkan dibohongi oleh aturan-aturan yang ditetapkan ter­ha­dap me­re­ka, te­ru­ta­ma para pe­ta­ni dan buruh. Me­re­ka rata-rata me­mi­li­ki latar be­ la­kang ber­ke­pen­di­di­kan lu­lu­san SD hingga SMP, bahkan tidak jarang juga ada yang buta huruf. A­da­pun be­be­ra­pa dari me­re­ka yang sadar. Namun, me­re­ka tidak punya lan­da­ san dasar untuk me­la­ku­kan per­la­wa­nan dan ku­rang­nya wa­wa­san se­hing­ga me­re­ka takut untuk masuk dan me­mi­lih jalur hukum. Di si­ni­lah peran ge­ne­ra­si muda yang ber­pen­di­di­kan luas di­bu­tuh­kan untuk mem­ be­ri a­ra­han dan pen­di­di­ kan se­hing­ga ma­sya­ra­kat lebih cerdas. Di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), masih banyak ma­ha­sis­wa yang kurang sadar akan fe­no­me­na yang ter­ja­di di ma­sy­a­ra­kat saat ini. Me­re­ka masih lebih me­men­tingkan di­ri­ nya sen­di­ri ke­tim­bang ke­pe­du­lian sosial dan peng­ab­di­an me­re­ka ter­ha­dap ma­sya­ra­kat. Peng­ab­di­an yang ter­ja­di di UNY se­per­ti Kuliah Kerja Nyata (KKN) oleh per­gu­ru­an tinggi ha­nya­lah se­ba­tas for­ma­li­tas

dengan ba­ta­san waktu yang ter­bi­lang se­ben­tar. Per­ha­ti­an ma­ha­sis­wa kini lebih di alihkan untuk mengejar IPK, lulus cepat, dapat kerja, dan dapat prestasi dimana-mana tanpa pem­ be­ka­lan pen­di­di­kan sosial yang cukup dan se­ca­ra kon­ti­nu. Wajar saja jika ma­ha­sis­wa saat ini kurang pe­du­li akan ke­pe­ka­an sosial, ka­re­na se­be­nar­nya ma­ha­sis­wa juga me­ru­pa­ kan korban dari suatu sistem ke­pen­di­di­kan. Pe­ne­ta­pan pe­me­rin­tah akan batas ke­lu­lu­san mak­si­mum 5 tahun men­ja­di­kan ma­ha­sis­ wa hanya ter­fo­kus ba­gai­ma­na ca­ra­nya lulus cepat dan lebih cen­de­rung dituntut dengan Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang tinggi dan di­ser­tai pres­ta­si yang mum­pu­ni guna ke­bu­tu­han pasar. Ada be­be­ra­pa a­la­san ke­na­pa ku­a­li­tas ma­ha­sis­wa di UNY saat ini cukup me­nu­run dari setiap ta­hun­nya yaitu dari segi model pem­be­la­ja­ran yang ter­fo­kus pada satu misi. Di mana misi ter­se­but ter­can­tum dalam kom­pe­ten­si dasar pen­di­di­ kan. Bahkan tidak jarang banyak kom­pe­ten­si yang dilewati ka­re­na se­ring­nya dosen yang mangkir dari tugasnya. Akan sangat ber­be­da jauh jika kita ban­ding­kan dengan ne­ga­ra lain, Jepang contohnya. Di Jepang, ma­ha­sis­wa akan me­nun­tut do­sen­nya jika

tidak hadir dalam ke­gi­a­tan be­la­jar meng­a­jar. Ber­ban­ding ter­ba­lik dengan di Indonesia yang rata-rata me­re­ka me­ra­sa senang jika do­sen­nya tidak hadir. Padahal belajar adalah hak mahasiswa bukan kewajiban mahasiswa. Dengan kultur yang seperti ini, mahasiswa di Indonesia cenderung mudah terprofokasi. Tidak hanya itu, kecurangan-kecurangan yang terjadi di dunia perkuliahan kerap terjadi. Seperti manipulasi absen dan pengadaan jam-jam tambahan yang sebenarnya sedikit memberatkan mahasiswa. Manipulasi absen ini biasanya terjadi pada hari terakhir mendekati UAS (Ujian Akhir Semester). Kejadian ini telah dilakukan pihak dosennya sendiri yang sering absen dari jadwal tanpa mengajukan dosen pengganti mata kuliah. Jika kemudian dosen tersebut absen dalam mengajar sebanyak lebih dari 3 kali maka mereka akan mengalami masalah sehingga memutuskan untuk memilih jalan lain seperti mengadakan jam tambahan. Harapannya adalah birokrasi dan mahasiswa mampu bekerja sama demi kemaslahatan suatu bangsa. Tidak ada lagi penekan– penekan yang dilakukan oleh suatu kelembagaan terhadap masyarakat dan mahasiswa. Untuk tercapainya suatu tujuan tersebut perlu adanya pembebasan peran mahasiswa sebagai penggerak roda kemajuan suatu bangsa. Moh. Agung S.

