Buletin Expedisi Edisi Reguler IV November 2017 - Soft Skill Butuh Evaluasi

Page 1

EXPEDISI EDISI IV NOVEMBER 2017

MEMBANGUN

Soft Skill Butuh Evaluasi

B U D AYA

KRITIS


surat pembaca Hargai yang Bukan Perokok KAMPUS harusnya jadi tempat belajar yang nyaman. Namun berbeda jika suasana kampus kurang kondusif. Ada berbagai penyebab, salah satunya adalah perokok. Pernahkah anda sedang membaca dan tiba-tiba terkena asap rokok? Nyamankah? Baik, mungkin bagi perokok ini adalah hal biasa, tetapi bagi yang bukan perokok hal tersebut sangat mengganggu. Mari bijak, hormati orang lain. Kita harus menempatkan sesuatu sesuai tempat, pihak kampus pun harus bisa melakukan pengawasan tempat mana saja yang harusnya dilarang untuk merokok. Taman dan gazebo untuk diskusi, bukan sebagai ladang mahasiswa perokok. Merokok itu hak kalian, tetapi kami juga punya hak untuk nyaman. Lalu bagaimana dengan kewajiban perokok?

Ahmad Efendi Yunianto Ilmu sejarah 2017

Akreditasi “A” dan Pelayanan Tidak Ramah UNY mendapat akreditasi A pada 2017. Namun, apakah segala aspek dalam kehidupan kampus sudah seperti yang diharapkan? Terdapat tanggung jawab besar yang melekat pada huruf “A” tersebut. Kampus dengan label “A” idealnya adalah kampus yang sudah baik dalam segala aspek. Akan tetapi, kenyataannya masih banyak kekurangan. Misalnya tentang pelayanan, jika tidak percaya coba masuk saja ke beberapa fakultas atau gedung rektorat. Kita akan menemui banyak pelayanan yang tidak ramah. Sepele memang, tetapi sebagai kampus berlabel “A” apakah pantas ada pihak-pihak yang masih berlaku kurang

editorial Kaji Ulang Program Soft Skill Soft skill berdasarkan buku Pedoman Umum Pembinaan Soft Skills merupakan faktor penunjang kesuksesan mahasiswa yang terangkum dalam beberapa bagian. Pertama, pemberian pemahaman bagi mahasiswa baru tentang urgensi soft skill. Kedua, membantu dan membentuk soft skill mahasiswa. Ketiga, membentuk keungulan kompetitif mahasiswa UNY. Menunjang kesuksesan mahasiswa melalui program Soft Skill adalah tujuan yang baik. Namun, jika demi melaksankan program Soft Skill pihak kampus mengancam mahasiswa melalui surat edaran, tindakan tersebut akan berdampak negatif. Motif mahasiswa untuk mengikuti program tersebut karena takut, bukan lagi karena ingin mengembangkan diri melalui program tersebut. Bukankah dengan Pendidikan model ancaman pada akhirnya hanya akan mengkerdilkan cara berfikir mahasiswa, bahkan dapat menyebabkan tidak akan tercapainya tujuan membentuk keunggulan dan kompetitif mahasiswa UNY. Selain itu program Soft Skill berlangsung di tengah kegiatan perkuliahan. Setelah mahasiswa

2

sibuk dengan perkuliahan dan segala tugasnya, mahasiswa masih harus berkutat dengan program Soft Skill dan segala tugasnya pula. Tentunya hal ini sangat mempengaruhi mahasiswa dalam mmenangkap materi soft skill. Tingkat konsentrasi mahasiswa akan menurun dan program Soft Skill tidak akan efektif. Jika memang Soft Skill menjadi program unggulan UNY untuk menjadikan World Class University, pihak kampus harus mengkaji ulang terkait jadwal penyelenggaraan dan kebijakan yang terkait dengan program Soft Skill demi menunjang keefektifan program tersebut. Selain jadwal yang perlu disesuaikan, surat edaran yang tersebar dan bernada ancaman juga menjadi “PR” bagi birokrasi untuk dikaji ulang karena kebijakan di dalamnya terkesan reprersif. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah mencoba mendengarkan respon mahasiswa terkait program Soft Skill. Dari merespon hal tersebut pihak birokrasi menjadi tahu kekurangan dan kelebihan program unggalan yang sedang mereka garap menjadi efektif. Redaksi

ramah, apalagi dalam bidang pelayanan? Misalnya saja pada subbag keuangan atau subbag pendidikan. Kampus sebagai tempat di mana seharusnya sebuah moral dan etika dijunjung tinggi, sudah semestinya setiap civitas akademik berlaku baik. Dilla Desi Deria Manajemen Pendidikan 2015

Kecewa dengan Koleksi Perpustakaan Saya kecewa ketika mengunjungi perpustakaan. Buku-buku di dalamnya tidak lengkap, jauh dari kata memadai. Terlalu banyak skripsi, tesis, dan disertasi yang memenuhi rak-rak perpustakaan. Mirisnya, hal tersebut terjadi baik di perpustakaan jurusan, fakultas, bahkan perpustakaan pusat. Alangkah baiknya jika koleksi buku perpustakaan UNY diperlengkap. Hal tersebut bisa dimulai dengan mengeluarkan semua skripsi, tesis, dan disertasi dari perpustakaan, kemudian mengumpulkannya di satu tempat khusus. Akhirnya yang berkepentingan untuk mencari skripsi, tesis, dan disertasi tinggal mengunjungi tempat tersebut. Rak-rak pun dapat diisi dengan bukubuku penting dan baru untuk melengkapi koleksi perpustakaan. Namun, hal tersebut relevan jika buku masih dianggap sebagai sarana pembangun kebudayaan. Agaknya, perbaikan serta pengucuran dana untuk hal-hal yang dangkal memang lebih mudah sekaligus jadi pusat perhatian. Muhammad Syafiq Addarisy Sastra Indonesia 2016

sempil +"Jika tidak ada Soft Skill, mahasiswa pasti kebingungan." -"Kami datang karena lapar, Pak."

Pimpinan Proyek M. Noor Alfian Choir | Sekretaris Khansa Nabilah | Bendahara Mu'arifah | Redaktur Pelaksana Rofi Ali Majid | Redaktur Khansa, Salma | Reporter Alfian, Ali, Bagas, Khansa, Yasin | Foto Bagas Nugroho Pangestu | Artistik Nossis Noer Dimas Hertanto, Prawala Adi Wara, Sunardi | Produksi Yonky Rizki Munandhar | Iklan Ahmad Yasin, Muhammad Bintang Akbar, | Tim Polling Ikhsan Abdul Hakim, Haris Dwi Saputra, Mar'atu Husnia Alfi | Sirkulasi Gilang Ramadhan | Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email lpm_ekspresi@ yahoo.com | Web ­Ekspresionline.com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.

edisi IV | NOVEMBER 2017


Bagas | Expedisi

sentra

n Minggu (5/11), salah satu ruangan di Gedung Utara Fakultas Ilmu Sosial (FIS) yang digunakan oleh rombongan belajar (Rombel) 56 mahasiswa angkatan 2017.

Maba Keluhkan Pelaksanaan Soft Skill

Program Soft Skill diadakan untuk menguatkan karakter mahasiswa UNY. Namun, sebagian mahasiswa mempermasalahkan pelaksanaan Soft Skill dari pemateri hingga urusan teknis.