Gigih | Expedisi

Baca EXPEDISI edisi lama secara online di issuu.com/ekspresi SEPTEMBER 2016 | edisi iI

7


tepi

Di Tengah Keterbatasan Dana

F

omuny tetap bisa men­ja­lan­kan ber­ba­ga­i ke­gi­a­tan­nya dengan dana yang belum jelas, ter­ka­dang peng­u­rus Fomuny meng­gu­na­kan dana pri­ba­di meski ke­u­ang­ an me­re­ka ter­ba­tas. Be­gi­tu­lah pernyataan Bangun Tri Sudiatno, selaku ko­or­di­na­tor Family Of Ma­ha­dik­si UNY (Fomuny) 2016. Bangun baru saja meng­i­ku­ti ke­gi­a­tan uji coba computer based test (CBT) yang akan di­gu­na­kan untuk tes SBMPTN tahun ini dan di­ha­di­ri oleh para ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si kala di­te­mu­i awak EXPEDISI, Kamis (19/5) lalu di se­kre­ta­ri­at Fomuny yang ter­le­tak di gedung Menwa lantai dua sayap timur. Bangun mem­ per­si­lah­kan duduk untuk me­nung­gu di depan ruang UKM Ke­wi­ra­u­sa­ha­an yang terletak bersebelahan dengan sekretariat Fomuny ter­le­bih da­hu­lu se­be­lum ber­bin­cang deng­an­ nya. Saat itu Bangun sedang sibuk mem­ba­ca se­bun­del kertas. Ko­or­di­na­tor Fomuny yang ter­daf­tar se­ ba­gai ma­ha­sis­wa aktif prodi Teknik Otomotif tahun 2014 ter­se­but lalu meng­ham­pi­ri, ber­ se­be­la­han persis dengan sekretariat Fomuny. Bangun kala itu meng­gu­na­kan batik dan ce­ la­na bahan, sangat se­der­ha­na. Dia ke­mu­di­an meng­a­jak ber­pin­dah tempat di depan sekre Fomuny. Di dalam sekre ter­li­hat be­be­ra­pa peng­u­rus Fomuny sedang meng­a­da­kan rapat. Fomuny, me­nu­rut Bangun tidak jauh ber­ be­da dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ka­re­na ang­go­ta­nya be­ra­sal dari ber­ba­gai fa­kul­tas. Be­da­nya, ang­go­ta Fomuny hanya dari ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si. “Fomuny tidak bisa di­se­but or­ga­ni­sa­si ka­re­na cuma ko­mu­ ni­tas,” tambah Bangun. Ko­mu­ni­tas yang ter­ben­tuk pada 5 Januari 2013 ini ber­fung­si se­ba­gai pe­nya­lur in­for­ma­si dari bi­ro­kra­si ke ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si ter­ka­ it hal yang ber­hu­bung­an dengan bi­dik­mi­si. “Se­per­ti ke­ma­rin tentang ma­ha­sis­wa bi­dik­ mi­si su­su­lan. Fomuny di­min­ta me­nya­lur­kan in­for­ma­si bahwa masih ter­da­pat 200 kuota untuk ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si,” jelas Bangun. Divisi Public Relation dan Media Fomuny yang ber­tu­gas men­ca­ri in­for­ma­si pe­ri­hal bi­dik­mi­si atau be­a­sis­wa di Dikti dan ke­ma­ ha­sis­wa­an lalu me­nye­bar­kan pem­be­ri­ta­hu­an ter­se­but me­la­lui grup ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si. “Jadi, ada grup sen­di­ri. Tidak cuma mem­ be­ri­ta­hu­kan lewat Facebook saja, ka­re­na teman-teman bi­dik­mi­si tidak semua se­la­lu mem­bu­ka Facebook,” ka­ta­nya. Ke­pe­ngu­ru­san Fomuny tidak jauh ber­

8

pem­bi­na Fomuny. Namun, Bangun masih me­ be­da dengan ke­peng­u­ru­san dalam or­ga­ni­sa­si. “In­ti­nya, Fomuny se­ba­gai pe­la­yan ma­ha­sis­wa nyang­si­kan a­da­nya dana ter­se­but, “Fomuny mau meng­ka­ji lagi, a­pa­kah benar se­per­ti itu bi­dik­mi­si dan Fomuny juga me­nye­di­a­kan atau tidak,” for­mu­lir untuk teman-teman pe­ne­ri­ma bi­dik­ Bangun men­ce­ri­ta­kan Fomuny se­be­lum­ mi­si me­nyam­pai­kan ke­lu­han­nya di website nya men­da­pat kun­ju­ngan dari ko­mu­ni­tas Fomuny,” ungkap Bangun. Website yang ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si Universitas Negeri di­mak­sud a­da­lah bidikmisi.student.uny.ac.id. Semarang (UNNES). Me­re­ka ber­bi­ca­ra Se­la­in itu Fomuny juga me­mi­li­ki a­gen­da ke­gi­ banyak hal meng­e­nai bi­dik­mi­si. Me­nu­rut a­tan ter­sen­di­ri se­per­ti kumpul antar peng­u­rus Bangun, pem­bi­na­an bi­dik­mi­si di UNNES untuk me­ning­kat­kan ker­ja­sa­ma, pe­la­ti­han bagus se­ka­li ter­le­bih ke­gi­a­tan ma­ha­sis­wa ba­ha­sa Inggris, English Conversations Course bi­dik­mi­si di UNNES be­ker­ja sama dengan dan upgrading. ba­gi­an Ke­ma­ha­sis­wa­an. “Di sana uang bi­ Pen­dam­ping­an Fomuny untuk ma­ha­sis­wa dik­mi­si sudah ada pe­mo­tong­an untuk acara bi­dik­mi­si saat ini a­da­lah ber­fo­kus pada ke­gi­ yang ber­ka­i­tan dengan bi­dik­mi­si langsung. a­tan per­lom­ba­an. Namun, tidak me­lu­pa­kan Se­hing­ga ke­gi­a­tan untuk ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si ma­sa­lah pe­ri­hal ke­ran­cu­an dana bi­dik­mi­si UNNES se­la­lu ada. Uangnya ber­sum­ber dari yang ter­da­pat pada dana KKL FIS. Bangun sana,” je­las­nya. juga men­je­las­kan, “Pihak Fomuny sudah me­ na­nya­kan ke bagian ke­ma­ha­sis­wa­an, te­ta­pi ba­gi­an ke­ma­ha­sis­wa­an tidak tahu meng­e­nai dana-dana yang keluar untuk bi­dik­mi­si.” Me­nu­ rut Bangun, Fomuny juga belum men­da­pat­kan ke­je­la­san dana untuk ke­gi­a­tan-ke­gi­a­tan lomba. Bangun lalu mem­ban­ding­kan dengan sistem di UKM. “UKM kan sudah jelas men­da­pat­kan dana sekian untuk ke­gi­a­tan apa, di Fomuny tidak se­per­ti itu. Belum ada dana khusus. Se­hing­ga mem­ bu­at pihak Fomuny bingung ketika mau meng­a­da­kan ke­gi­a­tan,” u­jar­ nya. Ke­ti­ka Fomuny ingin meng­a­ da­kan ke­gi­a­tan tetapi tidak men­ da­pat­kan dana, Bangun juga sering me­na­nya­kan ke­pa­da peng­u­rus lain di Fomuny a­pa­kah ti­dak ke­be­ra­tan jika se­mi­sal meng­gu­na­kan dana pri­ba­di untuk meng­a­da­kan ke­gi­a­ tan. “Kalau mi­sal­kan se­per­ti itu ya mau tidak mau meng­gu­na­kan dana sen­di­ri meski dari segi fi­nan­si­al ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si juga sangat ter­ba­tas,” terang Bangun. Sumber dana Fomuny tahun ini meng­gu­na­kan kas pe­ning­ga­lan peng­u­rus tahun lalu yang se­be­ lum­nya Fomuny di­ko­or­di­na­to­ri oleh Teguh Arifin dan di­am­bil juga dari uang pem­bi­na­an bi­dik­mi­si tahun ini se­be­sar Rp12.500.000,00 Bangun Tri Sudiatno ketika ditemui di sekretariat Fomuny. untuk ber­ba­gai ke­gi­a­tan me­nu­rut

Danang | Expedisi

Tidak adanya dana khusus untuk menjalankan berbagai kegiatan mahasiswa bidikmisi membuat Bangun Tri Sudiatno harus memutar otak.