M

u­lai 16 Agustus 20­17, UNY menye­leng­garakan prog­ram Soft Skill untuk maha­siswa baru (maba). Seba­gian maba meni­ lai Soft Skill tidak cukup efek­tif dal­ am memberikan pemahaman kepada mahasiswa. Nadzif Al’aqol, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) 2017, mengatakan, “Penyampaian materi Soft Skill-nya monoton. Bisa fokus mendengarkan hanya di jam pertama setiap pertemuan,” kata Nadzif, Selasa (17/10). Sejalan dengan Nadzif, Nadia Nur Lutfiani dari PBSI 2017 menyatakan jika pemateri Soft Skill kurang interaksi. “Jadi, kita cuma datang, masuk kuping kanan keluar kuping kiri,” kata Nadia. “Kita pulang cuma dapet snack, dan itu kan snack-nya juga dari duit kita,” tambahnya saat dihubungi via Whatsapp, Sabtu (28/10). Se­men­tara me­nu­rut Dhea­dara Sa­ ti­ti Wi De­ta­ra, ma­ha­sis­wa Sas­tra Ing­ gris 2017, Soft Skill akan efektif jika dipraktikkan. “Menurut saya Soft Skill itu lebih meyakinkan, tetapi bagi saya tidak terlalu berefek dan terasa jika

NOVEMBER 2017 | edisi iV

tidak dipraktikkan,” kata Dheadara, Jumat (13/10). Dheadara mengamini materi yang disampaikan dalam Soft Skill sebenarnya bagus, tetapi ia menyayangkan suasana saat acara berlangsung kian lama kian tidak kondusif. “Barisan tengah ke belakang itu cenderung ribut,” tutur Nadzif. Bahkan, lanjutnya, kebanyakan peserta Soft Skill di barisan belakang tidur dan lebih memilih memasang earphone. Nadzif yang duduk di barisan belakang mengakui jika tindakan tersebut salah, tetapi ia ingin pihak penyelenggara juga mengoreksi karena acaranya tidak menarik. Masa­lah la­in dal­am pe­lak­sa­na­an pro­ gram So­ft Skill ada­lah se­ring meng­gang­ gu wak­tu li­bur ma­ha­sis­wa. Dhea­dara me­nutur­kan, So­ft Skill ya­ng di­ada­kan ber­sama­an de­ngan ha­ri li­bur se­per­ti Sab­tu dan Ming­gu, me­ma­kan wak­tu libur­nya. “Pas­ti se­ming­gu itu ada sa­ja ke kam­pus,” kata­nya. Se­men­tara itu Nad­zif menya­takan, ban­yak ke­lu­han ter­kait jad­wal Soft Skill ya­ng men­dadak membuat mahasiswa tidak punya waktu istirahat.

Senada dengan Dheadara dan Nadzif, Nadia berpendapat bahwa jadwal Soft Skill sempat mengganggunya. Pelaksanaan Soft Skill pernah diadakan satu hari sebelum Iduladha. Saat itu ia sudah berencana pulang ke Tuban, tempat tinggalnya. Kendati demikian, Nadia lebih memilih pulang. “Itu kan seharusnya pulang, tetapi kita masih di perantauan, kan tidak etis,” kata Nadia. Sosialisasi Soft Skill dari Mulut ke Mulut Nurtanio Agus Purwanto, Ketua program Soft Skill mengungkapkan, sosialisasi Soft Skill sudah dilakukan dengan melayangkan surat ke fakultas, mengumumkannya di situs web, dan mengirim sms guide away. Namun sebagian mahasiswa mengaku hanya memperoleh informasi tentang Soft Skill dari mulut ke mulut. Hal itu disampaikan oleh Nadia. Ia mengaku, sejak masuk UNY, tidak ada sama sekali pemberitahuan tentang Soft Skill. “Aku tahu Soft Skill itu dari mulut ke mulut. Sepengetahuanku, 3


sentra tidak ada pemberitahuan dari pusat,” ungkapnya. Senada dengan Nadia, semula Nadzif tidak benar-benar tahu mengenai Soft Skill. Ia hanya dihimbau untuk datang. “Sekadar dari mulut ke mulut kemudian di grup media sosial ada tautan ke situs web UNY, di sana terdapat informasi Soft Skill,” kata Nadzif. Sementara Farisa Novibiyaningrum, mahasiswa Sastra Inggris 2017, dalam rubrik surat pembaca majalah Pewara Dinamika edisi Agustus 2017, menuliskan, ia baru mendapat pengumuman resmi Soft Skill di situs web UNY berdasarkan surat bertanggal 14 Agustus 2017. Sebelumnya, ia belum mengetahui secara detail jadwal Soft Skill tersebut. Akibatnya, ia harus dadakan pesan tiket untuk kembali ke Yogyakarta. Menanggapi keluhan-keluhan terkait Soft Skill, terutama yang berdampak bagi mahasiswa, Rektor UNY, Sutrisna Wibawa mengapresiasi masukanmasukan itu. “Terus terang ya ini kan program baru, harus diakui juga masih ada kelemahan-kelemahan. Akan kita perbaiki,” kata Sutrisna saat ditemui di kantornya, Rabu (18/10).

Rep

ro

|A

raw

Dat­ang kare­na An­cam­an dan Makan­ an Nurtanio mengakui jika program Soft Skill punya target melahirkan mahasiswa yang berkarakter baik sesuai visi UNY. Kendati demikian, masih ada mahasiswa yang ikut Soft Skill karena keterpaksaan. Nadzif misalnya, kehadirannya mengikuti Soft Skill lebih disebabkan karena berbagai sanksi yang mengancam. “Jadi, kebanyakan peserta yang datang karena ingin da­pat maka­nan dan meng­ hin­­dari an­cam­­anan­­ca­m ­a ­­n itu,” ka­t a Na­d ­ zif.

4

Senada dengan Nadzif, Dheadara me­milih menghadiri acara Soft Skill kare­n a diwajibkan sebagai syarat yudisium. Ditanya tentang surat yang memperingatkan pencoretan sebagai mahasiswa jika tidak ikut Soft Skill, Dheadara mengaku tidak tahu menahu. Namun, ia menilai jika ancaman itu berlebihan. “Kayaknya semua mahasiswa tidak menikmati Soft Skill, terus apa ya mau di-DO semua?” kata Dheadara. Dalam surat edaran bernomor 1850/ UN34/KM/2017 tanggal 14 Agustus 2017 menyebutkan, mahasiswa baru yang tidak memenuhi segala ketentuan kegiatan Soft Skill akan dinyatakan mengundurkan diri yang berakibat kehilangan haknya sebagai mahasiswa UNY. Menanggapi surat tersebut, Nadzif berkomentar, “Kalau memang niat mereka ingin membuat kami datang, itu efektif. Masalahnya kalau ingin membuat kami paham, itu sama sekali tidak efektif karena kami datang dengan keterpaksaan.” Terhadap berbagai ancaman sebagai konsekuensi tidak ikut Soft Skill, Sutrisna berujar jika hal itu hanya untuk himbauan. “Tidak sampai seperti itu (status mahasiswanya dicabut, Red.), toh semua kemarin juga ikut kok,” kata Sutrisna. “Coba Anda bayangkan kalau enggak ada program ini, mahasiswa kebingungan tho belajar di tempat yang baru,” tambahnya. Soft Skill Pengganti ESQ Sutrisna mem­benar­kan jika Soft Skill di­mak­sud­kan seba­gai peng­ganti Emo­ tional Spiri­tual Quo­tient (ESQ). ESQ ya­ng di­arah­kan untuk pe­ngem­bang­an emo­si­onal dan spi­ri­tual su­dah ber­jal­an sel­ama Roch­mat Wa­hab ma­sih men­jabat se­ba­gai rek­tor UNY. Pro­gram ESQ di­ kelola oleh swasta, sementara Soft Skill ditangani langsung oleh UNY. “Itu (ESQ) hanya berlangsung dua hari dan tindak lanjutnya juga masih belum berjalan,” kata Surtisna. Sutrisna menga­ta­kan Soft Skill memi­ liki sem­bilan ma­te­ri. Pengem­bangan Soft Skill ini menyeluruh dan dalam jangka waktu setahun. “Sebagai pengembangan mahasiswa, tidak cuma sehari dua hari,” ujarnya. Sependapat dengan Sutrisna, Nurtanio mengatakan ESQ diganti dengan Soft Skill karena dinilai tidak komprehensif. “Mereka punya tarif sendiri karena levelnya nasional, kalau kita kan dari UNY sendiri. Memang ala kadarnya, tidak