edisi Ii | SEPTEMBER 2016


tepi

SEPTEMBER 2016 | edisi iI

Gigih | Expedisi

“Kalau di UNY, misal hendak me­na­rik dana dari uang bi­dik­mi­si untuk ke­gi­a­tan khusus ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si ta­kut­nya ada yang tidak ber­ke­nan,” imbuh Bangun. Bangun meng­a­kui bahwa Fomuny sempat meng­u­sul­kan ke­pa­da pihak Ke­ma­ha­sis­wa­an UNY untuk me­la­ku­kan pe­mo­tong­an dana bi­dik­mi­si se­per­ti di UNNES. Namun, hal ter­se­but tidak di­i­zin­kan. “Tidak tahu a­la­ san­nya apa, mungkin ka­re­na dari tahun ke tahun tidak pernah di­la­ku­kan pe­mo­tong­an,” kata Bangun me­nam­bah­kan. Wakil Rektor (WR) III Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes. meng­­ung­­kap­kan pe­ ri­hal dana yang di­tu­ju­kan ke­pa­da Fomuny mem­pu­nyai jatah ter­sen­di­ri. “Kalau kurang, nanti akan di­am­bil­kan dari luar dana ter­se­ but,” tu­tur­nya. Dana yang di­mak­sud a­da­lah dari ma­na­je­men ke­ma­ha­sis­wa­an, bukan dana or­ma­wa. “Kalau ke­su­li­tan ke­uang­an, Fomuny meng­gu­na­kan dana per­ja­la­nan dinas wakaf WR III atau staf ahli,” tam­bah­nya. Sumaryanto me­ne­rang­kan sumber dana Fomuny di­am­bil dari dana pem­bi­na­an ma­ha­ sis­wa bi­dik­mi­si, ban­tu­an dari ke­ma­ha­sis­wa­an, iuran anak-anak Fomuny sen­di­ri, dan sponsor ke­ti­ka ada ke­gi­a­tan. Ke­pe­du­li­an bi­ro­kra­si ter­ha­dap Fomuny nampak dengan a­da­nya ru­ang­an khusus untuk ko­mu­ni­tas ter­se­but pada tahun 2015. Ke­ giatan-kegiatan forum ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si juga di­i­kut­ser­ta­kan dengan meng­i­rim per­ wa­ki­lan dari UNY se­mi­sal untuk per­te­mu­an forum ma­ha­sis­wa bi­dik­mi­si se-Indonesia dan mem­ban­tu lomba yang me­li­bat­kan anak-anak Fomuny. Sumaryanto juga men­je­las­kan bahwa Fomuny tidak ada ka­i­tan­nya dengan BEM UNY se­ba­gai badan semi o­to­nom di bawah ke­m en­t ri­a n ke­s e­j ah­t e­r a­a n ma­s ya­r a­k at. Sumaryanto me­ne­rang­kan ke­de­pan­nya bahwa ma­ha­sis­wa pe­ne­ri­ma be­a­sis­wa juga akan me­ mi­li­ki ko­or­di­na­tor se­per­ti Fomuny. “Untuk semua pe­ne­ri­ma bea­sis­wa saya fa­si­li­ta­si harus ada ko­or­di­na­tor­nya. Untuk bea­sis­wa apa saja, tidak hanya pe­ne­ri­ma bi­dik­mi­si saja,” tan­das­nya. Bangun sen­di­ri me­nya­yang­kan belum a­da­nya ko­or­di­na­si dari pihak BEM UNY pe­ ri­hal pen­je­la­san sistem kerja dalam Fomuny. Hal ter­se­but juga di­tu­ju­kan ke­pa­da pihak Bi­ro­kra­si. Ke­ak­ti­fan pihak BEM UNY dalam mem­be­ri­kan in­for­ma­si ter­ka­it ma­ha­sis­wa bi­ dik­mi­si tidak se­ak­tif BEM UNY tahun lalu me­nu­rut Bangun. BEM UNY se­ba­gai pe­nam­pung as­pi­ra­si ma­ha­sis­wa me­la­lui Menteri Kesejahteraan Masyarakat, Muhammad Syaiful Ardans, se­na­da dengan Sumaryanto ber­ka­ta bahwa Fomuny a­da­lah badan semi otonom bukan bagian dari Kesejahteraan Masyarakat BEM

Kalau di UNY, misal hen­ dak me­ na­ rik dana dari uang bi­dik­mi­si untuk ke­ gi­a­tan khusus ma­ha­sis­ wa bi­dik­mi­si ta­kut­nya ada yang tidak ber­ke­nan,

UNY. Tentang pe­nye­ba­ran in­for­ma­si bi­dik­mi­si ter­se­but Syaiful me­nam­bah­kan, “A­pa­bi­la se­ ca­ra fung­si­o­nal Fomuny lebih me­mi­li­ki hak ter­ka­it dengan in­for­ma­si bi­dik­mi­si te­ta­pi, BEM juga me­mi­li­ki hak untuk me­nye­bar­lu­as­ kan in­for­ma­si yang ada di UNY. Di­ka­re­na­kan hal ter­se­but me­ru­pa­kan salah satu fungsi dari BEM.” Se­be­lum­nya Syaiful me­ngung­kap­kan Fomuny se­ba­gai mitra kerja dan akan saling ber­si­ner­gis. “Itu pem­ba­gi­an­nya sudah ter­te­ra dalam surat ke­pu­tu­san (SK) yang di­ben­tuk dan di­be­ri­kan pada Fomuny”. Ter­ka­it dengan ke­mi­tra­an kerja dengan Fomuny, pihak Kesejahteraan Mahasiswa sudah meng­o­or­di­na­si­kan dengan be­be­ra­ pa peng­u­rus Fomuny. Pihak Ke­mentrian Mahasiswa juga meng­i­ngin­kan agar Fomuny di­ja­di­kan lem­ba­ga yang resmi se­hing­ga ma­ ha­sis­wa bi­dik­mi­si di UNY bisa di­ber­da­ya­kan dengan kegiatan-kegiatan yang ber­man­fa­at. “Mahasiswa bi­dik­mi­si itu ha­rus­nya ma­ha­sis­ wa yang me­mi­li­ki ke­mam­pu­an di­ban­ding­kan dengan yang lain, karena sudah di­be­ri­kan tang­gung­an oleh pe­me­rin­tah,”. Danang Suryo Fahrudin, Heni, Meida