“Jadi, kebanyakan peserta yang datang karena ingin da­pat maka­ nan dan menghindari ancamanancaman itu,” Nadzif. sebanding dengan level nasional, tetapi bisa lebih hemat, auditorium tidak perlu sewa. ESQ itu harus menyewa karena mereka dari luar,” jelas Nurtanio. Menurut Nurtanio, program Soft Skill sudah disiapkan sejak setahun sebelumnya. Nurtanio menambahkan, Soft Skill memiliki enam tahap sementara ESQ selesai hanya dalam satu tahap. “Nah, ini panjang, yang penting proses. Targetnya agar UNY punya karakter yang kuat, punya jati diri khas sesuai visi unggul, kreatif, cendekia,” lanjut Nurtanio. Soft Skill dimulai dari Agustus sampai November 2017. Jadwal Soft Skill dibagi berdasarkan jalur masuk dengan melalui empat tahap. Sutrisna menyatakan, Soft Skill bertujuan untuk memberikan arahan kepada mahasiswa untuk mengikuti kegiatan akademik.“Yang namanya Soft Skill itu kan etika masuk di dalamnya, kemudian meneguhkan kembali belajar di perguruan tinggi,” kata Sutrisna. Ditanya mengenai praktik untuk program Soft Skill, Nurtanio menjabarkannya dengan mengacu kurikulum di buku pedoman. “Seperti misalnya cara mengirim pesan ke dosen. Terus pengembangan diri, itu kita harus bikin peta konsep,” kata Nurtanio. Lebih lanjut, Nurtanio mencontohkan, “Misal, pengenalan organisasi mahasiswa. Nanti mahasiswa tertariknya di mana, o ternyata cocok di seni, tetapi saya tidak tertarik. Kenapa? Nah, disitulah bagaimana dia bisa praktik mengambil keputusan. Bagaimana dia bisa praktik melakukan analisis.” Dijelaskan oleh Nurtanio, setelah program Soft Skill selesai, akan ada evaluasi secara menyeluruh, di antaranya manajemen penyelenggaraan sampai substansi materi. Hal itu termasuk dengan waktu pelaksanaan yang kerap dikeluhkan mahasiswa. “Siang hari mungkin yang menyebabkan maba mengantuk. Rencana tahun depan, kalau bisa sebelum perkuliahan dilaksanakan— karena pada bulan Juli maba sudah ada. Soft skill mulai dari pagi, sehingga siang sudah selesai,” pungkasnya. Ahmad Yasin Alfian, Ali, Khansa

edisi IV | NOVEMBER 2017


polling

Soft Skill untuk Maba Perlu Perbaikan

P

ada 2017 UNY mengadakan program Soft Skill untuk mahasiswa baru (maba), menggantikan ESQ yang telah dilaksanakan di tahuntahun sebelumnya. Namun, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa hal yang memberatkan maba. Berdasarkan hal tersebut, LPM EKSPRESI melalui Tim polling buletin EXPEDISI melakukan jajak pendapat. Kami menggunakan metode insidental dalam pengambilan data, yakni menyebar angket secara langsung kepada maba UNY angkatan 2017. Angket tersebut disebar secara acak dan merata. Pengambilan data polling menggunakan rumus slovin dengan sampel eror 5%. Dari rumus tersebut, diambil sejumlah 373 responden mewakili 5.535 maba S1 dan D3 UNY angkatan 2017. Pertanyaan pertama, apakah mereka merasa terbebani atau tidak dengan adanya program Soft Skill? Sejumlah 29,8% responden menjawab merasa terbebani dengan adanya program Soft Skill, sedangkan 69,7% merasa tidak terbebani. Sisanya sejumlah 0,5% responden tidak menjawab. Untuk pertanyaan mengenai sanksi jika tidak mengengikuti program Soft Skill, sebesar 50,7% responden mengatakan paham, sementara 48,5% mengatakan tidak paham mengenai sanksi yang dikenakan. Sisanya sebanyak 0,8% responden tidak menjawab. Mengenai sosialisasi jadwal Soft Skill, sebanyak 80,7% responden mengatakan cukup jelas, tetapi ada 19% maba yang merasa belum jelas mengenai kapan sebenarnya program ini dilaksanakan. Sisanya 0,3% responden tidak menjawab. Selanjutnya pertanyaan tentang apakah program Soft Skill ini dibutuhkan oleh maba untuk pengembangan dirinya, 89% responden beranggapan bahwa Soft Skill ini dibutuhkan, sementara 11% responden berkata tidak membutuhkanya. Mengenai suasana pelaksanan program Soft Skill yang sudah dilaksanakan, sebanyak 21,7% responden menyatakan bahwa kegiatan tersebut menyenangkan, 20,6% menyatakan kegiatan tersebut membosankan, sisanya menyatakan biasa saja yaitu sebanyak

NOVEMBER 2017 | edisi iV

Araw | Expedisi

57,4% responden. Sedangkan, 0,3% responden tidak menjawab Selanjutnya, mengenai alasan responden mengikuti program Soft Skill, 51,7% responden menjawab untuk mengembangkan diri, 27,6% responden menjawab untuk beradaptasi dan sisanya 19,6% responden menjawab karena takut dengan sanksi jika tidak mengikuti kegitan tersebut. Masalah respon maba terhadap program Soft Skill yang dirasa mendadak, sebesar 23,6% menjawab setuju, 7,8% menjawab sangat setuju, sedangkan 55,2% menjawab tidak setuju dan sisanya 8% menyatakan sangat tidak setuju. Sejumlah 5,4 responden tidak menjawab pertanyaan ini. Perihal kesediaan maba untuk mengikuti lagi kegiatan yang serupa, 13,9 % responden menjawab sangat

tidak setuju, 50,1% responden menjawab tidak setuju, 27,3% setuju dan sisanya sebanyak 2,7% sangat setuju. Sebanyak 6% responden tidak menjawab. Dari hasil olah data angket yang kami lakukan, dapat diketahui bahwa dalam pelaksanaan program Soft Skill UNY untuk maba 2017 menggambarkan adanya ketidakserasian. Beberapa hal bermasalah yaitu sosialisasi kegiatan yang kurang, respon maba yang masih biasa saja, serta adanya pemberitahaun jadwal yang terkesan mendadak. Hal ini mengindikasikan bahwa program Soft Skill masih butuh pembenahan dan perencanaan yang lebih matang agar maba akhirnya dapat mengikuti program serupa dengan baik. Tim Polling