9


resensi

Tuhan Tidak Makan Ikan, Sebuah Humor Psikologis

D

alam lembar endorsements, Tia Setiadi meng­a­ta­kan bahwa buku kumcer karya Gunawan Tri Atmodjo ini a­da­lah buku yang cerdas ka­re­na Gunawan me­nya­ji­kan hal berat se­ka­li­pun men­ja­di hal yang bisa di­ter­ta­wa­kan. Namun, jika di­ti­ lik dengan lebih jeli lagi, pe­nu­lis me­ne­rap­ kan gejala-gelaja psi­ko­lo­gis pada tokohtokohnya. Salah satu teori psi­ko­lo­gis yang lebih banyak di­pa­kai oleh Gunawan a­da­lah defence mechanism. Defense Mechanism me­ru­pa­kan teori mem­per­ta­han­kan diri se­se­o­rang a­pa­bi­la ke­ bu­tu­han­nya tidak ter­pe­nu­hi yang di­ga­ung­ kan oleh Sigmund Frued. Ge­ja­la defense mechanism be­gi­tu ken­ta­ra dalam cerpencerpen di kumcer ini. Te­ru­ta­ma pada cerpen yang ber­ju­dul Bukan Kawan.

Bukan Kawan men­ce­ri­takan tentang Ilham Aji yang sedang me­nung­gu an­tre­an untuk wa­wan­ca­ra kerja dengan Ma­na­jer Per­ so­na­lia. Di sana, ia meng­i­ra bahwa ma­na­jer ter­se­but a­da­lah teman se­ko­lah­nya yang ber­ na­ma Didik. Ia me­ra­sa iri dengan ke­nya­ta­an bahwa Didik se­ka­rang sudah men­ja­di bos ka­re­na dulu Didik a­da­lah murid yang miskin bahkan tidak me­mi­li­ki teman se­la­in di­ri­nya. Hingga ke­mu­di­an datang gi­li­ran­nya untuk di­wa­wan­ca­ra. Me­ra­sa kenal dengan ma­na­jer yang akan me­wa­wan­ca­rai­nya itu, Ilham me­ nya­pa ter­le­bih da­hu­lu. Namun, tidak di­sang­ ka, ia salah orang. Me­ra­sa malu, ia langsung ke­lu­ar dan me­le­wat­kan sesi wa­wan­ca­ra. Ter­da­pat ge­ja­la di­so­si­asi—me­mu­tus e­mo­ si dengan meng­a­lih­kan­nya ke hal lain—dalam diri Ilham saat itu. Ia yang salah meng­i­ra orang lalu ke­nya­ta­an tentang ia tidak men­da­pat pe­ker­ja­an se­ca­ra normal se­ha­rus­nya mem­bu­at­nya me­ra­sa­kan ke­se­di­han. Namun, Ilham justru ba­ ha­gia ka­re­na men­da­pa­ti ke­nya­ta­an bahwa Ma­na­jer Per­so­na­lia bu­kan­lah Didik, teman SMAnya.Dari 23 cerpen di kumcer ini, Istri Pengarang a­da­lah cerpen yang paling meng­an­dal­kan e­mo­si psi­ko­lo­gis dalam to­koh­nya. Ber­ce­ri­ta tentang se­o­rang wa­ni­ta yang di-PHK dari pe­ker­ja­an­nya me­ la­lui sudut pandang orang per­ta­ma, Gunawan benar-benar mampu meng­ gam­bar­kan ba­gai­ma­na sisi ter­pu­ruk dan putus asa se­or­ ang istri yang cem­ bu­ru pada tokoh pe­rem­pu­an yang di­ bu­at su­a­mi­nya. Bahkan rasa cem­bu­ru be­gi­tu meng­u­a­sai di­ri­nya dan tanpa sadar mem­bu­at tokoh Istri mem­bu­ nuh su­a­mi­nya. Namun, tanpa di­du­ ga, bu­kan­nya me­nye­sal, tokoh Istri justru me­ne­nang­kan di­ri­nya dengan meng­a­ta­kan bahwa per­bu­a­tan­nya akan mem­ba­ha­gia­kan su­a­mi­nya. “Ka­re­na dia me­ning­gal saat me­nu­lis, hal yang mungkin di­i­dam­kan oleh banyak peng­ a­rang.” (hal. 57)