5


persepsi

Doxing dan Kealpaan Menjaga Informasi

B

elum lama ini santer tersiar kabar, alumni sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta menjadi korban penyebaran video porno. Tanpa perlu waktu lama, muncul dugaan-dugaan nama pelaku. Beberapa bahkan langsung merujuk ke identitas yang gamblang, F dan HA inisialnya. Sebelum ada konfirmasi lebih lanjut, nama keduanya langsung populer di berbagai situs, mulai dari media sosial, blog sampai forum dan situs guyonan. Seakan latah dengan tingginya tren pencarian isu ini, sejumlah media massa arus utama tanpa menggunakan asas praduga tak bersalah mulai berani menampilkan profil sosok yang belum jelas apakah benar-benar terlibat atau tidak, tanpa ada upaya melindungi identitasnya. Padahal hingga tulisan ini disusun, kepolisian masih belum bisa memastikan apakah F dan HA terlibat dalam video itu. Identitas kedua korban, terutama si perempuan sudah kadung viral. Google bahkan mencatat pencarian dengan nama lengkap HA memuncaki tren pencarian selama tiga hari berturut-turut, pada 24-26 Oktober 2017. Pada hari terakhir, tercatat lebih dari satu juta pencarian dilakukan dengan kata kunci nama HA dalam sehari. Itu baru dari satu kata kunci, belum termasuk variasi kata kunci lainnya yang juga memuat nama lengkap HA yang kalau ditotal bisa jauh lebih banyak. Jelas tak ada persetujuan dari si empunya identitas dalam penyebarluasan identitas pribadi ini. Secara sepihak nama dan identitas pribadi, juga latar belakang pendidikan dan lingkungan pertemanan mereka diumbar tanpa sensor. Bahkan tak ada ruang bagi mereka untuk membela diri. Isu ini bergulir begitu liar, identitas pribadi mereka pun jadi konsumsi publik yang kepo. Fenomena seperti kasus di atas memiliki sebutan khusus, doxing. Doxing merupakan akronim dari document tracing atau penelusuran dokumen 6

melalui internet. Istilah berkonotasi negatif yang belum lama dikenal ini belum memiliki definisi resmi. Beberapa kalangan menyepakati maknanya sebagai

Repro | Araw

upaya menyebarluaskan informasi personal tanpa izin melalui dunia maya. David Douglas dalam jurnal Ethics and Information Technology menyebutkan tujuan tindakan ini tak lepas dari internet shaming, upaya mempermalukan, mengancam, sampai menghukum si pemilik identitas di internet. Alasannya beragam, mulai dari menghukum si pelanggar, menghancurkan kredibilitas sasaran, sampai dendam pribadi. Sebenarnya di Indonesia sudah ada undang-undang yang melindungi privasi seseorang, misalnya dalam Pasal 54 UU Keterbukaan Informasi Publik. Pasal ini mengancam siapa pun yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikan untuk konsumsi publik dengan ancaman pidana. Selain itu, Pasal 26 UU Informasi dan Transaksi Elektronik juga mensyaratkan penggunaan data pribadi wajib sepersetujuan pemilik data bersangkutan. Lebih lanjut pasal ini menyebutkan barangsiapa dilanggar haknya maka berhak mengajukan gugatan. Menjadi masalah ketika seluruh pasal itu hanya mengatur untuk data pribadi yang ada di ruang privat

atau dirahasiakan. Di sinilah kadang pengguna internet, utamanya media sosial (medsos) lena. Mereka menilai medsos sebagai ruang pribadi. Padahal kalau dilihat dari fungsinya, medsos merupakan ruang publik. Ruang publik adalah ruang di mana setiap orang bebas berpartisipasi untuk berdiskusi mengenai berbagai topik yang menjadi kesamaan minat dengan orang lain. Sosiolog Jerman yang memperkenalkan istilah ruang publik, Jurgen Habermas mencatatkan, konsep ini tak harus berlaku pada dunia nyata, tetapi juga di ruang virtual. Ruang virtual seperti internet dan medsos pun bisa dianggap sebagai ruang publik ketika setiap orang bisa mengakses informasi yang tersedia. Dalam konteks medsos, akun yang kita buat memang akun pribadi, tetapi pesan yang muncul akan menjadi milik publik. Artinya data apapun yang kita cantumkan di sana, selama statusnya dibuka untuk umum, maka secara tak langsung kita sudah secara sadar menyetujui untuk berbagi informasi tersebut kepada masyarakat luas. Kalau sudah begini, pelaku doxing yang datanya didapatkan dari medsos atau laman lain di internet telah lepas dari jerat hukum yang ada. Harus dipahami, era digital membuat privasi mahal harganya. Kalaupun bukan kita yang merilis data pribadi, terkadang ada saja instansi yang masih belum sadar pentingnya data pribadi dan merilis daftar identitas di laman mereka dengan alasan keterbukaan informasi. Kalau sudah begini, tak ada cara lain menanggulangi doxing selain sadar diri. Setidaknya kita bisa memulai membatasi membagi informasi pribadi di internet atau mengatur pengaturan privasi agar beberapa data pribadi tak ditampilkan. Memang tak menjamin kita akan sepenuhnya bebas dari ancaman doxing, tetapi lebih baik ketimbang tak melakukan upaya pencegahan apapun. Gilang Jiwana Adikara Dosen Ilmu Komunikasi FIS UNY Aktivis Jaringan Pegiat Literasi Digital

edisi IV | NOVEMBER 2017


persepsi

Bubarkan BEM dan DPM !

NOVEMBER 2017 | edisi iV

pa­da akhir­nya war­ga SC as­ing den­g­an BEM atau DPM. Keempat, gagalnya BEM dan DPM dalam melakukan pendidikan politik di kampus. Hal ini dapat dilihat dari proses pemilwa yang setiap tahunnya selalu mengalami masalah. Berbagai masalah timbul mulai dari tingginya angka golput hingga rendahnya minat mahasiswa untuk mengikuti proses pemilwa seperti uji publik peraturan pemilwa. Beberapa penyakit yang telah dipaparkan di atas sebaiknya jadi renungan, terutama bagi calon pemimpin yang akan njago pada pemilwa Desember mendatang. Menemukan kembali identitas BEM dan DPM adalah suatu kewajiban. Asyarikatu minal iman (Pergerakan merupakan bagian dari iman) harus masuk pada setiap relung jiwa anggotanya untuk membela para mustadha’afin di kampus. Dengan demikian nama BEM dan DPM bisa diingat sebagai pembela yang lemah, bukan sebagai event organizer semata. Menunjukkan rasa cinta terhadap kampus tak melulu harus lewat piala yang berjejer-jejer atau berlembarlembar sertifikat "aktivis". Justru hal tersebutlah yang menyempitkan makna cinta. Menyuarakan mahasiswa yang tak terpenuhi haknya merupakan opsi lain yang sepatutnya dilakukan.

Pada akhirnya hal yang demikian akan membawa kampus menjadi lebih baik. Kritik sangat penting meski terlihat tak enak. Kritik terhadap kampus inilah yang tak terlihat dari anggota DPM dan BEM. Hanya satu dua anggota yang bekerja melakukan, sisanya hanya sebagai tim hore-hore. Selanjutnya, organisasi harus berangkat kembali dari pondasi yang kokoh. Penyunatan anggaran serta penyetopan dana yang pernah dilakukan pihak birokrat hanyalah upaya lain untuk mengkerdilkan identitas BEM dan DPM sebagai eksekutif dan legislatif mahasiswa. Jangan jadikan nominal anggaran sebagai tolok ukur majunya organisasi. Anggapan seperti itu hanya akan menciptakan organisasi yang berorientasi pada proyek, alias proyekan. Akhirnya sikap profan BEM dan DPM yang seakan-akan suci selama ini harus benar-benar disucikan kembali. Pemilwa bisa jadi momen yang tepat untuk meneguhkan kembali identitas mereka di hadapan mahasiswa. Namun jika setelah awal kepengurusan dan ke depannya tak ada perubahan, lebih baik tengok kembali kalimat terakhir paragraf pertama persepsi ini: BEM dan DPM dibubarkan saja. Rofi Ali Majid

Repro | Araw

J

auh pang­gang da­ri api bi­sa ja­di ada­ gium ya­ng pas ji­ka di­guna­kan un­tuk me­ni­lai per­an lem­baga ekse­kutif dan le­gis­la­tif ma­ha­sis­wa UNY sa­at ini. Alihalih ja­di panu­tan ma­ha­sis­wa, Ba­dan Ekse­kutif Ma­ha­sis­wa (BEM) dan De­wan Per­wa­kil­an Ma­ha­sis­wa (DPM) uni­ver­ si­tas ma­lah kehi­lang­an ta­ji­nya. Kan­ker da­lam tu­buh or­gani­sa­si ki­an ha­ri ki­an me­ng­gero­go­ti iden­ti­tas me­re­ka. Da­lam hal ini te­nt­ u ide­nti­tas se­ba­gai lem­ba­ga ekse­ku­tif da­n le­gis­la­tif ma­ha­sis­wa. Ji­ka tak kun­jung di­obati, BEM dan DPM le­ bih ba­ik di­bu­bar­kan. Agar tak ja­di fit­nah Daj­jal ak­hir za­ man, le­bih arif ji­ka ki­ta ku­pas sa­tu per sa­tu le­ad per­sep­si di atas. Per­ta­ma, BEM uni­ver­si­tas se­ba­gai lem­ba­ga ekse­ku­ tif ma­ha­sis­wa, te­lah ber­ge­ser per­an­nya men­jadi ev­ent or­gan­izer ma­ha­sis­wa. Se­benar­nya tak ja­di ma­sa­lah ke­ti­ka satu dua pro­gram ker­ja ya­ng di­bu­at BEM, ber­ben­tuk aca­ra mau­pun lo­ka­kar­ya hu­ra-hu­ra. Na­mun ja­di ran­cu ke­ti­ka ang­gar­an ya­ng jum­lah­nya se­ki­tar 70 ju­ta ru­pi­ah—dal­am Ren­ca­na Ke­gia­tan dan Pe­ng­ang­ga­ran Ter­pa­du pe­ri­ode 20­ 17—sebagian besar hanya digunakan untuk acara yang sifatnya seremonial belaka. Kalau begitu ganti saja namanya menjadi Badan Event Mahasiswa—pas, kan? Ke­dua, pro­gram ya­ng di­buat ja­rang men­yen­tuh se­luruh maha­sis­wa. Aki­ bat­nya tak main-main, jangan­kan ta­hu BEM itu apa, na­ma BEM univer­si­tas mung­kin ha­nya mam­pir di teli­nga para sis­wa ya­ng kata­nya ma­ha sa­at Os­pek saja, selan­jut­nya ma­sa bo­doh. DPM pun demi­kian, nama­nya ha­nya akan ke­ deng­ar­an saat eufo­ria pemil­wa, se­te­lah itu en­tah ke mana ba­tang hi­dung­nya. Hal ini ten­tu akan ber­peng­aruh pada me­roso­tnya po­sisi ta­war me­re­ka di ma­ta maha­sis­wa. Ketiga, ada­lah si­kap sok eli­te ali­ as ku­rang sra­wung. Ba­gai­ma­na mau di­ke­n­al ma­ha­sis­wa ji­ka sra­wung sa­ja jar­ang. Alih-alih sa­ma maha­sis­wa, lha wo­ng keti­ka war­ga Stu­dent Cen­ter (SC) bi­kin aca­ra di ge­du­ng SC, bu­kan­nya ber­ga­bung me­re­ka ma­lah ngum­pet di se­kre­ta­riat, pa­da­hal se­kre­tariat­nya cu­ ma num­pang di SC. Ja­ng­an ka­get jika

7


tepi

Mencoba Peruntungan Penurunan UKT Tidak adanya kejelasan mengenai prosedur penurunan Uang Kuliah Tunggal (UKT) menyebabkan beberapa mahasiswa menjadi korban kebijakan sistem UKT.

D

ari arah selatan lobi Sekretariat ISO Fakultas Ilmu Sosial (FIS), tampak seorang perempuan menghampiri bangku tempat Tim EXPEDISI menunggu. Ia memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan. “Afridha,” ucapnya. Setelah berbasa-basi sejenak, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan wawancara di laboratorium sejarah. Afridha Sumunariningtyas saat ini menempuh semester lima di program studi Ilmu Sejarah. Ia bercerita bahwa dirinya sudah dua kali mencoba menurunkan UKT. Pertama kali ia mengajukan penurunan UKT pada 2015, semester pertama, sebab salah satu orang tuanya sakit. “Mata bapak sakit, kayak blur gitu. Jadi tidak memungkinkan untuk bekerja

jadi supir,” tuturnya, Selasa (17/10). “Jadi bapak cuma buka warung di depan rumah, jual gorengan, semacam angkringan gitu,” lanjutnya. Afridha bersama ibunya mengajukan penurunan UKT ke rektorat. Di sana ia bertemu dengan Setyo Budi Takarina, Kepala Biro Umum Perencanaan dan Keuangan (BUPK). Budi menjelaskan mengapa Afridha mendapatkan UKT golongan III sebesar 3 juta 145 ribu rupiah. Penyebabnya adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) milik keluarga Afridha mendapat poin tertinggi, yakni 100. Poin tersebut diambil dari hasil pengisian data ekonomi saat pertama masuk kuliah di UNY. Ia mendapatkan PBB tinggi karena tanah miliknya berada di pinggir jalan. Pengajuan penurunan UKT yang pertama pun langsung di­tolak ka­re­na hal ter­sebut. “Itu (PBB) ya­n g meng­ ganjal UKT tur­un,” je­las Afri­dha. P a ­d a 2016, me­ma­ suki semester tiga, Afridha menga­ju­kan pen ­ uruna ­n UKT un­t uk ke­d ua kali­ nya. Alasan permohonan penurun ­ an UKT ka­li ini ada­lah ayah­ nya wafat. Ia sempat optimis jika U K T- n y a bakal tu­run, teta­p i sa­a t pengu­m um­ an hasil­n ya Dok. Istimewa ni­h il. “Pas n Tarif UKT mahasiswa baru UNY tahun 2015/2016 pengu­mum­an