Akan te­ta­pi, tidak di­mung­ki­ri, kumcer Tuhan Tidak Makan Ikan memang penuh dengan kalimat-kalimat satire yang se­mu­ anya bisa di­ter­ta­wa­kan. Di kumcer yang banyak me­nying­gung meng­e­nai ke­ma­ti­an ini, meng­i­ngat­kan pem­ba­ca bahwa ke­ma­ti­an justru yang di­tung­gu tapi banyak orang yang me­ner­ta­wa­kan­nya. Dalam pem­bu­ka­an cerpen yang ber­ju­dul Cara Mati yang Tak Baik bagi Revolusi, pem­ba­ca diajak untuk me­ner­ta­wa­ kan cara mati yang konyol Kolonel Aduren ka­ re­na ter­pe­le­set ingus sendiri di kamar mandi. Namun, se­a­kan tidak ingin meng­hi­lang­kan diri khasnya me­ma­suk­kan psi­ko­lo­gi sastra, Gunawan juga tak lupa meng­gam­bar­kan ba­gai­ma­na kon­di­si Presiden Segrob yang merasa ba­ha­gia hanya ka­re­na mimpi di sela ke­ka­lu­tan­nya me­nang­ani pe­me­rin­ta­han yang ang­go­ta­nya banyak yang di­bu­nuh. Yang paling me­na­rik a­da­lah cerpen yang di­ja­di­kan judul kumcer ini. Tuhan Tidak Makan Ikan malah tidak lebih me­na­rik dari cerpen-cerpen lain. Me­nyin­dir tentang ba­gai­ ma­na ne­la­yan di pe­si­sir pantai sering di­bo­do­hi untuk menyetor tang­ka­pan i­kan­nya bukan untuk di­ri­nya sen­di­ri. Dalam Tuhan Tidak Makan Ikan, me­re­ka di­bo­do­hi oleh Kepala Kampung dengan dalih bahwa ke­a­da­an laut sedang tidak baik dan bisa kem­ba­li normal jika me­re­ka men­ye­rah­kan hasil laut me­re­ka untuk di­per­sem­bah­kan ke Tuhan yang tentu saja itu a­da­lah ke­bo­hong­an. Di­ce­ri­ta­kan me­la­lui sudut pandang se­ o­rang anak le­la­ki yang me­nying­kir­kan citacitanya men­ja­di pen­ja­ga per­pus­ta­ka­an ka­re­na pernah me­ra­sa ber­sa­lah se­te­lah men­cu­ri se­ bu­ah buku, Tuhan Tidak Makan Ikan men­ja­di jauh lebih me­na­rik. Cerpen ini di­tu­tup se­ca­ra apik dengan se­bu­ah dialog yang lugu, tapi me­nyen­til. “A­pa­kah Tuhan itu makan ikan, Yah?” “Anak bodoh, tentu saja Tuhan tidak makan ikan!” (125) Nisa MS.

Judul Buku : Tuhan Tidak Makan Ikan dan cerita lainnya. Penulis : Gunawan Tri Atmodjo Penerbit : Divapress Cetakan : I,Juni 2016 Tebal : 244 Halaman