8

itu yang turun cuma 10 atau 11 orang,” paparnya. Ia tidak mengetahui alasan mengapa pengajuannya ditolak. Setelah penurunan UKT ditolak kedua kalinya, ada niatan untuk melakukan kerja sambilan. Namun hal itu diurungkan oleh Afridha. “Sama ibu enggak boleh cari uang,” kata Afridha. “Pokoknya kuliah yang bener, uang itu urusan ibu,” lanjut Afridha mengingat ucapan ibunya yang kesehariannya bekerja sebagai guru honorer salah satu sekolah swasta di Kulon Progo. Salah seorang teman Afridha yang ikut mencoba menurunkan UKT ialah Hernantya Adila Pramita Devi. Kamis petang, 26 Oktober 2017, di sebuah warung kopi dekat Jembatan Merah Gejayan, mahasiswi Ilmu Sejarah yang biasa dipanggil Devi ini menuturkan bahwa dirinya pertama kali menurunkan UKT lewat Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FIS pada semester dua. Berbagai persyaratan penurunan UKT telah ia lengkapi, termasuk wawancara. Setelah itu, ia sama sekali tidak mendengar kabar dari DPM. “DPM bilangnya bakal dinaikin ke rektorat, tetapi ditunggu berbulan-bulan kok tidak ada kabar,” keluh Devi. Alasan Devi menurunkan UKT adalah pendapatan usaha kedua orang tuanya menurun. Saat semester tiga, ia kembali mencoba menurunkan UKT-nya bersama Afridha. Namun lagi-lagi tidak ada kabar. Cuti sempat terpikirkan olehnya, tetapi hal itu diurungkan. Ia mendapatkan bantuan dari teman-teman di jurusannya untuk melanjutkan kuliah. Niat untuk cuti sempat muncul lagi ketika memasuki semester lima, sebab pendapatan usaha orang tuanya kian menurun. “Tapi ada pinjaman, terus enggak jadi cuti,” ujarnya. Demi mengembalikan uang pinjaman yang digunakan membayar UKT, Devi pun sempat kerja. Ia mengambil kerja sambilan di salah satu restoran makanan cepat saji selama liburan semester. Merasa tidak bisa membagi waktu untuk kuliah dan kerja, ia memutuskan untuk edisi IV | NOVEMBER 2017


tepi berhenti kerja usai liburan semester. “Jam kerjanya tidak menentu,” kata Devi Beda cerita dengan Aninditya Ayunisa Utami, mahasiswa Kebijakan Pendidikan 2016 ini mencoba menurunkan UKT lewat bantuan BEM Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) pada Mei 2017. Salah mengisi penghasilan orang tua menjadi alasan Dita menurunkan UKT. Ia menuliskan jumlah total penghasilan orang tua di kolom penghasilan sampingan sebesar 1 juta 500 ribu rupiah. Ketika hendak membayar, Dita kaget dengan biaya UKT yang harus dibayarkan. Ia harus membayar 4 juta rupiah pada saat itu. Waktu itu ralat UKT sudah ditutup, sehingga ia membayar UKT dengan nominal tersebut. “Daripada aku enggak jadi kuliah di sini kan ya awal-awalnya, terus ya sudah, dibayar dulu segitu,” jelasnya Kamis (19/10) saat diwawancarai di kampus FIP. Kedua orang tua Dita bekerja sebagai pedagang. Rata-rata penghasilan mereka 700 ribu rupiah per bulan dengan total kira-kira 1 juta 500 ribu rupiah. Meski Dita mendapatkan beasiswa PPA, hal itu masih dirasa kurang untuk membayar UKT. “4 juta itu dilihat dari penghasilan orang tuaku yang segitu itu, aduh,” keluhnya. Untuk menambah uang saku, Dita berjualan makanan ringan yang dititipkan di kantin. Ia mendapatkan tambahan uang saku sekitar 20–30 ribu rupiah per minggu dari hasil jualan. Hingga kini belum ada pengumuman perihal penurunan UKT oleh BEM. Dita menyayangkan pihak BEM tidak melakukan sosialisasi kepada mahasiswa yang menurunkan UKT lewat jalur mereka. “Setidaknya bilang, biar kita itu enggak merasa digantung begini,” keluh Dita. P r i a n t o n i Wi b o w o, Ke p a l a Departemen Kesejahteraan Mahasiswa BEM KM, mengatakan pengajuan penurunan UKT massal memakan waktu lebih lama. Tahun ini, BEM bekerjasama dengan Tim Advokasi masing-masing fakultas untuk membuka pengajuan penurunan UKT. Seleksi dilakukan dari 980 berkas dari tujuh fakultas menjadi 293 berkas sebelum dinaikkan ke rektorat. Sejak Juni 2017 hingga saat ini BEM belum mendapatkan kabar dari rektorat. Toni mengaku sudah mengecek bagian keuangan pada Rabu (11/10). Dari sana NOVEMBER 2017 | edisi iV

ia mendapatkan penjelasan bahwa berkas sedang diperiksa oleh bagian keuangan. “keputusan terakhir UKT dari WR II,” kata Toni. Toni mengatakan telah mengabarkan tim advokasi fakultas bahwa penurunan UKT masih belum mendapatkan hasil. Untuk sosialisasi perihal tersebut, ia menjelaskan bahwa itu merupakan kebijakan dari masing-masing fakultas. Akibat terlalu lamanya proses seleksi dari rektorat, BEM mencukupkan peng­ ajuan pe­nuru­n­an UKT se­cara mas­sal. Da­r i ha­s il eva­l u­a si ber­s ama, BEM ha­nya meng­ko­ordinir dan

Repro | Araw

memfasilitasi dengan cara mengantar mahasiswa yang ingin mengajukan penurunan UKT ke rektorat. “ Jadi ada mahasiswa ingin mengajukan penurunan UKT kita antar. Biar lebih efisien dan efektif,” jelas Toni Jumat (13/10). Tujuannya agar mahasiswa tahu prosedur dan pelayanan rektorat untuk mahasiswa yang ingin menurunkan UKT. Menanggapi permasalahan tersebut, Tim EXPEDISI mencoba melakukan verifikasi kepada Budi selaku Kepala BUPK UNY. Budi hanya berkenan diwawancara melalui surel. Ia mengirimkan surel balasan pada Senin (30/10). Menanggapi permasalahan tersebut, ia menulis berdasarkan Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No. 39 tahun 2017. Dalam Pemenristekdikti No. 39 Tahun 2017, pasal 5 ayat 1, pemimpin PTN dapat memberikan keringanan UKT kepada pihak yang mengajukan penurunan. Bagi mahasiswa yang akan mengajukan penurunan UKT akan diproses dengan dua alasan; pertama kemampuan ekonomi tidak sesuai

(salah mengisi); kedua perubahan data ekonomi. Perubahan data ekonomi yang dimaksud adalah penurunan penghasilan secara drastis. Seperti orang tua atau pihak yang membiayai pensiun, meninggal dunia, dan bangkrut. Termasuk juga untuk pemutusan hubungan kerja dan di dalam keluarga tersebut memerlukan biaya perawatan kesehatan rutin. Alasan tersebut harus disertai bukti yang relevan. Jika alasan yang dikemukakan pensiun, bukti yang dilampirkan yakni surat keterangan pensiun yang tertulis Gaji Pokok Pensiun. Begitu juga untuk yang lainnya. Penurunan pun berdasarkan skor yang didapat dari tiap indikator. “Jika dari data yang di­aju­kan be­lum da­pat di­guna­kan meng­am­bil ke­putus­an apa­kah UKT te­tap atau da­pat diturun­kan maka dilakukan survei ke keluarga pemohon dan atau masyarakat sekitar pemohon.” Begitu salah satu isi dari jawaban dari Budi. Masih belum diketahui bentuk survei yang dimaksud. BEM mengakui bahwa mereka tidak melakukan survei lapangan karena keterbatasan sumber daya manusia. “Pasca silaturahmi dengan WR II itu pun, survei juga ke lapangan,” jelasnya. Setelah dikonfrimasi lewat Whatsapp, survei yang diketahui Toni seperti mendatangi rumah hingga menanyakan kepemilikan fasilitas, sertifikat tanah, dan yang lainnya. Untuk waktu pelaksanaan, ia mengatakan hanya pihak rektorat yang mengetahui. Sedangkan dari birokrat sendiri tidak menanggapi saat dikonfirmasi mengenai bentuk survei yang dilaksanakan. Selama ini Devi tidak mendapatkan survei dalam bentuk apapun dari rektorat. Demikian pula dengan Afridha. “Tidak ada tanggapan apapun dari rektorat,” tegas Devi. Menanggapi kasus tidak diturunkannya UKT Devi dan Afridha, Budi mengatakan untuk disampaikan saja kepada dirinya. “Kalau ada yang usul dengan kondisi seperti itu, didukung dokumen yang cukup, tetapi belum turun UKT-nya, mohon sampaikan saja namanya (nama pengaju) (dan) suratnya tanggal berapa ke saya. Biar saya cek ke staf saya. Terima kasih,” kata Budi lewat pesan singkat pada Selasa, (31/10).

Khansa Nabilah Alfian, Bagas, Yasin

9


resensi

Pragmatisme dan Simulakra Sepak Bola

Judul : Dongeng dari Negeri Bola Penulis : Yusuf Dalipin Arifin Penerbit : Indie Book Corner Tahun Terbit : September 2017 Tebal : xii + 180 halaman

S

ebagai Warga Negara Indonesia dan menjadi penggemar salah satu klub sepak bola Inggris, siapa yang tak ingin datang lalu menontonnya langsung. Itulah mimpi Yusuf Dalipin Arifin, salah seorang yang ikut mendirikan dan menjadi Chief Collaboration and Engagement di Kumparan.com pada akhir 2016. Di tahun itulah mimpinya menjadi kenyataan. Ia akhirnya pergi ke negeri bola dan berhasil mendongeng dengan kumpulan esainya yang dibukukan dalam Dongeng dari Negeri Bola. Dalipin menulis kumpulan esai yang jumlahnya tiga puluh berdasar pengalamannya selama di Inggris. Dari pengalamannya, Dalipin menganggap bahwa sepak bola yang di dalamnya penuh dengan intrik, strategi dari juru taktik, menyebabkan setiap klub bola mempunyai sebuah ciri khas atau 10

kultur tersendiri. Ringkas menurutnya, dalam dunia sepak bola dikenal dua macam strategi: bertahan dan menyerang. Esai yang satu ini mengupas tentang sebuah bentuk pragmatisme dalam sepak bola. Di mana sebuah gaya permainan atau bentuk pragmatisme ini bisa terjadi di atas lapangan hijau. Dalipin memberinya judul Pragmatisme dalam Sepak Bola: Adil Sejak dalam Pikiran. Ia mencoba meng­ generalisasikan antara taktik menyerang dan bertahan dalam suatu konsep yang sama, yaitu pragmatisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatis mempunyai arti bersifat praktis dan berguna bagi umum. Secara terminologi, istilah pragmatis mengacu pada sebuah bentuk atau hal yang gampang dan praktis. Tetapi, apakah pragmatisme dalam sepak bola segampang itu diterapkan di atas lapangan? Hemat saya, bentuk pragmatisme memang bisa digeneralisasikan dalam sebuah konsep atau strategi dalam permainan bola, baik menyerang ataupun bertahan. Namun setiap bentuk pragamatisme dalam setiap klub jelas berbeda. Karena setiap klub mempunyai ciri khas dan kultur yang berbeda pula ihwal pola permainannya. Ter­kait hal ter­sebut, Dali­pin men­ coba me­ng­kri­tik angga­pan kha­la­yak, bah­wa prag­ma­tis­me dal­am sepak bola tid­ak han­ya ter­ja­di pa­da po­la per­mai­nan ber­tah­­an sa­ja. Jus­tru se­balik­nya, ba­ik ber­tah­an mau­pun men­yer­ang ada­lah ben­tuk pra­gma­tis­me ya­ng se­la­lu di­terap­ kan ol­eh pa­ra pe­lat­ih. Apa­la­gi ada ya­ng me­ng­ang­gap bah­wa sep­ak bo­la pra­gma­tis se­la­lu di­kesan­kan ne­ga­tif. Ten­tu ini ada­lah se­bu­ah ang­ ga­pan ya­ng ke­liru. Dali­pin mencoba mene­rang­kan, bahwa baik meny­e­ra­ng mau­pun ber­tah­an ada­lah se­bu­ah kon­sep pragmatis. Tan­pa prag­matis, ma­ka ti­dak

ada ya­ng nama­nya tak­tik dan stra­te­gi dalam sebuah sepak bola. Selain itu, esai lainnya yang menarik ialah Liga Primer: Pelebur Kelas Sosial Inggris. Sebuah kritik terhadap pandangan masyarakat Inggris ihwal kesetaraan kelas sosial dalam dunia sepak bola. Di negara ini, kebanyakan suporter yang datang ke stadion adalah masyarakat kelas bawah. Dari pengalamannya, Dalipin mencoba membandingkan bagaimana kultur para suporter bola di Inggris dan Indonesia sangatlah jauh berbeda. Ia merasakan bahwa di negeri Ratu Elizabeth ini banyak dari kelas menengah yang enggan datang ke stadion untuk menonton langsung dan justru sebaliknya. Sejarah pendirian Liga Primer Inggris pada 1992, tujuan utamanya adalah untuk mengeruk modal para kelas menegah yang jumlahnya tidak kalah banyak dengan kelas bawah. Namun kenyataannya, masyarakat kelas menengah bukannya tidak mengindahkan sepakbola, tetapi mereka malah menjaga jarak dengan masyarakat kelas bawah. Selain itu, segmentasi kelas di Inggris sangatlah kaku. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul gagasan: Bagaimana membawa stadion ke dalam ruang-ruang mereka. Ya, tentu dengan membingkainya dalam sebuah tayangan, yaitu televisi. Di mana tayangan sepak bola di Inggris tentu jauh berbeda dengan Indonesia, baik kuantitas maupun kualitasnya. Pada akhirnya, ini seperti yang di ungkapkan Zen RS, dalam Simulakra Sepakbola. Bagaimana membuat sebuah dunia nyata bisa terasa real dalam dunia simulasi. Dan itulah yang terjadi saat ini di Inggris, simulakra dalam sepak bola. Melihat dunia simulasi lebih asyik ketimbang dunia aslinya. Dongeng dari Negeri Bola kiranya sangat menarik untuk dibaca. Kehidupan tentang sepak bola mampu dikupas secara sederhana, dengan bahasa yang ringan dan tentu ada kritik di dalamnya. Penulis mengajak pembaca bernostalgia dengan suasana persepakbolaan Inggris dewasa ini. Sunardi

edisi IV | NOVEMBER 2017


wacana

Melawan Catcalling Melawan Pelecehan Verbal

C

Araw | Expedisi

at­calling adalah istilah urban yang memiliki arti kurang lebih begini; seb­uah per­buatan ya­ng bertendensi seksual, bisa berupa siulan, sapaan absurd ataupun gestur-gestur seksis terhadap perempuan –bisa juga laki-laki atau gender yang lain— di jalan maupun ruang publik. Sadar atau tidak itu termasuk pelecehan seksual. Catcalling bisa diwujud­kan dal­ am ber­bagai ben­tuk, umum­nya beru­ pa sa­paan absurd seperti, “Cewek, kok sendirian sih?” atau bisa juga berupa siulan bernada seksis. Biasanya perempuan akan dihadapkan pada kondisi yang dilematis, ingin membalas dengan makian tetapi takut dibalas dengan perlakuan yang lebih agresif. Akhirnya kebanyakan perempuan akan lebih memilih opsi kedua,

mengabaikannya. A­da kese­­pakat­ an kul­tural dalam mas­ya­ra­kat mayo­­ ritas, bah­wa le­ la­k i meng­­goda perem­­puan ada­­lah wa­­jar. Pen­ting untuk melurus­kan pandangan ini sebab keiseng­an untuk menggoda perempuan hampir tidak pernah dianggap serius. Dalam tesisnya yang berjudul Direct Action, NOVEMBER 2017 | edisi iV