10

edisi Ii | SEPTEMBER 2016


wacana

Simposium ‘65 dan Demokrasi Indonesia

A

c­ a­ra Sim­po­si­um ’65 (18/4) di­a­da­kan se­ca­ra re­smi oleh pe­me­ri­ntah RI se­ba­ga­i ben­tuk ke­se­ri­u­san pe­me­ ri­ntah da­lam mem­ben­tuk re­kon­si­li­a­si kor­ ban pe­ris­ti­wa 30 Sep­tem­ber 1965. Ber­ba­ga­i ka­lang­an mu­la­i dari pe­me­rin­tah, prak­ti­si HAM ser­ta eks-ta­pol (ta­ ha­nan po­li­tik) yang ter­li­bat dalam pe­ris­ti­wa ‘65 di­ha­dap­kan ber­sa­ ma guna men­da­pat­kan pan­dang­an yang ber­be­da ten­tang pe­ris­ti­wa kelam pas­ca re­for­ma­si ter­se­but. Sim­po­si­um yang ber­lang­sung dua hari itu mem­per­te­mu­kan kor­ban, pe­la­ku, a­ka­de­mi­si, dan se­ja­ra­wan ter­ka­it pe­ris­ti­wa ‘65. Di­ka­ta­kan ke­lam ka­re­na dalam pe­ris­ti­wa ‘65 telah banyak ter­ja­di pem­ban­ta­i­an an­tar­se­sa­ma yang meng­gang­gu ke­be­ra­da­an HAM di Indonesia. Sim­p o­s i­u m ini me­r u­p a­ kan lang­kah per­ta­ma pe­me­rin­ tah dalam me­li­hat pe­ris­ti­wa ‘65 me­la­lu­i pers­pek­tif se­ja­rah agar men­da­pat gam­ba­ran yang tidak se­pi­hak. A­ca­ra ter­se­but ber­da­sar Term Of Reference-nya bukan u­sa­ ha pe­me­rin­tah men­ca­ri si­a­pa yang ber­sa­lah dan si­a­pa yang benar, tapi me­ru­pa­kan u­sa­ha awal me­nu­ju re­kon­si­li­a­si korban pe­ris­ti­wa ‘65. Ter­buk­ti dari lem­ba­ga-lem­ba­ga yang ter­li­bat dalam a­ca­ra ter­se­ but an­ta­ra lain: De­wan Per­tim­ba­ ngan Presiden, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Pers Indonesia, UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gadjah Mada dan Universitas Udayana, Pusat Kajian Demokrasi dan HAM Universitas Sanata Dharma, Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, Institute for Peace and Democracy, dan Forum Silaturahmi Anak Bangsa. Dari ber­ba­ga­i lem­ba­ga ter­se­but dapat di­sim­pul­kan a­da­nya sim­po­si­um ini tidak hanya akan ber­gu­na bagi pe­gi­at HAM yang be­ru­sa­ha men­ca­ri ke­a­di­lan ke­ma­nu­si­ a­an, tapi juga ber­gu­na bagi pen­gem­bang­an in­te­lek­tu­a­lis­me mas­ya­ra­kat Indonesia. Ber­ba­ga­i ka­lang­an me­nyo­ro­ti ke­be­ra­ da­an sim­po­si­um ini dengan ber­be­da-be­da. Se­ba­ga­i contoh, se­bu­ah lem­ba­ga yang me­na­ ma­kan di­ri­nya se­ba­ga­i Front Anti-Komunis

SEPTEMBER 2016 | edisi iI

Indonesia me­man­dang bah­wa a­ca­ra se­per­ti ini a­da­lah u­sa­ha pe­me­rin­tah untuk meng­hi­dup­kan lagi PKI di Indonesia. Me­re­ka meng­ang­gap a­da­nya sim­po­si­um ha­nya akan mem­per­ke­ ruh ke­a­ma­nan Indonesia yang sudah lama

Indonesia yang di­se­but se­ba­ga­i ne­ga­ra de­mok­ra­si ke­du­a ter­be­sar se­te­lah Amerika di­ ang­gap ma­sih ter­la­lu pre­ma­tur dalam menyi­ ka­pi de­mok­ra­si di dalam ne­ge­ri­nya. Banyak ne­ga­ra meng­ang­gap bahwa Indonesia masih ku­rang dalam meng­a­ko­mo­dir su­ a­ra rak­yat­nya yang be­ra­sal dari ber­ba­ga­i bangsa dan suku. Pa­ da­hal, ke­be­ba­san ber­su­a­ra pada se­ti­ap orang a­da­lah hal mutlak bagi kon­sep de­mok­ra­si ber­ne­ga­ra. Ku­rang­nya sikap de­mok­ra­si di Indonesia dapat di­li­hat dari pe­ris­ti­wa ‘65 yang pada masa Orde Baru PKI di­ang­gap se­ba­ga­i “sosok jahat” se­dang pe­me­rin­tah se­ba­gai “sosok baik”. Pe­mi­ki­ran ter­se­but tentu ber­a­ki­bat pada ste­ re­o­tip bahwa se­ga­la yang ber­ba­u PKI dan komunis a­da­lah buruk se­dang se­mu­a yang dari pe­me­rin­ tah a­da­lah baik. Lalu pe­mi­ki­ran se­per­ti ini terus ber­lan­jut hingga masa pasca Re­for­ma­si se­lan­jut­ nya. Se­lu­ruh rak­yat di­be­ri peng­ er­ti­an bahwa hanya pe­me­rin­tah saja yang sah meng­i­sah­kan tra­ge­di ter­se­but tanpa per­nah se­ka­li­pun di­per­bo­leh­kan men­den­gar dari versi yang ber­se­be­rang­an. Hal i­ni­lah yang mem­bu­at de­mok­ra­si Indonesia patut di­per­ta­nya­kan. A­da­nya Sim­po­si­um ‘65 ini me­ru­pa­kan salah satu ke­ma­ju­ an bagi de­mok­ra­si Indonesia. Dengan be­gi­tu, fobia-fobia yang be­ru­sa­ha pe­me­rin­ta­han lama ta­ Gigih | Expedisi nam­kan pada pi­ki­ran rak­yat dapat me­men­dam a­ma­rah dengan ke­be­ra­da­an PKI. hi­lang dan ber­gan­ti dengan peng­er­ti­an baru Lain hal­nya dengan para se­ja­ra­wan yang yang lebih adil. Se­te­lah ini, mungkin akan me­li­hat a­ca­ra ini se­ba­ga­i ke­se­ri­u­san pe­me­rin­ lebih banyak a­ca­ra-a­ca­ra se­je­nis yang be­ tah yang ingin me­lu­rus­kan se­ja­rah. Pe­lu­ru­san ru­sa­ha meng­am­bil dua sudut pan­dang, baik se­ja­rah me­re­ka ang­gap sangat pen­ting ka­re­na yang me­nu­duh ma­u­pun yang ter­tu­duh dengan akan meng­em­ba­li­kan ba­nyak hal yang se­la­ma tema yang tidak jauh dari ke­ma­nu­si­a­an. Juga ini ma­sih di­tu­tup-tu­tu­pi se­per­ti peng­a­jar­an mung­kin mas­ya­ra­kat akan lebih meng­er­ti se­ja­rah tentang tra­ge­di ‘65 yang sangat tim­ arti dari se­bu­ah di­a­log se­hing­ga tak perlu pang da­lam pen­ya­mpa­i­an­nya. lagi ada pem­bu­ba­ran paksa ter­ha­dap di­a­log Meski be­gi­tu, a­ca­ra se­ma­cam Sim­po­si­um yang di­se­leng­ga­ra­kan dalam u­sa­ha untuk ‘65 ke­ma­rin ke­mung­ki­nan a­kan me­meng­a­ me­lu­rus­kan se­ja­rah. ru­hi ban­yak as­pek, baik na­si­o­nal ma­u­pun Wachid As-siddiq re­gi­o­nal. Salah satu hal yang sangat mung­kin akan ter­penga­ruh a­da­lah ma­sa­lah de­mok­ra­si di Indonesia.