Education, Consciousness-Raising, Activism and the Inter­net: Methods for Combating Street Harass­ment, Holly Kearl membuat survei secara daring dengan mengirim surel kepada 225 perempuan Amerika. Mereka diberi pertanyaan seputar street harassment (godaan di jalan). Ditemukan hasil bahwa 98% perempuan tersebut pernah mengalami catcalling maupun street harassment, baik secara eksplisit maupun implisit. Yougov.com pernah membuat survei yang hasilnya menempatkan Jakarta berada di posisi tertinggi kelima dunia, mengenai tingkat pelecehan verbal terhadap perempuan di ruang publik. Jakarta hanya kalah dari Mexico City, Delhi, Bogota dan Lima. Korban yang pernah menerima cat­ calling mayo­ ritas berusia rentang 11-17 tahun. Cat­call­ i n g b i ­s a ber­dam­pak pada psikis kor­ban. Ra­ ta-ra­ta kor­ ban akan me­r a­­sa ri­ sih, malu, bah­kan ta­ kut de­ng­­an kemung­kin­ an tinda­ kan le­b ih jauh ya­n g ti­d ak d i i n g i n k a n . Namun ada juga bebe­rapa yang malah se­nang atau bang­ga saat men­dapat catcall bernada pujian. Tanpa sadar, hal tersebut menyebabkan korban mulai menilai dirinya sendiri. Timbul anggapan, jika tidak ada yang menggodaku, apakah aku ini tidak menarik secara fisik? Tak semua perempuan sadar akan apa yang mereka terima merupakan pelecehan seksual. Ini bisa menjadi persepsi yang berbahaya. Melapor pihak berwajib pun susah. Belum ada satupun regulasi yang secara khusus mengatur

catcalling atau street harassment di Indonesia. Kasus-kasus pelecehan verbal pun akhirnya jarang yang berujung sanksi bagi si pelaku. Le­w at Pan­d uan Pence­g ahan Pelece­han Seks­ual di Tem­pat Umum dan Ken­daraan Umum (2014), Astrid Malahayati F. dan rekannya R Rika Rosvianti memberi beberapa penjelasan mengenai apa yang harus dilakukan untuk mencegah tindak pelecehan bagi perempuan. Salah satunya saat berjalan selalu menutupi dada dengan barang, terutama bila melewati gang. Bisa dengan menggunakan tas, buku atau stopmap. Akan lebih baik menggunakan tas, karena bisa sekaligus mencegah tas dijambret atau disilet pencopet. Di Pakistan, penanganan pelecehan seksual sudah melibatkan teknologi. Aplikasi bernama Women’s Safety App, telah dirilis awal Januari ini, seiring dengan tinggginya angka kejahatan terhadap perempuan. Polisi dengan mudah dapat melacak lokasi pelapor lewat aplikasi ini. Di masya­rakat ki­ta, ber­laku pan­ dangan umum bahwa pelecehan seksual terhadap perempuan dalam bentuk apapun itu, disebabkan pakaian yang mengundang hawa nafsu. Itu menunjukan perempuan adalah titik permasalahan, alih-alih pelaku berpikiran jahat yang disalahkan. Cara pan­dang ter­sebut per­lu diafir­ masi. Dikutip dari elitedaily.com, di Mesir orang berhijab dan berpakaian tertutup pun tetap menjadi sasaran pelecehan seksual semacam catcalling. Bukan sebuah alasan andai kata seorang perempuan mengenakan pakaian yang memancing pria untuk melakukan catcall. Catcalling bisa terjadi terhadap siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Kampa­nye edu­kasi ten­tang anti­ kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan pada dasarnya lebih nyata tindakannya. Dengan membuat situs semacam iHollaback.com, sampai halnya membuat sebuah video eksperimen sosial, marak kita jumpai sekarang.

Gilang Ramadhan

11


eksprespedia

Rokok Kretek adalah Budaya Indonesia

Araw | Expedisi

K

LA

N

LA

IK

E

LA IK E SP AC

E

IK L

N

AN

SP AC

E

SP AC SP AC

AN IK L E

Ikhsan Abdul Hakim Disarikan dari berbagai sumber.

IK

LA IK E SP AC SP AC 12

besar merupakan hasil alam Indonesia, hanya sedikit yang menggunakan bahan impor. Beda dengan rokok putih yang memakai tembakau Virginia dan bahan impor lain. Kini, ada dua jenis kretek yang umum; Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM). SKT antara lain kretek sigaret, kelobot, kelembak dicampur dengan kemenyan. Sedangkan SKM, ada kretek filter sampai kretek mild. Kretek adalah pemanfaatan sumber lokal dan ekspresi budaya Indonesia. Sepanjang sejarahnya, kretek tak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial orang Indonesia; baik sebagai sendi ekonomi dan barang konsumsi, maupun sebagai produk kebudayaan. Kretek adalah hasil cipta dan karsa orang Indonesia yang terus dinikmati dan dilestarikan dari generasi ke generasi.

N

1920-1930-an, industri kretek di Jawa berkembang pesat, bahkan bertahan hingga sekarang. Dinamai kretek karena jika dibakar, rajangan cengkeh dalam kretek akan meletup kecil dan berbunyi ‘kretek-kretek’ Kretek adalah produk asli Indonesia yang berbahan dasar tembakau, cengkeh, dan saus kretek. Bahan bakunya sebagian

N

ampanye antirokok kian masif di abad 21. Dengan alasan kesehatan, sisi negatif rokok terus disorot. Akibatnya rokok mendapat stigma dalam masyarakat, tak terkecuali rokok kretek. Padahal, mau diakui atau tidak, kebiasaan merokok kretek sudah lekat pada orang Indonesia sejak zaman prakemerdekaan. Menurut cerita lisan dari Kudus, kretek pertama kali ditemukan oleh Haji Djamhari pada akhir abad 19. Waktu itu Haji Djamhari merasa sakit dada, lalu ia mengoles-oleskan cengkeh di dadanya. Rasa sakitnya berkurang dan kondisinya membaik ketika ia mengunyah cengkeh. Haji Djamhari pun berinisiatif membuat rokok tembakau yang dicampur dengan rajangan cengkeh. Ketika mengisap rokok itu, sakit dadanya benar-benar hilang. Sejak itu, rokok ciptaan Haji Djamhari terkenal dan dijual di toko obat. Kretek kian disukai dan menjelma sebagai komoditas yang menggiurkan. Pada

edisi IV | NOVEMBER 2017


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.