11


eksprespedia

Politik Warna di Indonesia

W

arna me­mi­li­ki ber­ba­ga­i fung­si dalam ke­lang­sung­an partai po­li­ tik, di a­nta­ra­nya adalah lam­bang per­ge­ra­kan baru untuk me­nu­mba­ngkan ke­ku­ a­sa­an yang tengah ber­ku­a­sa. Selain itu, warna pada lam­bang po­li­tik dapat pula men­ja­di sa­ra­na pro­mo­si untuk me­na­rik minat mas­ya­ ra­kat yang pada ak­hir­nya akan ber­pe­nga­ruh pada le­gi­ti­ma­si po­li­tik di Indonesia. Po­li­tik warna sendiri adalah sistem po­li­tik di­ma­na warna me­me­gang pe­ra­nan penting dalam sistem per­po­li­ti­kan. Po­li­tik warna di Indonesia di­mu­lai sejak ter­ja­di­nya pe­ris­ti­wa G30S/PKI yang meng­a­ki­bat­kan tum­bang­nya rezim Orde Lama. PKI i­de­ntik dengan warna merah dan ber­lam­bang palu-arit. Pada a­wal­nya, warna dan lambang ter­se­but adalah se­ba­ga­i semangat meraih ke­mer­de­ka­an dan ke­ber­pi­ha­kan PKI pada rakyat kecil te­ru­ta­ma petani. Namun, sejak adanya pe­ris­ti­wa G30S/PKI, warna merah dan palu-arit di­lam­bang­kan se­ba­ga­i pem­be­ro­nta­kan dan per­tum­pa­ han darah. Tak hanya itu, akibat dari pe­ris­ti­wa tersebut bahkan membuat warna merah seolah di­ja­u­hi terlebih jika di­sang­kut­paut­kan dengan

politik dan gerakan massa. Contoh nya­ta dari dis­tor­si warna merah ini adalah pe­ris­ti­wa pe­re­bu­tan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Pa­nge­ ran Diponegoro Jakarta (27/07/1996) dan me­mu­ncul­kan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Di Indonesia sendiri, warna merah, biru, kuning, dan hijau adalah warna-warna yang me­nja­di ciri khas partai politik di Indonesia. Warna merah untuk PDIP, biru untuk Nasdem, PAN, dan Demokrat, putih ciri dari

Gerindra dan Hanura, kuning milik Golkar, dan hijau identik dengan PPP dan PKB. Pada da­sar­nya para po­li­ti­si berhak untuk me­la­ku­kan po­li­tik warna, asalkan tidak ber­ ba­ha­ya bagi ke­la­ngsu­ngan HAM. Jadi, dapat di­si­mpul­kan bahwa warna tak dapat ter­pi­ sah­kan dari sistem per­po­li­ti­kan di negeri ini ka­re­na warna dan po­li­tik lak­sa­na dua sisi mata uang. Erya Ananda

Gigih | Expedisi

INGIN PASANG IKLAN DI BULETIN EXPEDISI ? SEGERA HUBUNGI Maria (085-643-296-491) 12

edisi II | SEPTEMBER 2016


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.